Anda di halaman 1dari 17

Bell’s Palsy

Laporan Kasus

Oleh:
dr. Julian Raymond Irwen

Pembimbing:
dr. Dian Oktavianti Putri

Puskesmas Batu 10
2017
I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. J
Tanggal Lahir : 10 Desember 1942
Umur : 77 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Kp. Wonosari
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

II. RIWAYAT PENYAKIT


a. Keluhan Utama
Kelemahan wajah sebelah kanan

b. Riwayat Penyakit Sekarang


1 hari sebelum datang ke puskesmas, pasien mengeluhkan adanya nyeri pada belakang
terlinga telinga kanan. Setelah itu pada malam hari pasien mulai merasakan kelemahan
pada wajah sebelah kanan. Pasien juga kehilangan indra pengecap pada lidah sebelah
kanan dan mata sebelah kanan pasien tidak dapat menutup. Selain itu pasien juga
mengeluhkan adanya nyeri pada ulu hati, perut terasa kembung. Pasien sering
mengalami keluhan tersebut bila telat makan. Keluhan penurunan pendengaran, bintil
pada telinga, kelemahan pada anggota gerak, bicara pelo, kesulitan menelan disangkal.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Gastritis. Riwayat penyakit hipertensi, DM disangkal. Riwayat keluhan serupa disangkal.
Riwayat trauma, herpes zoster, terkena udara dingin disangkal

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Ridak ada anggota keluarga dengan keluhan serupa

e. Anamnesis Sistem
 Sistem Saraf Pusat : Penurunan indra pengecap, nyeri belakang telinga kanan
 Jantung : Berdebar-debar dan nyeri dada disangkal
 Respirasi : Batuk, pilek, sesak disangkal
 Digesti : Perut terasa kembung, nyeri ulu hati
 Urogenital : Nyeri berkemih tidak ada
 Integumentum : Tidak ada ruam
 Musculoskeletal : Kelemahan otot-otot wajah sebelah kanan

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Status Generalis
i. Keadaan Umum : Baik, compos mentis
ii. Tanda Vital : TD 110/80 mmHg, HR 84x / menit, RR 18x / menit,
Suhu 36,6oC
iii. Kepala Leher : Limfonodi tidak teraba, conjunctiva tidak
anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor (3mm/3mm),
reflex cahaya (+/+). Hilangnya nasolabial fold dextra,
kerutan dahi sebelah kanan. Mata kanan tidak dapat
menutup, senyum tidak simetris, penggembungan pipi
tidak simetris.
iv. Jantung : S1 S2 normal, tidak ada suara tambahan jantung
v. Paru : Suara dasar vesikuler, simetris, tidak ada
ketinggalan gerak, tidak ada suara tambahan paru
vi. Abdomen : Bising usus normal, supel, nyeri tekan epigastrik,
hepar dan lien tidak teraba
vii. Ekstremitas : Akral hangat, tidak ada edema, waktu pengisian
kapiler cepat (< 2 detik), tidak terdapat tremor

b. Status Neurologis
i. Nervi Craniales : Nervus I, II, III, IV, V, VI, VIII, IX, X, XI, XII dalam batas
normal, paresis nervus VII dextra lower motor neuron
ii. Motorik : Tidak ada kelainan
iii. Refleks Fisiologis : (+) normal
iv. Refleks Patologis : (-)
v. Sensibilitas : dalam batas normal
vi. Meningeal sign : (-)

c. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan

IV. DIAGNOSIS KERJA

Diagnosis Klinis

Paresis nervus VII dextra LMN


Dispepsia

Diagnosis Topis

Nervus VII dextra LMN

Diagnosis Etiologis

Bell’s Palsy
Susp. gastritis kronis

V. DIAGNOSIS BANDING
1. Stroke
2. Ramsay Hunt Syndrome

VI. PENATALAKSANAAN

Medikamentosa :

Inj. Vit B12 1 Ampul


Methylprednisolone tablet 3 x 16 mg selama 6 hari, dilanjutkan 3 x 8 mg selama 2
hari, dan 3 x 4 mg selama 2 hari.
Acyclovir tablet 5 x 400 mg selama 10 hari
Ranitidine tablet 2 x 150 mg
Vit B12 3 x 50 mcg

Edukasi :

Latih otot wajah sebelah kanan, lakukan massase


Tetes mata dengan artificial tears sesering mungkin
Tutup mata dengan solatip saat tidur
Makan teratur, hindari makanan pedas, asam, dan berlemak

VII. PROGNOSIS

Dubia ad bonam

VIII. Follow Up

13 Desember 2016
S :Kelemahan pada wajah sebelah kanan. Keluhan belum berkurang. Keluhan
nyeri perut (-). Perut terkadang terasa kembung.
O:
TD : 120/70 mmHg
HR : 76x/mnt
RR : 18x/mnt
T : afebris
Px Neurologis : Paresis N VII LMN dextra, lain-lain dbn
A:
Bell’s Palsy
Dyspepsia ec susp gastritis kronis
P:
MP 3 x 16 mg
Acyclovir 5 x 400 mg
Vit B 12 3 x 50 mcg
Ranitidine 2 x 150 mg

15 Desember 2016
S : Kelemahan pada wajah sebelah kanan membaik, mata sudah dapat menutup
setengah. Alis sudah mulai dapat digerakkan, pasien mulai dapat merasakan
makanan.
O:
TD : 130/80 mmHg
HR : 82 x/mnt
RR : 20 x/mnt
T : afebris
Px Neurologis : Paresis N VIII LMN dextra, lain-lain dbn
A:
Bell’s Palsy
Dyspepsia ec susp gastritis kronis
P:
MP 3 x 8 mg
Acyclovir 5 x 400 mg
Vit B 12 3 x 50 mcg
Ranitidine 2 x 150 mg

17 Desember 2016
S : Kelemahan pada wajah sebelah kanan. Keluhan berangsur membaik. Mata
sebelah kanan mulai dapat menutup, namun belum dapat menutup dengan
sempurna. Pasien belum dapat mengangkat alisnya. Perut terkadang terasa
kembung
O:
TD : 120/80 mmHg
HR : 78x/mnt
RR : 18x/mnt
T : afebris
Px Neurologis : Paresis N VII LMN dextra, lain-lain dbn
A:
Bell’s Palsy
Dyspepsia ec susp gastritis kronis
P:
MP 3 x 4 mg
Acyclovir 5 x 400 mg
Vit B 12 3 x 50 mcg
Ranitidine 2 x 150 mg

21 Desember 2016
S : Kelemahan pada wajah sebelah kanan membaik, mata sudah dapat menutup
sempurna, alis pasien mulai dapat diangkat
O:
TD : 130/80 mmHg
HR : 80 x/mnt
RR : 20 x/mnt
T : afebris
Px Neurologis : Paresis N VIII LMN dextra, lain-lain dbn
A:
Bell’s Palsy
Dyspepsia ec susp gastritis kronis
P:
Vit B 12 3 x 50 mcg
Ranitidine 2 x 150 mg

28 Desember 2016
S : Kelemahan pada wajah sebelah kanan. Keluhan berangsur membaik. Mata
sebelah kanan mulai dapat menutup. Wajah sebelah kanan sudah mulai dapat
digerakkan
O:
TD : 100/70 mmHg
HR : 92x/mnt
RR : 18x/mnt
T : afebris
Px Neurologis : Paresis N VII LMN dextra, lain-lain dbn
A:
Bell’s Palsy
Dyspepsia ec susp gastritis kronis
P:
Vit B 12 3 x 50 mcg
Ranitidine 2 x 150 mg

09 Januari 2017
S : Kelemahan pada wajah sebelah kanan membaik. Terkadang perut terasa
kembung. Pergerakan wajah kanan membaik
O:
TD : 130/80 mmHg
HR : 80 x/mnt
RR : 20 x/mnt
T : afebris
Px Neurologis : Paresis N VIII LMN dextra, lain-lain dbn
A:
Bell’s Palsy
Dyspepsia ec susp gastritis kronis
P:
Vit B 12 3 x 50 mcg
Ranitidine 2 x 150 mg

20 Januari 2017
S : Kelemahan pada wajah sebelah kanan membaik. Pasien sudah dapat menutup
matanya, alis sudah dapat diangkat, sudah dapat tersenyum.
O:
TD : 120/80 mmHg
HR : 84x/mnt
RR : 20x/mnt
T : afebris
Px Neurologis : Paresis N VII LMN dextra, lain-lain dbn
A:
Bell’s Palsy
Dyspepsia ec susp gastritis kronis
P:
Vit B 12 3 x 50 mcg
Ranitidine 2 x 150 mg

Dokumentasi

9 Desember 2016 20 Januari 2017


Tinjauan Pustaka

Pendahuluan

Bell’s palsy adalah penyakit paralisis fasialis perifer idiopatik, yang merupakan penyebab
tersering dari paralisis fasialis perifer unilateral. Bell’s palsy muncul mendadak (akut), unilateral,
berupa paralisis saraf fasialis perifer, yang secara gradual dapat mengalami perbaikan pada 80-
90% kasus. Bell’s palsy lebih sering ditemukan pada usia dewasa, orang dengan DM, dan
wanita hamil. Peningkatan kejadian berimplikasi pada kemungkinan infeksi HSV type I dan
reaktivasi herpes zoster dari ganglia nervus fasialis. Penyebab Bell’s palsy tidak diketahui
(idiopatik), dan diduga penyakit ini merupakan bentuk polineuritis dengan kemungkinan
penyebabnya virus, inflamasi, auto imun dan faktor iskemik. Faktor risiko dari penyakit ini tidak
diketahui secara pasti, namun beberapa pasien melaporkan adanya paparan dingin ataupun
angina yang terus menerus selama beberapa jam sebelum onset dari penyakit. Walaupun
kelumpuhan permanen dapat terjadi pada kasus-kasus yang berat, kebanyakan pasien dengan
Bell’s palsy dapat pulih secara penuh dengan gejala sisa yang sangat minimal ataupun tidak
ada.

Epidemiologi

Insiden Bell’s palsy dilaporkan sekitar 40-70% dari semua kelumpuhan saraf fasialis perifer akut. 2,3
Prevalensi rata-rata berkisar antara 10–30 pasien per 100.000 populasi per tahun dan meningkat sesuai
pertambahan umur. Insiden meningkat pada penderita diabetes dan wanita hamil. Sekitar 8-10% kasus
berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini

Anatomi Nervus Fasialis

Nervus fasialis keluar dari bagian ventral batang otak, membentuk 2 divisi, yaitu nervus
intermedius dan serabut motorik. Nervus intermedius menerima sensasi rasa dari dua per tiga
anterior lidah, dan mengirim serabut otonom ke ganglion submaksila dan sphenopalatina, yang
menginervasi glandula lakrimalis dan salivarius. Nervus fasialis juga menerima impuls
propriosepsi dari otot wajah dan sensasi kulit dari bagian posteromedial pinna dan kanalis
auditoris eksternal. Lesi disekitar daerah awal keluar nervus atau mendekati ganglion
geniculatum akan menghasilkan gejala hilangnya kemampuan motorik, indra perasa, dan fungsi
otonom. Lesi diantara ganglion geniculatum dan chorda tympani akan tidak mempengaruhi
lakrimasi, dan lesi di dekat foramed stylomastoid akan tidak mempengaruhi indra perasa dan
lakrimasi, dan hanya akan menyebabkan paralisis bagian atas dan bawah wajah ipsilateral. Lesi
nukleus nervus fasialis di batang otak juga akan menyebabkan paralisis ipsilateral seluruh otot
bagian atas dan bawah wajah.
Pola lesi pada bagian nuklear atau perifer dari nervus fasialis harus dibedakan dari lesi pada
jaras motorik sentral yaitu lesi diatas nukleus yang menyebabkan kelemahan dan paralisis pada
bagian wajah sehingga tidak mempengaruhi kerutan dahi, akibat dari jaras sentral yang
menginervasi bagian atas wajah secara bilateral.
Akibat dari anatomi nervus fasialis ini, gejala dari cedera nervus fasialis perifer bervariasi.
Cedera yang berat dapat menyebabkan adanya paralisis wajah pada saat istirahat, dengan
adanya perot pada otot wajah ipsilateral dari lesi. Lipatan dan garis wajah yang normal pada
sekitar bibir, hidung, dan dahi akan menghilang, fisura palpebral akan lebih lebar dari normal,
dan gerakan volunter dari otot wajah dan platisma tidak dapat dilakukan. Senyum akan
memperlihatkan aktivasi dari otot orbicularis oris yang tidak terimbas dan adanya kekendoran
wajah pada sisi yang terimbas. Saliva dapat merembes dari sisi mulut yang terjadi paralisis
pada keadaan istirahat, dan makanan atau minuman dapat juga merembes keluar saat makan.
Penutupan dari kelopak mata tidak sempurna, dan gerakan kearah atas dan ke dalam dari mata
dapat terlihat pada saat memeriksa penutupan mata (fenomena Bell). Komplikasi ini menjadi
penting untuk dicermati, dimana pemberian lubrikasi dan penutup mata pada mata yang
terpengaruh oleh cedera nervus fasialis harus dilakukan untuk mencegah terjadinya kerusakan
pada kornea. Produksi air mata akan berkurang bila lesi terjadi proksimal pada ganglion
geniculatum. Dengan lesi yang lebih perifer dari ganglion, produksi air mata tidak berubah
namun air mata akan tidak dapat bekerja tidak maksimal diakibatkan oleh penutupan mata yang
tidak sempurna. Penurunan salivasi dan kehilangan indra perasa pada bagian 2/3 anterior lidah
juga akan terjadi bila terdapat lesi pada chorda tympani. Nervus fasialis menginverasi musculus
stapedius sehingga apabila otot ini tidak berfungsi maka dapat terjadi hiperakusis akibat dari
tidak berfungsinya efek peredaman pada membrana timpani.

Patofisiologi

Patofisiologi pasti dari Bell’s palsy masih belum diketahui secara pasti, namun adanya
inflamasi, infeksi virus herpes simplex ataupun edema dengan kompresi mungkin memainkan
peran dalam pathogenesis dari Bell’s palsy, sehingga medikasi dengan steroid, antivirus,
ataupun tindakan bedah dekompresi menjadi pilihan terapi dari penyakit ini.

Manifestasi Klinis

Pasien sering kali datang dengan keluhan:


 Paralisis otot fasialis atas dan bawah unilateral, dengan onset akut (periode 48 jam)
 Nyeri auricular posterior atau otalgia, ipsilateral
 Peningkatan produksi air mata (epifora), yang diikuti penurunan produksi air mata yang
dapat mengakibatkan mata kering (dry eye), ipsilateral
 Hiperakusis ipsilateral
 Penurunan rasa pengecapan pada lidah, ipsilateral
Gejala awal:
 Kelumpuhan otot otot fasialis unilateral, yang mengakibatkan hilangnya kerutan dahi
ipsilateral, tidak mampu menutup mata ipsilateral, wajah merot/tertarik ke sisi
kontralateral, bocor saat berkumur, tidak bisa bersiul.
 Nyeri tajam pada telinga dan mastoid (60%)
 Penurunan rasa pengecapan pada lidah, ipsilateral (30-50%)
 Hiperakusis ipsilateral (15-30%)
 Gangguan lakrimasi ipsilateral (60%)
 Gangguan sensorik wajah jarang ditemukan, kecuali jika inflamasi menyebar ke saraf
trigeminal.

Faktor Risiko
 Paparan dingin (kehujanan, udara malam, AC)

 Infeksi, terutama virus (HSV tipe 1)

 Penyakit autoimun

 Diabetes mellitus

 Hipertensi

 Kehamilan

Pemeriksaan Fisik
 Kelemahan atau paralisis yang melibatkan saraf fasial (N VII) mengakibatkan
kelemahan wajah (atas dan bawah) satu sisi (unilateral). Inspeksi awal pasien
memperlihatkan hilangnya lipatan (kerutan) dahi dan lipatan nasolabial unilateral.
a. Kelumpuhan fasial
sentral: otot dahi tidak
terpengaruh
b. Kelumpuhan fasial
perifer: otot dahi
terpengaruh bersamaan
dengan seluruh sisi
wajah yang
terpengaruh

 Saat pasien diminta untuk tersenyum, akan tampak kelumpuhan otot orbikularis oris
unilateral, dan bibir akan tertarik ke sisi wajah yang normal (kontralateral).
 Pada saat pasien diminta untuk mengangkat alis, sisi dahi yang lumpuh terlihat datar.
 Pada fase awal, pasien juga dapat melaporkan adanya peningkatan salivasi.
 Terdapat manifestasi okular antara lain:
o Lagoftalmus (ketidakmampuan untuk menutup mata secara total)
o Penurunan sekresi mata

Klasifikasi
Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat dinilai secara subjektif dengan sistim grading House
and Brackmann dgn skala I sampai VI:
1. Grade I adalah fungsi fasial normal.
2. Grade II disfungsi ringan. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
a. Kelemahan ringan saat dilakukan inspeksi secara detil.
b. Sinkinesis ringan dapat terjadi.
c. Simetris normal saat istirahat.
d. Gerakan dahi sedikit sampai baik.
e. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan sedikit usaha.
f. Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan.
3. Grade III adalah disfungsi moderat, dengan karekteristik:
a. Asimetri kedua sisi terlihat jelas, kelemahan minimal.
b. Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial dapat ditemukan.
c. Simetris normal saat istirahat.
d. Gerakan dahi sedikit sampai moderat.
e. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan usaha.
f. Sedikit lemah gerakan mulut dengan usaha maksimal.
4. Grade IV adalah disfungsi moderat sampai berat, dengan tandanya sebagai berikut:
a. Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.
b. Simetris normal saat istirahat.
c. Tidak terdapat gerakan dahi.
d. Mata tidak menutup sempurna.
e. Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal.
5. Grade V adalah disfungsi berat. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
a. Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan.
b. Asimetris juga terdapat pada saat istirahat.
c. Tidak terdapat gerakan pada dahi.
d. Mata menutup tidak sempurna.
e. Gerakan mulut hanya sedikit.
6. Grade VI adalah paralisis total. Kondisinya yaitu:
a. Asimetris luas.
b. Tidak ada gerakan otot otot wajah.

Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan Bell’s palsy adalah untuk mempercepat penyembuhan,
mencegah kelumpuhan parsial menjadi kelumpuhan komplit, meningkatkan angka
penyembuhan komplit, menurunkan insiden sinkinesis dan kontraktur serta mencegah
kelainan pada mata. Pengobatan seharusnya dilakukan sesegera mungkin untuk
mencegah pengaruh psikologi pasien terhadap kelumpuhan saraf ini. Disamping itu
kasus Bell’s palsy membutuhkan kontrol rutin dalam jangka waktu lama.

Pengobatan dipertimbangkan untuk mulai diberikan pada pasien dalam fase awal 1-4 hari
onset.
1. Terapi Farmakologis
a. Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1 mg/kg atau 60 mg/day selama 6 hari, diikuti
penurunan bertahap total selama 10 hari.
b. Steroid dan asiklovir (dengan prednison) mungkin efektif untuk pengobatan Bells’
palsy (American Academy Neurology/AAN, 2011).
c. Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan fungsi saraf
kranial, jika diberikan pada onset awal (ANN, 2012).
d. Apabila tidak ada gangguan gungsi ginjal, antiviral (Asiklovir) dapat diberikan
dengan dosis 400 mg oral 5 kali sehari selama 7-10 hari. Jika virus varicella
zoster dicurigai, dosis tinggi 800 mg oral 5 kali sehari.
e. Dapat diberikan mecobalamin 3 kali 500 microgram per hari.
2. Terapi Non-farmakologis
a. Perawatan mata: lubrikasi okular topikal dengan air mata artificial untuk
mencegah corneal exposure.
b. Fisioterapi atau akupunktur dapat dilakukan setelah melewati fase akut (+/- 2
minggu). Fisioterapi yang dapat dilakukan di rumah adalah dengan melakukan
massase pada otot wajah 5 menit setiap pagi dan sore.

Prognosis
Prognosis pada umumnya baik, kondisi terkendali dengan pengobatan pemeliharaan.
Kesembuhan terjadi dalam waktu 3 minggu pada 85% pasien. Sekitar 71% pasien dengan
Bell’s palsy akan memiliki fungsi motorik yang sempurna dalam 6 bulan tanpa pengobatan.
Faktor yang memperburuk prognosis antara lain adalah usia tua, hipertensi, diabetes mellitus,
adanya gangguan pengecapan dan kelemahan otot wajah total. Sekitar 1/3 dari pasien akan
memiliki pemulihan yang tidak sempurna dan gejala sisa. Gejala sisa yang paling sering
ditemukan adalah adanya lakrimasi pada mata ipsilateral saat mengunyah, dan adanya
penutupan dari kelopak mata ketika mulut terbuka. Selain itu juga dapat terjadi kontraktur otot
wajah, sinkinesis, spasme otot wajah dan ptosis alis. Rekurensi pada kasus Bell’s palsy jarang
terjadi, hanya sekitar 6% dari kasus yang mengalami rekurensi.
Daftar Pustaka

Baehr M dan Frotscher M. 2005. Duus’ Topical Diagnosis in Neurology. Stuttgard: Thieme.
Bradley WG, et al. 2004. Neurology in Clinical Practice, 4thed. Philadelphia: Elsevier
Flaherty AW dan Rost NS. 2007. The Massachusetts General Hospital Handbook of Neurology,
2nd ed. Massachusetts: Lippincott Williams & Wilkins.
Johnson JT dan Rosen CA. 2014. Bailey’s Head and Neck Surgery, 5th ed. Baltimore: Lippincott
Williams & Wilkins.
Kahle W dan Frotscher M. 2003. Color Atlas and Textbook of Human Anatomy, Volume 3.
Stuttgard: Thieme
Kemenkes. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
Jakarta
Munilson J, et al. Diagnosis dan Penatalaksanaan Bell’s Palsy. Bagian Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP. Dr.M. Djamil
Padang
Murthy JMK dan Saxena AB. 2011. Bell’s Palsy: Treatment Guidelines. Ann Indian Acad Neurol.
2011 Jul; 14(Suppl1): S70–S72.doi: 10.4103/0972-2327.83092
Netter FH, et al. 2002. Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology. Teterboro: Icon Custom
Communications.
PERDOSSI. 2013. Standard Pelayanan Medik. Jakarta
Ropper HA dan Brown RH. 2005. Adams and Victor’s Principles of Neurology, 8 th ed. United
States: McGraw Hill
Rowland LP, et al. 2005. Merritt’s Neurology, 11th ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins
Taylor DC. 2016. Bell Palsy. http:/emedicine.medscape.com/article/1146903. Diakses pada
tanggal 7 Maret 2017

Anda mungkin juga menyukai