Anda di halaman 1dari 29

1.

Struktur normal anatomi tulang


2. Jenis sendi
1. Sendi fibrosa
Sendi yang tidak dapat bergerak. Sendi fibrosa tidak memiliki lapisan tulang
rawan, dan tulang yang 1 dengan tulang yang lainnya dihubungkan oleh jaringan
ikat fibrosa. Serat-serat ini memungkinkan sedikit gerakan tetapi bukan gerakan
sejati. Salah satu contoh dari tipe sendi fibrosa ini yaitu perlekatan tibia dan
fibula bagian distal.
2. Sendi kartilagenosa
Sendi yang dapat sedikit bergerak. Senid kartilagenosa adlah sendi yang ujung-
ujungnya dibungkus oleh tulang rawan hialin, disokong oleh ligamen dan hanya
dapat sedikit bergerak. Ada 2 tipe sendi yaitu sinkondrosis dan simfisis.
3. Sendi sinovial
Merupakan sendi yang dapat digerakkan dengan bebas
Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Proses Penyakit.
Jakarta; EGC; 2013

3. Proses pembentukn tulg scra biokimia


4. Jenis tulang
5. Proses pembntukn tulang
Proses pembentukan tulang disebut osteogenesis atau osifikasi. Perkembangan sel
prekusor tulang dibagi ke dalam tahapan perkembangan yakni:
1. mesenchymal stem cells
2. Sel-sel osteoprogenitor
3. Pre-osteoblas
4. Osteoblas,
5. Osteosit matang.
Setelah sel progenitor membentuk garis osteoblastik, kemudian dilanjutkan dengan tiga
tahap perkembangan diferensiasi sel yaitu proliferasi, pematangan matrik, dan
mineralisasi. Faktor pertumbuhan tulang tergantung pada herediter, nutrisi, vitamin,
mineral, hormon, dan latihan atau stres pada tulang. Osifikasi adalah istilah lain untuk
pembentukan tulang. Osifikasi (osteogenesis) berdasarkan asal embriologisnya terdapat
dua jenis osifikasi, yaitu ossifikasi intramembran yang terjadi pada sel mesenkim yang
berdiferensiasi menjadi osteoblas di pusat osifikasi secara langsung tanpa pembentukan
kartilago terlebih dahulu dan osifikasi endokondral yaitu mineralisasi jaringan tulang
yang dibentuk melalui pembentukan kartilago terlebih dahulu.
a. Osifikasi intramembran
Pada osifikasi intramembran, perkembangan tulang terjadi secara langsung. Selama
osifikasi intramembran, sel mesenkim berproliferasi ke dalam area yang memiliki
vaskularisasi yang tinggi pada jaringan penghubung embrionik dalam pembentukan
kondensasi sel atau pusat osifikasi primer . Sel ini akan mensintesis matriks tulang pada
bagian periperal dan sel mesenkimal berlanjut untuk berdiferensiasi menjadi osteoblas.
Setelah itu, tulang akan dibentuk kembali dan semakin digantikan oleh tulang lamela
matang/dewasa. Proses osifikasi ini merupakan sumber pembentukan tulang pipih, salah
satu diantaranya yaitu tulang pipih kepala. Pada awal perkembangan tulang pipih atap
kepala, tulang yang baru dibentuk diendapkan pada pinggir dan permukaan tulang
tersebut. Untuk tetap menjaga adanya ruang bagi pertumbuhan otak, rongga kranium
harus membesar yaitu dengan cara resorpsi tulang pada permukaan luar dan permukaan
dalam oleh osteoklas, bersamaan dengan terjadinya pengendapan tulang yang terus
menerus pada kedua permukaan tulang.
b. Osifikasi endokondral
Semua sel tulang lainnya di dalam tubuh dibentuk melalui proses osifikasi endokondral.
Proses ini terjadi secara tidak langsung yaitu melalui pembentukan model tulang rawan
terlebih dahulu dan kemudian mengalami penggantian menjadi tulang dewasa. Osifikasi
endokondral dapat dilihat pada proses pertumbuhan tulang panjang. Pada proses
pertumbuhan tulang panjang akan terbentuk pusat osifikasi primer dimana penulangan
pertama kali terjadi yaitu proses dimana kartilago memanjang dan meluas melalui
proliferasi kondrosit dan deposisi matriks kartilago. Setelah pembentukan tersebut,
kondrosit di daerah sentral kartilago mengalami proses pemasakan menuju hipertropik
kondrosit. Setelah pusat osifikasi primer terbentuk maka rongga sumsum mulai meluas ke
arah epifise. Perluasan rongga sumsum menuju ke ujung-ujung epifisis tulang rawan dan
kondrosit tersusun dalam kolom-kolom memanjang pada tulang dan tahapan berikutnya
pada osifikasi endokondral berlangsung pada zona-zona pada tulang secara berurutan .
Scalon VC, Sanders T. 2007. Essentials of Anatomy and Physiology. Ed. 5. Philadelphia:
F. A. Davis Comp Terjemahan Jan Tambayong. Jakarta: EGC.
Junqueira LC, Carneiro J. 2011. Basic Histology: Text and Atlas. Ed.11. Poule; McGraw
Hill Medical.

6. Hub. Otot tulg sendi


7. Nutrisi tulg
8. Osteoporosis
a. Definisi
Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang, dan porous
berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang yang
keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya
rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunan
kualitas jaringan tulang, yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang.
Tandra, H. Osteoporosis: Mengenal, mengatasi, dan mencegah tulang keropos.
Jakarta: PT Gramedia; 2009. h50.
b. Etiologi

Beberapa penyebab osteoporosis, yaitu:


1. Osteoporosis pascamenopause terjadi karena kurangnya hormon estrogen
(hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium
kedalam tulang. Biasanya gejala timbul pada perempuan yang berusia antara 51-
75 tahun, tetapi dapat muncul lebih cepat atau lebih lambat. Hormon estrogen
produksinya mulai menurun 2-3 tahun sebelum menopause dan terus berlangsung
3-4 tahun setelah menopause. Hal ini berakibat menurunnya massa tulang
sebanyak 1-3% dalam waktu 5-7 tahun pertama setelah menopause.
2. Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium
yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan antara kecepatan
hancurnya tulang (osteoklas) dan pembentukan tulang baru (osteoblas). Senilis
berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya
terjadi pada orang-orang berusia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang
wanita. Wanita sering kali menderita osteoporosis senilis dan pasca menopause.
3. Kurang dari 5% penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis sekunder
yang disebabkan oleh keadaan medis lain atau obat-obatan. Penyakit ini bisa
disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid,
paratiroid, dan adrenal) serta obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat,
antikejang, dan hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang
berlebihan dan merokok dapat memperburuk keadaan ini.
4. Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya
tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki
kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal, dan tidak
memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang.
Tandra, H. Osteoporosis: Mengenal, mengatasi, dan mencegah tulang
keropos. Jakarta: PT Gramedia; 2009. h50.
Junaidi, I. Osteoporosis: Seri Kesehatan Populer. Jakarta: PT Bhuana Ilmu
Populer; 2007.
c. Epidemiologi
d. Gjla klinis
Menurut Pudjiastuti, terdapat beberapa gejala yang dapat timbul saat terserang
osteoporosis, walaupun pada tahapan awal penyakit ini kadang tidak menimbulkan gejala
yang berarti.
1. Nyeri
Gejala awal tersering adalah nyeri pinggang tanpa tanda-tanda sebelumnya,
biasanya nyeri ini timbul sesudah mengangkat barang berat. Sifat nyeri tersebut tajam
atau seperti terbakar, yang bertambah hebat bila bergerak, membungkuk, mengangkat
beban lebih berat, melompat, atau tanpa trauma sedikitpun. Keadaan ini menunjukkan
adanya fraktur kompresi pada korpus vertebra. Vertebra yang paling sering terkena
adalah T12 dan L1. Apabila tulang sembuh, nyeri akan hilang, apabila masih ada
nyeri, penyebabnya adalah spasme otot pada vertebra.

2. Deformitas
Osteoporosis tidak menyebabkan deformitas pada ekstremitas, kecuali bila ada
fraktur. Deformitas kolumna vertebralis akan terjadi sesudah episode fraktur kompresi
yang berulang-ulang. Terkadang deformitas muncul tanpa ada nyeri pinggang yang
nyata. Deformitas tersebut meliputi:
a. Penurunan tinggi badan, adanya fraktur kompresi ini menyebabkan tinggi
badan lansia dapat berkurang beberapa sentimeter apabila proses tersebut
mengenai beberapa korpus vertebra;
b. Dorsal kifosis, kelainan ini muncul sebagai gejala khas adanya proses
osteoporosis spinal yang berlangsung lama. Bila proses bertambah berat dan
lama, costae bawah dapat bersentuhan dengan crista illiaca.
3. Fraktur
Fraktur patologis pada ekstremitas dapat menyebabkan deformitas. Tempat yang
paling sering terkena fraktur akibat dari osteoporosis adalah collum femoris dan
radius distalis yang terjadi karena jatuh. Hal ini dapat dimengerti karena pada lansia
terjadi penurunan refleks keseimbangan.
Pudjiastuti SS, Utomo B. Fisioterapi Pada Lansia: Peran Fisioterapi Pada Lansia.
Edisi 1. Jakarta: EGC; 2003. h86-87.

e. Patofis
f. Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis memegang peranan penting dalam evaluasi penderita osteoporosis.
Kadang-kadang keluhan utama bisa langsung mengarah langsung ke diagnosis
misalnya fraktur colum femoris. Selain itu faktor lain juga harus ditanyakan
seperti penurunan tinggi badan, paparan sinar matahari, fosfor dan vitamin D,
obat-obatan yang diminum dalam jangka panjang seperti kostikoteroid. Riwayat
minum alkohol dan merokok serta riwayat penyakit lainnya yang berhubungan
dengan penyakit osteoporosis.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik yang harus diukur adalah tinggi badan dan berat badan,
demikian juga dengan gaya jalan penderita, deformitas tulang, leg-lenght
inequality, dan nyeri spinal.
Hipokalsemia yang terjadi dapat ditandai oleh adanya iritasi muskuloskeletal,
yaitu berupa tetani. Adduksi jempol tangan juga dapat dijumpai, fleksi sendi
metacarpophalangeal, dan ekstensi sendi interphalang.
Penderita dengan osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal atau gibbus
(Dowagers hump) dan penurunan tinggi badan. Selain itu juga didapatkan
protuberansia abdomen, spasme otot paravertebral, dan kulit yang tipis (tanda
McConkey).
Pemeriksaan fisik dengan melihat pada tulang vertebra dengan melihat adanya
deformitas/kifosis, nyeri, tanda-tanda fraktur, adanya fraktur, penurunan tinggi
badan dan adanya tanda-tanda penyakit yang dijumpai pada anamnesis.
Pemeriksaan fisik hendaknya menyeluruh, misalnya pembesaran tiroid pada
pasien dengan dugaan parathyroidism.
Fraktur merupakan manifestasi lanjut dari osteoporosis. Daerah yang sering
mengalami fraktur adalah vertebra, pergelangan tangan, colum femoris clan
proksimal humerus. Munculnya Dowager's Hump (curvatura punggung) pada
pasien tua menunjukkan adanya fraktur multipel pada vertebra dan adanya
penurunan volume tulang
Aktivitas tubuh yang kurang apalagi sejak usia muda cenderung menimbulkan
osteoporosis. Orang yang pekerjaannya selalu dalam posisi duduk lebih sering
menderita osteoporosis dibandingkan orang yang selalu sibuk dan sering bergerak.
Wanita pasca menopause berumur 60 tahun sering kali disertai adanya
osteoporosis.
Pasien dengan osteoporosis diketahui mengalami penurunan keseimbangan
berjalan. Pasien mungkin akan mengalami kesulitan dalam melakukan gerakan
berjalan dan single-limb stance. Gangguan keseimbangan ini dapat disebabkan
oleh kiposis yang parah sebagai akibat dari fraktur kompresi sehingga
menyebabkan perubahan pusat gravitasi. Perubahan pusat gravitasi ini
menyebabkan berjalan dengan seimbang bagi penderita osteoporis ini sulit untuk
dilakukan.
South paul J.E,Osteoporosis;part 1,Evaluation and assessment.
Am.fam.physician. 2001; 63(5);897-904.
Bambang Setyohardi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Oateoporosis. Jilid
III. Internal Publishing. 2009

g. Tatalaksana

Setelah menerima diagnosis osteoporosis atau massa tulang yang rendah, kita harus
memonitor massa tulang yang berkurang atau bertambah seiring dengan waktu.
Pengukuran massa tulang ini penting secara klinis untuk mendiagnosis dan
mengendalikan osteoporosis.
American National Osteoporosis Foundation menganjurkan pemberian pengobatan
pencegahan pada penderita:
1. T-score kurang dari -1,5 SD dengan ada faktor risiko osteoporosis.
2. T-score kurang dari -2,0 SD tanpa ada faktor risiko osteoporosis.
3. Pada wanita pascamenopause dengan adanya fraktur.
4. Pengobatan harus dilakukan pada T-score kurang dari -2,5 SD.
Dalam pengobatan dan pengendalian osteoporosis pemeriksaan ulangan massa tulang
dengan DEXA dapat dikerjakan dalam kurun waktu 1 - 2 tahun.
Terapi pada osteoporosis harus mempertimbangkan 2 hal, yaitu terapi pencegahan
yang pada umumnya bertujuan untuk menghambat hilangnya massa tulang. Dengan cara
yaitu memperhatikan faktor makanan, latihan fisik (senam pencegahan osteoporosis),
pola hidup yang aktif dan paparan sinar ultra violet. Selain itu juga menghindari obat-
obatan dan jenis makanan yang merupakan faktor resiko osteoporosis seperti alkohol,
kafein, diuretika, sedatif, kortikosteroid.
Selain pencegahan, tujuan terapi osteoporosis adalah meningkatkan massa tulang
dengan melakukan pemberian obat-obatan antara lain hormon pengganti (estrogen dan
progesterone dosis rendah). Kalsitrol, kalsitonin, bifosfat, raloxifene, dan nutrisi seperti
kalsium serta senam beban.
Pembedahan pada pasien osteoporosis dilakukan bila terjadi fraktur, terutama bila
terjadi fraktur panggul.
Lane, Nancy E. Lebih lengkap tentang osteoporosis. Jakarta: Divisi Buku Sport PT
Rajagrafindo Persada; 2001. h23-35
2.2.1 Obat yang Dapat Menyebabkan Osteoporosis
Osteoporosis dapat dipicu progresivitasnya oleh konsumsi obat-obatan. Penggunaan
obat kortikosteroid, obat yang mengandung hormon tiroid, dan beberapa obat lain bisa
membahayakan pertumbuhan tulang.
Kotikosteroid adalah hormon yang diproduksi oleh kelanjar adrenal (anak ginjal). Ada
banyak kegunaan obat ini, antara lain antiradang, antialergi dan mengatasi syok. Tetapi,
kortikosteroid juga bisa meningkatkan tekanan darah, mengiritasi lambung, menaikkan
gula dan lemak darah, menyebabkan bengkak pada wajah atau seluruh tubuh,
menimbulkan penyakit cushing, dan menyebabkan pengeroposan tulang. Contoh
kortikosteroid yang biasanya ada di pasaran obat Indonesia adalah betamethasone,
dexamethasone, methylpredinisolone, prednisone, dan triamcinolone.
Pengaruh obat kortikosteroid pada tulang antara lain:
a. Meningkatkan pengeluaran kalsium melalui urin
b. Menghambat penyerapan kalsium di usus
c. Menghambat pertumbuhan tulang dengan cara menekan fungsi osteoblas
d. Menurunkan kadar hormon estrogen dan testoteron (menghambat pembentukan
hormon)
Tandra, H. Osteoporosis: Mengenal, mengatasi, dan mencegah tulang keropos.
Jakarta: PT Gramedia; 2009. h50.

h. Diagnosis bndg
i. Patogennesis

Terjadinya osteoporosis secara seluler disebabkan oleh karena jumlah dan aktivitas sel
osteoklas melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas (sel pembentuk tulang).
Keadaan ini mengakikatkan penurunan massa tulang. Ada beberapa teori yang
menyebabkan deferensiasi sel osteoklas meningkat dan meningkatkan aktivitasnya yaitu:
Manolagas SC. Birth and death of bone cells basic regulatory mechanisms and
implications for the pathogenesis and treatment of osteoporosis. Endocrine Reviews.
2000; 21(2):115-37.
Faktor Sitokin
Pada stadium awal dari proses hematopoisis dan osteoklastogenesis, melalui suatu
jalur yang memerlukan suatu mediator berupa sitokin dan faktor koloni-stimulator.15
Di antara group sitokin yang menstimulasi osteoklastogenesis antara lain adalah: IL-
1, IL-3, IL-6, Leukemia Inhibitory Factor (LIF), Oncostatin M (OSM), Ciliary
Neurotropic Factor (CNTF), Tumor Necrosis Factor (TNF), Granulocyte
Macrophage-Colony Stimulating Factor (GM-CSF), dan Macrophage-Colony
Stimulating Factor (M-CSF). Sedangkan IL-4, IL-10, IL- 18, dan interferon-,
merupakan sitokin yang menghambat osteoklastogenesis. Interleukin-6 merupakan
salah satu yang perlu mendapatkan perhatian, oleh karena meningkatnya IL-6 terbukti
memegang peranan akan terjadinya beberapa penyakit, antaranya berpengaruh pada
remodeling tulang dan terjadinya penyerapan tulang berlebihan baik lokal maupun
sistemik.
Manolagas SC. Birth and death of bone cells basic regulatory mechanisms and
implications for the pathogenesis and treatment of osteoporosis. Endocrine
Reviews. 2000; 21(2):115-37.
Siki Kawiyana. Interleukin-6 dan RANK-ligand yang tinggi sebagai faktor risiko
terhadap kejadian osteoporosis pada wanita pascame nopause defisiensi estrogen.
Doktoral (Disertasi). Denpasar: Program Doktor Program Studi Ilmu Kedokteran
Program Pascasarjana Universitas Udayana; 2009.

Dikatakan terjadi peningkatan kadar dan aktivitas sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6,
TNF-) secara spontan apabila fungsi ovarium menurun, misalnya pada masa
menopause. Mekanisme penurunan ini diduga erat hubungannya dengan interaksi dari
reseptor estrogen (ER = Estrogen Receptor) dengan faktor transkripsi, modulasi dari
aktivitas nitrik-oksid (NO), efek antioksidan, aksi plasma membran, dan perubahan
dalam fungsi sel imun. Maka pada studi klinis dan eksperimental ditemukan ada
hubungannya antara penurunan massa tulang dengan peningkatan sitokin
proinflamasi ini.
Pfeilschifter J, Koditz R, Pfohl M, Schatz H. Changes in inflammatory cytokine
activity after menopause. Endocrine Reviews. 2002; 23(1):90-119.
RANK-L yang merupakan salah satu famili dari TNF disebut juga: OPG-L, TNF-
Related Activation Induced Cytokine (TRANCE), ODF dan memiliki reseptor RANK
yang merupakan kunci pengaturan remodeling tulang dan sangat esensial dalam
perkembangan dan aktivasi dari osteoklas. Terjadinya diferensiasi sel osteoklas dari
hemopoitik progenitor bergantung pada reseptor yang terdapat pada membran sel
osteoklas yang disebut RANK yang terbukti bahwa pengaturan transkripsinya oleh
NF- kappaB.30 Sedangkan sel stroma osteoblastik mengekspresikan pada
permukaannya RANK-L. Selanjutnya RANK-L berikatan dengan RANK pada
permukaan sel osteoklas progenitor untuk merangsang diferensiasi sel tersebut. Selain
itu sel stroma osteoblas juga mensekresi suatu substansi yang larut dan mengambang,
yang berfungsi sebagai reseptor dan dapat juga mengikat RANK-L yang disebut
OPG. OPG dapat beraksi sangat poten sebagai penghambat pembentukan osteoklas
dengan cara berikatan dengan RANK-L, sehingga mencegah interaksi antara RANK-
L dengan RANK pada progenitor osteoklas.
Jones DH, Kong YY , Penninger JM. Role of RANKL and RANK in bone
loss and arthritis. Ann Rheum Dis. 2002; 2:1132-9.
Boyle WJ, Scott, Simonet W, Lacey DL. Osteoclast differentiation and activation.
Nature. 2003; (423):337-42.
T eitelbaum, Steven L. Review Osteoclast culprits in inflammatory osteolysis
[internet]. BioMed Central Ltd. Diakses: 12 Sep 2008. Tersedia di:
http://www.arthritisresearch.com/content/8/1/201
Jilka L. Cell biology of osteoclast and osteoblast and the hormones and
cytokines that control their development and activity . The 1st Joint Meeting of the
International Bone and Mineral Society and the European Calcified Tissue
Society; 2001 June 1-5; Madrid, Spain.
Aubin JE, Bonnelye E. Osteoprotegerin and its ligand a new paradigm for
regulation of osteogenesis and bone resorption. Diakses: 12 Sep 2008. Tersedia di:
http://www.medscape.com/viewarticle/408911.com/content/8/1/201

Ketiganya yaitu RANK-L, RANK, dan OPG merupakan molekul esensial yang
merupakan protein superfamili dari TNF-TNFR. RANK dan RANK-L merupakan
protein yang menyerupai molekul sitokin yang berikatan pada membran (membrane-
bound cytokine-like molecules). Sedangkan OPG yang sangat poten sebagai
penghambat proses osteoklastogenesis dan penyerapan tulang baik in vitro maupun in
vivo, melalui kemampuannya sebagai reseptor umpan (decoy receptor) yang dapat
berikatan dengan RANK-L, sehingga dihambat terjadinya interaksi antara RANK- L
dan RANK.
Jones DH, Kong YY , Penninger JM. Role of RANKL and RANK in bone
loss and arthritis. Ann Rheum Dis. 2002; 2:1132-9.
Manolagas SC. Birth and death of bone cells basic regulatory mechanisms and
implications for the pathogenesis and treatment of osteoporosis. Endocrine
Reviews. 2000; 21(2):115-37.
Dalam implikasinya RANK-L merangsang terjadinya fusi dari sel prekursor yang
mononukler menjadi sel multinukler, kemudian memacu untuk berdiferensiasi
menjadi sel osteoklas dewasa, perlengketannya pada permukaan tulang, dan
aktivitasnya menyerap tulang, dan bahkan lebih lanjut mempertahankan kehidupan
osteoklas dengan cara memperlambat terjadinya apoptosis. RANK-L diekspresi
paling banyak oleh osteoblas dan sel lapisan mesenchim. Selain itu diekspresi juga
oleh sel periosteal, kondrosit, sel endotelial, dan juga oleh sel T aktif.
Kearns AE, Khosla S, Kostenuik PJ. Receptor activator of nuc lear factor kB
ligand and osteoprotegerin regulation of bone remodeling in health and disease.
Endocrine Reviews. 2008; 29(2):155-92.
Findlay D, Chehade M, T sangari H, et al. Circulating RANK-L is inversely related
to RANK-L mRNA levels in bone in osteoarthritic males. Arthritis Research &
Therapy. 2008; 34:267-9.
3. Pembebanan
Tulang merupakan jaringan dinamik yang secara konstan melakukan remodeling
akibat respon mekanik dan perubahan hormonal. Remodeling tulang terjadi dalam
suatu unit yang dikenal dengan bone remodeling unit, yang merupakan keseimbangan
dinamik antara penyerapan tulang oleh osteoklas dan pembentukan tulang oleh
osteoblas. Remodeling ini dimulai dari perubahan permukaan tulang yang pasif
(quiescent) menjadi perubahan permukaan tulang yang mengalami resorpsi. Disini
sebetulnya sel osteosit memegang peranan penting dalam menginisiasi remodeling
tulang dengan mengirimkan sinyal lokal kepada sel osteoblas maupun sel osteoklas di
permukaan tulang melalui sistem kanalikuler.
V ega D, Maalouf NM, Sakhaee K. Clinical review the role of receptor activator
of nuclear factor-kB (RANK)/RANK ligand/osteoprotegerin clinical implications.
The Journal of Clinical Endocrinology & Methabolism. 2007; 92(12):4514-21.
Osteosit melalui penonjolan plasma membran (panjang 5 - 30 |am) dalam
kanalikuli dapat berkomunikasi dengan osteoblas. Selanjutnya osteoblas
berkomunikasi dengan sel dalam sumsum tulang dengan memproyeksikan selnya ke
sel endotel di sinusoid, dengan demikian lokasi strategis osteosit menjadikan sel ini
sebagai kandidat sel mekanosensori untuk deteksi kebutuhan tulang, menambah atau
mengurangi massa tulang selama adaptasi fungsi skeletal. Osteosit juga mempunyai
kemampuan deteksi perubahan aliran cairan interstisial dalam kanalikuli yang
dihasilkan akibat pembebanan mekanik dan deteksi perubahan kadar hormon, oleh
karena itu gangguan pada jaringan osteosit meningkatkan fragilitas tulang.
Klein-Nulend J, V atsa A, Bacabac RG, Djien T an S, Smi t T. The role of
osteocytes in bone mechanotransduction. Curr Opin Orthop. 2005; (16):316-24.
Manolagas SC. Birth and death of bone cells basic regulatory mechanisms and
implications for the pathogenesis and treatment of osteoporosis. Endocrine
Reviews. 2000; 21(2):115-37.
Pembebanan mekanik pada tulang (skeletal load) menimbulkan stres mekanik dan
strain atau resultant tissue deformation yang menimbulkan efek pada jaringan tulang
yaitu membentukan tulang pada permukaan periosteal sehingga memperkuat tulang
dan menurunkan bone turnover yang mengurangi penyerapan tulang. Dengan
demikian pembebanan mekanik dapat memperbaiki ukuran, bentuk, dan kekuatan
jaringan tulang dengan memperbaiki densitas jaringan tulang dan arsitektur tulang.
Tulang melakukan adaptasi mekanik yaitu proses seluler yang memerlukan sistem
biologis yang dapat mengindera pembebanan mekanik. Informasi pembebanan ini
harus dikomunikasikan ke sel efektor yang akan membuat tulang baru dan merusak
tulang yang tua.
Liswati H. Kombinasi latihan fisik dan pemberian daun semanggi menghambat
peningkatan ketidakseimbangan proses remodeling tulang perempuan
pascamenopause melalui peran reseptor estrogen a sel. Surabaya: Doktoral
(Disertasi). Program Doktor Program Studi Ilmu Kedokteran Program Pascasarjana:
Universitas Airlangga; 2007.

j. Pem pen

Hingga saat ini deteksi osteoporosis merupakan hal yang sangat sulit dilakukan.
Osteoporosis merupakan penyakit yang hening (silent), kadang-kadang tidak memberikan
tanda-tanda atau gejala sebelum patah tulang terjadi. Diagnosis penyakit osteoporosis
kadang baru diketahui setelah terjadinya patah tulang punggung, tulang pinggul, tulang
pergelangan tangan atau patah tulang lainnya pada orang tua, baik pria atau wanita.
Biasanya dari waktu ke waktu massa tulangnya terus berkurang, dan terjadi secara luas
dan tidak dapat diubah kembali. Biasanya massa tulang yang sudah berkurang 30 - 40%
baru dapat dideteksi dengan pemeriksaan X-ray konvensional.
Lane, Nancy E. Lebih lengkap tentang osteoporosis. Jakarta: Divisi Buku Sport PT
Rajagrafindo Persada; 2001. h23-35.

Hambatan lain yang ada pada pemeriksaan radiologi konvensional untuk diagnosis
osteoporosis adalah:
1. Sangat bergantung pada alat radiologi yang digunakan.
2. Sangat bergantung pada keahlian dan subyektivitas pemeriksa.
3. Sangat bergantung pada kualitas film dan cara-cara pencucian film.
Karena kurangnya sensitivitas terhadap diagnosis osteoporosis, maka saat ini
pemeriksaan dengan radiologi konvensional tidak dianjurkan lagi. Sebetulnya sampai saat
ini prosedur diagnostik yang lazim digunakan untuk menentukan adanya penyakit tulang
metabolik seperti osteoporosis, adalah:
Kusumawidjaya K. Pemeriksaan Radiologis pada Osteoporosis. Edisi 1. Jakarta:
Perhimpunan Osteoporosis Indonesia, CV Infomedika; 2006. h17-23.
1. Pemeriksaan X-ray absorptiometry
Pesawat X-ray absorptiometry menggunakan radiasi sinar X yang sangat rendah.
Selain itu keuntungan lain densitometer X-ray absorptiometry dibandingkan DPA
(Dual Photon Absorptiometry) dapat mengukur dari banyak lokasi, misalnya
pengukuran vertebral dari anterior dan lateral, sehingga pengaruh bagian
belakangcorpus dapat dihindarkan, sehingga presisi pengukuran lebih tajam.
Ada dua jenis X-ray absorptiometry yaitu: SXA (Single X-ray Absorptiometry)
dan DEXA (Dual Energy X-ray Absorptiometry). Saat ini gold standard pemeriksaan
osteoporosis pada laki-laki maupun osteoporosis pascamenopause pada wanita adalah
DEXA, yang digunakan untuk pemeriksaan vertebra, collum femur, radius distal, atau
seluruh tubuh.
Kusumawidjaya K. Pemeriksaan Radiologis pada Osteoporosis. Edisi 1. Jakarta:
Perhimpunan Osteoporosis Indonesia, CV Infomedika; 2006. h17-23.

Tujuan dari pengukuran massa tulang:


b. Menentukan diagnosis.
c. Memprediksi terjadinya patah tulang.
d. Menilai perubahan densitas tulang setelah pengobatan atau senam badan.
Bagian tulang seperti tulang punggung (vertebralis) dan pinggul (Hip) dikelilingi
oleh jaringan lunak yang tebal seperti jaringan lemak, otot, pembuluh darah, dan
organ-organ dalam perut. Jaringan-jaringan ini membatasi penggunaan SPA (Single
Photon Absorptiometry) atau SXA, oleh karena dengan sistem ini tidak dapat
menembus jaringan lunak tersebut, akan tetapi hanya dapat digunakan untuk tulang
yang berada dekat kulit. DEXA atau absorptiometri X-ray energi ganda
memungkinkan kita untuk mengukur baik massa tulang di permukaan maupun bagian
yang lebih dalam.
Lane, Nancy E. Lebih lengkap tentang osteoporosis. Jakarta: Divisi Buku Sport PT
Rajagrafindo Persada; 2001. h23-35.
Dalam pemeriksaan massa tulang dengan densitometer DEXA kita akan
mendapatkan informasi beberapa hal tentang densitas mineral tulang antara
lain:1,37,39-41 Densitas mineral tulang pada area tertentu dalam gram/cm2.
Pemeriksaan DEXA dianjurkan pada:
a. Wanita lebih dari 65 tahun dengan faktor risiko.
b. Pascamenopause dan usia < 65 tahun dengan minimal 1 faktor risiko
disamping menopause atau dengan fraktur.
c. Wanita pascamenopause yang kurus (Indek Massa Tubuh < 19 kg/m2).
d. Ada riwayat keluarga dengan fraktur osteoporosis.
e. Mengkonsumsi obat-obatan yang mempercepat timbulnya osteoporosis.
f. Menopause yang cepat (premature menopause).
g. Amenorrhoea sekunder > 1 tahun.
h. Kelainan yang menyebabkan osteoporosis seperti Anorexia nervosa,
Malabsorpsi, Primary hyperparathyroid, Post-transplantasi, Penyakit ginjal
kronis, Hyperthyroid, Immobilisasi yang lama, Cushing syndrome,
Berkurangnya tinggi badan, atau tampak kiphosis.
McClung. Michael R. Bone densitometry in osteoporosis car. In: Orwoll ES, editor.
Atlas of osteoporosis. Ed 2. Philadelpia: Current Medicine Inc; 2000. h673-8.

2. Pemeriksaan laboratorium berupa parameter biokimiawi


Dilakukan untuk bone turnover, terutama mengukur produk pemecahan kolagen
tulang oleh osteoklas. Pengukuran massa tulang dapat memberi informasi massa
tulangnya saat itu, dan terjasdinya risiko patah tulang di masa yang akan datang.
Salah satu prediktor terbaik akan terjadinya patah tulang osteoporosis adalah besarnya
massa tulang. Pengukuran massa tulang dilakukan oleh karena massa tulang berkaitan
dengan kekuatan tulang. Ini berarti semakin banyak massa tulang yang dimiliki,
semakin kuat tulang tersebut dan semakin besar beban yang dibutuhkan untuk
menimbulkan patah tulang. Untuk itu maka pengukuran massa tulang merupakan
salah satu alat diagnosis yang sangat penting. Selama 10 tahun terakhir, telah
ditemukan beberapa tehnik yang non-invasif untuk mengukur massa tulang.
Penentuan massa tulang secara radiologis penting untuk menentukan diagnosis
osteoporosis, akan tetapi tidak memberikan gambaran tentang proses dinamis
penyerapan dan pembentukan tulang, yang dapat menunjukkan derajat kecepatan
kehilangan tulang. Biopsi tulang dan parameter biokimiawi dapat memberikan
gambaran ini dengan jelas, tetapi biopsi tulang merupakan prosedur yang invasif,
sehingga sulit untuk dilaksanakan secara rutin, baik untuk ujisaring maupun untuk
pemantauan pengobatan. Sehingga satusatunya pilihan untuk menentukan bone
turnover adalah parameter atau penanda biokimiawi. Perkembangan terbaru mengenai
petanda biokimia yang spesifik dan sensitif yang menggambarkan keseluruhan
kecepatan pembentukan dan penyerapan tulang, telah sangat memperbaiki
pemeriksaan bone turnover invasif pada beberapa penyakit metabolisme tulang,
terutama untuk osteoporosis.
Pada osteoporosis, petanda bone turnover dapat digunakan untuk memperkirakan
kehilangan tulang pada wanita pascamenopause, untuk memperkirakan kejadian
fraktur osteoporosis dan untuk memantau efikasi pengobatan.
Parameter yang mempunyai nilai untuk uji saring, diagnosis dan pemantauan
osteoporosis harus mewakili unsur yang mempunyai peran pada pembentukan tulang,
aktivitas sel yang bertanggung jawab terhadap bone turnover dan pengaturannya, atau
produk dari penguraian tulang. Penelitian-penelitian sekarang difokuskan pada
parameter yang dapat dipakai untuk ujisaring terhadap penurunan massa tulang atau
adanya percepatan kehilangan tulang, dan pemantauan terapi untuk meningkatkan
massa tulang maupun memperlambat atau mengurangi kehilangan tulang. Petanda
resorpsi tulang akibat aktivitas osteoklas meningkat, saat ini merupakan metode
pilihan untuk memperkirakan akan terjadinya osteoporosis, atau untuk memantau
terapi pada pasien yang diberi obat antiresorpsi oral.
Penentuan Crosslink Telopeptida CTerminal (CTx) dalam serum merupakan
indikator yang baik untuk resorpsi tulang. CTx merupakan hasil dekomposisi awal
dan stabil dari kolagen tipe-1 spesifik tulang, oleh karena itu menggambarkan proses
pada tulang secara relatif langsung. Karena tulang yang matang terutama terdiri dari
b-isomerisasi telopeptida, pengukuran CTx terutama cocok digunakan untuk
mendeteksi kejadian pada tulang osteoporosis yang tua. CTx merupakan penanda
resorpsi tulang pertama dalam serum yang dapat diperiksa dengan alat otomatisasi.
CTx dapat diukur dalam serum dan plasma, yang tidak memerlukan pengukuran
tambahan kreatinin seperti yang diperlukan pada pengukuran penanda tulang dalam
urin. Selain itu, pemeriksaan CTx juga meniadakan kebutuhan untuk menentukan
sempel urin ideal (urin pertama atau kedua pada pagi hari, atau urin yang
dikumpulkan selama 24 jam).
Setiyohadi, Bambang. Perkembangan terbaru dalam penatalaksanaan osteoporosis.
Osteoporosis. Edisi I. Jakarta: Perhimpunan Osteoporosis Indonesia CV Infomedika;
2006. h61-73.

k. Klasifikasi
Osteoporosis diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu:
1. Primer: Penuaan normal, terutama pada wanita
a. Pascamenopause (tipe 1), disertai hilangnya tulang trabekular menimbulkan
lesi vertebra pada kolapsnya lempeng ujung, terjadi pada wanita sampai usia
sekitar 70 tahun.
b. Senilis (tipe 2), disertai hilangnya tulang kortikal tambahan menimbulkan
fraktur yang khas pada kolum femoris, biasanya pada wanita berusia di atas 75
tahun.
2. Sekunder: penyakit endokrin, obat-obatan, keganasan, gangguan gastrointestinal,
local.
3. Idiopatik: semua usia, namun dalam derajat yang berlebihan jika dibandingkan
dengan kelompok usia. Lebih dramatis pada orang muda.
Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture Notes: Kedokteran Klinis. Ed 6. Jakarta:
Erlangga; 2007.
l. Prognosis
m. Komplikasi
Fraktur

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai
jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang di kenai stress yang lebih besar dari
yang dapat diabsorbsinya . Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang,
kebanyakan fraktur akibat dari trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses
penyakit seperti osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis.

Jenis fraktur Patologis : fraktur yang terjadi pada tulang yang memang telah
memiliki kelainan, seringkali terjadi setelah trauma trivial, misalnya penyakit
Paget, osteoporosis, atau tumor.
Price et al.. Bab 8 Gangguan Pertumbuhan, Proliferasi, dan Diferensiasi Sel. In:.
Price et al., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Ed 6. Jakarta:
EGC, 150-158.2006.
3. Smeltzer, C. Suzanne, Bare G. Brenda. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Alih Bahasa: dr. H. Y. Kuncara. Jakarta: EGC. 2002.
4. Arif Mansjoer. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius.
2002.

n. Faktor risiko

Osteoporosis dapat menyerang setiap orang dengan faktor risiko yang berbeda. Faktor
risiko Osteoporosis dikelompokkan menjadi dua, yaitu yang tidak dapat dikendalikan dan
yang dapat dikendalikan. Berikut ini faktor risiko osteoporosis yang tidak dapat
dikendalikan.
1. Jenis Kelamin
Kaum wanita mempunyai faktor risiko terkena osteoporosis lebih besar
dibandingkan kaum pria. Hal ini disebabkan pengaruh hormon estrogen yang mulai
menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun.

2. Usia
Semakin tua usia, risiko terkena osteoporosis semakin besar karena secara alamiah
tulang semakin rapuh sejalan dengan bertambahnya usia. Osteoporosis pada usia
lanjut terjadi karena berkurangnya massa tulang yang juga disebabkan menurunnya
kemampuan tubuh untuk menyerap kalsium.

3. Ras
Semakin terang kulit seseorang, semakin tinggi risiko terkena osteoporosis.
Karena itu, ras Eropa Utara (Swedia, Norwegia, Denmark) dan Asia berisiko lebih
tinggi terkena osteoporosis dibanding ras Afrika hitam. Ras Afrika memiliki massa
tulang lebih padat dibanding ras kulit putih Amerika. Mereka juga mempunyai otot
yang lebih besar sehingga tekanan pada tulang pun besar. Ditambah dengan kadar
hormon estrogen yang lebih tinggi pada ras Afrika.
4. Pigmentasi dan Tempat Tinggal
Mereka yang berkulit gelap dan tinggal di wilayah khatulistiwa, mempunyai risiko
terkena osteoporosis yang lebih rendah dibandingkan dengan ras kulit putih yang
tinggal di wilayah kutub seperti Norwegia dan Swedia.
5. Riwayat Keluarga
Jika ada nenek atau ibu yang mengalami osteoporosis atau mempunyai massa
tulang yang rendah, maka keturunannya cenderung berisiko tinggi terkena
osteoporosis.
6. Sosok Tubuh
Semakin mungil seseorang, semakin berisiko tinggi terkena osteoporosis.
Demikian juga seseorang yang memiliki tubuh kurus lebih berisiko terkena
osteoporosis dibanding yang bertubuh besar.
7. Menopause
Wanita pada masa menopause kehilangan hormon estrogen karena tubuh tidak
lagi memproduksinya. Padahal hormon estrogen dibutuhkan untuk pembentukan
tulang dan mempertahankan massa tulang. Semakin rendahnya hormon estrogen
seiring dengan bertambahnya usia, akan semakin berkurang kepadatan tulang
sehingga terjadi pengeroposan tulang, dan tulang mudah patah. Menopause dini bisa
terjadi jika pengangkatan ovarium terpaksa dilakukan disebabkan adanya penyakit
kandungan seperti kanker, mioma dan lainnya. Menopause dini juga berakibat
meningkatnya risiko terkena osteoporosis.

Berikut ini faktor faktor risiko osteoporosis yang dapat dikendalikan. Faktor-faktor
ini biasanya berhubungan dengan kebiasaan dan pola hidup.
1. Aktivitas Fisik
Seseorang yang kurang gerak, kurang beraktivitas, otot-ototnya tidak terlatih dan
menjadi kendor. Otot yang kendor akan mempercepat menurunnya kekuatan tulang.
Untuk menghindarinya, dianjurkan melakukan olahraga teratur minimal tiga kali
dalam seminggu (lebih baik dengan beban untuk membentuk dan memperkuat
tulang).

2. Kurang Kalsium
Kalsium penting bagi pembentukan tulang, jika kalsium tubuh kurang maka tubuh
akan mengeluarkan hormon yang akan mengambil kalsium dari bagian tubuh lain,
termasuk yang ada di tulang. Kebutuhan akan kalsium harus disertai dengan asupan
vitamin D yang didapat dari sinar matahari pagi, tanpa vitamin D kalsium tidak
mungkin diserap usus.

3. Merokok
Para perokok berisiko terkena osteoporosis lebih besar dibanding bukan perokok.
Telah diketahui bahwa wanita perokok mempunyai kadar estrogen lebih rendah dan
mengalami masa menopause 5 tahun lebih cepat dibanding wanita bukan perokok.
Nikotin yang terkandung dalam rokok berpengaruh buruk pada tubuh dalam hal
penyerapan dan penggunaan kalsium. Akibatnya, pengeroposan tulang/osteoporosis
terjadi lebih cepat.

4. Minuman Keras/Beralkohol
Alkohol berlebihan dapat menyebabkan luka-luka kecil pada dinding lambung.
Dan ini menyebabkan perdarahan yang membuat tubuh kehilangan kalsium (yang ada
dalam darah) yang dapat menurunkan massa tulang dan pada gilirannya menyebabkan
osteoporosis.

5. Minuman Soda
Minuman bersoda (softdrink) mengandung fosfor dan kafein (caffein). Fosfor
akan mengikat kalsium dan membawa kalsium keluar dari tulang, sedangkan kafein
meningkatkan pembuangan kalsium lewat urin. Untuk menghindari bahaya
osteoporosis, sebaiknya konsumsi soft drink harus dibarengi dengan minum susu atau
mengonsumsi kalsium ekstra.
6. Stress
Kondisi stres akan meningkatkan produksi hormon stres yaitu kortisol yang
diproduksi oleh kelenjar adrenal. Kadar hormon kortisol yang tinggi akan
meningkatkan pelepasan kalsium kedalam peredaran darah dan akan menyebabkan
tulang menjadi rapuh dan keropos sehingga meningkatkan terjadinya osteoporosis.

7. Bahan Kimia
Bahan kimia seperti pestisida yang dapat ditemukan dalam bahan makanan
(sayuran dan buah-buahan), asap bahan bakar kendaraan bermotor, dan limbah
industri seperti organoklorida yang dibuang sembarangan di sungai dan tanah, dapat
merusak sel-sel tubuh termasuk tulang. Ini membuat daya tahan tubuh menurun dan
membuat pengeroposan tulang.
Tandra, H. Osteoporosis: Mengenal, mengatasi, dan mencegah tulang keropos.
Jakarta: PT Gramedia; 2009. h50.
Suryati, A, Nuraini, S. Faktor Spesifik Penyebab Penyakit Osteoporosis Pada
Sekelompok Osteoporosis Di RSIJ 2005. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. Jul 2006;
2(2):107-126.
Waluyo, S. 100 Question & Answer Osteoporosis. Jakarta: Kelompok Gramedia PT.
Elex Media Komputindo; 2009

9. Struktur tulang scra histologis


10. Proses remodelling

Pada proses remodeling, tulang secara kontinyu mengalami penyerapan dan


pembentukan. Hal ini berarti bahwa pembentukan tulang tidak terbatas pada fase
pertumbuhan saja, akan tetapi pada kenyataanya berlangsung seumur hidup. Sel yang
bertanggung jawab untuk pembentukan tulang disebut osteoblas (osteoblast), sedangkan
osteoklas (osteoclast) bertanggung jawab untuk penyerapan tulang.
Pembentukan tulang terutama terjadi pada masa pertumbuhan. Pembentukan dan
penyerapan tulang berada dalam keseimbangan pada individu berusia sekitar 30 - 40 tahun.
Keseimbangan ini mulai terganggu dan lebih berat ke arah penyerapan tulang ketika wanita
mencapai menopause dan pria mencapai usia 60 tahun.
Pada osteoporosis akan terjadi abnormalitas bone turnover, yaitu terjadinya proses
penyerapan tulang (bone resorption) lebih banyak dari pada proses pembentukan tulang
(bone formation).
Remodeling tulang adalah pergantian jaringan tulang tua dengan jaringan tulang muda.
Kondisi ini sebagian besar terjadi pada kerangka hewan dewasa untuk mempertahankan
massa tulang. Proses ini mencakup pembentukan dan resorpsi tulang secara bersamaan
(berpasangan). Remodeling merupakan sebuah proses yang dinamis termasuk penggantian
dan pengisian kembali baik tulang kompak maupun trabekular. Proses ini terus-menerus
terjadi untuk mempertahankan massa tulang serta integritas dan fungsi kerangka. Proses ini
kompleks dan dikendalikan oleh susunan syaraf pusat melalui hormon dan oleh tekanan
mekanis. Proses ini bergantung pada keterpaduan aksi dari osteoblas, osteosit, dan osteoklas.
Secara bersamaan, ketiga sel ini membentuk BMU (Basic Multicellular Unit) atau unit
remodeling tulang yang berperan dalam proses remodeling pada hewan dewasa.
Proses remodeling tulang terjadi dalam beberapa fase yaitu:
1. Aktivasi: pre-osteoklas terstimulasi menjadi osteoklas dewasa yang aktif.
2. Resorpsi: osteoklas mencerna matriks tulang tua.
3. Pembalikan: akhir dari proses resorpsi, saat osteoklas digantikan oleh osteoblas.
4. Pembentukan: osteoblas menghasilkan matriks tulang yang baru.
5. Fase pasif: osteoblas selesai menghasilkan matriks dan terbenam di dalamnya.
Beberapa osteoblas membentuk sederet sel yang berjejer di permukaan tulang yang
baru.
1. Lynn SG, Sinaki M, Westerlind KC. Balance characteristics of persons with
osteoporosis. Arch Phys Med Rehabil. Mar 2000; 78(3):273-7.

11. Pengaruh hormonal trhdp kondisi tulg

1. Defisiensi estrogen
Dalam keadaan normal estrogen dalam sirkulasi mencapai sel osteoblas, dan
beraktivitas melalui reseptor yang terdapat di dalam sitosol sel tersebut,
mengakibatkan menurunnya sekresi sitokin seperti: Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-6
(IL-6) dan Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-), merupakan sitokin yang berfungsi
dalam penyerapan tulang. Di lain pihak estrogen meningkatkan sekresi Transforming
Growth Factor (TGF-), yang merupakan satu-satunya faktor pertumbuhan
(growthfactor) yang merupakan mediator untuk menarik sel osteoblas ke tempat
lubang tulang yang telah diserap oleh sel osteoklas. Sel osteoblas merupakan sel
target utama dari estrogen, untuk melepaskan beberapa faktor pertumbuhan dan
sitokin seperti tersebut diatas, sekalipun secara tidak langsung maupun secara
langsung juga berpengaruh pada sel osteoklas.
a. Efek estrogen pada osteoblas
Sel osteoblas memiliki reseptor estrogen alpha dan betha (ER dan ER) di
dalam sitosol. Dalam diferensiasinya sel osteoblas mengekspresikan reseptor
betha (ER) 10 kali lipat dari reseptor estrogen alpha (ER).17 Didalam percobaan
binatang defisiensi estrogen menyebabkan terjadinya osteoklastogenesis dan
terjadi kehilangan tulang. Akan tetapi dengan pemberian estrogen terjadi
pembentukan tulang kembali, dan didapatkan penurunan produksi dari IL-1, IL-6,
dan TNF-, begitu juga selanjutnya akan terjadi penurunan produksi M-CSF dan
RANK-Ligand (RANK-L). Di sisi lain estrogen akan merangsang ekspresi dari
osteoprotegerin (OPG) dan TGF- (Transforming Growth Factor-) pada sel
osteoblas dan sel stroma, yang lebih lanjut akan menghambat penyerapan tulang
dan meningkatkan apoptosis dari sel osteoklas.
Waters KM, Rickard DJ, Gebhart JB, et al. Potential roles of estrogen reseptor-a
and -b in the regulation of human oteoblast functions and gene expression. The
menopause at the millenium. The Proceding of the 9th International Menopause
Society World Congress on Menopause. 2000 October 17-21; Y okohama, Japan.
Bell, Norman H. RANK ligand and the regulation of skletal remodeling . J Clin
Invest. 2003; (111):1120-22.
Suatu sitokin, ligand, maupun hormon yang dapat menghambat atau
merangsang fungsi suatu sel bergantung pada berbagai hal, di antaranya adalah
tingkat aktivasi sel tersebut, sinyal yang memicu, dan waktu (timing), seperti
misalnya pada sel makrofag. Hal yang sama terjadi juga pada sel stroma
osteoblastik dan osteoblas. Jadi tingkat aktivasi dari sel stroma osteoblastik
bergantung pada kontak antara reseptor dan ligand. Estrogen merupakan salah
satu yang berfungsi menstimulasi ekspresi gene dan produksi protein pada sel
osteoblastik manusia, seperti misalnya produksi OPG, RANK-L, dan IL-6. Besar
kecilnya protein yang diproduksi bergantung pada aktivasi sel stroma osteoblastik.
Astawa Putu. Makrofag pengekspresi IL-1b serta respons inflamasi sistemik
pada fiksasi interna dini fraktur femur tertutup lebih rendah dibandingkan dengan
yang terbuka. Doktoral (Disertasi). Denpasar: Program Doktor Program Studi Ilmu
Kedokteran Program Pascasarjana: Universitas Udayana; 2007.
Hofbauer LC, Khosla S, Dunstan CR, et al. Estrogen stimulate gene
expression and protein production of osteoprotegerin in human osteoblastic cell.
Endocrinology. 2000; 140(9):4367-8.
Efek biologis dari estrogen diperantarai oleh reseptor yang dimiliki oleh sel
osteoblastik diantaranya: estrogen receptor-related receptor (ERR), reseptor
estrogen , (ER, ER). Sub tipe reseptor inilah yang melakukan pengaturan
homeostasis tulang dan berperan akan terjadinya osteoporosis.
Dengan demikian dimungkinkan pada sel stroma osteoblastik dan sel
osteoblas terjadi perbedaan tingkat aktivasi sel, sehingga akan terjadi perbedaan
produksi dari protein yang dihasilkannya seperti misalnya: IL-6, RANK-L, dan
OPG, dengan suatu stimulasi yang sama.
Quaedackers ME, V an Den Brink CE, Wissink S, et al. 4-hydroxytamoxipen
trans-represses nuclear factor-kb activity in human oasteoblastic U2-OS cells
through estrogen receptor (ER) a and not through Erb. Endocrinology. 2001;
142:3.
Bonnelye E, Kung V, Laplace C, et al. Estrogen receptor-related receptor a impinges
on the estrogen axis in bone potential function in osteoporosis. Endocrinology. 2002;
143(9):3658-70.
b. Efek estrogen pada sel osteoklas
Dalam percobaan binatang, defisiensi estrogen akan menyebabkan terjadinya
osteoklastogenesis yang meningkat dan berlanjut dengan kehilangan tulang. Hal
ini dapat dicegah dengan pemberian estrogen. Dengan defisiensi estrogen ini akan
terjadi meningkatnya produksi dari IL-1, IL-6, dan TNF- yang lebih lanjut akan
diproduksi M-CSF dan RANK-L. Selanjutnya RANK-L menginduksi aktivitas
JNK1 dan osteoclastogenic activator protein-1, faktor transkripsi c-Fos dan c-Jun.
Estrogen juga merangsang ekpresi dari OPG dan TGF- oleh sel osteoblas dan sel
stroma, yang selanjutnya berfungsi menghambat penyerapan tulang dan
mempercepat atau merangsang apoptosis sel osteoklas.
Jadi estrogen mempunyai efek terhadap sel osteoklas, bisa memberikan
pengaruh secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung estrogen
mempengaruhi proses deferensiasi, aktivasi, maupun apoptosi dari osteoklas.
Dalam deferensiasi dan aktivasinya estrogen menekan ekspresi RANK-L, M-CSF
dari sel stroma osteoblas, dan mencegah terjadinya ikatan kompleks antara
RANK-L dan RANK, dengan memproduksi reseptor OPG, yang berkompetisi
dengan RANK. Begitu juga secara tidak langsung estrogen menghambat produksi
sitokin-sitokin yang merangsang diferensiasi osteoklas seperti: IL-6, IL-1, TNF-,
IL-11 dan IL-7.24 Terhadap apoptosis sel osteoklas, secara tidak langsung estrogen
merangsang osteoblas untuk memproduksi TGF-, yang selanjutnya TGF- ini
menginduksi sel osteoklas untuk lebih cepat mengalami apoptosis.
Sedangkan efek langsung dari estrogen terhadap osteoklas adalah melalui
reseptor estrogen pada sel osteoklas, yaitu menekan aktivasi c-Jun, sehingga
mencegah terjadinya diferensiasi sel prekursor osteoklas dan menekan aktivasi sel
osteoklas dewasa.
Oursler MJ. Direct and indirect effects of estrogen on osteoclast. J Musculoskel
Neuron Interact. 2003; 3(4):363-6.
Bell, Norman H. RANK ligand and the regulation of skletal remodeling . J Clin
Invest. 2003; (111):1120-22.

12. Jenis gerakan tubuh


13. Fktor yg mmpengaruhi kpadatan tlg
14. Bgaimn struktur tlg yg mnglmi osteoporosis scra histologi
15. Kelainan tulang
1. Penyakit Spondylisthesis
Spondylisthesis merupakan kelainan pembentukan korpus vertebrae, dimana arkus
vertebrae tidak bertemu dengan korpus vertebrae. Walaupun kejadian ini terjadi
sewaktu bayi, namun ketika berumur 35 tahun baru menimbulkan nyeri akibat
kelainan-kelainan degeneratif. Nyeri pinggang ini berkurang atau hilang bila penderita
duduk atau tidur dan akan bertambah, bila penderita itu berdiri atau berjalan.
Soeharso menyebutkan gejala klinis dari penyakit ini adalah:
a. Penderita memiliki rongga badan lebih pendek dari semestinya. Antara dada
dan panggul terlihat pendek.
b. Pada punggung terdapat penonjolan processus spinosus vertebra yang
menimbulkan skoliosis ringan.
c. Nyeri pada bagian punggung dan meluas hingga ke ekstremitas bawah.
d. Pemeriksaan X-ray menunjukan adanya dislokasi, ukuran antara ujung spina
dan garis depan corpus pada vertebra yang mengalami kelainan lebih panjang
dari garis spina corpus vertebrae yang terletak diatasnya.
Soeharso. Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica;
2000
16. Kelainan sendi
A. Artritis infeksiosa
Penyakit sendi karena infeksi mikroba. Bentuk tersering artritis infeksi adalah artritis
yang disebbakan oleh bakteri melalui implantasi traumatik atau penyebaran langsung
infeksi ke tulang atau jaringan lunak didekat sendi yang bersangkutan. Patogen yang
umum adalah gonokokus, stafilokokus, dan streptokokus. Manifestasi yang sering
terjadi yaitu demma, nyeri lokal, dan terjadi peradangan di sekitar sendi. Pada aspirasi
rongga sendi biasanya menghasilkan pus dan organisme penyebab yang mungkin
terlihat pada apusan eksudat yang dilakukakan dengan pewarnaan gram.
B. Gout
Gangguan yang disebabkan oleh penimbunan asam urat, suatu produk akhir
metabolisme purin, dalam jumlah berlebihan dijaringan
C. Osteoartritis
Merupakan gangguan sendi tersering yang menjadi bagian dari proses penuaan dan
merupakan penyebab cacat fisik pada orang berusia diatas 65 tahun
Robbins, Vinay Kumar. Buku Ajar Patologi Ed.7 . Jakarta: EGC. 2007.

2.1 Skala Bone Densitometry


T-score adalah hasil tes densitas tulang yang akan menunjukkan seberapa tinggi atau
rendahnya densitas tulang kita bila dibandingkan dengan orang dewasa sehat yang berusia 30
tahun. Penyedia layanan kesehatan menggunakan T-score terendah sebagai diagnosis untuk
osteoporosis.
Menurut WHO (World Health Organization):
0. T-score -1.0 atau lebih tinggi, densitas tulang yang normal. Contohnya adalah 0.9, 0
dan -0.9.
1. T-score diantara -1.0 dan -2.5, densitas tulang yang rendah atau osteopenia.
Contohnya adalah -1.1, -1.6 dan -2.4.
2. T-score -2.5 atau lebih rendah, diagnosis osteoporosis. Contohnya adalah -2.6, -3.3
dan -3.9.
Makin rendah T-score seseorang makin rendah densitas tulangnya. T-score -1.0 lebih
rendah dari T-score 0.5 dan T-score -3.5 lebih rendah dari T-score -3.0.

Panduan Untuk Memahami T-score

T-score
Kategori
Range Contoh

+0.5
Densitas Tulang
-1 dan diatas -1 0
Normal
-1.0

-1.1
Densitas tulang
Diantara -1 dan -2.5 -1.5
rendah (Osteopenia)
-2.4

-2.5
-2.5 dan dibawah -
Osteoporosis -3.0
2.5
-4.0

Selain T-score, hasil tes densitas tulang juga menyertakan Z-score yang berfungsi untuk
membandingkan densitas tulang kita dengan densitas tulang normal pada orang yang
memiliki umur dan ukuran badan yang sama. Pada orang-orang yang telah lanjut usia, hasil
tes densitas tulang rendah adalah hal yang biasa, jadi Z-score juga dapat menyesatkan.
Kebanyakan ahli menyarankan untuk menggunakan Z-score daripada T-score untuk anak-
anak, remaja, perempuan premenopause dan laki-laki muda. NOF (National Osteoporosis
Foundation) tidak merekomendasikan tes rutin densitas tulang pada orang-orang dengan usia
tersebut. Menurut International Society for Clinical Densitometry (ISCD) Z-score diatas -2.0
adalah normal. Diagnosis osteoporosis pada laki-laki muda, perempuan premenopause, dan
anak-anak sebaiknya tidak hanya berdasarkan tes densitas tulang saja.
Nakamura T. Low Back Pain Accompanying Osteoporosis. Japan Medical
Association Journal. 2003; 46(10): 446-47.

2.2 Pengaruh Pemberian Kalsium dan Obat Nyeri Pada Pemicu


Kalsium adalah kation ekstrasel utama. Peran utama kalsium adalah untuk kontraksi dan
eksitasi otot jantung dan otot lainnya, transmisi sinap sistem saraf, agregasi platelet,
koagulasi, dan sekresi hormon dan regulator lain yang memerlukan eksositosis. Kadar
kalsium normal dalam plasma 8,5-10,4 mg/dL, 45% terikat protein plasma terutama albumin,
10% terikat dengan dapar anion seperti sitrat dan fosfat. Empat puluh lima persen sisanya ada
dalam bentuk ion dan merupakan bentuk aktif. Kadar kalsium dalam cairan ekstrasel 1% dari
keseluruhan total kalsium tubuh sementara kadarnya dalam sel dijaga sekitar 1/10.000 dari
kadar ekstrasel. Fungsi utama kalsium intrasel adalah second messenger intraselular untuk
mengatur pembelahan sel, kontraktilitas otot, pergerakan sel, dan sekresi.
Sumber kalsium utama dan satu-satunya adalah diet antara lain susu dan produknya
seperti keju dan yogurt, sayur-sayuran berwarna hijau, ikan dalam kaleng yang lengkap
dengan tulangnya seperti sardin, kacang-kacangan, dan makanan jadi yang difortifikasi
dengan kalsium seperti jus, dan sereal.
Absorbsi kalsium di saluran cerna terjadi di proksimal duodenum yang tergantung pada
vitamin D aktif dan bersifat difusi aktif yang memerlukan calsium binding protein(CaBP)
atau kalbindin. Efektivitas absorbsi kalsium di usus dipengaruhi oleh asupan kalsium.
Semakin rendah kadar kalsium dalam makanan yang dikonsumsi, semakin aktif pula usus
melakukan absorbsi. Sembilan puluh sembilan persen kalsium ekstrasel terdapat dalam
tulang dalam bentuk hidroksiapatit yang mencerminkan keseimbangan antara proses
pembentukan dan resorpsi tulang.
Keseimbangan metabolisme kalsium diatur oleh tiga faktor, hormon paratiroid, vitamin
D, dan kalsitonin yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid. Membran sel kelenjar paratiroid
mengandung sensor kalsium yang dapat mendeteksi kadar kalsium darah. Aktivasi reseptor
kalsium terjadi bila kadar kalsium darah tinggi, menyebabkan pelepasan fosfolipase A2,
asam arakidonat, dan leukotrien. Leukotrien menginhibisi sekresi hormon paratiroid melalui
degradasi 90% granul sekretori yang mengandung bentuk preformed hormon paratiroid.
Aktivasi reseptor kalsium tidak akan terjadi bila kadar kalsium darah rendah. Hormon
paratiroid bekerja dengan berikatan dengan reseptor membran sel organ target, yaitu
reseptor hormon paratiroid 1 di ginjal dan tulang. Hormon paratiroid meningkatkan
reabsorbsi kalsium dengan mempermudah pori kalsium di tubulus distal ginjal terbuka.
Hormon paratiroid meningkatkan degradasi tulang dengan bekerja pada osteoblast melalui
RANKL di tulang. Hormon paratiroid juga menstimulasi hidroksilasi 25-OH-vitamin D3
menjadi bentuk aktifnya (kalsitriol). Efek kalsitonin terhadap kalsium bertentangan dengan
efek hormon paratiroid. Kalsitonin menginhibisi aktivitas osteoklast, mengurangi resorpsi
tulang, dan meningkatkan ekskresi kalsium melalui ginjal, jadi fungsi kalsitonin
menurunkan kadar kalsium darah.
Tujuan tata laksana osteoporosis yang diinduksi oleh kortikosteroid untuk
mempertahankan masa tulang yang ada dengan mencegah kehilangan masa tulang lebih
lanjut, mengurangi nyeri akibat proses osteoporosis maupun fraktur akibat osteoporosis,
mempertahankan atau meningkatkan kekuatan otot, dan menyesuaikan gaya hidup dengan
kondisi yang ada.
National Osteoporosis Foundation. Having a Bone Density Test [internet]. 2008 Feb
21 [update 2013 Oct 1, disitasi 2013 Des 30]. Tersedia di: http://nof.org/articles/743
Beberapa studi telah dilakukan pada anak maupun dewasa untuk menilai efektivitas
kalsium dan vitamin D sebagai pencegahan berkurangnya densitas tulang dan mendapatkan
hasil yang positif.
Cheng S, Lyytikainen A, Kroger H, Lamberg-Allardt C. Effects of calcium, dairy
product, and vitamin D supplementation on bona mass accrual and body composition
in 10-12 years old girls: a 2 years randomized trial. Am J Clin Nutr 2005;82:1115-26.
Dosis kortikosteroid berpengaruh pada efektivitas kalsium dan vitamin D dalam
pencegahan osteoporosis, semakin rendah dosis, semakin efektif kalsium dan vitamin
D.Kombinasi vitamin D dan kalsium lebih unggul daripada apabila diberikan tersendiri.
Lacativa PGS, de Farias MLF. Office practice of osteoporosis evaluation. Arq Bras
Endocrinol Metab 2006;50:674-84.
Rekomendasi pencegahan dan terapi osteoporosis yang diinduksi kortikosteroid yang
direkomendasikan American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on
Glucocorticoid Induced Osteoporosis adalah sebagai berikut.
1. Pencegahan dan terapi pada semua pasien. Suplementasi kalsium 500-1000 mg/hari
dan vitamin D 800 IU/hari atau vitamin D aktif-kalsidiol 1g/hari atau kalsitriol
0,5g/hari.
2. Pencegahan dan terapi pada pasien yang mendapat kortikosteroid dosis moderat-
tinggi dengan pemberian kalsium 500-1000 mg/hari dan vitamin D aktif-kalsidiol
1g/hari atau kalsitriol 0,5g/ hari).
3. Pada pasien dengan hipogonadal berikan hormon pengganti (estrogen atau testoteron)
Beberapa bentuk preparat kalsium antara lain, kalsium karbonat merupakan bentuk
kalsium paling umum yang mengandung kalsium elemental 40%, karena sulit diabsorbsi
maka sebaiknya diberikan bersama makanan atau dikombinasi dengan vitamin D. Kalsium
sitrat mengandung kalsium elemental 21%, absorbsi lebih baik daripada kalsium karbonat,
namun harganya lebih mahal.
Crabtree NJ, Kibirigi MS, Fordham JN, Banks BM. The Relationship between lean
body mass and bone mineral content in pediatric helath and disease. Bone. 2004;
46:512-60.

Anda mungkin juga menyukai