Anda di halaman 1dari 6

CERITA BUAT DIEN TAMAELA

Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu

Beta Pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut

Beta Pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan

Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala.


Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.

Dalam sunyi malam ganggang menari


Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.

Mari menari!
Mari beria!
Mari berlupa!

Awas jangan bikin beta marah


Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!

Beta ada di malam, ada di siang


Irama ganggang dan api membakar pulau….

Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.

Puisi ini ditulis Chairil tahun 1946


cerita buat dien tamaela
Pernah dengar puisi pujangga Chairil Anwar yang berjudul Cerita Buat Dien Tamaela? Puisi
ini sangat populer, bukan hanya di Indonesia tapi juga di mancanegara.

Puisi ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Inggris, Belanda, Jerman,
Prancis, Spanyol, Latin bahkan Rusia. Misalnya, dalam Bahasa Belanda, Verhaal Voor Dien
Tamaela diterjemahkan oleh Dolf Verspoor dan terbit di Den Haag tahun 1949.

Dalam Bahasa Jerman menjadi Ich Bin Pattiradjawane diterjemahkan W.A. Braasem, terbit di
Jerman tahun 1957. Dolf Verspoor mempublikasikan Legende Pour Dien Tamaela. Meskipun
dalam bahasa Prancis, namun dipublikasi di Mimbar Indonesia tahun 1949.

Terjemahan lain oleh Mohammad Akbar Djuhana dalam Bahasa Prancis menjadi Histoire
Pour Dien Tamaela, dipublikasi oleh Kedutaan Besar Prancis tahun 1950 dan 1958.

Ada beberapa terjemahan dalam Bahasa Inggris. Ahmed Ali dkk mempublikasikan Story For
A Girl Dien Tamaela di Karachi tahun 1949. Judul yang sama dipublikasikan di London
tahun 1959.

Sedangkan A tale of Dien Tamaela diterjemahkan oleh Burton Raffel dan Nuurdin Salam,
dipublikasi di Berkeley dan Los Angeles tahun 1964 oleh University of California Press. Di
Manila, puisi ini dipublikasikan oleh Jurnal Universitas Manila tahun 1954, dengan judul
Story For Dien Tamaela, terjemahan Justus van der Kroef.

Dalam Bahasa Spanyol, Ramadhan KH menulisnya menjadi Historia Para Una Muchacha
Que Se Lama Tamaela, dipublikasikan di Madrid tahun 1962. Ada pula dalam bahasa lainnya
namun sulit disalin karena tidak menggunakan huruf latin.

Mengapa begitu terkenal?

Karena nama Dien Tamaela sangat misterius dalam larik-larik puisi si pujangga yang mati
muda ini.
Banyak orang tidak tahu, siapa Dien Tamaela sebenarnya. Ada yang menyangka Dien
seorang pria Ambon, seorang penyair, seorang pelukis, kritikus sastra. Ada yang
menyebutnya sahabat Chairil di negeri Belanda. Bahkan, ada juga yang menggosipkan
sebagai istri gelap Chairil.

“Siapa itu Dien Tamaela, kita tidak kenal. Jadi kita tidak bisa menghayati puisi Chairil Anwar
secara baik,” ujar seorang guru Sastra Indonesia pada forum dalam bulan bahasa 2008 di
Kampus FKIP Universitas Pattimura, beberapa waktu lalu.

Puisi Cerita Buat Dien Tamaela yang mistis, juga menjadi sebuah misteri. Chairil seperti
punya pengalaman magis berada di pulau-pulau Maluku. Tapi untuk membuka tabir
hubungan Chairil dan Dien, justru mesti dimulai dengan menelusuri puisi ini.

CERITA BUAT DIEN TAMAELA


Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu

Beta Pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut

Beta Pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan

Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala.


Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.

Dalam sunyi malam ganggang menari


Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.

Mari menari!
Mari beria!
Mari berlupa!

Awas jangan bikin beta marah


Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!

Beta ada di malam, ada di siang


Irama ganggang dan api membakar pulau….

Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.

Puisi ini ditulis Chairil tahun 1946. Di bawah judul Cerita Buat Dien Tamaela, Chairil
memulainya dengan satu larik yang langsung sangat Maluku, Beta Pattiradjawane.

Tercatat, lima kali nama Pattiradjawane muncul dalam puisi sembilan bait itu. Maka
pertanyaan berikut, siapa Pattiradjawane? Mengapa bukan Pattimura atau marga-marga
lainnya?

TENTANG PATTIRAJAWANE

Dien Tamaela bernama lengkap Leonardine Hendriette Tamaela. Dia lahir di Palembang, 27
Desember 1923 sebagai putri pertama pasangan dr Lodwijk Tamaela dan Mien Jacomina
Pattiradjawane.
Dien mempunyai seorang adik kandung bernama Lebrin Agustien Tamaela, yang lahir di
Malang, 21 Agustus 1926. Sang adik dikenal dengan nama Dee, seorang dokter anak yang
masih hidup di Menteng Jakarta Pusat dalam usia 83 tahun.

Dien dan Dee adalah putri dr Lodwijk Tamaela, pria kelahiran Ambon, 4 Maret 1896. Sang
dokter meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan lalulintas di Mojokerto, 27 Juli 1938.
Nama sang dokter diabadikan di Ambon sebagai nama ruas jalan dari Tugu Trikora menuju
Batugantung.

Ibunda Dien dan Dee yakni Mien Jacomina Pattiradjawane lahir di Ambon, 8 September
1897. Sejak sang suami meninggal tahun 1938, Mien jualah yang mengasuh kedua putrinya.
Waktu itu Dien berusia 15 tahun dan Dee baru 12 tahun.

Mien hidup di Jakarta dalam usia yang panjang. Dia baru menghembuskan nafas terakhir di
Jakarta, 28 Oktober 1996 dalam usia 99 tahun.
Dien Tamaela sempat belajar di MULO Jakarta. Namun sampai kelas dua, dia pindah ke
Sekolah Guru Taman Kanak-Kanak. Nahas sebab pada tahun 1942, Jepang mulai menguasai
Jakarta sehingga sekolah-sekolah ditutup.
Dien pun putus sekolah. Tapi Dien melamar kerja di kantor pemerintah Jepang, dan diterima
sebagai tenaga administrasi sampai Indonesia merdeka. Setelah Jepang angkat kaki, tentara
NICA ada di mana-mana.

Meskipun situasi tidak menentu, namun komunitas Maluku di Jakarta tetap berada dalam
tradisi seni. Dien yang pandai bermain piano, secara rutin tampil dalam siaran budaya Radio
Republik Indonesia (RRI) Jakarta.

Sebagai pianis, mengiringi pemuda-pemuda Ambon bernyanyi. Dien juga masuk dalam
kelompok penyanyi. Lagu-lagu dan pantun antara lain ditulis oleh seniman Buce Tahalele.

Sementara Dee, adik kandung Dien yang hidup membujang di Apartemen Eksekutif
Menteng, lebih beruntung ketimbang kakaknya. Dee mendapat kesempatan kuliah di Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia dan lulus tahun 1956. Dia memilih menjadi dokter anak
dan bekerja sampai pensiun. Dee pernah bertugas di RSU Kudamati Ambon tahun 1957-
1960.

TENTANG “POHON PALA”

Puisi Chairil Anwar berjudul Cerita Buat Dien Tamaela menyimpan banyak cerita. Salah
satunya yang baru terungkap adalah kisah tentang pohon pala dalam puisi tersebut.
Chairil memang tidak pernah menginjakkan kaki ke Maluku, apalagi menjelajahi kebun pala.
Namun puisinya mengabadikan pala secara penuh daya magis.

Dalam Cerita Buat Dien Tamaela, tercatat tiga kali muncul kata pala. Pertama kali muncul
pada bait keempat.

Beta Pattiradjawane, menjaga hutan pala


Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.

Lantas, untuk kedua kalinya, Chairil memunculkan pala pada bait kelima.
Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba

Pala kembali ditampilkan pada bait ketujuh.

Awas jangan bikin beta marah


Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!

Maluku dengan julukan negeri rempah-rempah, the Spice Islands, begitu identik dengan
cengkih dan pala. Dalam urutan penyebutan, lazimnya orang menyebut cengkih barulah pala.
Dalam konteks Maluku, cengkih memang lebih dominan. Pohon cengkih lebih gampang
ditemukan di banyak pulau ketimbang pala.
Tapi dalam puisi Chairil, dia tidak menggunakan simbolisme cengkih melainkan pala. Hutan
pala, pohon pala, dan pala.

Memang, sebagai penyair, Chairil memiliki kemerdekaan kreatif untuk memunculkan


apapun. Namun simbolisme pala tidak muncul begitu saja.

TENTANG PERKENALAN CHAIRIL DAN DIEN TAMAELA

Tokoh masyarakat Maluku Des Alwi (82), pernah bercerita kepada media tentang Chairil
Anwar dan Dien Tamaela
Semasa muda, Des berkawan dengan dua tokoh tersebut. Perjumpaan Des dengan Chairil dan
Dien bermula dari rumah Sutan Syahrir di Jalan Damrin Jakarta, yang kini menjadi Jalan
Latuharhary.

Sebagai saudara angkat Sutan Syahrir, Des datang dari Bandaneira dan tinggal di rumah
Sutan Syahrir. Di rumah itulah, Des berjumpa dengan Chairil. Sebagai sesama orang Padang,
Ibunda Chairil yakni Saleha, punya hubungan kerabat dengan Bung Kecil, julukan Sutan
Syahrir. Sebab itu Des dan Chairil ditempatkan pada satu kamar yang sama.

“Beta satu kamar dengan Nini. Chairil itu disapa Nini. Katong dua tidur sama-sama,” kenang
Des.

Di kamar itulah, dua sahabat ini sering terlibat diskusi. Chairil sangat berminat pada kisah-
kisah tentang Maluku. Des mengaku selalu bercerita tentang Bandaneira, tentang perkebunan
pala, serta juga tentang hal-hal gaib.

“Beta cerita tentang orang-orang alus (makluk halus) dan Nini antusias sekali. Tidak heran
puisi Cerita Buat Dien Tamaela menjadi seperti itu,” kata Des.

Sedangkan perkenalan dengan Dien juga terjadi karena rumah keluarga dr Tamaela memang
tidak jauh dari rumah Sutan Syahrir. Sebagai tetangga, mereka sudah biasa saling
berkunjung. Des akui, Chairil memang berkawan akrab dengan Dien. Hanya saja soal
hubungan Chairil dan Dien, menurut Des, tidak sampai pada hubungan asmara.
Tapi Des akui hubungan Chairil dan Dien sangat akrab. Hal itu bisa dilihat ketika Dien harus
menjalani operasi usus buntu di Yogyakarta, Des dan Chairil jauh-jauh datang menjenguk di
rumah sakit. Keduanya bahkan iseng meminta izin dokter agar bisa mengajak Dien jalan-
jalan.

“Dokter itu menjawab, tunggu saja kalau Dien sudah bisa kentut,” cerita Des sambil tertawa
lebar.

Des sendiri sempat menulis pengalaman bersama Chairil dalam sebuah bukunya Friends and
Exiles: A Memoir of the Nutmeg Isles and the Indonesian Nationalist Movement yang
diterbitkan Cornell University. Des akui, Chairil adalah seorang sosok seniman yang urakan
tapi sekaligus mengagumkan.

Anda mungkin juga menyukai