Anda di halaman 1dari 20

TUGAS SANITASI NEGARA BERKEMBANG

RAIN WATER HARVESTING (RWH)

Disusun Oleh :

Fadhlurrohman Maleteng (14513094)

Muhammad Ilhami Subhan (14513152)

JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

2017

1
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………. 1

1.1 Latar Belakang …………………………………………….........…………... 1

1.2 Prinsip Rain Water Harvesting (RWH)……………………..........………….. 2

1.3 Perhitungan Rain Water Harvesting (RWH) ……………….........………….. 6

BAB II REVIEW RAIN WATER HARVESTING (RWH) ……………………... 10

2.1 Perbandingan dengan Negara Berkembang Lainnya …………..........…….. 10

2.2 Perbandingan dengan Negara Maju Lainnya …………………..........…….. 11

BAB III PERENCANAAN EVALUASI RAIN WATER HARVESTING ...…… 13

3.1 Lokasi Terpilih ………………………………………………...........……... 13

3.2 Aspek Teknis ………………………………………………..........………... 14

3.3 Aspek Ekonomi ……………………………………..........………………... 16

3.4 Aspek Sosial ……………………………………..........………………….... 16

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………..………………………. 17

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, limpasan air hujan (run off) langsung disalurkan pada drainase
dengan jenis drainase konvensional. Drainase konvensional adalah upaya
membuang atau mengalirkan kelebihan air secepat-cepatnya ke sungai terdekat
seterusnya mengalir ke laut. Dampak dari pemakaian konsep ini dapat kita lihat
sekarang ini, kekeringan, banjir, longsor dan pelumpuran terjadi di mana-mana.
Kesalahan drainase konvensional yang paling pokok adalah filosofi membuang air
secepat-cepatnya ke sungai, sehingga beban sungai akan bertambah dan
pengatusan kawasan atau menurunkan kesempatan bagi air untuk meresap ke
dalam tanah, akibatnya cadangan air tanah akan berkurang sehingga akan terjadi
kekeringan pada musim kemarau (Agus Maryono, 2014).

Salah satu cara untuk mengendalikan limpasan air hujan sehingga dapat
digunakan sebagai sumber air, terinfiltrasi serta evaporasi (selayaknya siklus
alami air) agar genangan atau banjir serta kekeringan dapat terminimalisirkan
yaitu dengan pendekatan pembangunan berdasarkan konsep Low Impact
Development (LID). Konsep ini menerapkan pengolahan limpasan air hujan yang
memperhatikan aspek konservasi. Konsep LID yang diterapkan untuk mengolah
air hujan yang menjadi air limpasan sehingga dapat digunakan sebagai sumber air
dengan praktek pemanenan air hujan atau Rainwater Harvesting.

Pemanenan air hujan adalah akumulasi dan pengendapan air hujan untuk
digunakan kembali di lokasi, bukan yang memungkinkan untuk lari. Air hujan
dapat dikumpulkan dari sungai atau atap, dan di banyak tempat air yang
dikumpulkan diarahkan ke sebuah lubang yang dalam (baik poros, atau lubang
bor), reservoir dengan perkolasi, atau dikumpulkan dari embun atau kabut dengan
jaring atau alat lainnya. Penggunaannya mencakup air untuk kebun, ternak,
irigasi, penggunaan domestik dengan perawatan yang tepat, dan pemanas ruangan

3
untuk rumah dan lain-lain. Air dipanen juga dapat digunakan sebagai air minum,
penyimpanan jangka panjang dan untuk tujuan lain seperti resapan air tanah.

Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 12 tahun 2009


pasal 1 ayat 1; Pemanfaatan air hujan adalah serangkaian kegiatan
mengumpulkan, menggunakan, dan/atau meresapkan air hujan ke dalam tanah.
Sedangkan pada pasal 3 disebutkan, kolam pengumpul air hujan adalah kolam
atau wadah yang dipergunakan untuk menampung air hujan yang jatuh di atap
bangunan (rumah, gedung perkantoran atau industri) yang disalurkan melalui
tabung.

1.2 Prinsip Rain Water Harvesting (RWH)

1.2.1 Pemanenan Air Hujan Melalui Atap

Tiga elemen dasar sistem pemanenan air hujan adalah area koleksi, sistem
alat angkut, dan fasilitas penyimpanan. Tempat penampungan dalam banyak
kasus adalah atap rumah atau bangunan. Luas efektif atap dan bahan yang
digunakan dalam membangun atap mempengaruhi efisiensi pengumpulan dan
kualitas air.

Gambar 1.1 : Contoh Teknik Pemanenan air hujan

Sebuah sistem pengangkutan biasanya terdiri dari talang atau pipa yang
memberikan air hujan yang jatuh diatas atap untuk tangki air atau kapal

4
penyimpanan lain. Air disimpan dalam tangki penyimpanan atau tadah, yang juga
harus terbuat dari bahan inert, beton bertulang, fiberglass, atau stainless steel.

Penampungan Air Hujan (PAH) ada yang diletakkan di bawah dan di atas
permukaan tanah. PAH yang diletakkan di atas permukaan tanah mempunyai
berbagai keuntungan seperti mudah mengambil dan perawatannya.

Gambar 1.2 : Teknik PAH di atas permukaan

Gambar 3.3 : Teknik PAH di bawah permukaan

1.2.2 Pemanenan Air Hujan dan Sumur Resapan

Desain kombinasi pemanenan air hujan dan sumur resapan, ditujukan


untuk menangkap air hujan yang jatuh pada atap bangunan agar tidak menjadi

5
aliran permukaan (run off) pada saat hujan dan dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan MCK, jika hujan berlebih air dari kolam pemanenan akan mengalir
ke sumumr resapan dan meresap ke dalam tanah.

Gambar 1.4 : Sistem PAH dan Sumur Resapan

Pemanenan air hujan akan mampu mehanan air dalam jumlah besar dan
dangat signifikan dalam mengurangi jumlah aliran permukaan. Jika dilakukan
dalam jumlah besar dan misal dalam mengurangi banjir atau genangan pada suatu
wilayah. Pemanenan air hujan juga mengantisipasi limpasan air pada wilayah-
wilayah yang sangat lambat dalam peresapan atau pada tempat-tempat yang
mempunyai air permukaan yang tinggi, disamping itu air hasil tangkapan sangat
bermanfaat untuk keperluan sehari-hari, mengurangi ketergantungan pada air
tanah dan PDAM.

6
Gambar 1.5 : Kombinasi pemanenan Air Hujan dan Sumur resapan

1.2.3 Pemanenan Air Hujan dengan Embung

Pengelolaan air yang baik adalah menampung kelebihan air di musim


hujan, agar bisa digunakan di musim kemarau. Salah satu cara yang sederhana
adalah dengan pembuata nembung sebagai langkah konservasi air sekaligus
menahan laju erosi. Teknik pemanenan air hujan ini cocok bagi ekosistem wadah
hujan dengan intensitas dan distribusi hujan yang tidak pasti.

Embung adalah cekungan maupun buatan di daerah dataran tinggi atau


pegunungan yang berfungsi untuk menampung air, baik air hujan maupun air
yang berasal dari mata air dan sungai. Embung dapat memperlambat mengalirnya
air dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah sehingga akan
menambah banyaknya cadangan air tanah yang meresap di dalam tanah.

Pembuatan embung sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dilaksanakan,


namun harus memenuhi beberapa kriteria misalnya jenis tanah, kemiringan, tipe
curah hujan, ukuran dan luas daerah tangkapan hujan. Untuk dapat
mengkondisikan menjadi embung alami maka perlu penggalakan penghijauan
daerah sekitar embung sehingga akan menciptakan daerah tangkapan hujan yang

7
makin luas dan akan mengakibatkan terjaminnya ketersediaan air pada embung
tersebut. (Suseno, 2007)

Gambar 1.6 Contoh Embung

1.3 Perhitungan Rain Water Harvesting (RWH)

1.3.1 Analisis Curah Hujan Rata-rata

Analisis curah hujan rata-rata menggunakan rumus thiessen poligon,


dimana curah hujan tiap stasiun dijumlah dengan curah hujan stasiun lainnya
kemudian membaginya dengan jumlah stasiun pengamatan curah hujan (Dwi
Handayani Untari Ningsih, 2012).

Keterangan, R: Curah hujan rata-rata daerah (mm), A: Luas Areal (km2),


n: jumlah titik-titik (pos stasiun) pengamatan, R1….: besarnya curah hujan pada
masing-masing pos stasiun curah hujan (mm).

8
1.3.2 Analisis Curah Hujan Andalan

Perhitungan debit andalan ini diperlukan untuk menghitung debit dari


sumber air yang dapat diandalkan untuk suatu keperluan tertentu (peluang
kejadian hujan). Penelitian ini meng-gunakan peluang 80% rumus (Sosrodarsono,
1980 dalam Zulkipli, dkk, 2012):

Keterangan: P(%)= Curah Hujan Andalan, m= urutan data, n = banyak


data.

1.3.3 Analisis Intensitas Hujan

Besarnya intensitas curah hujan itu berbeda-beda yang disebabkan oleh


lamanya curah hujan atau frekuensi kejadiannya. Dan apabila tidak dijumpai data
untuk setiap durasi hujan, maka diperlukan pendekatan secara empiris dengan
berpedoman kepada durasi 60 menit dan pada curah hujan harian maksimum yang
terjadi setiap tahun (Agustianto, 2014):

Keterangan: I = intensitas curah hujan, R24 = Curah hujan harian


maksimum (mm/24 jam)

1.3.4 Analisis Potensi RWH Per Bangunan dan Ruang Terbuka

Analisis potensi rainwater harversting (RWH) per bangunan digunakan


untuk mengetahui kuantitas air hujan yang dihasilkan berdasarkan banyaknya
hujan turun dan tertangkap oleh atap bangunan per bulannya. Adapun rumusnya
sebagai berikut (Lizarrage-Mendiona, Liliana, dkk. 2015):

9
Keterangan: R = curah hujan bulanan (mm), Hra = luas atap (m2), Rc =
koefisien Runoff .

Koefisein runoff untuk perhitungan bangunan menggunakan nilai 0,70.


Hal ini mengikuti Lizarrage-Mendiona, Liliana, dkk. 2015, yang mengasumsikan
bahwa 0,30 air hujan terevaporasi atau hilang pada talang air saat air hujan
tersebut menuju tampungan. Sedangkan untuk perhitungan RWH ruang terbuka,
menggunakan rumus yang sama tetapi nilai R diganti dengan hasil perhitungan
Intensitas Hujan.

Tabel 1.1 Koefisien Run Off per penutupan lahan

KoefisienRun
No PenutupanLahan Off
1 Rerumputan 0,02
Taman (50% rumput : 50%
2 pohon) 0,04
3 Jalan 0,9
4 Paving Block 0,7
5 Kolam 0,2
6 Grass Block 0,6
Sumber : Meyer 1982 dari Frick dan Mulyani 2006; Mcguen, 1989 dalam
Khairunnisa dan Indradjati, 2013 dan Oki Aktariadi., Dikdik Riyadi. 2010,
Haryono. 1999 dalam Dian Werokila, 2015

1.3.5 Analisis Kapasitas Penampungan RWH per bangunan

Analisis ini digunakan untuk mengetahui kemampuan atau kapasitas


penampungan yang perlu ada untuk menampung air hujan yang ditangkap atap
per bangunan. Adapun rumus se-bagai berikut (Cyntia Nazharia, dkk, 2013):

V = S – B ……………………………….. (5)

10
Keterangan: V: Volume bak penampung pada akhir bulan (m³) S:
Kemampuan volume bak menampung air hujan dalam satu bulan (m³) B:
Kebutuhan air minum dalam satu bulan (m³).

1.3.6 Analisis Total RWH

Analisis RWH ruang terbuka (RT) dan area terbangun digunakan untuk
mengetahui limpasan total (nilai bersih) potensi RWH setelah dikurangi dengan
nilai evaporasi dan porositas dengan rumus:

RWH RT = Vr – Evaporasi – Porositas …………………… (6)

Evaporasi diperoleh dengan mengkalikan luas danau dengan nilai


evaporasi (Soewarno, 2000 dalam Muhammad Rahmansyah, 2014). Dan porositas
diperoleh dari asumsi bahwa volume 1 m3 akan menjadi 0.50 m3 dikarenakan
pada kawasan studi jenis tanah adalah tanah medi-teran (Morris & Johnson, 1967;
Freeze & Cherry, 1979 dalam Kodoatie, 2012)).

1.3.7 Contoh Perhitungan

Heryani (2009) dalam tulisannya yang berjudul Teknik Panen Hujan :


Salah Satu Alternatif Untuk Memenuhi Kebutuhan Air Domestik menjelaskan
bahwa potensi jumlah air yang dapat dipanen (the water harvesting potential) dari
suatu bangunan atap dapat diketahui melalui perhitungan secara sederhana,
sebagai berikut :

11
Jumlah air yang dapat dipanen = Luas area × curah hujan × koefisien runoff

Sebagai ilustrasi seperti disajikan pada gambar diatas, untuk suatu areal
tangkapan hujan dengan luas 200 m2, curah hujan tahunan 500 mm, maka jumlah
air yang dapat dipanen ditetapkan sebagai berikut :

 Dengan luas area = 200 m2 dan jumlah curah hujan tahunan = 500
mm, maka volume air hujan yang jatuh di area tersebut:
= 20.000 dm2 × 5 dm = 100.000 liter
 Dengan asumsi hanya 80% dari total hujan yang dapat dipanen
(20% hilang karena evaporasi atau kebocoran), maka volume yang
dapat dipanen :
= 100.000 × 0.8 = 80.000 liter/tahun.

12
BAB II

REVIEW RAIN WATER HARVESTING (RWH)

2.1 Perbandingan dengan Negara Berkembang Lainnya

2.1.1 Rain Water Harvesting di negara berkembang

Pemanfaatan air hujan di negara berkembang sudah sejak lama di gunakan


.Keberadaan air dari sumber air seperti danau, sungai, dan air bawah tanah sangat
fluktuatif. Mengumpulkan dan menyimpan air hujan dapat menjadi solusi saat
kualitas air permukaan, seperti air danau atau sungai, menjadi rendah selama
musim hujan, sebagaimana sering terjadi di Bangladesh. Dinegara berkembang
RWH ini sebagian besar hanya di peuntukan untuk keperluan skala rumah
tannga, artinya RWH yang di terapkan hanya untuk skala kecil. Dinegara
berkembang ini metode yang di lakukan sebagian besar masih tradisonal, tidak
ada pengolahan lanjutan pada air yang di panen. Misalnya pemanenan melalui
atap kemudian air di aliri ke penampungan, permasalahan yang biasanya terjadi di
negara berkembang belum sepenuhnya memperhatikan aspek kesehatan seperti,
kebersihan atap, kebersihan tanki penampung dan peletakan tangki yang
mempengaruhi kualiatas dari air hasil pemanenan.

Gambar 2.1 : PAH no. 84625 di Brazil dalam program untuk 1 Juta Tangki Air

13
2.2 Perbandingan dengan Negara Maju Lainnya

2.2.1 Rain Water Harvesting di Negara Maju


.Peningkatan kebutuhan terhadap air berakibat meningkatnya pengambilan
air bawah tanah sehingga mengurangi cadangan air bawah tanah. Sistem
pemanenan air hujan merupakan alternatif yang bermanfaat. Proyek pemanenan
air hujan membuat area penangkap air hujan seluas 1000 – 10.000 m2 bahkan
lebih. Pemanenan air hujan ini dibangun di rumah sakit, pusat-pusat perbelanjaan,
perguruan tinggi, fasilitas olahraga, kantor, taman dan kebun. Jadi pada umumnya
penerapan RWH di Negara maju di peuntukan untuk domestic dan keperluan
umum karna memanen air hujan merupakan alternatif yang sangat bagus.
Perbedaan yang signifikan dengan Negara berkembang adalah air yang di panen
menggunakan teknologi sederhana sampai teknologi tingkat tinggi, contohnya
untuk skala rumah tangga, air yang akan di tamping terlebih dahulu melewati
filter sederhana bertujuan untuk memisahkan kotoran padat yang berada di atap
rumah.

Gambar2.3 : Rainwater Harvesting Tank At Hospital, Australia Hauber-Davidson

14
BAB III
PERENCANAAN EVALUASI RWH

3.1 Lokasi Terpilih

Lokasi yang dipilih untuk eveluasi Rain Water Harvesting (RWH) yakni
Asrama Mahasiswa Sri Buantan Bengkalis, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Permasalahan yang sering terjadi di asrama yaitu genangan air yang berada di
sekitar asrama yang disebabkan oleh minimnya saluran pembuangan air dan
kuranganya area resapan air. Pada tahun 2015 pengurus asrama berinisiatif untuk
mengurangi genangan air dengan cara menampung air hujan kemudian
dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari.

Gambar 3.1 Asrama Mahasiswa Sri Buantan Bengkalis

15
3.2 Aspek Teknis

Teknologi yang digunakan untuk menanggulangi permasalahan genangan


air yang ada di Asrama Mahasiswa Sri Buantan Bengkalis adalah metode Rain
Water Harvesting dengan melalui atap. Jenis atap yang digunakan adalah Seng
Galvalum sehingga sangat mendukung dalam proses pemanenan air hujan. Teknik
yang digunakan dalam pemanenan air hujan melalui atap kemudian air hujan
dialirkan pada talang air dan disalurkan melalui pipa. Bangunan asrama
berbentuk seperti kotak, dimana setiap ujung atap memiliki talang yang saling
terhubung. Dari talang tersebut kemudian air dialirkan melalui tiga pipa. Air yang
dialirkan pada pipa pertama langsung dibuang pada sumur resapan, sedangakan
dua pipa yang lain dimanfaatkan untuk beberapa keperluan sehari-hari.

Gambar 3.2 Seng Galvalum

16
Jenis seng ini dibuat dari bahan zincalume yakni baja lapis hasil campuran antara
Aluminium dan Zinc dengan komposisi 55% Aluminium , 43.5% Zinc dan 1.5%
Silicon. Seng ini terbilang cukup kuat dan tahan terhadap korosi sehingga air
tampungan terjaga kualitasnya. Struktur atap tidak terlalu curam yang
menyebabkan kecepatan air berkurang sehingga air dapat tertampung dengan
maksimal.

gambar 3.3 RWH Asrama SriBuantan

17
3.3 Aspek Ekonomi

Dengan menerapakan teknologi ini, ada beberapa keuntungan yang dapat


diperoleh diantaranya penggunaan air menjadi lebih hemat dikarenakan warga
asrama yang biasanya menggunakan air dari PDAM dan sumur untuk keperluan
sehari-hari misalnya menyiram tanaman, mencuci kendaraan, mengganti air di
kolam ikan, beralih menggunakan tampungan air hujan yang dihasilkan dari
teknik RWH. Dana yang di gunakan untuk perawatan RWH ini berasal dari
pemerintah daerah, dana baru bisa keluar apabila terjadi kerusakan parah pada
sistem RWH sedangkan untuk perawatan berasal dari penghuni asrama sri
buantan bengkalis.

Ditinjau dari aspek ekonomi, investasi awal dalam penerapan teknologi


RWH ini terbilang cukup besar sehingga memakan biaya yang cukup banyak.

3.4 Aspek Sosial

Penerapan teknologi Rain Water Harvesting (RWH) juga berdampak


terhadap aspek sosial, sebagai perbandingan sebelum penerapan teknologi RWH
apabila terjadi hujan dengan intensitas yang besar menyebabkan halaman di
asrama menjadi tergenang bahkan pernah terjadi banjir yang meluap hingga ke
kamar-kamar. Akibatnya aktifitas sehari-hari menjadi terganggu.

Setelah penerapan teknologi ini, walaupun asrama diguyur hujan dengan


intensitas yang besar, genangan air tetap ada namun tidak sampai meluap ke
kamar dikarenakan sebagian air di tampung pada penampungan dan sebagiannya
lagi langsung di resapkan ke dalam tanah. Dengan hal ini aktivitas warga asrama
tidak terganggu.

18
DAFTAR PUSTAKA

Agustianto, Deny Arista. (2014). Model Hubungan Hujan dan Runoff (Studi
Lapangan). Jurnal Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Sriwijaya, 2
(2) Juni 2014ISSN: 2355-374X.

Darsono, Suseno. (2007). Sistem Pengelolaan Air Hujan Lokal yang Ramah
Lingkungan. Berkala Ilmiah Teknik Keairan 13 (4), Desember 2007, ISSN
0854-4549.

Heryani, Nani. 2009. Teknik Panen Hujan: Salah Satu Alternatif Untuk Memenuhi
Kebutuhan Air Domestik. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi.
Departemen Pertanian. Jakarta.

Kodoatie, J.K. (2012). Tata Ruang Air Tanah. Yogyakarta: Andy.

Lizarrage-Mendiona, Liliana, et., all. (2015). Article: Estimating the Rainwater


Harvesting Potential per Household in an Urban Area: Case Study in
Central Mexico. ISSN 2073-4441, www.mdpi.com/ jurnal/water.

Maryono, Agus. (2014). Menangani Banjir, Kekeringan, dan Lingkungan.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Meyer 1982 dari Frick dan Mulyani 2006; Mcguen, 1989 dalam Khairunnisa dan
Indradjati, 2013 dan Oki Aktariadi., Dikdik Riyadi. 2010, Haryono. 1999
dalam Dian Werokila, 2015.

Ningsih, Dwi Handayani Untari. (2012). Metode Thiessen Polygon untuk


Ramalan Sebaran Curah Hujan Periode Tertentu pada Wilayah yang Tidak
Memiliki Data Curah Hujan. Jurnal Teknologi Informasi DINAMIKA, 17
(2), ISSN: 0854-9524.

19
Nazharia, Cyntia., Sri Marhati. (2013). Jurnal: Perhitungan Pembiayaan
Pemanenan Air Hujan sebagai system penyediaan air bersih dalam
berbagai skala di Kelurahan Sukajadi, Kota Dumai. Magister Perencanaan
Wilayah dan Kota B SAPPK ITB V2NI.

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2009.

Zulkipli, Widandi Soetopo, Hari Prasetio. (2012). Analisia Neraca Air Permukaan
DAS Renggung untuk Memenuhi Kebutuhan Air Irigasi dan Domestik
Penduduk Kabupaten Lombok Tengah. Jurnal Teknik Pengairan
Universitas Brawijaya 3(2), Desember 2012, hlm 87-96.

20

Anda mungkin juga menyukai