Diagnosis yang paling sering membingungkan dan sangat sulit dibedakan dengan
sindrom kompartemen adalah oklusi arteri dan kerusakan saraf primer, dengan beberapa ciri
yang sama yang ditemukan pada masing-masingnya.
Pada sindrom kompartemen kronik didapatkan nyeri yang hilang timbul, dimana nyeri
muncul pada saat berolahraga dan berkurang pada saat beristirahat. Sindrom kompartemen
kronik dibedakan dengan claudicatio intermittens yang merupakan nyeri otot atau kelemahan
otot pada tungkai bawah karena latihan dan berkurang dengan istirahat, biasanya nyeri
berhenti 2-5 menit setelah beraktivitas. Hal ini disebabkan oleh adanya oklusi atau obstruksi
pada arteri bagian proksimal, tidak ada peningkatan tekanan kompartemen dalam hal ini.
Sedangkan sindrom kompartemen kronik adanya kontraksi otot berulang-ulang yang dapat
meningkatkan tekanan intramuskular, sehingga menyebabkan iskemia kemudian menurunkan
aliran darah dan otot menjadi kram.
Diagnosis banding dari sindrom kompartemen antara lain:
1. Cellulitis
2. Coelenterate and Jellyfish Envenomations
3. Deep Vein Trombosis and Thrombophlebitis
4. Gas Ganggrene
5. Necrotizing Fasciitis
6. Peripheral Vascular Injuries
7. Rhabdomyolysis
Tatalaksana
Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk dugaan
sementara. Bentuk terapi ini meliputi:
2. Medikamentosa
a. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat perkembangan
sindroma kompartemen.
b. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah.
c. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakaian manitol dapat mengurangi
tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler, dengan memproduksi kembali
energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang nekrosis melalui kemampuan dari
radikal bebas.
d. Obat-obatan opiod, non-opoid, dan NSAID digunakan untuk mengatasi rasa nyeri. Tetapi
harus diperhatikan efek samping dari obat-obatan tersebut sebelum memilih obat mana
yang akan digunakan.
3. Terapi Bedah
Jika tekanannya <30 mm Hg, maka daerah yang terkena cukup diobservasi dengan
cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan membaik, evaluasi terus
dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan tetapi, jika memburuk, maka segera
lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam.
Secara umum pada saat ini, banyak ahli bedah menggunakan tekanan kompartemen
30 mmHg sebagai indikasi untuk melakukan fasciotomi. Mubarak dan Hargens
merekomendasikan dilakukannya fasciotomi dilakukan pada pasien berikut:
Pasien yang normotensif dengan temuan klinis yang positif, yang memiliki
tekanan intrakompartemen yang lebih besar dari 30 mmHg, dan durasi tekanan yang
meningkat tidak diketahui atau dianggap lebih dari 8 jam.
Pasien yang tidak kooperatif atau tidak sadar, dengan tekanan intrakompartemen
lebih dari 30 mmHg.
Pasien dengan hipotensif dan tekanan intrakompartemen yang lebih besar dari 20
mmHg.
Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda.
Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman dan lebih
efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan risiko kerusakan
arteri dan vena peroneal.
Fasciotomi pada Regio Cruris
1. Fibulektomy
Dibuat insisi lateral, longitudinal pada garis fibula, sepanjang mulai dari distal caput fibula
sampai 3-4 cm proksimal malleolus lateralis. Kulit dibuka pada bagian anterior dan jangan
sampai melukai nervus peroneal superficial. Dibuat fasciotomy longitudinal pada
kompartemen anterior dan lateral. Berikutnya kulit dibuka ke bagian posterior dan dilakukan
fasciotomi kompartemen posterior superficial. Batas antara kompartemen superficial dan
lateral dan interval ini diperluas ke atas dengan memotong soleus dari fibula. Otot dan
pembuluh darah peroneal ditarik ke belakang. Kemudian diidentifikasi fascia otot tibialis
posterior ke fibula dan dilakukan inisisi secara longitudinal.
3. Fasciotomi insisi ganda (Mubarak dan Hargens)
Insisi sepanjang 20-25 cm dibuat pada kompartemen anterior, setengah antara fibula dan
caput tibia. Diseksi subkutaneus digunakan untuk mengekspos fascia kompartemen. Insisi
tranversal dibuat pada septum intermuskular lateral dan identifikasi nervus peroneal
superficial pada bagian posterior septum. Buka kompartemen anterior kearah proksimal dan
distal pada garis tibialis anterior. Kemudian dilakukan fasciotomi pada kompartemen lateral
ke arah proksimal dan distal pada garis tubulus fibula.
Insisi kedua dibuat secara longiotudinal 1 cm dibelakang garis posterior tibia. Digunakan
diseksi subkutaneus yang luas untuk mengidentifikasi fascia. Vena dan nervus saphenus
ditarik ke anterior. Dibuat insisi tranversal untuk mengidentifikasi septum antara
kompartemen posterior profunda dan superficial. Kemudian dibuka fascia gastrocsoleus
sepanjang kompartemen. Dibuat insisi lain pada otot fleksor digitorum longus dan
dibebaskan seluruh kompartemen posterior profunda. Setelah kompartemen posterior
dibuka, identifikasi kompartemen otot tibialis posterior. Jika terjadi peningkatan tekanan
pada kompartemen ini, segera dibuka.
Fasciotomi pada Regio Antebrachii :
1. Pendekatan volar (Henry)
Dekompresi kompartemen fleksor volar profunda dan superficial dapat dilakukan dengan
insisi tunggal. Insisi kulit dimulai dari proksimal ke fossa antecubiti sampai ke palmar pada
daerah tunnel carpal. Tekanan kompartemen dapat diukur selama operasi untuk
mengkonfirmasi dekompresi. Tidak ada penggunaan torniket. Insisi kulit mulai dari medial
ke tendon bicep, bersebelahan dengan siku kemudian ke sisi radial tangan dan diperpanjang
kearah distal sepenjang brachioradialis, dilanjutkan ke palmar. Kemudian kompartemen
fleksor superficial diinsisi, mulai pada titik 1 atau 2 cm di atas siku kearah bawah sampai di
pergelangan.
Dibuat sebuah insisi 5 cm pada pertengahan fibula dan kaput tibia atau melalui defek fascia
jika terdapat hernia muskuler pada daerah keluarnya nervus peroneal. Nervus peroneal
segera dicari dan dilewatkan fasciotom ke kompartemen anterior pada garis otot tibialis
anterior. Pada kompartemen lateral, fasciotom diarahkan ke posterior nervus peroneal
superficial pada garis fibular. Tutup kulit dengan cara biasa dan pasang pembalut steril.
Dibuat 2 insisi pada tungkai bawah 1 cm dibelakang garis posteromedial tibia. Kemudian
dicari vena saphenus pada insisi proksimal dan tarik ke anterior bersama dengan saraf,
masuk dan dibuka kompartemen superficial kemudian fascia profunda di insisi.
Kompartemen profunda diekspos termasuk otot digitorum longus dan tibialis posterior
dengan merobek sambungan soleus. Kumparan neurovaskuler dan tendo tibialis posterior
kemudian di insisi ke proksimal dan distal fascia pada tendon tersebut. Tibialis posterior
adalah kunci dekompresi kompartemen posterior dan biasanya berkontraksi ke proksimal
antara fleksor hallucis longus, lebarkan batas antaranya untuk memeriksa kontraksinya.
Tutup luka diatas drain untuk meminimalkan pembentukan hematom.
Luka harus dibiarkan terbuka selama 5 hari kalau terdapat nekrosis otot dapat dilakukan
debridemen, kalau jaringan itu sehat luka dapat dijahit ( tanpa tegangan ) atau dilakukan
pencangkokan kulit atau dibiarkan sembuh dengan intensi sekunder.
L. Prognosis
Prognosis ini tergantung dari waktu saat menentukan diagnosis dan pengambilan
tindakan pengobatan. Hal lain yang mempengaruhi juga adalah daerah tempat terjadinya sindrom
kompartemen, serta penggunaan ektremitas tersebut dalam akitivitas sehari-hari. Sindrom
kompartemen akut cenderung memiliki hasil akhir yang jelek. Toleransi otot untuk terjadinya
iskemia adalah 4 jam. Kerusakan ireversibel terjadi bila lebih dari 8 jam. Jika diagnosa
terlambat, dapat menyebabkan trauma saraf dan hilangnya fungsi otot. Walaupun fasciotomi
dilakukan dengan cepat dan awal, hampir 20% pasien mengalami defisit motorik dan sensorik
yang persisten.