Anda di halaman 1dari 5

PENGHALANG-PENGHALANG DALAM MENUNTUT ILMU[1]

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Menuntut ilmu memiliki beberapa penghalang yang menghalangi antara ilmu itu dan orang yang
mencarinya. Di antara penghalang tersebut adalah:
1. Niat yang Rusak
Niat adalah dasar dan rukun amal. Apabila niat itu salah dan rusak, maka amal yang
dilakukannya pun ikut salah dan rusak sebesar salah dan rusaknya niat.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َت هِجْ َرتُهُ ِل ُد ْنيَا‬ ِ ‫سو ِل ِه فَ ِهجْ َرتُهُ إِلَى‬
ْ ‫هللا َو َرسُو ِل ِه َو َم ْن كَان‬ ِ ‫َت هِجْ َرتُهُ إِلَى‬
ُ ‫هللا َو َر‬ ْ ‫ئ َما ن ََوى فَ َم ْن كَان‬ ِ ‫إِنَّـ َما اْأل َ ْع َما ُل بِالنِِّيَّا‬
ٍ ‫ت َوإِنَّ َما ِل ُك ِِّل ْام ِر‬
َ َ ُ َ ْ َ َ
‫ُص ْيبُ َها أ ِو ْام َرأةٍ يَن ِك ُح َها ف ِهجْ َرتهُ إِلى َما هَا َج َر إِل ْي ِه‬
ِ ‫ي‬.
“Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang akan mendapatkan apa yang diniatkan. Maka
barangsiapa hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-
Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yang
akan dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai dengan apa yang ia niatkan.” [2]
Sesungguhnya kewajiban yang paling penting untuk diperhatikan oleh seorang penuntut ilmu
adalah mengobati niat, memperhatikan kebaikannya, dan menjaganya dari kerusakan.
Imam Sufyan ats-Tsauri (wafat th. 161 H) rahimahullaah mengatakan, “Tidak ada sesuatu pun
yang lebih berat untuk aku obati daripada niatku.” [3]
Al-Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H) rahimahullaah menuturkan, “Siapa yang mencari ilmu
karena mengharap negeri akhirat, ia akan mendapatkannya. Dan siapa yang mencari ilmu
karena mengharap kehidupan dunia, maka kehidupan dunia itulah bagian dari ilmunya.” Imam
az-Zuhri (wafat th. 124 H) rahimahullaah berkata, “Maka ilmu itulah bagian dari dunianya.” [4]
Imam Malik bin Dinar (wafat th. 130 H) rahimahullaah mengatakan, ”Barangsiapa mencari ilmu
bukan karena Allah Ta’ala, maka ilmu itu akan menolaknya hingga ia dicari hanya karena
Allah.”[5]
Baiknya niat merupakan penolong yang paling besar bagi seorang penuntut ilmu dalam
memperoleh ilmu, sebagaimana dikatakan Abu ‘Abdillah ar-Rudzabari (wafat th. 369 H)
rahimahullaah, “Ilmu tergantung amal, amal tergantung keikhlasan, dan keikhlasan mewariskan
pemahaman tentang Allah ‘Azza wa Jalla.”[6]
Imam Ibrahim an-Nakha’i (wafat th. 96 H) rahimahullaah mengatakan, “Barangsiapa mencari
sesuatu berupa ilmu yang ia niatkan karena mengharap wajah Allah, maka Allah akan
memberikan kecukupan padanya.” [7]
Hendaklah kita memperbaiki niat kita dalam menuntut ilmu dan menjauhi niat buruk yang hanya
untuk memperoleh keuntungan duniawi. Karena, terkadang seorang penuntut ilmu terbetik niat
dalam hatinya untuk tampil (ingin terkenal). Apabila ia benar-benar ingin mempelajari ilmu,
membaca berbagai nash dan buku sejarah serta memperhatikan isinya, lalu ia termasuk orang
yang dikehendaki kebaikan oleh Allah Ta’ala, hal itu akan menjadikannya sadar kembali,
perhatiannya terhadap kitab-kitab itu membuatnya bersemangat kembali untuk berbuat
kebenaran dan kebaikan. Adapun jika ia termasuk orang-orang yang dikalahkan hawa nafsu dan
syahwatnya, hendaklah ia tidak mencela, kecuali kepada dirinya sendiri.[8]
2. Ingin Terkenal dan Ingin Tampil
Ingin terkenal dan ingin tampil adalah penyakit kronis. Tidak seorang pun dapat selamat darinya,
kecuali orang-orang yang dijaga oleh Allah Ta’ala.
Apabila niat seorang penuntut ilmu adalah agar terkenal, ingin dielu-elukan, ingin dihormati, ingin
dipuji, disanjung, dan yang diinginkannya adalah itu semua, maka ia telah menempatkan dirinya
pada posisi yang berbahaya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ‫ش ْه َوة ُ ْالـ َخ ِفيَّة‬ ِّ ِ َ ‫ ا‬:‫علَ ْي ُك ْم‬
َّ ‫ َوال‬،‫لريَا ُء‬ ُ ‫ف َما أَخ‬
َ ‫َاف‬ ِ ‫ يَا نَعَايَا ْالعَ َر‬،‫ب‬
ُ ‫ أ َ ْخ َو‬،(‫ب )ثَالَثًا‬ ِ ‫يَا نَعَايَا ْالعَ َر‬.
“Wahai bangsa Arab, wahai bangsa Arab (tiga kali), sesuatu yang paling aku takutkan menimpa
kalian adalah riya’ dan syahwat yang tersembunyi.”[9]
Imam Ibnul Atsir (wafat th. 606 H) rahimahullaah mengatakan, “Maksud syahwat yang
tersembunyi dalam hadits ini adalah keinginan agar manusia melihat amalnya.”[10]
Mahmud bin ar-Rabi’ (wafat th. 66 H) radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Ketika kematian hendak
menjemput Syaddad bin Aus (wafat th. 58 H), ia berkata, ‘Yang paling aku takutkan menimpa
ummat ini adalah riya’ dan syahwat tersembunyi.’” Dikatakan bahwa syahwat tersembunyi adalah
seseorang ingin (senang) apabila kebaikannya dipuji.[11]
Seorang hamba yang bergembira dan senang dihormati orang lantaran ilmu yang dimiliki dan
amal yang dikerjakannya, maka ini menunjukkan bahwa adanya sifat riya’ (ingin dilihat orang lain)
dan sum’ah (ingin didengar orang lain) dalam dirinya. Barangsiapa memperlihatkan amalnya
karena riya’, maka Allah Ta’ala akan memperlihatkannya kepada manusia, dan barangsiapa
memperdengarkan amalnya, maka Allah Ta’ala akan memperdengarkan amal (kejelekan)nya
kepada manusia.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ َو َم ْن ي َُرائِي ي َُرائِي هللاُ ِب ِه‬،ِ‫س َّم َع هللاُ ِبه‬ َ ‫ َم ْن‬.
َ ‫س َّم َع‬
“Barangsiapa memperdengarkan (menyiarkan) amalnya, maka Allah akan menyiarkan aibnya.
Dan barangsiapa beramal karena riya’, maka Allah akan membuka niatnya (di hadapan manusia
pada hari Kiamat).”[12]
Syahwat merupakan musibah, kecuali bagi orang yang hatinya ingat kepada Allah Ta’ala. Ketika
Imam Ahmad bin Hanbal (wafat th. 241 H) rahimahullaah mendengar bahwa namanya disebut-
sebut, beliau mengatakan, “Semoga ini bukan ujian bagiku.” [13]
3. Lalai Menghadiri Majelis Ilmu
Para ulama Salaf mengatakan bahwa ilmu itu di-datangi, bukan mendatangi. Tetapi, sekarang
ilmu itu mendatangi kita dan tidak didatangi, kecuali beberapa saja.
Jika kita tidak memanfaatkan majelis ilmu yang dibentuk dan pelajaran yang disampaikan,
niscaya kita akan gigit jari sepenuh penyesalan. Seandainya kebaikan yang ada dalam majelis-
majelis ilmu hanya berupa ketenangan bagi yang menghadirinya dan rahmat Allah yang meliputi
mereka, cukuplah dua hal ini sebagai pendorong untuk menghadirinya. Lalu, bagaimana jika ia
mengetahui bahwa orang yang menghadirinya -insya Allah- memperoleh dua keberuntungan,
yaitu ilmu yang bermanfaat dan ganjaran pahala di akhirat?!
Seorang Muslim hendaklah sadar bahwa Allah Ta’ala telah memberikan kemudahan kepada
hamba-Nya dalam menuntut ilmu. Allah Ta’ala telah memberikan kemudahan dengan adanya
beberapa fasilitas dalam menuntut ilmu, berbeda dengan zamannya para Salafush Shalih.
Bukankah sekarang ini dengan mudahnya kita bisa dapatkan bekal untuk menuntut ilmu seperti
uang, makanan, minuman, pakaian, dan kendaraan?? Berbeda dengan para ulama Salaf,
mereka sangat sulit mendapatkan hal di atas. Bukankah sekarang ini telah banyak didirikan
masjid, pondok pesantren, majelis ta’lim, dan lainnya disertai sarana ruangan yang serba mudah,
baik dengan adanya lampu, kipas angin, AC, dan lainnya??!! Bukankah sekarang ini berbagai
kitab ilmu telah dicetak dengan begitu rapi, bagus, dan mudah dibaca??!! Lalu dimanakah orang-
orang yang mau memanfaatkan nikmat Allah yang sangat besar ini untuk mengkaji dan
mempelajari ilmu syar’i??? Bukankah sekarang sudah banyak ustadz-ustadz yang bermanhaj
Salaf mengajar dan berdakwah di tempat (daerah) Anda, lantas mengapa Anda tidak
menghadirinya?? Mengapa Anda tidak mau mendatangi majelis ilmu??
4. Beralasan dengan Banyaknya Kesibukan
Alasan ini dijadikan syaitan sebagai penghalang dalam menuntut ilmu. Berapa banyak saudara
kita yang telah dinasihati dan dimotivasi untuk menuntut ilmu syar’i, tetapi syaitan menggoda dan
membujuknya.
Orang yang menyia-nyiakan kesempatan mencari ilmu, maka kesibukannya membuat ia tidak
dapat menghadiri majelis ilmu. Ia menjadikannya sebagai bahan alasan yang sengaja dibuat-buat
sehingga ketidakhadirannya di majelis ilmu memiliki alasan yang jelas.
Berbagai kesibukan yang ada adalah penyebab utama yang menghalangi seorang penuntut ilmu
menghadiri majelis ilmu dan memperoleh ilmu yang banyak. Tetapi, orang yang Allah Ta’ala
bukakan mata hatinya, ia akan mengatur waktunya dan mengguna-kannya sebaik mungkin
sehingga memperoleh manfaat yang banyak. Kalau seseorang mau berfikir secara wajar,
mempunyai niat dan kemauan untuk menuntut ilmu, maka ia akan dapat mengatur waktunya dan
Allah akan memudahkannya.
Oleh karena itu, pandai-pandailah mengatur waktu yang Allah Ta’ala berikan kepada kita.
Berikanlah bagian untuk menuntut ilmu syar’i. Sisihkanlah satu atau dua hari dalam seminggu
untuk menghadiri majelis ilmu jika tidak mampu melakukannya sesering mungkin. Jangan biarkan
hari-hari kita penuh dengan kesibukan, namun kosong dari menuntut ilmu dan berdzikir kepada
Allah Ta’ala. Ingat, bahwa orang yang tidak meghadiri majelis ilmu dan tidak mau menuntut ilmu
syar’i, maka ia akan merugi di dunia dan di akhirat.
5. Menyia-nyiakan Kesempatan Belajar di Waktu Kecil
Seseorang akan iri apabila melihat orang-orang yang lebih muda darinya lebih bersemangat dan
lebih awal mendatangi majelis ilmu. Ia akan merasa iri pada saat melihat anak-anak kecil dan
para pemuda telah hafal Al-Qur-an. Ia menyesali masa mudanya yang tidak dimanfaatkan sebaik
mungkin untuk menghafal dan menuntut ilmu. Akibatnya, ketika ia berkeinginan menghafal dan
menuntut ilmu di masa tuanya, banyak kesibukan dan banyak tamu yang mengunjunginya siang
dan malam. Karena itulah al-Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H) rahimahullaah mengatakan,
“Belajar hadits di waktu kecil bagai mengukir di atas batu.” [14]
Oleh karena itu, sebelum kita disibukkan oleh orang lain, direpotkan berbagai urusan, dan
menyesal seperti orang yang mengalaminya, maka manfaatkanlah masa muda untuk menuntut
ilmu syar’i. Ini bukan berarti orang yang sudah tua boleh berputus asa dalam menuntut ilmu,
namun seluruh umur yang kita miliki adalah kesempatan untuk menuntut ilmu karena ia adalah
ibadah. Allah Ta’ala berfirman,
ُ‫َوا ْعبُ ْد َربَّكَ َحت َّ ٰى يَأْتِيَكَ ْاليَ ِقين‬
“Dan beribadahlah kepada Rabb-mu hingga datangnya keyakinan (kematian).” [Al-Hijr: 99]
Oleh karena itu, para remaja maupun orang tua, laki-laki maupun wanita, segeralah bertaubat
kepada Allah Ta’ala atas segala apa yang telah luput dan berlalu. Sekarang mulailah menuntut
ilmu, menghadiri majelis ta’lim, belajar dengan benar dan sungguh-sungguh, dan menggunakan
kesempatan sebaik-baiknya sebelum ajal tiba.
Ketika ditanyakan kepada Imam Ahmad, “Sampai kapankah seseorang menuntut ilmu?” Beliau
pun menjawab, “Sampai meninggal dunia (mati).” [15]
6. Bosan dalam Menuntut Ilmu
Di antara penghalang menuntut ilmu adalah merasa bosan dan beralasan dengan berkonsentrasi
mengikuti informasi terkini guna mengetahui peristiwa yang sedang terjadi.
Ilmu yang kita cari mendorong kita untuk mengetahui keadaan kita. Kita tidak akan bisa
mengatasi berbagai masalah dan musibah yang menimpa, kecuali dengan meletakkannya pada
timbangan syari’at. Seorang penyair mengatakan,
‫ص ِل َها‬ ِ ‫ش ْرعُ مِ يْزَ انُ اْأل ُ ُم‬
ْ َ ‫ور ُك ِلِّ َها َوشَا ِه ٌد ِلف َْر ِع َها َوأ‬ َّ ‫اَل‬
Syari’at adalah timbangan semua permasalahan,
dan saksi atas cabang masalah dan pokoknya. [16]
Orang yang enggan menuntut dan menghafalkan ilmu, namun menyibukkan diri dengan
mengikuti berita koran dan majalah, radio, televisi, internet, dan mencurahkan waktu dan
tenaganya untuk hal yang demikian, kemudian berupaya mengatasi permasalahan dengan
pandangannya yang kerdil tanpa merujuk kepada para ulama, maka ia merugi dan ia akan
mengetahui kerugiannya nanti di kemudian hari.
Sangat disayangkan, banyak aktifis muda yang marah apabila larangan Allah Ta’ala dilanggar
dan menangis karena larangan Allah Ta’ala dilecehkan, namun mereka meremehkan berbagai
kemaksiyatan yang lainnya seperti ghibah, namimah, dan lainnya. Mereka tidak melaksanakan
shalat seperti contoh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, padahal beliau bersabda,
َ ُ ‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمون ِْي أ‬
‫ص ِلِّ ْي‬ َ .
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat!” [17]
Mereka pun tidak berwudhu’ seperti wudhu’nya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, padahal
beliau bersabda,
ُ ‫صلَّى َك َما أُمِ َر‬
‫غف َِر لَهُ َما تَقَد ََّم مِ ْن ذَ ْن ِب ِه‬ َ ‫ َم ْن ت ََوضَّأ َ َك َما أُمِ َر َو‬.
“Barangsiapa berwudhu’ seperti yang diperintahkan dan shalat seperti yang diperintahkan,
diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu.” [18]
Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan ada obatnya. Tidaklah musibah terjadi,
melainkan ada jalan keluar dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah. Ini adalah perkara yang tidak
diragukan lagi.
Oleh karena itu, jangan sekali-kali Anda berpaling atau bosan dalam menuntut ilmu. Belajarlah
sampai Anda mendapatkan nikmatnya menuntut ilmu. Informasi yang paling baik, benar dan
akurat adalah infor-masi dari Al-Qur-an dan Sunnah yang shahih.
7. Menilai Baik Diri Sendiri
Maksudnya adalah merasa bangga apabila dipuji dan merasa senang apabila mendengar orang
lain memujinya.
Memang pujian manusia kepada Anda merupakan kabar gembira yang disegerakan Allah Ta’ala
bagi Anda. Diriwayatkan dari Abu Dzarr Jundub bin Junadah (wafat th. 32 H) radhiyallaahu ‘anhu,
ia berkata, “Ditanyakan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Bagaimana pendapat
Anda tentang seseorang yang melakukan kebaikan, kemudian manusia memujinya karena
perbuatan tersebut?’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
‫اج ُل بُ ْش َرى ْال ُمؤْ مِ ِن‬
ِ ‫ع‬َ َ‫ت ِْلك‬.
‘Itu adalah kabar gembira yang Allah segerakan bagi seorang mukmin.’” [19]
Tetapi, berhati-hatilah jika Anda merasa gembira ketika dipuji dengan apa yang tidak Anda miliki.
Sekali lagi berhati-hatilah agar hal ini tidak menimpa Anda. Ingatlah firman Allah Ta’ala mengenai
celaan-Nya terhadap suatu kaum,
‫َويُحِ بُّونَ أ َ ْن يُحْ َمدُوا بِ َما لَ ْم يَ ْفعَلُوا‬
“…Dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan…” [Ali ‘Imran: 188]
Kemudian ingatlah bahwa merasa diri baik itu pada umumnya adalah perbuatan tercela, kecuali
pada beberapa perkara yang sesuai dengan aturan-aturan syari’at. Allah Ta’ala berfirman,
‫سكُ ْم ۖ ه َُو أ َ ْعلَ ُم ِب َم ِن ات َّقَ ٰى‬
َ ُ‫فَ َال تُزَ ُّكوا أ َ ْنف‬
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa.”
[An-Najm: 32]
Begitu juga ingatlah celaan Allah Ta’ala kepada Ahli Kitab,
ْ ‫َّللاُ يُزَ ِّكِي َم ْن يَشَا ُء َو ََل ي‬
ً ‫ُظلَ ُمونَ فَت‬
‫ِيال‬ َ ُ‫أَلَ ْم ت ََر ِإلَى الَّذِينَ يُزَ ُّكونَ أ َ ْنف‬
َّ ‫س ُه ْم ۚ بَ ِل‬
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang menganggap
dirinya suci? Sebenarnya Allah menyucikan siapa yang Dia kehendaki dan mereka tidak dizalimi
sedikit pun.” [An-Nisaa’: 49]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫س ُك ْم اَهللُ أ َ ْعلَ ُم بِأ َ ْه ِل ْالبِ ِ ِّر مِ ْن ُك ْم‬
َ ُ‫َلَ تُزَ ُّكوا أ َ ْنف‬.
“Janganlah menganggap diri kalian suci, Allah lebih mengetahui orang yang berbuat baik di
antara kalian.” [20]
Boleh saja seseorang merasa dirinya baik dalam beberapa hal, sebagaimana telah kami
sebutkan tadi. Misalnya perkataan Nabi Yusuf ‘alaihis salaam,
‫علِي ٌم‬ ٌ ‫ض ۖ إِنِِّي َحفِي‬
َ ‫ظ‬ َ ‫قَا َل اجْ عَ ْلنِي‬
ِ ‫علَ ٰى خَزَ ائ ِِن ْاأل َ ْر‬
“Dia (Yusuf) berkata, ‘Jadikanlah aku bendaharawan (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang
yang pandai menjaga dan berpengetahuan.’” [Yusuf: 55]
Tetapi pada umumnya merasa diri baik dan suka dipuji adalah di antara pintu masuk syaitan
kepada hamba-hamba Allah Ta’ala. Karena itu, berhati-hatilah agar Anda tidak menjadi orang
yang suka dan bangga apabila dipuji dan jangan berusaha untuk mendengarkan pujian-pujian itu.
Apabila Anda ingin mengetahui bahaya senang dipuji, perhatikanlah ketaatan Anda yang mulai
menurun, lalu perhatikanlah orang yang memuji Anda. Sungguh, seandainya ia mengetahui apa
yang tidak terlihat olehnya tentang diri dan amal Anda yang tidak diridhai Allah Ta’ala, apakah ia
akan tetap memuji Anda??!!
Pelajaran yang dapat dipetik di sini adalah hendak-lah kita berhati-hati terhadap sikap
menganggap baik diri sendiri. Hendaklah kita berhati-hati dari perbuatan mencantumkan gelar
pada nama dengan gelar yang tidak kita miliki. Sebab, barangsiapa tergesa-gesa untuk
mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka ia tidak akan mendapatkannya.
[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid
bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat –
Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
_______
Footnote
[1]. Dinukil dari kitab Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi, ‘Awaa-iquth Thalab, dan Thariiq ilal ‘Ilmi.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1, 54, 2529), Muslim (no. 1907), Abu Dawud
(no. 2201), at-Tirmidzi (no. 1647), an-Nasa-i (I/85-60, VI/158-159, VII/13), dan Ibnu Majah (no.
4227) dari Shahabat ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
[3]. Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim (hal. 112).
[4]. Iqtidha al-‘Ilmi al-‘Amal (hal. 66, no. 103).
[5]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/748, no. 1376).
[6]. Iqtidha al-‘Ilmi al-‘Amal (hal. 32, no. 30).
[7]. Sunan ad-Darimi (I/82).
[8]. Lihat kitab Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 20).
[9]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir, Abu Nu’aim dalam
Hilyatul Auliyaa’ (VII/136, no. 9922), dan Majma’uz Zawaa-id (VI/255). Lihat Silsilah al-Ahaadiits
ash-Shahiihah (no. 508).
[10]. An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (II/516).
[11]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih (I/682, no. 1203).
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6499) dan Muslim (no. 2987), dari
Shahabat Jundub bin ‘Abdillah radhi-yallaahu ‘anhu.
[13]. Siyar A’laamin Nubalaa’ (XI/210).
[14]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/357, no. 482).
[15]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 77).
[16]. Ishlaahul Masaajid minal Bida’ wal ‘Awaa-id (hal. 110), karya al-‘Allamah Muhammad bin
Jamaluddin al-Qasimi rahimahullaah.
[17]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 631, 6008, 7246), dari Shahabat Malik bin
al-Huwairits radhiyallaahu ‘anhu.
[18]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/423), an-Nasa-i (I/90-91), Ibnu Majah (no. 1396),
Ibnu Hibban (no. 1039), dan ad-Darimi (I/182), ini lafazh Ibnu Hibban dari Shahabat Abu Ayyub
dan ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu ‘anhuma.
[19]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2642).
[20]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2142 (19)) dari Shahabiyah Zainab binti Abi
Salamah radhiyallaahu ‘anha.

Anda mungkin juga menyukai