Anda di halaman 1dari 60

PAPER FORENSIK

AUTOPSI

Pembimbing :
dr. Rita Mawarni, Sp.F

Disusun oleh :
Serrintha Kaur Sidhu 090100441
Thinisya Gunasekaran 090100405
Suraya Mazlan 090100393
Durkahshinii 090100407
Pangsiska 080100226

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


DEPARTEMEN KEDOKTERAN FORENSIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN
2014
1

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
karunia, rahmat kesehatan, dan keselamatan kepada penulis sehingga mampu
menyelesaikan makalah dengan judul “Autopsi” ini tepat waktu. Penulis juga
ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada orangtua penulis, dr.Rita
Mawarni,SpF selaku pembimbing makalah ini dan teman–teman yang telah
membantu dalam penulisan makalah ini.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui pencapaian
pembelajaran dalam kepaniteraan klinik senior. Penulisan makalah ini merupakan
salah satu syarat melengkapi persyaratan Departemen Ilmu Kedokteran
Kehakiman RSUP.H.Adam Malik Medan, Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan dikarenakan kemampuan penulis dan keterbatasan waktu.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
menyempurnakan makalah ini. Akhir kata, penulis berharap agar makalah ini
memberi manfaat kepada semua pembaca.

Medan, Juli 2014

Penulis
2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………… 1


DAFTAR ISI ………………………………………………………………….. 2
BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………………… 3
1.1. Latar Belakang …………………………………………………... 3
1.2. Tujuan ……………………………………………………………... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Autopsi ………………………….………………………………………..
2.1. Pengertian Autopsi ………………………………………………. 5
2.2. Jenis Autopsi …………………………………………………….. 5
2.3. Tujuan Autopsi …………………..……………………………… 8
2.4. Ketentuan Hukun …………………….…….…………………….. 9
2.5. Petunjuk dalam Autopsi Forensik ……………………………… 11
2.6. Persiapan Sebelum Autopsi ……………………………………. 13
2.7. Alat-alat yang Diperlukan ………………………...……………. 14
2.8. Cara Autopsi ……………………………………………………. 16
2.9. Pemeriksaan Tambahan ………………………………………… 46
2.10. Autopsi pada Asfiksia ……………………………………….… 48

BAB 3 KESIMPULAN 57
DAFTAR PUSTAKA 59
3

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam masyarakat selalu saja terdapat perselisihan, penganiyaan,


pembunuhan, pemcurian, perkosaan, peracunan dan lain-lain perkara yang
mengganggu ketentraman dan kepentingan pribadi. Untuk menyelesaikan perkara
demikian diperlukan suatu sistem atau cara yang memberikan ganjaran dan
hukuman yang setimpal kepada yang bersalah sehingga perbuatan yang serupa
tidak terulang lagi dan sebaliknya yang tidak bersalah terbebas dari tuntutan dan
hukuman.

Pada masa sekarang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi orang
mendapatkan pembuktian secara ilmiah yang disebut saksi diam (silent witness).
Di sini diperlukan peran ahli untuk memeriksa barang bukti (corpus delicti) secara
ilmiah, sehingga barang terbukti tersebut ‘dapat bercerita’ tentang apa yang telah
terjadi. Barang bukti dapat berupa orang hidup, mayat, darah, semen, rambut,
sidik jari, peluru, larva lalat, nyamuk, surat tulisan tangan, suara dan lain-lain.
Kumpulan pengetahuan yang memeriksa barang bukti untuk kepentingan
peradilan dikenal dengan nama forensic sciences. Dalam bidang kesehatan antara
lain: kedokteran forensik, odontologi forensik, psikiatri forensik, patologi
forensik, dan antropologi forensik.

Ilmu kedokteran selalu berkembang selaras dengan perkembangan masyarakat


dan norma yang menatanya. Perkembangan ilmu kedokteran berkat ketekunan
kerja para ahlinya dalam mengenali penyakit dan pengobatannya berjalan bersama
keingintahuan masyarakat tentang penyakit yang menimpanya. Pelaksanaan
praktek ilmu kedokteran dan kepentingan masyarakat yang terkait dengannya
mendorong berkembangnya aturan hokum yang mengatur hak dan kewajiban
keduanya saat berinteraksi yang salah satunya adalah aturan hokum mengenai
autopsi (bedah mayat) klinis.
4

1.2. Tujuan

Menjelaskan pengertian autopsi, jenis-jenis autopsy, dasar hokum autopsi


forensik, persiapan dan petunjuk autopsi, cara melakukan autopsi, serta membahas
tentang pemeriksaan tambahan dan pemeriksaan khusus yang dilakukan pada
autopsi (bedah mayat). Juga membahaskan contoh kasus autopsi karena asfiksia.
5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian autopsi1


Autopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi
pemeriksaan terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan
proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-
penemuan tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan
sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian
(Mansjoer, 2000). Pemeriksaan post mortem berarti pemeriksaan yang dilakukan
pada orang yang telah mati. Necropsi berasal dari necros ( jaringan mati ) dan opsi
( lihat ) jadi berarti pemeriksaan pada jaringan mati. Demikian pula autopsi berarti
lihat sendiri ( auto sendiri ). Kini istilah utopsi lebih sering dipakai selain bedah
mayat atau bedah jenazah.
Dalam sejarah autopsi untuk kepentingan hukum ( medikolegal autopsi)
telah dimulai sejak tahun 1302 di Bologna, Itali, sementara untuk kepentingan
pendidikan mahasiswa fakultas kedokteran pada mulanya juga mempergunakan
autopsi medikolegal ini, terutama pada korban pembunuhan dan bunuh diri serta
korban hukuman mati. Belakangan, karena sistem demikian tidak efektif untuk
pendidikan maka dipergunakan mayat yang sudah diawetkan terlebih dahulu

2.2. Jenis autopsi1


Berdasarkan tujuannya autopsi dapat dibagi atas 3 jenis
1. Autopsi klinik, untuk menentukan sebab kematian pasien selama dalam
rawatan
2. Autopsi anatomi, dilakukan oleh mahasiswa fakultas kedokteran dan
sarjana kedokteran dalam pendidikan untuk mengetahui susunan jaringan
organ tubuh
3. Autopsi forensik/ autopsi medikolegal untuk membantu kalangan penegak
hukum dalam menentukan peristiwa kematian korban secara medis
6

2.2.1. Autopsi Klinik


Autopsi klinik dilakukan pada penderita yang meninggal setelah dirawat dirumah
sakit bertujuan untuk
a) Menentukan proses patologis yang terdapat dalam tubuh korban dan
melihat kemungkinan hubungan dengan gejala atau diagnosis klinis
b) Menentukan penyebab kematian yang pasti
c) Menentukan apakah diagosa klinis yang dibuat selama perawatan sesuai
dengan hasil pemeriksaan post mortem
d) Menentukan efektivitas pengobatan yang telah diberikan
e) Mempelajari perjalanan lazim sesuatu penyakit
f) Bermanfaat sebagai pencegahan dalam menghadapi penyakit yang serupa
di kemudian hari.
Autopsi klinis selalu disertai denga pemeriksaan yang lengkap, seperti
pemeriksaan bakteriologi, histopatologi, serologi, mikrobiologi dan lain sesuai
kebutuhan. Seluruh penyakit yang diketahui sekarang merupakan hasil dari
kumpulan autopsy klinis yang dilakukan di berbagai rumah sakit di berbagai
negara dari dahulu hingga sekarang. Kegiatan ini sangat mempengaruhi kemajuan
dalam bidang kedokteran. Di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda dahulu
sudah dilakukan hal yang serupa namun sejak Indonesia merdeka kegiatan ini
semakin menurun, bahkan sekarang hampir tidah dilakukan lagi.
Demi kemajuan ilmu kesehatan kegiatan ini sudah harus dimulai
kembali.Untuk itu pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah Republik
Indonesia Nomor : 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat
Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia dan di
lingkungan ABRI dengan diterbitkannya keputusan Menhankam, Panglima
Angkatan Bersenjata Nomor; KEP/B/20/V/1972 tentang bedah mayat klinis
dalam lingkungan angkatan bersenjata RI.
Namun kegiatan ini ternyata hingga kini belum dapat dilaksanakan. Hambatan
utama adalah karena masyarakat belum menyadari kepentingan pemeriksaan ini.
Keluarga orang sakit sangat keberatan bila dilakukan pemeriksaan padapenderita
yang akhirnya meninggal dirumah sakit. Demikianlah dokter dan rumah sakit
7

belum berani menghadapi kenyataan mungkin salah dalam menetapkan diagnose


klinis dan pengobatan.
Berbeda dengan autopsi forensik dimana prinsipnya dapat dilakukan tanpa
persetujuan keluarga korban, pada autopsi klinik harus melalui persetujuan
keluarga penderita. Autopsi klinik dapat juga dilakukan tanpa persetujuan
keluarga, yaitu bila orang yang meninggal diduga penderita penyakit yang dapat
membahayakan orang lain atau masyarakat sekitarnya dan boleh dilakukan
apabila dalam jaga 2 hari tidak ada keluarga terdekat datang ke rumah sakit.

2.2.2. Autopsi Forensik/Medikolegal


Dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal akibat suatu
sebab tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, maupun bunuh
diri. Tujuan pemeriksaan autopsi forensik adalah untuk:
1. Membantu penentuan identitas mayat
2. Menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan saat
kematian
3. Mengumpulkan dan memeriksa benda bukti untuk penentuan identitas
benda penyebab dan pelaku kejahatan
4. Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam bentuk
visum et repertum
5. Menentukan saat kematian pada kasus-kasus tertentu
6. Pemeriksaan pada bayi yang baru lahir untuk menentukan viabilitas
lahir hidup atau lahir mati

Autopsi forensik harus dilakukan sedini mungkin, lengkap, oleh dokter


sendiri, dan seteliti mungkin. Seperti diutarakan di atas dalam melakukan autopsi,
dokter harus sadar bahwa pelayanan yang dilakukan dengan tidak mudah ini
adalah untuk member bantuan kepada penegak hukum, sehingga kalangan ini
mendapat pegangan dalam melakukan penyidikan, penuntutan, pembelaan atau
pemutusan perkara disidang pengadilan. Melalui pemerisaan secara ilmiah yang
dilakukan oleh dokter diharapkan proses hukum dapat berjalan dengan bukti yang
8

dapat dipertanggungjawabkan dalam istilah hukum kegiatan ini disebut dengan


mendapatkan kebenaran material. Oleh karena itu dokter tidah boleh melakukan
bedah mayat hanya untuk sekedar telah melakukan apa yang diminta, tetapi harus
sadar bahwa hasil pemeriksaannya akan digunakan sebagai petunjuk, pedoman
dan sebagai alat bukti di siding pengadilan.

2.2.3. Autopsi Anatomi


Autopsi anatomi Dilakukan terhadap mayat korban meninggal akibat
penyakit, oleh mahasiswa kedokteran dalam rangka belajar mengenai anatomi
manusia. Untuk autopsi ini diperlukan izin dari korban (sebelum meninggal) atau
keluarganya. Dalam keadaan darurat, jika dalam 2 x 24 jam seorang jenazah tidak
ada keluarganya maka tubuhnya dapat dimanfaatkan untuk autopsi anatomi
(Mansjoer, 2000).

2.3. Tujuan Autopsi Forensik1


Sebelum melakukan autopsi, pemeriksa harus menyadari tujuan
dilakukannya pelayanan untuk kepentingan hukum ini yaitu :
a) Menentukan sebab kematian yang pasti
b) Mengetahui mekanisme kematian
c) Mengetahui cara kematian
d) Menentukan lama kematian
e) Pada korban tak dikenal dilakukan pemeriksaan identifikasi
f) Mengenal jenis senjata maupun racun yang digunakan
g) Apakah ada penyakit penyerta diderita korban
h) Apakah ada tanda – tanda perlawanan dari korban yang berhubungan
dengan kematiannya, seperti pada kasus perkosaan
i) Mengetahui apakah posisi korban telah dubah setelah dia mati
j) Mengumpulkan serta mengenal benda – benda bukti yang berguna untuk
penentuan identitas pelaku kejahatan
k) Pada yang baru lahir untuk menentukan viabilitas, apakah bayi lahir hidup
atau lahir mati
9

l) Membuat laporan tertulis yang objektif dan berdasarkan fakta dalam


bentuk Visum et Repertum

2.4. Ketentuan Hukum1,2


Pemeriksaan autopsi diatur dengan jelas dalam ketentuan hokum. Dalam
RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui), hukum acara pidana sebelum
KUHAP yang berlaku sejak 31 Disember 1981, dinyatakan adanya wewenang
pegawai penuntut umum dan magistrat pembantu (termasuk kepolisian) untuk
meminta bantuan dokter melakukan pemeriksaan jenazah.

RIB Pasal 68
Kalau hal itu dianggap perlu oleh penuntut umum, hendaklah ia membawa
serta seorang atau dua orang ahli yang dapat menimbang sifat dan keadaan
kejahatan itu.

RIB Pasal 69
Ayat 1. Bila suatu kematian disebabkan karena kekerasan (ruda paksa)
atau suatu kematian yang sebabnya menimbulkan kecurigaan, demikian juga
halnya dengan luka parah atau percobaan meracuni seseorang dan makar lain
terhadap nyawa seseorang, hendaklah ia membawa serta seseorang satu atau dua
orang dokter yang akan memberi keterangan mengenai sebab kematian atau sebab
luka dan mengenai keadaan mayat atau keadaan orang yang dilukai dan bila perlu
mayat diperiksa bagian dalamnya.
Ayat 2. Hendaklah orang yang dipanggil tersebut, dalam pasal ini dan
pasal yang lalu disumpah dihadapan penuntut umum, bahwa mereka akan
memberi keterangan kepadanya menurut kebenaran yang sesungguh –
sungguhnya, yakni menurut pengetahuannya yang sebaik – baiknya.
Dalam ketentuan hukum ini tidak dijelaskan siapa yang menentukan perlu
dilakukan bedah mayat, apakah pihak penyidik atau dokter. Dilemma ini akhirnya
diatasi dengan diterbitkannya Instruksi Kapolri tahun 1975, yaitu Instruksi
Kapolri : Ins/ FJ20/DU/75, yang mengharuskan aparat kepolisian meminta
10

pemeriksaan lengkap yaitu pemeriksaan luar dan dalam (autopsi) kepada dokter.
Dijelaskan dalam instruksi tersebut : “Dengan visum atas mayat, bedah mayat
harus dibedah. Sama sekah tidak dibenarkan mengajukan permintaan visum et
repertum atas mayat berdasarkan pemeriksaan luar saja”.
Ternyata instruksi Kapolri ini tidak mudah dilaksanakan. Masih banyak
visum yang dikeluarkan berdasarkan pemeriksaan luar. Tatalaksana pencabutan
belum dilaksanakan sesuai ketentuan.
Dalam KUHAP yang mulai berlaku pada penutup tahun 1981, terdapat
ketentuan yang menjelaskan keterlibatan dokter dalam melakukan autopsi.

KUHAP Pasal 133


Ayat 1. Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani
seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa
yang merupakan tindak pidana, ia berwewenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli
lainnya.
Ayat 2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu dengan tegas untuk pemeriksaan
mayat atau pemeriksaan bedah mayat.

KUHAP Pasal 134


Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk kepentingan pembuktian bedah
mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih
dahulu kepada keluarga korban.
Dalam hal keluarga korban keberatan, penyidik wajib menerangkan
dengan sejelas – jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya
pembedahan tersebut.
Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga
atau pihak yang perlu diberi tahu tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat 3 undang – undang ini.
11

Ini berarti di Indonesia menurut KUHAP autopsi hanya dilakukan jika


terpaksa. Sementara dari segi medis pemeriksaan jenazah tanpa autopsi akan
menyulitkan dokter dalam menentukan sebab kematian.
Dalam ketentuan hukum ini dengan tegas dijelaskan bahwa penyidiklah
yang menentukan perlu dilakukan bedah mayat dan bahwa penyidiklah yang
menerangkan kepada keluarga korban bahwa mayat akan diperiksa bagian luar
saja atau melalui bedah mayat. Unttuk keperluan penyidikan bila keluarga korban
keberatan dilakukan bedah mayat, penyidik dapat menggunakan pasal 222
KUHAP, yaitu sanksi hukum bagi yang menhalang – halangi bedah mayat untuk
pengadilan.

KUHAP Pasal 222


Barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalangi atau menggagalkan
pemeriksaan mayat untuk pengadilan, dihukum penjara selama – lamanya 9 bulan
atau dengan sebanyak – banyaknya tiga ratus ribu rupiah.

2.5. Petunjuk Dalam Autopsi Forensik1


Ada beberapa petunjuk yang harus dipahami dokter dalam melakukan autopsy
forensik yaitu:
1. Pemeriksaan harus dilaksanakan pada siang hari. Pemeriksaan di bawah sinar
lampu bisa menyebabkan kesalahan dalam interprestasi warna yang kadang-
kadang punya peranan penting. Misalnya warna lebam luka atau infark pada organ
dan lain-lain. Oleh karena itu pemeriksaan pada malam hari harus dihindari.
Namun untuk kasus dan keadaan tertentu, dengan penerangan yang cukup
pemeriksaan kalau perlu dapat dilakukan.
2. Lakukan sedini mungkin. Penundaan autopsi menyebabkan timbulnya
pembusukan yang dapat mengaburkan bahkan menghilangkan tanda-tanda
penting. Oleh karena itu, tidak salah bila dokter turut menjelaskan perlunya
dilakukan bedah mayat kepada keluarga korban dan sementara menunggu
kepastian dapat dilakukan autopsi, maka sebaiknya dapat dilakukan pemeriksaan
luar pada mayat, kecuali terdapat lemari pendingin mayat (mortuary cooling unit).
12

Dengan demikian dalam visum akan terdapat dua saat pemeriksaan, masing-
masing pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam yang berlainan jam atau hari
pemeriksaan.
3. Pemeriksaan lengkap. Autopsi bila ditinjau dari kepentingannya adalah
membuat laporan sebagai pengganti mayat (corpus delicti) yang mengandung
kesimpulan hasil pemeriksaan tentang apa yang terjadi pada mayat. Tujuan ini
dapat dicapai bila dilakukan pemeriksaan yang lengkap, yaitu pemeriksaan luar
dan dalam tubuh mayat meliputi rongga kepala, dada, perut dan panggul.
Pemeriksaan yang tidak lengkap akan membuat nilai visum menjadi kurang. Ini
tentu harus dihindari dokter.
4. Dilakukan oleh dokter. Keterampilan bedah mayat berbeda dengan pembedahan
pada orang hidup. Pada orang hidup, pengetahuan dan keterampilan dan
wewenang pembedahan hanya dimiliki oleh ahli bedah. Pada bedah jenazah
pengetahuan dan ketrampilan ini telah diberikan kepada setiap dokter dalam
pendidikan. Tidak ada alasan bagi para dokter bahwa ia kurang atau tidak
sanggup. Yang diperlukan adalah kemauan untuk melakukannya. Ini memang
menjadi sulit apabila yang diperiksa mayat telah mengalami pembusukan.
5. Teliti. Sesuai dengan definisi visum bahwa pemeriksaan harus dilakukan
dengan pengetahuan dan keterampilan yang sebaik-baiknya maka diperlukan
ketelitian dokter dalam pemeriksaan dan segala catatan selama pemeriksaan dan
bila perlu dengan sarana fotografi. Dokter harus menyadiri tidak mungkin
melakukan pemeriksaan ulang bila mayat telah dikubur, apalagi dikremasi.
Apabila diperlukan pemeriksaan tambahan, lebih baik mengambil bahan
pemeriksaan lebih dari yang diperlukan, daripada sebaliknya. Dokter dapat
melaporkan dalam visum tentang ‘penemuan negatif’ (negative findings) yang
menunjukkan dokter telah melakukan pemeriksaan tetapi tidak dijumpai kelainan.
Sedapat mungkin keputusan atas ada atau tidak adanya kelainan yang didapati
sudah diputuskan di meja autopsi, tidak menundanya untuk diputuskan kemudian.
6. Hasil pemeriksaan segera disampaikan kepada penyidik. Karena visum akan
digunakan penyidik sebagai petunjuk dalam melakukan penyidikan, maka
sebaiknya hasil pemeriksaan segera disampaikan. Bagi penyidik ini akan
13

berkaitan dengan masa penahanan tersangka yang waktunya terbatas (dua


minggu).

2.6. Persiapan sebelum Autopsi1


Untuk menghindari masalah yang dapat timbul sewaktu atau sesudah autopsi, ada
beberapa persiapan yang perlu diperhatikan yaitu:

1. Permintaan tertulis dari penyidik.


Bila telah ada, lihat kelengkapan isi dan penandatanganan yang berwewenang
untuk itu. Bila belum ada, hubungi segera Kepolisian sektor (Polsek) atau
Kepolisian resort (Polres) yang bersangkutan. Permintaan lisan atau per telefon
tidak dilayani sampai permintaan tertulis disampaikan.

2. Kebenaran mayat
Periksa apakah yang akan di autopsi adalah mayat yang dimaksud dalam
permintaan visum. Sesuaikan dengan informasi dalam label (kalau ada) dan
keterangan keluarga korban (kalau ada).

3. ‘ Persetujuan Keluarga.’
Menurut KUHAP 134 adalah tanggungjawab penyidik untuk menjelaskan perlu
dilakukannya bedah mayat. Bila penyidik tidak ada maka dokter dapat membantu
melakukan penjelasan ini kepada keluarga korban. Dalam hal ini, untuk keamanan
pemeriksaan dokter ‘terpaksa’ meminta keluarga menandatangani pernyataan
tidak/keberatan dilakukan autopsi. Di beberapa pusat pelayanan autopsi di daerah
lain, hal yang seperti ini tidak terjadi. Ini terutama karena tatalaksana permintaan
dan pembuatan visum jenazah dipatuhi sesuai standar prosedur.

4. Keterangan pendukung pemeriksaan.


Keterangan yang didapat dari penyidik atau keluarga korban sangat menolong
dalam pemeriksaan yang akan dilakukan, terutama pada korban mati tiba-tiba,
keracunan, luka listrik dan lain-lain. Demikian pula pemeriksaan di tempat
14

kejadian perkara (TKP) bila dihadiri dokter akan membantu dalam pemeriksaan
yang dilakukan dan begitu pula tentang kesimpulan pemeriksaan.

2.7. Alat-alat yang diperlukan1


Secara standar diperlukan berbagai alat/instrumen untuk melakukan autopsi,
antara lain:
1. Pisau bedah mayat (post mortem knife)
2. Pisau pemotong tulang rawan (cartilage knife)
3. Pisau untuk memotong jaringan otak (brain knife)
4. Gunting usus (intestinal scissor)
5. Gunting bedah (surgical scissor)
6. Pinset
7. Sonde tumpul
8. Pemotong tulang (Bone forceps)
9a. Gergaji (Tulang / Kepala), bila perlu gergaji besi
9b. Gergaji listrik
10. Martil dan pahat
11. Timbangan
12. Jarum jahit dan benang
13. Gelas ukur
14. Meteran pengukur panjang
15. Sarung tangan karet
16. Botol mulut lebar dengan penutupnya
17. Gelas objek dan piring petri untuk preparat hapus dan pemeriksaan
bakteriologis.
Alat-alat di atas biasanya tersedia lengkap di pusat pelayanan autopsi, namun
dokter dimanapun bertugas tidak perlu memikirkan alat-alat yang serba lengkap
untuk pemeriksaan ini. Beberapa alat dasar seperti pisau yang cukup tajam
(walaupun pisau dapur misalnya), gunting, gergaji besi, beberapa botol untuk
pengiriman bahan serta cairan pengawet dan jarum serta benang sudah memadai
untuk pemeriksaan ini. Air yang cukup, kalau bisa mengalir, sangat membantu.
15

Post mortem knife


Cartilage knife Brain knife

Intestinal scissors Surgical scissors Pinset

Bone forceps Timbangan Jarum jahit dan benang

Meteran pengukur panjang Sarung tangan karet

Gambar 2.1 Alat-alat yang diperlukan untuk autopsi


16

2.8. Cara Autopsi3


2.8.1. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan tubuh mayat sebelah luar, untuk kepentingan forensik,
pemeriksaan kepentingan forensik, pemeriksaan harus dilakukan dengan cermat,
meliputi segala sesuatu yang terlihat, tercium, maupun teraba, baik terhadap benda
yang menyertai mayat, pakaian, perhiasan, sepatu dan lain-lain, juga terhadap
tubuh mayat itu sendiri.
Agar pemeriksaan dapat terlaksana secermat mungkin, pemeriksaan harus
mengikuti suatu sistematika yang telah ditentukan. Di bagian IKF FKUI,
sistematika pemeriksaan adalah:
1. Label mayat
Mayat yang dikirim untuk pemeriksaan kedokteran forensik seharusnya diberi
label dari pihak kepolisian, biasanya merupakan sehelai karton yang diikatkan
pada ibu jari mayat serta dilakukan penyegelan pada tali pengikat label
tersebut, untuk menjamin keaslian dari benda bukti.
Label mayat ini harus digunting pada tali pengikatnya, serta disimpan
bersama berkas pemeriksaan.
Perlu dicatat warna dan bahan label tersebut. Dicatat pula apakah ada materai
atau segel pada label ini, yang biasanya terbuat dari lak berwarna merah
dengan cap dari kantor kepolisian yang mengirim mayat. Isi dari label mayat
ini juga dicatat selengkapnya. Merupakan kebiasaan baik, bila dokter
pemeriksa dapat meminta keluarga terdekat dari mayat untuk sekali lagi
melakukan pengenalan/pemastian identitas.
Di samping label mayat dari kepolisian, pada mayat dapat pula ditemukan
label identifikasi dari Instalasi Kamar Jenazah Rumah Sakit. Label ini adalah
untuk kepentingan identifikasi di Kamar Jenazah agar mayat tidak tertukar
saat diambil oleh keluarga. Label dari Rumah Sakit ini harus tetap ada pada
tubuh mayat.
2. Tutup mayat
Mayat sering kali dikirim pada pemeriksaan dalam keadaan ditutupi oleh
sesuatu. Catatlah warna/bahan, warna serta corok dari penutup ini. Bila
17

terdapat pengotoran pada penutup, catat pula letak pengotoran serta


jenis/bahan pengotoran tersebut.
3. Bungkus mayat
Mayat kadang-kadang dikirimkan pada pemeriksa dalam keadaan terbugkus.
Bungkus mayat ini harus dicatat jenis/bahannya, warna, corak serta adanya
bahan yang mengotori. Dicatat pula tali pengikatnya bila ada, baik mengenai
jenis/bahan tali tersebut, maupun cara pengikatan serta letak ikatan tersebut.
4. Pakaian
Pakaian mayat dicatat dengan teliti, mulai dari pakaian dikenakan pada
bagian tubuh sebelah atas sampai tubuh sebelah bawah, dari lapisan yang
terluar sampai dengan lapisan yang terdalam.
Pencatatan meliputi: bahan, warna dasar, warna dan corak/motif dari tekstil,
bentuk/model pakaian, ukuran, merk/penjahit, cap binatu, monogram/inisial
serta tambalan atau tisikan bila ada. Bila terdapat pengotoran atau robekan
pada pakaian, maka ini juga harus dicatat dengan teliti, dengan mengukur
letaknya dengan tepat menggunakan koordinat, serta ukuran dari pengotoran
dan atau robekan yang ditemukan.
Pakaian dari korban yang mati akibat kekerasan atau yang belum dikenal,
sebaiknya disimpan untuk barang bukti.
Bila ditemukan saku pada pakaian, maka saku ini harus diperiksa dan dicatat
isinya dengan teliti pula.
5. Perhiasan
Perhiasan yang dipakai mayat harus dicatat pula dengan teliti. Pencatatan
meliputi jenis perhiasan, bahan, warna, merk, bentuk serta ukuran
nama/inisial pada benda perhiasan tersebut.
6. Benda di samping mayat
Bersamaan dengan pengiriman mayat, kadangkala disertakan pula pengiriman
benda di samping mayat, misalnya bungkusan atau tas. Terhadap benda di
samping mayat inipun dilakukan pencatatan yang teliti dan lengkap.
18

7. Tanda Kematian
Di samping untuk pemastian bahwa korban yang dikirimkan untuk
pemeriksaan benar-benar telah mati, pencatatan tanda kematian ini berguna
pula untuk penentuan saat kematian. Agar pencatatan terhadap tanda
kematian ini bermanfaat, jangan lupa mencatat waktu/saat dilakukannya
pemeriksaan terhadap kematian ini:
a. Lebam mayat. Terhadap lebam mayat, dilakukan pencatatan
letak/distribusi lebam, adanya bagian tertentu di daerah lebam mayat
yang justru tidak menunjukkan lebam (karena tertekan pakaian, terbaring
di atas benda keras dan lain-lain). Warna dari lebam mayat serta
intensitas lebam mayat (masih hilang pada penekanan, sedikit
menghilang atau sudah tidak menghilang sama sekali.

Gambar 3. Lebam mayat

b. Kaku mayat. Catat distribusi kaku mayat serta distribusi kekakuan pada
beberapa sendi (daerah dagu/tengkuk, lengan atas, siku, pangkal paha,
sendi lutut) dengan menentukan apakah mudah atau sukar dilawan.
Apabila ditemukan adanya kadaverik (cadaveric spasm) maka ini harus
dicatat sebaik-baiknya, karena spasme kadaverik petunjuk apa yang
sedang dilakukan oleh korban saat terjadi kematian.
19

c. Suhu tubuh mayat. Sekalipun perkiraan saat kematian menggunakan


kriteria penurunan suhu tidak dapat memberikan hasil yang memuaskan,
namun pencatatan suhu tubuh mayat kadang dapat masih membantu
dalam hal perkiraan saat kematian.
Pengukuran suhu mayat dilakukan dengan menggunakan thermometer
rectal. Jangan lupa juga melakukan pencatatan suhu ruangan pada saat
yang sama.
d. Pembusukan. Tanda pembusukan yang pertama tampak berupa kulit
perrut sebelah kanan bawah yang berwarna kehijau-hijauan. Kadang-
kadang mayat diterima dalam keadaan pembusukan yang lebih lanjut,
merupakan mayat dengan kulit ari yang terelupas, terdapat gambaran
pembuluh darah superficial yang melebar berwarna biru-hitam, ataupun
tubuh yang telah mengalami penggembungan akibat pembusukan lanjut.

Gambar 4. Pembusukan mayat

e. Lain-lain. Cara perubuhan tanatologik lain yang mungkin ditemukan,


misalnya mummifikasi atau adiposera.
8. Identifikasi umum
Catat tanda umum yang menunjukkan identitas mayat, seperti: jenis kelamin,
bangsa atau ras, umur, warna kulit, keadaan gizi, tinggi dan berat badan,
keadaan zakar yang disirkumsisi, adanya striae albicantes pada dinding perut.
9. Identifikasi khusus
Catat segala sesuatu yang dapat digunakan untuk penentuan identitas secara
khusus.
20

a. Rajah/tattoo. Tentukan letak, bentuk, warna, serta tulisan tattoo yang


ditemukan. Bila perlu buatlah dokumentasi foto.
b. Jaringan parut. Catat seteliti mungkin jaringan parut yang ditemukan,
baik yang timbul akibat penyembuhan luka maupun yang terjadi sebagai
akibat tindakan bedah.
c. Kapalan (callus). Dengan mencatat distribusi callus, kadangkala dapat
diperoleh keterangan yang berharga mengenai pekerjaan mayat yang
diperiksa semasa hidupnya. Pada pekerja/buruh pikul, akan ditemukan
kapalan (callus) pada daerah bahu, pada pekerja kasar lainnya akan
ditemukan kapalan pada telapak tangan atau kaki.
d. Kelainan pada kulit. Adanya kutil, angioma, bercak hiper atau
hipopigmentasi, eksema dan kelainan lain sering kali dapat membantu
dalam penentuan identitas.
e. Anomali dan cacat pada tubuh. Kelainan anatomis berupa anomali atau
deformitas akibat penyakit atau kekerasan perlu dicatat dengan seksama.
Tidak tercatatnya ciri-ciri yang disebut diatas dapat sangat merugikan
karena dapat menyebabkan diragukannya hasil pemeriksaan terhadap
mayat secara keseluruhan (bagaimana dapat mempercayai hasil
pemeriksaan secara keseluruhan, sedangkan adanya jari lebih pada ibu
jari tangan kanan korban saja tidak dilihat/dicatat oleh si pemeriksa).
10. Pemeriksaan rambut.
Pemeriksaan terhadap rambut dimaksudkan untuk membantu identifikasi.
Pencatatan dilakukan terhadap distribusi, warna keadaan tumbuh serta sifat
dari rambut tersebut baik dalam hal halus atau lurus ikalnya.
Bila pada tubuh mayat ditemukan rambut yang mempunyai sifat yang
berlainan dari rambut mayat, rambut-rambut ini haris diambil. Disimpan dan
diberi label, untuk pemeriksaan laboratorium lanjutan bila ternyata diperlukan
di kemudian hari.
11. Pemeriksaan mata
Periksa apakah kelopak mata terbuka atau tertutup. Pada kelopak mata,
diperhatikan pula akan adanya tanda-tanda kekerasan serta kelainan lain yang
21

ditimbulkan oleh penyakit dan sebagainya. Periksa pula keadaan selaput


lendir kelopak mata, bagaimana warnanya, adakah pembuluh darah yang
melebar, adakah bintik perdarahan atau bercak perdarahan.
Terhadap bola mata, dilakukan pula pemeriksaan terhadap kemungkinan
terdapatnya tanda kekerasan, kelainan seperti ptysis bulbi, pemakaian mata
palsu dan sebagainya.
Perhatikan pula keadaan selaput lendir bola mata akan adanya pelebaran
pembuluh darah, bintik perdarahan atau kelainan lain terhadap kornea
(selaput bening mata) ditentukan apakah jernih, adakah kelainan, baik
fisiologik (arcus senelis) maupun patologik (leucoma).
Iris (tirai mata) dicatat warnanya untuk membantu identifikasi. Catat pula
kelainan yang mungkin ditemukan. Perhatikan pupil (teleng mata) dan catat
ukurannya. Apakah sama pada mata yang kanan dan yang kiri. Bila terdapat
kelainan pada lensa mata, ini pun harus dicatat.
12. Pemeriksaan daun telinga dan hidung.
Pemeriksaan meliputi pencatatan terhadap bentuk dari daun telinga dan
hidung, terutama pada mayat dengan bentuk yang luar biasa karena hal ini
mungkin dapat membantu dalam identifikasi.
Catat pula kelainan serta tanda kekerasan yang ditemukan. Periksa apakah
dari lubang telinga dan hidung keluar cairan/darah.
13. Pemeriksaan terhadap mulut dan rongga mulut
Pemeriksaan meliputi bibir, lidah, rongga mulut serta gigi geligi. Catat
kelainan atau tanda kekerasan yang ditemukan. Periksa dengan teliti keadaan
rongga mulut akan kemungkinan terdapatnya benda asing (pada kasus
penyumbatan misalnya).
Terhadap gigi geligi, pencatatan harus dilakukan selengkap-lengkapnya
meliputi jumlah gigi yang terdapat, gigi geligi yang hilang/patah/mendapat
tambalan/bungkus logam, gigi palsu, kelainan letak, perwarnaan (staining)
dan sebagainya. Data gigi geligi merupakan alat yang sangat berguna untuk
identifikasi bila terdapat data pembanding. Perlu diingat bahwa gigi geligi
adalah bagian tubuh yang paling keras dan tahan terhadap kekerasan.
22

14. Pemeriksaaan alat kelamin dan lubang pelepasan


Kelainan atau tanda kekerasan yang ditemukan harus mendapat perhatian dan
dicatat selengkapnya. Pada mayat laki-laki, catat apakah alat kelamin
mengalami sirkumsisi.
Cara kelainan bawaan yang mungkin ditemukan (epispadia, hypospadia
phymosis, dan lain-lain), adanya manik-manik yang ditanam dibawah kulit,
juga keluarnya cairan dari lubang kemaluan serta kelainan yang ditimbulkan
oleh penyakit atau sebab lain. Pada dugaan telah terjadinya suatu
persetubuhan beberapa saat sebelumnya, dapat diambil preparat tekan
menggunakan kaca objek yang ditekankan pada daerah glans atau corona
glandis yang kemudian dapat dilakukan pemeriksaan terhadap adanya sel
epitel vagina menggunakan teknik laboratorium tertentu. Pada mayat wanita,
periksa pada keadaan selaput dara dan komisura posterior akan kemungkinan
adanya tanda kekerasan. Pada kasus dengan persangkaan telah melakukan
persetubuhan beberapa saat sebelumnya, jangan lupa dilakukan pemeriksaan
laboratorium terhadap cairan/sekret liang senggama.
Lubang pelepasan perlu pula mendapat perhatiaan. Pada mayat yang sering
mendapat perlakuan sodomi, mungkin ditemukan anus berbentuk corong
yang selaput lendirnya sebagian berubah menjadi lapisan bertanduk dan
hilangnya rugae.
15. Lain-lain
Perlu diperhatikan akan kemungkinan adanya:
a. Tanda perbendungan, ikterus, warna kebiruan pada kuku, ujung-ujung
jari (pada sianosis) atau adanya edema(sembab).
b. Bekas pengobatan berupa bekas kerokan, tracheotomi, suntikan, pungsi
lumbal, dan lain-lain.
c. Terdapatnya bercak lumpur atau pengotoran lain pada tubuh, kepingan
atau serpihan cat, pecahan kaca, lumuran aspal dan lain-lain.
16. Pemeriksaan terhadap tanda-tanda kekerasan/luka
Pada pemeriksaan terhadap tanda kekerasan/luka yang ditemukan, perlu
dilakukan pencatatan yang teliti dan objektif terhadap:
23

a. Letak luka. Pertama-tama sebutkan regio anatomis luka yang ditemukan,


dengan juga mencatat letaknya yang tepat menggunakan koordinat
terhadap garis/titik anatomis terdekat.
b. Jenis luka. Tentukan jenis luka, apakah merupakan luka lecet, luka
memar, atau luka terbuka
c. Bentuk luka. Sebutkan bentuk luka yang ditemukan. Pada luka yang
terbuka sebutkan pula bentuk luka setelah luka dirapatkan.
d. Arah luka. Dicatat arah luka, apakah melintang, membujur atau miring
e. Tepi luka. Perhatikan tepi luka apakah rata, teratur, atau berbentuk tidak
beraturan.
f. Sudut luka. Pada luka terbuka, perhatikan apakah sudut luka merupakan
sudut runcing, membulat atau bentuk lain
g. Dasar luka. Perhatikan dasar luka, jaringan bawah kulit atau otot, atau
bahkan merupakan rongga badan.
h. Sekitar luka. Perhatikan adanya pengototran, terdapatnya luka/tanda
kekerasan lain di sekitar luka.
i. Ukuran luka. Luka diukur dengan teliti. Pada luka terbuka, ukuran luka
diukur juga setelah luka yang bersangkutan dirapatkan.
j. Saluran luka. Penentuan saluran luka dilakuakn in situ. Tentukan
perjalanan luka serta panjang luka. Penentuan ini baru dapat ditentukan
pada saat dilakukan pembedahan mayat.
k. Lain-lain. Pada luka lecet jenis serut, pemeriksaan teliti terhadap
permukaan luka terhadap pola penumpukan kulit ari yang terserut dapat
mengungkapkan arah kekerasan yang menyebabkan luka tersebut.
17. Pemeriksaan terhadap patah tulang
Tentukan letak patah tulang yang ditemukan serta catat sifat/jenis masing-
masing patah tulang yang terdapat.
24

2.8.2 Pemeriksaan Dalam


2.8.2.1 Teknik Autopsi
Hampir setiap Bagian Ilmu Kedokteran Forensik atau Bagian Patologi
Anatomi mempunyai teknik autopsi sendiri-sendiri, namun pada umumnya teknik
autopsi masing-masing hanya berbeda sedikit/ merupakan modifikasi dari 4 teknik
autopsi dasar. Perbedaan terutama dalam hal pengangkatan keluar organ baik
dalam hal urutan pengangkatan maupun jumlah/kelompok organ yang dikeluarkan
pada satu saat, serta bidang pengirisan pada organ yang diperiksa.

1. Teknik Virchow
Teknik ini mungkin merupakan teknik autopsi yang tertua. Setelah dilakukan
pembukaan rongga tubuh, organ-organ dikeluarkan satu persatu dan langsung
diperiksa. Dengan demikian kelainan-kelainan yang terdapat pada masing-
masing organ dapat segera dilihat, namun hubungan anatomik antar beberapa
organ yang tergolong dalam satu sistem menjadi hilang. Dengan demikian,
teknik ini kurang baik bila digunakan pada autopsi forensik, terutama pada
kasus penembakan dengan senjata api dan penusukan dengan senjata tajam,
yang perlu dilakukan penentuan saluran luka, arah, serta dalamnya penetrasi
yang terjadi.
2. Teknik Rokitansky
Setelah rongga tubuh dibuka, organ dilihat dan diperiksa dengan melakukan
beberapa irisian in situ, baru kemudian seluruh organ-organ tersebut
dikeluarkan dalam kumpulan-kumpulan organ (en-bloc). Teknik ini jarang
dipakai karena tidak menunjukkan keunggulan yang nyata atas teknik
lainnya. Teknik ini pun tidak baik digunakan untuk autopsi forensik.
3. Teknik Letulle
Setelah rongga dibuka, organ leher, dada, diafragma, dan perut dikeluarkan
sekaligus (en mase). Kepala diletakkan di atas meja dengan permukaan
posterior menghadap meja ke atas. Pleksus coeliacus dan kelenjar para aorta
diperiksa. Aorta dibuka sampai arkus aorta dan Aa. Renales kanan dan kiri
dibuka serta diperiksa.
25

Aorta diputus di atas muara A. renalis. Rektum dipisahkan dari sigmoid.


Organ urogenital dipisahkan dari organ lain. Bagian proksimal jejunum diikat
pada dua tempat dan kemudian diputsu antara dua ikatan tersebut dan usus
dapat dilepaskan. Esophagus dilepaskan dari trakea, tetapi hubungannya
dengan lambung dipertahankan. Vena cava inferior serta aorta diputus di atas
diafragma dan demikian organ leher dan dada dapat dilepas dari organ perut.
Dengan pengangkatan organ-organ di tubuh secara en mase ini, hubungan
antar organ tetap dipertahankan setelah seluruh organ dikeluarkan dari tubuh.
Kerugian teknik ini adalah sukar dilakukan tanpa pembantu, serta agak sukar
dalam penanganan karena “panjang”nya kumpulan organ-organ yang
dikeluarkan sekaligus.
4. Teknik Ghon
Setelah rongga tubuh dibuka, organ leher dan dada, organ pencernaan
bersama hati dan limpa, organ urogenital diangkat keluar sebagai 3 kumpulan
organ (bloc).

Dokter yang melakukan autopsi hendaknya menggunakan teknik yang paling


dikuasainya. Bagi mereka yang jarang melakukan autopsi, hendaknya lebih erat
berpegang/berpedoman pada teknik autopsi yang dipelajari semasa pendidikannya
di fakultas kedokteran.

2.8.2.2 Pengeluaran Organ Dalam


Mayat yang akan dibedah diletakkan terlentang dengan bagian bahu
ditinggikan (diganjal) dengan sepotong balok kecil. Dengan demikian, kepala
akan berada dalam keadaan flexi maksimal dan daerah leher tampak jelas.
Insisi kulit dilakukan mengikuti garis pertengahan badan mulai bawah dagu,
diteruskan ke arah umbilikus dan melingkari umbilikus di sisi kiri dan seterusnya
kembali mengikuti garis pertengahan badan sampai di daerah simphysis pubis.
Pada daerah leher, insisi hanya mencapai kedalaman setebal kulit saja. Pada
daerah dada, insisi kulit sampai kedalaman mencapai permukaan depan tulang
26

dada (sternum) sedangkan mulai daerah epigastrium, sampai menembus ke dalam


rongga perut. Insisi bentuk huruf I di atas merupakan insisi yang paling ideal
untuk suatu pemeriksaan bedah mayat forensik.

Gambar 5. Insisi huruf I


Pada keadaan tertentu, bila tidak mengganggu kepentingan pemeriksaan,
atas indikasi kosmetik dapat dipertimbangkan insisi kulit berbentuk huruf Y, yang
dimulai pada kedua puncak bahu. Insisi pada daerah dada sebelah kanan dan kiri
dipertemukan di garis pertengahan kira-kira setinggi incisura jugularis. Dengan
insisi berbentuk huruf Y, maka pengeluaran alat-alat leher menjadi lebih sukar.

Gambar 6. Insisi huruf Y


Insisi pada dinding perut biasanya dimulai pada daerah epigastrium dengan
membuat irisan pendek yang menembus sampai peritoneum. Dengan jari telunjuk
dan jari tengah tangan kiri yang dimasukkan kedalam lubang insisi ini, maka
27

dinding perut dapat ditarik/diangkat ke atas. Pisau diselipkan diantara dua jari
tersebut dan insisi dapat diteruskan sampai simfisis pubis. Di samping berfungsi
sebagai pengangkat dinding perut, kedua jari tangan kiri tersebut berfungsi juga
sebagai pemandu (guide) untuk pisau, serta melindungi alat-alat dalam rongga
perut dari kemungkinan teriris pisau.

Gambar 7. Tangan kiri yang telunjuk dan jari tengahnya dimasukkan ke dalam
rongga perut, menarik dinding perut ke arah atas untuk menghindari
terpotongnya alat-alat dalam

Dengan memegang dinding perut bagian atas dan memuntir dinding perut
tersebut ke arah luar (dilakukan ibu jari di sebelah dalam/sisi peritoneum dan 4
jari lainnya di sebelah luar/sisi kulit), dinding dada dilepaskan dengan memulai
irisan pada otot-otot sepanjang arcus costae. Pelepasan dinding dada dilakukan
terus ke arah dada bagian atas sampai daerah tulang selangka dan ke samping
garis ketiak depan. Pengirisan terhadap otot dilakukan dengan bagian perut pisau
dan bidang pisau (blade) yang tegak lurus terhadap otot. Dengan demikian,
dinding dada telah dibebaskan dari otot-otot pectorales, dan kelainan yang
ditemukan dapat dicatat dengan teliti. Kelaianan pada dinding dada dapat
merupakan resapan darah, patah tulang maupun luka terbuka. Kulit daerah leher
yang berada dibawahnya. Perhatikan akan adanya tanda kekerasan maupun
kelainan-kelainan lainnya.
28

Gambar 8. Pada daerah lengkung iga; dinding perut bagian atas dilepaskan dari
dinding dada. Perhatikan cara tangan memuntir
Pada dinding perut, diperhatikan keadaan lemak bawah kulit serta otot-otot
dinding perut, catat tebal masing-masing serta luka-luka bila terdapat. Rongga
perut diperiksa dengan mula-mula memperhatikan keadaan alat-alat perut secara
umum. Bagaimana penyebaran tirai usus (omentum), apakah menutupi seluruh
usus-usus kecil, ataukan mengumpul pada satu tempat akibat adanya kelainan
setempat. Periksalah keadaan usus-usus, adakah kelainan volvulus, intususepsi,
infark, tanda-tanda kekerasan lainnya. Bila mayat telah mengalami operasi
sebelumnya, perhatikan pula bagian/alat-alat perut yang mengalami penjahitan,
reseksi, atau tindakan lainnya. Perhatikan adakah cairan dalam rongga perut, dan
bila terdapat cairan, catat sifat dari cairan tersebut serous, purulen, darah atau
cairan keruh. Dinding perut sebelah dalam diperhatikan keadaan selaput
lendirnya. Pada selaput lendir yang normal, tampak licin dan halus berwarna
kelabu mengkilat. Pada kelainan peritonitis, akan tampak selaput lendir yang tidak
rata, keruh dengan fibrin yang melekat.
Tentukan pula sekat rongga badan (diafragma), dengan membandingkan
tinggi diafragma terhadap iga di garis pertengahan selangka (midclavicular line).
Rongga dada dibuka dengan jalan mengiris rawan-rawan iga pada tempat
setengah sampai datu sentimeter medial dari batas rawan tulang masing-masing
iga. Dengan bagian perut pisau dan bidang pisau (knife blade) yang diletakkan
tegak lurus, rawan iga dipotong mulai dari iga ke 2 terus ke arah kaudal.
Pemotongan ini dapat dilakukan dengan mudah pada mayat yang masih muda
karena bagian rawan belum mengalami penulangan. Dengan tangan kanan
29

memegang pisau dan telapak tangan kiri menekan punggung pisau, pisau
digerakkan memotong rawan iga-iga tersebut mulai dari iga kedua sampai daerah
arcus costae. Lakukan hal yang sama pada sisi tubuh yang lain.

Gambar 9. Pemotongan iga mulai iga kedua


Iga pertama dipotong dengan meneruskan irisan pada iga kedua ke arah
kraniolateral, dengan demikian, irisan dihindarkan dari mengenai manubrium
sterni yang keras. Setelah rawan iga pertama terpotong, pisau dapat diteruskan ke
arah medial menyusuri tepi bawah tulang selangka untuk mencapai sendi antara
tulang selangka dan tulang dada (articulatio sternoclavicularis) dan
memotongnya. Bila ini telah dilakukan pada kedua sisi, maka bagian depan
dinding dada telah dapat dilepaskan.

Gambar 10. Iga pertama dipotong ke arah kraniolateral, selanjutnya mulai iga
kedua dipotong ke arah laterokaudal
30

Perhatikan pertama-tama letak paru terhadap kedua jantung. Biasanya


dengan mencatat bagian kandung jantung yang nampak antara kedua tepi paru-
paru. Kandung jantung yang tampak hanya 1 jari di antara paru-paru
menunjukkan keadaan pengembangan paru yang berlebih (pada edema paru atau
emfisema paru). Dengan tangan, paru dapat ditarik ke arah medial dan rongga
dada dapat diperiksa, apakah terdapat cairan, darah, atau lainnya. Kandung
jantung dibuka dengan melakukan pengguntingan pada dinding depan mengikuti
bentuk huruf Y terbalik. Perhatikan apakah rongga kandung jantung terisi oleh
cairan atau darah. Periksa pula akan adanya luka baik pada kandung jantung
maupun pada permukaan depan jantung sendiri.

Gambar 11.Tentukan berapa jari kandung jantung tampak antara kedua paru.
Kandung jantung dibuka dengan gunting mengikuti huruf Y terbalik.

Pada dugaan adanya thrombosis a. pulmonalis, permukaan depan bilik


jantung kanan diiris memanjang dengan septum jantung kurang lebih 1 cm lateral
dari septum. Irisan ini kemudian diperpanjang dengan gunting ke arah
a.pulmonalis. Periksa pula akan adanya kelenjar kacangan (thymus) yang terletak
di sebelah atas dinding depan kandung jantung. Untuk pemeriksaan lebih lanjut,
alat-alat leher akan dikeluarkan bersama-sama dengan alat rongga dada,
sedangkan usus halus mulai dari jejunum sampai rektum dilepaskan tersendiri dan
kemudian alat rongga perut dikeluarkan bersama alat dalam rongga panggul.
31

Pengeluaran alat leher dimulai dengan melakukan pengirisan insersi otot-


otot dasar mulut pada tulang rahang bawah. Irisan dimulai tepat dibawah dagu,
menembus rongga mulut dari bawah. Insisi diperlebar ke arah kanan maupun ke
arah kiri.

Gambar 12. Pengirisan insersi otot-otot dasar mulut


Lidah ditarik kearah bawah sehingga dapat dikeluarkan melalui tempat
bekas irisan. Perhatikan keadaan rongga mulut dan catat kelainan yang mungkin
terdapat, antara lain adanya benda asing dalam rongga mulut, palatum mole, untuk
mencatat kelainan yang ditemukan Pallatum mole kemudian diiris sepanjang
perlekatan dengan pallatum durum yang kemudian diteruskan kearah lateral kanan
dan kiri, sampai ke permukaan depan dari tulang belakang dan sedikit menarik
alat-alat leher kearah depan bawah. Seluruh alat leher dapat dilepaskan dari
perlekatannya.

Gambar 13. Penarikan lidah

Lakukan pemotongan terhadap pembuluh serta saraf yang berjalan di


belakang tulang selangka dengan terlebih dahulu menggenggam pembuluh-
32

pembuluh dan saraf tersebut. Lepaskan perlekatan antara paru-paru dengan


dinding rongga dada, bila perlu secara tajam. Dengan tangan kanan memegang
lidah dan dua jari tangan kiri yang diletakkan pada sisi kanan dan kiri hilus paru,
alat rongga dada diarah kaudal sampai keluar dan rongga paru.

Gambar 14. Pembuluh cabang aorta yang keluar ke arah lengan dipotong di
subclavia
Lepaskan esophagus bagian kaudal dari jaringan ikat sekitarnya dan buatlah
dua ikatan di atas diafragma. Esophagus digunting di antara kedua ikatan tersebut
di atas. Tangan kiri kini digunakan untuk menggenggam bagian bawah alat
rongga dada tepat di atas diafragma dan lakukan pengirisan terhadap genggaman
tersebut. Dengan demikian, alat leher bersama alat rongga dada dapat dikeluarkan
seluruhnya.
Usus-usus dilepaskan dengan pertama-tama melakukan dua ikatan pada
awal jejunum, dekat dengan tempat menembusnya duodenum dari arah
retroperitoneal. Secara topografis, bagian duodenum ini terletak kaudal terhadap
colon transversum, kira-kira di garis pertengahan selangka. Pengguntingan
dilakukan diantara dua ikatan yang dibuat, agar isi duodenum tidak tercecer.
Dengan tangan kiri memegang pada ujung distal dan mengangkatnya maka
mesenterium yang melekatkan usus halus dengan dinding rongga perut dapat
diiris dekat pada usus. Pengirisan dilakukan dengan pisau organ yang bidang
pisaunya (knife blade) diletakkan tegak lurus pada usus dan digerakkan maju
mundur seperti gerakan menggergaji. Pengirisan seperti itu dilakukan sepanjang
33

usus halus sampai daerah ileum terminalis. Pada daerah coecum pengirisan
dilakukan terhadap mesokolon, dengan meotong mesokolon pada bagian lateral
dan kolon ascenden pada daerah ini. Pemotongan harus dilakukan dengan hati-
hati, lapis demi lapis agar tidak teriris ginjal kanan serta duodenum pars
retroperitonealis.
Pada daerah kolon transversum, lepaskan perlekatan antara kolon dengan
lambung. Mesokolon kembali diiris di sebelah lateral dari kolon descenden
dengan memisahkannya juga dari limpa dan ginjal kiri. Kolon sigmoid dapat
dilepaskan dari dinding rongga perut dengan memotong mesokolon di bagian
belakangnya.
Rektum dipegang dengan tangan kanan, mulai dari bagian distal dan
mengurutnya kearah proksimal, agar isi rektum dipindahkan ke arah kolon
sigmoid dan rektum dapat diikat dengan dua ikatan, kemudian diputuskan di
antara dua ikatan tersebut. Setelah dilakukan pelepasan usus halus dan usus besar,
dapat dilakukan pemeriksaan sepanjang usus tersebut untuk melakukan kelainan,
baik yang diakibatkan oleh kekerasan berupa luka, akibat penyakit dalam bentuk
ulkus atau kelainan lainnya.
Untuk melepaskan rongga perut dan panggul, pengirisan dimulai dengan
memotong diafragma dekat pada insersinya pada dinding rongga badan.
Pengirisan diteruskan kearah bawah, sebelah kanan dan kiri, lateral dari masing-
masing ginjal sampai memotong arteri iliaca communis.
Alat rongga panggul dilepas dengan terlebih dahulu melepas peritoneum di
daeerah simphysis (alat rongga panggul terletak retroperitoneal). Kandung
kencing serta alat lain dapat dipegang dalam tangan kiri sampai kearah belakang
bersama-sama rektum. Pemotong melintang dilakukan dengan patokan setinggi
kelenjar prostat pada mayat laki-laki dan setinggi sepertiga proksimal vagina pada
mayat perempuan. Alat rongga panggul ini kemudian dilepaskan seluruhnya dari
perlekatan dengan sekitarnya dan dapat diangkat bersama-sama dengan alat
rongga perut yang telah dilepaskan terlebih dahulu.
34

Pemeriksaan pada kepala dimulai dengan membuat irisan pada kulit kepala,
dimulai dari prosessus mastiodeus, melingkari kepala kearah puncak kepala
(vertex) dan berakhir pada prosessus mastoideus sisi lain. Pada mayat yang lebat
rambut kepalanya, sebaiknya sebelum dilakukan pengirisan pada kulit kepala,
dilakukan terlebih dahulu penyisiran pada rambut sehingga terjadi garis belahan
rambut sepanjang kulit kepala yang akan diiris tersebut. Pengirisan dibuat sampai
pisau mencapai periosteum. Kulit kepala kemudian dilepas, kearah depan sampai
kurang lebih 1-2 sentimeter sampai sejauh protuberentia occipitalis externa.
Perhatikan dan catat kelainan yang terdapat, baik pada permukaan dalam kulit
kepala maupun permukaan luar tulang tengkorak. Kelainan yang biasa ditemukan
adalah tanda kekerasan, baik merupakan resapan darah maupun garis retak/patah
tulang. Untuk membuka rongga tengkorak, melingkar di daerah frontal sejarak
kurang lebih 2 sentimeter di atas daun telinga.

Gambar 15. Pengirisan kulit kepala dan penggergajian tulang tengkorak 6


35

Gambar 16. Garis penggergajian tengkorak mayat dewasa

Pada daerah temporal ini, penggergajian dilakukan melingkar kearah


belakang, kurang lebih 2 sentimeter sebelah atass protuberentia occipitalis
externa, dengan penggergajian yang membentuk sudut kurang lebih 120 derajat
dari garis penggergajian terdahulu. Hal ini dilakukan agar setelah selesai
pemeriksaan, atap tengkorak dapat terpasang kembali tanpa tergelincir/tergeser.
Agar penggergajian tidak merusak jaringan otak, penggergajian harus dilakukan
hati-hati dan dihentikan setelah terasa tebal tulang tengkorak telah terlampaui.
Atap tengkorak selanjutnya dilepas dengan menggunakan pahat berbentuk T (T-
chisel) dengan jalan mendongkel pada garis penggergajian.
Setelah atap tengkorak dilepaskan, pertama-tama lakukan penciuman
terhadap bau yang keluar sebab pada beberapa jenis keracunan dapat tercium bau
yang khas. Kemudian, perhatikan adanya kelainan baik pada permukaan dalam
atap tengkorak maupun pada durameter yang kini tampak. Kelainan dapat berupa
luka pada durameter, perdarahan epidural atau kelainan lain. Durameter kemudian
digunting mengikuti garis penggergajian, dan daerah subdural dapat diperiksa
akan adanya perdarahan, penggumpalan nanah dan sebagainya.
Otak dikeluarkan dengan pertama-tama memasukkan dua jari tangan kiri di
garis pertengahan daerah frontal, antara bagian otak dan tulang tengkorak. Dengan
sedikit menekan bagian frontal akan tampak falk cerebri yang dapat dipotong atau
digunting sampai dasar tengkorak. Kedua jari tangan kiri tersebut kemudian dapat
36

sedikit mengangkat bagian frontal dan memperlihatkan nn.olfactorius, nn.opticus,


yang kemudian dipotong sedekat mungkin pada dasar tengkorak. Pemotongan
lebih lanjut dapat dilakukan pada aa. Carotis interna yang memasuki otak, serta
saraf-saraf otak yang keluar pada dasar otak. Dengan memiringkan kepala mayat
kesalah satu sisi, serta jari-jari tangan kiri sedikit menarik/mengangkat bagian
pelipis (temporal) sisi yang lain, tentorium cerebella akan jelas tampak dan mudah
dipotong dimulai dari foramen magnum ke arah lateral menyusuri tepi belakang
tulang karang otak (os petrosum). Potong pula saraf-saraf otak yang keluar pada
dasar otak. Dengan cara yang sama, tentorium cerebella sisi lainnnya juga
dipotong. Perlu diperhatikan bahwa bila tentorium cerebelli ini tidak dipotong,
otak kecil niscaya akan tertinggal dalam rongga tengkorak.
Dengan tangan kiri menyanggah daerah bagian occipital. Dua jari tangan
kanan dapat ditempatkan di sisi kanan dan kiri batang otak yang telah terpotong
untuk kemudian menarik bagian bawah otak ini dengan gerakkan
memutar/meluksir sehingga keluar dari rongga tengkorak.

2.8.2.3 Pemeriksaan Organ Dalam


Pemeriksaan organ/alat tubuh biasanya dimulai dari lidah, esophagus,
trachea dan seterusnya sampai meliputi seluruh alat tubuh. Otak biasanya
diperiksa terakhir.
1. Lidah. Pada lidah, perhatikan permukaan lidah, adakah kelainan bekas
gigitan, baik yang baru maupun yang lama. Pengirisan lidah sebaiknya tidak
sampai teriris utuh, agar setelah selesai autopsi, mayat masih tampak berlidah
utuh.
2. Tonsil. Perhatikan penampang tonsil, adakah selaput, gambaran infeksi,
nanah dan sebagainya.
3. Kelenjar gondok. Untuk melihat kelenjar gondok dengan baik, otot-otot
terlebih dahulu dilepaskan dari perlekatannya di sebelah belakang. Setelah
otot leher ini terangkat, maka kelenjar gondok akan terlihat jelas dan dapat
dilepaskan dari perlekatannya pada rawan gondok dan trachea.
37

4. Kerongkongan (oesophagus). Oesophagus dibuka dengan jalan menggunting


sepanjang dinding belakang. Perhatikan adanya benda-benda asing, keadaan
selaput lendir serta kelainan yang mungkin ditemukan (misalnya striktura,
varices).
5. Batang tenggorok (trachea). Pemeriksaan dimulai pada mulut atas batang
tenggorokan, dimulai dari epiglotis. Perhatikan adanya edema, benda asing,
perdarahan dan kelainan lainnya. Perhatikan pula pita suara dan kotak suara.
Pembukaan trachea dilakukan dengan melakukan pengguntingan dinding
belakang (bagian jaringan ikat pada cincin trachea) sampai mencapai cabang
broncus kanan dan kiri. Perhatikan adanya benda asing, busa, darah, serta
selaput lendirnya.
6. Tulang lidah (os hyoid), rawan gondok (cartilage thyroidea), dan rawan
cincin (cartilago cricoidea). Tulang lidah kadang-kadang ditemukan patah
unilateral pada kasus pencekikan. Perhatikan adanya patang tulang, resapan
darah. Rawan gondok dan rawan cincin seringkali juga menunjukkan resapan
darah pada kasus kekerasan pada daerah leher (pencekikan, penjeratan,
gantung).
7. Arteria carotis interna. Arteri carotis comunis interna biasanya tertinggal
melekat pada permukaan depan ruas tulang leher. Bila kekerasan pada leher
mengenai arteri ini, kadang-kadang ditemukan kerusakan pada intima di
samping terdapatnya resapan darah.
8. Kelenjar kacangan (Thymus). Kelenjar kacangan terdapat melekat di sebelah
atas kandung jantung. Pada permukaannya perhatikan akan adanya
perdarahan berbintik serta kemungkinanan adanya kelainan lain.
9. Paru-paru. Kedua paru masing-masing diperiksa tersendiri. Tentukan
permukaan paru-paru. Pada paru yang mengalami emphysema, dapat
ditemukan cekungan bekas penekanan iga. Perhatikan warnanya. Serta bintik
perdarahan, bercak perdarahan akibat aspirasi darah ke dalam alveoli (tampak
pada permukaan paru sebagai bercak berwarna merah-hitam dengan batas
tegas), resapan darah, luka, bulla, dan sebagainya. Perabaan paru yang normal
terasa seperti meraba spon/karet busa. Pada paru dengan proses peradangan,
38

perabaan dapat menjadi padat atau keras. Pada penampang paru ditentukan
warnanya serta dicatat kelainan yang mungkin ditemukan.
10. Jantung. Perhatikan besarnya jantung, bandingkan dengan kepalan tinju
kanan mayat. Perhatikan akan adanya resapan darah, luka atau bintik-bintik
perdarahan. Pada autopsi jantung, ikuti sitematika pemotongan dinding
jantung yang dilakukan dengan mengikuti aliran darah di dalam jantung.
Pertama-tama jantung diletakkan dengan permukaan ventral menghadap ke
atas. Posisi in dipertahankan terus sampai autopsi jantung selesai. Vena cava
superior dan inferior dibuka dengan jalan menggunting dinding belakang
vena-vena tersebut. Dengan gunting buka pula aurikel kanan. Perhatikan akan
adanya kelainan baik pada aurikel kanan maupun atrium kanan. Dengan pisau
panjang, masuki bilik jantung kanan sampai ujung pisau menembus apeks di
sisi kanan septum dengan mata pisau mengarah ke lateral. Tebal dinding bilik
kanan diukur dengan terlebih dahulu membuat irisan tegak lurus pada dinding
belakang bilik kanan ini, 1 sentimeter di bawah katup. Irisan pada dinding
bilik depan kanan dilakukan menggunakan gunting. Mulai dari apex,
menyusuri septum pada jarak setengah sentimeter, ke arah atas menggunting
dinding depan arteria pulmonalis dan memotong katup semilunaris pulmonal.
Katup diukur lingkarannya dan keadaan katup semilunaris pulmonal. Katup
diukur lingkarannya dan keadaan daun katupnya dinilai. Pembukaan serambi
dan bilik kiri dimulai dengan pengguntingan dinding belakang
vv.pulmonales, yang disusul dengan pembukaan aurikel kiri. Dengan pisau
panjang, apeks jantung sebelah kiri dari septum ditusuk. Lalu diiris ke arah
lateral sehingga biliki kiri terbuka. Lakukan pengukuran lingkaran katup
mitral serta penilaian terhadap keadaan katup. Tebal otot jantung sebelah kiri
diukur pada irisan tegak yang dibuat 1 sentimeter di sebelah bawah katup
pada dinding belakang. Dengan gunting dinding depan bilik kiri dipotong
menyusuri septum pada jarak ½ sentimeter, terus ke arah atas. Membuka juga
dinding depan aorta dan memotong katup semilunaris, aorta. Lingkaran katup
diukur dan daun katup dinilai. Pada daerah katup semilunaris aorta dapat
ditemukan dua muara aa. Coronaria kiri dan kanan. Untuk memeriksa
39

keadaan a.koronaria sama sekali tidak boleh menggunakan sonde. Karena ini
akan dapat mendorong thrombus yang mungkin terdapat. Pemeriksaan nadi
jantung ini dilakukan dengan membuat irisan melintang sepanjang jalannya
pembuluh darah A. Coronaria kiri berjalan di sisi depan septum dan a.
Coronaria kanan keluar dari dinding pangkal aorta ke arah belakang. Pada
penampang irisan diperhatikan tebal dinding arteri. Kedaan lumen serta
kemungkinan terdapatnya thrombus. Septum jantung dibelah untuk melihat
kelainan otot, baik merupakan kelainan yang bersifat degeneratif maupun
kelainan bawaan. Nilai pengukuran pada jantung normal orang dewasa adalah
sebagai berikut; ukuran jantung sebesar kepalan tangan kanan mayat. Berat
sekitar 300 gram. Ukuran lingkaran katup serambi bilik kanan sekitar 11
sentimeter, yang kiri sekitar 9,5 sentimeter. Lingkaran katup pulmonal sekitar
7 sentimeter dan aorta sekitar 6,5 sentimeter. Tebal otot bilik kanan 3 sampai
5 milimeter sedangkan kiri sekitar 14 milimeter.

Gambar 17. Autopsi Jantung 6


11. Aorta thoracalis. Pengguntingan pada dinding belakang aorta thoracalis dapat
memperlihatkan permukaan dalam aorta. Perhatikan kemungkinan
terdapatnya deposit kapur, ateroma atau pembentukan aneurisma. Kadang-
kadang pada aorta dapat ditemukan tanda-tanda kekerasan merupakan
resapan darah atau luka. Pada kasus kematian bunuh diri dengan jalan
menjatuhkan diri dari tempat tinggi. Bila korban mendarat dengan kedua kaki
40

terlebih dahulu. Seringkali ditemukan robekan melintang pada aorta


thoracalis.
12. Aorta abdominalis. Bloc organ perut dan panggul diletakkan diatas meja
potong dengan permukaan belakang menghadap ke atas. Aorta abdominalis
digunting dinding belakangnya mulai dari tempat pemotongan aa.iliaca
comunis kanan dan kiri. Perhatikan dinding aorta terhadap adanya
penimbunan, pekapuran, atau atheroma. Perhatikan pula muara dari pembuluh
nadi yang keluar dari aorta abdominalis ini, terutama muara aa.renalis kanan
dan kiri dibuka sampai memasuki ginjal. Perhatikan apakah terdapat kelainan
pada dinding pembuluh darah yang mungkin merupakan dasar dideritanya
hipertensi renal bagi yang bersangkutan.
13. Anak ginjal (glandula suprarenalis). Anak ginjal kanan terletak di bagian
mediokranial dari kutub atas ginjal kanan, tertutup oleh jaringan lemak,
berada antara permukaan belakang hati dan permukaan bawah diafragma.
Anak ginjal kemudian dibebaskan dari jaringan sekitarnya dan diperiksa
terhadap kemungkinan adanya kelainan ukuran, resapan darah dan
sebagainya. Anak ginjal kiri terletak dibagian medio-kranial kiri kutub atas
ginjal kiri, juga tertutup dalam jaringan lemak, terletak antara ekor kelenjar
liur perut (pankreas) dan diafragma. Pada anak ginjal yang normal,
pengguntingan anak ginjal akan memberikan penampang dengan bagian
korteks dan medula yang tampak jelas.
14. Ginjal, ureter, dan kandung kencing. Adanya trauma yang mengenai daerah
ginjal seringkali menyebabkan resapan darah pada capsula. Dengan
melakukan pengirisan di bagian lateral kapsula, ginjal dapat dilepaskan. Pada
ginjal yang mengalami peradangan, simpai ginjal mungkin akan melekat erat
dan sulit dilepaskan. Setelah simpai ginjal dilepaskan, lakukan terlebih dahulu
pemeriksaan terhadap permukaan ginjal. Adakah kelainan berupa resapan
darah, luka-luka ataupun kista-kista retensi. Pada penampang ginjal,
perhatikan gambaran korteks dan medula spinalis. Juga perhatikan pelvis
renalis akan kemungkinan terdapatnya batu ginjal, tanda peradangan, nanah
dan sebagainya. Ureter dibuka dengan meneruskan pembukaan pada pelvis
41

renalis, terus mencapai vesika urinaria. Perhatikan kemungkinan terdapatnya


batu, ukuran penampang, isi saluran serta keadaan mukosa. Kandung kencing
dibuka dengan jalan menggunting dinding depannya mengikuti bentuk huruf
T. Perhatikan isi serta selaput lendirnya.

Gambar 18. Pengangkatan ginjal

15. Hati dan kandung empedu. Pemeriksaan dilakukan terhadap permukaan hati,
yang pada keadaan biasa menunjukkan permukaan yang rata dan licin,
berwarna merah-coklat. Kadang kala pada permukaan hati dapat ditemukan
kelainan berupa jaringan ikat, kista kecil, permukaan yang berbenjol-benjol,
bahkan abses. Pada perabaan, hati normal memberikan perabaan yang kenyal.
Tepi hati biasanya tajam. Hati yang normal menunjukkan penampang yang
jelas gambaran hatinya. Pada hati yang telah lama mengalami perbendungan
dapat ditemukan gambaran hati pula. Kandung empedu diperiksa ukurannya
serta diraba akan kemungkinan terdapatnya batu empedu. Untuk mengetahui
ada tidaknya sumbatan pada saluran empedu, dapat dilakukan pemeriksaan
dengan jalan menekan kandung empedu ini sambil memperhatikan muaranya
pada duodenum (papilla vateri). Bila tampak cairan coklat-hijau keluar dari
muara tersebut, ini menandakan saluran empedu tidak tersumbat.
42

16. Limpa dan kelenjar getah bening. Limpa dilepaskan dari sekitarnya. Limpa
yang normal menunjukkan permukaan yang berkeriput, berwarna ungu
dengan perabaan lunak kenyal. Buatlah irisan penampang limpa, limpa
normal mempunyai gambaran limpa yang jelas, berwarna coklat-merah dan
bila dikikis dengan punggung pisau, akan ikut jaringan penampang limpa.
Jangan lupa mencatat ukuran dan berat limpa. Catat pula bila ditemukan
kelenjar getah bening regional yang membesar.

Gambar 19. Pengangkatan limpa

17. Lambung, usus halus dan usus besar. Lambung dibuka dengan gunting
curvatura mayor. Perhatikan isi lambung dan simpan dalam botol atau
kantong plastik bersih bila isi lambung ingin diperlukan untuk pemeriksaan
toksikologik atau pemeriksaan laboratorik lainnya. Selaput lendir lambung
diperiksa terhadap kemungkinan adanya erosi, ulserasi, perdarahan/resapan
darah. Usus diperiksa akan kemungkinan terdapat darah dalam lumen serta
kemungkinan terdapat darah dalam lumen serta kemungkinan terdapatnya
kelainan bersifat ulseratif, polip dan lain-lain.
18. Kelenjar liur perut (pancreas). Pertama-tama lepaskan lebih dahulu kelenjar
liur perut ini dari sekitarnya. Kelenjar liur perut yang normal menunjukkan
warna kelabu agak kekuningan, dengan permukaan yang berbelah-belah dan
43

perabaan yang kenyal. Perhatikan ukuran dan beratnya. Cata bila ada
kelainan.

Gambar 20. Pengirisan pankreas

19. Otak besar, otak kecil, dan batang otak. Perhatikan permukaan luar dari otak
dan cacat kelainan yang ditemukan. Adakah perdarahan subdural, perdarahan
subarakhnoid, kontusio jaringan otak atau kadangkala bahkan sampai terjadi
laserasi. Pada oedema cerebri, gyrus otak akan tampak mendasar dan sulkus
tampak menyempit. Perhatikan pula kemungkinan terdapatnya tanda
penekanan yang menyebabkan sebagian permukaan otak menjadi datar. Pada
daerah ventrak otak, perhatikan keadaan sirkulus Willisi. Nilai keadaan
pembuluh darah pada sirkulus, adakah penebalan dinding akibat kelainan
44

ateroma, adakah penipisan dinding akibat aneurysma, adakah perdarahan.


Bila terdapat perdarahan hebat, usahakan agar dapat ditemukan sumber
perdarahan tersebut. Perhatikan pula bentuk serebelum. Pada keadaan
peningkatan tekanan intrakranial akibat edema serebri misalnya, dapat terjadi
herniasi serebllum ke arah foramen magnum, sehingga bagian bawah
serebellum tampak menonjol. Pisahkan otak kecil dan otak besar dengan
melakukan pemotongan pada pedunculus serebri kanan dan kiri. Otak kecil
ini kemudian dipisahkan juga dari batang otak dengan melakukan
pemotongan pada pedunculus serebelli. Otak besar diletakkan dengan bagian
ventral menghadap pemeriksa. Lakukan pemotongan otak besar secara
koronal/melintang, perhatikan penampang irisan.

Gambar 21. Pengirisan otak

Tempat pemotongan haruslah sedemikian rupa sehingga struktur penting


dalam otak besar dapat diperiksa dengan teliti. Kelainan yang dapat
ditemukan pada penampang otak besar antara lain adalah: perdarahan pada
45

korteks akibat contusio cerebri, perdarahan berbintik pada substansi putih


akibat emboli, keracunan barbiturat serta keadaan lain yang menimbulkan
hipoksia jaringan otak. Infark jaringan otak, baik yang bilateral maupun yang
unilateral akibat gangguan perdarahan oleh arteri, abses otak, perdarahan
intracerebral akibat pecahnya a. lenticulostriata dan sebagainya. Otak kecil
diperiksa penampangnya dengan membuat suatu irisan melintang, catatlah
kelainan perdarahan, perlunakan dan sebagainya yang mungkin ditemukan.
Batang otak diiris melintang mulai daerah pons, medulla oblongata sampai ke
bagian proksimal medulla spinalis. Perhatikan kemungkinan adanya
perdarahan. Adanya perdarahan di daerah batang otak biasanya mematikan.
20. Alat kelamin dalam (genitalia interna). Pada mayat laki-laki, testis dapat
dikeluarkan dari scrotum melalui rongga perut. Jadi tidak dibuat irisan baru
pada scrotum. Perhatikan ukuran, konsistensinya serta kemungkinan ada
resapan darah. Perhatikan pula bentuk dan ukuran epididimis. Kelenjar
prostat diperhatikan ukuran dan konsistensinya. Pada mayat wanita,
perhatikan bentuk serta ukuran kedua indung telur, saluran telur dan uterus
sendiri. Pada uterus diperhatikan kemungkinan terdapatnya perdarahan,
resapan darah ataupun luka akibat tindakan abortus provokatus. Uterus
dibuka dengan membuat irisan berbentuk huruf T pada dinding depan melalui
saluran serviks serta muara kedua saluran telur pada fundus uteri. Perhatikan
keadaan selaput lendir uterus, tebal dinding, isi rongga rahim serta
kemungkinan terdapatnya kelainan lain.
21. Timbang dan catatlah berat masing-masing alat/organ. Sebelum
mengembalikan organ-organ (yang telah diperiksa secara makroskopis)
kembali ke dalam tubuh mayat, pertimbangkan terlebih dahulu kemungkinan
diperlukannya organ guna pemeriksaan histopatologik. Potongan jaringan
untuk pemeriksaan histopatologik diambil dengan dengan tebal maksimal 5
mm. Usahakan mengambil bagian organ di daerah perbatasan antara bagian
yang normal dan yang mengalami kelainan. Potongan ini kemudian
dimasukkan ke dalam botol yang berisi cairan fiksasi yang dapat merupakan
larutan formalin 10% (larutan formaldehida 4%) atau alkohol 90-96%,
46

dengan jumlah cairan fiksasi sekitar 20-30 kali volume potongan jaringan
yanng diambil. Jumlah organ yang perlu diambil untuk pemeriksaan
toksikologi disesuaikan dengan kasus yang dihadapi serta ketentuan
laboratorium pemeriksa. Sedapat mungkin setiap jenis organ ditaruh dalam
botol tersendiri. Bila diperlukan pengawetan, agar digunakan alkohol 90%.
Pada pengiriman bahan untuk pemeriksaan toksikologik, contoh bahan
pengawet agar juga turut dikirimkan di samping keterangan klinik dan hasil
sementera autopsi atas kasus tersebut.

2.9. Pemeriksaan Tambahan1,4

1. Pemeriksaan Patologi Anatomi


Pada beberapa kasus diperlukan pemeriksaan lebih teliti melalui pemeriksaan
jaringan secara mikroskopik. Jaringan yang diperlukan diambil dari beberapa
tempat yang dicurigai dengan ukuran 2x2 cm dan tebal 0.5 sampai 1 cm dan
diawetkan dengan formalin 10% dalam botol bermulut lebar. Organ yang diambil
adalah paru-paru, hati, limpa, pancreas, otot jantung, arteri coronaria, ginjal, otak
dan lain organ yang menunjukkan ada kelainan. Dalam pengambilan jaringan
selalu diusahakan jaringan normal juga ikut dalam sayatan. Ini perlu sehingga
memudahkan ahli patologi anatomi mengenal jaringan dan membedakannya
dengan bagian yang mengalami kelainan. Bahan dapat dikirim ke Laboratorium
Patologi Anatomi setempat.

2. Pemeriksaan Racun
Yang diambil adalah bahan yang dicurigai seperti muntahan, isi lambung beserta
jaringan lambung dimasukkan ke dalam botol. Darah diambil dari jantung atau
vena kira-kira 20-50ml dan dimasukkan ke dalam botol begitu juga hati dan
empedu. Pada dugaan keracunan logam berat seperti Arsen, maka perlu dikirim
rambut, kuku dan tulang.
47

3. Pemeriksaan Bakteriologi
Bila ada dugaan ke arah adanya sepsis, maka darah diambil dari jantung dan limpa
untuk pembiakan kuman. Darah diambil dengan spuit 10ml melalui dinding
kantong jantung yang telah dibakar dengan spatel panas terlebih dahulu, lalul
dipindahkan ke dalam tabung reagen yang steril. Jaringan limpa diambil dengan
pinset dan gunting steril dengan cara pembakaran yang sama seperti di atas, lalu
dimasukkan dalam tabung steril.

4. Pemeriksaan balistik
Pemeriksaan mayat yang diduga mati akibat penembakan seharusnya dimulai
dengan melakukan pemeriksaan rontgenologi pada seluruh tubuh untuk
mendeteksi adanya logam (peluru). Tetapi karena sarana ini tidak terdapat, bahkan
di pusat pemeriksaan kedokteran forensic sekalipun, maka usaha untuk
mendapatkan adanya peluru terpaksa dilakukan dengan menelusuri seluruh
jaringan tubuh. Sering dengan melakukan perabaan usaha ini dapat berhasil.
Peluru harus diambil dengan sangat hati-hati dengan jari, tidak boleh
menggunakan benda keras seperti tang atau klem. Penggunaan benda keras dapat
menyebabkan terjadinya goresan pada anak peluru yang akan menyebabkan
keraguan pada ahli balistik yang akan memeriksa peluru di laboratorium
kriminologi. Bila peluru tertanam dalam tulang, jangan dipaksa mengambil anak
peluru secara paksa. Dalam keadaan demikian, tulang yang ada pelurunya
dipotong untuk dikirim ke laboratorium. Petugas di Laboratorium Kriminologi
Forensik akan mengambil tulang dengan hati-hati.
Ank peluru sesudah diambil, dikembalikan kepada petugas kepolisian untuk
dikirim ke laboratorium kriminologi dengan cara:
1. Timbang berat anak peluru, bentuk, ukuran, jenis metal
2. Anak peluru dibungkus dengan kapas atau kain kasa sebagai pelindung
3. Dimasukkan ke dalam kotak (Peluru kecil cukup dalam kotak korek api)
4. Kotak dibungkus rapi dengan kertas
5. Diikat dengan benang
48

6. Disegel dengan lak (bila ada) dan diujung benang ditaruh kertas yang berisi
keterangan tentang benda yang dikirim, nama korban, tanggal pembungkusan dan
penyegelan.
7. Buat berita acara pembungkusan dan penyegelan

2.10. Autopsi pada Asfiksia1,5,6


2.10.1. Defenisi Asfiksia
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian
organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi
kematian (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997). Secara klinis keadaan asfiksia sering
disebut anoksia atau hipoksia (Amir, 2008).

2.10.2. Etiologi Asfiksia


Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut (Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997):
1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran
pernapasan seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan
pergerakan paru seperti fibrosis paru.
2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma
yang mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks
bilateral; sumbatan atau halangan pada saluran napas dan sebagainya.
3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya
barbiturat dan narkotika.
Penyebab tersering asfiksia dalam konteks forensik adalah jenis asfiksia
mekanik, dibandingkan dengan penyebab yang lain seperti penyebab alamiah
ataupun keracunan (Knight, 1996 ).
49

2.10.3. Fisiologi
Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia (Amir, 2008), yaitu:
1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:
 Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup,
kepala di tutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk,
udara lembab, bernafas dalam selokan tetutup atau di pegunungan
yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni atau sufokasi.
 Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti
pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau
korpus alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia
mekanik.
2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)
Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati
pada anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan
dengan sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik.
3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena
gagal jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen
cukup tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan
lalu lintas macet tersendat jalannya.
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh
tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas:
 Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan
Sianida terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat
menyebabkan kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan
hipnotik lainnya, sitokrom dihambat secara parsial sehingga kematian
berlangsung perlahan.
 Intraselular
50

Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan


permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik
yang larut dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.
 Metabolik
Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu
pemakaian O2 oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.
 Substrat
Dalam hal ini makanan tidak mencukupi untuk metabolisme yang
efisien, misalnya pada keadaan hipoglikemia.

2.10.4. Patologi
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2
golongan (Amir, 2008), yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada
tipe dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen.
Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan
demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen.
Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum,
dan basal ganglia.
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial,
sedangkan pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati,
ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen langsung
atau primer tidak jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari
tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah
dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena
meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup
untuk kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung
dengan cepat.
51

Keadaan ini didapati pada:


 Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).
 Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan,
pencekikan dan korpus alienum dalam saluran napas atau pada
tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru-paru.
 Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan
(Traumatic asphyxia).
 Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat
pernafasan, misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.

2.10.5. Stadium Pada Asfiksia


Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat
dibedakan dalam 4 stadium (Amir, 2008), yaitu:
1. Stadium Dispnea
Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 akan
merangsang pusat pernafasan, gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi)
bertambah dalam dan cepat disertai bekerjanya otot-otot pernafasan
tambahan. Wajah cemas, bibir mulai kebiruan, mata menonjol, denyut nadi
dan tekanan darah meningkat. Bila keadaan ini berlanjut, maka masuk ke
stadium kejang.
2. Stadium Kejang
Berupa gerakan klonik yang kuat pada hampir seluruh otot tubuh,
kesadaran hilang dengan cepat, spinkter mengalami relaksasi sehingga
feses dan urin dapat keluar spontan. Denyut nadi dan tekanan darah masih
tinggi, sianosis makin jelas. Bila kekurangan O2ini terus berlanjut, maka
penderita akan masuk ke stadium apnoe.
3. Stadium Apnea
Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot menjadi
lemah, hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun,
pernafasan dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan
dengan lumpuhnya pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti
52

dan denyut nadi hampir tidak teraba, pada stadium ini bisa dijumpai
jantung masih berdenyut beberapa saat lagi.

Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat


bervariasi. Umumnya berkisar antara 3-5 menit.

2.10.6. Tanda Kardinal Asfiksia


Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian
akibat asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik (Knight, 1996), yaitu:

a. Tardieu’s spot (Petechial hemorrages)


Tardieu’s spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang
menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada
jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian
belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga
bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan
viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan faring,
jarang pada mesentrium dan intestinum.

b. Kongesti dan Oedema


Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie.
Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah
dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah.
Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik
intravaskular (tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh
kerja pompa jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang
interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar
dan rongga badan (terjadi oedema).
53

c. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir
yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yangtidak
berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada
minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis
menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin. Pada kebanyakan kasus
forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan kongesti
pada wajah, seperti darah vena yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah
perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena
akumulasi darah.

d. Tetap cairnya darah


Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang
tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat
asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada
jantung dan sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti,
seperti akhirnya pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik.
Hal ini tidak relevan dalam diagnosis asfiksia.

2.10.7. Tanda Khusus Asfiksia


Didapati sesuai dengan jenis asfiksia (Amir, 2007), yaitu:

a. Pada pembekapan, kelainan terdapat disekitar lobang hidung dan mulut.


Dapat berupa luka memar atau lecet. Perhatikan bagian di belakang bibir
luka akibat penekanan pada gigi, begitu pula di belakang kepala atau
tengkuk akibat penekanan. Biasanya korban anak-anak atau orang yang
tidak berdaya. Bila dilakukan dengan bahan halus, kadang-kadang sulit
mendapatkan tanda-tanda kekerasan.
54

b. Mati tergantung. Kematian terjadi akibat tekanan di leher oleh pengaruh


berat badan sendiri. Kesannya leher sedikit memanjang, dengan bekas
jeratan di leher. Ada garis ludah di pinggir salah satu sudut mulut. Bila
korban cukup lama tergantung, maka lebam mayat didapati di kedua kaki
dan tangan. Namun bila segera diturunkan, maka lebam mayat akan
didapati pada bagian terendah tubuh. Muka korban lebih sering pucat,
karena peristiwa kematian berlangsung cepat, tidak sempat terjadi proses
pembendungan. Pada pembukaan kulit di daerah leher, didapati resapan
darah setentang jeratan, demikian juga di pangkal tenggorokan dan
oesophagus. Tanda-tanda pembendungan seperti pada keadaan asfiksia
yang lain juga didapati. Yang khas disini adalah adanya perdarahan berupa
garis yang letaknya melintang pada tunika intima dari arteri karotis
interna, setentang dengan tekanan tali pada leher.
Tanda-tanda diatas tidak didapati pada korban yang digantung setelah mati,
kecuali bila dibunuh dengan cara asfiksia. Namun tanda-tanda di leher tetap
menjadi petunjuk yang baik.

2.10.8. Pemeriksaan Jenazah


a. Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran
Forensik, 1997):
1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.
2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung
kanan merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.
3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih
cepat. Distribusi lebam mayat lebih luas akibat kadar
karbondioksida yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam
darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir.
4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat
peningkatan aktivitas pernapasan pada fase 1 yang disertai
sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar
masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan
55

menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah


akibat pecahnya kapiler. Kapiler yang lebih mudah pecah
adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya pada
konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang
dijumpai pula di kulit wajah
5. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran
pembuluh darah konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi
pada fase 2. Akibatnya tekanan hidrostatik dalam pembuluh
darah meningkat terutama dalam vena, venula dan kapiler.
Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga
dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan
timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai
Tardieu’s spot.
Penulis lain mengatakan bahwa Tardieu’s spot ini timbul
karena permeabilitas kapiler yang meningkat akibat hipoksia.

b. Pada pemeriksaan dalam jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran


Forensik, 1997):
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin
darah yang meningkat paska kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh
sehingga menjadi lebih berat, berwarna lebih gelap dan pada
pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium
pada bagian belakang jantung belakang daerah
aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama di lobus
bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala
sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglotis
dan daerah sub-glotis.
56

5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan


dengan hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti
fraktur laring langsung atau tidak langsung, perdarahan faring
terutama bagian belakang rawan krikoid (pleksus vena
submukosa dengan dinding tipis).
57

BAB 3

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Autopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat yang meliputi


pemeriksaan terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan
proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-
penemuan tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan
sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian.

Berdasarkan tujuannya autopsi dapat dibagi atas 3 jenis:

a) Autopsi Anatomi

b) Autopsi Klinik

c) Autopsi Forensik/ Medikolegal

Autopsi forensic mempunyai beberapa dasar hokum yang terdapat dalam


KUHP, KUHAP, Intruksi Kapolri dan lain sebagainya. Untuk melakukan autopsi
(bedah mayat) ada beberapa faktor penghambat dari pihak keluarga.

Autopsi terdiri dari pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam. Untuk


menghindari masalah yang dapat timbul sewaktu atau sesudah autopsi, ada
beberapa persiapan yang perlu diperhatikan yaitu:

a) Permintaan tertulis dari pihak penyidik

b) Kepastian korban yang akan diperiksa

c) Persetujuan keluarga

d) Keterangan yang mendukung pemeriksaan


58

Dalam melakukan autopsy, dokter harus sadar bahwa pelayanan yang


dilakukan dengan tidak mudah ini adalah untuk memberi bantuan kepada penegak
hukum, sehingga diperoleh pegangan objektif dan ilmiah dalam melakukan
penyidikan, penuntutan, pembelaan atau pemutusan perkara di sidang pengadilan.

Melalui pemeriksaan secara ilmiah yang dilakukan dokter diharapkan


proses hukum dapat berjalan dengan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.
59

DAFTAR PUSTAKA

1. Prof Dr Amri Amir, 2001. Autopsi Medikolegal. Edisi ke-2. USU PRESS:
Medan

2. Dasar Hukum Proses Identifikasi Forensik. SlideShare. Available from:


http://www.slideshare.net/nurdianirr/dasar-hukum-forensik [Accessed on
14th July 2014]

3. Staf Kedokteran forensik FK UI. Teknik autopsi forensik. cetakan ke 3.


Jakarta: Bagian kedokteran forensik fakultas kedokteran Universitas
Indonesia. 1996. Hal:1-54.

4. The Medico-Legal Autopsy. Welcome to the Department of Forensic


Medicine Web Site. Available from:
http://www.dundee.ac.uk/forensicmedicine/notes/autopsy.pdf [Accessed
on 14th July 2014]

5. BAB 2- Tinjauan Pustaka. Asfiksia. Universitas Sumatera Utara.


Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23475/3/chapter%20II.pdf
[Accessed on 14th July 2014]

6. Asphyxial Deaths. Department of Forensic Medicine, University of


Dundee. Available from:
http://www.dundee.ac.uk/forensicmedicine/notes/asphyxia.pdf [Accessed
on 14th July 2014]

Anda mungkin juga menyukai