Anda di halaman 1dari 6

ETIKA PROFESI DAN HUKUM KESEHATAN

Nama : Khairina Zulfah


NIM : EFT10170075

POKOK PERMASALAHAN : CONTOH KASUS TENTANG ILMU PENGETAHUAN


DAN LITERATUR MEDIS PADA FISIOTERAPI
KASUS

Saya dan istri pada tanggal 16 Januari 2003, hari Kamis, membawa anak kami
Maureen Aprilia Salim (9 bulan) ke Rumah Sakit Anak dan Bersalin (RSAB) Harapan Kita
untuk memeriksakan adanya lendir di tenggorokan anak kami. sebelum ini kami sudah
menanyakan ke beberapa dokter anak, baik di Padang maupun Jakarta (kami mutasi kerja)
mengatakan itu hal biasa yg terjadi pada beberapa bayi dan disarankan untuk memeriksakan
anak kami di RSAB Harapan Kita mengenai penyebab dan pengobatannya. Pertama kali
kami menemui dokter Eva J.S DSA (spesialis gastro/dalam), dia menyarankan untuk :
1. USG kepala oleh dr. Sanata Polo. Hasilnya sudah diberitahu ke dr. Eva
2. Tes darah anak (sudah dilakukan, menunggu hasil)
3. Fisioterapi (mengeluarkan lendir di tenggorokan anak) Karena saran ketiga inilah
(fisioterapi) anak kami pergi untuk selamanya, kejadiannya yaitu :
1. Penguapan pada hidung anak, berjalan dengan baik
2. Anak kami ditelungkupkan dan ditepuk punggungnya sehingga keluarnya
lendir dari mulut anak kami (masih berjalan dengan baik)
3. Dalam keadaan telentang anak kami disedot lendirnya (suction) dari
mulutnya terus langsung ke hidung secara cepat / tidak perlahan-lahan
sehingga anak kami tidak sempat untuk bernafas pelan-pelan dan wajahnya
sudah bereaksi kebiruan, tetapi orang tersebut (bag. Fisioterapi) masih juga
memasukkan selang ke mulutnya tanpa peduli anak kami sudah biru, saat dia
memasukkan selang lagi itulah anak kami berhenti jantungnya dan wajahnya
berwarna ungu. Saat kami sudah marah dan berteriak, orang tersebut baru
melarikan anak kami ke UGD yang kebetulan ruangannya tidak jauh dari ruang fisioterapi.
Saat di ruangan UGD anak kami sementara tertolong lebih kurang 2,5 jam oleh dr. Willy dan
2 asistennya (dr. Willy juga mengatakan andaikata telat beberapa detik lagi anak kami tidak
tertolong karena jantungnya sempat berhenti apalagi pihak UGD mengatakan saat fisioterapi
kenapa tidak memakai oksigen untuk pernafasan anak kami). Dr. Willy menyarankan anak
kami dirawat inap tetapi alat untuk membantu pernafasan anak kami sudah terpakai semua
maka kami disarankan untuk dipindah ke beberapa rumah sakit lain di Jakarta
yang ternyata malam itu juga hanya tinggal rumah sakit Cikini yang ada. Dari
RSAB Harapan Kita ke RS Cikini, kami menggunakan ambulance 118 tetapi dari
pihak RSAB Harapan Kita tidak ada yang mengantar kami ke RS Cikini. Sesampai di RS
Cikini anak kami tidak dapat tertolong lagi karena mereka mengatakan anak kami sudah
sangat parah dan menyesali tindakan orang yang memfisioterapi anak kami kenapa
dipaksakan, sebab dari situlah dokter mengatakan anak kami tidak tertolong lagi akibat dari
cara fisioterapi tersebut. Kami ikhlas atas kepergian anak kami ke Surga karena ia adalah
bayi tanpa dosa. Kami menyesali tindakan paramedis RSAB Harapan Kita terutama bagi
Fisioterapi yang menyepelekan/tidak peduli atas nyawa manusia. Semoga tidak terjadi lagi
pada anak-anak lainnya, hanya itu yang bisa kami harapkan. Kami harapkan juga orang yang
melakukan fisioterapi tersebut (pihak fisioterapi dan UGD RSAB Harapan Kita
mengenalnya) sadar akan tindakannya dan tidak terulang lagi pada anak yang lain. Atas
perhatiannya, kami mengucapkan banyak terima kasih.
Orang tua Maureen Aprilia Salim Ayah : Budi Yanto Salim
PEMBAHASAN
Berdasarkan kasus yang telah penulis angkat, maka dapat di dilihat bahwa malpraktek
pada kasus diatas tergolong malpraktek medik karena pasien mengalami kematian pada saat
penanganan medis yang menyimpang dari yang seharusnya. Seharusnya pada saat
penanganan pasien di beri oksigen, sehingga pasien masih bisa bernafas.
Sesuai dengan Standard Operasional Prosedur (SOP) bahwa penyakit yang diderita pasien
merupakan bagian dari fisioterapi dada, yang bertujuan untuk melepaskan secret dari saluran
nafas bagian bawah yaitu dengan cara: membebaskan jalan nafas dari akumulasi secret,
mengurangi sesak nafas akibat akumulasi secret. Kemudian peralatan yang digunakan yaitu:
Kertas tisu, Bengkok, Perlak/alas, Sputum pot berisi desinfektan, dan Air minum.
Prosedur pelaksanaannya:
1. Tahap PraInteraksi
a. Mengecek program terapi
b. Mencuci tangan
c. Menyiapkan alat
2. Tahap Orientasi
a. Memberikan salam dan sapa kepada pasien
b. Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan
c. Menanyakan persetujuan/kesiapan pasien
d. Tahap Kerja
e. Menjaga privacy pasien
f. Mengatur posisi sesuai daerah gangguan paru
g. Memasang perlak/alas dan bengkok (di pangkuan pasien bila duduk atau di dekat
mulut bila tidur miring)
h. Melakukan clapping dengan cara tangan perawat menepuk punggung pasien secara
bergantian
i. Menganjurkan pasien inspirasi dalam, tahan sebentar, kedua tangan perawat di
punggung pasien
j. Meminta pasien untuk melakukan ekspirasi, pada saat yang bersamaan tangan
perawat melakukan vibrasi
k. Meminta pasien menarik nafas, menahan nafas, dan membatukkan dengan kuat
l. Menampung lender dalam sputum pot
m. Melakukan auskultasi paru
n. Menunjukkan sikap hati-hati dan memperhatikan respon pasien
4. Tahap Terminasi
a. Melakukan evaluasi tindakan
b. Berpamitan dengan klie
c. Membereskan alat
d. Mencuci tangan
5. Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan Fisioterapi sebagai salah satu
profesi kesehatan dituntut untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara profesional,
efektif dan efisien. Hal ini disebabkan oleh karena pasien/klien fisioterapi secara penuh
mempercayakan problematik atau permasalahan gangguan gerak dan fungsi yang
dialaminya untuk mendapatkan pelayanan fisioterapi yang bermutu dan bertanggung
jawab. Fisioterapi sebagai profesi mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk
menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan lingkup kegiatan profesi fisioterapi.
Guna meningkatkan kinerja profesi fisioterapi salah satunya diperlukan standar profesi
sebagai dasar setiap fisioterapis dalam menjalankan profesinya. Dengan demikian sebagai
petunjuk dalam menjalankan profesi secara profesional perlu disusun suatu pedoman yang
disebut “Standar Profesi Fisioterapi“, hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 23
tentang Kesehatan. Dimana dinyatakan bahwa setiap tenaga kesehatan termasuk fisioterapi
berkewajiban untuk mematuhi standar profesinya.
PENUTUP
Kesimpulan :
Dalam dunia fisioterapi, kasus malpraktek bisa mengancam eksistensi jiwa seseorang yang
berakibat pada hilangnya nyawa. Jika ternyata tidak meninggal, bisa juga menimbulkan
dampak cacat permanen pada tubuh seorang pasien korban malpraktek.
Jadi, Fisioterapis dalam segala aktifitas professional dan pelayanan kepada individu dan
masyarakat harus selalu menjaga citra profesi berdasarkan kode etik yang telah ditetapkan
oleh organisasi profesi fisioterapi, menjunjung tinggi kehormatan profesi dalam setiap
perbuatan dan dalam keadaan apapun, mematuhi peraturan dan kebijakan yang telah
ditetapkan oleh organisasi profesi.

Saran:
Dalam melaksanakan intervensi profesi fisioterapi, tenaga fisioterapi Indonesia diharapkan
dapat menjalankan profesinya sesuai dengan standar profesi fisioterapi yang telah ditetapkan.
Standar profesi fisioterapi tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dalam
menjalankan profesi sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh lembaga yang
berwenang.

Anda mungkin juga menyukai