TRIGGER FINGER
Presentan:
Pendamping:
Pembimbing:
KAB. MADIUN
2017
No. ID dan Nama Peserta: dr. Monika Diaz Kristyaninda
Objektif Presentasi :
Deskripsi : Pasien wanita usia 52 tahun mengeluh ibu jari tangan kiri sulit ditekuk sejak 2 bulan yang
lalu. Ibu jari terasa kaku dan sedikit nyeri. Terdapat bunyi klik-klik saat ibu jari ditekuk
berulang kali. Tidak ada kondisi tertentu yang memperparah keluhan. Keluhan dirasa
berkurang setelah jari digerakkan berulang kali, atau dikompres dengan air hangat. Pasien
memiliki riwayat jatuh dan terbentur pada punggung ibu jari kiri sebelum keluhan ini muncul.
Tujuan : Mengidentifikasi tanda dan gejala, diagnosis dan tata laksana dari trigger finger
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit :
Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Terdapat riwayat trauma pada
punggung ibu jari 1,5 bulan sebelum keluhan muncul. Tidak ada riwayat luka di ibu jari kiri. Tidak
ada riwayat operasi pada area yang sakit. Riwayat hipertensi, DM, Asam urat, RA, dan nyeri sendi
lainnya disangkal.
4. Riwayat keluarga :
Tidak terdapat anggota keluarga lain yang menderita sakit yang sama dengan pasien.
5. Riwayat Lingkungan/Sosial :
Pasien bekerja sebagai petani.
6. Riwayat Alergi :
Pasien tidak memiliki riwayat alergi baik obat maupun makanan.
Hasil Pembelajaran:
Subjektif:
- Pasien wanita usia 52 tahun mengeluh ibu jari tangan kiri sulit ditekuk sejak 2 bulan
yang lalu. Ibu jari terasa kaku dan sedikit nyeri. Terdengar bunyi klik-klik saat ibu jari
ditekuk berulang kali. Keluhan tidak dirasakan di jari yang lain. Pasien tidak merasa
kesemutan atau kebas pada ujung jari. Tidak ada kondisi tertentu yang
memperparah keluhan. Keluhan dirasa berkurang setelah jari digerakkan berulang
kali, atau dikompres dengan air hangat. Pasien memiliki riwayat jatuh dan terbentur
pada punggung ibu jari kiri sebelum keluhan ini muncul
- Pasien pergi ke tukang pijat untuk diurut jarinya namun keluhan tidak membaik..
- Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
- Terdapat riwayat trauma pada punggung ibu jari 1,5 bulan sebelum keluhan muncul.
- Tidak ada riwayat luka di ibu jari kiri.
- Tidak ada riwayat operasi pada area yang sakit.
- Riwayat hipertensi, DM, Asam urat, RA, dan nyeri sendi lainnya disangkal
- Pasien tidak memiliki riwayat alergi baik obat maupun makanan.
- Tidak terdapat anggota keluarga lain yang menderita sakit yang sama dengan
pasien.
- Pasien bekerja sebagai petani.
Objektif
Keadaan Umum Baik
Kesadaran Compos Mentis
Status gizi Cukup
Nadi 88 kali/menit, reguler kuat
Nafas 20 x/menit
Suhu 36,4C
Tekanan Darah 110/80 mmHg
Kepala Anemis (-), Ikterik (-), Sianosis (-), Edema
(-)
Paru Inspeksi : Simetris ki=ka
Palpasi : fremitus ki=ka
Perkusi: sonor ki=ka
Auskultasi: ves/ves, rh (-), wh (-)
Jantung Inspeksi: Iktus tidak terlihat
Palpasi: Iktus teraba ICS V MCL S
Auskultasi: Irama regular, murni, bising (-)
Abdomen Inspeksi: Perut tampak datar
Palpasi: Supel, hepar dan lien tidak teraba,
nyeri tekan epigastrium (-), turgor
kembali cepat
Perkusi: Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) Normal
Ekstremitas (Status Lokalis Digiti I manus Look: edema (+) pada proximal digiti I
sinistra) manus sinistra
Feel: tenderness (+)
Move: ROM fleksi (+) terbatas, clicking
sound (+)
12 September 2017
S: Nyeri (+), tangan kiri sulit ditekuk (+), keluhan menetap (+)
O: Look : edema (+), Feel : tenderness (+) Move : Stiffness (+), Clicking sound (+)
Planning:
Pre-op :
Durante op :
Post op
15 September 2017
S : kontrol I post op 2 hari yang lalu, bengkak pada situs operasi (+), nyeri (+), kaku (+),
kesemutan (-), mual (+)
O : Status lokalis digiti I manus sinistra: Look : edema (+) minimal, luka jahitan kering (+),
darah (-), pus(-). Feel : tenderness berkurang. Move: agak kaku (+), nyeri (-), kemeng (-),
Clicking sound (-)
P : -Rawat luka
- Cefadroxyl 2x500mg
- Ranitidin 2x500mg
- Na- diclofenac 2x50mg
20 September 2017
O : Status lokalis digiti I manus sinistra: Look : luka kering (+), pus (-), blood (-). Feel :
tenderness (-), Move: ROM fleksi bebas terbatas, nyeri (+), clicking sound (-)
P: - Rawat luka
- Angkat jahitan
- Cefadroxil 2x500mg
- Na-diclofenac 2x50mg
- Ranitidin 2x1
- Latihan ROM aktif- pasif
3 Oktober 2017
S : kontrol III post op trigger finger ibu jari tangan kiri. Keluhan : nyeri pada bekas luka
operasi, masih kaku. Tangan berkeringat.
O : Look : scar (+), eritema (-), edema (-). Feel : nyeri tekan pada luka bekas operasi (+).
Move : ROM full (+)
P : - Latihan ROM aktif
- Cek kolesterol, TG kolesterol = 194 mg/dl, Trigliserida = 278 mg/dl konsul poli
penyakit dalam
- EKG normal ECG
- Na-diclofenac 2x50mg
Konsultasi
Pendidikan
Dijelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai kondisi penyakitnya, penyebab dan
penatalaksanaan serta prognosisnya.
Rujukan
PEMBAHASAN
Tingkat keparahan trigger finger diklasifikasikan oleh Froimson pada tahun 1999 melalui
penilaian klinis sebagai berikut:
Grade I : Pre-triggering-pain; nyeri tekan di sekitar pulley A1; ada riwayat jari terkunci
(catching) tapi tidak dapat dibuktikan pada pemeriksaan fisik.
Grade II : Triggering, active; jari terkunci dapat dibuktikan dengan pemeriksaan fisik, pasien
dapat ekstensi secara aktif.
Grade III : Triggering, passive; jari yang terkunci atau macet dapat ditunjukkan dan
membutuhkan ekstensi secara pasif atau tidak mampu untuk fleksi secara aktif.
Grade IV : Contracture; jari terkunci dapat ditunjukkan, disertai fleksi terfiksasi kontraktur
sendi PIP. (Froimson AI, 1999)
Pada kasus ini pasien diklasifikasikan ke dalam grade II dikarenakan pada saat
pemeriksaan fisik, jari yang terkunci dapat dibuktikan dengan adanya clicking sound. Pasien
masih dapat memfleksikan jari secara aktif.
Trigger finger adalah penyakit yang paling sering terjadi pada kelompok usia 50 hingga
60 tahun. Insiden penyakit ini diperkirakan mencapai 28 kasus per 100.000 orang dalam
populasi setiap tahunnya. Perempuan enam kali lebih sering terkena dibandingkan dengan
laki-laki, meskipun alasan predileksi usia dan jenis kelamin ini tidak sepenuhnya jelas. Risiko
terkena trigger finger adalah 2 dan 3% pada orang yang memiliki faktor risiko pemicu, tetapi
meningkat menjadi 10% pada penderita diabetes. Insidensi pada penderita diabetes terkait
dengan waktu penyakit sebenarnya dan tidak berhubungan dengan diabetes yang
terkontrol. Resiko lebih tinggi juga dapat dialami pada pasien dengan Carpal Tunnel
Syndrome, de Quervain disease, hipotiroidisme, rheumatoid arthritis, gout arthritis, dan
amyloidosis. Jari yang paling banyak mengalami trigger finger adalah jari ke-4, diikuti oleh
jari ke-1 (ibu jari), dan jari ke-3. Pada kebanyakan kasus hanya melibatkan satu jari, namun
keterlibatan beberapa jari dilaporkan pada sejumlah pasien. Selain itu, sisi tangan kanan
lebih banyak mengalami trigger finger dibanding tangan kiri. (Moore JS, 2000)
A. Pemeriksaan Fisik
Pada pasien dengan ROM fleksi-ekstensi jari yang terbatas dengan atau
tidak disertai nyeri dapat membantu menegakkan diagnosis trigger finger. Penebalan
pulley dan terbentuknya nodul pada tendon akan menyebabkan terhambatnya
gerakan fleksi-ekstensi. Pada derajat yang lebih berat, kontraktur dapat terjadi
sehingga ROM menjadi negatif. Berkaitan dengan hasil pemeriksaan pasien ini,
didapatkan ROM fleksi proksimal ibu jari tangan kiri terbatas tanpa disertai rasa
nyeri. Nyeri timbul ketika ibu jari dipaksa untuk fleksi penuh dan muncul bunyi klik.
1. Finkelstein Test
2. Phalen Test
3. Tinnel Test
Rendam area yang mengalami sensasi dengan air suam-suam kuku selama
30 menit lalu keluarkan dari dalam air, selanjutnya lipat kulitnya, jika kulit tidak dapat
dilipat indikasi gangguan pengkerutan.
5. Circle Formation
6. Froments Sign
Dalam hal ini pasien mencoba untuk memegang selembar kertas diantara ibu jari
dan jari telunjuk, ketika pemeriksa mencoba untuk menarik kertas tersebut keluar
phalangs terminal ibu jari fleksi, hal ini disebabkan karena paralysis dari otot
adductor pollicis yang memberi indikasi tes positif. Tes ini memberi indikasi paralysis
nervus ulnaris.
7. Allen Test
Pasien diminta untuk membuka dan menutup tangan beberapa kali secepat
mungkin. Ibu jari dan jari tangan pemeriksa diletakkan diatas arteri radial dan arteri
ulnar, selanjutnya pasien diminta untuk membuka tangan sementara penekanan
diatas arteri tetap dilakukan. Satu arteri yang ditest dibebaskan untuk melihat aliran
darahnya. Demikian pula dengam aretri lainnya. Kedua tangan diperiksa dan
bandingkan . test ini untuk mengetahuti paten dari arteri radial dan arteri ulnaris dan
untuk mengetahui pembuluh darah arteri yang banyak mensuplai tangan.
B. Pemeriksaan Penunjang
HgbA1c
GDA
Rheumatoid faktor
X-ray manus sinistra.
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan x-ray untuk menyingkirkan penyebab
kelainan yang lain seperti fraktur, atau dislokasi. Hal ini dikarenakan melihat adanya riwayat
trauma pada area yg mengalami trigger finger. Pemeriksaan darah lengkap, gula darah,
kolesterol, dan asam urat dilakukan untuk persiapan sebelum operasi sekaligus skrinning
adanya penyakit penyerta lainnya. Pemeriksaan gula darah acak, kolesterol dan asam urat
saat sebelum operasi dalam batas normal. Pasien juga tidak memiliki riwayat penyakit atau
keluhan lain.
Pada tanggal 3 Oktober 2017 saat kontrol ke-3 dilakukan pemeriksaan profil lipid
terhadap pasien. Hasilnya, trigliserida berada pada angka di atas normal yaitu 278 mg/dl.
Pasien dikonsulkan ke bagian penyakit dalam untuk mendapatkan terapi yang sesuai.
Sejauh ini, belum didapatkan adanya hubungan antara meningkatnya kadar trigliserida
dalam darah dengan insidensi trigger finger.
2. Injeksi Korstikosteroid
Injeksi kortikosteroid ke dalam selubung tendon flexor adalah terapi umum untuk
trigger finger idiopati. Howard et al menyatakan injeksi kortikosteroid ke dalam selubung
tendon sebagai salah satu metode terapi pada tahun 1953. Berlawanan dengan terapi non-
pembedahan lainnya seperti splinting dan obat-obat NSAID, yang hanya bekerja sebagai
paliatif, terdapat bukti bahwa injeksi kortikosteroid dapat memodifikasi perjalanan penyakit.
Tingkat kesuksesan terapi ini bervariasi antar penelitian. Namun seluruh studi
menunjukkan hasil yang memuaskan pada proporsi besar dari semua pasien setelah injeksi
pertama. Beberapa peneliti menetapkan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil akhir yang
bervariasi. Hasil akhir tidak memuaskan tampak pada pasien dengan penyakit sistemik
sebagai penyerta, seperti diabetes mellitus dan rheumatoid arthritis, dan mereka dengan
keterlibatan lebih dari satu jari. Hal ini diyakini karena ketidakmampuan steroid untuk
membalikkan perubahan metaplasia chondroid yang terjadi pada pulley A1.
Tindakan Ini disarankan sebelum intervensi bedah karena sangat efektif (hingga
93%), terutama pada pasien non-diabetes dengan onset baru-baru ini terkena gejala dan
satu digit dengan nodul teraba. Injeksi diberikan secara langsung ke dalam selubung
tendon. Jika gejala tidak hilang setelah injeksi pertama, atau muncul kembali setelah itu,
suntikan kedua biasanya lebih mungkin untuk berhasil sebagai tindakan awal. Komplikasi
utama dari metode ini adalah nyeri sementara pada area injeksi. Komplikasi lain sangat
jarang terjadi,termasuk di antaranya atrofi dermal dan subkutan, hipopigmentasi kulit, infeksi
selubung tendon (pulley), dan pada satu kasus jarang, ruptur tendon. Pasien dengan
diabetes harus mencermati peningkatan glukosa darah hingga 1 minggu setelah injeksi.
Tabel 2. Jenis injeksi kortikosteroid yang biasa diberikan untuk pasien trigger finger
(Marianne F. Mol, 2013)
3. Splinting
Tujuan splinting adalah untuk mencegah gesekan yang disebabkan oleh pergerakan
tendon fleksor melalui pulley A1 hingga radang menghilang. Secara umum splinting
merupakan pilihan pengobatan yang tepat pada pasien yang menolak atau ingin
menghindari injeksi kortikosteroid. Sebuah studi pekerja manual dengan interfalangealis
distal (DIP) dilakukan splinting dalam ekstensi penuh selama 6 minggu menunjukkan
pengurangan gejala pada lebih dari 50% pasien.
Studi lain menunjukkan, splint sendi MCP 15 derajat fleksi (meninggalkan sendi PIP
dan DIP bebas) memberikan resolusi gejala pada 65% pasien setelah satu tahun.
Percobaan klinis terbaru yang membandingkan efektifitas desain 2 splint dalam terapi trigger
finger, menyatakan hasil positif pada 50%-77% pasien bergantung pada tipe splinting. Untuk
pasien yang paling terganggu oleh gejala jari terkunci pada pagi hari, splinting sendi PIP
pada malam hari dapat menjadi efektif. splinting menunjukkan tingkat keberhasilan yang
lebih rendah pada pasien dengan gejala trigger finger grade III-IV atau telah berlangsung
lama.
Gambar 7. Teknik Splint
4. Fisioterapi
Fisioterapi membantu menghilangkan masalah-masalah bengkak, nyeri, dan
kekakuan gerak pada bagian-bagian tangan yang lain yang tidak bisa dihilangkan
dengan tindakan operasi.
B. Terapi Pembedahan
Teknik pembedahan konvensional merupakan gold standard untuk terapi trigger
finger. Tindakan ini dinilai lebih efisien dibanding dengan injeksi kortikosteroid
berdasarkan tingkat kesembuhan dan rekurensi penyakit. Indikasi untuk perawatan
bedah umumnya karena kegagalan perawatan konservatif untuk mengatasi rasa sakit
dan gejala.(Nikolaou, Malahias, Kaseta, Sourlas, & Babis, 2017)
Tindakan pembedahan ini pertama kali diperkenalkan oleh Lorthioir pada tahun
1958. Fungsi operasi biasanya bertujuan melonggarkan jalan bagi tendon yaitu dengan
cara membuka selubungnya. Dalam penyembuhannya, kedua ujung selubung yang
digunting akan menyatu lagi, tetapi akan memberikan ruang yang lebih longgar, sehingga
tendon akan bisa bebas keluar masuk. Ada dua teknik pembebasan pulley A1, yaitu
teknik open release dan teknik percutaneous needle release.
Penderita dapat melakukan aktivitas kembali seperti menyetir setelah 3-5 hari.
Menulis dan menggunakan computer dapat dilakukan secepatnya. Olahraga dapat
dilakukan setelah 2-3 minggu saat luka telah mengering dan tangan dapat menggenggam
kembali. Pasien dapat kembali bekerja bergantung pada jenis pekerjaannya. Jika
pekerjaannya melibatkan pekerjaan tangan, dibutuhkan waktu istirahat hingga 4 minggu.
9.1 Komplikasi
Komplikasi potensial utama trigger finger adalah nyeri dan penurunan kerja fungsional
dari tangan yang terkena. Pada trigger finger yang tidak teratasi atau mencapai tingkat
keparahan klasifikasi IV, jari akan mengalami kontraktur dan fleksi secara permanen.
(Ryzewicz & Wolf, 2006)
9.2 Rehabilitasi
Rehabilitasi post operatif pada jari yang terkena trigger finger diperlukan untuk
mencapai ekstensi penuh pada jari. Berbagai macam rehabilitasi dapat dilakukan. Salah
satunya terdiri dari peregangan hiperekstensi secara pasif dari sendi metacarpophalangeal
dan sendi interphalang proksimal selama 30 detik pada satu waktu, dilakukan berulang 30
kali, dan 3 kali dalam sehari. (Liu et al., 2016)
Akhtar, S., Bradley, M. J., Quinton, D. N., & Burke, F. D. (2005). Management and referral
for trigger finger/thumb. BMJ (Clinical Research Ed.), 331(7507), 3033.
https://doi.org/10.1136/bmj.331.7507.30
Froimson AI. (1999). Tenosynovitis and Tennis Elbow (4th ed.). Philadelphia: Churchill
Livingstone.
Hatch, J. (2014). TRIGGER FINGER & TRIGGER THUMB - TREATMENT WITH
SURGERY. Retrieved from http://orthodoc.aaos.org/jeremyhatchmd/Hand-Trigger
Finger Release jph 2014-6.pdf
Lin, C. J., Huang, H. K., Wang, S. T., Huang, Y. C., Liu, C. L., & Wang, J. P. (2016). Open
versus percutaneous release for trigger digits: Reversal between short-term and long-
term outcomes. Journal of the Chinese Medical Association, 79(6), 340344.
https://doi.org/10.1016/j.jcma.2016.01.009
Liu, W. C., Lu, C. K., Lin, Y. C., Huang, P. J., Lin, G. T., & Fu, Y. C. (2016). Outcomes of
percutaneous trigger finger release with concurrent steroid injection. Kaohsiung Journal
of Medical Sciences, 32(12), 624629. https://doi.org/10.1016/j.kjms.2016.10.004
Makkouk AH, Oetgen ME, Swigart CR, D. S. (2008). Trigger finger: etiology, evaluation, and
treatment. Curr Rev Musculoskelet Med, 10.007(1): 92-6.
Moore JS. (2000). Flexor tendon entrapment of the digits (trigger finger and trigger thumb). J
Occup Environ Med. May, 42(5):526-45.
Nikolaou, V. S., Malahias, M.-A., Kaseta, M.-K., Sourlas, I., & Babis, G. C. (2017).
Comparative clinical study of ultrasound-guided A1 pulley release vs open surgical
intervention in the treatment of trigger finger. World Journal of Orthopedics, 8(2), 163.
https://doi.org/10.5312/wjo.v8.i2.163
Rasjad C. (2007). Pengantar ilmu bedah ortopedi. Jakarta: PT. Yarsif Watampone.
Ryzewicz, M., & Wolf, J. M. (2006). Trigger Digits: Principles, Management, and
Complications. The Journal of Hand Surgery, 31A, 135146.
https://doi.org/10.1016/j.jhsa.2005.10.013
Snell, R. S. (2006). Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. (H. Hartanto, Ed.) (6th
ed.). Jakarta: EGC.
Trigger Finger - Treatment. (2015). Retrieved September 28, 2017, from
http://www.nhs.uk/Conditions/Trigger-finger/Pages/Theprocedure.aspx
Wojahn, R. D., Foeger, N. C., Gelberman, R. H., & Calfee, R. P. (2014). Long-term
outcomes following a single corticosteroid injection for trigger finger. The Journal of
Bone and Joint Surgery. American Volume, 96(22), 184954.
https://doi.org/10.2106/JBJS.N.00004