Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN KASUS

Disusun Oleh : Chicilia Windia T. W

INTERNSIP RSUD CILILIN


KABUPATEN BANDUNG BARAT
2017
Identitas Pasien

Nama : Ny. R

Umur : 20 thn

Alamat : Citapen

Masuk IGD tanggal : Jumat, 24 Februari 2017

No. RM : 55782

Anamnesis

Keluhan Utama : Batuk berdahak sejak 3 minggu

Batuk berdahak sejak 3 minggu SMRS. Batuk berdahak warna putih kekuningan. Os pernah
mengalami batuk darah 1x sebanyak 1sdm warna dahak merah segar tidak disertai dengan
campuran makanan. Setelah itu batuk berdahak didominasi warna putih kekuningan tanpa
disertai darah/bercak darah.

Selain itu, os juga mengeluh demam sejak 2 minggu yang lalu. Demam tidak disertai dengan
menggigil dan bersifat hilang timbul. Demam akan turun jika mengkonsumsi obat dari
puskesmas. Os sering berkeringat dingin pada malam hari. Flu (-)

Os juga mengeluhkan sesak napas sejak 2 minggu yang lalu. Sesak napas sering dikeluhkan
terutama jika banyak melakukan aktivitas. Sejak 2 hari ini sesak napas dirasakan semakin
memberat. Sesak napas ini sedikit berkurang jika os sudah beristirahat. Sesak tidak disertai
dengan bunyi “ngik”. Sesak tidak dipengaruhi oleh suhu, cuaca, maupun debu. Nyeri dada
disangkal.

Os juga mengeluhkan nafsu makan berkurang sejak 1 bulan terakhir sehingga os merasa
badanya semakin kurus. Selain itu, os juga sering merasa mual, muntah (-). BAB dan BAK
dbn.

Riwayat Penyakit Dahulu

• Os belum pernah mengalami batuk darah sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga

• Suami pasien menderita penyakit tb paru (pengobatan dihentikan sendiri)

• ibu kandung pasien menderita tb paru sudah menggunakan obat yang disuntikkan dan
mengaku pengobatan sudah tuntas (oat kat.2)

• Riwayat tekanan darah tinggi (-), kencing manis (-), asthma (-), keganasan (-).

2
Riwayat Pengobatan

• Os menyangkal pernah mengkonsumsi obat OAT selama 6 bulan.

• Os sering berobat ke puskesmas untuk mengurangi keluhan batuk dan demam.

• Riwayat alergi obat (-)

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

Status Gizi :

BB : 38 kg

TB : 155 cm

Kesimpulan : IMT 15,8 (underweight)

Tanda Vital

Tekanan Darah : 110/80 mmHg

Nadi : 168x/m teratur kuat angkat

RR : 34x/m

S : 38 C

SpO2 tanpa O2 : 86 %

SpO2 dgn O2 : 92 %

STATUS GENERALIS

Kepala: normocephal

Hidung : pch (-)

Mata : ca +/+, SI -/-,

Mulut : mukosa lembab, faring dan laring dbn.

3
Leher : kgb tidak teraba pembesaran, kelenjar tiroid tdk teraba pembesaran. JVP dbn

Thorax

Paru

Inspeksi : pergerakan dada simetris, retraksi interkosta (+)

Palpasi : vocal fremitus teraba sama di sel. Lap paru

Perkusi : perkusi sonor, batas paru hepar ICS 5

Auskultasi : suara vesikuler di seluruh lap paru, rhonki +/+, wheezing -/-

Jantung : batas jantung dbn, BJI dan II normal, reguler. Murmur (-)

Abdomen : BU + normal, nyeri tekan epigastrium (+). Turgor kulit kembali cepat

Hepar dan lien tidak teraba pembesaran

Ekstremitas : Atas Bawah

Akral hangat hangat

Edema - -

RCT <2” <2”

Hasil Lab :

Hb : 9, 8 g/dL

Ht : 34%

Leukosit : 15.700 103/mm3

Trombosit : 532.000 103/mm3

LED :65/89 (P 0-20)s

SGOT : 32,5 U/L (P<31)

SGPT : 38,7 U/L (P<31)

4
Hasil rontgen thorax :

Hasil Ekspertise :

- TB Paru
- Emfisema pulmonum
- Penebalan fisura minor
DD/ efusi pleura
terlokalisir
- Curiga pneumatokel
lapang kiri atas

Hasil EKG :

Diagnosis :

- CAP
- TB paru
- Anemia ec peny. Kronis
- Sindrom dispepsia

5
Terapi :

02 2L/ nasal kanul

Diet Makanan Lunak

Inf/ RL 1500cc / 24 jam

Inj/ cefotaxim 3x2 gr IV

Inj/ ranitidin 2x1 amp IV

Alpara 3x1 tab p.o

Ambroxol 3x1 tab p.o

OAT kat. 1. (1x3 tab)

Hasil Follow Up
H- 1. Sabtu, 25 februari 2017
(07.00WIB)
S : Sesak (+). Demam (+). Batuk berdahak (+). BAB dan BAK dbn.
O : kes: CM . TD : 120/80 mmHg. N : 120x/m. RR: 40x/m. S: 37.9 C. SpO2 : 90%
Mata: ca +/+. SI -/-
Hidung : PCH (-)
Thorax : BVS +/+ , Rh +/+, Wh -/-. Retraksi interkosta (+)
Jantung : BJ I dan II norm, reg. Murmur (-)
Abd : Hepar dan Lien dbn. Bising usus (+) Normal.
Eks : Akral hangat, crt <2det, sianosis (-)
A : - CAP
- TB paru
- Anemia e.c penyakit kronis
- Sindr. Dispepsia
P : - O2 nasal kanul 2l/m
- diet ML
- IVFD RL 1500cc/24 jam
- Inj/ Cefotaxime 3x2 g IV
- Inj/ Ranitidin 2x1 amp IV
- Alpara 3x1 tab p.o

6
- Ambroxol 3x1 tab p.o
- OAT kat. 1. (1x3 tab)

Sabtu, 25 februari 2017


(18.30WIB)
S : Sesak bertambah sejak 1 jam yang lalu. Demam (+).
O : kes: CM kontak tdk adekuat . TD : 130/80 mmHg. N : 140x/m. RR: 59x/m.
S: 40 C. SpO2 93%
Mata: ca +/+. SI -/-
Hidung : PCH (-)
Thorax : BVS +/+ , Rh +/+, Wh -/-. Retraksi interkosta (+)
Jantung : BJ I dan II norm, reg. Murmur (-)
Abd : Hepar dan Lien dbn. Bising usus (+) Normal.
Eks : Akral dingin, crt 2det, sianosis (-)
A : - CAP
- TB paru dgn respiratory failure
- Anemia e.c penyakit kronis
- Sindr. Dispepsia
P : - O2 NRM l0L/m
- diet ML
- IVFD RL 1500cc/24 jam
- Inj/ Cefotaxime 3x2 g IV
- Inj/ Ranitidin 2x1 amp IV
- PCT 3x500 mg IV
- Ambroxol 3x1 tab p.o
- OAT kat. 1. (1x3 tab)

H- 2. Minggu, 26 Februari 2017

S : Sesak (+). Demam (-).


O : kes: somnolen . TD : 100/60 mmHg. N : 130x/m. RR: 50x/m.
S: 37,6 C. SpO2 93%

7
Mata: ca +/+. SI -/-
Hidung : PCH (+)
Thorax : BVS +/+ , Rh +/+, Wh -/-. Retraksi interkosta (+)
Jantung : BJ I dan II norm, reg. Murmur (-)
Abd : Hepar dan Lien dbn. Bising usus (+) Normal.
Eks : Akral dingin, crt 2det, sianosis (-)
A : - CAP
- TB paru dgn respiratory failure
- Anemia e.c penyakit kronis
- Sindr. Dispepsia
P : - O2 NRM l0L/m
- diet ML
- IVFD RL 1500cc/24 jam
- Inj/ Cefotaxime 3x2 g IV
- Inj/ Ranitidin 2x1 amp IV
- PCT 3x500 mg IV
- Ambroxol 3x1 tab p.o
- OAT kat. 1. (1x3 tab)
- inform consent kpd keluarga bahwa terjadi perburukan keadaan pasien.
- keluarga setuju rujuk

Tanggal 26 februari 2017 saat pasien akan dirujuk, pasien apneu di ambulans. Lalu dibawa ke
IGD. Pasien dinyatakan meninggal pukul 15.50 WIB.

8
ANALISA KASUS PASIEN

Anamnesis dan TB Paru Pnemonia Abses paru


pemeriksaan
fisik
Batuk berdahak + + + (bau busuk
khas, sputum
meningkat, foeter
ex oero)
Batuk bercak + + +
darah (25% kasus)
Demam + + +
(38 C) (>38 C) (>38 C)
Keringat malam + - -
Sesak Napas + + +
Nyeri dada + + +
Berat badan + - +
menurun
IMT underweight + - -
SpO2 < 92% + + +
RR > 20x/m + + +
Pucat dan anemis -/+ - -
Rhonki + + +
Leukositosis + + +
LED meningkat + + +

Dari hasil analisa dan hasi rontgen thorax yag mengarah kepada tb paru dan pnemonia maka
diagnosis pada pasien diatas adalah TB Paru dan Pnemonia. Abses paru dapat disingkirkan
karena meskipun sebagian terdapat gejala yang merngarah ke abses paru namun dari hasil
rontgen thorax kurang mendukung abses paru.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil lab pasien terdapat nyeri ulu hati, nyeri tekan
epigastrium dan anemia. Maka diagnosis ditambahkan menjadi sindrom dispepsia dan anemia
e.c penyakit kronis.

9
TINJAUAN PUSTAKA

A. TB PARU

1. Definisi

Tuberculosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis dan varian mycobacterium lainnya seperti M. tuberculosis, M.
africanum,M. bovis, M. canettii, dan M. Microti.

2. Etiologi dan Patogenesis

Etiologi penyakit tuberculosis yaitu oleh kuman Mycobacterium tuberculosis.


Kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar
kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas 1 – 2 jam, tergantung pada
ada tidaknya sinar ultaviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana
lembab dan gelap, kuman apat tahan berhari – hari sampai berbulan – bulan.
Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada
saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel
< 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru
oleh makrofag. Kebanyakkan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag
keluar dari percabangan trankeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya. Bila
kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Disini
dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya.
Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang atau afek
primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian
jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman
dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit,
terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar
ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis
maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier.

Tuberkulosis Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB.
Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem
pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan
menetap disana. Kuman akan menghadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru
makrofag.
Kebanyakan partikel ini akan mati atau di bersihkan oleh makrofag keluar dari
percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya. Bila kuman
menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini ia
akan terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru
berbentuk sarang tuberkulosa pneumonia kecil dan di sebut sarang prime atau afek

10
prime atau sarang (fokus) Ghon. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran
getah bening menuju hilus (limfangitis lokal) dan juga diikuti pembesaran kelenjar
getah bening hilus (limfadenitis regional). Semua proses ini memakan waktu 3-8
minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:
Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat, ini banyak terjadi
Sembuh dengan sedikit meninggalkan bekas berpa garis-garis fibrosis,
kalsifikasi di hilus
Berkomplikasi dan menyebar secara : a). Per kontinuitatum, yakni
menyebar ke sekitarnya, b). Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan
maupun sebelahnya, c). Secara limfogen, d). Secara hematogen

Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)

Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun
sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi
HIV atau status gizi yang buruk.
Tuberkulosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di
regio atas paru (apikal-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya ke daerah
parenkhim dan tidak ke nodus hiler paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk
sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu
granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan
banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.

3. Diagnosis

Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkan


dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis.
a. Diagnosis klinis
Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada atau tidaknya
gejala pada pasien. Pada pasien TB paru gejala klinis utama adalah batuk terus
menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yang mungkin
menyertai adalah batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu
makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat
malam walaupun tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari sebulan.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris),
badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak
menunjukkan suatu kelainan terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah
terinfiltrasi secara asimtomatik. Pada TB paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bila TB mengenai pleura, sering
terbentuk efusi pleura sehingga paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam

11
pernapasan, perkusi memberikan suara pekak, auskultasi memberikan suara yang
lemah sampai tidak terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis TB sering
asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis
dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif.
c. Pemeriksaan radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini lebih memberikan
keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB milier yang pada pemeriksaan
sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi lesi TB umumnya di daerah apex paru tetapi
dapat juga mengenai lobus bawah atau daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada
awal penyakit saat lesi masih menyerupai sarang-sarang pneumonia, gambaran
radiologinya berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak
tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan
dengan batas yang tegas dan disebut tuberkuloma.
Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan
densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas dengan penciutan
yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru.
Gambaran tuberkulosa milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya
tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Pada TB yang sudah lanjut, foto dada
sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus seperti infiltrat, garis-garis
fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun atelektasis dan emfisema (Bahar, 2007).
Sebagaimana gambar TB paru yang sudah lanjut pada foto rontgen dada di bawah ini :

Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada

d. Pemeriksaan bakteriologis
a. Sputum
Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA
positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan
positif apabila sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-
Sewaktu) BTA hasilnya positif.
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu
foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. 1). Kalau hasil rontgen
mendukung tuberkulosis, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB BTA
positif. 2). Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak
SPS diulangi.

12
Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya,
Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan,
namun gejala klinis mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS. 1). Kalau hasil
SPS positif, didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis BTA positif. 2). Kalau hasil
SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung
diagnosis TB.
a. Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA negatif
rontgen positif
b. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.
Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh Depkes RI (2006), sebagaimana bisa
dilihat di bawah ini :

Berdasarkan diagnosis di atas WHO pada tahun 1991 memberikan kriteria


pada pasien TB paru menjadi : a). Pasien dengan sputum BTA positif adalah pasien
yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA,sekurang
kurangnya pada 2 kali pemeriksaan/1 sediaan sputumnya positif disertai kelainan
radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif /1 sediaan sputumnya positif
disertai biakan yang positif. b). Pasien dengan sputum BTA negatif adalah pasien
yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama
sekali, tetapi pada biakannya positif (Bahar, 2007). b. Darah Pada saat TB baru mulai
(aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan pergeseran

13
hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit masihdi bawah normal. Laju endap darah (LED)
mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali ke normal
dan jumlah limfosit masih tinggi, LED mulai turun ke arah normal lagi. Hasil
pemeriksaan darah lain juga didapatkan: anemia ringan dengan gambaran normokrom
normositer, gama globulin meningkat, dan kadar natrium darah menurun.
Tes Tuberkulin Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu
menegakkan diagnosis TB terutama pada anak-anak (balita). Sedangkan pada dewasa
testuberkulin hanya untuk menyatakan apakah seorang individu sedang atau pernah
mengalami infeksi Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium patogen
lainnya. Tes tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D(
Purified Protein Derivative) secara intrakutan. Dasar tes tuberkulin ini adalah adalah
reaksi alergi tipe lambat. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi
berupa indursasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi
persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen tuberkulin.

4. Komplikasi
Tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dini antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura, empiema,
laringitis, usus Poncet’s arthropathy. Sedangkan komplikasi lanjut dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, kor pulmonal,
amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal napas (sering terjadi pada TB milier
dan kavitas TB)
Tipe penderita tuberkulosis berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu :

a. Kasus baru

Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).

b. Kambuh (relaps)

Kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah


mendapat pengobatan tuberkulosa dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali
lagi berobat dengan pemeriksaan dahak BTA positif.

c. Pindahan (transfer in)

Pindahan (transfer in) adalah pasien yang sedang mendapat pengobatan di


suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah (form TB. 09).

14
d. Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out)

Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) adalah pasien yang sudah
berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang
kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan
dahak BTA positif.

e. Gagal

Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau
pada akhir pengobatan. Atau penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif pada
akhir bulan kedua pengobatan.

f. Kasus kronis

Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori II dengan pengawasan yang baik.

g. Tuberkulosis resistensi ganda

Tuberkulosis resistensi ganda adalah tuberkulosis yang menunjukkan


resistensi terhadap Rifampisin dan INH dengan/tanpa OAT lainnya

5. Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan
Terdapat 2 macam aktifitas/sifat obat terhadap TB yaitu aktivitas bakterisid di
mana obat bersifat membunuh kuman–kuman yang sedang tumbuh (metabolismenya
masih aktif) dan aktivitas sterilisasi, obat bersifat membunuh kuman-kuman yang
pertumbuhannya lambat (metabolismenya kurang aktif).
Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat tersebut
membunuh/melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil
yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan). Aktivitas sterilisasi diukur dari
angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan. Hampir semua OAT mempunyai
sifat bakterisid kecuali Etambutol dan Tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik
dan masih berperan untuk mencegah resistensi kuman terhadap obat. Rifampisin dan
Pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan
Streptomisin menempati urutan lebih bawah.

Tabel. Berbagai Paduan Alternatif Untuk Setiap Kategori Pengobatan


Kategori Paduan pengobatan TB
pengobatan Pasien TB alternatif
TB Fase awal Fase lanjutan
(setiap hari / 3 x
seminggu)
I Kasus baru TB paru 2 EHRZ 6 HE

15
dahak positif; kasus baru (SHRZ) 4 HR
TB paru dahak negatif 2 EHRZ 4 H3 R3
dengan kelainan luas di (SHRZ)
paru; kasus baru TB 2 EHRZ
ekstra-pulmonal berat (SHRZ)

II Kambuh, dahak positif; 2 SHRZE / 1 5 H3R3E3


pengobatan gagal; HRZE 5 HRE
pengobatan setelah 2 SHRZE / 1
terputus HRZE

III Kasus baru TB paru 2 HRZ atau 6 HE


dahak negatif (selain 2H3R3Z3
dari kategori I); kasus 2 HRZ atau 2 HR/4H
baru TB ekstra- 2H3R3Z3
pulmonal yang tidak 2 HRZ atau 2 H3R3/4H
berat 2H3R3Z3
IV Kasus kronis (dahak TIDAK DIPERGUNAKAN
masih positif setelah (merujuk ke penuntun WHO
menjalankan pengobatan guna pemakaian obat lini kedua
ulang) yang diawasi pada pusat-pusat
spesialis)

Tabel. Dosis Obat yang Dipakai di Indonesia


Jenis Dosis

Isoniazid (H)  harian : 5mg/kg BB

 intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu

Rifampisin (R) harian = intermiten : 10 mg/kgBB

Pirazinamid (Z)  harian : 25mg/kg BB

 intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu

Streptomisin (S)  harian = intermiten : 15 mg/kgBB

 usia sampai 60 th : 0,75 gr/hari

 usia > 60 th : 0,50 gr/hari

16
Etambutol (E)  harian : 15mg/kg BB

 intermiten : 30 mg/kg BB 3x seminggu

Pada tahun 1998 WHO dan IUATLD merekomendasikan pemakaian obat kombinasi

dosis tetap 4 obat sebagai dosis yang efektif dalam terapi TB untuk menggantikan

paduan obat tunggal sebagai bagian dari strategi DOTS. Paduan OAT ini disediakan

dalam bentuk paket dengan tujuan memudahkan pemberian obat dan menjamin

kelangsungan pengobatan sampai selesai. Tersedia obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-

KDT) untuk paduan OAT kategori I dan II. Tablet OAT-KDT ini adalah kombinasi 2

atau 4 jenis obat dalam 1 tablet. Dosisnya (jumlah tablet yang diminum) disesuaikan

dengan berat badan pasien, paduan ini dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien dalam 1

masa pengobatan. Dosis paduan OAT-KDT untuk kategori I, II dan sisipan dapat dilihat

pada tabel di bawah ini (Depkes RI, 2006) :

Tabel Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH)3


Berat badan Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3x seminggu
selama 56 hari selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT
> 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT
(Depkes RI, 2006)

Tabel Dosis Paduan OAT KDT Kategori II: 2(RHZE)S/(RHZE)/5(HR)3E3


Berat Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan3x seminggu
badan RHZE (150/75/400/275) RH (150/150) + E (400)
+S
Selama 58 hari Selama 28 hari Selama 2 Minggu
30 – 37 kg 2 tab 4KDT + 500mg 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2
Streptomisin inj tab Etambutol
38 – 54 kg 3 tab 4KDT + 750mg 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3
Streptomisin inj tab Etambutol
55 – 70 kg 4 tab 4KDT + 1000mg 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4
Streptomisin inj tab Etambutol
> 71 kg 5 tab 4KDT + 1000mg 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5

17
Streptomisin inj tab Etambutol
(Depkes RI, 2006)

Tabel Dosis OAT untuk Sisipan


Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT
(Depkes RI, 2006)

Efek samping pengobatan

Dalam pemakaian OAT sering ditemukan efek samping yang mempersulit sasaran

pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin OAT masih dapat diberikan

dalam dosis terapeutik yang kecil, tapi bila efek samping ini sangat mengganggu OAT

yang bersangkutan harus dihentikan dan pengobatan dapat diteruskan dengan OAT yang

lain (Bahar & Amin 2007).

Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda pada tiap pasien, lebih

jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2.7 Efek Samping Pengobatan dengan OAT


Jenis Obat Ringan Berat
Isoniazid (H) tanda-tanda keracunan Hepatitis, ikhterus
pada syaraf tepi,
kesemutan, nyeri otot dan
gangguan kesadaran.
Kelainan yang lain
menyerupai defisiensi
piridoksin (pellagra) dan
kelainan kulit yang
bervariasi antara lain
gatal-gatal.

Rifampisin (R) gatal-gatal kemerahan Hepatitis, sindrom


kulit, sindrom flu, sindrom respirasi yang ditandai
perut. dengan sesak nafas,
kadang disertai dengan

18
kolaps atau renjatan
(syok), purpura, anemia
hemolitik yang akut, gagal
ginjal
Pirazinamid (Z) Reaksi hipersensitifitas : Hepatitis, nyeri sendi,
demam, mual dan serangan arthritis gout
kemerahan

Streptomisin (S) Reaksi hipersensitifitas : Kerusakan saraf VIII


demam, sakit kepala, yang berkaitan dengan
muntah dan eritema pada keseimbangan dan
kulit pendengaran
Etambutol (E) Gangguan penglihatan Buta warna untuk warna
berupa berkurangnya merah dan hijau
ketajaman penglihatan
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)

Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan pemeriksaan

kontrol, seperti (Bahar & Amin, 2007):

a. Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai Etambutol

b. Tes audiometri bagi pasien yang memakai Streptomisin

c. Pemeriksaan darah terhadap enzim hepar, bilirubin, ureum/kreatinin, darah perifer

dan asam urat (untuk pasien yang menggunakan Pirazinamid)

19
6. Prognosis

Bayupurnama (2007) menjelaskan bahwa terdapat beberapa metode yang bisa


digunakan untuk evaluasai pengobatan TB paru :
a. Klinis: biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya 2 minggu
selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan.
Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan pasien seperti batuk
berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan meningkat dll.
b. Bakteriologis: biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi
negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan. WHO (1991)
menganjurkan kontrol sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4
dan 6. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih
positif setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang mendapatkan
pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah negatif, sputum BTA tetap
diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut. Bila BTA positif pada 3 kali
pemeriksaan biakan (3 bulan), maka pasien yang sebelumnya telah sembuh mulai
kambuh lagi.

c. Radiologis: bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada akhir
pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus
kambuh. Jika keluhan pasien tidak berkurang (misalnya tetap batuk-batuk), dengan
pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan TB parunya atau adakah penyakit
lain yang menyertainya. Karena perubahan gambar radiologis tidak secepat
perubahan bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali
(Bayupurnama, 2007).

Prognosis biasanya baik dengan sembuh total. Tingkat kekambuhan berkisar 0-


14%. Prognosis buruk jika ada keterlibatan TB ekstrapulmonal dan pada riwayat
pengobatan sebelumnya yang buruk.

20
B. PNEMONIA

1. Definisi
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan
paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan
toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.

2. Etiologi dan Patogenesis

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu

bakteri, virus, jamur, protozoa, yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri.

Penyebab tersering pneumonia adalah bakteri gram positif, Streptococcus pneumonia.

Kuman penyebab pneumonia biasanya berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien,

dan keadaan klinis terjadinya infeksi.

Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV),

parainfluenza virus, influenza virus dan adenovirus. Secara umum bakteri yang

berperan penting dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia, Haemophillus

influenza, Staphylococcus aureus, Streptococcus group B, serta kuman atipik klamidia

dan mikoplasma.

Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes

merupakan penyebab pneumonia paling banyak. Virus adalah penyebab terbanyak

pneumonia pada usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia. Selain

itu Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia

bakterial. Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan

penyebab yang sering didapatkan pada anak diatas 5 tahun. Communityy-acquired

acute pneumonia sering disebabkan oleh streptokokkus pneumonia atau

pneumokokkus, sedangkan pada Community-acquired atypical pneumonia penyebab

21
umumnya adalah Mycopalsma pneumonia. Staphylokokkus aureus dan batang gram

negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas, adalah isolat yang tersering

ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia.

Tabel 1. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut umur dengan terjadinya


infeksi.
Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 Bakteria Bakteria
hari  Escherichia  Group D streptococci
colli  Haemophillus
 Group B influenzae
streptococci  Streptococcus
 Listeria pneumoniae
monocytogenes  Ureaplasma
urealyticum
Virus
 Cytomegalovirus
 Herpes simplex virus

3 minggu – Bakteria Bakteria


3 bulan  Clamydia  Bordetella pertusis
trachomatis  Haemophillusinfluenz
 Streptococcu a type B & non typeable
s pneumoniae  Moxarella catarrhalis
Virus  Staphylococcus
 Respiratory aureus
syncytial virus  Ureaplasma
 Influenza urealyticum
virus Virus
 Para  Cytomegalovirus
influenza virus 1,2
and 3
 Adenovirus
4 bulan – Bakteria Bakteria
5 tahun  Streptococcu  Haemophillus
s pneumoniae influenza type B
 Clamydia  Moxarella catarrhalis
pneumoniae  Neisseria meningitis
 Mycoplasma  Staphylococcus
pneumoniae aureus

22
Virus Virus
 Respiratory  Varicella zoster virus
syncytial virus
 Influenza
virus
 Parainfluenza
virus
 Rhinovirus
 Adenovirus
 Measles

5 tahun – Bakteria Bakteria


dewasa  Clamydia  Haemophillus
pneumonia influenza type B
 Mycoplasma  Legionella species
pneumonia  Staphylococcus
 Streptococcu aureus
s pneumoniae Virus
 Adenovirus
 Epstein barr virus
 Influenza virus
 Parainfluenza virus
 Rhinovirus
 Respiratory syncytial
virus
 Varicella zoster virus

Tabel. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya


infeksi.
 Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumonia
Haemophilus influenzae
Moraxella catarrhalis
Staphylococcus aureus
Legionella pneumophila
Enterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp.

23
 Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumonia
Chlamydia spp. (C. pneumoniae, C. psittaci, C. trachomatis)
Coxiella burnetii (Q fever)
Viruses: respiratory syncytial virus, parainfluenza virus (children); influenza A and B
(adults); adenovirus
(military recruits); SARS virus

 Hospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods, Enterobacteriaceae (Klebsiella spp., Serratia marcescens,
Escherichia coli) and
Pseudomonas spp.
Staphylococcus aureus (usually penicillin resistant)
 Pneumonia kronis
Nocardia
Actinomyces
Granulomatous: Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria, Histoplasma
capsulatum,
Coccidioides immitis, Blastomyces dermatitidis

Klasifikasi Pneumonia

1. Menurut sifatnya, yaitu:

a. Pneumonia primer, yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak

mempunya faktor resiko tertentu. Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus

pneumoniae ( pneumokokus), Hemophilus influenzae, juga Virus penyebab infeksi

pernapasan( Influenza, Parainfluenza, RSV). Selain itu juga bakteri pneumonia yang

tidak khas( “atypical”) yaitu mykoplasma, chlamydia, dan legionella.

b. Pneumonia sekunder, yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi,

selain penderita penyakit paru lainnnya seperti COPD, terutama juga bagi mereka

yang mempunyai penyakit menahun seperti diabetes mellitus, HIV, dan kanker,dll.

24
2. Berdasarkan Kuman penyebab

a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri

mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada

penderita alkoholik,Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.

b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia

c. Pneumonia virus, disebabkan oleh virus RSV, Influenza virus

d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada

penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised).

3. Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a. Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia

yang terjadi di lingkungan rumah atau masyarakat, juga termasuk pneumonia yang

terjadi di rumah sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam.

b. Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan

pneumonia yang terjadi di “rumah sakit”, infeksi terjadi setelah 48 jam berada di

rumah sakit. Kuman penyebab sangat beragam, yang sering di temukan yaitu

Staphylococcus aureus atau bakteri dengan gramm negatif lainnya seperti E.coli,

Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeroginosa, Proteus, dll. Tingkat resistensi

obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab HAP.

4. Berdasarkan lokasi infeksi

a. Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu / beberapa lobus paru. Bronkus besar

umumnya tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram.

Konsolidasi yang timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui

pori-pori Kohn. Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus

25
pneumoniae. Jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus

atau segmen. Kemungkinan sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus

seperti aspirasi benda asing, atau adanya proses keganasan.

b. Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis. Bronkiolus terminalis

menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak

konsolidasi di lobulus yang bersebelahan. Ditandai dengan adanya bercak-bercak

infiltrate multifocal pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus.

Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus.

c. Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil.

Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma. Terjadi edema

dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial. Radiologis berupa

bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi perselubungan yang tidak

merata.

2.6 Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi sampai usia

lanjut. Pecandu alcohol, pasien pasca operasi, orang-orang dengan gangguan penyakit

pernapasan, sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya , adalah yang

paling berisiko.

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang

sehat. Pada saat pertahanan tubuh menurun, misalnya karena penyakit, usia lanjut, dan

malnutrisi, bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak

organ paru-paru.

26
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu. Selain itu,

toksin-toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara

langsung merusak sel-sel system pernapasan bawah. Ada beberapa cara

mikroorganisme mencapai permukaan:

1. Inokulasi langsung

2. Penyebaran melalui pembuluh darah

3. Inhalasi bahan aerosol

4. Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi. Secara

inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur.

Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 – 2,0 nm melalui udara dapat mencapai

bronkus terminal atau alveoli dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi

kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke

saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan

permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret

orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan

kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi

radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan

diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya

antibodi.

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling

mencolok. Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru-paru, ataupun seluruh

lobus, bahkan sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan, dan

27
dua di paru-paru kiri) menjadi terisi cairan. Dari jaringan paru-paru, infeksi dengan

cepat menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Bakteri pneumokokus

adalah kuman yang paling umum sebagai penyebab pneumonia.

Terdapat empat stadium anatomic dari pneumonia terbagi atas:

1. Stadium Kongesti (4 – 12 jam pertama)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung

pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah

dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan

mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan

cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.

Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama

dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan

peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat

plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan

jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini

dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi

oksigen hemoglobin.

2. Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang

dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang

terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan,

sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium

ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak.

Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

28
3. Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada

saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi

fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus

masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu

dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

4. Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara

enzimatis yang diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk. Parenkim paru

kembali menjadi penuh dengan cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan

normal.

3. Diagnosis

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik


Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia. Gejalanya
meliputi:

Gejala Mayor: 1.Batuk


2.Sputum produktif
3.Demam (suhu>38 0c)

Gejala Minor: 1. sesak napas


2. nyeri dada
3. konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4. jumlah leukosit >12.000/L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas

selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu tubuh

29
kadang-kadang melebihi 40º C, sakit tenggorokan, nyeri otot dan sendi. Juga disertai

batuk, dengan sputum mukoid atau purulen, kadang-kadang berdarah.

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas ,

pada palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar

suara napas bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah.

Mungkin disertai ronkhi halus, yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada

stadium resolusi.

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,

biasanya >10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis

leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan

diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur

darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Anlalisa gas darah

menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis

respiratorik.

Gambaran Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain:

 Perselubungan/konsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau

segment paru secara anantomis.

 Batasnya tegas, walaupun pada mulanya kurang jelas.

 Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil. Tidak

tampak deviasi trachea/septum/fissure/ seperti pada atelektasis.

 Silhouette sign (+) : bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru ; batas lesi dengan

jantung hilang, berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus

medius kanan.

30
 Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura.

 Bila terjadinya pada lobus inferior, maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir

terkena.

 Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler.

 Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara

pada bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus).

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa

sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan

Klebsiela pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas

kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.

1.Pneumonia Lobaris

Foto Thorax

31
Tampak gambaran gabungan konsolidasi berdensitas tinggi pada satu segmen/lobus
(lobus kanan bawah PA maupun lateral)) atau bercak yang mengikutsertakan alveoli
yang tersebar. Air bronchogram biasanya ditemukan pada pneumonia jenis ini.
CT Scan

Hasil CT dada ini menampilkan gambaran hiperdens di lobus atas kiri sampai ke
perifer.

32
2. Bronchopneumonia (Pneumonia Lobularis)

Foto Thorax

Pada gambar diatas tampak konsolidasi tidak homogen di lobus atas kiri dan lobus
bawah kiri.
CT Scan

Tampak gambaran opak/hiperdens pada lobus tengah kanan, namun tidak menjalar

sampai perifer.

3. Pneumonia Interstisial

Foto Thorax

33
Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstitial

prebronkial. Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi

oleh perselubungan yang tidak merata.

CT Scan

Gambaran CT Scan pneumonia interstitiak pada seorang pria berusia 19 tahun. (A)
Menunjukan area konsolidasi di percabangan peribronkovaskuler yang irreguler. (B)
CT Scan pada hasil follow up selama 2 tahun menunjukan area konsolidasi yang
irreguler tersebut berkembang menjadi bronkiektasis atau bronkiolektasis (tanda
panah)

34
Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal,

torakosintesis, bronkoskopi, atau biopsi. Kuman yang predominan pada sputum

disertai PMN yang kemungkinan penyebab infeksi.

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari. Pasien mula-mula kumur-kumur

dengan akuades biasa, setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian

membatukkan dahaknya. Dahak ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat.

Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak boleh lebih dari 4 jam). Jika terjadi

kesulitan mengeluarkan dahak, dapat dibantu nebulisasi dengan NaCl 3%. Kriteria

dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan biarkan yaitu

bila ditemukan sel PMN > 25/lpk dan sel epitel < 10/lpk.

4. Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji

kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :

1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia.

3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai

berikut :

1. Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)


􀂃 Golongan Penisilin
􀂃 TMP-SMZ

35
􀂃 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
􀂃 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
􀂃 Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi
􀂃 Marolid baru dosis tinggi
􀂃 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
􀂃 Aminoglikosid
􀂃 Seftazidim, Sefoperason, Sefepim
􀂃 Tikarsilin, Piperasilin
􀂃 Karbapenem : Meropenem, Imipenem
􀂃 Siprofloksasin, Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
􀂃 Vankomisin
􀂃 Teikoplanin
􀂃 Linezolid
Hemophilus influenzae
􀂃 TMP-SMZ
􀂃 Azitromisin
􀂃 Sefalosporin gen. 2 atau 3
􀂃 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
􀂃 Makrolid
􀂃 Fluorokuinolon
􀂃 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
􀂃 Doksisiklin
􀂃 Makrolid
􀂃 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
􀂃 Doksisikin
􀂃 Makrolid
􀂃 Fluorokuinolon

36
Tabel 3. Rekomendasi Terapi Empiris (ATS 2001) 8

Kategori Keterangan Kuman Penyebab Obat Pilihan I Obat Pilihan II

Kategori I Usia -S.pneumonia - Klaritromi - Siprofloks


penderita -M.pneumonia sin asin 2x500mg atau
< 65 tahun -C.pneumonia 2x250 mg Ofloksasin
-Penyakit -H.influenzae - - 2x400mg
Penyerta (-) -Legionale sp Azitromisin - Levofloksa
-Dapat -S.aureus 1x500mg sin 1x500mg atau
berobat jalan -M,tuberculosis - Rositromi Moxifloxacin
-Batang Gram (-) sin 2x150 mg 1x400mg
atau 1x300 mg - Doksisikli
n 2x100mg
Kategori II -Usia -S.pneumonia -Sepalospporin -Makrolid
penderita > H.influenzae generasi 2 -Levofloksasin
65 tahun Batang gram(-) -Trimetroprim -Gatifloksasin
- Peny. Aerob +Kotrimoksazol -Moxyfloksasin
Penyerta (+) S.aures -Betalaktam
-Dapat M.catarrhalis
berobat jalan Legionalle sp

Kategori -Pneumonia -S.pneumoniae - Sefalosporin -Piperasilin +


III berat. -H.influenzae Generasi 2 atau tazobaktam
- Perlu -Polimikroba 3 -Sulferason
dirawat di termasuk Aerob - Betalaktam +
RS,tapi tidak -Batang Gram (-) Penghambat
perlu di ICU -Legionalla sp Betalaktamase
-S.aureus +makrolid
M.pneumoniae

37
Kategori -Pneumonia -S.pneumonia - Sefalospor -Carbapenem/
IV berat -Legionella sp in generasi 3 meropenem
-Perlu -Batang Gram (-) (anti -Vankomicin
dirawat di aerob pseudomonas) + -Linesolid
ICU -M.pneumonia makrolid -Teikoplanin
-Virus - Sefalospor
-H.influenzae in generasi 4
-M.tuberculosis - Sefalospor
-Jamur endemic in generasi 3 +
kuinolon

2. Terapi Suportif Umum

1. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96% berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah.

2. Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental, dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme.

3. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk batuk dan

napas dalam. Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi

dan pengeluarn CO2. Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan.

4. Pengaturan cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia, dan

paru lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia

bilateral. Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik, termasuk pada

keadaan gangguan sirkulasi dan gagal ginjal. Overhidrasi untuk maksud

mengencerkan dahak tidak diperkenankan.

5. Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan. Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik.

38
6. Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila

terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal.

7. Ventilasi mekanis, indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia

adalah:

a. Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100% dengan menggunakaan

masker. Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi. Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50% atau lebih rendah.

b. Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress, dengan atau

didapat asidosis respiratorik.

c. Respiratory arrest.

d. Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif.

8. Drainase empiema bila ada.

9. Bila terdapat gagal napas, diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang

didapatkan terutama dari lemak (>50%), hingga dapat dihindari pembentukan CO2

yang berlebihan.

3. Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik

ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk mengurangi biaya perawatan

dan mencegah infeksi nosokomial. Perubahan ini dapat diberikan secara sequential

(obat sama, potensi sama), switch over (obat berbeda, potensi sama) dan step down

(obat sama atau berbeda, potensi lebih rendah). Pasien beralih dari intravena ke oral

terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan perbaikan terbukti secara secara klinis,

dapat menelan obat-obatan, dan memiliki saluran pencernaan berfungsi normal.

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah :

39
1. Temp ≤ 37,8 C, Kesadaran baik

2. Denyut jantung ≤ 100 denyut / menit,

3. Respirasi rate≤ 24 napas / menit

4. Tekanan darah sistolik ≥ 90 mmHg

5. Saturasi O2 arteri ≥ 90% atau pO2 ≥ 60 mmHg pada ruang udara,

6. Kemampuan untuk mengambil asupan oral.

5. Komplikasi

1. Efusi pleura dan empiema. Terjadi pada sekitar 45% kasus, terutama pada infeksi

bakterial akut berupa efusi parapneumonik gram negative sebesar 60%,

Staphylococcus aureus 50%. S. pneumoniae 40-60%, kuman anaerob 35%.

Sedangkan pada Mycoplasmapneumoniae sebesar 20%. Cairannya transudat dan

steril. Terkadang pada infeksi bakterial terjadi empiema dengan cairan eksudat.

2. Komplikasi sistemik. Dapat terjadi akibat invasi kuman atau bakteriemia berupa

meningitis. Dapat juga terjadi dehidrasi dan hiponatremia, anemia pada infeksi kronik,

peningguan ureum dan enzim hati. Kadang-kadang terjadi peninggian fostase alkali

dan bilirubin akibat adanya kolestasis intrahepatik.

3. Hipoksemia akibat gangguan difusi.

4. Abses Paru terbentuk akibat eksudat di alveolus paru sehingga terjadi infeksi oleh

kuman anaerob dan bakteri gram negative.

5. Pneumonia kronik yang dapat terjadi bila pneumonia berlangsung lebih dari 4-6

minggu akibat kuman anaerob S. aureus, dan kuman Gram (-) seperti Pseudomonas

aeruginosa.

40
6. Bronkiektasis. Biasanya terjadi karena pneunomia pada masa anak-anak tetapi

dapat juga oleh infeksi berulang di lokasi bronkus distal pada cystic fibrosis atau

hipogamaglobulinemia, tuberkulosis, atau pneumonia nekrotikans.

6. Prognosis

Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia menurun sejak ditemukannya

antibiotik. Faktor yang berperan adalah patogenitas kuman, usia, penyakit dasar dan

kondisi pasien. Secara umum angka kematian pneumonia pneumokokus adalah

sebesar 5%, namun dapat meningkat menjadi 60% pada orang tua dengan kondisi

yang buruk misalnya gangguan imunologis, sirosis hepatis, penyakit paru obstruktif

kronik, atau kanker. Adanya leukopenia, ikterus, terkenanya 3 atau lebih lobus dan

komplikasi ekstraparu merupakan petanda prognosis yang buruk. Kuman gram negatif

menimbulkan prognosis yang lebih jelek.

Prognosis pada orang tua dan anak kurang baik, karena itu perlu perawatan di

RS kecuali bila penyakitnya ringan. Orang dewasa (<60 tahun) dapat berobat jalan

kecuali:

1. Bila terdapat penyakit paru kronik

2. PN Meliputi banyak lobus

3. Disertai gambaran klinis yang berkaitan dengan mortalitas yang tinggi yaitu:

a. Usia > 60 tahun.

b. Dijumpai adanya gejala pada saat masuk perawatan RS: frekuensi napas > 30 x/m,

tekanan diastolik < 60 mmHg , leukosit abnormal (<4.500->30.000)

41
DAFTAR PUSTAKA

Barlett JG, Dowell SF, Mondell LA, File TM, Mushor DM, Fine MJ. Practice guidelines for
management community-acquiredd pneumonia in adults. Clin infect Dis 2000; 31: 347-
82

Hadiarto M, Anwar Y, Priyanti ZS, Zubedah T.Protekt study an International antimikrobial


survailance study in community acquired respiratory tract (Carti) pathogens.2000-2001

Hadiarto M, Wibowo S, Sardikin G, Sianturi. Peran sparfloksasin pada pengobatan infeksi


saluran napas bawah di komuniti. Journal Respirologi Indonesia 2000: 20; 156-60

Jabang M. Pengaruh pencucian bronkus sputum terhadap pola kuman penderita infeksi
saluran napas bawah non TB. Journal Respirologi Indonesia 2000, 20:94-108

Laporan tahunan bagian Pulmonologi FKUI/RSUP Persahabatan, Jakarta tahun 2000

Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia


Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2014

Pneumonia Komuniti. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan


Dokter Paru Indonesia. 2003

Rasmin M. Spectrum bakteri pada infeksi saluran napas bawah. Tesis Bagian Pulmonologi
FKUI Jakarta 1990

Soepandi P, Mangunnegoro H, Yunus F, Gunawan J. The pattern of microorganisms and


efficacy of new macrolide in acute LRTI. Respirology 1998; 3: 113-7

Sunarya N. Spektrum kuman dan pola kepekaanya terhadap antimikroba pada infeksi paru
non TB didapat dari aspirasi transtrakeal. Tesis Bagian Pulmonologi FKUI Jakarta,
2007

Supriyantoro. Perbandingan hasil pemeriksaan bakteriologis dari sputum dan sikatan bronkus
penderita infeksi saluran napas akut (ISNA). Tesis Bagian Pulmonologi FKUI, Jakarta
2009

Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Badan Litbang Depkes RI, Jakarta 2016

42

Anda mungkin juga menyukai