Auto Psi
Auto Psi
AUTOPSI
Pembimbing :
dr. Rita Mawarni, Sp.F
Disusun oleh :
Serrintha Kaur Sidhu 090100441
Thinisya Gunasekaran 090100405
Suraya Mazlan 090100393
Durkahshinii 090100407
Pangsiska 080100226
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
karunia, rahmat kesehatan, dan keselamatan kepada penulis sehingga mampu
menyelesaikan makalah dengan judul “Autopsi” ini tepat waktu. Penulis juga
ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada orangtua penulis, dr.Rita
Mawarni,SpF selaku pembimbing makalah ini dan teman–teman yang telah
membantu dalam penulisan makalah ini.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui pencapaian
pembelajaran dalam kepaniteraan klinik senior. Penulisan makalah ini merupakan
salah satu syarat melengkapi persyaratan Departemen Ilmu Kedokteran
Kehakiman RSUP.H.Adam Malik Medan, Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan dikarenakan kemampuan penulis dan keterbatasan waktu.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
menyempurnakan makalah ini. Akhir kata, penulis berharap agar makalah ini
memberi manfaat kepada semua pembaca.
Penulis
2
DAFTAR ISI
BAB 3 KESIMPULAN 57
DAFTAR PUSTAKA 59
3
BAB 1
PENDAHULUAN
Pada masa sekarang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi orang
mendapatkan pembuktian secara ilmiah yang disebut saksi diam (silent witness).
Di sini diperlukan peran ahli untuk memeriksa barang bukti (corpus delicti) secara
ilmiah, sehingga barang terbukti tersebut ‘dapat bercerita’ tentang apa yang telah
terjadi. Barang bukti dapat berupa orang hidup, mayat, darah, semen, rambut,
sidik jari, peluru, larva lalat, nyamuk, surat tulisan tangan, suara dan lain-lain.
Kumpulan pengetahuan yang memeriksa barang bukti untuk kepentingan
peradilan dikenal dengan nama forensic sciences. Dalam bidang kesehatan antara
lain: kedokteran forensik, odontologi forensik, psikiatri forensik, patologi
forensik, dan antropologi forensik.
1.2. Tujuan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
RIB Pasal 68
Kalau hal itu dianggap perlu oleh penuntut umum, hendaklah ia membawa
serta seorang atau dua orang ahli yang dapat menimbang sifat dan keadaan
kejahatan itu.
RIB Pasal 69
Ayat 1. Bila suatu kematian disebabkan karena kekerasan (ruda paksa)
atau suatu kematian yang sebabnya menimbulkan kecurigaan, demikian juga
halnya dengan luka parah atau percobaan meracuni seseorang dan makar lain
terhadap nyawa seseorang, hendaklah ia membawa serta seseorang satu atau dua
orang dokter yang akan memberi keterangan mengenai sebab kematian atau sebab
luka dan mengenai keadaan mayat atau keadaan orang yang dilukai dan bila perlu
mayat diperiksa bagian dalamnya.
Ayat 2. Hendaklah orang yang dipanggil tersebut, dalam pasal ini dan
pasal yang lalu disumpah dihadapan penuntut umum, bahwa mereka akan
memberi keterangan kepadanya menurut kebenaran yang sesungguh –
sungguhnya, yakni menurut pengetahuannya yang sebaik – baiknya.
Dalam ketentuan hukum ini tidak dijelaskan siapa yang menentukan perlu
dilakukan bedah mayat, apakah pihak penyidik atau dokter. Dilemma ini akhirnya
diatasi dengan diterbitkannya Instruksi Kapolri tahun 1975, yaitu Instruksi
Kapolri : Ins/ FJ20/DU/75, yang mengharuskan aparat kepolisian meminta
10
pemeriksaan lengkap yaitu pemeriksaan luar dan dalam (autopsi) kepada dokter.
Dijelaskan dalam instruksi tersebut : “Dengan visum atas mayat, bedah mayat
harus dibedah. Sama sekah tidak dibenarkan mengajukan permintaan visum et
repertum atas mayat berdasarkan pemeriksaan luar saja”.
Ternyata instruksi Kapolri ini tidak mudah dilaksanakan. Masih banyak
visum yang dikeluarkan berdasarkan pemeriksaan luar. Tatalaksana pencabutan
belum dilaksanakan sesuai ketentuan.
Dalam KUHAP yang mulai berlaku pada penutup tahun 1981, terdapat
ketentuan yang menjelaskan keterlibatan dokter dalam melakukan autopsi.
Dengan demikian dalam visum akan terdapat dua saat pemeriksaan, masing-
masing pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam yang berlainan jam atau hari
pemeriksaan.
3. Pemeriksaan lengkap. Autopsi bila ditinjau dari kepentingannya adalah
membuat laporan sebagai pengganti mayat (corpus delicti) yang mengandung
kesimpulan hasil pemeriksaan tentang apa yang terjadi pada mayat. Tujuan ini
dapat dicapai bila dilakukan pemeriksaan yang lengkap, yaitu pemeriksaan luar
dan dalam tubuh mayat meliputi rongga kepala, dada, perut dan panggul.
Pemeriksaan yang tidak lengkap akan membuat nilai visum menjadi kurang. Ini
tentu harus dihindari dokter.
4. Dilakukan oleh dokter. Keterampilan bedah mayat berbeda dengan pembedahan
pada orang hidup. Pada orang hidup, pengetahuan dan keterampilan dan
wewenang pembedahan hanya dimiliki oleh ahli bedah. Pada bedah jenazah
pengetahuan dan ketrampilan ini telah diberikan kepada setiap dokter dalam
pendidikan. Tidak ada alasan bagi para dokter bahwa ia kurang atau tidak
sanggup. Yang diperlukan adalah kemauan untuk melakukannya. Ini memang
menjadi sulit apabila yang diperiksa mayat telah mengalami pembusukan.
5. Teliti. Sesuai dengan definisi visum bahwa pemeriksaan harus dilakukan
dengan pengetahuan dan keterampilan yang sebaik-baiknya maka diperlukan
ketelitian dokter dalam pemeriksaan dan segala catatan selama pemeriksaan dan
bila perlu dengan sarana fotografi. Dokter harus menyadiri tidak mungkin
melakukan pemeriksaan ulang bila mayat telah dikubur, apalagi dikremasi.
Apabila diperlukan pemeriksaan tambahan, lebih baik mengambil bahan
pemeriksaan lebih dari yang diperlukan, daripada sebaliknya. Dokter dapat
melaporkan dalam visum tentang ‘penemuan negatif’ (negative findings) yang
menunjukkan dokter telah melakukan pemeriksaan tetapi tidak dijumpai kelainan.
Sedapat mungkin keputusan atas ada atau tidak adanya kelainan yang didapati
sudah diputuskan di meja autopsi, tidak menundanya untuk diputuskan kemudian.
6. Hasil pemeriksaan segera disampaikan kepada penyidik. Karena visum akan
digunakan penyidik sebagai petunjuk dalam melakukan penyidikan, maka
sebaiknya hasil pemeriksaan segera disampaikan. Bagi penyidik ini akan
13
2. Kebenaran mayat
Periksa apakah yang akan di autopsi adalah mayat yang dimaksud dalam
permintaan visum. Sesuaikan dengan informasi dalam label (kalau ada) dan
keterangan keluarga korban (kalau ada).
3. ‘ Persetujuan Keluarga.’
Menurut KUHAP 134 adalah tanggungjawab penyidik untuk menjelaskan perlu
dilakukannya bedah mayat. Bila penyidik tidak ada maka dokter dapat membantu
melakukan penjelasan ini kepada keluarga korban. Dalam hal ini, untuk keamanan
pemeriksaan dokter ‘terpaksa’ meminta keluarga menandatangani pernyataan
tidak/keberatan dilakukan autopsi. Di beberapa pusat pelayanan autopsi di daerah
lain, hal yang seperti ini tidak terjadi. Ini terutama karena tatalaksana permintaan
dan pembuatan visum jenazah dipatuhi sesuai standar prosedur.
kejadian perkara (TKP) bila dihadiri dokter akan membantu dalam pemeriksaan
yang dilakukan dan begitu pula tentang kesimpulan pemeriksaan.
7. Tanda Kematian
Di samping untuk pemastian bahwa korban yang dikirimkan untuk
pemeriksaan benar-benar telah mati, pencatatan tanda kematian ini berguna
pula untuk penentuan saat kematian. Agar pencatatan terhadap tanda
kematian ini bermanfaat, jangan lupa mencatat waktu/saat dilakukannya
pemeriksaan terhadap kematian ini:
a. Lebam mayat. Terhadap lebam mayat, dilakukan pencatatan
letak/distribusi lebam, adanya bagian tertentu di daerah lebam mayat
yang justru tidak menunjukkan lebam (karena tertekan pakaian, terbaring
di atas benda keras dan lain-lain). Warna dari lebam mayat serta
intensitas lebam mayat (masih hilang pada penekanan, sedikit
menghilang atau sudah tidak menghilang sama sekali.
b. Kaku mayat. Catat distribusi kaku mayat serta distribusi kekakuan pada
beberapa sendi (daerah dagu/tengkuk, lengan atas, siku, pangkal paha,
sendi lutut) dengan menentukan apakah mudah atau sukar dilawan.
Apabila ditemukan adanya kadaverik (cadaveric spasm) maka ini harus
dicatat sebaik-baiknya, karena spasme kadaverik petunjuk apa yang
sedang dilakukan oleh korban saat terjadi kematian.
19
1. Teknik Virchow
Teknik ini mungkin merupakan teknik autopsi yang tertua. Setelah dilakukan
pembukaan rongga tubuh, organ-organ dikeluarkan satu persatu dan langsung
diperiksa. Dengan demikian kelainan-kelainan yang terdapat pada masing-
masing organ dapat segera dilihat, namun hubungan anatomik antar beberapa
organ yang tergolong dalam satu sistem menjadi hilang. Dengan demikian,
teknik ini kurang baik bila digunakan pada autopsi forensik, terutama pada
kasus penembakan dengan senjata api dan penusukan dengan senjata tajam,
yang perlu dilakukan penentuan saluran luka, arah, serta dalamnya penetrasi
yang terjadi.
2. Teknik Rokitansky
Setelah rongga tubuh dibuka, organ dilihat dan diperiksa dengan melakukan
beberapa irisian in situ, baru kemudian seluruh organ-organ tersebut
dikeluarkan dalam kumpulan-kumpulan organ (en-bloc). Teknik ini jarang
dipakai karena tidak menunjukkan keunggulan yang nyata atas teknik
lainnya. Teknik ini pun tidak baik digunakan untuk autopsi forensik.
3. Teknik Letulle
Setelah rongga dibuka, organ leher, dada, diafragma, dan perut dikeluarkan
sekaligus (en mase). Kepala diletakkan di atas meja dengan permukaan
posterior menghadap meja ke atas. Pleksus coeliacus dan kelenjar para aorta
diperiksa. Aorta dibuka sampai arkus aorta dan Aa. Renales kanan dan kiri
dibuka serta diperiksa.
25
dinding perut dapat ditarik/diangkat ke atas. Pisau diselipkan diantara dua jari
tersebut dan insisi dapat diteruskan sampai simfisis pubis. Di samping berfungsi
sebagai pengangkat dinding perut, kedua jari tangan kiri tersebut berfungsi juga
sebagai pemandu (guide) untuk pisau, serta melindungi alat-alat dalam rongga
perut dari kemungkinan teriris pisau.
Gambar 7. Tangan kiri yang telunjuk dan jari tengahnya dimasukkan ke dalam
rongga perut, menarik dinding perut ke arah atas untuk menghindari
terpotongnya alat-alat dalam
Dengan memegang dinding perut bagian atas dan memuntir dinding perut
tersebut ke arah luar (dilakukan ibu jari di sebelah dalam/sisi peritoneum dan 4
jari lainnya di sebelah luar/sisi kulit), dinding dada dilepaskan dengan memulai
irisan pada otot-otot sepanjang arcus costae. Pelepasan dinding dada dilakukan
terus ke arah dada bagian atas sampai daerah tulang selangka dan ke samping
garis ketiak depan. Pengirisan terhadap otot dilakukan dengan bagian perut pisau
dan bidang pisau (blade) yang tegak lurus terhadap otot. Dengan demikian,
dinding dada telah dibebaskan dari otot-otot pectorales, dan kelainan yang
ditemukan dapat dicatat dengan teliti. Kelaianan pada dinding dada dapat
merupakan resapan darah, patah tulang maupun luka terbuka. Kulit daerah leher
yang berada dibawahnya. Perhatikan akan adanya tanda kekerasan maupun
kelainan-kelainan lainnya.
28
Gambar 8. Pada daerah lengkung iga; dinding perut bagian atas dilepaskan dari
dinding dada. Perhatikan cara tangan memuntir
Pada dinding perut, diperhatikan keadaan lemak bawah kulit serta otot-otot
dinding perut, catat tebal masing-masing serta luka-luka bila terdapat. Rongga
perut diperiksa dengan mula-mula memperhatikan keadaan alat-alat perut secara
umum. Bagaimana penyebaran tirai usus (omentum), apakah menutupi seluruh
usus-usus kecil, ataukan mengumpul pada satu tempat akibat adanya kelainan
setempat. Periksalah keadaan usus-usus, adakah kelainan volvulus, intususepsi,
infark, tanda-tanda kekerasan lainnya. Bila mayat telah mengalami operasi
sebelumnya, perhatikan pula bagian/alat-alat perut yang mengalami penjahitan,
reseksi, atau tindakan lainnya. Perhatikan adakah cairan dalam rongga perut, dan
bila terdapat cairan, catat sifat dari cairan tersebut serous, purulen, darah atau
cairan keruh. Dinding perut sebelah dalam diperhatikan keadaan selaput
lendirnya. Pada selaput lendir yang normal, tampak licin dan halus berwarna
kelabu mengkilat. Pada kelainan peritonitis, akan tampak selaput lendir yang tidak
rata, keruh dengan fibrin yang melekat.
Tentukan pula sekat rongga badan (diafragma), dengan membandingkan
tinggi diafragma terhadap iga di garis pertengahan selangka (midclavicular line).
Rongga dada dibuka dengan jalan mengiris rawan-rawan iga pada tempat
setengah sampai datu sentimeter medial dari batas rawan tulang masing-masing
iga. Dengan bagian perut pisau dan bidang pisau (knife blade) yang diletakkan
tegak lurus, rawan iga dipotong mulai dari iga ke 2 terus ke arah kaudal.
Pemotongan ini dapat dilakukan dengan mudah pada mayat yang masih muda
karena bagian rawan belum mengalami penulangan. Dengan tangan kanan
29
memegang pisau dan telapak tangan kiri menekan punggung pisau, pisau
digerakkan memotong rawan iga-iga tersebut mulai dari iga kedua sampai daerah
arcus costae. Lakukan hal yang sama pada sisi tubuh yang lain.
Gambar 10. Iga pertama dipotong ke arah kraniolateral, selanjutnya mulai iga
kedua dipotong ke arah laterokaudal
30
Gambar 11.Tentukan berapa jari kandung jantung tampak antara kedua paru.
Kandung jantung dibuka dengan gunting mengikuti huruf Y terbalik.
Gambar 14. Pembuluh cabang aorta yang keluar ke arah lengan dipotong di
subclavia
Lepaskan esophagus bagian kaudal dari jaringan ikat sekitarnya dan buatlah
dua ikatan di atas diafragma. Esophagus digunting di antara kedua ikatan tersebut
di atas. Tangan kiri kini digunakan untuk menggenggam bagian bawah alat
rongga dada tepat di atas diafragma dan lakukan pengirisan terhadap genggaman
tersebut. Dengan demikian, alat leher bersama alat rongga dada dapat dikeluarkan
seluruhnya.
Usus-usus dilepaskan dengan pertama-tama melakukan dua ikatan pada
awal jejunum, dekat dengan tempat menembusnya duodenum dari arah
retroperitoneal. Secara topografis, bagian duodenum ini terletak kaudal terhadap
colon transversum, kira-kira di garis pertengahan selangka. Pengguntingan
dilakukan diantara dua ikatan yang dibuat, agar isi duodenum tidak tercecer.
Dengan tangan kiri memegang pada ujung distal dan mengangkatnya maka
mesenterium yang melekatkan usus halus dengan dinding rongga perut dapat
diiris dekat pada usus. Pengirisan dilakukan dengan pisau organ yang bidang
pisaunya (knife blade) diletakkan tegak lurus pada usus dan digerakkan maju
mundur seperti gerakan menggergaji. Pengirisan seperti itu dilakukan sepanjang
33
usus halus sampai daerah ileum terminalis. Pada daerah coecum pengirisan
dilakukan terhadap mesokolon, dengan meotong mesokolon pada bagian lateral
dan kolon ascenden pada daerah ini. Pemotongan harus dilakukan dengan hati-
hati, lapis demi lapis agar tidak teriris ginjal kanan serta duodenum pars
retroperitonealis.
Pada daerah kolon transversum, lepaskan perlekatan antara kolon dengan
lambung. Mesokolon kembali diiris di sebelah lateral dari kolon descenden
dengan memisahkannya juga dari limpa dan ginjal kiri. Kolon sigmoid dapat
dilepaskan dari dinding rongga perut dengan memotong mesokolon di bagian
belakangnya.
Rektum dipegang dengan tangan kanan, mulai dari bagian distal dan
mengurutnya kearah proksimal, agar isi rektum dipindahkan ke arah kolon
sigmoid dan rektum dapat diikat dengan dua ikatan, kemudian diputuskan di
antara dua ikatan tersebut. Setelah dilakukan pelepasan usus halus dan usus besar,
dapat dilakukan pemeriksaan sepanjang usus tersebut untuk melakukan kelainan,
baik yang diakibatkan oleh kekerasan berupa luka, akibat penyakit dalam bentuk
ulkus atau kelainan lainnya.
Untuk melepaskan rongga perut dan panggul, pengirisan dimulai dengan
memotong diafragma dekat pada insersinya pada dinding rongga badan.
Pengirisan diteruskan kearah bawah, sebelah kanan dan kiri, lateral dari masing-
masing ginjal sampai memotong arteri iliaca communis.
Alat rongga panggul dilepas dengan terlebih dahulu melepas peritoneum di
daeerah simphysis (alat rongga panggul terletak retroperitoneal). Kandung
kencing serta alat lain dapat dipegang dalam tangan kiri sampai kearah belakang
bersama-sama rektum. Pemotong melintang dilakukan dengan patokan setinggi
kelenjar prostat pada mayat laki-laki dan setinggi sepertiga proksimal vagina pada
mayat perempuan. Alat rongga panggul ini kemudian dilepaskan seluruhnya dari
perlekatan dengan sekitarnya dan dapat diangkat bersama-sama dengan alat
rongga perut yang telah dilepaskan terlebih dahulu.
34
Pemeriksaan pada kepala dimulai dengan membuat irisan pada kulit kepala,
dimulai dari prosessus mastiodeus, melingkari kepala kearah puncak kepala
(vertex) dan berakhir pada prosessus mastoideus sisi lain. Pada mayat yang lebat
rambut kepalanya, sebaiknya sebelum dilakukan pengirisan pada kulit kepala,
dilakukan terlebih dahulu penyisiran pada rambut sehingga terjadi garis belahan
rambut sepanjang kulit kepala yang akan diiris tersebut. Pengirisan dibuat sampai
pisau mencapai periosteum. Kulit kepala kemudian dilepas, kearah depan sampai
kurang lebih 1-2 sentimeter sampai sejauh protuberentia occipitalis externa.
Perhatikan dan catat kelainan yang terdapat, baik pada permukaan dalam kulit
kepala maupun permukaan luar tulang tengkorak. Kelainan yang biasa ditemukan
adalah tanda kekerasan, baik merupakan resapan darah maupun garis retak/patah
tulang. Untuk membuka rongga tengkorak, melingkar di daerah frontal sejarak
kurang lebih 2 sentimeter di atas daun telinga.
perabaan dapat menjadi padat atau keras. Pada penampang paru ditentukan
warnanya serta dicatat kelainan yang mungkin ditemukan.
10. Jantung. Perhatikan besarnya jantung, bandingkan dengan kepalan tinju
kanan mayat. Perhatikan akan adanya resapan darah, luka atau bintik-bintik
perdarahan. Pada autopsi jantung, ikuti sitematika pemotongan dinding
jantung yang dilakukan dengan mengikuti aliran darah di dalam jantung.
Pertama-tama jantung diletakkan dengan permukaan ventral menghadap ke
atas. Posisi in dipertahankan terus sampai autopsi jantung selesai. Vena cava
superior dan inferior dibuka dengan jalan menggunting dinding belakang
vena-vena tersebut. Dengan gunting buka pula aurikel kanan. Perhatikan akan
adanya kelainan baik pada aurikel kanan maupun atrium kanan. Dengan pisau
panjang, masuki bilik jantung kanan sampai ujung pisau menembus apeks di
sisi kanan septum dengan mata pisau mengarah ke lateral. Tebal dinding bilik
kanan diukur dengan terlebih dahulu membuat irisan tegak lurus pada dinding
belakang bilik kanan ini, 1 sentimeter di bawah katup. Irisan pada dinding
bilik depan kanan dilakukan menggunakan gunting. Mulai dari apex,
menyusuri septum pada jarak setengah sentimeter, ke arah atas menggunting
dinding depan arteria pulmonalis dan memotong katup semilunaris pulmonal.
Katup diukur lingkarannya dan keadaan katup semilunaris pulmonal. Katup
diukur lingkarannya dan keadaan daun katupnya dinilai. Pembukaan serambi
dan bilik kiri dimulai dengan pengguntingan dinding belakang
vv.pulmonales, yang disusul dengan pembukaan aurikel kiri. Dengan pisau
panjang, apeks jantung sebelah kiri dari septum ditusuk. Lalu diiris ke arah
lateral sehingga biliki kiri terbuka. Lakukan pengukuran lingkaran katup
mitral serta penilaian terhadap keadaan katup. Tebal otot jantung sebelah kiri
diukur pada irisan tegak yang dibuat 1 sentimeter di sebelah bawah katup
pada dinding belakang. Dengan gunting dinding depan bilik kiri dipotong
menyusuri septum pada jarak ½ sentimeter, terus ke arah atas. Membuka juga
dinding depan aorta dan memotong katup semilunaris, aorta. Lingkaran katup
diukur dan daun katup dinilai. Pada daerah katup semilunaris aorta dapat
ditemukan dua muara aa. Coronaria kiri dan kanan. Untuk memeriksa
39
keadaan a.koronaria sama sekali tidak boleh menggunakan sonde. Karena ini
akan dapat mendorong thrombus yang mungkin terdapat. Pemeriksaan nadi
jantung ini dilakukan dengan membuat irisan melintang sepanjang jalannya
pembuluh darah A. Coronaria kiri berjalan di sisi depan septum dan a.
Coronaria kanan keluar dari dinding pangkal aorta ke arah belakang. Pada
penampang irisan diperhatikan tebal dinding arteri. Kedaan lumen serta
kemungkinan terdapatnya thrombus. Septum jantung dibelah untuk melihat
kelainan otot, baik merupakan kelainan yang bersifat degeneratif maupun
kelainan bawaan. Nilai pengukuran pada jantung normal orang dewasa adalah
sebagai berikut; ukuran jantung sebesar kepalan tangan kanan mayat. Berat
sekitar 300 gram. Ukuran lingkaran katup serambi bilik kanan sekitar 11
sentimeter, yang kiri sekitar 9,5 sentimeter. Lingkaran katup pulmonal sekitar
7 sentimeter dan aorta sekitar 6,5 sentimeter. Tebal otot bilik kanan 3 sampai
5 milimeter sedangkan kiri sekitar 14 milimeter.
15. Hati dan kandung empedu. Pemeriksaan dilakukan terhadap permukaan hati,
yang pada keadaan biasa menunjukkan permukaan yang rata dan licin,
berwarna merah-coklat. Kadang kala pada permukaan hati dapat ditemukan
kelainan berupa jaringan ikat, kista kecil, permukaan yang berbenjol-benjol,
bahkan abses. Pada perabaan, hati normal memberikan perabaan yang kenyal.
Tepi hati biasanya tajam. Hati yang normal menunjukkan penampang yang
jelas gambaran hatinya. Pada hati yang telah lama mengalami perbendungan
dapat ditemukan gambaran hati pula. Kandung empedu diperiksa ukurannya
serta diraba akan kemungkinan terdapatnya batu empedu. Untuk mengetahui
ada tidaknya sumbatan pada saluran empedu, dapat dilakukan pemeriksaan
dengan jalan menekan kandung empedu ini sambil memperhatikan muaranya
pada duodenum (papilla vateri). Bila tampak cairan coklat-hijau keluar dari
muara tersebut, ini menandakan saluran empedu tidak tersumbat.
42
16. Limpa dan kelenjar getah bening. Limpa dilepaskan dari sekitarnya. Limpa
yang normal menunjukkan permukaan yang berkeriput, berwarna ungu
dengan perabaan lunak kenyal. Buatlah irisan penampang limpa, limpa
normal mempunyai gambaran limpa yang jelas, berwarna coklat-merah dan
bila dikikis dengan punggung pisau, akan ikut jaringan penampang limpa.
Jangan lupa mencatat ukuran dan berat limpa. Catat pula bila ditemukan
kelenjar getah bening regional yang membesar.
17. Lambung, usus halus dan usus besar. Lambung dibuka dengan gunting
curvatura mayor. Perhatikan isi lambung dan simpan dalam botol atau
kantong plastik bersih bila isi lambung ingin diperlukan untuk pemeriksaan
toksikologik atau pemeriksaan laboratorik lainnya. Selaput lendir lambung
diperiksa terhadap kemungkinan adanya erosi, ulserasi, perdarahan/resapan
darah. Usus diperiksa akan kemungkinan terdapat darah dalam lumen serta
kemungkinan terdapat darah dalam lumen serta kemungkinan terdapatnya
kelainan bersifat ulseratif, polip dan lain-lain.
18. Kelenjar liur perut (pancreas). Pertama-tama lepaskan lebih dahulu kelenjar
liur perut ini dari sekitarnya. Kelenjar liur perut yang normal menunjukkan
warna kelabu agak kekuningan, dengan permukaan yang berbelah-belah dan
43
perabaan yang kenyal. Perhatikan ukuran dan beratnya. Cata bila ada
kelainan.
19. Otak besar, otak kecil, dan batang otak. Perhatikan permukaan luar dari otak
dan cacat kelainan yang ditemukan. Adakah perdarahan subdural, perdarahan
subarakhnoid, kontusio jaringan otak atau kadangkala bahkan sampai terjadi
laserasi. Pada oedema cerebri, gyrus otak akan tampak mendasar dan sulkus
tampak menyempit. Perhatikan pula kemungkinan terdapatnya tanda
penekanan yang menyebabkan sebagian permukaan otak menjadi datar. Pada
daerah ventrak otak, perhatikan keadaan sirkulus Willisi. Nilai keadaan
pembuluh darah pada sirkulus, adakah penebalan dinding akibat kelainan
44
dengan jumlah cairan fiksasi sekitar 20-30 kali volume potongan jaringan
yanng diambil. Jumlah organ yang perlu diambil untuk pemeriksaan
toksikologi disesuaikan dengan kasus yang dihadapi serta ketentuan
laboratorium pemeriksa. Sedapat mungkin setiap jenis organ ditaruh dalam
botol tersendiri. Bila diperlukan pengawetan, agar digunakan alkohol 90%.
Pada pengiriman bahan untuk pemeriksaan toksikologik, contoh bahan
pengawet agar juga turut dikirimkan di samping keterangan klinik dan hasil
sementera autopsi atas kasus tersebut.
2. Pemeriksaan Racun
Yang diambil adalah bahan yang dicurigai seperti muntahan, isi lambung beserta
jaringan lambung dimasukkan ke dalam botol. Darah diambil dari jantung atau
vena kira-kira 20-50ml dan dimasukkan ke dalam botol begitu juga hati dan
empedu. Pada dugaan keracunan logam berat seperti Arsen, maka perlu dikirim
rambut, kuku dan tulang.
47
3. Pemeriksaan Bakteriologi
Bila ada dugaan ke arah adanya sepsis, maka darah diambil dari jantung dan limpa
untuk pembiakan kuman. Darah diambil dengan spuit 10ml melalui dinding
kantong jantung yang telah dibakar dengan spatel panas terlebih dahulu, lalul
dipindahkan ke dalam tabung reagen yang steril. Jaringan limpa diambil dengan
pinset dan gunting steril dengan cara pembakaran yang sama seperti di atas, lalu
dimasukkan dalam tabung steril.
4. Pemeriksaan balistik
Pemeriksaan mayat yang diduga mati akibat penembakan seharusnya dimulai
dengan melakukan pemeriksaan rontgenologi pada seluruh tubuh untuk
mendeteksi adanya logam (peluru). Tetapi karena sarana ini tidak terdapat, bahkan
di pusat pemeriksaan kedokteran forensic sekalipun, maka usaha untuk
mendapatkan adanya peluru terpaksa dilakukan dengan menelusuri seluruh
jaringan tubuh. Sering dengan melakukan perabaan usaha ini dapat berhasil.
Peluru harus diambil dengan sangat hati-hati dengan jari, tidak boleh
menggunakan benda keras seperti tang atau klem. Penggunaan benda keras dapat
menyebabkan terjadinya goresan pada anak peluru yang akan menyebabkan
keraguan pada ahli balistik yang akan memeriksa peluru di laboratorium
kriminologi. Bila peluru tertanam dalam tulang, jangan dipaksa mengambil anak
peluru secara paksa. Dalam keadaan demikian, tulang yang ada pelurunya
dipotong untuk dikirim ke laboratorium. Petugas di Laboratorium Kriminologi
Forensik akan mengambil tulang dengan hati-hati.
Ank peluru sesudah diambil, dikembalikan kepada petugas kepolisian untuk
dikirim ke laboratorium kriminologi dengan cara:
1. Timbang berat anak peluru, bentuk, ukuran, jenis metal
2. Anak peluru dibungkus dengan kapas atau kain kasa sebagai pelindung
3. Dimasukkan ke dalam kotak (Peluru kecil cukup dalam kotak korek api)
4. Kotak dibungkus rapi dengan kertas
5. Diikat dengan benang
48
6. Disegel dengan lak (bila ada) dan diujung benang ditaruh kertas yang berisi
keterangan tentang benda yang dikirim, nama korban, tanggal pembungkusan dan
penyegelan.
7. Buat berita acara pembungkusan dan penyegelan
2.10.3. Fisiologi
Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia (Amir, 2008), yaitu:
1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:
Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup,
kepala di tutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk,
udara lembab, bernafas dalam selokan tetutup atau di pegunungan
yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni atau sufokasi.
Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti
pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau
korpus alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia
mekanik.
2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)
Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati
pada anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan
dengan sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik.
3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena
gagal jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen
cukup tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan
lalu lintas macet tersendat jalannya.
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh
tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas:
Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan
Sianida terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat
menyebabkan kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan
hipnotik lainnya, sitokrom dihambat secara parsial sehingga kematian
berlangsung perlahan.
Intraselular
50
2.10.4. Patologi
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2
golongan (Amir, 2008), yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada
tipe dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen.
Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan
demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen.
Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum,
dan basal ganglia.
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial,
sedangkan pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati,
ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen langsung
atau primer tidak jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari
tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah
dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena
meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup
untuk kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung
dengan cepat.
51
dan denyut nadi hampir tidak teraba, pada stadium ini bisa dijumpai
jantung masih berdenyut beberapa saat lagi.
c. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir
yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yangtidak
berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada
minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis
menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin. Pada kebanyakan kasus
forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan kongesti
pada wajah, seperti darah vena yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah
perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena
akumulasi darah.
BAB 3
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
a) Autopsi Anatomi
b) Autopsi Klinik
c) Persetujuan keluarga
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof Dr Amri Amir, 2001. Autopsi Medikolegal. Edisi ke-2. USU PRESS:
Medan