Anda di halaman 1dari 15

1

TUGAS MATA KULIAH

BIONOMIKA TERNAK

PEMANFAATAN SUMBER DAYA GENETIK AYAM LOKAL


SEBAGAI KOMODITI UNGGULAN NASIONAL

Disusun oleh:

Malik Makmur
Viktor Laoli
Sri Devi Anggraeni
Imbang Purnama

PROGRAM MAGISTER ILMU TERNAK


UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2017
2
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, diantaranya


adalah jenis-jenis ayam, baik ayam lokal asli Indonesia maupun ayam lokal introduksi yang
telah beradaptasi lama di Indonesia. Beberapa rumpun ayam Indonesia merupakan plasma
nutfah/sumberdaya genetik (SDG) yang masih perlu digali potensinya baik sebagai penghasil
daging, telur maupun klangenan (fancy) baik untuk suara, aduan maupun tampilan yang
cantik. Saat ini terdapat beberapa jenis/rumpun ayam lokal yang mempunyai ciri spesifik dan
merupakan unggulan daerah dimana ayam lokal tersebut berkembang. Ayam Pelung
merupakan ayam lokal unggulan khas daerah Cianjur, Jawa Barat. Ayam Kedu, merupakan
unggulan ayam Lokal di daerah Kedu, Temanggung-Jawa Tengah. Ayam Nunukan juga
merupakan ayam lokal unggulan di daerah Nunukan dan Tarakan Kalimantan Timur, dan
masih banyak jenis ayam lainnya yang berpotensi untuk dijadikan ternak unggas komersial.
Nataamijaya (2000) mengemukakan terdapat 31 kelompok ayam lokal Indonesia yang
mempunyai ciri-ciri khas (spesifik daerah) yang berbeda dengan ayam lokal biasa/ayam
Kampung, namun demikian masih perlu digali jenis ayam lokal lainnya. Ayam lokal
pendatang pun yang telah beradaptasi cukup lama di Indonesia perlu diidentifikasi dan
dikatagorikan sebagai plasma Nutfah ayam Indonesia seperti ayam Arab Silver, ayam Arab
Golden, ayam Kate, ayam Mutiara, ayam Bangkok dan lainnya.
Ayam lokal berperan penting sebagai bahan pangan sumber protein, selain sebagai
tabungan waktu paceklik, dan ternak kesayangan. Ayam lokal juga bermanfaat sebagai
sumber daya genetik yang sangat berharga sehingga perlu dilestarikan dan dikembangkan. Di
banyak tempat, ayam lokal merupakan salah satu pelengkap dalam upacara tradisional dan
keagamaan. Produktivitas ayam lokal pada umumnya masih di bawah potensi genetiknya.
Ayam pelung dan ayam sentul, misalnya, bobot badannya pada umur 20 minggu masing-
masing dapat mencapai 2,20 kg dan 1,60 kg bila dipelihara secara intensif. Bila dipelihara
dengan cara diumbar, bobot badan kedua jenis ayam tersebut pada umur yang sama masing-
masing hanya 1,60 kg dan 1,10 kg. Ayam kedu dan ayam sentul masing-masing mampu
menghasilkan telur lebih dari 200 dan 150 butir/tahun bila dipelihara secara
intensif, namun dengan sistem umbaran hanya menghasilkan telur 60 dan 50 butir setahun
(Nataamijaya et al. 2003).
Meskipun produktivitasnya rendah, ayam lokal Indonesia memiliki keunggulan
tersendiri. Sulandari et al. (2007) menyatakan bahwa 63% ayam lokal Indonesia tahan
terhadap virus highly pathogenic H5N1 avian influenza (HPAI virus) atau flu burung karena
memiliki frekuensi gen antivirus Mx+ yang lebih tinggi (Seyama et al. 2006). Sebagai
contoh, gen Mx+ ayam kedu cemani sebesar 0,89, pelung 0,75, dan merawang 0,75 sehingga
lebih tahan terhadap penyakit AI dibandingkan dengan ayam petelur coklat (0,35), broiler
(0,20), ayam lokal Cina (0,22), dan ayam lokal Afrika (0,44). Seluruh virus influenza pada
ternak peliharaan termasuk tipe A, yaitu tipe yang paling sering menimbulkan wabah dan
menulari manusia, bahkan telah memakan korban jutaan jiwa (WHO 2009).

1.2 Tujuan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk menguraikan pemanfaatan potensi sumber


daya genetik ayam lokal Indonesia sebagai salah satu komoditi unggulan nasional dan upaya
pengembangannya.

1.3 Manfaat

Manfaat yang dapat diambil adalah mengetahui potensi sumber daya genetik ayam
lokal Indonesia dan usaha yang diperlukan untuk mengembangkan ayam lokal sebagai salah
satu komoditi unggulan nasional yang berdaya saing.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ayam Lokal

Gambar 1. Ayam Lokal Indonesia

Perkembangan ayam lokal Indonesia dimulai semenjak proses domestikasi, sehingga


dikenal sebagai ayam asli atau native chicken. Proses domestikasi ayam lokal Indonesia
sampai saat ini belum terdokumentasi dengan baik, meskipun demikian Sulandari et al.
(2007) sudah memulai mendokumentasikannya berdasarkan penemuan arkeologi maupun
berdasarkan penelusuran teknik DNA molekuler. Berdasarkan analisis variasi sekuen D-loop
mitokondria diketahui bahwa ayam lokal Indonesia merupakan hasil domestikasi ayam hutan
merah (Gallus gallus) yang dilakukan oleh penduduk setempat dan memiliki ciri-ciri yang
sangat berbeda dengan ayam lokal dari negara lain.
Klasifikasi taksonomi ayam lokal Indonesia adalah sebagai berikut :
Dunia : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Aves
Ordo : Galliformes
Famili : Phasianidae
Genus : Gallus
Spesies : Gallus gallus
Subspesies : Gallus gallus domestikus (Sulandari et al. 2007).

Ayam lokal Indonesia memiliki banyak keragaman, dengan karakteristik morfologis


yang berbeda. Ayam lokal yang telah teridentifikasi sedikitnya ada 31 rumpun. Ayam lokal
ini merupakan aset yang berharga dalam pembentukan bibit unggul, karena ayam lokal
terbukti mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan setempat (Nataamijaya, 2010).
Ayam lokal memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai penghasil daging, penghasil telur,
sebagai hobi, atau dikembangkan untuk memenuhi fungsi sosial budaya yang berlaku di
berbagai wilayah di Indonesia.
Ayam lokal ini ada yang spesifik, yaitu ayam lokal yang mempunyai ciri khas, dan
hanya ditemukan dan berkembang di wilayah tertentu. Sebagai contoh dari ayam lokal yang
spesifik antara lain adalah ayam Pelung (memiliki bobot badan besar dan suara khas yang
indah), berkembang di Kabupaten Cianjur. Ayam Merawang (memiliki warna bulu dominan
columbian, ceker berwarna putih, dan produksi telur tinggi), berkembang di Kecamatan
Merawang, Sumatera Selatan. Ayam Kedu Hitam (memiliki warna bulu dan warna kulit
hitam, dengan jenger merah), berkembang di Kabupaten Temanggung. Ayam Sentul
(memiliki beberapa varietas warna bulu, produksi telur tinggi dan laju pertumbuhan yang
cepat), berkembang di Kabupaten Ciamis, dan ayam Tolaki (memiliki bobot yang relatif
kecil, tangkas dan agresif), berkembang di Kabupaten Konawe dan Kabupaten Konawe
Selatan, Sulawesi Tenggara. Ayam lokal yang tidak memiliki ciri atau karakteristik khusus
dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia disebut sebagai ayam Kampung.

2.2 Prospek Pasar Komoditi Ayam Lokal

Gambar 2. Populasi Ayam Lokal/Buras di Indonesia (Ditjennak, 2017)


Pada tahun 1990, dari kontribusi penyediaan daging unggas sebesar 29,50%, ayam
lokal menyumbang 21,30%, ayam ras pedaging 5,40%, ayam ras petelur 1,70%, dan itik 1%.
Ternak bukan unggas (sapi, kerbau, kambing, domba, dan babi) menyumbang produksi
daging 70,50%. Pada tahun 2017, kontribusi daging unggas meningkat menjadi lebih 67%,
yaitu dari ayam lokal 8% dengan populasi total mencapai 296 juta ekor, ayam ras pedaging
56%, ayam ras petelur 4%, dan ruminansia 32% (Ditjennak, 2017).

Gambar 3. Produksi daging unggas (Ditjennak, 2017)

Untuk mencapai konsumsi protein bermutu tinggi, sesuai dengan norma kecukupan
protein hewani, maka laju konsumsi produk ayam lokal, baik daging maupun telur, perlu
ditingkatkan. Apabila setiap orang ditargetkan mengkonsumsi 80 g protein/kapita/hari dan
50% di antaranya adalah protein hewani (ikan, susu, daging, dan telur), untuk mencukupi
kebutuhan 261 juta penduduk dibutuhkan 292 miliar g protein hewani. Sekitar 10% dari
kebutuhan tersebut diharapkan berasal dari daging ayam lokal. Dengan demikian, produksi
daging ayam lokal harus mencapai 1,46 juta ton yang dapat diperoleh dari minimal 7,30
miliar ekor ayam lokal pedaging tiap tahun. Bila 10% kebutuhan protein hewani diperoleh
dari telur ayam lokal, diperlukan sekitar 16 miliar ekor ayam lokal petelur yang produktif
setiap tahun. Oleh karena itu, ayam lokal mempunyai prospek pasar yang sangat baik. Usaha
peternakan ayam lokal akan membuka peluang kerja yang besar karena bersifat padat karya
dibandingkan industri ayam ras yang bersifat padat modal.
III. PEMBAHASAN

Pengembangan ayam lokal menghadapi berbagai kendala secara nasional, yang melekat
pada ternak yang bersangkutan maupun sistem usaha pemeliharaannya. Kendala tersebut
antara lain karena kurangnya pengenalan ayam lokal secara genetik. Ayam yang dijual
biasanya mempunyai nilai ekonomis tinggi secara ekonomi dan yang kurang bernilai (kecil,
cacat, kurus) tetap diusahakan sebagai induk generasi penerus sehingga mengalami
penurunan kualitas indukan dan bibit yang dihasilkan (Sidadalog, 2007). Iskandar (2007)
menyatakan bahwa ada sifat mengeram maupun sifat kanibal dan beberapa penyakit yang
sering menyerang yang disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, parasit dan serangga kecil
(kutu). Prawirodigdo (2006) dan Tondok et al. (2014) melaporkan bahwa pada umumnya
pemberian pakan kurang memperhatikan kebutuhan kandungan nutrisi, namun lebih
didasarkan pada profit usaha.

Saptana (2012) menyatakan bahwa permasalahan yang menghambat pengembangan


agribisnis unggas lokal antara lain: (1) Belum adanya sistem seleksi yang baik terhadap
unggas lokal; (2) Belum berkembangnya industri pembibitan unggas lokal; (3) Pakan masih
bertumpu pada limbah konsumsi keluarga; (4) Kurang tersedianya bahan baku industri pakan
perunggasan; (5) Belum adanya penataan pengembangan industri unggas lokal; (6)
Keterbatasan modal peternak; (7) Mewabahnya penyakit menular terutama flu burung (Avian
Influenza); dan (8) Kompetisi penggunaan komoditas pangan seperti jagung, dedak/bekatul,
ubi kayu dan kedelai untuk ternak dan unggas komersial. Haryono et al. (2012) menyatakan
bahwa hal tersebut juga disebabkan oleh skala usaha relatif kecil, produksi telur rendah,
kelangkaan bibit, pertumbuhan lambat, mortalitas tinggi, biaya ransum mahal dan
pengusahaan secara perorangan menjadi faktor penghambatnya. Terdapat dua simpul
permasalahan yang penting dicarikan penyelesaiannya, yakni: (1) Mengatasi kelangkaan
indukan dan bibit berkualitas di kalangan para peternak ayam lokal; dan (2) Meningkatkan
produktivitas (daging dan telur).

Kendala seperti diuraikan di atas, saat ini masih ada dan terdapat kecenderungan bahwa
para peternak ayam lokal mulai mengubah pola pemeliharaan ekstensif tradisional dan semi
intensif menjadi pemeliharaan intensif. Hidayat (2012) menyatakan bahwa untuk mengatasi
kelangkaan bibit dapat dilakukan melalui mengaktifkan peran institusi perbibitan peternakan
milik pemerintah pusat maupun daerah, sedangkan perbaikan kinerja produksi dapat
dilakukan dengan pendekatan perbaikan mutu genetik, pakan dan manajemen.

Saptana (2012) melaporkan bahwa terdapat dua tuntutan yaitu sisi permintaan dan sisi
penawaran yang harus disadari terhadap produk-produk unggas lokal yang dipersepsikan
bernilai ekonomi tinggi oleh konsumen. Sisi permintaan, menuntut berbagai atribut lengkap
dan rinci, mencakup atribut keamanan produk, nutrisi, nilai, pengepakan, lingkungan dan
kemanusiaan, serta aspek kesejahteraan ternak yang merupakan persyaratan baru. Sisi
penawaran di lain pihak, peternak unggas lokal dituntut untuk dapat bersaing berkaitan
dengan kemampuan merespon atribut produk yang diinginkan konsumen secara cepat dan
efisien baik untuk tujuan konsumen pasar tradisional, pasar modern, dan industri kuliner.
Artinya bahwa, peternak harus mampu menghasilkan produk-produk unggas lokal yang
memenuhi dimensi jenis, kuantitas, kualitas, kontinuitas, cita rasa, serta atribut yang
diinginkan konsumen dengan harga yang bersaing.

Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan yang terdapat di hulu dan hilir
agribisnis ayam lokal adalah melalui pembentukan dan penguatan lembaga koperasi peternak.
Koperasi melakukan kegiatan yang sangat diperlukan peternak ayam lokal yaitu pada
subsistem hulu (pengadaan DOC maupun pakan) dan pada subsistem hilir (pemasaran telur
dan ayam hasil penggemukan). Pada agribisnis peternakan, keberhasilan bisnis akan sangat
tergantung pada pakan, karena sekitar 60-70% biaya produksi adalah pakan. Penguasaan pada
usaha pakan berdampak pada keunggulan dalam bisnis peternakan. Koperasi yang terbentuk
segera menangani kegiatan industri pakan dan penetasan dengan skala yang disesuaikan
kebutuhan anggotanya. Penguasaan pada agribisnis hilir diantaranya kegiatan pemasaran
telur, pemasaran ayam hasil penggemukan dalam bentuk hidup maupun pemasaran karkas
yang dihasilkan dari jasa pemotongan ternak. Pada kegiatan pemasaran hasil ternak yang
dimaksud maka koperasi dapat mengadakan kios-kios hasil ternak di berbagai lokasi pasar.
Mekanisme kegiatan pada koperasi yaitu;

1. Kegiatan pemasaran telur; Koperasi yang dibentuk melakukan kegiatan pemasaran dengan
cara menampung atau membeli telur dari peternak budidaya dengan harga yang telah
disepakati. Selanjutnya telur tersebut dijual langsung kepada konsumen untuk telur
konsumsi, sedangkan untuk telur tetas digunakan koperasi sebagai bahan baku kegiatan
penetasan untuk menghasilkan DOC sebagai bibit yang diperlukan peternak.
2. Kegiatan penetasan telur; Koperasi ini harus mempunyai perencanaan yang matang
maupun pengetahuan yang memadai tentang teknis penetasan mulai dari pemilihan telur,
penanganan telur dan teknis mengoperasikan mesin tetas. Pengetahuan praktis penetasan
tersebut dapat diperoleh dari berbagai informasi yang telah berkembang maupun
pembinaan dari institusi terkait (Dinas Peternakan, BPTU, Balai Penelitian Ternak, Pusat
Pengembangan dan Penelitian Peternakam maupun Balai Pengkajian Teknologi
Peternakan). Hasil penetasan (DOC) selanjutnya dijual kepada pihak yang memerlukannya
dengan harga yang telah ditentukan. Dengan demikian kebutuhan peternak untuk kegiatan
budidaya dapat terpenuhi dalam kuantitas maupun kualitasnya, karena DOC yang
dihasilkan mempunyai umur yang hampir sama dengan jumlah yang memadai untuk
digunakan sebagai usaha penggemukan.

3. Kegiatan pemasaran ayam hasil penggemukan; Koperasi membeli hasil penggemukan dari
peternak dengan harga yang telah ditentukan, sehingga peternak terbantu dalam pemasaran
produksi penggemukannya. Selanjutnya koperasi menjual kepada konsumen dalam bentuk
ayam hidup maupun karkas. Kegiatan pemasaran produk ternak yang telah dikuasai
peternak melalui koperasinya diharapkan harga yang dibayarkan konsumen akhir (hasil
mekanisme pasar) secara langsung dapat dinikmati oleh peternak rakyat.

4. Kegiatan pengadaan pakan; koperasi melakukan kegiatan pembuatan pakan ayam lokal,
yang tentunya mempunyai kualitas baik berdasarkan standar ransum. Selanjutnya pakan
tersebut disalurkan kepada peternak dengan cara penjualan yang ditentukan harganya,
namun demikian teknis pembayaran dapat diselaraskan dengan kesepakatan yang telah
dibuat. Peternak melalui koperasinya secara tidak langsung telah memiliki pakan ternak,
sehingga harga pakan yang dibayar oleh peternak.

Sebelumnya, diuraikan bagaimana kendala dan tantangan agribisnis ayam lokal, yang
secara nasional sudah diminati para peternak dan didukung dengan perkembangan pasar yang
menjanjikan. Namun sebagai suatu bangsa dan negara yang juga harus memikirkan
keberlangsungan kehidupan, baik ayam lokal itu sendiri maupun industrinya sebagai suatu
bagian yang tidak terpisahkan. Dalam kelompok pemerhati dan pelaku industri ayam lokal ini
terbagi atas kelompok yang mampu dan kurang mampu dalam mengemban tugas secara
keseluruhan.
Gambar 4. Alur Fungsi dan Pelaku Industri Ayam Lokal

Pelaksanaan tugas sebaiknya diatur sedemikian rupa. Dua kelompok dalam komunitas
industri ayam lokal yaitu i) Pemerintah dan Pengusaha Ternak Swasta, yang mempunyai
cukup kapital dan ii) Peternak Kecil dan Menengah sebagai produsen ternak akhir, sebelum
pengolahan (Gambar 4). Kedua kelompok tersebut harus selalu bersinergi dalam bahu
membahu membangun industri ayam lokal yang lebih maju dan lestari. Upaya pelestarian dan
peningkatan produksi melalui aspek genetik, yang memerlukan modal relatif lebih besar,
sebaiknya ditangani pemerintah yang bekerjasama dengan sektor swasta Nasional, yang
tertarik. Sementara peternak menengah dan kecil dapat memanfaatkan berbagai galur ayam
unggul hasil perbaikan sifat yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau sektor swasta nasional.
Sektor swasta Nasional ini selain melakukan pelestarian dan perbaikan mutu produksi, juga
dapat melakukan perbanyakan bibit untuk menghasilkan ayam niaga atau final stock turunan
tetua unggul. Peternak menengah dan kecil merupakan kelompok penghasil produk akhir
antara, berupa ayam hidup dan telur, kemudian akan diproses lebih lanjut untuk dijadikan
karkas, bahan olahan selanjutnya.

Berkembangnya IPTEK akhir-akhir ini, program seleksi untuk pembentukan ayam


galur unggul melalui program seleksi dapat diperbaiki dengan penggunaan teknik molekuler
melalui material DNA. Penggunaan penanda genetik kaitannya dengan seleksi yang dikenal
sebagai MAS (Marker Assisted Selection), menyebabkan proses seleksi dipercepat, sehingga
sangat berguna di dalam ketepatan dan kecepatan seleksi. Meuwissen (2003) mengemukakan
MAS sangat berguna untuk seleksi pada sifat-sifat yang mempunyai heritabilitas rendah, pada
sifat-sifat yang mempunyai catatan terbatas (karena mahalnya rekording), pada sifat-sifat
yang diukur setelah ternak dipotong dan sifat-sifat resistensi penyakit.
IV. KESIMPULAN

Ayam lokal yang telah berkembang di berbagai daerah di seluruh Indonesia menjadi
aset nasional yang tetap perlu dikembangkan dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan,
gizi dan pelestarian sumber daya genetik. Usaha ayam lokal secara intensif sebagai penghasil
telur maupun daging dinyatakan mampu memberikan manfaat ekonomi bagi pelakunya.
Diperlukan penguatan kelembagaan koperasi yang bergerak pada kegiatan subsistem hulu
dan hilir guna peningkatkan pendapatan peternak melalui usaha yang dikelola secara individu
maupun kegiatan yang dikelola oleh koperasi. Selain itu, solusi bioteknologi berupa Marker
Assisted Selection digunakan untuk meningkatkan kualitas bibit dan produktivitas ayam
lokal.
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jendral Peternakan. 2017. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan.


Kementerian Pertanian RI. Jakarta.
Haryono, Tiesnamurti B, Hidayat C. 2012. Prospek usaha ayam lokal mengisi pangsa pasar
nasional. Dalam: Iskandar S, Resnawati H, Priyanti A, Sartika T, Damayanti R,
penyunting. Pengembangan Peran Unggas Lokal dalam Industri Perunggasan
Nasional. Prosisding Workshop Nasional Unggas Lokal. Jakarta, 5 Juli 2012. Bogor
(Indonesia): Puslitbangnak. hlm. 3-10.
Hidayat C. 2012. Pengembangan produksi ayam lokal berbasis bahan pakan lokal.
Wartazoa. 22:85-98.
Iskandar S. 2007. Tatalaksana pemeliharaan ayam lokal. Dalam: Keanekaragaman sumber
daya hayati ayam lokal: Manfaat dan potensi. Bogor (Indonesia): Pusat Penelitian
Biologi LIPI. hlm. 133-155.
Meuwisswen T. 2003. Genomic Selection: The future of marker assisted selection and
animal breeding. Electronic forum biotechnology in food and agriculture. MAS: a fast
track to increase genetic gain in plant and animal breeding, Session II: MAS in
Animals. FAO, Conference 10. http://www.fao.org/biotech/Torino.html [11 Desember
2017].
Nataamijaya AG. 2010. Pengembangan potensi ayam lokal untuk menunjang peningkatan
kesejahteraan petani. Jurnal Litbang Pertanian 29(4):131-138.
Nataamijaya, A.G., A.R. Setioko, B. Brahmantyo, dan K. Diwyanto. 2003. Performans dan
karakteristik tiga galur ayam lokal (pelung, arab, dan sentul). hlm. 353−359. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, 29−30 September 2003. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Nataamijaya, AG. 2000. The native of chicken of Indonesia. Buletin Plasma Nutfah Volume
6, No.1. Balitbangtan. Jakarta.
Prawirodigdo S. 2006. Pemberian pakan mengandung asam amino seimbang dan
antioksidan nabati sebagai strategi proteksi terhadap serangan penyakit pada ternak
ayam. Dalam: Subandriyo, Diwyanto K, Kompyang IP, Inounu I, Setioko AR,
Ketaren PP, Suparyanto A, Priyanti A, penyunting. Inovasi Teknologi dalam
Mendukung Usaha Ternak Unggas Berdayasaing. Prosiding Lokakarya Nasional.
Semarang, 4 Agustus 2006. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak bekerjasama dengan
Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro.
hlm. 144-161.
Saptana. 2012. Kelembagaan kemitraan usaha dalam mendukung agribisnis unggas lokal
yang berkelanjutan. Dalam: Iskandar S, Resnawati H, Priyanti A, Sartika T,
Damayanti R, penyunting. Pengembangan Peran Unggas Lokal dalam Industri
Perunggasan Nasional. Prosiding Workshop Nasional Unggas Lokal. Jakarta, 5 Juli
2012. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak. hlm. 43-54.
Sidadalog JHP. 2007. Pemanfaatan dan kegunaan ayam lokal Indonesia. Dalam:
Keanekaragaman sumber daya hayati ayam lokal manfaat dan potensi. Bogor
(Indonesia): Pusat Penelitian Biologi LIPI. hlm. 27-42.
Sulandari, S., M.S.A. Zein, S. Paryanti, dan T. Sartika. 2007. Taksonomi dan asal-usul
ayam domestikasi. hlm. 5−25. Dalam K. Diwyanto dan S.N. Prijono (Ed.).
Keanekaragaman Sumber Daya Hayati Ayam Lokal Indonesia: Manfaat dan Potensi.
Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor.
Tondok AR, Yuniarsih ET, Sariubang M. 2014. Analisis respon dan partisipasi petani pada
introduksi teknologi ayam kampung di Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan.
Dalam: Pamungkas D, Widiawati Y, Noor SM, Purwantari ND, Widiastuti R,
Brahmantiyo B, Herawati T, Kusumaningsih A, Handiwirawan E, Puastuti W,
penyunting. Teknologi Peternakan dan Veteriner Mendukung Pertanian Bioindustri
Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Malang, 12-14 Agustus 2014. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak. hlm. 628-634.
WHO. 2009. Cumulative Number of Confirmed Human Cases of Avian Influenza A
(H5N1) Reported to WHO. www.who.in/csr/disease/avianinfluenza/country/cases
table 2008 04 17/en/index. html. [11 Desember 2017].

Anda mungkin juga menyukai