PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara kepualauan yang terletak di posisi strategis dengan dua lautan
yang mengelilinginya. Hal ini turut mempengaruhi mekanisme pemerintahan di Indonesia,
dimana sulitnya koordinasi pemerintah pusan dengan pemerintah daerah. Hal ini pula yang
mendorong akan terwujudnya suatu sistem pemerintahan yang efisien dan mandiri untuk
memudahkan koordinasi antara kedua belah pihak tersebut.
Hal ini juga bertujuan untuk tetap menjaga keutuhan negara Indonesia mengingat banyaknya
ancaman yang menghadang bangsa Indonesia. Diantaranya yaitu munculnya beberapa daerah
yang ingin memisahkan diri dengan negara Indonesiauntuk mngatur kehidupannya secara
mandiri.selain itu, potensi sumber daya alam yang tidak merata di daerah-daerah juga
menjadi indikasi penyebab dibutuhkannya suatu sistem pemerintahan untuk mengatur dan
mengelola sumber daya alam sehingga dapat menjadi sumber pendapatan daerah dan bahkan
negara.
Disinilah peran pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola daerah yang jauh dari
jangkauan pemerintah pusat agar tidak terjadi pengabaian sumber daya dan potensi yang ada.
Maka dibentuklah suatu sistem yang dinamakan otonomi daerah oleh pemerintah.
Selanjutnya, makalah akan menguraikan tentang otonomi daerah dan pelaksanaan otonomi
daerah di Indonesia. Selamat membaca.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Hakikat otonomi Daerah?
2. Apa saja Visi otonomi daerah?
3. Bagaimana Bentuk dan Tujuan Otonomi Daerah?
4. Bagaiman Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
Otonomi daerah dalam arti sempit adalah mandiri. Sedangkan dalam arti luas diartikan
sebagai berdaya. Dengan demikian, otonomi daerah berarti kemandirian suatu daerah dalam
kaitan pembuatan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Otonomi
daerah merupakan rangkaian upaya program pembangunan daerah dalam tercapainya tujuan
pembangunan nasional. Untuk itu, keberhasilan peningkatan otonomi daerah tidak terlepas
dari kemampuan aparat pemerintah pusat dan sumber daya manusia (SDM) dalam tugasnya
sebagai perumus kebijakan nasional.
Otonomi daerah dapat diartikan juga sebagai kewajiban yang diberikan kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarkat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil
guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarkat dan
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut Ateng Syarifuddin, otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi
bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud oleh pemberian
kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
Sedangkan menurut Vincent Lemius, otonomi daerah adalah kebebasan (kewenangan) untuk
mengambil atau membuat suatu keputusan politik maupun administrasi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Di dalam otonomi daerah terdapat kebebasan yang dimiliki
oleh pemerintah daerah untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah. Namun apa
yang menjadi kebutuhan daerah tersebut harus senantiasa disesuaikan dengan kepentingan
nasional sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Otonomi daerah memiliki hubungan yang erat dengan desentralisasi, yaitu penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sedangkan otonomi daerah merupakan hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hubungan erat antar pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah harus serasi sehingga akan dapat mewujudkan tujuan yang ingun dicapai.
Di bidang politik, visi otonomi daerah harus dipahami sebagai sebuah proses bagi lahirnya
kader-kader politik untuk menjadi kepala pemerintahan yang dipilih secara demokratis serta
memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap
kepentingan masyarakat luas.
Adapun di bidang ekonomi, visi otonomi daerah mengandung makna bahwa otonomi daerah
di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah.
Di pihak lain mendorong terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan
kebijakan lokal kedaerahan untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di
daerahnya. Dalam kerangka ini, otonomi daerah memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa
pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan
usaha, dan membangun berbagai infrastuktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerah.
Sedangkan visi otonomi daerah di bidang social dan budaya mengandung pengertian bahwa
otonomi daerah harus diarahkan pada pengelolaan., penciptaan dan pemeliharaan integrasi
dan harmoni social. Pada saat yang sama, visi otonomi daerah dibidang sosial dan budaya
adalah memelihara dan mengembangkan nilai, tradisi, karya seni, karya cipta, bahasa, dan
karya sastra lokal yang dipandang kondusif dalam mendorong masyarakat untuk merespon
positif dinamika kehidupan di sekitarnya dan kehidupan global. Karenanya, aspek social
budaya harus diletakkan secara cepat dan terarah agar kehidupan sosial tetap terjaga secara
utuh dan budaya lokal tetap eksis dan mempunyai daya keberlanjutan.
1. Dekonsentrasi
Desentralisasi dalam bentuk dekonsentrasi (deconcentration), pada hakikatnya hanya
merupakan pembagian kewenangan dan tanggung jawab administratif antara pemerintah
pusat dengan pejabat birokrasi pusat di lapangan. Jadi, dekonsentrasi hanya berupa
pergeseran volume pekerjaan dari pemerintah pusat kepada perwakilannya yang ada di
daerah, tanpa adanya penyerahan atau pelimpahan kewenangan untuk mengambil keputusan
atau keleluasaan untuk membuat keputusan.
2. Delegasi
Delegasi merupakan pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial untuk
melakukan tugas-tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak secara langsung berada di
bawah pengawasan pemerintah pusat. Terhadap organisasi semacam ini pada dasarnya
diberikan kewenangan semi independen untuk melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya.
Bahkan kadang-kadang berada diluar ketentuan yang diatur oleh pemerintah pusat., karena
bersifat lebih komersial dan mengutamakan efisiensi daripada prosedur birokratis dan politis.
Hal ini biasanya dilakukan terhadap suatu badan usaha publik yang tugasnya melaksanakan
proyek tertentu, seperti telekomunikasi, listrik, bendungan, dan jalan raya.
3. Devolusi
Devolusi merupakan bentuk desentralisasi yang lebih ekstensif, yang merujuk pada situasi
dimana pemerintah pusat mentransfer kewenangan untuk pengambilan keputusan, keuangan
dan manajemen kepada unit otonomi pemerintah daerah. Devolusi adalah kondisi dimana
pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu kepada unit-unit itu
untuk dilaksanakan secara mandiri. Menurut Rondinelli, devolusi merupakan upaya
memperkuat pemerintah daerah sacara legal yang secara substansif kegiatan-kegiatan yang
dilakukannya diluar kendali langsung pemerintah pusat.
Devolusi dapat berupa transfer tanggung jawab untuk pelayanan kepada pemerintahan
kota/kabupaten dalam memilih walikota/bupati dan DPRD, meningkatkan pendapatan
mereka dan memiliki independensi kewenangan untuk mengambil keputusan investasi.
Ciri-ciri Devolusi:
1. Adanya sebuah badan lokal yang secara konstitusional terpisah dari pemerintah pusat
dan bertanggung jawab pada pelayanan lokal yang signifikan.
2. Pemerintah daerah harus memiliki kekayaan sendiri, anggaran dan rekening seiring
dengan otoritas untuk meningkatkan pendapatannya.
3. Harus mengembangkan kompetensi staf.
4. Anggota dewan yang terpilih, yang beroperasi pada garis partai, harus menentukan
kebijakan dan prosedur internal.
5. Pejabat pemerintah pusat harus melayani sebagai penasehat dan evaluator luar yang
tidak memiliki peranan apapun didalam otoritas lokal.
4. Privatisasi
Menurut Romdinelli privatisasi adalah suatu tindakan pemberian kewenangan dari
pemerintah kepada badan-badan sukarela swasta dan swadaya masyarakat, namun dapat pula
merupakan peleburan badan pemerintah menjadi badan usaha swasta misalnya BUMN dan
BUMD dilebur menjadi perusahaan terbatas (PT) dalam beberapa hal misalnya pemerintah
mentransfer beberapa kegiatan kepada kamar dagang dan industri, koperasi dan asosiasi
lainnya untuk mengeluarkan izin-izin, bimbingan dan pengawasan, yang semula dilakukan
oleh pemerintah dalam hal kegiatan sosial, pemerintah memberikan kewenangan dan
tanggung jawab kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam hal seperti pembinaan
kesejahteraan keluarga, koprasi, petani, dan koprasi nelayan untuk melakukan kegiatan-
kegiatan sosial, termasuk melatih dan meningkatkan peran serta dan pemberdayaan
masyarakat.
Undang-undang tersebut diganti oleh UU nomor 22 tahun 1948 yang berfokus pada
pengaturan susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Undang-undang ini menetapkan
dua jenis daerah otonom dan tiga tingkatan daerah otonom.
UU yang terakhir ini berumur paling panjang, yaitu 25 tahun yang kemudian digantikan
dengan UU nomor 22 tahun 1999 pasca reformasi. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan
situasi yang terjadi pada masa itu. Berdasarkan kehendak reformasi saat itu, Sidang Istimewa
MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah; pengaturan,
pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta peimbangan
keuanagn pusat dan daerah dalam kerangka NKRI. Selain itu, hasil amandemen MPR RI
pada pasal 18 UUD 1945 dalam perubahan kedua, yang secara tegas dan eksplisit
menyebutkan bahwa negara Indonesia memakai prinsip otonomi dan desentralisasi kekuatan
politik juga semakin memberikan tempat kepada otonomi daerah di tempatnya.
Tiga tahun setelah implementasi UU No. 22 tahun 1999, pemerintah melakukan peninjauan
dan revisi terhadap undang-undang yang berakhir pada lahirnya UU No. 32 tahun 2004 yang
juga mengatur tentang pemerintah daerah yang berlaku hingga sekarang.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Otonomi daerah dalam arti sempit adalah mandiri. Sedangkan dalam arti luas diartikan
sebagai berdaya. Dengan demikian, otonomi daerah berarti kemandirian suatu daerah dalam
kaitan pembuatan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
Hubungan erat antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah harus serasi sehingga akan
dapat mewujudkan tujuan yang ingun dicapai.
Otonomi daearh memiliki visi dalam tiga ruang lingkup yaitu politik, ekonomi
dan sosial budaya. Hal ini mengingat bahwa tiga aspek inilah yang menjadi perhatian yang
cukup urgen dalam pembangunan daerah.
Di Indonesia dikenal lima konteks desentralisasi yaitu:
1. Dekonsentrasi
2. Delegasi
3. Devolusi
4. Privatisasi
5. Tugas Pembantuan
Perjalanan Otonomi daerah selalu ditandai dengan lahirnya UU baru yang menggantikan UU
sebelumnya. Dimulai dari UU Nomor 1 Tahun 1945 pasca-proklamasi yang kemudian
digantikan oleh UU nomor 22 tahun 1948. Selanjutnya UU Nomor 1 tahun 1957 yang
kemudian diikuti UU Nomor 18 tahun 1965. Pada tahun 1974, muncul undang-undang nomor
5 tahun 1974 yang berumur cukup lama yaitu 25 tahun sebelum masa reformasi yang
kemudian digantikan oleh UU nomor 22 tahun 1999. Setelah tiga tahun implementasinya,
lahirlah UU Nomor 32 tahun 2004 yang berlaku hingga sekarang di Indonesia.
B. KATA PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun, yang mana tentunya tak lepas dari kekurangan baik dalam
penyusunan maupun penyajian. Karena kami pun menyadari tak ada gading yang tak retak.
Untuk itu kritik dan saran pembaca sekalian sangat kami harapkan demi perbaikan dan
evaluasi dari apa yang kami usahakan. Harapan kami semoga bermanfaat. Amin.
Makalah Pkn Otonomi Daerah
By Hendra Suherman ¶ Posted in MKU, Pendidikan Kewarganegaraan ¶ Tinggalkan komentar
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan YME, karena atas berkat rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan Tugas Kelompok untuk memenuhi mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan.
Dalam penulisan karya tulis ini penulis membahas tentang “ Permasalahan Dalam Otonomi
Daerah ” sesuai dengan tujuan instruksional khusus mata kuliah Kewarganegaraan, Program
Studi Pend.Teknik Elektro S1, Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Negeri
Jakarta.
Dengan menyelesaikan karya tulis ini ini, tidak jarang penulis menemui kesulitan. Namun
penulis sudah berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikannya, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang membaca yang sifatnya membangun
untuk dijadikan bahan masukan guna penulisan yang akan datang sehingga menjadi lebih
baik lagi. Semoga karya tulis ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca
pada umumnya.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3.1. Simpulan
………………………………………………………………………………………
Daftar Pustaka
……………………………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari
pengertian tersebut di atas maka akan tampak bahwa daerah diberi hak otonom oleh
pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus kepentingan sendiri.
Implementasi otonomi daerah telah memasuki era baru setelah pemerintah dan DPR sepakat
untuk mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua
UU otonomi daerah ini merupakan revisi terhadap UU Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999
sehingga kedua UU tersebut kini tidak berlaku lagi.
Memang harapan dan kenyataan tidak lah akan selalu sejalan. Tujuan atau harapan tentu akan
berakhir baik bila pelaksanaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan juga berjalan baik.
Namun ketidaktercapaian harapan itu nampak nya mulai terlihat dalam otonomi daerah yang
ada di Indonesia. Masih banyak permasalahan yang mengiringi berjalannya otonomi daerah
di Indonesia. Permasalahan-permasalahan itu tentu harus dicari penyelesaiannya agar tujuan
awal dari otonomi daerah dapat tercapai.
Tujuan penulisan ini di bagi menjadi 2 yaitu, tujuan umum dan khusus:
Dalam penulisan Karya Tulis ini, sistematika penulisan yang digunakan adalah :
BAB I PENDAHULUAN
Berisi tentang : Latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan
sistematika penulisan.
BAB II PEMBAHASAN
Dalam penulisan Karya Tulis ini, metodologi penelitian yang digunakan adalah :
• Studi pustaka yaitu dengan mencari referensi dari buku-buku yang berkaitan dengan
penulisan karya tulis ini
• Penjelajahan internet yaitu dengan mencari beberapa informasi di mesin pencari yang
tidak penulis tidak dapatkan dari buku-buku
BAB II
PEMBAHASAN
Otonomi Daerah adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi
dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya
desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi
sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai
penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia,
desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan
adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di
Indonesia. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab,
kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya adalah keinginan untuk
memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan
langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh
pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan
dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh
pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan
perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat
menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk
memenuhi kebutuhan lokal.
Akan tetapi apakah di tengah-tengah optimisme itu tidak terbersit kekhawatiran bahwa
otonomi daerah juga akan menimbulkan beberapa persoalan yang, jika tidak segera dicari
pemecahannya, akan menyulitkan upaya daerah untuk memajukan rakyatnya? Jika
jawabannya tidak, tentu akan sangat naif. Mengapa? Karena, tanpa disadari, beberapa
dampak yang tidak menguntungkan bagi pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi. Ada
beberapa permasalahan yang dikhawatirkan bila dibiarkan berkepanjangan akan berdampak
sangat buruk pada susunan ketatanegaraan Indonesia.
Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam
pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi
pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya sudah
muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi,
bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa
daerah harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun
pembangunan. Daerah harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat
yang statusnya dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping
itu daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan
pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dengan skenario semacam ini, banyak daerah akan terjebak dalam pola tradisional dalam
pemerolehan pendapatan daerah, yaitu mengintensifkan pemungutan pajak dan retribusi. Bagi
pemerintah daerah pola ini tentu akan sangat gampang diterapkan karena kekuatan koersif
yang dimiliki oleh institusi pemerintahan; sebuah kekuatan yang tidak applicable dalam
negara demokratis modern. Pola peninggalan kolonial ini menjadi sebuah pilihan utama
karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat wirausaha
(enterpreneurship).
Apakah upaya intensifikasi pajak dan retribusi di daerah itu salah? Tentu tidak. Akan tetapi
yang jadi persoalan sekarang adalah bahwa banyak pemerintah daerah yang terlalu intensif
memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya. Pemerintah daerah telah kebablasan dalam
meminta sumbangan dari rakyat. Buktinya adalah jika menghitung berapa item pajak dan
retribusi yang harus dibayar selaku warga daerah. Jika diteliti, jumlahnya akan mencapai
ratusan item.
Beberapa bulan lalu berkembang sinisme di kalangan warga DKI Jakarta, bahwa setiap
aktivitas yang mereka lakukan telah menjadi objek pungutan Pemda DKI, sampai-sampai
buang hajat pun harus membayar retribusi. Pemda Provinsi Lampung juga bisa menjadi
contoh unik ketika menerbitkan perda tentang pungutan terhadap label sebuah produk.
Logika yang dipakai adalah bahwa label tersebut termasuk jenis papan reklame berjalan. Hal
ini terlihat lucu. Karena tampaknya Pemerintah setempat tidak bisa membedakan mana
reklame, sebagai bentuk iklan, dan mana label produk yang berfungsi sebagai identifikasi
nama dan spesifikasi sebuah produk. Kedua, jika perda tersebut diberlakukan (sepertinya
kurang meyakinkan apakah perda tersebut jadi diberlakukan atau tidak), akan timbul
kesulitan besar dalam penghitungan dan pemungutan retribusi.
Dengan dua contoh tersebut, penulis ingin mengatakan bahwa upaya pemerintah daerah
dalam menggali pendapatan daerah di era otonomi ini telah melampaui batas-batas akal sehat.
Di satu pihak sebagai warga negara kita harus ikut berpartisipasi dalam proses kebijakan
publik dengan menyumbangkan sebagian kemampuan ekonomi yang kita miliki melalui
pajak dan retribusi. Akan tetapi, apakah setiap upaya pemerintah daerah dalam memungut
pendapatan dari rakyatnya hanya berdasarkan justifikasi semacam itu? Tidak adakah ukuran
kepantasan, sejauh mana pemerintah daerah dapat meminta sumbangan dari rakyatnya?
Bila dikaji secara matang, instensifikasi perolehan pendapatan yang cenderung eksploitatif
semacam itu justru akan banyak mendatangkan persoalan baru dalam jangka panjang, dari
pada manfaat ekonomis jangka pendek, bagi daerah. Persoalan pertama adalah beratnya
beban yang harus ditanggung warga masyarakat. Meskipun satu item pajak atau retribusi
yang dipungut dari rakyat hanya berkisar seratus rupiah, akan tetapi jika dihitung secara
agregat jumlah uang yang harus dikeluarkan rakyat perbulan tidaklah kecil, terutama jika
pembayar pajak atau retribusi adalah orang yang tidak mempunyai penghasilan memadai.
Persoalan kedua terletak pada adanya kontradiksi dengan upaya pemerintah daerah dalam
menggerakkan perekonomian di daerah. Bukankah secara empiris tidak terbantahkan lagi
bahwa banyaknya pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang ujung-ujungnya
hanya akan merugikan perkembangan ekonomi daerah setempat. Kalau pemerintah daerah
ingin menarik minat investor sebanyak-banyaknya, mengapa pada saat yang sama justru
mengurangi minat investor untuk berinvestasi ?
Sumber praktik korupsi lain yang masih berlangsung terjadi pada proses pengadaan barang-
barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah item barang
dianggarkan jauh lebih besar dari harga pasar. Kolusi antara bagian pengadaan dan rekanan
sudah menjadi hal yang jamak. Pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah
juga merupakan bukti ketidakarifan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah.
Hibah dari pihak ketiga kepada pejabat daerah sudah menjadi hal biasa yang tidak pernah
diributkan dari dulu. Kalau dicermati dan dinalar, berapa kenaikan kekayaan pejabat daerah
setelah mereka menjabat posisi tertentu? Seberapa drastis perubahan gaya hidup para pejabat
publik itu?
Modus :
a. Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar.
Modus :
1. Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat, pengurusan pensiun dan
sebagainya.
1. Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan
jompo)
Modus :
1. Bantuan fiktif
Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari pemerintah ke pihak
luar.
Modus : Dana dialokasikan dalam laporan resmi, tetapi secara fisik proyek itu
nihil.
Pada intinya, masalah – masalah tersebut seterusnya akan menjadi persoalan tersendiri,
terlepas dari keberhasilan implementasi otonomi daerah. Pilihan kebijakan yang tidak populer
melalui intensifikasi pajak dan perilaku koruptif pejabat daerah sebenarnya sudah ada sejak
lama dan akan terus berlangsung. Jika kini keduanya baru muncul dipermukaan sekarang,
tidak lain karena momentum otonomi daerah memang memungkinkan untuk itu. Otonomi
telah menciptakan kesempatan untuk mengeksploitasi potensi daerah dan sekaligus memberi
peluang bagi para pahlawan baru menganggap dirinya telah berjasa di era reformasi untuk
bertindak semau gue.
Untuk menyiasati beratnya beban anggaran, pemerintah daerah semestinya bisa menempuh
jalan alternatif, selain intensifikasi pungutan yang cenderung membebani rakyat dan menjadi
disinsentif bagi perekonomian daerah, yaitu (1) efisiensi anggaran, dan (2) revitalisasi
perusahaan daerah. Saya sepenuhnya yakin bahwa banyak pemerintah daerah mengetahui
alternatif ini. Akan tetapi, jika keduanya bukan menjadi prioritas pilihan kebijakan maka
pemerintah pasti punya alasan lain. Dugaan saya adalah bahwa pemerintah daerah itu malas!
Pemerintah tidak mempunyai keinginan kuat (strong will) untuk melakukan efisiensi
anggaran karena upaya ini tidak gampang. Di samping itu, ada keengganan (inertia) untuk
berubah dari perilaku boros menjadi hemat.
Upaya revitalisasi perusahaan daerah pun kurang mendapatkan porsi yang memadai karena
kurangnya sifat kewirausahaan pemerintah. Sudah menjadi hakekatnya bahwa pemerintah
cenderung melakukan kegiatan atas dasar kekuatan paksa hukum, dan tidak berdasarkan
prinsip-prinsip pasar, sehingga ketika dihadapkan pada situasi yang bermuatan bisnis,
pemerintah tidak bisa menjalankannya dengan baik. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini
pemerintah daerah bisa menempuh jalan dengan menyerahkan pengelolaan perusahaan
daerah kepada swasta melalui privatisasi.
Pemeritah juga seharusnya merevisi UU yang dipandang dapat menimbulkan masalah baru di
bawah ini penulis merangkum solusi untuk keluar dari masalah Otonomi Daerah tanpa harus
mengembalikan kepada Sentralisasi. Jika pemerintah dan masyarakat bersinergi mengatasi
masalah tersebut. Pasti kesejahteraan masyarakat segera terwujud.
BAB III
PENUTUPAN
3.1. Kesimpulan
Adapun dampak negative dari otonomi daerah adalah munculnya kesempatan bagi oknum-
oknum di tingkat daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran, munculnya pertentangan
antara pemerintah daerah dengan pusat, serta timbulnya kesenjangan antara daerah yang
pendapatannya tinggi dangan daerah yang masih berkembang.Bisa dilihat bahwa masih
banyak permasalahan yang mengiringi berjalannya otonomi daerah di Indonesia.
Permasalahan-permasalahan itu tentu harus dicari penyelesaiannya agar tujuan awal dari
otonomi daerah dapat tercapai.
3.2. Saran
Dari kesimpulan yang dijabarkan diatas, maka dapat diberikan saran antara lain:
KATA PENGANTAR
Puji syukur panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena berkat rahmatnya penyusun
dapat berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul “Otonomi Daerah”. Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah PKN.
Dalam makalah ini dijelaskan tentang otonomi daerah. Makalah ini terdiri dari tiga bab. Bab I
berisi Pendahuluan, Bab II berisi Pembahasan, dan Bab III berisi kesimpulan.
Dengan adanya makalah ini diharapkan agar mahasiswa dapat mengetahui otonomi daerah.
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan maka dari itu kritik dan saran sangat diperlukan.
Somoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat luas.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Otonomi Daerah
B.Aspek Otonomi Daerah
C. Prinsip dan Tujuan Otonomi Daerah
D. Hakikat Otonomi Daerah
F. Otonomi Daerah Dan Demokratisasi
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan namos yang berarti
Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan
untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu Suryaninrat; 1985).
Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :
1) F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
2) Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau
kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu
terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
3) Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah
daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.
Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah adalah
pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal
berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa
otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang
keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna
mengalokasikan sumber sumber material yang substansial tentang fungsi-fungsi yang
berbeda.
Dengan otonomi daerah tersebut, menurut Mariun (1979) bahwa dengan kebebasan yang
dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan
mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu
dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat
berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.
Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian
yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan
bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk
melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas. Pendapat tentang otonomi
di atas, juga sejalan dengan yang dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa otonomi
daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi,
dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah
ada kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam
kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Terlepas dari itu pendapat beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas, dalam Undang-
undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia[1].
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada tiga aspek otonomi daerah yaitu :
1. Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2. Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di
atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
3. Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan
kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber
pembiayaan sendiri.
Keadaan geografis indonesia yang berupa kepulauan berpengaruh terhadap mekanisme
pemerintahan negara, sehingga diperlukan adanya otonomi daerah untuk memudahkan
pengaturan atau penataan pemerrintahan yang ada di Indonesia.
Dalam otonomi daerah terdapat prinsip dan tujuan dari otonomi daerah, Adapun tujuan
pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat.
Kemudian dalam otonommi daerah, terdapat demokrasi yang menjadi titik temu antara
otonomi daerah dan keindonesiaan, dan karena itu penguatan demokrasi menjadi prasarat
bagi terbentuknya hubungan yang kongruen antara keindonesiaan dan kedaerahan, antara
otonomi daerah dan NKRI.
Makalah Pkn Tentang Otonomi Daerah
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara kepualauan yang terletak di posisi strategis dengan dua lautan
yang mengelilinginya. Hal ini turut mempengaruhi mekanisme pemerintahan di Indonesia, dimana
sulitnya koordinasi pemerintah pusan dengan pemerintah daerah. Hal ini pula yang mendorong akan
terwujudnya suatu sistem pemerintahan yang efisien dan mandiri untuk memudahkan koordinasi
antara kedua belah pihak tersebut.
Hal ini juga bertujuan untuk tetap menjaga keutuhan negara Indonesia mengingat
banyaknya ancaman yang menghadang bangsa Indonesia. Diantaranya yaitu munculnya beberapa
daerah yang ingin memisahkan diri dengan negara Indonesiauntuk mngatur kehidupannya secara
mandiri.selain itu, potensi sumber daya alam yang tidak merata di daerah-daerah juga menjadi
indikasi penyebab dibutuhkannya suatu sistem pemerintahan untuk mengatur dan mengelola
sumber daya alam sehingga dapat menjadi sumber pendapatan daerah dan bahkan negara.
Disinilah peran pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola daerah yang jauh dari
jangkauan pemerintah pusat agar tidak terjadi pengabaian sumber daya dan potensi yang ada. Maka
dibentuklah suatu sistem yang dinamakan otonomi daerah oleh pemerintah.
Selanjutnya, makalah akan menguraikan tentang otonomi daerah dan pelaksanaan otonomi
daerah di Indonesia. Selamat membaca.
B.RUMUSAN MASALAH
BAB II
PEMBAHASAN
Otonomi daerah dalam arti sempit adalah mandiri. Sedangkan dalam arti luas diartikan
sebagai berdaya. Dengan demikian, otonomi daerah berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan
pembuatan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Otonomi daerah
merupakan rangkaian upaya program pembangunan daerah dalam tercapainya tujuan
pembangunan nasional. Untuk itu, keberhasilan peningkatan otonomi daerah tidak terlepas dari
kemampuan aparat pemerintah pusat dan sumber daya manusia (SDM) dalam tugasnya sebagai
perumus kebijakan nasional.
Otonomi daerah dapat diartikan juga sebagai kewajiban yang diberikan kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarkat
setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarkat dan pelaksanaan
pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut Ateng Syarifuddin, otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi
bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud oleh pemberian
kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
Otonomi daerah memiliki hubungan yang erat dengan desentralisasi, yaitu penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sedangkan otonomi daerah merupakan hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hubungan erat antar pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah harus serasi sehingga akan dapat mewujudkan tujuan yang ingun dicapai.
1. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut pemerintah adalah presiden RI yang memegang kekuasaan
pemerintah negara RI sebagaimana tercantum dalam UUD 45.
2. Pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip kesatuan NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD Tahun 1945.
3. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Wali Kota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggaraan pemerintah daerah.
4. DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.
5. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonomi untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
6. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakasa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan RI.
10. Peraturan daerah selanjutnya disebut perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau
peraturan daerah kabupaten/kota.
11. Peraturan kepala daerah adalah peraturan gubernur dan/atau peraturan Bupati/Walikota.
12. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintah NKRI.
13. Perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah adalah suatu sistem
pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggungjawab dalam
rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi dengan mempertimbangkan potensi, kondisi dan
kebutuhan daerah serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan.
14. Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.
15. Pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan
bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
16. Belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan
bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
17. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang
akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran bersangkutan maupun pada tahun anggaran
berikutnya.
18. Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima sejumlah uang
atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga daerah tersebut dibebani
kewajiban untuk membayar kembali.
19. Kawasan khusus adalah bagian wilayah dalam provinsi dan/atau kabupaten/kota yang ditetapkan
oleh pemerintah untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat khusus bagi
kepentingan nasional.
Adapun di bidang ekonomi, visi otonomi daerah mengandung makna bahwa otonomi daerah
di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah. Di pihak
lain mendorong terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan lokal
kedaerahan untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam kerangka
ini, otonomi daerah memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk
menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha, dan membangun berbagai
infrastuktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerah.
Sedangkan visi otonomi daerah di bidang social dan budaya mengandung pengertian bahwa
otonomi daerah harus diarahkan pada pengelolaan., penciptaan dan pemeliharaan integrasi dan
harmoni social. Pada saat yang sama, visi otonomi daerah dibidang sosial dan budaya adalah
memelihara dan mengembangkan nilai, tradisi, karya seni, karya cipta, bahasa, dan karya sastra lokal
yang dipandang kondusif dalam mendorong masyarakat untuk merespon positif dinamika kehidupan
di sekitarnya dan kehidupan global. Karenanya, aspek social budaya harus diletakkan secara cepat
dan terarah agar kehidupan sosial tetap terjaga secara utuh dan budaya lokal tetap eksis dan
mempunyai daya keberlanjutan.
1.Dekonsentrasi
2. Delegasi
3.Devolusi
Devolusi merupakan bentuk desentralisasi yang lebih ekstensif, yang merujuk pada situasi
dimana pemerintah pusat mentransfer kewenangan untuk pengambilan keputusan, keuangan dan
manajemen kepada unit otonomi pemerintah daerah. Devolusi adalah kondisi dimana pemerintah
pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu kepada unit-unit itu untuk dilaksanakan
secara mandiri. Menurut Rondinelli, devolusi merupakan upaya memperkuat pemerintah daerah
sacara legal yang secara substansif kegiatan-kegiatan yang dilakukannya diluar kendali langsung
pemerintah pusat.
Devolusi dapat berupa transfer tanggung jawab untuk pelayanan kepada pemerintahan
kota/kabupaten dalam memilih walikota/bupati dan DPRD, meningkatkan pendapatan mereka dan
memiliki independensi kewenangan untuk mengambil keputusan investasi.
Ciri-ciri Devolusi:
1. Adanya sebuah badan lokal yang secara konstitusional terpisah dari pemerintah pusat dan
bertanggung jawab pada pelayanan lokal yang signifikan.
2. Pemerintah daerah harus memiliki kekayaan sendiri, anggaran dan rekening seiring dengan
otoritas untuk meningkatkan pendapatannya.
3. Harus mengembangkan kompetensi staf.
4. Anggota dewan yang terpilih, yang beroperasi pada garis partai, harus menentukan
kebijakan dan prosedur internal.
5. Pejabat pemerintah pusat harus melayani sebagai penasehat dan evaluator luar yang tidak
memiliki peranan apapun didalam otoritas lokal.
4.Privatisasi
5.Tugas Pembantuan,
Undang-undang tersebut diganti oleh UU nomor 22 tahun 1948 yang berfokus pada
pengaturan susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Undang-undang ini menetapkan dua
jenis daerah otonom dan tiga tingkatan daerah otonom.
UU yang terakhir ini berumur paling panjang, yaitu 25 tahun yang kemudian digantikan dengan
UU nomor 22 tahun 1999 pasca reformasi. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan situasi yang
terjadi pada masa itu. Berdasarkan kehendak reformasi saat itu, Sidang Istimewa MPR Nomor
XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah; pengaturan, pembagian, dan
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta peimbangan keuanagn pusat dan daerah
dalam kerangka NKRI. Selain itu, hasil amandemen MPR RI pada pasal 18 UUD 1945 dalam
perubahan kedua, yang secara tegas dan eksplisit menyebutkan bahwa negara Indonesia memakai
prinsip otonomi dan desentralisasi kekuatan politik juga semakin memberikan tempat kepada
otonomi daerah di tempatnya.
Tiga tahun setelah implementasi UU No. 22 tahun 1999, pemerintah melakukan peninjauan
dan revisi terhadap undang-undang yang berakhir pada lahirnya UU No. 32 tahun 2004 yang juga
mengatur tentang pemerintah daerah yang berlaku hingga sekarang.
Di daerah dibentuk DPRD sebagai badan Legislatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai
Badan Eksekutif Daerah. Pemerintah Daerah terdiri atas Kepala Daerah beserta perangkat daerah
lainnya. DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah merupakan wahana untuk
melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila. DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah
berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah. Pasal 40 UU Republik Indonesia
No. 32 Tahun 2004 menyatakan, bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan
berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sementara itu pasal 41
menyatakan, bahwa DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. DPRD merupakan
lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Dalam kedudukannya seperti itu, DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Fungsi legislasi berkaitan dengan pembentukan peraturan daerah, yang meliputi pembahasan dan
memberikan persetujuan terhadap Raperda, serta hak anggota DPRD untuk mengajukan Raperda.
Fungsi anggaran berkaitan dengan kewenangannya dalam hal anggaran daerah (APBD). Sedangkan
fungsi pengawasan berkaitan dengan kewenangan mengontrol pelaksanaan Perda dan peraturan
lainnya serta kebijakan pemerintah daerah. Bagaimana cara pemilihan anggota DPRD? Dalam pasal
18 ayat (3) UUD 1945 ditegaskan, bahwa ”pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotaanggotanya dipilih melalui pemilihan
umum”. Pemilihan umum untuk memilih anggota DPRD waktu pelaksanaannya bersamaan dengan
pemilihan umum untuk anggota DPR dan DPD.
Adapun tugas dan wewenang DPRD sebagaimana diatur dalam pasal 42 UU Republik Indonesia
nomor 32 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:
a. membentuk Peraturan Daerah yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan
bersama;
b. membahas dan menyetujui rancangan Peraturan Daerah tentang APBD bersama dengan Kepala
Daerah;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan
lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan
program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah;
d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/Wakil kepala daerah/wakil kepala
daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Propinsi dan kepada Menteri
Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPR kabupaten/kota;
e. memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah;
f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian
internasional di daerah;
g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh
pemerintah daerah;
h. menerima laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah;
i. membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah;
j. melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah;
k. memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar daerah dan dengan pihak ketiga
yangmembebani masyarakat dan daerah.
b. Hak DPRD
Selain itu DPRD juga mempunyai hak-hak sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU Republik
Indonesia No. 32 Tahun 2004, yaitu hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat. Pelaksanaan
hak angket sebagaimana dimaksud di atas adalah dilakukan setelah diajukan hak interpelasi dan
mendapat persetujuan dari Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya ¾ (tiga
perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya
2⁄3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir. Dalam melaksanakan hak angket dibentuk
panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD yang bekerja dalam waktu paling lama 60
hari telah menyampaikan hasil kerjanya kepada DPRD.
Selain DPRD sebagai lembaga yang mempunyai berbagai hak, maka anggota DPRD juga
mempunyai hak-hak sebagaimana diatur dalam Pasal 44 UU Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004,
yaitu mengajukan rancangan Peraturan Daerah; mengajukan pertanyaan; menyampaikan usul dan
pendapat; memilih dan dipilih; membela diri; imunitas; protokoler dan keuangan serta administratif.
d. Kepala Daerah
Dilihat dari susunannya, pada pemerintahan daerah terdapat dua lembaga yaitu Pemerintah
Daerah dan DPRD. Pemerintah daerah provinsi dipimpin oleh Gubernur, sedangkan pemerintah
daerah kabupaten/ kota dipimpin oleh Bupati/Walikota. Gubernur/Bupati/Walikota yang biasa
disebut Kepala Daerah memiliki kedudukan yang sederajat dan seimbang dengan DPRD masing-
masing daerah.
Kepala Daerah dan DPRD memiliki tugas/wewenang dan mekanisme pemilihan yang berbeda. Kepala
Daerah memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:
a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan
bersama DPRD;
b. mengajukan rancangan Peraturan Daerah;
c. menetapkan Peraturan daerah yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
d. menyusun dan mengajukan rancangan Peraturan daerah tentang APBD kepada DPRD untuk
dibahas dan ditetapkan bersama;
e. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
f. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk
mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan
g. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pemilihan Kepala Daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dilakukan secara
demokratis dan transparan. Mekanisme pemilihan kepala daerah dikenal dengan istilah PILKADA
langsung.
Setiap Daerah dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang dibantu oleh
Wakil Kepala Daerah. Kepala Daerah Provinsi disebut Gubernur, yang karena jabatannya adalah juga
sebagai Wakil Pemerintah. Sebagai Kepala Daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD,
sebagai Wakil Pemerintah, Gubernur berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati, sedangkan Daerah Kota disebut Walikota yang dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya selaku Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD
Kabupaten/ Kota.
Sebagai alat Pemerintah Pusat, Gubernur melaksanakan tugas-tugas antara lain.
a. Membina ketenteraman dan ketertiban di wilayahnya;
b. Menyelenggarakan koordinasi kegiatan lintas sektor mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan
dan pengawasan kegiatan dimaksud
c. Membimbing dan mengawasi penyelenggaraan pemerintah daerah
d. Melaksanakan usaha-usaha pembinaan kesatuan bangsa sesuai kebijaksanaan yang ditetapkan
pemerintah
e. Melaksanakan segala tugas pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
diberikan kepadanya
f. Melaksanakan tugas pemerintahan yang tidak termasuk dalam tugas instansi lainnya.
e.Keuangan Daerah
F. KEBIJAKAN PUBLIK
Kebijakan publik yang telah disahkan oleh lembaga berwenang, baik di tingkat pusat
(nasional), Provinsi, Kota, Kabupaten, Kecamatan, Kelurahan atau Desa hanya akan menjadi tulisan-
tulisan yang tidak bermakna sama sekali, jika tidak diterapkan di masyarakat. Tujuan penerapan
kebijakan publik ialah agar sesuatu yang telah digariskan tersebut bukan hanya bersifat abstrak
belaka, namun menjadi suatu yang terealisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Pelaksanaan kebijakan publik akan melibatkan berbagai komponen, seperti manusia, dana,
dan sarana serta prasarananya. Sosialisasi kebijakan publik dapat dilakukan dengan menggunakan
berbagai media, baik yang bersifat elektronik, seperti melalui internet, email, TV, dan radio maupun
secara manual, misalnya melalui spanduk, selebaran, surat kabar atau dalam bentuk pengumpulan
massa dalam suatu tempat.
Untuk turut serta berpartisipasi dalam perumusan kebijakan publik, maka kegiatan yang
dapat dilakukan siswa dalam proses pembelajaran ini dapat dilakukan dengan melalui kegiatan
Praktik Belajar Kewarganegaraan Berbasis Portofolio Untuk melaksanakan kegiatan praktek belajar
kewarganegraan yang berbasis portofolio, ikuti langkah-langkah sebagai berikut :
a. Perumusan Masalah Untuk merumuskan masalah langkah-langkah yang harus dilakukan adalah:
• Bentuk kelompok kecil dalam kelas dengan jumlah anggota antara 3 sampai 4 orang
• Setiap kelompok mendiskusikan permasalahan apa saja yang termasuk katagori kebijakan publik
di wilayah kabupaten atau kecamatan anda
• Kemudian inventarisir atau kumpulkan semua permasalahan tersebut, dan tuliskan di papan tulis.
• Setelah itu setiap anggota kelas memilih salah satu permasalahan tersebut dengan cara memberi
tanda pagar ( I )
• Kemudian jumlahkan perolehan suara dari masing-masing permasalahan tersebut.
• Apabila jumlah suara yang diperoleh oleh ranking pertama belum mencapai jumlah 50% plus 1,
maka selanjutnya diadakan pemilihan tahap 2 untuk mendapatkan satu masalah kelas
• Setelah didapat 1 masalah kebijakan publik (menjadi masalah kelas),
b. Menentukan Sumber Informasi
Setelah didapat masalah kelas, selanjutnya tentukan sumber informasi dari masalah yang telah
dipilih tersebut, untuk selanjutnya kelas dibagi lagi ke dalam kelompok-kelompok sesuai dengan
jumlah sumber informasi tersebut. Jadi bila sumber informasi tersebut ada 6, maka kelas dibagi
menjadi 6 kelompok.
c. Mencari Informasi
Setiap kelompok mengumpulkan data sesuai dengan tugas masing-masing, setelah data diperoleh
digabung dengan data yang didapat oleh kelompok lain.
d. Diskusi Hasil Data Lapangan
Setelah setiap kelompok mendapat data dari sumber informasi selanjutnya untuk kepentingan klarifi
kasi data tersebut, diadakan diskusi kelas guru membahas temuantemuan informasi dari lapangan
e. Pembentukan Kelompok Portofolio
Selanjutnya kelas kembali dipecah ke dalam 4 kelompok, yaitu:
Kelompok 1 (satu) mendiskusikan dan melaporkan tentang permasalahan dan latar belakang
masalah yang berkaitan dengan kebijakan publik yang ditentukan oleh kelas;
Kelompok II (dua) merumuskan dan menentukan berbagai alternatif pemecahan masalah;
Kelompok III (tiga) menganalisis dan memilih salah satu alternatif dari sejumlah alternatif yang telah
dirumuskan kelompok II;
Kelompok IV (empat) merumuskan rencana tindakan, dalam bagaimana langkah-langkah nyata
tindakan yang akan diambil untuk memecahkan masalah kebijakan publik tersebut, termasuk
dampak positif dan negatifnya bagi pemerintah dan masyarakat.
f. Pelaksanaan Show Case
Setelah semuanya tersusun, baru kemudian ditentukan waktu pelaksanaan show case atau
penyajian data dan permasalahan yang diteliti. Untuk itu perlu dipersiapkan hal-hal sebagai berikut:
a. Panel atau papan atau kertas karton manila yang berisi data-data sesuai dengan kajian kelompok
(ada 4 panel sesuai dengan jumlah kelompok)
b. Tempat atau ruangan untuk pertunjukkan (bisa di kelas aula atau di halaman sekolah)
c. Juri (kalau bisa dari unsur luar sekolah, terutama yang berkaitan dengan masalah kebijakan publik
yang telah ditentukan kelas)
d. Moderator (bisa diambil dari guru Kewarganegaraan yang ada di sekolah tersebut, bisa 1, 2 atau 3
guru sekaligus)
e. Setting tempat untuk penyajian
• Setelah semuanya siap, maka acara show case bisa langsung dimulai
• Setelah semua kelompok selesai menyajikan, Dewan Juri mengumpulkan nilai yang diperoleh
kelompok
Jadi melalui kegiatan-kegiatan di atas, kalian sebagai siswa SMP telah berpartisipasi secara
nyata, bukan hanya mensosialisasikan kebijakan publik kepada masyarakat ketika penampilan hasil
kerja lapangan, tetapi juga telah ikut berpartisipasi dalam memecahkan permasalahan dan
merumuskan kebijakan publik tersebut. Selain melalui kegiatan di atas, masih ada cara lain yang bisa
dilakukan untuk berpartisipasi dalam mensosialisasikan kebijakan publik.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Otonomi daerah dalam arti sempit adalah mandiri. Sedangkan dalam arti luas diartikan
sebagai berdaya. Dengan demikian, otonomi daerah berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan
pembuatan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Hubungan erat antar
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah harus serasi sehingga akan dapat mewujudkan tujuan
yang ingun dicapai.
Otonomi daearh memiliki visi dalam tiga ruang lingkup yaitu politik, ekonomi dan sosial
budaya. Hal ini mengingat bahwa tiga aspek inilah yang menjadi perhatian yang cukup urgen dalam
pembangunan daerah.
1. Dekonsentrasi
2. Delegasi
3. Devolusi
4. Privatisasi
5. Tugas Pembantuan
Perjalanan Otonomi daerah selalu ditandai dengan lahirnya UU baru yang menggantikan UU
sebelumnya. Dimulai dari UU Nomor 1 Tahun 1945 pasca-proklamasi yang kemudian digantikan oleh
UU nomor 22 tahun 1948. Selanjutnya UU Nomor 1 tahun 1957 yang kemudian diikuti UU Nomor 18
tahun 1965. Pada tahun 1974, muncul undang-undang nomor 5 tahun 1974 yang berumur cukup
lama yaitu 25 tahun sebelum masa reformasi yang kemudian digantikan oleh UU nomor 22 tahun
1999. Setelah tiga tahun implementasinya, lahirlah UU Nomor 32 tahun 2004 yang berlaku hingga
sekarang di Indonesia.
Kebijakan Publik adalah apa yang pemerintah katakan dan dilakukan, atau tidak dilakukan.
Kebijakan merupakan serangkaian tujuan dan sasaran dari program-program pemerintah.
Tujuan penerapan kebijakan publik ialah agar sesuatu yang telah digariskan tersebut bukan
hanya bersifat abstrak belaka, namun menjadi suatu yang terealisasikan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
B. KATA PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun, yang mana tentunya tak lepas dari kekurangan baik dalam
penyusunan maupun penyajian. Karena kami pun menyadari tak ada gading yang tak retak. Untuk
itu kritik dan saran pembaca sekalian sangat kami harapkan demi perbaikan dan evaluasi dari apa
yang kami usahakan. Harapan kami semoga bermanfaat. Amin.
MAKALAH OTONOMI DAERAH
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala Puji dan syukur Kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan Rahmat
dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Pendidikan
Kewarganegaraan Bab II dapat dibuat dan dipahami. Makalah yang berjudul “Pelaksanaan
Otonomi Daerah”.
Tak lupa pula penulis mengucapkan banyak terima kasih Kepada:
Bapak Drs. M. Amirullah M.Si selaku kepala sekolah SMP Negeri 3 Marioriawa.
Bapak Syamsul Alam S.Pd selaku Guru mata pelajaran PKn.
Seluruh siswa SMP Negeri 3 Marioriawa yang membantu penyelesaian makalah ini.
Seluruh anggota Kelompok 2 selaku peranacang makalah ini.
Makala Pelaksanaan Otonomi Daerah ini disusun secara sederhana, tetapi tanpa
meninggalkan kebenaran materi yang harus kalian capai. Dengan kesederhanaan itulah
diharapkan dapat membantu kalian dalam proses pembelajaran ini.
Penulis menyadari sepenuhnya dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari
kesempurnaan, karena itu penulis mengharapkan tanggapan, kritik, dan saran dari pembaca
guna melengkapi kekurangan demi kesempurnaan Karya Tulis Ilmiah ini.
Akhirnya apa yang penulis kerjakan semoga mendapat berkah, dan ridho dari Allah
SWT, dan penulis mengharapkan Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis, dan
pembaca.
Wassalamu Alaikum Wr,Wb
Panincong,November 2013
Penul
is
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB II. OTONOMI DAERAH
Pengertian otonomi daerah
Asas otonomi daerah
Dasar hokum otonomi daerah
Pembentukan otonomi daerah
Prinsip pemberian otonomi daerah
Pemerintah daerah………………………………………………………….
Pelaksanaan otonomi daerah
Penutup.........................................................................................
Kesimpulan
saran
Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pengertian otonomi
daerah adalah wewenang daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang
diserahkan oleh pemerintah pusat dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terlepas dari itu
pendapat beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas, dalam Undang-undang Nomor 32
tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Adapun menurut kami Otonomi Daerah adalah kewenangan otonomi untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat atau masyarakat di sekitar daerah tersebut menurut prakarsa sendiri
dengan berdasar pada aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah
adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara
informal berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood (1983)
mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai
kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh
pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material yang substansial tentang fungsi-
fungsi yang berbeda.
Dengan otonomi daerah tersebut, menurut Mariun (1979) bahwa dengan kebebasan yang
dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan
mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu
dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat
berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.
Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian
yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan
bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk
melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas.
Pendapat tentang otonomi di atas, juga sejalan dengan yang dikemukakan Vincent Lemius
(1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan politik
maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun
dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah,
tetapi dalam kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional,
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya
mempunyai tiga aspek, yaitu :
1. Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2. Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di
atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
3. Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan
kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber
pembiayaan sendiri.
Yang dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah
daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan, pembiyaan serta
perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong pelaksanaan pemerintah
dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah
daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta
mengelola keuangan sendiri.
Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 23 Tahun 2004,
maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :
1. Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan
sendiri.
2. Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
3. Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.
4. Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.
1. Undang-undang Dasar
Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan yang
kuat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan adanya
pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah.
2. Ketetapan MPR-RI
Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan,
Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta perimbangan
kekuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesa Otonomi Daerah di Indonesia
dimulai dengan bergulirnya Undang-Undang (UU) Nomor 22Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 2005 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
UUNomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 masing-masing digantikan oleh
UUNomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah tuan
Republik Indonesia.
3. Undang-Undang
Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas
Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999 adalah mendorong untuk
pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran
masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD.
4.PEMBENTUKAN DAERAH OTONOMI
Untuk menjadikan daerah otonomi diperlukan adanya berbagai persyaratan yaitu :
Syarat Administratif
Sebagai syarat administratif untuk provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota
dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi persetujuan provinsi induk dan
Gubernur, serta mendapat rekomendasi Mentri Dalam Negeri.
Syarat Teknis
Sebagai syarat teknis pembentukan daerah adalah kemampuan ekonomi, jumlah penduduk,
potensi daerah, social politik dan pertahanan keamanan yang memungkinkan
terselanggaranya otonomi daerah.
Syarat Fisik
Untuk membentuk daerah otonom dengan ketentuan paling sedikit 5 kabupaten/kota untuk
pembentukan provinsi dan paling sedikit 7 kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4
kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana
pemerintahan.
Dalam diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dikatakan bahwa
dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada
prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta
mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah.
Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah otonomi luas yaitu
adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua
bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan-kewenangan bidang
lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi
maupun kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Dalam penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan
pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan
berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab
adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan
kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah
dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan
daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Atas dasar pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
a. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi,
keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang terbatas.
b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung
jawab.
c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan
daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga tetap terjalin
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan
karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan
legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas
penyelenggaraan pemerintah daerah.
g. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya
sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah.
h. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada
daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan,
sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan
dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
Sistem pemerintahan daerah begitu dekat hubungannya dengan otonomi daerah yang saat ini
telah diterapkan di Indonesia. Jika sebelumnya semua sistem pemerintahan bersifat terpusat
atau sentralisasi maka setelah diterapkannya otonomi daerah diharapkan daerah bisa
mengatur kehidupan pemerintahan daerah sendiri dengan cara mengoptimalkan potensi
daerah yang ada. Meskipun demikian, terdapat beberapa hal tetap diatur oleh pemerintah
pusat seperti urusan keuangan negara, agama, hubungan luar negeri, dan lain-lain. Sistem
pemerintahan daerah juga sebetulnya merupakan salah satu wujud penyelenggaraan
pemerintahan yang efisien dan efektif. Sebab pada umumnya tidak mungkin pemerintah pusat
mengurusi semua permasalahan negara yang begitu kompleks. Disisi lain, pemerintahan
daerah juga sebagai training ground dan pengembangan demokrasi dalam sebuah kehidupan
negara. Sistem pemerintahan daerah disaradi atau tidak sebenarnya ialah persiapan untuk
karir politik level yang lebih tinggi yang umumnya berada di pemerintahan pusat.
UU no 32 tahun 2004
Kelahiran undang-undang ini dilatarbelakangi dengan adanya perkembangan keadaan,
ketatanegaraan, dan tuntutan otonomi daerah. Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 ini, dalam penyelenggaraan otonomi menggunakan format otonomi seluas-luasnya.
Artinya, azas ini diberlakukan oleh pemerintah seperti pada era sebelum UU Nomor 5 Tahun
1974. Alasan pertimbangan ini didasarkan suatu asumsi bahwa hal-hal mengenai urusan
pemerintahan yang dapat dilaksanakan oleh daerah itu sendiri, sangat tepat diberikan
kebijakan otonomi sehingga setiap daerah mampu dan mandiri untuk memberikan pelayanan
demi meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah. Kontrol pusat atas daerah dilakukan
dengan mekanisme pengawasan yang menunjukkan formulasi cukup ketat dengan
mekanisme pengawasan preventif, represif, dan pengawasan umum. Proses pemelihan
kepala/wakil kepala daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak lagi menjadi wewenang
DPRD, melainkan dilaksanakan dengan pemilihan langsung yang diselenggarakan oleh
lembaga Komisi Pemilihan Umum daerah (KPUD).
PENGERTIAN PEMERINTAHAN DAERAH
Pemerintahan daerah sesuai pasal 1 huruf d UU no. 22 tahun 1999 adalah penyelenggara
pemerintahan daerah otonom oleh pemerintah daerah dan juga DPRD menurut asas
desentralisasi. Menurut UU no. 32 tahun 2004 pada pasal 1ayat 2, pemerintahan daerah
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan DPRD menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar NKRITahun1945 ayat 3 Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati,
atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
ayat 4.Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga
perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Saran.
Dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok
Negara, dan dalam membina kestabilan politik serta kesatuan bangsa maka hubungan yang
serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Otonomi Daerah yang nyata
dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah dan
dilaksanakan bersama-sama.