Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara kepualauan yang terletak di posisi strategis dengan dua lautan
yang mengelilinginya. Hal ini turut mempengaruhi mekanisme pemerintahan di Indonesia,
dimana sulitnya koordinasi pemerintah pusan dengan pemerintah daerah. Hal ini pula yang
mendorong akan terwujudnya suatu sistem pemerintahan yang efisien dan mandiri untuk
memudahkan koordinasi antara kedua belah pihak tersebut.

Hal ini juga bertujuan untuk tetap menjaga keutuhan negara Indonesia mengingat banyaknya
ancaman yang menghadang bangsa Indonesia. Diantaranya yaitu munculnya beberapa daerah
yang ingin memisahkan diri dengan negara Indonesiauntuk mngatur kehidupannya secara
mandiri.selain itu, potensi sumber daya alam yang tidak merata di daerah-daerah juga
menjadi indikasi penyebab dibutuhkannya suatu sistem pemerintahan untuk mengatur dan
mengelola sumber daya alam sehingga dapat menjadi sumber pendapatan daerah dan bahkan
negara.

Disinilah peran pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola daerah yang jauh dari
jangkauan pemerintah pusat agar tidak terjadi pengabaian sumber daya dan potensi yang ada.
Maka dibentuklah suatu sistem yang dinamakan otonomi daerah oleh pemerintah.
Selanjutnya, makalah akan menguraikan tentang otonomi daerah dan pelaksanaan otonomi
daerah di Indonesia. Selamat membaca.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Hakikat otonomi Daerah?
2. Apa saja Visi otonomi daerah?
3. Bagaimana Bentuk dan Tujuan Otonomi Daerah?
4. Bagaiman Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Otonomi Daerah

Otonomi daerah dalam arti sempit adalah mandiri. Sedangkan dalam arti luas diartikan
sebagai berdaya. Dengan demikian, otonomi daerah berarti kemandirian suatu daerah dalam
kaitan pembuatan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Otonomi
daerah merupakan rangkaian upaya program pembangunan daerah dalam tercapainya tujuan
pembangunan nasional. Untuk itu, keberhasilan peningkatan otonomi daerah tidak terlepas
dari kemampuan aparat pemerintah pusat dan sumber daya manusia (SDM) dalam tugasnya
sebagai perumus kebijakan nasional.

Otonomi daerah dapat diartikan juga sebagai kewajiban yang diberikan kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarkat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil
guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarkat dan
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut Ateng Syarifuddin, otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi
bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud oleh pemberian
kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.

Sedangkan menurut Vincent Lemius, otonomi daerah adalah kebebasan (kewenangan) untuk
mengambil atau membuat suatu keputusan politik maupun administrasi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Di dalam otonomi daerah terdapat kebebasan yang dimiliki
oleh pemerintah daerah untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah. Namun apa
yang menjadi kebutuhan daerah tersebut harus senantiasa disesuaikan dengan kepentingan
nasional sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.

Otonomi daerah memiliki hubungan yang erat dengan desentralisasi, yaitu penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sedangkan otonomi daerah merupakan hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hubungan erat antar pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah harus serasi sehingga akan dapat mewujudkan tujuan yang ingun dicapai.

Berikut beberapa pengertian konsep otonomi daerah sebagaimana tercantum dalam UU


Nomor 32 Th. 2004 Bab I Pasal 1:

1. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut pemerintah adalah presiden RI yang memegang


kekuasaan pemerintah negara RI sebagaimana tercantum dalam UUD 45.
2. Pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah
dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip kesatuan NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD Tahun
1945.
3. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Wali Kota, dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggaraan pemerintah daerah.
4. DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah
daerah.
5. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonomi untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
6. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah
yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakasa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan RI.
7. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem negara Kesatuan
Republik Indonesia.
8. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada
Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah itu.
9. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari
pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah
kabupaten/atau kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
10. Peraturan daerah selanjutnya disebut perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau
peraturan daerah kabupaten/kota.
11. Peraturan kepala daerah adalah peraturan gubernur dan/atau peraturan Bupati/Walikota.
12. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan
asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintah
NKRI.
13. Perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah adalah suatu sistem
pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggungjawab
dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi dengan mempertimbangkan potensi,
kondisi dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan
tugas pembantuan.
14. Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.
15. Pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai
kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
16. Belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai
kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
17. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran
yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran bersangkutan maupun pada tahun
anggaran berikutnya.
18. Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima sejumlah
uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga daerah tersebut
dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
19. Kawasan khusus adalah bagian wilayah dalam provinsi dan/atau kabupaten/kota yang
ditetapkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan yang
bersifat khusus bagi kepentingan nasional.

B. VISI OTONOMI DAERAH

Otonomi daerah sebagai kerangka menyelenggarakan pemerintahan mempunyai visi yang


dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup utama yang saling berhubungan satu dengan yang
lainnya: politik, ekonomi, dan sosial budaya.

Di bidang politik, visi otonomi daerah harus dipahami sebagai sebuah proses bagi lahirnya
kader-kader politik untuk menjadi kepala pemerintahan yang dipilih secara demokratis serta
memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap
kepentingan masyarakat luas.

Adapun di bidang ekonomi, visi otonomi daerah mengandung makna bahwa otonomi daerah
di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah.
Di pihak lain mendorong terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan
kebijakan lokal kedaerahan untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di
daerahnya. Dalam kerangka ini, otonomi daerah memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa
pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan
usaha, dan membangun berbagai infrastuktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerah.

Sedangkan visi otonomi daerah di bidang social dan budaya mengandung pengertian bahwa
otonomi daerah harus diarahkan pada pengelolaan., penciptaan dan pemeliharaan integrasi
dan harmoni social. Pada saat yang sama, visi otonomi daerah dibidang sosial dan budaya
adalah memelihara dan mengembangkan nilai, tradisi, karya seni, karya cipta, bahasa, dan
karya sastra lokal yang dipandang kondusif dalam mendorong masyarakat untuk merespon
positif dinamika kehidupan di sekitarnya dan kehidupan global. Karenanya, aspek social
budaya harus diletakkan secara cepat dan terarah agar kehidupan sosial tetap terjaga secara
utuh dan budaya lokal tetap eksis dan mempunyai daya keberlanjutan.

C. Bentuk dan Tujuan Desentralisasi dalam Konteks Otonomi Daerah

Rondinelli membedakan empat bentuk desentralisasi, yaitu:

1. Dekonsentrasi
Desentralisasi dalam bentuk dekonsentrasi (deconcentration), pada hakikatnya hanya
merupakan pembagian kewenangan dan tanggung jawab administratif antara pemerintah
pusat dengan pejabat birokrasi pusat di lapangan. Jadi, dekonsentrasi hanya berupa
pergeseran volume pekerjaan dari pemerintah pusat kepada perwakilannya yang ada di
daerah, tanpa adanya penyerahan atau pelimpahan kewenangan untuk mengambil keputusan
atau keleluasaan untuk membuat keputusan.

2. Delegasi
Delegasi merupakan pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial untuk
melakukan tugas-tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak secara langsung berada di
bawah pengawasan pemerintah pusat. Terhadap organisasi semacam ini pada dasarnya
diberikan kewenangan semi independen untuk melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya.
Bahkan kadang-kadang berada diluar ketentuan yang diatur oleh pemerintah pusat., karena
bersifat lebih komersial dan mengutamakan efisiensi daripada prosedur birokratis dan politis.
Hal ini biasanya dilakukan terhadap suatu badan usaha publik yang tugasnya melaksanakan
proyek tertentu, seperti telekomunikasi, listrik, bendungan, dan jalan raya.

3. Devolusi
Devolusi merupakan bentuk desentralisasi yang lebih ekstensif, yang merujuk pada situasi
dimana pemerintah pusat mentransfer kewenangan untuk pengambilan keputusan, keuangan
dan manajemen kepada unit otonomi pemerintah daerah. Devolusi adalah kondisi dimana
pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu kepada unit-unit itu
untuk dilaksanakan secara mandiri. Menurut Rondinelli, devolusi merupakan upaya
memperkuat pemerintah daerah sacara legal yang secara substansif kegiatan-kegiatan yang
dilakukannya diluar kendali langsung pemerintah pusat.

Devolusi dapat berupa transfer tanggung jawab untuk pelayanan kepada pemerintahan
kota/kabupaten dalam memilih walikota/bupati dan DPRD, meningkatkan pendapatan
mereka dan memiliki independensi kewenangan untuk mengambil keputusan investasi.

Ciri-ciri Devolusi:

1. Adanya sebuah badan lokal yang secara konstitusional terpisah dari pemerintah pusat
dan bertanggung jawab pada pelayanan lokal yang signifikan.
2. Pemerintah daerah harus memiliki kekayaan sendiri, anggaran dan rekening seiring
dengan otoritas untuk meningkatkan pendapatannya.
3. Harus mengembangkan kompetensi staf.
4. Anggota dewan yang terpilih, yang beroperasi pada garis partai, harus menentukan
kebijakan dan prosedur internal.
5. Pejabat pemerintah pusat harus melayani sebagai penasehat dan evaluator luar yang
tidak memiliki peranan apapun didalam otoritas lokal.

4. Privatisasi
Menurut Romdinelli privatisasi adalah suatu tindakan pemberian kewenangan dari
pemerintah kepada badan-badan sukarela swasta dan swadaya masyarakat, namun dapat pula
merupakan peleburan badan pemerintah menjadi badan usaha swasta misalnya BUMN dan
BUMD dilebur menjadi perusahaan terbatas (PT) dalam beberapa hal misalnya pemerintah
mentransfer beberapa kegiatan kepada kamar dagang dan industri, koperasi dan asosiasi
lainnya untuk mengeluarkan izin-izin, bimbingan dan pengawasan, yang semula dilakukan
oleh pemerintah dalam hal kegiatan sosial, pemerintah memberikan kewenangan dan
tanggung jawab kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam hal seperti pembinaan
kesejahteraan keluarga, koprasi, petani, dan koprasi nelayan untuk melakukan kegiatan-
kegiatan sosial, termasuk melatih dan meningkatkan peran serta dan pemberdayaan
masyarakat.

5. Tugas Pembantuan, yang merupakan tambahan dalam konteks desentralisasi


Indonesia
Tugas pembantuan (medebewind) merupakan pemberian kemungkinan dari pemerintah pusat
atau pemerintah daerah yang lebih atas untuk meminta bantuan kepada pemerintah daerah
yang tingkatannya lebih rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan rumah tangga dari
daerah yang tingkatannya lebih atas urusan yang diserahkan pemerintah pusat/pemerintah
daerah atasan tidak beralih menjadi urusan rumah tangga daerah yang melaksanakan.
Kewenangan yang diberikan kepada daerah adalah kewenangan yang bersifat mengurus
sedangkan kewenangan mengurus tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat/pemerintah
atasannya.

D. SEJARAH OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

Peraturan perundang-undanag yang pertama kali menagtur tentang pemerintahan daerah


pasca proklamasi kemerdekaan adalah UU Nomor 1 tahun 1945. Undang-undang ini
merupakan hasil dari berbagai pertimbangan tentang sejarah pemerintahan di masa kerajaan
dan masa pemerintahan kolonialisme. Namun undang-undang ini belum mengatur tentang
desentralisasi dan hanya menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui
pembentukan badan perwakilan rakyat daerah.

Undang-undang tersebut diganti oleh UU nomor 22 tahun 1948 yang berfokus pada
pengaturan susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Undang-undang ini menetapkan
dua jenis daerah otonom dan tiga tingkatan daerah otonom.

Perjalanan sejarah otonomi Indonesia selanjutnya ditandai dengan munculnya UU nomor 1


tahun 1957 yang menjadi peraturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh
Indonesia. Selanjutnya UU nomor 18 tahun 1965 yang menganut sistem otonomi yang riil
dan seluas-luasnya. Kemudian disusul dengan munculnya UU nomor 5 tahun 1974 yang
menganut sistem otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Hal ini karena sistem otonomi
yang sebelumnya dianggap memiliki kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan
keutuhan NKRI serta tidak serasi denagn maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada
daerah.

UU yang terakhir ini berumur paling panjang, yaitu 25 tahun yang kemudian digantikan
dengan UU nomor 22 tahun 1999 pasca reformasi. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan
situasi yang terjadi pada masa itu. Berdasarkan kehendak reformasi saat itu, Sidang Istimewa
MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah; pengaturan,
pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta peimbangan
keuanagn pusat dan daerah dalam kerangka NKRI. Selain itu, hasil amandemen MPR RI
pada pasal 18 UUD 1945 dalam perubahan kedua, yang secara tegas dan eksplisit
menyebutkan bahwa negara Indonesia memakai prinsip otonomi dan desentralisasi kekuatan
politik juga semakin memberikan tempat kepada otonomi daerah di tempatnya.

Tiga tahun setelah implementasi UU No. 22 tahun 1999, pemerintah melakukan peninjauan
dan revisi terhadap undang-undang yang berakhir pada lahirnya UU No. 32 tahun 2004 yang
juga mengatur tentang pemerintah daerah yang berlaku hingga sekarang.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Otonomi daerah dalam arti sempit adalah mandiri. Sedangkan dalam arti luas diartikan
sebagai berdaya. Dengan demikian, otonomi daerah berarti kemandirian suatu daerah dalam
kaitan pembuatan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
Hubungan erat antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah harus serasi sehingga akan
dapat mewujudkan tujuan yang ingun dicapai.
Otonomi daearh memiliki visi dalam tiga ruang lingkup yaitu politik, ekonomi
dan sosial budaya. Hal ini mengingat bahwa tiga aspek inilah yang menjadi perhatian yang
cukup urgen dalam pembangunan daerah.
Di Indonesia dikenal lima konteks desentralisasi yaitu:
1. Dekonsentrasi
2. Delegasi
3. Devolusi
4. Privatisasi
5. Tugas Pembantuan
Perjalanan Otonomi daerah selalu ditandai dengan lahirnya UU baru yang menggantikan UU
sebelumnya. Dimulai dari UU Nomor 1 Tahun 1945 pasca-proklamasi yang kemudian
digantikan oleh UU nomor 22 tahun 1948. Selanjutnya UU Nomor 1 tahun 1957 yang
kemudian diikuti UU Nomor 18 tahun 1965. Pada tahun 1974, muncul undang-undang nomor
5 tahun 1974 yang berumur cukup lama yaitu 25 tahun sebelum masa reformasi yang
kemudian digantikan oleh UU nomor 22 tahun 1999. Setelah tiga tahun implementasinya,
lahirlah UU Nomor 32 tahun 2004 yang berlaku hingga sekarang di Indonesia.

B. KATA PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun, yang mana tentunya tak lepas dari kekurangan baik dalam
penyusunan maupun penyajian. Karena kami pun menyadari tak ada gading yang tak retak.
Untuk itu kritik dan saran pembaca sekalian sangat kami harapkan demi perbaikan dan
evaluasi dari apa yang kami usahakan. Harapan kami semoga bermanfaat. Amin.
Makalah Pkn Otonomi Daerah
By Hendra Suherman ¶ Posted in MKU, Pendidikan Kewarganegaraan ¶ Tinggalkan komentar

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan YME, karena atas berkat rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan Tugas Kelompok untuk memenuhi mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan.

Dalam penulisan karya tulis ini penulis membahas tentang “ Permasalahan Dalam Otonomi
Daerah ” sesuai dengan tujuan instruksional khusus mata kuliah Kewarganegaraan, Program
Studi Pend.Teknik Elektro S1, Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Negeri
Jakarta.

Dengan menyelesaikan karya tulis ini ini, tidak jarang penulis menemui kesulitan. Namun
penulis sudah berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikannya, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang membaca yang sifatnya membangun
untuk dijadikan bahan masukan guna penulisan yang akan datang sehingga menjadi lebih
baik lagi. Semoga karya tulis ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca
pada umumnya.

Jakarta, … November 2012

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………………………………………………………

Daftar Isi ……………………………………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


………………………………………………………………………………

1.2. Rumusan Masalah


……………….……………………………………………………………

1.3. Tujuan Penulisan


………………………………………………………………………………

1.4. Manfaat Penulisan


……………………………………………………………………………

1.5. Sistematika Penulisan


.………..………………………………………………………………
1.6. Metodologi Penelitian
……………………………………………………………………….

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Otonomi Daerah


…..…………………………………………………………….

2.2. Permasalahan Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia


…………………………………………

2.3. Adanya Eksploitasi Pendapatan


Daerah……………………………………………………….

2.4. Korupsi di Daerah……………………………………………………………………….

BAB III PENUTUP

3.1. Simpulan
………………………………………………………………………………………

3.2. Saran ………………………………………………………………………………………

Daftar Pustaka
……………………………………………………………………………………

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari
pengertian tersebut di atas maka akan tampak bahwa daerah diberi hak otonom oleh
pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus kepentingan sendiri.

Implementasi otonomi daerah telah memasuki era baru setelah pemerintah dan DPR sepakat
untuk mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua
UU otonomi daerah ini merupakan revisi terhadap UU Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999
sehingga kedua UU tersebut kini tidak berlaku lagi.

Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut memberikan kewenangan


penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab. Adanya
perimbangan tugas fungsi dan peran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tersebut
menyebabkan masing-masing daerah harus memiliki penghasilan yang cukup, daerah harus
memiliki sumber pembiayaan yang memadai untuk memikul tanggung jawab
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan demikian diharapkan masing-masing daerah
akan dapat lebih maju, mandiri, sejahtera dan kompetitif di dalam pelaksanaan pemerintahan
maupun pembangunan daerahnya masing-masing.

Memang harapan dan kenyataan tidak lah akan selalu sejalan. Tujuan atau harapan tentu akan
berakhir baik bila pelaksanaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan juga berjalan baik.
Namun ketidaktercapaian harapan itu nampak nya mulai terlihat dalam otonomi daerah yang
ada di Indonesia. Masih banyak permasalahan yang mengiringi berjalannya otonomi daerah
di Indonesia. Permasalahan-permasalahan itu tentu harus dicari penyelesaiannya agar tujuan
awal dari otonomi daerah dapat tercapai.

1.2. Rumusan Masalah

Dalam penyusunan ini penulisan memberikan batasan-batasan masalah, meliputi :

1. Eksploitasi Pendapatan Daerah


2. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi
daerah yang belum mantap
3. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai
4. Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan
otonomi daerah
5. Korupsi di Daerah
6. Potensi munculnya konflik antar daerah

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini di bagi menjadi 2 yaitu, tujuan umum dan khusus:

1.3.1 Tujuan Umum

1. Mengetahui permasalahan dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia

1. Meneliti penyelesaian dari permasalahan yang ada

1.3.2 Tujuan Khusus

Menyelesaikan tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan tentang Permasalahan Dalam


Otonomi Daerah

1.4. Manfaat Penulisan

1. Sebagai bahan pelajaran bagi mahasiswa.


2. Sebagai wacana awal bagi penyusunan karya tulis selanjutnya.
3. Sebagai literature untuk lebih memahami otonomi daerah di Indonesia.

1.5. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan Karya Tulis ini, sistematika penulisan yang digunakan adalah :

BAB I PENDAHULUAN
Berisi tentang : Latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan
sistematika penulisan.

BAB II PEMBAHASAN

Berisi tentang : Pembahasan mengenai permasalahan dalam pelaksanaan otonomi daerah di


Indonesia.

BAB III PENUTUP

Berisi tentang : kesimpulan dan saran.

1.6. Metodologi Penelitian

Dalam penulisan Karya Tulis ini, metodologi penelitian yang digunakan adalah :

• Studi pustaka yaitu dengan mencari referensi dari buku-buku yang berkaitan dengan
penulisan karya tulis ini

• Penjelajahan internet yaitu dengan mencari beberapa informasi di mesin pencari yang
tidak penulis tidak dapatkan dari buku-buku

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi Daerah adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi
dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya
desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi
sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai
penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia,
desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan
adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di
Indonesia. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab,
kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya adalah keinginan untuk
memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan
langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh
pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan
dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh
pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan
perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat
menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk
memenuhi kebutuhan lokal.

2.2 Permasalahan Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia

Sejak diberlakukannya paket UU mengenai Otonomi Daerah, banyak orang sering


membicarakan aspek positifnya. Memang tidak disangkal lagi, bahwa otonomi daerah
membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri
sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang sentralistik
cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau
pinggiran. Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih
pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru
mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan tersebut tampaknya
banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak menguntungkan
tersebut.

Akan tetapi apakah di tengah-tengah optimisme itu tidak terbersit kekhawatiran bahwa
otonomi daerah juga akan menimbulkan beberapa persoalan yang, jika tidak segera dicari
pemecahannya, akan menyulitkan upaya daerah untuk memajukan rakyatnya? Jika
jawabannya tidak, tentu akan sangat naif. Mengapa? Karena, tanpa disadari, beberapa
dampak yang tidak menguntungkan bagi pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi. Ada
beberapa permasalahan yang dikhawatirkan bila dibiarkan berkepanjangan akan berdampak
sangat buruk pada susunan ketatanegaraan Indonesia.

Masalah-masalah tersebut antara lain :

1. Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah


2. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum mantap
3. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai
4. Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan
otonomi daerah
5. Korupsi di Daerah
6. Adanya potensi munculnya konflik antar daerah

Permasalahan tersebut dibahas lebih lanjut sebagai berikut :

2.3Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah

Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam
pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi
pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya sudah
muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi,
bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa
daerah harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun
pembangunan. Daerah harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat
yang statusnya dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping
itu daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan
pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dengan skenario semacam ini, banyak daerah akan terjebak dalam pola tradisional dalam
pemerolehan pendapatan daerah, yaitu mengintensifkan pemungutan pajak dan retribusi. Bagi
pemerintah daerah pola ini tentu akan sangat gampang diterapkan karena kekuatan koersif
yang dimiliki oleh institusi pemerintahan; sebuah kekuatan yang tidak applicable dalam
negara demokratis modern. Pola peninggalan kolonial ini menjadi sebuah pilihan utama
karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat wirausaha
(enterpreneurship).

Apakah upaya intensifikasi pajak dan retribusi di daerah itu salah? Tentu tidak. Akan tetapi
yang jadi persoalan sekarang adalah bahwa banyak pemerintah daerah yang terlalu intensif
memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya. Pemerintah daerah telah kebablasan dalam
meminta sumbangan dari rakyat. Buktinya adalah jika menghitung berapa item pajak dan
retribusi yang harus dibayar selaku warga daerah. Jika diteliti, jumlahnya akan mencapai
ratusan item.

Beberapa bulan lalu berkembang sinisme di kalangan warga DKI Jakarta, bahwa setiap
aktivitas yang mereka lakukan telah menjadi objek pungutan Pemda DKI, sampai-sampai
buang hajat pun harus membayar retribusi. Pemda Provinsi Lampung juga bisa menjadi
contoh unik ketika menerbitkan perda tentang pungutan terhadap label sebuah produk.
Logika yang dipakai adalah bahwa label tersebut termasuk jenis papan reklame berjalan. Hal
ini terlihat lucu. Karena tampaknya Pemerintah setempat tidak bisa membedakan mana
reklame, sebagai bentuk iklan, dan mana label produk yang berfungsi sebagai identifikasi
nama dan spesifikasi sebuah produk. Kedua, jika perda tersebut diberlakukan (sepertinya
kurang meyakinkan apakah perda tersebut jadi diberlakukan atau tidak), akan timbul
kesulitan besar dalam penghitungan dan pemungutan retribusi.

Dengan dua contoh tersebut, penulis ingin mengatakan bahwa upaya pemerintah daerah
dalam menggali pendapatan daerah di era otonomi ini telah melampaui batas-batas akal sehat.
Di satu pihak sebagai warga negara kita harus ikut berpartisipasi dalam proses kebijakan
publik dengan menyumbangkan sebagian kemampuan ekonomi yang kita miliki melalui
pajak dan retribusi. Akan tetapi, apakah setiap upaya pemerintah daerah dalam memungut
pendapatan dari rakyatnya hanya berdasarkan justifikasi semacam itu? Tidak adakah ukuran
kepantasan, sejauh mana pemerintah daerah dapat meminta sumbangan dari rakyatnya?

Bila dikaji secara matang, instensifikasi perolehan pendapatan yang cenderung eksploitatif
semacam itu justru akan banyak mendatangkan persoalan baru dalam jangka panjang, dari
pada manfaat ekonomis jangka pendek, bagi daerah. Persoalan pertama adalah beratnya
beban yang harus ditanggung warga masyarakat. Meskipun satu item pajak atau retribusi
yang dipungut dari rakyat hanya berkisar seratus rupiah, akan tetapi jika dihitung secara
agregat jumlah uang yang harus dikeluarkan rakyat perbulan tidaklah kecil, terutama jika
pembayar pajak atau retribusi adalah orang yang tidak mempunyai penghasilan memadai.
Persoalan kedua terletak pada adanya kontradiksi dengan upaya pemerintah daerah dalam
menggerakkan perekonomian di daerah. Bukankah secara empiris tidak terbantahkan lagi
bahwa banyaknya pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang ujung-ujungnya
hanya akan merugikan perkembangan ekonomi daerah setempat. Kalau pemerintah daerah
ingin menarik minat investor sebanyak-banyaknya, mengapa pada saat yang sama justru
mengurangi minat investor untuk berinvestasi ?

2.4 Korupsi di Daerah


Fenomena lain yang sejak lama menjadi kekhawatiran banyak kalangan berkaitan dengan
implementasi otonomi daerah adalah bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah.
Sinyalemen ini menjadi semakin beralasan ketika terbukti bahwa banyak pejabat publik yang
masih mempunyai kebiasaan menghambur-hamburkan uang rakyat untuk piknik ke luar
negeri dengan alasan studi banding. Juga, mulai terdengar bagaimana anggota legislatif mulai
menggunakan kekuasaannya atas eksekutif untuk menyetujui anggaran rutin DPRD yang jauh
lebih besar dari pada sebelumnya. Belum lama diberitakan di Kompas (4/9) bagaimana
legislatif Kota Yogya membagi dana 700 juta untuk 40 anggotanya atau 17,5 juta per orang
dengan alasan menutup biaya operasional dan kegiatan kesekretariatan. Mengapa harus ada
bagi-bagi sisa anggaran? Tidakkah jelas aturannya bahwa sisa anggaran seharusnya tidak
dihabiskan dengan acara bagi-bagi, melainkan harus disetorkan kembali ke Kas Daerah?
Dipandang dari kacamata apapun perilaku pejabat publik yang cenderung menyukai
menerima uang yang bukan haknya adalah tidak etis dan tidak bermoral, terlebih jika hal itu
dilakukan dengan sangat terbuka.

Sumber praktik korupsi lain yang masih berlangsung terjadi pada proses pengadaan barang-
barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah item barang
dianggarkan jauh lebih besar dari harga pasar. Kolusi antara bagian pengadaan dan rekanan
sudah menjadi hal yang jamak. Pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah
juga merupakan bukti ketidakarifan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah.
Hibah dari pihak ketiga kepada pejabat daerah sudah menjadi hal biasa yang tidak pernah
diributkan dari dulu. Kalau dicermati dan dinalar, berapa kenaikan kekayaan pejabat daerah
setelah mereka menjabat posisi tertentu? Seberapa drastis perubahan gaya hidup para pejabat
publik itu?

Berikut ini beberapa modus korupsi di daerah:

1. Korupsi Pengadaan Barang

Modus :

a. Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar.

b. Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.

1. Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah)

Modus :

a. Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.

b. Menjual inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.

1. Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat, pengurusan pensiun dan
sebagainya.

Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.

1. Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan
jompo)
Modus :

a. Pemotongan dana bantuan sosial

b. Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap meja).

1. Bantuan fiktif

Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari pemerintah ke pihak
luar.

1. Penyelewengan dana proyek

Modus : a. Mengambil dana proyek pemerintah di luar ketentuan resmi.

b. Memotong dana proyek tanpa sepengtahuan orang lain.

1. Proyek fiktif fisik

Modus : Dana dialokasikan dalam laporan resmi, tetapi secara fisik proyek itu

nihil.

1. Manipulasi hasil penerimaan penjualan, penerimaan pajak, retribusi dan iuran.

Modus : a. Jumlah riil penerimaan penjualan, pajak tidak dilaporkan.

b. Penetapan target penerimaan

2.3 Penyelesaian permasalahan otonomi daerah di Indonesia

Pada intinya, masalah – masalah tersebut seterusnya akan menjadi persoalan tersendiri,
terlepas dari keberhasilan implementasi otonomi daerah. Pilihan kebijakan yang tidak populer
melalui intensifikasi pajak dan perilaku koruptif pejabat daerah sebenarnya sudah ada sejak
lama dan akan terus berlangsung. Jika kini keduanya baru muncul dipermukaan sekarang,
tidak lain karena momentum otonomi daerah memang memungkinkan untuk itu. Otonomi
telah menciptakan kesempatan untuk mengeksploitasi potensi daerah dan sekaligus memberi
peluang bagi para pahlawan baru menganggap dirinya telah berjasa di era reformasi untuk
bertindak semau gue.

Untuk menyiasati beratnya beban anggaran, pemerintah daerah semestinya bisa menempuh
jalan alternatif, selain intensifikasi pungutan yang cenderung membebani rakyat dan menjadi
disinsentif bagi perekonomian daerah, yaitu (1) efisiensi anggaran, dan (2) revitalisasi
perusahaan daerah. Saya sepenuhnya yakin bahwa banyak pemerintah daerah mengetahui
alternatif ini. Akan tetapi, jika keduanya bukan menjadi prioritas pilihan kebijakan maka
pemerintah pasti punya alasan lain. Dugaan saya adalah bahwa pemerintah daerah itu malas!
Pemerintah tidak mempunyai keinginan kuat (strong will) untuk melakukan efisiensi
anggaran karena upaya ini tidak gampang. Di samping itu, ada keengganan (inertia) untuk
berubah dari perilaku boros menjadi hemat.
Upaya revitalisasi perusahaan daerah pun kurang mendapatkan porsi yang memadai karena
kurangnya sifat kewirausahaan pemerintah. Sudah menjadi hakekatnya bahwa pemerintah
cenderung melakukan kegiatan atas dasar kekuatan paksa hukum, dan tidak berdasarkan
prinsip-prinsip pasar, sehingga ketika dihadapkan pada situasi yang bermuatan bisnis,
pemerintah tidak bisa menjalankannya dengan baik. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini
pemerintah daerah bisa menempuh jalan dengan menyerahkan pengelolaan perusahaan
daerah kepada swasta melalui privatisasi.

Dalam kaitannya dengan persoalan korupsi, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan


terhadap pemerintah daerah juga perlu diupayakan. Saya punya hipotesis bahwa pemerintah
daerah atau pejabat publik lainnya, termasuk legislatif, pada dasarnya kurang bisa dipercaya,
lebih-lebih untuk urusan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah. Tidak pernah
sekalipun terdengar ada institusi pemerintahan, termasuk di daerah yang terbebas dari
penyalahgunaan uang rakyat. Masyarakat harus turut aktif dalam menangkal perilaku korupsi
di kalangan pejabat publik, yang jumlahnya hanya segelintir dibandingkan dengan jumlah
rakyat pembayar pajak yang diwakilinya. Rakyat boleh menarik mandat jika wakil rakyat
justru bertindak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan mengkhianati nurani
keadilan masyarakat. Begitu juga, akhirnya seorang kepala daerah atau pejabat publik lain
bisa diminta turun jika dalam melaksanakan tugasnya terbukti melakukan pelanggaran serius,
yaitu korupsi dan menerima suap atawa hibah dalam kaitan jabatan yang dipangkunya.

Pemeritah juga seharusnya merevisi UU yang dipandang dapat menimbulkan masalah baru di
bawah ini penulis merangkum solusi untuk keluar dari masalah Otonomi Daerah tanpa harus
mengembalikan kepada Sentralisasi. Jika pemerintah dan masyarakat bersinergi mengatasi
masalah tersebut. Pasti kesejahteraan masyarakat segera terwujud.

1. Membuat masterplan pembangunan nasional untuk membuat sinergi Pembangunan di


daerah. Agar menjadi landasan pembangunan di daerah dan membuat pemerataan
pembangunan antar daerah.
2. Memperkuat peranan daerah untuk meningkatkan rasa nasionalisme dengan mengadakan
kegiatan menanaman nasionalisme seperti kewajiban mengibarkan bendera merah putih.
3. Melakukan pembatasan anggaran kampanye karena menurut penelitian korupsi yang
dilakukan kepala daerah akibat pemilihan umum berbiaya tinggi membuat kepala daerah
melakukan korupsi.
4. Melakukan pengawasan Perda agar sinergi dan tidak menyimpang dengan peraturan
diatasnya yang lebih tinggi.
5. Melarang anggota keluarga kepala daerah untuk maju dalam pemilihan daerah untuk
mencegah pembentukan dinasti politik.
6. Meningkatkan kontrol terhadap pembangunan di daerah dengan memilih mendagri yang
berkapabilitas untuk mengawasi pembangunan di daerah.
7. Melaksanakan Good Governence dengan memangkas birokrasi (reformasi birokrasi),
mengadakan pelayanan satu pintu untuk masyarakat. Melakukan efisiensi anggaran.
8. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dari sektor SDA dan Pajak serta mencari dari sektor
lain seperti jasa dan pariwisata digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.

BAB III
PENUTUPAN

3.1. Kesimpulan

Otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat


mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Dimana untuk
mewujudkan keadaan tersebut,berlaku proposisi bahwa pada dasarnya segala persoalan
sepatutnya diserahkan kepada daerah untuk mengidentifikasikan,merumuskan,dan
memecahkannya, kecuali untuk persoalan-persoalan yang memang tidak mungkin
diselesaikan oleh daerah itu sendiri dalam perspektif keutuhan negara- bangsa. Dalam Sidang
Tahunan MPR tahun 2000 telah pula ditetapkan Ketetapan MPR No.IV/MPR/2000 tentang
Kebijakan dalam Penyelenggaran Otonomi Daerah yang antara lain merekomendasikan
bahwa prinsip otonomi daerah itu harus dilaksanakan dengan menekankan pentingnya
kemandirian dan keprakarsaan dari daerah-daerah otonom untuk menyelenggarakan otonomi
daerah tanpa harus terlebih dulu menunggu petunjuk dan pengaturan dari pemerintahan pusat.
Bahkan,kebijakan nasional otonomi daerah ini telah dikukuhkan pula dalam materi
perubahan Pasal 18UUD 1945.

Adapun dampak negative dari otonomi daerah adalah munculnya kesempatan bagi oknum-
oknum di tingkat daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran, munculnya pertentangan
antara pemerintah daerah dengan pusat, serta timbulnya kesenjangan antara daerah yang
pendapatannya tinggi dangan daerah yang masih berkembang.Bisa dilihat bahwa masih
banyak permasalahan yang mengiringi berjalannya otonomi daerah di Indonesia.
Permasalahan-permasalahan itu tentu harus dicari penyelesaiannya agar tujuan awal dari
otonomi daerah dapat tercapai.

3.2. Saran

Dari kesimpulan yang dijabarkan diatas, maka dapat diberikan saran antara lain:

1. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan


otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antarsusunan pemerintahan dan
antarpemerintah daerah, potensi dan keanekaragaman daerah.
2. Konsep otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab tetap dijadikan acuan dengan
meletakkan pelaksanaan otonomi pada tingkat daerah yang paling dekat dengan
masyarakat.
3. Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintah daerah juga perlu
diupayakan. Kesempatan yang seluas-luasnya perlu diberikan kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dan mengambil peran. Masyarakat dapat memberikan kritik dan koreksi
membangun atas kebijakan dan tindakan aparat pemerintah yang merugikan masyarakat
dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Karena pada dasarnya Otonomi Daerah ditujukan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat juga perlu
bertindak aktif dan berperan serta dalam rangka menyukseskan pelaksanaan Otonomi
Daerah.

Pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah sebaiknya membuang


jauh-jauh egonya untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompoknya dan lebih
mengedepankan kepentingan masyarakat. Pihak-pihak tersebut seharusnya tidak bertindak
egois dan melaksanakan fungsi serta kewajibannya dengan baik.
MAKALAH PKN – OTONOMI DAERAH

KATA PENGANTAR

Puji syukur panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena berkat rahmatnya penyusun
dapat berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul “Otonomi Daerah”. Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah PKN.
Dalam makalah ini dijelaskan tentang otonomi daerah. Makalah ini terdiri dari tiga bab. Bab I
berisi Pendahuluan, Bab II berisi Pembahasan, dan Bab III berisi kesimpulan.
Dengan adanya makalah ini diharapkan agar mahasiswa dapat mengetahui otonomi daerah.
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan maka dari itu kritik dan saran sangat diperlukan.
Somoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat luas.

Bandung Nopember 2011

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Otonomi Daerah
B.Aspek Otonomi Daerah
C. Prinsip dan Tujuan Otonomi Daerah
D. Hakikat Otonomi Daerah
F. Otonomi Daerah Dan Demokratisasi
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keadaan geografis indonesia yang berupa kepulauan berpengaruh terhadap mekanisme


pemerintahan negara Indonesia. Dengan keadaan geografis yang berupa kepulauan ini
menyebabkan pemerinyah sulit mengkoordinasi pemerintahan yang ada di daerah. Untuk
memudahkan pengaturan atau penataan pemerintahan, maka diperlukan adanya suatu sistem
pemerintahan yang dapat nerjalan secara efisien dan mandiri tetapi tetap terawasi dari pusat.
Di era revormasi ini, sangat dibutuhkan sistem pemerintahan yang memungkinkan cepatnya
penyaluran aspirasi rakyat, namun tetap berada di bawah pengawasan pemerintah pusat. Hal
tersebut sangat dibutuhkan karena mulai munculnya ancaman-ancaman terhadap keutuhan
NKRI, hal tersebut ditandai dengan banyaknya daerah yang ingin memisahkan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sumber daya alam daerah di Indonesia yang tidak merata juga merupakan salah satu
penyebab diperlukannya suatu sistem pemerintahan yang menegakan pengolahan sumber
daya alam yang merupakan sumner pendapatan daerah sekaligus menjadi pendapatan
nasional. Seperti yang kita ketahui, bahwa terdapat beberapa daerah yang pembangunannya
memang harus lebih cepat daripada daerah lain. Karena itulah pemerintah pusat membuat
suatu sistem pengelolaan pemerintahan di tingkat daerah yang disebut Otonomi Daerah.
Pada kenyataannya, otonomi daerah itu sendiri tidak bisa diserahkan begitu saja pada
pemerintah daerah. Selain diatur dalam perundang-undangan, pemerintah pusat juga harus
mengawasi keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah daerah. Apakan sudah sesuai
dengan tujuan nasional, yaitu pemerataan pembangunan di seluruh wilayah republik
Indonesia berdasarkan pada sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari otonomi daerah?


2. Apa aspek dari otonomi daerah?
3. Apa prinsif dan tujuan dari otonomi daerah?
4. Apa hakikat dari otonomi daerah?
5. Bagaimana hubungan antara otonomi daerah dan demokratisasi?
C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian dari otonomi daerah


2. Untuk mengetahui aspek dari otonomi daerah
3. Untuk mengetahui prinsif dan tujuan dari otonomi daerah
4. Untuk mengetahui hakikat dari otonomi daerah
5. Untuk mengetahui hubungan antara otonomi daerah dan demokratisasi

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Otonomi Daerah

Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan namos yang berarti
Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan
untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu Suryaninrat; 1985).
Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :
1) F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
2) Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau
kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu
terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
3) Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah
daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.
Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah adalah
pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal
berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa
otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang
keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna
mengalokasikan sumber sumber material yang substansial tentang fungsi-fungsi yang
berbeda.
Dengan otonomi daerah tersebut, menurut Mariun (1979) bahwa dengan kebebasan yang
dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan
mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu
dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat
berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.
Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian
yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan
bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk
melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas. Pendapat tentang otonomi
di atas, juga sejalan dengan yang dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa otonomi
daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi,
dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah
ada kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam
kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Terlepas dari itu pendapat beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas, dalam Undang-
undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia[1].

B.Aspek Otonomi Daerah


Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya
mempunyai tiga aspek, yaitu :
1) Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2) Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di
atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
3) Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan
kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber
pembiayaan sendiri.
Yang dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah
daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan, pembiyaan serta
perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong pelaksanaan pemerintah
dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah
daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta
mengelola keuangan sendiri.
Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 23 Tahun 2004,
maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :
1) Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan sendiri
2) Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
3) Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.
4) Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.
C. Prinsip dan Tujuan Otonomi Daerah
Otonomi daerah dan daerah otonom, biasa rancu dipahami oleh masyarakat. Padahal
sebagaimana pengertian otonomi daerah di atas, jelas bahwa untuk menerapkan otonomi
daerah harus memiliki wilayah dengan batas administrasi pemerintahan yang jelas.
Daerah otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan yang dikenal
dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan
demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat pelaksanaan otonomi
daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun daerah provinsi, berotonomi
secara terbatas yakni menyangkut koordinasi antar/lintas kabupaten/kota, serta kewenangan
pusat yang dilimpahkan pada provinsi, dan kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu
dilaksanakan maka diambil alih oleh provinsi.
Secara konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka memang masih lebih banyak
ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Disisi lain,
pemerintah kabupaten/kota yang daerah otonomnya terbentuk hanya berdasarkan
kesejahteraan pemerintahan, maka akan sulit untuk berotonomi secara nyata dan
bertanggungjawab di masa mendatang.
Dalam diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dikatakan bahwa
dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada
prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta
mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah.
Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah otonomi luas yaitu
adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua
bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan-kewenangan bidang
lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi
maupun kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Dalam penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan
pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan
berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab
adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan
kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah
dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan
daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Atas dasar pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
a) Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi,
keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang terbatas.
b) Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
c) Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan
daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
d) Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga tetap terjalin
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
e) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan
karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
f) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif
daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan
pemerintah daerah.
g) Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya
sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah.
h) Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada
daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan,
sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan
dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan
hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat.
Sejalan dengan pendapat di atas, The Liang Gie dalam Abdurrahman (1987) mengemukakan
bahwa tujuan pemberian otonomi daerah adalah :
a) Mengemukakan kesadaran bernegara/berpemerintah yang mendalam kepada rakyat
diseluruh tanah air Indonesia.
b) Melancarkan penyerahan dana dan daya masyarakat di daerah terutama dalam bidang
perekonomian[2].

D. Hakikat Otonomi Daerah

Desentralisasi dalam kerangka sistem penyelenggaraan pemerintah sering digunakan secara


campur baur (interchangeably). Desentralisas sebagai mana didefinisikan perserikatan
bangsa-bangsa (PBB) adalah:
Desentralisasi terkait dengan masalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat yang
berada di ibu kota negara baik melalui secara dekonsentrasi, misalnya pendelegrasian, kepada
pejabat di bawahnya maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan d
daerah.
Sedangkan pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai ”mandiri ”.
Sedangkan dalam makna yang luas diartikan sebagai ” berdaya”. Otonomi daerah engan
demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan
keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
Namun demikian, pelaksanan desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang kuat baik
secara teoritik ataupun empirik. Kalangan teoritis pemerintah dan politik mengajukan
sejumlah argumen yang menjadi dasar atas pilihan tersebut sehingga dapat dipertanggung
jawabkan baik secara empirik atau pun normatif-teoritik. Di antara berbagai argumentasi
dalam memilih desentralisasi-otonomi daerah adalah:
1. Untuk terciptanya efesensi dan efektifitas penyelenggara pemerintah.
2. Sebagai sarana pendidikan politik.
3. Pemerintah daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.
4. Stabilitas politik.
5. Kesetaraan politik (political equlity).
6. Akuntabilitas publik[3].
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah akan dapat diawasi secara langsung dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat karena masyarakat terlibat secara langsung dalam
penyelenggaraan pemerintah malalui proses pemilihan secara langsung.

Visi Otonomi Daerah


Otonomi daerah sebagai kerangka penyelenggaraan pemerintah mempunyai visi yang dapat
dirumuskan dengan yang lainnya: politik, ekonomi, sosisl dan budaya. Visi otonomi daerah
di bidang sosial dan budaya mengandung pengertian bahwa otonomi daerah harus diarahkan
pada pengelola , penciptaan dan pemeliharaan integrasi dan harmoni sosial. Pada saat yang
sama, visi otonomi daerah dibidang sosial dan budaya adalah memelihara dan
mengembangkan nilai, tradisi, karya cipta, bahasa dan karya sastra lokal yang di pandang
kondusif dalam mendorong masyarakat untuk merespon positif dinamika kehidupan di
sekitarnya dan kehidupan global.

Bentuk dan Tujuan Desentralisasi dalam Konteks Otonomi Daerah


Rondinelli membedakan empat bentuk desentralisasi, yaitu deconcentration, delegtion to
semi-autonomous and parastatal agencies, develution to local governments, dan
nongovernment institutions(privatization). Dekonsentrasi hanya berupa pergeseran volume
pekerjaan dari departemen pusat kepada perwakilannya

Desentralsasi dalam Negara Kesatuan dan Negara Federal: Sebuh Perabandingan.


Dalam dimensi karakter dasar yang dimilki oleh struktur pemerintahan regional/lokal
pemerintah daerah dalam negara kesatuan tidak memiliki soverienitas (kedaulatan),
sedangkan dalam nagara federal merupakan struktur asli yang memiliki karakter kedaulatan.
Dalam pembahasan sistem federal dikenal pembagian kekuasaan dan kewenangan secara
vertikal antara negara bagian dan federal. Soveneritas dalam negara federal lazimnya
didefinisikan sebagai kompetensi dan bukan sebagai kedaulatan awal negara bagian. Dalam
perspektif teori negara federal dualitis (dualistiche bundesstaatstheorie), kepemilikan
bersanma kedaulatan antara negara bagian dan federal bukanlah suatu kemustahilan[4].

E. Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia.


Undang-undang nomor 22 tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan
pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam undang-undang ini ditetapkan 29 (dua) jenis
daerah, yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta 3(tiga) tingkatan
daerah otonom yaitu propnsi, kabupaten/kota besar dan desa/kota kecil.
Sistem Otonomi Daerah
Yang dimaksud dengan faham atau sistem otonomi disini ialah patokan tentang cara
penentuan batas-batas urusan rumah tangga daerah dan tentang tata cara pelimpahan
wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah menurut suatu prinsip atau pola pemikiran
tertentu. (Sujamto; 1990)
Banyak istilah yang digunakan oleh para ahli untuk menerjemahkan maksud tersebut diatas.
Penulis paling tidak mengidentifikasi ada empat istilah yang digunakan oleh para ahli untuk
memahaminya. Istilah-istilah itu antara lain sistem, paham, ajaran, pengertian.
Adapun mengenai faham atau atau system otonomi tersebut pada umumnya orang mengenal
ada dua faham atau system pokok, yaitu faham atau system otonomi materiil dan faham atau
system otonomi formal. Oleh Sujamto (1990) kedua istilah ini lazim juga disebut pengertian
rumah tangga materiil (materiele huishoudingsbegrip) dan pengertian rumah tangga formil
(formeele huishoudingsbegrip)
Koesoemahatmadja (1978) menyatakan ada tiga ajaran rumah tangga yang terkenal yaitu :
a. Ajaran Rumah Tangga Materiil (materiele huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah
Tangga Materiil (materiele huishoudingsbegrip),
b. Ajaran Rumah Tangga Formil (formil huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah Tangga
Formil (formeele huishoudingsbegrip)
c. Ajaran Rumah Tangga Riil (riele huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah Tangga Riil
(riele huishoudingsbegrip)
Pada ajaran rumah tangga meteril bahwa dalam hubungan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah ada pembagian tugas yang jelas, dimana tugas-tugas tersebut diperinci
dengan jelas dan diperiinci dengan tegas dalam Undang –Undang tentang pembentukan suatu
daerah. Artinya rumah tangga daerah itu hanya meliputi tugas-tugas yang telah ditentukan
satu persatu dalam Undang-Undang pembentukannya. Apa yang tidak termasuk dalam
perincian tidak termasuk dalam rumah tangga daerah, melainkan tetap berada ditangan
pemerintah pusat. Jadi ada perbedaan sifat materi antara tugas pemerintah pusat dam
pemerintah daerah.
Adapun mengenai ajaran rumah tangga formil disini tidak terdapat perbedaan sifat antara
tugas-tugas yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan oleh pemerintah daerah. Apa
yang dapat dikerjakan oleh pemerintah pusat pada prinsipnya dapat dikerjakan pula oleh
pemerintah daerah demikian pula sebaliknya. Bila ada pembagian tugas maka itu didasarkan
atas pertimbangan rasional dan praktis. Artinya pembagian tugas itu tidaklah disebabkan
karena materi yang diatur berbeda sifatnya, melainkan semata-mata karena keyakinan bahwa
kepentingan daerah itu lebih baik dan berhasil jika diselenggarakan sendiri daripada
diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Jadi pertimbangan efisiensilah yang menentukan
pembagian tugas itu bukan disebabkan oleh perbedaan sifat dari urusan yang menjadi
tanggung jawab masing-masing[5].
Perkembangan kebijakan otonomi daerah di Indonesia
a. UU Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Pembentukan Komite Nasional Daerah.
Dalam pasal 18 UUD 1945, dikatakan bahwa, “Pembagian daerah Indonesia ataas dasar
daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
Undang-Undang, dengabn memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam system
pemerintahan Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa”. Oleh
karena itu Indonesia dibagi dalam daerah-daerah yang lebih kecil yang bersifat otonom yang
pengaturanya dilakukan dengan Undang-undang.
Peraturan perundangan yang pertama yang mengatur otonomi daerah di Indonesia adalah
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945. Undang-Undang ini dibuat dalam keadaan darurat,
sehingga sehingga hanya mengatur hal-hal yang bersita darurat dan segera saja. Dalam
batang tubuhnyapun hanya terdiri dari 6 (enam ) pasal saja dan sama sekali tidak memiliki
penjelasan. Penjelasan kemudian dibuat oleh Menteri Dalam Negeri dan tentang penyerahan
urusan kedaerah tidak ada penjelasdan secara eksplisit[6].
Dalam undang-undang ini menetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu keresidenan,
kabupaten dan kota berotonomi. Pada pelaksanaannya wilayah Negara dibagi kedalam
delapan propinsi berdasarkan penetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
tanggal 19 Agustus 1945. Propinsi-propinsi ini diarahkan untuk berbentuk administrative
belaka, tanpa otonomi. Dalam perkembangannya khususnya, Propinsi Sumatera, propinsi
berubah menjadi daerah otonom. Di propinsi ini kemudian dibentuk Dewan Perwakilan
Sumatera atas dasar Ketetapan Gubernur Nomor 102 tanggal 17 Mei 1946, dikukuhkan
dengan PP Nomor 8 Tahun 1947. Peraturan yang terakhir menetapkan Propinsi Sumatera
sebagai Daerah Otonom.
Dari uraian diatas maka tidak dapat dilihat secara jelas system rumah tangga apa yang dianut
oleh Undang-undang ini.
b. Undang-Undang Pokok tantang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1948.
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU nomor 22
tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 15 April 1948.
Dalam UU dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni :
a. Propinsi
b. Kabupaten/ Kota Besar
c. Desa/ Kota Kecil, negeri, marga dan sebagainya a s/d c tyang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri. (Soejito;1976)
Dalam undang-undang ini tidak dinyatakan mengenai system rumah tangga yang dianutnya.
Oleh karena itu untuk mengetahui system mana yang dianutnya, kita harus memperhatikan
pasal-pasal yang dimuatnya. Terutama yang mengatur batas-batas rumah tangga daerah.
Ketentuan yang mengatur hal ini terutama terdapat pada pasal 23 yang terdiri dari 2
ayatsebagi berikut
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya daerahnya.
2. Hal-hal yang masuk urusan rumah tangga tersebut dalam ayat 1 ditetapkan dalam undang-
undang pembentukan bagi tiap-tiap daerah. (Sujamto;1990)
Dari kedua pasal diatas terlihat bahwa luas daripada urusan rumah tangga atau kewenangan
daerah dibatasi dalam undang-undang pembentukannya. Daerah tidak memiliki kewenangan
untuk mengatur atau mengurus urusan-urusan diluar yang telah termasuk dalam daftar urusan
yang tersebut dalam UU pembentukannya kecuali apabila urusan tersebut telah diserahkan
kemudian dengan UU.
Dari uraian di atas terlihat bahewa UU ini menganut system atau ajaran materiil. Sebagai
mana dikatakan Nugroho (2001) bahwa peraturan ini menganut menganut otonomi material.,
yakni dengan mengatur bahwa pemerintah pusat menentukan kewajiban apasaja yang
diserahkan kepada daerah. Artinya setiap daerah otonom dirinci kewenangan yang
diserahkan, diluar itu merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Hanya saja system ini ternyata tidak dianut secara konsekwen karena dalam UU tersebut
ditemukan pula ketentuan dalam pasal 28 ayat 4 yang berbunyi: “Peraturan daerah tidak
berlaku lagi jika hal-hal yang diatur didalamnyakemudian diatur dalam Undang-Undang atau
dalam Peraturan pemerintah atau dalam teraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya”.
(Sujamto;1990)
Ketentuan ini terlihat jelas membawa ciri system rumah tangga formil bahwa. Jadi pada
dasarnya UU ini menganut dua system rumah tangga yaitu formil dan materil. Hanya saja
karena sifat-sifat system materiil lebih menonjol maka namyak yang beranggapan UU ini
menganut system Materil.
Perlu dicatat bahwa pada 27 Desember 1949 RI menandatangani Konferensi Meja Bundar,
dimana RI hanya sebagai Negara bagian dari Republik Indonesia Serikat yang wilayahnya
hanya meliputi Jawa, Madura, Sumatera ( minus Sumatera Timur), dan Kalimantan. Dengan
demikian maka hanya pada kawasan ini sajalah UU ini diberlakukan sampai tanggal 17
Agustus 1950 saat UUD sementara diberlakukan.
c. Undang-Undang Nomor 1 tahun1957
Dalam perjalannya UU ini mengalami dua kali penyempunaan yaitui dengan Penetapan
Presiden Nomor 6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960. Adapun nama
resmi dari system otoniomi yang dianut adalah system otonomi riil, sebagaimana secara tegas
dinyatakan dalam memori penjelan UU tersebut. (Soejito;1976)
Ketentuan yang mencirikan tentang system otonomi yang dianutnya terdapat pada pasal 31
ayat 1,2 dan 3 sebagai berikut:
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga
daerahnya kecuali urusan yang oleh Undang-undang diserahkan kepada peguasa lain.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan termaksud dalam ayat 1 diatas dalam peraturan
pembentukan ditetapkan urusan-urusan tertentu yasng diatur dan diurus oleh dewan
perwakilan Rakyat Daerah sejak saat pembentukannya.
3. Denagn peraturan pemerintah tiap-tiap waktu dengan memperhatikan kesanggupan dan
kemampuan dari masing-masing daerah, atas usul dari dewan perwakilan rakyat daerah yang
bersangkutan dan sepanjang mengenai daerah tingkat II dan III setelah minta pertimbangan
dari dewan pemerintah daerah dari daderah setingkat diatasny, urusan-urusan tersebut dalam
ayat 2 ditambah denga urusan lain.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut terlihat bahwa ciri-ciri system otonomi riil jauh lebih
menonjol dibandingkan dengan yang tedapat dalam UU nomor 22 tahun 1948. karena itu
tidak aneh jika banyak para ahli yang tetap menganggabnya sebagai sistem otonomi formil.
Tetapi karena dualisme yang dianutnya seperti telihat pada pasal 31 ayat 2 diatas maka tidak
salah juga unutk mengatakan bahwa UU ini menganut system yang dapat diberi nama sendiri
yaitu system otonomi riil. (Sujamto;1990)
Penyempurnaan pertama terhadap UU ini dilakukan berdasarkan Penetapan Presiden Nomor
6 tahun1959. pemberlakukan PP dilatar belakangi oleh kembalinya RI kedalam sistem
Negara kesatuan dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui dDekrit Presiden 5 Juli
1959 menggantikan UUD Sementara tahun 1950. dalam peraturan ini daerah tetap dibagi
dalam tiga tingkatan, namun dengan perbedaan bahwa Kepala Daerah I dan II tidak
bertanggung jawab kepada DPRD I dan II sehingga dualisme kepemimpinan di daerah
dihapuskan. Kepala Daerah berfungsi sebagi alat pusat di Daerah dan Kepala Daerah diberi
kedududukan sebagai Pegawai Negara.
d. Undang-undang Nomor 18 tahun 1965
UU ini hampir seluruhnya melanjutkan ketentuan yang ada dalam UU Nomor 1 tahun 1957
dan Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 serta Nomor 5 tahun 1960.
Dikatakan oleh Sujamto (1990) Seperti halnya UU Nomor 1 Tahun 1957 UU ini juga
menyatakan diri menganut Sistem Otonomi Riil. Bahkan dalam penjelasan umumnya banyak
sekali mengoper bagian dari penjelasan umum UU Nomor 1 Tahun 1957.
Dalam pelaksanaannya meski konsepsinya menyatakan adalah penyerahan otonomi daerah
secara riil dan seluas-luasnya, namun kenyataannya otonomi daerah secara kesel;uruhan
masih berupa penyerahan oleh pusat.daerah tetap menjadi actor yang pasif.
e. UU Nomor 5 tahun 1974
Berbeda dengan dua UU terdahulu ( UU Nomor 1 tahun 1957 dan UU Nomor 18 tahun 1965)
yang menyatakan diri menganut system otonomi riil UU nomor 5 tahun 1974 tidak berbicara
apa-apa mengenai system otonomi yang dianutnya. UU ini menyatakan otonomi yang nyata
dan bertanggung jawab bukan sebagai system atau faham atau pengertian akan tetapi sebagai
suatu prinsip. (Sujamto; 1990)
Sebagaimana diketahui pada masa pemerintahan Orde baru melakukan perombakan secara
mendasar dalam penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, melalui kebijakan yang
tertuang di garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1973, yang antara lain mengatakan :
a. Asas desentralisai digunakan seimbang dengan asas dekonsentrasi dimana asas
dekonsentrasi tidak lagi dipandang sebagai suplemen atau pelengkap dari asas desentralisasi ;
b. Prinsip yang dianut tidak lagi prinsip otonomi yang seluas-luasnya, melainkan otonomi
yang nyata dan bertanggungjawab. Di kemudian hari, MPR dengan ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/1978 menambahkan kata dinamis di samping kata nyata dan bertanggungjawab.
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan
kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan
Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Dalam Undang-undang ini juga menganut
prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip ini dianut untuk mengganti
sistem otonomi rill dan seluas-luasnya yang dianut oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun
1965.
Adapun ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah
tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1. Pasal 5 yang merupakan ketentuan yang belum pernah ada pada semua UU terdahulu yaitu
yang mengatur tentang penghapusan suatu daerah.
2. Pasal 7 yang berbunyi daerah berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan
mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku;
3. Pasal 8 ayat 1 berbunyi “Penambahan penyerahan urusan pemerintahan ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah”
4. Pasal 9 yang berbunyi “sesuatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah
dapat ditarik kembali dengan pengaturan perundang-undangan yang setingkat.
5. pasal 39 yang mengatur pembatasan-pembatasan terhadap ruang lingkup materi yang yang
dapat diatur oleh Peraturan Daerah.
Dari ketentuan-ketentuan diatas maka terlihat sesungguhnya UU adalah menganut system
atau ajaran rumah tangga material . dalam UU ini tidak ditemukan ketentuan yang
mengatakan tentang gugurnya suatu Peraturan Daerah apabila materinya telah diatur dalam
Peraturan perundang-undangan atau dalam peraturan daerah yang lebih tinggi yang
merupakan ciri dari system rumah tangga formil.
f. UU Nomor 22 tahun 1999
Sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974 dalam UU ini juga tidak dinyatakan secara gamblang
tentang system atau ajarang rumah tangga yang dianutnya. Unutk dapat mengetahui system
atau ajaran yang dianut kita harus melihatnya pada pasal-pasal yang mengatur tentang
pembatasan kewenangan atau luasnya uruasan yang diberikan kepada daerah.
Dalam UU sebutan daerah tingkat I dan II sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974 dihilangkan
menjadi hanya daerah propinsi dan daerah kabupaten/ kota. Hierarki antara propinsi dan
Kabupaten/ kota ditiadakan. Otonomi yang luas diberikan kepada daerah kabupaten dan
daerah kota. Sedangkan propinsi.
Adapun ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah
tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1. Dalam pasal 7 dinyatakan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam
seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan bidang lain.
2. Dalam pasal 9 dinyatakan Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom mencakup
kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota serta
kewenangan yang tidak atau belum dilaksankan oleh kabupaten dan kota. Selain itui
kewenangan propinsi sebagai daerah administrative mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan yanmg dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat.
3. Dalam pasal 10 ayat 1 daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia
diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan
perundang-undangan.
4. Dalam pasal 11 dinyatakan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan kota mencakup
semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam pasal 7 dan
yang diatur dalam pasal 9.
Dari uraian diatas terlihat system atau ajaran rumah tangga yang digunakan atau danutnya
adalah perpaduan antara ajaran rumah tangga material dan ajaran rumah tangga formil.
Dikatakan menganut ajaran materil karena dalam pasal 7, pasal 9 dan pasal 11dinyatakan
secara jelas apa-apa saja yang menjadi urusan rumah tangga yang merupakan ciri daripada
system atau ajaran rumah tangga material. Sedangkan dikatakan menganut pula ajaran formil
antara lain terlihat pada pasal 10, pasal 70 dan pasal 81 didalamnya dinyatakan bahwa daerah
kabupaten dan kota memiliki kewenangan untuk mengelola sumberdaya nasional yang
tersedia di wilayahnya. Selain itu dkatakan bahwa peraturan daerah daerah tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain dan peraturan perundangan-
undangan yang lebih tinggi yang meruapakan ciri daripada system atau ajaran rumah tangga
formil[7].
F. Otonomi Daerah Dan Demokratisasi

Otonomi daerah sudah menggelinding berbarengan dengan reformasi. Ia merupakan


terobosan untuk memperkuat Indonesia sebagai sebuah negara bangsa dengan
mengakomodasi keragaman daerah. Akomodasi ini bukan untuk memperlemah, tapi
sebaliknya, untuk memperkuat Indonesia.
Dalam konteks itu otonomi daerah adalah sistem untuk membuat hubungan kongruen antara
pusat dan daerah. Sejauhmana kongruensi ini telah terbangun?
Dilihat dari sikap dan perilaku politik warga, otonomi daerah yang sudah berjalan sampai hari
ini belum mampu menjembatani kedaerahan dan keindonesiaan. Hubungan antara kedaerahan
dan keindonesiaan masih negatif, dan yang punya sentimen kedaerahan dibanding
keindonesiaan masih banyak. Selain itu, otonomi daerah belum mampu menyerap keragaman
dalam keindonesiaan.
Sumber utama dari belum mampunya otonomi daerah menjembatani kedaerahan dan
keindonesiaan, belum mampunya menciptakan sistem politik yang kongruen antara pusat dan
daerah, adalah kinerja otonomi daerah itu sendiri yang dinilai publik belum banyak
menciptakan keadaan lebih baik dibanding sistem pemerintahan yang terpusat sebelumnya.
Akar dari belum berkinerja baiknya otonomi daerah terkait dengan evaluasi publik atas
kinerja pemerintah daerah. Evaluasi positif publik atas kinerja otonomi daerah tergantung
pada apakah kinerja pemerintah akan semakin baik, atau sebaliknya. Bila tidak, maka sikap
negatif publik pada otonomi daerah akan menjadi semkin kuat, dan pada gilirannya akan
semakin menjauhkan daerah dengan pusat, kedaerahan dan keindonesiaan.
Namun demikian, tidak terkaitnya secara berarti antara otonomi daerah dan keindonesiaan
masih tertolong berkat demokrasi. Demokrasilah yang menggerus kedaerahan, bukan
otonomi daerah. Untungnya, demokrasi pula yang berhubungan secara sistemik dengan
otonomi daerah.
Demokrasi menjadi titik temu antara otonomi daerah dan keindonesiaan, dan karena itu
penguatan demokrasi menjadi prasarat bagi terbentuknya hubungan yang kongruen antara
keindonesiaan dan kedaerahan, antara otonomi daerah dan NKRI. Bila demokrasi melemah,
terutama dilihat dari kinerjanya, maka otonomi daerah bukan memperkuat NKRI melainkan
memperlemahnya.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada tiga aspek otonomi daerah yaitu :
1. Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2. Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di
atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
3. Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan
kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber
pembiayaan sendiri.
Keadaan geografis indonesia yang berupa kepulauan berpengaruh terhadap mekanisme
pemerintahan negara, sehingga diperlukan adanya otonomi daerah untuk memudahkan
pengaturan atau penataan pemerrintahan yang ada di Indonesia.
Dalam otonomi daerah terdapat prinsip dan tujuan dari otonomi daerah, Adapun tujuan
pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat.
Kemudian dalam otonommi daerah, terdapat demokrasi yang menjadi titik temu antara
otonomi daerah dan keindonesiaan, dan karena itu penguatan demokrasi menjadi prasarat
bagi terbentuknya hubungan yang kongruen antara keindonesiaan dan kedaerahan, antara
otonomi daerah dan NKRI.
Makalah Pkn Tentang Otonomi Daerah

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara kepualauan yang terletak di posisi strategis dengan dua lautan
yang mengelilinginya. Hal ini turut mempengaruhi mekanisme pemerintahan di Indonesia, dimana
sulitnya koordinasi pemerintah pusan dengan pemerintah daerah. Hal ini pula yang mendorong akan
terwujudnya suatu sistem pemerintahan yang efisien dan mandiri untuk memudahkan koordinasi
antara kedua belah pihak tersebut.

Hal ini juga bertujuan untuk tetap menjaga keutuhan negara Indonesia mengingat
banyaknya ancaman yang menghadang bangsa Indonesia. Diantaranya yaitu munculnya beberapa
daerah yang ingin memisahkan diri dengan negara Indonesiauntuk mngatur kehidupannya secara
mandiri.selain itu, potensi sumber daya alam yang tidak merata di daerah-daerah juga menjadi
indikasi penyebab dibutuhkannya suatu sistem pemerintahan untuk mengatur dan mengelola
sumber daya alam sehingga dapat menjadi sumber pendapatan daerah dan bahkan negara.

Disinilah peran pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola daerah yang jauh dari
jangkauan pemerintah pusat agar tidak terjadi pengabaian sumber daya dan potensi yang ada. Maka
dibentuklah suatu sistem yang dinamakan otonomi daerah oleh pemerintah.

Selanjutnya, makalah akan menguraikan tentang otonomi daerah dan pelaksanaan otonomi
daerah di Indonesia. Selamat membaca.

B.RUMUSAN MASALAH

1. Apa Hakikat otonomi Daerah?

2. Apa saja Visi otonomi daerah?

3. Bagaimana Bentuk dan Tujuan Otonomi Daerah?

4. Bagaiman Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia?

5. Apa Saja Bentuk Dan Susunan Pemerintah Daerah?

6. Apa Itu Kebijakan Publik?


C.TUJUAN PENULISAN

1. Mengetahui Hakikat Otonomi Daerah.

2. Mengetahui Visi Otonomi Daerah.

3. Mengetahui Bentuk dan Tujuan Otonomi Daerah.

4. Mengetahui Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia.

5. Mengetahui Bentuk Dan Susunan Pemerintah Daerah.

6. Mengenal Kebijakan Publik.

BAB II

PEMBAHASAN

A. HAKIKAT OTONOMI DAERAH

Otonomi daerah dalam arti sempit adalah mandiri. Sedangkan dalam arti luas diartikan
sebagai berdaya. Dengan demikian, otonomi daerah berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan
pembuatan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Otonomi daerah
merupakan rangkaian upaya program pembangunan daerah dalam tercapainya tujuan
pembangunan nasional. Untuk itu, keberhasilan peningkatan otonomi daerah tidak terlepas dari
kemampuan aparat pemerintah pusat dan sumber daya manusia (SDM) dalam tugasnya sebagai
perumus kebijakan nasional.

Otonomi daerah dapat diartikan juga sebagai kewajiban yang diberikan kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarkat
setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarkat dan pelaksanaan
pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Menurut Ateng Syarifuddin, otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi
bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud oleh pemberian
kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.

Sedangkan menurut Vincent Lemius, otonomi daerah adalah kebebasan (kewenangan)


untuk mengambil atau membuat suatu keputusan politik maupun administrasi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Di dalam otonomi daerah terdapat kebebasan yang dimiliki oleh
pemerintah daerah untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah. Namun apa yang
menjadi kebutuhan daerah tersebut harus senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional
sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Otonomi daerah memiliki hubungan yang erat dengan desentralisasi, yaitu penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sedangkan otonomi daerah merupakan hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hubungan erat antar pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah harus serasi sehingga akan dapat mewujudkan tujuan yang ingun dicapai.

Berikut beberapa pengertian konsep otonomi daerah sebagaimana tercantum dalam UU


Nomor 32 Th. 2004 Bab I Pasal 1:

1. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut pemerintah adalah presiden RI yang memegang kekuasaan
pemerintah negara RI sebagaimana tercantum dalam UUD 45.

2. Pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip kesatuan NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD Tahun 1945.

3. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Wali Kota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggaraan pemerintah daerah.

4. DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.

5. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonomi untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

6. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakasa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan RI.

7. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah


otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem negara Kesatuan
Republik Indonesia.

8. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur


sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah itu.
9. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari
pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/atau
kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

10. Peraturan daerah selanjutnya disebut perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau
peraturan daerah kabupaten/kota.

11. Peraturan kepala daerah adalah peraturan gubernur dan/atau peraturan Bupati/Walikota.

12. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintah NKRI.

13. Perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah adalah suatu sistem
pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggungjawab dalam
rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi dengan mempertimbangkan potensi, kondisi dan
kebutuhan daerah serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan.

14. Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.

15. Pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan
bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.

16. Belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan
bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.

17. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang
akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran bersangkutan maupun pada tahun anggaran
berikutnya.

18. Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima sejumlah uang
atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga daerah tersebut dibebani
kewajiban untuk membayar kembali.

19. Kawasan khusus adalah bagian wilayah dalam provinsi dan/atau kabupaten/kota yang ditetapkan
oleh pemerintah untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat khusus bagi
kepentingan nasional.

B.VISI OTONOMI DAERAH

Otonomi daerah sebagai kerangka menyelenggarakan pemerintahan mempunyai visi yang


dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup utama yang saling berhubungan satu dengan yang
lainnya: politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Di bidang politik, visi otonomi daerah harus dipahami sebagai sebuah proses bagi lahirnya
kader-kader politik untuk menjadi kepala pemerintahan yang dipilih secara demokratis serta
memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap kepentingan
masyarakat luas.

Adapun di bidang ekonomi, visi otonomi daerah mengandung makna bahwa otonomi daerah
di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah. Di pihak
lain mendorong terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan lokal
kedaerahan untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam kerangka
ini, otonomi daerah memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk
menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha, dan membangun berbagai
infrastuktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerah.

Sedangkan visi otonomi daerah di bidang social dan budaya mengandung pengertian bahwa
otonomi daerah harus diarahkan pada pengelolaan., penciptaan dan pemeliharaan integrasi dan
harmoni social. Pada saat yang sama, visi otonomi daerah dibidang sosial dan budaya adalah
memelihara dan mengembangkan nilai, tradisi, karya seni, karya cipta, bahasa, dan karya sastra lokal
yang dipandang kondusif dalam mendorong masyarakat untuk merespon positif dinamika kehidupan
di sekitarnya dan kehidupan global. Karenanya, aspek social budaya harus diletakkan secara cepat
dan terarah agar kehidupan sosial tetap terjaga secara utuh dan budaya lokal tetap eksis dan
mempunyai daya keberlanjutan.

C. BENTUK DAN TUJUAN DESENTRALISASI DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH

Rondinelli membedakan empat bentuk desentralisasi, yaitu:

1.Dekonsentrasi

Desentralisasi dalam bentuk dekonsentrasi (deconcentration), pada hakikatnya hanya


merupakan pembagian kewenangan dan tanggung jawab administratif antara pemerintah pusat
dengan pejabat birokrasi pusat di lapangan. Jadi, dekonsentrasi hanya berupa pergeseran volume
pekerjaan dari pemerintah pusat kepada perwakilannya yang ada di daerah, tanpa adanya
penyerahan atau pelimpahan kewenangan untuk mengambil keputusan atau keleluasaan untuk
membuat keputusan.

2. Delegasi

Delegasi merupakan pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial untuk


melakukan tugas-tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak secara langsung berada di bawah
pengawasan pemerintah pusat. Terhadap organisasi semacam ini pada dasarnya diberikan
kewenangan semi independen untuk melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya. Bahkan kadang-
kadang berada diluar ketentuan yang diatur oleh pemerintah pusat., karena bersifat lebih komersial
dan mengutamakan efisiensi daripada prosedur birokratis dan politis. Hal ini biasanya dilakukan
terhadap suatu badan usaha publik yang tugasnya melaksanakan proyek tertentu, seperti
telekomunikasi, listrik, bendungan, dan jalan raya.

3.Devolusi

Devolusi merupakan bentuk desentralisasi yang lebih ekstensif, yang merujuk pada situasi
dimana pemerintah pusat mentransfer kewenangan untuk pengambilan keputusan, keuangan dan
manajemen kepada unit otonomi pemerintah daerah. Devolusi adalah kondisi dimana pemerintah
pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu kepada unit-unit itu untuk dilaksanakan
secara mandiri. Menurut Rondinelli, devolusi merupakan upaya memperkuat pemerintah daerah
sacara legal yang secara substansif kegiatan-kegiatan yang dilakukannya diluar kendali langsung
pemerintah pusat.

Devolusi dapat berupa transfer tanggung jawab untuk pelayanan kepada pemerintahan
kota/kabupaten dalam memilih walikota/bupati dan DPRD, meningkatkan pendapatan mereka dan
memiliki independensi kewenangan untuk mengambil keputusan investasi.

Ciri-ciri Devolusi:

1. Adanya sebuah badan lokal yang secara konstitusional terpisah dari pemerintah pusat dan
bertanggung jawab pada pelayanan lokal yang signifikan.
2. Pemerintah daerah harus memiliki kekayaan sendiri, anggaran dan rekening seiring dengan
otoritas untuk meningkatkan pendapatannya.
3. Harus mengembangkan kompetensi staf.
4. Anggota dewan yang terpilih, yang beroperasi pada garis partai, harus menentukan
kebijakan dan prosedur internal.
5. Pejabat pemerintah pusat harus melayani sebagai penasehat dan evaluator luar yang tidak
memiliki peranan apapun didalam otoritas lokal.

4.Privatisasi

Menurut Romdinelli privatisasi adalah suatu tindakan pemberian kewenangan dari


pemerintah kepada badan-badan sukarela swasta dan swadaya masyarakat, namun dapat pula
merupakan peleburan badan pemerintah menjadi badan usaha swasta misalnya BUMN dan BUMD
dilebur menjadi perusahaan terbatas (PT) dalam beberapa hal misalnya pemerintah mentransfer
beberapa kegiatan kepada kamar dagang dan industri, koperasi dan asosiasi lainnya untuk
mengeluarkan izin-izin, bimbingan dan pengawasan, yang semula dilakukan oleh pemerintah dalam
hal kegiatan sosial, pemerintah memberikan kewenangan dan tanggung jawab kepada lembaga
swadaya masyarakat (LSM) dalam hal seperti pembinaan kesejahteraan keluarga, koprasi, petani,
dan koprasi nelayan untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial, termasuk melatih dan meningkatkan
peran serta dan pemberdayaan masyarakat.

5.Tugas Pembantuan,

Tugas Pembantuan yang merupakan tambahan dalam konteks desentralisasi Indonesia

Tugas pembantuan (medebewind) merupakan pemberian kemungkinan dari pemerintah


pusat atau pemerintah daerah yang lebih atas untuk meminta bantuan kepada pemerintah daerah
yang tingkatannya lebih rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan rumah tangga dari
daerah yang tingkatannya lebih atas urusan yang diserahkan pemerintah pusat/pemerintah daerah
atasan tidak beralih menjadi urusan rumah tangga daerah yang melaksanakan. Kewenangan yang
diberikan kepada daerah adalah kewenangan yang bersifat mengurus sedangkan kewenangan
mengurus tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat/pemerintah atasannya.

D. SEJARAH OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

Peraturan perundang-undanag yang pertama kali menagtur tentang pemerintahan daerah


pasca proklamasi kemerdekaan adalah UU Nomor 1 tahun 1945. Undang-undang ini merupakan
hasil dari berbagai pertimbangan tentang sejarah pemerintahan di masa kerajaan dan masa
pemerintahan kolonialisme. Namun undang-undang ini belum mengatur tentang desentralisasi dan
hanya menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pembentukan badan perwakilan
rakyat daerah.

Undang-undang tersebut diganti oleh UU nomor 22 tahun 1948 yang berfokus pada
pengaturan susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Undang-undang ini menetapkan dua
jenis daerah otonom dan tiga tingkatan daerah otonom.

Perjalanan sejarah otonomi Indonesia selanjutnya ditandai dengan munculnya UU nomor 1


tahun 1957 yang menjadi peraturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia.
Selanjutnya UU nomor 18 tahun 1965 yang menganut sistem otonomi yang riil dan seluas-luasnya.
Kemudian disusul dengan munculnya UU nomor 5 tahun 1974 yang menganut sistem otonomi yang
nyata dan bertanggungjawab. Hal ini karena sistem otonomi yang sebelumnya dianggap memiliki
kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan NKRI serta tidak serasi denagn
maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah.

UU yang terakhir ini berumur paling panjang, yaitu 25 tahun yang kemudian digantikan dengan
UU nomor 22 tahun 1999 pasca reformasi. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan situasi yang
terjadi pada masa itu. Berdasarkan kehendak reformasi saat itu, Sidang Istimewa MPR Nomor
XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah; pengaturan, pembagian, dan
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta peimbangan keuanagn pusat dan daerah
dalam kerangka NKRI. Selain itu, hasil amandemen MPR RI pada pasal 18 UUD 1945 dalam
perubahan kedua, yang secara tegas dan eksplisit menyebutkan bahwa negara Indonesia memakai
prinsip otonomi dan desentralisasi kekuatan politik juga semakin memberikan tempat kepada
otonomi daerah di tempatnya.

Tiga tahun setelah implementasi UU No. 22 tahun 1999, pemerintah melakukan peninjauan
dan revisi terhadap undang-undang yang berakhir pada lahirnya UU No. 32 tahun 2004 yang juga
mengatur tentang pemerintah daerah yang berlaku hingga sekarang.

E. BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAH DAERAH

Di daerah dibentuk DPRD sebagai badan Legislatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai
Badan Eksekutif Daerah. Pemerintah Daerah terdiri atas Kepala Daerah beserta perangkat daerah
lainnya. DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah merupakan wahana untuk
melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila. DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah
berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah. Pasal 40 UU Republik Indonesia
No. 32 Tahun 2004 menyatakan, bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan
berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sementara itu pasal 41
menyatakan, bahwa DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. DPRD merupakan
lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Dalam kedudukannya seperti itu, DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Fungsi legislasi berkaitan dengan pembentukan peraturan daerah, yang meliputi pembahasan dan
memberikan persetujuan terhadap Raperda, serta hak anggota DPRD untuk mengajukan Raperda.
Fungsi anggaran berkaitan dengan kewenangannya dalam hal anggaran daerah (APBD). Sedangkan
fungsi pengawasan berkaitan dengan kewenangan mengontrol pelaksanaan Perda dan peraturan
lainnya serta kebijakan pemerintah daerah. Bagaimana cara pemilihan anggota DPRD? Dalam pasal
18 ayat (3) UUD 1945 ditegaskan, bahwa ”pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotaanggotanya dipilih melalui pemilihan
umum”. Pemilihan umum untuk memilih anggota DPRD waktu pelaksanaannya bersamaan dengan
pemilihan umum untuk anggota DPR dan DPD.

a. Tugas dan Wewenang DPRD

Adapun tugas dan wewenang DPRD sebagaimana diatur dalam pasal 42 UU Republik Indonesia
nomor 32 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:
a. membentuk Peraturan Daerah yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan
bersama;
b. membahas dan menyetujui rancangan Peraturan Daerah tentang APBD bersama dengan Kepala
Daerah;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan
lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan
program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah;
d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/Wakil kepala daerah/wakil kepala
daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Propinsi dan kepada Menteri
Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPR kabupaten/kota;
e. memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah;
f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian
internasional di daerah;
g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh
pemerintah daerah;
h. menerima laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah;
i. membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah;
j. melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah;
k. memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar daerah dan dengan pihak ketiga
yangmembebani masyarakat dan daerah.

b. Hak DPRD

Selain itu DPRD juga mempunyai hak-hak sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU Republik
Indonesia No. 32 Tahun 2004, yaitu hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat. Pelaksanaan
hak angket sebagaimana dimaksud di atas adalah dilakukan setelah diajukan hak interpelasi dan
mendapat persetujuan dari Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya ¾ (tiga
perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya
2⁄3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir. Dalam melaksanakan hak angket dibentuk
panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD yang bekerja dalam waktu paling lama 60
hari telah menyampaikan hasil kerjanya kepada DPRD.

c. Hak Anggota DPRD

Selain DPRD sebagai lembaga yang mempunyai berbagai hak, maka anggota DPRD juga
mempunyai hak-hak sebagaimana diatur dalam Pasal 44 UU Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004,
yaitu mengajukan rancangan Peraturan Daerah; mengajukan pertanyaan; menyampaikan usul dan
pendapat; memilih dan dipilih; membela diri; imunitas; protokoler dan keuangan serta administratif.

d. Kepala Daerah

Dilihat dari susunannya, pada pemerintahan daerah terdapat dua lembaga yaitu Pemerintah
Daerah dan DPRD. Pemerintah daerah provinsi dipimpin oleh Gubernur, sedangkan pemerintah
daerah kabupaten/ kota dipimpin oleh Bupati/Walikota. Gubernur/Bupati/Walikota yang biasa
disebut Kepala Daerah memiliki kedudukan yang sederajat dan seimbang dengan DPRD masing-
masing daerah.
Kepala Daerah dan DPRD memiliki tugas/wewenang dan mekanisme pemilihan yang berbeda. Kepala
Daerah memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:
a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan
bersama DPRD;
b. mengajukan rancangan Peraturan Daerah;
c. menetapkan Peraturan daerah yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
d. menyusun dan mengajukan rancangan Peraturan daerah tentang APBD kepada DPRD untuk
dibahas dan ditetapkan bersama;
e. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
f. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk
mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan
g. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pemilihan Kepala Daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dilakukan secara
demokratis dan transparan. Mekanisme pemilihan kepala daerah dikenal dengan istilah PILKADA
langsung.
Setiap Daerah dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang dibantu oleh
Wakil Kepala Daerah. Kepala Daerah Provinsi disebut Gubernur, yang karena jabatannya adalah juga
sebagai Wakil Pemerintah. Sebagai Kepala Daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD,
sebagai Wakil Pemerintah, Gubernur berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati, sedangkan Daerah Kota disebut Walikota yang dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya selaku Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD
Kabupaten/ Kota.
Sebagai alat Pemerintah Pusat, Gubernur melaksanakan tugas-tugas antara lain.
a. Membina ketenteraman dan ketertiban di wilayahnya;
b. Menyelenggarakan koordinasi kegiatan lintas sektor mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan
dan pengawasan kegiatan dimaksud
c. Membimbing dan mengawasi penyelenggaraan pemerintah daerah
d. Melaksanakan usaha-usaha pembinaan kesatuan bangsa sesuai kebijaksanaan yang ditetapkan
pemerintah
e. Melaksanakan segala tugas pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
diberikan kepadanya
f. Melaksanakan tugas pemerintahan yang tidak termasuk dalam tugas instansi lainnya.

e.Keuangan Daerah

Sumber-sumber keuangan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi adalah : Pendapatan


Asli Daerah (PAD); Dana Perimbangan; Pinjaman Daerah ; dan lain-lain penerimaan yang sah.
Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri atas Hasil Pajak Daerah; Hasil Restribusi Daerah; Hasil
Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan serta
lainlain pendapatan daerah yang sah. Dana Perimbangan terdiri atas bagian daerah dari penerimaan
Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Penerimaan dari
sumber daya alam; Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).Penerimaan Negara
dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dengan imbangan 10% untuk Pemerintah Pusat dan 90% untuk
Daerah. Penerimaan Negara dari Bea Perolehan Hak atas tanah dan Bangunan dibagi dengan
imbangan 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk Daerah. Sebesar 10% dari penerimaan PBB
dan 20% dari penerimaan Bea Perolehan hak atas tanah dan bangunan dibagikan kepada seluruh
kabupaten dan kota. Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor
pertambangan umum dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat
dan 80% untuk Daerah. Sedangkan penerimaan negara dari pertambangan minyak setelah dikurangi
pajak dibagi dengan imbangan 85% untuk pemerintah pusat dan 15% untuk pemerintah daerah.
Sementara itu penerimaan negara dari sektor gas alam setelah dikurangi pajak dibagikan dengan
imbangan 70% untuk Pemerintah Pusat dan 30% untuk Daerah.

F. KEBIJAKAN PUBLIK

1. Hakikat Kebijakan Publik

Kebijakan publik mencakup hukum, peraturan, perundang-undangan, keputusan, dan


pelaksanaan yang dibuat oleh Lembaga eksekutif, legisltaif dan yudikatif; Birokrasi pemerintahan;
Aparat penegak hukum; dan Badan-badan pembuat keputusan publik lain. Dengan demikian semua
kebijakan, yang berkaitan dengan hukum manapun, peraturan perundangan lainnya yang ditujukan
untuk kepentingan masyarakat dan dibuat oleh lembaga yang berwenang dinamakan kebijakan
publik.
Untuk menambah wawasan kalian tentang pengertian kebijakan publik, berikut ini dikutipkan
beberapa definisi sebagai berikut :
Dye : Kebijakan Publik adalah apapun yang pemerintah pilih untuk melakukan atau tidak melakukan.
Kartasasmita : Kebijakan Publik merupakan upaya untuk memahami dan mengartikan (1) apa yang
dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah mengenai suatu masalah (2) apa yang
menyebabkannya (3) apa pengaruhnya.
Edwar III : Kebijakan Publik adalah apa yang pemerintah katakan dan dilakukan, atau tidak
dilakukan. Kebijakan merupakan serangkaian tujuan dan sasaran dari program-program pemerintah.
Anderson : Kebijakan Publik serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan
dilaksana kan oleh pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan masalah tertentu.

Kebijakan publik yang telah disahkan oleh lembaga berwenang, baik di tingkat pusat
(nasional), Provinsi, Kota, Kabupaten, Kecamatan, Kelurahan atau Desa hanya akan menjadi tulisan-
tulisan yang tidak bermakna sama sekali, jika tidak diterapkan di masyarakat. Tujuan penerapan
kebijakan publik ialah agar sesuatu yang telah digariskan tersebut bukan hanya bersifat abstrak
belaka, namun menjadi suatu yang terealisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.

Pelaksanaan kebijakan publik akan melibatkan berbagai komponen, seperti manusia, dana,
dan sarana serta prasarananya. Sosialisasi kebijakan publik dapat dilakukan dengan menggunakan
berbagai media, baik yang bersifat elektronik, seperti melalui internet, email, TV, dan radio maupun
secara manual, misalnya melalui spanduk, selebaran, surat kabar atau dalam bentuk pengumpulan
massa dalam suatu tempat.

2. Partisipasi dalam Perumusan Kebijakan Publik

Untuk turut serta berpartisipasi dalam perumusan kebijakan publik, maka kegiatan yang
dapat dilakukan siswa dalam proses pembelajaran ini dapat dilakukan dengan melalui kegiatan
Praktik Belajar Kewarganegaraan Berbasis Portofolio Untuk melaksanakan kegiatan praktek belajar
kewarganegraan yang berbasis portofolio, ikuti langkah-langkah sebagai berikut :
a. Perumusan Masalah Untuk merumuskan masalah langkah-langkah yang harus dilakukan adalah:
• Bentuk kelompok kecil dalam kelas dengan jumlah anggota antara 3 sampai 4 orang
• Setiap kelompok mendiskusikan permasalahan apa saja yang termasuk katagori kebijakan publik
di wilayah kabupaten atau kecamatan anda
• Kemudian inventarisir atau kumpulkan semua permasalahan tersebut, dan tuliskan di papan tulis.
• Setelah itu setiap anggota kelas memilih salah satu permasalahan tersebut dengan cara memberi
tanda pagar ( I )
• Kemudian jumlahkan perolehan suara dari masing-masing permasalahan tersebut.
• Apabila jumlah suara yang diperoleh oleh ranking pertama belum mencapai jumlah 50% plus 1,
maka selanjutnya diadakan pemilihan tahap 2 untuk mendapatkan satu masalah kelas
• Setelah didapat 1 masalah kebijakan publik (menjadi masalah kelas),
b. Menentukan Sumber Informasi
Setelah didapat masalah kelas, selanjutnya tentukan sumber informasi dari masalah yang telah
dipilih tersebut, untuk selanjutnya kelas dibagi lagi ke dalam kelompok-kelompok sesuai dengan
jumlah sumber informasi tersebut. Jadi bila sumber informasi tersebut ada 6, maka kelas dibagi
menjadi 6 kelompok.
c. Mencari Informasi
Setiap kelompok mengumpulkan data sesuai dengan tugas masing-masing, setelah data diperoleh
digabung dengan data yang didapat oleh kelompok lain.
d. Diskusi Hasil Data Lapangan
Setelah setiap kelompok mendapat data dari sumber informasi selanjutnya untuk kepentingan klarifi
kasi data tersebut, diadakan diskusi kelas guru membahas temuantemuan informasi dari lapangan
e. Pembentukan Kelompok Portofolio
Selanjutnya kelas kembali dipecah ke dalam 4 kelompok, yaitu:
Kelompok 1 (satu) mendiskusikan dan melaporkan tentang permasalahan dan latar belakang
masalah yang berkaitan dengan kebijakan publik yang ditentukan oleh kelas;
Kelompok II (dua) merumuskan dan menentukan berbagai alternatif pemecahan masalah;
Kelompok III (tiga) menganalisis dan memilih salah satu alternatif dari sejumlah alternatif yang telah
dirumuskan kelompok II;
Kelompok IV (empat) merumuskan rencana tindakan, dalam bagaimana langkah-langkah nyata
tindakan yang akan diambil untuk memecahkan masalah kebijakan publik tersebut, termasuk
dampak positif dan negatifnya bagi pemerintah dan masyarakat.
f. Pelaksanaan Show Case
Setelah semuanya tersusun, baru kemudian ditentukan waktu pelaksanaan show case atau
penyajian data dan permasalahan yang diteliti. Untuk itu perlu dipersiapkan hal-hal sebagai berikut:
a. Panel atau papan atau kertas karton manila yang berisi data-data sesuai dengan kajian kelompok
(ada 4 panel sesuai dengan jumlah kelompok)
b. Tempat atau ruangan untuk pertunjukkan (bisa di kelas aula atau di halaman sekolah)
c. Juri (kalau bisa dari unsur luar sekolah, terutama yang berkaitan dengan masalah kebijakan publik
yang telah ditentukan kelas)
d. Moderator (bisa diambil dari guru Kewarganegaraan yang ada di sekolah tersebut, bisa 1, 2 atau 3
guru sekaligus)
e. Setting tempat untuk penyajian
• Setelah semuanya siap, maka acara show case bisa langsung dimulai
• Setelah semua kelompok selesai menyajikan, Dewan Juri mengumpulkan nilai yang diperoleh
kelompok

Jadi melalui kegiatan-kegiatan di atas, kalian sebagai siswa SMP telah berpartisipasi secara
nyata, bukan hanya mensosialisasikan kebijakan publik kepada masyarakat ketika penampilan hasil
kerja lapangan, tetapi juga telah ikut berpartisipasi dalam memecahkan permasalahan dan
merumuskan kebijakan publik tersebut. Selain melalui kegiatan di atas, masih ada cara lain yang bisa
dilakukan untuk berpartisipasi dalam mensosialisasikan kebijakan publik.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Otonomi daerah dalam arti sempit adalah mandiri. Sedangkan dalam arti luas diartikan
sebagai berdaya. Dengan demikian, otonomi daerah berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan
pembuatan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Hubungan erat antar
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah harus serasi sehingga akan dapat mewujudkan tujuan
yang ingun dicapai.

Otonomi daearh memiliki visi dalam tiga ruang lingkup yaitu politik, ekonomi dan sosial
budaya. Hal ini mengingat bahwa tiga aspek inilah yang menjadi perhatian yang cukup urgen dalam
pembangunan daerah.

Di Indonesia dikenal lima konteks desentralisasi yaitu:

1. Dekonsentrasi

2. Delegasi

3. Devolusi

4. Privatisasi

5. Tugas Pembantuan

Perjalanan Otonomi daerah selalu ditandai dengan lahirnya UU baru yang menggantikan UU
sebelumnya. Dimulai dari UU Nomor 1 Tahun 1945 pasca-proklamasi yang kemudian digantikan oleh
UU nomor 22 tahun 1948. Selanjutnya UU Nomor 1 tahun 1957 yang kemudian diikuti UU Nomor 18
tahun 1965. Pada tahun 1974, muncul undang-undang nomor 5 tahun 1974 yang berumur cukup
lama yaitu 25 tahun sebelum masa reformasi yang kemudian digantikan oleh UU nomor 22 tahun
1999. Setelah tiga tahun implementasinya, lahirlah UU Nomor 32 tahun 2004 yang berlaku hingga
sekarang di Indonesia.

Kebijakan Publik adalah apa yang pemerintah katakan dan dilakukan, atau tidak dilakukan.
Kebijakan merupakan serangkaian tujuan dan sasaran dari program-program pemerintah.

Tujuan penerapan kebijakan publik ialah agar sesuatu yang telah digariskan tersebut bukan
hanya bersifat abstrak belaka, namun menjadi suatu yang terealisasikan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

B. KATA PENUTUP

Demikian makalah ini kami susun, yang mana tentunya tak lepas dari kekurangan baik dalam
penyusunan maupun penyajian. Karena kami pun menyadari tak ada gading yang tak retak. Untuk
itu kritik dan saran pembaca sekalian sangat kami harapkan demi perbaikan dan evaluasi dari apa
yang kami usahakan. Harapan kami semoga bermanfaat. Amin.
MAKALAH OTONOMI DAERAH

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala Puji dan syukur Kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan Rahmat
dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Pendidikan
Kewarganegaraan Bab II dapat dibuat dan dipahami. Makalah yang berjudul “Pelaksanaan
Otonomi Daerah”.
Tak lupa pula penulis mengucapkan banyak terima kasih Kepada:
Bapak Drs. M. Amirullah M.Si selaku kepala sekolah SMP Negeri 3 Marioriawa.
Bapak Syamsul Alam S.Pd selaku Guru mata pelajaran PKn.
Seluruh siswa SMP Negeri 3 Marioriawa yang membantu penyelesaian makalah ini.
Seluruh anggota Kelompok 2 selaku peranacang makalah ini.
Makala Pelaksanaan Otonomi Daerah ini disusun secara sederhana, tetapi tanpa
meninggalkan kebenaran materi yang harus kalian capai. Dengan kesederhanaan itulah
diharapkan dapat membantu kalian dalam proses pembelajaran ini.
Penulis menyadari sepenuhnya dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari
kesempurnaan, karena itu penulis mengharapkan tanggapan, kritik, dan saran dari pembaca
guna melengkapi kekurangan demi kesempurnaan Karya Tulis Ilmiah ini.
Akhirnya apa yang penulis kerjakan semoga mendapat berkah, dan ridho dari Allah
SWT, dan penulis mengharapkan Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis, dan
pembaca.
Wassalamu Alaikum Wr,Wb

Panincong,November 2013

Penul

is

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB II. OTONOMI DAERAH
Pengertian otonomi daerah
Asas otonomi daerah
Dasar hokum otonomi daerah
Pembentukan otonomi daerah
Prinsip pemberian otonomi daerah
Pemerintah daerah………………………………………………………….
Pelaksanaan otonomi daerah
Penutup.........................................................................................

Kesimpulan
saran

1.PENGERTIAN OTONOMI DAERAH


Pengertian Otonomi Daerah | Apa Pengertian dari Otonomi Daerah? Secara etimologi, istilah
"otonomi" berasal dari bahasa latin, autos yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti
aturan. Berdasarkan etimologi tersebut, otonomi dapat diartikan sebagai mengatur atau
memerintah sendiri.
Jadi, pengertian otonomi daerah adalah pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah. Sebelum diberlakukannya otonomi daerah, seluruh pemerintahan
daerah di Indonesia begitu saja menerima program dari pemerintah pusat sehingga ada keseragaman
program di setiap daerah. Akan tetapi, setelah adanya otonomi daerah, daerah memiliki kewenangan
untuk mengatur daerahnya sendiri.

Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pengertian otonomi
daerah adalah wewenang daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang
diserahkan oleh pemerintah pusat dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terlepas dari itu
pendapat beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas, dalam Undang-undang Nomor 32
tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Adapun menurut kami Otonomi Daerah adalah kewenangan otonomi untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat atau masyarakat di sekitar daerah tersebut menurut prakarsa sendiri
dengan berdasar pada aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :


1. F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
2. Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau
kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu
terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
3. Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah
daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.

Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah
adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara
informal berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood (1983)
mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai
kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh
pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material yang substansial tentang fungsi-
fungsi yang berbeda.

Dengan otonomi daerah tersebut, menurut Mariun (1979) bahwa dengan kebebasan yang
dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan
mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu
dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat
berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.

Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian
yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan
bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk
melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas.

Pendapat tentang otonomi di atas, juga sejalan dengan yang dikemukakan Vincent Lemius
(1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan politik
maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun
dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah,
tetapi dalam kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional,
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya
mempunyai tiga aspek, yaitu :
1. Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2. Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di
atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
3. Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan
kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber
pembiayaan sendiri.
Yang dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah
daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan, pembiyaan serta
perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong pelaksanaan pemerintah
dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah
daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta
mengelola keuangan sendiri.
Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 23 Tahun 2004,
maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :
1. Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan
sendiri.
2. Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
3. Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.
4. Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.

2.ASAS-ASAS OTONOMI DAERAH


Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah
menggunakan asas-asas sebagai berikut:
Asas Desentralisasi: Penyerahan wewenang oleh pemerintahan pusat kepada daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Asas Dekonsentrasi: Pelimpahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat dan/atau kepala instansi vertikal di wilayah tertentu untuk mengurus
urusan pemerintahan.
Asas Tugas Pembantuan: Penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa dan
dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan desa serta dari pemerintah
kabupaten/kota ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu
disertai pendanaan dan dalam hal tertentu disertai sarana dan prasarana serta sumber daya
manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada
yang menugaskan.
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan landasan kuat untuk menyelenggarakan otonomi
daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada
daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Adapun tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk memberdayakan daerah
dalam bentuk meningkatkan pelayanan, perlindungan, kesejahteraan, prakarsa, kreativitas,
dan peran serta masyarakat, menumbuhkembangkan demokrasi, pemerataan dan keadilan
serta persatuan, kesatuan, dan kerukunan nasioanal dengan mengingati asal-usul suatu
daerah, kemajemukan dan karakteristik, serta potensi daerah yang bermuara pada
peningkatan kesejahteraan rakyat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3.DASAR HUKUM OTONOMI DAERAH
Otonomi Daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat, yakni :

1. Undang-undang Dasar
Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan yang
kuat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan adanya
pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah.

2. Ketetapan MPR-RI
Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan,
Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta perimbangan
kekuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesa Otonomi Daerah di Indonesia
dimulai dengan bergulirnya Undang-Undang (UU) Nomor 22Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 2005 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah

UUNomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 masing-masing digantikan oleh
UUNomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah tuan
Republik Indonesia.

3. Undang-Undang
Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas
Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999 adalah mendorong untuk
pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran
masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD.
4.PEMBENTUKAN DAERAH OTONOMI
Untuk menjadikan daerah otonomi diperlukan adanya berbagai persyaratan yaitu :
Syarat Administratif
Sebagai syarat administratif untuk provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota
dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi persetujuan provinsi induk dan
Gubernur, serta mendapat rekomendasi Mentri Dalam Negeri.
Syarat Teknis
Sebagai syarat teknis pembentukan daerah adalah kemampuan ekonomi, jumlah penduduk,
potensi daerah, social politik dan pertahanan keamanan yang memungkinkan
terselanggaranya otonomi daerah.
Syarat Fisik
Untuk membentuk daerah otonom dengan ketentuan paling sedikit 5 kabupaten/kota untuk
pembentukan provinsi dan paling sedikit 7 kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4
kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana
pemerintahan.

5. PRINSIP-PRINSIP PEMBERIAN OTONOMI DAERAH

Dalam diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dikatakan bahwa
dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada
prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta
mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah.
Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah otonomi luas yaitu
adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua
bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan-kewenangan bidang
lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi
maupun kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Dalam penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan
pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan
berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab
adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan
kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah
dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan
daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Atas dasar pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
a. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi,
keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang terbatas.
b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung
jawab.
c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan
daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga tetap terjalin
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan
karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan
legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas
penyelenggaraan pemerintah daerah.
g. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya
sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah.
h. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada
daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan,
sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan
dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.

Sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004tentang pemerintahan daerah dinyatakan bahwa


pemberian otonomi daerah berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut :
Pelaksanaan otonomi deah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi,
keadilan,pemerataan, potensi, dan keanekaragaman daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada kabupaten dan kota,
sedangkan otonomi daerah provinsi merupakanotonomi yang terbatas.
Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusinegara sehingga tetap terjamin
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah antar daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonomi.
Pelaksanaan otonomi daerah fungsi lebih meningkatkan peran dan fungsi legislative daerah,
ataupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi yang kedudukannya sebagai
wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangn pemerintahan tertentu yang
dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.
Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan
hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat.
Sejalan dengan pendapat di atas, The Liang Gie dalam Abdurrahman (1987) mengemukakan
bahwa tujuan pemberian otonomi daerah adalah :
a. Mengemukakan kesadaran bernegara/berpemerintah yang mendalam kepada rakyat
diseluruh tanah air Indonesia.
b. Melancarkan penyerahan dana dan daya masyarakat di daerah terutama dalam bidang
perekonomian.
6. PEMERINTAHAN DAERAH

Sistem pemerintahan daerah begitu dekat hubungannya dengan otonomi daerah yang saat ini
telah diterapkan di Indonesia. Jika sebelumnya semua sistem pemerintahan bersifat terpusat
atau sentralisasi maka setelah diterapkannya otonomi daerah diharapkan daerah bisa
mengatur kehidupan pemerintahan daerah sendiri dengan cara mengoptimalkan potensi
daerah yang ada. Meskipun demikian, terdapat beberapa hal tetap diatur oleh pemerintah
pusat seperti urusan keuangan negara, agama, hubungan luar negeri, dan lain-lain. Sistem
pemerintahan daerah juga sebetulnya merupakan salah satu wujud penyelenggaraan
pemerintahan yang efisien dan efektif. Sebab pada umumnya tidak mungkin pemerintah pusat
mengurusi semua permasalahan negara yang begitu kompleks. Disisi lain, pemerintahan
daerah juga sebagai training ground dan pengembangan demokrasi dalam sebuah kehidupan
negara. Sistem pemerintahan daerah disaradi atau tidak sebenarnya ialah persiapan untuk
karir politik level yang lebih tinggi yang umumnya berada di pemerintahan pusat.

UU no 32 tahun 2004
Kelahiran undang-undang ini dilatarbelakangi dengan adanya perkembangan keadaan,
ketatanegaraan, dan tuntutan otonomi daerah. Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 ini, dalam penyelenggaraan otonomi menggunakan format otonomi seluas-luasnya.
Artinya, azas ini diberlakukan oleh pemerintah seperti pada era sebelum UU Nomor 5 Tahun
1974. Alasan pertimbangan ini didasarkan suatu asumsi bahwa hal-hal mengenai urusan
pemerintahan yang dapat dilaksanakan oleh daerah itu sendiri, sangat tepat diberikan
kebijakan otonomi sehingga setiap daerah mampu dan mandiri untuk memberikan pelayanan
demi meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah. Kontrol pusat atas daerah dilakukan
dengan mekanisme pengawasan yang menunjukkan formulasi cukup ketat dengan
mekanisme pengawasan preventif, represif, dan pengawasan umum. Proses pemelihan
kepala/wakil kepala daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak lagi menjadi wewenang
DPRD, melainkan dilaksanakan dengan pemilihan langsung yang diselenggarakan oleh
lembaga Komisi Pemilihan Umum daerah (KPUD).
PENGERTIAN PEMERINTAHAN DAERAH

Pemerintahan daerah sesuai pasal 1 huruf d UU no. 22 tahun 1999 adalah penyelenggara
pemerintahan daerah otonom oleh pemerintah daerah dan juga DPRD menurut asas
desentralisasi. Menurut UU no. 32 tahun 2004 pada pasal 1ayat 2, pemerintahan daerah
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan DPRD menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar NKRITahun1945 ayat 3 Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati,
atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
ayat 4.Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga
perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Hak dan Kewajiban Daerah


Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak:
a. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;
b. memilih pimpinan daerah;
c. mengelola aparatur daerah;
d. mengelola kekayaan daerah;
e. memungut pajak daerah dan retribusi daerah;
f. mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang
berada di daerah;
g. mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
h. mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam Peraturan perundangundangan.

Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban:


a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan
nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. meningkatkan kualitas kehidupan, masyarakat;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. mewujudkan keadilan dan pemerataan;
e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
h. mengembangkan sistem jaminan sosial;
i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
k. melestarikan lingkungan hidup;
l. mengelola administrasi kependudukan;
m. melestarikan nilai sosial budaya;
n. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai
dengan kewenangannya; dan
o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH.


Sebuah impian karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah
sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran.
Tujuan pemberian otonomi kepada daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan Sejak
diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, banyak aspek positif
yang diharapkan dalam pemberlakuan Undang-Undang tersebut. Termasuk diharapkannya
penerapan otonomi daerah karena kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat
terpusat di jakarta. Sementara itu pembangunan di beberapa wilayah lain dilalaikan.
Disamping itu pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata di setiap daerahnya. Daerah-
daerah yang memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah, seperti:Aceh, Riau, Irian Jaya
(Papua), Kalimantan dan Sulawesi ternyata tidak menerima perolehan dana yang patut dari
pemerintah pusat serta kesenjangan sosial antara satu daerah dengan daerah lain sangat
mencolok.1[1][4]
Otonomi Daerah memang dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal
kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi proses daerah,
termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam
pemerintahan dan pembangunan.
Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan
pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru mengalami
proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan yang didapat daerah dari
pelaksanaan Otonomi Daerah, banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan
yang tidak menguntungkan tersebut.
Beberapa contoh keberhasilan dari berbagai daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu:
Di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat lokal dan LSM yang mendukung telah
berkerja sama dengan dewan setempat untuk merancang suatu aturan tentang pengelolaan
sumber daya kehutanan yang bersifat kemasyarakatan (community-based). Aturan itu
ditetapkan untuk memungkinkan bupati mengeluarkan izin kepada masyarakat untuk
mengelola hutan milik negara dengan cara yang berkelanjutan.

2. Di Gorontalo, Sulawesi, masyarakat nelayan di sana dengan bantuan LSM-LSM


setempat serta para pejabat yang simpatik di wilayah provinsi baru tersebut berhasil
mendapatkan kembali kontrol mereka terhadap wilayah perikanan tradisional/adat mereka.
Kedua contoh di atas menggambarkan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah dapat membawa
dampak positif bagi kemajuan suatu daerah. Kedua contoh diatas dapat terjadi
berkatotonomidaerah.
Pada tahap awal pelaksanaan Otonomi Daerah, telah banyak mengundang suara pro dan
kontra. Suara pro umumnya datang dari daerah yang kaya akan sumber daya, daerah-daerah
tersebut tidak sabar ingin agar Otonomi Daerah tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya,
untuk suara kontra bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya, mereka pesimis
menghadapi era otonomi daerah tersebut. Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan
daerah di segala bidang termasuk peraturan perundang-undangan dan sumber keuangan
daerah. Oleh karena itu, bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya pada
umumnya belum siap ketika Otonomi Daerah pertama kali diberlakukan.
Selain karena kurangnya kesiapan daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya dengan
berlakunya otonomi daerah, dampak negatif dari otonomi daerah juga dapat timbul karena
adanya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut.
PENUTUP
Kesimpulan.
Otonomi daerah adalah Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajibandaerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahandan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Wewenang pemerintah
daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah adalahpemerintah daerah melaksanakan sistem
pemerintahanya sesuai denganundang-undang pemerintah pusat. Dampak positif otonomi
daerah adalah memunculkan kesempatan identitaslokal yang ada di masyarakat.
Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggidari
pemerintah daerah dalammenghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan
dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi
daripemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal
mendorongpembangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan dan juga
pariwisata. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah juga akan lebih tepatsasaran dan tidak
membutuhkan waktu yang lama sehingga akan lebihefisien.

Saran.
Dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok
Negara, dan dalam membina kestabilan politik serta kesatuan bangsa maka hubungan yang
serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Otonomi Daerah yang nyata
dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah dan
dilaksanakan bersama-sama.

Anda mungkin juga menyukai