Anda di halaman 1dari 41

2.

5 Nefrotoksik
Nefrotoksik adalah racun yang dapat menyebabkan kerusakan pada organ ginjal.
Ginjal merupakan organ tubuh yang paling sering terpapar zat kimia dan metabolitnya
terutama obat yang dipakai secara meluas dimasyarakat. Kemudahan keterpaparan
ginjal terhadap zat-zat tersebut diakibatkanoleh sifat-sfat khusus ginjal, yaitu :
a. Ginjal menerima 25 %, curah jantung sedangkan beratnya hanya kira-kira 0,4%
dari berat badan.
b. Untuk menampung curah jantung yang begitu besar, ginjal mempunyai
permukaan endotel kapiler yang relatif luas dianatara organ tubuh yang lain.
c. Permukaan endotel kapiler yang sangat luas ini menyebabkan bahan yang bersifat
imunologik sering terpapar didaerah kapiler glomerulus dan tubulus.
d. Fungsi transportasi melalui sel-sel tubulus dapat menyebabkan terkonsentrasinya
zat-zat toksin di tubulus sendiri.
e. Mekanisme counter current sehingga medulla dan papil ginjal menjadi hipertonik
dapat menyebabkan konsentrasi zat toksik sangat meningkat di kedua daerah
tersebut.
Sifat-sifat khas yang disebut di atas inilah yang memudahkan terjadinya gangguan
struktur dan fungsi ginjal, bila didalam darah terdapat zat yang bersifat nefrotoksik
Besarnya aliran darah yang menuju ke ginjal ini menyebabkan keterpaparan ginjal
terhadap bahan/zat-zat yang beredar dalam sirkulasi cukup tinggi. Akibatnya bahan-
bahan yang bersifat toksik akan mudah menyebabkan kerusakan jaringan ginjal dalam
bentuk perubahan struktur dan fungsi ginjal. Keadaan inilah yang disebut sebagai
nefropati toksik dan dapat mengenai glomerulus, tubulus, jaringan vaskuler, maupun
jaringan interstitial ginja

2.5.1 Mekanisme Nefrotoksik


Dikenal 5 macam mekanisme terjadinya nefropati toksik, yaitu :
a. Dampak langsung terhadap sel parenkim ginjal.
Kerusakan langsung ini terutama disebabkan oleh penggunaan zat yang
mengandung logam berat. Logam berat yang difiltrasi oleh glomerulus
dapat diresorpsi kembali oleh sel tubulus sehingga sel tubuluslah yang
paling sering mengalami kerusakan. Kerusakan ini mengenai hampir
seluruh struktur subseluler seperti membran plasma, mitokondria, lisosom,
retikulum endoplasma dan inti sel.
b. Reaksi imunologis
Proses imunologis lebih sering terjadi pada pemakaian obat-obatan seperti
penisilin, metisilin, dsb. Reaksi yang terjadi merupakan reaksi
hipersensitifitas terhadap zat tersebut di atas, sedangkan proses yang timbul
merupakan proses imunologik baik secara humoral seperti terbentuknya
deposit imun kompleks, reaksi antara antibodi dengan antigen membrana
basalis glomerulus, maupun secara seluler.
c. Obstruksi saluran kemih.
Umumnya obstruksi yang terjadi sebagai akibat kristalisasi zat tertentu yang kemudian
mengendap di lumen tubulus yang selanjutnya disertai pula dengan pengendapan sel tubulus
yang rusak. Pengendapan kristal dan se tubulus yang rusak ini sering disertai proses inflamasi
yang akhirnya menyebabkan obstruksi lumen tubulus.

d. Penghambatan produksi prostaglandin


Terdapat obat-obat yang dapat menghambat sintesis prostaglandin E2 yaitu
aspirin dan anti inflamasi non steroid. Obat-obat ini menghambat sintesis
prostaglandin E2 dengan cara mengikat siklo-oksigenase, suatu enzim yang
dipakai untuk memproduksi Prostaglandin E2. Penggunaan obat ini dalam
jangka waktu tertentu akan menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal
dan laju filtrasi glomerulus sehingga dapat berpotensi menimbulkan gagal ginjal

e. Memperburuk penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya.


Misalnya pielonefritis yang diperberat akibat pemakaian obat-obat tertentu
yang meningkatkan ekskresi asam urat atau obat-obat yang menyebabkan
hipokalemia.

2.5.2 Gejala Klinis Nefrotoksik


Gejala nefropati toksik tergantung dari jenis-jenis bahan kimia atau obat yang
terpapar pada ginjal. kelainan ginjal yang ditimbulkan mulai dari proteinuria,
hematuria, sindrom nefritik akut, sindrom nefrotik, nefritis interstitial akut,
nefritis tubulo-interstitial, sampai gagal ginjal baik akut maupun kronik
Ginjal: Pengertian, Anatomi, Struktur dan Fungsinya

Pengertian Ginjal
Ginjal adalah suatu organ yang secara struktural kompleks dan telah berkembang untuk
melaksanakan sejumlah fungsi penting, seperti : ekskresi produk sisa metabolisme,
pengendalian air dan garam, pemeliharaan keseimbangan asam yang sesuai, dan sekresi
berbagai hormon dan autokoid.

Anatomi Ginjal
Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi kolumna
vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal kiri karena tertekan
kebawah oleh hati. Kutub atasnya terletak setinggi iga keduabelas, sedangkan kutub atas
ginjal kiri terletak setinggi iga kesebelas.

Ginjal terletak di bagian belakang abdomen atas, di belakang peritoneum, di depan dua iga
terakhir, dan tiga otot besar-transversus abdominis, kuadratus lumborum, dan psoas mayor.
Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Ginjal terlindung
dengan baik dari trauma langsung, disebelah posterior (atas) dilindungi oleh iga dan otot-otot
yang meliputi iga, sedangkan di anterior (bawah) dilindungi oleh bantalan usus yang tebal.

Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar, kolon, dan duodenum, sedangkan ginjal kiri dikelilingi
oleh lien, lambung, pankreas, jejunum dan kolon.

Struktur Ginjal terdiri atas:

Struktur Makroskopik Ginjal


Pada orang dewasa , panjang ginjal adalah sekitar 12 sampai 13 cm (4,7 hingga 5,1 inci),
lebarnya 6 cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 cm (1 inci), dan beratnya sekitar 150 gram. Secara
anatomik ginjal terbagi dalam dua bagian, yaitu korteks dan medula ginjal.

Ginjal terdiri dari bagian dalam (medula), dan bagian luar (korteks).

a. Bagian dalam (internal) medula. Substansia medularis terdiri dari piramid renalis yang
jumlahnya antara 18-16 buah yang mempunyai basis sepanjang ginjal, sedangkan apeksnya
mengahadap ke sinus renalis. Mengandung bagian tubulus yang lurus, ansa henle, vasa rekta
dan diktus koligens terminal.

b. Bagian luar (eksternal) korteks. Substansia kortekalis berwarna coklat merah, konsistensi
lunak dan bergranula. Substansia ini tepat dibawah tunika fibrosa, melengkung sapanjang
basis piramid yang berdekatan dengan garis sinus renalis, dan bagian dalam diantara piramid
dinamakan kolumna renalis. Mengandung glomerulus, tubulus proksimal dan distal yang
berkelok-kelok dan duktus
koligens.
Struktur Mikroskopik Ginjal
a. Nefron
Tiap tubulus ginjal dan glomerolusnya membentuk satu kesatuan (nefron). Ukuran ginjal
terutama ditentukan oleh jumlah nefron yang membentuknya. Tiap ginjal manusia memiliki
kira-kira 1.3 juta nefron. Setiap nefron bisa membentuk urin sendiri. Karena itu fungsi satu
nefron dapat menerangkan fungsi ginjal.

b. Glomerulus
Setiap nefron pada ginjal berawal dari berkas kapiler yang disebut glomerulus, yang terletak
didalam korteks, bagian terluar dari ginjal. Tekanan darah mendorong sekitar 120 ml plasma
darah melalui dinding kapiler glomerular setiap menit. Plasma yang tersaring masuk ke
dalam tubulus. Sel-sel darah dan protein yang besar dalam plasma terlalu besar untuk dapat
melewati dinding dan tertinggal.

c. Tubulus kontortus proksimal


Berbentuk seperti koil longgar berfungsi menerima cairan yang telah disaring oleh
glomerulus melalui kapsula bowman. Sebagian besar dari filtrat glomerulus diserap kembali
ke dalam aliran darah melalui kapiler-kapiler sekitar tubulus kotortus proksimal. Panjang 15
mm dan diameter 55 µm.

d. Ansa henle
Berbentuk seperti penjepit rambut yang merupakan bagian dari nefron ginjal dimana, tubulus
menurun kedalam medula, bagian dalam ginjal, dan kemudian naik kembali kebagian korteks
dan membentuk ansa. Total panjang ansa henle 2-14 mm.

e. Tubulus kontortus distalis


Merupakan tangkai yang naik dari ansa henle mengarah pada koil longgar kedua.
Penyesuaian yang sangat baik terhadap komposisi urin dibuat pada tubulus kontortus. Hanya
sekitar 15% dari filtrat glomerulus (sekitar 20 ml/menit) mencapai tubulus distal, sisanya
telah diserap kembali dalam tubulus proksimal.

f. Duktus koligen medula


Merupakan saluran yang secara metabolik tidak aktif. Pengaturan secara halus dari ekskresi
natrium urin terjadi disini. Duktus ini memiliki kemampuan mereabsorbsi dan mensekresi
kalsium.
Gambar: Anatomi ginjal
Advertisement

Fungsi Ginjal
Fungsi utama ginjal terangkum dibawah ini, yang menekankan peranannya sebagai organ
pengatur dalam tubuh.

Fungsi Ekskresi
a. Mengeluarkan zat toksis/racun
b. Mengatur keseimbangan air, garam/elektrolit, asam /basa
c. Mempertahankan kadar cairan tubuh dan elektrolit (ion-ion lain)
d. Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein (terutama urea, asam
urat dan kreatinin)
e. Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat

Fungsi Non Ekskresi


Mensintesis dan mengaktifkan Hormon:
a. Renin, penting dalam pengaturan tekanan darah
b. Eritropoetin, merangsang produksi sel darah merah oleh sumsum tulang
c. 1,25-dihidroksivitamin D3 : hidroksilasi akhir vitamin D3 menjadi bentuk yang paling kuat
d. Prostaglandin : sebagian besar adalah vasodilator, bekerja secara lokal, dan melindungi
dari kerusakan iskemik ginjal
e. Degradasi hormon polipeptida
f. Insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH dan hormon
gastrointestinal (gastrin, polipeptida intestinal vasoaktif).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Ginjal
2.1.1. Anatomi Ginjal
Ginjal terletak pada bagian dorsal dari rongga abdominal pada tiap sisi dari
aorta dan vena kava, tepat pada posisi ventral terhadap beberapa vertebralumbal yang
pertama. Ginjal dikatakan retroperitoneal, artinya terletak di luar rongga peritoneal
(Frandson, 1992). Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah daripada ginjal kiri karena
besarnya lobus hepatis kanan. Secara mikroskopis, sebuah ginjal dengan potongan
memanjang memberi dua gambaran dua daerah yang cukup jelas. Daerah perifer/tepi
yang beraspek gelap diebut korteks, dan selebihnya yang agak cerah disebut medulla,
berbentuk piramid terbalik. Secara mikroskopis, korteks yang gelap tampak diselang
dengan interval tertentu oleh jaringan medulla yang berwarna agak cerah, disebut
garis medulla ( medullary rays). Substansi korteks di sekitar garis medulla disebut
labirin korteks. Medulla tampak lebih cerah dan tampak adanya jalur - jalur yang
disebabkan oleh buluh - buluh kemih yang lurus dan pembuluh darahnya (Hartono,
1992). Universitas Sumatera Utara Nabib (1987) menjelaskan secara histologi ginjal
terdiri atas tiga unsur utama, yaitu (1). Glomerulus, yakni suatu gulungan pembuluh
darah kapiler yang masuk melalui aferen, (2). Tubuli sebagai parenkim yang bersama
glomerulus membentuk nefron, suatu unit fungsional terkecil dari ginjal, dan
(3).Interstisium berikut pembuluh-pembuluh darah, limfe dan syaraf.

2.1.2. Mikrostrukrur
Nefron Ginjal
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Didalam setiap ginjal
terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi yang
sama. Setiap nefron terdiri dari kapsula bowman, tubulus kontraktus proksimal,
lengkung henle dan tubulus kontraktus distal yang mengosongkan diri ke duktus
pengumpul. Glomerulus bersama Kapsul Bowman juga disebut badan Malpigi.
Gambar 2.2. Gambaran Mikrostruktur Nefron Ginjal Tikus (Christensenet. al. ,2002)
Jalinan glomerulus merupakan kapiler - kapiler khusus yang berfungsi sebagai
penyaring. Kapiler glomerulus dibatasi oleh sel - sel endotel mempunyai sitoplasma
yang sangat tipis, yang mengandung banyak lubang disebut fenestra dengan diameter
500-1000A0 Setiap korpus renal berdiameter 200 μm dan terdiri atas seberkas kapiler
yaitu glomerulus, dikelilingi oleh kapsul epitel berdinding ganda yang disebut
(Alataset al., 2002).UniversitasSumateraUtara kapsula Bowman. Lapisan luar
membentuk batas luar korpuskulus renal (laminaparietalis) yang terdiri atas epitel
selapis gepeng yang ditunjang lamina basalis dan selapis tipis serat retikulin. Lapisan
dalam (lamina visceralis) meliputi kapiler glomerulus yang terdiri dari sel-sel podosit.
Pada kutub urinarius dari korpuskulus renal, epitel gepeng dari lapisan parietal
kapsula Bowman, berhubungan langsung dengan epitel selindris dari tubulus
kontraktus proksimal. Tubulus ini lebih panjang dari tubulus kontraktus distal dan
karenanya tampak lebih banyak dekat korpuskulus renalis dalam labirin korteks.
Lengkung henle adalah struktur berbentuk U terdiri atas ruas tebal descenden dengan
struktur yang sangat mirip tubulus kontraktus proksimal; ruas tipis descenden dan ruas
tebal ascenden strukturnya sangat mirip dengan tubulus kontraktus distal. Lebih
kurang sepertujuh dari semua nefron terletak dekat batas korteks- medula yang disebut
dengan nefronjukstamedula. Nefron lainnya disebut nefron kortikal. Semua nefron
turut serta dalam proses filtrasi, absorpsi dan sekresi. Bila ruas tebal ascend lengkung
henle menerobos korteks, struktur histologisnya tetap terpelihara tetapi menjadi
berkelok-kelok dan disebut tubulus kontortus distal, yaitu bagian terakhir nefron yang
dilapisi oleh epitel selapis kuboid. Lumen tubulus distal lebih besar dan karena sel -
sel tubulus distal lebih gepeng dan lebih kecil dari tubulus proksimal, maka tampak
lebih banyak sel dan inti dinding tubulus distal. Urin mengalir dari tubulus kontortus
distal ke tubulus koligens, yang saling bergabung dan membentuk duktus koligens
yang lebih besar dan lebih lurus yaitu duktus papilaris Bellii yang berangsur-angsur
melebar sewaktu mendekati puncak piramid. Tubulus koligens yang lebih kecil
dilapisi oleh epitel kuboid dan berdiameter kurang lebih 40μm. Dalam medulla,
duktus kolagens merupakan komponen utama dari mekanisme pemekatan urine
(Junquera, 1995).

2.1.3. Fungsi Ginjal


Alataset al(2002) menjelaskan fungsi ginjal sebagai organ ekskresi. Ginjal
memilki fungsi utama dalam menjaga keseimbangan internal dengan jalan
Universitas Sumatera Utara menjaga komposisi cairan ekstraselular. Untuk melaksakan
hal itu sejumlah besar cairan difiltrasi di glomerulus dan kemud ian direabsopsi dan
disekresi di sepanjang nefron sehingga zat - zat yang berguna diserap kembali dan
sisa-sisa metabolisme dikeluarkan sebagai urin, lebih lanjut lagi dijelaskan fungsi
ginjal secara keseluruhan, yaitu;

1.Fungsi Ekskresi
Ginjal dapat berfungsi untuk sisa metabolisme protein (ureum, kalium, fosfat, sulfur
anorganik dan asam urat), regulasi volume cairan tubuh dikarenakan aktivitas anti-
duaretik (ADH) yang akan mempengaruhi volume urin yang akan dikeluarkan tubuh
dan ginjal yang bermanfaat dalam menjaga keseimbangan asam dan basa.
2. Fungsi Endokrin
Sebagai fungsi endokrin ginjal memiliki tiga fungsi, yaitu;
1. Memiliki
partisipasi dalam eritropoesis yaitu sebagai penghasil zat eritropoetin yang dibutuhkan
dalam pembentukan sel darah merah. 2. Pengaturan tekanan darah, hal ini dikarenakan
terlepasnya granula rennin dari jukstaglomerulus yang merangsang angiotensinogen di
dalam darah menjadi angitensi I kemudian diubah kembali menjadi angiotensi II oleh
enzim konvertase di paru. Hal ini mengakibatkan t erjadinya vasokonstriksi pembuluh
darah perifer dan merangsang kelenjar adrenal untuk memperoduksi aldosteron.
Kombinasi kedua inilah yang mengakibatkan terjadinya hipertensi. 3. Ginjal bertugas
menjaga keseimbangan kalsium dan fosfor dikarenakan ginal mempunyai peranan
dalam metabolism vitamin D. Dalam melaksanakan fungsinya, ginjal dapat
mengalami gangguan yang mengarah pada kerusakan jaringan ginjal. Beberapa zat
yang dapat merusak ginjal baik struktur maupun fungsi ginjal, yaitu; 1. Makanan.Pada
umumnya makanan yang tercemar racun kimia, racun tanaman serangga atau
makanan yang secara alamiah sudah mengandung racun seperti jengkol, singkong
ataupun jamur yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal.
2. Bahan kimia. Bahan yang mengandung
logam seperti Pb (Pb), emas, kadmium. 3. Obat-obatan antibiotik, obat kemotrapi,
Universitas Sumatera Utara sitostatik dan 4. Zat radiokontras (zat yang dapat menyerap
dan memantulkan sinar X). Dari keempatnya yang paling sering menyebabkan efek
toksik pada nefron ginjal sehingga menyebabkan kerusakan pada ginjal adalah obat-
obatan dan bahan kimia (Alatas et al ., 2002).
2.2. Plumbum (Pb)
2.2.1. Sifat Pb
Pb adalah senyawa organometalik yang ditemukan dalam bentuk senyawa Tetra
ethyllead/TEL dan Tetra metil lead/TML ). Pb adalah logam lunak berwarna abu- abu
kebiruan mengkilat serta mudah dimurnikan dari pertambangan. Pb memiliki titik
lebur yang rendah, meleleh pada suhu 3280 C (6620 F) ; titik didih 17400 C (31640
Pringgoutomoet al., (2002), menje laskan sumber Pb Yang okupasional ialah;
pengecatan dengan semprotan, pekerjaan bengkel besi, pekerjaan di tambang,
pembakaran aki, alat masak, makanan dalam kaleng. Sedangkan sumber Pb yang non-
okupasional ialah pipa air minum, cat tua yang mengelupas, debu rumah, tanah di
perkotaan, percetakan dan asap kendaraan bermotor. F); memiliki nomor atom 82
dengan berat atom 207,20. Pb juga mudah dibentuk, memiliki sifat
kimia yang aktif, sehingga bisah digunakan untuk melapisi logam agar tidak timbul
perkaratan. Apabila dicampur dengan logam lain akan terbentuk logam campuran
yang lebih bagus dari logam murninya (Widowati et al., 2008).
2.2.2. Toksisitas Pb Bagi Organ Tubuh
Gangguan serius pada toksisitas Pb ini bergantung pada dua faktor yaitu jumlah/dosis
Pb yang masuk kedalam tubuh dan lamanya Pb terakumulasi didalam tubuh.
Pringgoutomoet al (2002), menuliskan bahwa pada usus orang dewasa dapat terjadi
penyerapan Pb sebesar 10% dan pada usus anak-anak
penyerapan mencapai 50%. Pb akan tertimbun dalam tulang sebesar 80-85 % dan
5-10 % di dalam darah sedangkan sisanya terdapat pada jaringan lunak. Di dalam
tubuh, keracunan Pb dapat menyebabkan perubahan pada beberapa organ seperti
sel darah, susunan saraf, saluran
gastro-
intestinal
dan ginjal.
Pada ginjal
Universitas
Sumatera
Utara
masuknya Pb kedalam tubuh dapat menyebabkan terjadinya
nefritis
kronik
tubulointerstisiat
at
au sindrom Fanconi, yang ditandai oleh glikosuria,
aminoasiduria, fosfaturia, proteinuria.
Lesi ginjal dapat berlanjut sampai terjadi
gagal ginjal.
Pada penelitian Hariono (2006) pada pemberian senyawa 1,5 mg trietil Pb
asetat/kg BB/oral/hari/tikus yang dilakukan selama 10 minggu menunjukan
gambaran histopatologik pada ginjal terlihat vakuolisasi, pelebaran lumen tubulus,
banyak mengandung runtuhan sel dan ekskret debris dan pada pemeriksaan
mikroskopik elektron ditemukan adanya pembengkakan lisosom dan mitokondria.
Pada penelitian Anggraini (2008), menuliskan pada pemberian Pb sebesar
100mg/kgBB/oral/hari yang dilakuakan selama 16 minggu memperlihatkan
naiknya berat rata
-
rata ginjal yang disebabkan adanya subtansi air dan lemak yang
terjadi di dalam sel se
hingga volume sel akan bertambah. Secara mikroskopis
pada ginjal terjadi lesi pada glomerulus ginjal yaitu terjadi vakuolisasi.
Pada
pengamatan minggu ke
-
8 terjadi pelebaran pada lumen tubulus, akumulasi sel
debris dalam lumen,
karyomegali
disertai
hiperplasi
dan kerusakan ini semakin
bertambah pada semakin lamanya pemberian Pb.
Penelitian Sinaga (2009), yang menganalisa kandungan residu Pb dan Cd
pada hati dan ginjal babi menemukan bahwa jumlah logam berat Pb yang
terdeteksi pada ginjal sebesar 0,7921 ppm dengan rata
-
rata sebesar 0,1153 ppm.
Namun lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa kandungan logam Pb yang tersimpan
pada ginjal tersebut masih dibawah batas maksimum residu (BMR) yang
direkomendasikan oleh pengawas makanan dan minuman (POM) pada tahun 1998
yaitu sebesar 2,000 ppm.
2.2.3.
Ekskresi Pb
Ekskresi Pb melalui urin sebanyak 75
-
80%, melalui feces 15% dan lainnya
dapat melalui empedu, keringat, rambut dan kuku. Ekskresi Pb dalam urin lebih
dari 600 μg Pb dalam spesimen urin dalam 24 jam menandakan adanya pejan
an
secara signifikan, dalam hal ini juga dituliskan oleh (Palar, 1994). Proses ekskresi
Pb dalam urin merupakan pejanan baru sehingga pemeriksaan Pb urin dipakai
Universitas
Sumatera
Utara
untuk pajanan
okupasional
, hal ini juga dituliskan oleh Goldstein dan Kippen
(Ardyanto, 2005)
2.3.
Kitosan
2.3.1. Struktur Kimia Kitosan
Dwiyatmoko (2008) menuliskan Kitosan pertama kali ditemukan oleh ilmuwan
Prancis Ojier, pada tahun 1823.
Ojier meneliti kitosan hasil ekstrak kerak binatang
berkulit keras, seperti udang, kepiting dan serangga.
Kitosan merupakan turunan
dari kitin.Kitin tidak mudah larut dalam air, sehingga penggunaannya terbatas.
Namun dengan modifikasi kimiawi dapat diperoleh senyawa turunan kitin yang
mempunyai sifat kimia yang lebih baik yaitu kitosan. Volume produksi kitosan
di
alam bebas menempati peringkat kedua setelah serat, diperkirakan volume total
mahluk laut diatas 100 juta ton/tahun.
Kitosan merupakan biopolymer alami
turunan dari kitin, homopolymer dari
(1
-4)-amino-2-
deoksi
-
β
-D-glukosa
merupakan hasil dari de
ase
til
is
asi
sebanyak mungkin
dari kitin
dengan
menggunakan larutan NaOH pekat.
Proses pembuatan kitosan dari kitin dilakukkan dengan tiga tahapan, yaitu;
Pertama proses deprotenisasi dengan melepaskan ikatan
-
ikatan protein dan kitin
dengan menggunakan larutan NaOH, yang bertujuan untuk mengubah gugus asetil
dari kitin menjadi gugus amina pada kitosan. Kedua, proses demineralisasi yang
bertujuan untuk menghilangkan garam
-
garam organik atau kandungan mineral
yang terdapat didalam kitin. Proses terakhir, yaitu dease
tilisasi dengan
melepaskan gugus amina (
-
NH) agar kitosan memiliki kareteristik sebagai kation
(Suhardi, 1992).
Perbedaan kandungan amina adalah sebagai patokan untuk menentukan
apakah polimer ini dapat dibentuk menjadi kitin atau kitosan. Kitosan
mengandu
ng gugus amina lebih besar 60%, sebaliknya kitin memiliki gugus
amina yang lebih kecil dari 60% (Robert, 1978). Keberadaan gugus hidroksil dan
amin
a
sepanjang rantai polimer mengakibatkan kitosan sangat efektif
mengadsorpsi kation ion logam berat maupun kation dari zat
-
zat organik (protein
Universitas
Sumatera
Utara
dan lemak).
Interaksi kation logam dan kitosan adalah melalui pembentukan kelat
koordinasi oleh atom N gugus amino dan O gugus hidroksil (Lee
et al.
, 2001).
Struktur kimia dari kitin dan Kitosan dapat dilihat pada gambar
2.3.1.dibawah ini;
Gambar 2.3. Struktur Kimiawi Kitin dan Kitosan
(Fernandez
-Kim, 2004)
2.3.2. Manfaat Kitosan
Seperti selulosa dan kitin, kitosan merupakan polimer alamiah yang sangat
melimpah keberadaannya di alam.
Oleh karena itu, kitosan dapat digunakan
sebagai material alami, sebab kitosan sebagai polimer alami mempunyai
karesteristik yang baik.
Kitosan bersifat sebagai pembentukan kelat (zat pengikat) yang dapat
mengikat logam dalam bentuk ikatan kompleks sehingga dapat mengalahkan sifat
dan pengaruh negatif dari logam berat yang terdapat dalam suatu bahan (Winarno
& Fardiaz, 1993).
Kemampuan kitosan sebagai zat pengkelat (pengikat) ion logam
dengan selektif dapat menyebabkan logam berat kehilangan aktifitas biologisnya.
Universitas
Sumatera
Utara
Konsentrasi ion l
ogam bebas dalam cairan ekstra sel menurun karena pengikatan
ion ini oleh pembentuk kelat, karena itu ion logam dapat juga ditarik (diserap) dari
jaringan.
Pembentukan kelat melalui reaksi antara pembentuk kelat dengan ion
logam dapat menyebabkan ion logam
tersebut kehilangan sifat ionnya, hal inilah
yang menyebabkan logam kehilangan sebagian besar sifat toksiknya (Kawamura
et al
., 1993).
Kitosan dapat digunakan untuk bahan pembuatan lensa kontak (
soft lens
)
maupun
hard lens
karena lebih murah dan awet, dapat digunakan sebagai obat anti
kolesterol, kitosan tidak menggumpalkan darah dan kitosan juga baik untuk
digunakan sebagai agent anti tumor (Shahidi
et al
., 1999)
Kusumawati (2009), menjelaskan beberapa pemanfaatan kitosan.
Kitosan
bermanfaat dalam bidang pertanian karena kitosan menawarkan alternatif alami
dalam penggunaan bahan kimia yang terkadang berbahaya bagi lingkungan
manusia.
Kitosan membuat mekanism
a
pertahanan pada tumbuhan (seperti vaksin
bagi manusia),
menstimulus pertumbuhan. Merangsang enz
im tertentu dan
biokontrol dalam bidang pengolahan air juga diuraikan kitosan dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku pembuatan membran ultrafiltrasi

Pengertian, Struktur dan Anatomi Ginjal Pada Manusia


17.50 Biologi IPA

Seperti yang telah diketahui bahwa ginjal merupakan salam satu alat ekskresi pada manusia, mari
kita bahas mengenai pengertian ginjal pada manusia, fungsi ginjal pada manusia, anatomi ginjal,
struktur ginjal dan lentak ginjal pada manusia.

Ginjal Pada Manusia


Salah satu sistem pengeluaran pada manusia adalah sistem urin. Sistem urin manusia tersusun dari
ginjal, ureter, kantung kemih, dan uretra

Sistem urin berfungsi sebagai berikut:

a. Menyaring zat-zat sampah metabolisme dari darah;

b. Mengontrol volume darah, yaitu dengan mengeluarkan kelebihan air yang dihasilkan sel-sel
tubuh. Mempertahankan jumlah air dalam darah penting untuk memelihara tekanan darah agar
gerakan gas, dan pengeluaran zat sampah padat tetap normal.

c. Memelihara keseimbangan konsentrasi garam-garam tertentu. Garam-garam ini harus ada dalam
konsentrasi tertentu untuk kelangsungan kegiatan sel.
Organ utama sistem urin adalah sepasang ginjal. Organ ini berwarna merah coklat, berbentuk seperti
biji kacang merah. Letak ginjal di daerah pinggang, tepatnya di perut bagian belakang dan dilindungi
tulang-tulang rusuk.

Ginjal menyaring darah yang telah mengandung zat sisa metabolisme dari sel-sel tubuh. Seluruh
darah dalam tubuh melewati ginjal berkalikali dalam sehari.

Anatomi Ginjal
Ginjal dilapisi :

Luar : Capsula Adiposa

Dalam : Capsula Renalis

Ginjal terdiri atas dua lapisan. Lapisan luar disebut korteks, sedangkan lapisan dalam disebut
medula. Sebuah ginjal tersusun atas kurang lebih satu juta nefron. Nefron adalah unit penyaring
terkecil ginjal. Satu nefron tersusun atas glomerulus, Simpai Bowman, saluran berkelok-kelok, Ansa
Henle, dan saluran pengumpul ginjal.

Air, gula, garam, dan zat sampah dari darah masuk ke nefron. Saat masuk nefron, darah bertekanan
tinggi. Darah dengan cepat mengalir ke kapiler dalam nefron. Kumpulan kapiler dalam nefron
disebut glomerulus (jamak = glomeruli) yang ditemukan di bagian korteks.

Karena tekanan darah yang tinggi maka air, glukosa, vitamin, asam amino, protein berukuran kecil,
urea, asam urat, garam, dan ion akan menembus kapiler masuk ke bagian nefron yang disebut
Simpai Bowman. Simpai

Bowman adalah bangunan berbentuk mangkuk yang melingkupi glomerulus. Dalam proses ini sel-sel
darah dan sebagian besar protein tidak bisa menembus dinding kapiler karena terlalu besar.
Akibatnya sel-sel darah dan protein tertinggal dalam kapiler.
Gambar: Ginjal Manusia

Cairan dalam Simpai Bowman mengalir ke saluran berkelok-kelok dan Ansa Henle. Ansa Henle
adalah saluran sempit berbentuk U. Selama cairan berada di sepanjang saluran-saluran ini, sebagian
besar ion, air, dan semua glukosa, asam amino, dan protein berukuran kecil diserap kembali ke
dalam aliran darah.

Proses penyerapan kembali zat-zat yang masih dipergunakan tubuh ini disebut reabsorbsi. Molekul
kecil seperti air diserap kembali ke kapiler secara difusi. Difusi merupakan gerakan molekul zat dari
tempat yang berkonsentrasi tinggi ke tempat yang berkonsentrasi rendah.

Zat lain misalnya ion, dikembalikan ke kapiler dengan cara transport aktif. Transport aktif adalah
gerakan molekul dari satu larutan ke larutan lain dengan menggunakan energi.

Kapiler-kapiler yang berisi zat yang diserap kembali kemudian bersatu membentuk vena kecil. Vena-
vena kecil bersatu membentuk vena ginjal. Vena ginjal mengembalikan darah yang sudah disaring ke
sistem peredaran.

Di samping peristiwa di atas, di dalam saluran pengumpul terjadi proses lain yaitu masuknya zat-zat
sampah dari pembuluh darah. Zat-zat sampah merupakan zat sampah yang masih tersisa di dalam
pembuluh darah saat filtrasi. Dengan proses ini urin di dalam saluran pengumpul lebih pekat lagi.
Sesudah penyerapan kembali, cairan yang tersisa dalam saluran merupakan cairan zat sisa (disebut
urin) yang mengandung garam dan zat sampah lain. Urin kemudian mengalir ke saluran pengumpul
ginjal yang terletak di bagian medula.

Keseluruhan proses penyaringan cairan Urin dalam masing-masing saluran pengumpul mengalir ke
suatu daerah berbentuk seperti cerobong asap, yang disebut pelvis atau piala ginjal. Saluran ini
kemudian berlanjut ke ureter. Ureter adalah saluran yang berpangkal dari ginjal menuju kantung
kemih.

Kantung kemih adalah kantung berotot yang menyimpan urin. Dalam kantung kemih urin disimpan
sementara hingga dikeluarkan dari tubuh; selanjutnya urin disalurkan ke uretra untuk dialirkan ke
luar tubuh.

Jumlah urin yang keluar tergantung pada jumlah cairan yang diminum dan volume cairan yang
dikeluarkan. Orang dewasa ratarata menghasilkan urin sekitar 1 liter tiap hari.

Ginjal adalah organ ekskresi dalam vertebrata yang berbentuk mirip kacang. Sebagai bagian dari
sistem urin, ginjal berfungsi menyaring kotoran (terutama urea) dari darah dan membuangnya
bersama dengan air dalam bentuk urin. Cabang dari kedokteran yang mempelajari ginjal dan
penyakitnya disebut nefrologi.

Anatomi Ginjal
Ginjal berjumlah 2 buah, berat + 150 gr (125 – 170 gr pada Laki-laki, 115 – 155 gr pada perempuan);
panjang 5 – 7,5 cm; tebal 2,5 – 3 cm.

Letak retroperitoneal sebelah dorsal cavum abdominale, ginjal kiri bagian atas V.Lumbal I, bagian
bawah V.Lumbal IV pada posisi berdiri letak ginjal kanan lebih rendah

Secara umum struktur ginjal terdiri atas tiga bagian seperti berikut ini:

1) Kulit ginjal (korteks)


Pada bagian korteks atau kulit ginjal terdapat glomerulus dan simpai Bowman. Glomerulus dan
simpai Bowman membentuk kesatuan yang disebut Badan Malpighi. Pada bagian inilah proses
penyaringan darah dimulai. Badan malpighi merupakan awal dari nefron. Nefron adalah satuan
struktural dan fungsional. Tiap ginjal tersusun oleh kira-kira 1 juta nefron. Dari badan Malpighi
terbentuk saluran yang menuju bagian medula (sumsum ginjal).
2) Rongga ginjal (pelvis renalis)
Di rongga ini bermuara saluran pengumpul. Dari rongga tersebut, urine keluar dari saluran ureter
menuju vesika urinaria (kandung kemih). Dari kandung kemih, urine keluar tubuh melalui saluran
uretra.

3) Sumsum ginjal (medula)

Medula (sumsum ginjal) tersusun atas saluran-saluran yang merupakan kelanjutan badan malphigi
dan saluran yang ada di bagian korteks. Pelvis renalis atau rongga ginjal berupa rongga yang
berfungsi sebagai penampung urine sementara sebelum dikeluarkan melalui ureter.
IPA 1: ZAT-ZAT BERBAHAYA YANG TERKANDUNG DALAM MAKANAN IPA 1
ZAT-ZAT BERBAHAYA YANG TERKANDUNG DALAM MAKANAN Artikel ini
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah IPA 1 Dibina Oleh Dosen Wahyu Kurniawati,
S.Si Disusun Oleh: Dwi Wahyuni (09144600085) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA TAHUN 2010 ZAT-ZAT KIMIA YANG
TERKANDUNG DALAM MAKANAN Untuk mempertahankan hidupnya, manusia tidak
lepas dari makanan. Namun untuk saat ini makanan yang banyak dikonsumsi terkadang justru
membahayakan kesehatan yang mengonsumsinya hal ini disebabkan oleh berbagai zat aditif
buatan yang terkandung didalamnya. Zat aditif pada makanan adalah zat yang ditambahkan
dan dicampurkan dalam pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu, lebih menarik
dengan rasa yang enak, rupa dan konsentrasinya baik serta awet maka perlu ditambahkan
bahan makanan atau dikenal dengan nama lain “food additive”. Jenis¬-jenis zat aditif antara
lain pewarna, penyedap rasa, penambah aroma, pemanis, pengawet, pengemulsi dan pemutih.
Zat aditif pada makanan ada yang alami dan ada yang buatan (sintetik). Untuk zat aditif alami
tidak banyak menyebabkan efek samping sedangkan Semua bahan kimia jika digunakan atau
dikonsumsi secara berlebih pada umumnya bersifat racun bagi manusia. Mari kita bahas satu-
persatu zat-zat aditif yang biasa terdapat pada makanan: A. PEWARNA MAKANAN Perlu
diwaspadai ketika membeli makanan dengan pemberian warna yang sedemikian menarik
karena berbagi jenis makanan modern seperti kue, permen, minuman suplemen, makanan
ringan, eskrim dan makanan-makanan instan lainya cenderung mengandung bahan pewarna
tambahan (aditif) dengan kadar yang tinggi. Pewarna makanan ada yang alami dan ada pula
yang buatan, Pewarna alami adalah pigmen – pigmen yang diperoleh dari bahan nabati,
hewani, bakteri, dan alga. Pigmen tersebut antara lain: 1. Antosianin (oranye, merah, biru) 2.
Betasianin dan betanin (kuning dan merah) 3. Karotenid (kuning, merah, dan oranye) 4.
Klorofil (warna hijau sampai hijau kotor) 5. Flavoid (kuning) 6. Tanin (kuning) 7. Betalain
(kuning dan merah) 8. Kuinon (kuning sampai hitam) 9. Xantin (kuning) 10. Pigmen heme
(merah dan cokalt) Beberapa faktor mengapa orang-orang menggunakan pewarna pada
makanan diantaranya: 1. mengimbangi pemudaran warna karena paparan cahaya, udara,
perubahan suhu dan kelembabpan 2. memperbaiki variasi warna 3. menguatkan warna yang
terjadi secara alami 4. mewarnai bahan makanan yang tak berwarna 5. membuat makanan
lebih menarik sehingga mengundang selera Pada bulan November 2007, sebuah hasil
penelitian yang diterbitkan di jurnal medis terkemuka Lancet mengungkapkan bahwa
beberapa zat pewarna makanan meningkatkan tingkat hiperaktivitas anak-anak usia 3-9
tahun, Hiperaktivitas adalah suatu keadaan dimana anak memiliki kesulitan untuk mengontrol
perilaku dan memusatkan perhatian sehingga timbul aktivitas yang berlebih dan tak
terkendali. Beberapa jenis pewarna buatan yang terkenal dan beberapa efek samping yang
ditimbulkannya : 1. Tartrazine (E102 atau Yellow 5) Tartrazine adalah pewarna kuning yang
banyak digunakan dalam makanan dan obat-obatan. Yang berakibat meningkatkan
hiperaktivitas anak, pada sekitar 1- 10 dari sepuluh ribu orang dan menimbulkan efek
samping langsung seperti urtikaria (ruam kulit), rinitis (hidung meler), asma, purpura (kulit
lebam) dan anafilaksis sistemik (shock). Zat ini akan lebih berbahaya lagi pada penderita
asma atau orang yang sensitif terhadap aspirin. 2. Sunset Yellow (E110, Orange Yellow S
atau Yellow 6) Sunset Yellow dapat ditemukan dalam makanan seperti jus jeruk, es krim,
ikan kalengan, keju, jeli, minuman soda dan banyak obat-obatan. Untuk sekelompok kecil
individu, konsumsi pewarna aditif ini dapat menimbulkan urtikaria, rinitis, alergi,
hiperaktivitas, sakit perut, mual, dan muntah. zat ini telah dihubungkan dengan peningkatan
kejadian tumor pada hewan dan kerusakan kromosom, namun Kajian Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) tidak menemukan bukti insiden tumor meningkat baik dalam jangka pendek
dan jangka panjang karena konsumsi Sunset Yellow. 3. Ponceau 4R (E124 atau SX Purple)
Ponceau 4R adalah pewarna merah hati yang digunakan dalam berbagai produk seperti: selai,
kue, agar-agar dan minuman ringan. Zat tersebut berpotensi memicu hiperaktivitas pada anak,
dan dianggap karsinogenik (penyebab kanker) di beberapa negara. 4. Allura Red (E129)
Allura Red adalah pewarna sinetis merah jingga yang banyak digunakan pada permen dan
minuman. Allura Red sudah dilarang di banyak negara. Sebuah studi menunjukkan bahwa
reaksi hipersensitivitas terjadi pada 15% orang yang mengkonsumsi Allura Red. dalam studi
itu, 52% telah menderita gatal-gatal atau ruam kulit. 5. Quinoline Yellow (E104) Pewarna
makanan kuning ini digunakan dalam produk seperti es krim dan minuman energi. Zat ini
sudah dilarang di banyak negara karena meningkatkan risiko hiperaktivitas dan serangan
asma. Beberapa pewarna alami adalah sebagai berikut : a. Klorofil Klorofil adalah zat warna
alami hijau yang umumnya terdapat pada daun.. Terdapat dua jenis klorofil yang telah
berhasil diisolasi yaitu klorofil a dan klorofil b. keduanya terdapat pada tanaman dengan
perbandingan 3:1. Klorofil a termasuk dalam pigmen yang disebut porfirin; hemoglobin juga
termasuk di dalamnya.Klorofil a mengandung atom Mg yang diikat dengan N dari dua cincin
pirol dengan ikatan kovalen serta oleh dua atom N dari dua cincin pirol lainmelalui ikatan
koordinat; yaitu N dari pirol yang menyumbangkan pasangan elektronnya pada Mg (pada
gambar dinyatakan dengan garis putus-putus). b. Mioglobin dan Hemoglobin Mioglobin dan
hemoglobin ialah zat warna merah pada daging yang tersusun oleh protein globin dan heme
yang mempunyai inti berupa zat besi. Heme merupakan senyawa yang terdiri dari dua bagian
yaitu atom zat besi dan suatu cincin plana yang besar yaitu porfirin. Porfirin tersusun oleh
empat cincin pirol yang dihubungkan satu dengan lainnya dengan jembtan meten. Heme juga
disebut feroprotoporfirin. Baik hemoglobin maupun mioglobin memiliki fungsi yang serupa
yaitu berfungsi dalam transfor oksigen untuk keperluan metabolisme. c. Karotenoid
Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, oranye, merah oranye yang
terlarut dalam lipida (minyak), berasal dari hewan maupun tanaman, misalnya fukoxanthin
yang terdapat didalam lumut, lutein, violaxanthin, dan neoxanthin terdapat pada dedaunan,
likopen pada tomat, kapsanthin pada cabe merah, biksin pada annatto, caroten pada wortel,
dan astazanthin pada lobster. B. PENGAWET MAKANAN Pengawet adalah bahan yang
dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau penguraian lain terhadap
makanan yang disebabkan mikroorganisme. Zat pengawet dimaksudkan untuk
memperlambat oksidasi yang dapat merusak makanan. Ada dua jenis pengawet makanan
yaitu alami dan sintetik (buatan). . Pengawet yang paling aman adalah bahan-bahan alam,
misalnya asam cuka (untuk acar), gula (untuk manisan), dan garam (untuk asinan ikan/telur).
Selain itu beberapa bahan alam misalnya saja penambahan air jeruk atau air garam yang
dapat digunakan untuk menghambat terjadinya proses reaksi waktu coklat (browing reaction)
pada buah apel. Maksud dan tujuan dari pada penggunaan bahan pengawet makanan adalah
untuk memelihara kesegaran dan mencegah kerusakan makanan atau bahan makanan.
Beberapa pengawet yang termasuk antioksidan berfungsi mencegah makanan menjadi tengik
yang disebabkan oleh perubahan kimiawi dalam makanan tersebut. Fungsi pengawet adalah:
• mencegah proses peluruhan yang terjadi sesuai dengan pertambahan waktu • menjaga
kualitas yang memadai • sebagai penambah daya tarik makanan Tiga macam zat pengawet: 1.
GRAS (General Recognized as Safe) bersifat alami, aman, dan tidak menimbulkan efek
racun. 2. ADI (Accpeptable Daily Intake) ditetapkan batas penggunaanya untuk melindungi
konsumen 3. Zat yang tidak layak untuk dikonsumsi contoh: boraks, formalin, dan rhodamin
– b. Bahan pengawet buatan yang tidak diperbolehkan adalah formalin dan boraks. 1.
Formalin (Formaldehyde solution) Merupakan suatu larutan yang tidak berwarna, berbau
tajam yang mengandung lebih kurang 37 % formaldehit dalam air, biasanya ditambahkan
mineral 10-15 % sebagai pengawet, Penggunaan formalin seharusnya untuk Pembunuh
kuman, sehingga dimanfaatkan untuk pembersih lantai, kapal, gudang dan pakaian;
Pembasmi lalat dan berbagai serangga, bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna,
cermin kaca dan bahan peledak; Dalam dunia fotografi biasanya digunakan untuk pengeras
lapisan gelatin dan kertas; Bahan untuk pembuatan produk parfum; Bahan pengawet produk
kosmetika dan pengeras kuku; Bahan untuk insulasi busa; Pencegah korosi untuk sumur
minyak dan Bahan perekat untuk produk kayu lapis (plywood). Namun sungguh mengerikan
karena saat ini marak digunakan formalin sebagai sering digunakan untuk mengawetkan tahu
dan mie basah sehingga dapat menyebabkan kanker paru-paru, gangguan pada jantung,
gangguan pada alat pencernaan, gangguan pada ginjal dll. Bahaya formalin pada kesehatan:
Dalam jangka pendek (akut), bila tertelan formalin maka mulut, tenggorokan dan perut terasa
terbakar, sakit menekan, mual, muntah dan diare, dapat terjadi pendarahan, sakit perut hebat,
sakit kepala, hipotensi, (tekanan darah rendah), kejang, tidak sadar hingga koma. Disamping
itu formalin juga menyebabkan kerusakan jantung, hati, otak, limpa, pankreas, sistem saraf
pusat dan ginjal. Jangka panjang (kronik), mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung
formalin, efek sampingnya tampak setelah jangka panjang, karena terjadi akumulasi formalin
dalam tubuh. Timbul iritasi pada saluran pernafasan, muntah, sakit kepala, rasa terbakar pada
tenggorokan, dan rasa gatal di dada. Pada hewan percobaan dapat menyebabkan kanker
sedangkan pada manusia diduga bersifat karsinogen (menyebabkan kanker). Tanda dan gejala
keracunan formalin: Menyebabkan rasa terbakar pada mulut, saluran pernafasan dn perut,
sulit menelan, diare, sakit perut, hipertensi, kejang dan koma. Kerusakan hati, jantung, otak,
limpa, pankreas, sistem susunan saraf pusat dan gangguan ginjal. Berdasarkan temuan
patologis, formaldehid merusak jaringan dan menyusutkan selaput lendir, juga merusak hati,
ginjal, jantung dan otak. Pertolongan pertama pada keracunan formalin Bila tertelan, berikan
arang aktif (norit) bila tersedia. Jangan lakukan rangsangan muntah pada korban karena akan
menimbulkan risiko trauma korosif pada saluran cerna atas. Bila gejala masih berlanjut bawa
penderita ke Puskesmas/Rumah Sakit terdekat. Ciri-ciri produk pangan yang mengandung
formalin a. Ciri-ciri ikan asin yang mengandung formalin: 1) Tidak rusak sampai lebih dari
sebulan pada suhu kamar (25 derajad celcius), 2) Warna bersih dan cerah, 3) Tidak berbau
khas ikan asin dan tidak mudah hancur, 4) Tidak dihinggapi oleh lalat bila ditaruh ditempat
terbuka. b. Ciri-ciri tahu yang mengandung formalin: 1) Tekstur lebih kenyal 2) Tidak mudah
hancur 3) Lebih awet dan tidak mudah busuk 4) Beraroma menyengat karena ada formalin. c.
Ciri-ciri mie basah yang mengandung formalin: 1) Tampak sangat berminyak 2) Lebih awet
dan tidak mudah basi 3) Beraroma menyengat karena ada formalin. d. Ciri-ciri ikan basah
yang mengandung formalin: 1) Warna putih bersih dan tekstur kenyal 2) Insang berwarna
merah tua bukan merah segar 3) Lebih awet dan tidak mudah busuk. e. Ciri-ciri ayam yang
mengandung formalin: 1) Warna putih bersih 2) Lebih awet dan tidak mudah busuk. 2.
Boraks Penggunaan boraks atau pijer atau kie dapat merupakan garam Natrium Na2 B4O7
10H2O yang banyak digunakan dalam berbagai industri nonpangan khususnya industry
kertas, gelas, pengawet kayu, dan keramik. Gelas pyrex yang terkenal dibuat dengan
campuran boraks. Boraks sejak lama telah digunakan masyarakat untuk pembuatan gendar
nasi, kerupuk gendar, atau kerupuk puli yang secara tradisional di Jawa disebut “Karak” atau
“Lempeng”. Disamping itu boraks digunakan untuk industri makanan seperti dalam
pembuatan mie basah, lontong, ketupat, bakso bahkan dalam pembuatan kecap. Bakso yang
menggunakan boraks memiliki kekenyalan khas yang berbeda dari kekenyalan bakso yang
menggunakan banyak daging disukai dan tahan lama sedang kerupuk yang mengandung
boraks kalau digoreng akan mengembang dan empuk, teksturnya bagus dan renyah.
Mengkonsumsi boraks dalam makanan tidak secara langsung berakibat buruk, namun
sifatnya terakumulasi (tertimbun) sedikit-demi sedikit dalam organ hati, otak dan testis.
Boraks tidak hanya diserap melalui pencernaan namun juga dapat diserap melalui kulit.
Boraks yang terserap dalam tubuh dalam jumlah kecil akan dikelurkan melalui air kemih dan
tinja, serta sangat sedikit melalui keringat. Boraks bukan hanya menganggu enzim-enzim
metabolisme tetapi juga menganggu alat reproduksi pria. Boraks yang dikonsumsi cukup
tinggi dapat menyebabkan gejala pusing, muntah, mencret, kejang perut, kerusakan ginjal,
hilang nafsu makan, gangguan pada kulit, gangguan pada otak, gangguan pada hati, lemak,
dan ginjal. Dalam jumlah banyak, boraks menyebabkan demam, anuria (tidak terbentuknya
urin), koma, merangsang sistem saraf pusat, menimbulkan depresi, apatis, sianosis, tekanan
darah turun, kerusakan ginjal, pingsan, bahkan kematian. Dengan gejala sebagai berikut: a.
Tanda dan gejala akut - Muntah - diare - merah dilendir - konvulsi dan depresi SSP(Susunan
Syaraf Pusat) b. Tanda dan gejala kronis - Nafsu makan menurun - Gangguan pencernaan -
Gangguan SSP : bingung dan bodoh - Anemia, rambut rontok dan kanker Bahan pengawet
yang aman dipakai, namun bahaya jika terlalu berlebih: a. Kalisum benzoate Pengawet ini
bisa menghambat pertumbuhan bakteri penghasil racun, bakteri spora, dan bkateri bukan
pembusuk, Bahan ini menimbulkan kesan aroma fenol, Bahan pengawet ini digunakan untuk
mengawetkan minuman ringan, minuman anggur, saus sari buah, siro, dan ikan asin. Dampak
negatif dari bahan ini adalah menimbulkan asma bagi penderitannya. b. Sulfur dioksida (so2)
Digunakan pada sari buah, buah kering, sirop, dan acar. Bahan ini berisiko menyebabkan
perlukaan lambung, mempercepat serangan asma, mutasi genetik, kanker, dan alergi. c.
Kalium nitrit Bahan ini berwarna putih dan kuning, yang digunakan untuk menghambat
pertumbuhan bakteri pada daging dan ikan dalam waktu singkat. Efek samping dari bahan ini
adalah kesulitan bernafas, sakit kepala, anemia, radang ginjal, dan muntah–muntah. d.
Kalsium propionat/natrium propionat Keduannya termasuk golongan asam propionat, yang
digunakan untuk mencegah jamur atau kapang. Bahan ini menyebabkan migren, kelelahan,
dan insomnia. e. Natrium metasulfat Digunakan pada produk roti dan tepung. Bahan ini
menyebakan alergi pada kulit. f. Asam sorbet Digunakan pada prduk jeruk, keju, salad buah,
dan produk minuman. Bahan ini bisa menyebabkan perlukaan kulit. Bahan–bahan pengawet
yang berbahaya antara lain: 1. Natamysin, yang digunakan pada produk daging dan keju,
yang menyebabakan mual, muntah, tidak nafsu makan, diare, dan perlukaan kulit. 2. Kalium
asetat, digunakan pada makanan yang asam dan bisa menyebabkan rusaknya ginjal. 3. Butil
hidroksi anisol (bha), biasanya terdapat pada daging babi dan sosis, minyak sayur, shortening,
keripik kentang, pizza, dan teh instan. C. PEMANIS MAKANAN Bahan pemanis buatan
adalah bahan tambahan makanan buatan yang ditambahkan pada makanan dan minuman
untuk menciptakan rasa manis. Suatu senyawa untuk dapat digunakan sebagai pemanis jika
larut dan stabil pada kisaran pH yang luas, stabil pada kisaran suhu yang luas, mempunyai
rasa manis dan tidak mempunyai side atau aftertaste dan murah, setidaknya tidak melebihi
harga gula (sukrosa). Senyawa yang mempunyai rasa manis strukturnya sangat beragam
tetapi mempunyai kemiripan sistem donor/akseptor proton (sistem AH/B) yang cocok dengan
sistem reseptor (AH/B) pada indera perasa manusia. Beberapa pemanis buatan yang sering
digunakan adalah: 1. Sakarin Tingkat kemanisan sakarin adalah 300 kali lebih manis daripada
gula. Karena tidak mempunyai nilai kalori, sakarin sangat populer digunakan sebagai
pemanis makanan diet. 2. Siklamat Tingkat kemanisannya 30 kali lebih manis daripada gula
dan tidak memberikan after taste. Siklamat dilarang penggunaannya karena produk
degradasinya yaitu sikloheksil amina bersifat karsinogenik. Hidrolisis tersebut terjadi akibat
kegiatan ezim yang dihasilkan pada sistem pencernaan monogastrik. 3. Aspartam Aspartam
atau metil ester dari L-aspartil-L-fenilalanin merupakan pemanis yang mempunyai nilai
kalori karena aspartam merupakan suatu dipeptida dengan kadar kemanisan yang tinggi (200
kali sukrosa). Karena merupakan dipeptida, Asapartam mudah terhidrolisis, mudah
mengalami reaksi kimia yang biasa terjadi pada komponen pangan lainnya dan mungkin
terdegradasi oleh mikroba. Hal tersebut tentunya merupakan limitasi penggunaan aspartam
pada produk-produk pangan berkadar air tinggi. Jika mengalami hidrolisis aspartam akan
kehilangan rasa manisnya. Di dalam makanan aspartam dapat mengalami kondensasi
intramolukuler menghasilkan diketo piperazin. Biasanya digunakan untuk es cream 4.
Asesulfam K. Asesulfam K adalah senyawa 6-metil-1,2,3-oksatizin-4(3H)-on-2,2-dioksida
atau merupakan asam asetoasetat dan asam sulfamat. Tingkat kemanisan asesulfam adalah
200 kali lebih manis daripada sukrosa. Pengujian laboratorium telah membuktikan bahwa
sesulfam K tidak berbahaya bagi manusia dan stabilitasnya selama pengolahan sangat baik.
Sedangkan zat pemanis alami dibedakan menjadi: 1. Pemanis nutrifi Pemanis alami yang
menghasilkan kalori. Berasal dari tumbuhan, hewan, dan hasil pengurain karbohidrat.
Pemanis ini bisa mengakibatkan obesitas. 2. Pemanis nonnutriffi Pemanis alami yang tidak
menghasilkan kalori. Berasal dari tumbuhan dan dari kelompok protein D. PENYEDAP
RASA PADA MAKANAN Kalau kita ingin melihat pencemaran makanan karena zat kimia,
yang paling nyata adalah pada jajanan anak-anak. Jajanan anak-anak seringkali dan pada
umumnya mengandung penyedap rasa vetsin atau MSG (monosodium glutamate) dengan
takaran yang tinggi tak terkendali! Penyedap rasa merupakan setiap substansi yang
menambah cita rasa atau bau dan dibuat dengan proses sintesis atau buatan yang serupa bila
ditambahkan dalam bahan pangan. Setiap penyedap yang dari alam tidaklah dianggap sebagai
penyedap buatan (Desproiser, 1988). Setiap penyedap rasa yang ditambahkan kedalam bahan
makanan harus di tampilkan dalam etiket atau label, tanpa melihat jumlahnya dengan cukup
menuliskan artificial flavoring. Beberapa jenis penyedap rasa buatan yang sering
ditambahkan adalah kalsium siklo heksil, kalsium sakarin, sakarin, natrium sikloheksil
sulfamat, natrium sakarin. Zat ini dibedakan menjadi zat penyedap aroma dan penyedap rasa.
Zat penyedap aroma buatan terdiri dari senyawa golongan ester, antara lain oktil asetat, iso
amil asetat, dan iso amil valerat. Zat penyedap rasa terdiri dari monosodium gulmate. MSG
berlebihan bisa menyebabkan “restoran cina”. Bahaya Penyedap Rasa Buatan ( MSG ) Bagi
Kesehatan SHIMIZHU dkk, yang mengadakan penelitian pada tahun 1971 melaporkan
bahwa MSG yang diberikan kepada anak ayam yang dicampurkan pada air minumannya
menyebabkan matinya anak ayam tersebut disebabkan ginjalnya rusak. GREENBERG dkk.
(1973) melaporkan hahwa Tikus kecil yang diberi pakan MSG ketahuan sel-sel darah
putihnya berubah berupa sel-sel kanker. SNAPIR dkk. (1973 ) melaporkan bahwa anak ayam
sudah diberi MSG, jumlah sel otaknya berkurang 24% dibanding dengan anak ayam yang
normal tanpa diberi MSG. Institut Penelitian Dan Pencegahan. Untuk kesehatan Nasional
dari Kementrian Kesehatan Jepang sudah mengadakan percobaan dengan jalan memberi
larutan MSG 2% terhadap beberapa anak ayam. Ketahuan hahwa anak Ayam tersebut
semuanya mati. Sedang yang dilaporkan oleh Baptist (1974) yaitu : ” MSG di Singapura
menyebabkan penyakit radang hati dan menurunkan tingkat kecerdasan (IQ) bagi anak-anak
sekolah. Penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Dr. Iwan T. Budiarso yang hasilnya
yaitu : anak Ayam dan Anak Bebek yang diberi MSG itu mati. Sedangkan anak Ayam yang
sudah agak besar seperti yang dibius, jalannya tidak normal, dan rupa-rupa gejala lainnya.
Masih banyak penilitian-penelitan yang membuktikan bahwa MSG itu positif menimbulkan
kelainan terhadap hewan-hewan yang dibuat percobaan. Sedangkan penelitian yang
mengatakan MSG itu tidak menyebabkan mengganggu kesehatan, datangnya dari catatan
ilmiah Dr. Achmad Ramli. Kctua Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara Dep. Kes. R.I.
juga dari Lembaga Farmasi Nasional Kesehatan R.I. dan Kepala Balai Penelitian Kimia P.N.
NUPIKAYASA menyatakan bahwa MSG tidak menimbulkan hahaya terhadap kesehatan
kalau dalam pemakaiannya sewajarnya. Tapi ini penelitian pada tahun 1962 sedangkan
penelitian yang menemukan adanya pengaruh itu pada tahun 1969 . Oleh sebab itu tentu
penelititahun 1962 perlu ditanya akan bonafiditasnya. WHO pun tidak tinggal diam, hasil
penelitian yang berupa rekomendasi yang disampaikan pada sidang CODEX
ALIMENTARY COMMISSION (CAC) tahun 1970 menyebutkan hahwa MSG berupa
makanan sehari-hari, bisa dipakai paling banyak 6 mg/kg berat badan manusia dewasa. Jadi
kalau berat hadannya 50kg, seharinya tidak boleh lebih dari 2 gram. Di Amerika, dan di
Singapura ada peraturan yang menyebutkan tidak boleh ditambahkan terhadap makanan bayi
dan terhadap makanan yang sudah jadi (instant). Makanan harus memakai takaran yang
sudah ditentukan dan menyampurkannya pun harus dibatasi.

Home » Farmasi » Kimia » 39 Bahaya Boraks Pada Makanan Bagi Kesehatan Mcanusia
39 Bahaya Boraks Pada Makanan Bagi Kesehatan Manusia
ads

Natrium borat atau lebih sering dikenal borak merupakan salah satu senyawa yang mudah
larut dalam air. Borak pertama kali ditemukan di Tibet, dan mulai umum digunakan diakhir
abad ke-19.

Borak adalah zat kimia yang digunakan


sebagai bahan pengawet. Ia berfungi untuk membunuh kuman. Borak biasanya dipakai untuk
membuat campuran deterjen, salep kulit, pengawet kayu.

Borak memiliki kandungan zat beracun yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Borak
yang telah dikonsumsi manusia, makan substansi zat berbahaya akan terserap oleh usus untuk
kemudian menumpuk di dalam hati, ginjal, serta testis. Dan akhirnya kadar toksin yang
terkumpul di dalam tubuh akan semakin tinggi.

Boraks merupakan bahan beracun bagi manusia, ia bisa diserap oleh tubuh dan disimpan
secara kumulatif dalam hati, otak, usus, atau testis yang berdampak dosisnya dalam tubuh
semakin lama semakin tinggi. Bila konsumsi secara terus menerus dapat menyebabkan
kanker.

Boraks memiliki efek racun berbahaya yang dapat mengganggu sistem metabolisme dalam
tubuh. Namun, bahan ini memiliki tingkat efek keracunan yang berbeda. Yang pasti adalah
bahaya boraks pada makanan bagi kesehatan sangat mematikan.

Bahaya Boraks Pada Makanan Dalam Batas Normal


Mengkonsumsi boraks pada batas normal / dibawah batas normal bisa mengakibatkan efek
toksinitas yang masih dapat di toleransi, seperti :

1. Menurunnya nafsu makan. Mengkonsumsi zat ini walaupun hanya sedikit, dapat berakibat
hilangnya nafsu makan kita, walaupun terasa lapar.
2. Gangguan sistem pencernakan, seperti mual, muntah
3. Gangguan pernafasan
4. Gangguan pada sistem saraf pusat, seperti mudah bingung, kerontokan pada rambut,
anemia (tekanan darah rendah)
Bahaya Boraks Pada Dosis Tinggi

Mengkonsumsi boraks pada dosis yang melewati batas normal, dapat berakibat fatal seperti :

1. Mual
2. Muntah-muntah
3. Diare
4. Sesak nafas
5. Mengalami epigastrik, yakni nyeri atau kram pada perut bagian atas
6. Badan terasa lemah
7. Mengalami perdarahan
8. Sakit kepala
9. Rusaknya ginjal
10. Kanker
11. Kematian akibat borak pada orang dewasa terjadi dalam dosis 15 – 25 gr, sedang pada anak-
anak konsumsi borak dengan dosis 5 – 6 gr juga dapat berakibat kematian.

Karena borak sangat berbahaya, ada baiknya dilakukan penggantian terhadap bahan yang satu
ini. Bahan alami yang dapat digunakan sebagai pengganti boraks anatar lain adalah air abu,
yaitu air yang didapat dari hasil pembakaran merang atau daun pisang yang telah kering yang
direndam selama 2 hingga 3 hari. Aau bisa juga dengan menggunakan air kapur sirih.

Penggunaan Borak (diluar makanan)

Bahan ini biasanya digunakan sebagai campuran deterjen, kosmetik, dan beberapa industri
lainnya. Pemerintah telah menetapkan batas aman penggunaan zat ini pada makanan adalah
1gr / 1 kg bahan pangan. Akan tetapi sekarang ini banyak sekali pihak-pihak yang tak
bertanggung jawab yang hanya memikirkan keuntungan semata, melanggar batas aman
tersebut.

Boraks Dilarang Untuk Makanan

Borak sendiri termasuk zat yang tidak aman untuk dikonsumsi, untuk itu pemerintah
melarang mengkonsumsi zat ini. Biasanya borak sering digunakan sebagai bahan campuran
pada pembuatan lontong, kerupuk, mie basah, ketupat, bakso, dan beberapa jenis makanan
lainnya.

Bahaya Borak Bagi Kesehatan Lainnya

Mengkonsumsi makanan yang mengandung borak dapat menyebabkan berbagai masalah


kesehatan seperti :

1. gangguan otak,
2. hati,
3. ginjal.
4. Boraks juga dapat menyebabkan demam,
5. anuria (tidak terbentuknya urin),
6. koma,
7. merangsang sistem saraf pusat,
8. depresi,
9. apatis, Kurangnya gairah dalam otaknya seperti kurang emosi dan cenderung “datar”
10. sianosis, warna kulit pucat dan kebiruan.
11. menurunnya tekanan darah,
12. kerusakan ginjal,
13. pingsan,
14. hingga kematian.

Ciri-ciri borak :

1. Berbentuk kristal putih


2. Tidak berbau
3. Tidak larut dalam alkohol
4. Asam

Jenis Makanan Biasanya di Campur Boraks

Ada beberapa jenis makanan yang biasanya menambahkan campuran borak sebagai bahan
pembuatannya, diantaranya :

 Mie basah, ciri-ciri mie basah yang menggunakan campuran bahan borak adalah ia tidak
lengket, tekstur kenyal, dan tidak mudah putus. Untuk itu, hati-hati bahaya mie instan cukup
mematikan.
 Bakso, jika kita menemukan bakso dengan tekstur yang kenyal, warnanya tidak sesuai
dengan warna asli daging aslinya tetapi cenderung berwarna cerah keputih-putihan, itu
menandakan bahwa makanan tersebut menggunaka borak sebagai bahan pembuatannya.
 Ikan dan ayam potong, ikan yang sudah diawetkan dengan borak biasanya berwarna putih,
insang berwarna merah tua, tidak mudah busuk
 Tahu, tahu yang memakai bahan pengawet borak biasanya akan tahan lama jika disimpan
dalam lemari es sekitar 3 hingga 15 hari, serta tidak mudah hancur. Tidak heran beberapa
tahu yang digoreng menjadi lebih mematikan, padahal bahaya gorengan tahu sendiri sudah
cukup banyak, bagaimanan jika ditambah boraks? MATI.
 Kerupuk, ciri-ciri jika makanan ini mengandung barak adalah teksturnya renyah dan rasanya
getir.
 Lontong, ciri-ciri lontong berborak adalah teksturnya kenyal, rasa getir, rasanya tajam.

Pemakaian borak untuk campuran bahan makanan merupakan tindakan yang melanggar
undang-undang perlindungan konsumen. Jadi, untuk para produsen makanan sebaiknya lebih
bijak dalam memilih bahan olahan makanan yang akan dijual, agar hal tersbut tidak
menimbulkan kerugian dari kedua belah pihak, pihak konsumen maupun pihak produsen
sendiri. Dan untuk para konsumen, sebaiknya lebih teliti dalam memilih jajanan yang dibeli.
Memang sekilas terlihat sama, untuk itu ketelitian harus diutamakan. Waspadalah
Beban Obat nefrotoksik Resep pada pasien dengan Penyakit Ginjal kronis
: Dengan populasi umum di Italia Selatan

Latar Belakang

Penggunaan obat-obatan nefrotoksik dapat lebih memperburuk fungsi ginjal pada pasien penyakit
ginjal kronis(CKD) . Oleh karena itu penting untuk mengeksplorasi praktek resep yang negatif yang
dapat mempengaruhi pasien CKD.

Tujuan

Untuk menganalisis penggunaan obat-obatan nefrotoksik pada pasien CKD pada populasi umum
penduduk Italia selama tahun 2006-2011.

metode

Praktek umum "Arianna" database berisi data dari 158.510 orang, terdaftar 123

dokter umum (dokter) dari Caserta. pasien CKD diidentifikasi pencarian: CKD terkait

ICD-9 CM kode antara penyebab rawat inap; prosedur CKD-relevan mengalami di

rumah sakit (misalnya dialisis); resep obat dikeluarkan untuk indikasi terkait CKD.

Daftar obat nefrotoksik disusun dan disahkan oleh farmasi dan nephrologists.

Ringkasan dari karakteristik produk yang digunakan untuk mengklasifikasikan obat sebagai
'kontraindikasi' atau 'yang akan digunakan dengan hati-hati 'pada penyakit ginjal.

Frekuensi penggunaan obat nefrotoksik, secara keseluruhan, dengan kelas obat dan senyawa
tunggal, oleh dokter dalam waktu sebelum satu tahun atau setelah diagnosis CKD pertama dan
dalam waktu satu tahun setelah masuk dialisis dihitung.

kesimpulan

obat nefrotoksik yang memiliki kontraindikasi pada pasien CKD dari umum populasi umum Italia
Selatan. Di diagnosis tampaknya tidak mengurangi secara signifikan resep obat nefrotoksik, yang
dapat meningkatkan risiko fungsi kerusakan ginjal.

pengantar

Penyakit ginjal kronis (CKD) adalah gangguan progresif dan banyak terjadi di seluruh dunia. Dalam
dekade terakhir, prevalensi CKD meningkat dua kali lipat pada populasi umum. tingkat prevalensi
CKD moderat (eGFR <60 ml / menit per 1,73 m2) Dilaporkan berkisar dari 0,2% di 20-39 tahun- ke
24,9% di> 70 tahun di studi berbasis populasi dari Amerika [2], dan juga dari Italia .

Tahap akhir penyakit ginjal (ESRD) yang memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal adalah sering
hasil pada pasien dengan CKD stadium 3 dan 4 . Selama dekade terakhir, jumlah CKD pasien yang
memerlukan dialisis telah meningkat setiap tahun oleh 6,1% di Kanada , 11% di Jepang dan 9% di
Australia . CKD dapat berkembang ke arah ESRD yang menghasilkan penurunan yang signifikan dari
pasien dan kerabat kualitas hidup karena meningkatnya morbiditas dan kecacatan, selain
meningkatkan biaya kesehatan .Observasi ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk strategi
untuk mencegah penyakit ginjal . Memburuknya fungsi ginjal sering akibat penggunaan (terutama
panjang penggunaan jangka pada dosis tinggi) obat nefrotoksik seperti obat anti-inflammatory drugs
(NSAID) . obat nefrotoksik harus dihindari atau digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan
CKD. Sebagian besar obat dikenal nefrotoksik mengerahkan efek toksik melalui berbagai mekanisme
patogenik, seperti hemodinamik intraglomerular diubah, toksisitas sel tubular, peradangan,
nefropati kristal, rhabdomyolysis, dan microangiopathy trombotik .

Tidak ada studi berbasis populasi di Italia meneliti penggunaan obat nefrotoksik pada pasien CKD
sejauh ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengatasi kesenjangan penelitian ini dengan
mengeksplorasi penggunaan obat nefrotoksik di pasien dengan CKD pada populasi umum Italia
Selatan pada tahun-tahun 2006-2011.

metode

Sumber data

Data yang diambil dari database Arianna dari tahun 2005-2011. Database ini didirikan oleh Dinas
Kesehatan setempat Caserta di Italia selatan pada tahun 2000 dan saat ini berisi informasi tentang
populasi hampir 400.000 penduduk yang terdaftar dalam daftar hampir 300 dokter umum (dokter).
Berpartisipasi dokter record data selama praktek klinis mereka sehari-hari menggunakan perangkat
lunak khusus dan mengirim data klinis yang lengkap dan anonim pasien mereka ke database Arianna
secara bulanan. database Arianna dapat dihubungkan dengan debit rumah sakit registry melalui
pengenal pasien yang unik dan anonim. Kualitas dan kelengkapan data keluar dari rentang
didefinisikan diselidiki dan diserahkan ke masing-masing GP berpartisipasi untuk menerima umpan
balik segera. Dokter gagal untuk memenuhi kriteria standar mutu tersebut dikeluarkan dari survei
epidemiologi sesuai dengan standar dasar dalam konduksi investigasi pharmacoepidemiological.

Dari semua dokter di Caserta, 123 dokter meliputi populasi 158.510 jiwa memenuhi kriteria standar
kualitas ini untuk periode mempertimbangkan. Informasi yang dikumpulkan termasuk demografi
pasien, resep untuk obat (kode menurut sistem klasifikasi Anatomical Therapeutic Chemical (ATC))
diganti oleh National Kesehatan Sistem dan indikasi mereka untuk digunakan, dan rumah sakit
penerimaan dan prosedur (kode oleh edisi kesembilan dari Klasifikasi Internasional Penyakit,
Modifikasi Klinis (ICD-9 CM)).

Sejauh ini, database Arianna telah terbukti memberikan informasi yang akurat dan dapat diandalkan
untuk Penelitian pharmacoepidemiological, seperti yang didokumentasikan di tempat lain

Diskusi

Untuk pengetahuan kita, ini adalah studi pertama yang mengeksplorasi penggunaan obat
nefrotoksik pada pasien CKD di Italia. Studi kami menunjukkan bahwa, meskipun kontraindikasi, obat
nefrotoksik seperti (Kebanyakan NSAID) yang sangat diresepkan untuk pasien CKD dari populasi
umum di Italia. Diagnosis baru CKD tampaknya tidak mengurangi resep berpotensi berbahaya
obat nefrotoksik, karena jumlah peningkatan pasien terus menerima resep dari obat nefrotoksik
setelah diagnosis CKD. variabilitas yang cukup besar dalam penggunaan obat nefrotoksik antara 123
dokter diamati. Nimesulide ditemukan untuk menjadi yang paling sering diresepkan NSAID.

Secara umum, penggunaan obat-obatan kontraindikasi menghadapkan pasien CKD ke risiko tinggi
memburuknya fungsi ginjal. Pola resep obat nefrotoksik kontraindikasi tidak substansial diubah
setelah diagnosis CKD atau setelah masuk dialisis. Hal ini dapat dibenarkan karena fungsi ginjal
sebagian besar hilang pada saat dialisis diperlukan dan benar-benar digantikan oleh proses dialisis.
Namun, menghindari penggunaan obat-obatan nefrotoksik seperti NSAIDs, aminoglikosida dll tidak
hanya ukuran predialytic bertujuan untuk mencegah perkembangan penyakit ginjal, tetapi juga
harus menjadi post-dialisis diukur untuk melestarikan fungsi ginjal residual .

Sebuah studi kohort longitudinal Australia dengan 3.175 orang> 18 tahun dari populasi menunjukkan
tingginya penggunaan NSAID pada pasien dengan penyakit ginjal sebagai 31% dari pengguna ini obat
memiliki tahap 3 atau tahap CKD lebih tinggi, mirip dengan temuan penelitian kami. beberapa obat
nefrotoksik , termasuk NSAID, diketahui memberi efek nefrotoksik melalui vasokonstriksi ginjal
dan pengurangan klinis yang signifikan dalam laju filtrasi glomerulus (GFR) melalui penghambatan
prostaglandin ginjal, atau melalui mekanisme lain seperti yang terjadi pada nefritis
interstitial,membran glomerulonephropathy, tipe 4 ginjal tubular acidosis dan papiler ginjal akut dan
kronis nekrosis.

Long-acting NSAID atau mereka yang memiliki paruh> 12 jam harus dihindari untuk mencegah
penurunan GFR gigih dan klinis yang signifikan yang disebabkan oleh NSAID melalui penghambatan
prostaglandin vasodilator ginjal .
Alasan paling umum untuk memulai terapi dengan NSAID, dalam kelompok penelitian kami, adalah
terjadinya penyakit osteoarticular (terutama osteoarthrosis, arthralgia, rheumatoid arthritis) dengan
91,4% dari pengguna NSAID dalam terapi jangka panjang (≥ 6 bulan) memiliki indikasi ini. Nyeri,
sebuah keluhan umum pada penyakit osteoarticular , telah dilaporkan menjadi masalah umum di
stadium akhir penyakit ginjal (ESRD) pasien . Selain itu, terlalu sering menggunakan over-the-counter
NSAID sangat umum dalam kondisi rematik seperti osteoartritis , sehingga lebih
menyoroti pentingnya hasil kami pada pasien CKD dengan penyakit seperti yang sudah
menggunakan NSAID resep-satunya. pengobatan nyeri di CKD masih tetap menjadi isu utama untuk
dokter: sementara, secara umum, acetaminophen telah dianggap paling aman non-narkotika
analgesik pada pasien CKD mungkin nefrotoksik dengan penggunaan kronis pada dosis tinggi . Untuk
pengobatan nyeri sedang, penggunaan opioid-potensi rendah disarankan kecuali CKD sangat
canggih . Tramadol dapat juga digunakan karena tidak diketahui nefrotoksik.

Meskipun demikian, harus dicatat bahwa penghapusan sistemik yang berkurang dengan CKD
canggih, sehingga membutuhkan penyesuaian dosis pada pasien dengan penyakit ginjal. Opioid
tanpa potensi.

akumulasi seperti fentanil, buprenorfin dan hydromorphone dapat dianggap sebagai valid
pilihan dalam kasus sakit parah . Hasil kami juga menunjukkan bahwa dosis rendah asetilsalisilat
asam untuk pencegahan kardiovaskular secara luasdiresepkan pada pasien usia lanjut dengan CKD .
Menurut Ringkasan Produk

Karakteristik, dosis rendah asam asetilsalisilat merupakan kontraindikasi pada pasien dengan CKD
parah(GFR <30 ml / menit). Namun, bukti menunjukkan bahwa CKD awal meningkatkan risiko
kardiovaskular peristiwa dan kematian . Akibatnya, manfaat mutlak aspirin mungkin lebih besar
untuk CKD pasien dari risiko memburuknya fungsi ginjal. Di sisi lain, pasien CKD memiliki fungsi
trombosit normal, berpotensi meninggalkan mereka pada peningkatan risiko perdarahan saat
diobati dengan antikoagulan atau antiplatelet . Sebuah meta-analisis risiko kardiovaskular reduksi
dengan terapi aspirin menunjukkan bahwa aspirin mengurangi risiko kardiovaskular, baik di SD

dan pencegahan sekunder, tetapi efek perlindungan pada pasien dengan disfungsi ginjal adalah

tidak diketahui . Sebuah uji coba secara acak yang dikendalikan dari 18.597 pasien hipertensi
menyelidiki hubungan antara manfaat aspirin dan filtrasi glomerulus menemukan bahwa terapi
aspirin dicegah peristiwa signifikan lebih kardiovaskular dan kematian, dan semua penyebab
kematian di CKD pasien dibandingkan dengan mereka dengan fungsi ginjal yang normal . kejadian
kardiovaskular utama yang dikurangi dengan 9%, 15% dan 66% untuk pasien dengan ringan, sedang,
dan berat CKD masing-masing, meskipun risiko pendarahan besar atau kecil dalam subkelompok CKD
hampir 10 kali lebih tinggi daripada populasi umum. Manfaat keseluruhan dari aspirin tampaknya
lebih besar daripada risiko perdarahan.

. Akhirnya, temuan kami menunjukkan juga peningkatan yang substansial pada pasien CKD diobati
dengan aminoglikosida setelah masuk dialisis (5,4%), mungkin karena peningkatan infeksi berikut
penggunaan kateter vena sentral atau fistula arteriovenosa untuk hemodialisis ginjal.

Penelitian ini memiliki beberapa kekuatan serta keterbatasan. termasuk pasien CKD dialisis di
penelitian kami, tidak seperti penelitian serupa lainnya, yang memungkinkan kita untuk menyelidiki
resep obat nefrotoksik bahkan pada pasien ini.

Selain itu, metodologi yang digunakan di sini memiliki keuntungan dari sebuah studi basis data
administrasi: bebas dari bias seperti recall dan seleksi Bias. Namun, diagnosis dicatat oleh dokter
mungkin tidak akurat meskipun kami digunakan sangat spesifik

Kode untuk penyakit ginjal dan prosedur terkait. Kita tidak bisa mengecualikan kesalahan klasifikasi
yang mungkin dari cedera ginjal akut (AKI) sebagai penyakit ginjal kronis (CKD). Namun, untuk kasus
pemastian kami dianggap kode CKD hanya spesifik dan di hadapan kode kurang spesifik, kami
menganggap ini hanya Kode jika terdaftar beberapa kali untuk memastikan penyakit yang kronis.
Kita tidak bisa mengidentifikasi tanggal pasti terjadinya CKD seperti yang didefinisikan sebagai
tanggal pendaftaran pertama CKD terkait primer / sekunder debit rumah sakit diagnosis, prosedur
atau indikasi penggunaan obat resep.

Meskipun demikian, frekuensi penggunaan obat nefrotoksik setelah diagnosis CKD sangat
tinggi dan hanya sedikit lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelum diagnosis, sehingga
mengkonfirmasikan miskin kesadaran resep tentang kemungkinan efek merugikan dari obat ini pada
pasien CKD.
Beberapa obat secara khusus kontraindikasi pada pasien dengan penyakit ginjal berat (bersihan
kreatinin <30 ml / menit) saja. Kami tidak bisa mengidentifikasi tahap untuk sebagian besar pasien
CKD karena kurangnya laboratorium untukpendataan data (misalnya serum tes kreatinin, nilai GFR)
dan pendaftaran kode CKD panggung yang tidak ditentukan.

Untuk alasan ini tingkat kontraindikasi penggunaan narkoba nefrotoksik mungkin telah dibesar-
besarkan. Namun, CKD kode tahap-spesifik yang dilaporkan untuk 518 pasien (26,0%) CKD dan
dalam analisis sensitivitas dibatasi untuk tahap CKD IV dan pasien V, angka-angka serupa mengenai
penggunaan narkoba kontraindikasi yang diamati. Kami menggunakan data rawat jalan resep dan
kami tidak punya informasi tentang mengisi sebenarnya resep dan menggunakan obat. Namun,
penelitian ini adalah terutama ditujukan untuk mengeksplorasi pola peresepan obat nefrotoksik dan
tidak mungkin bahwa NSAID, umumnya diresepkan sebagai obat penghilang rasa sakit, yang pada
akhirnya tidak diambil oleh pasien.

Selanjutnya, ketertelusuran beberapa resep obat nefrotoksik tidak lengkap sebagai diberikan di
rumah sakit (mis obat onkologi, dan sebagian, aminoglikosida) atau digunakan sebagai OTC
obat-obatan (misalnya NSAIDs), sebagai akibatnya, penggunaan obat nefrotoksik bisa meremehkan.

DiSelain itu, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data rawat jalan yang dikumpulkan dari
praktek umum besar Italia Selatan. Karena itu kita tidak bisa mengecualikan bahwa temuan ini tidak
sepenuhnya digeneralisasikan untuk seluruh Italia populasi umum. Namun, metodologi yang
diterapkan dan Database Arianna telah terbukti memberikan informasi yang akurat dan dapat
diandalkan untuk Penelitian pharmacoepidemiological, seperti yang didokumentasikan di tempat
lain .

kesimpulan

Studi ini menunjukkan bahwa kontraindikasi obat nefrotoksik (kebanyakan OAINS) sering
diresepkan untuk pasien CKD dan diagnosis baru CKD tidak memodifikasi resep
pola. NSAID yang paling sering digunakan sebagai analgesik pada penyakit seperti osteoarthritis dan
artritis reumatoid. alternatif terapi seperti acetaminophen dan lemah opioid dapat
digunakan pada dosis terendah dan durasi terpendek pada pasien yang CKD tidak . dibutuhkan Lebih
Kesadaran tentang isu-isu keamanan menggunakan obat nefrotoksik di CKD. Intervensi
strategi untuk meningkatkan resep pola pada pasien CKD harus ditargetkan untuk dokter yang
meresepkan obat nefrotoksik lebih sering kontraindikasi.

References

1. 1. Snively CS, Gutierrez C (2004) Chronic kidney disease: prevention and treatment of

common complications. . Am Fam Physician. 70(10): p 1921–8.


2. 2. Coresh J, Byrd-Holt D, Astor BC, Briggs JP, Eggers PW, et al. (2005) Chronic kidney

disease awareness, prevalence, and trends among U.S. adults, 1999 to 2000. J Am Soc

Nephrol. 16(1): p 180–8.

3. 3. Cirillo M, Laurenzi M, Mancini M, Zanchetti A, Lombardi C, et al. (2006) Low

glomerular filtration in the population: prevalence, associated disorders, and awareness.

Kidney Int. 70(4): p 800–6.

4. 4. De Nicola L, Chiodini P, Zoccali C, Borrelli S, Cianciaruso B, et al. (2011) Prognosis

of CKD patients receiving outpatient nephrology care in Italy. . Clin J Am Soc Nephrol.

6(10): p 2421–8.

5. 5. Ottawa V (2001) Ontario (2001) Dialysis and renal transplantation, Canadian Organ
Replacement Register. Canadian Institute for Health Information.

6. 6. Usami T, Sato R, Yoshida A, Kimura G (2002) Regional variation in end-stage renal

disease. . Curr Opin Nephrol Hypertens. 11(3): p 343–6.

7. 7. Disney AP (1998) Some trends in chronic renal replacement therapy in Australia and

New Zealand, 1997. . Nephrol Dial Transplant. 13(4): p 854–9.

8. 8. Khan S, Amedia CA Jr (2008) Economic burden of chronic kidney disease. . J Eval

Clin Pract. 14(3): p 422–34.

9. 9. Obrador GT, García-García G, Villa AR, Rubilar X, Olvera N, et al. (2010) Prevalence
of chronic kidney disease in the Kidney Early Evaluation Program (KEEP) Mexico and

comparison with KEEP US. Kidney Int Suppl, (116): p S2–8.

10. 10. Delzell E, Shapiro S (1998) A review of epidemiologic studies of nonnarcotic

analgesics and chronic renal disease. . Medicine (Baltimore). 77(2): p 102–21.

11. 11. Kuo HW, Tsai SS, Tiao MM, Liu YC, Lee IM, et al. (2010) Analgesic use and the

risk for progression of chronic kidney disease. . Pharmacoepidemiol Drug Saf. 19(7): p

745–51.

12. 12. Pannu N, Nadim MK (2008) An overview of drug-induced acute kidney injury. . Crit

Care Med. 34(4 Suppl): p S216–23.

13. 13. Schetz M, Dasta J, Goldstein S, Golper T (2005) Drug-induced acute kidney injury. .

Curr Opin Crit Care. 11(6): p 555–65.

14. 14. Zager RA (1997) Pathogenetic mechanisms in nephrotoxic acute renal failure. .

Semin Nephrol. 17(1): p 3–14.

15. 15. Piacentini N, Trifiró G, Tari M, Moretti S, Arcoraci V, et al. (2005) Statin-macrolide

interaction risk: a population-based study throughout a general practice database. . Eur J

Clin Pharmacol. 61(8): p 615–20.

16. 16. Trifirò G, Corrao S, Alacqua M, Moretti S, Tari M, et al. (2006) Interaction risk with

proton pump inhibitors in general practice: significant disagreement between different

drug-related information sources. . Br J Clin Pharmacol. 62(5): p 582–90.


17. 17. Oteri A, Trifirò G, Gagliostro MS, Tari DU, Moretti S, et al. (2010) Prescribing

pattern of anti-epileptic drugs in an Italian setting of elderly outpatients: a population-

based study during 2004-07. . Br J Clin Pharmacol. 70(4): p 514–22.

18. 18. Alacqua M, Trifirò G, Spina E, Moretti S, Tari DU, et al. (2009) Newer and older

antiepileptic drug use in Southern Italy: a population-based study during the years 2003–

2005. . Epilepsy Res. 85(1): p 107–13.

19. 19. Alacqua M, Trifirò G, Cavagna L, Caporali R, Montecucco CM, et al. (2008)

Prescribing pattern of drugs in the treatment of osteoarthritis in Italian general practice:

the effect of rofecoxib withdrawal. . Arthritis Rheum. 59(4): p 568–74.

20. 20. Trifirò G, Alacqua M, Corrao S, Moretti S, Tari DU, et al. (2008) Lipid-lowering

drug use in Italian primary care: effects of reimbursement criteria revision. . Eur J Clin

Pharmacol. 64(6): p 619–25.

21. 21. Trifirò G, Savica R, Morgante L, Vanacore N, Tari M, et al. (2008) Prescribing

pattern of anti-Parkinson drugs in Southern Italy: cross-sectional analysis in the years

2003–2005. . Parkinsonism Relat Disord. 14(5): p 420–5.

22. 22. Snijders TAB, Bosker RJ (2012) Multilevel analysis. An introduction to basic and

advanced multilevel modeling (2nd edition). London, Sage Publications.

23. 23. De Berardis G, Pellegrini F, Franciosi M, Belfiglio M, Di Nardo B, et al. (2004)


Quality of care and outcomes in type 2 diabetic patients: a comparison between general

practice and diabetes clinics. . Diabetes Care. 27(2): p 398–406.

24. 24. Radulescu D, Ferechide D (2009) The importance of residual renal function in

chronic dialysed patients. . J Med Life. 2(2): p 199–206.

25. 25. Adams RJ, Appleton SL, Gill TK, Taylor AW, Wilson DH, et al. (2011) Cause for

concern in the use of non-steroidal anti-inflammatory medications in the community—a

population-based study. . BMC Fam Pract. 12: p 70.

26. 26. Whelton A, Hamilton CW (1991) Nonsteroidal anti-inflammatory drugs: effects onkidney
function. . J Clin Pharmacol. 31(7): p 588–98.

27. 27. Clive DM, Stoff JS (1984) Renal syndromes associated with nonsteroidal

antiinflammatory drugs. . N Engl J Med. 310(9): p 563–72.

28. 28. Singh AK, Colvin RB (2003) Case records of the Massachusetts General Hospital.

Weekly clinicopathological exercises. Case 36-2003. A 68-year-old woman with

impaired renal function. . N Engl J Med. 349(21): p 2055–63.

29. 29. Henry D, Page J, Whyte I, Nanra R, Hall C (1997) Consumption of non-steroidal

anti-inflammatory drugs and the development of functional renal impairment in elderly

subjects. Results of a case-control study. . Br J Clin Pharmacol. 44(1): p 85–90.

30. 30. Montecucco C (2009) Pain and rheumatology: An overview of the problem. . Eur J

Pain Supplements. 3: p p.105–9.


31. 31. Santoro D, Satta E, Messina S, Costantino G, Savica V, et al. (2013) Pain in end-

stage renal disease: a frequent and neglected clinical problem. . Clin Nephrol. 79 Suppl 1:

p S2–11.

32. 32. Cavagna L, Caporali R, Trifiro G, Arcoraci V, Rossi S, et al. (2013) Overuse of

prescription and OTC non-steroidal anti-inflammatory drugs in patients with rheumatoid

arthritis and osteoarthritis. Int J Immunopathol Pharmacol. 26(1): p 279–81.

33. 33. Broadbent A, Khor K, Heaney A (2003) Palliation and chronic renal failure: opioid

and other palliative medications-Dosage guidelines. . ProgPalliat Care. 11: p. p 183–190.

Ginjal merupakan salah satu organ tubuh yang sangat penting


bagi manusia oleh karena organ ini bekerja sebagai alat
ekskresi utama untuk zat-zat yang tidak dibutuhkan lagi oleh
tubuh. Dalam melaksanakan fungsi ekskresi ini maka ginjal
mendapat tugas yang berat mengngat hampir 25 % dari seluruh
aliran darah mengalir ke kedua ginjal.

Besarnya aliran darah yang menuju ke ginjal ini


menyebabkan keterpaparan ginjal terhadap bahan/zat-zat yang
beredar dalam sirkulasi cukup tinggi. Akibatnya bahan-bahan
yang bersifat toksik akan mudah menyebabkan kerusakan jaringan
ginjal dalam bentuk perubahan struktur dan fungsi ginjal.
Keadaan inilah yang disebut sebagai nefropati toksik dan dapat
mengenai glomerulus, tubulus, jaringan vaskuler, maupun
jaringan interstitial ginjal.

Nefropati toksik penting diperhatikan, mengingat penyakit


ini merupakan penyakit yang dapat dicegah dan bersifat
refersibel sehingga penggunaan berbagai prosedur diagnostik
seperti arteriografi, pielografi retrograd atau biopsi ginjal
dapat dihindarkan.

Angka kejadian
Sampai sekarang tidak diketahui dengan pasti angka kejadian
nefropati toksik baik pada anak maupun orang dewasa. Nanra
melaporkan bahwa kemungkinan 60% dari semua konsultasi
penyakit ginjal disebabkan oleh zat nefrotoksik dan sebanyak
5-10 % benar-benar diketahui sebagai akibat nefrotoksik.
Cronin yang melakukan penelitian pada kasus penyakit ginjal
menemukan bahwa 20 % penderita gagal ginjal disebabkan oleh
pemakaian obat antibiotik. Penelitian lain menunjukkan bahwa
hampir 25 % kasus-kasus gagal ginjal akut dan kronik
diakibatkan oleh zat nefrotoksik.

Selain obat antibiotik maka pemakaian obat analgesik jangka


panjang yang cukup luas baik di negara maju maupun negara
berkembang dapat menyebabkan timbulnya nefropati analgesik
yang merupakan penyebab penting gagal ginjal kronik.

Etiologi

Zat-zat yang dapat merusak ginjal baik struktur maupun fungsi


ginjal disebut sebagai nefrotoksin, yang dapat merupakan :
1. Makanan, yaitu makanan yang tercemar racun kimia, racun
tanaman serangga atau makanan yang secara alamiah sudah
mengandung racun seperti jengkol, singkong atau jamur yang
dapat merusak ginjal.
2. Bahan kimia, yaitu bahan yang mengandung logam berat
seperti
timah (Pb),emas, kadmium.
3. Obat-obatan; antibiotik, obat kemoterapi, siklosporin,
sitostatik, dll.
4. Zat radiokontras.

Dari keempat nefrotoksin maka obat dan bahan kimia yang


paling sering menyebabkan kerusakan ginjal.

Patogenesis

Ginjal merupakan organ tubuh yang paling sering terpapar zat


kimia dan metabolitnya terutama obat yang dipakai secara
meluas dimasyarakat. Kemudahan keterpaparan ginjal terhadap
zat-zat tersebut diakibatkanoleh sifat-sfat khusus ginjal,
yaitu :

1. Ginjal menerima 25 %, curah jantung sedangkan beratnya


hanya
kira-kira 0,4% dari berat badan.
2. Untuk menampung curah jantung yang begitu besar, ginjal
mempunyai permukaan endotel kapiler yang relatif luas
dianatara organ tubuh yang lain.
3. Permukaan endotel kapiler yang sangat luas ini menyebabkan
bahan yang bersifat imunologik sering terpapar didaerah
kapiler glomerulus dan tubulus.
4. Fungsi transportasi melalui sel-sel tubulus dapat
menyebabkan
terkonsentrasinya zat-zat toksin di tubulus sendiri.
5. Mekanisme counter current sehingga medulla dan papil ginjal
menjadi hipertonik dapat menyebabkan konsentrasi zat
toksik
sangat meningkat di kedua daerah tersebut.

Sifat-sifat khas yang disebut di atas inilah yang memudahkan


terjadinya gangguan struktur dan fungsi ginjal, bila didalam
darah terdapat zat yang bersifat nefrotoksik. Berikut beberapa
obat serta zat kimia dengan potensi dapat merusak ginjal,
yaitu :

1. Asetaminofen, dapat menimbulkan kerusakan pada papilla


renalis.
2. Salisilat, dapat menimbulkan nefritis interstitial.
3. Antibiotik golongan aminoglikosida dan golongan
sefalosporin, berpotensi menimbulkan keadaan nefritis
interstitial dan kerusakan sel-sel tubulus.
4. Basitrasin, dapat menimbulkan degenerasi epitel tubulus.
5. Polimiksin B dan E, berpotensi menimbulkan kerusakan
tubulus
ginjal.
6. Tetrasiklin, dapat menimbulkan sindrom fanconi.
7. Amfoterisin B, berpotensi menimbulkan kerusakan pada
glomerulus dan atrofi pada jaringan tubulus ginjal.
8. Logam berat, misalnya merkuri dapat menimbulkan nekrosis
pada
jaringan tubulus secara akut dan iskemia pada ginjal.
Timah
(Pb) berpotensi menimbulkan keadaan sindrom fanconi dan
kerusakan pada tubulus ginjal.

Dikenal 5 macam mekanisme terjadinya nefropati toksik, yaitu :

A. Dampak langsung terhadap sel parenkim ginjal.

Kerusakan langsung ini terutama disebabkan oleh penggunaan


zat yang mengandung logam berat. Logam berat yang difiltrasi
oleh glomerulus dapat diresorpsi kembali oleh sel tubulus
sehingga sel tubuluslah yang paling sering mengalami
kerusakan. Kerusakan ini mengenai hampir seluruh struktur
subseluler seperti membran plasma, mitokondria, lisosom,
retikulum endoplasma dan inti sel.

B. Reaksi imunologis
Proses imunologis lebih sering terjadi pada pemakaian obat-
obatan seperti penisilin, metisilin, dsb. Reaksi yang terjadi
merupakan reaksi hipersensitifitas terhadap zat tersebut di
atas, sedangkan proses yang timbul merupakan proses imunologik
baik secara humoral seperti terbentuknya deposit imun
kompleks, reaksi antara antibodi dengan antigen membrana
basalis glomerulus, maupun secara seluler.

C. Obstruksi saluran kemih.

Umumnya obstruksi yang terjadi sebagai akibat kristalisasi


zat tertentu yang kemudian mengendap di lumen tubulus yang
selanjutnya disertai pula dengan pengendapan sel tubulus yang
rusak. Pengendapan kristal dan sel tubulus yang rusak ini
sering disertai proses inflamasi yang akhirnya menyebabkan
obstruksi lumen tubulus.

Di Indonesia dikenal keracunan jengkol yang dapat


menyebabkan obstruksi saluran kemih baik intrarenal maupun
ekstrarenal. Diduga pengendapan asam jengkol yang menyumbat
saluran kemih.Gangguan fungsi ginjal yang paling sering
terjadi akibat keracunan jengkol ini ialah gagal ginjal akut.

D. Penghambatan produksi prostaglandin

Terdapat obat-obat yang dapat menghambat sintesis


prostaglandin E2 yaitu aspirin dan anti inflamasi non steroid.
Obat-obat ini menghambat sintesis prostaglandin E2 dengan cara
mengikat siklo-oksigenase, suatu enzim yang dipakai untuk
memproduksi Prostaglandin E2. Penggunaan obat ini dalam jangka
waktu tertentu akan menyebabkan penurunan aliran darah ke
ginjal dan laju filtrasi glomerulus sehingga dapat berpotensi
menimbulkan keadaan gagal ginjal.

E. Memperburuk penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya.

Misalnya pielonefritis yang diperberat akibat pemakaian


obat-obat tertentu yang meningkatkan ekskresi asam urat atau
obat-obat yang menyebabkan hipokalemia.

Manifestasi klinik

Gejala nefropati toksik tergantung dari jenis-jenis bahan


kimia atau obat yang terpapar pada ginjal. kelainan ginjal
yang ditimbulkan mulai dari proteinuria, hematuria, sindrom
nefritik akut, sindrom nefrotik, nefritis interstitial akut,
nefritis tubulo-interstitial, sampai gagal ginjal baik akut
maupun kronik.
Diagnosis

Diagnosis nefropati toksik sering terlambat diketahui,


kalaupun diagnosis dapat ditegakkan, kelainan ginjal yang
terjadi sudah berat, misalnya terjadi gagal ginjal baik akut
maupun kronik. Atas dasar inilah maka pada gagal ginjal
nefropati toksik harus selalu dipertimbangkan sebagai penyebab
dalam diagnosis banding. Hal-hal yang dapat membantu diagnosis
nefropati toksik adalah :

1. Anamnesis: riwayat pemakaian obat tertentu atau kontak


dengan
bahan kimia baik dalam waktu singkat maupun waktu lama.
2. Gejala klinik: tergantung dari kelainan ginjal yang timbul
seperti yang telah disebutkan di atas. Walaupun begitu
gejala
sukar jadi pegangan oleh karena banyak penyakit ginjal
dengan

kausa yang berbeda memberikan gejala yang sama dengan


nefropati toksik.
3. Pemeriksaan laboratorium :berguna untuk mengetahui kadar
bahan
toksik dalam darah dan urin, ada tidaknya penurunan
Prostaglandin E2 dalam urin,untuk mengetahui Kadar beta-2
mikroglobulin di urin, serta kadar enzim di urin misalnya
alkali fosfatase dan LDH.

PENATALAKSANAAN

1. Keracunan obat

Mengingat sering terlambatnya diagnosis nefropati toksik


akibat obat-obatan ini, maka penanganan yang dilakukan sama
dengan penanganan penyakit ginjal pada umumnya seperti sindrom
nefrotik atau GGA. Bila pada pengobatan penyakit tertentu
dengan antibiotik terjadi penigkatan kadar ureum atau kretinin
dalam darah, maka pemberian obat sebaiknya dihentikan atau
bila sangat perlu maka dosis harus diturunkan sesuai dengan
penurunan fungsi ginjal.

2. Keracunan zat kontras

Dengan berkembangnya prosedur diagnostik radiologik yang


memakai zat kontras pada 20 tahun terakhir ini, maka
kecendrungan menigkatnya kejadian GGA dihubungkan juga dengan
menigkatnya pemakaian zat kontras tersebut. Untuk menghindari
terjadinya nefropati toksik akibat pemakaian zat kontras ini,
maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Menggunakan zat kontras dengan dosis yang tepat dan tidak
melebihi dosis maksimal.
b. Menghindari terjadinya dehidrasi.
c. Menghindarkan pemeriksaan radiologik yang memakai zat
kontras
secara berturut-turut.
d. Memperhatikan faktor-faktor predisposisi seperti azotemia,
anemia,proteinuria,hiperurikemia,hipertensi dan gangguan
fungsi hati.

Dari seluruh faktor pencetus atau faktor predisposisi di


atas maka hal yang terpenting yang harus diperhatikan sebelum
dilakukan pemeriksaan radiologik ialah adanya azotemia yang
ditandai oleh kadar kretinin serum yang meninggi.

Anda mungkin juga menyukai