Anda di halaman 1dari 43

SESI / KOMPETENSI V:

MENJELASKAN GANGGUAN MENSTRUASI

TAHAPAN PEMBELAJARAN

Mengembangkan Kompetensi Waktu


Tahap pembekalan (classroom session) 24 jam
Tahap praktik klinik dan pencapaian kompetensi 48 minggu

KOMPETENSI:

Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik mampu:

Melakukan penatalaksanaan gangguan menstruasi dalam praktik klinis berdasarkan


pengetahuan anatomis dan fisiologis siklus haid.

KETERAMPILAN:

1.1 Mampu menjelaskan dan memberikan konsultasi yang baik kepada pasien mengenai
proses perjalanan penyakit yang diakibatkan gangguan menstruasi.
1.2 Mampu memformulasikan suatu rencana penatalaksanaan penyakit yang didasarkan pada
temuan pemeriksaan klinis yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa gangguan
menstruasi.
1.3 Mampu berdiskusi dan mengembangkan kerjasama dengan sejawat dari disiplin ilmu
yang lain yang terkait dalam rangka menyusun suatu rencana penatalaksanaan gangguan
menstruasi.
1.4 Mampu menerapkan rencana penatalaksanaan dalam praktik klinis dan melakukan
modifikasi yang diperlukan dalam menangani gangguan menstruasi.
1.5 Mampu menjelaskan alternatif dan pilihan terapi dalam penatalaksanaan gangguan
menstruasi yang dimaksud.
1.6 Mampu menjelaskan dengan jelas komplikasi dan efek samping dari terapi yang
diberikan.
PERSIAPAN:

 Alat bantu latih:


 Text book
 Video Session
 Komputer/LCD
 Internet

 Referensi:
1. Clinical gynecologic endocrinology & infertility. Edisi ke-7. Speroff L, Fritz MA,
penyunting, Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005.
2. Yen and Jaffe’s reproductive endocrinology: physiology, pathophysiology, and
clinical management. Edisi ke-6. F. Strauss J, Barbieri. RL, penyunting,
Philadelpia: Elsevier Inc; 2009.
3. Aron, D.C, and Findling J.W. Hipothalamus & pituitary. In Francis S.G and
Gordon J.S (eds), Basic and Clinical Endocrinology. 5th ed. London: Prentice-Hall
International Inc.; 1997.

TUJUAN SESI:

Modul ini disusun untuk proses pembelajaran bagi pengembangan dan pencapaian
kompetensi dalam bidang obstetri dan ginekologi yang terkait endokrinologi melaui sesi
pembelajaran di dalam kelas dan praktik dalam situasi yang sesungguhnya terkait dengan
standar keilmuan dan praktik endokrinologi reproduksi agar tujuan pembelajaran dapat
dicapai dalam waktu yang telah dialokasikan dan tingkatan kompetensi sesuai dengan yang
disyaratkan.

TUJUAN PEMBELAJARAN:

1. Mampu menjelaskan dan memberikan konsultasi yang baik kepada pasien mengenai
proses perjalanan penyakit yang diakibatkan gangguan menstruasi.
2. Mampu memformulasikan suatu rencana penatalaksanaan penyakit yang didasarkan
pada temuan pemeriksaan klinis pada gangguan menstruasi dan melakukan modifikasi
yang diperlukan dalam menangani gangguan menstruasi.
3. Mampu berdiskusi dan mengembangkan kerjasama dengan sejawat dari disiplin ilmu
yang lain yang terkait dalam rangka menyusun suatu rencana penatalaksanaan
gangguan menstruasi.
4. Mampu menjelaskan alternatif dan pilihan terapi dalam penatalaksanaan gangguan
menstruasi yang dimaksud kepada pasien sekaligus menjelaskan komplikasi dan efek
samping dari terapi yang diberikan.

Bahaslah kasus diatas :

1.Apa masalah pasien tersebut

2. Rancanglah suatu anamnesis ,pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang bagi pasien
tersebut

Nyonya I (42 tahun) mengatakan menstruasi terus-menerus dengan jumlah banyak dan
darahnya menggumppal sehingga perlu mengganti pembalut 3-4x dalam sehari,badan lemas,
konjungtiva anemis, kulit pucat, nyeri perut. . Keluhan dirasakan sudah 2 minggu berturut-
turut. Ibu pernah 2x keguguran dan sekarang punya 2 anak

Pada pemeriksaan ginekologi,terlihat porsio licin dengan OUE tertutup dan pengeluran
berupa darah- tidak ada cairan putih (discharge), uterus normal dan tidak ada teraba massa di
kedua adneksa

TD = 100/70 mmHg

N= 82x/menit

R = 20x/menit

Suhu = 36, 8 °C

TB =157 cm

BB= 58 kg

Bahaslah kasus diatas :

1. Apakah diagnosis dari pasien tersebut


2. Jelaskan patofisiologi dari kelainan tersebut tersebut

3. Buatlah perencanaan tatalaksana pasien tersebut

4. Buatlah perencanaan konseling bagi pasien tersebut

5. Buatlah perencanaan pengamatan lanjut pada pasien tersebut

Strategi dan Metoda Pembelajaran :

1. Sesi pembekalan (di kelas) : terdiri dari kuliah, diskusi kelompok dan simulasi kasus
dan praktek pada model selama 24 jam
2. Praktek dipoliklinik : selama 48 minggu
3. Media pembelajaran : sesi video
4. Alat bantu pembelajaran : model anatomi
5. Metode pembelajaran :
 Tujuan 1: Mampu menjelaskan dan memberikan konsultasi yang baik kepada pasien
mengenai proses perjalanan penyakit yang diakibatkan gangguan menstruasi.
Gunakan metoda curah pendapat, diskusi, bermain peran atau berbagai teknik
interaktif lainnya dalam menyampaikan alih pengetahuan dan upaya mencapai
kompetensi kognitif lainnya dalam menyampaikan alih pengetahuan dan upaya
mencapai kompetensi kognitif dalam berbagai aspek dalam menjelaskan dan
memberikan konsultasi yang baik kepada pasien mengenai proses perjalanan penyakit
yang diakibatkan gangguan neuroendokrin.

 Tujuan 2, 3, dan 4: Mampu memformulasikan suatu rencana penatalaksanaan


penyakit yang didasarkan pada temuan pemeriksaan klinis pada gangguan
menstruasi dan melakukan modifikasi yang diperlukan dalam menangani gangguan
menstruasi. Termasuk didalamnya berdiskusi dan mengembangkan kerjasama dengan
sejawat dari disiplin ilmu yang lain yang terkait.
Gunakan metoda ceramah ilustratif, curah pendapat dan diskusi, studi kasus dalam
menyampaikan alih pengetahuan dan upaya mencapai kompetensi kognitif dan
pengembangan keterampilan untuk mampu memformulasikan suatu rencana
penatalaksanaan penyakit yang didasarkan pada temuan pemeriksaan klinis gangguan
menstruasi dan melakukan modifikasi yang diperlukan dalam menangani gangguan
menstruasi. Pembelajaran untuk mencapai tahapan kompeten dilaksanakan pada
kondisi simulatif dan kasus yang sesungguhnya. Diperlukan serangkaian demonstrasi,
bimbingan dan praktik berulang-kali dari tahapan akuisi ke kompetensi untuk
mencapai tingkat keterampilan yang diinginkan.

Penguatan proses pembelajaran dan hasil yang akan diperoleh, juga dilakukan melalui
metoda:

 PBL
 Praktik pada model
 Praktik dan pengulangan praktik klinik pada klien
 Diskusi klinik: konferensi audit medik, konferensi klinik sub-bagian, penelitian dan
bimbingan khusus

PENILAIAN KOMPETENSI:

Untuk penilaian kompetensi, setiap peserta didik akan dievaluasi dengan menggunakan
instrumen dan kriteria seperti yang disebutkan pada tujuan pembelajaran:

Tujuan Pembelajaran Metode Penilaian


1. Mampu menjelaskan dan memberikan Ujian Lisan dan Tulis
konsultasi yang baik kepada pasien Pelayanan pasien di poliklinik
mengenai proses perjalanan penyakit yang
diakibatkan gangguan menstruasi.
2. Mampu memformulasikan suatu rencana Ujian Lisan dan Tulis
penatalaksanaan penyakit yang didasarkan Pelayanan pasien di poliklinik
pada temuan pemeriksaan klinis pada Penilaian selama diskusi & praktik klinik
gangguan menstruasi dan melakukan
modifikasi yang diperlukan dalam
menangani gangguan menstruasi.
3. Mampu berdiskusi dan mengembangkan Ujian Lisan dan Tulis
kerjasama dengan sejawat dari disiplin ilmu Pelayanan pasien di poliklinik
yang lain yang terkait dalam rangka
menyusun suatu rencana penatalaksanaan
gangguan menstruasi.
4. Mampu menjelaskan alternatif dan pilihan Ujian Lisan dan Tulis
terapi dalam penatalaksanaan gangguan Pelayanan pasien di poliklinik
menstruasi yang dimaksud kepada pasien Penilaian selama diskusi & praktik klinik
sekaligus menjelaskan komplikasi dan efek
samping dari terapi yang diberikan.

Materi Acuan :

Kelainan Menstruasi

Sejak dahulu kala, hubungan antara menstruasi dan fase-fase bulanan telah menginspirasi
munculnya sebutan-sebutan untuk menstruasi, seperti misalnya “period”. Keteraturan
menstruasi dengan mudah disadari oleh manusia purbakala walaupun mereka tidak
memahami penyebab ataupun tujuan dari menstruasi. Dokter-dokter pada zaman dahulu
memandang menstruasi sebagai suatu proses detoksifikasi. Namun, mitos dan cerita takhayul
yang berkembang sepanjang sejarah menganggap bahwa menstruasi adalah sesuatu yang
bersifat buruk.1

Profesional di bidang layanan kesehatan memiliki kewajiban untuk memberikan dan


menginisiasi pendidikan mengenai menstruasi dan persoalan-persoalan terkait menstruasi
yang harus dimulai dari mereka. Klinisi harus memiliki pemahaman yang mendalam
mengenai fisiologi reproduktif sebelum mereka dapat membagikan pengetahuan tersebut
kepada para pasien, dan juga harus sensitif terhadap kebutuhan akan penyajian informasi
yang bersifat positif, yang membantu meningkatkan pemahaman pasien akan kesehatan
seksual dan fungsi reproduksi. Pemahaman akan proses-proses reproduksi normal merupakan
cara yang paling ampuh untuk dapat melihat gejala-gejala dan kelainan menstruasi.

Beberapa kelainan menstruasi, seperti dismenore, dapat dijelaskan melalui kerangka


fisiologis yang dapat mendidik serta menyediakan dasar-dasar untuk terapi yang tepat.
Sayangnya, hal-hal lainnya seperti sindrom pramenstruasi masih belum banyak diketahui.
Bab ini mengkaji beberapa masalah medis yang saat ini berhubungan dengan menstruasi dan
patofisiologinya.

Sejarah mengenai Menstruasi dan Wanita yang Mengalami Menstruasi

Menurut catatan sejarah terdapat berbagai mitos mengenai menstruasi dan wanita
yang sedang mengalami menstruasi. Pada zaman purbakala, wanita yang sedang mengamali
menstruasi biasanya dianggap sedang dirasuki oleh roh-roh jahat. Aristotle (384-322 SM),
seorang filsuf dari Yunani, murid dari Plato, dan guru dari Alexander agung, mengatakan
bahwa wanita yang sedang mengalami menstruasi dapat menyuramkan cermin dengan
tampilannya sehingga orang lain yang memandang cermin tersebut dapat menjadi kerasukan.
Pliny, dilahirkan pada 23 M telah mengkaji kurang lebih 2000 buku yang ada ketika menulis
suatu kajian, yaitu Historia Naturalis, yang merupakan sumber yang digunakan selama masa-
masa kegelapan; lebih dari ratusan kopi, semuanya 37 volume, dan saat ini masih ada. Pliny
menulis secara luas mengenai menstruasi, termasuk hal berikut2:

Kontak dengannya mengakibatkan anggur baru menjadi asam, tanaman yang disentuh
olehnya menjadi tandus, hasil cangkok menjadi mati, benih-benih di taman mengering, buah-
buah dari pohon berjatuhan, ujung baja dan gading menjadi tumpul, sarang lebah menjadi
rusak, bahkan tembaga dan besi seketika menjadi berkarat, dan bau menjijikan memenuhi
udara; mencicipnya membuat anjing-anjing menjadi berang dan menginfeksi gigitan anjing
dengan racun yang tidak ada penawarnya. Jika seorang perempuan yang sedang menstruasi
telanjang dan berjalan di sekitar ladang gandum maka ulat, cacing, lebah, dan binatang kecil
lainnya akan berjatuhan dari tongkol jagung. Semua tanaman yang berada di dekat wanita
yang sedang menstruasi akan berubah menjadi kuning. Lebah-lebah akan meninggalkan
sarangnya karena sentuhan perempuan yang sedang menstruasi karena lebah tidak menyukai
pencuri dan perempuan yang sedang menstruasi, dan kilasan tatapan dari perempuan yang
sedang menstruasi cukup untuk membunuh kawanan lebah.

Sepanjang awal sejarah, ketakutan akan darah telah menelurkan banyak hal-hal tabu
yang bersifat kuno. Hampir di seluruh dunia, wanita yang sedang menstruasi diisolasi dan
dilarang untuk membuat makanan. Kebanyakan orang primitif menganggap bahwa wanita
yang sedang menstruasi sedang dalam kondisi kotor dan memisahkan mereka dari antara
kumpulan dan memberikan ritual-ritual khusus. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan
bahwa meskipun telah terjadi kemajuan zaman namun pandangan negatif terhadap menstruasi
masih tetap ada di era modern ini.

Pada abad 19 dan awal abad 20 di Eropa, menstruasi biasanya berhubungan dengan
perilaku antisosial.3 Pada 1845, seorang pelayan rumah yang membunuh salah seorang anak
dari majikannya dibebaskan dari hukuman atas dasar gangguan kejiwaan yang dikarenakan
menstuasi yang terganggu. Pada 1851, seorang wanita dibebaskan dari hukuman karena
pembunuhan bayi keponakannya. Wanita tersebut dianggap mengalami gangguan jiwa yang
disebabkan oleh gangguan menstruasi. Pada 1984, Dalton menduga bahwa fase pramenstruasi
berhubungan dengan peningkatan insiden kriminalitas, pemenjaraan karena alkoholisme,
penurunan prestasi akademik, penyakit di industi, angka kejadian opname karena
kecelakaan.4 Akan tetapi, beberapa penelitian menemukan bahwa tidak ada variasi yang
signifikan pada fungsi kognisi atau motorik selama siklus menstruasi,5-8 sehingga diduga
bahwa perilaku semata-mata hanya mencerminkan harapan masyarakat. Sayangnya, bahkan
sampai hari ini harapan dan perilaku terhadap menstruasi sangat dipengaruhi oleh tradisi lama
dan kepercayaan yang terdapat dalam budaya masyarakat.

Sindrom Pramenstruasi dan Kelainan Disforik Pramenstruasi

Definisi paling sederhana dari sindrom pramenstruasi/ premenstrual syndrome


(PMS) adalah: gejala-gejala fisik dan perilaku siklis yang muncul pada hari-hari menjelang
menstruasi dan dianggap mengganggu aktivitas kerja atau kebiasaan, disertai dengan suatu
gejala yang bebas interval. Kelainan disforik pramenstruasi/ Pramenstrual dysphoric
disorder (PMDD) merupakan salah satu bentuk PMS yang menurut beberapa orang
dianggap sebagai suatu entitas klinis yang berbeda, ditandai dengan gejala lekas
marah/iritabilitas yang nyata, kemarahan, ketegangan internal, disforia, dan suasana
hati/mood yang labil.9

Menurut sejarah, frase “sindrom pramenstruasi” digunakan pertama kali oleh Greene
dan Dalton dalam laporan mereka dari 84 kasus pada 1953.10 Akan tetapi, yang mendapat
penghargaan sebagai orang yang pertama kali menjelaskan mengenai PMS ini adalah R.T.
Frank, seorang kepala obstetri dan ginekologi di Rumah Sakit Mt. Sinai di kota New York
pada 1931.

Kelompok wanita yang saya maksud adalah kelompok wanita yang mengeluhkan
adanya perasaan tegang yang tidak dapat dijelaskan dari 10 sampai 7 hari menjelang
menstruasi yang terus berlangsung sampai munculnya aliran darah menstruasi. Pasien
mengeluhkan adanya kegelisahan, lekas marah yang terjadi secara tiba-tiba,memiliki
keinginan memenuhi hasrat melalui tindakan bodoh dan tindakan-tindakan seperti orang
sakit. Derita kepribadian yang mereka alami terasa semakin hebat dan dimanifestasikan oleh
mereka melalui berbagai tindakan yang sembrono dan terkadang tercela. Mereka tidak hanya
menyadari penderitaan mereka, tapi mereka juga merasakan perasaan bersalah terhadap
suami dan keluarganya, mereka mengetahui dengan baik bahwa perilaku dan reaksi mereka
tidak dapat ditahan. Dalam jangka waktu 1 atau 2 jam setelah terjadinya aliran menstruasi
maka ketegangan fisik dan mental mereka mulai berkurang.

Rangkaian gejala-gejala fisik dan perilaku yang berbeda dan tidak biasa telah
dihubungkan dengan PMS. Gejala-gejala fisik yang paling umum ditemui adalah rasa
kembung, kelelahan yang ekstrim, ketegangan payudara, dan sakit kepala. Semua gejala-
gejala itu terjadi hampir pada 50-90% kasus. Gejala perilaku yang paling sering muncul pada
PMS adalah ketidakstabilan suasana hati, lekas marah, depresi, peningkatan nafsu makan,
pelupa, dan sulit berkonsentrasi. Gejala-gejala tersebut terjadi pada hampir 50-80% kasus.
Gejala-gejala lain yang jarang ditemukan antara lain adalah kecemasan atau ketegangan,
mudah menangis, haus, jerawat, sakit perut, hot flush, jantung berdebar-debar, pusing dan
edema pada kaki dan tangan bagian bawah. Gejala-gejala PMS biasanya muncul selama 7-
10 hari terakhir siklus.12

Sindrom pramenstruasi sangat umum terjadi, dilaporkan dialami oleh 75% wanita
dengan siklus menstruasi teratur. Akan tetapi, karena sebelumnya wanita secara alami
menghubungkan gejala-gejala dan perilaku terhadap menstruasi sehingga perkiraan frekuensi
gejala dan perilaku PMS bersifat subjektif dan menjadi bias.13 Selain itu, baik laki-laki dan
peremuan telah dikondisikan untuk memperkirakan gejala-gejala selama fase pramenstruasi,
seperti retensi air, nyeri, dan ketidakstabilan emosi, dan tidaklah mengejutkan bahwa mereka
14
melaporkan adanya gejala-gejala semacam itu. Kekuatan dari respon yang terkondisi
diilustrasikan dalam suatu penelitian klasik yang dilakukan Ruble dengan melakukan
manipulasi fase siklus menstruasi terhadap 44 orang mahasiwa di Universitas Princeton.15
Pada penelitian ini dilakukan suatu electroencephalogram, dilengkapi dengan elektroda yang
dipasang di kepala. Elektroencephalogram adalah suatu teknik baru yang dapat
memperkirakan permulaan menstruasi. Subjek diinformasikan bahwa mereka sedang berada
pada fase pramenstruasi (diharapkan menstruasi terjadi dalam 1-2 hari) atau intermenstrual
(menstruasi diharapkan terhadi dalam 7-10 hari), dan hanya mereka yang meyakini bahwa
mereka sedang berada pada fase pramenstruasi yang dilaporkan mengalami peningkatan
gejala nyeri, retensi air, dan perubahan kebiasaan makan. Subjek cenderung tunduk pada apa
yang pada apa yang diyakininya, yaitu hipotesis si peneliti, dan pada penelitian-penelitian
tentang PMS, tidak ditemukan perbedaan gejala ketika tujuan penelitian disembunyikan atau
harapan dimanipulasi.16-18 Penelitian dengan rancangan prospektif menunjukkan bahwa
beberapa orang perempuan tidak menunjukkan gejala pramenstruasi atau perubahan kognitif
meskipun mereka meyakininya,13 meskipun beberapa diantaranya didiagnosa dengan
PMDD.5, 19, 20 PMS yang secara klinis signifikan terjadi pada 20-30% perempuan dan PMDD
mempengaruhi 2-8% perempuan ketika kriteria PMS ditetapkan secara tegas berdasarkan
catatan harian mengenai bakal gejala-gejala PMS.9,21-24

Kriteria Diagnostik

Diagnosis PMS dan PMDD bergantung pada ada tidaknya gejala-gejala tertentu, waktu
munculnya gejala, tingkat keseriusan, dan krtieria eksklusi diagnosa lainnya. Diagnosis
keduanya memerlukan catatan harian yang mendokumentasikan gejala-gejala siklis yang
spesifik terkait dengan fase luteal dan fase menstruasi dan bukti disfungsi sosiekonomi.25
Kumpulan gejala-gejala yang spesifik pada individu tertentu kurang begitu penting daripada
karakteristik kompleks gejala siklik dan hubungannya yang sementara dengan menstruasi.
Ketika gejala-gejala tersebut diekstrapolasi ke dalam grafik secara akurat, sebanyak 40%
perempuan yang menunjukkan gejala yang diduga PMS ternyata tidak menunjukkan pola
siklik berbeda yang diperlukan untuk diagnosis dan sebenarnya mengalami gangguan
suasana hati atau gangguan kecemasan.26
Kriteria yang paling umum digunakan untuk mendiagnosis PMS yaitu kriteria yang diajukan
oleh peneliti di Universitas California di San Diego.12, 27 Kriteria diagnostik didasarkan pada
catatan harian gejala-gejala dari perempuan yang memiliki gangguan kondisi medis dan
gangguan kejiwaan dieksklusi secara seksama, dan analisis fase siklu ditentukan dengan
pemeriksaan metabolit steroid urin harian.27 Suatu instrumen untuk mensurvei gejala yang
dikenal sebagai kalender pengalaman pramenstruasi/ Calendar of premenstrual experiences
(COPE) telah dirancang, meliputi 10 ciri-ciri fisik yang paling umum dilaporkan dan 12 ciri-
ciri perilaku yang paling umum dilaporkan, masing-masing tingkat keseriusan diberi nilai
berdasarkan skala Likert 4-poin.12

Kalender Pengalaman Pramenstruasi12, 28

Nama Bulan/Tahun Umur

Mulai kalender anda pada hari pertama siklus menstruasi. Masukkan tanggal di bawah hari
siklus. Hari pertama merupakan hari pertama keluarnya darah. Arsirlah kotak di atas hari
siklus jika Anda mengalami pendarahan.  Tuliskan tanda X bila muncul bercak x.

Jika terdapat lebih dari 1 gejala pada daftar kategori (misal: mual, diare, sembelit), maka
Anda tidak perlu menuliskan semuanya. Nilailah gejala yang paling mengganggu pada skala
0-3.

Berat: Timbanglah berat badan anda sebelum sarapan. Catatan berat badan anda pada kota
tanggal. Gejala: Indikasikan tingkat keseriusan gejala anda menggunakan skala 1-3. Nilailah
masing-masing gejala pada waktu yang sama setiap sore.

0= Tidak ada ( tidak ada gejala) 2= Sedang (Mengganggu aktivitas normal)

1= Ringan (Terlihat tapi tidak 3= Berat (Tidak dapat ditoleransi, tidak


menjadi masalah dapat melakukan aktivitas)

Gejala lain: Jika terdapat gejala-gejala lain yang dialami, catat dan indikasikan tingkat
keseriusannya.

Pengobatan: Catat adanya pengobatan yang dijalani dan tandai dengan X pada hari tersebut.
Instrumen survei COPE memberikan skor yang dapat dihitung ulang dan terpercaya,
berkorelasi baik dengan skor yang berasal dari pengaturan the Profil of mood states29 dan
Beck Depression Inventory.30 Sejumlah skala-skala lainnya dapat digunakan untuk
mendiagnosis PMS, termasuk The Moos Menstrual Distress Questionnaire (MDQ),31 The
Premenstrual Assessment Form (PAF),32, 33 dan The Prospective Record of The Severity of
Menstruation (PRISM).34 Sistem survei COPE masih menjadi yang paling popular, terutama
karena analisis data yang berasal dari penggunaan sistem tersebut menunjukkan bahwa
hampir semua wanita yang mengalami PMS dapat diidentifikasi menggunakan daftar 6 gejala
perilaku dan empat gejala fisik, yang menghasilkan suatu set kriteria diagnostik yang dapat
diaplikasikan dengan mudah ketika dilakukan wawancara dengan pasien, antara lain sebagai
berikut:

1. Laporan pribadi dari 1 atau lebih gejala afektif dan 1 atau lebih gejala somatik selama
5 hari menjelang menstruasi pada setiap 3 siklus menstruasi:
2. Gejala berkurang dalam waktu 4 hari setelah dimulainya menstruasi, tidak berulang
sebelum hari siklus ke-12.
3. Tidak sedang dalam pengobatan, terapi hormon, penggunaan obat-obatan atau
alkohol.
4. Disfungsi sosioekonomi, seperti diindikasikan oleh salah satu berikut ini:
Perselisihan di antara pasangan, dipastikan oleh pasangan

Kesulitan menjadi orang tua

Penurunan prestasi kerja atau kehadiran di kantor atau sekolah

Penarikan diri dari lingkungan sosial meningkat/ isolasi diri

Masalah hukum

Berkeinginan untuk bunuh diri

Mencari layanan pengobatan untuk gejala-gejala somatik

Berdasarkan panduan dari National Institute of Mental Health (NIMH),35 diagnosis PMS
memerlukan sedikitnya 30% peningkatan keseriusan gejala selama lebih dari 5 hari sebelum
menstruasi, daripada 5 hari setelah menstruasi dimulai. Berdasarkan kriteria diperkirakan
bahwa hampir 5% perempuan pada usia reproduktif dapat didiagnosis PMS yang sifatnya
mengganggu.36-38

Kriteria yang paling umum digunakan untuk mendiagnosis PMDD adalah kriteria yang
diajukan oleh American Psychiatric Association, seperti terdapat dalam Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder terkini (DSM-IV):39
A. Gejala- terjadi secara teratur selama minggu terakhir fase luteal pada kebanyakan siklus
menstruasi selama tahun sebelumnya, berkurang dalam beberapa hari setelah dimulainya
menstruasi, dan biasanya hilang dalam minggu stelah menstruasi.
B. Lima atau lebih gejala-gejala berikut ini harus ada, setidaknya satu dari 4 kriteria pertama.
1. Merasa sedih, kehilangan harapan, atau mengutuki diri sendiri
2. Merasa tegang, gelisah, atau “gampang marah”
3. Ketidakstabilan suasana hati yang nyata, diselingi dengan sering menangis.
4. Perasaan mudah marah yang persisten dan peningkatan konflik interpersonal
5. Penurunan ketertarikan terhadap aktivitas yang biasa dilakukan yang mungkin disertai
dengan penarikan diri dari hubungan sosial.
6. Sulit berkonsentrasi
7. Merasa kelelahan, lesu, atau kekurangan energi
8. Perubahan nafsu makan yang berhubungan dengan makan banyak atau keinginan
yang sangat untuk mengkonsumsi beberapa makanan tertentu
9. Hiperinsomina atau insomnia
10. Perasaan subjektif yang meluap-luap atau di luar kendali
11. Gejala fisik lainnya seperti ketegangan atau pembengkakan payudara, sakit kepala,
sensasi kembung atau penambahan berat badan yang ditandai dengan pakaian,
sepatum atau cincin yang menjadi terasa sempit, atau nyeri otot atau sendi.
C. Gejala-gejala memiliki tingkat keseriusan atau keparahan yang sebanding dengan
gejala–gejala gangguan mental, seperti depresi berkepanjangan atau gangguan
kegelisahan.
D. Gejala mungkin dapat muncul ketika ada gangguan lainnya tetapi bukan merupakan
gejala yang ditimbulkan karena gangguan lainnya yang memburuk.

Perlu diingat bahwa diagnosis PMS memerlukan adanya gejala afektif dan gejala somatik
sedangankan diagnosis PMDD memerlukan gejala somatik. Perbedaan lain dari kedua
gangguan ini adalah bahwa PMDD mungkin menutupi gangguan kejiwaan lainnya sedangkan
diagnosis PMS hanya dapat dibuat ketika tidak ada gangguan kejiwaan.

Diagnosis PMS dan PMDD harus dibedakan dari gangguan kejiwaan lainnya yang umum
ditemui pada wanita dan memiliki gejala yang serupa.26,40-41 Kondisi medis seperti
hipertiroidisme juga sebaiknya diekslusi. Terdapat suatu penelitian yang melibatkan suatu
kelompok wanita yang di suatu klinik menemukan bahwa 13% perempuan mengalami
gangguan kejiwaan afektif yang berbeda, 38% mengalami gejala pramenstruasi yang
memburuk yang menyebabkan depresi dan kegelisahan, dan hanya 44% yang sesuai dengan
kriteria diagnostik yang ketat untuk PMS.42 Perempuan yang mengalami PMS seringkali
memiliki riwayat depresi sebelumnya dan juga memiliki risiki tinggi mengalami depresi di
masa yang akan datang.43, 44
Perempuan yang tidak menunjukkan gejala–gejala bebas
interval selama fase folikular layak mendapatkan pemeriksaan secara teliti akan
gangguan suasana hati dan kegelisahan.

Sakit kepala migrain, gejala-gejala sindrom kelelahan kronis serta sindrom usus yang mudah
teriritasi seringkali semakin jelas selama fase pramenstruasi. Akan tetapi, wanita yang
memiliki gejala-gejala tersebut, gejala juga terjadi pada waktu lain di dalam siklus.45

Patofisiologi

Bukti ilmiah mengenai mekanisme yang terlibat dalam PMS dan PMDD sulit sekali
diperoleh, akan tetapi teori mengenai hal itu tidaklah kurang, antara lain mencakup:

Kadar progesteron yang rendah

Kadar estrogen yang tinggi

Penurunan kadar estrogen

Perubahan rasio estrogen/progesteron

Peningkatan aktivitas aldosteron

Peningkatan aktivitas renin-angiotensin

Peningkatan aktivitas adrenal

Penarikan opiate endogen

Hipoglikemia subklinis

Perubahan katekolamin sentral

Tingkat respon terhadap prostaglandin

Kekurangan vitamin
Kelebihan sekresi prolaktin.

Dalam penjelasannya mengenai PMS, R. T. Frank merangkum dari 15 kasus, dalam teorinya
dikatakan bahwa masalah-masalah muncul dari kelebihan hormon seks perempuan karena
eksresi yang tidak mencukupi, dan dilaporkan bahwa dia dapat membuktikan bahwa gejala
PMS dapat menjadi lebih ringan dengan cara menarik atau mengeluarkan darah dari
pasiennya. Sesuai dengan teori tersebut, dia menerapkan terapi-terapi yang dirancang untuk
meningkatkan ekskresi seperti kalsium laktat, kafein, dan laksatif. Untuk kasus-kasus yang
parah, dia melakukan radiasi pelvik untuk menyebabkan kegagalan ovarium. Pada 1934, S.
Leon Israel menyatakan teori yang menentang teori R.T. Frank  yaitu bahwa PMS
disebabkan oleh terjadinya gangguan luteinisasi, defisiensi progesteron, dan
hiperestrogenisme relatif.46

Peran hormon steroid ovarium pada PMS diduga kuat karena respon berkepanjangan
terhadap ooforektomi pada perempuan yang tidak merespon terapi medis.47, 48
dan karena
penurunan gejala secara dramatis setelah dilakukan supresi poros hipotalamus-hipofisis oleh
terapi dengan long acting gonadotropin releasing hormone (GnRH).49-52 Akan tetapi,
penelitian-penelitian yang membandingkan antara kadar estrogen dan progesteron serum
gagal mengidentifikasi adanya perubahan yang konsisten di antara perempuan yang
mengalami PMS/PMDD dan yang tidak mengalami PMS/PMDD.53-55 Selain itu, menstruasi
yang terjadi secara dini yang diinduksi dengan terapi menggunakan antagonis progesteron
selama fase luteal tidak menurunkan atau mengubah gejala PMS, bahkan ketika kadar
progesteron dipertahankan dengan cara memberikan terapi hCG.56, 57 Pada perempuan yang
diberi terapi agonist GnRH, gejala kembali terjadi ketika estrogen eksogen atau progesteron
eksogen ditambahkan pada rejimen terapi, namun tidak pada mereka yang menerima terapi
penambahan plasebo, dan tidak pada perempuan normal yang menerima terapi yang sama.58
Penelitian lain yang melibatkan populasi perempuan yang telah terdefinisi dengan baik juga
telah gagal memperlihatkan adanya perbedaan kadar testosteron, follicle stimulating hormone
(FSH), luteinizing hormone (LH), prolaktin, sex hormone-binding globulin, dan aldosteron di
antara perempuan yang mengalami gejala PMS dan tidak mengalami PMS pada salah satu
waktu di siklus menstruasi.59
Bila digabungkan maka pengamatan tersebut mengarah pada dugaan bahwa gejala-gejala
PMS tidak secara langsung disebabkan oleh peristiwa-peristiwa endokrin selama fase
luteal, tetapi mencerminkan respon tidak normal terhadap perubahan siklus normal pada
kadar hormon steroid ovarium.

Siklus menstruasi berhubungan dengan perubahan opioid yang signifikan,60 gamma


aminobutyric acid (GABA),63 dan sistem serotonin neurotransmitter,62 sehingga
memungkinkan dugaan mekanisme patofisiologis PMS. Kadar β-endorphin serum pada
wanita penderita PMS telah diselidiki dan dibandingkan dengan wanita normal.63-63 Aksi
anxiolitik dari beberapa metabolit progesteron yang beraksi sebagai ligan untuk reseptor
GABA-A61 dan efektivitas aprazolam (short-acting benzodiazepine) dalam meringankan
gejala PMS66 mengarah pada dugaan bahwa aksi tersebut mengganggu sistem GABA-ergik.
Akan tetapi, penelitian-penelitian yang membandingkan kadar metabolit-metabolit
progesteron anxiolitik di antara perempuan dengan atau tanpa gejala PMS menemukan tidak
adanya perbedaan yang konsisten.55, 67 Beberapa bukti menunjukkan bahwa gejala perubahan
suasana hati pada PMS mungkin berhubungan dengan penurunan serotonin. Konsentrasi
serotonin darah secara keseluruhan, penggunaan serotonin platelet, dan pengikatan
imipramine (suatu penanda aktivitas pengikatan CNS dan aktivitas serotogenik) selama fase
luteal ternyata lebih rendah pada perempuan yang mengalami gejala PMS daripada
perempuan yang tidak mengalami gejala PMS.68-72 Gejala-gejala PMS diperburuk oleh
adanya penurunan triptofan dalam makanan secara akut yang menekan sintesis serotonin
otak,73 dan diringankan dengan pemberian fenfluramin, suatu agonis serotonin,74 atau
fluoxetin, yaitu suatu serotonin reuptake inhibitor (SRI). Selain itu, gejala perubahan suasana
hati pada perempuan yang mengalami PMDD dan menerima terapi fluoxetine segera kembali
terjadi setelah pemberian terapi dengan metergoline, yaitu suatu antagonis serotonin.75
Dengan demikian, berdasarkan bukti terkini maka dengan kuat diduga bahwa PMS dan
PMDD diakibatkan dari efek perubahan siklis yang tidak normal atau berlebihan pada
hormon steroid ovarium pada mekanisme neurotransmitter sentral dan bahwa serotonin,
secara khusus, berperan penting dalam patofisiologis kedua gejala tersebut.

Secara umum, wanita dengan PMS memiliki fungsi tiroid yang normal.76 Sebanyak kurang
lebih 10% perempuan dengan PMS diketahui mengalami fungsi tiroid yang tidak normal,
namun prevalensinya tidak berbeda signifikan dari prevalensi hipotiroidisme subklinis pada
populasi umum. Secara keseluruhan, respon thyroid-stimulating hormone (TSH) terhadap
thyroid-releasing hormone (TRH) masih normal. Meskipun lebih sering ditemukan respon
yang tidak normal (berlebihan atau tidak ada sama sekali) pada perempuan dengan PMS, 77
namun respon abnormal yang sering terjadi selama fase folikular terjadi seperti pada fase
luteal. Selain itu, efek pemberian thyroxine tidak berbeda dengan efek pemberian plasebo,
bahkan pada pasien-pasien dengan respon abnormal terhadap TRH.

Beberapa penelitian menemukan bukti kuat dugaan bahwa faktor-faktor genetik dapat
mempengaruhi PMS dan PMDD. Suatu penelitian kembar yang berskala besar menemukan
bahwa PMS memiliki peluang besar untuk diturunkan dimana faktor-faktor lingkungan juga
berperan.78 Korelasi di antara gejala-gejala menstruasi pada ibu dan anak perempuan serta di
antara saudara-saudara perempuan mengarah pada dugaan adanya pengaruh genetik, namun
bisa juga mencermikan respon yang telah dipelajari atau terkondisi.79,80 Meskipun telah
banyak dugaan yang menganggap bahwa perbedaan kepribadian, tingkat stress, atau
mekanisme peniruan mungkin berperan penting pada PMS namun belum ada data yang
mendukung hiptesis tersebut.81-83

Beberapa bukti mengarah pada dugaan bahwa perempuan yang mengalami PMS cenderung
mengkonsumsi alkohol lebih banyak dan bahwa perempuan yang memiliki riwayat keluarga
alkoholisme menunjukkan gejala kegelisahan pramenstruasi serta gejala pramenstruasi
lainnya yang cenderung lebih tinggi, namun hubungan di antara alkoholisme dan PMS belum
ditetapkan.84-85 Usaha untuk mengidentifikasi defisiensi vitamin pada perempuan dengan
PMS telah gagal dilakukan. Penelitian-penelitian yang membandingkan kadar vitamin A dan
vitamin E pada perempuan dengan atau tanpa PMS menemukan tidak adanya perbedaan yang
signifikan.86, 87
Terapi dengan vitamin B6 menunjukkan bahwa secara umum kurang
mengesankan dan tidak konsisten.88,89 Sejumlah penelitian menemukan bahwa konsentasi
magnesium intraselular lebih rendah pada perempuan dengan PMS daripada kelompok
perempuan kontrol yang merupakan perempuan tanpa gejala PMS, namun signifikansinya
masih belum jelas.90-93
Terapi

Kunci untuk mengefektifkan terapi OMS dan PMDD adalah dengan memberikan
diagnosis yang akurat, yang ditentukan terutam oleh pengumpulan bukti-bukti objektif
bahwa gejala-gejala yang dialami pasien benar-benar terjadi secara siklik, seperti
didokumentasikan dengan instrumen survei COPE atau alat skrining berbasis-kalender
lainnya selama tiga interval siklus menstruasi.

Sejumlah pengobatan terbukti bermanfaat bagi perempuan dengan PMS atau PMDD yang
meliputi SRIs,94, 95
alprazolan (suatu benzodiazepine),66, 96, 97
dan agonis GnRH,51, 98

Berdasarkan kumpulan bukti maka diindikasikan bahwa beberapa kontrasepsi oral,96-101


olahraga,102-103 teknik-teknik relaksasi, 104, 105
dan spironolactone106-109 juga bermanfaat.
Rejimen-rejimen terapi terdahulu yang meliputi pemberian progesteron atau progestin,110-114
antidepresan trisiklik, monoamine oxidase inhibitor, litium, minyak mawar sore,115 asam
amino bebas esensial,116 pembatasan pola makan, suplemen vitamin, dan ginkgo biloba
biasanya tidak efektif.

Respon Plasebo

Kata asing plasebo berasal dari kata kerja bahasa latin yang berarti “ Saya akan senang”.
Dokter dan pasien telah dikondisikan untuk mematuhi resep. Banyak pasien merasa bahwa
keluhan mereka tidak ditanggapi secara serius kecuali jika diberikan resep pengobatan. Akan
tetapi, plasebo lebih sekedar pil; plasebo merupakan suatu proses.117

Proses dimulai dengan kepercayaan pada dokter dan selanjutnya pada sistem pemulihan yang
dimiliki pasien. Interaksi dengan dokter memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai
gejala-gejala yang dialami pasien,menghilangkan ketakutan-ketajutan, dan memberikan
harapan terjadi perbaikan. Banyak terapi PMS yang memberikan pengendalian diri yang lebih
besar pada wanita, bahkan pada ukuran yang sederhana seperti perubahan pola makan dan
gaya hidup yang dapat memberikan manfaat. Observasi peristiwa-peristiwa yang terjadi
dalam kehidupan secara seksama dapat meningkatkan pengendalian diri seseorang yang
secara intrinsik bersifat teurapetik.
Leon Eisenberg menulis beberapa pemikirannya yang penuh pengetahuan yang berhubungan
dengan respon plasebo, yang berperan penting dalam teurapeutik PMS dan PMDD.118

Frase “respon plasebo” mendiskreditkan aspek-aspek sosial terapeutik dan mungkin sudah
waktunya untuk menghilangkan istilah tersebut dari kamus bahasa kita. Mari kita mengganti
istilah tersebut dengan beberapa istilah seperti “respon untuk memperhatikan”, “respon
terhadap dokter”, atau “ respon pemulihan untuk menegaskan bahwa istilah tersebut (a)
penuh kekuatan, (b) tidak kurang “nyata” dibandingkan aksi obat-obatan, dan (c) tertulis
dalam setiap catatan therapeutik…mekanismenya merupakan beberapa senyawa dari
timbulnya harapan, kenyamanan akan ketentraman hati, berperan aktif daripada pasif dalam
mengelola penyakit yang pernah diderita, dan menginterpretasikan kembali arti dari
penyakit…terdapat pemikiran yang dipertahankan bahwa “plasebo” telah menjadi sebutan
yang secara tidak langsung mengindikasikan charlatanisme daripa suatu pendekripsi
karakteristik praktis medis yang fundamental…Kita harus secara seimbang mencari
pemahaman mengenai respon penyembuhan daripada meremehkannya seperti yang dilakukan
oleh ilmuwan, atau ditipu olehnya, seperti yang sering dialami para praktisi.

Serotonin Reuptake Inhibitor

Terdapat bukti yang cukup mengenai efektivitas SRI pada terapi PMS dan PMDD.94, 95, 139
Fluoxetine, dengan dosis harian sebesar 20 mg diketahui efektif untuk meringkankan gejala
somatik dan gejala perubahan suasana hati, dan biasanya dapat ditoleransi dengan baik.120-125
SRI lainnya juga dianggap cukup efektif, yaitu mencakup setraline (50-150 mg per hari),124,
125
paroxetine (20-30 mg per hari),126 dan citolopram (20-30 mg perhari).127 Venlafaxine (50-
200 mg perhari), yang menghambat penggunaan serotonin dan norepinephrine juga dianggap
efektif,128 begitu pula dengan antidepresan lainnya yang menghambat penggunaan serotonin
atau melawan aksi serotonin seperti clomipramine129, 130 dan nefazodone.131

Meskipun SRI dan obat-obatan lainnya diberikan secara kontinu setiap hari, rejimen terapi
secara putus sambung yang terbatas sampai pada fase luteal, atau diberikan pada awal
terjadinya gejala, dapat sama efektifnya atau lebih efektif disamping memiliki harga yang
lebih rendah dan efek samping yang lebih sedikit.127, 130, 132, 133
Pada beberapa percobaan
klinis, terapi selama 3 hari dianggap efektif.134, 135
Akan tetapi, beberapa perempuan
memerlukan dosis yang lebih tinggi atau terapi secara kontinu untuk memperoleh
manfaaat.136-138

Alprazolam

Alprazolam, suatu benzodiazepine, merupakan obata-obatan lainnya yang mungkin


bermanfaat untuk terapi PMS dan PMDD.66, 96, 97 meskipun efektivitasnya mungkin terbatas
pada penurunan gejala-gejala depresi. Karena obat ini memiliki potensi aditif, maka obat ini
biasanya dipandang sebagai agen pilihan ke-2 dan paling baik digunakan secara putus
sambung.

Agonis Gonadotropin-Releasing Hormone

Kegunaan klinis agonis GnRH pada terapi PMS/PMDD pertama kali ditunjukkan pada
1984.139 Meskipun saat ini telah menjadi terapi yang sering digunakan,52, 98
namun agonis
GnRH biasanya lebih efektif untuk meringankan gejala-gejala iritabilitas/lekas marah atau
gejala-gejala fisik daripada untuk mengatasi gejala depresi atau disforia.51, 40 Terapi agonis
GnRH berhubungan dengan gejala hipoestrogenisme (misal: hot flush), yang dapat menjadi
berat, dan penggunaannya dalam jangka panjang mengundang akibat-akibat jangka panjang
(penurunan mineral tulang) 141 Akan tetapi, keterbatasan tersebut dapat dilawan melalui terapi
“add-back”yang simultan dengan memberikan estrogen atau estrogen dan progestin dalam
dosis yang lebih rendah yang tidak menurunkan keseluruhan efektivitas terapi agonis
GnRH.49, 142-144
Kontrasepsi Oral

Kontrasepsi oral merupakan salah satu metode yang paling tua dan paling sederhana untuk
terapi PMS/PMDD yang didasarkan pada ide penggantian lingkungan hormonal secara
konstan untuk pola siklus menstruasi normal yang bersifat siklis dan dinamis. Hasil yang
diperoleh dengan pendekatan ini masih simpang siur. Penelitian klinis awal menemukan
bahwa kontrasepsi oral membantu menurunkan nyeri payudara dan gejala kembung namun
tidak memiliki manfaat dalam menurunkan gejala-gejala perubahan suasana hati.145
Penelitian terkini yang melibatkan penggunaan kontrasepsi oral yang mengandung progestin
drospirenome menemukan bahwa terapi dapat memberikan sedikit peningkatan kisaran gejala
yang luas , yang meliputi gejala perilaku dan suasana hati, terutama ketika interval 7 hari
bebas pil dipersingkat menjadi 4 hari.99, 100, 146, 147
Terdapat alasan untuk meyakini bahwa
pemberian kontrasepsi oral dalam tingkat rejimen yang sama akan menghasilkan hasil yang
sama. Kontrasepsi oral juga bisa digunakan secara kontinu untuk mencapai kondisi hormonal
yang stabil dan mengeliminasi siklus dan menstruasi.

Olah raga dan Teknik Relaksasi

Terdapat beberapa bukti yang mengindikasikan bahwa latihan aerobic,102, 103 relaksasi,104 dan
refleksologi105 dapat membantu mengurangi gejala PMS, namun data mengarah pada dugaan
bahwa efektivitasnya tidak kuat dan mungkin hanya cerminan dari respon terhadap plasebo.

Spironolakton

Spironolakton meruapakan suatu diuretik yang rendah kalium, yang memiliki kesamaan
struktur dengan hormon-hormon steroid dan telah digunakan secara luas untuk terapi PMS.
Pada percobaan klinis, spironolakton telah terbukti lebih efektif dibandingkan plasebo dalam
menurunkan gejala mudah marah, depresi, kembung, ketegangan payudara, dan hasrat tinggi
terhadap makanan.107-109 Pada suatu percobaan acak dengan plasebo terkendali diketahui
bahwa terdapat perbedaan signifikan kadar androgen serum dari fase folikular sampai fase
luteal pada perempuan yang merespon terhadap terapi spironolakton.106
Progesteron

Dahulu, terapi progesteron melalui injeksi atau supositori digunakan secara umum untuk
pengelolaan PMS yang secara aktif diawali oleh Dalton.4 Penelitian awal yang gagal
mendeteksi adanya manfaat penggunaan progesteron dikritik karena ukuran populasi
penelitian dan dosis progesteron yang digunakannya.148-151 Terdapat suatu penelitian yang
bertujuan melawan respon terhadap plasebo dengan mengeliminasi adanya kontrak dengan
peneliti atau petugas layanan kesehatan selama percobaan menunjukkan hawa progesteron
dan plasebo gagal mencapai keuntungan yang dapat diukur.152 Hasil percobaan dengan
plasebo terkendali menemukan bahwa efek progesteron (400 mg, 800 mg, 1.200 mg per hari)
tidak berbeda dari efek penggunaan plasebo.110, 153 Suatu meta-analisis yang melibatkan 10
percobaan mengenai terapi progesteron dengan menyertakan 531 perempuan serta 4
percobaan mengenai terapi progestin yang menyertakan 378 perempuan menemukan bahwa
keduanya tidak efektif untuk pengelolaan gejala PMS.111 Kajian sistematik Cochrane terkini
merangkum semua data yang ada dan mengindikasikan bahwa progesteron bukan merupakan
terapi untuk PMS yang efektif.154

Pilihan Terapi

Bila gejala masih ringan dan bukti disfungsi sosioekonomi yang signifikan kurang maka
pasien dapat disarankan untuk melakukan aerobik. Jika gejala kembung dan retensi air
semakin dirasakan, maka percobaan pemberian spironoklaton dapat dibenarkan. Perempuan
yang memerlukan penggunaan kontrasepsi merupakan calon yang dianggap masuk akal untuk
dilakukan pemberian terapi kontrasepsi oral, dengan interval bebas pil yang lebih pendek
daripada biasanya, dengan rejimen kontinu harian.

Perempuan yang sesuai dengan kriteria yang ketat untuk PMS atau PMDD , yang
mencakup disfungsi sosioekonomi, merupakan kandidat yang dapat diberi terapi dengan
SRI (fluoxetine, setraline, paroxetine, venlafaxine), diberikan secara harian atau hanya
selama fase lutal.

Efek samping yang paling umum dari SRI adalah mual, dan sakit kepala. Bila efek samping
terbukti membatasi aktivitas, maka dapat dilakukan percobaan pemberian obat-obat alternatif
yang dosisnya lebih rendah. Disfungsi seksual yang meliputi anorgasme dan penurunan
ketertarikan seksual, mungkin merupakan salah satu efek merugikan yang paling
signifikan dari terapi SRI, dan pasien sebaiknya diinformasikan mengenai kemungkinan
efek samping tersebut sebelum memulai terapi. Sayangnya, dosis yang lebih rendah
seringkali tidak dapat mengeliminasi efek samping tersebut. Sebanyak kurang lebih 30-40%
perempuan tidak merespon terhadap terapi pemberian SRI selama lebih dari beberal siklus;
perubahan pemberian terapi bersifat masuk akal dan seringkali efektif. Mereka yang gagal
merespon terhadap terapi intermiten selama fase luteal atau terhadap terapi harian mungkin
menjadi lebih baik dengan pemberian rejimen terapi alternatif. Bila terapi dengan SRI
terbukti tidak berhasil, maka pemberian alprazolam dalam dosis rendah menjadi pilihan logis
untuk dicoba, meskipun efek samping sedatif dapat membatasi manfaatnya.

Pada perempuan yang didiagnosis dengan PMS atau PMFF yang gagal merespon
terhadap terapi yang biasanya efektif maka perlu dipikirkan kondisi yang
melatarbelakangi kegagalan tersebut seperti misalnya depresi berat, gangguan
kegelisahan atau kecemasan, atau penyalahgunaan senyawa. Pada mereka yang
mengalami PMDD yang tidak disertai dengan gangguan semacam itu maka dapat dilakukan
pemberian agonis GnRH, lebih disukai pemberian estrogen atau estrogen/progestin dengan
dosis rendah. Pada mereka yang merespon dengan baik terhadap terapi terakhir maka terapi
agonist GnRH dengan estrogen tambahan dapat ditingkatkan selama lebih dari 6 bulan tanpa
menimbulkan penurunan kepadatan tulang.

Dismenore

Dismenore adalah nyeri yang menyertai haid, biasanya berupa kram dan berpusat di bagian
bawah abdomen. Dismenore umumnya diklasifikasikan sebagai primer atau sekunder.155
Dismenore primer berkaitan dengan siklus ovulasi dan disebabkan oleh kontraksi
miometrium, dengan tidak adanya penyakit yang tampak. Dismenore sekunder mengacu
pada nyeri selama haid yang berkaitan dengan patologi pelvik, contohnya endometriosis,
adenomiosis, atau mioma uterus.
Epidemiologi

Dismenore adalah salah satu masalah ginekologis yang paling umum dialami wanita usia
reproduksi. Dismenore primer biasanya dimulai selama masa remaja, namun hanya jika
siklus ovulasi telah terbentuk; 20-45% gadis-gadis remaja mengalami ovulasi 2 tahun setelah
menarke, dan 80% terbentuk 4-5 tahun setelah menarke.156

Prevalensi keseluruhan dismenore primer pada gadis-gadis remaja yaitu antara 60% dan 90%
dan menurun seiring bertambahnya usia.157-160 Namun, hanya sekitar 15% dari gadis-gadis
remaja yang mencari perhatian medis untuk keluhan nyeri haid.160 Dalam suatu sampel acak
terhadap wanita usia 19 tahun di Gotenborg, Swedia, 72% dilaporkan mengalami dismenore,
38% menjalani pengobatan rutin, 15% harus membatasi aktivitas harian mereka walaupun
sudah diobati, dan 8% tidak masuk sekolah maupun kerja setiap kali haid.161 Tingkat
keparahan dismenore berkaitan langsung dengan volume dan durasi aliran darah haid. Survei
selanjutnya pada kelompok wanita yang sama menunjukkan bahwa prevalensi dismenore
mengalami penurunan hingga 67% pada usia 24 tahun, dimana 10% wanita masih
melaporkan pembatasan aktivitas harian mereka.162

Tingkat keparahan dismenore juga mengalami penurunan pada wanita yang melahirkan di
tahun tersebut, namun tidak demikian pada wanita yang keguguran atau aborsi, dan juga
mengalami penurunan pada para pengguna kontrasepsi oral. Suatu survei acak yang
dilakukan oleh seorang peneliti Kanada terhadap lebih dari 1500 wanita menemukan bahwa
prevalensi dismenore moderat atau berat adalah 60%, mengakibatkan penurunan aktivitas
pada 50% wanita dan 17% tidak masuk sekolah maupun kerja.163 Di Amerika Serikat, sekitar
60% gadis remaja mengeluhkan dismenore, mengakibatkan 14% rutin tidak masuk
sekolah.160 Dalam studi longitudinal seorang peneliti Amerika terhadap mahasiswi berusia
17-19 tahun, 13% mengeluhkan nyeri hebat selama lebih dari setengah periode menstruasi
mereka dan 42% mengindikasikan bahwa dismenore sesekali menggangu aktivitas harian
mereka.164
Faktor risiko dismenore meliputi indeks massa tubuh kurang dari 20, menarke dini (sebelum
usia 12), interval intermenstruasi lebih lama dan durasi perdarahan, aliran tidak teratur atau
deras, molimina premenstruasi, riwayat sterilisasi atau pelecehan seksual, dan merokok.165
Kontrasepsi oral, olahraga, menikah atau berada dalam hubungan stabil, serta paritas yang
lebih tinggi dapat menurunkan kemungkinan dismenore.165

Patofisiologi

Kumpulan bukti-bukti mengindikasikan bahwa dismenore primer disebabkan oleh iskemia


miometrium karena kontraksi uterus yang sering dan berkepanjangan. Studi terhadap
aliran darah uterus menggunakan USG Doppler menyatakan bahwa uterus dan resistensi
arteri arkuat di hari pertama menstruasi lebih tinggi secara signifikan pada wanita dengan
dismenore primer daripada wanita tanpa dismenore, menunjukkan bahwa konstriksi
pembuluh uterus merupakan penyebab proksimat rasa nyeri.166

Endometrium sekretori mengandung cadangan asam arakidonik substansial, yang dikonversi


menjadi F2α (PGF2α), prostaglandin E2 (PGE2), dan leukotrien selama menstruasi. PGF2α
selalu merangsang kontraksi uterus dan merupakan mediator utama dismenore.167
Konsentrasi endometrial PGF2α dan PGE2 berkaitan dengan tingkat keparahan dismenore.168
Terapi inhibitor cyclooxygenase (COX) menurunkan kadar prostaglandin dalam cairan
menstruasi dan aktivitas kontraktil uterus; kurva respon berkaitan erat dengan kadar obat
dalam serum.169, 170

Kontraksi otot polos uterus menyebabkan kram, spasmodik pada bagian bawah perut dan
nyeri pinggang umum pada dismenore serta persalinan atau aborsi yang diinduksi
prostaglandin. Pada wanita dengan dismenore primer, kontraksi uterus selama menstruasi
dimulai saat kadar basal tone meningkat (> 10 mm Hg), memacu tekanan intrauterus yang
lebih besar yang seringkali mencapai 150-180 mm Hg dan dapat melebihi 400 mm Hg,
muncul lebih sering (>4-5/10 menit), dan tidak beritme atau terkoordinir.170 Saat tekanan
intrauterus melebihi tekanan arteri selama satu periode waktu, iskemia menyebabkan
produksi metabolit-metabolit anaerob yang merangsang neuron-neuron nyeri tipe C kecil,
yang berperan dalam nyeri dismenore. Selain itu, PGF2α dan PGE2 dapat merangsang bronki,
usus besar, dan kontraksi otot polos vaskuler, menyebabkan konstriksi bronki, mual, muntah,
diare dan hipertensi.

Secara klasik, dismenore primer dimulai sesaat sebelum atau bersamaan dengan onset
menstruasi dan menurun secara bertahap selama 72 jam berikutnya. Kram saat menstruasi
bersifat intermiten, intensitasnya bervariasi, dan biasanya berpusat di daerah suprapubik,
walaupun beberapa wanita juga mengalami nyeri pada pinggang dan punggung bagian
bawah. Biasanya, polanya konsisten sepanjang siklus. Sebaliknya, wanita dengan dismenore
sekunder terkait dengan patologi pelvis, seperti endometriosis, seringkali melaporkan nyeri
hebat yang sering terjadi pada pertengahan siklus dan satu minggu sebelum menstruasi,
sebagai tambahan gejala-gejala dispareunia berat dan dischezia (sembelit). Pada pasien
dengan dismenore sekunder yang berhubungan dengan mioma uterus, rasa nyeri terutama
disebabkan oleh menoragia, dengan intensitas yang berhubungan dengan volume aliran
menstruasi.

Diagnosis

Dismenore primer merupakan suatu diagnosis klinis, terutama didasarkan pada riwayat
gejala karakteristik dan pemeriksaan fisik tidak menghasilkan bukti atau kecurigaan
terhadap patologi pelvis khusus seperti endometriosis, adenomiosis, mioma uterus atau
penyakit inflamasi pelvis kronis. Secara uumum, uji laboratorium, pencitraan dan
laparoskopi tidak diperlukkan untuk diagnosis.

Riwayat menstruasi teratur harus mencakup usia saat menarke dan saat onset dismenore,
interval intermenstruasi, volume dan durasi aliran, dan tandai gejala bercak atau noda apapun
saat intermenstruasi atau premenstruasi. Hubungan antara onset nyeri dengan onset aliran,
tingkat keparahan dan lokasi nyeri, serta munculnya rasa mual, muntah, diare, nyeri
punggung, atau sakit kepala harus ditentukan. Batas dimana rasa nyeri mengganggu aktivitas
sehari-hari (kerja, sekolah, atau olahraga), penggunaan obat-obatan dan efektivitasnya,
apakah ada perbaikan tingkat keparahan dari waktu ke waktu, dan munculnya rasa nyeri pada
waktu-waktu selain saat menstruasi juga harus ditetapkan. Ciri-ciri ini umumnya dapat
membedakan wanita dengan dismenore primer dan wanita dengan dismenore sekunder.

Mengingat wanita dengan dismenore primer umumnya melaporkan onset nyeri menstruasi
sebelum usia 25 tahun, wanita dengan adenomiosis cenderung muncul lebih lambat,
umumnya setelah usia 35 tahun, dan seringkali melaporkan nyeri pelvis kronis nonsiklik.
Wanita dengan endometriosis umumnya mengalami nyeri pada waktu lain selain saat
menstruasi, dan sering juga melaporkan bercak premenstruasi, dispareunia, dischezia, reda
nyeri sesaat dengan terapi non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), dan
meningkatkan keparahan dari waktu ke waktu. Karena NSAIDs umumnya sangat efektif
meredakan nyeri pada dismenore primer, nyeri yang terbukti sulit disembuhkan dengan terapi
tersebut menunjukkan patologi pelvis.

Wanita dengan dismenore primer biasanya menunjukkan hasil pemeriksaan pelvis normal.
Pada wanita dengan dismenore sekunder yang terkait patologi pelvis, pemeriksaan pelvis bisa
menunjukkan hasil normal namun seringkali tidak, memberi petunjuk yang mendasari
penyebabnya. Adenomiosis seringkali berkaitan dengan uterus yang sangat besar, globular
dan lunak, sedangkan wanita dengan mioma seringkali memiliki uterus yang membesar
dengan kontur yang tidak rata. Para wanita dengan dismenore sekunder terkait endometriosis
seingkali mengalami temuan pemeriksaan fisik abnormal, meliputi penebalan, nodularitas,
atau ligamen uterosakral yang lunak, pemindahan serviks lateral terkait pemendekkan satu
ligamen uterosakral, stenosis serviks, atau suatu pembesaran ovarium karena
endometrioma.171, 172 Menariknya, rambut merah, skoliosis, dan nevi displastik juga diamati
dan lebih sering ditemukan pada wanita penderita endometriosis.173-175

Diagnosis dismenore primer tidak memerlukan uji laboratorium atau pencitraan. Walau
demikian, USG transvaginal akan sangat membantu mengidentifikasi mioma uterus,
endometrioma, dan adenomiosis pada wanita dengan dismenore sekunder.176 Walaupun
sejumlah penelitian menunjukkan bahwa serum CA-125 sering meningkat pada wanita
dengan endometriosis, uji ini memiliki kegunaan terbatas dikarenakan nilai prediktifnya yang
rendah.177, 178
Pengobatan

Beragam jenis terapi telah ditawarkan untuk pengobatan dismenore. Terapi-terapi ini meliputi
penerapan panas, pola makan dan vitamin atau terapi herbal, olahraga, dan intervensi
perilaku, serta pengobatan yang lebih tradisional seperti NSAIDs dan kontrasepsi oral.

Data dari 2 percobaan klinis menunjukkan bahwa penerapan koyo penghangat perut atau
wrap selama 8-12 jam per hari lebih efektif daripada plasebo dan bisa jadi sama efektifnya
seperti pengobatan dengan NSAID.179, 180
Hasil dari beberapa studi klinis sederhana
menunjukkan bahwa diet vegetarian,181 vitamin E,182, 183 kombinasi vitamin (B1, B6, E) dan
terapi herbal Asia lebih efektif daripada plasebo, namun 2 ulasan sistematik menyimpulkan
bahwa bukti-bukti tidak cukup untuk membenarkan pola makan yang disarankan dan terapi
herbal untuk pengobatan dismenore.184, 185 Studi-studi mengenai pengaruh olahraga terhadap
dismenore menunjukkan hasil campuran, dimana beberapa melaporkan perbaikan dan temuan
lain bahwa olahraga teratur dapat memperparah gejala-gejalanya.186, 187 Walaupun intervensi
perilaku bertujuan untuk merubah cara pandang atau respon wanita terhadap rasa nyeri
tampaknya membantu beberapa wanita dengan dismenore, bukti efektivitasnya berasal dari
studi sederhana dalam populasi heterogen dan tidak bersifat memaksa.188

Untuk para gadis remaja dan wanita dengan dismenore primer, NSAIDs adalah pilihan
terapi pertama.189-191 Ada banyak pilihan NSAIDs, termasuk turunan asam proprionik
(contohnya naproxen, ibuprofen, dan ketoprofen) dan fenamat (contohnya asam mefenamik,
asam tolfenamik, dan meklofenamat); semuanya sangat efektif. Sejumlah percobaan klinis
menunjukkan bahwa NSAIDs efektif terhadap 70-90% pasien.192-197 Efikasinya berasal dari
penurunan produksi prostaglandin endometrium dan penurunan aliran menstruasi. Fenamat
juga dapat memblokir aksi prostaglandin.198 Walaupun beberapa inhibitor COX-2 pilihan
telah disetujui untuk pengobatan dismenore primer, biaya yang lebih mahal dan potensi risiko
yang lebih besar menyarankan agar penggunaannya harus dibatasi pada wanita yang berisiko
tinggi terhadap efek samping gastrointestinal yang serius.
Pengobatan dengan NSAID dapat dimulai pada onset menstruasi dan dilanjutkan untuk durasi
nyeri seperti biasa. Wanita dengan dismenore berat lebih baik memulai terapi 1-2 hari
sebelum perdarahan menstruasi dimulai. NSAIDs harus dikonsumsi bersama makanan untuk
meminimalisir efek samping gasrointestinal umum. Turunan asam propionik merupakan
pilihan awal yang baik karena harganya tidak mahal dan tersedia di berbagai konter tanpa
memerlukan resep. Para pasien menunjukkan respon yang bervariasi terhadap NSAIDs yang
berbeda. Sebagai konsekuensinya, jika salah satu gagal, penggantian dengan kelas obat yang
berbeda sangat masuk akal dan tepat (contohnya mengganti ibuprofen dengan asam
mefenamat). Karena prostaglandin berperan dalam ovulasi , pengobatan dengan NSAIDs
berpotensi menunda atau mencegah ovulasi.199-201 Bagaimanapun, karena pengobatan
NSAIDs untuk dismenore jauh dari ovulasi, wanita yang ingin mengandung umumnya dapat
meyakini bahwa pengobatan yang dijalani tidak akan memberi pengaruh buruk terhadap
fertilitas mereka.202

Kontrasepsi oral juga merupakan terapi efektif untuk dismenore. Terapi ini dapat
dianggap sebagai agen lini pertama pada wanita yang aktif secara seksual yang
memerlukan kontrasepsi dan merupakan alternatif logis untuk mereka yang tidak
mentolerir atau memperoleh manfaat yang cukup dari terapi NSAID.203 Efikasi kontrasepsi
oral berasal dari inhibisi mereka terhadap ovulasi, karena itu menurunkan produksi
prostaglandin endometrium, dan dari penurunan volume serta durasi aliran yang disebabkan
oleh atenuasi setelah penggunaan berbulan-bulan.203-206 Kontrasepsi oral dapat digunakan
dalam mode siklik standar (21-24 pil aktif dilanjutkan dengan 4-7 pil inaktif), atau dalam
suatu “perpanjangan” secara siklik menggunakan salah satu formulasi terbaru yang
mengandung 12 minggu pil aktif, dilanjutkan dengan 7 pil inaktif atau hanya mengandung
estrogen dosis rendah.207, 208
Seluruh regimen efektif. Perpanjangan siklus memberi
keuntungan tambahan menstruasi yang lebih sedikit, namun terkait juga dengan prevalensi
yang lebih tinggi pada bercak atau perdarahan tak terjadwal.209

Cincin kontrasepsi tampak sama efektifnya dengan kontrasepsi oral untuk pengobatan
dismenore.210 Walaupun tidak ada studi yang terfokus pada penggunaan depot-
medroxyprogesterone asetat untuk dismenore, suatu studi sederhana pada remaja menemukan
bahwa 2/3 subyek melaporkan penurunan dismenore selama pengobatan.211 Penurunan
dismenore juga ditunjukkan dalam percobaan-percobaan yang mengevaluasi sistem (alat)
intrauterin levonorgestrel,212 dan kontrasepsi hormonal batang-tunggal implantable yang
mengandung etonogestrel (Implanon).213

Wanita yang gagal merespon terapi NSAIDs dan/atau kontrasepsi hormonal serta wanita
yang mengalami nyeri berulang atau nyeri yang makin parah memerlukan evaluasi ulang
untuk menyingkirkan penyebab-penyebab dismenore sekunder, contohnya endometriosis.191
Dalam suatu studi pada wanita dengan nyeri pelvis yang gagal memperoleh pertolongan
memadai dari terapi dengan NSAIDs, sebagian besar menderita endometriosis yang terlihat
saat laparoskopi.214 Observasi ini menunjukkan bahwa wanita dengan dismenore berat yang
gagal merespon terapi NSAIDs atau kontrasepsi oral secara memadai merupakan kandidat
untuk laparoskopi diagnostik. Wanita dengan endometriosis harus menjalani ablasi, hingga
batas yang memungkinkan. Terapi pasca-pembedahan dengan GnRH agonis (contohnya
leuprolide asetat depot 3.75 mg tiap 4 minggu) efektif untuk pengelolaan pasien (dengan atau
tanpa endometriosis) yang mengalami dismenore persisten. Walaupun terapi empiris dengan
GnRH agonis, berdasarkan kriteria klinis,214 telah dianjurkkan sebagai alternatif terhadap
pembedahan pada wanita yang memiliki kemungkinan endometriosis tinggi, terapi
pembedahan memberikan keuntungan diagnosis spesifik, pereda nyeri seketika, serta
informasi pengelolaan jangka-panjang yang lebih baik.

Migrain Menstruasi

Sakit kepala sangat umum terjadi, namun penyebabnya jarang yang serius. Sebagian besar
sakit kepala disebabkan oleh vasodilatasi, kontraksi otot, atau tekanan psikologis. Sakit
kepala saat menstruasi meliputi semua sakit kepala yang berhubungan dengan menstruasi dan
bersifat sementara, dimulai sebelum atau selama menstruasi.215 Untuk banyak wanita dengan
PMS, sakit kepala merupakan kompleks gejala siklik mereka. Fokusnya adalah pada migrain
menstruasi murni, menggambarkan sakit kepala yang sesekali muncul terkait menstruasi, dan
pada “migrain terkait menstruasi” menggambarkan pasien yang menderita migrain
menstruasi maupun di waktu lain dalam siklus.216

Patofisiologi

“Teori vaskuler” tradisional, berprinsip bahwa migrain dan sakit kepala cluster disebabkan
oleh vasodilatasi dan aura vasokonstriksi terdahulu, tidak lagi dipertimbangkan viabel.217
Malahan, vasodilatasi mungkin merupakan suatu epiphenomenon yang disebabkan oleh
ketidakstabilan kontrol neurovaskuler pusat. Konsep terkini dari patofisiologi migrain
berpusat pada sistem irigemino vaskuler. Pembuluh-pembuluh cerebral besar, yang terdapat
pada pia dan duramater, serta sinus vena besar diinervasi oleh aferen sensori yang berasal
dari ganglion trigeminal dan akar-akar dorsal serviks bagian atas.218 Keduanya bertemu di
kaudal nukleus trigeminal, menjelaskan distribusi nyeri migrain, yang secara khusus
melibatkan bagian depan dan belakang kepala serta leher bagian atas. Saat ganglion
trigeminal dirangsang, neuropeptida vasoaktif (substansi P, peptida terkait gen calcitonin,
neurokirin) dilepaskan,219 menyebabkan inflamasi meurogenik, yang mengakibatkan
vasodilatasi, ekstravasasi protein plasma, dan nyeri. Sebagai gantinya, inflamasi neurogenik
dapat menyebabkan sensitisasi, menggambarkan suatu proses dimana ambang batas respon
neuronal menurun, magnitude respon meningkat, dan lahan reseptif meluas.220-222 Fenomena
sensitisasi membantu menjelaskan beberapa gejala klinis dari migrain, meliputi suatu
keadaan yang diperburuk dengan batuk atau bending, hiperalgesia (peningkatan sensitivitas
terhadap rangsangan nyeri) dan alodinia (nyeri disebabkan oleh rangsangan normal yang
tidak menyakitkan). Aura klasik terkait sakit kepala karena migrain (gejala-gejala visual atau
auditori, mual atau muntah, parestesia) dikaitkan dengan “depresi penyebaran kortikal”,
menggambarkan suatu gelombang propagasi diri pada depolarisasi neuronal dan glial yang
menyebar sepanjang korteks serebral.217 Migrain tanpa aura dapat melibatkan area otak
dimana depolarisasi tidak dirasakan secara sadar.223

Insidensi migrain meningkat secara signifikan antara usia 15 dan 19 tahun, mencapai puncak
pada wanita usia akhir 30-an hingga awal 40-an, dan menurun setelah menopause.224-227
Hingga 70% wanita yang mengalami migrain melihat adanya suatu hubungan dengan
menstruasi; 7-12 % memiliki migrain menstruasi murni dan sisanya mengalami migrain
terkait menstruasi.228 Dibandingkan sakit kepala yang muncul di waktu lain pada bulan itu,
migrain karena menstruasi biasanya lebih resisten terhadap terapi, umumnya tidak terkait
aura, durasi yang lebih lama, dan terkait ketidakmampuan yang lebih fungsional.229-232

Asosiasi antara perubahan dalam bagian klinis migrain dan milestone reproduksi, contohnya
menarke, kehamilan, dan menopause, menunjukkan bahwa hormon steroid ovarium terlibat
dalam patofisiologinya. Migrain tampaknya terkait dengan menurunnya kadar hormon,
seperti yang terjadi pada akhir siklus menstruasi normal, postpartum, dan selama minggu-
minggu bebas-pil terjadwal pada wanita yang menggunakan kontrasepsi oral.233, 234
Bukti
biokimia dan genetik menunjukkan bahwa migrain menstruasi terutama dipicu oleh
penurunan kadar estrogen. Estrogen memiliki sejumlah aksi di dalam sistem saraf pusat.
Pengaruhnya terhadap sistem neurotransmiter serotonergik, khususnya, dapat menjelaskan
hubungannya dengan migrain.228 Pada wanita, sifat serotonergik berhubungan dengan kadar
estrogen; bila kadar estrogen menurun, konsentrasi serotonin juga menurun, dikarenakan
penurunan produksi dan untuk peningkatan dalam clearance. Estrogen juga dapat
memodulasi keseimbangan antara neurotransmisi eksitatori dan inhibitori melalui
pengaruhnya tehadap mediator kimia lain, contohnya nitric oxide, magnesium, atau
prostaglandin.228, 235

Evaluasi

Walaupun sakit kepala umum terjadi, namun dapat juga menjadi indikasi suatu kondisi serius,
misalnya massa space-occupying intrakranial, lesi vaskuler, infeksi, atau penyakit metabolik.
Sakit kepala kronis harus digolongkan berdasarkan lokasi, kualitas, perubahan dari waktu ke
waktu, serta tanda-tanda dan gejala-gejala terkait.

Tension type-headache yang umum terjadi digolongkan sebagai episodik (< 15 per bulan)
atau kronik (≥ 15 per bulan).236 Nama tension type-headache berasal dari dugaan penyebab,
stres berlebih atau ketegangan, menyebabkan kontraksi otot, namun penjelasan tradisional ini
tidak lagi dipertimbangkan viabel.237 Walaupun patogenesisnya tetap tidak jelas, contoh
terkini berpusat pada meningkatnya sensitivitas jalur nyeri dalam sistem saraf pusat, dan
kemungkinan dalam sistem saraf perifer,238-240 nitric oxide,241 dan faktor genetis.242, 243

Tension type-headache umumnya memiliki intensitas ringan hingga sedang, bilateral, dan
biasanya digambarkan sebagai “dull”, “pressure”, “a tight cap”, “band-like”, atau suatu
perasaan adanya beban pada kepala dan bahu. Intensitas dan frekuensi sakit kepala dapat
bervariasi, namun umumnya tidak menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu.

Saat sakit kepala bersifat siklik, hilang sama sekali untuk satu periode waktu, dan
menunjukkan ciri-cirinya, ini umumnya dapat dengan mudah dianggap sebagai migrain. Sifat
alami migrain adalah berdenyut, seringkali namun tidak selalu didahului prodrom, dan
biasanya dimulai perlahan, meningkat hingga kresendo selama lebih dari 1-2 jam.
Sebagian besar pasien yang mengalami migrain memiliki sejumlah sakit kepala serupa di
masa lalu. Migrain dapat dipercepat oleh stres, alkohol, atau makanan yang kaya akan
tiramin dan triptopan (contohnya anggur merah, cokelat, keju). Migrain klasik kini dikenal
sebagai “migrain dengan aura” dan migrain umum dikenal sebagai “migrain tanpa aura”.
Migrain menstruasi umumnya termasuk migrain tanpa aura.227

Sakit kepala yang tiba-tiba dalam onset, sakit kepala terus-menerus yang bertambah parah
dari waktu ke waktu, dan yang menjadi parah segera setelah onset atau yang
berhubungan dengan perubahan status mental memerlukan evaluasi secara cermat dan
menyeluruh. Gejala neurologis fokal, selain aura visual atau sensori yang khas, menunjukkan
lesi mass, malformasi arterivena, atau penyakit kolagen vaskuler. Demam bukan merupakan
ciri dari migrain dan menunjukkan suatu infeksi intrakranial, sistemik atau lokal (contohnya
sinusitis paranasal atau mastoid). Sakit kepala yang baru pada wanita di atas 50 tahun atau
pada pasien dengan kanker atau infeksi human immunodeficiency virus (HIV) menunjukkan
patologi. Hidung tersumbat kronis menunjukkan sinusitis. Penglihatan kabur, sakit kepala
ketika bangun di pagi hari yang membaik setelah duduk atau berdiri, penglihatan ganda atau
kehilangan keseimbangan, dan sakit kepala yang bertambah parah terkait mual kronis
menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial. Hilangnya penglihatan unilateral secara tiba-
tiba menunjukkan neuritis optik. Pencitraan otak umumnya diindikasikan untuk pasien
yang mengalami perubahan baru signifikan dalam pola, frekuensi, atau tingkat
keparahan sakit kepala, sakit kepala bertambah parah meskipun telah menjalani
pengobatan, tanda-tanda atau gejala-gejala neurologis fokal, atau suatu onset sakit kepala
dengan eksersi atau setelah usia 40 tahun.244

Pengobatan

Pengobatan untuk migrain menstruasi akut serupa dengan pengobatan untuk migrain umum;
serotonin agonis (dikenal sebagai triptan), seperti sumatriptan (50-100 mg), rizatriptan (10
mg), dan frovatriptan (2.5 mg) efektif dalam menghentikan migrain.245-247 Triptan
menghambat pelepasan peptida vasoaktif, memicu vasokonstriksi, dan menghambat
neurotransmisi dalam nukleus trigeminal, yang memblokir input aferen ke neuron urutan
kedua. Mereka juga membantu mengurangi mual terkait dan fotofobia. Saat terapi abortif
akut diperlukan berulang-ulang atau membuktikan strategi pencegahan yang tidak memadai,
baik hormonal dan nonhormonal, layak dipertimbangkan.

Terapi-terapi pencegahan hormonal bertujuan untuk meminimalkan atau menghentikan


penurunan premenstruasi dalam kadar estrogen serum.248 Terapi-terapi tersebut adalah pilihan
logis untuk pasien dengan patologi menstruasi lainnya, seperti siklus tidak teratur, dismenore,
atau menoragia, dan umumnya lebih disukai daripada terapi-terapi pencegahan non-
hormonal. Jika migrain saat menstruasi merupakan reaksi terhadap perubahan siklik dalam
kadar sirkulasi hormon steroid seks, sangat logis untuk mencoba meminimalkan atau
menghentikan siklisitas, yang dapat dicapai melalui kontrasepsi oral harian secara kontinu.
Untuk wanita yang lebih memilih untuk mengalami menstruasi, perpanjangan siklus
kontrasepsi oral yang mengandung pil-pil aktif 9-12 minggu berturut-turut sangat mengurangi
frekuensi mereka; formulasi standar juga dapat digunakan, tapi dalam kasus manapun,
suplementasi estrogen harus disediakan selama minggu plasebo terjadwal untuk mencegah
migrain karena penarikan estrogen.249 Penggunaan kontrasepsi oral pada wanita yang
mengalami migrain dengan aura menjadi kontroversi karena kekhawatiran mengenai potensi
peningkatan risiko stroke. Mengingat penelitian di Eropa menunjukkan bahwa kontrasepsi
oral dapat meningkatkan risiko,250-252 tidak demikian pada penelitian di Amerika,253, 254

mungkin dikarenakan pil-pil dosis rendah lebih prevalen dan merokok diatas usia 35 tahun
telah dianggap sebagai kontradiksi yang relatif kuat terhadap penggunaan kontrasepsi oral di
Amerika Serikat (dibahas secara rinci dalam Bab 22). Meskipun demikian, baik World Health
Organization dan American College of Obstetricians dan Gynecologists saat ini tidak
menyarankan penggunaan kontrasepsi oral pada wanita diatas usia 35 tahun yang menderita
migrain terkait tanda-tanda atau gejala-gejala neurologik fokal.

Pada wanita dengan kontraindikasi penggunaan kontrasepsi oral, suplementasi estrogen


masih dapat digunakan untuk menyangga penurunan kadar estrogen di akhir siklus, dimulai
tepat sebelum onset menstruasi dan berlanjut dengan total sekitar 7 hari. Dalam percobaan
klinis, suatu patch transdermal estradiol (0.1 mg/hari) atau gel (1.5 mg/hari) ternyata
efektif,255, 256 tapi harus dilanjutkan hingga kadar estrogen endogen kembali meningkat atau
pengobatan hanya menunda penarikan estrogen dan migrain terkait.256 GnRH agonis long-
acting merupakan alternatif lain. Studi klinis pada wanita dengan migrain menstruasi
mengindikasikan bahwa pengobatan dengan leuprolide asetat secara nyata dapat menurunkan
frekuensi sakit kepala, bahkan ketika diberikan terapi add-back estrogen/progestin.257, 258

Prevalensi migrain relatif tinggi selama perimenopause, terutama pada wanita dengan riwayat
migrain menstruasi.259 Dalam Women’s Health Study, 11% lebih dari 17,000 profesional
kesehatan wanita paskamenopause melaporkan migrain; pengguna terapi hormon saat ini
lebih sering terpengaruh dibanding bukan pengguna (OR = 1.42; 95% CI = 1.24-1.62) dan
prevalensi berhubungan dengan dosis terapi estrogen.260 Pengobatan migrain pada wanita
menopause tidak berbeda dengan pengobatan pada wanita premenopause. Sekali lagi,
regimen hormon yang meminimalkan perubahan dalam kadar sirkulasi estrogen merupakan
pengobatan yang lebih disukai; karena itu, pengobatan secara kontinu adalah pilihan yang
lebih baik daripada terapi siklik. Penambahan progestin, bila diperlukan, tidak mempengaruhi
frekuensi migrain.260

Terapi-terapi non-hormonal untuk migrain menstruasi meliputi terapi dengan NSAID atau
triptan. Terapi dengan NSAIDs, dimulai 7 hari sebelum onset dan terus berlanjut sampai
akhir menstruasi, dapat membantu menurunkan frekuensi, durasi, dan tingkat keparahan
migrain menstruasi.261 Terapi triptan, dimulai 2-3 hari sebelum menstruasi dan berlanjut
hingga total 5-6 hari, secara efektif mencegah atau menurunkan tingkat keparahan sakit
kepala pada sebagian besar pasien. Regimen-regimen yang telah terbukti meliputi
sumatriptan 25 mg 3x sehari,262 naratriptan 1 mg 2x sehari,263 dan frovatriptan 2.5 mg per
hari atau 2x sehari.264

Epilepsi Katamenial

Pada zaman purba, epilepsy katamenial dihubungkan dengan bulan, memunculkan kata baru,
“lunatik”.265 Kata “katamenial” berasal dari bahasa Yunani katamenios, yang berarti
“bulanan”. Epilepsi katamenial menggambarkan kejang yang mengelompok di sekitar
tempat-tempat khusus dalam siklus menstruasi, biasanya selama interval perimenstruasi atau
periovulasi. Diagnosis epilepsi katamenial didasarkan pada demonstrasi hubungan
sementara antara menstruasi dan aktivitas kejang; peningkatan dua kali lipat atau lebih
dalam frekuensi kejang selama satu fase tertentu pada siklus menstruasi umumnya
dipertimbangkan sebagai bukti epilepsi katamenial.266, 267
Berdasarkan definisi tersebut,
epilepsi katamenial mempengaruhi 30% hingga 60% wanita dengan epilepsi.268-270 Mengingat
epilepsi mempengaruhi sekitar 1.3 juta wanita di Amerika Serikat,271, 272
sekitar 400,000
wanita penderita epilepsi mengalami kejang katamenial, yang seringkali cukup resisten
terhadap pengobatan.273

Patofisiologi

Kejang katamenial berhubungan dengan setiap tipe epilepsi namun lebih umum diantara
wanita dengan epilepsi fokal (contohnya epilepsi lobus sementara) daripada mereka dengan
epilepsi umum.274 Penyebab khususnya masih belum jelas. Hipotesis meliputi fluktuasi dalam
kadar obat antiepilepsi, perubahan dalam keseimbangan air dan elektrolit, dan variasi dalam
sekresi hormon steroid ovarium.267 Perubahan siklik dalam estrogen dan progesteron
sepanjang siklus menstruasi dikenal luas memiliki peran utama.

Estrogen umumnya dianggap sebagai prokonvulsan, walaupun pengaruhnya bergantung


pada durasi terapi, dosis, cara administrasi, dan contoh kejang. Estrogen mempengaruhi
eksitabilitas neuronal melalui modulasi ekspresi gen, regulasi pelepasan neurotransmiter, dan
interaksi langsung dengan reseptor neurotransmiter. Estrogen bertindak pada neuron di dalam
sistem limbik, korteks serebral dan region lain yang penting untuk kerentanan kejang.275
Estrogen juga berinteraksi dengan neurotrofin, yang meningkatkan eksitabilitas hipocampal.
Pada wanita dengan epilepsi, kerentanan kejang berkaitan dengan perbandingan
estrogen/progesteron, yang mencapai puncak pada interval premenstruasi dan preovulasi.
Walaupun konsentrasi estradiol serum pada wanita dengan epilepsi katamenial serupa dengan
mereka yang berada dalam kontrol normal sepanjang siklus menstruasi, bukti-bukti
menunjukkan bahwa kadar progesteron lebih rendah dan perbandingan estrogen/progesteron
lebih tinggi.270, 276 Frekuensi kejang mengalami penurunan selama fase midluteal ketika kadar
progesteron paling tinggi dan meningkatkan fase premenstruasi saat kadar progesteron
menurun drastis dan perbandingan estrogen/progesteron meningkat.

Progesteron umumnya dipertimbangkan memiliki aksi antikonvulsan, dengan cara


menurunkan kerentanan kejang. Perubahan dalam kadar progesteron serum telah berkaitan
langsung dengan kejang katamenial,270, 276 dan bukti dari penelitian pada tikus mendukung
konsep bahwa metabolit progesteron 5α-tereduksi, khususnya allopregnanolone,
bertanggungjawab terhadap aktivitas antikejangnya.267, 277
Neurosteroid seperti
allopregnanolone disintesis secara lokal di dalam otak, baik de novo dan dari prekursor
steroid yang beredar, dan memodulasi eksitabilitas neuron. Allopregnanolone mempotensiasi
aksi gamma aminobutyric acid (GABA), inhibitor utama neurotransmiter dalam otak, melalui
modulasi dan interaksi langsung dengan reseptor-reseptor GABA-A.278

Interaksi antara hormon steroid gonad, kejang, dan obat-obatan antiepilepsi bersifat
kompleks. Mengingat hormon steroid gonad dapat mempengaruhi kerentanan kejang, kejang
dapat mengganggu pola sekresi hormon steroid, dan obat-obatan antiepilepsi dapat
mempengaruhi tingkat hormon steroid seks dengan mengubah metabolisme mereka. Pada
remaja dengan epilepsi, insidensi kejang tonik-klonik umum seringkali meningkat selama
279
masa pubertas, ketika kadar hormon steroid meningkat dan menstruasi dimulai. Saat
menopause, aktivitas kejang meningkat pada beberapa wanita, tapi berkurang atau tidak
berubah pada wanita lainnya.280-282 Terapi hormon dapat meningkatkan aktivitas kejang pada
wanita paskamenopause, khususnya pada mereka yang memiliki riwayat epilepsi
katamenial.283, 284
Di sisi lain, prevalensi gangguan menstruasi seperti sindrom ovarium
polikistik meningkat,285 dan fertilitas menurun pada wanita dengan epilepsi,286 menunjukkan
bahwa kejang mungkin memberi kecenderungan terhadap disfungsi reproduksi, mungkin
dengan cara mengubah pola pelepasan GnRH hipotalamus. Hubungan antara epilepsi dan
disfungsi reproduksi mungkin juga mencerminkan pengaruh obat antiepilepsi terhadap
metabolisme hormon steroid. Beberapa, seperti fenitoin, karbamazepin, dan fenobarbital,
menginduksi enzim P450 sitokrom hepatik, yang dapat mempercepat metabolisme hormon
steroid yang berbagi jalur metabolik umum.287, 288
Mereka juga dapat meningkatkan
konsentrasi SHBG serum, sehingga lebih mengurangi konsentrasi steroid bebas atau aktif
secara biologis. Obat-obatan antiepilepsi lain, seperti valproate sodium, menghambat enzim
hepatik, yang dapat meningkatkan kadar hormon steroid bioaktif. Namun, tidak ada bukti
langsung yang menghubungkan epilepsi katamenial dengan obat-obatan antiepilepsi tertentu.
Sejauh mana semua mekanisme yang bersaing ini berperan terhadap epilepsi katamenial
masih harus ditentukan.

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa kontrasepsi oral dapat meningkatkan aktivitas
kejang, namun sebagian besar studi menunjukkan tidak adanya pengaruh,283, 289, 290
atau
penurunan dalam frekuensi kejang.291, 292
Meskipun obat-obatan antiepilepsi tertentu
memiliki potensi untuk mengurangi efikasi kontrasepsi oral dengan mempercepat
metabolisme mereka,283, 293 tidak ada bukti bahwa pengaruhnya penting secara klinis.294, 295,
296, 297
Sebaliknya, kontrasepsi oral dapat menurunkan konsentrasi sirkulasi beberapa obat
antiepilepsi melalui mekanisme yang sama, yang dapat meningkatkan risiko kejang;298 bukti
menunjukkan bahwa perempuan yang menerima pengobatan dengan lamotrigin atau asam
valproik mungkin memerlukan penyesuaian dosis jika disertai penggunaan kontrasepsi
oral.297, 299-301

Pengobatan
Saat ini tidak ada pengobatan khusus untuk epilepsi katamenial. Obat-obatan antiepilepsi
merupakan andalan utama pengelolaan penyakit ini. Namun, sekitar sepertiga wanita dengan
kejang katamenial memerlukan pengobatan dengan lebih dari satu obat, sebagian dikarenakan
epilepsi katamenial sering terbukti refrakter terhadap obat-obatan konvensional. Setidaknya
secara teori, gabapentin, levetiracetam, tiagabine, zonisamide, dan pregabalin merupakan
pilihan menarik, karena mereka tidak menginduksi enzim hepatik. Acetazolamide, suatu
inhibitor anhidrase karbonik yang ampuh, telah digunakan secara empiris selama bertahun-
tahun dalam pengobatan epilepsi katamenial, tetapi ada beberapa studi langsung yang
membuktikan efektivitasnya;302 toleransi obat, yang memerlukan eskalasi dosis progresif,
merupakan masalah yang umum. Benzodiazepin, seperti clonazepam dan clobazam,
meningkatkan aktivitas reseptor GABA-A dan memiliki spektrum luas aktivitas antikejang.
Clobazam (20-30 mg per hari), yang diberikan secara intermiten 2-4 hari sebelum menstruasi
hingga 3 hari pertama perdarahan, telah terbukti efektif untuk pengobatan epilepsi
katamenial; pengobatan intermiten membantu menghindari masalah dengan toleransi, yang
merupakan masalah umum.303 Terbatasnya bukti menunjukkan bahwa pengobatan dengan
lamotrigin (25-200 mg per hari) dapat menurunkan atau menghilangkan kejang katamenial,
setidaknya pada beberapa wanita.304 Ganaxolone, suatu neurosteroid sintetik (suatu analog
3β-metil allopregnanolone) yang telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam contoh
praklinis epilepsi katamenial dan investigasi pendahuluan pada wanita,305 saat ini berada
dalam percobaan klinis.306

Terapi hormonal untuk pengelolaan kejang katamenial juga patut dipertimbangkan, terutama
bagi wanita yang terbukti resisten terhadap obat-obatan antiepilepsi. Pengobatan dengan
depotmedroxyprogesterone asetat dalam dosis yang biasanya menghentikan menstruasi
(contohnya 150 mg secara intramuskuler setiap 3 bulan) dapat meningkatkan kontrol kejang
pada banyak wanita.307 Progesteron alami siklik juga telah terbukti efektif untuk pengobatan
kejang katamenial; 100-200 mg, diberikan secara oral atau melalui vagina tiga kali sehari
antara hari ke-15 dan ke-28 siklus, menurunkan frekuensi kejang sekitar 50-75%.308, 309

Efikasi dan keamanannya yang nyata telah mendorong suatu percobaan yang sedang
berlangsung yang disponsori oleh Institusi Kesehatan Nasional,310 namun progesteron belum
diakui sebagai pengobatan disetujui untuk epilepsi katamenial. Bukti dari studi pada hewan
model dan data klinis menunjukkan pengaruh antikejang pada progesterone yang berasal dari
konversi metaboliknya menjadi neurosteroid, terutama allopregnanolone.311, 312 Kontrasepsi
oral terus-menerus, minipil yang hanya mengandung progestin,313 dan agonis GnRH dengan
terapi add-back estrogen/progestin juga menunjukkan beberapa efektivitas pada sejumlah
kecil wanita dengan epilepsi katamenial.314-316

Singkatnya, epilepsi katamenial merupakan kondisi yang kompleks dan multifaset. Hormon
ovarium memainkan peran utama namun penyebab pastinya belum diketahui. Bukti
menunjukkan bahwa estrogen, progesteron, dan neurosteroid endogen terlibat dalam
patofisiologinya, tetapi tidak ada hormon spesifik dinamis yang predisposisi terhadap kejang
telah teridentifikasi. Penarikan neurosteroid mungkin menjadi faktor kritis yang
meningkatkan kerentanan kejang selama interval perimenstrual, bertindak melalui perubahan
di pusat reseptor GABA-A. Obat-obatan antiepilepsi konvensional tidak efektif pada
sebagian pasien dengan kejang katamenial, mungkin karena mereka dapat mengubah
konsentrasi dan metabolisme steroid seks. Terapi hormonal seperti progesteron, kontrasepsi
oral, dan agonis GnRH, telah terbukti ampuh. Akhirnya, neurosteroid sintetis yang baru
dikembangkan telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam studi epilepsi katamenial
terhadap hewan dan mungkin dapat menawarkan pengobatan tertentu di masa depan.

Asma Premenstruasi

Sekitar 20-40% wanita dengan asma memiliki peningkatan gejala yang berhubungan dengan
menstruasi.317-319 Bahkan penderita asma tidak menyadari hubungannya dengan menstruasi
yang menunjukkan bertambah buruknya fungsi paru-paru selama menstruasi.320, 321 Wanita
dengan asma yang dipicu hormon umumnya cenderung memiliki asma yang lebih berat
dibandingkan mereka yang asmanya tidak terpengaruh oleh perubahan hormon.
Mekanismenya tidak diketahui, tetapi pelepasan prostaglandin, perubahan dalam sistem
kekebalan tubuh, serta pengaruh langsung penurunan kadar estrogen dan progesteron pada
otot polos bronkus semuanya telah dikenali.

Metode terbaik untuk mengobati asma premenstruasi belum ditetapkan. Pengobatan dengan
estrogen (micronized estradiol, 2 mg secara oral per hari) telah dilaporkan dapat
memperbaiki gejala dan ukuran fungsi paru-paru.321 Sebuah uji klinis acak tidak menemukan
perbedaan antara pengaruh estrogen dan plasebo, meskipun semua subjek memiliki asma
ringan umumnya berada di bawah kontrol yang baik.322 Studi lain menemukan bahwa
pemberian progesteron intramuskuler membantu untuk meringankan asma pramenstruasi.323
Logika menghentikan periode menstruasi melalui pengobatan sehari-hari dengan kontrasepsi
oral, depot-medroksiprogesteron asetat intramuskuler, atau pengobatan dengan GnRH agonis
long-acting cukup menggoda, tetapi tidak ada data yang menunjukkan efikasi mereka.
Alternatif-alternatif meliputi inhaler penyelamat, bila perlu, atau suatu pengubah leukotrien,
contohnya montelukas, zafirlukas, atau zileuton.
Pneumotoraks, Hemotoraks, dan Hemoptisis Katamenial

Sindrom endometriosis toraks sangat erat terkait dengan kehadiran endometriosis pelvis.
Dalam sebuah analisis retrospektif terhadap 110 kasus, usia rata-rata pada presentasi
endometriosis toraks adalah 35 ± 0.6 tahun, dengan kisaran 15-54 tahun.324 Pneumotoraks
katamenial merupakan presentasi paling umum, terjadi pada 80 dari 110 pasien (73%);
hemotoraks katamenial terjadi pada 15 pasien (14%), hemoptisis katamenial pada 8 pasien
(7%) dan nodul paru-paru teramati pada 7 pasien (6%). Lima puluh satu dari 61 pasien yang
menjalani laparoskopi atau laparotomi terbukti memiliki endometriosis pelvis. Implan pleura
diamati pada kurang dari 15% pasien yang telah menjalani torakostomi atau torakotomi, dan
cacat diafragma, kista atau blebs parenkim diamati pada sekitar 25% kasus.324

Penjelasan yang paling masuk akal untuk pneumotoraks, hemotoraks, dan hemoptisis
katamenial adalah transfer jaringan endometrium dari peritoneal menuju pleura melalui
kerusakan diafragma325, 326
dan mikroembolisasi melalui pembuluh darah pelvis.324 Sebuah
tinjauan dari 154 kasus terapi pembedahan pneumotoraks katamenial menemukan bahwa
16% pasien terlihat mengalami perforasi diafragma tanpa adanya endometriosis toraks dan
12% menderita endometriosis diafragma yang berhubungan dengan satu atau lebih
perforasi.327

Pada pasien wanita, gejala endometriosis toraks biasanya timbul dalam waktu 24-48 jam
setelah onset menstruasi. Nyeri dada adalah gejala yang paling umum, terjadi pada 90%
pasien, sepertiganya mengalami dispnea. Pneumotoraks muncul paling sering pada sisi kanan
dan biasanya berukuran kecil sampai sedang; hemotoraks juga biasanya muncul pada sisi
kanan.328, 329 Wanita dengan endometriosis parenkim endobronkus atau pulmonari biasanya
hadir disertai hemoptisis katamenial.

Diagnosis endometriosis toraks harus dicurigai pada wanita usia reproduksi yang mengalami
nyeri dada berulang, pneumotoraks atau hemoptisis selama menstruasi. Meskipun tidak
diperlukan, diagnosis dapat ditegakkan dengan sitologi cairan pleura,330 aspirasi jarum pada
massa paru-paru,331 sitologi dilakukan pada aspirasi bronkoskopik,332 atau video
torakoskopi.333 Pada wanita dengan pneumotoraks katamenial, chest computerized
tomography (CT) dapat mengungkapkan bula, gigi berlubang , atau fibrosis, dan pada
penderita hemoptisis, dapat menunjukkan nodul parenkim kecil, yang hanya dapat dilihat
selama menstruation.334, 335

Pengobatan awal pasien dengan gejala endometriosis toraks sama dengan pengobatan pada
pasien penderita pneumotoraks, hemotoraks, atau hemoptisis. Pengobatan yang sukses dan
untuk jangka panjang memerlukan penekanan atau eksisi implan endometrium toraks,
pencegahan pembibitan ulang dari pelvis, dan pencegahan kebocoran udara sepanjang
perforasi diafragma. Meskipun pengobatan supresi hormonal (contohnya kontrasepsi oral,
progestin, danazol, analog GnRH) umumnya dianggap sebagai terapi lini pertama, tingkat
kekambuhannya lebih besar dari 50%.324 Ketika terapi tersebut gagal, terapi pembedahan
diindikasikan. Pemeriksaan langsung pleura melalui video torakoskopi atau torakotomi dapat
mengidentifikasi implan endometrium atau perforasi diafragma, yang dapat dipotong atau
ditutup, biasanya diikuti dengan pleurodesis kimia menggunakan bedak poudrage (meniup
bubuk atau aerosol ke dalam rongga pleura) atau abrasi pleura.327, 329 Terapi bedah umumnya
sangat efektif untuk mencegah pneumotoraks atau hemotoraks katamenial berulang, tetapi
beberapa pasien yang terus mengalami nyeri dada siklik karena implan pleuropulmonari
mungkin memerlukan terapi supresif medis dengan jangka waktu yang lebih lama.336

Anda mungkin juga menyukai