Disusun Oleh :
YOGYAKARTA
2017
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini, limpasan air hujan (run off) langsung disalurkan pada drainase
dengan jenis drainase konvensional. Drainase konvensional adalah upaya
membuang atau mengalirkan kelebihan air secepat-cepatnya ke sungai terdekat
seterusnya mengalir ke laut. Dampak dari pemakaian konsep ini dapat kita lihat
sekarang ini, kekeringan, banjir, longsor dan pelumpuran terjadi di mana-mana.
Kesalahan drainase konvensional yang paling pokok adalah filosofi membuang air
secepat-cepatnya ke sungai, sehingga beban sungai akan bertambah dan
pengatusan kawasan atau menurunkan kesempatan bagi air untuk meresap ke
dalam tanah, akibatnya cadangan air tanah akan berkurang sehingga akan terjadi
kekeringan pada musim kemarau (Agus Maryono, 2014).
Salah satu cara untuk mengendalikan limpasan air hujan sehingga dapat
digunakan sebagai sumber air, terinfiltrasi serta evaporasi (selayaknya siklus
alami air) agar genangan atau banjir serta kekeringan dapat terminimalisirkan
yaitu dengan pendekatan pembangunan berdasarkan konsep Low Impact
Development (LID). Konsep ini menerapkan pengolahan limpasan air hujan yang
memperhatikan aspek konservasi. Konsep LID yang diterapkan untuk mengolah
air hujan yang menjadi air limpasan sehingga dapat digunakan sebagai sumber air
dengan praktek pemanenan air hujan atau Rainwater Harvesting.
Pemanenan air hujan adalah akumulasi dan pengendapan air hujan untuk
digunakan kembali di lokasi, bukan yang memungkinkan untuk lari. Air hujan
dapat dikumpulkan dari sungai atau atap, dan di banyak tempat air yang
dikumpulkan diarahkan ke sebuah lubang yang dalam (baik poros, atau lubang
bor), reservoir dengan perkolasi, atau dikumpulkan dari embun atau kabut dengan
jaring atau alat lainnya. Penggunaannya mencakup air untuk kebun, ternak,
irigasi, penggunaan domestik dengan perawatan yang tepat, dan pemanas ruangan
3
untuk rumah dan lain-lain. Air dipanen juga dapat digunakan sebagai air minum,
penyimpanan jangka panjang dan untuk tujuan lain seperti resapan air tanah.
Tiga elemen dasar sistem pemanenan air hujan adalah area koleksi, sistem
alat angkut, dan fasilitas penyimpanan. Tempat penampungan dalam banyak
kasus adalah atap rumah atau bangunan. Luas efektif atap dan bahan yang
digunakan dalam membangun atap mempengaruhi efisiensi pengumpulan dan
kualitas air.
Sebuah sistem pengangkutan biasanya terdiri dari talang atau pipa yang
memberikan air hujan yang jatuh diatas atap untuk tangki air atau kapal
4
penyimpanan lain. Air disimpan dalam tangki penyimpanan atau tadah, yang juga
harus terbuat dari bahan inert, beton bertulang, fiberglass, atau stainless steel.
Penampungan Air Hujan (PAH) ada yang diletakkan di bawah dan di atas
permukaan tanah. PAH yang diletakkan di atas permukaan tanah mempunyai
berbagai keuntungan seperti mudah mengambil dan perawatannya.
5
aliran permukaan (run off) pada saat hujan dan dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan MCK, jika hujan berlebih air dari kolam pemanenan akan mengalir
ke sumumr resapan dan meresap ke dalam tanah.
Pemanenan air hujan akan mampu mehanan air dalam jumlah besar dan
dangat signifikan dalam mengurangi jumlah aliran permukaan. Jika dilakukan
dalam jumlah besar dan misal dalam mengurangi banjir atau genangan pada suatu
wilayah. Pemanenan air hujan juga mengantisipasi limpasan air pada wilayah-
wilayah yang sangat lambat dalam peresapan atau pada tempat-tempat yang
mempunyai air permukaan yang tinggi, disamping itu air hasil tangkapan sangat
bermanfaat untuk keperluan sehari-hari, mengurangi ketergantungan pada air
tanah dan PDAM.
6
Gambar 1.5 : Kombinasi pemanenan Air Hujan dan Sumur resapan
7
makin luas dan akan mengakibatkan terjaminnya ketersediaan air pada embung
tersebut. (Suseno, 2007)
8
1.3.2 Analisis Curah Hujan Andalan
9
Keterangan: R = curah hujan bulanan (mm), Hra = luas atap (m2), Rc =
koefisien Runoff .
KoefisienRun
No PenutupanLahan Off
1 Rerumputan 0,02
Taman (50% rumput : 50%
2 pohon) 0,04
3 Jalan 0,9
4 Paving Block 0,7
5 Kolam 0,2
6 Grass Block 0,6
Sumber : Meyer 1982 dari Frick dan Mulyani 2006; Mcguen, 1989 dalam
Khairunnisa dan Indradjati, 2013 dan Oki Aktariadi., Dikdik Riyadi. 2010,
Haryono. 1999 dalam Dian Werokila, 2015
V = S – B ……………………………….. (5)
10
Keterangan: V: Volume bak penampung pada akhir bulan (m³) S:
Kemampuan volume bak menampung air hujan dalam satu bulan (m³) B:
Kebutuhan air minum dalam satu bulan (m³).
Analisis RWH ruang terbuka (RT) dan area terbangun digunakan untuk
mengetahui limpasan total (nilai bersih) potensi RWH setelah dikurangi dengan
nilai evaporasi dan porositas dengan rumus:
11
Jumlah air yang dapat dipanen = Luas area × curah hujan × koefisien runoff
Sebagai ilustrasi seperti disajikan pada gambar diatas, untuk suatu areal
tangkapan hujan dengan luas 200 m2, curah hujan tahunan 500 mm, maka jumlah
air yang dapat dipanen ditetapkan sebagai berikut :
Dengan luas area = 200 m2 dan jumlah curah hujan tahunan = 500
mm, maka volume air hujan yang jatuh di area tersebut:
= 20.000 dm2 × 5 dm = 100.000 liter
Dengan asumsi hanya 80% dari total hujan yang dapat dipanen
(20% hilang karena evaporasi atau kebocoran), maka volume yang
dapat dipanen :
= 100.000 × 0.8 = 80.000 liter/tahun.
12
BAB II
Gambar 2.1 : PAH no. 84625 di Brazil dalam program untuk 1 Juta Tangki Air
13
2.2 Perbandingan dengan Negara Maju Lainnya
14
BAB III
PERENCANAAN EVALUASI RWH
Lokasi yang dipilih untuk eveluasi Rain Water Harvesting (RWH) yakni
Asrama Mahasiswa Sri Buantan Bengkalis, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Permasalahan yang sering terjadi di asrama yaitu genangan air yang berada di
sekitar asrama yang disebabkan oleh minimnya saluran pembuangan air dan
kuranganya area resapan air. Pada tahun 2015 pengurus asrama berinisiatif untuk
mengurangi genangan air dengan cara menampung air hujan kemudian
dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari.
15
3.2 Aspek Teknis
16
Jenis seng ini dibuat dari bahan zincalume yakni baja lapis hasil campuran antara
Aluminium dan Zinc dengan komposisi 55% Aluminium , 43.5% Zinc dan 1.5%
Silicon. Seng ini terbilang cukup kuat dan tahan terhadap korosi sehingga air
tampungan terjaga kualitasnya. Struktur atap tidak terlalu curam yang
menyebabkan kecepatan air berkurang sehingga air dapat tertampung dengan
maksimal.
17
3.3 Aspek Ekonomi
18
DAFTAR PUSTAKA
Agustianto, Deny Arista. (2014). Model Hubungan Hujan dan Runoff (Studi
Lapangan). Jurnal Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Sriwijaya, 2
(2) Juni 2014ISSN: 2355-374X.
Darsono, Suseno. (2007). Sistem Pengelolaan Air Hujan Lokal yang Ramah
Lingkungan. Berkala Ilmiah Teknik Keairan 13 (4), Desember 2007, ISSN
0854-4549.
Heryani, Nani. 2009. Teknik Panen Hujan: Salah Satu Alternatif Untuk Memenuhi
Kebutuhan Air Domestik. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi.
Departemen Pertanian. Jakarta.
Meyer 1982 dari Frick dan Mulyani 2006; Mcguen, 1989 dalam Khairunnisa dan
Indradjati, 2013 dan Oki Aktariadi., Dikdik Riyadi. 2010, Haryono. 1999
dalam Dian Werokila, 2015.
19
Nazharia, Cyntia., Sri Marhati. (2013). Jurnal: Perhitungan Pembiayaan
Pemanenan Air Hujan sebagai system penyediaan air bersih dalam
berbagai skala di Kelurahan Sukajadi, Kota Dumai. Magister Perencanaan
Wilayah dan Kota B SAPPK ITB V2NI.
Zulkipli, Widandi Soetopo, Hari Prasetio. (2012). Analisia Neraca Air Permukaan
DAS Renggung untuk Memenuhi Kebutuhan Air Irigasi dan Domestik
Penduduk Kabupaten Lombok Tengah. Jurnal Teknik Pengairan
Universitas Brawijaya 3(2), Desember 2012, hlm 87-96.
20