Etika Hedonisme
Etika Hedonisme
"+"
A. Pendahuluan
Hidup ini singkat, bahkan ketika kita membaca tulisan ini, waktu yang tak pernah mau
bersabar terus saja berjalan. Carpe Diem. Seize the day, bisik professor John Keating kepada
murid-muridnya yang sedang mencoba menafsirkan puisi Herrick, To the virgins, to make much of
time. Carpe diem; bisikan para arwah agar orang tidak terlambat menyadari kesempatan yang dapat
diraih selagi hidup. Kita mungkin masih ingat, itulah adegan awal film Dead Poets Society karya
Thomas Schulman yang dibintangi oleh Robin Williams. Petikan kata tersebut semula dikemukakan
oleh Quintus Horatius Flaccus, penyair Romawi yang lahir tahun 65 SM. Ia menulis sebuah syair puji-
pujian yang ditutup dengan kalimat berbunyi, Carpe diem, quam minimum credula postero. Raihlah
hari ini, jangan terlalu percaya pada esok. Carpe diem menjadi slogan yang gampang diingat untuk
pandangan hidup yang mengagungkan jangka pendek, sekaligus merengkuh kesenangan sebanyak-
banyaknya.[1]
Kita tentu saja bisa menafsirkan ungkapan itu menurut dua makna yang
berlawanan. Pertama, orang hidup dalam kepunahan eksistensinya sebagai manusia selagi ada
kesempatan. Artinya ia mengembangkan diri sepenuhnya, dan merasa tidak cukup jika hanya
mencapai yang minimal. Kedua, orang mencari kesenangan sebanyak-banyaknya selagi bisa. Jika
pengertian yang kedua ini kita hamparkan di atas permadani modernitas, maka carpe diem ini ibarat
untuk masuk ke gerbang gaya-hidup, life style sebagai dampak dari sikap hedonisme. Bagi para
hedonis, yang sungguh baik bagi manusia adalah yang memberi kesenangan. Bukankah sudah sejak
kecil manusia selalu merasa tertarik terhadap kesenangan? Bila kesenangan sudah tercapai, ia tidak
akan mencari sesuatu yang lain lagi.
Prolog di atas menggambarkan pengaruh hedonisme yang begitu luas dalam kehidupan
manusia dari abad ke abad selalu kita temukan kembali. Banyak orang yang belum pernah dengan
sadar merumuskan filsafat hidup untuk diri mereka sendiri, hidup mengikuti prinsip aliran ini. Bagi
aliran ini kesenangan (kenikmatan) adalah tujuan akhir hidup dan yang baik yang tertinggi. [2]
Masalahnya adalah, bagaimana hedonisme menjadi teori etika dan bagaimana kemunculan
paham tersebut? Inilah yang dibahas dalam makalah ini. Ada beberapa sub pembahasan, yaitu 1)
pengertian etika hedonisme, 2) sejarah dan tokoh etika hedonisme, 3) karekteristik etika hedonisme,
4) analisis terhadap etika hedonisme.
Sikap etis bagi Bentham adalah kemampuan menghitung dengan cermat rasa senang dan
rasa sakit, sebagai hasil perbuatan untuk kemudian sebanyak mungkin rasa sakit menuju sebanyak-
banyaknya rasa senang. Bahkan Bentham menawarkan konsep hedonistic calculusatau rumus
menghitung rasa senang dan sakit. Ukurannya meliputi tujuh unsure: 1) Intensity, kuat atau
lemahnya rasa sakit dan senang, 2) Duration, panjang atau pendeknya waktu berlakunya rasa sakit
atau senang, 3) Certainty, kepastian akan timbulnya rasa tersebut, 4) Propincuity, dekat atau jauhnya
waktu terjadinya perasaan sakit dan senang, 5) Facundity, kemungkinan rasa sakit dan senang diikuti
oleh perasaan yang sama, 6) Purity, kemurnian dalam arti tidak tercampurnya dengan perasaan yang
berlawanan, 7) Extent, jumlah orang yang terkena perasaan itu. Enam unsur pertama tentang
perbuatan yang menimbulkan rasa senang individual.[19] Unsur ketujuh menjadikan etik individual
menjadi etik sosial. Bentham, dengan hedonistic calculus-nya, memberikan dasar matematis pada
bidang etika yang dapat memberikan arah bagi perbuatan manusia.
Bentham selanjutnya melahirkan etika utilitarianisme sebagai pengembangan dari
hedonisme. Ia merumuskan prinsip utilitarianisme sebagai kebahagiaan yang sebesar mungkin bagi
jumlah yang sebesar mungkin (the greatest happiness for the greatest number). Apa yang dimaksud
dengan kebahagiaan? Menurutnya, kehidupan manusia ditentukan oleh dua tetapan dasar: nikmat
(pleasure) dan perasaan sakit (pain). Karena itu, tujuan moral tindakan manusia adalah
memaksimalkan perasaan nikmat dan meminimalkan perasaan sakit. [20] Ia mengatakan bahwa
kesenangan dan kesedihan seseorang bergantung kepada kebahagiaan dan kemakmuran pada
umumnya dari seluruh masyarakat. Kebaikan moral suatu perbuatan ditentukan oleh kegunaannya
atau kemanfaatannya dalam memajukan kesejahteraan bersama dari banyak orang. Tujuan dari
hidup adalah kebahagiaan yang paling besar bagi jumlah banyak orang.
Aliran utilitarianisme mencapai perkembangan sepenuhnya dalam diri John Stuart Mill (1809-
1873), namun masih dalam pengaruh hedonisme Bentham. Beberapa tuduhan yang ditolak Mill,
antara lain bahwa utilitarianisme memandang kesenangan jasmani sebagai tujuan hidup manusia dan
etika yang egois. Ia menegaskan bahwa yang dituntut oleh utilitarianisme bukan mengusahakan
kebahagiaannya sendiri, melainkan agar manusia mengusahakan kebahagiaan sebesar-besarnya
dari semua orang yang terkena dampak tindakannya.
Meskipun etika utilitarianisme Mill bersifat hedonisticdi mana nikmat diakui sebagai nilai
akhir, ia mempertahankan dan membenarkan kemungkinan untuk bertindak bukan egois, bahkan
untuk berkorban demi orang lain. Mill menyadari bahwa dua hal itu tidak mudah dipertahankan
bersama. Mill menjelaskan kemungkinan yang tampaknya kontradiktif itu dengan bantuan teori
Asosiasi Psikologis. Teori itu sendiri berdasarkan pengandaian bahwa manusia secara kodrati
bersifat social. Ia merasa nikmat jika orang lain nikmat.[21]
F. Penutup
Etika hedonisme adalah sebuah doktrin yang berpegang pada anggapan bahwasanya
kebiasaan manusia itu dimotivasi oleh hasrat akan kesenangan atau kenikmatan dan menghindar
dari penderitaan. Hedonisme mau mencapai kebahagiaan dengan cara mencari nikmat sebanyak-
banyaknya.
Hedonisme pertama kali dimunculkan oleh Aristippos yang lebih menekankan pada
kenikmatan jasmani, kemudian diperluas kembali oleh Epikuros. Menurut Epikuros kenikmatan tidak
saja pada kenikmatan jasmani. Baginya kesenangan tetap menjadi sumber norma. Tetapi tidak
sekedar meliputi kesenangan jasmaniah semata-mata. Senang bagi Epikuros bermakna tidak adanya
rasa sakit dalam badan dan tidak adanya kesulitan kejiwaan. Pandangan mereka dilanjutkan kembali
oleh Jeremy Bentham kemudian melahirkan etika baru yaitu, utilitarianisme.
Karekteristik hedonisme lebih bersifat individualis, yang dicari adalah kebahagiaan pribadi.
Karena coraknya yang privatistik cenderung hedonisme muncul dalam beragam bentuk,
ada hedonisme etis dan hedonisme psikologis.
Demikian makalah ini saya susun, semoga bermanfaat. Adapun masukan dan kritikan dari
kawan-kawan dan Bapak Dosen merupakan perbaikan bagi makalah ini agar dapat disempurnakan
kembali. Terima kasih atas segala respon dan perhatian kawan-kawan semua.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Filsafat Etika Islam: Antara Al-Ghazali dan Kant, Bandung: Mizan, 2002
Audi, Robert, The Cambridge Dictionary of Philosophy, New York: Cambridge University Press, 1999
Aristoteles, Nichomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika, terj. Embun Kenyowati, Jakarta: Teraju Mizan,
2004
Kropotkin, Prince, Ethics Origin and Development, London: George G. Harrap & Co. LTD,
tt.
Poespoprodjo, Wasito, Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung:
Remadja Karya, 1988
Supelli, Karlina, Instanisasi dan Hedonisme dalam Pesona, Edisi November 2003
Suseno, Franz Magnis, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta:
Kanisius, 1997
______, 13 Tokoh Etika sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius,
1997
Vos, H. De, Pengantar Etika, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
Zubair, Ahmad Charris, Tinjauan Moral dan Kultural terhadap Hedonisme di Kalangan Generasi Muda,
Jakarta: Teraju Mizan, 2005
[1] Karlina Supelli, Instanisasi dan Hedonisme dalam Pesona, Edisi November 2003, hlm.
30
[2] Wasito Poespoprodjo, Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, (Bandung:
Remadja Karya, 1988), hlm. 45
[3] Franz Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta:
Kanisius, 1997), hlm. 113
[4] Robert Audi, The Cambridge Dictionary of Philosophy, (New York: Cambridge University
Press, 1999), hlm. 364-365
[5] H. De Vos, Pengantar Etika, terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002),
hlm. 161
[6] K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 236
[7] H. De Vos, Pengantar, op.cit, hlm 164-165
[8] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1976), hlm. 16
[9] Audi, The Cambridge , op.cit, hlm. 373
[10] K. Bertens, Ringkasan, op.cit, hlm. 17
[11] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm 54
[12] Prince Kropotkin, Ethics Origin and Development, (London: Goerge G. Harrap & Co. LTD,),
hlm. 103
[13] Suseno, Etika, o. cit, hlm. 113
[14] Aristoteles, Nichomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika, terj. Embun Kenyowati, (Jakarta:
Teraju, 2004), hal. viii
[15] Hadiwidjaya, Sari, op.cit, hlm. 55
[16] Poespoprodjo, Filsafat, op.cit, hlm. 46
[17] Frans Magnes Suseno, 13 Tokoh Etika sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19,
(Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 50
[18] Kropotkin, Ethics.., op.cit, hlm 104
[19] Ahmad Charris Zubair, Tinjuan Moral dan Kultural terhadap Hedonisme di Kalangan
Generasi Muda, (Jakarta: Teraju Mizan, 2005), hlm. 45
[20] Suseno, 13 Tokoh, op.cit, hlm. 180
[21] Suseno, 13 Tokoh, op.cit, hlm. 183
[22] A.R.C. Duncan, Moral Philosophy, (Canada: CBC Publications, 1970), hlm. 11
[23] Richard B. Brand, Hedonism, in Paul Edward (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, II,
Canada: Macmillan Publishing, 1967, hlm. 442
[24] Ibid, hlm. 442
[25] M. Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam: Antara Al-Ghazali dan Kant, (Bandung: Mizan, 2002),
hlm. 16
[26] Suseno, Etika, op.cit, hlm. 123-125
[27] Suseno, 13 Tokoh , op.cit, hlm. 50
[28] Suseno, Etika , op.cit, hlm. 114-115
[29] A.R.C. Duncan, Moral, op cit, hlm. 12
[30] Prince Kropotkin, Ethics, op cit, hlm. 104
[31] Poedjawiyatna, Etika: Filsafat Tingkah Laku, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 44