Anda di halaman 1dari 12

KAJIAN PENERAPAN GOOD HANDLING PRACTICES PADA

KACANG TANAH UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN


DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL

Yeyen Prestyaning W. dan Purwaningsih

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta

Jl. Stadion Maguwoharjo No.22 Wedomartani Ngemplak Sleman

Email : purwaningsih.gkp@gmail.com Telp: (0274) 884662, fax: (0274) 4477052

ABSTRAK

Gunung Kidul merupakan daerah penghasil kacang tanah terbesar di DIY. Kacang
tanah mengandung asam lemak tidak jenuh berperan penting dalam mengatasi stroke dan
depresi, namun kacang tanah mudah terinfeksi cendawan toksigenik Aspergillus flavus
yang kemudian berkembang dan memproduksi Aflatoxin bila tidak ditangani dengan baik.
Sehingga perlu dilakukan suatu pengkajian tentang penerapan pengelolaan atau
penanganan pasca panen yang baik (GHP) terhadap produk kacang-kacangan dan untuk
menekan cemaran aflatoxin dan sesuai dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) yaitu SNI
01 3921 1995. Tujuan pengkajian ini adalah mengintroduksi teknologi penanganan pasca
panen kacang tanah untuk menekan cemaran aflatoxin. Data yang dikumpulkan dianalisis
dengan t-test. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa kadar air, diameter, sifat fisik dan kandungan
aflatoxin cara introduksi lebih baik dari perlakuan cara petani. Kadar air ose kacang tanah setelah
penyimpanan 3 bulan, cara introduksi 6,78%; cara petani 9,34%. . Diameter ose kacang tanah
setelah penyimpanan 3 bulan, cara introduksi 7,35%; cara petani 5,9%. Kandungan Aflatoxin ose
kacang tanah setelah penyimpanan 3 bulan, cara introduksi 18,75 ppb; cara petani 360,25 ppb.

Kata Kunci: GHP, kacang tanah, teknologi introduksi

ABSTRACT

Gunung Kidul is the largest peanut-producing areas in the province. Peanuts contain unsaturated
fatty acids play an important role in addressing stroke and depression, yet easy-infected peanut
toxigenic fungi Aspergillus flavus, which was developed and produced Aflatoxin if not handled
properly. So that should be an assessment of the application of post harvest management or good
(GHP) to nuts and products to reduce aflatoxin contamination and in accordance with SNI
(Indonesian National Standard) is SNI 01 3921 1995. The purpose of this study is introducing post-
harvest handling technology to suppress peanut aflatoxin contamination. The data collected were
analyzed by t-test. The study showed that the water content, diameter, physical properties and
aflatoxin content of the introduction of a better way of treatment the way farmers. Ose moisture
content of peanuts after 3 months of storage, how the introduction of 6.78%, 9.34% how farmers.
Ose diameter peanuts after 3 months of storage, how the introduction of 7.35%; way farmers 5.9%.
Aflatoxin content of peanuts ose after 3 months of storage, how the introduction of 18.75 ppb; way
farmers 360.25 ppb.

Keywords: GHP, peanuts, technology introduction


PENDAHULUAN

Kacang tanah adalah bahan makanan asal tumbuh-tumbuhan yang biasa


dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Menurut data sebaran provinsi sentra produksi
kacang tanah tahun 2011, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan tiga besar
penghasil kacang tanah nasional (Anonim, 2012a). Hal inilah yang membuat komoditas
kacang tanah masuk menjadi 10 besar komoditas pertanian yang ditangani oleh Dinas
Pertanian DIY sakarang ini. Luas tanam kacang tanah di DIY sebesar 60.421 Ha, luas
panen 59.533 Ha, produktivias 10.76 ku/Ha, dan tingkat produksi 64,084 ton. Jika dilihat
luas tanam per kabupaten di DIY, ada 3 besar Kabupaten penghasil kacang tanah, yaitu
Kabupaten Gunungkidul (50.512 Ha), Sleman (5.687 Ha), dan Bantul (3.119 Ha) (Anonim,
2012b). Produksi rata-rata kacang tanah tertinggi di Kabupaten Gunungkidul yaitu 10,77
ku/Ha. Salah satu kecamatan dengan produksi tertinggi adalah di Kecamatan Semanu
sebesar 10,54 ku/Ha (BPS, 2010).

Kandungan gizi kacang-kacangan sangat baik bagi kesehatan berupa protein,


lemak, vitamin C, niasin dan lain-lain. Biji kacang tanah yang diproses tanpa zat tambahan
(aditif) tetap memiliki kadar kolestrol nol persen. Selain itu, minyak kacang tanah
mengandung asam lemak tidak jenuh dengan kadar hingga 80% dan di dalamnya terdapat
40-45% asam linoleat. Asam lemak tidak jenuh berperan penting dalam mengatasi stroke,
depresi serta memperbaiki dan mempertahankan struktur otak (NAS 1979; Mijerante et al.,
1986; Maesen et al., 1993).

Namun, kacang tanah memiliki kelemahan sehingga manfaatnya menjadi kurang


optimal jika tidak ditangani secara baik. Salah satu kelemahan kacang tanah adalah mudah
terinfeksi cendawan toksigenik yang kemudian berkembang dan memproduksi mikotoksin.
Cendawan toksigenik yang biasa menginfeksi kacang tanah adalah Aspergillus flavus dan
A. parasiticus. Toksin yang dihasilkan disebut aflatoksin. Di Indonesia, aflatoksin
tergolong ke dalam mikotoksin utama yang banyak mengontaminasi produk pertanian
seperti jagung, kacang tanah, bahan pakan ternak, dan produk ternak (Muhilal et al., 1985).
Batas maksimum kandungan aflatoksin yang diizinkan untuk produk makanan berbeda
antarnegara. FAO menetapkan 30 ppb (Kasno, 2010).

Peningkatan kandungan aflatoxin dapat terjadi pada saat passca panen yaitu dengan
penanganan pasca panen yang kurang baik dan tepat serta pada saat penyimpan di tingkat
pedagang sampai retail di pasar tradisional. Hal ini terjadi karena pada tingkat ini kemasan
biasanya tidak tertutup rapat dan penyimpanan dalam jangka waktu lama. Biji kacang yang
tercemar oleh racun aflatoxin berbahaya bagi kesehatan. Menurut Hastuti (2010)
menyatakan bahwa racun aflatoxin yang terkandung dalam bahan makanan dan
terkonsumsi oleh manusia maupun hewan dapat menyebabkan kerusakan struktur hepatosit
dan gangguan fungsi hepar. Sehingga dipandang perlunya dilakukan suatu pengkajian
tentang penerapan pengelolaan atau penanganan pasca panen yang baik (GHP) terhadap
produk kacang-kacangan dan untuk menekan cemaran aflatoxin dan sesuai dengan SNI
(Standar Nasional Indonesia) yaitu SNI 01 3921 1995. Tujuan pengkajian ini adalah
mengintroduksi teknologi penanganan pasca panen kacang tanah untuk menekan cemaran
aflatoxin.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Pengkajian

Pengkajian dilaksanakan di Desa Candirejo dan Pacarejo, Kecamatan Semanu,


Kabupaten Gunungkidul dan Laboratorium Pasca Panen dan Alsintan, BPTP Yogyakarta
pada bulan Januari – Desember 2013.

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan adalah kacang tanah varietas local yang dibeli dari petani
kooperator pada saat sebelum waktu panen serta bahan-bahan lain yang digunakan untuk
analisa fisik, kimia, ekonomi, dan organoleptik. Kacang tanah yang diambil dari petani
kooperator di Desa Candirejo dan Pacarejo, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul.
Kacang tanah yang digunakan dipanen pada musim hujan sekitar bulan Februari – Maret
2013 dan pada musim kering atau kemarau sekitar bulan Juni 2013. Umur panen untuk
kacang tanah adalah 90 – 95 HST. Peralatan yang digunakan adalah timbangan, para-para
(rak pengering), rak tempat para-para, karung plastik, plastic, alat pengukur tingkat
cemaran aflatoxin secara kualitatif (lampu UV), alat pengukur kadar air, tenggok
(keranjang bambu), ember plastic, thermohigrometer.
Teknis Pengkajian
Pengkajian dilakukan dengan membandingkan penanganan pasca panen (Good
Handling Practices/GHP) kacang tanah mulai dari proses pemipilan, pengeringan dan
penyimpanan yang biasanya dilakukan petani di Desa Candirejo dan Pacarejo Kecamatan
Semanu ( existing technology) dengan cara yang telah diperbaiki (teknologi introduksi).
Pengkajian dilaksanakan di 4 petani kooperator di Desa Candirejo dan 5 petani kooperator
di Desa Pacarejo. Setiap perlakuan digunakan 12 kg kacang tanah. Teknologi introduksi
yang berikan adalah rekomendasi penanganan pasca panen dan kacang tanah dari Balai
Penelitian Umbi-Umbian dan Kacang-kacangan, serta Balai Besar Pasca Panen, Badan
Litbang Kementan yaitu penelitian Raihmana et al (2010), Kasno (2004) dan Kasno
(2010). Pengamatan dilakukan selama 0, 1, 2, dan 3 bulan.
Tabel 1. Penanganan pasca panen kacang tanah yang dilakukan
NO. KOMPONEN CARA PETANI CARA YANG
TEKNOLOGI DIPERBAIKI
1. Pemipilan/ pemisahan - Segera setelah panen - Segera setelah panen
polong dari tidak dilakukan pemipilan dilakukan pemipilan
brangkasan basah terhadap polong dari polong dari brangkasan
brangkasan basah basah
- Pembersihan terhadap - Pembersihan dilakukan
polong dilakukan terhadap tanah yang
seadanya (menghilangkan menempel sekalian sortasi
tanah yang menempel) terhadap polong terlalu
- Dilakukan setelah proses muda, busuk, dll
pengeringan
2. Penjemuran - Polong dikeringkan - Polong dikeringkan sendiri
bersama brangkasan tanpa brangkasan basah
basah - Penjemuran dilakukan di
- Penjemuran bersama atas para-para
brangkasan dilakukan di - Pembersihan dan sortasi
lahan selama 2- 5 hari tetap dilakukan pada saat
baru dibawa ke rumah penjemuran
untuk dipipil
- Penjemuran lanjutan
dilakukan di tanah dengan
dialasi terpal
- Tidak dilakukan
pembersihan dan sortasi

3. Penyimpanan polong - Pengemasan - Pengemasan menggunakan


menggunakan bahan dari kemasan primer berupa
karung plastic (biasanya plastic PE tipis dan
bekas pupuk)/ kemasan sekunder
tenggok/diatas tanah menggunakan karung
- Selama proses plastic
penyimpanan tidak - Selama proses
menggunakan alas (pallet) penyimpanan dialasi
sehingga langsung menggunakan palet
berinteraksi dengan tanah
atau lantai
Variabel yang diamati
Pengamatan dilakukan terhadap sifat fisik (jumlah biji utuh/bernas, jumlah biji
keriput, biji warna lain, biji berjamur, perubahan berat, dan lain-lain) dan kimia polong
(kadar air dan cemaran aflatoxin).
Analisis data
Data fisik dan kimia yang diperoleh kemudian dilakukan analisa data dengan T-tes.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Kacang Tanah Existing Technology dan Teknologi
Introduksi Panen Musim Penghujan
Polong yang telah dipipil kemudian dikupas atau dipisahkan antara kulit dan biji
(ose) maka perbandingan berat ose dengan kulit setelah perlakuan pemipilan disajikan
dalam Gambar 1.
Persentase berat

66.34 63.87
80.00
60.00 33.66 36.13
(%)

40.00
20.00
0.00
panen introduksi panen petani
kulit 33.66 36.13
0se 66.34 Perlakuan 63.87

Gambar 1. Perbandingan berat ose dan kulit setelah dipipil dari dua perlakuan yaitu penanganan cara
introduksi dan petani

Pada tahapan pemipilan perlakuan penanganan pasca panen cara introduksi


dihasilkan ose yang lebih berat dibandingkan dengan penanganan cara petani karena pada
penanganan cara introduksi ada proses sortasi antara polong yang sudah masak optimal
dengan yang masih muda dan rusak, sedangkan pada penanganan cara petani tidak. Jika
ose yang dihasilkan kemudian di lakukan analisa sifat fisiknya maka terjadi juga terlihat
adanya perbedaan sifat fisik antara penanganan pasca panen cara introduksi dengan
existing seperti yang terlihat dalam Gambar 2.
100.00
80.00

Berat (%)
60.00
40.00
20.00
0.00
bertun wrn berjam
bernas muda cacat busuk keriput
as lain ur
panen introduksi 86.07 3.25 6.76 0.18 0.08 3.53 0.00 0.14
panen petani 67.68 2.04 8.64 0.31 0.05 4.74 0.18 0.33

Sifat fisik ose

Gambar 2. Sifat fisik ose kacang tanah yang dihasilkan dari poses panen sampai dengan pemipilan antara
tahapan penanganan pasca panen introduksi dengan existing.

Pada tahapan pasca panen (pemipilan) kacang tanah sudah terlihat perbedaan sifat
fisik antara penanganan cara introduksi dan existing. Disini terlihat pentingnya proses
sortasi dalam penanganan pasca panen bahan tanaman asal tumbuhan seperti yang
tercantum dalam peraturan Menteri Pertanian tahun 2009 No.
44/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Pelaksaan Pedoman Penanganan Pasca Panen Yang
Baik Hasil Tanaman Asal Tanaman Yang Baik. Dalam peraturan ini dijelaskan bahwa
kegiatan sortasi atau pemilahan antara hasil panen yang berkualitas baik dan tidak baik
dimaksudkan untuk mempertahankan mutu produk hasil tanaman yang sudah baik.
Perubahan kadar air dan berat
Kadar air polong kacang tanah dari saat panen sampai disimpan selama 3 bulan
mengalami perubahan baik yang existing technology maupun yang teknologi introduksi.
Perubahan kadar air tersebut disajikan dalam Gambar 3. berikut.

35.00
30.00
Kada air (%)

25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
panen pengering simpan simpan simpan
an bln ke-1 bln ke-2 bln ke-3
introduksi 31.23 6.54 6.41 6.92 6.78
petani 31.23 11.85 7.69
Tahapan penanganan9.39 9.34

Gambar 3. Perubahan kadar air kacang tanah dari panen sampai penyimpanan bulan ke-3 cara introduksi dan
existing technology (panen musim penghujan)

Analisis kadar air dilakukan untuk mengetahui perubahan kandungan air pada
kacang tanah. Kadar air merupakan salah satu faktor yang paling mempengaruhi daya
simpan kacang tanah selama menunggu untuk dilakukan proses selanjutnya baik
penyimpanan maupun pengolahan. Kadar air perlakuan existing technology mengalami
perubahan yang lebih besar dari pada teknologi introduksi dikarenakan pada penanganan
pasca panen existing technology tidak adanya proses sortasi antara biji yang sudah matang
(tua/bernas) dengan biji muda maupun cacat. Sehingga pada perlakuan existing lebih
banyak terdapat biji muda dengan kadar air yang lebih tinggi daripada biji matang (tua).
Pada saat proses pengeringan dan penyimpanan biji muda mengalami penurunan kadar air
drastis karena didalamnya belum terbentuk zat-zat penyusun ose (gizi) secara sempurna
dan kandungan utamanya masih berupa air. Perubahan kadar air ini juga berhubungan
dengan pertumbuhan A. flavus dan mikroba lainnya. Semakin tinggi kadar air pada kacang
tanah maka akan semakin banyak kemungkinan A. flavus dan mikroba lain yang dapat
mengkontaminasinya, sehingga kacang tanah akan mudah mengalami kerusakan. Proses
pengeringan polong kacang tanah cara petani (existing) diladang masih menghasilkan
kadar air yang tinggi (22,4%) karena kacang tanah dibiarkan diladang terbuka tanpa alas
dan pelindung yang menyebabkan penurunan kadar air berjalan lambat. Pada kadar air ini,
kacang tanah rentan ditumbuhi oleh jamur A. flavus sedangkan pada kacang tanah cara
introduksi menggunakan para-para menghasilkan kadar air lebih rendah yaitu 13,48%.
Sehingga kontaminasi oleh jamur A. flavus dapat diminimalkan. Perubahan kadar air
berhubungan erat dengan perubahan berat kacang tanah. Persentase berat kacang tanah
mulai dari tahapan panen sampai dengan penyimpanan selama 3 bulan baik perlakuan
introduksi maupun existing disajikan dalam Gambar 4. Presentase berat polong kacang
tanah pada cara introduksi lebih tinggi dibanding cara petani hal ini karena adanya proses
sortasi antara biji yang sudah matang (tua/bernas) dengan biji muda maupun cacat.
Sehingga pada perlakuan introduksi lebih banyak terdapat biji bernas (tua) yang tidak
mudah mengalami perubahan berat karena perubahan kadar air.
Persentase berat (%)

100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
panen stlh simpan simpan simpan
pengering bln ke-1 bln ke-2 bln ke-3
an
introduksi 100.00 79.41 66.83 59.83 57.83
petani 100.00 58.67 53.00 46.75 45.61
Tahapan penanganan
Gambar 4. Persentase berat polong kacang tanah existing technology dan teknologi introduksi selama tahapan
pengeringan dan penyimpanan.

Sifat fisik
Sifat fisik kacang tanah yang dihasilkan dari kedua perlakuan dibandingkan dengan
standar SNI untuk ose kacang tanah yaitu SNI 01 3921 1995. SNI ini mengatur tentang
spesifikasi mutu kacang tanah dalam bentuk biji (ose). Spesifikasi mutu tersebut tersaji
dalam tabel 2.
Tabel 2. Spesifikasi mutu kacang tanah dalam bentuk biji (ose) sesuai SNI 01 3921 1995
No. Jenis uji Mutu
I II III
1 Kadar air (%) Max. 6 Max. 7 Max. 8
2 Butir rusak (%) Max. 0 Max. 1 Max. 2
3 Butir belah (%) Max. 1 Max. 5 Max. 10
4 Butir keriput (%) Max. 0 Max. 2 Max. 3
5 Butir warna lain (%) Max. 0 Max. 2 Max. 4
6 Kotoran (%) Max. 0 Max. 0,5 Max. 3
7 Diameter (mm) Min. 8 Min. 7 Min. 6

Untuk mengetahui spesifikasi ose kacang tanah yang dihasilkan dalam tahapan
penangannya baik perlakuan introduksi maupun existing sesuai belum dengan persyaratan
SNI, maka kacang tanah terlebih dahulu dipisahkan antara ose (biji) dengan kulitnya.
Pembandingan sifat fisik ose yang dihasilkan baik penanganan pasca panen cara introduksi
maupun existing dilakukan setelah proses pengeringan sampai penyimpanan bulan ke-3
disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Sifat fisik ose kacang tanah setelah proses pengeringan sampai penyimpanan
bulan ke-3 dengan perlakuan penanganan pasca panen (introduksi dan existing)
Sifat fisik ose Penanganan pasca panen cara introduksi Penanganan pasca panen cara existing
kacang tanah Setelah Bulan Bulan Bulan Setelah Bulan Bulan Bulan
pengeringan ke-1 ke-2 ke-3 pengeringan ke-1 ke-2 ke-3
Kadar air (%) 77,24 6,41 6,92 6,78 67,68 7,69 9,39 9,34
Diameter (mm) 7,34 7,13 7,36 7,35 7.18 7,37 6,51 5,9
Bernas (%) 10,24 77,62 73,96 62,72 8,64 69,11 73,96 69,08
Bertunas (%) 0,61 0,74 0,63 1,78 0,31 2,07 0,63 0,61
Muda (%) 0,00 14,44 18,12 26,82 0,05 16,58 18,12 14,63
Cacat (%) 9,09 0,00 0,00 0,00 4,74 0,00 0,00 0,00
Busuk (%) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,18 0,00 0,00 0,00
Keriput (%) 0,16 6,85 7,04 8,12 0,33 11,00 7,04 11,67
Warna lain (%) 6,54 0,01 0,00 0,16 11,85 0,30 0 0,17
Ose berjamur (%) 7,44 0,17 0,00 0,00 7,21 0,83 0 0,00
Ose pecah (%) 0,16 0,25 0,40 0,11 0,25 3,73
Berdasarkan Tabel 3. Terlihat bahwa sifat fisik ose kacang tanah setelah proses
pengeringan sampai penyimpanan bulan ke-3 dengan perlakuan penanganan pasca panen
introduksi lebih baik daripada cara existing. Sifat fisik ose kacang tanah teknologi
introduksi memenuhi syarat SNI 01 3921 1995, syarat mutu II dari point kadar air dan
diameter sedangkan cara petani belum memenuhi syarat SNI.

Kandungan aflatoxin

400
Kandungan aflatoxin (ppb)

300
200
100
0
panen pengerin simpan simpan simpan
gan bln ke-1 bln ke-2 bln ke-3
petani 0 0 26 26 360.25
introduksi 0 0 0 2.5 18.75

Tahapan pasca panen

Gambar 5. Kandungan aflatoxin kacang tanah existing technology dan


teknologi introduksi selama tahapan panan, pengeringan dan penyimpanan

Kandungan Aflatoxin kacang tanah existing technology dan teknologi introduksi


selama tahapan panan, pengeringan dan penyimpanan disajikan pada Gambar 5. Dari
Gambar tersebut terlihat bahwa kandungan aflatoxin setelah penyimpanan bulan ke-3 pada
cara introduksi lebih rendah (18,75 ppb) dari cara petani (360,25 ppb) walaupun pada saat
panen dan pengeringan kandungan aflatoxinnya tidak ada, hal ini sesuai dengan pernyataan
Dharmaputra et al. 2003a,b; Rahmianna et al. 2007, bahwa kandungan aflatoksin kacang
tanah yang baru dipanen sangat rendah. Oleh karena itu ditengarai bahwa peningkatan
kandungan aflatoksin terjadi setelah kacang tanah dipanen, selama dalam proses
pengeringan, dan transportasi serta penyimpanan di tingkat pedagang hingga di tingkat ritel
di pasar tradisional. Hal ini terjadi karena kacang tanah disimpan pada lingkungan,
terutama suhu dan kelembaban udara, yang kondusif bagi jamur A. flavus untuk
memproduksi aflatoksin. Pada dasarnya, aflatoksin dapat diproduksi ketika kacang tanah
masih berada di lapang (prapanen) atau setelah dipanen/pascapanen apabila pengeringan
polong terlambat dan “water activity” di dalam biji pada kondisi yang kondusif bagi jamur
A. flavus untuk tumbuh selama polong disimpan.
KESIMPULAN
1. Sifat fisik dan kandungan aflatoxin cara introduksi lebih baik dari perlakuan cara petani.
Sifat fisik ose kacang tanah teknologi introduksi memenuhi syarat SNI 01 3921
1995, syarat mutu II dari point kadar air dan diameter sedangkan cara petani belum
memenuhi syarat SNI
2. Kadar air ose kacang tanah setelah penyimpanan 3 bulan, cara introduksi 6,78%; cara
petani 9,34%. . Diameter ose kacang tanah setelah penyimpanan 3 bulan, cara introduksi
7,35%; cara petani 5,9%. Kandungan Aflatoxin ose kacang tanah setelah penyimpanan 3
bulan, cara introduksi 18,75 ppb; cara petani 360,25 ppb.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012a. Roadmap Peningkatan Produksi Kacang Tanah dan Hijau Tahun 2012 –
2014. Direktorat Jendral Tanaman Pangan. Kementrian Pertanian. Diakses tanggal 11
Juni 2013.

Anonim. 2012b. Kacang Tanah. Data dan Informasi. Kedelai, Kacang Tanah, Kacang
Hijau, Ubikayu, dan Ubi Jalar. Dalam
http://tanamanpangan.deptan.go.id/doc_upload/47_Kacang%20tanah%20Upload%20
1.pdf. Diakses tanggal 11 Juni 2013.

BPS. 2010. Gunungkidul Dalam Angka 2010. BPS Kabupaten Gunungkidul.

Darmaputra, O.S, I. Retnowati, A.S.R. Putri dan S. Ambarwati. 2003. Aspergillus flavus
and Aflatoxin in Peanuts at Various Stages of The Delivery Chain in Pati Regence,
Central Java. Report for ACIAR Project #PHT 97/017.38 pp

Hartuti, U.S. 2010. Pencemaran Bahan Makanan dan Makanan Hasil Olahan Berbagai
Spesies Kapang Kontaminan Serta Dampaknya Bagi Kesehatan. Pidato Pengukuhan
Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Mikrobiologi. Fakulta MIPA, Universitas Negeri
Malang. 16 Desember 2010. Malang.

Kasno, Astanto. 2010. Varietas Kacang Tanah Tahan Aspergillus flavus Sebagai
Komponen Esensial Dalam Penelitian Kontaminasi Aflatoxin. Jurnal Pengembangan
Inovasi Pertanian. 3(4), 2010: 260 – 273.

Maesen, L.J.G. dan S. Somaatmadja. 1993. Prosea: Sumber Daya Nabati Asia Tenggara. I.
Kacang-kacangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Mijerante, W.B. and A.I. Nelson. 1986. Utilization of legumes as food. In E.S. Walis and
D.E. Byth (Eds.). Food Legumes Improvement for Asian Farming System. ACIAR
Proc. No. 18.

Muhilal dan Karyadi. 1985. Aflatoxin in nuts and grains. Gizi Indonesia X(1): 75-79.
NAS. 1979. Tropical Legumes: Resources for the future. Nat. Acad. Sci., Washington, DC.

Rahmaianna, A.A, A. Taufiq dan E. Yusnawan. 2007. Hasil Polong dan Mutu Biji Kacang
Tanah Pada Kadar Air Tanah dan Umur Panen Berbeda. Jurnal Pengkajian
Pertanian (in press)

Anda mungkin juga menyukai