Anda di halaman 1dari 26

PORTOFOLIO

TRIGGER FINGER

Diajukan guna melengkapi sebagian persyaratan Dokter Internship

Presentan:

dr. Monika Diaz Kristyaninda

Pendamping:

dr. Andari Retnowati

Pembimbing:

dr. Ayu Hara Suwenda, Sp.OT

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOLOPO

KAB. MADIUN

2017
No. ID dan Nama Peserta: dr. Monika Diaz Kristyaninda

No. ID dan Nama Peserta: RSUD Dolopo, Kab. Madiun

Topik : Trigger Finger

Tanggal Kasus : 7 September 2017

Nama Pasien : Ny. SC Nomor RM : 72475

Tanggal Presentasi : Pendamping : dr. Andari Retnowati

Tempat Presentasi : RSUD Dolopo, Kab. Madiun

Objektif Presentasi :

Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka

Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil

Deskripsi : Pasien wanita usia 52 tahun mengeluh ibu jari tangan kiri sulit ditekuk sejak 2 bulan yang
lalu. Ibu jari terasa kaku dan sedikit nyeri. Terdapat bunyi klik-klik saat ibu jari ditekuk
berulang kali. Tidak ada kondisi tertentu yang memperparah keluhan. Keluhan dirasa
berkurang setelah jari digerakkan berulang kali, atau dikompres dengan air hangat. Pasien
memiliki riwayat jatuh dan terbentur pada punggung ibu jari kiri sebelum keluhan ini muncul.
Tujuan : Mengidentifikasi tanda dan gejala, diagnosis dan tata laksana dari trigger finger

Bahan Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit


Bahasan :
Cara Diskusi Presentasi dan Diskusi Email Pos
Membahas :

Data Pasien Nama : Ny. SC No. Reg: 72475

Nama Klinik: RSUD Dolopo, Kab. Madiun Telp : Terdaftar sejak :

Data Utama untuk bahan diskusi :


1. Diagnosis / Gambaran Klinis :
Pasien wanita usia 52 tahun mengeluh ibu jari tangan kiri sulit ditekuk sejak 2 bulan yang lalu. Ibu
jari terasa kaku dan sedikit nyeri. Terdengar bunyi klik-klik saat ibu jari ditekuk berulang kali.
Keluhan tidak dirasakan di jari yang lain. Pasien tidak merasa kesemutan atau kebas pada ujung
jari. Tidak ada kondisi tertentu yang memperparah keluhan. Keluhan dirasa berkurang setelah jari
digerakkan berulang kali, atau dikompres dengan air hangat. Pasien memiliki riwayat jatuh dan
terbentur pada punggung ibu jari kiri sebelum keluhan ini muncul
2. Riwayat Pengobatan :
Pasien pergi ke tukang pijat untuk diurut jarinya namun keluhan tidak membaik.

3. Riwayat Kesehatan/Penyakit :
Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Terdapat riwayat trauma pada
punggung ibu jari 1,5 bulan sebelum keluhan muncul. Tidak ada riwayat luka di ibu jari kiri. Tidak
ada riwayat operasi pada area yang sakit. Riwayat hipertensi, DM, Asam urat, RA, dan nyeri sendi
lainnya disangkal.

4. Riwayat keluarga :
Tidak terdapat anggota keluarga lain yang menderita sakit yang sama dengan pasien.

5. Riwayat Lingkungan/Sosial :
Pasien bekerja sebagai petani.

6. Riwayat Alergi :
Pasien tidak memiliki riwayat alergi baik obat maupun makanan.
Hasil Pembelajaran:

1. Anatomi Tangan dan Ibu Jari


2. Definisi Trigger Finger
3. Patofisiologi Trigger Finger
4. Klasifikasi Trigger Finger
5. Epidemiologi rigger Finger
6. Faktor Resiko Trigger Finger
7. Diagnosis Trigger Finger
a. Manifestasi Klinik
b. Pemeriksaan Penunjang
8. Penatalaksanaan Trigger Finger
a. Terapi Non-pembedahan
b. Terapi pembedahan
9. Prognosis Trigger Finger
RANGKUMAN PEMBELAJARAN PORTOFOLIO

Subjektif:

- Pasien wanita usia 52 tahun mengeluh ibu jari tangan kiri sulit ditekuk sejak 2 bulan
yang lalu. Ibu jari terasa kaku dan sedikit nyeri. Terdengar bunyi klik-klik saat ibu jari
ditekuk berulang kali. Keluhan tidak dirasakan di jari yang lain. Pasien tidak merasa
kesemutan atau kebas pada ujung jari. Tidak ada kondisi tertentu yang
memperparah keluhan. Keluhan dirasa berkurang setelah jari digerakkan berulang
kali, atau dikompres dengan air hangat. Pasien memiliki riwayat jatuh dan terbentur
pada punggung ibu jari kiri sebelum keluhan ini muncul
- Pasien pergi ke tukang pijat untuk diurut jarinya namun keluhan tidak membaik..
- Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
- Terdapat riwayat trauma pada punggung ibu jari 1,5 bulan sebelum keluhan muncul.
- Tidak ada riwayat luka di ibu jari kiri.
- Tidak ada riwayat operasi pada area yang sakit.
- Riwayat hipertensi, DM, Asam urat, RA, dan nyeri sendi lainnya disangkal
- Pasien tidak memiliki riwayat alergi baik obat maupun makanan.
- Tidak terdapat anggota keluarga lain yang menderita sakit yang sama dengan
pasien.
- Pasien bekerja sebagai petani.
Objektif
Keadaan Umum Baik
Kesadaran Compos Mentis
Status gizi Cukup
Nadi 88 kali/menit, reguler kuat
Nafas 20 x/menit
Suhu 36,4C
Tekanan Darah 110/80 mmHg
Kepala Anemis (-), Ikterik (-), Sianosis (-), Edema
(-)
Paru Inspeksi : Simetris ki=ka
Palpasi : fremitus ki=ka
Perkusi: sonor ki=ka
Auskultasi: ves/ves, rh (-), wh (-)
Jantung Inspeksi: Iktus tidak terlihat
Palpasi: Iktus teraba ICS V MCL S
Auskultasi: Irama regular, murni, bising (-)
Abdomen Inspeksi: Perut tampak datar
Palpasi: Supel, hepar dan lien tidak teraba,
nyeri tekan epigastrium (-), turgor
kembali cepat
Perkusi: Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) Normal
Ekstremitas (Status Lokalis Digiti I manus Look: edema (+) pada proximal digiti I
sinistra) manus sinistra
Feel: tenderness (+)
Move: ROM fleksi (+) terbatas, clicking
sound (+)

Pemeriksaan laboratorium (12 September 2017):


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Haemoglobin 14,0 g/dl 11,0 17,0 g/dl
Hematokrit 40,6% 35,0 - 55,0%
Leukosit 7.200 4000 12000
Limfosit 31,3% 25 50%
Monosit 9,8% 2 10 %
Granulosit 59,4% 50 80%
Trombosit 211.000 150000 400000
Masa Perdarahan 1,00 1-3 menit
Masa Pembekuan 10,00 5-15 menit
Gula Darah Acak 88 Mg/dl 70-125 Mg/dl
Kolesterol 158 Mg/dl
Asam Urat 4,9 mg/dl
Diagnosis:
Berdasarkan subjektif, objektif dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosa
dengan Trigger Finger Digiti I Manus Sinistra

Penatalaksanaan: 7 September 2017


- Na-diclofenac 2 x 50mg
- Ranitidin 2 x 500mg
- Vitamin C 1 2 x 50mg
Follow up:

12 September 2017

S: Nyeri (+), tangan kiri sulit ditekuk (+), keluhan menetap (+)

O: Look : edema (+), Feel : tenderness (+) Move : Stiffness (+), Clicking sound (+)
Planning:

- Rencana operasi releasing pulley


- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Cefoperazone 2g pre-op
- Inj. Ranitidin 1 Ampul/12 jam
- Inj. Ketorolac 1 Ampul/8 jam
- Foto thorax
- EKG
- Cek DL, GDA, OT/PT
13 September 2017

Pre-op :

Durante op :

Post op
15 September 2017

S : kontrol I post op 2 hari yang lalu, bengkak pada situs operasi (+), nyeri (+), kaku (+),
kesemutan (-), mual (+)

O : Status lokalis digiti I manus sinistra: Look : edema (+) minimal, luka jahitan kering (+),
darah (-), pus(-). Feel : tenderness berkurang. Move: agak kaku (+), nyeri (-), kemeng (-),
Clicking sound (-)

P : -Rawat luka

- Cefadroxyl 2x500mg
- Ranitidin 2x500mg
- Na- diclofenac 2x50mg

20 September 2017

S : kontrol II post op trigger finger

O : Status lokalis digiti I manus sinistra: Look : luka kering (+), pus (-), blood (-). Feel :
tenderness (-), Move: ROM fleksi bebas terbatas, nyeri (+), clicking sound (-)

P: - Rawat luka

- Angkat jahitan
- Cefadroxil 2x500mg
- Na-diclofenac 2x50mg
- Ranitidin 2x1
- Latihan ROM aktif- pasif

3 Oktober 2017

S : kontrol III post op trigger finger ibu jari tangan kiri. Keluhan : nyeri pada bekas luka
operasi, masih kaku. Tangan berkeringat.

O : Look : scar (+), eritema (-), edema (-). Feel : nyeri tekan pada luka bekas operasi (+).
Move : ROM full (+)
P : - Latihan ROM aktif

- Cek kolesterol, TG kolesterol = 194 mg/dl, Trigliserida = 278 mg/dl konsul poli
penyakit dalam
- EKG normal ECG
- Na-diclofenac 2x50mg

Konsultasi

Konsultasi dilakukan dengan spesialis orthopedi untuk penatalaksanaan selanjutnya.

Pendidikan

Dijelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai kondisi penyakitnya, penyebab dan
penatalaksanaan serta prognosisnya.

Rujukan

Saat ini pasien belum perlu dirujuk.

PEMBAHASAN

1. Definisi Trigger Finger


Stenosing tenosynovitis atau disebut juga trigger finger merupakan suatu tipe
tendinitis yang terjadi pada tendon-tendon yang berfungsi untuk fleksi jari-jari tangan.
Kondisi ini ditandai saat salah satu jari tangan terkunci dalam posisi fleksi dan tidak
bisa ekstensi secara aktif. Saat jari digerakkan secara pasif, akan timbul sensasi
clicking atau snapping seperti suara pelatuk (trigger) yang ditarik. Hal tersebut
berhubungan dengan disfungsi dan nyeri yang disebabkan penebalan setempat
pada suatu tendo fleksor, dalam kombinasi dengan adanya penebalan di dalam
selubung tendon pada tempat yang sama. (Akhtar, Bradley, Quinton, & Burke, 2005)
Tendinitis merupakan peradangan pada tendon. Peradangan tersebut bisa
disebabkan oleh beberapa hal, misalnya dikarenakan oleh regangan, olaraga yang
berlebihan, luka, repitisi gerakan, gerakan yang tidak biasa dan tiba-tiba. Sebagian
besar tendinitis terjadi pada usia pertengahan atau usia lanjut, karena tendon
menjadi lebih peka terhadap cedera, elastisitasnya berkurang. Tendinitis juga terjadi
pada usia muda karena olahraga yang berlebihan atau gerakan yang berulang-
ulang. (Makkouk AH, Oetgen ME, Swigart CR, 2008)
Ada beberapa penyakit yang menyebabkan tendinitis, diantaranya adalah
rheumatoid artritis, gout, dan diabetes. Orang dengan penyakit gout ada kristal asam
urat yang nampak pada pembungkus tendon yang menyebabkan gesekan dan
robekan.

2. Anatomi Ibu Jari

Gambar 1. Anatomy Ibu Jari


Gambar 2. Sistem katrol pada jari

3. Patofisiologi Trigger Finger


Tendon adalah jaringan ikat yang menghubungkan otot ke tulang. Setiap otot
memiliki dua tendon, yang masing-masing melekat pada tulang. Pertemuan tulang
bersama dengan otot membentuk sendi. Ketika otot berkontraksi, tendon akan menarik
tulang, sehingga terjadi gerakan sendi. Tendon pada jari-jari melewati ligamen, yang
bertindak sebagai katrol.(Snell, 2006)
Pada trigger finger terjadi ketidakseimbangan diameter antara tendon dan
selubungnya akibat peradangan dan hipertrofi dari selubung tendon yang semakin
membatasi gerak fleksi dari tendon. Selubung ini biasanya membentuk sistem katrol
(pulley) yang terdiri dari serangkaian sistem yang berfungsi untuk memaksimalkan
kekuatan fleksi dari tendon dan efisiensi gerak metakarpal. Tekanan tinggi terbentuk
pada tepi proksimal pulley A1 saat fleksi maksimal dan saat tangan menggenggam
kuat. Tekanan terdistribusi lebih merata pada sisa sistem pulley. Pada beberapa
pasien, hal ini memiliki dampak buruk, menyebabkan perubahan makroskopis dari
pulley A1 dengan hipertrofi dan metaplasia fibrokartilaginosa. Penebalan selubung,
disertai dengan pembentukan nodul pada tendon dapat menyebabkan penyempitan
terowongan yang dilalui tendon. Hal ini akhirnya mengakibatkan keterbatasan gerak.
Nodul mungkin saja dapat membesar pada tendon, yang menyebabkan tendon terjebak
di tepi proksimal pulley.
Otot-otot fleksor cukup kuat untuk mengatasi hambatan dari nodul, namun otot
ekstensor cenderung leih lemah untuk melakukan gerakan melawan tahanan sehingga
jari menjadi terkunci pada posisi fleksi. Ketika upaya lebih kuat dibuat untuk meluruskan
jari, dengan menggunakan kekuatan lebih dari ekstensor jari atau dengan
menggunakan kekuatan eksternal (dengan mengerahkan kekuatan pada jari dengan
tangan lain), jari macet yang terkunci tadi terbuka dengan menimbulkan rasa sakit yang
signifikan pada telapak distal hingga ke dalam aspek proksimal digiti. Hal yang kurang
umum terjadi antara lain nodul tadi bergerak pada distal pulley, mengakibatkan
kesulitan pasien meregangkan jari. (Rasjad C., 2007)
Sebuah nodul dapat meradang dan membatasi tendon dari bagian bawah jalur
yang melewati pulley A1. Jika nodul terdapat pada distal pulley A1, maka jari dapat
macet dalam posisi yang lurus seperti pada kasus pasien di atas. Sebaliknya, jika
benjolan terdapat pada proksimal dari pulley A1, maka jari pasien dapat macet dalam
posisi tertekuk. (Makkouk et al, 2008)
Sebagian besar kasus mengenai bagian pulley A1 dikarenakan gaya yang tinggi
dan gradien penekanan yang terlalu tinggi. Selain itu, area tersebut juga merupakan
tempat ekskursi tendon secara maksimal. Bagian lain tendon dapat terkena adalah
pulley A2, A3, dan aponeurosis palmarum.

Gambar 3. Penebalan tendon (nodul) pada pasien trigger finger

4. Klasifikasi Trigger Finger

Tingkat keparahan trigger finger diklasifikasikan oleh Froimson pada tahun 1999 melalui
penilaian klinis sebagai berikut:

Grade I : Pre-triggering-pain; nyeri tekan di sekitar pulley A1; ada riwayat jari terkunci
(catching) tapi tidak dapat dibuktikan pada pemeriksaan fisik.

Grade II : Triggering, active; jari terkunci dapat dibuktikan dengan pemeriksaan fisik, pasien
dapat ekstensi secara aktif.
Grade III : Triggering, passive; jari yang terkunci atau macet dapat ditunjukkan dan
membutuhkan ekstensi secara pasif atau tidak mampu untuk fleksi secara aktif.

Grade IV : Contracture; jari terkunci dapat ditunjukkan, disertai fleksi terfiksasi kontraktur
sendi PIP. (Froimson AI, 1999)

Pada kasus ini pasien diklasifikasikan ke dalam grade II dikarenakan pada saat
pemeriksaan fisik, jari yang terkunci dapat dibuktikan dengan adanya clicking sound. Pasien
masih dapat memfleksikan jari secara aktif.

5. Epidemiologi Trigger Finger

Trigger finger adalah penyakit yang paling sering terjadi pada kelompok usia 50 hingga
60 tahun. Insiden penyakit ini diperkirakan mencapai 28 kasus per 100.000 orang dalam
populasi setiap tahunnya. Perempuan enam kali lebih sering terkena dibandingkan dengan
laki-laki, meskipun alasan predileksi usia dan jenis kelamin ini tidak sepenuhnya jelas. Risiko
terkena trigger finger adalah 2 dan 3% pada orang yang memiliki faktor risiko pemicu, tetapi
meningkat menjadi 10% pada penderita diabetes. Insidensi pada penderita diabetes terkait
dengan waktu penyakit sebenarnya dan tidak berhubungan dengan diabetes yang
terkontrol. Resiko lebih tinggi juga dapat dialami pada pasien dengan Carpal Tunnel
Syndrome, de Quervain disease, hipotiroidisme, rheumatoid arthritis, gout arthritis, dan
amyloidosis. Jari yang paling banyak mengalami trigger finger adalah jari ke-4, diikuti oleh
jari ke-1 (ibu jari), dan jari ke-3. Pada kebanyakan kasus hanya melibatkan satu jari, namun
keterlibatan beberapa jari dilaporkan pada sejumlah pasien. Selain itu, sisi tangan kanan
lebih banyak mengalami trigger finger dibanding tangan kiri. (Moore JS, 2000)

6. Faktor Risiko Trigger Finger


Beberapa faktor dipertimbangkan menjadi penyebab trigger finger, termasuk
diantaranya gerakan repetisi pada jari, gaya kompresi pada pulley A1, dan trauma lokal
berulang-ulang. Pekerjaan dapat menjadi faktor predisposisi. Namun, literatur yang
tersedia hanya mendukung sebagian dari pandangan tersebut. (Akhtar, 2005)
Penelitian Bonnici dan Spencer melaporkan 14 dari 36 pasiennya memiliki
pekerjaan yang melibatkan gerakan repetisi (berulang-ulang), Fahey dan Bollinger
mengamati bahwa trigger finger sering muncul pada pekerja yang melakukan tugas-tugas
tidak biasa di tempat kerjanya. Namun, penelitian Anderson dan Kaye ataupun Trazies et
al tidak menemukan korelasi antara insidensi trigger finger dan tempat ker ja.
Sebuah studi case-control oleh De la Parra-Marquez menunjukkan trigger finger
lebih sering terjadi pada wanita dengan usia >53 tahun. Penyakit ini mungkin
berhubungan dengan diabetes, obesitas (indeks massa tubuh) dan beberapa pekerjaan
seperti sekretaris, tukang jahit dan ibu rumah tangga.

7. Diagnosis Trigger Finger


Secara umum penegakan diagnosis pada Trigger Finger cukup dengan pemeriksaan
fisik saja, tidak ada tes laboratorium yang diperlukan. Jika ada kecurigaan tentang kondisi
tertentu, adanya diagnosis lain yang mungkin terkait seperti diabetes, rheumatoid arthritis,
atau penyakit lain pada jaringan ikat, maka perlu dilakukan beberapa pemeriksaan
penunjang antara lain; hemoglobin glikosilasi (HgbA1c), gula darah puasa, atau faktor
rheumatoid. Secara umum, tidak ada pencitraan yang diperlukan dalam kasus ini. Tidak ada
tes lebih lanjut yang biasanya diperlukan.

A. Pemeriksaan Fisik

ROM ( Range of Motion) adalah jumlah maksimum gerakan yang mungkin


dilakukan sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh, yaitu sagital, transversal,
dan frontal. Potongan sagital adalah garis yang melewati tubuh dari depan ke
belakang, membagi tubuh menjadi bagian kiri dan kanan. Potongan frontal melewati
tubuh dari sisi ke sisi dan membagi tubuh menjadi bagian depan ke belakang.
Potongan transversal adalah garis horizontal yang membagi tubuh menjadi bagian
atas dan bawah.(Ryzewicz, 2006)

Gambar 4. ROM normal ibu jari

Pada pasien dengan ROM fleksi-ekstensi jari yang terbatas dengan atau
tidak disertai nyeri dapat membantu menegakkan diagnosis trigger finger. Penebalan
pulley dan terbentuknya nodul pada tendon akan menyebabkan terhambatnya
gerakan fleksi-ekstensi. Pada derajat yang lebih berat, kontraktur dapat terjadi
sehingga ROM menjadi negatif. Berkaitan dengan hasil pemeriksaan pasien ini,
didapatkan ROM fleksi proksimal ibu jari tangan kiri terbatas tanpa disertai rasa
nyeri. Nyeri timbul ketika ibu jari dipaksa untuk fleksi penuh dan muncul bunyi klik.

Berikut ini beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk mengeliminasi


diferensial diagnosis penyakit lain yang memiliki presentasi mirip dengan trigger
finger.

1. Finkelstein Test

Test dilakukan untuk mendeteksi adanya de Quervain atau Hoffman disease


atau dikenal juga dengan nama styloiditis radial. Pada kondisi ini terjadi peradangan
pada tendo EPB dan APL yang berada dalam satu selubung tendon. Pemeriksaan
dilakukan dengan cara pasien mengepalkan tangan, ibu jari pada bagian dalam.
Pemeriksa menggerakkan pergelangan tangan pasien adduksi ke arah ulnar
(Abduksi Ulnar). Positif jika timbul nyeri yang hebat pada kedua tendo otot
tersebut tepatnya pada procesus styloideus radial. Yang memberikan indikasi
adanya tenosynovitis pada ibu jari.

Gambar 5. Finkelstein Test

2. Phalen Test

Apabila terdapat penyempitan pada terowongan carpal di pergelangan


tangan bagian volar yang dilewati cabang nervus medianus, maka fleksi atau
hiperekstensi pada sendi pergelangan tangan akan menimbulkan rasa nyeri atau
paresthesia di area nervus medianus. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara
palmar fleksi kedua pergelangan, lalu kedua dorsum manus satu dengan lainnya
saling ditekan sekuat-kuatnya. Tangan yang merasakan nyeri atau kesemutan
memberi indikasi bahwa terowongan karpal tangan tersebut mengalami
penyempitan. Selain cara tersebut diatas tes phalen dapat pula dilakukan dengan
cara pergelangan tangan dipertahankan selama kira-kira setengah menit dalam
posisi palmar fleksi penuh, Jika posisi ini dipertahankan cukup lama, pada setiap
orang akan timbuk rasa kesemutan, akan tetapi pada sindrom terowongan carpal
rasa kesemutan akan timbul dalam waktu yang sangat singkat, dalam waktu 30
detik, terkadang parestesia baru timbul saat pergelangan tangan digerakkan
kembali dari posisi palmar fleksi maksimal.

3. Tinnel Test

Tes ini dilkukan dengan cara melakukan pengetokan/penekanan pada


ligamentum volare pergelangan tangan atau pada n. medianus akan menimbulkan
nyeri kejut didalam tangan serta arestesia dikawasan n. medianus apabila
terowongan karpal menyempit seperti halnya dengan sindrom carpal tunnel ,
meskipun didalam praktek tes ini tidak selalu positif.

4. Tes Elastisitas (Gangguan pengkerutan kulit)

Rendam area yang mengalami sensasi dengan air suam-suam kuku selama
30 menit lalu keluarkan dari dalam air, selanjutnya lipat kulitnya, jika kulit tidak dapat
dilipat indikasi gangguan pengkerutan.

5. Circle Formation

Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeriksa fungsi n. medianus. Caranya


posisi ibu jari kejari telunjuk sehingga membentuk huruf O, jika tidak dapat
dilakukan gerakan tersebut indikasi kelemahan pada otot Interossei anterior, FDP
dan FPL.

6. Froments Sign

Dalam hal ini pasien mencoba untuk memegang selembar kertas diantara ibu jari
dan jari telunjuk, ketika pemeriksa mencoba untuk menarik kertas tersebut keluar
phalangs terminal ibu jari fleksi, hal ini disebabkan karena paralysis dari otot
adductor pollicis yang memberi indikasi tes positif. Tes ini memberi indikasi paralysis
nervus ulnaris.

7. Allen Test

Pasien diminta untuk membuka dan menutup tangan beberapa kali secepat
mungkin. Ibu jari dan jari tangan pemeriksa diletakkan diatas arteri radial dan arteri
ulnar, selanjutnya pasien diminta untuk membuka tangan sementara penekanan
diatas arteri tetap dilakukan. Satu arteri yang ditest dibebaskan untuk melihat aliran
darahnya. Demikian pula dengam aretri lainnya. Kedua tangan diperiksa dan
bandingkan . test ini untuk mengetahuti paten dari arteri radial dan arteri ulnaris dan
untuk mengetahui pembuluh darah arteri yang banyak mensuplai tangan.

B. Pemeriksaan Penunjang
HgbA1c
GDA
Rheumatoid faktor
X-ray manus sinistra.
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan x-ray untuk menyingkirkan penyebab
kelainan yang lain seperti fraktur, atau dislokasi. Hal ini dikarenakan melihat adanya riwayat
trauma pada area yg mengalami trigger finger. Pemeriksaan darah lengkap, gula darah,
kolesterol, dan asam urat dilakukan untuk persiapan sebelum operasi sekaligus skrinning
adanya penyakit penyerta lainnya. Pemeriksaan gula darah acak, kolesterol dan asam urat
saat sebelum operasi dalam batas normal. Pasien juga tidak memiliki riwayat penyakit atau
keluhan lain.
Pada tanggal 3 Oktober 2017 saat kontrol ke-3 dilakukan pemeriksaan profil lipid
terhadap pasien. Hasilnya, trigliserida berada pada angka di atas normal yaitu 278 mg/dl.
Pasien dikonsulkan ke bagian penyakit dalam untuk mendapatkan terapi yang sesuai.
Sejauh ini, belum didapatkan adanya hubungan antara meningkatnya kadar trigliserida
dalam darah dengan insidensi trigger finger.

8. Tata Laksana Trigger Finger


Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengobati trigger finger. Pada studi
HANDGUIDE, konsensus menyusun beberapa pilihan berbeda yang sesuai untuk tingkat
keparahan yang berbeda. PIlihan terapi diantaranya, orthosis, terapi fisik, pengobatan
NSAID, injeksi kortikosteroid, dan operasi.
A. Terapi Non-Pembedahan
1. Pengobatan NSAID
Pemberian obat-obat anti-inflamasi non steroid seperti aspirin, ibuprofen, naprosyn,
atau ketoprofen dapat menjadi pilihan terapi. Terutama pada derajat awal penyakit dengan
onset akut. Pengobatan ini dapat memberikan hasil lebih baik jika dikombinasikan dengan
fisioterapi atau splinting.

2. Injeksi Korstikosteroid
Injeksi kortikosteroid ke dalam selubung tendon flexor adalah terapi umum untuk
trigger finger idiopati. Howard et al menyatakan injeksi kortikosteroid ke dalam selubung
tendon sebagai salah satu metode terapi pada tahun 1953. Berlawanan dengan terapi non-
pembedahan lainnya seperti splinting dan obat-obat NSAID, yang hanya bekerja sebagai
paliatif, terdapat bukti bahwa injeksi kortikosteroid dapat memodifikasi perjalanan penyakit.

Tingkat kesuksesan terapi ini bervariasi antar penelitian. Namun seluruh studi
menunjukkan hasil yang memuaskan pada proporsi besar dari semua pasien setelah injeksi
pertama. Beberapa peneliti menetapkan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil akhir yang
bervariasi. Hasil akhir tidak memuaskan tampak pada pasien dengan penyakit sistemik
sebagai penyerta, seperti diabetes mellitus dan rheumatoid arthritis, dan mereka dengan
keterlibatan lebih dari satu jari. Hal ini diyakini karena ketidakmampuan steroid untuk
membalikkan perubahan metaplasia chondroid yang terjadi pada pulley A1.

Sebuah studi mendemonstrasikan satu atau lebih injeksi kortikosteroid dapat


mengatasi trigger finger secara definitif pada hampir 50% pasien. Studi lain menunjukkan
kesuksesan injeksi steroid dalam rentang 61%-84% untuk pasien dengan onset baru setelah
satu atau tiga kali penyuntikan. (Wojahn, Foeger, Gelberman, & Calfee, 2014)

Gambar 6. Teknik injeksi kortikosteroid dengan marker

Steroid telah diketahui sebagai obat anti-inflamasi dan menghilangkan nyeri


sementara atau jangka panjang sebagai terapi trigger finger. Akan tetapi, studi sebelumnya
menunjukkan peningkatan level glukosa darah secara transien pada pasien dengan
Diabetes. Sangat penting untuk mempertimbangkan kerugian dan keuntungan ketika
memberikan injeksi steroid.

Tindakan Ini disarankan sebelum intervensi bedah karena sangat efektif (hingga
93%), terutama pada pasien non-diabetes dengan onset baru-baru ini terkena gejala dan
satu digit dengan nodul teraba. Injeksi diberikan secara langsung ke dalam selubung
tendon. Jika gejala tidak hilang setelah injeksi pertama, atau muncul kembali setelah itu,
suntikan kedua biasanya lebih mungkin untuk berhasil sebagai tindakan awal. Komplikasi
utama dari metode ini adalah nyeri sementara pada area injeksi. Komplikasi lain sangat
jarang terjadi,termasuk di antaranya atrofi dermal dan subkutan, hipopigmentasi kulit, infeksi
selubung tendon (pulley), dan pada satu kasus jarang, ruptur tendon. Pasien dengan
diabetes harus mencermati peningkatan glukosa darah hingga 1 minggu setelah injeksi.

Tabel 2. Jenis injeksi kortikosteroid yang biasa diberikan untuk pasien trigger finger
(Marianne F. Mol, 2013)

3. Splinting
Tujuan splinting adalah untuk mencegah gesekan yang disebabkan oleh pergerakan
tendon fleksor melalui pulley A1 hingga radang menghilang. Secara umum splinting
merupakan pilihan pengobatan yang tepat pada pasien yang menolak atau ingin
menghindari injeksi kortikosteroid. Sebuah studi pekerja manual dengan interfalangealis
distal (DIP) dilakukan splinting dalam ekstensi penuh selama 6 minggu menunjukkan
pengurangan gejala pada lebih dari 50% pasien.

Studi lain menunjukkan, splint sendi MCP 15 derajat fleksi (meninggalkan sendi PIP
dan DIP bebas) memberikan resolusi gejala pada 65% pasien setelah satu tahun.
Percobaan klinis terbaru yang membandingkan efektifitas desain 2 splint dalam terapi trigger
finger, menyatakan hasil positif pada 50%-77% pasien bergantung pada tipe splinting. Untuk
pasien yang paling terganggu oleh gejala jari terkunci pada pagi hari, splinting sendi PIP
pada malam hari dapat menjadi efektif. splinting menunjukkan tingkat keberhasilan yang
lebih rendah pada pasien dengan gejala trigger finger grade III-IV atau telah berlangsung
lama.
Gambar 7. Teknik Splint

4. Fisioterapi
Fisioterapi membantu menghilangkan masalah-masalah bengkak, nyeri, dan
kekakuan gerak pada bagian-bagian tangan yang lain yang tidak bisa dihilangkan
dengan tindakan operasi.

Pembahasan di atas menunjukkan beberapa manajemen non-pembedahan


sebagai terapi alternatif dalam mengatasi masalah trigger finger. Pada pasien ini, tidak
dilakukan tatalaksana non-operasi terlebih dahulu tapi langsung direncanakan untuk
operasi. Hal ini berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas terapi non-pembedahan
dibandingkan terapi pembedahan. Berdasarkan tinjauan sistematis, injeksi
kortikosteroid hanya efektif pada 57% pasien. Teknik tersebut juga masih memberi
kemungkinan rekurensi hingga 29%. Sejumlah besar pasien yang diberikan
tatalaksana konservatif seperti injeksi atau imobilisasi, pada akhirnya memerlukan
terapi pembedahan.

B. Terapi Pembedahan
Teknik pembedahan konvensional merupakan gold standard untuk terapi trigger
finger. Tindakan ini dinilai lebih efisien dibanding dengan injeksi kortikosteroid
berdasarkan tingkat kesembuhan dan rekurensi penyakit. Indikasi untuk perawatan
bedah umumnya karena kegagalan perawatan konservatif untuk mengatasi rasa sakit
dan gejala.(Nikolaou, Malahias, Kaseta, Sourlas, & Babis, 2017)
Tindakan pembedahan ini pertama kali diperkenalkan oleh Lorthioir pada tahun
1958. Fungsi operasi biasanya bertujuan melonggarkan jalan bagi tendon yaitu dengan
cara membuka selubungnya. Dalam penyembuhannya, kedua ujung selubung yang
digunting akan menyatu lagi, tetapi akan memberikan ruang yang lebih longgar, sehingga
tendon akan bisa bebas keluar masuk. Ada dua teknik pembebasan pulley A1, yaitu
teknik open release dan teknik percutaneous needle release.

1. Teknik Open Release


Berikut ini dijabarkan teknik operasi menurut studi Wilhelmi et al. Tanda
diberikan untuk menentukan lokasi pulley A1 dan menghindari trauma
iatrogenik terhadap struktur neurovaskular. Anestesi lokal disuntikkan ke
dalam jaringan subkutan pada area kulit yang telah diberi tanda. Insisi kulit
dibuat pada lokasi pulley A1. Struktur neurovaskular dilindungi dengan
retractor. Pulley A1 dipotong secara longitudinal. Pasien kemudian diminta
melakukan fleksi dan ekstensi secara aktif pada jari yang terkena untuk
menguji gejala trigger finger yang masih tersisa. Kulit lalu ditutup dengan
jahitan benang nilon 5.0.

Gambar 8. Ilustrasi teknik open surgery


Gambar 9. Teknik Open surgery

Prosedur operasi ini merupakan gold standard terapi trigger finger.


Tidak seperti teknik perkutan, pembedahan ini memiliki lapang pandang yang
cukup sehingga dapat menghindari komplikasi seperti trauma tendon dan
struktur neurovaskular di sekitarnya. Prosedur ini juga lebih sederhana
sehingga dapat dilakukan oleh dokter muda atau dokter keluarga yang tidak
familiar dengan teknik pembedahan perkutan. Beberapa komplikasi yang
dapat terjadi diantaranya infeksi pada luka operasi, kekakuan atau nyeri,
bekas luka (scar), kerusakan syaraf, tendon bowstringing (tendon berada
pada posisi yang salah), dan complex regional pain syndrome (CRPS) yang
menyebabkan nyeri dan pembengkakan pada tangan setelah operasi namun
akan sembuh dengan sendirinya setelah beberapa bulan.

2. Teknik Percutaneous Needle Release


Prosedur operasi yang digunakan dalam perkutaneus needle release
dijelaskan oleh Pope dan Wolfe dan Slesarenko et al. Pada lokasi pulley A1,
ujung jarum gauge 18 dimasukkan melalui pulley A1 dan ke dalam tendon
fleksor. Posisi ujung jarum diperiksa dengan mengamati ayunan paradoksikal
dari jarum pada jari yang fleksi secara pasif. Jarum kemudian perlahan
dilepas hingga ayunan paradoksikal tidak tampak lagi. Bevel jarum
dirotasikan sepanjang axis longitudinal tendon fleksor, pulley terbagi secara
longitudinal dengan gerakan mengayun dari ujung jarum terhadap pulley A1,
ditandai dengan sensasi gritting. Pembebasan komplit dikonfirmasi dengan
hilangnya suara gritting dan kemampuan jari mencapai full ROM secara aktif.
Teknik ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan teknik
operasi konvensional. Secara umum, teknik operasi perkutan kurang tidak
terlalu invasif. Penggunaan jarum sebagai pengganti pisau bedah
memberikan hasil akhir kosmetik yang lebih baik, efisiensi waktu operasi,
serta mengurangi pembentukan scar dan nyeri pada luka operasi. Teknik
pembebasan secara perkutan juga menurunkan risiko infeksi luka operasi
dan mempercepat pulihnya gerak jari sehingga pasien bisa segera kembali
beraktivitas normal.
Adapun kekurangan teknik tersebut diantaranya pembebasan pulley
yang tidak sempurna mengakibatkan kembalinya gejala. Juga kemungkinan
melukai struktur neurovaskular ataupun tendon dikarenakan keterbatasan
lapang pandang. Beberapa studi menunjukkan bahwa teknik ini lebih unggul
dalam mengatasi masalah untuk jangka pendek, namun untuk jangka
panjang tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Bahkan tingkat rekurensi
cenderung sedikit lebih besar akibat dari pemisahan pulley yang tidak
sempurna. Dibutuhkan dokter yang terampil untuk menguasai teknik ini
sehingga meminimalisir komplikasi yang mungkin terjadi.

Gambar 10. Ilustrasi teknik perkutan pada A-1 pulley

Gambar 11. Teknik operasi perkutan


Bebat kompresi lalu diaplikasikan pada situs luka dan rehabilitasi
pergerakan jari segera post operasi dianjurkan pada kedua teknik
pembedahan. Pada pasien rheumatoid arthritis, kedua operasi ini tidak
direkomendasikan karena dapat menyebabkan jari bergeser ke samping.
Prosedur lain dengan sebutan tenosynovectomy dapat dilakukan sebagai
alternatif. Terapi tersebut melibatkan pengangkatan bagian selubung tendon
untuk membebaskan pergerakan tendon. (Lin et al., 2016)
Pada pasien ini dilakukan terapi pembedahan dengan teknik open surgery. Hal ini
mengacu pada risiko dan komplikasi operasi yang lebih kecil jika dibandingkan dengan
teknik perkutan. Teknik tersebut juga dinilai lebih sederhana dan lapang pandang yang
cukup menghindarkan penderita dari pembebasan pulley yang tidak sempurna.
9. Prognosis Trigger Finger
Prognosis pada trigger finger sangat baik, kebanyakan pasien merespon terhadap
injeksi kortikosteroid dengan atau tanpa bebat terkait. Beberapa kasus trigger finger
mungkin dapat sembuh secara spontan dan kemudian terulang kembali tanpa korelasi yang
jelas dengan pengobatan atau faktor yang memperburuk.

Setelah terapi pembedahan, pasien dapat langsung menggerakkan jarinya. Perban


dapat dilepas setelah beberapa hari untuk membuat pergerakan lebih mudah. Gerakan
penuh akan kembali dalam satu atau dua minggu. Segera setelah operasi dengan teknik
open release, telapak tangan pasien akan merasa sakit, namun segala rasa tidak nyaman
akan hilang dalam 2 minggu.(Trigger Finger - Treatment, 2015)

Penderita dapat melakukan aktivitas kembali seperti menyetir setelah 3-5 hari.
Menulis dan menggunakan computer dapat dilakukan secepatnya. Olahraga dapat
dilakukan setelah 2-3 minggu saat luka telah mengering dan tangan dapat menggenggam
kembali. Pasien dapat kembali bekerja bergantung pada jenis pekerjaannya. Jika
pekerjaannya melibatkan pekerjaan tangan, dibutuhkan waktu istirahat hingga 4 minggu.

9.1 Komplikasi
Komplikasi potensial utama trigger finger adalah nyeri dan penurunan kerja fungsional
dari tangan yang terkena. Pada trigger finger yang tidak teratasi atau mencapai tingkat
keparahan klasifikasi IV, jari akan mengalami kontraktur dan fleksi secara permanen.
(Ryzewicz & Wolf, 2006)

9.2 Rehabilitasi
Rehabilitasi post operatif pada jari yang terkena trigger finger diperlukan untuk
mencapai ekstensi penuh pada jari. Berbagai macam rehabilitasi dapat dilakukan. Salah
satunya terdiri dari peregangan hiperekstensi secara pasif dari sendi metacarpophalangeal
dan sendi interphalang proksimal selama 30 detik pada satu waktu, dilakukan berulang 30
kali, dan 3 kali dalam sehari. (Liu et al., 2016)

9.3 Kemungkinan berulangnya trigger finger


Berdasarkan analisis Kaplan-Meier, perkiraan tingkat kebebasan dari kembalinya
gejala setelah injeksi kortikosteroid adalah 70% pada enam bulan dan 45% pada dua belas
bulan. Sedangkan perkiraan tingkat kebebasan dari tindakan operasi adalah 95% pada
enam bulan dan 83% pada dua belas bulan. Diabetes mellitus dengan terapi insulin
diindetifikasi sebagai penyebab kuat kembalinya gejala. Usia muda, keterlibatan jari lain
sebelum gejala sekarang muncul, dan sejarah tendinopati lain dari ekstremitas atas,
semuanya adalah faktor independen untuk dilakukannya tindakan pembedahan. Durasi dan
keparahan gejala tidak dapat dijadikan prediksi kegagalan terapi injeksi. (Rozental et al,
2008)
Tingkat rekurensi trigger finger setelah pembedahan adalah kurang dari 5%. Namun,
operasi pembebasan ini tidak mencegah munculnya trigger finger lain pada tangan yang
sama di kemudian hari. (Erickson, 2011)
Saat operasi, pulley A1 diperbesar secara permanen, sehingga rekurensi setelah
operasi sangat jarang terjadi. DIbutuhan trauma baru atau penyebab inflamasi lain dari
selubung tendon untuk menyebabkan kembalinya gejala. Penyebab paling sering
kembalinya gejala setelah operasi adalah selubung tendon tidak dibebaskan secara
sempurna. (Hatch, 2014)
DAFTAR PUSTAKA

Akhtar, S., Bradley, M. J., Quinton, D. N., & Burke, F. D. (2005). Management and referral
for trigger finger/thumb. BMJ (Clinical Research Ed.), 331(7507), 3033.
https://doi.org/10.1136/bmj.331.7507.30
Froimson AI. (1999). Tenosynovitis and Tennis Elbow (4th ed.). Philadelphia: Churchill
Livingstone.
Hatch, J. (2014). TRIGGER FINGER & TRIGGER THUMB - TREATMENT WITH
SURGERY. Retrieved from http://orthodoc.aaos.org/jeremyhatchmd/Hand-Trigger
Finger Release jph 2014-6.pdf
Lin, C. J., Huang, H. K., Wang, S. T., Huang, Y. C., Liu, C. L., & Wang, J. P. (2016). Open
versus percutaneous release for trigger digits: Reversal between short-term and long-
term outcomes. Journal of the Chinese Medical Association, 79(6), 340344.
https://doi.org/10.1016/j.jcma.2016.01.009
Liu, W. C., Lu, C. K., Lin, Y. C., Huang, P. J., Lin, G. T., & Fu, Y. C. (2016). Outcomes of
percutaneous trigger finger release with concurrent steroid injection. Kaohsiung Journal
of Medical Sciences, 32(12), 624629. https://doi.org/10.1016/j.kjms.2016.10.004
Makkouk AH, Oetgen ME, Swigart CR, D. S. (2008). Trigger finger: etiology, evaluation, and
treatment. Curr Rev Musculoskelet Med, 10.007(1): 92-6.
Moore JS. (2000). Flexor tendon entrapment of the digits (trigger finger and trigger thumb). J
Occup Environ Med. May, 42(5):526-45.
Nikolaou, V. S., Malahias, M.-A., Kaseta, M.-K., Sourlas, I., & Babis, G. C. (2017).
Comparative clinical study of ultrasound-guided A1 pulley release vs open surgical
intervention in the treatment of trigger finger. World Journal of Orthopedics, 8(2), 163.
https://doi.org/10.5312/wjo.v8.i2.163
Rasjad C. (2007). Pengantar ilmu bedah ortopedi. Jakarta: PT. Yarsif Watampone.
Ryzewicz, M., & Wolf, J. M. (2006). Trigger Digits: Principles, Management, and
Complications. The Journal of Hand Surgery, 31A, 135146.
https://doi.org/10.1016/j.jhsa.2005.10.013
Snell, R. S. (2006). Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. (H. Hartanto, Ed.) (6th
ed.). Jakarta: EGC.
Trigger Finger - Treatment. (2015). Retrieved September 28, 2017, from
http://www.nhs.uk/Conditions/Trigger-finger/Pages/Theprocedure.aspx
Wojahn, R. D., Foeger, N. C., Gelberman, R. H., & Calfee, R. P. (2014). Long-term
outcomes following a single corticosteroid injection for trigger finger. The Journal of
Bone and Joint Surgery. American Volume, 96(22), 184954.
https://doi.org/10.2106/JBJS.N.00004

Anda mungkin juga menyukai