Anda di halaman 1dari 212

LAPORAN AHIR PRAKTIKUM FITOKIMIA

IDENTIFIKASI SENYAWA PADA TANAMAN DENGAN TEKNIK


KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS DAN KROMATOGRAFI KOLOM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Prasktikum Fitokimia

Dosen : Drs. Herra Studiawan, M.Si., Apt.


Siti Rofida, M.Farm., Apt.

Oleh : Kelompok 4
Dian Karasvita L 201410410311173
Mahya R Agustina 201410410311176
Rika Rahim 201410410311179
Saulatun Nisa 201410410311181
Ratih Kusumastuti 201410410311182
Rika Yunita 201410410311183
Selvi Rahma D 201410410311185

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
MEI 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wataala,


karena berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan LAPORAN AKHIR
PRAKTIKUM FITOKIMIA. Laporan akhir ini disusun untuk memenuhi tugas
praktikum fitokima.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya.
Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan ahir praktikum
ini. Semoga laporan ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat
untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Malang , 15 Mei 2017

Kelompok 2
LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA
IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN ALKALOIDA
(Ekstrak Piper nigrum L.)

Dosen : Drs. Herra Studiawan, M.Si., Apt.


Siti Rofida, M.Farm., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FEBRUARI 2017
TUGAS I IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN ALKALOIDA
(Ekstrak Piper nigrum L.)

I. Tujuan
Mahasiswa mampu melakukan identifikasi senyawa golongan alkaloida
dalam tanaman.
II. Tinjauan Pustaka
A. Tanaman Lada Hitam Piper nigrum L.)
Tanaman lada (Piper nigrum L) merupakan rempah-rempah yang
terpenting dan tertua di dunia. Tanaman ini termasuk famili Piperaceae,
yang terdiri dari lebih kurang 12 genus. Lada atau yang sering disebut
merica memiliki nama ilmiah Piper nigrum L. adalah salah satu rempah
yang berbentuk biji-bijian kecil. Tumbuhan lada adalah tumbuhan
merambat dan memiliki daun tunggal berbentuk bulat telur berwarna hijau
pucat dan buram dengan ujung runcing yang tersebar dengan batang yang
berbuku-buku. Bunga lada tersusun dalam bentuk bunga majemuk dan
berkelamin tunggal tanpa memiliki hiasan bunga. Sedangkan buah lada
berbentuk bulat dengan biji yang keras namun memiliki kulit buah yang
lunak.
1. Klasifikasi
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Magnoliidae
Ordo : Piperales
Famili : Piperaceae (suku sirih-sirihan)
Genus : Piper
Spesies : Piper nigrum L.
2. Nama Daerah
Merica hitam (Piper nigrum L.) mempunyai nama Sumatera:
lada (Aceh), leudeu pedih (Gayo), lada (Batak), lada (Nias), raro
(Mentawai), lada kecik (Bengkulu), lade ketek (Minangkabau), lada
(Lampung). Jawa: Lada, pedes (Sunda), merica (Jawa). Nusa
Tenggara: maicam, mica (Bali), saha (Bima), saang (Flores).
Kalimantan: sahang laut (Dayak), sahang (Sampit). Sulawesi: kaluya
jawa, marisa jawa, malita lodawa (Gorontalo). Maluku: marisano
(Sepa), rica jawa, rica polulu (Ternate), mica jawa, rica tamelo
(Tidore).
3. Morfologi Tanaman
Batang

Batang tanaman lada tumbuh merambat pada suatu tiang,


terkadang juga menjalar di permukaan tanah. Panjang batang bisa
mencapai 15 meter, namun dalam budi dayatanaman lada, biasanya
batang akan dipotong dan hanya disisakan sekitar 275-300 centi
meter. Bentuk batang pada tanaman lada adalah beruas-ruas seperti
tanaman tebu dan panjang ruas bukunya berkisar 47 cm, hal ini
tergantung pada tingkat kesuburan. Panjang ruas buku pada pangkal
biasanya lebih pendek dibanding dengan ruas yang berada di
pertengahan maupun ujung, sedang ukuran diameternya rata-rata
berukuran 625 mm.
Akar

Akar yang dimiliki oleh tanaman lada adalah akar


tunggang namun mirip dengan akar serabut. Ukurannya kecil-kecil dan
tidak panjang sebagaimana pada akar tunggang biasanya. Sesuai
dengan jenisnya, akar tanaman ini dibedakan menjadi dua, yakni akar
lekat dan akar tanah. Akar lekat adalah akar yang tumbuh pada setiap
ruas buku yang berada di permukaan tanah dan mempunyai panjang
rata-rata 2,5-3,5 cm. Dalam satu ruas buku bisa tumbuh sebanyak 10-
25 helai akar. Kemudian akar tanah adalah akar yang tumbuh pada
batang tanaman lada yang berada di dalam tanah. Dari satu suku
batang bisa tumbuh sekitar 10-20 helai akar.
Cabang
Tanaman ini mempunyai dua macam lada, yakni cabang
orthotrop dan cabang pang plagiatrop. Adapun cabang orthotrop
adalah cabang yang tumbuh dari ketiakdaun pada buku batang baik
yang berada di permukaan maupun di dalam tanah.
Selanjutnya, cabang pang plagiatrop merupakan cabang yang tumbuh
dari bukudahan. Biasanya cabang ini akan tumbuh setelah tanaman
lada berbuah sebanyak dua kali. Jika semakin banyak buku dahan yang
ditumbuhi olehnya, maka semakin banyak buah yang akan dihasilkan.
Dahan

Ukuran panjang dahan tanaman lada berkisar antara 35


65 cm. Dahannya tumbuh secara vertikal, namun akan berubah
jadi horisontal ketika buahnya sudah mulai tua dan masak. Hal ini
menyebabkan dahan tanaman ini menggantung karena dipengaruhi
oleh bobot buah yang tumbuh di dahan tersebut. Dahan harus dijaga
agar tumbuh normal karena mempunyai fungsi utama, yakni sebagai
media pertumbuhan bunga dan buah.
Daun
Daun tanaman lada berbentuk bulat telur, namun ujungnya
meruncing. Pada belahan atas, daun berwarna hijau tua mengkilat,
sedang yang bawah berwarna hijau pucat. panjangnya bisa mencapai
1218 cm dengan ukuran lebar 510 cm. Daun akan berukuran lebih
panjang jika berada pada batang bagian atas, begitu
sebaliknya. Biasanya kuncup daun lada terbungkus
oleh kelopak (sisik), jika dia mengembang, maka berjatuhanlah
kelopak tersebut. Selain itu, daun tanaman ini sifatnya kenyal dan
bertangkai.
4. Habitat Tanaman
Genus Piper memiliki banyak spesies. Sekitar 6002.000
spesies diantaranya tersebar di daerah tropis. Dari jumlah tersebut,
terdapat beberapa spesies yang telah di budidayakan, antara lain P.
nigrum (lada), P. betle (sirih), dan P. retrofractum (cabai jawa)
(Rukmana, 2003).
Menurut Rajeev (2005), lada hitam (P. nigrum) merupakan
tanaman tropis yang membutuhkan curah hujan dan kelembaban yang
cukup. Lada hitam tumbuh baik pada daerah antara 20LU-20LS,
dan pada ketinggian sampai 1500 m diatas permukaan laut. Suhu
yang dikehendaki antara 10C-40C.
Lada hitam dapat tumbuh subur pada tanah yang memiliki pH
4,5-6,5. Menurut Sastrapdja (1996), lada berasal dari wilayah India,
tanaman ini biasanya tumbuh liar di pegunungan Assam dan Burma
Utara. Pada abad ke-16 tanaman ini telah diketahui menyebar ke
Thailand, Malaysia dan Jawa.
5. Kandungan Kimia Lada Hitam
Kandungan : Mengandung minyak atsiri dan senyawa alkaloida
piperina dan kavisina
Simplisia : Minyak atsiri mengandung felandren, dipenten,
kariopilen, limonene, alkaloida piperina dan
kavisina
Menurut Williamson (2002), susunan kimia lada hitam terdiri dari :
1. Minyak atsiri (Essential oil) diantaranya mengandung 1,2 2,6%
minyak atsiri yang terdiri dari sabinine (15-25%), caryophyllene,
-pinene, dll.
2. Asam Fenolat adalah senyawa yang terdiri dari cincin fenolik dan
gugus asam karboksilat (COOH) dengan struktur kimia C6-C1.
Menurut Meghwal dan Goswami (2012) asam fenolat yang
terkanlldung dalam buah lada hitam memiliki fungsi sebagai
antioksidan.
3. Piperin (1piperilpiperidin ) C17H19O3N merupakan alkaloid
dengan inti piperidin. Piperin berbentuk 9ocal9e berwarna kuning
dengan titik leleh 1270C -1290C, merupakan basa yang tidak optis
aktif, dapat larut dalam 9ocal9e, 9ocal9e, eter, dan sedikit larut
dalam air (Anwar,dkk. 1994). Piperin terdapat dalam beberapa
spesies piper dan dapat dipisahkan baik dari lada hitam maupun
lada putih perdagangan piperin juga dapat ditemukan pada cabe
jawa. Kandungan piperin biasanya berkisar antara 5-92%
(Anwar,dkk. 1994).
Menurut Shingate et al. (2013) lada terdiri dari piperine
alkaloid (3-9%), pungent resin (6.0%), volatile oil (1-2.5%),
piperidine dan starch (about 30%) yang berkhasiat sebagai CNS
stimulant, analgesic, antipyretic dan antifeedent activities,
depressant ,anticonvulsant.
6. Penggunaan
Buah merica hitam berkhasiat sebagai bahan penyegar,
menghangatkan badan, merangsang semangat, obat perut kembung,
merangsang keluarnya keringat, dan obat sesak napas. Selain itu juga
sebagai karminatif, diaforetik, dan analgesik (Materia Medica Jilid
IV).

B. Golongan Senyawa (alkaloida)


Alkaloid pertama kali diperkenalkan oleh W. Meisner pada awal
abad 19 untuk senyawa bahan alam yang bereaksi seperti basa. Alkaloid
adalah senyawa nitrogen organik, lazimnya bagian cincin heterosiklik,
bersifat basa, sering bersifat optis aktif dan kebanyakan berbentukkristal.
Pada waktu yang lampau sebagian besar sumber alkaloid adalah pada
tanaman berbunga, angiosperma. Pada tahun-tahun berikutnya penemuan
sejumlah besar alkaloid terdapat pada hewan, serangga organisme laut,
mikroorganisme dan tanaman rendah. Karena alkaloid sebagai suatu
kelompok senyawa yang terdapat sebagian besar pada tanaman
berbunga,maka para ilmuwan sangat tertarik pada sistematika aturan
tanaman. Kelompok teretentu alkaloid dihubungkan dengan family atau
genera tanaman tertentu. Kebanyakan family tanaman yang mengandung
alkaloid yang penting adalah Liliaxea, Rubiaceae, Apocynaceae,
Papilionaceae, Ranunculaceae, Solanaceae dan Papaveraceae. Serta
alkaloida tidak terdapat pada tanaman dengan suku Rosaceae dan Labiatae.
1. Klasifikasi
Alkaloid merupakan sekelompok senyawa, tidak diperoleh
definisi tunggal tentang alkaloid. Banyak usaha untuk
mengklasifikasikan alkaloid. System klasifikasi yang paling banyak
diterima, menurut Hegnauer, alkaloid dikelompokan sebagai:
a. True Alkaloid
Alkaloid sejati adalah senyawa yang mengandung nitrogen
pada struktur heterosiklik, struktur kompleks, distribusi terbatas
yang menurut beberapa ahli hanya ada pada tumbuhan. Alkaloid
sejati ditemukan dalam bentuk garamnya dan dibentuk dari asam
amino sebagai bahan dasar biosintesis. Contohnya Atropine.
b. Pseudoalkaloid
Pseudoalkaloid memiliki mengandung nitrogen pada
struktur heterosiklik tetapi tidak diturunkan dari asam amino.
Contoh : isoprenoid, terpenoid (coniin), dan alkaloid steroidal
(paravallarine).

c. Protoalkaloid
Protoalkaloid diturunkan dari asam amino tetapi tidak
mengandung nitrogen pada cincin heterosiklik. Contoh :
mescaline, betanin, dan serotonin. (Swastini, Dewa Ayu.2007).
d. False alkaloid
Senyawa bukan alkaloid tetapi memberikan rekasi positive
terhadap alkaloid.
2. Penamaan Alkaloid
a. Berdasarkan sumber/asalnya (genus dan spesies)
contoh: papaverin,efedrin, atropin, cocain
b. Berdasarkan aktivitas farmakologi
contoh : emetine untuk muntah
c. Berdasarkan penemunya
contoh : pelleterine (P.J.Pelletier)
d. Nama simplisia digunakan
Contoh : ergotamina - ergot
3. Sifat-sifat fisika
Kebanyakan alkaloid yang telah diisolasi berupa padatan Kristal
dengan titik lebur tertentu atau mempunyai kisaran dekomposisi.
Sedikit alkaloid berbentuk amorf (emetin), dan beberapa seperti
nikotin dan konini berupa cairan.
Kebanyakan alkaloid tidak berwarna, tetapi beberapa senyawa
yang kompleks, spesies aromatic berwarna. Pada umumnya basa
bebas alkaloid hanya larut dalam pelarut organic, meskipun beberapa
pseudoalkaloid dan protoalkaloid larut dalam air. Garam alkaloid dan
alkaloid quartener sangat larut dalam air.
4. Sifat-sifat kimia
Kebanyakan alakaloid bersifat basa. Sifat tersebut tergantung
pada adanya pasangan electron pada nitrogen. Jika gugus fungsional
yang berdekatan dengan nitrogen bersifat melepaskan electron,
sebagai contoh gugus alkil maka ketersediaan electron pada nitrogen
naik dan senyawa lebih bersifat basa.
Kebasaan alkaloid menyebabkan senyawa tersebut sangat
mudah mengalami dekomposisi, terutama oleh panas dan sinar dengan
adanya oksigen. Dalam Hasil dari reaksi ini sering berupa N-oksida.
Dekomposisi alkaloid selama atau setelah isolasi dapat menimbulkan
berbagai persoalan jika penyimpanan berlangsung dalam waktu yang
lama. Pembentukan garam dengan senyawa organic atau anorganik
sering mencegah dekomposisi. Itulah sebabnya dalam perdagangan
alkaloid lazim berada dalam bentuk garamnya.

C. Cara Identifikasi Golongan Senyawa (alkaloida)


a. Reaksi pengendapan
Larutan percobaan untuk pengendapan alkaloida dibagi dalam 4
golongan sebagai berikut:
(1) Golongan I : larutan percobaan dengan alkaloida
membentuk
garam yang tidak larut: asam
silikowolframat LP, asam fosfomolibdat LP
dan asam fosfowolframat LP.
(2) Golongan II : larutan percobaan yang dengan alkaloida
membentuk senyawa kompleks bebas,
kemudian membentuk endapan: Bouchardat
LP dan wagner LP
(3) Golongan III : larutan percobaan yang dengan alkaloida
membentuk senyawa adisi yang tidak larut:
Mayer LP, Dragendorff LP, dan Marme LP.
(4) Golongan IV : larutan percobaan yang dengan alakaloida
membentuk ikatan asam organic dengan
alkaloida: Hager LP.
Cara percobaan
Timbang 500 mg serbuk simplisia, tambahkan 1 ml asam
klorida 2 N dan 9 ml air, panaskan di atas tangas air selama 2
menit, dinginkan dan saring. Pindahkan masing-masing 2 tetes
filtrate pada dua kaca arloji. Tambahkan 2 tetes Mayer LP pada
kaca arloji pertama dan 2 tetes Bouchardat LP pada kaca arloji
kedua. Jika pada kedua percobaan tidak terjadi endapan, maka
serbuk tidak mengandung alkaloida.
Jika dengan Mayer LP terbentuk endapan menggumpal
berwarna putih atau kuning yang larut dalam methanol P dan
dengan Bouchardat LP terbentuk endapan berwarna coklat sampai
hitam, maka ada kemungkinan terdapat alkaloida.
Lanjutkan percobaan dengan mengocok sisa filtrate dengan
3 ml ammonia pekat P dan 10 ml campuran 3 bagian volume eter
P dan 1 bagian volume kloroform P. ambil fase organic, tambahkan
natrium sulfat anhidrat P, saring. Uapkan filtrate di atas tangas air.
Larutkan sisa dalam sedikit asam klorida 2 N. lakukan percobaan
dengan keempat golongan larutan percobaan. Serbuk mengandung
alkaloida jika sekurang-kurangnya terbentuk endapan dengan
menggunakan 2 golongan larutan percobaan yang digunakan.

b. Reaksi warna
Cara percobaan
Lakukan penyarian dengan campuran eter-kloroform seperti pada
cara Reaksi pengendapan. Pindahkan beberapa ml filtrate pada
cawan porselin, uapkan. Pada sisa tambahkan 1 sampai 3 tetes
larutan percobaan seperti yang tertera pada masing-masing
monografi.
Identifikasi :
(1) Pada 2 mg serbuk buah tambahkan 5 tetes asam sulfat P;
terjadi warna coklat tua .
(2) Pada 2 mg serbuk buah tambahkan 5 tetes asam sulfat 10
N; terjadi warna kuning.
(3) Pada 2 mg serbuk buah tambahkan 5 tetes asam klorida
pekat P; terjadi warna coklat tua.
(4) Pada 2 mg serbuk buah tambahkan 5 tetesasam klorida
encer P; terjadi warna kuning.
(5) Mikrodestilasikan 20 mg serbuk buah pada suhu 240
selama 90 detik menggunakan tanur TAS, tempatkan hasil
mikrodestilasi pada titik pertama dari lempeng KLT silica
gel GF2 5 4P. Timbang 500 mg serbuk buah, campur dengan
5 ml methanol P dan panaskan di atas tangas air selama 2
menit, dinginkan. Saring, cuci endapan dengan methanol P
secukupnya sehingga diperoleh 5 ml filtrate. Pada titik
kedua dari lempeng KLT tutulkan 15 l filtrate dan pada
titik ketiga tutulkan 2 l larutan piperina P 0.1% b/v dalam
etanol P. eluasi dengan campuran etil asetat P-benzen P (30
+ 70) dengan. Jarak rambat 15 cm, keringkan lempeng di
udara selama 10 menit. Amati dengan sinar biasa dan
dengan sinar ultraviolet 366 nm. Semprot lempeng dengan
anisaldehid-asam sulfat LP, panaskan pada suhu 110
selama 10 menit. Amati dengan sinar biasa dan dengan
sinar ultraviolet 366 nm. Pada kromatogram tampak
bercak-bercak dengan warna dan hRf sebagai berikut:

Dengan sinar biasa Dengan sinar UV 366 nm


No hRf
Tanpa pereaksi Dengan pereaksi Tanpa pereaksi Dengan pereaksi

1 46 - Merah muda Ungu Biru

2 9 13 - Biru hijau - Biru muda

3 24 30 - Kuning hijau Kuning hijau Kuning hijau terang

4 30 33 - Kuning hijau Biru Kuning hijau terang

5 35 38 - Biru Biru Ungu muda

6 40 44 - Ungu - Ungu kelabu

7 47 51 - Biru ungu - Ungu kecoklatan

8 55 59 - Merah lembayung - Merah lembayung

9 62 66 - Ungu Ungu Ungu terang

10 68 70 - Biru ungu - kelabu

Catatan : piperina sebagai pembanding tampak sebagai bercak berwarna


kuning
hijau dengan harga hRf 27.
D. Pemisahan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu analisis kualitatif
dari suatu sampel yang ingin dideteksi dengan memisahkan komponen
komponen sampel berdasarkan perbedaan kepolaran. Kromatografi lapis
tipis (KLT) digunakan untuk pemisahan zat secara cepat dengan
menggunakan zat penyerap berupa serbuk halus yang dilapiskan serba rata
pada lempeng kaca. Lempeng yang dilapisi dapat dianggap sebagai kolom
kromatografi terbuka dan pemisahan didasarkan pada penyerapan
pembagian atau gabungannya tergantung dari jenis zat penyerap dan cara
pembuatan lapisan zat penyerap dan jenis pelarut.
KLT dengan penyerap penukar ion dapat digunakan untuk
pemisahan senyawa polar. Zat yang memiliki kepolaran yang sama dengan
fasa diam akan cenderung tertahan dan nilai Rfnya paling kecil pada
identifikasi noda/penampakan noda, jika noda sudah berwarna dapat
langsung diperiksa dan ditentukan harga Rfnya. Harga Rf yang diperoleh
pada KLT tidak tetap jika dibandingkan dengan yang diperoleh pada
kromatografi kertas. Oleh karena itu pada lempeng sama disamping
kromatogram dari zat yang diperiksa perlu dibuat kromatogram dari zat
pembanding kimia lebih baik dengan kadar yang berbeda-beda. Perkiraan
identifikasi diperoleh pengamatan 2 bercak dengan harga Rf dan ukuran
yang kurang lebih sama. Ukuran dan intensitas bercak dapat digunakan
untuk memperkirakan kadar. Penetapan kadar yang lebih teliti dapat
digunakan dengan cara densito metri atau dengan mengambil bercak
dengan hati-hati dari lempeng, kemudian disari dengan pelarut yang
cocok, dan ditetapkan dengan spektrofotometri.
Faktor yang mempengaruhi harga Rf :
1. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan
2. Sifat dan penyerap, derajat aktivitasnya
3. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap
4. Pelarut fase gerak
5. Derajat kejenuhan dan uap dalam bejana pengembangan yang
digunakan
6. Teknik percobaan
7. Jumlah campuran yang digunakan
8. Suhu
9. Kesetimbangan.
(Materia Medika Indonesia jilid V, hal.528)
E. Tinjauan Eluen
Fase gerak merupakan medium angkut yang terdiri atas satu atau
beberapa pelarut. Fase gerak bergerak dalam fase diam karena adanya
gaya kapiler. Pelarut yang digunakan sebagai fase gerak hanyalah pelarut
bertingkat mutu analitik dan bila diperlukan sistem pelarut
multikomponen ini harus berupa suatu campuran yang sesederhana
mungkin yang terdiri atas maksimum 3 komponen. Angka banding
campuran dinyatakan dalam bagian volume total 100 (Nyiredy 2002).
Pelarut pengembang dikelompokkan ke beberapa golongan oleh Snyders
berdasarkan kekuatan pelarutnya. Menurut Stahl (1985) eluen atau fase
gerak yang digunakan dalam KLT dikelompokkan ke dalam 2 kelompok,
yaitu untuk pemisahan senyawa hidrofil dan lipofil. Eluen untuk
pemisahan senyawa hidrofil meliputi air, metanol, asam asetat, etanol,
isopropanol, aseton, n-propanol, tert-butanol, fenol, dan n-butano l
sedangkan untuk pemisahan senyawa lipofil meliputi etil asetat, eter,
kloroform, benzena, toluena, sikloheksana, dan petroleum eter.
1. Kloroform
a. Sifat Fisis
Rumus molekul : CHCl3
Berat molekul : 119,39 g/gmol
Wujud : cairan bening
Titik didih : 61,2oC
Titik leleh : -63,5oC
Densitas : 1,48 gr/cm3
Suhu kritis : 264oC
Specific gravity : 1,489
Viskositas : 0,57 cp (20oC)
Kapasitas panas : 0,234 kal/g.oC , pada 20oC
Tekanan kritis : 53,8 atm
Suhu kritis : 263oC
Kelarutan dalam 100 mL air : 0,8 g (20oC)
(Ketta & Cunningham,1992)
b. Sifat Kimia
Kloroform jika bereaksi dengan udara atau cahaya secara
perlahan-lahan akan teroksidasi menjadi senyawa beracun
phosgene (karbonil klorida).
Reaksi :

Kloroform dapat direduksi dengan bantuan zeng dan asam


klorida untuk membentuk metilen klorida. Jika proses reduksi
dilakukan dengan bantuan debu seng dan air akan dapat
diperoleh metana.
Reaksi :

Kloroform dapat bereaksi dengan asam nitrat pekat untuk


membentuk nitro kloroform atau kloropikrin.
Reaksi :

Kloropikrin biasanya digunakan sebagai insektisida.


Kloroform dapat mengalami proses klorinasi dengan klorin jika
terkena sinar matahari dan menghasilkan karbon tetraklorida.
Reaksi :
CHCl3 + Cl2 CCl4 + HCl
(Kirk & Othmer, 1998)
2. Etil asetat
Etil asetat adalah senyawa organik dengan rumus
CH3CH2OC(O)CH3. Senyawa ini merupakan ester dari etanol dan asam
asetat. Senyawa ini berwujud cairan tak berwarna, memiliki aroma khas.
Senyawa ini sering disingkat EtOAc, dengan Et mewakili gugus etil dan
OAc mewakili asetat. Etil asetat diproduksi dalam skala besar sebagai
pelarut.
Etil asetat adalah pelarut polar menengah yang volatil (mudah
menguap), tidak beracun, dan tidak higroskopis. Etil asetat merupakan
penerima ikatan hidrogen yang lemah, dan bukan suatu donor ikatan
hidrogen karena tidak adanya proton yang bersifat asam (yaitu hidrogen
yang terikat pada atomelektronegatif seperti flor, oksigen, dan nitrogen.
Etil asetat dapat melarutkan air hingga 3%, dan larut dalam air
hingga kelarutan 8% pada suhu kamar. Kelarutannya meningkat pada suhu
yang lebih tinggi. Namun, senyawa ini tidak stabil dalam air yang
mengandung basa atau asam. Berikut ini adalah karakteristik atau sifat
fisika dan sifat kimia dari etil asetat :
Sifat fisis
Berat molekul : 88,1 kg/kmol
Boiling point : 77,1C
Flash point : -4C
Melting point : - 83,6C
Suhu kritis : 250,1C
Tekanan kritis : 37,8 atm
Kekentalan (25oC) : 0,4303 cP
Specific grafity ( 20C) : 0,883
Kelarutan dalam air : 7,7% berat pada 20 oC
Entalphy pembentukan (25C) gas : -442,92 kJ/mol
Energi Gibbs pembentukan (25C) cair : -327,40 kJ/mol
Sifat Kimia
Etil asetat adalah senyawa yang mudah terbakar dan mempunyai
resiko peledakan (eksplosif).
a) Membentuk acetamide jika diammonolisis
Reaksi:
CH3COOC2H5 + NH3 CH3CONH2 + C2H5OH .(15)
b) Akan membentuk etil benzoil asetat bila bereaksi dengan etil
benzoate
Reaksi:
C6H6COOC2H5 + CH3COOC2H5 C6H6COCH2COOC2H5+
C2H5OH..(16) (Kirk and Othmer,
1982)
F. Indeks Polaritas
Ada berbagai kondisi KLT yang bertujuan untuk menaikkan
kemampuan teknik kromatografi, salah satunya adalah sistem fasa normal
(normal phase sistems). Sistem fasa normal yaitu penggunaan fasa diam
polar yang dikombinasikan dengan berbagai fasa gerakm non air (non
aqueous mobile phases) . Tipikal fasa diam yang sering dikatakan bersifat
polar antara lain silica gel, alumina dan berbagai material fasa terikat polar
lainnya seperti siano-silika, amino-silika dan diol silika dimana proses
adsorpsi memainkan peranan penting dalamn pemisahan.
Karakter yang diinginkan dalam pemilihan fasa gerak yang
kompetitif untuk KLT antara lain adalah parameter kelarutan (solubility
parameter)I, indeks polaritas (polarity index) dan kekuatannya sebagai
solvent (solvent strength) . Parameter kelarutan menunjukkan
kemampuannya untuk berkombinasi dengan beragam pelarut lain. Indeks
polaritas menunjukkan besaran empiris yang digunakan untuk mengukut
ketertarikan antar molekul dalam solute dengan molekul solvent pada
parameter kelarutan solvent yang bersangkutan dalam keadaan murninya.
Sementara kekuatan pelarut dinyatakan sebagai bilangan yang berkisar
antara -0,25 sampai +1,3 yang ditentukan dari energi adsorpsi molekul
solvent pada solvent bersangkutan.
III. Prosedur kerja
a) Preparasi sample
1. Ekstrak sebanyak 0.9 gramditambah etanol ad larut, ditambah 5 ml
HCL 2N, dipanaskan di atas penangas air selama 2-3 menit, sambal
diaduk.
2. Setelah dinginditambah 0.3 gram NaCl, diaduk rata kemudian
disaring.
3. Filtrate ditambah 5 ml HCL 2N, filtrate dibagi tiga bagian dan
disebut sebagai larutan IA, IB, IC.
b) Reaksi pengendapan
1. Larutan IA ditambah pereaksi Mayer, larutan IB ditambah dengan
pereaksi Wagner dan larutan IC dipakai sebagai blanko.
2. Adanya kekeruhan atau endapan menunjukan adanya alkaloid.
c) Kromatografi lapis tipis (KLT)
1. Larutan IC ditambahkan NH4OH pekat 28% sampai larutan
menjadi basa, kemudian diekstrasi dengan 5 ml kloroform (dalam
tabung reaksi).
2. Filtrate (fase CHCL3) diuapkan sampai kering, kemudian
dilarutkan dalam methanol (1 ml) dan siap untuk pemeriksaan
KLT.
Fase diam : Kiesel gel GF 254
Fase gerak : CHCL3 Etil asetat (1:1)
Penampak noda : Pereaksi Dragendorff
3. Jika timbul warna Jingga menunjukkan adanya alkaloid dalam
ekstrak.
IV. Bagan Alir
a. Preparasi Sampel
Ekstrak sebanyak 0,9 gram ditambah etanol ad larut.

Ditambah 5 ml HCL 2N dan dipanaskan diatas penangas air selama 2-3
menit, sambil diaduk.

Setelah dingin ditambah 0,3 gram NaCL, diaduk rata kemudian disaring.

Filtrat ditambah 5 ml HCL 2 N.

filtrat dibagi tiga bagian dan disebut sebagai larutan IA, IB, dan IC.
b. Reaksi pengendapan
Larutan IA ditambah pereaksi Mayer, larutan IB ditambah dengan
pereaksi Wagner, dan larutan IC dipakai sebagai blanko.

Adanya kekeruhan atau endapan menunjukkan adanya alkaloid.
c. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Larutan IC ditambah NH4OH pekat 28% sampai larutan menjadi basa,
diekstraksi dengan 5 ml kloroform (dalam tabung reaksi).

Filtrat (Fase CHCL3) diuapkapkan sampai kering, kemudian dilarutkan
dalam
metanol (1 ml) dan siap untuk pemeriksaan dengan KLT.
Fase diam : Kiesel gel GF 254
Fase gerak : CHCL3 Etil asetat (1:1)
Penampakan noda : Pereaksi Dragendorf

Jika timbul warna jingga menunjukkan adanya alkaloid dalam ekstrak.
V. Skema Kerja
A. Preparasi Sampel

0,9 g ekstrak ditambah 5 ml HCL panaskan diatas


Etanol ad larut 2N penangas air selama
ditambah 2-3 menit, sambil
diaduk

Filtrate di tambah Saring larutan Tambahkan 0,3


5 ml HCl 2N gram NaCl, aduk
ad larut
Filtrat dibagi menjadi 4 bagian :

Larutan 1A (Uji Mayer), Larutan


1B (UjI Wagner), Larutan 1C (uji
KLT ), Larutan 1D ( blanko)

B. Reaksi Pengendapan
Pengendapan dengan pereaksi Mayer

Larutan 1A Berubah menjadi


ditambahkan pereaksi keruh ( bandingkan
Mayer dengan blanko)

Pengendapan dengan pereaksi Wagner

Larutan 1B Berubah menjadi keruh


ditambahkan pereaksi (bandingkan dengan
Wagner blanko)
C. Kromatografi Lapis Tipis

Tambahkan Cek dengan kertas Tambahkan 5 ml


NH4OH pekat lakmus merah dan kloroform
28% sampai biru
menjadi basa

Uapkan hingga Kocok larutan ( jangan


Pisahkan filtrat
menjadi 1/3 bagian, terlalu lemah atau
sampel siap di uji terlalu kuat)
dengan KLT
VI. Hasil

Sampel awal setelah


diperoleh filtrat dari ekstrak
yang telah dilarutkan dan
disaring.

Dari kanan kekiri sampel


IA, IB, IC, dan ID

Gambar hasil reaksi pengendapan

Sampel IA + pereaksi mayer (kanan)

Sampel IB + pereaksi wagner (tengah)

Sampel IC sebagai blanko (kiri)


Gambar hasil setelah proses eluasi
dengan penyinaran lampu UV-254

Gambar hasil setelah proses eluasi


dengan penyinaran lampu UV-365

Gambar hasil setelah proses eluasi


C setelah disemprot penampak noda

B dragendrof.
Hasil :
Diperoleh 3 noda dengan nilai Rf
A
Noda A : 0,26
Noda B : 0,56
Noda C : 0,75
VII. Pembahasan
Pada praktikum fitokimia untuk mengidentifikasi senyawa
alkaloid dari tanaman Piper nigrum atau yang lebih dikenal dengan
lada hitam digunakan ekstrak Piper nigrum dari proses ekstraksi.
Digunakan ekstrak yang diperoleh dari proses ekstraksi untuk
memperoleh ekstrak atau crood ekstrak yang kaya akan alkaloid.
Senyawa golongan alkaloid adalah senyawa nitrogen organik,
lazimnya bagian cincin heterosiklik, bersifat basa, sering bersifat optis
aktif dan kebanyakan berbentuk kristal.
Dalam mengidentifikasi senyawa golongan alkaloid dilakukan
dengan dua percobaan yaitu dengan reaksi pengendapan dan dengan
identifikasi menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT). Pada reaksi
pengendapan, sampel yang diperoleh dari proses preparasi sampel
dibagi menjadi empat yaitu sampel IA, IB, IC, dan ID. Sampel IA
ditambahkan dengan dua tetes pereaksi mayer yang termasuk dalam
reaksi pengendapan golongan III, dimana jika larutan sampel yang
mengandung alkaloid akan membentuk senyawa adisi tidak larut. Dari
hasil percobaan diperoleh larutan yang keruh, sehingga dapat diketahui
bahwa sampel IA positif mengandung senyawa golongan alkaloid.
Reaksi pengendapan yang kedua adalah dengan pereaksi
wagner yang mana termasuk dalam reaksi pengendapan golongan II.
Larutan sampel yang mengandung alkaloid dengan penambahan
pereaksi wagner akan membentuk senyawa kompleks bebas, kemudian
membentuk endapan. Hasil percobaan dari sampel IB yang
ditambahakan dengan enam tetes pereaksi wagner diperoleh larutan
yang keruh. Sehingga dari hasil tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa ekstrak Piper nigrum positif mengandung senyawa golongan
alkaloid. Larutan sampelIC digunakan sebagai pembanding atau
blanko pada reaksi pengendapan. Berdasarkan hasil dari kedua hasil uji
pengendapan tersebut dapat disimpulkan bahwa larutan sampel IA dan
IB positif mengandung alkaloid.
Identifikasi senyawa alkaloid yang kedua yaitu dengan
metode KLT. Larutan sampel ID yang diawal telah diubah menjadi
bentuk garamnya, pada percobaan ini diubah kembali menjadi bentuk
base dengan penambahan NH4OH pekat 28%. Pengubahan kembali
dari bentuk garam menjadi bentuk base, dikarenakan bentuk base lebih
larut pada pelarut non polar. Pada praktikum ini digunakan fase gerak
(eluen) CHCl3 Etil asetat (1 : 1) dan fase diamnya adalah kiesel gel
GF 254. Bentuk base tersebut kemudian diekstraksi dengan 5 ml
kloroform dan dikocok konstan agar alkaloid dalam sampel banyak
yang tertarik kedalam kloroform. Setelah dirasa cukup maka campuran
tersebut dipisahkan dan diltratnya diuapkan hingga tersisa 1/3 dari
bagian awal, bagian itulah yang kemudian ditotolkan pada plat KLT
(fase diam). Setelah proses eluasi dan disemprot dengan penampak
noda dragendrof, maka dapat dilihat pada plat KLT tersebut muncul
tiga noda dengan warna jingga dan panjang/ tinggi dari titik awalnya
(nilai Rfnya) berbeda. Adanya noda berwarna jingga pada plat KLT
menunjukkan adanya alkaloid dalam ekstrak Piper nigrum yang diuji.
Ketiga noda yang muncul memiliki nilai Rf yang berbeda yaitu pada
noda dengan tinggi 2,1 cm memiliki nilai RF 026, sedangkan noda
dengan tinggi 5,6 cm memiliki nilai Rf 0,6, dan noda dengan tinggi 6
cm memiliki nilai Rf 0,75. Berdasarkan Harbone (1987), nilai Rf untuk
hasil identifikasi senyawa alkaoid adalah antara 0,07 0,62. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa dengan nilai Rf yang diperoleh tersebut,
ekstrak Piper nigrum positif mengandung senyawa alkaloid.

VIII. Kesimpulan
Berdasarkan hasil identifikasi senyawa alkaloid dengan
menggunakan reaksi pengendapan dan metode kromatografi lapis tipis
(KLT), memberikan hasil positif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
dalam ekstrak Piper nigrum mengandung senyawa golongan alkaloid.
DAFTAR PUSTAKA
C.M.Liam, G.C.L.Eel, M.Rahmani and C.F.J. Bong2 (2009).Alkaloids from Piper
nigrum and Piper betle. Pertanika J. Sci. & Technol. Vol. 17 (1) 2009, ISSN:
0128-7680.
Depkes RI. (1979). Materia Medika Indonesia. Jilid III. 1979. Departemen
Kesehatan RI: Jakarta.
P.N.Shingate, P.P. Dongre and D.M. Kannur. 2013. New Method Development
For Extraction And Isolation Of Piperine From Black Pepper. International
Journal of Pharmaceutical Sciences and Research Vol. 4, Issue 8, E-ISSN:
0975-8232;Np-ISSN: 2320-5148
Sasstrohamidjojo, Hardjono. 1996. Sintesis Bahan Alam. Gadjah Mada University
Press: Yogyakarta
http://www.plantamor.com (diakses tanggal 15 Februari 2017)
https://id.wikipedia.org/wiki/Lada (diakses tanggal 15 Februari 2017)
PRAKTIKUM FITOKIMIA

IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN GLIKOSIDA SAPONIN,


TRITERPENOID DAN STEROID

(Ekstrak Sapindus rarak DC)

Dosen : Drs. Herra Studiawan, M.Si., Apt.


Siti Rofida, M.Farm., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
Februari, 2017
TUGAS 2 IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN GLIKOSIDA
SAPONIN, TRITERPENOID DAN STEROID
(Ekstrak Sapindus rarak DC)

I. TUJUAN
Mahasiswa mampu melakukan identifikasi senyawa golongan
glikosida saponin, tripterpenoid dan steriod dalam tanaman.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. TANAMAN Lerak Sapindus rarak DC
1. Klasifikasi tanaman
Menurut taksonominya, Sapindus rarak dikalsifikasikan dalam :
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dycotyledonae
Bangsa : Sapindales
Suku : Sapindaceae
Marga : Sapindus
Spesies : Sapindus rarak
Sinonim : Sapindus delavayi
(China, India)
Sapindus detergens (syn. var. Soapnut, Ritha)
Sapindus emarginatus Vahl (Southern Asia)
Sapindus laurifolius Vahl Ritha (India)
Sapindus tomentosus (China)

2. Morfologi tanaman
Lerak biasa tumbuh liar di hutan dengan tinggi 15 - 42 m dengan
diameter batang 1 m dan tumbuh rindang, bentuk Tanaman ini
mempunyai bunga majemuk tidak terbatas (inflorescentia centripetala)
dimana bunga mekar dari bawah ke atas sehingga berbentuk tandan
dengan tangkai bunga tumbuh dari ujung batang. Buah lerak
merupakan buah tunggal berbentuk bulat dengan diameter 2 cm,biji
dilindungi oleh kulit biji dengan warna kulit biji berwarna hijau, bila
telah masak berwarna cokelat bila dikeringkan berwarna hitam. Biji
bersama kulitnya bila direndam akan mengeluarkan busa arena kulit
biji banyak mengandung saponin (28%), sehingga dapat digunakan
dalam pembuatan sabun, obat cuci rambut dan berbagai alat
kosmetika. Lerak termasuk dalam kelas Dicotyledone,berakar
tunggang dengan perakaran yang kompak. Oleh karena itu tanaman ini
dapat digunakan sebagai pengendali erosi dan penahan angin, sebagai
tanaman pekarangan yang agak jauh dari rumah. Tanaman mulai
berbuah pada umur 5 - 15 tahun, musim berbuah pada awal musim
hujan dan menghasilkan biji sebanyak 1.000 - 1.500 biji. Tanaman
lerak mempunyai bentuk daun majemuk, menyirip ganjil anak daun
bentuk lanset (lanceolatus), bentuk ujung daun runcing, pangkal daun
tumpul, tepi rata, dengan panjang 5 - 18 cm, lebar 2,5 - 3,0 cm,
bertangkai pendek dan berwarna hijau. Lerak menghasilkan bunga dan
buah yang tumbuh langsung dari kuncup dorman pada batang utama
atau cabang utama. Bunga lerak berbentuk tandan (racemes), bunga
majemuk, mahkota bentuk periuk (hypanthodium), warna kuning
keputihan, mahkota empat dan kelopak lima.

3. Habitat
Lingkungan tumbuh Tanaman lerak paling sesuai pada
iklim tropik dengan kelembaban tinggi, berdrainase baik, subur
dan mengandung banyak humus. Lerak tumbuh pada ketinggian di
bawah 1.500 m di atas permukaan laut, dengan pertumbuhan
paling baik pada daerah berbukit dataran rendah dengan
ketinggian 0 - 450 m di atas permukaan laut, curah hujan rata-rata
1.250 mm/tahun.
4. Penyebaran
Penyebaran Tanaman lerak tersebar dan terdapat di seluruh
Indonesia terutama di hutan-hutan di daerah Sumatera, Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akan tetapi tanaman ini belum
dibudidayakan secara luas dan masih terbatas sebagai tanaman
sampingan saja.
5. Kandungan tanaman
Biji lerak mengandung bahan aktif alkaloid, triterpen,
ateroid, dan saponin. Saponin pada lerak suatu alkaloid beracun
dan bermanfaat, saponin inilah yang menghasilkan busa dan
berfungsi sebagai bahan pencuci, dan dapat pula dimanfaatkan
sebagai pembersih berbagai peralatan dapur, lantai, bahkan
memandikan dan membersihkan binatang peliharaan. Kandungan
racun biji lerak juga berpotensi sebagai insektisida. Kulit buah
lerak dapat digunakan sebagai wajah untuk mengurangi jerawat
dan kudis. Buah lerak relatif mudah didapatkan biasanya dijual di
pasar-pasar tradisional.

Tabel 1. Persentase senyawa aktif pada lerak


No. Senyawa Aktif Persentase Senyawa
Aktif Sumber : Nevi Yanti,
2009
1 Saponin 12 %
2 Alkaloid 1%
3 Ateroid 0,036 %
4 Triterpen 0,029 %

buah lerak kering


6. Khasiat tanaman
Khasiat farmakologiknya antara lain adalah sebagai
antijamur, bakterisid, anti radang, anti spasmodinamik, peluruh
dahak, dan diuretik. Pada penelitian Nunik SA disebutkan bahwa
senyawa saponin, alkaloid, steroid, dan triterpen yang dikandung
oleh buah lerak secara berurutan adalah 12%,1%, 0,036%, dan
0,029%. Kandungan utama lerak adalah saponin yang berfungsi
sebagai detergen. Hal ini dibuktikan pada penelitian Dyatmiko W,
dkk yang mendapatkan saponin 20% dari buah lerak. Saponin buah
lerak pada konsentrasi 0,008% dapat membersihkan dinding saluran
akar gigi lebih baik dari NaOCl 5%.Berbagai khasiat farmakologik
dari saponin adalah antiinflamasi, antimikroba, antijamur, antivirus,
ekspektoran, antiulser, perbaikan sintesa protein, stimulasi dan
depresi susunan saraf pusat dan molusida serta sebagai
ekspektoran.Disamping itu, ekstrak lerak mempunyai efek
antibakteri dan dan antifungal yang telah dibuktikan dengan
beberapa penelitian. Penelitian Fadhilna I membuktikan bahwa
ekstrak lerak komersil dan ekstrak lerak 0,01% mempunyai efek
antibakteri terhadap Streptococcus mutans lebih baik dari NaOCl
5%, Sementara pada penelitian Sanny dibuktikan bahwa 0,25%
ekstrak buah lerak dan 0,01% saponin buah lerak mempunyai efek
antibakteri terhadap F.Nucleatum. Selain itu pada penelitian Juni F
dibuktikan ekstrak lerak 0,01% mempunyai efek antifungal terhadap
Candida albicans lebih baik dari NaOCl 5%.

B. Tinjauan Golongan Senyawa


1. Triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari
enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C-
30 asiklik, yaitu skualena,senyawa ini tidak berwarna, berbentuk kristal,
bertitik leleh tinggi dan bersifat optis aktif (Harborne,1987). Triterpenoida
adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan
isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik yaitu
skualena. Triterpenoida banyak terdapat pada tumbuhan dan hewan, dapat
berada dalam bentuk bebas, maupun dalam bentuk glikosida.
Triterpenoida berupa senyawa yang tidak berwarna dan berbentuk
kristal. Uji yang banyak digunakan adalah reaksi Liebermann-Burchard
yang dengan kebanyakan triterpena dan sterol memberikan warna hijau-
biru. Triterpenoida dapat dibagi menjadi empat golongan senyawa, yaitu
triterpena sebenarnya, steroida, saponin dan glikosida jantung. Kedua
golongan terakhir terutama terdapat sebagai glikosida. Steroida merupakan
suatu senyawa yang mengandung inti siklopentanoperhidrofenantren.
Steroida memiliki berbagai aktivitas biologik (Harborne, 1996).
Triterpenoid dapat dibagi menjadi empat golongan, yaitu triterpenoid
sejati, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Berdasarkan struktur
kimianya triterpenoid digolongkan menjadi tiga golongan yaitu: triterpenoid
asiklik, triterpenoid tetrasiklik, dan triterpenoid pentasiklik (Robinson,
1995). Triterpen pentasiklik triterpen -amirin dan -amirin, serta asam
turunannya yaitu asam ursolat dan asam oleanolat. Senyawa ini berfungsi
sebagai pelindung untuk menolak serangga dari serangan mikroba
(Soetarno, 1990).

Struktur -amirin dan -amirin seperti Gambar 2.3


Menurut Harborne (1987) senyawa triterpenoid dapat dibagi menjadi
empat golongan,yaitu: triterpen sebenarnya, saponin, steroid, dan glikosida
jantung.
Triterpen sebenarnya
Berdasarkan jumlah cincin yang terdapat dalam struktur
molekulnya triterpen sebenarnya dapat dibagi atas:
1. Triterpen asiklik yaitu triterpen yang tidak mempunyai cincin
tertutup, misalnya skualena.
2. Triterpen trisiklik adalah triterpen yang mempunyai tiga cincin
tertutup pada struktur molekulnya, misalnya: ambrein.
3. Triterpen tetrasiklik adalah triterpen yang mempunyai empat cincin
tertutup pada struktur molekulnya, misalnya:lanosterol.
4. Triterpen pentasiklik adalah triterpen yang mempunyai lima cincin
tertutup pada struktur molekulnya, misalnya a-amirin.
Senyawa golongan triterpenoid kebanyakan mempunyai gugus
fungsi alkohol, aldehid, dan asam karboksilat. Jika dianalisis dengan
spektrofotometer inframerah (IR), karakteristik senyawa golongan
triterpenoid yang memiliki gugus alkohol akan memberikan serapan lebar (-
OH) pada bilangan gelombang sekitar C=O pada daerah bilangan
gelombang sekitar 1900-1650 cm-1 merupakan ciri dominan dari gugus
asam karboksilat. Triterpenoid aldehid ditunjukkan dengan adanya dua
puncak lemah dekat 2850 dan 2750 cm-1 (Harbone,1987; Sastrohamidjojo,
1992). Sterol semula diduga hanya ada pada binatang sebagai hormon seks,
asam empedu dan sebagainya, tetapi kemudian diketahui banyak ditemukan
dalam jaringan tumbuhan dan sterol ini sering disebut fitosterol. Tiga
senyawa sterol yang umum terdapat dalam tumbuhan tingkat tinggi seperti :
sitosterol, stigmasterol, dan kampesterol (Soetarno, 1990). Sapogenin
triterpen dapat dikelompokkan sebagai : -amirin dan -amirin dan lupeol.
Perbedaan dari kerangka karbon -amirin dan -amirin terletak pada
kedudukan substituen yang terikat pada C-20, apabila satu gugus metil
terikat pada C-20 termasuk -amirin dan bila dua gugus metol terikat pada
C-20 termasuk -amirin (Harbone, 1987). Glikosida jantung atau
kardenolida adalah golongan terakhir dari senyawa triterpenoid. Salah satu
contoh glikosida jantung yang penting adalah oleandrin, racun daun Nerium
oleander. Ciri khas struktur oleandrin adalah adanya substituen gula yang
terikat pada kerangka dasarnya. Kebanyakan glikosida jantung bersifat
sebagai racun dan berkhasiat farmakologi terutama terhadap jantung
(Soetarno,1990).
2. Steroid
Steroid adalah suatu golongan senyawa triterpenoid yang mengandung
inti siklopentana perhidrofenantren yaitu dari tiga cincin sikloheksana dan
sebuah cincin siklopentana. Dahulu sering digunakan sebagai hormon
kelamin, asam empedu, dll. Tetapi pada tahun-tahun terakhir ini makin
banyak senyawa steroid yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan .Tiga
senyawa yang biasa disebut fitosterol terdapat pada hampir setiap tumbuhan
tinggi yaitu:sitosterol, stigmasterol, dan kampesterol.(Harborne, 1987;
Robinson, 1995)

Menurut asalnya senyawa steroid dibagi atas:


1. Zoosterol, yaitu steroid yang berasal dari hewan misalnya kolesterol.
2. Fitosterol, yaitu steroid yang berasal dari tumbuhan misalnya sitosterol
dan stigmasterol
3. Mycosterol, yaitu steroid yang berasal dari fungi misalnya ergosterol
4. Marinesterol, yaitu steroid yang berasal dari organisme laut misalnya
spongesterol.
Beberapa steroid penting adalah kolesterol, yaitu steroid hewani
yang terdapat paling meluas dan dijumpai pada hampir semua jaringan
hewan. Steroid yang terdapat dalam jaringan hewan berasal dari triterpenoid
lanosterol sedangkan yang terdapat dalam jaringan tumbuhan berasal dari
triterpenoid sikloartenol setelah triterpenoid ini mengalami serentetan
perubahan tertentu.
Berdasarkan jumlah atom karbonnya, steroid terbagi atas:
1. Steroid dengan jumlah atom karbon 27, misalnya zimasterol
2. Steroid dengan jumlah atom karbon 28, misalnya ergosterol
3. Steroida dengan jumlah atom karbon 29, misalnya stigmasterol
3. Saponin
Saponin merupakan senyawa dalam bentuk glikosida yang tersebar
luas pada tumbuhan tingkat tinggi. Saponin membentuk larutan koloidal
dalam air dan membentuk busa yang mantap jika dikocok dan tidak hilang
dengan penambahan asam.Beberapa saponin bekerja sebagai anti mikroba.
(Harborne, 1996).Saponin adalah glikosida,yaitu metabolit sekunder yang
banyak terdapat di alam,terdiri dari gugus gula yang berikatan dengan
aglikon atau sapogenin.Sifat-sifat saponin yaitu berasa pahit,berbusa dalam
air,mempunyai sifat detergen yang baik,berajun bagi binatang berdarah
dingin,mempunyai aktivitas hemolisis,merusak sel darah merah,tidak
beracun bagi binatang berdarah panas,mempunyai sifat antieksudatif,dan
mempunyai sifat anti inflamasi.
Beberapa dara kerja dan pemakaian dari saponin sebagai berikut :
1. Semua saponin menyebabkan hemolisa,karena itu bercun untuk semua
organisme bila diberikan secara parenteral setengah sampai beberapa
mg per kg berat badan,dapat mematikan pada pemakaian intravena.
2. Secara teknik saponin digunakan sebagai emulsifier.
3. Saponin menimbulkan iritasi berbagai tingkat terhadap selaput lender
mulut,perut,dan usu bergantung dari sifat masing-masing saponin.
4. Saponin dapat meningkatkan absorbs zat deuretik (garam-garam) dan
merangsang ginjal untuk menjadi lebih aktif.
5. Dalam industry,saponin digunakan dalam jumlah besar sebagai
emulsifier terutama dalam pemadam kebakaran,pekerjaan
pencucian,dll.
Golongan senyawa ini tersebar luar dalam tumbuhan tinggi. Saponin,
seperti sabun, membentuk larutan koloidal dalam air dan membentuk busa
bila digojog, berasa pahit menggigit; simplisia yang mengandung saponin
menye-babkan bersin dan mengiritasi selaput lendir. Dapat menghemolisis
butir darah merah dan toksik terhadap hewan brdarah dingin (racun ikan).
Bila dihidrolisis menghasilkan aglikon yang disebut sapoenin. Sapogenin
dapat diisolasi dalam bentuk kristal bila dilakukan asetilasi. Proses ini dapat
digunakan untuk memurnikan sapogenin. Saponin yang lebih beracun
disebut sapotoksin. Liquiritiae Radix dan Sarsaparllae Cortex
mengandung saponin, demikian juga daging buah Sapindus rarac.
Banyak penelitian yang dilakukan oleh lembaga pemerintah,
industri, dan perguruan tinggi untuk mencari sumber saponin steroid guna
prazat (precursor) pembu-atan p11 KB, untuk prazat kortison dipilih yang
memiliki gugus hidroksil pada posisi 3- dan 11- karena akan Iebih mudah
diubah menjadi kortison. Nampaknya yang digunakan sebagai sumber
prazat kortison dan turunannya adalah (1) diosgenin dan botogenin dan
marga Dioscorea , (2) hekogenin, manogenin, dan gitogenin dan marga
Agave, (3) sitosterol dan minyak nabati, dan (4) sarsapogenin dan
smilagenin dan jenis SmiIax. Anggota-anggota familia Liliaceae,
Amaryllidaceae, dan Dioscoreaceae yang semua kelas merupakan
Monocotyledonae, sedangkan pada kelas Dicotyledonae nampaknya hanya
suku Apocynaceae yang manjanjikan, utamanya jenis Strophanthus. Akhir-
akhir ditemukan sumber lain untuk steroid, yaitu pada rimpang dan biji
Costus speciosus (pacing) suku Zingiberaceae mengan-dung diosqenin dan
buah beberapa jenis Solanum (suku Solanaceae), misalnya Solanum
khasianum mengandung solasodina.
Biosintesis glikosida saponin.
Glikosida saponin dibagi dua golongan tergantung pada aglikonnya
(sapogeninnya), yaitu saponin netral atau saponin steroid dan saponin asam
yang berupa triterpenoid. Untuk steroid dan triterpenoid biosintesis lewat
jalur asetat dan mevalonat, sebelum terjadi siklisasi terbentuk skualena.
Untuk steroid, misalnya hasil akhir berupa kolesterol atau inti steroid
spiroketal (mis. diosgenin) atau triterpenoid pentasiklik (mis. 1-amyrin).

C. Cara Identifikasi Senyawa


SAPONIN
1. Indeks buih
Indeks buih menunjukkan angka pengenceran dari at atau 0bat
yang diperiksa yamg akan memberikan suatu lapisan buih yang tingginya
1-10 cm , bila larutan digojok dalam gelas ukur selama 15 detik dan
selanjutnya dibiarkan dulu selama 10 menit sebelum dilakukan
pembacaan (puspita, 2007).
Uji sederhana pada saponin adalah dengan mengocok sari alcohol
tumbuhan dalam tabung reaksi. Bila terdapat busa yang cukup banyak
maka dapat dinyatakan positif mengandung senyawa saponin.
2. Heamolisa
Campur bahan yang diperiksa dengan larutan dapar fosfat pH 7,4,
panaskan,dinginkan, saring. Ambil filtrate campur dengan suspense
darah. Diamkan selama 30 menit, terjadi haemolisa total berarti
menunjukkan adanya saponin (puspita, 2007).
3. Reaksi warna
Reaksi warna digunakan untuk menggolongkan saponin yang
digunakan untuk membuktikan identitas suatu obat, dan jika perlu untuk
memonitor pada waktu pemisahan. Tidak ada reaksi warna yang secara
spesifik untuk tiap jenis saponin. Reaksi berikut ini dapat digunakan
yaitu
a. Dengan menggunakan asam asetat anhidrat dan asam sulfat (disebut
reaksi Lieberrman-Burchard). Hasilnya ditunjukkan dengan adanya
perubahan warna yang bergantung dari aglikonnya yaitu, merah muda
sampai merah berarti golongan terpenoid. Sedangkan jika warnanya
biru hijau maka menunjukkan adanya golongan steroid (Bruneton,
1999).
b. Dengan menggunakan vanillin, anisaldehid, dan aldehid aromatic
lainnya yang ditambah dengan asam mineral kuat. Senyawa yang
mengandung saponin akan berwarna kuat, yang kemungkinan hasil
reaksinya antara aldehid dan aglikonnya (Bruneton, 1999).
TRITERPENOID
Jaringan kering pada tumbuhan dibebaskan lemaknya dengan
eter, kemudian diekstraksi dengan methanol panas. Dipekatkan,
Analisa hidrolisis dengan asam dilakukan pada silica gel dengan
pelarut n-heksana : etil asetat (1:1) atau dengan klorofom : methanol
(10:1) deteksi antimony klorida pada kloroform. -amiryn dan -
amiryn dapat dipisahkan bila kromatografi dengan n-butanol 2M :
NH4OH (1:1). Asam betulinat, oleanolat, ursolat membutuhkan
pelarut khusus untuk menganalisanya. (Penuntun Fitokimia dalam
Farmasi, 2007)
STEROID
Uji Salkowski:
Sediakan 3 tabung reaksi sebagai berikut:
Tabung no. 1 diisi dengan 1 ml kloroform
Tabung no. 2 diisi dengan 10 mg kolesterol hasil isolasi dalam 1 ml
kloroform
Tabung no. 3 diisi dengan 10 mg kolesterol murni dalam 1 ml kloroform
Tambahkan 1 ml H2SO4 pekat pada ketiga tabung tersebut melalui
dinding tabung hingga lapisan asam sulfat ada di bagian bawah tabung.
Perhatikan warna yang terbentuk!

D. KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS


Kromatografi lapis tipis digunakan untuk pemisahan zat secara cepat
dengan menggunakan zat penyerap berupa serbuk halus yang dilapiskan serba
rata pada lempeng kaca. Lempeng yang dilapisi dapat dianggap sebagai
kolom kromatografi terbuka dan pemisahan didasarkan pada penyerapan
pembagian atau gabungannya tergantung dari jenis zat penyerap dan cara
pembuatan lapisan zat penyerap dan jenis pelarut. KLT dengan penyerap
penukar ion dapat digunakan untuk pemisahan senyawa polar. Harga Rf yang
diperoleh pada KLT tidak tetap jika dibandingkan dengan yang diperoleh
pada kromatografi kertas karena itu pada lempeng sama disamping
kromatogram dari zat yang diperiksa perlu dibuat kromatogram dari zat
pembanding kimia lebih baik dengan kadar yang berbeda-beda. Perkiraan
identifikasi diperoleh dengan pengamatan 2 bercak dengan harga Rf dan
ukuran yang kurang lebih sama. Ukuran dan intensitas bercak dapat
digunakan untuk memperkirakan kada. Penetapan kadar yang lebih teliti
dapat digunakan dengan cara densito metri atau dengan mengambil bercak
dengan hati-hati dari lempeng, kemudian disari dengna pelarut yang cocok,
dan ditetapkan dengan spektrofotometri. (Materia Medika Indonesia jilid V,
hal.528)
Lapisan penyerap (fase diam) dibuat dari salah satu penyerap yang
khusus digunakan untuk kromatografi lapis tipis. Penyerap yang umum
digunakan adalah silika gel, alumunium oksida, kieselgur, poliamida, selulosa
dan turunannya. Untuk analisis, tebal penyerap 0,1-0,3 mm, biasanya 0,2 mm
suatu lapisan berpori, karena adanya gaya kapiler. Sebelum digunakan,
lapisan disimpan dalam lingkungan yang tidak lembab dan bebas dari uap
laboratorium. (Stahl, 1985)
Fase diam yang paling banyak digunakan ialah silika gel dan
alumunium oksida. Silika gel umumnya diberi zat tambahan kalsium sulfat
untuk mempertinggi daya lekat. Silika gel adalah fase diam universal dan
dapat digunakan untuk pemisahan senyawa-senyawa yang bersifat netral,
asam atau basa. Ada beberapa macam silika gel yang beredar dalam
perdagangan diantaranya adalah silika gel dengan bahan pengikat (silika gel
G), silika gel dengan bahan pengikat dan indikator fluoresensi (silika gel
GF254) yang memancarkan cahaya jika disinari dengan sinar ultraviolet
dengan panjang gelombang 254 nm, dan selain itu dikenal pula silika gel
tanpa bahan pengikat (silika gel H). (Gritter, 1991)
Tinjauan eluen
Fase gerak merupakan medium angkut yang terdiri atas satu atau
beberapa pelarut. Fase gerak bergerak dalam fase diam karena adanya gaya
kapiler. Pelarut yang digunakan sebagai fase gerak hanyalah pelarut
bertingkat mutu analitik dan bila diperlukan sistem pelarut multikomponen
ini harus berupa suatu campuran yang sesederhana mungkin yang terdiri atas
maksimum 3 komponen. Angka banding campuran dinyatakan dalam bagian
volume total 100 (Nyiredy 2002). Pelarut pengembang dikelompokkan ke
beberapa golongan oleh Snyders berdasarkan kekuatan pelarutnya. Menurut
Stahl (1985) eluen atau fase gerak yang digunakan dalam KLT
dikelompokkan ke dalam 2 kelompok, yaitu untuk pemisahan senyawa
hidrofil dan lipofil. Eluen untuk pemisahan senyawa hidrofil meliputi air,
metanol, asam asetat, etanol, isopropanol, aseton, n-propanol, tert-butanol,
fenol, dan n-butano l sedangkan untuk pemisahan senyawa lipofil meliputi
etil asetat, eter, kloroform, benzena, toluena, sikloheksana, dan petroleum
eter.
1) N-Heksana
Heksana, suatu hidrokarbon dengan rumus kimia C6H14, yaitu
suatu alkana dengan enam atom karbon. Istilah ini mungkin
mengacu pada empat isomer struktur lain dengan rumus itu, atau
terhadap campuran mereka. Namun, dalam tatanama IUPAC,
heksana merupakan isomer tidak bercabang (n-heksana); empat
struktur lain dinamakan sebagai turunan termetilasi dari pentana dan
butana. IUPAC juga menggunakan istilah seperti akar dari banyak
senyawa dengan enam-kerangka karbon linier, seperti 2-
metilheksana (C7H16), yang juga disebut isoheptana.
Heksana merupakan konstituen bensin. Mereka semua cairan
tak berwarna pada suhu kamar, dengan titik didih antara 50 dan 70
C, dengan bau sepeti bensin. Heksana luas digunakan sebagai
pelarut non-polar yang murah, relative aman, secara umum tidak
reaktif, dan mudah diuapkan. Nama IUPAC-nya Heksana; nama
lainnya n-heksana.
Sifat Fisis
Rumus molekul : C6H14
Berat molekul : 86,18 gr mol1
Penampilan : Cairan tidak berwarna
Densitas : 0,6548 gr/mL
Titik lebur : 95 C, 178 K, -139 F
Titik didih : 69 C, 342 K, 156 F
Kelarutan dalam air : 13 mg/L pada 20C
Viskositas : 0,294 cP
Klasifikasi Uni Eropa : Dapat menyala (F), Berbahaya (Xn),
Reproduksi Cat. 3,Berbahaya untuk
lingkungan (N)
Titik nyala : 23,3 C
Suhu menyala sendiri : 233,9 C
2) Etil asetat

Etil asetat adalah senyawa organik dengan rumus


CH3CH2OC(O)CH3. Senyawa ini
merupakan ester dari etanol dan asam asetat. Senyawa ini
berwujud cairan tak berwarna, memiliki aroma khas. Senyawa ini
sering disingkat EtOAc, dengan Et mewakili gugus etil dan OAc
mewakili asetat. Etil asetat diproduksi dalam skala besar sebagai
pelarut.
Etil asetat adalah pelarut polar menengah yang volatil (mudah
menguap), tidak beracun, dan tidak higroskopis. Etil asetat merupakan
penerima ikatan hidrogen yang lemah, dan bukan suatu donor ikatan
hidrogen karena tidak adanya proton yang bersifat asam (yaitu
hidrogen yang terikat pada atomelektronegatif seperti flor, oksigen,
dan nitrogen. Etil asetat dapat melarutkan air hingga 3%, dan larut
dalam air hingga kelarutan 8% pada suhu kamar. Kelarutannya
meningkat pada suhu yang lebih tinggi. Namun, senyawa ini tidak
stabil dalam air yang mengandung basa atau asam. Berikut ini adalah
karakteristik atau sifat fisika dan sifat kimia dari etil asetat :
Sifat fisis
Berat molekul : 88,1 kg/kmol
Boiling point : 77,1C
Flash point : -4C
Melting point : - 83,6C
Suhu kritis : 250,1C
Tekanan kritis : 37,8 atm
Kekentalan (25oC) : 0,4303 cP
Specific grafity ( 20C) : 0,883
Kelarutan dalam air : 7,7% berat pada 20 oC
Entalphy pembentukan (25C) gas : -442,92 kJ/mol
Energi Gibbs pembentukan (25C) cair : -327,40 kJ/mol
Sifat Kimia
Etil asetat adalah senyawa yang mudah terbakar dan mempunyai
resiko peledakan (eksplosif).
1. Membentuk acetamide jika diammonolisis
Reaksi:
CH3COOC2H5 + NH3 CH3CONH2 + C2H5OH .(15)
2. Akan membentuk etil benzoil asetat bila bereaksi dengan etil
benzoate
Reaksi:
C6H6COOC2H5 + CH3COOC2H5 C6H6COCH2COOC2H5+
C2H5OH..(16)
(Kirk and Othmer, 1982)
III. SKEMA KERJA

a. Uji Buih

Timbang ekstrak Dimasukkan + air suling 10 ml. kocok kuat-kuat


sebanyak 0,2 tabung reaksi selama kira-kira 30 detik
gram

Periksa buih yang timbul,bila stabil selama 30 menit


b. Reaksi warna dengan ketinggian 3 cm diatas permukaan cairan.
1. Preparasi sampel

IIA IIB IIC

Timbang ekstrak sebanyak 0,5 gram Lalu dibagi tiga bagian masing-
dilarutkan dengan etanol ad larut masing 5ml, disebut sebagai
2. Uji Lieberman- IIA,IIB,IIC
Burchard

IIA IIB
Blanko Lar. Uji A.asetat H2SO4 Pekat
anhidrat

II A Sebagai blanko, IIB sebanyak 5ml ditambahkan 3 tetes asam asetat


anhidrat dan 1 tetes H2SO4 pekat. Amati perubahan wananya

NB : warna biru menunjukan adanya saponin steroid


Warna merah ungu menunjukan saponin triterpenoid
Warna uning muda menunjukan saponin triterpenoid/steroid jenuh

3. Uji Salkowski

IIA IIC

Blanko Lar. Uji H2SO4 Pekat

II A Sebagai blanko, IIC sebanyak 5ml 1-2 tetes H2SO4


pekat. Amati perubahan warnanya

NB : steroid tak jenuh ditandai dengan timbulnya cincin warna merah

c. Kromatografi Lapis
Tipis (KLT)
1. Identifikasi sapogenin steroid / triterpenoid

Ditimbang 0,5 g ekstrak. + 5 ml


HCl 2N.

Didihkan dan tutup dengan corong


berisi kapas selama 50 menit untuk
menghidrolisis saponin
Amonia n-heksan

Setelah dingin, + amonia ad basa. Kemudian ekstraksi dengan 4-5 ml n heksan


sebanyak 2x, uapkan ad 0,5 ml. Dan totolkan pada plat KLT

NB : adanya saponin ditunjukkan dengan warna merah ungu (ungu)


untuk
anesaldehida asam sulfat
2. Identifikasi terpenoid/steroid bebas secara KLT

n-heksan Fase diam

Sedikit ekstrak + beberapa tetes n-heksan (1/2 1 ml)


aduk ad larut dan totolkan pada fase diam.

NB : Adanya terpenoid/steroid ditunjukkan dengan warna merah ungu


(ungu)
IV. BAGAN ALIR
1. Uji Buih

Ekstrak sebanyak 0,2 gram dimasukkan tabung reaksi, kemudian


ditambah air suling 10 ml, dikocok kuat-kuat selama kira-kira 30 detik.

Tes buih positif mengandung saponin bila terjadi buih yang stabil selama
lebih dari 30 menit dengan tinggi 3 cm di atas permukaan cairan.

2. Reaksi Warna
Preparasi sampel:
0,5 gram ekstrak dilarutkan dalam 15 ml etanol,

Dibagi menjadi tiga bagian masing-masing 5 ml, disebut sebagai larutan llA,
llB dan llC.
3. Uji Liebermann-Burchard
Larutan llA (blanko), larutan llB sebanyak 5 ml + 3 tetes asam asetat
anhidrat dan 1 tetes H2SO4 pekat, amati perubahan warna yang terjadi.

Kemudian kocok perlahan dan amati terjadinya perubahan warna.

Terjadinya warna hijau biru menunjukkan adanya saponin steroid, warna


merah ungu menunjukkan adanya saponin triterpenoid dan warna kuning
muda menunjukkan adanya saponin triterpenoid/ steroid jenuh.

4. Uji Salkowski
Larutan llA digunakan sebagai blanko, larutan llC sebanyak 5 ml ditambah
1-2 ml H2SO4 pekat melalui dinding tabung reaksi.

Adanya steroid tak jenuh ditandai dengan timbulnya cincin warna merah.
5. Kromatografi Lapis Tipis
1. Identifikasi sapogeni steroid/ triterpenoid
Ekstrak sebanyak 0,5 gram ditambah 5 ml HCl 2N, didihkan dan tutup
dengan corong berisi kapas basah selama 50 menit untuk menghidrolisis
saponin.

Setelah dingin, + ammonia sampai basa, kemudian ekstraksi dengan 4-5


ml n-heksana sebanyak 2x, lalu uapkan sampai tinggal 0,5 ml, totolkan
pada plat KLT.
Fase diam : Kiesel Gel 254
Fase gerak : n-heksana : etil asetat (4:1)
Penampak noda : Anisaldehida asam sulfat (dengan
pemanasan)

Adanya sapogenin ditunjukkan dengan terjadinya warna merah ungu


(ungu) untuk anisaldehida asam sulfat.

2. Identifikasi terpenoid/ steroid bebas secara KLT


Sedikit ekstrak ditambah beberapa tetes etanol, diaduk sampai larut,
totolkan pada fase diam.

Uji kromatografi lapis tipis ini menggunakan :


Fase diam : Kiesel Gel 254
Fase gerak : n-heksana : etil asetat (4:1)
Penampak noda : Anisaldehida asam sulfat (dengan
pemanasan)

Adanya terpenoid/ steroid ditunjukkan dengan terjadinya warna merah


ungu atau ungu.
V. HASIL

HASIL

1. Uji Buih

(+) saponin karena buih stabil


selama lebih dari 30 menit
dengan tinggi 3 cm di atas
permukaan cairan

2. Reaksi Warna
a. Uji Liebermann-Burchard

(+) saponin triterpenoid karena terjadi


perubahan warna menjadi warna
merah ungu

b. Uji Salkowski

(+) steroid tak jenuh ditandai dengan


timbulnya cincin warna merah
3. Uji Kromatografi Lapis Tipis
a. Penampang plat klt secara visual

b. Identifikasi sapogenin steroid/ triterpenoid

Plat klt pada sinar UV 365 Plat klt pada sinar UV


254

c. Identifikasi terpenoid/ steroid bebas

Plat klt pada sinar UV Plat klt pada sinar UV


365 254
VI. PEMBAHASAN
Percobaan kali ini identifikasi senyawa golongan terpenoid,
triterpenioid, sapogenin steroid, dan steroid bebas.Senyawa terpenoid berasal
dari berbagai senyawa, mulai dari komponen minyak atsiri yaitu monoterpen
dan skuiterpen yang mudah menguap, diterpen yang sukar menguap.
Triterpenoida adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari
enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30
asiklik yaitu skualena. Triterpenoida banyak terdapat pada tumbuhan dan
hewan, dapat berada dalam bentuk bebas, maupun dalam bentuk glikosida.
Steroid adalah suatu golongan senyawa triterpenoid yang mengandung inti
siklopentana perhidrofenantren yaitu dari tiga cincin sikloheksana dan sebuah
cincin siklopentana.
Saponin merupakan senyawa dalam bentuk glikosida yang tersebar luas
pada tumbuhan tingkat tinggi. Saponin membentuk larutan koloidal dalam air
dan membentuk busa yang mantap jika dikocok dan tidak hilang dengan
penambahan asam.Beberapa saponin bekerja sebagai anti mikroba
Pada praktikum ini melakukan beberapa uji diantaranya:
a. Raksi uji buih
Lakukan dengan cara yaitu memasukkan ekstrak kedalam
tabung reaksi menggunakan batang pengaduk lalu tambahkan air suling
10 ml., kocok 30 detik. Jika buih stabil selama 30 menit dengan tinggi 3
cm diatas permukaan tabung maka ekstrak yang kita uji positif
mengandung saponin. Pada sampel yang telah diuji di dapatkan buih
setinggi 6 cm yang stabil selama 30 menit.
b. Reaksi uji warna
Pertama kita melakukan preparasi sampel dengan
menggunakan 0,5 ekstrak dilarutkan dalam 15 ml etanol, lalu dibagi
menjadi 3 bagian, yaitu larutan IIA,IIB, IIC masing-masing 5 ml. Lalu
diuji
Uji lieberman burchard
Menggunakan larutan IIA dan IIB, IIA sebagai blanko, IIB
sebanyak 5ml tambahkan 3 tetes asam asetat anhidrat dan 5 tetes H2SO4
pekat, lalu dikocok perlahan dan diamati perubahan warna. Pada sampel
mendapatkan hasil yang positif saponin terpenoid karena warna yang
ditunjukan yaitu warna merah ungu.
Uji salkowski
Larutan IIA digunakan sebagai blanko, larutan IIC ditambahkan 1-2
ml H2SO4 pekat melalui dinding tabung reaksi. Pada sampel timbul cincin
berwarna merah yang menuntujukan bahwa sampel positif menunjukan
steroid tak jenuh.
c. Reaksi uji KLT sapogenin/triterpenoid
Pengujian ini bertujuan untuk membebaskan aglikonnya (sapogenin)
dari ikatan glikosida. Sedangkan pemanasan berfungsi untuk mempercepat
putusnya (hidrolisis) sapogenin dari ikatan glikosidanya. Pada uji ini
didapatkan noda warna merah ungu yang artinya sampel mengandung
saponin Steroid / triterpenoid dengan tinggi noda 6,3 cm dan Rf 0,79.
d. Uji reaksi terpenoid / steroid bebas pada klt
Ini merupakan metode yang paling sederhana. Adanya senyawa terpenoid /
steroid ditunjukkan dengan terjadinya warna ungu (noda) tetapi pada
praktikum yang kami lakukan tidak terlihat noda karena karena pada saat
penotolan larutan yang ditotolkan kurang banyak.

VII. KESIMPULAN
Ekstrak yang kami identifikasi positif mengandung saponin, saponi
triterpenoid, steroid dan steroid/ triterpenoid setelah dilakukan beberapa
pengujian. Rf yang didapatkan pada saat uji klt sapogenin/ triterpenoid
adalah Rf = 6,8 cm/ 8 = 0,79.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. (1989). Materia Medika Indonesia. Jilid III. 1989. Departemen
Kesehatan RI: Jakarta.
Depkes RI. (1979). Materia Medika Indonesia. Jilid III. 1979. Departemen
Kesehatan RI: Jakarta.
Kristianti,Ayu Puspita.2007.ISOLASI DAN IDENTIFIKASI GLIKOSIDA
SAPONIN PADA HERBA KROKOT (Portulaca olearacea L.).
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Nasution,Rosa Aprila.2008. ISOLASI SENYAWA
TRITERPENOID/STEROID DARI DAUN TUMBUHAN
KARAMUNTING (Rhodomyrtus tomentosa Wight.). Universitas
Sumatera Utara.
https://anekaplanta.wordpress.com/2008/07/30/sapindus-rarak-dc-lerak/
https://id.wikipedia.org/wiki/Lerak

http://lerakindonesia.com/info/7/lerak-sapindus-rarak--tanaman-
industri-pengganti-sabun

epository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20837/4/Chapter%20II.pdf
Depkes RI. (1989). Materia Medika Indonesia. Jilid III. 1989. Departemen
Kesehatan RI: Jakarta.
Depkes RI. (1979). Materia Medika Indonesia. Jilid III. 1979. Departemen
Kesehatan RI: Jakarta.
https://anekaplanta.wordpress.com/2008/07/30/sapindus-rarak-dc-lerak/
https://id.wikipedia.org/wiki/Lerak

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20837/4/Chapter%20II.pdf

http://lerakindonesia.com/info/7/lerak-sapindus-rarak--tanaman-
industri-pengganti-sabun
PRAKTIKUM FITOKIMIA

IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN FLAVONOIDA


( Ekstrak Psidium guajava)

Dosen : Drs. Herra Studiawan, M.Si., Apt.


Siti Rofida, M.Farm., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
Maret, 2017
TUGAS 3 IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN FLAVONOIDA
( Ekstrak Psidium guajava)

I. TUJUAN

Mahasiswa mampu melakukan identifikasi senyawa golongan flavonoida


dalam tanaman.

II. TINJAUAN TANAMAN


2.1 Taksonomi Tanaman
Tanaman Jambu Biji termasuk ke dalam
klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Famili : Myrtaceae
Genus : Psidium
Spesies : Psidium guajava Linn
( Parimin, 2005).
2.2 Morfologi dan karakteristik Jambu Biji
Tanaman jambu biji merah (Psidium guajava L.) bukan merupakan
tanaman asli Indonesia. Tanaman ini pertama kali ditemukan di Amerika
Tengah oleh Nikolai Ivanovich Vavilov saat melakukan ekspedisi ke
beberapa negara di Asia, Afrika, Eropa, Amerika Selatan, dan Uni Soviet
antara tahun 1887-1942. Seiring dengan berjalannya waktu, jambu biji
menyebar di beberapa negara seperti Thailand, Taiwan, Indonesia, Jepang,
Malaysia dan Australia. Thailand dan Taiwan, jambu biji merah menjadi
tanaman yang dikomersialkan (Parimin, 2005) .
Tanaman jambu biji (P. Guajava L.) ditemukan pada ketinggian 1m
sampai 1.200 m dari permukaan laut. Jambu biji berbunga sepanjangtahun.
Perdu atau pohon kecil, tinggi 2 m sampai 10 m, percabanganbanyak.
Batangnya berkayu, keras, kulit batang licin, berwarna coklat kehijauan.
Jambu biji (P. Guajava L.) tersebar meluas sampai ke Asia
Tenggaratermasuk Indonesia, sampai Asia Selatan, India dan Sri Lanka.
Jumlah danjenis tanaman ini cukup banyak, diperkirakan kini ada sekitar
150 spesies didunia. Tanaman ini (P. Guajava L.) mudah dijumpai di
seluruh daerahtropis dan subtropis. Seringkali ditanam di pekarangan
rumah. Tanaman inisangat adaptif dan dapat tumbuh tanpa pemeliharaan.
Di Jawa seringditanam sebagai tanaman buah, sangat sering hidup alamiah
di tepi hutandan padang rumput.
2.3 Nama Daerah
Setiap daerah di Indonesia memiliki kekhasan dalam penyebutan
nama jambu biji, diantaranya, Sumatra: glima breueh (Aceh), glimeu beru
(Gayo), galiman (Batak Karo), masiambu (Nias), biawas, jambu biji,
jambu batu, jambu klutuk (Melayu). Jawa: jambu klutuk (sunda ), jambu
klutuk, petokal, petokal, jambu krikil, jambu krutuk (jawa), jhambu
bhender (Madura). Nusa Tenggara: sotong (Bali), guawa (Flores),
goihawas (Sika).Sulawesi: Gayawas (Manado), boyawat (Mongondow),
koyamas (Tansau),dambu (Gorontalo), jambu paratugala (Makassar),
jambu paratukala(Bugis), jambu (Baree), Kujabas(Roti), biabuto (Buol).
Maluku: kayawase(Seram Barat), kujawase (Seram Selatan), laine hatu,
lutuhatu (Ambon),gayawa (Ternate, Halmahera).
2.4 Morfologi Daun Jambu Biji
Daun jambu biji tergolong daun tidak lengkap karena hanya
terdiridari tangkai (Petiolus) dan helaian (Lamina) saja yang disebut daun
bertangkai. Dilihat dari letak bagian terlebarnya pada daunnya
bagianterlebar daun jambu biji (P. Guajava L.) berada ditengah-tengah
danmemiliki bagian jorong karena perbandingan panjang : lebarnya adalah
1,5 -2 : 1 (13 - 15 : 5,6 - 6 Cm). Daun jambu biji (P. Guajava L.)
memilikitulang daun yang menyirip yang mana daun ini memiliki 1 ibu
tulang yangberjalan dari pangkal ke ujung dan merupakan terusan tangkai
daun dari ibutulang ke samping,keluar tulang-tulang cabang, sehingga
susunannya mengingatkan kita pada susunan sirip ikan. Jambu biji
memiliki ujung daun yang tumpul, pada umumnya warna daun bagian atas
tampak lebih hijau jika dibandingkan sisi bawah daun. Tangkai daun
berbentuk selindris dan tidak menebal pada bagian tangkainya.
2.5 Kandungan Daun Jambu Biji
Sudah sejak lama daun jambu biji merah digunakan untuk
pengobatan secara tradisional dan sudah banyak produk herbal dari
sediaan jambu biji. Daun jambu biji merah mengandung metabolit
sekunder, terdiri dari tanin, polifenolat, flovanoid, menoterpenoid,
siskulterpen, alkaloid, kuinon dan saponin, minyak atsiri (Kurniawati,
2006).
Senyawa seperti phenolic, terpenoid, flavonoid, dan alkaloid
memilki aktivitas juvenil hormone sehingga memiliki pengaruh pada
perkembangan serangga (Elimamet dkk., 2009) .Saponin termasuk ke
dalam senyawa terpenoid. Aktivitas saponin ini di dalam tubuh serangga
adalah mengikat sterol bebas dalam saluran pencernaan makanan dimana
sterol itu sendiri adalah zat yang berfungsi sebagai prekursor hormon
ekdison, sehingga dengan menurunnya jumlah sterol bebas dalam tubuh
serangga akan mengakibatkan terganggunya proses pergantian kulit
(moulting) pada serangga. Saponin memiliki efek lain menurunkan
tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva sehinga
dinding traktus digetivus larva menjadi korosif (Aminah dkk., 2001).
Daun jambu biji memiliki kandungan flavonoid yang sangat tinggi,
terutama quercetin. Senyawa tersebut bermanfaat sebagai antibakteri,
kandungan pada daun Jambu biji lainnya seperti saponin, minyak atsiri,
tanin, anti mutagenic, flavonoid, dan alkaloid. Flavonoid adalah senyawa
yang terdiri dari dari 15 atom karbon yang umumnya tersebar di dunia
tumbuhan. Quercetin adalah zat sejenis flavonoid yang ditemukan dalam
buah-buahan, sayuran, daun dan biji- bijian. Hal ini juga dapat digunakan
sebagai bahan dalam suplemen,minuman atau makanan. Saponin adalah
jenis glikosida yang banyak ditemukan dalam tumbuhan. Saponin
memiliki karakteristik berupa buih. Sehingga ketika direaksikan dengan air
dan dikocok maka akan terbentuk buih yang dapat bertahan lama. Minyak
atsiri adalah kelompok besar minyak nabati yang berwujud cairan kental
pada suhu ruang namun mudah menguap sehingga memberikan aroma
yang khas. Minyak atsiri merupakan bahan dasar dari wangi-wangian atau
minyak gosok (untuk pengobatan) alami. Tanin merupakan substansi yang
tersebar luas dalam tanaman dan digunakan sebagai energi dalam proses
metabolisme dalam bentuk oksidasi, Tanin juga sebagai sumber asam pada
buah. Alkaloid adalah sebuah golongan senyawa basa bernitrogen yang
kebanyakan heterosiklik dan terdapat didunia tumbuhan (tetapi ini tidak
mengecualikan senyawa yang berasal dari hewan).
2.6 Manfaat Daun Jambu Biji
Daun jambu biji ternyata memiliki khasiat tersendiri bagi tubuh kita,
baik untuk kesehatan ataupun untuk obat penyakit tertentu. Dalam
penelitian yang telah dilakukan ternyata daun jambu biji memiliki
kandungan yang banyak bermanfaat bagi tubuh kita. Diantaranya, anti
inflamasi, anti mutagenik, anti mikroba dan analgesik. Pada umumnya
daun jambu biji (P. Guajava L.) digunakan untuk pengobatan seperti diare
akut dan kronis, perut kembung pada bayi dan anak, kadar kolesterol darah
meninggi, sering buang air kecil, luka, sariawan, larutan kumur atau sakit
gigi dan demam berdarah.
Berdasarkan hasil penelitian, telah berhasil diisolasikan suatu zat
flavonoid dari daun jambu biji yang dapat memperlambat penggandaan
(replika) Human Immunodeficiency Virus (HIV) penyebab penyakit
AIDS. Zat ini bekerja dengan cara menghambat pengeluaran enzim
reserved transriptase yang dapat mengubah RNA virus menjadi DNA di
dalam tubuh manusia.
III. TINJAUAN GOLONGAN SENYAWA
3.1 Flavonoida
Senyawa flavonoid adalah senyawa polifenol yang mempunyai 15
atom karbon yang tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6, yaitu dua cincin
aromatik yang dihubungkan oleh 3 atom karbon yang dapat atau tidak
dapat membentuk cincin ketiga. Flavonoid terdapat dalam semua
tumbuhan hijau sehingga dapat ditemukan pada setiap ekstrak tumbuhan
(Markham, 1988). Golongan flavonoid dapat digambarkan sebagai
deretan senyawa C6-C3-C6, artinya kerangka karbonnya terdiri atas dua
gugus C6 (cincin benzena tersubstitusi) disambungkan oleh rantai alifatik
tiga karbon (Robinson, 1995).
Istilah flavonoid diberikan pada suatu golongan besar senyawa
yang berasal dari kelompok senyawa yang paling umum, yaitu senyawa
flavon; suatu jembatan oksigen terdapat diantara cincin A dalam
kedudukan orto, dan atom karbon benzyl yang terletak disebelah cincin
B. Senyawa heterosoklik ini, pada tingkat oksidasi yang berbeda terdapat
dalam kebanyakan tumbuhan. Flavon adalah bentuk yang mempunyai
cincin C dengan tingkat oksidasi paling rendah dan dianggap sebagai
struktur induk dalam nomenklatur kelompok senyawa-senyawa ini.
(Manitto, 1981)
Senyawa flavonoid sebenarnya terdapat pada semua bagian
tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga, buah, dan
biji. Kebanyakan flavonoid ini berada di dalam tumbuh-tumbuhan,
kecuali alga. Namun ada juga flavonoid yng terdapat pada hewan,
misalnya dalam kelenjar bau berang-berang dan sekresi lebah. Dalam
sayap kupu - kupu dengan anggapan bahwa flavonoid berasal dari
tumbuh-tumbuhan yang menjadi makanan hewan tersebut dan tidak
dibiosintesis di dalam tubuh mereka. Penyebaran jenis flavonoid pada
golongan tumbuhan yang tersebar yaitu angiospermae, klorofita, fungi,
briofita. (Markham, 1988)
Flavonoid sering terdapat sebagai glikosida. Golongan terbesar
flavonoid berciri mempunyai cincin piran yang menghubungkan rantai
tiga karbon dengan salah satu dari cincin benzena. Sistem penomoran
flavonoid dapat dilihat pada gambar 1.

3.2 Penyebaran Flavonoid


Flavonoid merupakan kandungan khas tumbuhan hijau dengan
mengecualikan alga. Flavonoid sebenarnya terdapat pada semua bagian
tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit,tepung sari, nectar, bunga,
buah, dan biji. Penyebaran jenis flavonoid pada golongan tumbuhan yang
terbesar, yaitu angiospermae (Markham, 1988)
Segi penting dari penyebaran flavonoid dalam tumbuhan ialah
adanya kecenderungan kuat bahwa tetumbuhan yang secara taksonomi
berkaitan akan menghasilkan flavonoid yang jenisnya serupa. Jadi,
informasi yang berguna tentang jenis flavonoid yang mungkin ditemukan
pada tumbuhan yang sedang ditelaah sering kali dapat diperoleh dengan
melihat pustaka mengenai telaah flavonoid terdahulu dalam tumbuhan
yang berkaitan, misalnya dari marga atau suku yang sama (Markham,
1988).
Pada tumbuhan tinggi, flavonoid terdapat baik dalam bagian
vegetatif maupun dalam bunga. Sebagai pigmen bunga flavonoid
berperan jelas dalam menarik burung dan serangga penyerbuk bunga.
Beberapa flavonoid tak berwarna, tetapi flavonoid yang menyerap sinar
UV barangkali penting juga dalam mengarahkan serangga. Beberapa
kemungkinan fungsi flavonoid untuk tumbuhan yang mengandungnya
adalah pengaturan tumbuh, pengaturan fotosintesis, kerja antimikroba
dan antivirus, dan kerja terhadap serangga (Robinson, 1995). Sifat
berbagai golongan flavonoid dapat dilihat pada tabel I.
3.4 Biosintesa Flavonoida
Semua varian flavonoida saling berkaitan karena alur biosintesis
yang sama yang melalui alur sikimat dan alur asetat-malonat. Flavonoida
yang pertama kali terbentuk pada biosintesis adalah khalkon dan semua
bentuk diturunkan darinya melalui berbagai alur. Modifikasi flavonoida
lebih lanjut mungkin terjadi pada berbagai tahap dan menghasilkan:
penambahan (atau pengurangan) hidroksilasi, metilasi gugus hidroksil
atau inti flavonoida, metilenasi gugus orto-dihidroksil, dimerisasi
(pembentukan biflavonoida), dan glikosilasi gugus hidroksil
(pembentukan flavonoida O-glikosida) atau inti flavonoida
(pembentukan flavonoidaC-glikosida).
3.5 Klasifikasi Senyawa Flavonoida
Dalam tumbuhan, flavonoid terdapat dalam berbagai bentuk struktur.
Keragaman struktur flavonoid ini disebabkan karena perbedaan tahap
modifikasi lanjutan dari struktur dasar flavonoid, antara lain:
1. Flavonoid O-glikosida.
Flavonoid biasanya terdapat sebagai flavonoid O-glikosida, pada
senyawa tersebut satu gugus hidroksi flavonoid (atau lebih) terikat pada
satu gula (atau lebih) dengan ikatan hemiasetal yang tak tahan asam.
Pengaruh glikosilasi meyebabkan flavonoid menjadi kurang reaktif dan
lebih mudah larut dalam air (cairan). Glukosa merupakan gula yang paling
umum terlibat, walaupun galaktosa, ramnosa, xilosa, dan arabinosa sering
juga terdapat. Gula lain yang ditemukan adalah alosa, manosa, fruktosa,
apiosa dan asam glukuronat serta galakturonat.
2. Flavonoid C-glikosida.
Gula dapat juga terikat pada atom karbon flavonoid dan dalam hal ini
gula tersebut terikat langsung pada inti benzena dengan suatu ikatan
karbon-karbon. Glikosida yang demikian disebut C-glikosida. Sekarang
gula yang terikat pada atom C hanya ditemukan pada atom C nomor 6 dan
8 dalam inti flavonoid. Jenis gula yang terlibat ternyata jauh lebih sedikit
ketimbang jenis gula pada O-glikosida. Jenis aglikon flavonoid yang
terlibat pun sangat terbatas. Jadi, walau pun isoflavon, flavanon, dan
flavonol kadang-kadang terdapat dalam bentuk C-glikosida, hanya flavon
C-glikosida yang paling lazim ditemukan.
3. Flavonoid Sulfat
Gabungan flavonoid lain yang mudah larut dalam air yang
mungkin ditemukan hanya flavonoid sulfat. Senyawa ini mengandung satu
ion sulfat atau lebih, yang terikat pada hidroksil fenol atau gula.
4. Biflavonoid
Biflavonod adalah flavonoid dimer, walau pun prosianidin dimer
(satuan dasarnya katekin) biasanya tidak dimasukkan ke dalam golongan
ini. Flavonoid yang biasanya terlibat adalah flavon dan flavanon yang
secara biosintesis mempunyai pola oksigenasi yang sederhana 5,7,4 (atau
kadang-kadang 5,7,3,4) dan ikatan antar-flavonoid berupa ikatan karbon-
karbon atau kadang-kadang ikatan eter. Biflavonoid jarang ditemukan
sebagai glikosida, dan penyebarannya terbatas, terdapat terutama pada
gimnospermae.
5. Aglikon flavonoid yang aktif-optik
Aglikon flavonoid mempunyai atom karbon asimetrik dan dengan
demikian menunjukkan keaktifan optik (yaitu memutar cahaya
terpolarisasi-datar). Yang termasuk dalam golongan flavonid ini ialah
flavanon, dihidroflavonol, katekin, pterokarpan, rotenoid, dan beberapa
biflavonoid (Markham, 1988).
Menurut Robinson (1995), flavonoid dapat dikelompokkan
berdasarkan keragaman pada rantai C3 yaitu :
1. Flavonol
Flavonol paling sering terdapat sebagai glikosida, biasanya 3-
glikosida, dan aglikon flavonol yang umum yaitu kamferol, kuersetin,
dan mirisetin yang berkhasiat sebagai antioksidan dan antiimflamasi.
Flavonol lain yang terdapat di alam bebas kebanyakan merupakan
variasi struktur sederhana dari flavonol. Larutan flavonol dalam suasana
basa dioksidasi oleh udara tetapi tidak begitu cepat sehingga
penggunaan basa pada pengerjaannya masih dapat dilakukan.

2. Flavon
Flavon berbeda dengan flavonol dimana pada flavon tidak
terdapat gugusan 3 -hidroksi. Hal ini mempunyai serapan UV-nya,
gerakan kromatografi, serta reaksi warnanya.Flavon terdapat juga
sebagai glikosidanya lebih sedikit daripada jenis glikosida pada
flavonol. Flavon yang paling umum dijumpai adalah apigenin dan
luteolin. Luteolin merupakan zat warna yang pertama kali dipakai di
Eropa. Jenis yang paling umum adalah 7-glukosida dan terdapat juga
flavon yang terikat pada gula melalui ikatan karbon-karbon.Contohnya
luteolin 8-C-glikosida. Flavon dianggap sebagai induk dalam
nomenklatur kelompok senyawa flavonoid.
3. Isoflavon
Isoflavon merupakan isomer flavon, tetapi jumlahnya sangat
sedikit dan sebagai fitoaleksin yaitu senyawa pelindung yang terbentuk
dalam tumbuhan sebagai pertahanan terhadap serangan penyakit.
Isoflavon sukar dicirikan karena reaksinya tidak khas dengan pereaksi
warna manapun. Beberapa isoflavon (misalnya daidzein) memberikan
warna biru muda cemerlang dengan sinar UV bila diuapi amonia, tetapi
kebanyakan yang lain tampak sebagai bercak lembayung yang pudar
dengan ammonia berubah menjadi coklat.

4. Flavanon
Flavanon terdistribusi luas di alam. Flavanon terdapat di dalam
kayu, daun dan bunga. Flavanon glikosida merupakan konstituen utama
dari tanaman genus prenus dan buah jeruk; dua glikosida yang paling
lazim adalah neringenin dan hesperitin, terdapat dalam buah anggur dan
jeruk.
5. Flavanonol
Senyawa ini berkhasiat sebagai antioksidan dan hanya terdapat
sedikit sekali jika dibandingkan dengan flavonoid lain. Sebagian besar
senyawa ini diabaikan karena konsentrasinya rendah dan tidak
berwarna.

6. Katekin
Katekin terdapat pada seluruh dunia tumbuhan, terutama pada
tumbuhan berkayu.Senyawa ini mudah diperoleh dalam jumlah besar
dari ekstrak kental Uncaria gambir dan daun teh kering yang
mengandung kira-kira 30% senyawa ini. Katekin berkhasiat sebagai
antioksidan.

7. Leukoantosianidin
Leukoantosianidin merupakan senyawa tan warna, terutama
terdapat pada tumbuhan berkayu. Senyawa ini jarang terdapat sebagai
glikosida, contohnya melaksidin,apiferol.
8. Antosianin
Antosianin merupakan pewarna yang paling penting dan paling
tersebar luas dalam tumbuhan. Pigmen yang berwarna kuat dan larut
dalam air ini adalah penyebab hampir semua warna merah jambu,
merah marak , ungu, dan biru dalam daun, bunga,dan buah pada
tumbuhan tinggi. Secara kimia semua antosianin merupakan turunan
suatu struktur aromatic tunggal yaitu sianidin, dan semuanya terbentuk
dari pigmen sianidin ini dengan penambahan atau pengurangan gugus
hidroksil atau dengan metilasi atau glikosilasi.

9. Khalkon
Khalkon adalah pigmen fenol kuning yang berwarna coklat kuat
dengan sinar UV bila dikromatografi kertas. Aglikon flavon dapat
dibedakan dari glikosidanya, karena hanya pigmen dalam bentuk
glikosida yang dapat bergerak pada kromatografi kertas dalam
pengembang air. (Harborne, 1996)
10. Auron
Auron berupa pigmen kuning emas yang terdapat dalam bunga
tertentu dan briofita. Dalam larutan basa senyawa ini berwarna merah
ros dan tampak pada kromatografi kertas berupa bercak kuning, dengan
sinar ultraviolet warna kuning kuat berubah menjadi merah jingga bila
diberi uap amonia. (Robinson, 1995)

IV. CARA MELAKUKAN IDENTIFIKASI


4.1 Reaksi Warna
Adanya gugus fenol pada flavonoid memberikan reaksi positif
dengan pereaksi untuk fenol, misalnya dengan besi (III) klorida dan
pereaksi asam sulfat akan memberi warna spesifik. Karena reaksi tidak
spesifik, maka tidak dapat digunakan membedakan masing-masing
golongan dan harus diikuti oleh uji warna lainnya.
Pereaksi aluminium klorida dapat membentuk kompleks dengan
flavonoid menimbulkan warna kuning. Kompleks dari flavonoiv dengan
gugus hidroksil berkedudukan orto tidak stabil dengan asam dan akan
terurai kembali. Akan tetapi flavonoid dengan gugus hidroksil yang
berkedudukan dekat gugus karbonil akan stabil dengan penambahan
asam.
Lazimnya identifikasi flavonoid diawali dengan reaksi warna
menggunakan pereaksi-pereaksi, seperti natrium hidroksida, asam sulfat,
besi (III) klorida, logam magnesium dan asam klorida. Kelarutan dari
flavonoid menjadi dasar dalam ekstraksi dan pemisahan secara
kromatografi, sifat-sifatnya dengan pereaksi-pereaksi tertentu menjadi
dasar analisis spektrofotometri UV-tampak.
Setyaningsih (2010) menjelaskan bahwa jika sampel terdapat
senyawa flavonoid, maka setelah penambahan logam Mg dan HCl akan
terbentuk garam flaviilium berwarna merah atu jingga. Penambahan HCl
pekat dalam uji flavonoid pada metode Wilster dimaksudkan untuk
menghidrolisis flavonoid menjadi aglikonnya, yaitu dengan
menghidrolisis O-glikosil. Glikosil akan tergnatikan oleh H+ dari asam
karena sifatnya yang elektrofilik. Glikofsida berupa gula yang bisa
dijumpai yaitu glukosa, galaktosa dan ramnosa. Reduksi dengan Mg dan
HCl pekat ini menghasilkan senyawa kompleks yang berwarna merah
atau jingga pada flavonol, flavanolol dan xanton (Mariana, 2013).
Reaksi Warna flavonoid

Golongan Warna
Flavonoid
Larutan Asam sulfat Magnesium/ Natrium
natrium pekat asam klorida amalgam
Hidroksida asam
Khalkon Jingga sampai Jingga sampai Tak berwarna Kuning
merah merah pucat

Dihidrokhalkon Tak berwarna Tak berwarna Tak berwarna


/ kuning Tak
berwarna
Auron Merah/violet Merah/violet Tak berwarna

Flavanon Kuning / Jingga Merah / violet Kuning


jingga, atau biru pucat
dipanas merah
Flavon Kuning / Kuning / Merah
Kuning jingga merah
berpendar
Flavanol Merah
Kuning / Kuning / Merah / violet
jingga jingga
Flavanonol berpendar Kuning /
Merah / violet merah
Kuning Kuning /
Leukoantosianin berubah merah
coklat Violet Kuning
/coklat
Antosianin / Kuning Merah / violet
Antosianidin Merah lalu
memucat Violet
Isoflavon Biru / violet Kuning /
jingga Kuning
Kuning /
Isoflavanon Kuning jingga
Kuning Tak berwarna
Kuning Merah muda
Kuning / violet

Merah

V. PEMISAHAN KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)


Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan
pemisah terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada
penyangga berupa plat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang
akan dipisah berupa larutan yang ditotolkan baik berupa bercak ataupun pita,
setelah plat atau lapisan dimasukkan ke dalam bejana tertutup rapat yang
berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama
perambatan kapiler (pengembangan), selanjutnya senyawa yang tidak
berwarna harus ditampakkan (Stahl, 1985).
Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa
cara. Untuk senyawa tak berwarna cara yang paling sederhana adalah
dilakukan pengamatan dengan sinar ultraviolet. Beberapa senyawa organik
bersinar atau berfluorosensi jika disinari dengan sinar ultraviolet gelombang
pendek (254 nm) atau gelombang panjang (366 nm), jika dengan cara itu
senyawa tidak dapat dideteksi maka harus dicoba disemprot dengan pereaksi
yang membuat bercak tersebut tampak yaitu pertama tanpa pemanasan,
kemudian bila perlu dengan pemanasan (Gritter, et al., 1991; Stahl, 1985).
a. Fase diam (lapisan penjerap)
Kromatografi lapis tipis, fase diam berupa lapisan tipis yang terdiri
atas bahan padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang
biasanya terbuat dari kaca, dapat pula terbuat dari plat polimer atau logam.
Lapisan melekat pada permukaan dengan bantuan bahan pengikat,
biasanya kalsium sulfat atau amilum. Penjerap yang umum dipakai untuk
kromatografi lapis tipis adalah silika gel, alumina, kieselgur dan selulosa
(Gritter, et al., 1991).
Dua sifat yang penting dari fase diam adalah ukuran partikel dan
homogenitasnya, karena adesi terhadap penyokong sangat tergantung pada
kedua sifat tersebut. Ukuran partikel yang biasa digunakan adalah 1-25
mikron. Partikel yang butirannya sangat kasar tidak akan memberikan
hasil yang memuaskan dan salah satu cara untuk memperbaiki hasil
pemisahan adalah dengan menggunakan fase diam yang butirannya lebih
halus. Butiran yang halus memberikan aliran pelarut yang lebih lambat dan
resolusi yang lebih baik (Sastrohamidjojo, 1985).
b. Fase gerak (pelarut pengembang)
Fase gerak ialah medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa
pelarut, jika diperlukan sistem pelarut multi komponen, harus berupa suatu
campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum tiga
komponen (Stahl, 1985).
Pemisahan senyawa organik selalu menggunakan pelarut campur.
Tujuan menggunakan pelarut campur adalah untuk memperoleh
pemisahan senyawa yang baik. Kombinasi pelarut adalah berdasarkan atas
polaritas masing-masing pelarut, sehingga dengan demikian akan
diperoleh sistem pengembang yang cocok. Pelarut pengembang yang
digunakan dalam kromatografi lapis tipis antara lain: n-heksan,
karbontetraklorida, benzen, kloroform, eter, etilasetat, piridian, aseton,
etanol, metanol dan air (Gritter, et al., 1991).
c. Harga Rf
Mengidentifikasi noda-noda dalam kromatografi lapis tipis sangat
lazim menggunakan harga Rf (Retordation Factor) yang didefinisikan

sebagai:
Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf (Sastrohamidjojo, 1985):
a. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan
b. Sifat penjerap
c. Tebal dan kerataan dari lapisan penjerap
d. Pelarut dan derajat kemurniannya
e. Derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana
f. Teknik percobaan
g. Jumlah cuplikan yang digunakan
h. Suhu
i. Kesetimbangan
VI. TINJAUAN ELUEN
Fase gerak merupakan medium angkut yang terdiri atas satu atau
beberapa pelarut. Fase gerak bergerak dalam fase diam karena adanya gaya
kapiler. Pelarut yang digunakan sebagai fase gerak hanyalah pelarut
bertingkat mutu analitik dan bila diperlukan sistem pelarut
multikomponen ini harus berupa suatu campuran yang
sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum 3
komponen. Angka banding campuran dinyatakan dalam
bagian volume total 100 (Nyiredy 2002). Pelarut pengembang
dikelompokkan ke beberapa golongan oleh Snyders berdasarkan kekuatan
pelarutnya. Menurut Stahl (1985) eluen atau fase gerak yang digunakan
dalam KLT dikelompokkan ke dalam 2 kelompok, yaitu untuk pemisahan
senyawa hidrofil dan lipofil. Eluen untuk pemisahan senyawa hidrofil
meliputi air, metanol, asam asetat, etanol, isopropanol, aseton, n-propanol,
tert-butanol, fenol, dan n-butano l sedangkan untuk pemisahan senyawa
lipofil meliputi etil asetat, eter, kloroform, benzena, toluena, sikloheksana,
dan petroleum eter.
1. Aseton

Sifat-sifat fisik
Rumus molekul : CH3COCH3 B
erat molekul (kg/kmol) : 58,080
Densitas (kg/m3 , 25C) : 785,601
Viskositas (cP, 20C) : 0,32
Titik beku : -94,6 0C
Titik leleh (C) : -94,6
Titik didih (C) : 56,29
Temperatur kritis (C) : 235,05
Tekanan kritis (kPa) : 4.701
Volume kritis (m3 /kmol) : 0,209
Tegangan permukaan (N/m, 25C) : 0,0230
Kapasitas panas (kJ/kmol.K, 25C) : 126,281
Panas penguapan (kJ/mol) : 29,1
Entalpi penguapan (kJ/mol) : 30,836
Energi Gibbs (kkal/mol) : -36,47
Entalpi pembentukan (kkal/mol) : -59,33 (cair)
Kelarutan (dalam air) : larut dalam berbagai rasio
Aseton merupakan keton yang paling sederhana, digunakan sebagai
pelarut polar dalam kebanyakan reaksi organik. Aseton dikenal juga sebagai
dimetil keton, 2-propanon, atau propan-2-on. Aseton adalah senyawa
berbentuk cairan yang tidak berwarna dan mudah terbakar, digunakan untuk
membuat plastik, serat, obat-obatan, dan senyawa-senyawa kimia lainnya.
Selain dimanufaktur secara industri, aseton juga dapat ditemukan secara
alami, termasuk pada tubuh manusia dalam kandungan kecil.
Aseton memiliki gugus karbonil yang mempunyai ikatan rangkap dua
karbon-oksigen terdiri atas satu ikatan dan satu ikatan . Umumnya atom
hidrogen yang terikat pada atom karbon sangat stabil dan sangat sukar
diputuskan. Namun lain halnya dengan atom hidrogen yang berada pada
karbon (C) di samping gugus karbonil yang disebut atom hidrogen alfa ().
Sebagai akibat penarikan elektron oleh gugus karbonil, kerapatan elektron
pada atom karbon semakin berkurang, maka ikatan karbon dan hidrogen
semakin melemah, sehingga hidrogen menjadi bersifat asam dan dapat
mengakibatkan terjadinya substitusi . Substitusi melibatkan penggantian
atom H pada atom karbon dengan elektrofilik (Wade, L.G. 2006:1041-
1063). Atom hidrogen pada aseton dapat dilihat pada Gambar 1.

Aseton mempunyai atom hidrogen alfa bersifat asam, oleh karena itu
dapat terionisasi menghasilkan ion enolat. Ion enolat dapat berada dalam dua
bentuk yaitu bentuk keto dan bentuk enol yang disebut bentuk tautomerisasi.
Tautomer adalah isomer-isomer pada senyawa karbonil yang hanya
dibedakan oleh kedudukan ikatan rangkap dan yang disebabkan perpindahan
letak atom hidrogen alfa ke atom oksigen.
2. Kloroform
a. Sifat Fisis
Rumus molekul : CHCl3
Berat molekul : 119,39 g/gmol
Wujud : cairan bening
Titik didih : 61,2oC
Titik leleh : -63,5oC
Densitas : 1,48 gr/cm3
Suhu kritis : 264oC
Specific gravity : 1,489
Viskositas : 0,57 cp (20oC)
Kapasitas panas : 0,234 kal/g.oC , pada 20oC
Tekanan kritis : 53,8 atm
Suhu kritis : 263oC
Kelarutan dalam 100 mL air : 0,8 g (20oC)
(Ketta & Cunningham,1992)

b. Sifat Kimia
Kloroform jika bereaksi dengan udara atau cahaya secara perlahan-
lahan akan teroksidasi menjadi senyawa beracun phosgene
(karbonil klorida).
Reaksi :

Kloroform dapat direduksi dengan bantuan zeng dan asam klorida


untuk membentuk metilen klorida. Jika proses reduksi dilakukan
dengan bantuan debu seng dan air akan dapat diperoleh metana.
Reaksi :
Kloroform dapat bereaksi dengan asam nitrat pekat untuk
membentuk nitro kloroform atau kloropikrin.
Reaksi :

Kloropikrin biasanya digunakan sebagai insektisida.


Kloroform dapat mengalami proses klorinasi dengan klorin jika
terkena sinar matahari dan menghasilkan karbon tetraklorida.
Reaksi :
CHCl3 + Cl2 CCl4 + HCl
(Kirk & Othmer, 1998)
3. Asam formiat
a. Sifat fisika
Berat molekul = 46,025g/mol
Konstan ionisasi pada 20C = 1,765 x 104
Titik didih = 100,8 C
Titik leleh = 8,4 C
Spesific gravity pada 40 C = 1,22647
Tegangan permukaan = 37,0 dyne/cm2
Viskositas pada suhu 25C = 1,57 cP
Kapasitas panas, cair, 22C = 0,514 kal/gC
Panas penguapan 100C = 104 kal/gC
Panas pembakaran, 25C = -60,9 kkal/mol
b. Sifat kimia
Asam formiat merupakan asam terkuat dari seri homolog gugus
karboksilat. Asam formiat mengalami beberapa reaksi kimia, yaitu
dekomposisi , reaksi adisi, siklisasi, asilasi.
Macam- macam proses pembuatan asam formiat
1. Proses Oksidasi Butena
Oksidasi fase cair pada butena dan naphta menghasilkan hasil
sampingberupa asam formiat. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut
:
C4H8+ 3O2 CH3COOH + 2HCOOH
Proses yang terjadi adalah sebagi berikut :Oksidasi butena dengan
udara pada temperatur 180C tekanan 150 atm.Butena sisa dan hasil
reaktor kemudian masuk dalam separator gas- cair. Gas dari separator
gas-cair didinginkan kemudian masuk dalam separator, gas-cair
didinginkan kemudian masuk ke absorber, butena yang diserap didistilasi
pada tekanan 4 atm dalam Stripper dan di recycleke reaktor. Kemudian
cairan keluar dari separator cair - cair terdiri dari asam asetat, metil etil
keton, metil asetat dan asam formiat, dipisahkan dalam kolom distilasi.
Secara keseluruhan yield pada proses ini sekitar 40%- 50% karena asam
formiat hanya merupakan hasil sampang dari produk utama asam asetat.
(Kirk Othmer, 1978)
2. Proses Sintesa dari Sodium Hidroksida, Karbon Monoksida dan Asam
Sulfat.
Reaksi yang terjadi :
CO + NaOH HCOONa
HCOONa + H2SO4 HCOOH + Na2SO4
Mula-mula karbon monoksida dicampur dengan natrium
hidroksida membentuk natrium formiat. Reaksi ini berjalan pada suhu
180C dan tekanan 15-18 atm, kemudian natrium formiat ditambahkan
dengan asam sulfat dalam reaktor berpengaduk, pada suhu 350C dan
tekanan atmosfer. Campuran yang dihasilkan dipisahkan dalam
evaporator dalam tekanan normal dan suhu 100120C untuk
mendapatkan asam formiat dan sodium sulfat kering. Pada proses ini
rendemen yang diperoleh adalah 90% dengan konsentrasi produk 75%
asam formiat dalam air. (Kirk Othmer, 1978)
3. Reaksi Hidrolisis Formamid
Reaksi yang terjadi :
CO + CH3OH HCOOHC3
HCOOHC3 + NH3 HCONH2 + CH3OH
HCONH2 + H2SO4 HCOOH + (NH4)2SO4
Proses yang terjadi adalah :
Karbonasi metanol dengan gas CO membentuk metil format pada
temperatur 80C dan tekanan 45 atm. Pada tahap ini, ditambahkan katalis
sodium atau potassium metoxide 2,5 % berat dari kebutuhan metanolnya.
Kemudian terjadi amolisis metil format dengan ammonia membentuk
formamid pada suhu 80-100C dan tekanan 0,4 - 0,6 Mpa. Hidrolisis
formamid ditambah asam sulfat 68%-74% pada suhu 85C. Reaksi ini
berjalan pada reactor berpengaduk. Amonium sulfat dan asam formiat keluar
dari reaktor kemudian masuk ke klin. Disini asam formiat diuapkan dan
selanjutnya masuk ke kolom distilasi, sedangkan ammonium sulfat di blow
down dan kemudian dikeringkan. Rendemen asam formiat yang dihasilkan
pada proses ini 93 %. (Kirk Othmer, 1978)
4. Hidrolisis Metil Format
Hidrolisis metil format merupakan teknologi proses yang sederhana.
Kesetimbangan hidrolisis relatif tidak berpengaruh, tetapi tergantung dari
konsentrasi air dengan pengaruh stoikiometri dari air, dimana konsekuensi
metode efisiensi energi dari pengaruh perubahan air sangat diperlukan. Lebih
dari itu metil format mempunyai tingkat volatilitas tinggi (mudah menguap)
dengan bp (bubble point = 32C) dan asam formiat tergolong asam kuat dari
katalis reesterifikasi. Proses ini berlangsung pada temperature 54,7C serta
tekanan operasi 1 atm. Reaksi ini menghasilkan produk samping metanol,
yang dalam perkembangannya dapat direaksikan dengan CO menghasilkan
metil format.
Reaksi yang terjadi :
HCOOCH3 + H2O HCOOH + CH3OH
Ada beberapa pertimbangan yang digunakan dalam menentukan proses
yang dipakai antara lain :
a. Merupakan proses yang komersial, dalam arti sering dipakai. Dalam hal
ini diantara keempat proses tersebut yang paling sering dikembangkan
secara komersial adalah proses hidrolisis metal formiat.
b. Pabrik asam formiat yang sudah ada di Indonesia yaitu PT. Sintas Kurama
Perdana dengan kapasitas 11.000 ton/tahun.
c. Proses dapat menghasilkan produk dengan komposisi yang relative tinggi.
Kemurnian produknya 90% berat, jadi cukup ekonomis untuk
dikembangkan.
d. .Proses beroperasi pada tekanan rendah, sehingga dapat mengurangi biaya
investasi dan mengurangi tingkat bahaya yang tinggi. Pada proses
hidrolisis asam formiat diperlukan kondisi tekanan yang relative lebih
rendah sehingga investasi lebih rendah.
e. Proses menggunakan sedikit tahapan reaksi, sehingga lebih sedikit
peralatan yang diperlukan untuk reaksi. Dalam hal ini proses hidrolisis
metil formiat yang memiliki tahapan reaksi paling sederhana disbanding
proses lain.
c. Indeks Polaritas
Ada berbagai kondisi KLT yang bertujuan untuk menaikkan
kemampuan teknik kromatografi, salah satunya adalah sistem fasa normal
(normal phase sistems). Sistem fasa normal yaitu penggunaan fasa diam polar
yang dikombinasikan dengan berbagai fasa gerakm non air (non aqueous
mobile phases) . Tipikal fasa diam yang sering dikatakan bersifat polar antara
lain silica gel, alumina dan berbagai material fasa terikat polar lainnya seperti
siano-silika, amino-silika dan diol silika dimana proses adsorpsi memainkan
peranan penting dalamn pemisahan.
Karakter yang diinginkan dalam pemilihan fasa gerak yang kompetitif
untuk KLT antara lain adalah parameter kelarutan (solubility parameter)I,
indeks polaritas (polarity index) dan kekuatannya sebagai solvent (solvent
strength) . Parameter kelarutan menunjukkan kemampuannya untuk
berkombinasi dengan beragam pelarut lain. Indeks polaritas menunjukkan
besaran empiris yang digunakan untuk mengukut ketertarikan antar molekul
dalam solute dengan molekul solvent pada parameter kelarutan solvent yang
bersangkutan dalam keadaan murninya. Sementara kekuatan pelarut
dinyatakan sebagai bilangan yang berkisar antara -0,25 sampai +1,3 yang
ditentukan melalui energi adsorpsi oleh molekul solvent pada solvent yang
bersangkutan.
Indeks Polaritas Pelarut
VII. BAGAN ALIR
a. Preparasi Sampel
0,3 gram ekstrak dikocok dengan 3 ml n-heksana berkali-kali dalam
tabung reaksi sampai ekstrak n-heksan tidak berwarna.

Residu dilarutkan dalam 20 ml etanol dan dibagi menjadi 4 bagian,
masing-masing disebut sebgai larutan IIIA, IIIB, IIIC, dan IIID.
b. Reaksi Warna
1. Uji Bete-Smith dan Metcalf
Larutan IIIA sebagai blanko, larutan IIIB ditambah 0,5 ml HCL
pekat dan diamati perubahan warna yang terjadi, kemudian
dipanaskan di atas penangas air dan diamati lagi perubahan warna
yang terjadi.

Bila perlahan-lahan menjadi warna merah terang atau ungu
menunjukkan adanya senyawa leukoantosianin (dibandingkan
dengan blanko)
2. Uji Wilstater
Larutan IIIA sebagai blanko, larutan IIIC ditambah 0,5 ml HCL
pekat dan 4 potong magnesium.

Diamati perubahan warna yang terjadi, diencerkan dengan 2 ml air
suling, kemudian ditambah 1 ml butanol.

Diamati warna yang terjadi di setiap lapisan. Perubahan warna
jingga menunjukkan adanya flavon, merah pucat menunjukkan
adanya flavonol, merah tua menunjukkan adanya flavanon.
c. Kromatografi Lapis Tipis
Larutan IIID ditotolkan pada fase diam.

Uji kromatografi lapis tipis ini menggunakan:
Fase diam : Lapisan tipis selulosa (diganti
Kiesel Gel 254)
Fase gerak : Kloroform:aseton:asam formiat
(6:6:1)
Penampakan noda : - Pereaksi sitrat borat atau
- Uap ammonia atau
- Asam sulfat 10%

Adanya flavonoid ditunjukkan dengan timbulnya noda berwarna
kuning intensif.

Noda kuning yang ditimbulkan oleh uap ammonia akan hilang secara
perlahan ketika amonianya menguap meninggalkan noda.

Sedangkan noda kuning yang ditimbulkan oleh pereaksi sitrat-borat
sifatnya permanen.
VIII. SKEMA KERJA
a. Preparasi sampel
IIMasukkan 0,3 gram ekstrak
ke dalam 3 ml n-heksana

Kocok dan tambahkan


n-heksan berkali kali
dalam tabung reaksi
hingga ekstrak n-heksan
tidak berwarna.

Diambil residu,
dilarutkan dalam 20 ml
etanol

IIIA IIIB IIIC IVD


Dibagi menjadi 4 bagian.
b. Reaksi Warna
1. Uji Bate-Smith dan Metcalf

Larutan IIIB + 0,5 ml HCl


pekat, amati perubahan
warna yang terjadi

Larutan IIIA Larutan IIIB


digunakan digunakan
sebagai untuk uji
blanko Bate-Smith
dan Metcalf

Dipanaskan dipenangas
air, amati perubahan
warna yang terjadi
2. Uji Wilstater

Larutan IIIC + 0,5 ml HCl


pekat & 4 potong magnesium.
Amati perubahan warna yang
Larutan IIIA Larutan IIIC terjadi
digunakan digunakan
sebagai untuk uji
blanko Wilstater
dan Metcalf

+ 1ml butanol. Diamati


warna yang terjadi di setiap
lapisan

+ 2ml air
suling
c. KLT (Kromatografi Lapis Tipis)

Cek di panjang gelombang 254 nm & 365 nm

Larutan IIID
ditotolkan
pada plat
KLT
Dieluasi dalam chamber

Cek di UV 365 nm & 254 nm


IX. HASIL

Sampel ekstrak Hasil preparasi


Psidium guajava ekstrak Psidium
guajava dengan 11x
penambahan n-

Uji Bate-Smith & metcalf


Uji Wilstater warna jingga
Warna merah terang (+)
(+) senyawa flavon
senyawa leukoantosianin

Setelah eluasi dan


Setelah penotolan sampel disemprot penampak
A. Sampel IIID noda asam sulfat 10%
B. Fraksi n-heksan A. Sampel IIID (+)
B. Fraksi n-heksan (+)
A B A B
Penyinaran pada UV 254
A. Sampel IIID Penyinaran pada UV
B. Fraksi n-heksan 365 A. Sampel IIID
B. Fraksi n-heksan

A B A B
X. PEMBAHASAN

Pada praktikum ini dilakukan identifikasi senyawa Flavonoid pada


ekstrak Psidium guajava yang menurut beberapa literature mengandung
berbagai senyawa diantaranya yakni flavonoid. Identifikasi ini menggunakan
dengan dua metode yakni rekasi warna dan Kromatografi lapis tipis. Langkah
pertama preparasi sampel dengan ekstrak dikocok (diekstrak) dengan 3 ml n-
hekasan berkali-kali sampai n-heksan tidak berwarna. Pengekstrakan tersebut
menggunakan n-heksan dikarenakan senyawa flavonoid bersifat polar dan
pengekstrakan bertujuan menarik senyawa-senyawa yang bersifat lipofilik
agar terbawa oleh pelarut n-heksan. Filtrate n heksan kemudian di uapkan di
lemari asam agar konsentrasi lebih pekat untuk ditotolkan pada plat KLT.
Residu yang didapat kemudian dilarutkan dengan 15 ml etanol kemudian
dibagi menjadi empat bagian yakni III A sebagai blanko, III B sebagai uji
Bate-Smith dan Metcalf, III C sebagai Uji wilstater dan III D sebagai Uji
Kromatografi Lapis Tipis.
Larutan III B ditambahkan HCL pekat dan magnesium. Penambahan
HCl berfungsi menghidrolisis flavonoid menjadi aglikonnya yaitu dengan
menghidrolisis O-Glikosil. Sedangkan penambahan Mg berfungsi mereduksi
flavonoid sehingga menghasilkan warna yakni merah, kuning atau jingga.
Pada praktikum kami didapkan warna merah terang yang menunjukkan
bahwa ekstrak Psidium guajava mengandung senyawa Leukoantosianin.
Larutan III B perlakuannya sama hanya saja diencerkan dengan air
suling kemudian ditambahkan 1ml Butanol secara perlahan-lahan melalui
dinding tabung. Penambahan butanol tersebut agar dapat menghasilkan
beberapa lapisan warna diantaranya jingga yang menunjukkan adanya flavon,
merah pucat adanya flavonol, merah tua adanya flavonon. Pada praktikum
kami didapatkan didaptkan satu lapisan senyawa saja sehingga dapat
disimpulkan bahwa ekstrak Psidium guajava mengandung flavon, tetapi pada
dasarkan semua kandungan tersebut ada didalam daun jambu hanya aja
kesalahan preparasi saat penambahan magnesium atau pengaliran butanol
melalui dinding tabung.
Larutan III D yang telah diupkan menjadi 1/3 bagiannya kemudian
ditotolkan pada plat KLT. Penguapan ditujukan agar larutan lebih pekat untuk
mengurangi bias yang mungkin terjadi. Pada praktikum ini digunakan fase
diam yakni lapis tipis selulosa (Kiesel Gel 254) dan fase gerak
kloroform:aseton:asam formiat (6:6:1) yang kemudian di eluasi hingga jenuh
lalu dikeringkan. Tahap selanjutnya dilihat penampak noda fraksi n-heksan
dan etanol di UV 254 dan 360, kemudian disemprot dengan asam sulfat 10%.
Penambahan asam sulfat ini betujuan agar noda yang Nampak di KLT
menimbulkan warna setalah Plat KLT diuapkan atau dipanaskan. Setelah plat
kering di lihat warna yang terbentuk kemudian di lihat di sinar UV 254 dan
365. Hasil praktikum kami didapkan 1 penampak noda fraksi n-heksan yakni
berwarna kuning secara visual, pada sinar UV 254 juga Nampak noda, dan
pada sinar UV 365 nampak beberapa warna noda.pada etanol menghaslikan
penampak noda berwarna kuning yang hamper sama dengan fraksi n heksan.
Nilai rf yang didapatkan pada fraksi n-heksan yakni 0.0875 sedangkan fraksi
n-etanol nilai Rf nya yakni 0.0888.

XI. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil praktikum yang kami lakukan pada ekstak Psidium


guajava mengandung senyawa flavonoid yang ditunjukkan dengan hasil
positif pada rekasi warna yakni mengandung senyawa flavon dengan
terbentuknya lapisan warna jingga pada larutan, leukoantosianin ditunjukkan
dengan terjadinya perubahan warna merah pada larutan. Selain itu nilai Rf
pada fraksi n-heksan yakani 0.875 dan fraksi etanol yakni 0.888.
DAFTAR PUSTAKA

Nety Nurazizah, Isolasi dan Identifikasi Jamur Endofit Dari Daun Jambu Biji
(PsidiumGuajava L.) sebagai Anti bakteri Dari Bakteri E.Coli dan
Staphylococus Aureus, UIN Malang, Malang, 2008.
Renata Ayuni, Khasiat Selangit Daun-Daun Ajaib Tumpas Beragam Penyakit,
Alaska,Yogyakarta, 2012. hlm. 130.
Septia Anggraini, Optimasi Formula Fast Disintegrating Tablet Ekstrak Daun
JambuBiji (Psidium Guajava L.) Dengan Bahan Penghancur Sodium
Starch Glycolate Dan BahanPengisi Manitol, Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Surakarta, 2010.
Shirur Dakappa ShruthI, dhikari Roshan, Sanjay Sharma Timilsina, and Sajjekhan
Sunita. 2011. A REVIEW ON THE MEDICINAL PLANT PSIDIUM
GUAJAVA LINN. (MYRTACEAE). Journal of Drug Delivery &
Therapeutics; 2013, 3(2), 162-168 ISSN: 2250-1177 Available online at
http://jddtonline.info
Simanjutak,Danny Junior.2010. ISOLASI SENYAWA FLAVONOIDA DARI
BUAH TUMBUHAN HARIMONTING ( Rhodomyrtus tomentosa W. Ait
). Universitas Sumatera Utara.
Subandono.2006. ISOLASI DAN IDENTIFIKASI FLAVONOID DARI DAUN
CEREMAI (Phyllanthus acidus [L.] Skeels.).Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Yulinar Rochmasari, Studi Isolasi Dan Penentuan Struktur Molekul Senyawa
KimiaDalam Fraksi Netral Daun Jambu Biji Australia (Psidium Guajava
L.), Universitas Indonesia, Depok, 2011, hlm. 3
PRAKTIKUM FITOKIMIA
IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN POLIFENOL DAN TANIN
( Ekstrak Psidium guajava)

Dosen : Drs. Herra Studiawan, M.Si., Apt.


Siti Rofida, M.Farm., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
Maret, 2017
TUGAS 4 IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN POLIFENOL DAN
TANIN ( Ekstrak Psidium guajava)

I. TUJUAN
Mahasiswa mampu melakukan identifikasi senyawa golongan flavonoida
dalam tanaman.
II. TINJAUAN TANAMAN
a. Taksonomi Tanaman
Tanaman Jambu Biji termasuk ke dalam klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Famili : Myrtaceae
Genus : Psidium
Spesies : Psidium guajava Linn
( Parimin, 2005).
b. Morfologi dan karakteristik Jambu Biji
Tanaman jambu biji merah (Psidium guajava L.) bukan merupakan
tanaman asli Indonesia. Tanaman ini pertama kali ditemukan di Amerika
Tengah oleh Nikolai Ivanovich Vavilov saat melakukan ekspedisi ke
beberapa negara di Asia, Afrika, Eropa, Amerika Selatan, dan Uni Soviet
antara tahun 1887-1942. Seiring dengan berjalannya waktu, jambu biji
menyebar di beberapa negara seperti Thailand, Taiwan, Indonesia, Jepang,
Malaysia dan Australia. Thailand dan Taiwan, jambu biji merah menjadi
tanaman yang dikomersialkan (Parimin, 2005) .
Tanaman jambu biji (P. Guajava L.) ditemukan pada ketinggian 1m
sampai 1.200 m dari permukaan laut. Jambu biji berbunga sepanjangtahun.
Perdu atau pohon kecil, tinggi 2 m sampai 10 m, percabanganbanyak.
Batangnya berkayu, keras, kulit batang licin, berwarna coklat kehijauan.
Jambu biji (P. Guajava L.) tersebar meluas sampai ke Asia
Tenggaratermasuk Indonesia, sampai Asia Selatan, India dan Sri Lanka.
Jumlah danjenis tanaman ini cukup banyak, diperkirakan kini ada sekitar
150 spesies didunia. Tanaman ini (P. Guajava L.) mudah dijumpai di
seluruh daerahtropis dan subtropis. Seringkali ditanam di pekarangan
rumah. Tanaman inisangat adaptif dan dapat tumbuh tanpa pemeliharaan.
Di Jawa seringditanam sebagai tanaman buah, sangat sering hidup alamiah
di tepi hutandan padang rumput.
c. Nama Daerah
Setiap daerah di Indonesia memiliki kekhasan dalam penyebutan
nama jambu biji, diantaranya, Sumatra: glima breueh (Aceh), glimeu beru
(Gayo), galiman (Batak Karo), masiambu (Nias), biawas, jambu biji,
jambu batu, jambu klutuk (Melayu). Jawa: jambu klutuk (sunda ), jambu
klutuk, petokal, petokal, jambu krikil, jambu krutuk (jawa), jhambu
bhender (Madura). Nusa Tenggara: sotong (Bali), guawa (Flores),
goihawas (Sika).Sulawesi: Gayawas (Manado), boyawat (Mongondow),
koyamas (Tansau),dambu (Gorontalo), jambu paratugala (Makassar),
jambu paratukala(Bugis), jambu (Baree), Kujabas(Roti), biabuto (Buol).
Maluku: kayawase (Seram Barat), kujawase (Seram Selatan), laine hatu,
lutuhatu (Ambon),gayawa (Ternate, Halmahera).
d. Morfologi Daun Jambu Biji
Daun jambu biji tergolong daun tidak lengkap karena hanya
terdiridari tangkai (Petiolus) dan helaian (Lamina) saja yang disebut daun
bertangkai. Dilihat dari letak bagian terlebarnya pada daunnya
bagianterlebar daun jambu biji (P. Guajava L.) berada ditengah-tengah
danmemiliki bagian jorong karena perbandingan panjang : lebarnya adalah
1,5 -2 : 1 (13 - 15 : 5,6 - 6 Cm). Daun jambu biji (P. Guajava L.)
memilikitulang daun yang menyirip yang mana daun ini memiliki 1 ibu
tulang yangberjalan dari pangkal ke ujung dan merupakan terusan tangkai
daun dari ibutulang ke samping,keluar tulang-tulang cabang, sehingga
susunannya mengingatkan kita pada susunan sirip ikan. Jambu biji
memiliki ujung daun yang tumpul, pada umumnya warna daun bagian atas
tampak lebih hijau jika dibandingkan sisi bawah daun. Tangkai daun
berbentuk selindris dan tidak menebal pada bagian tangkainya.
e. Kandungan Daun Jambu Biji
Sudah sejak lama daun jambu biji merah digunakan untuk
pengobatan secara tradisional dan sudah banyak produk herbal dari
sediaan jambu biji. Daun jambu biji merah mengandung metabolit
sekunder, terdiri dari tanin, polifenolat, flovanoid, menoterpenoid,
siskulterpen, alkaloid, kuinon dan saponin, minyak atsiri (Kurniawati,
2006).
Senyawa seperti phenolic, terpenoid, flavonoid, dan alkaloid
memilki aktivitas juvenil hormone sehingga memiliki pengaruh pada
perkembangan serangga (Elimamet dkk., 2009) .Saponin termasuk ke
dalam senyawa terpenoid. Aktivitas saponin ini di dalam tubuh serangga
adalah mengikat sterol bebas dalam saluran pencernaan makanan dimana
sterol itu sendiri adalah zat yang berfungsi sebagai prekursor hormon
ekdison, sehingga dengan menurunnya jumlah sterol bebas dalam tubuh
serangga akan mengakibatkan terganggunya proses pergantian kulit
(moulting) pada serangga. Saponin memiliki efek lain menurunkan
tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva sehinga
dinding traktus digetivus larva menjadi korosif (Aminah dkk., 2001).
Daun jambu biji memiliki kandungan flavonoid yang sangat tinggi,
terutama quercetin. Senyawa tersebut bermanfaat sebagai antibakteri,
kandungan pada daun Jambu biji lainnya seperti saponin, minyak atsiri,
tanin, anti mutagenic, flavonoid, dan alkaloid. Flavonoid adalah senyawa
yang terdiri dari dari 15 atom karbon yang umumnya tersebar di dunia
tumbuhan. Quercetin adalah zat sejenis flavonoid yang ditemukan dalam
buah-buahan, sayuran, daun dan biji- bijian. Hal ini juga dapat digunakan
sebagai bahan dalam suplemen,minuman atau makanan. Saponin adalah
jenis glikosida yang banyak ditemukan dalam tumbuhan. Saponin
memiliki karakteristik berupa buih. Sehingga ketika direaksikan dengan air
dan dikocok maka akan terbentuk buih yang dapat bertahan lama. Minyak
atsiri adalah kelompok besar minyak nabati yang berwujud cairan kental
pada suhu ruang namun mudah menguap sehingga memberikan aroma
yang khas. Minyak atsiri merupakan bahan dasar dari wangi-wangian atau
minyak gosok (untuk pengobatan) alami. Tanin merupakan substansi yang
tersebar luas dalam tanaman dan digunakan sebagai energi dalam proses
metabolisme dalam bentuk oksidasi, Tanin juga sebagai sumber asam pada
buah. Alkaloid adalah sebuah golongan senyawa basa bernitrogen yang
kebanyakan heterosiklik dan terdapat didunia tumbuhan (tetapi ini tidak
mengecualikan senyawa yang berasal dari hewan).
f. Manfaat Daun Jambu Biji
Daun jambu biji ternyata memiliki khasiat tersendiri bagi tubuh kita,
baik untuk kesehatan ataupun untuk obat penyakit tertentu. Dalam
penelitian yang telah dilakukan ternyata daun jambu biji memiliki
kandungan yang banyak bermanfaat bagi tubuh kita. Diantaranya, anti
inflamasi, anti mutagenik, anti mikroba dan analgesik. Pada umumnya
daun jambu biji (P. Guajava L.) digunakan untuk pengobatan seperti diare
akut dan kronis, perut kembung pada bayi dan anak, kadar kolesterol darah
meninggi, sering buang air kecil, luka, sariawan, larutan kumur atau sakit
gigi dan demam berdarah.
Berdasarkan hasil penelitian, telah berhasil diisolasikan suatu zat
flavonoid dari daun jambu biji yang dapat memperlambat penggandaan
(replika) Human Immunodeficiency Virus (HIV) penyebab penyakit
AIDS. Zat ini bekerja dengan cara menghambat pengeluaran enzim
reserved transriptase yang dapat mengubah RNA virus menjadi DNA di
dalam tubuh manusia.
III. TINJAUAN GOLONGAN SENYAWA
a. Polifenol
Tumbuhan yang hidup disekitar kita memiliki kandungan kimia
yang unik. Kimia bahan alam yang merupakan hasil metabolisme
sekunder. Bahan kimia yang dimaksud biasanya di gunakan manusia
untuk memenuhi kebutuhannya dalam bidang farmasi. Salah satu
kelompok senyawa yang banyak memberikan manfaat bagi manusia
adalah polifenol. Senyawa yang termasuk kedalam polifenol ini adalah
semua senyawa yang memiliki struktur dasar berupa fenol. Fenol
sendiri merupakan struktur yang terbentuk dari benzena tersubtitusi
dengan gugugs OH. Gugus OH yang terkandung merupakan
aktivator yang kuat dalam reaksi subtitusi aromatik elektrofilik
(Fessenden, 1982).
Gambar 2. Struktur dasar polifenol (Fessenden,
1982).
Polifenol jika diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Asam Garlic
Senyawa ini memiliki struktur benzen yang terdistribusi
dengan 3 gugus OH dan satu gugus Karboksilat. Contohnya seperti
jenis hydrolyzable tannins yang merupakan jenis tanin yang dapat larut
didalam air membentuk asam garlic dan asam protocatechuic dan gula.
Contoh jenis ini adalah gallotanin.

Gambar 3. Asam Galat (Mori et.al, 2000)


Senyawa ini tidak terlalu berperan didalam tumbuhan tetapi
cukup memberikan sumbangan manfaat bagi manusia khususnya
dalam bidang kesehatan. Senyawa jenis ini telah di teliti dapat
menghambat tumor, anti virus, anti oksidasi, anti diabetes (Mori et.al,
2000)
2. Flavon
Jenis polifenol ini yang paling banyak terdapat di alam.
Senyawa ini juga termasuk flavonoid. Contoh senyawa ini adalah
epicatechin dan epigalocatechin, senyawa ini memiliki fungsi sebagai
antioksidan.
Gambar 4. Epicatechin dan Epigallocatechin
3. Fenol
Senyawa ini memiliki subkomponen berupa fenol yang tersusun
dari benzen tersubtitusi dengan gugus OH. Salah satu contohnya
adalah capsaisin, yang merupakan zat pedas pada cabe. Senyawa ini
memiliki subkomponen fenol dan terdapat amina didalamnya
(Sudarma, 2009).

Gambar 5. Capsaisin (Sudarma, 2009).


4. Progallol
Senyawa ini memiliki fenolik berupa benzen tersubtitusi dengan
3 gugus OH yang berurutan. Contoh senyawa ini adalah myrecetin
dan gallocatechins (EGCG). Myrecetin dapat dipakai sebagai penurun
kolesterol darah dan gallocatechins (EGCG) dapat digunakan sebagai
antioksidan dan penangkal radikal bebas (Sudarma, 2009).

Gambar 6. Progallol (Sudarma, 2009).


5. Tanin
Tanin merupakan salah satu jenis senyawa yng termasuk ke
dalam golonganpolifenol. Senyawa tanin ini banyak di jumpai pada
tumbuhan. Tanin dahulu digunakan untuk menyamakkan kulit hewan
karena sifatnya yang dapat mengikat protein. Selain itu juga tanin
dapat mengikat alkaloid dan glatin.Tanin secara umum didefinisikan
sebagai senyawa polifenol yang memiliki berat molekul cukup tinggi
(lebih dari 1000) dan dapat membentuk kompleks dengan protein.
Tanin diketahui mempunyai beberapa khasiat, yaitu sebagai astringen,
anti diare, anti bakteri dan antioksidan Berdasarkan strukturnya, tanin
dibedakan menjadi dua kelas yaitu tannin terkondensasi (condensed
tannins) dan tannin terhidrolisiskan (hydrolysabletannins) ( Dwi Arif
Sulistiono, 2008).

Gambar 7 . Tanin (Dwi Arif Sulistiono, 2008.)


Secara fisika, tanin memiliki sifat-sifat:jika dilarutkan kedalam
air akan membentuk koloid dan memiliki rasa asam dan sepat, jika
dicampur dengan alkaloid dan glatin akan terjadi endapan, tidak dapat mengkristal,
dan dapat mengendapkan protein dari larutannya dan bersenyawa
denganprotein tersebut sehingga tidak dipengaruhi oleh enzim
protiolitik.
Secara kimiawi, memiliki sifat-sifat diantaranya: merupakan
senyawa kompleks dalam bentuk campuran polifenol yangsukar
dipisahkan sehingga sukar mengkristal, tanin dapat diidentifikasikan dengan
kromotografi, dansenyawa fenol dari tanin mempunyai aksi
adstrigensia, antiseptik dan pemberi warna (Najebb, 2009).Tanin atau
lebih dikenal dengan asam tanat, biasanya mengandung 10% H2O.
Struktur kimia tanin adalah kompleks dan tidak sama. Asam tanat
tersusun 5 - 10 residu ester galat, sehingga galotanin sebagai salah
satu senyawa turunan tanin dikenal dengan nama asam tanat.
Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh dan
terdapat khsus dalam jaringan kayu pada angiospermae. Secara kimia
terdapat dua jenis tannin, yaitu tannin-terkondensasi atau flavolan dan
tannin terhidrolisiskan. Tanin-terkondensasi terdapat dalam paku-
pakuan, gymnospermae, dan angiospermae. Sedangkan tannin
terhidrolisiskan penyebarannya terbatas pada tumbuhan berkeping dua
(Harborne, 1987). Tannin seringkali dilaporkan sebagai mikromolekul
yang mengganggu bioassay dan seringkali berikatan tidak
spesifik pada berbagai protein termasuk beragai jenis reseptor
sehingga menjadi sukar larut air. Namun, beberapa aktivitas cukup
penting juga dilaporkan pada tannin, yaitu dapat menghambat,
menghentikan pedarahan.
Tanin mampu membuat lapisan pelindung luka dan ginjal.
Kemampuan mengikat ion besi dengan menghasilkan warna larutan
biru kehitaman atau hijau kehitaman menjadi dasar analisis kualitatif
tannin terhidrolisis atau tannin galat (Saifudin dkk., 2011). Tannin
dapat pula dideteksi dengan sinar UV pendek berupa bercak
lembayung yang bereaksi positif dengan setiap pereaksi fenol baku
(Harborne, 1987).

IV. CARA MELAKUKAN IDENTIFIKASI


a. Uji Gelatin
Ditambah dengan gelatin. Cek endapan coklat hitam. Tanin akan
dan dapat mengendapkan gelatin (protein).Ditambah dengan NaCl-gelatin.
NaCl membuat larutan menjadi jenuh sehingga terjadi salting out atau
penggusiran gelatin dari larutan. Hal ini menyebabkan endapan coklat
hitam menjadi lebih banyak.
Sebanyak 3 ml sampel diekstraksi aquades panas kemudian
didinginkan. Setelah itu ditambahkan 5 tetes NaCl 10 % dan disaring.
Filtrat dibagi 3 bagian A, B dan C. Filtrat A digunakan sebagai blanko, ke
dalam filtrat B ditambahkan 3 tetes FeCl3, dan kedalam filtrat C ditambah
garam gelatin. Kemudian diamati perubahan yang terjadi.
Ekstrak dipanaskan dengan tween 2,5% selama 1 menit dalam
penangas air mendidih, kemudian saring panas-panas. Setelah dingin
ditambah FeCl3 sebanyak 3 tetes. Jika timbul warna hijau, merah ungu,
biru, atau hitam yang kuat menunjukkan adanya polifenol (Horborne,
1987)
b. Uji Ferri Klorida
Larutan ini ditambah dengan ekstrak tanin untuk membedakan
tanin terhidrolisis (gallotanin) dan tanin terkondensasi (proantosianin).
Pada tanin terhidrolisis, larutan akan berubah warna menjadi biru - biru
kehitaman, sedangkan pada tanin terkondensasi berubah menjadi hijau.
Uji dilakukan dengan cara larutan uji dipanaskan selama 30 menit
lalu disaring, 5 ml filtrat ditambahkan 1 ml larutan NaCl 2% bila terjadi
endapan disaring kemudian ditambah 5 ml larutan gelatin 1% timbulnya
endapan menunjukkan adanya tanin.
Menurut Farnsworth, 1966 dan Trease and Evans, 1978: Beberapa
mg ekstrak ditambahkan 10 ml air panas. Kemudian dipanaskan hingga
mendidih selama 5 menit lalu disaring. Langkah percobaan yang dilakukan
adalah filtrat ditambahkan beberapa tetes FeCl3 1% menghasilkan warna
hijau violet. Filtrat sebanyak 5 ml ditambahkan ditambahkan 5 tetes
larutan NaCl 10% dan 5 tetes larutan gelatin 10% membentuk endapan
putih.
V. PEMISAHAN KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)

Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan


pemisah terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada
penyangga berupa plat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang
akan dipisah berupa larutan yang ditotolkan baik berupa bercak ataupun pita,
setelah plat atau lapisan dimasukkan ke dalam bejana tertutup rapat yang
berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama
perambatan kapiler (pengembangan), selanjutnya senyawa yang tidak
berwarna harus ditampakkan (Stahl, 1985).
Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan
beberapa cara. Untuk senyawa tak berwarna cara yang paling sederhana
adalah dilakukan pengamatan dengan sinar ultraviolet. Beberapa senyawa
organik bersinar atau berfluorosensi jika disinari dengan sinar ultraviolet
gelombang pendek (254 nm) atau gelombang panjang (366 nm), jika dengan
cara itu senyawa tidak dapat dideteksi maka harus dicoba disemprot dengan
pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak yaitu pertama tanpa
pemanasan, kemudian bila perlu dengan pemanasan (Gritter, et al., 1991;
Stahl, 1985).
a. Fase diam (lapisan penjerap)
Kromatografi lapis tipis, fase diam berupa lapisan tipis yang terdiri
atas bahan padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang
biasanya terbuat dari kaca, dapat pula terbuat dari plat polimer atau logam.
Lapisan melekat pada permukaan dengan bantuan bahan pengikat,
biasanya kalsium sulfat atau amilum. Penjerap yang umum dipakai untuk
kromatografi lapis tipis adalah silika gel, alumina, kieselgur dan selulosa
(Gritter, et al., 1991).
Dua sifat yang penting dari fase diam adalah ukuran partikel dan
homogenitasnya, karena adesi terhadap penyokong sangat tergantung pada
kedua sifat tersebut. Ukuran partikel yang biasa digunakan adalah 1-25
mikron. Partikel yang butirannya sangat kasar tidak akan memberikan
hasil yang memuaskan dan salah satu cara untuk memperbaiki hasil
pemisahan adalah dengan menggunakan fase diam yang butirannya lebih
halus. Butiran yang halus memberikan aliran pelarut yang lebih lambat
dan resolusi yang lebih baik (Sastrohamidjojo, 1985).
b. Fase gerak (pelarut pengembang)
Fase gerak ialah medium angkut yang terdiri atas satu atau
beberapa pelarut, jika diperlukan sistem pelarut multi komponen, harus
berupa suatu campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum
tiga komponen (Stahl, 1985).
Pemisahan senyawa organik selalu menggunakan pelarut campur.
Tujuan menggunakan pelarut campur adalah untuk memperoleh
pemisahan senyawa yang baik. Kombinasi pelarut adalah berdasarkan atas
polaritas masing-masing pelarut, sehingga dengan demikian akan
diperoleh sistem pengembang yang cocok. Pelarut pengembang yang
digunakan dalam kromatografi lapis tipis antara lain: n-heksan,
karbontetraklorida, benzen, kloroform, eter, etilasetat, piridian, aseton,
etanol, metanol dan air (Gritter, et al., 1991).
c. Harga Rf
Mengidentifikasi noda-noda dalam kromatografi lapis tipis sangat
lazim menggunakan harga Rf (Retordation Factor) yang didefinisikan
sebagai:

Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf (Sastrohamidjojo, 1985):


j. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan
k. Sifat penjerap
l. Tebal dan kerataan dari lapisan penjerap
m. Pelarut dan derajat kemurniannya
n. Derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana
o. Teknik percobaan
p. Jumlah cuplikan yang digunakan
q. Suhu
r. Kesetimbangan
VI. TINJAUAN ELUEN
Fase gerak merupakan medium angkut yang terdiri atas satu atau
beberapa pelarut. Fase gerak bergerak dalam fase diam karena adanya gaya
kapiler. Pelarut yang digunakan sebagai fase gerak hanyalah pelarut
bertingkat mutu analitik dan bila diperlukan sistem pelarut multikomponen
ini harus berupa suatu campuran yang sesederhana mungkin yang terdiri atas
maksimum 3 komponen. Angka banding campuran dinyatakan dalam bagian
volume total 100 (Nyiredy 2002).
Pelarut pengembang dikelompokkan ke beberapa golongan oleh
Snyders berdasarkan kekuatan pelarutnya. Menurut Stahl (1985) eluen atau
fase gerak yang digunakan dalam KLT dikelompokkan ke dalam 2 kelompok,
yaitu untuk pemisahan senyawa hidrofil dan lipofil. Eluen untuk pemisahan
senyawa hidrofil meliputi air, metanol, asam asetat, etanol, isopropanol,
aseton, n-propanol, tert-butanol, fenol, dan n-butano l sedangkan untuk
pemisahan senyawa lipofil meliputi etil asetat, eter, kloroform, benzena,
toluena, sikloheksana, dan petroleum eter.
1. Kloroform
a. Sifat Fisis
Rumus molekul : CHCl3
Berat molekul : 119,39 g/gmol
Wujud : cairan bening
Titik didih : 61,2oC
Titik leleh : -63,5oC
Densitas : 1,48 gr/cm3
Suhu kritis : 264oC
Specific gravity : 1,489
Viskositas : 0,57 cp (20oC)
Kapasitas panas : 0,234 kal/g.oC , pada 20oC
Tekanan kritis : 53,8 atm
Suhu kritis : 263oC
Kelarutan dalam 100 mL air : 0,8 g (20oC)
(Ketta & Cunningham,1992)
d. Sifat Kimia
Kloroform jika bereaksi dengan udara atau cahaya secara perlahan-
lahan akan teroksidasi menjadi senyawa beracun phosgene
(karbonil klorida).
Reaksi :
Kloroform dapat direduksi dengan bantuan zeng dan asam klorida
untuk membentuk metilen klorida. Jika proses reduksi dilakukan
dengan bantuan debu seng dan air akan dapat diperoleh metana.
Reaksi :

Kloroform dapat bereaksi dengan asam nitrat pekat untuk


membentuk nitro kloroform atau kloropikrin.
Reaksi :

Kloropikrin biasanya digunakan sebagai insektisida.


Kloroform dapat mengalami proses klorinasi dengan klorin jika
terkena sinar matahari dan menghasilkan karbon tetraklorida.
Reaksi :
CHCl3 + Cl2 CCl4 + HCl
(Kirk & Othmer, 1998)
2. Etil asetat
Etil asetat adalah senyawa organik dengan rumus
CH3CH2OC(O)CH3. Senyawa ini merupakan ester dari etanol dan asam
asetat. Senyawa ini berwujud cairan tak berwarna, memiliki aroma khas.
Senyawa ini sering disingkat EtOAc, dengan Et mewakili gugus etil dan
OAc mewakili asetat. Etil asetat diproduksi dalam skala besar sebagai
pelarut. Etil asetat adalah pelarut polar menengah yang volatil (mudah
menguap), tidak beracun, dan tidak higroskopis. Etil asetat merupakan
penerima ikatan hidrogen yang lemah, dan bukan suatu donor ikatan
hidrogen karena tidak adanya proton yang bersifat asam (yaitu hidrogen
yang terikat pada atomelektronegatif seperti flor, oksigen, dan nitrogen.
Etil asetat dapat melarutkan air hingga 3%, dan larut dalam air
hingga kelarutan 8% pada suhu kamar. Kelarutannya meningkat pada suhu
yang lebih tinggi. Namun, senyawa ini tidak stabil dalam air yang
mengandung basa atau asam. Berikut ini adalah karakteristik atau sifat
fisika dan sifat kimia dari etil asetat :
a. Sifat fisis
Berat molekul : 88,1 kg/kmol
Boiling point : 77,1C
Flash point : -4C
Melting point : - 83,6C
Suhu kritis : 250,1C
Tekanan kritis : 37,8 atm
Kekentalan (25oC) : 0,4303 cP
Specific grafity ( 20C) : 0,883
Kelarutan dalam air : 7,7% berat pada 20 oC
Entalphy pembentukan (25C) gas : -442,92 kJ/mol
Energi Gibbs pembentukan (25C) cair : -327,40 kJ/mol
b. Sifat Kimia
Etil asetat adalah senyawa yang mudah terbakar dan mempunyai
resiko peledakan (eksplosif).
c) Membentuk acetamide jika diammonolisis
Reaksi:
CH3COOC2H5 + NH3 CH3CONH2 + C2H5OH .(15)
d) Akan membentuk etil benzoil asetat bila bereaksi dengan etil
benzoate
Reaksi:
C6H6COOC2H5 + CH3COOC2H5 C6H6COCH2COOC2H5+
C2H5OH..(16)
(Kirk and Othmer, 1982)
3. Asam formiat
a. Sifat fisika
Berat molekul : 46,025g/mol
Konstan ionisasi pada 20C :1,765 x 104
Titik didih : 100,8 C
Titik leleh : 8,4 C
Spesific gravity pada 40 C :1,22647
Tegangan permukaan : 37,0 dyne/cm2
Viskositas pada suhu 25C :1,57 cP
Kapasitas panas, cair, 22C :0,514 kal/gC
Panas penguapan 100C : 104 kal/gC
Panas pembakaran, 25C :-60,9 kkal/mol
b. Sifat kimia
Asam formiat merupakan asam terkuat dari seri homolog gugus
karboksilat. Asam formiat mengalami beberapa reaksi kimia, yaitu
dekomposisi , reaksi adisi, siklisasi, asilasi.

c. Macam- macam proses pembuatan asam formiat


5. Proses Oksidasi Butena
Oksidasi fase cair pada butena dan naphta menghasilkan
hasil sampingberupa asam formiat. Reaksi yang terjadi adalah
sebagai berikut :
C4H8+ 3O2 CH3COOH + 2HCOOH
Proses yang terjadi adalah sebagi berikut :Oksidasi butena
dengan udara pada temperatur 180C tekanan 150 atm.Butena sisa
dan hasil reaktor kemudian masuk dalam separator gas- cair. Gas
dari separator gas-cair didinginkan kemudian masuk dalam
separator, gas-cair didinginkan kemudian masuk ke absorber,
butena yang diserap didistilasi pada tekanan 4 atm dalam Stripper
dan di recycleke reaktor.Kemudian cairan keluar dari separator cair
- cair terdiri dari asam asetat, metil etil keton, metil asetat dan asam
formiat, dipisahkan dalam kolom distilasi. Secara keseluruhan
yield pada proses ini sekitar 40%- 50% karena asam formiat hanya
merupakan hasil sampang dari produk utama asam asetat. (Kirk
Othmer, 1978)
6. Proses Sintesa dari Sodium Hidroksida, Karbon Monoksida dan
Asam Sulfat.
Reaksi yang terjadi :
CO + NaOH HCOONa
HCOONa + H2SO4 HCOOH + Na2SO4
Mula-mula karbon monoksida dicampur dengan natrium
hidroksida membentuk natrium formiat. Reaksi ini berjalan pada
suhu 180C dan tekanan 15-18 atm, kemudian natrium formiat
ditambahkan dengan asam sulfat dalam reaktor berpengaduk, pada
suhu 350C dan tekanan atmosfer. Campuran yang dihasilkan
dipisahkan dalam evaporator dalam tekanan normal dan suhu 100
120C untuk mendapatkan asam formiat dan sodium sulfat kering.
Pada proses ini rendemen yang diperoleh adalah 90% dengan
konsentrasi produk 75% asam formiat dalam air. (Kirk Othmer,
1978)
7. Reaksi Hidrolisis Formamid
Reaksi yang terjadi :
CO + CH3OH HCOOHC3
HCOOHC3 + NH3 HCONH2 + CH3OH
HCONH2 + H2SO4 HCOOH + (NH4)2SO4
Proses yang terjadi adalah :
Karbonasi metanol dengan gas CO membentuk metil
format pada temperatur 80C dan tekanan 45 atm. Pada tahap ini,
ditambahkan katalis sodium atau potassium metoxide 2,5 % berat
dari kebutuhan metanolnya. Kemudian terjadi amolisis metil
format dengan ammonia membentuk formamid pada suhu 80-
100C dan tekanan 0,4 - 0,6 Mpa. Hidrolisis formamid ditambah
asam sulfat 68%-74% pada suhu 85C.Reaksi ini berjalan pada
reactor berpengaduk.Amonium sulfat dan asam formiat keluar dari
reaktor kemudian masuk ke klin.Disini asam formiat diuapkan dan
selanjutnya masuk ke kolom distilasi, sedangkan ammonium sulfat
di blow down dan kemudian dikeringkan. Rendemen asam formiat
yang dihasilkan pada proses ini 93 %. (Kirk Othmer, 1978)
8. Hidrolisis Metil Format
Hidrolisis metil format merupakan teknologi proses yang
sederhana. Kesetimbangan hidrolisis relatif tidak berpengaruh,
tetapi tergantung dari konsentrasi air dengan pengaruh stoikiometri
dari air, dimana konsekuensi metode efisiensi energi dari pengaruh
perubahan air sangat diperlukan. Lebih dari itu metil format
mempunyai tingkat volatilitas tinggi (mudah menguap) dengan bp
(bubble point = 32C) dan asam formiat tergolong asam kuat dari
katalis reesterifikasi. Proses ini berlangsung pada temperature
54,7C serta tekanan operasi 1 atm. Reaksi ini menghasilkan
produk samping metanol, yang dalam perkembangannya dapat
direaksikan dengan CO menghasilkan metil format.
Reaksi yang terjadi :
HCOOCH3 + H2O HCOOH + CH3OH
Ada beberapa pertimbangan yang digunakan dalam
menentukan proses yang dipakai antara lain :
f. Merupakan proses yang komersial, dalam arti sering dipakai.
Dalam hal ini diantara keempat proses tersebut yang paling sering
dikembangkan secara komersial adalah proses hidrolisis metal
formiat.
g. Pabrik asam formiat yang sudah ada di Indonesia yaitu PT. Sintas
Kurama Perdana dengan kapasitas 11.000 ton/tahun.
h. Proses dapat menghasilkan produk dengan komposisi yang relative
tinggi. Kemurnian produknya 90% berat, jadi cukup ekonomis
untuk dikembangkan.
i. .Proses beroperasi pada tekanan rendah, sehingga dapat
mengurangi biaya investasi dan mengurangi tingkat bahaya yang
tinggi. Pada proses hidrolisis asam formiat diperlukan kondisi
tekanan yang relative lebih rendah sehingga investasi lebih rendah.
j. Proses menggunakan sedikit tahapan reaksi, sehingga lebih sedikit
peralatan yang diperlukan untuk reaksi. Dalam hal ini proses
hidrolisis metil formiat yang memiliki tahapan reaksi paling
sederhana disbanding proses lain.
4. Indeks Polaritas

Ada berbagai kondisi KLT yang bertujuan untuk menaikkan


kemampuan teknik kromatografi, salah satunya adalah sistem fasa
normal (normal phase sistems). Sistem fasa normal yaitu penggunaan
fasa diam polar yang dikombinasikan dengan berbagai fasa gerakm non
air (non aqueous mobile phases) . Tipikal fasa diam yang sering
dikatakan bersifat polar antara lain silica gel, alumina dan berbagai
material fasa terikat polar lainnya seperti siano-silika, amino-silika dan
diol silika dimana proses adsorpsi memainkan peranan penting dalamn
pemisahan.
Karakter yang diinginkan dalam pemilihan fasa gerak yang
kompetitif untuk KLT antara lain adalah parameter kelarutan (solubility
parameter)I, indeks polaritas (polarity index) dan kekuatannya sebagai
solvent (solvent strength) . Parameter kelarutan menunjukkan
kemampuannya untuk berkombinasi dengan beragam pelarut lain.
Indeks polaritas menunjukkan besaran empiris yang digunakan untuk
mengukut ketertarikan antar molekul dalam solute dengan molekul
solvent pada parameter kelarutan solvent yang bersangkutan dalam
keadaan murninya. Sementara kekuatan pelarut dinyatakan sebagai
bilangan yang berkisar antara -0,25 sampai +1,3 yang ditentukan melalui
energi adsorpsi oleh molekul solvent pada solvent yang bersangkutan.

Indeks Polaritas Pelarut


VII. BAGAN ALIR
A. Preparasi Sampel
0,3 gram ekstrak ditambah 10 ml aquadest panas, diaduk dan dibiarkan
sampai temperatur kamar, lalu tambahkan 3-4 tetes 10% NaCl, diaduk
dan disaring.

Filtrat dibagi menjadi tiga bagian masing-masing 3 ml dan sebut


sebagai larutan IVA, IVB, dan IVC.
B. Uji Gelatin
Larutan IVA digunakan sebagai blanko, larutan IVB ditambah dengan
sedikit larutan gelatin dan 5 ml larutan NaCl 10%.

Jika terjadi endapan putih menunjukkan adanya tanin.


C. Uji Ferri klorida
Sebagian larutan IVC diberi beberapa tetes larutan FeCl3, kemudian
diamati terjadinya perubahan warna.

Jika terjadi warna hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin.


Jika pada penambahan gelatin dan NACl tidak timbul endapan putih,
tetapi setelah ditambahkan dengan larutan FeCl3 terjadi perubahan warna
yang enjadi hijau biru hingga hitam, menunjukkan adanya senyawa
polifenol.
FeCl3 positif, uji gelatin positif tanin (+)
FeCl3 positif, uji gelatin negatif polifenol (+)
FeCl3 negatif tanin (-), polifenol
(-)
D. Kromatografi Lapis Tipis
Sebagian larutan IVC digunakan untuk pemeriksaan dengan KLT
Fase diam : Kiesel Gel 254
Fase gerak : Kloroform-etil asetat-asam formiat
(0,5:9:0,5)
Penampakan noda: Pereaksi FeCl3

Jika timbul warna hitam menujukkan adanya polifenol dalam sampel.


VIII. SKEMA KERJA
A. Preparasi sampel
0,3 gram ekstrak ditambah
10 ml aquades panas

diaduk dan dibiarkan


sampai temperatur
kamar

tambahkan 3-4 tetes


10% NaCl, diaduk dan
disaring
IVA IVB IVC
Dibagi menjadi 3 bagian,
Masing-masing 3 ml

B. Uji gelatin

larutan IVB ditambah dengan


sedikit larutan gelatin

Larutan IVA Larutan IVB


digunakan digunakan
sebagai untuk uji
blanko gelatin

Jika terjadi endapan putih Ditambah 5 ml


menunjukkan adanya tanin larutan NaCl
10%.

C. Uji Ferri klorida

Sebagian larutan IVC diberi


beberapa tetes larutan FeCl3
Sebagian larutan IVC
digunakan sebagai uji
ferri klorida
Jika terjadi warna hijau kehitaman
menunjukkan adanya tanin.
D. Kromatografi Lapis Tipis

Cek di panjang gelombang 254 nm & 365 nm

Sebagian larutan
IVC ditotolkan
pada plat KLT

Dieluasi dalam chamber

Cek di UV 365 nm & 254 nm


IX. HASIL

Hasil filtrat ekstrak


Sampel ekstrak Psidium guajava
Psidium guajava dengan penambahan
aquades panas 10 ml

Uji Gelatin Uji Wilstater warna


Endapan putih jingga (+) senyawa
(+) senyawa tanin
polifenol

Setelah eluasi dan


Sebelum sampel di disemprot
eluasi penampak noda

Penyinaran pada UV Penyinaran pada UV 365


254 nampak 2 noda nampak 3 noda
yang jelas
X. PEMBAHASAN
Senyawa polifenol adalah senyawa yang memiliki struktur dasar berupa
fenol. Fenol sendiri merupakan struktur yang terbentuk dari benzena
tersubtitusi dengan gugus OH. Gugus OH yang terkandung merupakan
aktivator yang kuat dalam reaksi subtitusi aromatik elektrofilik (Fessenden,
1982). Tanin merupakan salah satu jenis senyawa yng termasuk ke dalam
golongan polifenol. Senyawa tanin ini banyak di jumpai pada tumbuhan. Tanin
dahulu digunakan untuk menyamakkan kulit hewan karena sifatnya yang dapat
mengikat protein. Selain itu juga tanin dapat mengikat alkaloid dan
glatin.Tanin secara umum didefinisikan sebagai senyawa polifenol.
Pada praktikum ini dilakukan identifikasi senyawa golongan polifenol
dan tanin pada tumbuhan jambu biji merah (Psidium guajava L.) yang telah
diekstrak. Daun jambu biji merah mengandung metabolit sekunder, terdiri dari
tanin, polifenolat, flovanoid, menoterpenoid, siskulterpen, alkaloid, kuinon
dan saponin, minyak atsiri (Kurniawati, 2006). Identifikasi ini dilakukan untuk
mengetahui senyawa golongan polifenol dan tanin yang terdapat pada
tumbuhan Psidium guajava L. Uji identifikasi senyawa golongan polifenol dan
tanin ini dilakukan dengan Uji Gelatin, Uji Ferri Klorida dan Kromatografi
Lapis Tipis (KLT).
Identifikasi senyawa golongan polifenol dan tanin pada ektrak Psidium
guajava L. yang pertama yaitu dengan uji gelatin. Pada praktikum
ini,identifikasi senyawa golongan polifenol dan tanin pada ekstrak Psidium
guajava L. dilakukan dengan cara melarutkan ektrak ke dalam 10 ml aquadest
panas,diaduk dan dibiarkan sampai temperatur kamar,hal ini bertujuan untuk
mempercepat reaksi,kemudian larutan tersebut ditambahkan 3-4 tetes 10%
NaCl,hal ini bertujuan untuk mengendapkan protein pada senyawa tanin yang
terdapat pada ekstrak, diaduk dan disaring. Larutan filtrat dibagi menjadi 4
bagian yaitu IVA,IVB,IVC,dan IVD. Dimana larutan IVA sebagai blanko,IVB
untuk uji Gelatin,IVC untuk uji Ferri Klorida,dan IVD untuk identifikasi
dengan KLT.
Identifikasi senyawa golongan polifenol dan tanin pada ekstrak Psidium
guajava L. dengan uji gelatin pada larutan IVB bertujuan untuk mengetahui
adanya senyawa golongan tanin yang ditandai dengan endapan putih. Pada uji
ini larutan IVB ditambahkan dengan 2 tetes larutan gelatin ,yang bertujuan
untuk indikasi adanya senyawa golongan tanin, dimana reaksi menjadi lebih
sensitif dengan penambahan NaCl untuk meningkatkan salting out dari
kompleks protein-tanin. Pada kelompok kami memperoleh hasil positif jika
dibandingkan dengan larutan balnko IVA, karena muncul endapan berwarna
putih. Sehingga dapat disimpulkan bahwa larutan uji IVB mengandung
senyawa tanin.
Identifikasi senyawa golongan polifenol dan tanin pada ekstrak Psidium
guajava L. dengan uji ferri klorida pada larutan IVC bertujuan untuk
mengetahui adanya senyawa polifenol atau tanin. Hal ini ditandai dengan
adanya perubahan warna menjadi hijau biru hingga hitam. Warna hijau
kehitaman tersebut merupakan endapan tanin yang dihasilkan oleh
penambahan ferri klorida sehingga terjadi reaksi kimia antara ferri klorida oleh
gugus fenol dari tanin. Pada uji ini larutan IVC ditambahkan 1 tetes FeCl3,
Apabila pada uji FeCl3 dan uji gelatin memberikan hasil positif maka ekstrak
yang di uji mengandung tanin. Apabila uji FeCl3 memberikan hasil positif
sedangkan uji gelatin memberikan hasil negatif, maka ekstrak yang di uji
mengandung polifenol. Sedangkan jika FeCl3 memberikan hasil negatif, maka
ekstrak yang diuji tidak mengandung polifenol dan tanin.Hasil praktikum kami
menunjukkan adanya perubahan warna sampel menjadi warna hitam setelah
penmbahan 1 tetes FeCl3. Pada kelompok kami memperoleh hasil positif
berdasarkan uji ferri klorida (FeCl3) dan uji gelatin, keduanya memberikan
hasil positif, maka dapat disimpulkan bahwa larutan sampel IV C mengandung
senyawa tanin.
Identifikasi terakhir yaitu dengan kromatografi lapis tipis (KLT) pada
ekstrak Psidium guajava L. yang bertujuan untuk mengetahui adanya senyawa
golongan polifenol. Pada metode ini digunakan fase dian kiesel Gel 254 dan
fase geraknya adalah kloroform: etil asetat : asam formiat (0,5 : 9 : 0,5).
Melihat fase diam dan fase gerak yang digunakan dalam identifikasi ini, fase
KLT yang digunakan adalah fase adalah normal phase, karena sifat silica gel
adalah polar, sedangkan fase geraknya bersifat non polar. Hasil secara visual
setelah sampel dieluasi, dan kemudian disemprot dengan penampak noda FeCl3
menunjukkan hasil yang positif karena muncul noda berwarna hijau kehitaman
pada plat KLT. Noda yang dihasilkan setelah proses eluasi adalah 3 noda yang
masing-masing memiliki harga Rf 0,15 untuk noda pertama, 0,3 untuk noda
kedua, dan 0,5 untuk noda ketiga. Berdasarkan hasil tersebut, dapat
disimpulkan bahwa larutan IVD ekstrak Psidium guajava positif mengandung
senyawa golongan polifenol.
XI. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum idenfikasi senyawa golongan polifenol
dan tanin pada ekstrak tumbuhan jambu biji merah (Psidium guajava L.)
adalah positif mengandung senyawa golongan polifenol dan tanin yang
dibuktikan dengan beberapa identifikasi yaitu uji gelatin yang menunjukkan
adanya endapan putih, uji ferri klorida yang menunjukkan adanya perubahan
warna menjadi hitam,dan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang setelah
disemprot dengan penampak noda FeCl3 menimbulkan noda berwarna hijau
kehitaman.
DAFTAR PUSTAKA

Nety Nurazizah, Isolasi dan Identifikasi Jamur Endofit Dari Daun Jambu Biji
(PsidiumGuajava L.) sebagai Anti bakteri Dari Bakteri E.Coli dan
Staphylococus Aureus, UIN Malang, Malang, 2008.
Renata Ayuni, Khasiat Selangit Daun-Daun Ajaib Tumpas Beragam Penyakit,
Alaska,Yogyakarta, 2012. hlm. 130.
Septia Anggraini, Optimasi Formula Fast Disintegrating Tablet Ekstrak Daun
JambuBiji (Psidium Guajava L.) Dengan Bahan Penghancur Sodium
Starch Glycolate Dan BahanPengisi Manitol, Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Surakarta, 2010.
Shirur Dakappa ShruthI, dhikari Roshan, Sanjay Sharma Timilsina, and Sajjekhan
Sunita. 2011. A REVIEW ON THE MEDICINAL PLANT PSIDIUM
GUAJAVA LINN. (MYRTACEAE). Journal of Drug Delivery &
Therapeutics; 2013, 3(2), 162-168 ISSN:
2250-1177 Available online at http://jddtonline.info
PRAKTIKUM FITOKIMIA
IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN ANTRAKINON
(Ekstrak Rheum officinale)

Dosen : Drs. Herra Studiawan, M.Si., Apt.


Siti Rofida, M.Farm., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
April, 2017
TUGAS 5 IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN ANTRAKINON
(Ekstrak Rheum officinale)
I. TUJUAN
Mahasiswa mampu melakukan identifikasi senyawa golongan antrakinon
dalam tanaman.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Kelembak ( Rheum officinale )
1. Klasifikasi tanaman
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Hamamelidae
Ordo : Polygonales
Famili : Polygonaceae
Genus : Rheum
Spesies : Rheum officinale

Kelembak ( Rheum officinale ) adalah Kelembak termasuk tanaman


perdu atau terna, yang tumbuh kadangkadang memanjat, jarang yang
berupa pohon, tidak berduri, tanpa getah lateks.tanaman ini banyak
dimanfaatkan sebagai campuran pada obat tradisional / jamu tradisional.
Bagian tanaman yang digunakan adalah akarnya (Sastroamidjojo, 2001).
2. Nama Daerah :
Nama-nama daerah untuk kelembak yaitu di daerah Jawa Tengah dan
Madura bernama Kelembak, dan di Sunda bernama Kalembak (Depkes,
2010).
3. Morfologi tanaman
Semak, tahunan, tinggi 25-80 cm. Batang: Pendek, terdapat di dalam
tanah, beralur melintang, masif, coklat. Daun: Tunggal, bulat telur,
Daunnya tersusun spiral, kadang-kadang berhadapan atau melingkar,
pangkal bentuk jantung dan berbulu, ujung runcing, tepi rata, bertangkai
dengan panjang daun 10-40 cm, lebar 8-30 cm, pangkal tangkai daun
memeluk batang (berupih), ,hijau. Bunga: Majemuk, berkelamin dua atau
satu, benang sari sembilan, bakal buah bentuk segi tiga, tangkai putik
melengkung, kepala putik tebal, putih kehijauan, ada kelopak tetapi tidak
ada mahkota, muncul di ketiak daun atau di ujung ranting. Buah:Padi,
bersayap tiga, bulat telur, merah. Akar: Tunggang, lunak, bulat, coklat
muda. Bila dilihat sekilas daun kelembak hampir seperti daun jati.
(Sastroamidjojo, 2001)
Kelembak merupakan salah satu tanaman yang sering digunakan
untuk pengobatan di Indonesia. Bagian yang digunakan dalam tanaman ini
adalah akar dan rhizomanya. Dengan indikasi untuk mengobati konstipasi,
jaundice, amenorea (tidak haid). Zat aktif yang ada dalam tanaman ini
antara lain turunan antrakinon (termasuk glikosida), rhein, emodin,
chrysophanol, aloe-emodin, physcion (Depkes, 2010)
Rheum officinale atau kelembak ini tergolong tanaman C, fiksasi
karbonnya terjadi melalui rubisko,enzim siklus Calvin yang menambahkan
CO2 pada ribolusa bifosfat. produk fiksasi karbon organikn pertamanya
ialah senyawa berkarbon 3 (3-fosfogliserat). Tumbuhan tipe C3
memproduksi sedikit makanan apabila stomatanya tertutup pada hari yang
panas dan kering. Tingkat CO2 yang menurun dalam daun akan
mengurangi bahan ke siklus Calvin. Yang membuat tambah parah, rubisko
ini dapat menerima O2 sebagai pengganti CO2. Karena konsentrasi O2
melebihi konsentrasi CO2 dalam ruang udara daun, rubisko menambahkan
O2 pada siklus Calvin dan bukannya CO2. Produknya terurai, dan satu
potong, senyawa berkarbon 2 dikirim keluar dari kloroplas. Mitokondria
dan peroksisom kemudian memecah molekul berkarbon 2 menjadi CO2.
Proses ini yang disebut Fotorespirasi. Akan tetapi tidak seperti respirasi
sel, fotorespirasi tidak menghasilkan ATP. Dan tidak seperti fotosintesis,
fotorespirasi tidak menghasilkan makanan, tapi menurunkan keluaran
fotosintesis dengan menyedot bahan organik dari siklus Calvin.
Tahapan siklus Calvin pada tanaman C3:
Fase 1 : Fiksasi karbon, Siklus calvin memasukkan setiap molekul
CO2 Dengan menautkannya pada gula berkarbon 5 yang dinamai
ribose bifosfat (RuBP). Enzim yang mengkatalis langkah ini adalah
rubisko. Produknya adalah intermediet berkarbon 6 yang demikian
tidak stabil hinggga terurai separuhnya untuk membentuk 2 molekul
3-fosfogliserat
Fase 2 : Reduksi, setiap molekul3-fosfogliserat menerima gugus fosfat
baru. Suatau enzim mentransfer gugus fosfat dari ATP membentuk
1,3-bifosfogliserat sebagai produknya. Selanjutnya sepasang electron
disumbangkan oleh NADPH untuk mereduksi 1,3-bifosfogliserat
menjadi G3P. G3P ini berbentuk gula berkarbon 3. Hasilnya terdapat
18 karbon karbohidrat, 1 molekulnya keluar dan digunakan oleh
tumbuhan dan 5 yang lain didaur ulang untuk meregenerasi 3 molekul
RuBP
Fase 3 : Regenerasi RuBP, Dalam suatu rangkaian reaksi yang rumit,
rangkan karbon yang terdiri atas 5 molekul G3P disusun ulang oleh
langkah terakhir siklus Calvin menjadi 3 molekul RuBP. Untuk
menyelesaikan ini, siklus ini menghabiskan 3 molekul ATP . RuBP ini
siap menerima CO2 kembali (Depkes, 2010)
4. Kandungan Tanaman Klembak
Kandungan Kimia yang terdapat pada Akar dan daun kelembak
mengandung flavonoida, Disamping itu akarnya juga mengandung
glikosida dan saponin, sedangkan daunnya juga mengandung polifenol.
Daun kelembak jenis Rheum undulatum mengandung beberapa
antroglycoside. Tanaman rempah kelembak juga mengandung bahan yang
membahayakan yaitu anthrone, yang sangat beracun jika termakan,
walaupun sudah direbus terlebih dahulu.
5. Manfaat Kelambak
Masing-masing manfaat terperinci tiap bagiannya adalah sebagai
berikut; Batangnya dapat mengobati malaria, sariawan dan batuk, Akarnya
mengandung glikosida adstringent yang berkelakuan sebagai zat
penyamak. Pada akarnya pula mengandung antrkuinon yang berefek
purgative,dan tannin yang berefek melawan astringen atau dapat disebut
sebagai adstringent,tapi dalam jumlah kecil efek astringen juga
dibutuhkan,tapi jika terlalu banyak maka dapat menimbulkan efek laksatif
(Depkes, 2010)
Memperlancar buang air besar (BAB). Senyawa aktif dari akar
kelembak akan diuraikan dulu oleh bakteri dalam usus sehingga menjadi
bentuk senyawa yang dapat merangsang sistem pencernaan, yang akhirnya
dapat meningkatkan pergerakan usus sehingga buang air besar menjadi
mudah. Manfaat lain dari Rheum officinale :
Melancarkan haid.
Membantu mengatasi sakit kuning.
Membantu menghentikan perdarahan.
Klembak diketahui sekarang juga mengandung bahan yang aktif
dalam pengobatan Hepatitis B.
III. TINJAUAN GOLONGAN SENYAWA
1. Glikosida antrakinon
Glikosida antrakinon, golongan glikosida yang hampir mirip dengan
golongan antrasena yang memiliki gugus karbonil pada kedua atom C
yang berseberangan, atau hanya pada salah satunya saja yang disebut
antron, atau hanya pada salah satunya namun diganti gugus hidroksil yang
disebut antranol. Senyawa antrakinon dan turunannya seringkali bewarna
kuning sampai merah sindur (oranye), larut dalam air panas atau alkohol
encer.
Antrakuinon Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor
dasar seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil
yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbo-karbon. Untuk tujuan
identifikasi kuinon dapat dibagi atas empat kelompok yaitu : benzokuinon,
naftokuinon, antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama
biasanya terhidroksilasi dan bersifat fenol serta mungkin terdapat dalam bentuk
gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol (Harborne,
1987). Golongan kuinon alam terbesar terdiri atas antrakuinon dan keluarga
tumbuhan yang kaya akan senyawa jenis ini adalah Rubiaceae, Rhamnaceae,
Polygonaceae (Robinson, 1995; Herbert,19..). Antrakuinon juga disebut 9,10-
dioxo-dihydro-anthracen dengan rumus C14H8O2 (Merck, 1983; Samuelsson,
1999; Morrison dan Boyd, 1959).
Glikosida antrakinon, golongan glikosida ini aglikonnya adalah sekerabat
dengan antrasena yang memiliki gugus karbonil pada kedua atom C yang
berseberangan (atom C9 dan C10) atau hanya C9 (antron) dan C9 ada gugus
hidroksil (antranol). Adapun strukturnya adalah sebagai berikut.

Gambar 1. Struktur kimia antrakinon. Nama lain:


9,10-antracendion, 9,10-antrakion; C14H8O2 (BM: 208,22 g/mol)
Antrakuinon terhidroksilasi tidak sering terdapat dalam tumbuhan
secara bebas tetapi sebagai glikosida. Semua antrakuinon berupa senyawa
kristal bertitik leleh tinggi, larut dalam pelarut organik basa. Senyawa ini
biasa berwarna merah, tetapi yang lainnya berwarna kuning sampai coklat,
larut dalam larutan basa dengan membentuk warna violet merah.
Bentuk senyawa antrakuinon dalam tumbuhan masih rumit karena
prazat aslinya mudah terurai oleh enzim atau cara ekstraksi yang tidak
sesuai, sehingga laporan mengenai adanya antrakuinon bebas harus
dipertimbangkan dengan hatihati. Banyak antrakuinon yang terdapat
sebagai glikosida dengan bagian gula terikat dengan salah satu gugus
hidroksil fenolik (Robinson, 1995).
Pada saat mengidentifikasi pigmen dari tumbuhan baru, harus diingat
bahwa hanya sedikit saja antrakuinon yang terdapat secara teratur dalam
tumbuhan. Yang paling sering dijumpai ialah emodin, sekurang-kurangnya
terdapat dalam enam suku tumbuhan tinggi dan dalam sejumlah fungus
(Harborne, 1987).
Turunan antrakuinon yang terdapat dalam bahan-bahan purgativum
berbentuk dihidroksi fenol, trihidroksi fenol seperti emodin, atau
tetrahidroksi fenol seperti asam karminat. Turunan antrakuinon sering kali
berwarna merah oranye. (Anonim, 2004; Gunawan, 2004; Robinson, 1995;
Samuelsson, 1999).
Sama halnya dengan sifat glikosida lainnya, glikosida antrakuinon
juga mudah terhidrolisis. Bentuk uraiannya adalah aglikon dihidroksi
antrakuinon, trihidroksi antrakuinon, atau tetrahidroksi antrakuinon.
Sementara bagian gulanya tidak tertentu. Di alam kira-kira telah
ditemukan 40 turunan antrakuinon yang berbeda-beda, 30 macam di
antaranya mengelompok dalam famili Rubiaceae. Pada tanaman
monokotil, antrakuinon ditemukan dalam famili Liliaceae dan dalam
bentuk yang tidak lazim, yaitu C-glikosida barbalion.
a. Sifat fisika & kimia
Senyawa antrakinon dan turunannya seringkali bewarna kuning
sampai merah sindur (oranye), larut dalam air panas atau alkohol encer.
Untuk identifikasi digunakan reaksi Borntraeger (lihat MMI).

Gambar 2. Semua antrakinon memberikan warna reaksi yang khas dengan


reaksi Borntraeger jika Amonia ditambahkan: larutan berubah menjadi
merah untuk antrakinon dan kuning untuk antron dan diantron. Antron
adalah bentuk kurang teroksigenasi dari antrakinon, sedangkan diantron
terbentuk dari 2 unit antron.
Antrakinon yang mengandung gugus karboksilat (rein) dapat
diekstraksi dengan penambahan basa, misalnya dengan natrium
bikarbonat. Hasil reduksi antrakinon adalah antron dan antranol, terdapat
bebas di alam atau sebagai glikosida.
Antron bewarna kuning pucat, tidak menunjukkan fluoresensi dan
tidak larut dalam alkali, sedangkan isomernya, yaitu antranol bewarna
kuning kecoklatan dan dengan alkali membentuk larutan berpendar
(berfluoresensi) kuat. Oksantron merupakan zat antara (intermediate)
antara antrakinon dan antranol. Reaksi Borntraeger modifikasi Fairbairn,
yaitu dengan menambahkan hidrogen peroksida akan menujukkan reaksi
positif. Senyawa ini terdapat dalam Frangulae cortex.
Diantron adalah senyawa dimer tunggal atau campuran dari molekul
antron, hasil oksidasi antron (misalnya larutan dalam aseton yang diaerasi
dengan udara). Diantron merupakan aglikon penting dalam Cassia,
Rheum, dan Rhamnus; dalam golongan ini misalnya senidin, aglikon
senosida. Reidin A, B, dan C yang terdapat dalam sena dan kelembak
merupakan heterodiantron.
b. Efek farmakologi (bioaktivitas)
Glikosida antrakinon adalah stimulan katartika dengan meningkatkan
tekanan otot polos pada dinding usus besar, aksinya akan terasa sekitar 6
jam kemudian atau lebih lama. Adapun mekanisme belum jelas, namun
diduga antrakinon dan antranol dan turunannya berpengaruh terhadap
transpon ion dalam sel colon dengan menghambat kanal ion Cl-.
Untuk antron dan antranol mengeluarkan kegiatan lebih drastik (itulah
sebabnya ada beberapa simplisia yang boleh digunakan setelah disimpan
selama satu tahun, untuk mengubah senyawa tersebut menjadi antrakinon),
bila jumlahnya lebih besar daripada antrakinon akan mengakibatkan mulas
dan rasa tidak enak.
c. Kegunaan
Katartika / pencahar , pewarna, dan antibakteri
IV. CARA MELAKUKAN IDENTIFIKASI
Senyawa antrakinon dan turunannya seringkali bewarna kuning sampai
merah sindur (oranye) , larut dalam air panas atau alkohol encer. Untuk
memastikan adanya suatu pigmen termasuk kuinon atau bukan reaksi warna
sederhana masih tetap berguna. Reaksi yang khas ialah reduksi bolak balik
yang mengubah kuinon menjadi senyawa berwarna, kemudian warna kembali
lagi bila terjadi oksidasi oleh udara (Harbone.J.B, 1987).
Untuk identifikasi digunakan reaksi Borntraeger. Senyawa antrakinon
dan turunannya seringkali bewarna kuning sampal merah sindur (oranye),
larut dalam air panas atau alkohol encer. Untuk identifikasi digunakan reaksi
Borntraeger (lihat MMI). Antrakinon yang mengandung gugus karboksilat
(rein) dapat diekstraksi dengan penambahan basa, misalnya dengan natrium
bikarbonat. Hasil reduksi antrakinon adalah antron dan antranol, terdapat
bebas di alam atau sebagai glikosida. Antron bewarna kuning pucat, tidak
menunjukkan fluoresensi dan tidak larut dalam alkali, sedangkan isomernya,
yaitu antranol bewarna kuning kecokiatan dan dengan alkali membentuk
larutan berpendar (berf1uoresensi) kuat. Oksantron merupakan zantara
(intermediate) antara antrakinon dan antranof. Reaksi Borntraeger modifikasi
Fairbairn, yaitu dengan menambahkan hidrogen peroksida akan menujuk-kan
reaksi positif. Senyawa ml terdapat dalam Frangulae cortex. Diantron adalah
senyawa dimer tunggal atau campuran dan molekul antron, hash oksidasi
antron (misalnya larutan dalam aseton yang diaerasi dengan udara).
Identifikasi senyawa golongan antrakuinon adalah dengan cara ekstrak
ditimbang sebanyak 30 mg kemudian dilarutkan dalam methanol sebanyak 3
ml. Fungsi penambahan methanol adalah untuk melarutkan ekstrak sehingga
ekstrak yang digunakan berupa cairan bukan padatan sehingga saat ditotolkan
pada plat KLT akan lebih mudah apabila dalam bentuk cairnya. Untuk
identifikasi, eluen yang digunakan adalah etilasetat : methanol : air dengan
perbandingan 100 : 13,5 : 10 (Materia MedicaJilid 4)
V. PEMISAHAN KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)
Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan
pemisah terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada
penyangga berupa plat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang
akan dipisah berupa larutan yang ditotolkan baik berupa bercak ataupun pita,
setelah plat atau lapisan dimasukkan ke dalam bejana tertutup rapat yang
berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama
perambatan kapiler (pengembangan), selanjutnya senyawa yang tidak
berwarna harus ditampakkan (Stahl, 1985).
Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa
cara. Untuk senyawa tak berwarna cara yang paling sederhana adalah
dilakukan pengamatan dengan sinar ultraviolet. Beberapa senyawa organik
bersinar atau berfluorosensi jika disinari dengan sinar ultraviolet gelombang
pendek (254 nm) atau gelombang panjang (366 nm), jika dengan cara itu
senyawa tidak dapat dideteksi maka harus dicoba disemprot dengan pereaksi
yang membuat bercak tersebut tampak yaitu pertama tanpa pemanasan,
kemudian bila perlu dengan pemanasan (Gritter, et al., 1991; Stahl, 1985).
a. Fase diam (lapisan penjerap)
Kromatografi lapis tipis, fase diam berupa lapisan tipis yang terdiri atas
bahan padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang biasanya
terbuat dari kaca, dapat pula terbuat dari plat polimer atau logam. Lapisan
melekat pada permukaan dengan bantuan bahan pengikat, biasanya kalsium
sulfat atau amilum. Penjerap yang umum dipakai untuk kromatografi lapis
tipis adalah silika gel, alumina, kieselgur dan selulosa (Gritter, et al., 1991).
Dua sifat yang penting dari fase diam adalah ukuran partikel dan
homogenitasnya, karena adesi terhadap penyokong sangat tergantung pada
kedua sifat tersebut. Ukuran partikel yang biasa digunakan adalah 1-25
mikron. Partikel yang butirannya sangat kasar tidak akan memberikan hasil
yang memuaskan dan salah satu cara untuk memperbaiki hasil pemisahan
adalah dengan menggunakan fase diam yang butirannya lebih halus. Butiran
yang halus memberikan aliran pelarut yang lebih lambat dan resolusi yang
lebih baik (Sastrohamidjojo, 1985).
b. Fase gerak (pelarut pengembang)
Fase gerak ialah medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa
pelarut, jika diperlukan sistem pelarut multi komponen, harus berupa suatu
campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum tiga komponen
(Stahl, 1985).
Pemisahan senyawa organik selalu menggunakan pelarut campur. Tujuan
menggunakan pelarut campur adalah untuk memperoleh pemisahan senyawa
yang baik. Kombinasi pelarut adalah berdasarkan atas polaritas masing-
masing pelarut, sehingga dengan demikian akan diperoleh sistem
pengembang yang cocok. Pelarut pengembang yang digunakan dalam
kromatografi lapis tipis antara lain: n-heksan, karbontetraklorida, benzen,
kloroform, eter, etilasetat, piridian, aseton, etanol, metanol dan air (Gritter, et
al., 1991).
c. Harga Rf
Mengidentifikasi noda-noda dalam kromatografi lapis tipis sangat lazim
menggunakan harga Rf (Retordation Factor) yang didefinisikan sebagai:

Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf (Sastrohamidjojo, 1985):


a. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan
b. Sifat penjerap
c. Tebal dan kerataan dari lapisan penjerap
d. Pelarut dan derajat kemurniannya
e. Derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana
f. Teknik percobaan
g. Jumlah cuplikan yang digunakan
h. Suhu
i. Kesetimbangan
VI. TINJAUAN ELUEN
Fase gerak merupakan medium angkut yang terdiri atas satu atau
beberapa pelarut. Fase gerak bergerak dalam fase diam karena adanya gaya
kapiler. Pelarut yang digunakan sebagai fase gerak hanyalah pelarut
bertingkat mutu analitik dan bila diperlukan sistem pelarut multikomponen
ini harus berupa suatu campuran yang sesederhana mungkin yang terdiri atas
maksimum 3 komponen. Angka banding campuran dinyatakan dalam bagian
volume total 100 (Nyiredy 2002).
Pelarut pengembang dikelompokkan ke beberapa golongan oleh
Snyders berdasarkan kekuatan pelarutnya. Menurut Stahl (1985) eluen atau
fase gerak yang digunakan dalam KLT dikelompokkan ke dalam 2 kelompok,
yaitu untuk pemisahan senyawa hidrofil dan lipofil. Eluen untuk pemisahan
senyawa hidrofil meliputi air, metanol, asam asetat, etanol, isopropanol,
aseton, n-propanol, tert-butanol, fenol, dan n-butano l sedangkan untuk
pemisahan senyawa lipofil meliputi etil asetat, eter, kloroform, benzena,
toluena, sikloheksana, dan petroleum eter.
1. Toluena
Toluena, dikenal juga sebagai metilbenzena ataupun fenilmetana, adalah
cairan bening tak berwarna yang tak larut dalam air dengan aroma
sepertipengencer cat dan berbau harum seperti benzena. Toluena adalah
hidrokarbon aromatik yang digunakan secara luas dalam stok umpan industri
dan juga sebagai pelarut. Seperti pelarut-pelarut lainnya, toluena juga
digunakan sebagai obat inhalan oleh karena sifatnya yang memabukkan.
Golongan : Hidrokarbon aromatik
Sinonim : Toluol, Tolu-Sol; Methylbenzene; Methacide;
Phenylmetana : Methylbenzol.
Deskripsi : Cairan tidak berwarna, berbau manis, pedas seperti
benzene
Rumus Molekul : C7H8 (C6H5CH3)
Massa Molar : 92,14 g/mol
Densiitas : 0,8669 g/mL, zat cair
Titik Lebur : 93 C
Titik didih : 110,6 C
Kelarutas dalam air : 0,47 g/l (20-25 C)
Viskositas : 0,590 cP at 20 C
Kelarutan : larut dalam dietil eter, etanol, benzene, kloroform,
asam asetat glasial, karbon disulfida dan aseton,
praktis tidak larut dalam air dingin; kelarutan
dalam air: 0,561 g/L pada suhu 25oC.
2. Etil asetat
Etil asetat adalah senyawa organik dengan rumus CH3CH2OC(O)CH3.
Senyawa ini merupakan ester dari etanol dan asam asetat. Senyawa ini
berwujud cairan tak berwarna, memiliki aroma khas. Senyawa ini sering
disingkat EtOAc, dengan Et mewakili gugus etil dan OAc mewakili asetat.
Etil asetat diproduksi dalam skala besar sebagai pelarut. Etil asetat
adalah pelarut polar menengah yang volatil (mudah menguap), tidak beracun,
dan tidak higroskopis. Etil asetat merupakan penerima ikatan hidrogen yang
lemah, dan bukan suatu donor ikatan hidrogen karena tidak adanya proton
yang bersifat asam (yaitu hidrogen yang terikat pada
atomelektronegatif seperti flor, oksigen, dan nitrogen. Etil asetat dapat
melarutkan air hingga 3%, dan larut dalam air hingga kelarutan 8% pada suhu
kamar. Kelarutannya meningkat pada suhu yang lebih tinggi. Namun,
senyawa ini tidak stabil dalam air yang mengandung basa atau asam. Berikut
ini adalah karakteristik atau sifat fisika dan sifat kimia dari etil asetat :
a. Sifat fisis
Berat molekul : 88,1 kg/kmol
Boiling point : 77,1C
Flash point : -4C
Melting point : - 83,6C
Suhu kritis : 250,1C
Tekanan kritis : 37,8 atm
Kekentalan (25oC) : 0,4303 cP
Specific grafity ( 20C) : 0,883
Kelarutan dalam air : 7,7% berat pada 20 oC
Entalphy pembentukan (25C) gas : -442,92 kJ/mol
Energi Gibbs pembentukan (25C) cair : -327,40 kJ/mol
b. Sifat Kimia
Etil asetat adalah senyawa yang mudah terbakar dan mempunyai resiko
peledakan (eksplosif).
Membentuk acetamide jika diammonolisis Reaksi:
CH3COOC2H5 + NH3 CH3CONH2 + C2H5OH .(15)
Akan membentuk etil benzoil asetat bila bereaksi dengan etil benzoate
Reaksi:
C6H6COOC2H5 + CH3COOC2H5 C6H6COCH2COOC2H5+
C2H5OH..(16)
(Kirk and Othmer, 1982).
3. Asam Asetat Glasial
Asam asetat glasial merupakan nama trivial yang merujuk pada asam
asetat yang bebas-air (anhidrat). Asam asetat, asam etanoat atau asam
cuka[10] adalah senyawa kimia asamorganik yang dikenal sebagai pemberi
rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus
empiris C2H4O2. Rumus ini seringkali ditulis dalam bentuk CH3
COOH, CH3COOH, atau CH3CO2H. Asam asetat pekat (disebutasam asetat
glasial) adalah cairan higroskopis tak berwarna, dan memiliki titik beku
16,7C. Cuka mengandung 39% volume asam asetat, menjadikannya asam
asetat adalah komponen utama cuka selain air. Asam asetat berasa asam dan
berbau menyengat. Selain diproduksi untuk cuka konsumsi rumah tangga,
asam asetat juga diproduksi sebagai prekursor untuk polivinil
asetatdan selulosa asetat. Meskipun digolongkan sebagai asam lemah, asam
asetat pekat bersifat korosif dan dapat menyerang kulit.
Asam asetat merupakan salah satu asam karboksilat paling sederhana,
setelah asam format. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam
lemah, artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO.
Asam asetat merupakan pereaksi kimia dan bahan baku industri yang penting.
Asam asetat digunakan dalam produksi polimer seperti polietilena
tereftalat,selulosa asetat, dan polivinil asetat, maupun berbagai
macam serat dan kain. Dalam industri makanan, asam asetat, dengan kode
aditif makanan E260, digunakan sebagai pengatur keasaman. Di rumah
tangga, asam asetat encer juga sering digunakan sebagai pelunak air.
Rumus kimia : C2H4O2
Massa molar : 60.05 g mol1
Penampilan : Cairan tak berwarna atau kristal, bau menyengat seperti
cuka
Densitas : 1,049 g cm3
Titik lebur : 289 sampai 290 K
Titik didih : 391 sampai 392 K
Kelarutan di air : dapat dicampur
Log p : -0,322
Viskoitas : 1,22 mPa s
4. Indeks Polaritas
Ada berbagai kondisi KLT yang bertujuan untuk menaikkan kemampuan
teknik kromatografi, salah satunya adalah sistem fasa normal (normal phase
sistems). Sistem fasa normal yaitu penggunaan fasa diam polar yang
dikombinasikan dengan berbagai fasa gerakm non air (non aqueous mobile
phases) . Tipikal fasa diam yang sering dikatakan bersifat polar antara lain
silica gel, alumina dan berbagai material fasa terikat polar lainnya seperti
siano-silika, amino-silika dan diol silika dimana proses adsorpsi memainkan
peranan penting dalamn pemisahan.
Karakter yang diinginkan dalam pemilihan fasa gerak yang kompetitif
untuk KLT antara lain adalah parameter kelarutan (solubility parameter)I,
indeks polaritas (polarity index) dan kekuatannya sebagai solvent (solvent
strength). Parameter kelarutan menunjukkan kemampuannya untuk
berkombinasi dengan beragam pelarut lain. Indeks polaritas menunjukkan
besaran empiris yang digunakan untuk mengukut ketertarikan antar molekul
dalam solute dengan molekul solvent pada parameter kelarutan solvent yang
bersangkutan dalam keadaan murninya. Sementara kekuatan pelarut
dinyatakan sebagai bilangan yang berkisar antara -0,25 sampai +1,3 yang
ditentukan melalui energi adsorpsi oleh molekul solvent pada solvent yang
bersangkutan.
Indeks Polaritas Pelarut
VII. BAGAN ALIR
a. Reaksi Warna
1. Uji Borntrager
Ekstrak sebanyak 0,3 gram diekstraksi dengan 10 ml aquadest, saring,
lalu filtrat diekstraksi dengan 5 ml toluena dalam corong pisah.

Ekstraksi dilakukan sebanyak dua kali. Kemudian fase toluena
dikumpulkan dan dibagi menjadi dua bagian, disebut sebagai larutan
VA dan VB.

Larutan VA sebagai blanko, larutan VB ditambah amonia pekat 1 ml
dan dikocok.

Timbulnya warna merah menunjukkan adanya senyawa antrakinon.
2. Uji Modifikasi Borntrager
Ekstrak sebanyak 0,3 gram ditambah dengan 5 ml KOH 0,5 N dan
1 ml H2O2 encer.

Dipanaskan selama 5 menit dan disaring, filtrat ditambah asam
asetat glasial, kemudian diekstraksi dengan 5 ml toluena.

Fase toluena diambil dan dibagi menjadi dua sebagai larutan VIA
dan VIB

Larutaan VIA sebagai blanko, larutan VIB ditambah amonia pekat
1 ml. Timbulnya warna merah atau merah muda pada lapisan
alkalis menunjukkan adanya antrakinon.
b. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Sampel ditotolkan pada fase diam. Uji kromatografi lapis tipis ini
menggunakan :
Fase diam : Kiesel gel GF 254
Fase gerak : ToluenaEtil asetatAsam asetat glasial (75 : 24 : 1)
Penampak noda : Larutan KOH 10% dalam methanol

Timbulnya noda berwarna kuning, kuning coklat, merah ungu atau
hijau ungu menunjukkan adanya senyawa antrakinon
VIII. SKEMA KERJA
a. Reaksi warna
1. Uji Borntrager
Ekstrak sebanyak
0,3 gram

diekstraksi dengan
saring, lalu
10 ml aquadest
didapatkan filtrat

Diekstraksi dalam
corong pisah. 5 ml
filtrat
(ekstraksi dilakukan 2 toluena
kali)

VA VB VA
dibagi menjadi VA sebagai
Fase toluene blanko
dua bagian

1 ml VB
Timbulnya warna merah ammonia
menunjukkan adanya pekat dan
senyawa antrakinon kocok
2. Uji Modifikasi Borntrager
Ekstrak sebanyak
0,3 gram

5 ml KOH 1 ml H202 encer

Asetat
filtrat Dipanaskan selama
glasial saring 5 menit

VIA VIB
diekstraksi
dengan 5 dibagi menjadi
Fase toluene dua bagian
ml toluena

Timbulnya warna 1 ml VIB VIA


merah atau merah ammonia VA sebagai
muda pada lapisan pekat
blanko
alkalis menunjukkan
antrakinon

b. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Cek di panjang gelombang 254 nm & 365 nm

Sebagian larutan
IVC ditotolkan
pada plat KLT Dieluasi dalam chamber

Cek di UV 365 nm & 254 nm


IX. HASIL

Sampel ekstrak
Rheum officinale

Setelah sampel
dieluasi

Uji Borntrager (+)


mengandung antrakinon

Penyinaran pada UV
254

Uji modifikasi
Borntrager (+)
mengandung antrakinon

Penyinaran pada UV
365

Sebelum sampel
dieluasi
X. PEMBAHASAN
Praktikum fitokim yang dilakukan yakni mengidentifikasi senyawa golongan
antrakinon. Golongan glikosida antrakinon ini aglikonnya adalah sekerabat dengan
antrasena yang memiliki gugus karbonil pada kedua atom C yang berseberangan
(atom C9 dan C10) atau hanya C9 (antron) dan C9 ada gugus hidroksil (antranol).
Glikosida antrasena juga dikenal sebagai anthracenosides yang
merupakan pencahar di alam. Pada hidrolisis, menghasilkan glikon seperti
dianthrone, antrakuinon atau anthrone. Gulanya adalah arabinosa, rhamnose
atau glukosa. Anthraquinones adalah konstituen aktif dan bertanggung jawab
untuk aktivitas biologis dari obat-obatan mengandung glikosida antrasena.
Selain digunakan dalam mengobati sembelit, digunakan pula untuk
pengobatan penyakit kulit seperti psoriasis dan kurap. Aloe-emodin
berkhasiat menghambat proliferasi sel dan menginduksi apoptosis dalam dua
baris sel kanker hati manusia, Hep G2 dan Hep 3B. Rhein, anthraquinione
terdapat dalam rhubarb, berkhasiat menghambat pertumbuhan sel G2 Hep
dengan menginduksi apoptosis dan memblokir perkembangan siklus sel pada
fase G1 (Saroya, 2011).
Identifikasi senyawa golongan antrakinon ini menggunakan ekstrak
Rheum officinale dengan cara pengujian reaksi warna uji borntrager dan uji
modifikasi borntrager. Selain itu juga di uji kromatografi lapis tipis (KLT).
Uji Borntrager, pada uji ini ekstrak sebanyak 0,3 gram dilarutkan
dengan 10 ml aquadest lalu diaring. Ditambahkan pelarut aquadest untuk
menghilangkan senyawa-senyawa lain yang bersifat polar, karena keberadaan
senyawa-senyawa tersebut dapat mengganggu proses ekstraksi antrakinon.
Filtrat hasil penyaringan diekstraksi kembali dengan 5 ml toluena dalam
tabung reaksi. Menggunakan toluene untuk mengekstraksi senywa
antrakinon. Ekstraksi dilakukan sebanyak dua kali untuk mendapatkan fase
toluena yang maksimal. Fase toluena dibagi menjadi dua bagian. Larutan VA
sebagai blanko dan larutan VB ditambah amonia pekat 1 ml melalui dinding
tabung kemudian dikocok. Timbulnya warna merah menunjukkan adanya
senyawa antrakinon. Pada kelompok kami, hasil Uji Borntrager yakni Larutan
VB menunjukkan hasil yang positif, namun warna yang dihasilkan yakni
merah muda. Dimungkinkan karena ekstrak yang digunakan sedikit sehingga
menunjukkan adanya senyawa antrakinon yang terkandung sedikit.
Uji Modifikasi Borntrager, pada uji ini ekstrak sebanyak 0,3 gram,
kemudian ditambah dengan 5 ml KOH 0,5 N dan 1 ml H2O2 encer.
Penambahan KOH bertujuan untuk menghidrolisis glikosida antron dan
antranol serta embentuk garam kalium dengan aglikon sedangkan
penambahan H2O2 untuk mempercepat oksidasi antron / antranol menjadi
antrakinon. Setelah itu di panaskan selama 5 menit untuk menaikkan suhu
larutan karena antrakinon larut dalam pelarut organic yang panas. Lalu
disaring menggunakan kertas saring. Filtrat hasil penyaringan ditambah
dengan asam asetat glasial, untuk menetralkan larutan. Kemudian diekstraksi
dengan 5 ml toluena. Fase toluena diambil dan dibagi menjadi dua dan
disebut sebagai larutan VIA dan VIB. Larutan VIA sebagai blanko, larutan
VIB ditambah amonia pekat 1 ml melalu dinding tabung. Timbulnya warna
merah atau merah muda pada lapisan alkalis menunjukkan adanya antrakinon.
Pada kelompok kami, dalam Uji Modifikasi Borntrager ini, larutan VIB
dibandingkan dengan blanko (larutan VIA). Larutan VIB menunjukkan hasil
yang positif, yaitu timbulnya warna merah muda pada larutan setelah
dibandingkan dengan blanko larutan VIA, sehingga menunjukkan adanya
senyawa antrakinon yang terkandung.
KLT, pada uji ini ekstrak Rheum officinale dilarutkan dalam etanol
sebanyak 0,5 ml. Fungsi penambahan etanol adalah untuk melarutkan ekstrak
sehingga ekstrak yang digunakan berupa cairan bukan padatan sehingga saat
ditotolkan pada plat KLT akan lebih mudah apabila dalam bentuk cairnya.
Untuk identifikasi kali ini, eluen yang digunakan adalah toluena-etil asetat-
asam asetat glasial dengan perbandingan 75:24:1. Eluen yang sudah jadi
dimasukkan ke dalam chamber sebagai fase gerak dan kertas saring
dimasukkan hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah chamber pada kondisi
jenuh oleh eluen atau tidak dengan cara melihat naiknya cairan pada kertas
saring hingga terbasahi seluruhnya. Setelah itu larutan KLT langsung
ditotolkan pada lempeng KLT nya sejumlah 1 pipa kapiler (1 totol). Setelah
kertas ditotol dengan ekstrak, kertas saring diangkat lalu dimasukkan
lempeng KLT. Setelah lempeng KLT terbasahi sampai batas atasnya
kemudian diangkat dan dikeringkan sebentar kemudian diamati pada sinar
UV 365 nm dan 254 nm. Lalu disemprot dengan penampak noda yang terbuat
dari larutan KOH 10% yang dilarutkan dalam metanol untuk memperjelas
noda yang tampak. Dari hasil akan tampak noda fluorescent berwarna kuning,
kuning coklat, merah ungu atau hijau ungu pada lempeng KLT yang
menunjukkan adanya senyawa antrakinon. Pada hasil KLT kelompok kami,
menunjukkan hasil yang positif, hal itu dibuktikan dengan adanya noda
berwarna kuning, kuning coklat, merah ungu dan ungu pada lempeng KLT
kami, ini membuktikan bahwa ekstrak Rheum officinale L kelompok kami
positif mengandung senyawa antrakinon. Namun didapatkan noda yang
berekor, adapun kesalahan yang dimungkingkan terjadi yakni, komponen
eluen salah, fase gerak kurang jernih, dan faktor bahan. Dari hasil KLT
kelompok kami, didapatkan 2 noda yang masing-masing noda akan
digunakan untuk menghitung nilai Rf. Nilai Rf yang kami peroleh adalah
sebagai berikut :
1,8
= 0,23
8
6,1
= 0,76
8
KESIMPULAN
Uji Borntrager : Hasil Uji Borntrager yakni larutan VB menunjukkan
hasil yang positif, namun warna yang dihasilkan
yakni merah muda. Dimungkinkan karena ekstrak
yang digunakan sedikit sehingga menunjukkan
adanya senyawa antrakinon yang terkandung sedikit.
Uji Modifikasi Borntrager: Hasil Uji Modifikasi Borntrager yakni larutan VIB
dibandingkan dengan blanko (larutan VIA). Larutan
VIB menunjukkan hasil yang positif, yaitu
timbulnya warna merah muda pada larutan setelah
dibandingkan dengan blanko larutan VIA, sehingga
menunjukkan adanya senyawa antrakinon yang
terkandung.
KLT : Hasil KLT kelompok kami, menunjukkan hasil yang
positif, hal itu dibuktikan dengan adanya noda
berwarna kuning, kuning coklat, merah ungu dan
ungu pada lempeng KLT kami, ini membuktikan
bahwa ekstrak Rheum officinale L kelompok kami
positif mengandung senyawa antrakinon. Namun
didapatkan noda yang berekor, adapun kesalahan
yang dimungkingkan terjadi yakni, komponen eluen
salah, fase gerak kurang jernih, dan faktor bahan.
Dari hasil KLT kelompok kami, didapatkan 2 noda
yang masing-masing noda akan digunakan untuk
menghitung nilai Rf. Nilai Rf yang kami peroleh
adalah sebagai berikut :
1,8
= 0,23
8
6,1
= 0,76
8
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. (1989). Materia Medika Indonesia. Jilid III. 1989. Departemen
Kesehatan RI: Jakarta.
Depkes RI. (1979). Materia Medika Indonesia. Jilid III. 1979. Departemen
Kesehatan RI: Jakarta.
Depkes. 2010. Isolasi senyawa dari Akar Kelembak.
epository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20837/4/Chapter%20II.pdf
Kelembak.
http://kambing.ui.ac.id/bebas/v12/artikel/ttg_tanaman_obat/depkes/buku1/
1-251.pdf
Sastroamidjojo, Seno. 2001.Obat Asli Indonesia. Dian rakyat.Jakarta
Subandono.2006. ISOLASI DAN IDENTIFIKASI GLIKOSIDA
ANTRAKINON. Universitas Muhammadiyah Surakarta
Shirur Dakappa ShruthI, dhikari Roshan, Sanjay Sharma Timilsina, and Sajjekhan
Sunita. 2011. A REVIEW ON THE MEDICINAL PLANT RHEUM
OFFICINALE. (MYRTACEAE). Journal of Drug Delivery &
Therapeutics; 2013, 3(2), 162-168 ISSN: 2250-1177 Available online at
http://jddtonline.info
Simanjutak,Danny Junior.2010. ISOLASI SENYAWA ANTRAKINON dari buah
kelembak. Universitas Sumatera Utara
Yulinar Rochmasari, Studi Isolasi Dan Penentuan Struktur Molekul Senyawa
KimiaDalam Fraksi Netral Daun kelembak Universitas Indonesia, Depok,
2011, hlm. 3 Alaska,Yogyakarta, 2012. hlm. 130.
PRAKTIKUM FITOKIMIA

UJI KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS DENGAN BERBAGAI ELUEN

Dosen : Drs. Herra Studiawan, M.Si., Apt.


Siti Rofida, M.Farm., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
April, 2017
TUGAS 6 UJI KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS DENGAN BERBAGAI
ELUEN
I. TUJUAN
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang kaitan antara polaritas eluen denan
harga Rf
II. KOLESTEROL

Kolesterol adalah salah satu sterol yang penting dan terdapat


banyak di alam. Dari rumus kolesterol dapat dilihat bahwa gugus hidroksil
yang terdapat pada atom nomor 3 mempunyai posisi beta oleh karena
dihubungkan dengan garis penuh. Kolesterol adalah lipida sturktural
(pembentuk struktur sel) yang berfungsi sebagai komponen yang dibutuhkan
dalam kebanyakan sel tubuh. Kolesterol merupakan bahan yang menyerupai
lilin, sekitar 80% dari kolesterol diproduksi oleh liver dan selebihnya didapat
dari makanan yang kaya akan kandungan kolesterol seperti daging, telur dan
produk berbahan dasar susu. Dari segi kesehatan, kolesterol sangat berguna
dalam membantu pembentukan hormon atau vitamin D, membantu
pembentukan lapisan pelindung disekitar sel syaraf, membangun dinding sel,
pelarut vitamin (vitamin A, D, E, K) dan pada anak-anak dibutuhkan untuk
mengembangkan jaringan otaknya (Silalahi, 2006).

Kolesterol adalah metabolit yang mengandung lemak sterol


(bahasa Inggris: waxy steroid) yang ditemukan pada membran sel dan
disirkulasikan dalam plasma darah. Merupakan sejenis lipid yang
merupakan molekul lemak atau yang menyerupainya. Kolesterol ialah
jenis khusus lipid yang disebut steroid. Steroids ialah lipid yang memiliki
struktur kimia khusus. Struktur ini terdiri atas 4 cincin atom karbon.
Kolesterol dapat larut dalam pelarut lemak, misalnya eter,
kloroform, benzena dan alkohol panas. Apabila terdapat dalam konsetrasi
tinggi, kolesterol mengkristal dalam bentuk kristal yang tidak berwarna,
tidak berasa dan tidak berbau dan mempunyai titik lebur 150-151oC.

Biosintesis Kolesterol
Biosintesis kolesterol dapat dibagi menjadi 5 tahap, yaitu:
1. Sintesis mevalonat dari asetil-KOA.
2. Unit isoprenoid dibentuk dari mevalonat melalui pelepasan CO
3. Enam unit isoprenoid mengadakan kondensasi untuk membentuk
senyawa antara skualen.
4. Skualen mengalami siklisasi untuk menghasilkan senyawa steroid
induk, yaitu lanosterol.
5. Kolesterol dibentuk dari lanosterol setelah melewati beberapa tahap
lebih lanjut, termasuk pelepasan tiga gugus metil (Murray, 2003).
Kolesterol diabsorpsi di usus dan ditransport dalam bentuk kilomikron
menuju hati. Dari hati, kolesterol dibawa oleh VLDL untuk membentuk LDL
melalui perantara IDL (Intermediate Density Lipoprotein). LDL akan
membawa kolesterol ke seluruh jaringan perifer sesuai dengan kebutuhan. Sisa
kolesterol di perifer akan berikatan dengan HDL dan dibawa kembali ke hati
agar tidak terjadi penumpukan di jaringan. Kolesterol yang ada di hati akan
diekskresikan menjadi asam empedu yang sebagian dikeluarkan melalui feses,
sebagian asam empedu diabsorbsi oleh usus melalui vena porta hepatik yang
disebut dengan siklus enterohepatic
Adanya kolesterol dapat ditentukan dengan menggunakan beberapa
reaksi warna. Salah satu diantaranya adalah reaksi Salkowski. Apabila
kolesterol dilarutkan dalam kloroform dan larutan ini dituangkan di atas larutan
asam sulfat pekat dengan hati-hati maka bagian asam berwarna kekuningan
dengan flouresensi hijau bila dikenai cahaya. Bagian kloroform akan berwarna
biru dan yang berubah menjadi merah dan ungu. Larutan kolesterol dalam
kloroform bila ditambahan anhidrida asam asetat dan asam sulfat pekat, maka
larutan tersebut mula-mula akan berwarna merah, kemudian biru dan hijau. Ini
disebut reaksi Lieberman Burchard. Warna hijau yang terjadi ini ternyata
sebanding dengan konsentrasi kolesterol. Karenanya reaksi Lieberman
Burchard dapat digunakan untuk menentukan kolesterol secara kuantitatif.
III. PEMISAHAN KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)

Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan fisikokimia.


Lapisan pemisah terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan
pada penyangga berupa plat gelas, logam atau lapisan yang cocok.
Campuran yang akan dipisah berupa larutan yang ditotolkan baik berupa
bercak ataupun pita, setelah plat atau lapisan dimasukkan ke dalam bejana
tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak),
pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan), selanjutnya
senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (Stahl, 1985).
Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan
beberapa cara. Untuk senyawa tak berwarna cara yang paling sederhana
adalah dilakukan pengamatan dengan sinar ultraviolet. Beberapa senyawa
organik bersinar atau berfluorosensi jika disinari dengan sinar ultraviolet
gelombang pendek (254 nm) atau gelombang panjang (366 nm), jika dengan
cara itu senyawa tidak dapat dideteksi maka harus dicoba disemprot dengan
pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak yaitu pertama tanpa
pemanasan, kemudian bila perlu dengan pemanasan (Gritter, et al., 1991;
Stahl, 1985).
1. Fase diam (lapisan penjerap)
Kromatografi lapis tipis, fase diam berupa lapisan tipis yang
terdiri atas bahan padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga
datar yang biasanya terbuat dari kaca, dapat pula terbuat dari plat
polimer atau logam. Lapisan melekat pada permukaan dengan bantuan
bahan pengikat, biasanya kalsium sulfat atau amilum. Penjerap yang
umum dipakai untuk kromatografi lapis tipis adalah silika gel, alumina,
kieselgur dan selulosa (Gritter, et al., 1991).
Dua sifat yang penting dari fase diam adalah ukuran partikel
dan homogenitasnya, karena adesi terhadap penyokong sangat
tergantung pada kedua sifat tersebut. Ukuran partikel yang biasa
digunakan adalah 1-25 mikron. Partikel yang butirannya sangat kasar
tidak akan memberikan hasil yang memuaskan dan salah satu cara
untuk memperbaiki hasil pemisahan adalah dengan menggunakan fase
diam yang butirannya lebih halus. Butiran yang halus memberikan
aliran pelarut yang lebih lambat dan resolusi yang lebih baik
(Sastrohamidjojo, 1985).
2. Fase gerak (pelarut pengembang)
Fase gerak ialah medium angkut yang terdiri atas satu atau
beberapa pelarut, jika diperlukan sistem pelarut multi komponen, harus
berupa suatu campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas
maksimum tiga komponen (Stahl, 1985).
Pemisahan senyawa organik selalu menggunakan pelarut
campur. Tujuan menggunakan pelarut campur adalah untuk
memperoleh pemisahan senyawa yang baik. Kombinasi pelarut adalah
berdasarkan atas polaritas masing-masing pelarut, sehingga dengan
demikian akan diperoleh sistem pengembang yang cocok. Pelarut
pengembang yang digunakan dalam kromatografi lapis tipis antara lain:
n-heksan, karbontetraklorida, benzen, kloroform, eter, etilasetat,
piridian, aseton, etanol, metanol dan air (Gritter, et al., 1991).
Faktor yang mempengaruhi KLT
Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan.
Sifat dari penyerap dan derajat aktifitasnya.
Biasanya aktifitas dicapai dengan pemanasan dalam oven, hal ini akan
mengeringkan molekul-molekul air yang menempati pusat-pusat
serapan dari penyerap.
Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap.
Ketidakrataan akan menyebabkan aliran pelarut menjadi tak rata pula
dalam daerah yang kecil dari plat.
Pelarut (dan derajat kemurniannya) fase bergerak.
Kemurnian dari pelarut yang digunakan sebagai fase bergerak dalam
kromatografi lapisan tipis sangat penting dan bila campuran pelarut
digunakan maka perbandingan yang dipakai harus betul-betul
diperhatikan.
Derajat kejenuhan dan uap dalam bejana pengembangan yang
digunakan.
Teknik percobaan.
Arah pelarut bergerak di atas plat. (Metoda aliran penaikan yang hanya
diperhatikan, karena cara ini yang paling umum meskipun teknik aliran
penurunan dan mendatar juga digunakan).
Jumlah cuplikan yang digunakan.
Penetesan cuplikan dalam jumlah yang berlebihan memberikan hasil
penyebaran noda-noda dengan kemungkinan terbentuknya ekor dan
efek tak kesetimbangan lainnya, hingga akan mengakibatkan
kesalahan-kesalahan pada harga-harga Rf.
Suhu.
Pemisahan-pemisahan sebaiknya dikerjakan pada suhu tetap, hal ini
terutama untuk mencegah perubahan-perubahan dalam komposisi
pelarut yang disebabkan oleh penguapan atau perubahan-perubahan
fase.
Kesetimbangan.
Ternyata bahwa kesetimbangan dalam lapisan tipis lebih penting
dalam kromatografi kertas, hingga perlu mengusahakan atmosfer
dalam bejana jenuh dengan uap pelarut.
3. Harga Rf
Mengidentifikasi noda-noda dalam kromatografi lapis tipis sangat
lazim menggunakan harga Rf (Retordation Factor) yang didefinisikan
sebagai:

Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf (Sastrohamidjojo, 1985):


a. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan
b. Sifat penjerap
c. Tebal dan kerataan dari lapisan penjerap
d. Pelarut dan derajat kemurniannya
e. Derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana
f. Teknik percobaan
g. Jumlah cuplikan yang digunakan
h. Suhu
i. Kesetimbangan

IV. TINJAUAN ELUEN

Fase gerak merupakan medium angkut yang terdiri atas satu atau
beberapa pelarut. Fase gerak bergerak dalam fase diam karena adanya gaya
kapiler. Pelarut yang digunakan sebagai fase gerak hanyalah pelarut
bertingkat mutu analitik dan bila diperlukan sistem pelarut multikomponen
ini harus berupa suatu campuran yang sesederhana mungkin yang terdiri atas
maksimum 3 komponen. Angka banding campuran dinyatakan dalam bagian
volume total 100 (Nyiredy 2002). Pelarut pengembang dikelompokkan ke
beberapa golongan oleh Snyders berdasarkan kekuatan pelarutnya. Menurut
Stahl (1985) eluen atau fase gerak yang digunakan dalam KLT
dikelompokkan ke dalam 2 kelompok, yaitu untuk pemisahan senyawa
hidrofil dan lipofil. Eluen untuk pemisahan senyawa hidrofil meliputi air,
metanol, asam asetat, etanol, isopropanol, aseton, n-propanol, tert-butanol,
fenol, dan n-butano l sedangkan untuk pemisahan senyawa lipofil meliputi
etil asetat, eter, kloroform, benzena, toluena, sikloheksana, dan petroleum
eter.
1. N-Heksana

Heksana, suatu hidrokarbon dengan rumus kimia C6H14, yaitu


suatu alkana dengan enam atom karbon. Istilah ini mungkin mengacu pada
empat isomer struktur lain dengan rumus itu, atau terhadap campuran
mereka. Namun, dalam tatanama IUPAC, heksana merupakan isomer tidak
bercabang (n-heksana); empat struktur lain dinamakan sebagai turunan
termetilasi dari pentana dan butana. IUPAC juga menggunakan istilah
seperti akar dari banyak senyawa dengan enam-kerangka karbon linier,
seperti 2-metilheksana (C7H16), yang juga disebut isoheptana.
Heksana merupakan konstituen bensin. Mereka semua cairan tak
berwarna pada suhu kamar, dengan titik didih antara 50 dan 70 C, dengan
bau sepeti bensin. Heksana luas digunakan sebagai pelarut non-polar yang
murah, relative aman, secara umum tidak reaktif, dan mudah diuapkan.
Nama IUPAC-nya Heksana; nama lainnya n-heksana.
Sifat Fisis
Rumus molekul : C6H14
Berat molekul : 86,18 gr mol1
Penampilan : Cairan tidak berwarna
Densitas : 0,6548 gr/mL
Titik lebur : 95 C, 178 K, -139 F
Titik didih : 69 C, 342 K, 156 F
Kelarutan dalam air : 13 mg/L pada 20C
Viskositas : 0,294 Cp
Klasifikasi Uni Eropa : Dapat menyala (F), Berbahaya (Xn),
Reproduksi
Cat. 3, Berbahaya untuk lingkungan (N)
Titik nyala : 23,3 C
Suhu menyala sendiri : 233,9 C
2. Metanol

Metanol, juga dikenal sebagai metil alkohol, wood


alcohol atau spiritus, adalah senyawa kimia dengan rumus kimia CH3OH.
Ia merupakan bentukalkohol paling sederhana. Pada "keadaan atmosfer" ia
berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah
terbakar, dan beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan
daripada etanol). metanol digunakan sebagai bahan pendingin anti beku,
pelarut, bahan bakar dan sebagai bahan additif bagi etanol industri.
Metanol diproduksi secara alami oleh
metabolisme anaerobik oleh bakteri. Hasil proses tersebut adalah uap
metanol (dalam jumlah kecil) di udara. Setelah beberapa hari, uap metanol
tersebut akan teroksidasi oleh oksigendengan bantuan
sinar matahari menjadi karbon dioksida dan air.
Reaksi kimia metanol yang terbakar di udara dan membentuk
karbon dioksida dan air adalah sebagai berikut:
2 CH3OH + 3 O2 2 CO2 + 4 H2O
Api dari metanol biasanya tidak berwarna. Oleh karena itu, kita
harus berhati-hati bila berada dekat metanol yang terbakar untuk
mencegah cedera akibat api yang tak terlihat. Karena sifatnya yang
beracun, metanol sering digunakan sebagai bahan additif bagi pembuatan
alkohol untuk penggunaan industri; Penambahan "racun" ini akan
menghindarkan industri dari pajak yang dapat dikenakan karena etanol
merupakan bahan utama untuk minuman keras (minuman beralkohol).
Metanol kadang juga disebut sebagai wood alcohol karena ia dahulu
merupakan produk samping dari distilasi kayu. Saat ini metanol dihasilkan
melului proses multi tahap. Secara singkat, gas alam dan uap air dibakar
dalam tungku untuk membentuk gas hidrogen dan karbon monoksida;
kemudian, gas hidrogen dan karbon monoksida ini bereaksi dalam tekanan
tinggi dengan bantuan katalis untuk menghasilkan metanol. Tahap
pembentukannya adalah endotermik dan tahap sintesisnya
adalah eksotermik.
Deskripsi :
Berbentuk cairan bening tidak berwarna, berbau khas; Rumus
molekul CH3OH; Berat molekul 32,0; Titik didih 65oC; Titik lebur -98oC;
Berat jenis (air=1) 0,79 g/mL; Tekanan uap 160 mmHg pada 30oC; Titik
nyala 12oC (pada wadah tertutup); Larut dalam air, benzen, etanol, eter,
keton, dan pelarut organik; Mudah larut dalam air dingin dan air panas.
Sifat :
Rumus molekul : CH3OH
Massa molar : 32.04 g/mol
Penampilan : colorless liquid
Densitas : 0.7918 g/cm, liquid
Titik lebur : 97 C, -142.9 F (176 K)
Titik didih : 64.7 C, 148.4 F (337.8 K)
Kelarutan dalam air : Fully miscible
Viskositas : 0.59 mPas at 20 C
3. Kloroform
a. Sifat Fisis
Rumus molekul : CHCl3
Berat molekul : 119,39 g/gmol
Wujud : cairan bening
Titik didih : 61,2oC
Titik leleh : -63,5oC
Densitas : 1,48 gr/cm3
Suhu kritis : 264oC
Specific gravity : 1,489
Viskositas : 0,57 cp (20oC)
Kapasitas panas : 0,234 kal/g.oC , pada 20oC
Tekanan kritis : 53,8 atm
Suhu kritis : 263oC
Kelarutan dalam 100 mL air : 0,8 g (20oC)
(Ketta & Cunningham,1992)

b. Sifat Kimia
Kloroform jika bereaksi dengan udara atau cahaya secara perlahan-
lahan akan teroksidasi menjadi senyawa beracun phosgene
(karbonil klorida).
Reaksi :

Kloroform dapat direduksi dengan bantuan zeng dan asam klorida


untuk membentuk metilen klorida. Jika proses reduksi dilakukan
dengan bantuan debu seng dan air akan dapat diperoleh metana.
Reaksi :
Kloroform dapat bereaksi dengan asam nitrat pekat untuk
membentuk nitro kloroform atau kloropikrin.
Reaksi :

Kloropikrin biasanya digunakan sebagai insektisida.


Kloroform dapat mengalami proses klorinasi dengan klorin jika
terkena sinar matahari dan menghasilkan karbon tetraklorida.
Reaksi :
CHCl3 + Cl2 CCl4 + HCl
(Kirk & Othmer, 1998)
4. Etil asetat
Etil asetat adalah senyawa organik dengan rumus
CH3CH2OC(O)CH3. Senyawa ini merupakan ester dari etanol dan asam
asetat. Senyawa ini berwujud cairan tak berwarna, memiliki aroma khas.
Senyawa ini sering disingkat EtOAc, dengan Et mewakili gugus etil dan
OAc mewakili asetat. Etil asetat diproduksi dalam skala besar sebagai
pelarut. Etil asetat adalah pelarut polar menengah yang volatil (mudah
menguap), tidak beracun, dan tidak higroskopis. Etil asetat merupakan
penerima ikatan hidrogen yang lemah, dan bukan suatu donor ikatan
hidrogen karena tidak adanya proton yang bersifat asam (yaitu hidrogen
yang terikat pada atomelektronegatif seperti flor, oksigen, dan nitrogen.
Etil asetat dapat melarutkan air hingga 3%, dan larut dalam air
hingga kelarutan 8% pada suhu kamar. Kelarutannya meningkat pada suhu
yang lebih tinggi. Namun, senyawa ini tidak stabil dalam air yang
mengandung basa atau asam. Berikut ini adalah karakteristik atau sifat
fisika dan sifat kimia dari etil asetat :
c. Sifat fisis
Berat molekul : 88,1 kg/kmol
Boiling point : 77,1C
Flash point : -4C
Melting point : - 83,6C
Suhu kritis : 250,1C
Tekanan kritis : 37,8 atm
Kekentalan (25oC) : 0,4303 cP
Specific grafity ( 20C) : 0,883
Kelarutan dalam air : 7,7% berat pada 20 oC
Entalphy pembentukan (25C) gas : -442,92 kJ/mol
Energi Gibbs pembentukan (25C) cair : -327,40 kJ/mol
d. Sifat Kimia
Etil asetat adalah senyawa yang mudah terbakar dan mempunyai
resiko peledakan (eksplosif).
e) Membentuk acetamide jika diammonolisis
Reaksi:
CH3COOC2H5 + NH3 CH3CONH2 + C2H5OH .(15)
f) Akan membentuk etil benzoil asetat bila bereaksi dengan etil
benzoate
Reaksi:
C6H6COOC2H5 + CH3COOC2H5 C6H6COCH2COOC2H5+
C2H5OH..(16)
(Kirk and Othmer, 1982).

5. Indeks Polaritas

Ada berbagai kondisi KLT yang bertujuan untuk menaikkan


kemampuan teknik kromatografi, salah satunya adalah sistem fasa normal
(normal phase sistems). Sistem fasa normal yaitu penggunaan fasa diam
polar yang dikombinasikan dengan berbagai fasa gerakm non air (non
aqueous mobile phases) . Tipikal fasa diam yang sering dikatakan bersifat
polar antara lain silica gel, alumina dan berbagai material fasa terikat polar
lainnya seperti siano-silika, amino-silika dan diol silika dimana proses
adsorpsi memainkan peranan penting dalamn pemisahan.
Karakter yang diinginkan dalam pemilihan fasa gerak yang
kompetitif untuk KLT antara lain adalah parameter kelarutan (solubility
parameter)I, indeks polaritas (polarity index) dan kekuatannya sebagai
solvent (solvent strength) . Parameter kelarutan menunjukkan
kemampuannya untuk berkombinasi dengan beragam pelarut lain. Indeks
polaritas menunjukkan besaran empiris yang digunakan untuk mengukut
ketertarikan antar molekul dalam solute dengan molekul solvent pada
parameter kelarutan solvent yang bersangkutan dalam keadaan murninya.
Sementara kekuatan pelarut dinyatakan sebagai bilangan yang berkisar
antara -0,25 sampai +1,3 yang ditentukan melalui energi adsorpsi oleh
molekul solvent pada solvent yang bersangkutan.
Indeks Polaritas Pelarut
V. BAGAN ALIR

Larutkan sedikit kolesterol ke dalam kloroform


Totolkan pada 4 plat KLT (Kiesel Gel 254)


Siapkan 4 macam eluen :
n-Heksan-etil asetat (1:1)
n-Heksan-etil asetat (4:1)
kloroform-metanol (4:1)
kloroform-etil asetat (4:1)


Eluasi 4 plat KLT tersebut dengan eluen yang dibuat


Semprot dengan penampa noda anisaldehid asam sulfat


Panaskan 1000C sampai timbul noda berwarna merah ungu/ ungu


Hitung harga Rf pada masing-masing plat KLT


Diskusikan, mengapa harga Rf pada masing-masing plat berbeda.
VI. SKEMA KERJA

A
Dilarutkan
dengan
B
kloroform

Kolesterol C

Di totolkan pada
masing-masing plat
KLT

Siapkan 4 macam eluen :


1.n-Heksan-etil asetat (1:1)
2.n-Heksan-etil asetat (4:1)
3.kloroform-metanol (4:1)
Eluasi 4 plat KLT dengan 4.kloroform-etil asetat (4:1)
eluen yang dibuat masukkan dalam masing-
Plat A eluen 1 masing fase diam (chamber)
Plat B eluen 2
Plat C eluen 3
Plat D eluen 4

Semprot tiap plat


Dipanaskan 100 C dan diamati pada
dengan penampak noda
UV 254nm dan 365nm
anisaldehid asam sulfat
VII. HASIL
Lampu UV 254 nm (hijau)

Lampu UV 365 nm (ungu)

Plat KLT setelah di bakar


VIII. PEMBAHASAN

Dari hasil percobaan dengan keempat campuran eluen yang


berbeda didapatkan jarak totolan pada perbandingan eluen n-heksan:etil
asetat = 1:1 adalah 6,9 cm sehingga Rf 0,86. Pada perbandingan eluen n-
heksan:etil asetat = 4:1 jarak totolan adalah 4,1 cm sehingga Rf 0,51. Pada
perbandingan eluen kloroform:metanol = 4:1 jarak totolan adalah 7,3cm
sehingga Rf 0,91. Sedangkan pada perbandingan eluen kloroform:etil
asetat = 4:1 noda tidak muncul karena terjadi kesalahan saat pemasukkan
plat KLT. Dari keempat eluen yang bersifat paling non polar adalah eluen
n-heksan:etil asetat = 4:1, lalu kloroform:etil asetat = 4:1, lalu n-
heksan:etil asetat = 1:1, dan yang paling polar adalah kloroform:metanol
= 4:1. Dengan urutan fase gerak dari yang paling non polar, didapatkan Rf
0,51 ; 0,86; 0,91.
Silica yang digunakan merupakan fase diam bersifat polar.
Sedangkan kolesterol merupakan senyawa non polar. Dari perhitungan Rf
pada percobaan, diketahui bahwa kolesterol memiliki nilai Rf yang lebih
tinggi pada fase gerak yang lebih polar dan paling rendah pada fase gerak
yang bersifat paling non polar. Semakin rendah polaritas senyawa,
semakin tinggi afinitas untuk pelarut dan semakin besar nilai Rf. Pada
percobaan ini kolesterol yang bersifat non polar lebih tertarik ke fase gerak
yang bersifat non polar yaitu perbandingan eluen n-heksan:etil asetat = 4:1
tetapi jarak pergerakan totolan kolesterol lebih dekat dan diperoleh nilai Rf
yang paling rendah. Hal ini karena pada dasarnya kolesterol yang
merupakan senyawa non polar akan lebih tertarik untuk ke fase gerak yang
non polar, dibandingkan dengan fase diam yang polar, sesuai dengan
prinsip like dissolve like.
Kesalahan yang terjadi pada praktikum ini disebabkan karena
beberapa hal. Diantaranya saat mentotolkan standart tidak dalam kondisi
yang benar-benar tegak sehingga terjadilah hasil noda berbentuk lonjong
yang seharusya bulat. Hal tersebut dapat mempengaruhi nilai Rf yang
didapatkan. Selain itu pada saat pemasukkan plat KLT 1 terjadi kesalahan
dimana, plat KLT terjatuh kedalam eluen sehingga menyebabkan plat KLT
tidak bisa di amati. Pada saat pemasukkan plat KLT ke 4 terjadi kesalahan
dimana plat KLT terbalik, seharusnya plat KLT menghadap kedalam tetapi
waktu pemasukkan plat KLT menghadap ke luar.

IX. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan, maka dapat ditarik


kesimpulan bahwa semakin tinggi polaritas senyawa, fase diam dari
senyawa dengan afinitas yang lebih besar akan mempunyai nilai Rf yang
semakin kecil. Dan sebaliknya Semakin rendah polaritas senyawa, semakin
tinggi afinitas untuk pelarut dan semakin besar nilai Rf .
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rohman dan Ibnu Gholib Gandjar, 2007, Metode Kromatografi Untuk
Analisis Makanan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Almatsier, S., 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi: Lipida. Jakarta: Gramedia Pustaka
Umum, 63.
Botham, K.M., Mayes, P.A., 2009. Harpers Illustrated Biochemistry: Cholesterol
Synthesis, Transpor & Excretion. USA: McGraw Hill, 239-248
Dominiczak MH, Beastall G, Wallace AM, 2009. Biosynthesis of cholesterol and
steroids.. Dalam (Baynes JW, Dominiczak MH, eds) Medical
Biochemistry. Philadelphia: Elsevier, 200-213.
Depkes RI. (1989). Materia Medika Indonesia. Jilid III. 1989. Departemen
Kesehatan RI: Jakarta.
Depkes RI. (1979). Materia Medika Indonesia. Jilid III. 1979. Departemen
Kesehatan RI: Jakarta.
epository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20837/4/Chapter%20II.pdf
Sastroamidjojo, Seno. 2001.Obat Asli Indonesia. Dian rakyat.Jakarta
Sherwood, L., 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Ed 2: Fisiologi Jantung.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,256-293.
LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA
FRAKSINASI DENGAN KROMATOGRAFI KOLOM

Dosen :
Drs. Herra Studiawan, M.Si., Apt.
Siti Rofida, M.Farm., Apt.

Oleh :

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
APRIL 2017
I. TINJAUAN TANAMAN
1. Taksonomi Tanaman
Tanaman Jambu Biji termasuk ke dalam klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Famili : Myrtaceae
Genus : Psidium
Spesies : Psidium guajava Linn
( Parimin, 2005).
2. Morfologi dan karakteristik Jambu Biji

Tanaman jambu biji merah (Psidium guajava L.) bukan merupakan


tanaman asli Indonesia. Tanaman ini pertama kali ditemukan di Amerika
Tengah oleh Nikolai Ivanovich Vavilov saat melakukan ekspedisi ke
beberapa negara di Asia, Afrika, Eropa, Amerika Selatan, dan Uni Soviet
antara tahun 1887-1942. Seiring dengan berjalannya waktu, jambu biji
menyebar di beberapa negara seperti Thailand, Taiwan, Indonesia, Jepang,
Malaysia dan Australia. Thailand dan Taiwan, jambu biji merah menjadi
tanaman yang dikomersialkan (Parimin, 2005) .
Tanaman jambu biji (P. Guajava L.) ditemukan pada ketinggian 1m
sampai 1.200 m dari permukaan laut.Jambu biji berbunga
sepanjangtahun.Perdu atau pohon kecil, tinggi 2 m sampai 10 m,
percabanganbanyak.Batangnya berkayu, keras, kulit batang licin, berwarna
coklat kehijauan.
Jambu biji (P. Guajava L.) tersebar meluas sampai ke Asia
Tenggaratermasuk Indonesia, sampai Asia Selatan, India dan Sri Lanka.
Jumlah danjenis tanaman ini cukup banyak, diperkirakan kini ada sekitar
150 spesies didunia.Tanaman ini (P. Guajava L.) mudah dijumpai di
seluruh daerahtropis dan subtropis.Seringkali ditanam di pekarangan
rumah.Tanaman inisangat adaptif dan dapat tumbuh tanpa pemeliharaan.
Di Jawa seringditanam sebagai tanaman buah, sangat sering hidup alamiah
di tepi hutandan padang rumput.
3. Nama Daerah
Setiap daerah di Indonesia memiliki kekhasan dalam penyebutan
nama jambu biji, diantaranya, Sumatra: glima breueh (Aceh), glimeu beru
(Gayo), galiman (Batak Karo), masiambu (Nias), biawas, jambu biji,
jambu batu, jambu klutuk (Melayu). Jawa: jambu klutuk (sunda ), jambu
klutuk, petokal, petokal, jambu krikil, jambu krutuk (jawa), jhambu
bhender (Madura). Nusa Tenggara: sotong (Bali), guawa (Flores),
goihawas (Sika).Sulawesi: Gayawas (Manado), boyawat (Mongondow),
koyamas (Tansau),dambu (Gorontalo), jambu paratugala (Makassar),
jambu paratukala(Bugis), jambu (Baree), Kujabas(Roti), biabuto (Buol).
Maluku: kayawase(Seram Barat), kujawase (Seram Selatan), laine hatu,
lutuhatu (Ambon),gayawa (Ternate, Halmahera).

4. Morfologi Daun Jambu Biji


Daun jambu biji tergolong daun tidak lengkap karena hanya
terdiridari tangkai (Petiolus) dan helaian (Lamina) saja yang disebut daun
bertangkai. Dilihat dari letak bagian terlebarnya pada daunnya
bagianterlebar daun jambu biji (P. Guajava L.) berada ditengah-tengah
danmemiliki bagian jorong karena perbandingan panjang : lebarnya adalah
1,5 -2 : 1 (13 - 15 : 5,6 - 6 Cm). Daun jambu biji (P. Guajava L.)
memilikitulang daun yang menyirip yang mana daun ini memiliki 1 ibu
tulang yangberjalan dari pangkal ke ujung dan merupakan terusan tangkai
daun dari ibutulang ke samping,keluar tulang-tulang cabang, sehingga
susunannya mengingatkan kita pada susunan sirip ikan. Jambu biji
memiliki ujung daun yang tumpul, pada umumnya warna daun bagian atas
tampak lebih hijau jika dibandingkan sisi bawah daun.Tangkai daun
berbentuk selindris dan tidak menebal pada bagian tangkainya.
5. Kandungan Daun Jambu Biji
Sudah sejak lama daun jambu biji merah digunakan untuk
pengobatan secara tradisional dan sudah banyak produk herbal dari
sediaan jambu biji. Daun jambu biji merah mengandung metabolit
sekunder, terdiri dari tanin, polifenolat, flovanoid, menoterpenoid,
siskulterpen, alkaloid, kuinon dan saponin, minyak atsiri (Kurniawati,
2006).
Senyawa seperti phenolic, terpenoid, flavonoid, dan alkaloid
memilki aktivitas juvenil hormone sehingga memiliki pengaruh pada
perkembangan serangga (Elimamet dkk., 2009) .Saponin termasuk ke
dalam senyawa terpenoid. Aktivitas saponin ini di dalam tubuh serangga
adalah mengikat sterol bebas dalam saluran pencernaan makanan dimana
sterol itu sendiri adalah zat yang berfungsi sebagai prekursor hormon
ekdison, sehingga dengan menurunnya jumlah sterol bebas dalam tubuh
serangga akan mengakibatkan terganggunya proses pergantian kulit
(moulting) pada serangga. Saponin memiliki efek lain menurunkan
tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva sehinga
dinding traktus digetivus larva menjadi korosif (Aminah dkk., 2001).
Daun jambu biji memiliki kandungan flavonoid yang sangat tinggi,
terutama quercetin.Senyawa tersebut bermanfaat sebagai antibakteri,
kandungan pada daun Jambu biji lainnya seperti saponin, minyak atsiri,
tanin, anti mutagenic, flavonoid, dan alkaloid.Flavonoid adalah senyawa
yang terdiri dari dari 15 atom karbon yang umumnya tersebar di dunia
tumbuhan. Quercetin adalah zat sejenis flavonoid yang ditemukan dalam
buah-buahan, sayuran, daun dan biji- bijian. Hal ini juga dapat digunakan
sebagai bahan dalam suplemen, minuman atau makanan. Saponin adalah
jenis glikosida yang banyak ditemukan dalam tumbuhan. Saponin
memiliki karakteristik berupa buih. Sehingga ketika direaksikan dengan air
dan dikocok maka akan terbentuk buih yang dapat bertahan lama. Minyak
atsiri adalah kelompok besar minyak nabati yang berwujud cairan kental
pada suhu ruang namun mudah menguap sehingga memberikan aroma
yang khas.Minyak atsiri merupakan bahan dasar dari wangi-wangian atau
minyak gosok (untuk pengobatan) alami. Tanin merupakan substansi yang
tersebar luas dalam tanaman dan digunakan sebagai energi dalam proses
metabolisme dalam bentuk oksidasi, Tanin juga sebagai sumber asam pada
buah. Alkaloid adalah sebuah golongan senyawa basa bernitrogen yang
kebanyakan heterosiklik dan terdapat didunia tumbuhan (tetapi ini tidak
mengecualikan senyawa yang berasal dari hewan).
6. Manfaat Daun Jambu Biji
Daun jambu biji ternyata memiliki khasiat tersendiri bagi tubuh kita,
baik untuk kesehatan ataupun untuk obat penyakit tertentu.Dalam
penelitian yang telah dilakukan ternyata daun jambu biji memiliki
kandungan yang banyak bermanfaat bagi tubuh kita.Diantaranya, anti
inflamasi, anti mutagenik, anti mikroba dan analgesik. Pada umumnya
daun jambu biji (P. Guajava L.) digunakan untuk pengobatan seperti diare
akut dan kronis, perut kembung pada bayi dan anak, kadar kolesterol darah
meninggi, sering buang air kecil, luka, sariawan, larutan kumur atau sakit
gigi dan demam berdarah.
Berdasarkan hasil penelitian, telah berhasil diisolasikan suatu zat
flavonoid dari daun jambu biji yang dapat memperlambat penggandaan
(replika) Human Immunodeficiency Virus (HIV) penyebab penyakit
AIDS. Zat ini bekerja dengan cara menghambat pengeluaran enzim
reserved transriptase yang dapat mengubah RNA virus menjadi DNA di
dalam tubuh manusia.
2. FRAKSINASI

Fraksinasi merupakan proses pemisahan antara zat cair dengan zat


cair. Fraksinasi dilakukan secara bertingkat berdasarkan tingkat kepolarannya
yaitu dari non polar, semi polar, dan polar. Senyawa yang memiliki sifat non
polar akan larut dalam pelarut non polar, yang semi polar akan larut dalam
pelarut semi polar, dan yang bersifat polar akan larut kedalam pelarut polar
(Harborne 1987). Fraksinasi ini umumnya dilakukan dengan menggunakan
metode corong pisah atau kromatografi kolom. Kromatografi kolom
merupakan salah satu metode pemurnian senyawa dengan menggunakan kolom
(Trifany 2012). Corong pisah merupakan peralatan laboratorium yang
digunakan untuk memisahkan komponen-komponen dalam campuran antara
dua fase pelarut yang memiliki massa jenis berbeda yang tidak tercampur
(Haznawati 2012).
Ekstrak yang telah dilarutkan dalam aquades, nantinya akan dimasukkan ke
dalam corong pisah dan dicampur dengan pelarut berdasarkan tingkat
kepolarannya. Setelah itu corong pisah dikocok. Setelah dikocok, akan terbentuk
dua lapisan seperti pada gambar 10. Pelarut yang memiliki massa jenis lebih
tinggi akan berada di lapisan bawah, dan yang memiliki massa jenis lebih kecil
akan berada di lapisan atas. Senyawa yang terkandung dalam ekstrak nantinya
akan terpisah sesuai dengan tingkat kepolaran pelarut yang digunakan.
Senyawaakan tertarik oleh pelarut yang tingkat kepolarannya sama dengan
dengan senyawa tersebut.
2.1 Macam macam proses fraksinasi:

a. Proses Fraksinasi Kering (Winterization)


Fraksinasi kering adalah suatu proses fraksinasi yang
didasarkanpada berat molekul dan komposisi dari suatu material. Proses
ini lebih murah dibandingkan dengan proses yang lain, namun hasil
kemurnian fraksinasinya rendah.
b. Proses Fraksinasi Basah (Wet Fractination)
Fraksinasi basah adalah suatu proses fraksinasi
denganmenggunakan zat pembasah (Wetting Agent) atau disebut
jugaproses Hydrophilization atau detergent proses. Hasil fraksi dari
proses ini sama dengan proses fraksinasi kering.
c. Proses Fraksinasi dengan menggunakan Solvent (pelarut)/Solvent
Fractionation
Ini adalah suatu proses fraksinasi dengan menggunakan
pelarut.Dimana pelarut yang digunakan adalah aseton. Proses fraksinasi ini
lebih mahal dibandingkan dengan proses fraksinasi lainnyakarena
menggunakan bahan pelarut.
d. Proses Fraksinasi dengan Pengembunan (FractionalCondentation)
Proses fraksinasi ini merupakan suatu proses fraksinasi
yangdidasarkan pada titik didih dari suatu zat / bahan sehingga dihasilkan
suatu produk dengan kemurnian yang tinggi. Fraksinasi pengembunan ini
membutuhkan biaya yang cukup tinggi namun proses produksi lebih cepat
dan kemurniannya lebih tinggi.
3. Metode Isolasi
Isolasi adalah proses pemisahan komponen kimia yang terdapat dalam
suatu ekstrak. Hal ini dilakukan ketika ingin mengambil bahan aktif dari
ekstrak kasar (crude extract) (Skalika-Wozniak et al, 2008).
Kromatografi adalah proses melewatkan sampel melalui suatu
kolom, perbedaan kemampuan adsorpsi terhadap zat-zat yang sangat mirip
mempengaruhi resolusi zat terlarut dan menghasilkan apa yang disebut
kromatogram (Khopkar, 2008)
Untuk kromatografi kolom, Kolom yang diisi dengan bahan penjerap
/sorpsi yang disebut kolom pemisah. Penggunaan kolom tergantung dari
masalah pemisahan yaitu kolom berfilter dengan gelas bepori, yang pada
ujung bawah menyempit (tabung allihan) yang pada bagian bawah
menyempit dan dilengkapi dengan kran sedangkan tabung bola jarang
digunakan. Perbandingan panjang tabung terhadap diameter pada umumnya
ialah 40:1. Pengisian kolom dengan adsorben yang juga disebut pengemasan
kolom. Agar pemisahan rata, tabung diisi sambil diketuk-ketuk menggunakan
tangan atau benda lunak lainnya pada dinding kolom (Stahl,1991).
1. Kromatografi Kolom Konvensional
Kromatografi kolom adalah suatu metode pemisahan yang di
dasarkan pada pemisahan daya adsorbsi suatu adsorben terhadap suatu
senyawa, baik pengotornya maupun hasil isolasinya. Sebelumnya
dilakukan percobaan tarhadap kromatografi lapis tipis sebagai pencari
kondisi eluen. Misalnya apsolsi yang cocok dengan pelarut yang baik
sehingga antara pengotor dan hasil isolasinya terpisah secara sempurna
(Kasiman, 2006).
Pada kromatografi kolom, campuran yang akan dipisahkan
diletakkan berupa pita pada bagian atas kolom, penjerap yang berada
dalam tabung kaca, tabung logam atau bahkan tabung plastik. Pelarut
(fase gerak0, dibiarkan mengalir melalui kolom karena aliran yang
disebabkan oleh gaya berat atau di dorong dengan tekanan. Pita senyawa
linarut bergerak melalui kolom dengan laju yang berbeda, memisah dan
dikumpulkan berupa fraksi ketika keluar dari atas kolom (Sudjadi, 1986).
Kromatografi kolom dikemas kering dalam keadaan vakum agar
diperoleh kerapatan kemasan maksimum. Vakum dihentikan, pelarut
yang kepolarannya rendah dituangkan ke permukaan penjerap lalu
divakumkan lagi dan siap di pakai. Cuplikan dilarutkan dalam pelarut
yang cocok, dimasukkan langsung pada bagian atas kolom atau pada
lapisan prapenjerap dan dihisap perlahan-lahan kedalam kemasan dengan
memvakumkannya. Kolom dielusi dengan campuran pelarut yang cocok,
kolom dihisap sampai kering pada setiap pengumpulam fraksi (Sudjadi,
1986).
Kromatografi kolom merupakan metode kromatografi klasik yang
masih banyak digunakan. Kromatografi kolom digunakan untuk
memisahkan senyawa-senyawa dalam jumlah yang banyak berdasarkan
adsorpsi dan partisi. Kemasan adsorben yang sering digunakan adalah
silika gel G-60, kieselgur, Al2O3, dan Diaion (Hargono, 1986).

Metode Pemisahan Kromatografi Kolom


Pengamatan kolom dapat dilakukan dengan cara basah atau cara
kering. Cara basah lebih mudah untuk memperoleh packing yang
memberikan pemisahan yang baik. Sedangkan cara kering umunya
dilakukan untuk alumina. Metode tersebut antara lain:
Metode Basah
Disiapkan dengan mencampurkan eluen pada serbuk fase diam
dan dimasukkan secara hati-hati pada kolom. Dalam langkah ini harus
benar-benar hati-hati supaya tidak ada gelembung udara. Larutan
senyawa organic dipipet bagian atas fase diam kemudian eluen
dituangkan pelan-pelan melewati kolom. Kedalam ujung kolom
kromatografi (tempat keluarnya fase diam) diatas kran diletakkan gelas
Wool diatasnya ditaburkan posir sehingga membentuk lapisan tebal lebih
dari 1 cm. selanjutnya dimasukkan petroleum eter sambil mencoba
kecepatan menetes fase gerak dengan memutar kanan. Di dalam beaker
glass dibuat fase diam dengan petroleum eter. Dengan bantuan batang
pengaduk bubur dimasukkan ke dalam kolom berisi petroleum eter
sambil diketuk-ketuk kemudian butir-butir fase diam akan turun dan
tersusun rapi didalam kolom. Bila kolom yang dengan petroleum eter
kran dibuka untuk menurunkan permukaannya dan petroleum eter yang
keluar dapat digunakan lagi untuk membuat bubur fase diam.
Metode Kering
Cara kering Selapis pasir diletakkan didasar kolom, kemudian fase
gerak dimasukkan lapis demi lapis sampil ditekan dengan karet atau alat
penekan lain. Selain ditekan dapat juga dibantu dengan dihisap, sehingga
dihasilkan packing fase diam yang mampat. Diatas fase diam diletakkan
kertas saring dan diatasnya lagi sdapis pasir. Pada posisi keran terbuka
fase gerak dituangkan dan dibiarkan mengalir keluar. Packing kolom
disimpan dengan mempertahankan selapis fase gerak berada diatas lapisan
pasir.
Komponen-komponen tunggal tertahan oleh fasa diam secara
berbeda satu sama lain pada saat mereka bergerak bersama eluen dengan laju
yang berbeda melalui kolom. Di akhir kolom, mereka terelusi satu per satu.
Selama keseluruhan proses kromatografi, eluen dikumpulkan sesuai fraksi-
fraksinya. Fraksi-fraksi dapat dikumpulkan secara otomatis oleh pengumpul
fraksi. Produktivitas kromatografi dapat ditingkatkan dengan menjalankan
beberapa kolom sekaligus. Di sini, diperlukan pengumpul multi aliran.
Komposisi aliran eluen dapat dimonitor dan masing-masing fraksi dianalisa
senyawa terlarutnya, misalnya dengan kromatografi, absorpsi sinar UV atau
fluoresensi. Senyawa berwarna (atau senyawa berfluoresensi di bawah lampu
UV) dapat terlihat di dalam kolom sebagai pita-pita bergerak.
Kolom dapat dibuat dari berbagai jenis material, seperti stainless steel,
aluminium, tembaga, gelas dan paduan silika. Sebagian besar sistem kolom
modern terbuat dari gelas atau paduan silika. Kolom konvensional dibuat dari
material pendukung yang dilapisi fase diam dari berbagai pembebanan yang
dikemas di dalam kolom. Kolom kapiler terdiri dari tabung kapiler panjang
yang didalamnya dilapisi dengan fase diam (fase diam dapat juga direkatkan
langsung pada permukaan silika). Sebagian besar kolom kapiler terbuat dari
paduan silika yang dilapisi polimer di bagian luarnya. Paduan silika sangat
mudah pecah sedangkan lapisan polimer tersebut bertindak sebagai
pelindungnya (Seno, 1997).
Prinsip kerja kromatografi kolom adalah dengan adanya perbedaan
daya serap dari masing-masing komponen, campuran yang akan diuji,
dilarutkan dalam sedikit pelarut lalu di masukan lewat puncak kolom dan
dibiarkan mengalir kedalam zat menyerap. Senyawa yang lebih polar akan
terserap lebih kuat sehingga turun lebih lambat dari senyawa non
polar terserap lebih lemah dan turun lebih cepat. Zat yang di serap dari
larutan secara sempurna oleh bahan penyerap berupa pita sempit pada kolom.
Pelarut lebih lanjut / dengan tanpa tekanan udara masin-masing zat akan
bergerak turun dengan kecepatan khusus sehingga terjadi pemisahan dalam
kolom (Seno, 1997).
Prinsip kerja kromatografi kolom adalah sebagai berikut:
1. Didasarkan pada absorpsi komponen-komponen campuran dengan
afinitas yang berbeda terhadap permukaan fase diam.
2. Absorban bertindak sebagai fase diam dan fase geraknya adalah
cairan yang mengalir membawa komponen campuran sepanjang
kolom.
3. Sampel yang mempunyai afinitas besar terhadap absorban akan
secara selektif tertahan dan afinitasnya paling kecil akan mengikuti
aliran partikel

Pada prinsipnya kromatografi kolom adalah suatu teknik pemisahan


yang didasarkan pada peristiwa adsorpsi. Sampel yang biasanya berupa
larutan pekat diletakkan pada ujung atas kolom. Komponen tunggal yang ada
pada sampel dijerap oleh fase diam yang telah dibentuk atau biasa digunakan
silica gel yang terdapat pada kolom, namun apabila dialirkan pelarut secara
kontinyu maka akan terjadi migrasi senyawa dan senyawa tersebut terbawa
oleh pelarut sesuai dengan polaritasnya. Kecepatan eluasi sebaiknya dibuat
konstan. Jika kecepatan eluasi terlalu kecil maka senyawa-senyawa akan
terdifusi ke dalam eluen dan akan menyebabkan pita makin melebar yang
akibatnya pemisahan tidak dapat berlangsung dengan baik. Dan apabila
kecepatan eluasi terlalu besar maka pemisahan kurang baik dan tidak
berdasarkan tingkat polaritasnya sehingga akan diperoleh fraksi yang sama
dan menyebabkan fase diam cepat menjadi kering dan dikhawatirkan terjadi
cracking. Permukaan adsorben harus benar-benar horizontal, hal ini dilakukan
untuk menghindari terjadinya cacat yang dapat terjadi selama proses eluasi
berjalan.

2. Kromatografi Cair Vakum


Kromatografi Suction Column and Vacuum liquid
chromatography (VLC) atau kromatografi cair vakum (KCV) adalah suatu
bentuk kromatografi kolom yang khususnya berguna untuk fraksinasi kasar
yang cepat terhadap suatu ekstrak. Dimana kondisi vakum adalah alternatif
untuk mempercepat aliran fase gerak dari atas ke bawah. Dan metode ini juga
sering digunakan untuk fraksinasi awal dari suatu ekstrak yang non-polar
atau ekstrak semipolar (Raymond, 2006).
Suction coloumn merupakan alat kromatografi yang merupakan
modifikasi kromatografi kolom serapan. Prinsip pemisahannya sama dengan
kromatografi kolom serapan. Bedanya terletak pada adanya isapan pompa
vakum di bagian bawah kolom ini. Alat ini dirancang mengingat pada
kromatografi kolom serapan yang pengerjaannya memakan waktu yang
cukup lama. Prinsip pemisahan komponen kimia berdasarkan adsorpsi dan
partisi serta dipercepat dengan isapan pompa vakum. Seperti halnya
kromatografi kolom serapan, senyawa yang akan dipisahkan dilarutkan
dengan pelarut yang cocok kemudian dimasukkan dalam kolom isap,
selanjutnya ditambahkan eluen, eluen yang mengalir turun yang disebabkan
oleh isapan pompa vakum. Hasil pemisahan ditampung dalam setiap fraksi.
Volume penampungan 25 ml/fraksi dan untuk berat sampel q 10 - 30 gram
volume penampungan 50 ml/fraksi. Adsorben yang digunakan sedikit lebih
berbeda yaitu 35 gram silica gel 7733 dan 10 gram silika gel 7731 (Gritter,
1991).
Manfaat dari kromatografi ini yaitu menentukan ciri senyawa aktif
penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat, yang ditunjukkan oleh
ekstrak tumbuhan kasar bila diuji dengan sistem biologi. Dalam hal ini kita
harus memantau cara ekstraksi dan pemisahan pada setiap tahap, yaitu untuk
melacak senyawa aktif tersebut sewaktu dimurnihkan. Kadang-kadang
keaktifan hilang selama proses fraksinasi akibat ketidakmantapan senyawa
itu, dan akhirnya mungkin saja diperoleh senyawa berupa kristal tetapi
keaktifan seperti yang ditunjukkan oleh ekstrak asal(Harborne, 1987).
Fasa diam yang digunakan dikemas dalam kolom yang digunakan
dalam KCV. Proses penyiapan fasa diam dalam kolom terbagi menjadi dua
macam, yaitu(Sarker, 2006):
a) Cara Basah
Preparasi fasa diam dengan cara basah dilakukan dengan melarutkan fasa
diam dalam fase gerak yang akan digunakan. Campuran kemudian
dimasukkan ke dalam kolom dan dibuat merata. Fase gerak dibiarkan
mengalir hingga terbentuk lapisan fase diam yang tetap dan rata, kemudian
aliran dihentikan.
b) Cara kering
Preparasi fasa diam dengan cara kering dilakukan dengan cara
memasukkan fase diam yang digunakan ke dalam kolom kromatografi.
Fase diam tersebut selanjutnya dibasahi dengan pelarut yang akan
digunakan.
Preparasi sampel cara basah dilakukan dengan melarutkan sampel
dalam pelarut yang akan digunakan sebagai fasa gerak dalam KCV. Larutan
dimasukkan dalam kolom kromatografi yang telah terisi fasa diam. Bagian
atas dari sampel ditutupi kembali dengan fasa diam yang sama. Sedangkan
cara kering dilakukan dengan mencampurkan sampel dengan sebagian kecil
fase diam yang akan digunakan hingga terbentuk serbuk. Campuran tersebut
diletakkan dalam kolom yang telah terisi dengan fasa diam dan ditutup
kembali dengan fase diam yang sama (Sarker, 2006).
Kromatografi Vakum Cair mempunyai keuntungan yang utama
dibandingkan dengan kolom konvensional yaitu (Kasiman, 2006):
1. Konsumsi fase gerak KCV hanya 80% atau lebih kecil disbanding
dengan kolom konvensional karena pada kolom mikrobor kecepatan alir
fase gerak lebih lambat (10-100l/menit).
2. Adanya aliran fase gerak lebih lambat membuat kolom mikrobor lebih
ideal jika digabung dengan spectrometer massa.
3. Sensitivitas kolom mikrobor ditingkatkan karena solute lebih pekat
karenanya jenis kolom ini sangat bermanfaat jika jumlah sampel terbatas
misal sampel klinis.
3. Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
Kromatografi dalam bidang kimia merupakan sebuah tehnik analisis
yang digunakan untuk memisahkan sebuah campuran ataupun
persenyawaan kimia. Tehnik ini ditemukan pada tahum 1906 oleh Mikhail
Tswett seorang ahli botani dari Italia yang lahir di Rusia. Tehnik pemisahan
ini dilakukan terhadap pigmen tumbuhan (klorofil), dengan cara
menuangkan ekstrak petroleum eter dari daun tumbuhan diatas sebuah
kolom kaca yang berisi serbuk kalsium karbonat dalam arah yang tegak
lurus (Najib, 2013).
Dalam perkembangan selanjutnya metode ini tidak hanya digunakan
untuk mengidentifikasi noda, akan tetapi juga untuk mengisolasi ekstrak.
Metode ini kemudian dikenal sebagai KLT preparatif. Metode ini paling
sederhana dan murah untuk mengisolasi komponen kimia dari suatu bahan
alam, dengan menggunakan lempeng yang besar terbuat dari kaca dengan
ukuran 20 x 20 cm (Najib, 2013).
Metode kerjanya meliputi penotolen ekstrak bahan alam dalam
bentuk pita pada lempeng. Hal ini memungkinkang sampel dalam jumlah
besar dapat muat pada lempeng KLT, lempeng dikembangkan dalam pelarut
yang telah diketahui mampu memisahkan komponen, yang paling penting
adalah harus digunakan metode deteksi yang tidak merusak sampel (Najib,
2013).
Pada KLT preparatif, cuplikan yang akan dipisahkan ditotolkan
berupa garis pada salah satu sisi plat lapisan besar dan dikembangkan secara
tegak lurus pada garis cuplikan sehingga campuran akan terpisah menjadi
beberapa pita. Pita ditampakkan dengan cara yang tidak merusak jika
senyawa itu tahan warna, dan penjerap yang mengandung pita dikerok dari
plat kaca. Kemudian cuplikan dielusi dari penjerap dengan pelarut polar.
Cara ini berguna untuk memisahkan campuran reaksi sehingga diperoleh
senyawa murni untuk telaah pendahuluan, untuk menyiapkan cuplikan
analisis, untuk meneliti bahan alam yang lazimnya berjumlah kecil dan
campurannya rumit, dan untuk memperoleh cuplikan yang murni untuk
mengkalibrasi KLT kuantitatif (Gritter, 1991).
Jika sebuah fraksi dipekatkan dan didinginkan serta pelarutnya
dibiarkan menguap lambat, Kristal dapat membentuk senyawa yang murni
Kristalisasi dapat dilakukan dengan sedikit penggosokan pada bagian dalam
dinding kaca selanjutnya membiarkannya di tempat dingin,bahkan dalam
lemari pendingin.Beberapa deposit mungkin merupakan kristalin dan harus
di cek dengan bantuan lensa tangan untuk meyakinkan bahwa deposit
tersebut bukan bahan yang amorf yang berasal dari larutan saat pendinginan
terjadi (Harborne,1987).
Manfaat dari kromatografi ini yaitu menentukan ciri senyawa aktif
penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat, yang ditunjukkan oleh
ekstrak tumbuhan kasar bila diuji dengan sistem biologi. Dalam hal ini kita
harus memantau cara ekstraksi dan pemisahan pada setiap tahap, yaitu untuk
melacak senyawa aktif tersebut sewaktu dimurnihkan. Kadang-kadang
keaktifan hilang selama proses fraksinasi akibat ketidakmantapan senyawa
itu, dan akhirnya mungkin saja diperoleh senyawa berupa kristal tetapi
keaktifan seperti yang ditunjukkan oleh ekstrak asal (Harborne, 1987).

TINJAUAN ELUEN
Fase gerak merupakan medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa
pelarut. Fase gerak bergerak dalam fase diam karena adanya gaya kapiler. Pelarut
yang digunakan sebagai fase gerak hanyalah pelarut bertingkat mutu analitik dan
bila diperlukan sistem pelarut multikomponen ini harus berupa suatu campuran
yang sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum 3 komponen. Angka
banding campuran dinyatakan dalam bagian volume total 100 (Nyiredy 2002).
Pelarut pengembang dikelompokkan ke beberapa golongan oleh Snyders
berdasarkan kekuatan pelarutnya. Menurut Stahl (1985) eluen atau fase gerak
yang digunakan dalam KLT dikelompokkan ke dalam 2 kelompok, yaitu untuk
pemisahan senyawa hidrofil dan lipofil. Eluen untuk pemisahan senyawa hidrofil
meliputi air, metanol, asam asetat, etanol, isopropanol, aseton, n-propanol, tert-
butanol, fenol, dan n-butano l sedangkan untuk pemisahan senyawa lipofil
meliputi etil asetat, eter, kloroform, benzena, toluena, sikloheksana, dan
petroleum eter.
3) N-Heksana

Heksana, suatu hidrokarbon dengan rumus kimia C6H14, yaitu


suatu alkana dengan enam atom karbon. Istilah ini mungkin mengacu
pada empat isomer struktur lain dengan rumus itu, atau terhadap
campuran mereka. Namun, dalam tatanama IUPAC, heksana merupakan
isomer tidak bercabang (n-heksana); empat struktur lain dinamakan
sebagai turunan termetilasi dari pentana dan butana. IUPAC juga
menggunakan istilah seperti akar dari banyak senyawa dengan enam-
kerangka karbon linier, seperti 2-metilheksana (C7H16), yang juga
disebut isoheptana.
Heksana merupakan konstituen bensin. Mereka semua cairan tak
berwarna pada suhu kamar, dengan titik didih antara 50 dan 70 C,
dengan bau sepeti bensin. Heksana luas digunakan sebagai pelarut non-
polar yang murah, relative aman, secara umum tidak reaktif, dan mudah
diuapkan. Nama IUPAC-nya Heksana; nama lainnya n-heksana.
Sifat Fisis
Rumus molekul : C6H14
Berat molekul : 86,18 gr mol1
Penampilan : Cairan tidak berwarna
Densitas : 0,6548 gr/mL
Titik lebur : 95 C, 178 K, -139 F
Titik didih : 69 C, 342 K, 156 F
Kelarutan dalam air : 13 mg/L pada 20C
Viskositas : 0,294 cP
Klasifikasi Uni Eropa : Dapat menyala (F), Berbahaya (Xn),
Reproduksi
Cat. 3, Berbahaya untuk lingkungan (N)
Titik nyala : 23,3 C
Suhu menyala sendiri : 233,9 C
2. Etil asetat
Etil asetat adalah senyawa organik dengan rumus
CH3CH2OC(O)CH3. Senyawa ini merupakan ester dari etanol dan asam
asetat. Senyawa ini berwujud cairan tak berwarna, memiliki aroma khas.
Senyawa ini sering disingkat EtOAc, dengan Et mewakili gugus etil dan
OAc mewakili asetat. Etil asetat diproduksi dalam skala besar sebagai
pelarut. Etil asetat adalah pelarut polar menengah yang volatil (mudah
menguap), tidak beracun, dan tidak higroskopis. Etil asetat merupakan
penerima ikatan hidrogen yang lemah, dan bukan suatu donor ikatan
hidrogen karena tidak adanya proton yang bersifat asam (yaitu hidrogen
yang terikat pada atomelektronegatif seperti flor, oksigen, dan nitrogen.
Etil asetat dapat melarutkan air hingga 3%, dan larut dalam air
hingga kelarutan 8% pada suhu kamar. Kelarutannya meningkat pada suhu
yang lebih tinggi. Namun, senyawa ini tidak stabil dalam air yang
mengandung basa atau asam. Berikut ini adalah karakteristik atau sifat
fisika dan sifat kimia dari etil asetat :
e. Sifat fisis
Berat molekul : 88,1 kg/kmol
Boiling point : 77,1C
Flash point : -4C
Melting point : - 83,6C
Suhu kritis : 250,1C
Tekanan kritis : 37,8 atm
Kekentalan (25oC) : 0,4303 cP
Specific grafity ( 20C) : 0,883
Kelarutan dalam air : 7,7% berat pada 20 oC
Entalphy pembentukan (25C) gas : -442,92 kJ/mol
Energi Gibbs pembentukan (25C) cair : -327,40 kJ/mol
f. Sifat Kimia
Etil asetat adalah senyawa yang mudah terbakar dan mempunyai
resiko peledakan (eksplosif).
g) Membentuk acetamide jika diammonolisis
Reaksi:
CH3COOC2H5 + NH3 CH3CONH2 + C2H5OH .(15)
h) Akan membentuk etil benzoil asetat bila bereaksi dengan etil
benzoate
Reaksi:
C6H6COOC2H5 + CH3COOC2H5 C6H6COCH2COOC2H5+
C2H5OH..(16)
(Kirk and Othmer, 1982).
4. Indeks Polaritas
Ada berbagai kondisi KLT yang bertujuan untuk menaikkan
kemampuan teknik kromatografi, salah satunya adalah sistem fasa normal
(normal phase sistems). Sistem fasa normal yaitu penggunaan fasa diam polar
yang dikombinasikan dengan berbagai fasa gerakm non air (non aqueous
mobile phases) . Tipikal fasa diam yang sering dikatakan bersifat polar antara
lain silica gel, alumina dan berbagai material fasa terikat polar lainnya seperti
siano-silika, amino-silika dan diol silika dimana proses adsorpsi memainkan
peranan penting dalamn pemisahan.
Karakter yang diinginkan dalam pemilihan fasa gerak yang kompetitif
untuk KLT antara lain adalah parameter kelarutan (solubility parameter)I,
indeks polaritas (polarity index) dan kekuatannya sebagai solvent (solvent
strength) . Parameter kelarutan menunjukkan kemampuannya untuk
berkombinasi dengan beragam pelarut lain. Indeks polaritas menunjukkan
besaran empiris yang digunakan untuk mengukut ketertarikan antar molekul
dalam solute dengan molekul solvent pada parameter kelarutan solvent yang
bersangkutan dalam keadaan murninya. Sementara kekuatan pelarut
dinyatakan sebagai bilangan yang berkisar antara -0,25 sampai +1,3 yang
ditentukan melalui energi adsorpsi oleh molekul solvent pada solvent yang
bersangkutan.
Indeks Polaritas Pelarut
BAGAN ALIR
Setelah melakukan optimasi eluen dengan cara uji KLT terhadap ekstrak dengan
mengganti-ganti eluen sampai diperoleh pemisahan yang baik.
Eluen tersebut akan digunakan untuk fraksinasi.

siapkan 50 gram silica gel.

siapkan eluen dari butir (1) sebanyak 300ml.

silica gel dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer, kemudian ditambahkan sedikit
eluen, kocok selama 15 menit

campurkan butir (4) tersebut tuang ke dalam kolom sampai setinggi 10 cm dari
atas.

Tuang eluen ke dalam kolom sampai penuh, tutup dengan aluminium foil, biarkan
semalam

timbang ekstrak sebanyak 1 % dari jumlah silica gel yang digunakan. Kemudian
ekstrak di tambahkan sedikit pelarut ( etanol/ methanol) ad larut dicampur dengan
silica gel sama banyak, diaduk-aduk menggunakan gelas pengaduk sampai
homogen dan kering

eluen dialirkan sampai permukaannya 0,5cm diatas permukaan silica gel.

Ekstrak yang sudah dikeringkan engan silica gel, dimasukkan kedalam kolom
(diatas permukaan silica gel), lalu ditambah eluen kira-kira setinggi 3 cm. eluen
dialirkan/ diteteskan sambil dituangi eluen baru sampai kolom terisi penuh dengan
eluen, sementara penetesan tetap dilkukan kecepatan penetesan di atur

Penampung eluen siap setiap vial sebanyak 5 ml

Dilakukan uji KLT untuk setian kelipatan 10 ( vial No. 1,10,20,30,40, dst). Pada
uji KLT, fase gerak yang digunakan adalah sama dengan fase erak pada
kromatografi kolom

Bila uji KLT memberikan noda yang sama, maka fraksinasi diataranya dapat
digabung

Bila uji KLT memberikan nod ayng berbeda, maka uji KLT dilakukan pada vial
diantaranya (bila vial no 10 dan 20 berbeda, maka vial no 15 dilakukan uji KLT.

Penetesan dihentikan bila vial terakhir sudah tidak memberikan noda pada analisis
dengan KLT

Hasil penggabungan berdasarkan kemiripan profil kromatografi, dianalisis dengan
teknik kromatografi lapis tipis dan dihitung rf masing-masing spot noda

Dokumentasi kan pada UV 254, UV 365 dan visual

Plat KLT (no.15) di derivatisasi dengan pereaksi dragendorf, uap ammonia,
anisaldehid asam sulfat, FeCl3 dan KOH 10%
Skema Kerja

Siapkan
eluen 300ml
eluen

Siapkan 50
Masukkan silika gel ke
gram silica gel
dalam erlenmeyer, tambah
sedikit eluen, kocok 15 menit

Tuang campuran
diatas kedalam kolom
eluen
hingga setinggi 10cm
dari atas

Tuang eluen ke dalam kolom


hingga penuh, dan tutup dengan
alumunium foil, biarkan semalam

Timbang
ekstrak 1% Ditambah sedikit
dari silika etanol/metanol
gel ad larut
Dan tambah silica gel
sama banyak, diaduk ad
homogen dan kering

Eluen dialirkan sampai


permukaannya 0,5 cm diatas
permukaan silica gel
Ekstrak yg sudah kering, dimasukkan
di dalam kolom, lalu ditambah eluen
3 cm. Eluen diteteskan sambil
dituangi eluen baru sampai kolom
terisi penuh dengan eluen
Penampungan eluen setiap
vial sebanyak 5 ml dilakukan uji klt untuk tiap
kelipatan 10 vial (vial
no.1,10,20,30,40,dst)

Penetesan dihentikan bila vial Bila uji KLT memberikan noda


terakhir sudah tidak memberikan sama, fraksinya dapat digabung.
noda pada analisis dengan KLT Bila noda berbeda, maka duji
lagi pada vial diantaranya atau
tengah-tengahnya.

Hasil penggabungan berdasar


kemiripan kromatogram,
dihitung nilai Rfnya dan
dokumentasikan pada UV 254,
UV 365 dan visual

Plat KLT (no.15) di derivatisasi


dengan pereaksi dragendorf, uap
ammonia, anisaldehid asam
sulfat, FeCl3 dan KOH 10%
HASIL

1. Perhitungan Konstanta Dielektrik pelarut N-heksan dan etil asetat (4 : 1)


=
(% )+ (% )
100
(80% 2)+ (20% 6)
= 100
= 2,8
2. Perhitungan Rf
a. Rf Ekstrak : 1. 0,0375
2. 0,175
3. 0,3215
4. 0,825

b. Rf Fraksi 1 : 1.0,325
2. 0,4875
3. 0,6125
4. 0,6375
5. 0,8875

c. Rf Fraksi 2 : 1. 0,25
2. 0,3375
3. 0,375
4. 0,3875
5. 0,425
6. 0,4625
7. 0,6125
8. 0,825
9. 0,9

d. Rf fraksi 3 : 1. 0,25
2.0,3375
3. 0,3625
4. 0, 4625
5. 0,5375
6. 0, 5875
7. 0,65
8. 0,6875
9. 0,8375
10. 0,9

e. Rf fraksi 4 : 1. 0,25
2.0,3625
3. 0,4125
4. 0,475
5. 0,525
6. 0, 6375
7. 0,675
8. 0,7
9. 0,8625
10. 0,9125

d. Rf fraksi 5 : 1. 0,1375
2.0,25
3. 0,3375
4. 0,375
5. 0,4125
6. 0,65
7. 0,8625

d. Rf fraksi 6 : 1. 0,075
2.0,1125
3. 0,1625
4. 0,25
5. 0,3
6. 0,4375
7. 0,65
8. 0,8625

d. Rf fraksi 7 : 1. 0,0625
2.0,1125
3. 0,2375
4. 0,2875
5. 0,3375
6. 0,4625
7. 0,65
8. 0,8625
HASIL PENGAMATAN

Penotolan pada plat KLT Penotolan pada plat KLT Setelah eluasi pada plat
oleh vial nomer oleh vial nomer KLT oleh vial nomer
1,10,20,30,40,50,60,70 yang 1,10,20,30,40,50,60,70ya 1,10,20,30,40,50,60,70
diamati pada sinar UV 254 ng diamati pada sinar UV ,80 yg diamati pada
nm 365 nm sinar UV 254 nm

Setelah eluasi pada plat KLT Penotolan pada plat KLT oleh Penotolan pada plat
oleh vial nomer vial nomer 5,15,25,35,45,65 KLT oleh vial nomer
1,10,20,30,40,50,60,70,80 yang diamati pada sinar UV 254 5,15,25,35,45,65 yang
yang diamati pada sinar UV nm diamati pada sinar UV
365 nm 365

Setelah eluasi pada plat Setelah eluasi pada plat KLT Penotolan pada plat KLT oleh
KLT oleh vial nomer oleh vial nomer vial nomer 3,13, 23, 33, 43, 67
5,15,25,35,45,65 yang 5,15,25,35,45,65 yang diamati yang diamati pada sinar UV 254
diamati pada sinar UV 254 pada sinar UV 365 nm nm
nm
Penotolan pada plat KLT Setelah eluasi pada plat KLT Setelah eluasi pada plat KLT
oleh vial nomer 3,13, 23, 33, oleh vial nomer 3,13, 23, 33, 43, oleh vial nomer3,13, 23, 33, 43,
43, 67 yang diamati pada 67 yang diamati pada sinar UV 67 yang diamati pada sinar UV
sinar UV 365 nm 254 nm 365 nm

Penotolan pada plat KLT Penotolan pada plat KLT oleh Setelah eluasi pada plat KLT
oleh vial nomer vial nomer oleh vial nomer
2,11,12,21,22,31,32,41,42 2,11,12,21,22,31,32,41,42,66 2,11,12,21,22,31,32,41,42,66
,66 yang diamati pada yang diamati pada sinar UV yang diamati pada sinar UV 365
sinar UV 254 365 nm nm

Setelah eluasi pada plat


Penotolan 7 fraksi pada plat
KLT oleh vial nomer Penotolan 7 fraksi pada plat
KLT yang diamati secara
2,11,12,21,22,31,32,41, KLT yang diamati pada sinar
visual
42,66 yang diamati UV 254 nm
pada sinar UV 254

Penotolan 7 fraksi pada Setelah eluasi 7 fraksi pada Setelah eluasi 7 fraksi pada
plat KLT yang diamati plat KLT yang diamati plat KLT yang diamati
pada sinar UV 365 nm pada sinar UV 254 nm pada sinar UV 365 nm
VII. PEMBAHASAN

Pada praktikum ini dilakukan identifikasi sampel ekstrak Psidium


guajava metode fraksinasi dengan kromatografi kolom konvensional.
Dimana metode ini dapat memisahkan suatu komponen kimia dari suatu
sampel dalam jumlah banyak. Prinsip kerja dari kromatografi kolom jenis
ini adalah kecendrungan komponen kimia untuk terdistribusi ke dalam
fase diam atau fase gerak dengan proses eluasi berdasarkan gaya gravitasi.
Fraksinasi merupakan suatu prosedur yang digunakan untuk memisahkan
golongan utama kandungan yang satu dari kandungan golongan utama yang
lainnya. Fraksinasi dilakukan secara bertingkat berdasarkan tingkat
kepolarannya yaitu dari non polar, semi polar, dan polar. Fraksinasi
umumnya dilakukan dengan menggunakan metode corong pisah Fraksinasi
merupakan prosedur pemisahan komponen-komponen berdasarkan
perbedaan kepolaran tergantung dari jenis senyawa yang terkandung dalam
tumbuhan.
Kromatografi kolom adalah salah satu metode yang digunakan untuk
pemurnian campuran dengan memakai kolom. Sebelum melakukan
percobaan kromatografi perlu dipastikan kondisi dari eluennya, seperti
pemilihan pelarut yang cocok. Pada pemisahan menggunakan kromatografi
kolom ini, campuran yang akan dipisahkan diletakkan dibagian atas kolom
yang terlebih dahulu telah dibuat pelarut fase gerak dibiarkan mengalir
melewati kolom, karena aliran yang disebabkan oleh gaya berat(gravitasi)
atau didorong dengan tekanan. Pita senyawa larut bergerak melalui kolom
dengan laju berbeda, memisah dan dikumpulkan berupa fraksi-fraksi ketika
keluardari kolom.
Pada pengerjaan pertama, alat dan bahan yang akan digunakan
disiapkan agar dapat meminimalisir dan memperlancar proses pengerjaan.
Selanjutnya penyiapan pelarut dari tingkat kepolaran terendah hingga
yang paling polar yaitu dari non polar hingga yang paling polar. Hal ini
dilakukan agar dapat mengetahui pada tingkat kepolaran berapa senyawa
atau komponen kimia sampel dapat membentuk fraksi yang baik atau
tereluasi dengan baik. Selanjutnya kolom dipasang pada statif yang
sebelumnya telah dibersihkan menggunakan pelarut n-heksan, agar
meminimalkan kontaminasi kolom dari pelarut dan bahan-bahan lain
yang mengganggu aktivitas dari pemisahan komponen kimia sampel.
Pada praktikum ini, digunakan metode kromatografi kolom basah,
dimana silica gel tersebut dilarutkan dahulu ke dalam pelarutnya. Silica gel
dimasukkan secara perlahan dan dipastikan tidak ada gelembung agar tidak
terjadi cracking, pelarut juga harus ditambah untuk mencegah terjadinya
kerusakan atau pecahnya kolom karena adanya rongga udara. Silika gel
dimasukkan ke dalam kolom sampai pada batas kolom yaitu 2 cm dari atas
kolom , kemudian ditutup alumunium foil. Setelah itu kolom disirkulasi
dengan cairan eluen selama 15 menit. Setelah dilakukan penyiapan fase
diam, dilakuan preparasi sampel. Sampel ditimbang seberat 1% dari berat
silika gel. Ekstrak Psidium guajava di tambahkan dengan etanol sampai
tepat larut, setelah itu dikeringkan dengan silika gel sama banyak.
Setelah itu, dimasukkan ekstrak kering tersebut sedikit demi sedikit ke
dalam kolom dengan merata. Mulut dan dinding kolom harus dipastikan
kering terlebih dahulu sebelum ekstrak. Selanjutnya kolom ditambahkan
dengan eluen hingga ekstrak terendam agar dapat berinteraksi antara sampel
dan pereaksi sehingga senyawa dapat tertarik oleh tingkat kepolaran dari
pelarut yang berbeda-beda. Kemudian kran dibuka agar ekstrak dapat
mengalir ke bawah hingga batas tertentu (sekitar 3 cm). Setelah mencapai 3
cm, eluen ditambah perlahan-lahan lewat dinding tabung untuk mencegah
keringnya kolom didalm tabung.
Jika kolom masih berwarna putih maka penambahan eluen serta
pengeluaran eluen tetap dilakukan sampai seluruh kolom sudah tidak
berwarna putih seperti awal. Setelah kolom kromatografi berwarna agak
kuning secara merata (tidak seperti awal) kecepatan penetesan mulai diatur
2 detik 1 tetesan dan mulai ditampung pada vial yang telah dikalibrasi
sebanyak 5 ml. Dibuka krannya dan ditampung fraksi didalam vial 1 hingga
seterusnya agar dapatdiamati dengan jelas dan tepat pada vial
keberapa komponen sampel terelusi. Kemudian dilanjutkan lainnya
hingga mencapai vial ke 70 dan diamati untuk mengetahui dan
membandingkan pada tingkat kepolaran berapa komponen kimia atau
senyawa aktif dapat tereluasi dengan baik. Selama menampung ke dalam
vial, sebelum eluen habis harus segera ditambahkan agar tidak terjadi
cracking. Dari 70 vial tersebut ditutup dengan aluminium foil dan diberi
lubang kecil-kecil agar eluen menguap dan meninggalkan ekstrak yang akan
diamati, kemudian dibiarkan sampai praktikum berikutnya.
Setelah itu, fraksi yang ada didalam vial dilarutkan terlebih dahulu
sedikit dengan eluen, tidak boleh terlalu banyak, agar noda tampak saat
diamati, karena apabila terlalu banyak, noda jadi tidak tampak. Kemudian
uji fraksi pertama dilakukan pada vial nomor 1,10,20,30,40,50,60,70. Fraksi
ditotolkan pada plat KLT dan dieluasi dengan eluen. Setelah dieluasi,
diamati dengan UV 365nm. Tiap setelah eluasi, noda yang tampak diamati
dan noda yang sama berarti akan dikumpulkan menjadi 1 fraksi. Sedangkan
noda yang tidak sama, diambil angka tengahnya dan diamati, apakah
nodanya lebih mirip ke sisi satu atau yang lainnya. Begitu seterusnya hingga
semua vial tergabung dalam beberapa fraksi.
Dari seluruh penotolan :
Penotolan 1 : 1,10,20,30,40,50,60,70,
menghasilkan fraksi : 50-60
Penotolan 2 : 5,15,25,35,45,65,
menghasilkan fraksi : 1, (5-10), (15-20), (25-30), (35-40), (45-
65), (66-70)
Penotolan 3 : 3,13,23,33,43,67,
menghasilkan fraksi : 1,(3-10), (13-20), (23-30), (33-40), (43-65),
(67-70)
Penotolan 4 : 2,11,12,21,22,31,32,41,42,66
menghasilkan fraksi : (1-2),(3-12),(13-20),(21-30), (31-40), (41-
65), (66-70)
penotolan 5 : ekstrak, dan hasil fraksi penotolan 5
Setelah disimpulkan, fraksi yang diperoleh adalh sejumlah 7 fraksi,
yaitu :
Fraksi 1 : 1 - 2
Fraksi 2 : 3 - 12
Fraksi 3 : 13 - 20
Fraksi 4 : 21 - 30
Fraksi 5 : 31 - 40
Fraksi 6 : 41 - 65
Fraksi 7 : 66 - 70

Dalam praktikum kali ini, polaritas suatu eluen dapat mempengaruhi harga
Rf suatu noda pada lempeng KLT. Pada percobaan ini digunakan lempeng KLT
silica gel dan eluen n-heksan dan etil asetat dengan perbandingan 4:1 yang
bersifat non polar. Digunakan pelarut atau eluen tersebut dikarenakan fase diam
yang digunakan adalah silika gel yang sifatnya sangat polar, sehingga lebih
mudah mengeluasi zat warna yang sifatnya non polar terlebih dahulu karena
ikatan dengan silika gel lebih lemah. Polaritas suatu pelarut yang digunakan pada
kromatografi kolom juga berpengaruh dalam proses fraksinasi pada kolom, karena
hal tersebut berpengaruh pada tingkat kepolaran fraksi yang dihasilkan.
Pada senyawa-senyawa yang telah difraksinasi pada kromatografi kolom
tersebut memiliki tingkat kepolaran yang berbeda berdasarkan pelarut yang
digunakan. Hal tersebut juga dipengaruhi dengan jumlah senyawa non polar yang
terdapat pada senyawa sehingga menentukan fraksi yang terbentuk terkait pelarut
yang digunakan untuk menarik senyawa. komponen senyawa yang sama.
Fraksi tersebut dieluasi dengan eluen maka noda bergerak dengan berbagai
nilai Rf yang artinya noda menunjukkan tingkat polaritas yang berbeda dan
afinitasnya yang berbeda pula terhadap lempeng KLT. Perbedaan fraksi
dipengaruhi jumlah komponen yang terkandung dalam berbagai vial, karena
senyawa-senyawa tersebut ditarik oleh pelarut dalam jangka waktu yang berbeda
berdasarkan tingkat kecepatan eluasi suatu senyawa terhadap pelarut.
Penggunaan eluen n-heksana dan etil asetat dengan perbandingan 4 :1. N-
heksana memiliki konstanta dielektrik 2,0 sedangkan etil asetat memiliki
konstanta dielektrik 6,0 dan memiliki hasil tetapan dielektrik 2,8. Sesuai dengan
teori, semakin meningkatnya konstanta dielektrik pelarut,semakin tinggi pula
kepolarannya. Hasil tetapan dielektrik eluen adalah 2,8 yang artinya eluen tersebut
adalah non polar. Karena silika gel polar, senyawa polar atau yang lebih polar
akan terikat kuat pada silika gel. Sedangkan senyawa non polar yang ikatannya
lebih lemah akan terbawa eluen terlebih dahulu keluar ke dalam kolom, dan
senyawa yang lebih polar akan keluar terakhir dari dalam kolom. Berdasarkan
teorinya pun dijelaskan, komponen yang mudah tertahan pada fase diam akan
tertinggal, sedangkan komponen yang mudah larut dalam fase gerak akan
bergerak lebih cepat.

KESIMPULAN

Dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan


metode kromatografi kolom fraksinasi pada ekstrak tanaman Psidium guajava
dengan eluen n-heksana : etil asetat dengan perbandingan 4:1 menghasilkan 7
fraksi yang memiliki harga Rf dan tingkat kepolaran yang berbeda .
Pemilihan pelarut, serta teknik yang digunakan dalam melakukan
fraksinasi memberikan hasil yang sesuai dengan keterampilan saat melakukan
praktikum. Pemilihan pelarut menentukan kecepatan eluasi serta tingkat kepolaran
senyawa yang tereluasi.
SARAN

Dalam melakukan praktikum ada banyak hal yang harus diperhatikan


termasuk kolom yang akan digunakan bocor atau tidak, serta kolom harus dijaga
agar eluen tidak menguap dan kolom menjadi kering sebab jika kolom menjadi
kering, kolom tidak dapat digunakan dan praktikan harus membuat kolom ulang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rohman dan Ibnu Gholib Gandjar, 2007, Metode Kromatografi Untuk
Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Depkes RI. (1989). Materia Medika Indonesia. Jilid V. Cetakan Pertama. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.

Haznawati, H. 2013. Fraksinasi. http://darknessthe.blogspot.com. Diakses pada 10


Desember 2013.
Parimin, 2005. Jambu Biji. Budi Daya dan Ragam Pemanfaatannya. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Trifany, A.W. 2012. Kromatografi kolom.http://data-
farmasi.blogspot.com.Diakses pada 10 Desember 2013.

Anda mungkin juga menyukai