Anda di halaman 1dari 20

FISIKA

BANGUNAN 55

MODUL AJAR 5
PENCAHAYAAN RUANG/ILLUMINATION

Tujuan Pembelajaran
1. Dapat memahami fenomena fisika dari cahaya, khususnya cahaya terlihat.
2. Dapat terminologi dan definisi terkait sistem pencahayaan bangunan
3. Dapat memahami kinerja mata dan mekanisme penglihatan

Substansi
1. Dasar-dasar Pencahayaan/ Fotometri
2. Teknik Pengukuran Fotometri
3. Indera Mata dan Fungsi Penglihatan
4. Dasar-dasar Warna

Waktu
Pertemuan Minggu ke-5
3 sks (3 x 50 menit)

SENTAGI SESOTYA UTAMI, ST., M.Sc., Ph.D


Program Studi Teknik Fisika UGM
56 FISIKA BANGUNAN

5 PENCAHAYAAN RUANG/ILLUMINATION
5.1 Subpokok bahasan 1 : Dasar-dasar pencahayaan
5.1.1 Cahaya sebagai Energi
Cahaya adalah energi berbentuk gelombang elektromagnetik. Karena merupakan radiasi
elektromagnetik, maka dari itu cahaya tidak memerlukan medium untuk merambat. Cahaya
terlihat adalah cahaya dengan panjang gelombang dari 380nm (violet) - 770nm (merah).

Gambar 5.1 Spektrum cahaya tampak


Selain itu, cahaya adalah partikel yang disebut foton. Kedua definisi tersebut merupakan
sifat yang ditunjukkan cahaya secara bersamaan sehingga disebut dualisme gelombang-
partikel. Cahaya yang disebut spektrum, kemudian dipersepsikan secara visual oleh indera
penglihatan sebagai warna.
Sifat cahaya sangat ditentukan oleh sifat sumbernya, oleh karena itu penting untuk
mengetahui berbagai macam sumber pencahayaan [9]. Ada banyak sumber cahaya yang ada di
alam ini. Setiap benda yang memancarkan cahaya disebut sumber cahaya dan setiap benda yang
tidak dapat memancarkan disebut benda gelap. Cahaya dipancarkan dari suatu benda dengan
fenomena berikut:

a. Pijar

SENTAGI SESOTYA UTAMI, ST., M.Sc., Ph.D


Program Studi Teknik Fisika UGM
FISIKA BANGUNAN 57

Benda padat dan cair memancarkan radiasi yang dapat dilihat jika dipanaskan
sampai suhu 1000K. Intensitas meningkat dan penampakan menjadi semakin putih
bila suhu naik.
b. Muatan listrik
Jika arus listrik dilewatkan melalui gas maka atom dan molekul memancarkan
radiasi dimana spektrumnya merupakan karakteristik dari elemen yang ada.
c. Electro luminescence
Cahaya dihasilkan jika arus listrik dilewatkan melalui padatan tertentu seperti
semikonduktor atau bahan yang mengandung fosfor.
d. Photoluminescence
Radiasi pada salah satu panjang gelombang yang diserap, biasanya oleh suatu
padatan, dan dipancarkan kembali pada berbagai panjang gelombang. Bila radiasi
yang dipancarkan kembali merupakan fenomena yang dapat dilihat, maka radiasi
tersebut disebut flourescence atau phosphoresence.

Cahaya tampak, seperti yang terlihat pada spektrum elektromagnetik (lihat Gambar 3.1)
memiliki panjang gelombang yang sempit diantara cahaya Ultra Violet (UV) dan infrered
(panas). Gelombang cahaya tersebut mampu merangsang retina mata, yang menghasilkan sensasi
penglihatan yang disebut pandangan. Oleh karena itu, penglihatan memerlukan mata yang
berfungsi dengan baik dan cahaya tampak. Cahaya tampak memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
a. Dapat dilihat oleh mata
b. Merambat dengan lintasan lurus
c. Merambat di ruang hampa (tanpa zat perantara)
d. Mengalami pemantulan, pembiasan, dapat dipadukan (interferensi)
e. Memiliki energi
Dari sifat tersebut, sistem pencahayaan di dalam ruang dapat didesain dengan
menyesuaikan sifat yang dimiliki oleh cahaya.

5.1.2 Terminologi dan Definisi


Pencahayaan, atau iluminansi, adalah kepadatan dari suatu berkas cahaya yang mengenai
suatu permukaan (Patty, et.al.,1967) [10]. Pencahayaan dapat dibedakan menjadi dua jenis

SENTAGI SESOTYA UTAMI, ST., M.Sc., Ph.D


Program Studi Teknik Fisika UGM
58 FISIKA BANGUNAN

berdasar sumbernya, yaitu pencahayaan alami bersumber dari cahaya matahari, dan pencahayaan
buatan yang bersumber dari perangkat yang dibuat oleh manusia.

Sumber cahaya memancarkan gelombang elektromagnetik berupa gelombang spektrum


Ultra Violet (UV), cahaya tampak, dan infra-red. Pengkuran pada gelombang elektromagnetik
tersebut disebut dengan radiometri. Fotometri adalah cabang radiometri dimana pengukuran
hanya dilakukan pada spektrum cahaya tampak [13].

Gambar 5.2 Ilustrasi fotometri

Berikut ini adalah daftar istilah dan definisi yang biasa digunakan dalam pencahayaan baik
dalam desain maupun evaluasi tingkat pencahayaan di dalam suatu ruangan.

Tabel 5.1 Definisi dan istilah pencahayaan

Istilah Definisi Satuan (SI)


Intensitas cahaya (I) Intensitas cahaya merupakan jumlah cahaya yang Candela (cd)
dikeluarkan oleh suatu sumber cahaya pada suatu Flux cahaya (lm) =
arah tertentu. 4 x intensitas
cahaya (cd)
Luminansi (L) Ukuran yang menunjukan jumlah cahaya yang Lumen (lm)
(luminous flux) terpancar atau terpantul dari suatu area atau candela/m2
permukaan.

SENTAGI SESOTYA UTAMI, ST., M.Sc., Ph.D


Program Studi Teknik Fisika UGM
FISIKA BANGUNAN 59

Lumen () Lumen merupakan unit atau satuan flux cahaya yang Lumen (lm)
dipancarkan di dalam satuan unit sudut padatan oleh
suatu sumber cahaya yang seragam satu candela.
Iluminansi (E) Iluminansi (illumination) merupakan jumlah atau Lux (lx)
kuantitas cahaya yang jatuh ke suatu permukaan. lx = lm/m2
Efikasi cahaya Perbandingan keluaran lumen terhitung dengan lm/watt
terhitung pemakian daya terhitung.
Faktor pemanfaatan Faktor pemanfaaatan (Utility Factor) Tanpa satuan
(UF)
Faktor maintenance Faktor perawatan (Maintenance Factor) Tanpa satuan
(MF)

Gambar 5.3 Sumber cahaya 1 cd memproduksi flux cahaya

5.1.3 Intensitas Cahaya (luminous intensity)


Intensitas cahaya adalah pengukuran untuk mengetahui seberapa besar flux (lumens)
yang dipijarkan (emitted) dalam sudut canonical kecil pada arah tertentu dari sumber cahaya.
Satuan dari pengukuran ini adalah candela (I). intensitas sumber cahaya yang digunakan disebut
dengan candle power. Jika sumber cahaya berpijar dengan flux cahaya yang sama ke segala arah,
maka intensitas cahaya akan sama pada segala arah. Namun pada kebanyakan sumber cahaya,
flux cahaya yang berpijar tidak sama untuk segala arah. Contohnya pada intensitas cahaya pada

SENTAGI SESOTYA UTAMI, ST., M.Sc., Ph.D


Program Studi Teknik Fisika UGM
60 FISIKA BANGUNAN

lampu yang memancar pada sudut tertentu. Serupa dengan hal itu, flux yang berpijar dari sebuah
luminaire juga berpijar dengan sudut tertentu. Jika nilai candela diplot dalam sebuah grafik,
maka diagram pola distribusi yang dihasilkan dari sebuah luminaire tampak mengarah ke
berbagai sudut dengan nilai yang bervariasi. Pada banyak lampu reflector atau luminaire, output
yang dihasilkan yang dinyatakan dalam candela.

Gambar 5.4 Diagram polar distribusi flux cahaya


5.1.4 Flux Cahaya (luminous flux)
Candela mengindikasi seberapa terang cahaya yang diberikan pada arah tertentu. Istilah
flux (F atau ) cahaya digunakan untuk mengukur cahaya tampak dari output sumber cahaya,
dimana cahaya tidak searah. Hal ini merujuk dimana cahaya tampak yang berpijar ke segala arah
pada waktu yang sama (dimana flux yang terpancar adalah total cahaya (UV, cahaya tampak, dan
infra-red) terpijar ke segala arah).

SENTAGI SESOTYA UTAMI, ST., M.Sc., Ph.D


Program Studi Teknik Fisika UGM
FISIKA BANGUNAN 61

Gambar 5.5 Ilustrasi flux cahaya [15]


Dalam pengukuran cahaya, satuan Watt menjadi tidak relevan karena adanya variasi
sensivitas dari mata terhadap gelombang yang diterima. Dalam hal ini, Lumen digunakan sebagai
satuan pengukuran cahaya karena Lumen adalah satuan ukur terhadap laju aliran energi cahaya,
atau yang lebih sering disebut flux cahaya.

Ketika lampu dalam kondisi baru, maka keluaran cahayanya mencapai maksimum.
Seiring dengan lama usia lampu, tingkat keluaran cahayanya akan menurun. Hal ini disebut
dengan lumen maintenance. Informasi tentang lumen maintenance penting dalam mendesain
sistem pencahayaan dalam gedung.

Gambar 5.6 Contoh grafik maintenance luminansi

SENTAGI SESOTYA UTAMI, ST., M.Sc., Ph.D


Program Studi Teknik Fisika UGM
62 FISIKA BANGUNAN

5.1.5 Iluminansi (Illuminance)


Ketika cahaya menumbuk pada permukaan padat, proses ini disebut dengan proses
iluminansi. Sama halnya dengan pengukuran pada flux cahaya, pengukuran terhadap kuantitas
iluminansi juga diperlukan. Iluminansi (E) pada titik di permukaan didefinisikan sebagai flux
cahaya (F) yang jatuh pada suatu zona di permukaan dibandingkan dengan luas total area
permukaan.

= (1.1)

E = Iluminansi (lux)
F = Flux Cahaya (lumen)
A = Luas Area (m2)

Gambar 5.7 Ilustrasi iluminansi


Pada prakteknya, ketika mendesain sebuah sistem pencahayaan, informasi yang
diaperlukan tidak hanya tentang lampu, tetapi tentang luminaire lampu yang dipakai. Data teknis
yang menunjukkan diagram polar dari luminaire yang penting untuk menentukan distribusi
cahaya dan tingkat performansi dari sistem pencahayaan. Tingkat iluminansi disesuaikan dengan
fungsi dari ruangan yang akan didesain. Hal ini agar tingkat pencahayaan yang dihasilkan sesuai
dengan fungsi kerja ruangan itu sendiri. Hal yang biasa salah untuk dipraktekkan, ketika
berhubungan dengan energi efisiensi, adalah pemberian instalasi sistem pencahayaan yang
memberikan iluminansi yang berlebihan.

SENTAGI SESOTYA UTAMI, ST., M.Sc., Ph.D


Program Studi Teknik Fisika UGM
FISIKA BANGUNAN 63

5.1.6 Luminansi (Luminance)


Luminansi (L) adalah pengukuran terhadap jumlah cahaya yang terpancar dari permukaan.
Permukaan dapat berupa titik kecil (pixel) atau luas seperti dinding. Hal ini terukur sebagai
intensitas cahaya (candela) per satuan luas dari cahaya yang terpancar di permukaan (cd/m2).
Ketika cerah atau tidak adalah sesuatu yang kualitatif bergantung terhadap kemampuan mata
beradaptasi, luminansi memiliki nilai yang absolut. Sederhananya, luminansi adalah hasil dari
iluminansi yang jatuh ke permukaan dan reflektansi dari permukaan itu sendiri. Luminansi
adalah pengukuran terhadap konsentrasi dari intensitas densitas sumber cahaya.

!
=! (1.4)

L = Luminansi (lumen, cd/m2)

I = Intensitas pencahayaan (cd)

A = luas permukaan (m2)

5.1.7 Efikasi (Efficacy)


Efikasi adalah istilah yang dapat mendeskripsikan seberapa efisien konversi daya listrik
menjadi cahaya tampak. Efikasi merupakan pengukuran dari intensitas cahaya yang dikeluarkan
dibandingkan dengan daya (lumens/watt). Istilah yang diambil adalah efikasi, bukan efisiensi,
karena istiliah efikasi mengkomparasikan satuan yang similar.
!
=! (1.5)
= efikasi (lumen/watt)
L = luminansi (lumen)
P = daya (watt)

5.2 Teknik Pengukuran Fotometri


5.2.1 Pengukuran Iluminansi
Alat yang paling umum digunakan untuk mengukur tingkat iluminansi pada bidang kerja
yakni menggunakan Luxmeter.

SENTAGI SESOTYA UTAMI, ST., M.Sc., Ph.D


Program Studi Teknik Fisika UGM
64 FISIKA BANGUNAN

Gambar 5.8 Luxmeter


Metode lain untuk menghitung iluminansi yaitu:

a. Hukum kuadrat terbalik


Perhitungan iluminansi yang telah dibahas sejauh ini hanya berlaku pada situasi dimana
sinar cahaya terpancar dengan sudut yang tepat. Dengan hukum kuadrat terbalik, didapatkan
iluminansi yang dimana flux cahaya yang jatuh kepada suatu zona permukaan dibagi dengan
luas area.
= ! (1.2)

Ilustrasi dari hukum kuadrat terbalik adalah dimana cahaya diandaikan sebagai sinar
kerucut yang datang dari titik yang kecil, dan jatuh pada permukaan di jarak tertentu. Ketika
cahaya diteruskan ke permukaan berikutnya, tingkat iluminansi akan sama dengan intensitas
dari sumber cahaya dibagi dengan kuadrat jarak yang ditempuh oleh cahaya.

SENTAGI SESOTYA UTAMI, ST., M.Sc., Ph.D


Program Studi Teknik Fisika UGM
FISIKA BANGUNAN 65

Gambar 5.9 Hukum kuadrat terbalik

b. Hukum Cosinus
Jika permukaan dibelokkan sedemikian rupa sehingga permukaan miring, maka sinar
(1.3) dengan rasio
yang jatuh pada sudut tertentu menimbulkan perubahan tingkat iluminansi
tertentu menurut hukum Lamberts, yaitu hukum cosinus. Rasio tingkat iluminansi pada
permukaan tersebut sama dengan cosinus dari sudut sumber cahaya terhadap permukaan.
= !
Perhitungan ini dipakai hanya untuk satu sumber cahaya. Tetapi ketika sumber cahaya
banyak, iluminansi dihitung dengan cara yang sama untuk tiap cahaya, dan total
dijumlahkan untuk mendapat total iluminansi.

Gambar 5.10 Hukum cosinus

SENTAGI SESOTYA UTAMI, ST., M.Sc., Ph.D


Program Studi Teknik Fisika UGM
66 FISIKA BANGUNAN

5.2.2 Pengukuran Luminansi

Gambar 5.11 Luminansi meter


Dalam istilah pengetahuan dari suasana visual, termasuk juga glare, pengukuran
luminansi lebih penting daripada iluminansi (lux). Hal ini dikarenakan luminansi adalah
parameter yang kita lihat, bukan iluminansi, sebab cahaya merupakan benda yang tak terlihat.
Beberapa hal yang menyebabkan pengukuran lux masih lebih sering dipakai daripada
pengukuran luminansi adalah karena:
1. Lux meter lebih murah dan lebih mudah digunakan daripada luminansi meter
2. Rekomendasi desain untuk tingkat cahaya diberikan dalam standar istilah iluminansi.

5.2.3 Pengukuran Cahaya Refleksi

Pengukuran terhadap reflektansi dari suatu permukaan terkadang diperlukan karena data
yang didapatkan setelah itu dapat dibaca dan dikomputasi untuk mengetahui nilai luminansi.
Dua metode pengukuran reflektansi diffuse dapat dilihat pada Gambar 12.

SENTAGI SESOTYA UTAMI, ST., M.Sc., Ph.D


Program Studi Teknik Fisika UGM
FISIKA BANGUNAN 67

Gambar 5.12 Metode pengukuran reflektansi permukaan benda

5.3 Indera Mata Dan Fungsi Penglihatan

Cahaya yang menimpa mata masuk melalui pupil dengan ukuran yang dikendalikan oleh
iris yang dengan kemudian mengkontrol jumlah cahaya yang masuk melalui mata. Lensa
memfokuskan citra pada retina, dimana setelah itu saraf optik menyampaikan pesan visual
melalui impuls listrik menuju otak. Gambar 13 menunjukkan struktur dari mata yang menyerupai
struktur dari sebuah kamera.

SENTAGI SESOTYA UTAMI, ST., M.Sc., Ph.D


Program Studi Teknik Fisika UGM
68 FISIKA BANGUNAN

Gambar 5.13 Perbandingan mata manusia (a) dengan kamera (b) yang mempunyai prinsip
optika yang serupa

Cahaya terfokus pada retina, dimana mengandung 150 juta sel peka cahaya yang terdiri
dari 2 jenis: sel batang (rod) dan kerucut (cove). Pada bagian tengah mata dekat fovea, adalah
daerah yang berukuran sebesar kepala peniti yang mengandung sekitar 100.000 sel kerucut, yang
dapat memberikan presisi ekstrim pandangan foveal. Sel kerucut bertanggung jawab atas
kemampuan untuk membedakan detail, memberikan sensasi warna, dan mendeteksi luminansi
dalam kisaran 3 sampai 1.000.000 cd/m2. Sel batang mendeteksi luminansi dari 1/1000 cd/m2
sampai kira-kira 12 cd/m2 dan sangat sensitif terhadap cahaya. Sel ini memberi respons kepada
cahaya 1/10.000 dari terang yang dibutuhkan oleh sel kerucut. Namun demikian, sel batang tidak
peka terhadap sensitivitas warna. Sel batang memiliki respon yang lebih lambat daripada sel
kerucut, oleh karena itu sel batang memiliki derajat kedip (flicker fusion) yang lebih rendah, dan
juga sebaliknya bagi sel kerucut yang memiliki sensitivitas gerak yang tinggi. Karena sel ini
terletak pada bagian terluar dari retina, sensitivitas gerak mereka membuat mata mampu
mendeteksi gerakan ketika kita melihat dengan menggunakan sudut mata. Gambar 14
menggambarkan ilustrasi dari sudut yang masuk ke dalam bidang pandangan mata.

SENTAGI SESOTYA UTAMI, ST., M.Sc., Ph.D


Program Studi Teknik Fisika UGM
FISIKA BANGUNAN 69

Gambar 5.14 Field of vision


Tiga komponen dari sistem penglihatan dan kategorisasinya yaitu:
1. obyek atau pekerjaan visual yang akan dilakukan
Faktor-faktor primer:
a) Ukuran obyek
b) luminansi atau brightness

SENTAGI SESOTYA UTAMI, ST., M.Sc., Ph.D


Program Studi Teknik Fisika UGM
70 FISIKA BANGUNAN

c) tingkat kekontrasan termasuk kontras warna


d) waktu pengamatan/exposure time (yang diperlukan atau yang diperoleh)
Faktor-faktor sekunder:
e) Tipe dari obyek membutuhkan pemikiran atau tidak, familiar atau tidak (termasuk
pekerjaan membaca)
f) Tingkat akurasi yang dibutuhkan
2. kondisi/kualitas pencahayaan
Faktor-faktor primer:
a) Tingkat iluminansi, Illumination level (illuminance)
b) Disability glare
c) Discomfort glare
Faktor-faktor sekunder:
d) Luminance ratios
e) Brightness patterns
f) Chromaticity
3. Pengamat/orang yang melihat
Faktor-faktor primer:
a) Kondisi mata (kesehatan dan usia)
b) Tingkat adaptasi
c) Tingkat kelelahan
Faktor-faktor sekunder:
d) Subjective impressions; psychological reactions
e) Brightness patterns

5.4 Dasar-Dasar Warna


5.4.1 Temperatur dan Renderasi Warna
Temperatur warna merupakan karakteristik dari cahaya nampak dimana hal ini memiliki
peran penting dalam aplikasi sistem pencahayaan. Temperatur warna secara umum dikategorikan
sesuai dengan suasana yang diciptakan oleh sumber cahaya, contohnya adalah kategori warna
dingin (cool) dan warna hangat (warm). Namun, pada prakteknya, temperatur warna pada
sumber cahaya susah untuk dinilai. Kadang-kadang, temperatur warna sebuah lampu dapat

SENTAGI SESOTYA UTAMI, ST., M.Sc., Ph.D


Program Studi Teknik Fisika UGM
FISIKA BANGUNAN 71

ketika lampu menyala apakah lampu tersebut berkategori hangat atau dingin, tetapi
terkadang lampu terlalu terang hingga susah dilihat secara langsung. Untuk menhindari hal ini,
lampu disinarkan kepada latar belakang berwarna putih untuk mengetahui suasana yang
dihasilkan oleh lampu.
Temperatur warna dari sumber cahaya merupakan temperatur ideal dari radiasi benda
hitam (black body radiation) yang meradiasi cahaya dari warna yang sebanding dengan sumber
cahaya [12]. Temperatur warna secara konvensional dinyatakan dalam unit suhu mutlak, yaitu
kelvin (K). Hal ini memungkinkan definisi standar dari sumber cahaya yang dibandingkan.

Gambar 5.15 Temperatur warna


Pada lampu, lampu pijar mengeluarkan cahaya yang hangat dengan temperatur warna
sekitar 2800K, dan pada lampu halogen berkisar pada 3200K. Temperatur yang lebih tinggi
memberikan warna yang lebih biru, atau dingin. Sebaliknya, temperatur yang rendah
memberikan warna yang lebih merah, atau hangat.
Sumber cahaya misal seperti lampu flourescent memancarkan cahaya tetapi bukan dari
radiasi benda hitam ideal. Temperatur warna dari cahaya ini bukan dari proses radiasi termal.
Hal ini berarti radiasi yang dipancarkan tidak mengikuti pola spektrum benda hitam. Sumber

SENTAGI SESOTYA UTAMI, ST., M.Sc., Ph.D


Program Studi Teknik Fisika UGM
72 FISIKA BANGUNAN

cahaya ini dikategorikan sebagai correlated color temperature (CCT). CCT adalah temperatur
warna dari radiasi benda hitam dimana persepsi warna manusia mendekati cahaya yang
dikeluarlan oleh lampu. Karena pendekatan seperti ini tidak diperlukan pada lampu pijar, maka
CCT pada lampu pijar hanya suhu yang belum disesuaikan yang berasal dari perbandingan
terhadap radiator benda hitam.
Secara umum, kategori warna dibedakan berdasarkan suasana yang diciptakan seperti
Tabel 2.

Tabel 5.2 Kategori temperatur warna

Temperatur Warna Warna yang Dihasilkan


<3300K Hangat
3300 5300K Menengah (Intermediate)
>5300K Dingin

5.4.2 Chromaticity

Sistem warna CIE adalah standar internasional yang telah diterima dalan perancangan
warna pencahayaan. Pada sistem ini, proporsi relatif dari tiga warna dasar (merah, hijau, biru)
dibutuhkan dalam perhitungan untuk membuat warna pencahayaan. Nilai ini disebut dengan nilai
tristimulus untuk warna dan didesain dengan huruf kapital X (merah), Y (hijau), dan Z (biru).
Gambar 16 adalah contoh dari diagram chromaticity.

SENTAGI SESOTYA UTAMI, ST., M.Sc., Ph.D


Program Studi Teknik Fisika UGM
FISIKA BANGUNAN 73

Gambar 5.16 Diagram spektrum chromaticity


5.4.3 Color Rendering Index
Color rendering atau renderasi warna didefinisikan sebagai sejauh mana warna dianggap
sebagai objek yang teriluminansi oleh sumber tes sesuai dengan warna dari objek yang
teriluminansi dari sumber referensi. Indeks rederasi warna (CRI) adalah dasar dari dua bagian
konsep, yang terdiri dari suhu warna yang menetapkan standar acuan, dan nilai yang
menunjukkan seberapa dekat pencahayaan mendekati standar. Standar pada temperature warna
selalu memakai cahaya alami (daylight). Oleh sebab itu, CRI dari pencahayaan adalah
pengukuran dari seberapa dekat aproksimasi cahaya alami dari temperature warna yang sama.
Dua sumber cahaya tidak dapat dikomparasikan kecuali temperature warnanya sama atau
mendekati. CRI yang bernilai 100 mengindikasikan pencahayaan yang memiliki spektrum CRI
sama dengan cahaya alami pada temperature tersebut. Tabel 3 menunjukan daftar
karakteristik warna dari beberapa jenis sumber cahaya.

SENTAGI SESOTYA UTAMI, ST., M.Sc., Ph.D


Program Studi Teknik Fisika UGM
74 FISIKA BANGUNAN

Tabel 5.3 Efek pencahayaan pada objek warna

SENTAGI SESOTYA UTAMI, ST., M.Sc., Ph.D


Program Studi Teknik Fisika UGM

Anda mungkin juga menyukai