Anda di halaman 1dari 9

ILMU MUHKAM DAN MUTASYABIH

MAKALAH
PROGRAM STUDI : PERBANDINGAN AGAMA
MATA KULIAH : ULUMUL QUR’AN

KELOMPOK 9 :
AHMAD SAFII (1653100002)
BAGINDA MUHAMMAD IRFAN (1643100008)
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat yang diberikan-Nya sehingga
tugas makalah yang berjudul “Ilmu Muhkam dan Mutasyabih” dalam mata kuliah Ulumul Qur’an. Tanpa ridha
dan kasih sayang serta petunjuk-Nya mustahil makalah ini dapat terselesaikan.

Makalah ini disusun agar nantinya bermanfaat bagi mahasiswa program studi Perbandingan Agama
pada khususnya untuk lebih mudah memahami mata kuliah Ulumul Qur’an.

Kemudian kami tak lupa mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada dosen memberikan tugas
mata kuliah Ulumul Qur’an sehingga menambah wawasan kami tentang Ulumul Qur’an tersebut.

Semoga makalah ini dapat memberi wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini
memiliki kelebihan dan kekurangan. Kami mohon untuk saran dan kritiknya. Terima Kasih.

Palembang, 28 September 2016

Penyusun ( kelompok 9 )

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................................................................ii

PENDAHULUAN........................................................................................................................................iii

1.1 Latar Belakang..........................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................................2

1.3 Tujuan.......................................................................................................................................3

PEMBAHASAN...........................................................................................................................................iv

2.1 Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabuh..............................................................................1

2.2 Sebab-sebab terjadinya Tasyabuh dalam Al-Qur’an.................................................................2

2.3 Pandangan dan sikap Ulama tentang Ayat-ayat Mustasyabihat................................................3

PENUTUP......................................................................................................................................................v

3.1 Kesimpulan................................................................................................................................1

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 A. Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi manusia dan pedoman dalam menjalankan kehidupan di dunia. Al-
Qur’an juga berfungsi sebagai sumber ajaran agama Islam, Al-Qur’an menggariskan pokok-pokok akidah yang
benar dan prinsip-prinsip yang lurus dalam ayat-ayat yang tegas keterangannya dan jelas ciri-cirinya. Semua itu
bertujuan untuk memelihara manusia dari akidah yang menyimpang dan menyelamatkan manusia hidup di
dunia dan di akhirat. Ayat-ayat tersebut adalah umm al-kitab yang tidak di perselisihkan dan di pertentangkan.

1.2 B. Rumusan Masalah

Untuk mengetahui tentang apa itu Ilmu Muhkam dan Mutasyabuh.

1.3 C. Tujuan

Adanya suatu diskusi dalam kelas yang kita lakukan sudah barang tentu semuanya mempunyai
tujuan masing-masing dan boleh jadi tujuan tersebut berbada ataupun sama. Sedang pembelajaran pada
saat ini yaitu dengan judul “Al-Muhkam Al-Mutasyabih” mempunyai beberapa tujuan diantaranya
adalah :

1.Dapat mengetahui pengertian dari Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih.

2.Dapat memahami sebab-sebab adanya Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih.

3.Dapat mengerti macam-macam dari Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih.

4.Dapat membedakan bagaimana sikap para ulama terhadap adanya ayat-ayat Al-Mutasyabih.

5.Dapat memahami faedah dari adanya Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 A. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih

1. Pengertian Bahasa

A. Muhkam

Muhkam menurut bahasa berasal dari kata hakama yang arti asalnya “menahan atau mencegah
untuk kemaslahatan”, dikatakan ‫ حكمت الد ابة واحكمت‬artinya saya menahan binatang itu. Kata al-hukmu
berarti memutuskan antara dua hal atas perkara. Hakim merupakan isim fail bermakna orang yang
mencegah yang zalim dan memisahkan antara yang hak dengan yang batil dan antara kebenaran dan
kebohongan.

Dikatakan ‫ حكمت الد ابة واحكمت‬artinya saya memasang “hikmah” pada binatang itu. Hikmah yang
dimaksud dalam ungkapan ini artinya kendali yang dipasang pada leher, ini mengingat bahwa ia
berfungsi untuk mencegahnya agar tidak bergerak secara liar. Dari makna inilah lahir kata hikmah,
karena ia dapat mecegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas.

Kata muhkam berarti (sesuatu) yang dikokohkan. Ihkam al-kalam mempunyai makna
mengkokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus
dari yang sesat. Jadi kalam muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya.

Berdasarkan makna inilah firman Allah :

‫ُن ِمن فُ ِصلَتٌْ ثُمٌ آيَات ُ ٌهُ أُحْ ِك َمتٌْ ِكتَابٌ ۚ الر‬
ٌْ ‫َخبِيرٍ َح ِكيمٌ لد‬
“Alif laam ra (inilah) sebuah kitab yang ayat-ayatnya yang dimuhkamkan, dikokohkan serta
dijelaskan secara rinci, diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu (Q.S. Hud
[11]: 1)

Semua ayat Al-Quran adalah muhkam berarti kata-katanya kokoh, kuat, rapi, indah susunannya
dan sama sekali tidak mengandung kelemahan baik dalam hal kata-katanya, rangkaian kalimatnya
maupun maknanya.

B. Mutasyabih

Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan
yang lain. Syubhah dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan diantara keduanya, baik secara
kongkrit maupun yang abstrak.

Dengan pengertian inilah Allah mensifati Al-Qur’an, bahwa seluruhnya adalah mutasyabih,
sebagaimana yang ditegaskan dalam ayat :
‫قُ ْل يقَ ْو ِم اعملوا علي مكا نتكم اني عا مل فسوف تعلمون‬
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa lagi
berulang-ulang (Q.S. al-Zumar [39]: 23)

Makna mutasyabih pada ayat di atas adalah Al-Qur’an itu sebagian kandungannya serupa
dengan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya.
2. Pengertian Istilah

A. Muhkam

Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, muhkam merupakan ayat yang hanya
satu wajah, muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan
keterangan lain.

B. Mutasyabih

Mutasyabih hanyalah Allah yang mengetahui maksudnya, mutasyabih mengandung banyak


wajah, mutasyabih memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.

2.2 B. Sebab-sebab Terjadinya Tasyabuh dalam Al-Qur’an

Dikatakan dengan tegas, bahwa sebab adanya ayat Tasyabuh ialah karena Allah SWT menjadikan demikian.

Pada garis besarnya sebab adanya ayat-ayat Mutasyabihat atau Tasyabuh dalam Al-Qur’an ialah karena
adanya kesamaran maksud syara’ dalam ayat-ayat-Nya sehingga sulit dipahami umat, tanpa dikatakan dengan
arti ayat lain, disebabkan karena bisa dita’wilkan dengan bermacam-macam dan petunjuknya pun tidak tegas,
karena sebagian besar merupakan hal-hal yang pengetahuanya hanya oleh Allah SWT saja yang tahu.

Penyebab terjadinya tasyabuh dalam Al-Qur’an adalah karena adanya:

a. Ketersembunyian atau kesamaran pada lafalnya,


b. Ketersembunyian atau kesamaran pada maknanya,
c. Ketersembunyian atau kesamaran pada lafal dan maknanya sekaligus.

A. Ketersembunyian atau kesamaran lafal

1. Kesamaran Lafal Mufrad, dibagi menjadi 2 (dua) :

a. Kesamaran lafal Mufrad Gharib (asing)

Contoh: Ayat Al-Qur’an Q.S. Abasa [80]: 31 :


‫َوفَا ِك َهةً َوأَبًّا‬
“dan buah-buahan serta rerumputan”

Kata Abban jarang terdapat dalam Al-Qur’an, sehingga asing. Kemudian dalam ayat selanjutnya.

Contoh: Ayat Al-Qur’an Q.S. Abasa [80]: 32 :


ِ َ‫عا لَ ُك ْم َوأل ْنع‬
‫ام ُك ْم‬ ً ‫َمتَا‬
“untuk kesenangan kamu dan binatang – binatang ternakmu”

Sehingga jelas dimaksud Abban adalah rerumputan.

b. Kesamaran Lafal Mufrad yang bermakna Ganda. Kata Al-Yamin bisa bermakna tangan kanan,
keleluasan atau sumpah.
2. Kesamaran dalam Lafal Murakkab
Kesamaran dalam lafal Murakkab itu disebabkan karena lafal yang Murakkab terlalu ringkas,
terlalu luas atau karena susunan kalimatnya kurang tertib.

B. Kesamaran pada Makna Ayat

Kesamaran pada makna ayat seperti dalam ayat-ayat yang menerangkan sifat-sifat Allah, seperti sifat
rahman rahim-Nya, atau sifat qudrat iradat-Nya, maupun sifat-sifat lainnya. Dan seperti makna dari ihwal hari
kiamat, kenikmatan surga, siksa kubur, dan sebagainya manusia bisa mengerti arti maksud ayat-Nya, sedangkan
mereka tidak pernah melihatnya.

C. Kesamaran pada Lafal dan Makna Ayat

Seperti firman Allah surat Al-Baqarah [2]: 189 :

“Dan bukanlah kebijakan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebijakan itu ialah kebijakan
orang-orang yang bertakwa”.

Sebab kesamaran dalam ayat tersebut terjadi pada lafalnya, karena terlalu ringkas, juga terjadi pula pada
maknanya, karena termasuk adat kebiasaan khusus orang arab. Hingga dalam memahami ayat ini akan sulit bagi
orang-orang yang bukan termasuk orang arab. Dan sejatinya ayat ini adalah diperuntukkan untuk orang yang
sedang melakukan ihrom baik haji maupun umroh.

2.3 Pandangan Dan Sikap Ulama Tentang Ayat-ayat Mutasyabihat

Ulama berbeda pendapat tentang ayat-ayat mutasyabihat. Sumber perbedaan ini berawal pada masalah
waqaf dalam ayat :” wa al-rasikhhuna fi al-ilmi (dan orang-orang dalam ilmunya) dalam ayat.

Perbedaan tersebut terjadi karena :

Apakah kedudukan lafal-lafal ini sebagai mubtada yang khabarnya adalah yaquluna dengan “wawu”
diperlukan sebagai huruf isti’naf (permulaan) dan waqap dilakukan pada lafal.

Atau apakah kalimat wa al-rasikhuna fi al-ilmi sebagai ma’tuf, sedangkan lafaz-lafaz menjadi hal dan
waqafnya pada lafal wa al-rasikhuna fi al-ilmi.

Dalam perbedaan ini ada beberapa pendapat, yaitu :

Imam Mujahid dan sahabat-sahabatnya serta Imam Nawawi cenderung berpendapat bahwa wa al-
rasikhuna fi al-ilmi di-athaf-kan kepada Allah. Dengan kata lain mereka berpendapat bahwa ta’wil dari ayat
mutasyabih dapat diketahui, disamping oleh Allah, juga oleh orang-orang yang dalam ilmunya. Kelompok ini
berpendapat dengan menggunakan dalil :

Hadits riwayat Ibn Mundzir, Mujahid dan Ibnu Abbas mengenai ayat 7 surat Ali Imran tersebut.
Terhadap ayat ini Ibn Abbas berkata, “Saya termasuk orang-orang yang lebih mengetahui ta’wilnya
. Hadits riwayat Ibn Abi Hatim dari Dhahak yang berkata: “Orang-orang yang mendalam ilmunya
mengetahui ta’wilnya, sebab jika mereka tidak mengetahuinya, tentulah mereka tidak mengerti mana
yang nasikh dan mana yang mansukh dan tidak mengetahui yang halal dari yang haram serta yang
muhkam dari yang mutasyabih (Zulheldi, 2003: 147)

Sebagian besar ulama berpendapat,tidak ada yang mengetahui ta’w il ayat mutasyabih kecuali Allah
sendiri.mereka me ajibkan supaya orang tidak mencari-cari ta’w ilnya dan menyerahkan persoalan itu kepada
Allah SWT. Sementara mereka yang dalam ilmunya mengenai ta’w il al-Qur’an berakhir pada ucapan kami
mengimani nya, semuanya datang dari Allah tuhan kami.

Meskipun demikian, Abu Hasan al-Asy’ari berpendapat ayat tersebut berhenti atau berakhir pada
kalimat “wa al-rasikhuna fi al-ilmi” (dan orang-orang berilmu) mendalam mengetahui ta’w il ayat-ayat
mutasyabih. Pendapat ini di perjelas lagi oleh Abu Ishaq al-Syirazi dengan mengatakan: “Pengetahuan Allah
mengenai ayat-ayat mutasyabih di limpahkan juga kepada ulama yang ilmunya dalam, sebab firman yang
diturunkan-Nya itu adalah pujian bagi mereka (Subhi al-Shalih, 1988:282).

Mayoritas sahabat, tabi’in dan tabi tabi’in serta orang-orang setelah mereka berpendapat baw a kalimat
wa al-rasikhuna fi al-ilm tersebut merupakan muptada dan kalimat yaquluna amanna bih menjadi khabar,
sedangkan huruf waw sebagai istinaf (tanda permulaan). Dengan kata lain, menurut kelompok ini, hanya Allah
lah yang mengetahui ta’wil dari ayat-ayat mutasyabihat.

Dalam hal ini al-Raghib al-Asfahani menempuh jalan tengah, di mana ia membagi ayat-ayat
mutasyabihat menjadi tiga :

1.Ayat atau lafal yang sama sekali tidak diketahui hakikatnya, seperti kapn datangnya hari kiamat, kalimat
“dabba al-ardhi” (sejenis binatang yang akan muncul pada saat menjelang kehancuran alam semesta, seperti
dalam surat al-Naml ayat 82 :

َ ُ‫اس كَانُوا ِبآ َياتِنَا ََل يُوقِن‬


‫ون‬ ِ ‫علَ ْي ِه ْم أ َ ْخ َر ْجنَا لَ ُه ْم دَابَّةً ِم َن ْاْل َ ْر‬
َ َّ‫ض تُك َِل ُم ُه ْم أ َ َّن الن‬ َ ‫َوإِذَا َوقَ َع ا ْلقَ ْو ُل‬

2. Ayat mutasyabih yang dengan berbagai sarana, manusia dapat mengetahui maknanya seperti lafal-lafal yang
aneh dan hukum-hukum yang tertutup.

3. Ayat-ayat mutasyabih yang khusus dikeahui oleh orang-rang ilmunya dalam dan tidak diketahui oleh orang
selain mereka; sebagaimana yang diisyaratkan oleh doa Rasulullah bagi Ibn Abbas: “Ya Allah, karunialah ia
ilmu yang mendalam mengenai agama, dan limpahkanlah pengetahuan tentang ta’wil kepadanya (Bukhari, t.th:
45).
DAFTAR PUSAKA

Ash-Shiddieqy, M.Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

Denfer, Ahmad Von, Ilmu al-Quran, Pengetahuan Dasar, Jakarta: Balai Pustaka, 1995

Faudah, Mamud Basuni, Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, Bandung: Pustka,
1987.

Qathan, Manna’, Mabahis fi Ulum Qur’an, t.t : Huququ al-Thab’i Mahfizah, 1973.

Anda mungkin juga menyukai