Anda di halaman 1dari 49

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Semenjak ditemukanya penggunaan listrik secara komersial pada


tahun 1849, makin tinggi juga potensi komorbiditas di masyarakat.
Berdasarkan data statistic, ada 0,8-1% kematian diakibatkan oleh luka
bakar listrik, dengan perkiraan seperempatnya disebabkan oleh listrik
alami. Luka bakar elektrik menyebabkan 1000 kematian setiap tahunnya di
Amerika, dengan laju kematian 3-15%.1,2

Semakin tingginya penggunaan listrik dan luka yang


diakibatkannya, petugas kesehatan professional makin dilibatkan dalam
penanganan luka baik efek fisiologis dan patologisnya, serta
penanganannya.

Listrik sendiri merupakan aliran elektron dari atom ke atom.


Pergerakan elektron ini sepertinya jalannya air yang melalui suatu barisan
ember. Elektron berpindah dari satu atom ke atom yang lain. Ampere
merupakan istilah yang digunakan untuk laju aliran elektron. Setiap
6,242x1015 elektron melalui dari satu titik setiap 1 detik, 1 ampere arus
telah berpindah. Arus inilah yang dapat membunuh atau melukai korban
akibat luka bakar listrik. Satu ampere setara dengan jumlah arus yang
melalui 100 watt bola lampu.3,4

Efek listrik pada tubuh dapat ditentukan dari 7 faktor: tipe arus,
jumlah arus, jalur arus, durasi kontak, area kontak, resistensi tubuh, dan
voltase.5

Luka bakar adalah rusak atau hilangnya jaringan yang disebabkan


kontak dengan sumber panas seperti kobaran api di tubuh (flame), jilatan
api ketubuh (flash), terkena air panas (scald), tersentuh benda panas
2

(kontak panas), akibat sengatan listrik, akibat bahan-bahan kimia, serta


sengatan matahari (sunburn).6 Listrik menyebabkan kerusakan yang
dibedakan karena arus, api, dan ledakan. Aliran listrik menjalar di
sepanjang bagian tubuh yang memiliki resistensi paling rendah. Kerusakan
terutama pada pembuluh darah, khusunya tunika intima, sehingga
menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal. Sering kali kerusakan berada
jauh dari lokasi kontak, baik kontak dengan sumber arus atau ke bagian
bawah tubuh.6

Manusia sangat sensistif dengan arus listrik yang sangat kecil


karena manusia memiliki sistem persarafan yang tinggi. Lidah merupakan
bagian tubuh yang paling sensitif. Kulit memiliki resistensi yang besar
terhadap arus langsung daripada arus alternatif.

Luka bakar listrik amat berbahaya bagi manusia karena


komplikasinya baik secara langsung maupun bagi sistem persarafan,
sistem kardiovaskular, dan berbagai organ-organ vital lainnya. Perlu
penanganan pada korban luka bakar listrik ini secara cepat dan tepat.
Penanganan yang adekuat akan mencegah resiko sepsis yang berujung
pada kematian. Selain itu, korban luka bakar listrik juga mempermudah
terjadinya sindroma kompartemen yang menimbulkan nyeri yang amat
sangat. Peran anestesia pada korban luka bakar listrik amat diperlukan
dalam penatalaksanai nyeri.

1.2. Tujuan Penulisan

1. Memahami mengenai penatalaksanaan penatalaksanaan resusitasi dan


anastesi pada luka bakar listrik
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan karya ilmiah di bidang
kedokteran.
3. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program Pendidikan
Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik
Medan.
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Luka Bakar


2.1.1. Definisi

Luka bakar merupakan suatu trauma termal yang menimbulkan morbiditas


dan mortalitas yang cukup tinggi. Trauma termal menimbulkan masalah
yang cukup besar dikarenakan mempengaruhi kehidupan manusia,
menambah penderitaan, serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Menguasai prinsip-prinsip dasar resusitasi awal pada pasien trauma dan
menerapkan tindakan sederhana pada saat yang tepat dapat mengurangi
morbiditas dan mortalitas. Prinsip yang dimaksud adalah kewaspadaan
yang tinggi akan terjadinya gangguan jalan napas pada trauma inhalasi,
identifikasi dan pengelolaan trauma mekanik, serta mempertahankan
hemodinamik dalam batas normal melalui resusitasi cairan.7

2.1.2. Klasifikasi

Luka bakar dapat diklasifikasikan menjadi 6 kelompok terpisah


berdasarkan mekanisme terjadinya yaitu, scalds, luka bakar kontak, luka
bakar akibat kebakaran, luka bakar kimiawi, luka bakar listrik, dan
radiasi.8

2.2. Luka Bakar Listrik

Luka bakar listrik disebabkan oleh kontak langsung aliran listrik dengan
badan, dan lukanya sering lebih serius dari apa yang terlihat di permukaan.
Tubuh manusia dapat bertindak sebagai penghantar energi listrik dan
mengakibatkan kerusakan jaringan akibat panas yang ditimbulkannya.7

2.2.1. Epidemiologi

Dari laporan American Burn Association tahun 2012 dikatakan bahwa


angka morbiditas 96,1% lebih banyak terjadi pada wanita. Berdasarkan
4

tempat kejadian, 69% di rumah tangga, 9% di tempat kerja, 7% di jalan


raya, 5% di tempat rekreasi atau oahraga, dan 10% di tempat lain. Jumlah
kejadian trauma listrik diperkirakan menimbulkan 1000 kematian pertahun
dan sekitar 3000 orang yang dirawat di rumah sakit di Amerika Serikat.
Diperkirakan 20% kejadian luka listrik terjadi pada anak-anak, jumlah
terbanyak pada usia balita. Luka bakar listrik kebanyakan terjadi pada
anak-anak saat di rumah. Pada orang dewasa, kebanyakan kejadian luka
bakar terjadi di tempat kerja dan menjadi tempat keempat tertinggi yang
mengancam jiwa. Lebih dari 50% pekerja elektrik, mendapat luka dari
kabel listrik, dan 25% berasal dari alat elektrik. Rasio laki-laki dan
perempuan sebanyak 9:1.9

2.2.2. Patofisiologi

Terdapat 3 zona luka bakar menurut Jackson 1947, yaitu9:

1. Zona Koagulasi

Merupakan daerah yang langsung mengalami kontak dengan sumber panas


dan terjadi nekrosis serta kerusakan jaringan yang ireversibel yang
disebabkan oleh koagulasi protein.

2. Zona Stasis

Zona statis berada di sekitar zona koagulasi, di mana zona ini mengalami
kerusakan endotel pembuluh darah, trombosit, leukosit sehingga terjadi
penurunan perfusi jaringan diikuti perubahan permeabilitas kapiler dan
respon inflamasi lokal. Proses ini berlangsung selama 12-24 jam paska
cedera dan mungkin berakhir dengan nekrosis jaringan.

3. Zona Hiperemia

Pada zona hiperemia terjadi vasodilatasi karena inflamasi dan jaringan


masih viabel. Proses penyembuhan berasal dari zona ini kecuali jika
terjadi sepsis berat dan hipoperfusi yang berkepanjangan.
5

Elektron mengalir dalam tubuh secara abnormal sehingga


menghasilkan cedera atau kematian melalui depolarisasi otot dan saraf,
inisiasi abnormal irama elektrik pada jantung dan otak atau menghasikan
luka bakar elektrik internal maupun eksternal melalui panas dan
pembentukan pori di mebran sel. Arus yang melalui otak, baik voltase
rendah maupun tinggi mengakibatkan penurunan kesadaran segera karena
depolarisasi saraf otak. Arus bolak-balik (AC) dapat menyebabkan
fibrilasi ventrikel jika jalurnya melalui dada. Aliran listrik yang lama
mengakibatkan iskemik otak yang diikuti gangguan nafas.10,11,12

Cedera listrik dapat berupa luka bakar ringan sampai kematian


tergantung kepada:12

1. Jenis dan kekuatan arus listrik


2. Ketahan tubuh terhadap arus listrik
3. Adanya hubungan dengan bumi
4. Lamanya waktu kontak dengan konduktor
5. Aliran arus listrik

2.2.3. Penilaian Luka Bakar

1. Anamnesis

Pada luka bakar listrik penting untuk ditanyakan mengenai riwayat13:

 Besar tegangan listrik


 Tipe arus listrik
 Durasi kontak dengan listrik
 Mekanisme arus listrik
 Faktor yang mempengaruhi resistensi kulit
 Komorbiditas, seperti diabetes atau penyakit jantung koroner
2. Penilaian luas dan derajat luka bakar

The rules of nine merupakan cara praktis untuk menentukan luas luka
6

bakar. Tubuh manusia dewasa dibagi menurut pembagian anatomis yang


bernilai 9% atau kelipatan dari 9% dari keseluruhan luas tubuh. Berbeda
dengan orang dewasa, kepala bayi dan anak merupakan bagian terbesar
dari luas permukaan tubuh, sedangkan ekstremitas bawah merupakan
bagian yang lebih kecil. Persentase luas permukaan kepala anak adalah
dua kali orang dewasa. Untuk luka bakar yang distribusinya tersebar,
rumus luas permukaan telapak tangan (termasuk jari-jari) pasien sama
dengan 1% luas permukaan tubuhnya dapat membantu memperkirakan
luas luka bakar.7

Pada anak-anak dipakai modifikasi rules of nine menurut Lund and


Browder, yaitu ditekankan pada umur 15 tahun, 5 tahun, dan 1 tahun.9,10,11

Gambar 2.1. Rule of Nines14


7

Gambar 2.2. Estimasi luas permukaan luka bakar pada anak14


Kedalaman luka bakar penting untuk menilai beratnya luka bakar,
merencanakan perawatan luka, dan memprediksi hasil dari segi fungsional
maupun kosmetik.7

 Luka bakar derajat I (mis. sengatan matahari), disebut juga luka bakar
superfisial, mengenai lapisan luar epidermis, tetapi tidak sampai
mengenai dermis, ditandai dengan adanya eritema, nyeri, dan tidak ada
bulla. Karena tidak berbahaya sehingga tidak memerlukan pemberian
cairan intravena.7
 Luka bakar derajat II
 Superficial partial thickness, meliputi epidermis dan lapisan atas
dari dermis, kulit tampak kemerahan,edema, dan rasa nyeri lebih
berat daripada luka bakar derajat I, ditandai dengan bulla yang
muncul beberapa jam setelah terkena luka. Bila bulla disingkirkan
akan terlihat luka berwarna merah muda yang basah. Luka sangat
8

sensitif dan akan menjadi lebih pucat bila terkena tekanan.7,9


 Deep partial thickness, meliputi epidermis dan lapisan dalam
dermis, disertai dengan bulla, permukaan luka berbecak merah
muda dan putih karena variasi vaskularisasi (bagian yang putih
punya sedikit pembuluh darah dan yang merah muda mempunyai
beberapa pembuluh darah).7,9

 Luka bakar derajat III atau full thickness burns, menyebabkan luka
kehitaman dan kaku, kerusakaan jaringan yang permanen. Warna kulit
bisa terlihat putih seperti lilin, merah sampai kehitaman. Warna kulit
merah ini tidak berubah menjadi pucat dengan penekanan, tidak terasa
nyeri dan kering. Luka bakar meliputi kulit, lemak subkutis sampai
mengenai otot dan tulang.7
2.2.4. Gambaran Klinis

Gejalanya tergantung kepada interaksi yang rumit dari semua sifat arus
listrik. Suatu kejutan dari sebuah aru listrik bisa mengejutkan korbannya
sehingga dia terjatuh atau menyebabkan terjadinya kontraksi otot yang
kuat. Kedua hal tersebut bisa menyebabkan dislokasi, patah tulang dan
cedera tumpul. Kesadaran bisa menurun, pernafasan dan denyut jantung
bisa lumpuh. Luka bakar listrik bisa terlihat dengan jelas di kulit dan bisa
meluas ke jaringan yang lebih dalam.15

1. Kepala dan leher


Kepala adalah titik kontak utama untuk cedera tegangan tinggi, dan
pasien mungkin menunjukan luka bakar serta kerusakan neurologis.
Katarak timbul di sekitar 6% kasus cedera tegangan tinggi, terutama
bila tersengat listrik di sekitar kepala. Meskipun katarak mungkin hadir
lebih cepat atau lambat setelah kejadian tersebut, katarak biasanya
muncul beberapa bulan setelah kejadian. Ketajaman visual dan
pemeriksaan funduskopi harus dilakukan di kemudian hari.15

2. Sistem Kardiovaskular
9

Pada elektrokardiografi ditemukan sinus takikardia, sementara elevasi


segmen ST, QT reversibel segmen perpanjangan, kontraksi ventrikel
prematur, fibirilasi atrium, dan bundle branch block. Infark miokard
akut dilaporkan tetapi relatif jarang. Kerusakan otot rangka dapat
menghasilkan peningkatan fraksi CPK-MB, mengarah pada diagnosis
palsu infark miokard dalam bebrapa pengaturan.15

3. Kulit
Selain serangan jantung, hal yang paling dahsyat yang terjadi saat
cedera listrik adalah kulit yang terbakar, yang paling parah pada luka
masuk dan tubuh yang kontak dengan tanah. Bagian tubuh yang paling
sering terkena kontak dengan sumber listrik adalah tangan dan
tengkorak. Daerah yang paling sering berkontak dari tanah adalah
tumit. Seseorang mungkin memiliki beberapa luka masuk dan titik
kontak dengan tanah. Luka bakar listrik yang parah sering muncul
dengan keluhan seperti rasa sakit, depresi, kuning abu-abu, belang-
belang daerah dengan pusat nekrosis, atau daerah yang mengeras
seperti mumi. Arus tegangan tinggi sering mengalir pada internal
tubuh dan dapat membuat kerusakan otot besar. Pada kulit terjadi skar
yang bisa menyebabkan timbulnya sindrom kompartemen. Sindrom
kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan
interstitial pada kompartemen osteofasial yang tertutup. Dalam cedera
tegangan tinggi, nekrosis otot dapat meluas ke tempat yang jauh dari
luka yang terlihat, dan kompartemen sindrom terjadi sebagai akibat
dari pembuluh darah yang mengalami iskemia dan edema otot.
Dekompresi fasciotomi sering diperlukan jika sudah terjadi kerusakan
jaringan yang luas.15

4. Ekstremitas
Pelepasan miglobin yang banyak dari otot yang rusak dapat
menyebabkan mioglobinuria. Kerusakan pada dinding pembuluh darah
pada saat cedera dapat mengakibatkan tertundanya trombosis dan
10

perdarahan, terutama dalam arteri kecil pada otot.15

2.2.5. Penanganan Luka Bakar

Kasus luka bakar merupakan suatu bentuk cedera, sehingga


penatalaksanaannya secara umum sesuai dengan penatalaksanaan cedera
yang diterapkan menurut Advanced Trauma Life Support (ATLS) secara
khusus menurut Advanced Burn Life Support (ABLS) dijabarkan sebagai
berikut3,16

A. Survei primer

1. Penilaian jalan nafas (Airway)3,16


Perhatian utama ditujukan pada status pernafasan pasien yang
berhubungan dengan dan atau asap/sisa pembakaran yang terhisap.
Adanya cedera inhalasi dicurigai pada kasus-kasus di bawah ini:

 Riwayat terbakar di dalam ruang tertutup


 Riwayat terpapar pada ledakan
 Luka bakar mengenai muka
 Bulu hidung dan alis terbakar
 Dijumpai deposit karbon dan tanda-tanda radang akut daerah
orofaring
 Sputum mengandung karbon.
Informasi awal yang harus diperoleh adalah ada tidaknya
abnormalitas jalan nafas sebelumnya, cedera jalan nafas yang ada
sekarang, dan tanda-tanda obstruksi jalan nafas. Meskipun jalan nafas
pasien tampak normal, perlu dipertimbangkan untuk melakukan
intubasi endotrakeal profilaktik. Intubasi bertujuan untuk
mempertahankan patensi jalan nafas, fasilitas pemeliharaan jalan nafas
(penghisapan sekret), dan bronchoalveolar lavage. Krikotiroidotomi
masih menjadi perdebatan karena dianggap terlalu agresif dan
morbiditasnya lebih besar dibandingkan dengan intubasi.
11

Krikotiroidotomi dilakukan pada kasus yang diperkirakan akan lama


menggunakan ETT yaitu lebih dari dua minggu pada luka bakar yang
luas yang disertai cedera inhalasi.3,16

2. Penilaian mekanisme bernafas (Breathing)


Perhatian utama ditujukan kepada gangguan mekanise bernafas oeh
karena adanya skar melingkar di dinding dada dan atau adanya cedera
toraks (misal pneumotoraks, hematoraks, fraktur tulang iga).16

3. Penilaian sirkulasi (Circulation)


Perhatian utama ditujukan pada adanya manifestasi klinis syok
hipovolemik intravaskular dan syok selular yang timbul pada luka
bakar (yaitu: gangguan kesadaran, pucat, takikardia, nadi cepat, dan
tidak teratur disertai pengisian kapilar yang tidak adekuat atau uji
pengisian kapilar >2 detik, suhu tubuh turun naik).17

Resusitasi cairan merupakan tindakan prioritas ketiga pada


penatalaksanaan ABC pada kasus luka bakar akut (setelah tatalaksana
gangguan jalan nafas dan gangguan mekanisme bernafas).

Tujuan resusitasi cairan pada syok luka bakar adalah:9,10,11

1. Preservasi reperfusi yang adekuat dan seimbang di seluruh


pembuluh vaskuler regional sehingga tidak terjadi iskemia
jaringan.
2. Minimalisasi dan eliminasi pemberian cairan bebas yang tidak
diperlukan.
3. Optimalisasi status volume dan komposisi intravaskular untuk
menjamin survival seluruh sel.
4. Minimalisasi respon inflamasi dan hipermetabolik dan
mengupayakan stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke
kondisi fisiologis.

A. Jenis cairan
12

Terdapat tiga jenis cairan secara umum yaitu kristaloid, cairan


hipertonik, dan koloid.

Larutan kristaloid

Larutan ini terdiri atas cairan dan elektrolit. Contoh larutan ini adalah
ringer laktat dan NaCl 0,9%. Komposisi elektrolit mendekati kadarnya
dalam plasma atau memiliki osmolalitas hampir sama dengan plasma
Pada keadaan normal, cairan ini tidak hanya dipertahankan di ruang
intravaskular karena cairan ini banyak keluar ke ruang interstitial.9,10,11

Larutan hipertonik

Larutan ini dapat meningkatkan volume intravaskular 2,5 kali lipat dan
penggunaannya dapat mengurangi kebutuhan cairan kristaloid. Larutan
garam hipertonik tersedia dalam beberapa konsentrasi, yaitu NaCl
1,8%, 3%, 5%, 7,5%, 10%. Osmolaritas cairan ini melebihi cairan
intraselular sehingga cairan ini akan berpindah dari intravaskular ke
ekstraselular. Larutan garam hipertonik meningkatkan volume
intravaskular melalui mekanisme penarikan cairan dari
intraselular.9,10,11

Larutan koloid

Contoh larutan koloid adalah Hydroxy-ethyl starch (HES) dan


Dextran. Molekul koloid cukup besar sehingga tidak dapat melintasi
membran kapiler, oleh karena itu sebagian akan tetap dipertahankan
dalam ruang intravaskular. Pada luka bakar dan sepsis, terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga molekul akan berpindah ke
ruang interstitial.9,12,15

B. Dasar pemilihan cairan


13

Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan cairan


adalah efek hemodinamik, distribusi cairan dihubungkan dengan
permeabilitas kapiler, oksigen, PH, buffering, efek hemostasis,
modulasi respon inflamasi, faktor keamanan, eliminasi praktis dan
efisien. Jenis cairan terbaik untuk resusitasi dalam berbagai kondisi
klinis masih menjadi perdebatan yang terus diteliti. Sebagian orang
berpendapat bahwa kristaloid adalah cairan yang paling aman
digunakan untuk tujuan resusitasi awal pada kondisi klinis tertentu.
Sebagian pendapat mengatakan bahwa koloid bermanfaat untuk entitas
klinik lain. Hal ini dihubungkan dengan karakteristik masing-masing
cairan yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Pada kasus luka
bakar, terjadi kehilangan cairna di kompartemen interstisial secara
masif dan bermakna sehingga dalam 24 jam pertama resusitasi
dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid.9,10,11

C. Penentuan jumlah cairan

Untuk melakukan resusitasi cairan kristaloid dibutuhkan tiga sampai


empat kali defisit intravaskular. 1L cairan kristaloid akan
meningkatkan volume intravaskular 300 ml. Kristaloid hanya sedikit
meningkatkan cardiac output dan memperbaiki transpor oksigen.9,10,11

Resusitasi cairan diperlukan pada luka bakar dengan luas


permukaan tubuh >10%. Pada anak pemberian cairan yang dapat dapat
digunakan adalah Ringer Laktat dengan glukosa 5%, larutan garam
normal dengan glukosa 5%, atau setengah garam normal dengan
glukosa 5%.18

24 jam pertama: hitung kebutuhan cairan dengan menambahkan cairan


dari kebutuhan cairan rumatan dan kebutuhan cairan resusitasi
(4ml/kgbb untuk setiap 1% permukaan tubuh yang terbakar). Berikan
½ dari total kebutuhan cairan dalam waktu 8 jam pertama dan sisanya
16 jam berikutnya.18
14

Contoh: untuk pasien dengan berat badan 20 kg dengan luka bakar


25%.

Total cairan dalam waktu 24 jam pertama

= (60 ml/jam x24 am) + 4 ml x 20 kg x 25% luka bakar

= 1440 ml + 2000 ml

= 3440 ml (1720 ml selama 8 jam pertama)

24 jam kedua: berikan ½ hingga ¼ cairan yang diperlukan selama hari


pertama.

Awasi pasien dengan ketat selama resusistasi (denyut nadi, frekuensi


napas, tekanan darah, dan jumlah urin). Transfusi darah mungkin
diberikan untuk memperbaiki anemia atau pada luka-luka bakar yang
dalam untuk mengganti kehilangan darah.18

1. Penilaian neurologis (Disability)


2. Penilaian Eksposure

B. Survei Sekunder

Aspek penting pada survei sekunder adalah pemeriksaan fisik,


dokumentasi, pemeriksaan darah dan x-ray, menjaga sirkulasi perifer
pada luka bakar melingkar, pemasangan NGT, pemberian narkotika,
analgetik, dan sedatif, perawatan luka, pemberian antibiotik dan
imunisasi tetanus.7

1. Pemeriksaan darah dan X-Ray


Ambil contoh darah untuk pemeriksaan darah lengkap, golongan
darah dan crossmatch, kadar karboksihemoglobin, gula darah,
elektrolit, analisa gas darah. Pemeriksaan foto toraks dapat
dilakukan beberapa kali jika diperlukan.7
15

2. Menjaga sirkulasi perifer pada ekstremitas7


3. Pemasangan pipa nasogastrik bila pasien mengalami mual, muntah,
perut kembung, atau jika luas luka bakarnya >20%.7
4. Bila memang diperlukan maka dapat diberikan analgesik dan
sedatif dalam dosis kecil secara intravena.7
5. Perawatan luka
Perawatan luka dilakukan setelah tindakan resusitasi jalan nafas,
meknisme bernafas, dan resusitasi cairan dilakukan. Tindakan
meliputi debridement secara alami, mekanik (nekrotomi) atau
tindakan bedah (eksisi), pencucian luka, wound dressing dan
pemberian antibiotik topikal. Tujuan perawatan luka adalah untuk
menutup luka dengan mengupayakan proses reepitelisasi,
mencegah infeksi, mengurangi jaringan parut dan kontraktur dan
untuk menyamankan pasien. Debridement diusahakan sedini
mungkin untuk membuang jaringan mati dengan jalan eksisi
tangensial. Tindakan ini diakukan setelah keadaan penderita stabil,
karena merupakan tindakan yang cukup berat. Untuk bulla ukuran
kecil tindakannya konservatif sedangkan untuk ukuran besar
(>5cm) dipecahkan tanpa membuang lapisan epidermis
diatasnya.9,10,11

Pengangkatan skar atau eskaratomi dilakukan juga pada luka bakar


derajat III yang melingkar pada ekstremitas atau tubuh sebab
pengerutan skar dan pembengkakan yang terus menerus
berlangsung dapat mengakibatkan penjepitan (sindroma
kompartemen) yang membahayakan sirkulasi sehingga bagian
distal iskemik dan nekrosis. Tanda dini penjepitan berupa nyeri
kemudian kehilangan sensibilitas menjadi kebas pada ujung-ujung
distal. Keadaan ini harus cepat ditolong dengan membuat irisan
memanjang yang membuka skar sampai penjepitan bebas.9,10,11

Pencucuian luka dilakukan dengan hidroterapi yaitu memandikan


16

pasien dengan air hangat mengalir dan sabun mandi bayi. Lalu luka
dibalut dengan kasa lelbab steril dengan atau tanpa krim pelembap.
Perawatan luka tertutup dengan occlusive dressing untuk
mencegah penguapan berlebihan.9,10,11

6. Lain-lain

Pemberian antibiotik pada kasus luka bakar bertujuan sebagai


profilaksis infeksi maupun mengatasi infeksi yang sudah terjadi.
Dalam 3-5 hari pertama populasi kuman yang sering dijumpai
adalah bakteri gram positif non patogen sedangkan hari 5-10
adalah bakteri gram negatif patogen. Dalam 1-3 hari pertama paska
cedera, luka masih dalam keadaan steril sehingga tidak diperlukan
antibiotik. Beberapa antibiotik topikal yang dapat digunakan
adalah silver sulfadiazine.1%, silver nitrat, mafenidin, dan
bacitracin.9,10,11

Periksa status imunisasi tetanus. Bila belum di imunisasi, beri ATS


atau imunoglobulin tetanus (jika ada). Bila sudah diimunisasi, beri
ulangan imunisasi TT jika sudah waktunya.

Nutrisi harus diberikan cukup untuk menutup kebutuhan kalori dan


keseimbangan nitrogen yang negatif pada fase katabolisme, yaitu
sebanyak 2500-3000 kalori perhari dengan kadar protein tinggi.
Pemberian nutrisi enteral dini melalui nasogastik dalam 24 jam
pertama paska cedera bertujuan untuk mencegah terjadinya atrofi
mukosa usus.9,10,11

Penderita yang sudah mulai stabil keadaanya perlu fisioterapi


untuk memperlancar peredaran darah dan mencegah kekakuan
sendi. Jika perlu sendi diistirahatkan dalam posisi fungsional
dengan bidai. Penderita luka bakar harus dipantau terus
menerus.9,10,11
17

2.2.7. Komplikasi

Komplikasi pada luka bakar dibagi menjadi dua, yaitu komplikasi pada
saat perawatan kritis atau akut dan komplikasi yang berhubungan dengan
eksisi dan grafting. Komplikasi yang dapat terjadi pada masa akut adalah
SIRS, sepsis, dan MODS. Selain itu, komplikasi pada gastrointestinal juga
dapat terjadi, yaitu atrofi mukosa, ulserasi, dam perdarahan mukosa,
motilitas usus menurun dan ileus. Pada ginjal dapat terjadi akut tubular
nekrosis karena perfusi ke renal menurun. Skin graft loss merupakan
komplikasi yang paling sering terjadi, hal ini disebabkan oleh, infeksi dan
robeknya graft. Pada fase lanjut suatu luka bakar, dapat terjadi jaringan
parut pada kulit berupa jaringan parut hipertropik, keloid, dan kontraktur.
Kontraktur kulit dapat mengganggu fungsi dan menyebabkan kekakuan
sendi.9,10

2.3.7. Prognosis
Prognosis pada luka bakar tergantung dari derajat luka bakar, luas
permukaan tubuh yang terkena luka bakar, adanya komplikasi seperti
infeksi, dan kecepatan pengobatan medikamentosa. Luka bakar ringan
dapat sembuh dalam 10-14 hari dan mungkin dapat menimbulkan luka
parut. Jaringan parut akan membatasi gerakan dan fungsi. Dalam beberapa
kasus, pembedahan dapat diperlukan untuk membuang jaringan parut.9,11

2.3. Sindroma Kompartemen

2.3.1. Definisi

Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi


penekanan terhadap syaraf, pembuluh darah dan otot di dalam
kompatement osteofasial yang tertutup. Hal ini mengawali terjadinya
peningkatan tekanan interstisial, kurangnya oksigen dari penekanan
pembuluh darah, dan diikuti dengan kematian jaringan.19,20,22 Dapat dibagi
menjadi akut, subakut dan kronik.19
18

2.3.2. Anatomi

Kompartemen osteofasial merupakan ruangan yang berisi otot, syaraf dan


pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fasia serta otot-otot yang
masing-masing dibungkus oleh epimisium.

Secara anatomi, sebagian besar kompartemen terletak dianggota


gerak. Berdasarkan letaknya, kompartemen terdiri dari beberapa macam,
antara lain:

1. Anggota gerak atas


b. Lengan atas : terdapat kompartemen anterior dan posterior
c. Lengan bawah : terdapat tiga kompartemen , yaitu flexor
superfisial, fleksor profundus dan ekstensor

2. Anggota gerak bawah

a. Tungkai atas; terdapat tiga kompartemen, yaitu : anterior, medial


dan posterior
b. Tungkai bawah : tedapat empat kompartemen, yaitu :
kompartemen anterior, lateral, posterior superfisial, dan posterior
profundus

Sindrom kompartemen paling sering terjadi pada daerah tungkai


bawah (yaitu kompartemen anterior, lateral, posterior superfisial dan
posterior profundus) serta lengan atas (kompartemen volar dan dorsal).19,20

2.3.3. Epidemiologi

Mortalitas/Morbiditas kompartemen sindrom tergantung dari dua hal,


diagnosis dan waktu antara terjadinya cedera sampai dilakukan penganan.
Rorabeck dan Macnab melaporkan keberhasilan dekompresi untuk
perbaikan perfusi adalah 6 jam.22

Hasil penelitian study kasus oleh McQueen, sindrom kompartemen


didiagnosa lebih sering pada laki-laki dibanding perempuan. Hal ini
dikarenakan kebanyakan pasien trauma adalah laki-laki.22
19

2.3.4. Etiologi

Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal


yang kemudian memicu timbulnya sindrom kompartemen, yaitu antara
lain:

1. Penurunan volume kompartemen kondisi ini disebabkan oleh:


 Penutupan defek fascia
 Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas
2. Peningkatan tekanan eksternal:
 Balutan yang terlalu ketat
 Berbaring di atas lengan
 Gips
3. Peningkatan tekanan pada struktur komparteman beberapa hal
yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain:
 Pendarahan atau Trauma vaskuler
 Peningkatan permeabilitas kapiler
 Penggunaan otot yang berlebihan
 Luka bakar
 Operasi
 Gigitan ular
 Obstruksi vena
Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering
adalah cedera, dimana 45 % kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya
terjadi di anggota gerak bawah.22,24

2.3.5. Patofisiologi

Sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal


normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan
aliran darah kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia.
19
20

Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan


menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan
tekanan secara terus menerus menyebabkan tekanan arteriolar
intramuskuler bawah meninggi. Pada titik ini, tidak ada lagi darah yang
akan masuk ke kapiler sehingga menyebabkan kebocoran ke dalam
kompartemen, yang diikuti oleh meningkatnya tekanan dalam
kompartemen.19

Penekanan terhadap saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan


nyeri hebat. Metsen mempelihatkan bahwa bila terjadi peningkatan
intrakompartemen, tekanan vena meningkat. Setelah itu, aliran darah
melalui kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran oksigen
juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia jaringan (pale). Jika hal ini
terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan nervus, yang akan
menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut. 19

Terdapat tiga teori yang menyebabkan hipoksia pada kompartemen


sindrom yaitu, antara lain: 20
21

a. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen

b. “Theori of critical closing pressure”

Hal ini disebabkam oleh diameter pembuluh darah yang kecil dan
tekanan mural arteriol yang tinggi. Tekanan transmural secara
signifikan berbeda (tekanan arteriol-tekanan jaringan), ini
dibutuhkan untuk memelihara patensi aliran darah. Bila tekanan
tekanan jaringan meningkat atau tekanan arteriol menurun maka
tidak ada lagi perbedaan tekanan. Kondisi seperti ini dinamakan
dengan tercapainya critical closing pressure. Akibat selanjutnya
adalah arteriol akan menutup

c. Tipisnya dinding vena

Karena dinding vena itu tipis, maka ketika tekanan jaringan


melebihi tekanan vena maka ia akan kolaps. Akan tetapi bila
kemudian darah mengalir secara kontinyu dari kapiler maka,
tekanan vena akan meningkat lagi melebihi tekanan jaringan
sehingga drainase vena terbentuk kembali

McQueen dan Court-Brown berpendapat bahwa perbedaan tekanan


diastolik dan tekanan kompartemen yang kurang dari 30 mmHg
mempunyai korelasi klinis dengan sindrom kompartemen. 19

Patogenesis dari sindroma kompartemen kronik telah digambarkan


oleh Reneman. Otot dapat membesar sekitar 20% selama latihan dan akan
menambah peningkatan sementara dalam tekanan intra kompartemen.
Kontraksi otot berulang dapat meningkatkan tekanan intamuskular pada
batas dimana dapat terjadi iskemia berulang. 19

Sindroma kompartemen kronik terjadi ketika tekanan antara


kontraksi yang terus menerus tetap tinggi dan mengganggu aliran darah.
Sebagaimana terjadinya kenaikan tekanan, aliran arteri selama relaksasi
otot semakin menurun, dan pasien akan mengalami kram otot.
22

Kompartemen anterior dan lateral dari tungkai bagian bawah biasanya


yang kena. 19,20

2.3.6. Penegakan Diagnosa24,27

Gejala klinis yang terjadi pada syndrome kompartemen dikenal dengan 5 P


yaitu:

1. Pain (nyeri)

Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang


terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini
yang paling penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak
sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin
gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya).
Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang
spesifik dan sering.

2. Pallor (pucat)

Diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daereah tersebut.

3. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi)

4. Parestesia (rasa kesemutan)

5. Paralysis

Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang


berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena
kompartemen sindrom., Sedangkan pada kompartemen syndrome
akan timbul beberapa gejala khas, antara lain:

a. Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olehraga.


Biasanya setelah berlari atau beraktivitas selama 20 menit.

b. Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat


15-30 menit

c. Terjadi kelemahan atau atrofi otot


23

Selain melalui gejala dan tanda yang ditimbulkannya, penegakan


diagnosa kompartemen syndrome dilakukan dengan pengukuran tekanan
kompartemen. Pengukuran intra kompartemen ini diperlukan pada pasien-
pasien yang tidak sadar, pasien yang tidak kooperatif, seperti anak-anak,
pasien yang sulit berkomunikasi dan pasien-pasien dengan multiple trauma
seperti trauma kepala, medulla spinalis atau trauma saraf perifer.

Tekanan kompartemen normalnya adalah 0. Perfusi yang tidak


adekuat dan iskemia relative ketika tekanan meningkat antara 10-30
mmHg dari tekanan diastolik. Tidak ada perfusi yang efektif ketika
tekanannya sama dengan tekanan diastolik.23

Dalam mendiagnosis suatu kasus sindrom kompartemen, sama


seperti kasus lainnya, dengan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik
menyeluruh dan dengan bantuan pemeriksaan penunjang. Pada
pemeriksaan carilah tanda-tanda khas dari sindrom kompartemen yang ada
pada pasien, karena dapat membantu penegakkan diagnosis.
Pada anamnesis biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri
hebat setelah kecelakaan atau patah tulang, ada dua yang dapat dijadikan
dasar untuk mendiagnosis kompartemen sindrom yaitu nyeri dan
parestesia (namun parestesia gejala klinis yang datangnya belakangan).
Pada pemeriksaan fisik kita harus mencari tanda-tanda fisik
tertentu yang terkait dengan sindrom kompartemen, diawali dengan rasa
nyeri dan rasa terbakar, penurunan kekuatan dan akhirnya kelumpuhan
ekstremitas. Pada bagian distal didapatkan pallor (pucat) dan pulseness
(denyut nadi melemah) akibat menurunnya perfusi ke jaringan tersebut.
Menindak lanjuti pemeriksaan fisik penting untuk mengetahui
perkembangan gejala yang terjadi, antara lain nyeri pada saat istirahat atau
saat bergerak dan nyeri saat bergerak ke arah tertentu, terutama saat
peregangan otot pasif dapat meningkatkan kecurigaan kita dan merupakan
awal indikator klinis dari sindrom kompartemen. Nyeri tersebut biasanya
24

tidak dapat teratasi dengan pemberian analgesik termasuk morfin.


Kemudian bandingkan daerah yang terkena dan daerah yang tidak terkena.
Nyeri yang dikeluhkan pasien, harus kita pantau dan
pertimbangkan ada saraf yang terkena.

a. Saraf sensoris mulai hilang kemampuannya, diikuti oleh saraf


motorik.

b. Beberapa saraf dapat mengakibatkan efek meningkatkan tekanan.

c. Sebagai contoh, dalam kompartemen tungkai bawah bagian depan,


saraf peroneal cepat terpengaruh, dan sensasi di anatara jari-jari
kaki bisa hilang.

Pada kasus-kasus dengan sindrom kompartemen dapat dilakukan


pemeriksaan penunjang, antara lain :
1. Laboratorium

Hasil laboratorium biasanya normal dan tidak dibutuhkan untuk


mendiagnosis kompartemen sindrom, tetapi dapat menyingkirkan
diagnosis banding lainnya.

a. Complete Metabolic Profile (CMP)

b. Hitung sel darah lengkap

c. Kreatinin fosfokinase dan urin myoglobin

d. Serum myoglobin

e. Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab,


tetapi tidak membantu dalam menentukan terapi pasiennya.

f. Urin awal : bila ditemukan myoglobin pada urin, hal ini dapat
mengarah ke diagnosis rhabdomyolisis.

g. Protrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin


time (aPTTT)

2. Imaging
25

a. Rontgen: pada ekstremitas yang terkena.


b. USG: USG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam
memvisualisasi Deep Vein Thrombosis (DVT)
3. Pemeriksaan Lainnya
a. Pengukuran tekanan kompartemen

Gambar 2. Alat Pengukur Tekanan Kompartemen


b. Pulse oximetry
Sangat membantu dalam mengidentifikasi hipoperfusi
ekstremitas, namun tidak cukup sensitif.

2.3.7. Diagnosis Banding

Diagnosis yang paling sering membingungkan dan sangat sulit dibedakan


dengan sindrom kompartemen adalah oklusi arteri dan kerusakan saraf
primer, dengan beberapa ciri yang sama yang ditemukan pada masing-
masingnya.22

Pada sindrom kompartemen kronik didapatkan nyeri yang hilang


timbul, dimana nyeri muncul pada saat berolahraga dan berkurang pada
saat beristirahat. Sindrom kompartemen kronik dibedakan dengan
claudikasio intermitten yang merupakan nyeri otot atau kelemahan otot
pada tungkai bawah karena latihan dan berkurang dengan istirahat,
biasanya nyeri berhenti 2-5 menit setelah beraktivitas. Hal ini disebabkan
26

oleh adanya oklusi atau obstruksi pada arteri bagian proksimal, tidak ada
peningkatan tekanan kompartemen dalam hal ini. Sedangkan sindrom
kompartemen kronik adanya kontraksi otot berulang-ulang yang dapat
meningkatkan tekanan intramuskuler sehingga menyebabkan iskemia
kemudian menurunkan aliran darah dan otot menjadi kram. 22

Diagnosis banding dari sindrom kompartemen antara lain: 22

1. Selulitis

2. Coelenterate dan Jellyfish Envenomations

3. Deep Vein Trombosis dan Thrombophlebitis

4. Gas Ganggrene

5. Necrotizing Fasciitis

6. Peripheral Vascular Injuries

7. Rhabdomyolis

2.3.8. Penatalaksanaan

Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit


fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal,
melalui bedah dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi
yang terbaik, namun beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan.
Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah
indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi. 24

Penanganan kompartemen secara umum meliputi:24

1. Terapi Medikal/non bedah

Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih


dalam bentuk dugaan sementara. Berbagai bentuk terapi ini
meliputi:

a. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan


ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari
27

karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih


memperberat iskemia

b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di


buka dan pembalut kontriksi dilepas.

c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat


menghambat perkembangan sindroma kompartemen

d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk


darah

e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan


manitol dapat mengurangi tekanan kompartemen. Manitol
mereduksi edema seluler, dengan memproduksi kembali
energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang
nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas

2. Terapi Bedah

Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai >


30 mmHg. Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan
tekanan dengan memperbaiki perfusi otot.

Jika tekanannya < 30 mm Hg maka tungkai cukup diobservasi


dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau
keadaan tungkai membaik, evaluasi terus dilakukan hingga fase
berbahaya terlewati. Akan tetapi jika memburuk maka segera
lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan
perfusi adalah 6 jam.
28

Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi


tunggal dan insisi ganda.Insisi ganda pada tungkai bawah paling
sering digunakan karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan
insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko
kerusakan arteri dan vena peroneal.26,27

2.3.9. Komplikasi

Sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan penanganan dengan


segera, akan menimbulkan berbagai komplikasi antara lain:

1. Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen


29

2. Kontraktur volkman

Merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh terlambatnya


penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul deformitas
pada tangan, jari, dan pergelangan tangan karena adanya trauma
pada lengan bawah

3. Trauma vascular

4. Gagal ginjal akut

5. Sepsis

6. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)24

2.3.10. Prognosis

Prognosis bisa baik sampai buruk, tergantung :

- Seberapa cepat penanganan kompartemen sindrom dilaksanakan

- Bagaimana komplikasi dapat terbentuk.

Sindroma kompartemen akut cenderung memiliki hasil akhir yang


jelek. Toleransi otot untuk terjadinya iskemia adalah 4 jam. Kerusakan
irreversibel terjadi bila lebih dari 8 jam. Jika diagnosa terlambat, dapat
menyebabkan trauma saraf dan hilangnya fungsi otot. Walaupun
fasciotomi dilakukan dengan cepat dan awal, hampir 20% pasien
mengalami defisit motorik dan sensorik yang persisten.
30

BAB 3

LAPORAN KASUS

STATUS ORANG SAKIT

IDENTITAS PASIEN
Nama : Muhammad Rabiul Harahap
Jenis Kelamin : laki-laki
Umur : 27 tahun 11 bulan 14 hari
No. Rekam Medik : 68.76.56
Ruangan : RB3. 16.2
Tanggal masuk : 28 September 2016

ANAMNESIS

Keluhan utama : Tersengat listrik

Telaah : Hal ini dialami pasien sejak ± 6 hari Sebelum Masuk


Rumah Sakit Padang Sidempuan, Pasien sedang memegang
besi baja untuk menyusun tiang bangunan, lalu pasien tidak
menyadari besi baja mengenai tiang kabel listrik dan
langsung tersengat, pasien terjatuh dari atap rumah ke tanah
dengan ketinggian ± 4,5 meter dengan bagian wajah
pertama kali menyentuh tanah kemudian seluruh tubuh.
Riwayat pingsan (-), mual (-), muntah (-), nyeri kepala (-),
os mengeluh seluruh tangan dan kaki terasa kebas. Pertama
kali pasien dibawa ke RSUD Sidempuan dan sudah
dilakukan tindakan sayatan pada lengan kanan pada hari
rawatan ke -5 dan hari rawatan ke 6 pasien dirujuk ke RS.
HAM karena dokternya mengatakan tindakan sayatan tidak
sesuai yang diharapkan.

RPT : Fasciotomy

RPO : -
31

STATUS PRESENS

Sensorium : Compos Mentis

Tekanan Darah : 120/80 mmhg

Suhu : 37 ºC

Respiratory Rate : 24 x/i

Heart rate : 89 x/i

Kepala : Bentuk : Normal

Mata : Pupil isokor, refleks cahaya (+/+), konjungtiva palpebra


inferior pucat (-/-)

Telinga/ hidung/ mulut: dalam batas normal

Leher : Pembesaran KGB (-)

Toraks : inspeksi : simetris fusiformis, jejas(-)

Palpasi : SF kanan = SF kiri

Perkusi : Sonor pada kedua lap. Paru

Auskultasi : Suara Pernafasan = Vesikuler , ST (-/-)

Abdomen` : inspeksi : Simetris (+), Distensi (-)

Palpasi : Soepel (+)

Perkusi : Timpani

Auskultasi : normoperistaltik

Ekstremitas :
- Superior
Kanan : warna jari kehitaman, Luka fasciotomy (+), bula kehitaman (+),
nadi tidak teraba saturasi kelima jari tidak terukur. Luka bakar (3%)
Kiri : Luka bakar (2%), dislokasi pada proximal phalanx kiri
- Inferior
Kanan : dalam batas normal
Kiri : Luka bakar pada kruris (8%)
32

Anogenital : laki-laki, terpasang kateter

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil pemeriksaan laboratorium

28 September 2016

JENIS PEMERIKSAAN SATUAN HASIL RUJUKAN

HEMATOLOGI

Darah Lengkap (CBC)

Hemoglobin (HBG) g% 12.1 13 – 18

Eritrosit (RBC) 105/mm3 4.16 4.50 – 6.50

Leukosit (WBC) 103/mm3 17,260 10 – 30

Hematokrit % 36 39 – 54

Trombosit (PLT) 103/mm 290 150 – 450

MCV Fl 86 80 – 97

MCH Pg 29.1 26.5 – 33.5

MCHC g% 33.9 31.5 – 36

RDW % 12.8 11 – 15

MPV fL 9.3 7 – 11

PCT % 0.270 0.100 – 0.500

PDW fL 9.7 10 -18

LED mm/jam <20

Hitung jenis

 Neutrofil % 74.900 50 – 70

 Limfosit % 11.30 20 – 40

 Monosit % 13.00 2–8


33

 Eosinofil % 0.60 1–6

 Basofil % 0.20 0–1

 Neutrofil Absolut 103/µl 19.86 5.5 – 18.3

 Limfosit Absolut 103/µl 5.45 2.8 – 9.3

 Monosit Absolut 103/µl 2.59 0.5 – 1.7

 Eosinofil Absolut 103/µl 0.23 0.02 – 0.70

 Basofil Absolut 103/µl 0.15 0.1 – 0.2

METABOLISME KARBOHIDRAT

Glukosa Darah (Sewaktu) mg/ dL 103 40 – 60

GINJAL

Ureum mg/ dL 21 15 – 40

Kreatinin mg/ dL 0.65 0.6 – 1.1

Elektrolit

Natrium (Na) mEq/L 130 135 – 155

Kalium (K) mEq/L 4.8 3.6 – 5.5

Klorida (Cl) mEq/L 101 96 – 106

Hasil Foto Klinis


34
35

Hasil pemeriksaan FotoThorax (28 September 2016)

Kesimpulan: Jantung dan paru dalam batas normal

Hasil pemeriksaan foto ossa manus

Kesimpulan : Ditemukan dislokasi di interphalanx I kiri


36

Hasil pemeriksaan EKG (28 September 2016)

Kesimpulan : Sinus ritme, QRS rate 68x/I, QRS axis N, P wave N, PR interval
0,12mm, QRS duration 0,06mm, ST-T changes(-)

DIAGNOSA KERJA

Post fasciotomy o/t right arm d/t Electrical burn 13% + (R) dead limb o/t lower
arm + open (L) dislocation proximal phalanx

PENATALAKSANAAN

 RL 20gtt/i
 Inj Ketorolac 30g/8jam
 Inj Ceftriaxone 1g/12jam
 Inj Ranitidine 50mg/12jam
 R/ cek lab, CXR, Amputation below elbow (R) d/t Dead Limb o/t (R) Lower
Arm, Closed Reduction + Debridement d/t Open Dislocation Proximal Phalanx
Digiti 1st manus
37

FOLLOW-UP HARIAN DI RUANGAN

Tanggal S O A

Terapi

29/09/20 Nyeri + Sens : Compos Post  IVFD RL


16 Mentis fasciotomy 20gtt/i
o/t right arm
RR : 20x/menit d/t Electrical  Inj Cetriaxon

TD : 120/80 burn 13% + 1gr/12jam


post
mmHg  Inj
Amputation
Suhu : 37,30C below elbow Metronidazol
(R) d/t dead e
HR : 96x/menit
limb o/t lower 500mg/8jam
VAS : 5 arm + Post
open (L)  Inj Ketorolac
dislocation 30mg/8jam
proximal  Inj
phalanx digiti
Ranitidine
1st manus
50mg/12jam
 Diet
MBTKTP
 Rawat luka

2/10/201 Nyeri + Sens : Compos Post  Diet MBTK


6 Mentis fasciotomy TP
o/t right arm
RR : 20x/menit d/t Electrical  IVFD RL

TD : 130/80 burn 13% + 20gtt/I


post
mmHg  Inj
Amputation
38

Suhu : 37,30C below elbow Ceftriaxon


(R) d/t dead 1gr/12jam
HR : 96x/menit limb o/t lower
arm + Post  Inj
VAS :
open (L) Metronidazol
dislocation e 500g/8jam
proximal
phalanx digiti  Inj ketolorac
1st manus 30mg/8jam
 Inj
Ranitidine
50mg/12jam
 Rawat luka
R/cek lab DR,
elektrolit, KGD ad
random, albumin

3/10/201 - Sens : Compos Post  IVFD RL


6 Mentis fasciotomy 20gtt/I
o/t right arm
RR : 20x/menit d/t Electrical  Inj

TD : 110/70 burn 13% + Ceftriaxon


mmHg post 1gr/12jam
Amputation
Suhu : 37,10C below elbow  Inj
(R) d/t dead Metronidazol
HR : 94x/menit
limb o/t lower e 500g/8jam
VAS : - arm + Post
open (L)  Inj
dislocation Ranitidine
proximal 50mg/12jam
phalanx digiti
 Rawat luka
1st manus
 R/cek lab
DR,
elektrolit,
39

KGD ad
random,
albumin
JENIS PEMERIKSAAN SATUAN HASIL RUJUKAN

HEMATOLOGI

Darah Lengkap (CBC)

Hemoglobin (HBG) g% 6,0 10,8-15,6

Eritrosit (RBC) 105/mm3 2,09 4.50 – 6.50

Leukosit (WBC) 103/mm3 17,070 4.5 – 13.5

Hematokrit % 19 33 – 45

Trombosit (PLT) 103/mm 642,000 181 – 521

HST

Waktu Protrombin

Pasien Detik 12.1

Kontrol Detik 14.00

INR 0.87

HATI

Albumin mg/ dL 2,6 3,5-5.0

4/10/201 (-) Sens : Compos Post  IVFD RL


6 Mentis fasciotomy 20gtt/I
o/t right arm
RR : 24x/menit d/t Electrical  Inj

TD : - mmHg burn 13% + Ceftriaxon


post 1gr/12jam
Suhu : 37,30C Amputation
below elbow  Inj
HR : 96x/menit
(R) d/t dead Metronidazol
VAS : - limb o/t lower e
arm + Post
40

open (L) 500mg/8jam


dislocation  Inj
proximal
phalanx digiti Ranitidine
1st manus 50mg/12ja m
 Inj Ketorolac
30mg/8jam

R/GV hari ini,


transfuse PRC 2
bag/hari , konsul
gizi diet ekstra
putih telur

5/10/16 (-) Sens : Compos Post  IVFD RL


Mentis fasciotomy 20gtt/I
o/t right arm
RR : 22x/menit d/t Electrical  Inj

TD : burn 13% + Ceftriaxon


120/80mmHg post 1gr/12jam
Amputation
Suhu : 37,40C below elbow  Inj
(R) d/t dead Ranitidine
HR : 96x/menit
limb o/t lower 50mg/12ja m
VAS : - arm + Post
open (L)  Paracetamol
dislocation tab
proximal 500g/8jam
phalanx digiti
1st manus

6/10/16 (-) Sens : Compos Post  IVFD RL


Mentis fasciotomy 20gtt/I
o/t right arm
RR : 22x/menit d/t Electrical  Inj

TD : burn 13% + Ceftriaxon


120/80mmHg post 1gr/12jam
41

Suhu : 37,40C Amputation  Inj


below elbow Ranitidine
HR : 96x/menit (R) d/t dead
limb o/t lower 50mg/12ja m
VAS : -
arm + Post  Paracetamol
open (L) tab
dislocation
proximal 500g/8jam
phalanx digiti
1st manus

Hasil Pemeriksaan 6/10/16

JENIS PEMERIKSAAN SATUAN HASIL RUJUKAN

HEMATOLOGI

Darah Lengkap (CBC)

Hemoglobin (HBG) g% 12,5 10,8-15,6

Eritrosit (RBC) 105/mm3 4,25 4.50 – 6.50

Leukosit (WBC) 103/mm3 16,640 4.5 – 13.5

Hematokrit % 38 33 – 45

Trombosit (PLT) 103/mm 640,000 181 – 521

MCV Fl 90 69-93

MCH Pg 29,4 22 – 34

MCHC g% 32,6 32 – 36

RDW % 15,4 11 – 15

MPV Fl 8,2 6.5 – 9.5

PCT % 0.530 0.1-0.5

PDW fL 8,0 10-18


42

Hitung jenis

 Neutrofil % 76,40 25 – 60

 Limfosit % 14,60 25 – 50

 Monosit % 7,20 1–6

 Eosinofil % 1,40 1–5

 Basofil % 0,40 0–1

 Neutrofil Absolut 103/µl 12,70 2.4 – 7.3

 Limfosit Absolut 103/µl 2,43 1.7 – 5.1

 Monosit Absolut 103/µl 1,20 0.2 - 0.6

 Eosinofil Absolut 103/µl 0,24 0.10 – 0.30

 Basofil Absolut 103/µl 0,07 0 – 0.1

HST

Waktu Protrombin

Pasien Detik 12.1

Kontrol Detik 14.00

INR 0.87

HATI

Albumin mg/ dL 2,9 3,5-5.0

GINJAL

Blood Urea Nitrogen mg/ dL 8 9-21

Ureum mg/ dL 17 <50

Kreatinin mg/ dL 0.68 0.32 – 0.59

Elektrolit

Natrium (Na) mEq/L 140 135 – 155


43

Kalium (K) mEq/L 4,3 3.6 – 5.5

Klorida (Cl) mEq/L 105 96 – 106

7/10/16 (-) Sens : Compos Post  IVFD RL


Mentis fasciotomy 20gtt/I
o/t right arm
RR : 22x/menit d/t Electrical  Inj

TD : burn 13% + Cefadroxyl


120/80mmHg post 500mg/12ja
Amputation
Suhu : 37,40C below elbow m
(R) d/t dead  Inj
HR : 96x/menit
limb o/t lower Paracetamol
VAS : - arm + Post
tab
open (L)
dislocation 500g/8jam
proximal
phalanx digiti
1st manus

9/10/16 (-) Sens : Compos Post  IVFD RL


Mentis fasciotomy 20gtt/I
o/t right arm
RR : 24x/menit d/t Electrical  Inj

TD : - mmHg burn 13% + Cefadroxyl


post 500g/12jam
Suhu : 37,30C Amputation
below elbow  Inj
HR : 96x/menit
(R) d/t dead Ranitidine
VAS : - limb o/t lower 50mg/12ja m
arm + Post
open (L)  Inj Ketorolac
dislocation 30mg/8jam
proximal
phalanx digiti
1st manus R/ cek lab DR,
KGD, albumin,
elektrolit
44

10/10/20 (-) Sens : Compos Post  IVFD RL


16 Mentis fasciotomy 20gtt/I
o/t right arm
RR : 24x/menit d/t Electrical  Inj

TD : - mmHg burn 13% + Cefadroxyl


post 500g/12jam
Suhu : 37,30C Amputation
below elbow  Inj
HR : 96x/menit
(R) d/t dead Ranitidine
VAS : - limb o/t lower 50mg/12ja m
arm + Post
open (L)  Inj Ketorolac
dislocation 30mg/8jam
proximal
phalanx digiti
1st manus R/ cek lab DR,
KGD, albumin,
elektrolit
45

BAB 4

DISKUSI

Teori Diskusi
Pada orang dewasa, kebanyakan kejadian luka Pada kasus ini, pasien adalah
bakar terjadi di tempat kerja dan menjadi seorang laki-laki yang berkerja
tempat keempat tertinggi yang mengancam sebagai buruh kasar.
jiwa. >50% pekerja elektrik, mendapat luka
dari kabel listrik, dan 25% berasal dari alat
elektrik.
Rasio laki-laki dan perempuan sebanyak = 9:1
Semua pasien luka bakar listrik harus Pasien ini dilakukan
dilakukan pemeriksaan EKG untuk pemeriksaan EKG di IGD RSUP
menyingkirkan kejadian seperti cardiac HAM dan hasil menunjukkan
dysrthmia dalam batas normal.
Infeksi merupakan persoalan yang penting Pada pasien ini, mendapat
dalam penaganan luka bakar. Faktor-faktor antibiotic seperti:
yang kontribusi kepada terjadinya infeksi :  Inj Ceftriaxone
Rawat inap di ICU dalam jangka panjang,
intubasi, alat ventilasi, bladder kateter, dan  Inj Metronidazole
potensi kolonisasi bakteri pada luka bakar
Antibiotik spectrum luas harus dipakai untuk
mencegah terjadinya infeksi. Idealnya, C&S
luka seharusnya dilakukan untuk memilih
antibiotic yang sensitive.
Resusitasi cairan diperlukan pada luka bakar  Pada tanggal 10/10/16,
akibat listrik.
pasien dilakukan
Cairan yang dapat diberikan : Ringer Laktat ,
RL dengan glukosa 5%, NS. debridement untuk
Perawatan luka dilakukan setelah tindakan
perawatan luka.
resusitasi jalan nafas, mekanisme bernafas, dan
resusitasi cairan dilakukan. Tindakan meliputi
debridement atau eksisi, pencucian luka,
wound dressing, dan pemberian antibiotic
topical.
46

BAB 5

KESIMPULAN

Pasien laki-laki,MRH, usia 27 tahun , dibawa ke Intsalasi Gawat Darurat


(IGD) RSUP HAM dengan keluhan tersengat listrik. Pasien didiagnosa dengan
Post fasciotomy o/t right arm d/t Electrical burn 13% + post Amputation below
elbow (R) d/t dead limb o/t lower arm + Post open (L) dislocation proximal
phalanx digiti 1st manus

.
47

DAFTAR PUSTAKA

1. Haberal MA. An eleven-year survey of electrical burn injuries. J Burn


Care Rehabil. 1995 Jan-Feb. 16(1):43-8. [Medline].

2. Hulsbergen-Kruger S, Pitzler D, Partecke BD. [High voltage accidents,


characteristics and treatment].Unfallchirurg. 1995 Apr. 98(4):218-
23. [Medline].

3. Dalziel CF. Effects of electric shock on man. IRE Trans Med Electron.
1956. 5:44-62.

4. Dalziel CF. The threshold of perception currents. Elec Eng. 1954. 73:625-
630.

5. Koumbourlis AC. Electrical injuries. Crit Care Med. 2002 Nov. 30(11
Suppl):S424-30. [Medline].
6. Moenadjat, Y. (2003). Luka Bakar: Pengetahuan Klinik Praktis. Edisi
Kedua. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI Press. Hal. 1-5.
7. American College of Surgeon. Advanced Trauma Life Support for
Doctors: ATLS Student Course Manual. 8th ed. USA: American College of
Surgeon. 2008;248-255
8. Edlich, R.F. Thermal Burn. America: Medscape. 2015 Accessed from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/1278244-overview
9. Wim, de Jong. Luka bakar: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:EGC.
2005;66-88
10. Gerard, M.D. Current Surgical Diagnosis and Treatment. 12th ed. New
York: McGraw-Hill Companies. 2009;245-259
11. Rubangi, S. Trauma Listrik dan Halilintar. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 1990
48

12. Hoediyanto, H. 2008. Trauma Listrik. Surabaya: Universitas Airlangga.


http;//www.fk.uwks.ac.id/elib/Arsip/Departemen/Forensik/Tr,20%Listrik.
pdf
13. Henderson, O.S. Emergency Medicine. USA: Landes Bioscience. 2007
14. World Health Organization. Management of Burns. America: WHO. 2007
15. James, H.H., David, M.H. Burns in: Schwartz's Principles of Surgery. 18 th
ed. New York: McGraw-Hill. 2005;189-216
16. Marzoeki, D. Overview in Burn Management dalam Penanganan Luka
Bakar Masa Kini. Seminar Luka Bakar. 2004;1-2
17. Duke, J. Anasthesia and Burns in Anesthesia Secrets. 2nd ed. Philadelphia:
Hanley & Belfus. Inc. 2000, 292-297
18. Tim Adaptasi Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit. Jakarta: WHO. 2009;262-264
19. Evans K, Burke D. Accident and Emergency Medicine. 2nd ed. Bios
Scientific Limited. 2001. 108-9.
20. Medline Plus (2008). Compartement syndrome. Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/articl... (diunduh bulan Oktober
2011)
21. Konstantakos EK, Dalstrom DJ, Nelles ME, Laughlin RT, Prayson MJ
(December 2007). "Diagnosis and management of extremity compartment
syndromes: an orthopaedic perspective". Am Surg 73 (12): 1199–209.
PMID 18186372. (diunduh bulan Oktober 2011)
22. Richard P(2009). Compartment syndrome, Extremity . Available at :
"emedicine: compartment syndrome".
http://www.emedicine.com/EMERG/topic739.htm. (Diunduh bulan
Oktober 2011)
23. Undersea and Hyperbaric Medical Society. "Crush Injury, Compartment
syndrome, and other Acute Traumatic Ischemias". Available at :
http://www.uhms.org/ResourceLibrary/Indication... (Diunduh bulan
Oktober 2011)
49

24. Syamjuhidayat, De Jong (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.
Hal 462; 853.
25. Compartement syndrome, Available at :
http://www.scribd.com/doc/27320465/Compartment... ( Diunduh bulan
Oktober 2011)
26. Compartement syndrom,, Available at :
http://ww:answer.com/topic/compartementsyndrom (Diunduh bulan
Oktober 2011)
27. Compartement syndrom, http://emedicinemedscape.com/article/1269081-
o... (Diunduh bulan Oktober 2011)

Anda mungkin juga menyukai