Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Iskemia serebri, seperti yang telah kita ketahui, biasanya disebabkan oleh gangguan
suplai darah arterial otak. Keadaan ini dapat pula disebabkan oleh gangguan aliran darah vena,
meskipun sangat jarang. Jika vena serebri tersumbat, volume darah dan tekanan vena meningkat
di region otak yang normalnya dialirkan. Perbedaan tekanan arteriovenosa pada kapiler cerebral
menurun (aliran darah yang masuk terhambat), menimbulkan penurunan perfusi dan dengan
demikian menurunkan suplai oksigen dan nutrient. Secara simultan, gradient tekanan transkapiler
meningkat, menyebabkan peningkatan pergerakan air dari kapiler ke jaringan sekitarnya (sedema
vasogenik). Neuron pada jaringan otak yang terkena kehilangan kemampuan untuk berfungsi
normal dan jika masalah ini menetap neuron tersebut mati. Infark venosus biasanya disertai
rupture pembuluh darah kecil (kemungkinan vena) di zona infark, menyebabkan perdarahan
intraparenkimal (yang disebut perdarahan vena, yang memiliki karakteristik berupa gambaran
“salt-and-pepper” pada CT scan).
Walaupun cerebral sinus venosus merupakan kasus yang jarang namun ini sangat penting
untuk dipertimbangkan karena potensi perkembangan penyakitnya yang dapat menyebabkan
kematian. Pengetahuan mengenai anatomi sistem vena adalah penting untuk mengevaluasi
pasien dengan sinus venosus thrombosis, dimana manifestasi klinis yang muncul sangat
bervariasi dan berhubungan dengan lokasi terbentuknya thrombus di sunus venosus.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Vaskular Sistem Saraf Pusat

Suplai darah serebral berasal dari arteri karotis interna dan arteri vertebralis. Arteri
karotis interna pada kedua sisi menghantarkan darah ke otak melalui percabangan utamanya,
arteri serebri media dan arteri serebri anterior serta arteri khoroidalis anterior (sirkulasi anterior).
Kedua arteri vertebralis bergabung di garis tengah pada batas kaudal pons untuk membentuk
arteri basilaris, yang menghantarkan darah ke batang otak dan serebelum, serta sebagian
hemisfer serebri melalui cabang terminalnya, arteri serebri posterior (sirkulasi posterior).
Sirkulasi anterior dan posterior berhubungan satu dengan lainnya melalui sirkulasi anteriosus
Willisi. Terdapat pula banyak hubungan anastomosis lain diantara arteri-arteri yang mendarahi
otak, dan antara sirkulasi intracranial dan ekstrakranial; sehingga oklusi pada sebuah pembuluh
darah besar tidak selalu menimbulkan stroke karena jaringan otak di bagian distal oklusi
mungkin mendapatkan perfusi yang adekuat dari pembuluh darah kolateral.

Darah vena otak mengalir dari vena profunda serebri dan vena superfisialis serebri
menuju sinus venosus duramater, dan disinilah menuju ke vena jugularis interna kedua sisi, yang
mana akan membawa darah kembali ke jantung.

Gangguan jangka panjang pada aliran darah ke salah satu bagian otak menyebabkan
hilangnya fungsi dan akhirnya terjadi nekrosis iskemik jaringan otak (infark serebri). Iskemik
serebri umumnya bermanifestasi sebagai deficit neurologis dengan onset tiba-tiba (oleh sebab itu
disebut dengan stroke dengan stroke), akibat hilangnya fungsi bagian otak yang terkena. Namun,
kadang-kadang deficit muncul secara bertahap dan bukan tiba-tiba. Penyebab iskemik tersering
pada sisi arteri sirkulasi serebral adalah emboli (biasanya berasal dari jantung atau dari plak
ateromatosa, misalnya di aorta atau bifurkasio karotidis) dan oklusi langsung pembuluh darah
yang berukuran kecil atau menengah oleh arteriosklerosis (mikroangiopati serebral, biasanya
akibat hipertensi. Iskemik serebral juga dapat terjadi akibat gangguan drainase vena (thrombosis
vena serebral atau thrombosis sinus venosus).

2
Penyebab lain sindrom stroke adalah perdarahan intracranial, yang dapat terjadi ke parenkim
otak itu sendiri (perdarahan intraserebral) atau ke kompartemen meningeal sekitarnya
(perdarahan dan hematoma subarachnoid , subdural dan epidural).

Suplai darah medulla spinalis terutama diperoleh dari arteri spinalis anterior yang tidak
berpasangan dan sepasang arteri spinalis posterolateralis. Arteri spinalis anterior menerima
kontribusi dari berbagai arteri segmentalis. Seperti pada otak, medulla spinalis dapat mengalami
kerusakan akibat perdarahan atau iskemia yang berasal dari arteri atau vena.

2.2 Defenisi

Sinus dura atau sinus venosus merupakan aliran dari vena-vena superfisialis dan profunda
serebri. Sinus dura tersebut terdiri dari : Sinus venosus kranialis, Sinus sagitalis superior, Sinus
rectus, Sinus transverses, Sinus sigmoideus, Sinus kavernosus. Terjadinya oklusi pada salah satu
daerah sinus venosus yang disebabkan oleh thrombus disebut dengan cerebral sinus venosus
thrombosis. Bagian sinus yang paling sering terkena adalah sinus sagitalis superior (72%) dan
sinus lateral (70%). Dalam sepertiga kasus lebih dari satu sinus yang terlibat namun juga dapat
melebitkan lebih dari satu sinus dan pada kasus yang lebih lanjut lagi disertai dengan keterlibatan
vena-vena serebri.

Nama lain yang juga sering digunakan untuk menyebutkan cerebral sinus venosus thrombosis
yaitu :

- Cerebral venous thrombosis (CVT)


- Cerebral vein thrombosis
- Cerebral venous and sinus thrombosis
- Cerebral venous sinus thrombosis (CVST)
- Cerebral sinovenous thrombosis (CSVT)
- Cerebral vein and dural sinus thrombosis
- Sinus and cerebral vein thrombosis

3
2.3 Etiologi

Faktor pencetus dapat diidentifikasa pada 80% pasien CSVT. Sejumlah kondisi dapat
menyebabkan atau mencetuskan terjadinya CVST dan sering lebih dari satu penyebab yang akan
ditemukan pada seorang pasien. Faktor pencetus tersebut antara lain koagulopati seperti
defesiensi protein C dan protein S, defesiensi faktor V, dan antibody kardiolipin, serta
penggunaan kontrasepsi oral, merokok, terapi steroid, dehidrasi, penyakit autoimun seperti
penyakit Behcet dan penyakit Crohn, serta puerpurium.

Pada anak baru lahir (newborn) faktor pencetus tersering adalah infeksi seperti otitis,
mastoiditis dan sinusitis.

2.4 Epidemiologi

CVT merupakan bentuk stroke yang jarang terjadi. Hanya 1500 orang di USA yang
didiagnosa sebagai CVT per tahunnya. CVT dapat mengenai semua umur tetapi anak-anak lebih
sering dibandingkan dewasa. Bayi yang baru lahir pada bulan pertamanya memiliki resiko yang
lebih besar terkena CVT. Secara keseluruhan, hanya 3 dari 300.000 anak-anak dan remaja hingga
usia 18 tahun yang menderita CVT.

2.5 Patofisiologi

Patofisiologi penting untuk membedakan antara thrombosis pada arteri atau pada vena.
CVT dideskripsikan sebagai proses yang berkelanjutan yang mana terjadi gangguan
keseimbangan proses prothrombotik dan trombolitik, mengarah kepada perkembangan waktu
terjadinya thrombus di venous. Perkembangan yang lambat dari thrombus dan aliran pembuluh
vena kolateral yang baik mungkin dapat menjelaskan perkembangan onset hingga timbul gejala
yang biasanya dapat terjadi setelah beberapa minggu atau beberapa bulan. Onset yang tiba-tiba
bagaimanpun juga dapat terjadi.
Obstruksi dari aliran darah karena bekuan darah di vena menyebabkan terbendungnya
darah dan meningkatkan tekanan darah di pembuluh darah yang sebelumnya telah
obstruksi.Peningkatan tekanan mengakibatkan pembengkakan bagian dari serebri, sehingga
menghasilkan sakit kepala; tekanan tersebut dapat merusak jaringan otak, sehingga
menyebabkan symptom seperti stroke.Peningkatan tekanan dari pembuluh darah dapat juga

4
menyebabkan terjadinya rupture pembuluh darah dan perdarahan ke dalam otak yang disebut
cerebral hemorarhage. Ini mengacu pada venous hemorrhage infarction atau venous hemorrhage
stroke. Itu dapat mengarah kepada kerusakan jaringan otak yang lebih lanjut. Lebih dari
sepertiga pasien dengan CVT mengalami perdarahan.

2.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis dari CVT sangat bervariasi tergantung pada lokasi dan luas oklusi
vena, proses terjadinya oklusi serta tingkat drainase kolateral yang tersedia.Pada satu pasien ,
oklusi yang relative terbatas dapat menimbulkan perdarahan intraparenkimal luas, sedangkan
pada pasien lain, oklusi yang luas dapat hampir tidak menimbulkan gejala.
Efek CVT terhadap status mental agak bervariasi, terhadap beberapa pasien tidak
menunjukkan perubahan pada kesadaran, pada perkembangan yang lain dapat berkembang
menjadi mid confuse dan proses lebih lanjut dapat terjadi koma.
Pada gangguan nervus kranialis dapat ditemukan papilledema, hemianopia dan parese
abducens, kelemahan wajah dan keadaan tuli. Jika thrombosis menyebar ke vena jugular, dapat
berkembang melibatkan nervus kranialis IX,X,XI dan XII dengan sindrom vena jugular.
Trombosis pada sinus sagitalis superior dapat menimbulkan paralysis unilateral yang
kemudian dapat menyebar ke sisi bagian yang lain (paraplegia). Trombosis sinus cavernosus
dapat menghambat vena optalmica yang berhubungan dengan proptosis dan edema periorbital
ipsilateral. Perdarahan retina dan papiledema juga dapat terjadi. Paralysis dari gerakan
extraocular, ptosis dan menurunnya sensasi rasa adalah bagian pertama dari gangguan nervus
trigeminal.Secara umum berikut beberapa gejala yang mungkin terjadi :
- Onset dapat tiba-tiba atau perlahan-lahan selama beberapa jam atau beberapa hari
- Sakit kepala
- Mual dan muntah
- Pandangan kabur
- Defisit neurologis fokal : hemipareses dan hemisensoris, kejang, kelemahan berbicara
(afasia), heminanopia, confuse,penurunan kesadaran.
- Peningkatan tekanan intracranial : papiledema

5
Pada kasus-kasus thrombosis sinus venosus, perburukan klinis yang nyata dapat terjadi
pada waktu yang sangat singkat, kemungkinan dalam beberapa jam. Keadaan tersebut biasanya
diakibatkan keterlibatan vena internae serebri atau perdarahan intraparenkim yang luas.

2.7 Diagnosa Banding


- Parese Nervus Abducens
- Blood dyscrassias dan stroke
- Sindrom sinus cavernosus
- Head Injury
- HIV-1 berhubungan deng infeksi opportunistic : cytomelovirus ensefalitis
- Intrakranial epidural abses
- Pseudotumor cerebri
- Sarcoidosis dan neuropaty
- Meningitis staphylococcal
- Status epileptikus
- Subdural empiema
- SLE (Systemic Lupuis Erythematosus)

2.8 Evaluasi Diagnostik


Diagnosis thrombosis sinus venosus umumnya sulit bahkan bila menggunakan metode
pencitraan modern – CT, MRI dan digital substraction angiography (DSA).
Computed Tomography (CT). Kasus akut yang klasik dapat didiagnosa dengan CT, terutama
bila menggunakan CT venografi dengan medium kontras. Masalah sering disebabkan oleh varian
congenital pada anatomi vaskuler, oklusi yang tidak terlalu luas, dan oleh thrombosis sinus
rectus dan vena internae serebri. Trombosis sinus venosus yang lama juga sulit dinilai dengan
CT.
Magnetic Resonance Imaging (MRI). MRI saat ini merupakan teknik diagnostic terpenting
untuk evaluasi aliran vena di otak. Pemeriksaan ini menunjukkan vena pada berbagai bidang, dan
dilakukan dengan sekuens sensitive-aliran untuk memperlihatkan aliran intravena. Resolusinya
cukup tinggi sehingga vena internae serebri dapat terlihat dengan baik.

6
MRI juga memungkinkan visualisasi parenkim otak. Lokasi dan gambaran lesi parenkimal dapat
memberikan petunjuk mengenai lokasi obstruksi vena: oklusi venae interna serebri, misalnya
menimbulkan lesi talamik yang khas, sedangkan thrombosis sinus tranversus menimbulkan lesi
khas di lobus temporalis. Namun, kekuatan diagnostic MRI oleh varian anatomi pembuluh darah
otak (seperti pasa CT) dan juga oleh beberapa efek yang berkaitan dengan aliran yang hingga
saat ini belum dipahami. Karena itu, MRI tidak dapat mendeteksi semua kasus thrombosis sinus
venosus, dan kadang-kadang dapat memberikan hasil positif palsu. Selain itu, pemindaian MRI
pada pasien yang tidak kooperatif atau tidak sadar kadang-kadang sangat sulit dan hasil
gambarannya memiliki makna diagnostic yang rendah. Pada kasus ekstrim, pasien harus
dilakukan pemeriksaan dengan anastesia umum.
Digital Substraction Angiography (DSA) intra-arterial. Angiografi atau DSA intra-arterial
dulu satu satunya metode diagnosis thrombosis sinus venosus dengan pasti. Sayangnya,
keterbatasan kegunaan metode ini terbatas pada kondisi yang persis sama dengna metode lain
gagal menunjukan temuan yang konklusif. DSA tidak lagi digunakan untuk diagnosis thrombosis
sinus venosus, kecuali pada kasus-kasus yang jarang, karena menimbulkan komplikasi yang
lebih tinggi dibandingkan MRI.

2.9 Terapi

Terdapat beberapa percobaan terepeutik pada CVT yaitu dengan pemberian antitrombotik
yang termasuk heparin, thrombolysis dan antikoagulan oral. Intervenous heparin merupakan
penangan lini peretama, bahkan jika terjadi perdarahan intraparenkimal akibat thrombosis sinus
venosus. Pada kasus tersebut, interprestasi perdarahan secara tepat sebagai akibat thrombus
sangat penting, karena jika tidak demikian merupakan kontraindikasi basolut pemberian
antikoagulasi. Teknik fibrinolitik tidak terlihat bermakna pada terapi thrombosis sinus venosus.
Reseksi beda pada perdarahan vena tidak diindikasikan.
Antikoagulasi terapeutik diduga menghambat progresivitas thrombosis sinus venosus,
untuk membuka jalur kolateral vena dan untuk memperbaiki mikrosirkulasi. Heparin intravena
diberikan pada fase akut, kemudian diganti dengan antikoagulan oral selama enam bulan
kemudain. Pemeriksaan follow-up dilakukan untuk mendeteksi rtekurrensi dini, terutama bila
terdapat faktor resiko yang telah diketahui. Pasien yang diketahui mengalami thrombus sinus

7
venosus karena gangguan hiperkoagulasi yang mendasarinya harus mendapat antikoagulasi
terepeutik seumur hidup.
Selanjutnya dapat diberikan terapi symptomatic sesuai dengan gejala yang ada seperti
pemberian antikonvulsan untuk menangani kejang, penanganan untuk menurunkan tekanan
intracranial, control agitasi psikomotorik dan pemberian analgesic.
Untuk trombolysis, pada tahun 2006 European Federation of Neurological Societies
guedline merekomendasikan trombolysis hanya digunakan pada pasien yang semakin memburuk
walaupun telah diberi terapi yang adekuat, dan penyebab-penyebab lain yang memperberat telah
dieliminasi. Perdarahan di otak dan di bagian tubuh yang lain adalah perhatian utama
digunakannya trombolysis. American guidline tidak memberikan rekomendasi sama sekali untuk
pemberian trombolysisi, penelitian yang lebih dalam masih dibutuhkan dalam hal ini..

2.10 Prognosis
Perjalanan spontan thrombosis sinus venosus tidak jelas. Dahulu pernah diduga sebagian
kasus fatal, kemungkinan karena sebagian besar kasus oklusi yang tidak terlalu berat tidak
terdeteksi dan hanya kasus-kasus yang berat akhirnya terdiagnosis. Oklusi sinus rektus dan/atau
vena internae serebri sangat berbahaya; tipe obstruksi vena umumnya sangat letal, karena sering
menyebabkan nekrosis pada diensefalon yang luas hingga mengancam jiwa. Obstruksi ini juga
dapat perdarahan serebelum dengan efek massa. Sinus rectus dan vena internae serebri kadang-
kadang mengalami thrombosis terisolasi, tetapi umumnya terjadi pada fase lanjut progresivitas
thrombosis luas pada sinus venosus lainnya.
Prognosis thrombus sinus venosus semakin membaik sejak adanya antikoagulasi
terapeutik dengan heparin. Sekitar 86% pasien mengalami perbaikan fungsional yang lengkap.
Kematian sekitar 18% dari kasus CVT. Faktor penyebab yang berat memberikan prognosis yang
buruk. Kemungkinan terajdinya rekurrensi sekitar 12% dan 14% dapat terjadi proses CVT
di bagian yang lain dari sinus. Secara umum prognosis CVT adalah baik.

8
BAB III
KESIMPULAN

Trombosis Sinus Venosus merupakan kondisi yang jarang dari trombosis dengan manifestasi
klinis yang bervariasi. Dimana setelah 5 hingga 10 tahun untuk mendapatkan diagnose yang
pasti karena ketidaktersediaan alat daignostik yang invansif. Gejala klinis dari CVT sangat
bervariasi sehingga banyak kasus yang tidak terdeteksi. CVT dapat terjadi pada semua usia,
namun lebih sering pada wanita khususnya usia 20-35 tahun, terlebih wanita hamil, puerperium
dan yang menggunakan kontrasepsi oral. Heparin adalah penagnan lini pertama pada CVT
sedangkan trombolysis hanya diberikan pada kasus-kasus yang berat yang tidak teratasi
walaupun diberikan terapi yang adekuat. Sedangkan menrut America Guidline trombolysis tidak
boleh diberikan pada CVT. Umumnya prognosis dari CVT adalah baik.

9
DAFTAR PUSTAKA

10

Anda mungkin juga menyukai