BAB IV
PEMBAHASAN
Bab ini penulis akan membahas proses keperawatan pada asuhan keperawatan
yang dilakukan pada tanggal 08 s/d 11 november 2016 di ruang ICCU RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Pembahasan ini memfokuskan pada
diagnosa utama dan intervensi yang dilakukan pada Ny. M.
B. Analisis Masalah
Kasus kelolaan utama merupakan pasien dengan gagal jantung kongestif
atau congestive heart failure (CHF). CHF adalah ketidakmampuan jantung
62
Masalah keperawatan yang terjadi pada Ny. M pada saat pengkajian adalah
timbulnya rasa nyeri. Penyebab nyeri dada yang timbul secara mendadak
dikarnakan menurunnya aliran darah koroner akibat pembentukan thrombus
menyebabkan kematian jaringan sehingga mengakibatkan jaringan tersebut
menjadi nekrosis dan akhirnya menyebabkan suplai oksigen ke miokardium
mengalami penurunan. Gejala klinis nyeri dada pada kasus nyeri pada
jantung, muncul secara tiba-tiba dan secara terus menerus serta tidak
mereda. Apabila nyeri ini dibiarkan, tingkat keparahan nyeri akan menjadi
meningkat sehingga nyeri tidak tertahankan lagi. Nyeri tersebut dapat
menjalar ke leher, bahu dan terus menuju lengan. Nyeri ini disertai sesak
napas dan pucat (Aspiani, 2014).
Hal ini juga didukung oleh teori Kebutuhan dasar manusia menurut Abraham
Maslow menyatakan bahwa setiap manusia memiliki lima kebutuhan dasar.
Kebutuhan dasar paling bawah atau tingkat pertama, termasuk kebutuhan
fisiologis seperti udara, air dan makanan. Tigkat kedua yaitu kebutuhan
keamanan dan perlindungan, termasuk juga keamanan fisik dan psikologis.
Tingkat ketiga berisi kebutuhan akan cinta dan memiliki, termasuk di
dalamnya hubungan pertemanan, hubungan sosial, hubungan cinta. Tingkat
keempat yaitu kebutuhan akan penghargaan diri,termasuk juga kepercayan
diri, pendayagunaan, penghargaan, dan nilai diri. Tingkat terakhir merupakan
kebutuhan aktualisasi diri, keadaan pencapaian potensi, dan mempunyai
kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan beradaptasi dengan
kehidupan ( Potter & Perry, 2009).
Klien Ny. M mengatakan bahwa nyeri dada yang dialami saat masuk rumah
sakit adalah dengan skala nyeri 7, kemudian klien diajarkan teknik relaksasi
nafas dalam dan teknik distraksi, namun nyeri yang dirasakannya belum juga
berkurang. Hari kedua perawatan klien mengatakan bahwa nyeri yang
dialaminya hilang timbul dengan skala nyeri 5, jika mulai terasa nyeri klien
rutin melakukan teknik relaksasi nafas dalam dan teknik distraksi, klien
mengatakan bahwa dia mulai dapat mengontrol dan dapat mentoleransi rasa
nyeri yang dialaminya. Hari ketiga dan ke empat perawatan, klien
mengatakan bahwa nyerinya sudah berkurang dengan skala nyeri 3 dan
64
klien sudah dapat lebih mengontrol dan mentoleransi rasa nyeri yang
terkadang masih timbul.
Klien Ny. R mengatakan bahwa nyeri dada yang dialaminya saat masuk
rumah sakit adalah dengan skala nyeri 8, kemudian setelah klien diajarkan
teknik relaksasi nafas dalam dan teknik distraksi, klien mengatakan bahwa
dia belum dapat mengontrol rasa nyerinya tersebut dan klien mulai dapat
mengontrol atau mentoleransi rasa nyeri yang dialaminya pada hari ketiga
perawatan, dimana rasa nyeri yang dialaminya sudah mulai berkurang
dengan skala nyeri 3-4. Klien juga mengatakan diantara kedua teknik kognitif
yang diajarkan, klien lebih menyukai teknik distraksi imajinasi.
Klien Tn. R mengatakan bahwa nyeri dada yang dialaminya saat masuk
rumah sakit adalah dengan skala nyeri 8, kemudian setelah klien diajarkan
teknik relaksasi nafas dalam dan teknik distraksi, klien mengatakan bahwa
belum ada perubahan yang berarti. Hari ketiga perawatan, klien masih
berada pada rentang nyeri sedang, yaitu dengan skala nyeri 6. Klien
mengatakan bahwa dia jarang melakukan teknik relaksasi maupun teknik
distraksi yang diajarkan, karena klien menganggap bahwa rasa nyeri yang
dialaminya hanya bisa hilang dengan minum obat atau setelah di suntik oleh
perawat.
Pemberian teknik relaksasi nafas dalam jika dilakukan dengan secara benar
maka akan menimbulkan penurunan nyeri yang dirasakan sangat
berkurang/optimal dan pasien merasa nyaman daripada sebelumnya,
sebaliknya jika teknik relaksasi nafas dalam dilakukan dengan tidak benar,
maka nyeri yang dirasakan sedikit berkurang namun masih terasa nyeri dan
pasien merasa tidak nyaman dengan keadaannya. Teknik relaksasi nafas
dalam yang berulang akan dapat menimbulkan rasa nyaman yang pada
akhirnya akan meningkatkan toleransi persepsi dalam menurunkan rasa
nyeri yang dialami klien. Jika seseorang mampu meningkatkan toleransi rasa
nyerinya maka seseorang akan mampu beradaptasi dengan nyeri dan juga
akan memiliki pertahanan diri yang baik pula (Lukman, 2013).
65
Perilaku yang diharapkan dari self care adalah kepatuhan dalam medikasi
maupun instruksi dokter, seperti diet, pembatasan cairan maupun
pembatasan aktivitas. Pendidikan kesehatan tentang penyakit dan hal-hal
66
yang harus ditaati untuk mencegah perburukan kondisi telah diberikan, tetapi
usaha tersebut tidak merubah kebiasaan pasien. Pendidikan kesehatan saja
tidak cukup untuk meningkatkan self care seseorang. Hal ini disebabkan
karena peningkatan pengetahuan saja tidak akan mudah untuk mengubah
kebiasaan seseorang (Barnason, Zimmerman, & Young, 2011). Dukungan
intervensi lain diperlukan untuk membantu keefektifan pengetahuan yang
telah dimiliki oleh pasien. Intervensi menggunakan konseling dan dukungan
individu, atau cognitive behavioral intervention (CBT), terbukti dapat
meningkatkan kemampuan self care dan self efficacy pasien dengan gagal
jantung (Riegel & Carlson, 2004; DeWalt et.al., 2006; Barnason et. al.,
2010).
Intervensi CBT ini dilakukan fokus terhadap faktor yang mempengaruhi self
care serta hasil dan tujuan yang ingin dicapai, konseling untuk meningkatkan
hasil yang ingin dicapai, mengatasi penghambat, dan pemberian
reinforcement posistif atas keyakinan kesehatan pasien yang baik mengenai
gagal jantung (Caldwell et. al., 2005; Dansky, 2008; Sethares & Elliott,
2004). Dukungan konselor, keluarga, dan pasien lain merupakan hal yang
penting dalam mendukung keberhasilan intervensi ini (Riegel & Carlson,
2004; Dunbar et. al., 2005; Yehle et. al., 2009; Powell et. al., 2010;
Smeulders et. al., 2010).
Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah pihak rumah sakit menyediakan
konselor yang telah terlatih dan bertugas memberikan intervensi pada
pasien. Pengetahuan akan berbagai intervensi untuk pasien menjadi hal
penting dan utama bagi perawat. Selain CBT, perawat ruangan juga masih
kurang familiar dalam hal mengajarkan tentang terapi perilaku kognitif (teknik
relaksasi dan distraksi imajinasi). Oleh karena itu, pengenalan intervensi
terapi perilaku kognitif perlu diberikan kepada perawat ruangan, baik dengan
mengadakan pelatihan formal maupun pengenalan informal saat berinteraksi
dengan perawat ruangan
68
68