Anda di halaman 1dari 8

61

BAB IV

PEMBAHASAN

Bab ini penulis akan membahas proses keperawatan pada asuhan keperawatan
yang dilakukan pada tanggal 08 s/d 11 november 2016 di ruang ICCU RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Pembahasan ini memfokuskan pada
diagnosa utama dan intervensi yang dilakukan pada Ny. M.

A. Profil Lahan Praktek


RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda (RSUD AWS) merupakan rumah
sakit tipe A yang menjadi pusat rujukan nasional yang status kepemilikannya
berada di bawah pemerintahan provinsi yang terletak di Jalan Palang Merah
Indonesia ini, menjadi rumah sakit pemerintah yang juga berfungsi sebagai
rumah sakit pendidikan. Pelayanan yang dimiliki RSUD AWS meliputi
Instalasi Gawat Darurat, Poliklinik, rawat inap, dan pelayanan jantung / cath
lab.
Salah satu ruang perawatan intensive yang dimiliki oleh RSUD AWS adalah
ruang ICCU yang merupakan unit perawatan intensif untuk penyakit jantung,
terutama penyakit jantung koroner, serangan jantung, gangguan irama
jantung yang berat, dan gagal jantung. Fasilitas yang tersedia di ruang ICCU
yaitu jumlah tempat tidur yang berjumlah 11 bed, monitor EKG yang
berjumah 11 unit, alat EKG 1 unit, alat DC Shock 1 unit. Selain tersedianya
berbagai fasilitas yang ada, ditunjang juga oleh tenaga keperawatannya
yang profesional sebanyak 27 perawat dengan tingkat pendidikan yang
berbeda-beda. Perawat yang berpendidikan DIII keperawatan sebanyak 20
orang, DIV sebanyak 2 orang, S1 keperawatan sebanyak 3 orang, dan ners
sebanyak 3 orang. Jumlah perawat yang telah mengikuti pelatihan ACLS
sebanyak 10 orang, pelatihan BTCLS sebanyak 28 orang, dan pelatihan
keperawatan kardiologi sebanyak 6 orang.

B. Analisis Masalah
Kasus kelolaan utama merupakan pasien dengan gagal jantung kongestif
atau congestive heart failure (CHF). CHF adalah ketidakmampuan jantung
62

untuk memompa darah secara adekuat untuk memenuhi kebutuhan


metabolisme tubuh akan oksigen dan nutrisi (Black & Hawks, 2009; Leslie,
2004; Polikandrioti, 2008; Smeltzer & Bare, 2002). Penyakit ini disebabkan
oleh kondisi yang melemahkan keadaan jantung, baik oleh penyebab
intrinsik maupun ekstrinsik. Penyebab intrinsik CHF adalah adanya penyakit
jantung koroner (Black & Hawks, 2009; Brown & Edwards, 2005; Muttaqin,
2009). Penyebab ekstrinsik dapat berupa peningkatan afterload dan
hipertensi. Penyebab ekstrinsik dan intrinsik dapat diakibatkan oleh adanya
faktor peningkatan usia, hipertensi, diabetes, merokok, obesitas, dan
tingginya tingkat kolesterol dalam darah (Brown & Edwards, 2005). Gejala
yang muncul dari gagal jantung salah satunya nyeri dada (Aspiani, 2014).

Masalah keperawatan yang terjadi pada Ny. M pada saat pengkajian adalah
timbulnya rasa nyeri. Penyebab nyeri dada yang timbul secara mendadak
dikarnakan menurunnya aliran darah koroner akibat pembentukan thrombus
menyebabkan kematian jaringan sehingga mengakibatkan jaringan tersebut
menjadi nekrosis dan akhirnya menyebabkan suplai oksigen ke miokardium
mengalami penurunan. Gejala klinis nyeri dada pada kasus nyeri pada
jantung, muncul secara tiba-tiba dan secara terus menerus serta tidak
mereda. Apabila nyeri ini dibiarkan, tingkat keparahan nyeri akan menjadi
meningkat sehingga nyeri tidak tertahankan lagi. Nyeri tersebut dapat
menjalar ke leher, bahu dan terus menuju lengan. Nyeri ini disertai sesak
napas dan pucat (Aspiani, 2014).

Seseorang yang mengalami nyeri akan berdampak pada aktivitas sehari-


harinya. Sehingga saya tertarik untuk membahas masalah gangguan rasa
nyaman nyeri ini untuk dianalisis karena pasien kritis dengan perawatan di
ruang ICCU (Intensive Cardiac Care Unit) memiliki morbiditas dan mortalitas
yang tinggi seseorang akan terganggu dalam pemenuhan kebutuhan
istirahat dan tidurnya, pemenuhan individual, juga aspek interaksi sosialnya
yang dapat berupa menghindari percakapan, menarik diri, dan menghindari
kontak. Selain itu, seseorang yang mengalami nyeri hebat dan nyerinya
berkelanjutan, apabila tidak segera ditangani pada akhirnya dapat
mengakibatkan syok neurologik pada orang tersebut (Agung, 2013).
63

Hal ini juga didukung oleh teori Kebutuhan dasar manusia menurut Abraham
Maslow menyatakan bahwa setiap manusia memiliki lima kebutuhan dasar.
Kebutuhan dasar paling bawah atau tingkat pertama, termasuk kebutuhan
fisiologis seperti udara, air dan makanan. Tigkat kedua yaitu kebutuhan
keamanan dan perlindungan, termasuk juga keamanan fisik dan psikologis.
Tingkat ketiga berisi kebutuhan akan cinta dan memiliki, termasuk di
dalamnya hubungan pertemanan, hubungan sosial, hubungan cinta. Tingkat
keempat yaitu kebutuhan akan penghargaan diri,termasuk juga kepercayan
diri, pendayagunaan, penghargaan, dan nilai diri. Tingkat terakhir merupakan
kebutuhan aktualisasi diri, keadaan pencapaian potensi, dan mempunyai
kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan beradaptasi dengan
kehidupan ( Potter & Perry, 2009).

C. Analisis intervensi Terapi perilaku kognitif (Teknik Relaksasi dan


distraksi imajinasi) pada pasien kelolaan
Penulis melakukan intervensi keperawatan nyeri berupa mengajarkan teknik
terapi kognitif (teknik relaksasi dan distraksi imajinasi) pada beberapa pasien
yang mengalami nyeri dada pada kasus CHF. Berdasarkan hasil
pengamatan dan observasi dapat penulis simpulkan bahwa dengan
menggunakan teknik relaksasi dan distraksi dapat mempengaruhi intensitas
nyeri yang dialami oleh klien. Sebagian besar klien mengatakan bahwa
nyerinya berkurang setelah dilakukannya teknik relaksasi nafas dalam dan
distraksi.

Klien Ny. M mengatakan bahwa nyeri dada yang dialami saat masuk rumah
sakit adalah dengan skala nyeri 7, kemudian klien diajarkan teknik relaksasi
nafas dalam dan teknik distraksi, namun nyeri yang dirasakannya belum juga
berkurang. Hari kedua perawatan klien mengatakan bahwa nyeri yang
dialaminya hilang timbul dengan skala nyeri 5, jika mulai terasa nyeri klien
rutin melakukan teknik relaksasi nafas dalam dan teknik distraksi, klien
mengatakan bahwa dia mulai dapat mengontrol dan dapat mentoleransi rasa
nyeri yang dialaminya. Hari ketiga dan ke empat perawatan, klien
mengatakan bahwa nyerinya sudah berkurang dengan skala nyeri 3 dan
64

klien sudah dapat lebih mengontrol dan mentoleransi rasa nyeri yang
terkadang masih timbul.

Klien Ny. R mengatakan bahwa nyeri dada yang dialaminya saat masuk
rumah sakit adalah dengan skala nyeri 8, kemudian setelah klien diajarkan
teknik relaksasi nafas dalam dan teknik distraksi, klien mengatakan bahwa
dia belum dapat mengontrol rasa nyerinya tersebut dan klien mulai dapat
mengontrol atau mentoleransi rasa nyeri yang dialaminya pada hari ketiga
perawatan, dimana rasa nyeri yang dialaminya sudah mulai berkurang
dengan skala nyeri 3-4. Klien juga mengatakan diantara kedua teknik kognitif
yang diajarkan, klien lebih menyukai teknik distraksi imajinasi.

Klien Tn. R mengatakan bahwa nyeri dada yang dialaminya saat masuk
rumah sakit adalah dengan skala nyeri 8, kemudian setelah klien diajarkan
teknik relaksasi nafas dalam dan teknik distraksi, klien mengatakan bahwa
belum ada perubahan yang berarti. Hari ketiga perawatan, klien masih
berada pada rentang nyeri sedang, yaitu dengan skala nyeri 6. Klien
mengatakan bahwa dia jarang melakukan teknik relaksasi maupun teknik
distraksi yang diajarkan, karena klien menganggap bahwa rasa nyeri yang
dialaminya hanya bisa hilang dengan minum obat atau setelah di suntik oleh
perawat.

Pemberian teknik relaksasi nafas dalam jika dilakukan dengan secara benar
maka akan menimbulkan penurunan nyeri yang dirasakan sangat
berkurang/optimal dan pasien merasa nyaman daripada sebelumnya,
sebaliknya jika teknik relaksasi nafas dalam dilakukan dengan tidak benar,
maka nyeri yang dirasakan sedikit berkurang namun masih terasa nyeri dan
pasien merasa tidak nyaman dengan keadaannya. Teknik relaksasi nafas
dalam yang berulang akan dapat menimbulkan rasa nyaman yang pada
akhirnya akan meningkatkan toleransi persepsi dalam menurunkan rasa
nyeri yang dialami klien. Jika seseorang mampu meningkatkan toleransi rasa
nyerinya maka seseorang akan mampu beradaptasi dengan nyeri dan juga
akan memiliki pertahanan diri yang baik pula (Lukman, 2013).
65

Teknik distraksi dapat menurunkan kewaspadaan klien terhadap nyeri


bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Keefektifan distraksi
tergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan membangkitkan
input sensori selain nyeri (Smletzer dan Bare, 2002).

Distraksi dapat mengatasi nyeri berdasarkan teori Gate Control, bahwa


impuls nyeri dapat di atur atau di hambat oleh mekanisme pertahanan
disepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri
dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls di hambat saat
sebuah pertahanan ditutup. Salah satu cara menutup mekanisme ini adalah
dengan meragsang sekresi endirfin yang akan menghambat pelepasan
substansi P.

Distraksi yang memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain pada


nyeri, dapat menjadi strategi yang sangat berhasil dan mungkin merupakan
mekanisme terhadap teknik kognitif efektif lainnya. Distraksi diduga dapat
menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi system kontrol desenden,
yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak.
Teknik relaksasi dipercaya dapat menurunkan intensitas nyeri dengan
merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri.

D. Alternatif Penyelesaian Masalah


Masalah keperawatan yang timbul pada pasien kelolaan dapat diatasi bila
terjadi kolaborasi yang baik antara pasien dan pemberi layanan kesehatan,
dalam hal ini khususnya perawat. Pasien memiliki peranan penting untuk
melakukan perawatan mandiri (self care) dalam perbaikan kesehatan dan
mencegah rawat ulang di rumah sakit (Barnason, Zimmerman, & Young,
2011). Self care merupakan cara yang penting untuk memberdayakan
pasien dengan gagal jantung untuk bertanggung jawab atas kesehatan
mereka serta meningkatkan hasil intervensi (Ditewig et al., 2010; Wilkinson &
Whitehead, 2009; Riegel et. al., 2009).

Perilaku yang diharapkan dari self care adalah kepatuhan dalam medikasi
maupun instruksi dokter, seperti diet, pembatasan cairan maupun
pembatasan aktivitas. Pendidikan kesehatan tentang penyakit dan hal-hal
66

yang harus ditaati untuk mencegah perburukan kondisi telah diberikan, tetapi
usaha tersebut tidak merubah kebiasaan pasien. Pendidikan kesehatan saja
tidak cukup untuk meningkatkan self care seseorang. Hal ini disebabkan
karena peningkatan pengetahuan saja tidak akan mudah untuk mengubah
kebiasaan seseorang (Barnason, Zimmerman, & Young, 2011). Dukungan
intervensi lain diperlukan untuk membantu keefektifan pengetahuan yang
telah dimiliki oleh pasien. Intervensi menggunakan konseling dan dukungan
individu, atau cognitive behavioral intervention (CBT), terbukti dapat
meningkatkan kemampuan self care dan self efficacy pasien dengan gagal
jantung (Riegel & Carlson, 2004; DeWalt et.al., 2006; Barnason et. al.,
2010).

Intervensi CBT ini dilakukan fokus terhadap faktor yang mempengaruhi self
care serta hasil dan tujuan yang ingin dicapai, konseling untuk meningkatkan
hasil yang ingin dicapai, mengatasi penghambat, dan pemberian
reinforcement posistif atas keyakinan kesehatan pasien yang baik mengenai
gagal jantung (Caldwell et. al., 2005; Dansky, 2008; Sethares & Elliott,
2004). Dukungan konselor, keluarga, dan pasien lain merupakan hal yang
penting dalam mendukung keberhasilan intervensi ini (Riegel & Carlson,
2004; Dunbar et. al., 2005; Yehle et. al., 2009; Powell et. al., 2010;
Smeulders et. al., 2010).

Perawat dalam pemberian intervensi ini berperan sebagai konselor.


Pemberian pendidikan kesehatan dan CBT diharapkan mampu
meningkatkan self care dan self efficacy pasien gagal jantung sehingga
dapat mencegah perburukan kondisi dan insiden rawat ulang di rumah sakit.
Peranan perawat sebagai konselor pada intervensi CBT memiliki posisi yang
penting. Konselor dituntut untuk mampu mengarahkan pasien sehingga
tujuan intervensi tercapai. Kemampuan sebagai konselor ini tidak dimiliki
oleh semua perawat karena kemampuan ini membutuhkan pengetahuan dan
pelatihan yang cukup. Sementara itu, sebagian besar perawat ruangan
masih memiliki pendidikan D3 dan belum terpapar pengetahuan mengenai
CBT. Hal ini dapat disikapi dengan melakukan pelatihan mengenai CBT
pada perawat ruangan.
67

Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah pihak rumah sakit menyediakan
konselor yang telah terlatih dan bertugas memberikan intervensi pada
pasien. Pengetahuan akan berbagai intervensi untuk pasien menjadi hal
penting dan utama bagi perawat. Selain CBT, perawat ruangan juga masih
kurang familiar dalam hal mengajarkan tentang terapi perilaku kognitif (teknik
relaksasi dan distraksi imajinasi). Oleh karena itu, pengenalan intervensi
terapi perilaku kognitif perlu diberikan kepada perawat ruangan, baik dengan
mengadakan pelatihan formal maupun pengenalan informal saat berinteraksi
dengan perawat ruangan
68

68

Anda mungkin juga menyukai