Anda di halaman 1dari 14

ENTOMOLOGI KESEHATAN MASYARAKAT

SISTEM REPRODUKSI DAN INDERA SERANGGA


Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah entomologi kesehatan
masyarakat

Disusun oleh
Alfianti Nurfadillah
G1B014031

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
2017
A. Sistem Reproduksi
Sebagian besar serangga bersifat dioecious, yaitu memiliki individu
jantan dan betina yang mampu kawin untuk menghasilkan zygot (telur yang
telah difertilisasi). Namun dalam kasus yang tidak umum, terdapat juga
beberapa jenis serangga yang bereproduksi tanpa gamet jantan. Bentuk
reproduksi aseksual ini dikenal sebagai parthenogenesis (Hadi et al., 2009).
Walaupun beragam tampilannya, organ reproduksi serangga memiliki struktur
dan fungsi yang sama dengan organ reproduksi pada vertebrata yaitu testis
pada jantan menghasilkan sperma dan ovarium pada betina menghasilkan telur.
Kedua jenis gamet ini haploid dan uniselular, tetapi biasanya memiliki volume
yang jauh lebih besar daripada sperma (Meyer, 2009).
Menurut Suheriyanto (2008) serangga memiliki alat kelamin luar dan
alat kelamin dalam. Alat kelamin luar serangga berasal dari embelan ruas
abdomen 8-10. Alat kelamin jantan adalah organ primer yang berperan dalam
kopulasi dan pemindahan sperma ke betina, sedangkan alat kelamin betina
berperan dalam peletakkan telur pada atau dalam substrat yang sesuai. Setiap
sistem reproduksi dapat bervariasi dalam bentuk (misalnya gonad dan kelenjar
aksesori), posisi (misalnya tambahan kelenjar aksesori), dan jumlah (misalnya
tabung ovarium atau testis, atau organ penyimpanan sperma) antara kelompok
serangga yang berbeda, dan kadang-kadang bahkan di antara spesies yang
berbeda dalam genus (Gullan dan Cranston, 2005).
1. Sistem Reproduksi Betina
Organ utama sistem reproduksi betina adalah sepasang ovari
(ovarium). Masing-masing ovari biasanya terdiri dari satu bundel
kelompok ovariol yang merupakan tempat terbentuknya telur. Jumlah
ovariol tiap-tiap ovarium dari 1 sampai 200 atau lebih yang umumnya
sejajar satu sama lain. Masing-masing ovariol melekat pada suatu benang
yang dinamakan filament terminal. Sel-sel germinal berkembang
sepanjang sel-sel itu bergerak dan pada akhirnya terbentuk telur utuh pada
dasar ovariol, yang dinamakan pedisel. Telur yang telah matang bergerak
meninggalkan ovarium melalui pedisel (secara kolektif dinamakan kaliks)
ke oviduct lateral dan dilanjutkan ke oviduct (common oviduct). Dari

1
oviduct, telur bergerak ke vagina, di mana telur-telur itu dibuahi dan
tertahan untuk tertanam (Borror et al., 1992; Hadi et al., 2009).
Selama kopulasi, jantan menyimpan sperma (spermatophore) di
bursa copulatrix. Kontraksi peristaltik menyebabkan spermatophore masuk
ke dalam spermateka betina, sebuah ruang kantong penyimpanan sperma.
Organ yang terlibat dalam fertilisasi tersebut adalah spermateka, yang
berfungsi menerima dan menyimpan sperma setelah kopulasi. Kelenjar
spermateka yang melekat pada spermateka mensuplai nutrient untuk
pemeliharaan sperma sebelum melebur. Kelenjar spermateka
(spermathecal gland) memproduksi enzim (untuk mencerna lapisan
protein spermatophore) dan nutrisi (untuk mempertahankan sperma
sementara berada di penyimpanan). Sperma dapat hidup di spermateka
selama berminggu-minggu, bulan atau bahkan bertahun-tahun (Hadi et al.,
2009; Meyer, 2009).

Gambar 1. Serangga Betina


Adapun sepasang kelenjar asesori mensekresikan zat adhesif dan
penutup yang berfungsi melindungi telur setelah dibuahi. Kelenjar
aksesori betina (accessory glands) memasok pelumas untuk sistem
reproduksi dan mengeluarkan kulit telur kaya protein (chorion) yang
mengelilingi seluruh telur. Kelenjar ini biasanya dihubungkan dengan
saluran kecil ke saluran telur umum atau bursa copulatrix. Terdapat

2
banyak modifikasi sistem dasar reproduksi betina ini tergantung pada
kelompok serangga (Hadi et al., 2009).

Gambar 2. Organ Reproduksi Serangga Betina: A. ovaries; B. ovarioles; C. lateral


oviducts; D. common oviduct; E. bursa copulatrix (vagina); F. accessory glands;
G. spermatheca; H. spermathecal gland (Sumber: Meyer, 2009)

2. Sistem Reproduksi Jantan


Organ utama sistem reproduksi jantan adalah sepasang testis, yang
terdapat pada posisi yang hampir sama dengan ovari betina, yaitu di ujung
belakang abdomen. Setiap testis mengandung unit-unit fungsional dimana
sperma dihasilkan. Masing-masing testis terbentuk dari sejumlah saluran
tubulus sperma. Sperma diproduksi pada tubulus sperma dan bergerak
melalui vasa eferensia dan dilanjutkan ke vas vesikel (vesikula seminalis).
Di sinilah sperma bergabung dengan hasil sekresi sepasang kelenjar
asesori untuk membentuk semen. Pada beberapa serangga, sperma
tersimpan pada kapsul yang dinamakan spermatofor. Pada saat kopulasi,
semen dari vesikel seminal bergerak melalui ejukulatori duct dan keluar
melalui organ kelamin jantan atau penis (aedeagus) (Hadi et al., 2009;
Meyer, 2009).

3
Gambar 3. Serangga Jantan
Satu atau lebih pasangan kelenjar aksesori (accessory glands)
biasanya berhubungan dengan sistem reproduksi jantan, yaitu organ-organ
sekretori yang terhubung dengan sistem reproduksi melalui saluran
pendek-beberapa mungkin menempel dekat testis atau vesikula seminalis,
yang lainnya mungkin berhubungan dengan saluran ejakulasi (Meyer,
2009).

Gambar 4. Organ Reproduksi Serangga Jantan: A. testes; B. follicles; C. vasa


efferentia; D. seminal vesicles; E. vasa deferentia; F. ejaculatory duct; G.
aedeagus; H. accessory glands (Sumber: Meyer, 2009)

4
3. Telur dan Proses Fertilisasi
Telur yang matang diletakkan, dan bentuknya beragam mulai dari
yang pipih, bulat telur (oval), seperti tong sampai bulat. Sebagian besar
telur bagian terbesar telur terisi oleh kuning telur (yolk) atau deutoplasma
(deutoplasm), sitoplasma dan inti hanya menempati bagian kecil dari telur.
Kuning telur mengandung karbohidrat, protein dan lipida. Protein adalah
bagian yang terbanyak. Sitoplasma terdapat di sekitar inti (sitoplasma inti)
dan sekitar tepi kuning telur (periplasma atau sitoplasma korteks = cortical
cytoplasm). Telur dapat terbungkus oleh dua membrane, yaitu membran
vitelin yang merupakan membran sel telur dan korion (chorion) atau kulit
telur. Korion berfungsi seperti kutikula pada serangga betinanya,
melindungi terhadap gangguan fisik, terhadap penguapan air, dan juga
untuk ventilasi (pernapasan) telur. Telur-telur jenis serangga tertentu yang
diletakkan di tempat lembab dapat menyerap air dari lingkungannya.
Banyak serangga mengandung mikroorganisme di dalam tubuh mereka,
dan pada bebrapa kasus mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam
telur selama perkembangannya, biasanya melalui sel-sel folikel (Borror et
al., 1992).
Spermatozoa dapat masuk ke dalam telur melalui satu atau lebih
saluran khusus disebut mikropil, yang merupakan perforasi, pada korion
yang terdapat di bagian tertentu dari telur. Pembuahan telur terjadi setelah
ovulasi, dimulai dengan transfer sperma dari serangga jantan ke serangga
betina di dalam sistem reproduksinya pada waktu kopulasi. Sperma yang
ditransfer itu bebas atau dalam spermatofor. Spermatofor biasanya
diletakkan dalam bursa kopulatriks atau vagina, jarang di dalam
spermateka. Spermatozoa, apapun kondisinya waktu ditransfer ke serangga
betina akhirnya berkumpul di spermateka. Proses pembuahan adalah
sebagai berikut:
a. Pelepasan sejumlah spermatozoa dari spermateka.
b. Masuknya spematozoa ke dalam telur melalui mikropil (micropyle),
mikropil adalah saluran khusus untuk memasukkan sperma kedalam
sel telur.

5
c. Fusi pronuklei telur dan spermatozoa menjadi zigot.
Penentuan kelamin (seks) pada serangga seksual tergantung dari
keseimbangan antara gen-gen sifat jantan dan gen-gen sifat betina.
Pada sebagian besar kelompok serangga jantan adalah heterogamet dan
betina homogamet. Pada serangga primitif, pejantan meletakkan
spermatozoa pada suatu substrat, kadang-kadang dilindungi oleh
struktur tertentu, dan kemudian mencumbu si betina untuk mengambil
spermatozoa tersebut dan dimasukkan ke dalam bukaan organ
kelaminnya. Capung dan laba-laba memasukkan langsung spermatozoa
ke dalam struktur kopulasi sekunder, yang kemudian digunakan untuk
membuahi betina. Serangga yang lebih maju memiliki organ khusus
untuk memasukkan spermatozoa langsung ke saluran reproduksi betina
Produksi telur rupa-rupanya dikontrol pada banyak serangga oleh
satu atau lebih hormone dari korpora allata, termasuk hormon juvenile
yang bertibdak dengan mengontrol tahapan-tahapan awal oogenesis dan
penyimpanan kuning telur (Borror et al., 1992). Perkembangan embrio
pada serangga dapat dikelompokkan dalam tiga tipe utama, yaitu :
a. Ovipar
Serangga betina meletakkan telur yang telah matang baik dibuahi
maupun tidak. Perkembangan embrio terjadi diluar tubuh induknya
dan embrio memperoleh makanan dari kuning telur. Kebanyakan
serangga memiliki perkembangan ovipar.
b. Vivipar
Pada perkembangan vivipar serangga betina tidak meletakkan telur
tapi melahirkan larva atau nimfa muda dalam bentuk individu yang
tidak terbungkus kulit telur (korion). Perkembangan embrio
berlangsung dalam tubuh induknya dan embrio memperoleh makanan
langsung dari tubuh induknya
c. Ovovivipar
Telur mengandung cukup kuning telur untuk memberi makan embrio
yang sedang berkembang dan diletakkan oleh induknya segera setelah
menetas. Istilah ovovivipar juga digunakan untuk serangga-serangga

6
yang meletakkan telur yang mengandung embrio yang telah
berkembang (telur telah siap menetas). Contoh dari serangga dengan
tipe perkembangan ovovivipar adalah Dysmicoccus brevipes (kutu
putih) yang berarti hidup muda sebagai larva (Ronald dan Jayma,
2007).
Selain ketiga tipe utama di atas, serangga juga memiliki beberapa
tipe perkembangan embrio yang lain, yaitu :
a. Poloembrioni. Pada poliembrioni setiap telur yang sedang berkembang
dapat membelah secara mitosis dan menjadi beberapa sampai banyak
embrio. Tipe perkembangan ini biasanya terdapat pada Hymenoptera.
Telur pada serangga poliembrioni berbeda dari serangga non-
poliembrioni, sebagai berikut:
1) telurnya sangat kecil,
2) tidak ada kuning telur,
3) karion, jika ada, sangat tipis dan permeable.
b. Paedogenesis, Serangga pradewasa memiliki alat kelamin yang telah
matang dan dapat menghasilkan keturunan. Dengan kata lain,
reproduksi dilakukan oleh serangga yang belum dewasa (larva) secara
aseksual, dimana reproduksi ini terjadi karena adanya proses neotoni
yaitu kematangan seksual pada stadium pra dewasa. Beberapa jenis
Coleoptera memiliki perkembangan paedogenesis.
c. Parthenogenesis. Sel telur berkembang menjadi embrio tanpa
mengalami pembuahan. Partenogenesis dapat terjadi pada serangga
ovipar maupun vivipar. Pada lebah madu hasil parthenogenesis
menghasilkan lebah jantan (drone) sedangkan jika ada fertilisasi akan
menjadi lebah betina. Sistem reproduksi non seksual serangga
Dysmicoccus brevipes (kutu putih) melalui proses partenogenesis yaitu
larva betina terjadi tanpa adanya fertilisasi dari serangga jantan
(Ronald dan Jayma, 2007).

7
B. Sistem Indera
Seekor serangga menerima informasi mengenai sekitarnya (termasuk
lingkungan internalnya sendiri) melalui organ-organ perasanya. Organ-organ
ini terutama terletak di dalam dinding tubuh dan kebanyakan berukuran
mikroskopik. Masing-masing serangga biasanya terangsang hanya oleh
stimulus yang khusus. Serangga mempunyai organ-organ perasa yang peka
terhadap stimuli kimiawi, mekanis, pendengaran dan penglihatan dan mungkin
juga stimuli seperti kelembaban relative dan suhu (Borror et al., 1992). Organ-
organ indera bagi serangga meliputi organ penglihat, pembau, perasa, peraba,
dan pendengar. Para ahli entomologi biasanya membagi organ-organ tersebut
ke dalam kategori yang paling mendasar yaitu fotoreseptor, kemoreseptor, dan
mekanoreseptor.
1. Fotoreseptor
Fotoreseptor adalah indera penglihat. Seluruh sel-sel hewan sensitif
terhadap cahaya, namun secara khusus pada serangga terspesialisasi pada
indera pengenal keberadaan cahaya, panjang hari, intensitas cahaya, warna,
dan aspek-aspek lainnya. Fotoreseptor yang paling kompleks pada
serangga adalah yang berhubungan dengan pembentukkan citra (image),
yaitu mata. Mata majemuk dan mata sederhana (ocelli) adalah organ utama
yang terdapat pada kepala sebagian besar serangga. Reseptor-reseptor
cahaya yang paling kompleks pada serangga adalah mata majemuk atau
mata faset, yang terdiri dari banyak (sampai beberapa ribu) satuan-satuan
individual yang disebut ommatidia (Borror et al., 1992). Mata majemuk
diperkirakan hasil evolusi pada serangga bersayap dan mata jenis ini tidak
ditemukan pada serangga primitif tak bersayap. Mata majemuk juga tidak
terdapat pada tahap muda serangga yang paling maju (Endopterygota).
Hanya mata sederhana saja yang terdapat pada serangga-serangga tersebut,
dan sebagian besar serangga yang bermata majemuk biasanya juga
memiliki mata sederhana. Beberapa serangga tidak memiliki mata sama
sekali, namun mampu menangkap sinyal cahaya melalui kutikulanya
(dermal photoreception) (Hadi et al., 2009).

8
A B
Gambar 5. A, irisan vertical bagian dari mata majemuk; B, ommatidium
dari mata majemuk; bm, selaput dasar; cc, kerucut kristal; cna, kornea; pgc,
sel-sel pigmen; ret, retina; rh, rabdom (Sumber: Borror et al., 1992)

2. Kemoreseptor
Kemoreseptor-kemoreseptor yaitu, perasa-perasa pengecap (proses
pengecapan) dan pembau (proses membau) adalah bagian-bagian yang
penting dari sistem sensorik serangga dan menyangkut dalam banyak tipe
kelakuan. Makan, kawin, pemilihan habitat dan hubungan parasit-induk
semang misalnya, seringkali diarahkan oleh perasa-perasa kimiawi
serangga (Borror et al., 1992). Indera perasa (gustation) dan pembau
(olfaction) bekerja berdasarkan pendeteksian molekul-molekul tertentu
oleh organ reseptor yang kemudian menghasilkan impuls syaraf.
Perbedaan antara indera perasa dan pembau hanya terletak pada masalah
jarak dari sumber. Dengan kata lain, indera perasa dapat merasakan
makanan ketika berada di dalam mulut, namun ketika jauh dari mulut
makanan tersebut hanya dapat dirasakan baunya oleh indera pembau.
Selebihnya mekanisme chemoreseption adalah sama (Hadi., et al, 2009).
Kemoreseptor biasanya terjadi pada bentuk-bentuk seperti paku
atau rambut pada berbagai bagian tubuh. Reseptor perasa merasakan
molekul-molekul dari bentuk cairan. Seringkali reseptor perasa berbentuk
seperti rambut dan pada ujung rambut itu terdapat ujung syaraf halus.
Dibandingkan reseptor perasa, reseptor pembau kelihatanya lebih
menyerupai paku dan memiliki sejumlah besar ujung syaraf pada

9
permukaan. Reseptor perasa terdapat banyak pada bagian mulut, walaupun
reseptor ini juga menyebar pada tarsi kebanyakan serangga, sehingga
berguna untuk mempermudah serangga dalam mendeteksi makanan.
Reseptor pembau terletak paling banyak pada antena serangga namun juga
melimpah pada anggota tubuh (palpi) bagian mulut (Hadi et al., 2009).

Gambar 6. Kemoreseptor; bm, selaput dasar; cut, kutikula; ep, epidermis;


nv, neuron; scn, kerucut perasa; snc, sel sensoris (Sumber: Borror et al.,
1992)
Mekanisme yang tepat di mana zat-zat tertentu mengawali impuls
syaraf dalam sel-sel sensorik dari kemoreseptor tidak diketahui. Zat-zat
dapat menembus sampai sel-sel sensorik dan merangsang mereka secara
langsung, atau dapat bereaksi dengan sesuatu di dalam reseptor untuk
menghasilkan satu atau lebih zat-zat lain yang menstimulasi sel-sel
sensorik. Pada setiap peristiwa, kepekaan serangga bervariasi terhadap zat-
zat yang berbeda, seperti dua zat kimia yang sangat mirip mungkin sangat
berbeda dalam efek stimulasi mereka. Beberapa bau, misalnya atraktan
atau pemikat kelamin yang dihasilkan oleh seekor betina dapat dideteksi
oleh satu seks (dalam hal ini jantan) tetapi tidak oleh lainnya. Banyak
serangga dapat mendeteksi bau-bau khusus pada konsentrasi yang sangat
rendah sampai beberapa mil dari sumber mereka (Borror et al., 1992).
3. Mekanoreseptor
Organ-organ perasa serangga peka terhadap reaksi stimuli mekanik
terhadap sentuhan, tekanan atau getaran dan melengkapi serangga dengan
informasi yang dapat memberikan petunjuk pengarahan, gerakan-gerakan

10
umum, makan, terbang menjauhi musuh-musuh, reproduksi, dan aktivitas-
aktivitas lain (Borror et al., 1992). Mekanoreseptor dinamakan sensila,
yaitu merupakan struktur sensori yang paling banyak pada serangga dan
ditemukan cukup banyak pada permukaan tubuh. Sensila ini menyerupai
rambut, pada kasus tertentu dinamakan trichoid, dapat meyerupai tenda
(campaniform) atau berbentuk keeping (placoid). Beberapa dari reseptor
ini sensitive terhadap sentuhan dan berrespon terhadap tekanan dengan
cara mengirimkan aliran impuls ke sistem syaraf. Sensila jenis ini
dinamakan tonic. Reseptor lainnya berrespon sebagian besar terhadap hal-
hal seperti vibrasi udara ataupun air, yang mana sensila jenis ini disebut
phasic. Beberapa sensila yang terspesialisasi juga berfungsi dalam
menerima informasi tentang posisi relatif satu bagian tubuh terhadap
bagian lainnya. Sensila seperti ini dinamakan proprioreseptor (Hadi et al.,
2009).

Gambar 7. A, sensillum rambut; B, semsillum campaniform; bm, selaput


dasar; cut, kutikula; dp, juluran distal dari sel sensorik; ep, epidermis; nv,
neuron; scn, kerucut perasa; snc, sel sensoris; trg, sel trikogen (Sumber:
Borror et al., 1992)
Kemampuan untuk mendeteksi suara (getaran-getaran dalam
substrata tau dalam medium sekitar) terbentuk pada banyak serangga, dan
suara memainkan suatu peranan dalam banyak tipe kelakuan. Serangga-
serangga mendeteksi suara-suara yang ada di udara dengan dua tipe organ
sensorik, sensilla rambut dan organ-organ tympanum. Organ-organ
tympanum adalah organ-organ skolopoforus di mana sel-sel sensorik
menempel pada (sangat dekat dengan) selaput tympanum. Jumlah sel-sel

11
sensorik yang tersangkut berkisar antara satu atau dua (misalnya pada
ngengat-ngengat tertentu) sampai beberapa ratus. Organ-organ tympanum
ada pada Orthoptera tertentu, Homoptera, dan Lepidoptera. Timpana
belalang bersungut pendek (Acrididae) terletak pada sisi-sisi ruas abdomen
pertama. Timpana belalang bersungut panjang (Tettigontiidae) dan
cengkerik (Gryllidae), bila ada, terletak pada ujung proksimal tibiae depan.
Timpana cicada terletak pada ruas abdomen pertama. Ngengat-ngengat
mungkin mempunyai timpana pada mesothorax atau dasar abdomen
(Borror et al., 1992).
Selain organ-organ indera di atas, serangga juga memiliki reseptor
untuk menangkap kelembaban dan temperatur tertentu, walaupun sangat
sedikit yang diketahui mengenai hal ini. Penangkapan kelembaban di udara
dinamakan hygroreception, dan level tertentu kelembaban dirasakan beberapa
serangga melalui rambut-rambut yang dapat mengabsorbsi kelembaban.
Serangga memiliki indera pengenal temperatur dan menggunakan indera ini
untuk mencari lingkungan yang sesuai untuk melalukan aktivitas hidupnya.
Sebagai contoh kumbang pengebor kayu, spesies Melanophila (Buprestidae),
memiliki lubang sensori di bagian dalam mesothorax yang sensitive terhadap
panas pohon-pohon yang telah rusak oleh api, di mana kumbang ini menyukai
jenis pohon seperti itu. Terdapat juga reseptor geomagnetic yang mana dapat
mendeteksi daerah bermagnet. Reseptor jenis ini terdapat pada serangga-
serangga seperti lebah madu yang menggunakannya untuk orientasi dan
aktivitas lainnya. Namun, organ indera yang digunakan pada geomagnetic
reception belum dapat diidentifikasi (Hadi et al., 2009).

12
DAFTAR PUSTAKA

Borror, D.J., Triplehorn, C.A., Johnson, N.F. 1992. Pengenalan Pelajaran


Serangga Edisi keenam. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Gullan, D. J. and Cranston, P. S. 2005. The Insects: An Outline of Entomology.
UK: Blackwell Publishing Ltd.
Hadi, H.M., Tarwotjo, Udi., Rahadian, Rully. 2009. Biologi Insekta: Entomologi.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Meyer, John R. 2009. General Entomology - Reproductive System. United States:
Department of Entomology NC State University.
Ronald, F.L., Jayma L. Matin, 2007. Bactrocera dorsalis (Hendel). Honolulu:
Department of Entomology.
Suheriyanto, Dwi. 2008. Ekologi Serangga. Malang: UIN-Malang Press.

13

Anda mungkin juga menyukai