Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR


(1. Mengukur Kemiringan Lahan dengan Alat Pengukur Sudut)

Oleh:
Kelompok : 4 (Empat)
Kelas/ Hari/ Tanggal : Shift A/ Selasa/ 22 September 2016
Nama dan NPM : 1. Laraswati Dwi N. (240110140008)
2. Rattri Puspa Pertiwi (240110140020)
3. Gina Sania (240110140033)
4. Yosep Setiawan (240110140042)
5. Popon Widyasari (240110140044)
Asisten : 1. Anisah
2. Risqi Aditia Tungki Putra

LABORATORIUM KONSERVASI TANAH DAN AIR


DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN DAN BIOSISTEM
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kemiringan dan panjang lereng merupakan suatu hal dari topografi yang
akan mempengaruhi erosi. Sebelum melakukan berbagai usaha konservasi tanah
dilaksanakan di lapangan, maka perlu dilakukan pengamatan secara seksama
terhadap keadaan sebenarnya di lapangan. Hal tersebut dimaksudkan agar
memudahkan dalam pelaksanaan selanjutnya di lapangan dalam melaksanakan
usaha atau tindakan-tindakan yang perlu dilakukan dalam kegiatan konservasi
tanah dengan apa yang direncanakan dapat berhasil dengan baik.
Pengelolaan lahan miring dengan menerapkan kaidah pengawetan tanah
pada dasarnya bertujuan memperbaiki dan menjaga tanah agar tahan terhadap
pukulan butiran hujan dan kekuatan penghanyutan aliran air, menutup permukaan
tanah agar terlindung dari daya perusak/pukulan air, memperbesar daya resapan
tanah dan mengatur aliran permukaan agar tidak merusak tanah.
Oleh karena itu diperlukan cara tepat untuk melakukan tindakan
konservasi tanah diantaranya dengan mengukur kemiringan lahan secara cepat dan
akurat agar tanah tersebut dapat ditanam dengan baik dan benar sehingga dapat
mencegah terjadinya erosi. Besar kemiringan suatu lahan dapat diketahui dengan
beberapa cara dengan alat yang sederhana maupun alat yang lebih modern. Alat-
alat tersebut digunakan untuk mempermudah identifikasi kemiringan lahan secara
mudah dan praktis.

1.2 Tujuan Praktikum


Adapun tujuan dari praktikum kali ini adalah:
1. Mahasiswa dapat melakukan pengukuran kemiringan lahan dengan
benar.
2. Menggunakan alat pengukur dengan alat dalam satuan persen atau
derajat.
1.3 Metode Pengamatan dan Pengukuran
1.3.1 Alat dan Bahan
1. Alat ukur sudut (Sunto Level, Abney Level, Hagameter)
2. Alat ukur teodolit
3. Patok
4. Pita ukur
5. Rambu ukur
6. Tali
1.3.2 Prosedur Praktikum
1. Menentukan lokasi lahan yang akan diukur kemiringan lerengnya
2. Memasang patok pada lahan sesuai dengan bentuk kemiringan lereng
lahan atau jarak antar patok tetap (misalnya: per 10 meter)
3. Memasang alat ukur teodolit diatas kaki tiga
4. Mendirikan alat ukur teodolit:
- Alat yang sudah di pasang diatas kaki tiga tersebut didirikan tepat di
atas titik ukur
- Mengatur sumbu satu (SB I) dalam keadaan tegak dan sumbu dua (SB
II) dalam keadaan mendatar dengan cara mengatur kedua nivo tabung
yang ada pada Bausol dibagian atas alat, gelembungnya ada di tengah
yang diatur dengan ketiga skrup mendatar
5. Mengukur tiap segmen dengan alat ukur sudut dan alat ukur teodolit
6. Mencatat dan menghitung jarak datar dan jarak miringnya
7. Menggambarkan profil kemiringan lahan serta menentukan kelas
kemiringan lahan rata-rata dan reliefnya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peran Pengukuran Sudut dalam Teknik Konservasi Tanah dan Air
Teknik konservasi tanah dan air di lahan pekarangan difokuskan pada
penanaman mengikuti kontur di alam lorong dengan menggunakan tanaman
penyangga (hedge row) berupa campuran tanaman tahunan (perkebunan, buah-
buahan, polong-polongan, dan tanaman industri/obat), sayuran dan rumput pakan
ternak. Bagian atas lorong tanaman penyangga dibuat saluran penampung air
sehingga aliran permukiman dan erosi akan terkontrol. Sisa-sisa tanaman dan
hasil pangkasan hendaknya tidak dibakar tetapi dibuat kompos, atau dibenamkan
ke dalam tanah, atau digunakan sebagai mulsa di LU I teknik konservasi tanah
dan air yang akan diterapkan adalah pengolahan tanah dan penamanan mengikuti
kontur di dalam lorong berselang seling antara lorong tanaman pangan, tanaman
penyangga, tanaman kacang-kacangan atau rumput pakan ternak. Di belakang
lajur tanaman penyangga dibangun teras guludan yang dilengkapi dengan saluran
air. Penanaman tanaman pangan dan kacang-kacangan serta rumput pakan ternak
dirotasikan secara teratur.
Teknik Konservasi Tanah dan Air yang diterapkan di LU II yang berlereng
C (8-15%) atau lebih adalah penanaman tanaman tahunan dalam teras tersendiri
(individual terrace) yang mengikuti kontur. Sengkedan dan jalur rorak perlu
dibangun pada jarak tertentu yang berkisar dari 15-25 m tergantung pada
kemiringan lereng. Penebangan pohon harus dilakukan secara bertahap. Erosi
adalah peristiwa pengikisan tanah oleh angin, air atau es. Erosi dapat terjadi
karena sebab alami atau disebabkan oleh aktivitas manusia. Penyebab alami erosi
antara lain adalah karakteristik hujan, kemiringan lereng, tanaman penutup dan
kemampuan tanah untuk menyerap dan melepas air ke dalam lapisan tanah
dangkal. Erosi yang disebabkan oleh aktivitas manusia umumnya disebabkan oleh
adanya penggundulan hutan, kegiatan pertambangan, perkebunan dan
perladangan.
Dampak dari erosi adalah menipisnya lapisan permukaan tanah bagian
atas, yang akan menyebabkan menurunnnya kemampuan lahan (degradasi lahan).
Akibat lain dari erosi adalah menurunnya kemampuan tanah untuk meresapkan air
(infiltrasi). Penurunan kemampuan lahan meresapkan air ke dalam lapisan tanah
akan meningkatkan limpasan air permukaan yang akan mengakibatkan banjir di
sungai. Selain itu butiran tanah yang terangkut oleh aliran permukaan pada
akhirnya akan mengendap di sungai (sedimentasi) yang selanjutnya akibat
tingginya sedimentasi akan mengakibatkan pendangkalan sungai sehingga
akan mempengaruhi kelancaran jalur pelayaran.

Gambar 1. Relief
(Sumber: Agus et al. 1999)
2.2 Klasifikasi Lahan Menurut Kemiringannya
Klasifikasi lahan Kemiringan Lahan (%)
Kelas Kemiringan Lahan Relief
0–3 Datar
3–8 Agak Miring Landai
8 – 15 Miring Berombak
15 – 25 Agak Terjal Bergelombang
25 – 40 Terjal Berbukit
> 40 Curam Bergunung.
Land slope atau kemiringan lahan merupakan faktor yang sangat perlu untuk
diperhatikan, sejak dari penyiapan lahan pertanian, usaha penanamannya,
pengambilan produk-produk serta pengawetan lahan tersebut, karena lahan yang
mempunyai kemiringan itu dapat dikatakan lebih mudah terganggu atau rusak,
lebih-lebih kalau derajat kemiringannya besar. Derajat kemiringan dan panjang
lereng merupakan dua sifat yang utama dari topografi yang memengaruhi
besarnya erosi. Makin curam dan makin panjang lereng maka makin besar pula
besar kecepatan aliran air permukaan dan bahaya erosi. Bila kita hubungkan
kenyataan ini dengan lereng yang gundul, maka inilah yang termudah untuk
terjadinya erosi ditinjau dari sudut topografi, karena kecepatan daripada aliran air
di permukaan dapat dengan mudah mengikis lapisan atas tanah.
2.2.1 Wilayah Datar
Wilayah ini mempunyai relief datar dengan kemiringan lereng <2%
dengan ketinggian tempat berkisar antara 0 – 50 mdpl. Daerah ini berada di
sepanjang sungai, dataran bergambut dan sebagian kecil di daerah pesisir pantai.
Kondisi penutupan lahan ini merupakan hutan rawa, hutan mangrove dan
sebagian telah digunakan masyarakat berupa ladang. Luas wilayah areal ini
mencapai 2.241 km2 (12,11%) dengan penyebaran terluas di Kecamatan Teluk
Etna.
2.2.2 Wilayah Bergelombang
Wilayah bergelombang dengan kemiringan lereng dominan berkisar antara
2-8% dan berada pada ketinggian tempat antara 0 – 150 mdpl. Kondisi penutupan
lahan ini berupa hutan dataran rendah. Daerah ini tersebar di empat kecamatan
dengan luas areal 3.610 km2 (1,95%).
2.2.3 Wilayah Bergelombang Hingga Berbukit Kecil
Wilayah ini menempati areal yang sangat sempit yang berada di
Kecamatan Teluk Etna bagian utara, yaitu di sekitar Desa Urubika, Yapima dan
Desa Ure. Kemiringan lereng daerah ini berkisar antara 9 – 15% (0,40%) dengan
ketinggian tempat 20 - 800 mdpl, kondisi penutup lahan berupa kebun dan
belukar.
2.2.4 Wilayah Berbukit
Wilayah ini berbukit-bukit dengan kondisi lahan terjal dan mempunyai
kemiringan lereng antara 15 – 25% dan setempat hingga 40%, dengan ketinggian
tempat 5 – 600 mdpl. Daerah ini penyebarannya paling luas mulai dari bagian
tenggara hingga barat daya seperti di Kecamatan Buruway dan Kecamatan
Kaimana dengan luas areal 1503,9 km2 (8,61%) dengan penutupan lahan berupa
hutan sekunder dan hutan primer.
2.2.5 Wilayah Berbukit Hingga Bergunung
Daerah ini mempunyai bentuk wilayah berbukit-bukit hingga bergunung
dengan kemiringan lereng >40% dan setempat bisa mencapai 70%. Ketinggian
tempat 100 – 2.800 mdpl. Daerah seperti ini tersebar luas di bagian utara
merupakan Gunung Wagura Kote dan sebelah barat merupakan pegunungan
Kumawa dengan luas areal 14.415,8 km2 (77,92%).
2.3 Abney Level
Abney level adalah suatu instrumen atau peralatan dalam keteknikan
rancang bangun yang digunakan untuk menentukan tinggi suatu benda atau
bangunan dan kemiringan suatu tempat atau areal.

Gambar 2. Abney level


(Sumber: id.wikipedia.org)
2.4 Suunto
Suunto PM-5 digunakan untuk mengukur suatu ketinggian, seperti
mengukur tingginya pohon, dengan ketelitian besar dan cepat. Juga dapat
digunakan untuk menentukan sudut suatu gradien. Suunto Klinometer merupakan
instrumen yang penggunaannya seluruh penjuru dunia seperti para penyurvei,
insinyur, orang yang membuat peta, geolog, buruh tambang dan arsitek dan
banyak orang yang lain untuk mengukur sudut vertikal dan keserongan dengan
cepat dan dengan mudah.

Gambar 3. Suunto PM-5


(Sumber: id.wikipedia.org)
Suunto tandem adalah suatu klinometer dan kompas ketepatan liquid-filled di
dalam satu alat. Instrumen ini adalah suatu alat sempurna untuk para penyurvei,
insinyur, orang yang membuat peta, geolog, buruh tambang, arsitek dan untuk
siapa yang perlu untuk mengukur indikasi direksional, sudut vertikal dan
keserongan dengan kecepatan dan ketelitian.
Gambar 4. Suunto tandem
(Sumber : id.wikipedia.org)
2.5 Hagameter
Hand Gun Altimeter (HAGA) adalah suatu alat ukur untuk mengukur
ketinggian, mulai dari ketinggian yang sedang sampai yang tinggi. Alat ini
harganya tidak terlalu mahal dan cukup akurat (sempurna). Kemuliaan di atas dan
di bawah mata pengamat dapat dibaca secara langsung dari skala jika pengamat
berdiri pada jarak 15, 20, 25 atau 30 m dari pohon. Skala yang sesuai dapat
terpilih dengan berputar pemilihan memutar angka telepon pusat perhatian/paling
depan instrumen. Ketika digunakan dengan tepat, Blume Leiss mempunyai suatu
ketelitian sekitar +/- 0.5 m untuk suatu 20 m pohon jangkung (dengan kata lain
sekitar 2.5%).

Gambar 5. Hagameter
(Sumber: id.wikipedia.org)
2.6 Meteran
Meteran, sering disebut pita ukur atau tape karena umumnya tersaji dalam
bentuk pita dengan panjang tertentu. Sering juga disebut rol meter karena
umumnya pita ukur ini pada keadaan tidak dipakai atau disimpan dalam bentuk
gulungan atau rol. Kegunaan utama atau yang umum dari meteran ini adalah
untuk mengukur jarak atau panjang. Kegunaan lain yang juga pada dasarnya
adalah melakukan pengukuran jarak, antara lain mengukur sudut baik sudut
horizontal maupun sudut vertikal atau lereng, membuat sudut siku-siku, dan
membuat lingkaran.

Gambar 6. Meteran
(Sumber : id.wikipedia.org)

Meteran mempunyai spesifikasi antara lain:


1. Ada dua satuan ukuran yang biasa digunakan, yaitu satuan Inggris (inch, feet,
yard) dan satuan metrik (mm, cm, m)
2. Satuan terkecil yang digunakan mm atau cm, inch atau feet
3. Daya muai, yaitu tingkat pemuaian akibat perubahan suhu udara
4. Daya regang, yaitu perubahan panjang akibat tegangan atau tarikan
5. Angka atau bacaan nol pada meteran ada yang dinyatakan tepat di ujung awal
meteran dan ada pula yang dinyatakan pada jarak tertentu dari ujung awal
meteran. Daya muai dan daya regang meteran dipengaruhi oleh jenis meteran,
yang dibedakan berdasarkan bahan yang digunakan dalam pembuatannya.
BAB III
HASIL PRAKTIKUM

3.1 Hasil Pengukuran


Tabel 1. Hasil Pengukuran dengan Teodolit
Jarak Hasil Pengukuran
No
(m) dh dt
1 10 9,821 2,583
2 20 19,65 5,151
3 30 29,057 7,515
Perhitungan:
1. VA = 75,272˚
α = 90˚ - VA
= 90 – 75,272
= 14,728˚
Dm = 100 (1,46 – 1,355) cos 14,728˚
= 10,155 m
Dh = 100 (1,46 – 1,355) cos2 14,728˚
= 9,821 m
Dt = √𝑑𝑚2 − 𝑑ℎ2
= √(10,155)2 − (9,821)2
= 2,583 m
2. VA = 75,31˚
α = 90˚ - VA
= 90 – 75,31
= 14,69˚
Dm = 100 (1,51 – 1,3) cos 14,69˚
= 20,314 m
Dh = 100 (1,51 – 1,3) cos2 14,69˚
= 19,65 m
Dt = √𝑑𝑚2 − 𝑑ℎ2
= √(20,314)2 − (19,65)2
= 5,151 m

3. VA = 75,504˚
α = 90˚ - VA
= 90˚– 75,504˚
= 14,496˚
Dm = 100 (1,56 – 1,25) cos 14,469˚
= 30,013 m
Dh = 100 (1,56 – 1,25) cos2 14,469˚
= 29,057 m
Dt = √𝑑𝑚2 − 𝑑ℎ2
= √(30,013)2 − (29,057)2
= 7,515 m

Tabel 2. Hasil Pengukuran dengan Hagameter


Hasil Pengukuran
No Jarak (m)
(%) (˚)
1 10 27 15,10957512
2 20 27 15,10957512
3 30 27 15,10957512
Perhitungan:
𝑎𝑟𝑐 𝑡𝑔 (27%)
10 m = = 15,10957512˚
100%
𝑎𝑟𝑐 𝑡𝑔 (27%)
20 m = = 15,10957512˚
100%
𝑎𝑟𝑐 𝑡𝑔 (27%)
30 m = = 15,10957512˚
100%
Tabel 3. Hasil Pengukuran dengan Meteran
Hasil Pengukuran
No Jarak (m)
(%) (˚)
1 10 24,87 13,96
2 20 30,13 16,77
3 30 26,76 14,98
Perhitungan:
𝑑𝑡
0 – 10 α = 𝑑ℎ x 100%
1,94
α= x 100% = 24,87%
7,8
𝑑𝑡 1,94
α = arc tg (𝑑ℎ) = arc tg ( 7,8 ) = 13,96˚
𝑑𝑡
10 – 20 α = 𝑑ℎ x 100%
2,20
α= x 100% = 30,13%
7,3
𝑑𝑡 2,20
α = arc tg (𝑑ℎ) = arc tg ( 7,3 ) = 16,77˚
𝑑𝑡
20 – 30 α = 𝑑ℎ x 100%
1,90
α= x 100% = 26,76%
7,1
𝑑𝑡 1,90
α = arc tg (𝑑ℎ) = arc tg ( 7,1 ) = 14,98˚

Tabel 4. Hasil Pengukuran dengan Abney Level


Hasil Pengukuran
No Jarak (m)
(%) (˚)
1 10 28 15,64224646
2 20 30 16,69924423
3 30 29 16,17215902
Perhitungan:
𝑎𝑟𝑐 𝑡𝑔 (28%)
10 m = = 15,64224646˚
100%
𝑎𝑟𝑐 𝑡𝑔 (30%)
20 m = = 16,69924423˚
100%
𝑎𝑟𝑐 𝑡𝑔 (29%)
10 m = = 16,17215902˚
100%
Tabel 5. Hasil Pengukuran dengan Suunto
Hasil Pengukuran
No Jarak (m)
(%) (˚)
1 10 6,992681194 4
2 20 19,43803091 11
3 30 15,83844403 9
Perhitungan:
10 m = tg (4˚) x 100% = 6,992681194%
20 m = tg (11˚) x 100% = 19,43803091%
30 m = tg (9˚) x 100% = 15,83844403%
Laraswati Dwi N
240110140008
3.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan pengukuran lereng menggunakan lima
metode alat yang berbeda-beda, hal ini dilakukan untuk mengetahui keakuratan
alat dan metode dari setiap alat. Lahan yang diukur kemerengan lerengnya telah
ditentukan letaknya dan sama untuk setiap alat. Dari hasil yang diperoleh didapati
nilai pengukuran yang beragam dari tiap pengukuran pada alat-alat yang berbeda
khususnya pada data pengukuran menggunakan suunto dan juga menggunakan
meteran.
Pada pengukuran lereng yang menggunakan teodolit digital nilainya
berbeda untuk setiap titik meskipun data yang diperoleh tidak terlalu jauh dari
data pengamatan menggunakan abney level maupun hagameter diperoleh
kemiringan lereng pada titik satu, dua, dan tiga berturut-turut menggunakan
teodolit adalah 14,720, 14,690, dan 14,490. Meskipun demikian data dari hasil
pengukuran teodolitlah yang dirasa pengamat lebih akurat daripada data
pengukuran yang lainnya yang diperoleh, ini dikarenakan pengukuran
menggunakan teodolit didapati kejelasan pada bacaan maupun sekala penembakan
bacaan pada rambu, walaupun saat pengukuran menggunakan teodolit pada
kelompok kami mengalami kesalahan yakni terjadi human error.
Jika dibandingkan dengan menggunakan metode hagameter dan abney
level data yang diperoleh cenderung sama, pada hagameter diperoleh kemiringan
lereng pada titik satu, dua, dan tiga berturut turut adalah 270 sedangkan pada
pengukuran menggunakan abney level diperoleh kemiringan lereng pada titik satu,
dua, dan tiga berturut turut adalah 28%, 30%, dan 29%. Terjadi perbedaan pada
semua titik yang dimungkinkan terjadi karena adanya kesalahan pembacaan skala
pada abney level maupun pada hagameter pada saat pengamatan.
Adapun pengukuran yang dirasa paling rendah keakuratannya adalah
pengamatan menggunakan alat ukur meteran dan suunto meter, hal ini
dikarenakan pada pengukuran meteran pelurusan bentangan raffia untuk
pengukuran hanya diperoleh dengan metode kira kira tanpa adanya ketepatan
dengan skala sehingga hasil yang diperolehnyapun berbeda jauh dari data
pengukuran yang lainnya. Selain itu menggunakan metode suunto juga kurang
akurat karena praktikan mengalami kesulitan dalam pengukuran menggunakan
alat tersebut.
Keakuratan data yang diperoleh dipengaruhi oleh ketepatan pengukuran
serta ketepatan kaliberasi alat yang dilakukan oleh para praktikan, selain itu
keakuratan juga dipengaruhi oleh keadaan baik buruknya kerja dari alat
pengukuran.
Rattri Puspa Pertiwi
240110140020
3.2 Pembahasan
Kemiringan lahan adalah perbandingan antara beda tinggi (jarak vertikal)
suatu lahan dengan jarak mendatarnya. Besar kemiringan lereng dapat dinyatakan
o
dengan beberapa satuan, diantaranya adalah dengan % (persen) dan (derajat).
Informasi spasial kelerengan mendeskripsikan kondisi permukaan lahan, seperti
datar, landai, atau kemiringannya curam.
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menentukan kemiringan lahan
dengan menggunakan alat ukur sudut (Sunto Level, Abney Level, Hagameter,
Theodolit dan Meteran). Pembuatan kontur lahan umumnya terdiri dari tiga
tahapan yaitu pematokan, recleaning/perbaikan garis kontur dan pembuatan garis
kontur lahan.
Setelah melakukan praktikum dengan menggunakan alat-alat pengukur
sudut maka didapati suatu pembahasan mengenai masing-masing alat tersebut
terhadap pembacaan sudut pada suatu lahan miring karena terdapat perbedaan dari
tiap alat baik cara pengukuran ataupun cara pembacaan sudutnya.
Lahan yang digunakan adalah lahan Agrowisata Fapet Unpad. Parameter
utama yang sangat terlihat adalah tingkat keakuratan hasil pembacaan sudut tiap
alat. Dilihat dari hasil menggunakan alat ukur sudut abney level semakin tinggi
atau semakin jauh jarak hasil pengukurannya fluktuatif. Nilai yang fluktuatif ini
perbedaannya tidak jauh. Pengukuran menggunakan teodolit beda tinggi yang di
dapatkan dari setiap jarak hasilnya semakin jauh jarak semakin tinggi hasil
pengukurannya. Hasil pengukuran yang didapatkan menggunakan hagameter
menunjukan hasil yang sama di setiap jaraknya. Hasil pengukuran menggunakan
meteran hasil yang didapat dari jarak yang dihitung tidak berbeda jauh. Berbeda
dengan penggunaan alat ukur suunto level hasil pengukuran menggunakan alat ini
nilai yang fluktuatif dengan selisih yang jauh.
Berdasarkan kelima alat tersebut apabila dibandingkan tingkat
keakurasiannya, suunto level adalah yang paling rendah. Alat ini penggunaannya
sangat manual dan sangat bergantung pada tingkat ketelitian pengamat/praktikan.
Hasil besarnya sudut yang dihasilkan dari pengukuran menggunakan suunto level
sangat berbeda jauh dengan alat pengukur sudut lainnya yang relatif saling
mendekati.
Setelah pengukuran selesai, dilihat dari nilai kemiringan lahan rata-ratanya
yaitu 15 % - 25 %. Menurut Sitanala Arsyad (1989:225), lahan ini termasuk pada
kelas D dengan klasifikasi miring. Faktor kurangnya tingkat ketelitian yang utama
yaitu keterbatasan pembaca sudut karena terbatasnya pandangan atau posisi
pemegangan alat ukur yang berubah-ubah belum lagi faktor eksternal dimana
kondisi lingkungan yang panas dan angin yang cukup kencang. Alat yang
digunakan menjadi faktor kurangya ketelitian karena pada suunto level alatnya
sudah tidak layak pakai nilai yang didapat cukup sulit untuk dibaca.
Gina Sania
240110140033

3.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini yang membahas tentang mengukur kemiringan
lahan dengan alat pengukur sudut. Praktikum kali ini bertujuan agar mahasiswa
dapat melakukan pengukuran kemiringan lahan dengan benar, meggunakan alat
pengukur sudut dengan satuan persen (%) atau derajat (˚). Alat ukur kemiringan
lahan yang digunakan praktikum kali ini antara lain alat ukur sudut (suunto, abney
level, hagameter), meteran dan teodolit.
Alat yang digunakan pertama untuk mengukur kemiringan sudut yang
akan dilakukan kelompok 4 yaitu teodolit, mengkur dengan kemiringan dari 10m,
20m, dan 30m. Hasil dari pengkuran dh dan dt dari teodolit dari setiap 10m dh =
10,155˚ dt = 2,583m, 20m dh = 20,314˚ dt = 5,151m , 30m dh = 30,013˚ dt =
7,515m. Kelebihan dari alat teodolit dapat digunakan untuk memetakan suatu
wilayah dengan cepat, cara penggunaanya mudah, data yang diperoleh akurat,
kekurangan pada teodolit bobotnya berat.
Alat selanjutnya yang digunakan yaitu dengan meteran. Mengukur
kemiringan meteran juga dilakukan dengan kemiringan dari 10m, 20m, dan 30m.
Hasil pengukuran menggunakan meteran pita dari 10m = 13,96˚, 20m = 16,77˚,
30m = 14,98˚. Kelebihan menggunakan meteran pita gulung mudah
pemakaiannya, dan mudah dibawa, sedangkan kekurangan menggunaka meteran
pita gulung tidak adanya perlengkapan yang dapat memastikan posisi bentangan
pita meter benar-benar tegak lurus, mempunyai daya muai dan daya regang yang
bisa mengakibatkan hasil pengukurannya menjadi kurang akurat, hasil
pengukuran tergantung dari daya muai dan daya regang yang dipengaruhi oleh
bahan jenis pembuatan meteran.
Mengukur menggunakan alat ukur sudut abney level hasil kemiringan
yang telah dihitung dan hasil menjadi satuannya derajat didapat dari 10m =
15,64224646˚, 20m = 16,69924423˚, dan 30m = 16,17215902˚. Kelebihan
pengukuran menggunakan alat ukur sudut abney level lebih praktis ketika dibawa
ke lapangan, mudah untuk digunakan, relatif murah dan akurat. Kekurangan dari
alat ukur sudut abney level data yang diperoleh ketika dipakai kurang akurat.
Pengukuran kemiringan lahan selanjutnya praktikan menggunakan alat
ukur sudut hagameter. Hasil dari pengukuran menggunakan alat ukur sudut
hagameter yang menggunakan perhitungan untuk mengganti satuannya menjadi
derajat dari 10m = 15,10957512˚, 20m = 15,10957512˚, dan 30m = 15,10957512˚.
Kelebihan dari alat ukur sudut hagameter ini membantu dalam menentukan jarak
panjang dasar dengan cepat dan tepat. Sedangkan kekurangan dari alat ukur sudut
hagameter ini pengunci tombol dapat mengurangi adanya perubahan hasil
penembakan, tergantung cuaca, apabila cuaca mendung maka tidak akan ada
bayangan yang tampak.
Pengukuran kemiringan lahan dengan menggunaka alat ukur sudut suunto,
dari hasil pengukuran dengan alat ukur sudut ini dari hasilnya dimasukan ke
perhitugan agar mendapatkan hasil dengan satuan persen. Hasil dari 10m =
6,992681194%, 20m = 19,43803091%, 30m = 15,83844403%, dan jika hasil
dengan satuan derajatnya 10m = 4˚, 20m = 11˚ dan 30m = 9˚. Kelebihan
menggunaka alat ukur sudut suunto bebas korosi dan skala berjalan pada bearing
khusus dalam wadah plastik tertutup rapat yang diisi dengan cairan khusus yang
mempromosikan mereka berjalan lancar dan efisien, sebuah klinometer yang
murah dan efektif. Sedangkan kekurangan dari alat ukur sudut suunto ini data
yang diperoleh ketika dipakai kurang akurat.
Dari semua alat ukur yang dipakai untuk mengetahui kemiringan, masing -
masing alat mempunyai kelebihan dan kelemahan, maka dari itu nilai hasil yang
didapatkan juga beragam. Dari semua ke akuratan alat menurut dari pemakaian
yang dipakai semua alat akurat, alat yang paling mudah digunakan yaitu alat ukur
sudut hagameter, sedangkan alat ukur sudut yang paling sulit digunakan pada
praktikum kali ini yaitu alat ukur sudut suunto dikarenakan alat dalam keadaan
tidak baik/kurang baik. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kesalah-
kesalahan dalam pengukuran, antara lain kesalahan dalam melihat pada jalon yang
telah ditentukan harus kemana praktikan melihat, adapun ketidaktelitian praktikan
saat menggunakan alat ukur yang digunakan. Kesalahan lain yang menyebabkan
hasil tidak akurat yaitu keadaan alat ukur yang akan digunakan sedikit rusak atau
dalam keadaan kurang baik jika digunakan.
Yosep Setiawan
240110140042

3.2 Pembahasan
Pada praktikum Teknik Konservasi Tanah dan Air kali ini, praktikan
mengukur kemiringan lahan dengan menggunakan alat pengukur sudut. Alat yang
digunakan pada praktikum kali ini adalah teodolit, hagameter, abney level, suunto
dan meteran. Lahan yang diukur kemiringannya yaitu lahan miring Agrowisata
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Kemiringan lahan dibagi ke dalam
tiga titik pengukuran, yaitu pada jarak 10 m, 20 m dan 30 m.
Pada pengukuran kemiringan lahan dengan menggunakan teodolit didapati
nilai pada titik 10 meter dengan sudut vertikal 75,272˚ dan besarnya α yaitu
14,728˚, dh atau jarak horizontal sebesar 9,821 meter dan dm atau jarak miring
sebesar 10,155 meter. Berdasarkan data tersebut didapati nilai dt yaitu 2,583
meter. Lalu, pada titik pengukuran 20 meter dengan sudut vertikal 75,31˚ dan α
sebesar 14,69˚, didapati nilai dh atau jarak horizontal yaitu 19,65 meter, dm atau
jarak miring sebesar 20,314 meter dan nilai dt sebesar 5,151 meter. Sedangkan,
untuk titik 30 meter dengan sudut vertikal 75,504˚ dan nilai α sebesar 14,496˚.
Nilai dh, dm, dan dt berturut-turut antara lain: 29,057 meter, 30,013 meter, dan
7,515 meter.
Sedangkan, pengukuran dengan menggunakan alat ukur hagameter
menghasilkan data antara lain, besarnya hasil pengukuran pada titik 10, 20 dan 30
meter menghasilkan data yang serupa yaitu 27% atau 15,10957512˚. Lalu,
pengukuran dengan meteran menghasilkan data yang berbeda yaitu, pada
pengukuran dengan jarak 10 meter didapati kemiringan lahan sebesar 24,87% atau
sama dengan 13,96˚. Pada jarak 20 meter, kemiringan lahan yang didapatkan
sebesar 30,13% atau sama dengan 16,77˚. Kemudian, pengukuran pada jarak 30
meter menghasilkan nilai kemiringan sebesar 26,76% atau sama dengan 14,98˚.
Nilai kemiringan lahan dapat dinyatakan dalam dua macam satuan, yaitu persen
dan derajat. Untuk mendapatkan nilai kemiringan dalam satuan derajat digunakan
perhitungan arc tangen perbandingan dt dengan dh atau jarak horizontal.
Alat ukur sudut lainnya yang digunakan untuk mengukur kemiringan
lahan yaitu abney level. Berdasarkan hasil pengukuran dengan abney level
didapatkan nilai kemiringan lahan pada jarak 10 meter, 20 meter dan 30 meter
berturut-turut antara lain: 28%, 30% dan 29% atau pada satuan derajat nilai
kemiringan lahannya yaitu 15,64224646˚, 16,69924423˚ dan 16,17215902˚. Nilai
kemiringan lahan dalam satuan derajat didapatkan dari rumus perhitungan arc
tangen nilai kemiringan lahan dalam persen dibagi dengan 100%. Lalu,
pengukuran terakhir yaitu menggunakan alat ukur suunto. Nilai hasil pengukuran
dengan suunto memiliki satuan derajat yaitu 4˚ pada jarak 10 meter, 11˚ pada
jarak 20 meter, dan 9˚ pada jarak 30 meter. Kemudian dikonversi ke dalam nilai
dengan satuan persen menggunakan rumus perhitungan yaitu tangen nilai derajat
dikalikan dengan 100%.
Berdasarkan hasil pengukuran dengan berbagai macam alat ukur sudut
tersebut, hasil pengukuran yang praktikan nilai memiliki keakuratan tinggi adalah
alat ukur teodolit. Oleh karena alat ukur teodolit memiliki berbagai aspek dalam
menentukan nilai kemiringan suatu lahan, diantaranya besar sudut vertikal dan
nilai alpha. Kemudian, alat ukur kemiringan lahan yang memiliki keakuratan
rendah yaitu meteran. Hal ini dipengaruhi oleh kemungkinan besar terjadinya
human error karena garis bacaan pada meteran hanya menampilkan sampai
dengan satuan centimeter, serta pada saat membentangkan tali pun rentan akan
terjadinya kesalahan. Ditambah lagi dengan pengetahuan praktikan akan
penggunaan alat ukur suunto yang minim meningkatkan ketidakakuratan
pengukuran kemiringan lahan. Besarnya kemiringan lahan yang didapatkan oleh
praktikan dengan menggunakan lima buah alat ukur sudut mengindikasikan
bahwasanya lahan tersebut termasuk ke dalam lahan yang rawan longosr.
Popon Widyasari
240110140044

3.2 Pembahasan
Praktikum Teknik Pengawetan Tanah dan Air kali ini yaitu tentang
pengukuran kemiringan lahan dengan alat pengukur sudut. Adapun alat pengukur
sudut yang digunakan dalam praktikum ini adalah theodolit, meteran, hagameter,
suunto level, dan abney level. Alat yang digunakan pada praktikum ini berbeda-
beda dan mempunyai fungsinya masing-masing, dan parameter yang
didapat/dibaca dari masing-masing alat berbeda pula. Namun tujuan akhir dari
data yang diperoleh dari masing-masing alat pengukur sudut ini sama, yaitu
mengetahui kemiringan dari suatu lahan atau dengan mengetahui persentase
kemiringan lahan. Praktikum ini dilaksanakan di lahan dekat gedung Fakultas
Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran yang memiliki kemiringan
lahan yang cukup curam dan berbeda-beda.
Hasil dari pembacaan alat pengukur sudut theodolit, pada kemiringan
lahan di titik pertama (10 m), titik kedua (20 m), dan titik ketiga (30 m) nilai yang
didapat berdasarkan data yang diperoleh dan perhitungan yang didapat berturut-
turut hasil dh adalah 14,728 m; 19,65 m; dan 29,057 m. Untuk nilai hasil
berturut-turut dt adalah 2,583 m; 5,151 m; dan 7,515 m. Sedangkan untuk nilai
persentase dari theodolit adalah 26,30%; 26,21%; dan 25,86% denagn nilai dalam
satuan derajat rata-rata 870. Untuk hasil pengukuran dan perhitungan alat ukur
meteran, persentase kemiringan lahan dari titik pertama sampai titik ketiga tidak
jauh berbeda yaitu 24,87%; 30,13%; dan 26,76%. Begitupun untuk hasil
pengukuran dan perhitungan alat pengukur sudut hagameter dan abney level
persentase kemiringan lahan pada masing-masing titik tidak terlalu jauh berbeda.
Untuk hagameter rata-rata persentase kemiringan lahannya 27% dan untuk abney
level adalah 30,33%. Sedangkan untuk hasil pembacaan/pengukuran dan
perhitungan suunto level pada masing-masing titik, persentase kemiringan
lahannya adalah 6,99%; 19,43%; 18,83%.
Dari hasil yang telah diketahui ini, masing-masing alat pengukur sudut yang
digunakan hasil persentasenya berbeda-beda. Jika dilihat dari literatur, hasil
pengukuran dari theodolit dan meteran klasifikasi dari ketiga titik lahan/lereng
yang diukur itu termasuk kelas kemiringan lahan yang agak terjal dan termasuk
kategori reliefnya bergelombang karena hasil pengukuran dan perhitungan
kemiringan lahannya adalah antara 25% sampai 26%.
Menurut literatur jika kemiringan lahan antara 25% sampai 40%, maka
lahan tersebut termasuk kedalam kelas kemiringan lahan terjal dan bentuk
reliefnya berbukit. Untuk hasil pengukuran serta perhitungan alat pengukur sudut
suunto level, kemiringan lahannya antara 6% sampai 15%. Dengan demikian,
lahan tersebut termasuk kelas kemiringan lahan yang miring dan mempunyai
bentuk relief berombak. Sedangkan untuk hasil pengukuran serta perhitungan alat
pengukur sudut hagameter dan abney level hampir sama, perhitungan kemiringan
lahannya dari hagameter 27%. Dengan demikian, lahan tersebut termasuk kelas
kemiringan lahan yang miring dan mempunyai bentuk relief berbukit. Dan untuk
hasil perhitungan abney level persentase kemiringan lahannya antara 15% sampai
25%, maka lahan tersebut termasuk dalam kelas kemiringan lahan agak curam dan
termasuk dalam kategori bentuk relief yang bergelombang. Dengan kata lain, hasil
pengukuran abney level sama dengan hasil pengukuran dan perhitungan yang
menggunakan alat ukur sudut theodolit dan meteran.
Berdasarkan hasil yang telah didapat, pengukuran dengan menggunakan
theodolit, abney level, dan meteran paling mendekati atau sesuai gambaran lahan
yang diukur kemiringannya, karena lahan yang dijadikan tempat praktikum
memang terlihat kemiringannya, lahan yang digunakan termasuk kelas kemiringan
lahan yang agak terjal dan bentuk reliefnya bergelombang dengan persentase
15% sampai 25 %.
Dalam praktikum ini ada beberapa kendala yang dirasakan oleh praktikan,
salah satunya yaitu alat yang digunakan sangat terbatas sehingga setiap kelompok
harus menggunakan alat tersebut secara bergantian yang mengakibatkan waktu
pelaksanaan praktikum lebih lama. Adapun hasil pengamatan dari masing-masing
alat yang berbeda-beda dan selisihnya cukup jauh itu disebabkan oleh
ketidaktelitian praktikan saat melakukan pembacaan/pengukuran pada suatu alat,
sehingga hasil yang didapat mempengaruhi keakuratan nilai yang didapat dari
pengukuran tersebut.
Laraswati Dwi N
240110140008
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil praktikum yang didapatkan, lahan yang dijadikan
sebagai lahan praktikum termasuk dalam kelas kemiringan lahan agak
terjal dengan relief bergelombang.
2. Pengukuran menggunakan abney level dan hagameter didapatkan data
kemiringan lahan yang sama, sedangkan pengukuran menggunakan
teodolit hasilnya akurat walaupun sedikit berbeda dan pengukuran
menggunakan suunto meter dan meteran data yang dihasilkan
berbeda.
3. Pengukuran menggunakan teodolit memiliki ketelitian yang tinggi.
4. Meteran merupakan alat ukur yang paling sederhana dan cara
pengukurannya pun mudah, akan tetapi ketelitian dalam penggunaan
alat ini paling rendah.
5. Tingkat kesalahan pada metode pengukuran dengan menggunakan
meteran cukup besar, karena penentuan lurus atau tidaknya meteran
dilakukan secara manual (kira-kira). Namun, cara ini sangat berguna
jika tidak ada alat lain yang memadai.

4.2 Saran
1. Ketelitian dalam pratikum ini sangat diperlukan, ketelitian dalam
membaca alat sampai pada ketelitian pengambilan titik.
2. Praktikan hendaknya mengerti dan memahami materi praktikum yang
akan dilaksanakan, sehingga pelaksanaan pratikum berjalan dengan
efektif dan efisien.
3. Praktikan harus mematuhi segala peraturan yang ada, sehingga akan
memperkecil kemungkinan akan adanya kesalahan dalam praktikum.
4. Dalam praktikum lapangan, penjagaan alat harus diperhatikan agar
alat tidak hilang.
Rattri Puspa Pertiwi
240110140020

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum ini adalah:
1. Untuk menentukan kemiringan lahan dengan menggunakan alat ukur
sudut (Suunto Level, Abney Level, Hagameter, Theodolit dan
Meteran).
2. Hasil pengukuran tergantung pada ketelitian si pembaca dan alat yang
digunakan.
3. Lahan yang diamati tergolong lahan yang miring, kemungkinan
terjadinya longsor.

4.2 Saran
Saran untuk praktikum kali ini adalah:
1. Sebelum memulai praktikum sebaiknya praktikan menguasai materi
yang akan di praktikumkan agar tidak terjadi kebingungan dan
kesalahan dalam praktikum.
2. Pastikan alat yang digunakan alat dalam keadaan baik.
3. Telitilah dalam membaca alat ukur sudut yang digunakan.
Gina Sania
240110140033

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
1. Kelebihan dari alat teodolit dapat digunakan untuk memetakan suatu
wilayah dengan cepat, cara penggunaanya mudah, data yang diperoleh
akurat.
2. Kelebihan menggunakan alat ukur sudut suunto bebas korosi dan skala
berjalan pada bearing khusus dalam wadah plastik tertutup rapat yang
diisi dengan cairan khusus yang mempromosikan mereka berjalan
lancar dan efisien.
3. Kelebihan dari alat ukur sudut hagameter ini membantu dalam
menentukan jarak panjang dasar dengan cepat dan tepat.
4. Kelebihan pengukuran menggunakan alat ukur sudut abney level lebih
praktis ketika dibawa ke lapangan, mudah untuk digunakan, relatif
murah dan akurat.
5. Kelebihan menggunakan meteran pita gulung mudah pemakaiannya,
dan mudah dibawa.
6. Dari semua alat ukur yang dipakai untuk mengetahui kemiringan,
masing-masing alat mempunyai kelebihan dan kelemahan.
7. Nilai hasil yang didapatkan juga beragam tergantung pada pemakaian
alatnya juga karena alat yang digunakan berbeda-beda.

4.2 Saran
1. Sebelum melakukan praktikum alangkah baiknya memperkenalkan
alat yang akan digunakan.
2. Alat yang digunakan ketika praktikum sebaiknya dalam keadaan
sangat baik agar ketika dipakai tidak menimbulkan kesalahan.
3. Sebaiknya sebelum melakukan praktikum, praktikan membaca materi
yang akan dipraktikumkan terlebih dahulu.
Yosep Setiawan
240110140042

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari praktikum kali ini yaitu,
1. Dalam menentukan besarnya kemiringan suatu lahan dapat diukur
menggunakan alat ukur sudut diantaranya, teodolit, hagameter,
meteran, suunto dan abney level
2. Keakuratan pengukuran didasarkan pada kemampuan membaca
praktikan serta kondisi alat ukur yang digunakan
3. Keakuratan hasil pengukuran paling tinggi dimiliki oleh alat ukur
teodolit sedangkan alat yang paling mudah dalam perawatan serta
pemakaiannya yaitu abney level
4. Lahan Agrowisata Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
termasuk ke dalam kategori lahan rawan longsor.

4.2 Saran
Adapun saran untuk praktikum kali ini yaitu,
1. Sebaiknya sebelum memulai praktikum, praktikan telah menguasai
semua alat yang akan digunakan
2. Membandingkan hasil bacaan dari tiap praktikan dalam kelompok
untuk menguji keakuratan hasil bacaan
Popon Widyasari
240110140044
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang didapat dari praktikum ini, adalah:
1. Praktikan bisa melakukan pengukuran kemiringan lahan dengan benar
menggunakan alat pengukur sudut dalam satuan persen dan derajat.
2. Hasil pengukuran dari teodolit, abney level, dan meteran klasifikasi dari
ketiga titik lahan/lereng yang diukur itu termasuk kelas kemiringan lahan
yang agak terjal dan termasuk kategori reliefnya bergelombang. Untuk
hasil pengukuran dari suunto level, lahan tersebut termasuk kedalam
kelas kemiringan lahan terjal dan bentuk reliefnya berbukit. Sedangkan
hasil pengukuran serta perhitungan alat pengukur sudut hagameter, lahan
tersebut termasuk kelas kemiringan lahan yang miring dan mempunyai
bentuk relief berombak.
3. Pengukuran dengan menggunakan teodolit, abney level, dan meteran
paling mendekati atau sesuai gambaran lahan yang diukur
kemiringannya, karena lahan yang dijadikan tempat praktikum memang
terlihat kemiringannya, lahan yang digunakan termasuk kelas
kemiringan lahan yang agak terjal dan bentuk reliefnya bergelombang
dengan persentase 15% sampai 25 %.
4. Semakin tinggi persentase kemiringan lahan maka lahan tersebut
semakin curam dan bentuk reliefnya semakin bergunung.

4.2 Saran
Adapun saran untuk praktikum kali ini, adalah:
1. Setiap praktikan sebaiknya membaca materi dan memahaminya terlebih
dahulu sebelum melakukan praktikum.
2. Diperbanyak lagi alat praktikum yang digunakan agar waktu
pelaksanaan praktikum berjalan lebih efektif.
3. Praktikan lebih teliti dalam pengukuran maupun perhitungan.
DAFTAR PUSTAKA

Bafdal, N., Amaru, K., Suryadi, E., & Ardiansah, I. (2012). Menghitung
Curah Hujan. In N. Bafdal, K. Amaru, E. Suryadi, & I. Ardiansah,.
Penuntun Praktikum Teknik Pengawetan Tanah dan Air (pp. 01-02).
Bandung: Jurusan Teknik dan Manajemen Industri Pertanian, FTIP,
Universitas Padjadjaran.

Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. 2007. Petunjuk Teknis Teknologi Konservasi
Tanah dan Air. Departemen Pertanian.

Saifudin, Arief. 1985. Konservasi Tanah dan Air. CV. Pustaka Buana. Bandung.

Schwab, Glen O; dkk. 1981. Soil and Water Conservation Engineering.


United States of America: John Wiley and Sons, Inc.

Wongsotjitro, Soetomo. 1992. Ilmu Ukur Tanah. Yogyakarta: Kanisius.


LAMPIRAN

Dokumentasi Praktikum

Gambar 7. Abney Level

Gambar 8. Suunto
PEMBAGIAN TUGAS

No Nama Pembagian Tugas


Latar Belakang dan
1 Laraswati Dwi Nugrahani
Tujuan Praktikum
Metode Pengamatan dan
2 Rattri Puspa Pertiwi
Pengukuran
3 Gina Sania Hasil Praktikum
4 Yosep Setiawan Editor
5 Popon Widyasari Tinjauan Pustaka

Anda mungkin juga menyukai