Anda di halaman 1dari 188

MAKALAH

PRAKTIK KOMUNIKASI PADA SETIAP TAHAP PROSES KEPERAWATAN

Dosen Pengampu : Yustiana Olfah, APP.,M.Kes

Disusun Oleh Kelompok 1 :

Dewi Candrawati (P07120221005)

Muhammad Nico Fachrizal (P07120221040)

Wikan Dewi Sasikirana (P07120221042)

SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN + PROFESI NERS

JURUSAN KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA 2021/2022


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Komunikasi merupakan suatu dasar dan kunci seseorang dalam menjalankan


tugasnya, komunikasi merupakan suatu proses dalam perawatan untuk menjalankan dan
menciptakan hubungan dengan pasien. Komunikasi tampaknya sederhana, tetapi untuk
menjadikan suatu komunikasi berguna dan efektif membutuhkan usaha dan keterampilan
serta kemampuan dalam bidang itu (Arifin, 2002). Tidak ada persoalan sosial manusia
dihadapkan dengan masalah sosial yang penyelesaiannya menyangkut komunikasi yang
lebih baik.

Setiap hari semua orang melakukan proses komunikasi. Sering kali akibat
komunikasi yang tidak tepat terjadi perbedaan pandangan atau salah paham. Oleh karena
itu setiap orang perlu memahami konsep dan proses komunikasi untuk meningkatkan
hubungan antar manusia dan mencegah kesalah pahaman yang mungkin terjadi,
hubungan komunikasi terapeutik antara perawat atau bidan dengan pasien adalah
hubungan kerjasama yang ditandai dengan tukar menukar perilaku, perasaan, pikiran dan
pengalaman dalam membina hubungan intim yang terapeutik (Utami P, 1998). Dasawarsa
terakhir masalah komunikasi antara petugas kesehatan dan pasien telah mendapatkan
sorotan luas karena adanya beberapa laporan riset yang di kumpulkan Faulkner (1984),
laporan tersebut mengungkapkan bahwa banyak pasien yang merasa tidak pernah
menerima cukup informasi (Nancy, 1988). Komunikasi merupakan unsur yang penting
dalam aktifitas dan bagian yang selalu ada dalam proses manajemen keperawatan atau
kebidanan. Berdasarkan hasil penelitian Swansburg (1990), bahwa lebih dari 80% waktu
yang digunakan untuk berkomunikasi, 16% untuk membaca dan 9% untuk menulis.

Dalam profesi keperawatan, komunikasi sangat penting antara perawat dengan


perawat, dan perawat dengan klien, khususnya komunikasi antar perawat dengan klien
dimana dalam komunikasi itu perawat dapat menemukan beberapa solusi dari
permasalahan yang sedang dialami klien dan komunikasi ini dinamakan dengan
komunikasi terapeutik. Akan tetapi, dalam pelaksanaan komunikasi terapeutik ini ada
fase-fase, tehnik-tehnik dan faktor-faktor serta proses komunikasi terapeutik tersebut
dalam perawatan sehingga pelayanan/asuhan keperawatan dapat berjalan dengan baik
serta memberikan tingkat kepuasan pada klien.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah praktik komunikasi pada setiap tahap proses keperawatan?

1.3 Tujuan

a. Mengetahui tahap proses komunikasi dalam keperawatan

b. Mengetahui fase-fase komunikasi dalam keperawatan

c. Mengetahui tehnik-tehnik komunikasi dalam keperawatan

d. Mengetahui faktor-faktor komunikasi dalam keperawatan

1.4 Manfaat

Dapat mengetahui praktik komunikasi pada setiap tahap proses keperawatan.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tahap Proses Komunikasi

A. KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA TAHAP PENGKAJIAN

Pengkajian adalah tahap pertama dalam proses keperawatan. Tahap ini merupakan
tahap yang penting dalam proses keperawatan karena tahap-tahap selanjutnya dalam proses
keperawatan tidak akan dapat berjalan dengan baik jika tahap pengkajian tidak dilakukan
dengan baik. Pada tahap ini perawat menggunakan kemampuan verbal ataupun nonverbal
dalam mengumpulkan data klien. Dalam pengkajian, perawat dituntut untuk mampu
melakukan komunikasi dengan baik verbal dan melakukan pengamatan terhadap perilaku
nonverbal serta menginterpretasikan hasil pengamatan dalam bentuk masalah. Setelah data
terkumpul, selanjutnya dikomunikasikan dalam bahasa verbal kepada klien atau tim
kesehatan lainnya dan dikomunikasikan dalam bentuk tulisan (didokumentasikan) untuk
dikomunikasikan pada tim kesehatan lain dan sebagai aspek legal asuhan keperawatan.

Adapun bentuk-bentuk komunikasi yang dapat digunakan perawat pada tahap


pengkajian dari proses keperawatan ini, terdiri dari :

1. Wawancara / interview

Wawancara adalah proses transaksi antara dua orang yang mempunyai tujuan
spesifik, serius, dan penuh arti. Wawancara biasanya dilakukan secara langsung melalui
pertemuan langsung dalam interaksi tatap muka (face to face). Dalam wawancara ini,
pewawancara (perawat) dapat menggunakan kemampuan komunikasi verbal ataupun
nonverbal untuk menggali data yang diwawancara (klien). Dengan kontak secara
langsung, pewawancara (perawat) dapat memperoleh data langsung yang ditunjukkannya
dalam perilaku verbal ataupun nonverbalnya dari orang yang diwawancarai (pasien).

Keuntungan wawancara secara langsung ini sebagai berikut:

a. Meningkatkan kecakapan profesional perawat.

b. Data yang diperoleh lebih spesifik dan nyata sesuai dengan keadaan sebenarnya.

c. Lebih efektif jika dibandingkan dengan wawancara secara tidak langsung karena
langsung mendapatkan feedback secara langsung dari klien.
Wawancara ini dilakukan untuk memperoleh data tentang riwayat penyakit klien,
riwayat penyakit dahulu dan pengobatan yang telah dilakukan, keluhan utama, harapan-
harapan, dan sebagainya. Dalam mewawancarai, perawat menggunakan teknik
pertanyaan terbuka (broad opening) untuk menggali lebih banyak data tentang klien.
Selanjutnya perawat dapat menggunakan teknik-teknik komunikasi yang lain untuk
mengklarifikasi, memberikan feedback, mengulang, memfokuskan, atau mengarahkan
agar jawaban klien sesuai dengan tujuan wawancara.

Pada saat wawancara atau selama proses pengkajian untuk mendapatkan data
keperawatan klien, di samping teknik komunikasi tersebut di atas, perawat juga harus
mempertahankan sikap terapeutik lain, yaitu mempertahankan kontak mata, mendekat
dan membungkuk ke arah klien, serta mendengarkan jawaban klien dengan aktif.

2. Pemeriksaan fisik dan observasi

Komunikasi yang digunakan perawat pada saat perawat melakukan pengumpulan


data melalui pemeriksaan fisik adalah dalam rangka meminta izin klien, memeriksa,
memfokuskan pemeriksaan yang dilakukan sesuai dengan keluhan dan petunjuk yang
diberikan klien. Perawat juga mengobservasi ekspresi wajah (misal menyeringai
kesakitan, menangis, pucat, dll) sebagai bentuk nonkomunikasi nonverbal dan
mencatatnya dalam status keperawatan klien. Saat melakukan pemeriksaan fisik dan
observasi, teknik komunikasi yang digunakan perawat adalah klarifikasi dan berbagi
persepsi.

Pemeriksaan fisik dan observasi biasanya dilakukan bersamaan dengan wawancara


atau setelah kegiatan wawancara selesai. Dengan demikian, strategi pelaksanaan (SP)
komunikasi dapat menyatu dengan SP komunikasi saat wawancara. Berikut ini contoh
komunikasi dengan fokus fase kerja untuk menerapkan teknik klarifikasi dan berbagi
persepsi.

3. Pengumpulan data dari dokumen lain

Perawat menggunakan catatan medik, laboratorium, foto rontgen, dan lain-lain


sebagai bentuk komunikasi tertulis dengan anggota tim kesehatan lain untuk melengkapi
dan mengklarifikasi data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan fisik dan observasi.
B. KOMUNIKASI PADA TAHAP DIAGNOSIS KEPERAWATAN

Pada tahap proses keperawatan ini komunikasi dilakukan untuk mengklarifikasi data dan
melakukan analisis sebelum menentukan masalah keperawatan klien, selanjutnya
mendiskusikan dengan klien. Masalah atau diagnosis keperawatan yang telah ditetapkan
dikomunikasikan/disampaikan kepada klien agar dia kooperatif dan berusaha bekerja sama
dengan perawat untuk mengatasi masalahnya dan juga kepada perawat lain secara langsung
dan tulisan untuk dokumentasi. Teknik yang dilakukan pada tahap diagnosis keperawatan
adalah teknik memberikan informasi (informing).

Beberapa contoh diagnosis keperawatan terkait dengan gangguan nutrisi sebagai berikut.

• Nutrisi tidak adekuat (kurang) sehubungan dengan gangguan proses digesti.

• Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan gangguan


metabolisme.

Contoh komunikasi pada fase kerja:

“Berdasarkan data yang saya peroleh melalui pemeriksaan fisik dan informasi dari ibu
terkait dengan keluhan yang menyebabkan ibu masuk rumah sakit, saya menyimpulkan
bahwa ibu mengalami gangguan nutrisi karena ada masalah pada proses digesti. Lambung
ibu bermasalah, terkait dengan masalah pada lambung ibu, saya akan berkolaborasi dengan
dokter untuk pengobatan dan tindakan selanjutnya.”

C. KOMUNIKASI PADA TAHAP PERENCANAAN

Pada tahap ini, tugas perawat adalah merumuskan tujuan keperawatan dan menetapkan
kriteria keberhasilan, merencanakan asuhan keperawatan, dan Tindakan kolaboratif yang
akan dilakukan. Komunikasi yang penting dilakukan perawat pada fase ini adalah
mendiskusikan kembali rencana yang sudah disusun perawat dan Bersama klien menentukan
kriteria keberhasilan yang akan dicapai. Dalam fase ini, keterlibatan keluarga juga penting
kaitannya dengan peran serta keluarga dalam perawatan klien.

Rencana asuhan keperawatan selanjutnya ditulis atau didokumentasikan dalam status


klien sebagai bentuk tanggung jawab profesional dan memudahkan komunikasi antartim
kesehatan untuk asuhan keperawatan yang berkesinambungan.

Contoh komunikasi pada fase kerja:


“Berdasarkan masalah keperawatan yang telah kita tetapkan bersama, selanjutnya saya
kolaborasikan dengan dokter terkait dengan masalah tersebut, saya sampaikan bahwa salah
satu tindakan yang akan dilakukan pada ibu adalah pemasangan infus. Tujuan pemasangan
infus ini adalah untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ibu. Untuk saat ini, lambung ibu harus
diistirahatkan dulu untuk pemeriksaan selanjutnya. Pemasangan infus ini sifatnya sementara;
jika ibu tidak mual atau muntah lagi, maka akan kami lepaskan.”

D. KOMUNIKASI PADA TAHAP IMPLEMENTASI

Pada tahap ini, berkomunikasi atau diskusi dengan para profesional kesehatan lain
adalah penting dalam rangka untuk memberikan penanganan yang adekuat kepada klien.
Pada tahap ini, perawat sangat efektif berkomunikasi dengan pasien karena perawat akan
menggunakan seluruh kemampuan dalam komunikasi pada saat menjelaskan tindakan
tertentu, memberikan pendidikan kesehatan, memberikan konseling, menguatkan sistem
pendukung, membantu meningkatkan kemampuan koping, dan sebagainya. Perawat
menggunakan verbal ataupun nonverbal selama melakukan tindakan keperawatan untuk
mengetahui respons pasien secara langsung (yang diucapkan) ataupun yang tidak diucapkan.
Semua aktivitas keperawatan/ tindakan harus didokumentasikan secara tertulis untuk
dikomunikasikan kepada tim kesehatan lain, mengidentifikasi rencana tindak lanjut, dan
aspek legal dalam asuhan keperawatan.

Teknik komunikasi terapeutik yang digunakan pada fase ini adalah memberikan
informasi (informing) dan mungkin berbagi persepsi.

Pada saat melakukan tindakan keperawatan, di samping komunikasi verbal yang


diucapkan dengan kata-kata, perawat harus menunjukkan sikap terapeutik secara fisik
selama berkomunikasi, yaitu :

1. Ekspresi wajah menyenangkan dan tampak ikhlas,

2. Mendekat dan membungkuk kearah klien,

3. Mempertahankan kontak mata yang menunjukkan kesungguhan untuk membantu,

4. Sikap terbuka tidak meliat tangan atau kaki saat interaksi terjadi,

5. Tetap rileks.
E. KOMUNIKASI PADA TAHAP EVALUASI

Pada tahap ini, perawat menilai keberhasilan dari asuhan dan tindakan keperawatan
yang telah dilakukan. Semua hasil dicatat dalam buku catatan perkembangan perawatan
klien, mendiskusikan hasil dengan klien, meminta tanggapan klien atas keberhasilan atau
ketidakberhasilan tindakan yang dilakukan, serta bersama klien merencanakan tindak lanjut
asuhan keperawatannya. Jika belum berhasil, perawat dapat mendiskusikan kembali dengan
klien apa yang diharapkan dan bagaimana peran serta/keterlibatan klien atau keluarga dalam
mencapai tujuan dan rencana baru asuhan keperawatan klien.

Pada setiap fase dalam proses perawatan, perawat harus menggunakan teknik-teknik
komunikasi terapeutik dan menggunakan fase-fase berhubungan terapeutik perawat-klien,
mulai fase orientasi, fase kerja, dan fase terminasi. Untuk tahap prainteraksi, dapat
melakukan dengan cara melakukan persiapan dengan membuat strategi pelaksanaan (SP)
komunikasi.

Gunakan format SP komunikasi dan siapkan sebelum berinteraksi dengan pasien.


Tuliskan kondisi yang sesuai dengan keadaan pasien, tujuan, dan rencana yang akan
dilakukan. Setiap membuat SP komunikasi, berarti sudah masuk fase praorientasi.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Komunikasi merupakan unsur yang penting dalam aktifitas dan bagian yang selalu
ada dalam proses manajemen keperawatan. Berdasarkan hasil penelitian Swansburg
(1990), bahwa lebih dari 80% waktu yang digunakan untuk berkomunikasi, 16% untuk
membaca dan 9% untuk menulis. Dalam profesi keperawatan, komunikasi sangat
penting antara perawat dengan perawat, dan perawat dengan klien, khususnya
komunikasi antar perawat dengan klien dimana dalam komunikasi itu perawat dapat
menemukan beberapa solusi dari permasalahan yang sedang dialami klien dan
komunikasi ini dinamakan dengan komunikasi terapeutik. Bentuk-bentuk komunikasi
yang dapat digunakan perawat pada tahap pengkajian dari proses keperawatan ini,
terdiri dari : wawancara, pemeriksaan fisik dan observasi dan pengumpulan data dari
dokumen lain.

3.2 Saran

Dalam melakukan praktik komunikasi keperawatan selain menggunakan tahap-


tahap proses dalam tindakan askep, perawat juga harus menerapkan etika atau kode etik
keperawatan agar klien nyaman.

Kita perlu mempelajari lebih lanjut tentang praktik komunikasi pada setiap proses
keperawatan ini supaya lebih dapat memahami ilmu dan wawasan yang lebih luas
dengan membaca referensi-referensi buku dan blog pada sosial media.
MAKALAH KOMUNIKASI
PRAKTIK KOMUNIKASI PADA BAYI DAN ANAK
Dosen Pengampu: Ibu Dr.Yustiana Olfah, A.PP, M.Kes

Disusun oleh Kelompok 2:

Fitri Putri Anggraeni (P07120221046)

Nahiza Yadya (P07120221052)

Yuli Krisnayanti Siahaan (P07120221018)

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN+PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA 2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang

Komunikasi sebagai sebuah proses dalam menyampaian pesan untuk mencapai suatu
tujuan, komponen utamanya adalah komunikator atau sumber pesan, komunikan atau penerima
pesan dan pesan itu sendiri. Dalam proses pembelajaran bagi anak usia dini, komunikasi harus
dikembangkan dengan strategi yang disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan
perkembangan anak, salah satu pusat perhatian kajian adalah perkembangan bahasa anak yang
akan memberikan pengaruh besar terhadap strategi komunikasi terhadap anan usia dini.
Kesalahan populer komunikator yaitu orang dewasa dalam bahasa komunikasi, dan hambatan-
hambatan komunikasi bagi anak harus menjadi perhatian yang besar dalam menyusun strategi
komunikasi.tiga hal yang sangat urgen yaitu penggunaan istilah yang tepat, berkesinambungan,
dan adanya aba-aba untuk berpindah tema.

Sebagaimana kita ketahui bahwa sesungguhnya pendidikan yang utama dan pertama
bagi anak usia dini berada di rumah bersama orang tua yaitu ayah dan ibu. Indikatornya adalah
: (1) orang tua merupakan orang yang paling bertanggungjawab terhadap perkembangan anak-
anaknya, (2) orang tua merupakan orang yang pertama berinteraksi dengan anak-anaknya
sebelum mereka berinteraksi dengan orang lain, (3) lingkungan keluarga merupakan
lingkungan terdekat yang sangat berpengaruh terhadap kepribadian anak, dan (4) waktu yang
dimiliki oleh anak lebih banyak dihabiskan di rumah bersama orangtuanya . Dengan demikian
pemberian asah, asih dan asuh kepada anak usia dini menjadi tanggungjawab utama bagi
orangtuanyayaitu ayah dan ibunya.

Komunikasi merupakan kunci sukses hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya.
Bentuk komunikasi verbal dengan kata-kata maupun komunikasi non verbal seperti pelukan,
ciuman, sentuhan, dll merupakan bentuk komunikasi yang perlu dipupuk dan dilatih kepada
anak sejak anak usia dini. Sehingga sampai kapanpun “komunikasi kasih sayang” dari kedua
orang tua kepada anak-anaknya dapat terus berlangsung, tanpa anak merasa malu, terganggu
dan lain-lain.Proses belajar komunikasi anak merupakan kolaborasiantara kedua orang tua
dengan anak-anaknya, dan kolaborasi tersebut dapat dimulai sejak anak masih 0 tahun. Masa
inilah merupakan fondasibagi seorang anak untuk membekali dirinya dalam menyongsong dan
menjalani kehidupan dimasa depannya. Proses pembelajaran komunikasi ini akan
mematangkan pembelajaran etika, nilai (value), kepribadian, dansikap agar mereka benar-benar
menjadi sosok penerus bangsa yang berperilaku dan berkepribadian luhur seperti apa yang
diamanatkan oleh para pejuang negeri tercinta ini.Komunikasi yang baik antara orang tua
dengan anak, sangat membantu anak memahami dirinya sendiri, perasaannya, pikirannya,
pendapatnya dan keinginan-keinginannya. Anak dapat mengidentifikasi perasaannya secara
tepat sehingga membantunya untuk mengenali perasaan yang sama pada orang lain.

Dengan bekal pengetahuan strategi berkomunikasi, maka orang tua dapat mewujudkan
dan membimbing anak-anaknya menjadi anak yang handal dan berkualitas serta siap untuk
menghadapi kehidupan yang semakin kompleks.

1.2.Rumusan Masalah

• Bagaimana teori dan faktor yang mempengaruhi komunikasi terhadap anak usia dini?

• Bagaimana prinsip komunikasi pada anak?

• Bagaimana teknik – teknik komunikasi yang dapat digunakan pada pasien anak?

• Bagaimana strategi komunikasi pada bayi dan anak?

1.3.Tujuan

• Dapat memahami teori dan faktor yang mempengaruhi komunikasi terhadap anak usia
dini.

• Dapat memahami prinsip komunikasi pada anak.

• Dapat memahami teknik-teknik komunikasi yang dapat digunakan pada pasien anak.

• Dapat memahami strategi komunikasi pada bayi dan anak.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Teori dan Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Terhadap Anak Usia Dini

Melalui pola komunikasi yang tepat seiring dengan kemampuan berbahasa orang tua
yang akan ditrasfer pada anak lewat komunikasi yang efektif, maka segala hal positif berkenaan
dengan tumbuh kembang anak yang sesuai harapan akan terpenuhi. Perkembangan strategi
komunikasi berawal dari perkembangan bahasa anak. Bahasa anak awalnya berkembang secara
alami. Proses ini dikenal dengan pemerolehan bahasa. Melalui interaksi dengan lingkungan
anak memperoleh pengalaman yang memberi sumbangan terhadap perkembangan bahasa.

Ada tiga teori dasar yang dapat digunakan untuk memahami perkembangan bahasa
anak. Ketiga teori tersebut dikemukakan berikut ini:

1. Teori Behavioristik (Teori Perilaku) dari Skinner

Teori dalam aliran behavioristik yang diprakarsai oleh BF. Skinner yang menyatakan
bahwa lingkungan memberi pengaruh utama bagi perkembangan bahasa anak.Oleh karenanya
orang tua dan pendidik perlu aktif mengajak anak berbicara dan memberi contoh penggunaan
bahasa yang baik. Teori perilaku juga percaya bahwa agar anak berhasil dibutuhkan penguatan.
Bentuk penguatan khususnya adalah pujian atau barang-barang sederhana. Anak perlu diberi
contoh ucapan sehingga anak dapat meniru ucapan tersebut. Atas keberhasilan anak mengulangi
contoh yang diberikan, perlu diberi penguatan dan imbalan yang segera diberikan seperti
‘bagus,’ pinter, diberi permen atau yang lainnya yang setimpal. Teori ini menekankan bahwa
dalam perkembangan bahasa anak usia dini, orangtua dituntut untuk memberikan stimulasi,
seperti aktif mengajak anak berbicara dan bercakap-cakap agar pencapaian kemampuan
berbahasa anak maksimal.

2. Teori Nativistik dari Chomsky

Menurut Noan Chomsky kemampuan bahasa anak terbentuk mulai dari konsepsi. Dengan kata
lain, sejak lahir anak telah memiliki kemampuan berbahasa. Kemampuan tersebut dikenal
dengan Language Advice Device 2Hurlock Elizabeth B. 2005 Perkembangan anak Jilid 1.
Jakarta. Penerbit Erlangga.. 3 ibid (LAD). Chomsky juga memperkenalkan Universal Grammar
dalam kemampuan bahasa anak. Ini merupakan kelemahan dan sumber kritik atas teorinya
Chomsky. Selanjutnya Chomsky juga menyatakan bahwa belajar bahasa sebaiknya sebelum
usia sepuluh tahun. Kemampuan yang terbentuk pada saat dalam kandungan akan teraktualisasi
atau berkembangan dengan didukung oleh faktor biologis dan faktor lingkungan setelah anak
lahir. Untuk itu, Noam Chomsky menyatakan faktor lingkungan juga sangat berperan dalam
perkembangan bahasa anak disamping kesiapan faktor biologis. Ada kemampuan yang tidak
mungkin dimiliki anak, walau lingkungan memberi stimulasi yang maksimal kalau kondisi
biologis belum siap untuk mencapai kemampuan tersebut. Misalnya, pengucapan huruf ‘g’
tidak mungkin dimiliki sebelum alveolenatal matang untuk berfungsi. Teori ini Mengutarakan
bahwa bahasa sudah ada di dalarn diri anak. Pada saat seorang anak lahir, dia telah memiiiki
seperangkat kemampuan berbahasa yang disebut Tata Bahasa Umum” atau ‘Universal
Grammar’. Teori ini mengatakan bahwa meskipun pengetahuan yang ada di dalam diri anak
tidak rnendapatkan banyak rangsangan, anak akan tetap dapat mempelajarinya. Anak tidak
sekedar meniru bahasa.yang dia dengarkan, tapi ia juga mampu menarik kesimpulan dari pola
yang ada, hal ini karena anak memiliki sistem bahasa yang disebut Perangkat Penguasaan
Bahasa. Teori Nativistik juga memberikan pengetahuan bahwa keterampilan bahasa juga
dipengaruhi oleh kematangan fisik anak, misalnya kematangan organ-organ bicara. Oleh karena
itu, pendidik dalam dalam memberikan stimulasi perlu memperhatikan kesiapan anak. Teori ini
juga memberikan wawasan bahwa anak akan belajar bahasa dengan cepat sebelum usia 10
tahun. Artinya, pembelajaran bahasa lebih baik diberikan sejak dini, karena lebih dari usia 10
tahun anak akan mengalami kesulitan.

3. Teori Konstruktivisme dari Piaget, Vygotsky, Gardner

Perkembangan kognisi dan bahasa dibentuk dari interaksi dengan orang lain.4 Dengan
berinteraksi dengan orang lain, maka pengetahuan, nilai dan sikap anak akan berkembang.
Anak memiliki perkembangan kognisi yang terbatas pada usia-usia tertentu, tetapi melalui
interaksi sosial, anak akan mengalarni peningkatan kemampuan berpikir. Pengaruh pada
pembelajaran. Anak akan dapat belajar dengan optimal jika diberikan kegiatan, Sementara anak
melakukan kegiatan, anak perlu didorong untuk sering berkomunikasi. Adanya anak yang lebih
tua usianya atau orang dewasa yang mendampingi pembeiajaran dan mengajak bercakap-cakap
akan menolong anak menggunakan kemampuan berbahasa yang lebih tinggi. Jika anak
mengalami kesulitan, peran orang dewasa yang tepat akan membantu anak memecahkan
persoalan sehingga anak dapat belajar sesuatu dari peristiwa tersebut. Karena itu pendidik perlu
menggunakan metode yang interaktif, menantang anak untuk meningkatkan pembeiajaran dan
menggunakan bahasa yang berkualitas
Komunikasi anak juga sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor sehingga anak mudah
untuk berkomunikasi dengan orang lain. Faktor-faktor itu adalah:

a. Kesehatan

Anak yang sehat lebih mudah berkomunikasi daripada anak yang kurang sehat. Anak yang
sehat memiliki motivasi yang kuat untuk menjadi anggota kelompok sosialnya (teman sejawat)
dan berkomunikasi dengan anggota kelompok tersebut.

b. Kecerdasan

Anak yang cerdas lebih mudahberkomunikasi daripada anak yang kurang cerdas. Anak
yang cerdas mempunyai rasa percaya diri yang besar dan tidak ada ketakutan untuk tidak
diterima oleh anggota kelompoknya atau teman sejawatnya.

c. Keadaan sosial ekonomi

Anak dari tingkat sosial ekonomi lebih tinggi punya kecenderungan untuk mudah
berkomunikasi karena anak sering didorong untuk mengungkapkan perasaannya. Anak juga
merasa aman dan terpenuhi jika mengungkapkan perasaan dan keinginanya

d. Jenis kelamin

Anak laki-laki mempunyai kecenderungan lebih susah berkomunikasi dibandingkan


dengan anak perempuan. Kalimat dalam komunikasi anak laki-laki lebih pendek-pendek dan
tata bahasanya kurang betul dibandingkan dengan anak perempuan.

e. Keinginan berkomunikasi

Semakin kuat keinginan anak berkomunikasi dengan orang lain atau teman sejawat
semakin mudah anak tersebut berkomunikasi.

f. Dorongan

Semakin anak didorong berkomunikasi dengan yang lain, semakin mudah anak
berkomunikasi. Semakin sering anak diajak bicara, ditanya, dan diajak komunikasi baik dalam
keluarga maupun dalam lingkungan semakin anak senang berkomunikasi karena merasa
diterima keberadaanya.

g. Jumlah dalam keluarga


Semakin kecil anggota keluarga anak tersebut semakin mudah untuk berkomunikasi,
karena kesempatan berkomunikasi dengan yang lain semakin besar. Orang tua lebih bisa
menyisihkan waktu untuk berkomunikasi dengan anak sehingga kemampuan komunikasi anak
semakin baik.

h. Urutan kelahiran

Anak yang lahir pertama mempunyai kecenderungan untuk lebih mudah berkomunikasi
dengan orang tuanya ketimbang anak yang lahir kemudian. Anak pertama biasanya mendapat
limpahan kasih sayang dan waktu yang lebih daripada anak yang kedua, dengan limpahan kasih
sayang dan waktu ini anak merasa diperhatikan dan diterima oleh orang tuanya.

i. Metode pelatihan anak

Anak yang diasuh secara otoriter yang menekankan bahwa anak harus dilihat dan bukan
didengar mempunyai hambatan komunikasi.

j. Kelahiran kembar

Anak yang lahir kembar umumnya terlambat dalam perkembangan komunikasinya, karena
mereka lebih banyak bergaul dengan saudara kembarnya. Anak kembar punya kecenderungan
miskin logat dan melemahkan motivasi untuk komunikasi.

2.2.Prinsip Komunikasi pada Anak

Adapun prinsip komunikasi yang baik pada anak adalah:

1. Sesuai dengan usia tumbuh kembang pada saat berkomunikasi dengan anak

Perawat perlu memperhatikan tahapan tumbuh kembang anak karena anak


memiliki kemampuan yang berbeda untuk komunikasi sesuai dengan tahapan tumbuh
kembangnya

2. Memandang anak secara holistic Ketika berkomunikasi dengan anak

Perawat perlu memandang anak secara holistic. Misalnya ketika sakit, anak tidak
hanya sakit secara fisik melainkan juga dapat sakit secara psikososial (karena
perpisahan/kehilangan teman).

3. Positive dan mengutamakan kekuatan (strength-based approach)


Mengunggulkan kekuatan atau kelebihan anak adalah penting agar anak merasa
adekuat saat dirawat di rumah sakit.

4. Mampu memenuhi kebutuhan anak termasuk anak dengan disabilitas/ketidakmampuan


yang lain. Selain anak memiliki tahapan tumbuh kembang yang spesifik, beberapa anak
mungkin memiliki keterbatasan yang dapat mengganggu proses komunikasi. Perawat perlu
memperhatikan hambatan ini supaya dapat menyiapkan/memfasilitasi proses komunikasi
agar lebih efektif.

2.3. Teknik – teknik komunikasi yang dapat digunakan pada pasien anak

A. Teknik Verbal

1. Pesan “saya”

Pergunakanlah istilah “saya” dan hindari penggunaan kata “anda”/”kamu”. Penggunaaan kata
“anda” memberikan kesan menghakimi klien. Contoh: - Pesan “Anda”: “Anda sangat tidak
patuh dalam mengikuti program pengobatan yang telah di berikan oleh dokter dan perawat”. -
Pesan “saya”: “saya sangat memperhatikan jalannya pengobatan anda karena saya ingin pasien
saya mencapai status kesehatan yang terbaik.

2. Teknik orang ketiga

Teknik ini biasanya dipakai untuk klien usia infant dan toddler. Perawat dapat menggunakan
orang terdekat seperti ayah atau ibu sebagai fasilitator dalam berkomunikasi. Teknik ini di
anggap lebih bersahabat dan kurang mengancam dibandingkan dengan bertanya secara
langsung kepada anak. Teknik ini membuat anak lebih merasa nyaman dan dapat
mengungkapkan perasaannya secara lebih terbuka. Contoh: Anak biasanya malu ketika pertama
kali bertemu perawat, Ketika menanyakan nama anak, perawat dapat berbicara kepada ibunya
atau kepada boneka/mainan kesayangan anak terlebih dahulu: Assalamu’alaikum, selamat pagi,
boneka cantik ini siapa ya namanya? (anak menjawab). Kemudian perawat dapat melanjutkan
bertanya melalui perantara boneka tersebut nama anak, apa yang di rasakannya dan sebagainya.

3.Respon fasilitatif

Respon fasilitatif merupakan upaya perawat dalam memberikan feedback terhadap ungkapan
perasaan anak. Dalam menfasilitasi perawat harus mampu memberikan respon positif dan
mengekspresikan perasaannya dengan tidak mendominasi percakapan. Gunakan teknik
mendengar dengan perhatian, empati, dan cerminkan kembali pada pasien perasaan dan isi
pernyataan yang mereka ungkapkan. Respon yang dilakukan oleh perawat tidak boleh
menghakimi. Contoh:Bila anak berkata, “Saya benci ketika perawat datang dan menyuntikkan
obat” respon fasilitatifnya adalah: “Kamu 17 merasa tidak senang ya dengan yang dilakukan
oleh perawat padamu”. “Apakah kamu bisa menceritakan apa yang membuatmu tidak
senang?”.

4. Storytelling (bercerita)

Anak – anak sangat menyukai cerita. Dengan menggunakan cerita, harapannya pesan dapat
diterima lebih mudah oleh anak. Namun demikian, perlu diperhatikan, cerita yang disampaikan
hendaknya sesuai dengan pesan yang akan disampaikan, yang dapat diekspresikan melalui
tulisan maupun gambar. Gunakan bahasa yang mudah dipahami anak dapat masuk ke dalam
area berpikir mereka dan menembus batasan kesadaran atau rasa takut anak. Contoh: gunakan
gambar seperti seorang anak di rumah sakit dengan orang lain di suatu ruangan, dan minta
mereka untuk menggambarkan situasinya; “atau” potong cerita komik, buang kata-katanya, dan
minta anak menambahkan pernyataan untuk ilustrasi tersebut.

5. Saling bercerita

Pendekatan yang lebih terapeutik dibandingkan bercerita karena ada respon timbal balik dari
perawat. Mulailah dengan meminta anak menceritakan pengalamannya di rawat dirumah sakit,
ikuti dengan cerita lain yang diceritakan perawat yang hampir sama dengan cerita anak tetapi
dengan perbedaan yang membantu anak untuk mengidentifikasi area masalah. Contoh:Cerita si
anak adalah tentang di rawat di rumah sakit dan jarang melihat orang tua. Cerita si perawat juga
tentang 18 anak (dengan menggunakan nama yang berbeda tetapi situasinya serupa) di rumah
sakit yang orang tuanya berkunjung setiap hari (pada sore hari setelah bekerja), sampai anak
tersebut merasa lebih baik dan akhirnya pulang ke rumah bersama mereka.

6. Biblioterapi

Perawat dapat menggunakan buku/majalah untuk membantu anak mengekspresikan perasaan,


dengan menceritakan isi buku atau majalah yang sesuai dengan pesan yang akan disampaikan
kepada anak. Pedoman umum untuk menggunakan biblioterapi adalah sebagai berikut:

a. Kaji perkembangan emosi dan kognitif anak untuk mengukur kesiapan anak untuk
memahami pesan dari buku.

b. Kenali isi buku (pesan yang disampaikan dan tujuannya)


c. Pilih buku yang sesuai dengan usia anak.

d. Bacakan buku tersebut bila si anak tidak dapat membaca.

e. Gali makna buku bersama – sama dengan anak

7. Dreams (mimpi)

Dorong anak untuk menceritakan tentang mimpi atau mimpi buruk yang dialaminya selama di
rawat di rumah sakit. Terkadang perasaan stress anak dapat terbawa dalam mimpi. Gali
bersamanya tentang kemungkinan arti mimpi tersebut. Hal ini dapat membantu anak untuk
mengungkapkan perasaanya.

8.“What if” questions

Teknik ini dapat membantu anak menentukan pilihan pemecahan masalah yang ada. Contoh
“Bagaiman jika kamu sakit dan harus pergi ke rumah sakit?” Respons anak menunjukkan apa
yang sudah mereka ketahui dan apa yang ingin mereka ketahui, pertanyaan ini juga member
kesempatan untuk membantu anak mempelajari keterampilan koping, terutama pada situasi
yang sulit.

9. Harapan Anak di dorong untuk mengungkapkan harapannya

Dengan ini, keinginan dan keluhan anak dapat diketahui. Harapan tersebut dapat menunjukkan
perasaan dan pikiran saat itu. Libatkan pertanyaan “Bila kamu memiliki tiga hal di dunia ini,
hal apa sajakah itu?” Tanyakan kepada anak harapan khusus tersebut.

10. Menggunakan skala

Teknik ini sering digunakan untuk mengukur nyeri pada anak. Gunakan beberapa tipe skala
peringkat (angka, wajah sedih, sampai senang) untuk rentang kejadian atau perasaan.
Contoh:kala nyeri (pada skala 1 sampai 10, dengan 10 adalah hari yang paling nyeri).

11. Melengkapi kalimat

Libatkan pernyataan sebagian dan minta anak untuk melengkapinya. Beberapa contoh
pernyataan tersebut sebagai berikut “Yang paling saya sukai tentang sekolah adalah.....”
makanan yang paling saya sukai adalah.....” “Sesuatu yang paling lucu yang pernah saya 20
lakukan adalah.....”

12. Pros dan cons (Pro dan kontra/baik-buruk)


Penggunaan teknik ini sangat penting untuk mengetahui perasaan dan pikiran anak, dengan
mengajukan pada situasi yang menunjukkan pilihan yang positif dan negative sesuai dengan
pendapat anak. Contoh: pilihlah topik, misalnya: “Berada di rumah sakit”, minta anak
menyebutkan “lima hal yang baik dan lima hal yang buruk tentang hal tersebut.

B. Teknik Non Verbal

1. Menulis

Merupakan pendekatan komunikasi alternative untuk anak yang lebih besar/sudah dapat
menulis dengan lancar. Anak dapat di dorong untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan ke
dalam buku diari/jurnal.

2. Menggambar

Merupakan salah satu bentuk komunikasi paling sesuai dengan anak. Secara non verbal (dari
melihat gambar) maupun verbal (dari cerita anak tentang gambar), perawat dapat mengetahui
perasaan anak. Gambar anak menceritakan semua tentang mereka, karena gambar ini adalah
proyeksi diri mereka dari dalam

3. Magis/sulap

Gunakan trik sulap sederhana untuk membantu dalam membina hubungan dengan anak,
mendorong kepatuhan dengan intervensi kesehatan dan memberikan distraksi efektif selama
prosedur yang 21 menyakitkan.

4. Bermain

Anak menunjukkan jati diri mereka melalui aktivitas bermain. Bermain yang dimaksud disini
adalah bermain terapeutik yang dapat memberikan manfaat pada regimen keperawatan
(contohnya: meniup balon untuk anak dengan asma). Dengan arahan yang lebih spesifik, seperti
memberi peralatan medis (yang tidak berbahaya) atau boneka untuk
memfokuskan/memfasilitasi anak, seperti menggali rasa takut anak terhadap injeksi atau
menggali hubungan keluarga.

2.4. Strategi Komunikasi Pada Anak

a. Penggunaan Istilah

Komunikator baik pendidik, orang dewasa ataupun guru harus memilih penggunaan istilah
dengan tepat agar para komunikanyaitu pihak penerima pesan dalam hal ini anak usia dini atau
anak didik lebih cepat memahami apa yang disampaikan. Sebagai contoh, ungkapan kata
“mungkin, barangkali, bisa saja” dstnya, bisa berakibat salah tafsir. Bisa saja komunikator
bermaksud mengatakan: bolehtetapi ia mengatakan bisa saja dalam kalimat “Bisa sajakalian
membawa bekal makanan dari rumah”. Hal ini akan sedikit membingungkan para komunikan
atau anak didik. Para komunikan mungkin merasa ragu untuk membawa makanan. Berbeda
dengan “Kalian bolehmembawa bekal makanan dari rumah”.

b. Berkesinambungan

Komunikator tentunya sudah memiliki perencanaan sebelum melakukan komunikasi terhadap


komunikan. Bila dilakukan didalam proses pebelajaran maka jika tidak memiliki perencanaan
yang baik, dimungkinkan apa yang menjadi sasaran pembelajaran tidak tercapai. Guru yang
tidak melakukan perencanaan dengan baik akan melenceng terhadap topik yang dibicarakan.
Sehingga dibutuhkan suatu presentasi yang berkesinambungan dan runtut agar mudah
dipahami. Secara umum, biasanya dengan pengantar (pengenalan) terhadap suatu tema lalu
masuk ke isi dan akhirnya review atau penutup. Dengan kata lain, penjelasan guru harus
terfokus dan tidak menyampaikan hal-hal yang tidak penting apalagi hal yang tidak penting ini
disampaikan secara berkepanjangan. Dengan demikian komunikasi diyakini akan menjadi
efektif.

c. Aba-aba untuk berpindah tema

Guru harus memberikan aba-aba melalui berbagai cara yang tepat agar para siswa mengerti
akan adanya topik baru yang harus dicermati. Hal ini akanmenjadikan efektifnya suatu
komunikasi. Siswa akan mempersiapkan diri menyimak hal-hal baru / topik baru. “Anak-anak
tadi kalian sudah mempelajari kata benda dengan contoh-contohnya, sekarang kita akan
membahas kata yang bermakna berbeda, namanya kata sifat, anak anak sudah siap…? Dengan
ungkapan seperti ini, anak didik akanmenyadari bahwa mereka akan menghadapi pembahasan
baru, sehingga mereka harus terfokus pada yang baru tersebut agar bisa memahami hal yang
baru itu. Anak didik diharapkan akan berpikir apakah yang baru ada kaitannya dengan yang
lama atau tidak tentunya setelah mendengar dan melakukan diskusi atau pembahasan.

2.5. Strategi Komunikasi Pada Bayi

a. Tahap komunikasi Pralinguistik

Fase ini berlangsung pada umur 0-3 bulan dari periode lahir sampai akhir tahun pertama. Bayi
baru lahir belum bisa menggabungkan elemen bahasa, baik dari segi isi, bentuk, maupun
pemakaian bahasa. Selain itu juga belum bisa berkembangnya bentuk bahasa konvensional dan
kemampuan kognitif bayi juga belum berkembang. Komunikasi lebih bersifat reflektif daripada
terencana. Meskipun bayi belum mengerti dan belum bisa mengungkapkan bentuk bahasa
konvensional, mereka mengamati dan mengeluarkan suara dengan cara yang unik. Bayi yang
baru lahir hanya bereaksi terhadap suara untuk mengembangkan pendengarannya walaupun
belum mampu secara baik untuk mengembangkan bahasa dan pemakaiannya. Maka dari itu
perawat dapat membangun lingkungan yang menyediakan banyak kesempatan untuk bayi agar
dapat mengamati dan bereaksi terhadap suara.

b. Tahap transisi ke Bahasa Anak

Fase ini berlangsung pada umur 3-9 bulan. Salah satu perkembangan bahasa utama milestone
adalah pengucapan kata-kata pertama yang terjadi pada akhir tahun pertama, berlanjut sampai
satu setengah tahun saat pertumbuhan kosakata berlangsung cepat, juga tanda dimulainya
pembetukan kalimat awal. Berkembangnya kemampuan kognitif, adanya kontrol, dan
interpretasi emosional. Periode ini perawat dapat memberi arti pada kata-kata pertama anak,
seperti merujuk ke benda, orang, tempat, dan kejadian-kejadian di seputar lingkungan awal
anak. Fase transisi bahasa anak ini juga mengacu pada kemampuan kognitifnya, misalnya dalam
pemikirannya anak menginginkan sesuatu benda, maka apa yang ada di pikirannya akan
diwujudkan dengan menunjuk ke arah benda dengan menggerakkan tangannya, kemudian
perawat bisa memberi kontrol dan pengawasan dengan melarang anak untuk mengambil benda,
maka anak itu akan menurutinya, ataupun secara emosional anak bisa melakukan dengan
menangis. Pengucapan kata – kata pertama, misalnya anak mengucapkan kata ba..ba..

c. Tahap Pembentukan Kalimat Awal.

Fase ini terjadi pada umur 9-18 bulan. Bentuk kata-kata pertama menjadi banyak dan
dimulainya produksi kalimat. Perkembangan komprehensif dan produksi kata-kata berlangsung
cepat pada sekitar umur 18 bulan. Anak mulai bisa menggabungkan kata benda dengan kata
kerja yang kemudian menghasilkan kalimat. Melalui interaksinya dengan orang dewasa, anak
mulai belajar mengkonsolidasikan isi, bentuk, dan pemakaian bahasa dalam percakapannya.
Dengan semakin berkembangnya kognisi dan pengalaman afektif, anak mulai bisa berbicara
memakai kata-kata yang tersimpan dalam memorinya. Oleh karena itu perawat dapat
memberikan kalimat sederhana pada anak, misalnya minum susu, mama papa, mau makan dan
mau ini.

d. Tahap Percakapan Bayi menjadi Registrasi Anak Pra-sekolah


Fase ini terjadi pada umur 18-36 bulan. Anak dengan mobilitas yang mulai meningkat memiliki
akses ke jaringan sosial yang lebih luas dan perkembangan kognitif menjadi semakin dalam.
Anak mulai berpikir konseptual, mengkategorikan benda, orang, dan peristiwa serta dapat
menyelesaikan masalah fisik. Fase ini perawat dapat berkomunikasi pada anak dengan
mengkategorikan benda, misalnya tentang binatang (kucing, burung, anjing, ikan, dan lain-
lain). Atau dengan mengkategorikan orang, misalnya mengetahui mana orang tuanya,
saudaranya dan teman-teman sepermainannya.
BAB 3

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dalam proses pembelajaran bagi anak usia dini, komunikasi harus dikembangkan dengan
strategi yang disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak, salah satu
pusat perhatian kajian adalah perkembangan bahasa anak yang akan memberikan pengaruh
besar terhadap strategi komunikasi terhadap anan usia dini. Perkembangan teknik dan strategi
komunikasi berawal dari perkembangan bahasa anak. Komunikasi yang efektif sangat
diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak, dengan adanya komunikasi yang baik
dapat membentuk kepribadian pada anak. Anak-anak yang tidak dibiasakan berkomunikasi
dengan baik akan mengalami kesulitan dalam mengutarakan pendapat-pendapat mereka.
Banyak cara yang dapat dilakukan menjadi komunikator efektif dalam upaya memperbaiki
kualitas relasi antar-sesama.

3.2.Saran

Sebagaimana kita ketahui bahwa sesungguhnya pendidikan yang utama dan pertama bagi anak
usia dini berada di rumah bersama orang tua yaitu ayah dan ibu. Indikatornya adalah orang tua
merupakan orang yang paling bertanggungjawab terhadap perkembangan anak-anaknya, orang
tua merupakan orang yang pertama berinteraksi dengan anak-anaknya sebelum mereka
berinteraksi dengan orang lain, lingkungan keluarga merupakan lingkungan terdekat yang
sangat berpengaruh terhadap kepribadian anak, dan waktu yang dimiliki oleh anak lebih banyak
dihabiskan di rumah bersama orangtuanya . Dengan demikian pemberian asah, asih dan asuh
kepada anak usia dini menjadi tanggungjawab utama bagi orangtuanyayaitu ayah dan ibunya.
MAKALAH
KOMUNIKASI PADA REMAJA
Dosen Pengampu : Dr. Yustiana Olfah, A.PP,M.Kes

Kelompok 3
Ashshiffaul Imamah ( P07120221011 )
Maudina Putri Mahardani ( P07120221054 )
Reni Puji Utami ( P07120221051 )
Sintyana Hardiani ( P07120221031 )

SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN PROFESI NERS


POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA
2021/2022
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Remaja adalah individu yang berusia antara 10-24 tahun merupakan salah satu
kelompok populasi terbesar. Masa remaja adalah peralihan masa perkembangan yang
berlangsung sejak usia sekitar 10 sampai 11 tahun, serta melibatkan perubahan besar dalam
aspek fisik, kognitif, dan psikologis. Masa remaja awal sekitar usia 10 atau 11 sampai 14 tahun
peralihan dari masa kanak-kanak yang memberikan kesempatan untuk tumbuh, tidak hanya
dalam aspek fisik, tetapi juga dalam aspek kognitif, sosial, harga diri dan keintiman manusia
(Harlock dalam Papalia dkk, 2009).

Masalah yang dihadapi anak-anak yang menginjak usia remaja cukup banyak. Masalah
tersenut ada yang mudah dan dapat diselesaikan sendiri, akan tetapi adakalanya masalah yang
timbul sulit dipecahkan sendiri, sehingga memerlukan bantuan para pendidik, orang tua, bahkan
tim medis agar tercapai kesejahteraan pribadi.

Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan yang banyak terjadi pada remaja dan
ibu hamil. Remaja putri memiliki resiko lebi besar mengidap anemia dibandingkan dengan
remaja putra. Hal ini dikarenakan remaja putri mengalami menstruasi pada setiap bulannya dan
sedang dalam masa pertumbuhan, sehingga lebih banyak membutuhkan asupan gizi. Selain itu
ketidakseimbangan dalam mengkonsumsi zat besi juga merupakan penyebab anemia pada
remaja. Kebiasaan sebagian remaja putri memperhatikan bentuk tubuh membuat mereka
membatasi konsumsi makan atau disebut dengan diet. Sehingga dalam mengonsumsi makanan
tidak stabil dan hal seperti ini dapat mempercepat terjadinya anemia.

Peran perawat dalam melakukan komunikasi pada remaja adalah sebagai tim pelaksana
dalam melakukan penyusunan asuhan keperawatan membina hubungan interpersonal yang
sepaham dan saing bergantung dengan orang lain, peningkatan fungsi dan kemapuan
memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan realistis yang jelas dan integritas diri.
Komunikasi seorang perawat dengan klien berusia remaja adalah hubungan yang terapeutik,
antara perawat dank lien akan pengalaman belajar dan juga merupakan pengalaman koreksi
terhadap komunikasi klien.

1.2 Rumusan Masalah


a Bagaimana komunikasi pada remaja?

b Apa faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi pada remaja?


c Apa prinsip komunikasi pada remaja?

d Bagaimana teknik komunikasi pada remaja?

e Bagaimana cara komunikasi yang efektif pada remaja?

f Apa hambatan dalam komunikasi pada remaja?

g Bagaimana Anemia pada remaja?

h Bagimana komunikasi perawat dengan remaja pengidap anemia?

1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Secara umum tujuan penyusunan pedoman komunikasi efektif ini adalah
memberikan pengetahuan dan pedoman bagi petugas, perawat dan dokter tentang
bagaimana cara berkomunikasi dengan pasien berusia remaja.
2. Tujuan Khusus
Agar petugas, perawat dan dokter dapat melakukan komunikasi yang efektif dengan
pasien.

1.4 Manfaat
a Manfaat teoritis
Makalah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu Pendidikan. Khususnya Pendidikan
keperawatanya itu dalam hal berkomunikasi dengan para pemberi asuhan lainnya agar
terpenuhinya kebutuhan pasien.
b Manfaat Praktis
Bagi perawat
Makalah ini diharapkan sebagai sumber pengetahuan khusunya dalam hal komunikasi
yang dilakukan antara perawat dan pasien berusia remaja
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Komunikasi


Komunikasi adalah seni penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari
komunikator atau penyampai berita, untuk mengubah serta membentuk perilaku
komunikan atau penerima berita kepola dan pemahaman yang dikehendaki bersama.

Ada beberapa pengertian komunikasi yang di kemukakan oleh beberapa para ahli,
yaitu sebagai berikut:

1. Menurut Edward Depari, komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan


dan pesan yang disampaikan melalui lambang-lambang tertentu, mengandung arti,
dilakukan oleh penyampai pesan ditujukan kepada penerima pesan.
2. Menurut James A.F. Stoner, komunikasi adalah proses dimana seorang berusaha
memberikan pengertian dengan cara pemindahan pesan.
3. Menurut John R. Schemerhom, komunikasi adalah proses antara pribadi dalam
mengirim dan menerima simbol-simbol yang berarti bagi kepentingan mereka.
4. Menurut Dr. Phill Astrid Susanto, komunikasi adalah proses pengoperan lambang-
lambang yang mengandung arti.
5. Menurut Human Relation of Work, Keith Devis, komunikasi adalah proses lewatnya
informasi dan pengertian seseorang ke orang lain.
6. Menurut Oxtord Dictionary (1956), komunikasi adalah pengiriman atau tukar menukar
informasi, ide atau sebagainya.
7. Menurut Drs. Onong Uchjana Effendy, MA, komunikasi mencangkup ekspresi wajah,
sikap dan gerak-gerik suara, kata-kata tertulis, percetakan, kereta api, telegraf, telepon
dan lainnya.
Secara umum komunikasi dapat disebutkan sebagai proses pengiriman dan
penerimaan kabar atau berita (informasi) antara dua orang atau lebih dengan cara efektif,
sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Dengan mengaju kepada beberapa
definisi, komunikasi adalah penyampaian informasi, gagasan atau pengetahuan kepada
pihak lain. Dengan mengacu beberapa definisi komunikasi yang dikemukakan oleh para
ahlinya, secara ringkas dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah penyampaian
informasi, gagasan, pengetahuan kepada orang lain. Walaupun definisi tersebut tidak
mengungkapkan apakah alat-alat dan perlengkapan yang digunakan, kita anggap saja
bahwa yang dimaksudkan termasuk pula penggunaan alat perlengkapannya (Barata,
2003:54).

2.2 Bentuk-Bentuk Komunikasi


Bentuk komunikasi dapat verbal, non-verbal atau abstrak. Komunikasi verbal
dapat melibatkan bahasa dan ekspresinya, vokalisasi dalam bentuk tertawa, merintih atau
berteriak atau implikasi dari hal-hal yang tidak dikatakan dalam apa-apa yang tidak
dikatakan. Komunikasi non-verbal sering disebut bahasa tubuh dan meliputi posisi tubuh,
pergerakan, ekspresi wajah, postur tubuh dan reaksi. Komunikasi abstrak dapat berbentuk
permainan, ekspresi, artistik, simbol, foto, dan pilihan pakaian. Karena komunikasi verbal
memungkinkan digunakannya kontrol kesadaran yang lebih besar maka komunikasi
verbal menunjukkan indikator perasaan sebenarnya yang kurang dapat diterima, terutama
perasaan anak-anak (Wong et al, 2008:138).

Banyak faktor yang mempengaruhi proses komunikasi. Agar sukses (sesuai


dengan yang diharapkan), komunikasi harus dengan situasi, waktu yang tepat, dan
diungkapkan dengan jelas. Hal ini menunjukkan bahwa perawat memahami dan
menggunakan teknik-teknik komunikasi yang efektif, termasuk teknik mendengarkan.
Pesan verbal dan nonverbal harus sama yaitu dua atau lebih pesan yang dikirimkan
melalui tingkat yang berbeda tidak boleh bertolak belakang. Isu penting dalam
komunikasi adalah membiarkan saluran tetap terbuka dan memeriksa persepsi dengan
sering untuk mengkaji kualitas pemahaman (Wong et al, 2008:138).

2.3 Pengertian Remaja


Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke dewasa.
Batasan usia remaja menurut WHO (2007) adalah 12 ampai 24 tahun, namun pada usia
remaja seseorang sudah menikah, maka ia tergolong dalam dewasa dan bukan lagi remaja.
Sebaliknya jika usia sudah bukan lagi remaja tetapi masih tergantung pada orang tua
(tidak mandiri), maka tetap dimasukkan kedalam kelomppok remaja. Remaja merupakan
tahapan seseorang dimana ia berada dianatara fase anak dan dewasa yang ditandai dengan
perubahan fisik, perilaku, kognitif, biologis dan emosi. Untuk mendeskripsikan remaja
dari waktu ke waktu memang berubah sesuai perkembangan zaman (Efendi dan
Makhfudli,2004:221). Gunarsa dan Gunarsa (2001) menyatakan bahwa remaja adalah
masa peralihandari masa anak-anak menuju masa dewasa dengan usia 11 sampai 21
tahun, disertai dengan perubahan fisik, kepribadian, kognitif, psikososial dalam rangka
pembentukkan identitas diri.
Suatu analisis yang dikemukakan oleh Monks, Knoers, dan Haditono (1996)
mengenal semua aspek perkembangan dalam masa remaja yang secara global
berlangsung antara usia 12-21 tahun yaitu usia 12-15 tahun: masa usia remaja awal, 15-
18 tahun: masa remaja madya, 18-21 tahun: masa remaja akhir, akan mengemukakan
banyak faktor yang masing-masing perlu mendapat tinjauan sendiri
(Satiadarma,2004:62).
BAB III

PEMBAHASAN
3.1 Komunikasi pada Remaja
Remaja (usia 12 tahun lebih) menggunakan komunikasi verbal yang canggih
(misalnya komunikasi menggunakan media elektronik seperti sms, bbm, twitter, e-mail,
facebook) meskipun perilaku mereka belum menunjukkan tingkat komunikasi, kognitif
atau kematangan lebih tinggi. Remaja bisa berespons terhadap pendekatan-pendekatan
verbal dengan satu suku kata. Sikap berdiam diri, marah atau tingkah laku lain perawat
harus menghindari kecenderungan untuk beresponsminimal dan perilaku sosial yang
diharapkan dengan menyelidik, konfrontasi, sikap terus bertanya, atau sikap-sikap yang
menghakimi.

Mempermudah kontak awal dengan diskusi mengenal teman, hobi, sekolah dan
keluarga dapat memberikan waktu bagi remaja yang gelisah untuk menyesuaikan diri.
Keterbukaan dapat terjadilebih mudah jika remaja dan perawat terlihat dalam aktivitas
bersama (Engel,2008:7-8). Sangat bermanfaat untuk menanyakan kepada remaja apa
yang mereka ketahui tentang kontak kesehatan dan untuk menjelaskan rasional dari
pengkajian kesehatan. Remaja mungkin mempunyai perhatian terhadap privasi dari
kerahasiaan, dan kesempatan harus diberikan untuk melengkapi beberapa atau semua
pengkajian tanpan kehadiran orang tua. Perawat wanita perlu sensitif terhadap potensi
rasa malu remaja putra saat diperiksa perawat wanita dan berikan selimut penutup serta
meminimalkan sentuhan. Parameter kerahasiaan harus dijelaskan terutama harus
dijelaskan bahwa informasi yang disampaikan bersifat rahasia kecuali perlu dilakukan
intervensi. Remaja cenderung menfokuskan perhatian pada citra diri dan fungsi tubuh,
dan bila sesui harus diberikan umpan balik dari pengkajian. Diagram dan model dapat
meningkatkan umpan balik. Walaupun remaja tingkat pemahan dan kosa kata yang tinggi,
mereka dapat berfungsi secara tidak konsisten pada tingkat kognitif yang lebih tinggi,
rinci, dan teknis. Remaja yang sadar diri mungkin engganbertanya untuk klarifikasi
penjelasan yang tidak dimengerti (Engel,2008:7-8). Perkembangan komunikasi pada usia
remaja ini ditunjukkan dengan kemampuan berdiskusi atau berdebat dan sudah mulai
berpikir secara konseptual, sudah mulai menunjukkan perasaan malu, pada anak usia
sering kali merenung kehidupan tentang masa depan yang direfleksikan dalam
komunikasi. Pada usia ini pola pikir sudah mulai menunjukkan ke arah yang lebih positif,
terjadi konseptualisasi mengingat masa ini adalah masa peralihan anak menjadi dewasa.
3.2 Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi pada Remaja
1. Pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka komunikasi berlangsung secara
efektif.

2. Pengetahuan
Semakin banyak pengetahuan yang didapat maka komunikasi berlangsung secara
efektif.

3. Sikap
Sikap mempengaruhi dalam berkomunikasi. Bila komunikan bersifat pasif / tertutup
maka komunikasi tidak berlangsung secara efektif.

4. Usia tumbuh kembang status kesehatan anak


Bila ingin berkomunikasi, maka harus disesuaikan dengan tingkat usia agar
komunikasi tersebut berlangsung secara efektif.

5. Saluran
Saluran sangat penting dalam berkomunikasi agar pesan dapat tersampaikan ke
komunikan dengan baik.

6. Lingkungan
3.3 Prinsip Komunikasi pada Remaja
1. Cara Membangun Hubungan Yang Harmonis Dengan Remaja
Hal yang sering orang tua lakukan dalam berkomunikasi. Dalam berkomunikasi,
orang tua ingin segera membantu menyelesaikan masalah remaja, ada hal-hal yang
orang tua yang sering lakukan, seperti :

a. Cenderung lebih banyak bicara dari pada mendengarkan,


b. Merasa tahu lebih banyak dari pada remaja,
c. Cenderung memberi arahan dan nasihat,
d. Tidak berusaha mendengarkan dulu apa yang sebenarnya terjadi dan yang dialami
remaja,
e. Tidak memberikan kesempatan agar remaja mengemukakan pendapat,
f. Tidak mencoba menerima dahulu kenyataan yang dialami remaja dan
memahaminya,
g. Merasa putus asa dan marah-marah karena tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan
terhadap remaja.
2. Kunci pokok berkomunikasi dengan remaja
Adapun kunci pokok yang dilakukan orang tua terhadap anaknya yang beranjak
dewasa seperti :

a. Mendengar supaya remaja mau berbicara,


b. Menerima dahulu perasaan remaja,
c. Bicara supaya didengar.
Oleh sebab itu orang tua harus mau belajar dan berubah dalam cara berbicara
dan cara mendengar.

3. Mengenal Diri Remaja


a. Pahami Perasaan Remaja
Banyak terjadi masalah dalam berkomunikasi dengan remaja, yang disebabkan
karena orang tua kurang dapat memahami perasaan anaknya yang diajak bicara.Agar
komunikasi dapat lebih efektif orang tua perlu meningkatkan kemampuannya dan
mencoba memahami perasaan anak sebagai lawan bicara.

b. Bagaimana memahami perasaan remaja


Untuk memahami perasaan remaja, orang tua harus menerima dulu perasaan dan
ungkapan remaja terutama ketika ia sedang mengalami masalah, agar ia merasa
nyaman dan mau melanjutkan pembicaraan dengan orang tua. Orang tua akan lebih
mengerti apa yang sebenarnya dirasakan remaja.

4. Membuat Remaja Mau Berbicara Pada Orang Tua Saat


Menghadapi Masalah Dan Membantu Remaja Menyelesaikan Masalah.

a. Pesan kamu dan pesan saya


Pesan kamu adalah cara seperti ini bukanlah penyampaian akibat perilaku anak
terhadap orang tua tetapi berpusat pada kesalahan anak cenderung tidak membedakan
antara anak dan perilakunya sehingga membuat anak merasa disalahkan, direndahkan
dan di sudutkan.

Pesan saya lebih menekankan perasaan dan kepedulian orang tua sebagai akibat
perilaku anak sehingga anak belajar bahwa setiap perilaku mempunyai akibat terhadap
orang lain. Melalui pesan saya akan mendorong semangat anak, mengembangkan
keberaniannya, sehingga anak akan merasa nyaman.

b. Menentukan masalah siapa


Ketika menghadapi remaja sebagai lawan bicara yang bermasalah, kita perlu
mengetahui masalah siapa ini. Hal ini perlu dibiasakan karena :

1) Kita tidak mungkin menjadi seorang yang harus memecahkan semua masalah.
2) Kita harus mengajarkan kepada remaja rasa tanggung jawab dalam memecahkan
masalahnya sendiri.
3) Kita perlu membantu remaja untuk tidak ikut campur urusan orang lain.
4) Anak perlu belajar mandiri
Setelah mengetahui masalah siapa maka akibatnya siapa yang punya masalah
harus bertanggung jawab untuk menyelesaikannya.Bila masalah itu adalah masalah
remaja maka tekhnik yang digunakan adalah mendengar aktif.

3.4 Teknik Komunikasi pada Remaja


Komunikasi dengan remaja merupakan sesuatu yang penting dalam menjaga
hubungan dengan remaja, melalui komunikasi ini pula perawat dapat memudahkan
mengambil berbagai data yang terdapat pada diri remaja yang selanjutnya dapat diambil
dalam menentukan masalah keperawatan. Beberapa cara yang digunakan dalam
berkomunikasi dengan remaja, antara lain :

1. Melalui orang lain atau pihak ketiga


Cara berkomunikasi ini pertama dilakukan oleh remaja dalam menumbuhkan
kepercayaan diri remaja, dengan menghindari secara langsung berkomunikasi dengan
melibatkan orang tua secara langsung yang sedang berada disamping anak. Selain itu
dapat digunakan dengan cara memberikan komentar tentang sesuatu.

2. Bercerita
Melalui cara ini pesan yang akan disampaikan kepada anak remaja dapat mudah
diterima, mengingat anak sangat suka sekali dengan cerita, tetapi cerita yang disampaikan
hendaknya sesuai dengan pesan yang akan disampaikan, yang akan diekspresikan melalui
tulisan.

3. Memfasilitas
Memfasilitasi adalah bagian cara berkomunikasi, malalui ini ekspresi anak atau
respon anak remaja terhadap pesan dapat diterima, dalam memfasilitasi kita harus mampu
mengekspresikan perasaan dan tidak boleh dominan , tetapi anak harus diberikan respons
terhadap pesan yang disampaikan melalui mendengarkan dengan penuh perhatian dan
jangan mereflisikan ungkapan negatif yang menunjukan kesan yang jelek pada anak
remaja tersebut.

4. Meminta untuk menyebutkan keinginan


Ungkapan ini penting dalam berkomunikasi dengan anak dengan meminta anak
untuk menyebutkan keinginan dapat diketahui berbagai keluhan yang dirasakan anak dan
keinginan tersebut dapat menunjukan persaan dan pikiran anak pada saat itu.

5. Pilihan pro dan kontra


Penggunaan teknik komunikasi ini sangat penting dalam menentukkan atau
mengetahui perasaan dan pikiran anak, dengan mengajukan rasa situasi yang
menunjukkan pilihan yang positif dan negatif yang sesuai dengan pendapat anak remaja.

6. Penggunaan skala
Pengunaan skala atau peringkat ini digunakan dalam mengungkapkan perasaan
sakit pada anak seperti pengguaan perasaan nyeri, cemas, sedih dan lain-lain, dengan
menganjurkan anak untuk mengekspresikan perasaan sakitnya.

7. Menulis
Melalui cara ini remaja akan dapat mengekspresikan dirinya baik pada keadaan
sedih, marah atau lainnya dan biasanya banyak dilakukan pada remaja yang jengkel,
marah dan diam.

3.5 Cara Komunikasi yang Efektif pada Usia Remaja


Adapun cara komunikasi antara orang tua dan anak yang efektif pada usia remaja
yaitu meliputi: (Sofia Retnowati, 2013:3)

1. Membuka pintu, yaitu ungkapan orang tua yang memungkinkan anak untuk
membicarakan lebih banyak, mendorong anak untuk mendekat dan mencurahkan isi
hatinya. Dan yang penting menumbuhkan pada anak rasa diterima dan dihargai. Beberapa
pernyataan yang bersifat membuka antara lain: “Saya mengerti.. “ Ya..hm.. “Oh ya..”
Coba ceritakan lebih banyak..”ibu koq tertarik ya..”Kelihatannya kamu seneng ya..
2. Mendengar Aktif, kemampuan orangtua untuk menguraikan perasaan anak dengan tepat,
jadi orangtua mengerti perasaan anak, yang dikirim anak lewat bahasa verbal maupun
non verbalnya. Keuntungan dari mendengar aktif, anatara lain: mendorong terjadinya
katarasis; menolong anak tidak takut terhadap perasaan (positif-negatif);
mengembangkan hubungan yang sangat dekat dengan orang tua; memudahkan anak
memecahkan masalahnya; meningkatkan kemampuan anak untuk mendengar pendapat
orang tua; meningkatkan tanggungjawab anak.
3. Komunikasi dengan empatik, prinsip komunikasi empatik: “Berusaha mengerti lebih
dahulu, baru dimengerti” . Dalam mendengarkan empatik, kita sebagai orang tua berusaha
masuk ke dalam kerangka pikiran, perasaan anak remaja kita.
Kita sebagai orang tua, tidak hanya mendengar dengan telinga, tapi dengan mata
dan hati. Hati kita merasakan, memahami, menyelami dan berintuisi dengan
permasalahan yang sedang dialami oleh anak remaja kita. Mata kita mengamati pesan-
pesan nonverbal yang diekspresikan oleh anak kita. Kita menggunakan otak kanan
sekaligus otak kiri.

Mendengar Empatik adalah mendengar untuk mengerti baik secara emosional


sekaligus intelektual, bukan dengan maksud untuk menjawab, mengendalikan atau
memanipulasi orang lain. Memang tidak mudah untuk dapat menjalin komunikasi yang
positif dengan anak remaja kita yang sedang mengalami berbagai gejolak dalam dirinya.
Tetapi tidak berarti tidak bisa. Pemahaman dan pengertian kita sebagai orang tua atas
kesulitan-kesulitan yang sedang dialami anak remaja kita, merupakan hal sangat penting.
Anak remaja kita membutuhkan pengertian dari orangtuanya bahwa ia sedang mengalami
proses perubahan.Sikap ini akan mendukung terjalinnya komunikasi yang positif dengan
anak remaja.

3.6 Hambatan dalam Komunikasi pada Remaja


Komunikasi merupakan sesuatu hal yang sangat penting bagi manusia dalam
melakukan interaksi dengan sesama. Kita pada suatu waktu merasakan komunikasi yang
kita lakukan menjadi tidak efektif karena kesalahan dalam menafsirkan pesan yang kita
diterima. Hal ini terjadi karena setiap manusia mempunyai keterbatasan dalam menelaah
komunikasi yang disampaikan.

Kesalahan dalam menafsirkan pesan bisa disebabkan karena tiga hal yaitu:

1. Hambatan Fisik :
a. Sinyal nonverbal yang tidak konsisten.
Gerak-gerik kita ketika berkomunikasi tidak melihat kepada lawan bicara, tetap
dengan aktivitas kita pada saat ada yang berkomunikasi dengan kita, mampengaruhi
proses komunikasi yang berlangsung.

b. Gangguan Noises
Gangguan ini bisa berupa suara yang bising pada saat kita berkomunikasi, jarak
yang jauh, dan lain sebagainya.

c. Gangguan fisik (gagap, tuli, buta).


Adanya gangguan fisik seperti gagap, tunawicara, tunanetra, dan sebagainya
yang dialami oleh seorang Remaja. Terimalah mereka apa adanya. Mereka pasti
memiliki potensi unggul lain yang perlu digali. Sebagai perawat, kita harus siap
menerima kenyataan tersebut seraya mencari cara agar tidak terjadi hambatan
komunikasi dengan remaja tersebut, misalnya dengan cara belajar bahasa yang mereka
dapat pahami.

d. Teknik bertanya yang buruk.


Ternyata kita yang tidak memiliki kemampuan bertanya, tidak akan sanggup
menggali pemahaman orang lain, tidak sanggup mengetahui apa yang dirasakan orang
lain. Oleh karena itu, kembangkan selalu teknik bertanya kepada orang lain. Bahwa
setiap individu memiliki modalitas belajar yang berbeda-beda.

e. Teknik menjawab yang buruk.


Kesulitan seseorang memahami materi yang disampaikan karena komunikator
tidak mampu menjawab dengan baik.Pertanyaan bukannya dijawab, melainkan
dibiarkan.Pertanyaan justru dijawab tidak tepat.Salah satu teknik menjawab yang
buruk adalah komunikator tidak memberikan kesempatan individu menyelesaikan
pertanyaan lalu langsung di jawab oleh komunikator.

f. Kurang menguasai materi.


Ini faktor yang sangat jelas.Begitu kita tidak menguasai materi, itulah hambatan
komunikasi.Kompetensi profesional salah satu maknanya adalah menguasai materi
secara mendalam bahkan ditambahkan lagi, meluas.

g. Kurang persiapan.
Bagaimana mungkin proses penyampaian materi atau pembelajaran
dapat optimal jika tidak menyiapkan perencanaan dengan baik

2. Hambatan Psikologis :
a. Mendengar.
Biasanya kita mendengar apa yang ingin kita dengar. Banyak hal atau informasi
yang ada di sekeliling kita, namun tidak semua yang kita dengar dan tanggapi.
Informasi yang menarik bagi kita, itulah yang ingin kita dengar.

b. Mengabaikan informasi yang bertentangan dengan apa yang kita ketahui.


Sering kali kita mengabaikan informasi yang menurut kita tidak sesuai dengan
ide, gagasan dan pandangan kita padahal kalau dicermati sangat berhubungan dengan
ide kita, padahal ada kalanya gagasan kita yang kurang benar.

c. Menilai sumber.
Kita cenderung menilai siapa yang memberikan informasi. Jika ada seorang
remaja yang memberikan informasi tentang suatu hal, kita cenderung
mengabaikannya.

d. Pengaruh emosi.
Pada keadaan marah, remaja akan kesulitan untuk menerima informasi. apapun
berita atau informasi yang diberikan, tidak akan diterima dan ditanggapinya.

e. Kecurigaan.
Kembangkanlah sikap berbaik sangka pada semua orang. Hendaklah berpikir
baik atau positif bahwa materi ini bisa dipahami oleh remaja. Komunikator curiga pada
komunikan akan membawa suasana pembelajaran tidak kondusif.

f. Tidak jujur.
Karakter dasar komunikator mestilah ditampilkan selama pembelajaran
komunikasi pada remaja berlangsung dan juga di luar pembelajaran. Kita harus jujur.
Jangan bohong. Jujurlah jika memang tidak tahu

g. Tertutup.
Jika ada kita yang memiliki sikap tertutup atau introvert dalam proses
pembelajaran, sebaiknya jangan menjadi komunikator. Sebab dalam proses itu
diperlukan kerjasama, keterbukaan, kehangatan, dan keterlibatan.

h. Destruktif.
Jelas sikap ini akan menjadi penghambat aliran komunikasi pada remaja.
Cegahlah sedini mungkin oleh kita.Jika sikap destruktif itu muncul, lakukan segera
penanganannya secara bijak atau sesuai prosedur yang berlaku.

i. Kurang dewasa.
Kita memang perlu menyadari sikapnya dalam proses pembelajaran. Bedakan
ketika kita berbicara dengan anak-anak, karena kita berkomunikasi dengan seorang
remaja.mampu, tetapi ada hambatan psikologi.

3. Semantik :
a. Persepsi yang berbeda.
Komunikasi tidak akan berjalan efektif, jika persepsi si pengirim pesan tidak
sama dengan si penerima pesan. Perbedaan ini bahkan bisa menimbulkan
pertengkaran, diantara pengirim dan penerima pesan. Setiap individu memiliki latar
belakang yang berbeda. Itu adalah wajar dan real. Yang perlu dilakukan adalah
kesepakatan antara komunikator dan komunikan bahwa inilah tujuan komunikasi yang
ingin kita raih. Oleh karena itu, sampaikanlah tujuan tersebut kepada komunikan
dengan jelas.

b. Kata yang berarti lain bagi orang yang berbeda.


Kita sering mendengar kata yang artinya tidak sesuai dengan pemahaman kita.
Seseorang menyebut akan datang sebentar lagi, mempunyai arti yang berbeda bagi
orang yang menanggapinya. Sebentar lagi bisa berarti satu menit, lima menit, setengah
jam atau satu jam kemudian. Pastikanlah kita menggunakan bahasa pengantar yang
bisa dipahami oleh orang lain (komunikan). Hindari menggunakan istilah yang tidak
diketahui komunikan. Jika ingin menggunakan istilah, jelaskanlah padanannya dengan
bahasa yang mudah dipahami. Kita akan mudah menjelaskan materi jika dibantu
dengan bahasa komunikan.

c. Terjemahan yang salah.


Ada kalanya dalam komunikasi terdapat istilah asing yang belum diketahui oleh
kita. Kita jangan merasa malu jika memang belum tahu. Ambillah kamus bahasa
Indonesia atau kamus istilah umum atau istilah dalam bidang studi tertentu sebagai
sahabat dalam menerjemahkan kata atau istilah yang tidak diketahui.

d. Semantik yaitu pesan bermakna ganda.


Anda pastilah mengetahui bahwa ada kemungkinan pesan yang dikirim
bermakna ganda, lebih dari 1 arti. Inilah salah satu penyebab miscommunication.
Contoh “Untuk memahami materi Hipertensi pada lanjut usia tadi, kerjakanlah 10 soal
pada buku yang kamu pegang “• Informasi perintah ini tidak jelas. Buku yang mana
yang dimaksud? Halaman berapa? Hindari penggunaan kalimat bermakna ganda.
e. Belum berbudaya baca, tulis, dan budaya diam.
Penyampaian materi pembelajaran Anda agar maksimal perlu ditunjang dengan
pelaksanaan budaya yang baik di dalam kelas. Tumbuhkan kebiasaan bahwa ketika
Anda menjelaskan, peserta didik memperhatikan. Ketika Anda meminta mereka
menjawab, mereka memberikan respons jawaban. Ketika seorang peserta didik sedang
menjawab, peserta didik lain diminta menyimak. Jangan sampai sebaliknya, ketika
Anda sedang menjelaskan, para peserta didik justru saling berbicara. Ketika mereka
disuruh bertanya, tidak satu pun bertanya. Bahkan Anda dapat menumbuhkan budaya
saling koreksi jawaban antar peserta didik dapat dilakukan di bawah bimbingan Anda.

(Nailul Himmah, 2013:03)

3.7 Anemia pada Remaja


Anemia merupakan masalah gizi utama yang terjadi diseluruh dunia. Menurut
World Health Organization (WHO) wanita dengan usia 15–49 tahun yang menderita
anemia di enam Negara yaitu Afrika, Amerika, Asia, Eropa, Mediteran Timur, dan
wilayah Pasifik Barat sebesar 409 – 595 juta orang. Prevalensi di Asia, anemia pada
wanita usia 15–45 tahun mencapai 191 juta orang dan Indonesia menempati urutan ke 8
dari 11 negara di Asia setelah Srilangka dengan prevalensi anemia sebanyak 7,5 juta
orang pada usia 10–19 tahun.1 Prevalensi anemia di Indonesia berdasarkan Riskesdas
2013 mencapai 37,1% dan mengalami peningkatan menjadi 48,9% pada kelompok usia
15-24 tahun pada tahun 2018.

Remaja memiliki risiko tinggi terhadap kejadian anemia terutama anemia gizi besi.
Hal itu terjadi karena masa remaja memerlukan zat gizi yang lebih tinggi termasuk zat
besi untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Remaja putri memiliki risiko yang lebih
tinggi dibandingkan remaja putra, hal ini dikarenakan remaja putri setiap bulannya
mengalami haid (menstruasi). Selain itu remaja putri cenderung sangat memperhatikan
bentuk badannya sehingga akan membatasi asupan makan dan banyak pantangan
terhadap makanan seperti melakukan diet vegetarian. Dampak dari kejadian anemia pada
remaja dapat menurunkan konsentrasi dan prestasi belajar, serta mempengaruhi
produktivitas di kalangan remaja.5 Disamping itu juga dapat menurunkan daya tahan
tubuh sehingga mudah terkena infeksi. Anemia dapat mempengaruhi tingkat kesegaran
jasmani seseorang. Akibat dari jangka panjang penderita anemia gizi besi pada remaja
putri yang nantinya akan hamil, maka remaja putri tersebut tidak mampu memenuhi zat–
zat gizi pada dirinya dan janinnya sehingga dapat meningkatkan terjadinya risiko
kematian maternal, prematuritas, BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah), dan kematian
perinatal.

3.8 Contoh Komunikasi Perawat dengan Remaja Pengidap Anemia


Kondisi Pasien : Ny Maudy berumur 19 tahun datang ke klinik pratama dengan keluhan
pusing, cepat lelah, letih, dan lunglai
Perawat : Assalamualaikum, selamat pagi, perkenalkan saya perawat sintiya yang akan
bertugas menangani kakak pada pagi hari ini.
Pasien : Waalaikumsalam, baik sus
Perawata : Apa saja kak keluhan yang kakak rasakan?
Pasien : Saya merakan pusing, cepat lelah, letih, dan lunglai.
Perawat : O itu adalah gejala gejala kalau kakak mengalami kekurangan darah.
Pasien: Terus bagaimana sus?
Perawat : Baik sekarang saya akan jelaskan mengenai anemia ya kak, sebelumnya saya
cek tensi nya dulu ya kak
Pasien : Baik Sus
Perawat : Tensi kakak 90/60 itu termasuk tekanan darah rendah
Pasien : Terus bagaimana sus?
Perawat : Jadi kakak mengalami anemia, anemia merupakan dimana keadaan tubuh
kekurangan sel darah merah yang sehat jadi organ jadi organ di dalam tubuh tidak
mencukupi kebutuhan oksigen secara menyeluruh. Penderitanya biasanya cepat
mengalami pusing, cepat lelah dan letih itu diakibatkan karena penurunan produksi sel
darah merah dalam tubuh. Kakak bisa mengkonsumsi makanan kaya zat besi, asam fosfat,
vit B12 serta buah buahan yang mengandung vit C. Pengobatanya bisa melalui tranfusi
darah, pemberian obat penambah darah. Bagaimana kak dengan penjalasannya apakah
sudah paham?
Pasien : Iya sus saya sudah paham
Perawat : Baik kalau gitu ada yang ingin ditanyakan lagi?
Pasien : Tidak sus cukup
Perawat : Baik kak, untuk obatnya silahkan di tembus di apotek ya kak
Pasien : baik sus
BAB IV

PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada BAB III menyimpulkan bahwa:
komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi, gagasan atau
pengetahuan kepada pihak lain. Remaja ialah masa peralihan dari masa kanak-
kanak ke dewasa. Bentuk komunikasi ada 2: Verbal dan non-verbal. Remaja
(usia 12 tahun lebih) menggunakan komunikasi verbal yang canggih, meskipun
perilaku mereka belum menunjukkan tingkat komunikasi, kognitif atau
kematangan lebih tinggi. Adapun hambatan komunikasi: hambatan fisik,
hambatan psikologi dan hambatan semantik atau hambatan dalam mengartikan.
Dalam berkomunikasi dengan remaja kita harus menerapkan teknik komunikasi
pada remaja. Salah satu masalah kesehatan pada remaja adalah anemia, sangat
dibutuhkan penerapak komunikasi terapeutik pada remaja pengidap anemia.
4.2 Saran
Berdasarkan pembahasan diatas penulis menyarankan kepada para
remaja untuk melakukan komunikasi yang sesuai kepada orang tua atau teman
sebaya. Dan menyarankan kepada orang tua untuk mendidik anaknya cara
berkomunikasi yang benar dan sesuai dengan tingkatan

PERTANYAAN
1. Masa remaja adalah masa yang labil. Bagaimana cara kita sebgaia perawat untuk
melakukan komunikasi yang dapat menyebabkan remaja tersebut lebih stabil baik
dalam kehidupan pribadinya maupun dalam bersosialisasi ?

Jawaban : Memberikan kebebasan pada anak karena masa remaja juga memiliki rasa
ingin bebas/tidak mau dikekang, memberi motivasi dan rasa percaya diri melalui
nasihat yang harmonis serta mengerti perasaan anak

2. Bagaimana komunikasi orang tua kepada anak remaja yang introvert, karena dengan
ketertutupannya tersebut dapat membuat dirinya depresi ?

Jawaban : Komunikasi orang tua pada anak yang introvert dapat dilakukan dengan
cara selalu atau sering mengajak anak untuk berbicara dan bercerita tentang apa yang
sedang terjadi atau dirasakan, karena hal itu dapat meringankan apa yang dipikirkan
sang anak yang dapt menyebabkan depresi

3. Apabila ada remaja yang menginginkan sesuatu namun orang tuanya merupakan
orang yang tidak mampu. Kemudian orang tua tersebut berkomunikasi kepada sang
anak secara hati-hati sedangkan anak tersebut tetap memaksa dan marah-marah
karena keinginannya tidak terpenuhi. Bagaimana cara mengatasi hal tersebut ?
Jawaban : Jangan turuti keinginan sang anak, karena sebagai orang tua perlu
mempertimbangkan apa yang lebih penting dengan melihat faktor ekonominya,
selalu berkomunikasi dengan baik pada sang anak dan berikan alas an agar sang anak
perlahan mengerti kondisi pada orang tuanya
PENERAPAN STRATEGI PELAKSANAAN KOMUNIKASI
PADA ORANG DEWASA
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Komunikasi

Dosen Pengampu : Ibu Yustiana Olfah,APP.,M.Kes

KELOMPOK 4

1. Diana Indah Puspita Sari (P07120221049)

2. Rifqi Fadhilauddin (P07120221003)

3. Siti Ayoe Dini Safitri (P07120221027)

SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS

JURUSAN KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA

TAHUN AJARAN 2021/2022


BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Komunikasi adalah bagian yang penting dalam kehidupan dan menyatu dengan
kehidupan kita. Dengan berkomunikasi kehidupan kita akan interaktif dan menjadi
lebih dinamis. Proses komunikasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
usia, jenis kelamin, latar belakang pendidikan dan sosial, dan lain-lain.

Komunikasi dalam keperawatan adalah hal yang mendasar dan menjadi alat
kerja utama bagi setiap perawat untuk memberikan asuhan keperawatan karena
perawat akan terus menerus bersama pasien selama 24 jam. Pengetahuan tentang
komunikasi dan komunikasi terapeutik sangat penting terkait dalam melakukan
proses asuhan keperawatan.

Pada komunikasi dengan orang dewasa perlu diketahui bahwa orang dewasa
mampu belajar membagi perasaan cinta kasih, minat, dan permasalahan dengan
orang lain. Orang dewasa juga telah mengetahui cara berkomunikasi dengan orang
lain. Untuk itu diperlukan suatu strategi pelaksanaan dan sikap yang tepat dalam
berkomunikasi dengan orang dewasa. Dalam makalah ini akan dibahas tentang
strategi pelaksanaan komunikasi terapeutik pada orang dewasa.

1.2.Tujuan

a. Tujuan Umum

Secara umum tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan
memberikan pedoman kepada perawat tentang bagaimana strategi pelaksanaan
komunikasi pada pasien dewasa.

b. Tujuan Khusus

1. Agar perawat dapat menerapkan strategi pelaksanaan komunikasi pada


pasien dewasa dengan tepat

2. Agar perawat dan petugas kesehatan lainnya dapat memenuhi


kebutuhan pasien
3. Menghindarkan dari kelalaian yang dapat mengakibatkan malpraktik

1.3.Manfaat

a. Manfaat Teoritis

Makalah ini bermanfaat bagi perkembangan dunia pendidikan, khususnya


pendidikan keperawatan dalam hal penerapan strategi pelaksanaan
komunikasi pada pasien dewasa.

b. Manfaat Praktis

1. Bagi Perawat

Makalah ini diharapkan sebagai sumber pengetahuan dalam memahami


penerapan strategi pelaksanaan komunikasi pada pasien dewasa untuk
memenuhi kebutuhannya.

2. Bagi Progam Studi Sarjana Terapan Keperawatan

Menambahkan pustaka dan bahan kajian ilmiah, sehingga dapat


menambah ilmu pengetahuan dan wawasan pembaca khususnya
mahasiswa progam studi Sarjana Terapan Keperawatan mengenai
Penerapan Strategi Pelaksanaan Komunikasi pada Pasien Dewasa.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Permasalahan dan Perkembangan Komunikasi orang Dewasa

Erikson (1985) dalam Stuart dan Sundeen (1998) menjelaskan bahwa pada orang
dewasa terjadi perkembangan psikososial, yaitu intimasi versus isolasi. Orang dewasa
sudah mempunyai sikap-sikap tertentu, pengetahuan tertentu, bahkan tidak jarang sikap itu
sudah sangat lama menetap dalam dirinya sehingga tidak mudah mengubahnya.
Pengetahuan yang selama ini dianggapnya benar dan bermanfaat belum tentu mudah
digantikan dengan pengetahuan baru jika kebetulan tidak sejalan dengan yang lama. Orang
dewasa bukan seperti gelas kosong yang dapat diisikan sesuatu. Oleh karena itu, dikatakan
bahwa kepada orang dewasa tidak dapat diajarkan sesuatu yang baru untuk mengubah
tingkah lakunya dengan cepat. Orang dewasa, kalau ia sendiri yang ingin belajar hal baru,
dia akan terdorong mengambil langkah untuk mencapai sesuatu yang baru itu. Pada tahap
ini, orang dewasa mampu belajar membagi perasaan cinta kasih, minat, dan permasalahan
dengan orang lain. Pada masa ini, orang dewasa mempunyai cara-cara tersendiri dalam
berkomunikasi dengan orang lain. Cara-cara spesifik yang biasa mereka lakukan adalah
terkait dengan pengetahuan, pengalaman, sikap, kemapanan, harga diri, dan aktualisasi
dirinya.

2. Sikap Komunikasi pada orang Dewasa

Berdasarkan perkembangan komunikasi pada orang dewasa dan permasalahan yang


terjadi, agar tercapai komunikasi yang efektif, terutama dalam melaksanakan pelayanan
keperawatan, perlu ditunjukkan dan diterapkan sikap-sikap terapeutik. Dalam
berkomunikasi dengan dewasa sampai lansia, diperlukan pengetahuan tentang sikap-sikap
yang khas. Berikut sikap-sikap psikologis spesifik pada orang dewasa terhadap
komunikasinya.

a. Orang dewasa/lansia melakukan komunikasi berdasarkan pengetahuan/pengalamannya


sendiri.

Sikap perawat: Menggunakan motivasi untuk mencari pengetahuan sendiri sesuai yang
diinginkan. Tidak perlu mengajari, tetapi cukup memberikan motivasi untuk menggantikan
perilaku yang kurang tepat.
b. Berkomunikasi pada orang dewasa/lansia harus melibatkan perasaan dan pikiran.

Sikap perawat: Gunakan perasaan dan pikiran orang dewasa/lansia sebagai kekuatan untuk
merubah perilakunya.

c. Komunikasi adalah hasil kerja sama antara manusia yang saling memberi pengalaman
serta saling mengungkapkan reaksi dan tanggapannya mengenai suatu masalah.

Sikap perawat: Bekerja sama dengan orang dewasa/lansia untuk menyelesaikan masalah.
Memberikan kesempatan pada lansia untuk mengungkapkan pengalaman dan memberi
tanggapan sendiri terhadap pengalaman tersebut.

3. Suasana Komunikasi pada Orang Dewasa

Di samping sikap, kita juga harus memperhatikan atau mampu menciptakan suasana
yang dapat mendorong efektivitas komunikasi pada kelompok usia dewasa ataupun lansia.
Upayakan penciptaan suasana komunikasi yang dapat mencapai tujuan yang diinginkan.

a. Suasana hormat menghormati Orang dewasa dan lansia akan mampu berkomunikasi
dengan baik apabila pendapat pribadinya dihormati, ia lebih senang kalau ia boleh turut
berpikir dan mengemukakan pikirannya.

b. Suasana saling menghargai Segala pendapat, perasaan, pikiran, gagasan, dan sistem
nilai yang dianut perlu dihargai. Meremehkan dan menyampingkan harga diri mereka
akan dapat menjadi kendala dalam jalannya komunikasi.

c. Suasana saling percaya Saling memercayai bahwa apa yang disampaikan itu benar
adanya akan dapat membawa hasil yang diharapkan. Jangan melakukan penyangkalan
pada apa yang dikomunikasikan oleh orang dewasa atau lansia, karena mereka akan
tidak percaya dengan Anda dan mengakibatkan tujuan komunikasi tidak tercapai.

d. Suasana saling terbuka Keterbukaan dalam komunikasi sangat diperlukan, baik bagi
orang dewasa maupun lansia. Maksud terbuka adalah terbuka untuk mengungkapkan
diri dan terbuka untuk mendengarkan orang lain. Hanya dalam suasana keterbukaan
segala alternatif dapat tergali.
Komunikasi verbal dan nonverbal adalah bentuk komunikasi yang harus saling
mendukung satu sama lain. Seperti halnya komunikasi pada anak-anak, perilaku nonverbal
sama pentingnya pada orang dewasa dan juga lansia. Ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan nada
suara memberi tanda tentang status emosional dari orang dewasa dan lansia.

Orang dewasa yang sakit dan dirawat di rumah sakit bisa merasa tidak berdaya, tidak
aman, dan tidak mampu ketika dikelilingi oleh tokoh-tokoh yang berwenang. Status
kemandirian mereka telah berubah menjadi status ketika orang lain yang memutuskan kapan
mereka makan dan kapan mereka tidur. Ini merupakan pengalaman yang mengancam dirinya
ketika orang dewasa tidak berdaya dan cemas dan ini dapat terungkap dalam bentuk kemarahan
dan agresi.

4. Teknik Komunikasi pada Orang Dewasa dan Penerapannya

Ketika Anda berkomunikasi, mulai pada tingkat usia bayi-anak sampai dewasa dan
lansia teknik tersebut harus digunakan secara kombinasi. Akan tetapi, secara khusus, Anda
harus menguasai teknik-teknik yang membedakan pada kelompok usia tertentu yang
disesuaikan dengan karakteristik perkembangannya. Berikut ini teknik komunikasi yang secara
khusus yang harus Anda terapkan saat berkomunikasi dengan orang dewasa.

a. Penyampaian pesan langsung kepada penerima tanpa perantara. Dengan


penyampaian langsung, klien akan lebih mudah untuk menerima penjelasan
yang disampaikan. Penggunaan telepon atau media komunikasi lain, misalnya
tulisan akan dapat menimbulkan salah persepsi karena tidak ada feedback untuk
mengevaluasi secara langsung.

b. Saling memengaruhi dan dipengaruhi, maksudnya komunikasi antara perawat


dan pasien dewasa harus ada keseimbangan dan tidak boleh ada yang
mendominasi. Perawat jangan selalu mendominasi peran sehingga klien
ditempatkan dalam keadaan yang selalu patuh. Teknik ini menekankan pada
hubungan saling membantu a (helping-relationship).

c. Melakukan komunikasi secara timbal balik secara langsung, maksudnya


komunikasi timbal balik dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya salah
persepsi. Hubungan dan komunikasi secara timbal balik ini menunjukkan
pentingnya arti hubungan perawat-klien.

d. Komunikasi secara berkesinambungan, tidak statis dan bersifat dinamis.


5. Strategi Pelaksanaan Komunikasi pada Pasien Dewasa

a. Fase praoerientasi / pra interaksi

Pada tahap pra-interaksi, perawat sebagai komunikator yang melaksanakan


komunikasi terapeutik mempersiapkan dirinya untuk bertemu dengan klien atau
pasien. Sebelum bertemu pasien, perawat haruslah mengetahui beberapa
informasi mengenai pasien, baik berupa nama, umur, jenis kelamin, keluhan
penyakit, dan sebagainya. Apabila perawat telah dapat mempersiapkan diri
dengan baik sebelum bertemu dengan pasien, maka ia akan bisa menyesuaikan
cara yang paling tepat dalam menyampaikan komunikasi terapeutik kepada
pasien, sehingga pasien dapat dengan nyaman berkonsultasi dengan perawat.

b. Fase orientasi/ perkenalan

Tahap perkenalan merupakan kegiatan yang dilakukan perawat saat


pertama kali bertemu atau kontak dengan klien. Perawat harus memperkenalkan
diri dan perawat telah bersikap terbuka pada klien serta mendorong klien untuk
membuka dirinya

Tahap perkenalan dan orientasi ini dilaksanakan pada awal setiap


pertemuan, baik pada pertemuan pertama, kedua dan selanjutnya .Tujuan dari
tahap ini :

- Memvalidasi keakuratan data dan rencana yang telah dibuat dengan keadaan
klien saat ini

- Mengevaluasi hasil tindakan yang lalu

Yang dilakukan pada tahap perkenalan:

1. Memberi salam.

2. Memperkenalkan diri .

3. Menanyakan nama klien.

4. Menyepakati pertemuan (kontrak) .

5. Melengkapi kontrak.

6. Menyepakati masalah klien


7. Mengakhiri perkenalan

Yang dilakukan pada tahap orientasi:

1. Memberi salam . sama dengan fase perkenalan

2. Memvalidasi keadaan klien

3. Mengingatkan kontrak

c. Fase kerja

Tahap kerja merupakan inti dari keseluruhan proses komunikasi terapeutik


(Stuart, 1998) . Perawat-klien bekerja sama untuk mengatasi masalah yang dihadapi
klien . Dituntut kemampuan perawat dalam mendorong klien mengungkapkan perasaan
dan pikirannya. Perawat dituntut untuk mempunyai kepekaan dan tingkat analisis yang
tinggi terhadap perubahan dalam respons verbal dan nonverbal klien. Tahap kerja
berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan keperawatan yang akan
dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

Tugas perawat pada tahap ini yaitu:

1. Menyelesaikan masalah klien

Active listening yaitu perawat membantu klien untuk mendefinisikan masalah yang
dihadapi, bagaimana cara mengatasi masalahnya , dan mengevaluasi cara atau alternatif
pemecahan masalah yang dipilih

2. Menyimpulkan percakapannya dengan klien

d. Fase Terminasi

Terminasi merupakan akhir dari setiap pertemuan perawat dan pasien.


Terminasi dibagi 2 yaitu :

1. Terminasi Sementara

Terminasi sementara adalah akhir dari setiap pertemuan perawat dan pasien.
Pada terminasi sementara perawat akan bertemu lagi dengan pasien pada waktu
yang telah ditentukan misalnya 1 atau 2 jam/hari berikutnya . Isi percakapan
pada tahap ini :

- Tahap evaluasi akhir


- Tahap tindak lanjut

- Kontrak yang akan datang

2. Terminasi Akhir

Terminasi akhir terjadi jika pasien akan pulang dari RS atau perawat selesai
praktek di RS.Isi percakapan pada tahap ini :

- Evaluasi hasil

- Tindak lanjut

-Eksplorasi perasaan
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Komunikasi merupakan alat yang efektif untuk mempengaruhi tingkah laku


manusia, sehingga komunikasi dikembangkan dan dipelihara secara terus
menerus. Komunikasi bertujuan untuk memudahkan, melancarkan,
melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu dalam rangka mencapai tujuan
optimal, baik komunikasi dalam lingkup pekerjaan maupun hubungan antar
manusia.

Suasana komunikasi pada klien dewasa antara lain : suasana hormat

menghormati, suasana saling menghargai, suasana saling percaya, dan suasana


saling terbuka.

B. Saran

1. Diharapkan kepada mahasiswa/mahasiswi agar dapat mengerti dan


memahami apa yang dimaksud dengan komunikasi .

2. Diharapkan kepada mahasiswa/mahasiswi agar dapat mengetahui suasana


dalam komunikasi pada klien dewasa.

3. Diharapkan kepada mahasiswa/ mahasiswi agar dapat memahami strategi


pelaksanaan komunikasi pada klien dewasa.
PRAKTIK KOMUNIKASI PADA LANSIA

KELOMPOK 5

1. Afifah Bella Marsanda (P07120221038)

2. Maria Friskila Sitanggang (P07120221033)

3. Mifta Aizza Putri (P07120221047)

SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN PROFESI NERS

POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA

TAHUN AJARAN 2021/2022


BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Komunikasi adalah elemen dasar dari interaksi manusia yang memungkinkan


seseorang untuk menetapkan, mempertahankan dan meningkatkan kontrak dengan oran
lain karena komunikasi dilakukan oleh seseorang, setiap hari orang seringkali salah
berpikir bawa komunikasi adalah sesuatu yang mudah. Namun sebenarnya adalah
proses yang kompleks yang melibatkan tingkah laku dan hubungan serta
memungkinkan individu berasosiasi dengan orang lain dan dengan lingkungan
sekitarnya. Hal itu merupakan peristiwa yang terus berlangsung secara dinamis yang
maknanya dipacu dan ditransmisikan. Untuk memperbaiki interpretasi pasien terhadap
pesan, perawat harus tidak terburu-buru dan mengurangi kebisingan dan distraksi.
Kalimat yang jelas dan mudah dimengerti dipakai untuk menyampaikan pesan karena
arti suatu kata sering kali telah lupa atau ada kesulitan dalam mengorganisasi dan
mengekspresikan pikiran. Instruksi yang berurutan dan sederhana dapat dipakai untuk
mengingatkan pasien dan sering sangat membantu. (Bruner & Suddart, 2001 : 188)

Dengan meningkatnya pertumbuhan populasi penduduk lanjut usia berbagai


masalah klinis pada pasien lanjut usia akan menjadi semakin sering dijumpai di praktek
klinis. Jumlah penduduk di Indonesia menurut data Perserikatan Bangsa Bangsa,
Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan jumlah warga lanjut usia yang tertinggi
di dunia, yaitu 414 %, hanya dalam waktu 35 tahun (1990-2025), sedangkan di tahun
2020 diperkirakan jumlah penduduk lanjut usia akan mencapai 25,5 juta. Menurut
Lembaga Demografi Universitas Indonesia, persentase jumlah penduduk berusia lanjut
tahun 1985 adalah 3,4 % dari total penduduk, tahun 1990 meningkat menjadi 5,8 % dan
di tahun 2000 mencapai 7,4 %,, seperti terlihat pada tabel 1. (Czeresna, 2006). Dokter
yang berpraktek perlu memahami kebutuhan yang unik pada populasi pasien lanjut usia
ini sehingga mereka akan lebih siap berkomunikasi secara efektif selama kunjungan
pasien lanjut usia tersebut (Hingle & Sherry, 2009).

Terdapat banyak bukti bahwa kesehatan yang optimal pada pasien lanjut usia tidak
hanya bergantung pada kebutuhan biomedis akan tetapi juga tergantung dari perhatian
terhadap keadaan sosial, ekonomi, kultural dan psikologis pasien tersebut. Walaupun
pelayanan kesehatan secara medis pada pasien lanjut usia telah cukup baik tetapi mereka
tetap memerlukan komunikasi yang baik serta empati sebagai bagian penting dalam
penanganan persoalan kesehatan mereka. Komunikasi yang baik ini akan sangat
membantu dalam keterbatasan kapasitas fungsional, sosial, ekonomi, perilaku emosi
yang labil pada pasien lanjut usia (William et al., 2007). Berdasarkan hal – hal tersebut
kami menulis makalah ini yang berjudul “ komunikasi pada lansia”

B. Rumusan Masalah
1.Pengertian Komunikasi Dan Lansia
2.Komunikasi Pada Lansia
3.Faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi Pada Lansia
4.Strategi Pelaksanaan (SP) Komunikasi
C. Tujuan
1. Mengembangkan strategi pelaksanaan (SP) komunikasi dan mempraktik
kannya pada pasien usia dewasa dengan menggunakan strategi dan
teknik-teknik komunikasi sesuai karakteristik perkembangan orang
dewasa.
2. Mengembangkan strategi pelaksanaan (SP) komunikasi dan mempraktikkannya
pada pasien lanjut usia dengan menggunakan strategi dan teknik-teknik komunikasi
sesuai karakteristik perkembangan lanjut usia.

D.Manfaat

1. Manfaat teoritis
Makalah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu Pendidikan. Khususnya
Pendidikan keperawatanya itu dalam hal berkomunikasi dengan pasien lanjut usia.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi perawat
Makalah ini diharapkan sebagai sumber pengetahuan khusunya dalam hal
komunikasi efektif yang dapat dilakukan perawat dengan pasien lanjut usia dan
keluarganya dalam rangka proses pemenuhan kebutuhan pasien.
b. Bagi tempat layanan kesehatan
Makalah ini diharapkan dapat memberi masukan ilmu pengetahuan sehingga
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menerapan komunikasi
dengan pasien lanjut usia..
c. Bagi progam studi Sarjana Terapan Keperawatan
Menambahkan pustaka dan bahan kajian ilmiah, sehingga dapat menambah ilmu
pengetahuan dan wawasan pembaca khususnya mahasiswa progam studi
Sarjana Terapan Keperawatan mengenai praktik komunikasi pada pasien lanjut
usia.
d. Bagi masyarakat
Diharapkan setelah tersusunnya makalah ini masyarakat dapat megetahui
bagaimana proses dan strategi pelaksanaan komunikasi pada pasien lanjut usia.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Komunikasi Dan Lansia

Komunikasi adalah proses interpersonal yang melibatkan perubahan verbal dan


non verbal dari informasi dan ide. Komunikasi mengacu tidak hanya pada isi tetapi
juga pada perasaan dan emosi dimana individu menyampaikan hubungan ( Potter-
Perry, 301 ). Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60
tahun ke atas (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999;8). Pada lanjut usia akan terjadi
proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti
dan mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat
bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Constantinides,
1994). Karena itu di dalam tubuh akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik
dan struktural disebut penyakit degeneratif yang menyebabkan lansia akan
mengakhiri hidup dengan episode terminal (Darmojo dan Martono, 1999;4).
Penggolongan lansia menurut Depkes dikutip dari Azis (1994) menjadi tiga
kelompok yakni : Kelompok lansia dini (55 – 64 tahun), merupakan kelompok yang
baru memasuki lansia, kelompok lansia (65 tahun ke atas), Kelompok lansia resiko
tinggi, yaitu lansia yang berusia lebih dari 70 tahun.Sedangkan WHO membagi
lansia menjadi 3 katagori, yaitu :

1. Usia lanjut : 60 – 74 tahun


2. Usia tua : 75 -89 tahun
3. Usia sangat lanjut : lebih dari 90 tahun.

Komunikasi pada lansia membutuhkan perhatian khusus. Perawat harus waspada


terhadap perubahan fisik, psikologi, emosi, dan sosial yang memperngaruhi pola
komunikasi. Perubahan yang berhubungan dengan umur dalam sistem auditoris
dapat mengakibatkan kerusakan pada pendengaran. Perubahan pada telinga bagian
dalam dan telinga mengalangi proses pendengaran pada lansia sehingga tidak
toleran teradap suara.
B. Praktik Komunikasi Pada Lansia
Dalam komunikasi dengan lansia harus diperhatikan faktor fisik, psikologi,
(lingkungan dalam situasi individu harus mengaplikasikan ketrampilan komunikasi
yang tepat. disamping itu juga memerlukan pemikiran penuh serta memperhatikan
waktu yang tepat.
1. Ketrampilan komunikasi Listening/Pendengaran yang baik yaitu:
a.) Mendengarkan dengan perhatian telinga kita.
b.) Memahami dengan sepenuh hati, keikhlasan dengan hati yang
jernih.
c.) Memikirkan secara menyeluruh dengan pikiran jernih kita.
2. Teknik komunikasi dengan lansia
Teknik komunikasi dengan penggunaan bahasa yang baik
Kecepatan dan tekanan suara yang tepat dengan menyesuaikan pada topik
pembicaraan dan kebutuhan lansia,berbicara dengan lansia yang dimensia
dengan pelan.tetapi berbicara dengan lansia demensia yang kurang
mendengar dengan lebih keras hati-hati karena tekanan suara yang tidak
tepat akan merubah arti pembicaraan,pertanyaan yang tepat kurang
pertanyaan yang lansia menjawab ya atau tidak.
Berikan kesempatan orang lan untuk berbicara hindari untuk mendominasi
,pembicara sebaiknya mendorontg lansia untuk berperan aktif ,Merubah
topik pembicaaraan dengan jitu menggunakan objek sekitar untuk topik
pembicaraan bila lansia tidak interest lagi Contoh : siapa yang membelikan
pakaian bapak/ibu yang bagus ini?Gunakan kata-kata yang sederhana dan
konkrit gunakan makan satu buah setelah makan dari pada menggunakan
makanan yang berserat. Gunakan kalimat yang simple dan pendek satu pesan
untuk satu kalimat.
3.Teknik nonverbal komunikasi
a.) Perilaku : ramah tamah, sopan dan menghormati, cegah
supaya tidak acuh tak acuh, perbedaan.
b.) Kontak mata : jaga tetap kontak mata
c.) Expresi wajah : mereflexsikan peraaan yang sebenarnya.
d.) Postur dan tubuh : mengangguk, gerakan tubuh yang tepat,
meletakan kursi dengan tepat. Sentuhan : memegang tangan,
menjbat tangan.
4. Teknik untuk meningkatkan komunikasi dengan lansia
a.) Memulai kontak saling memperkenalkan nama dan berjabat
tangan.
b.) Bila hanya menyentuh tangannya hanya untuk mengucapaka
pesan-pesan verbal dan merupak metode primer yang non
verbal.
c.) Jelaskan tujuan dari wawancara dan hubungan dengan
intervensi keperawatan yang akan diberikan.
d.) Muali pertanyaan tentang topik-topik yang tidak mengancam
e.) Gunakan pertanyaan terbuka dan belajar mendengar yang
efektif.
f.) Secara periodic mengklarifikasi pesan.
g.) Mempertahankan kontak mata dan mendengar yang baik dan
mendorong untuk berfokus pada informasi.
i.) Jangan berespon yang menonjolkan rasa simpati.
j.) Bertanya tentang keadaan mental merupakan pertanyaan yang
mengancam dan akan mengakiri interview.
k.) Minta ijin bila ingin bertanya secara formal.
5. Lingkungan wawancara
a.) Posisi duduk berhadapan
b.) Jaga privasi
c.) Penerangan yang cukup dan cegah latar belakang yang silam
d.) Kurangi keramaian dan berisik
e.) Komunikasi dengan lansia kita mencoba untuk mengerti dan
menjaga kita mengekspresikan diri kita sendiri efek dari
kmunikasi adalah pengaruh timbal balik seperti cermin.
C. Faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi Pada Lansia

Komunikasi dengan pasien lanjut usia dapat menjadi lebih sulit dibandingkan dengan
komunikasi pada populasi biasa sebagai akibat dari gangguan sensori yang terkait usia
danpenurunan memori. Orang ketiga juga dapat menjadi bagian dari interaksi, karena pasien
lanjut usia seringkali ditemani oleh anggota keluarga yang dicintai yang aktif terlibat pada
perawatan pasien dan berpartisipasi dalam kunjungan. Ada banyak faktor lain yang
mempengaruhi efektivitas komunikasi dengan pasien lanjut usia. Pasien lanjut usia sering hadir
dengan masalah yang kompleks dan beberapa keluhan utama, yang memerlukan waktu untuk
menyelesaikannya. Untuk setiap dekade kehidupan setelah usia 40 tahun, pasien kemungkinan
mengalami satu penyakit kronik baru. Sehingga pada usia 80 tahun, orang kemungkinan
memiliki paling tidak 4 penyakit kronis (Vieder et al., 2002). Faktor lain adalah bahwa pasien
lanjut usia umumnya lebih sedikit bertanya dan menunggu untuk ditanya sesuai kewenangan
dokter (Haug & Ory, 1987;Greene et al.,1989). Masalah usia atau dikenal dengan
istilah ageism juga merupakan hal yang lazim dijumpai pada perawatan kesehatan dan secara
tidak sengaja berperan terhadap buruknya komunikasi dengan pasien lanjut usia (Ory et al.,
2003).

D.Strategi Pelaksanaan (SP) Komunikasi

1. Kondisi Pasien

Seorang pasien lanjut usia bernama Ibu Siti, 78 tahun diantar keluarga ke rumah sakit
dengan peradangan hati (hepar). Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan suhu badan 380 C,
banyak keluar keringat, kadang-kadang mual dan muntah. Palpasi teraba hepar membesar.
Pasien mengatakan bahwa diagnosis dokter salah, “Dokter salah mendiagnosa, tidak mungkin
saya sakit yang demikian karena saya selalu menjaga kesehatan”, Pasien menolak pengobatan
dan tidak mau dirawat. Pasien yakin bahwa dia sehat-sehat saja dan tidak perlu perawatan dan
pengobatan.

2. Diagnosis/Masalah Keperawatan:

Denial (Penolakan)

3.Rencana Keperawatan:

a.) Istirahatkan pasien di atas tempat tidur (bedrest).

b.)Tingkatkan pemahaman pasien terkait kesehatannya.

c.)Diskusikan masalah yang dihadapi dan proses terapi selama di Rumah Sakit (RS).

4.Tujuan :

Pasien menerima sakitnya dan kooperatif selama perawatan dan pengobatan .

5.SP Komunikasi

Fase Orientasi

Salam terapeutik:

Perawat : “Selamat pagi. Saya Ibu Tri. Apa benar saya dengan Ibu Siti?” (mendekat ke
arah pasien dan mengulurkan tangan untuk berjabatan tangan).

Pasien menjabat tangan perawat dan menjawab “selamat pagi”.

Perawat : “Apa kabar Ibu? Bagaimana perasaan hari ini? Ibu sepertinya tampak lelah?”

Pasien : “Saya sehat-sehat saja, tidak perlu ada yang dikhawatirkan terhadap diri

saya”.

Perawat : Tersenyum sambil memegang tangan pasien.

Perawat : “Ibu, saya ingin mendiskusikan masalah kesehatan ibu supaya kondisi ibu lebih

baik dari sekarang”.

Pasien : “Iya, tapi benarkan saya tidak sakit? Saya selalu sehat”.
Perawat : (Tersenyum)...”Nanti kita diskusikan. Waktunya 15 menit saja ya”. “Ibu mau

tempatnya yang nyaman di mana? Baik di sini saja ya”.

Fase Kerja: (Tuliskan kata-kata sesuai Tujuan dan Rencana yang Akan Dicapai/
Dilakukan)

Perawat : “Saya berharap sementara ini, ibu mau istirahat dulu untuk beberapa hari di
rumah sakit. Batasi aktivitas dan tidak boleh terlalu lelah”.
Pasien : “Saya kan tidak apa-apa... kenapa harus istirahat? Saya tidak bisa hanya
diam/duduk saja seperti ini. Saya sudah biasa beraktivitas dan melakukan
tugas-tugas soasial di masyarakat”.
Perawat : “Saya sangat memahami aktivitas ibu dan saya sangat bangga dengan
kegiatan ibu yang selalu semangat”.
Pasien (mendengarkan)
:
Perawat : “Ibu juga harus memahami bahwa setiap manusia mempunyai keterbatasan
kemampuan dan kekuatan (menunggu respons pasien)”.
Perawat : “Saya ingin tahu, apa alasan keluarga membawa ibu ke rumah sakit ini?”
Pasien “Badan saya panas, mual, muntah dan perut sering kembung. Tapi itu
: sudah biasa, tidak perlu ke rumah sakit sudah sembuh”.
Perawat : “Terus, apa yang membuat keluarga khawatir sehingga ibu diantar ke
rumah sakit?”
Pasien : “Saya muntah muntah dan badan saya lemas kemudian pingsan sebentar”.

Perawat : “Menurut pendapat ibu kalau sampai pingsan, berarti tubuh ibu masih kuat
atau sudah menurun kekuatannya?”
Pasien : “Iya, berarti tubuh saya sudah tidak mampu ya, berarti saya harus
istirahat?”
Perawat : “Menurut ibu, perlu istirahat apa tidak?”
Pasien : “Berapa lama saya harus istirahat? Kalau di rumah sakit ini jangan
lamalama ya?”
Perawat : “Lama dan tidaknya perawatan, tergantung dari ibu sendiri”.
“Kalau ibu kooperatif selama perawatan, mengikuti anjuran dan menjalani
terapi sesuai program, semoga tidak akan lama ibu di rumah sakit”.

Pasien : “Baiklah saya bersedia mengikuti anjuran perawat dan dokter, dan akan
mengikuti proses terapi dengan baik”.
Perawat : “Terima kasih, ibu telah mengambil keputusan terbaik untuk ibu sendiri.
Semoga cepat sembuh ya”.

Fase Terminasi:

Evaluasi subjektif/objektif : “Bagaimana perasaan ibu sekarang?” . “Sekarang

Jelaskan kenapa ibu harus istirahat dulu untuk

sementara ini!”

Rencana tindak lanjut : “Saya berharap ibu bisa kooperatif selama di rawat. Ibu harus
istirahat dan tidak boleh banyak aktivitas, makan sesuai
dengan diet yang disediakan, dan minum obat secara teratur”.

Kontrak yang akan datang : “Satu jam lagi saya akan kembali untuk memastikan bahwa
Ibu telah menghabiskan makan ibu dan minum obat sesuai
program. Sampai jumpa nanti, ya. Selamat siang”.
BAB III

PENUTUP
A.Kesimpulan

Komunikasi pada lansia adalah sulit dan perlu pendekatan khusus. Pengetahuan yang
dianggapnya benar tidak mudah digantikan dengan pengetahuan baru sehingga kepada orang
dewasa sampai lansia, tidak dapat diajarkan sesuatu yang baru. Dalam berkomunikasi dengan
lansia diperlukan pengetahuan tentang sikap-sikap yang khas pada lansia. Gunakan perasaan
dan pikiran orang dewasa/lansia, bekerja sama untuk menyelesaikan masalah dan memberikan
kesempatan pada lansia untuk mengungkapkan pengalaman dan memberi tanggapan sendiri
terhadap pengalaman tersebut.

Berkomunikasi dengan lansia memerlukan suasana yang saling hormat menghormati,


saling menghargai, saling percaya, dan saling terbuka. Penyampaian pesan langsung tanpa
perantara, saling memengaruhi dan dipengaruhi, komunikasi secara timbal balik secara
langsung, serta dilakukan secara berkesinambungan, tidak statis, dan selalu dinamis. Kesulitan
dalam berkomunikasi pada lanjut usia disebabkan oleh berkurangnya fungsi organ komunikasi
dan perubahan kognitif yang berpengaruh pada tingkat intelegensia, kemampuan belajar, daya
memori, dan motivasi klien.

B.Saran

1. Bagi Perawat. Perawat sebaiknya selalu menerapkan komunikasi pada lansia sesuai dengan
SOP tentang serah terima pasien yang berlaku di rumah sakit agar tidak terjadi insiden
keselamatan pasien terkait serah terima pasien.

2.Bagi Tempat Pelayanan Kesehatan

Tempat Pelayanan Kesehatan sebaiknya memberikan pelatihan secara berkelanjutan tentang


komunikasi pada lansia agar perawat dapat menerapkan komunikasi efektif serah terima lebih
baik lagi.

3.Bagi Studi Sarjana Terapan Keperawatan

Mahasiswa sebaiknya dapat menambah bahan kajian mengenai komunikasi pada lansia.

4.Bagi masyarakat

Masyarakat sebaiknya mengetahui bagaimana proses dan strategi komuniaksi pada lansia.
PERTANYAAN

1. Menurut kelompok kalian bagaimana cara berkomunikasi dengan lansia yang


bertindak semaunya sendiri dan berikan contohnya!

Dari : Tri Fitri

Jawab :

A. Hindari memberi saran, kecuali diminta

Biasanya, orangtua memberi nasihat dan meminta anak untuk mendengarkannya. Tapi
sebaliknya, bila saat ini orang tua yang diberi nasihat mungkin takkan berjalan dengan
semestinya. Terkadang sulit bagi beberapa lansia untuk menerima nasihat atau saran dari
anaknya.Karena itu, memberikan saran sebaiknya dihindari kecuali Anda yakin telah
diminta. Biasanya lebih baik meminta pihak lain yang posisinya netral yang menjadi
pemberi saran. Meski demikian, Anda dapat memberikan dorongan dan dukungan, tanpa
memberikan nasihat.

B. Dengarkan apa kata orang tua.

Benar-benar mendengarkan apa yang dikatakan sesepuh Anda. Jangan menyela atau
memotong pembicaraan. Dengarkan terlebih dulu apa yang diucapkan dan disampaikan
lansia. Kemudian, setelah itu Anda bisa mencoba mengutarakan apa yang ingin
disampaikan pada orang tua.

C. Terima perbedaan opini.

Tak selamanya dalam satu sekeluarga ada satu kesepahaman. Karena itu, hormati pendapat
orang lain, dalam hal ini orang tua Anda dan jangan abaikan bila ia tidak setuju dengan
Anda. Dengarkan semua opininya, bila memungkinkan cobalah untuk berkompromi
ketika perlu mengambil sebuah keputusan.

D. Bicara dengan suara sedikit lebih nyaring.

Beberapa lansia mengalami masalah pendengaran karena fungsi mendengarnya sudah


menurun. Tetap tenang dan berbicara dengan cara yang lembut dan tanpa basa-basi.
Berbicaralah lebih nyaring, jika perlu, tetapi hindari berteriak. Pastikan pengucapannya
jelas, hindari bergumam dan berbicara terlalu cepat. Fokus pada satu ide dan gunakan
kalimat singkat serta sederhana. Jika orang yang Anda cintai masih belum memahami apa
yang Anda katakan, cobalah untuk mengucapkannya secara berbeda dan menggunakan
kata-kata yang berbeda.

A. Hindari merendahkan. Pastikan upaya Anda untuk "meningkatkan volume" dan


memperlambat pola bicara tidak dianggap merendahkan. Bahkan jika orang tua
mengalami demensia atau gangguan pendengaran yang ekstrem, hindari berbicara seolah-
olah mereka anak-anak.

F. Pastikan suasana yang nyaman/tak berisik

Hindari melakukan percakapan di tengah-tengah suara bising atau berisik seperti kendaraan,
televisi atau radio. Anda dan orang tua menjadi sulit fokus berkomunikasi. Matikan televise
atau radio, atau paling tidak kecilkan volumenya. Bicaralah secara berhadap-hadapan
sehingga orang tua dapat menangkap ekspresi wajah Anda.

G. Upayakan untuk tertawa

Tertawa benar-benar obat terbaik. Momen-momen lucu sering muncul. Bersikap terbuka,
hindari perbincangan terlalu serius. Tertawa bersama dapat meredakan ketegangan dan
membangun kedekatan dengan orang yang Anda cintai.

2. Strategi komunikasi lansia pada poin yaitu tingkatkan pemahaman pada kesehatan
klien,nah apabila klien pikun itu bagaimana cara agar pasien mudah ingat ?

Dari : Halimah

Jawab : Berikut adalah prosedur yang dapat digunakan sebagai pengobatan untuk demensia:

A.Terapi khusus
Terdapat beberapa terapi yang dapat dilakukan untuk menangani gejala dan perilaku yang
muncul akibat demensia, yaitu:

• Terapi stimulasi kognitif


Terapi ini bertujuan untuk merangsang daya ingat, kemampuan memecahkan masalah,
serta kemampuan berbahasa, dengan melakukan kegiatan kelompok atau olahraga.
• Terapi okupasi
Terapi ini bertujuan untuk mengajarkan penderita cara melakukan aktivitas sehari-hari
dengan aman sesuai kondisinya, serta mengajarkan cara mengontrol emosi dalam
menghadapi perkembangan gejala.
• Terapi ingatan
Terapi ini berguna untuk membantu penderita mengingat riwayat hidupnya, seperti
kampung halaman, masa sekolah, pekerjaan, hingga hobi.
• Rehabilitasi kognitif
Terapi ini bertujuan untuk melatih bagian otak yang tidak berfungsi, menggunakan
bagian otak yang masih sehat.

B.Dukungan Keluarga
Selain terapi-terapi di atas, untuk menjaga kualitas hidup penderita demensia, diperlukan
dukungan dari keluarga atau kerabat. Dukungan atau bantuan tersebut dapat meliputi:

• Berkomunikasi dengan penderita menggunakan kalimat yang singkat dan mudah


dimengerti, disertai dengan gerakan, isyarat dan kontak mata.
• Melakukan olahraga yang dapat meningkatkan kekuatan, keseimbangan, dan
kesehatan jantung bersama penderita.
• Melakukan aktivitas menyenangkan bersama penderita, seperti memasak, berkebun,
melukis, atau bermain musik.
• Menciptakan kebiasaan sebelum tidur untuk penderita, seperti tidak menonton televisi
dan menghidupkan lampu rumah.
• Membuat agenda atau kalender sebagai alat bantu mengingat acara dan aktivitas yang
harus dilakukan penderita, serta jadwal pengobatan.
• Membuat perencanaan pengobatan selanjutnya bersama penderita, untuk menentukan
pengobatan apa yang harus dijalaninya.

C.Obat-obatan
Beberapa jenis obat yang biasa digunakan untuk mengatasi gejala demensia
adalah acetylcholinesterase inhibitors, memantine, antiansietas, antipsikotik,
dan antidepresan.

D.Operasi
Demensia dapat ditangani dengan operasi jika disebabkan oleh tumor otak, cedera otak,
atau hidrosefalus. Tindakan operasi dapat membantu memulihkan gejala jika belum terjadi
kerusakan permanen pada otak.
Meskipun terdapat sejumlah terapi yang dapat dilakukan untuk mengatasi demensia, sebagian
besar penderita demensia tidak sembuh sepenuhnya. Namun, pengobatan tetap harus
dilakukan untuk meredakan gejala yang muncul. Selain itu, komplikasi juga dapat dihindari
dengan pengobatan yang tepat.

3. Pertanyaan yang mengancam itu seperti apa dan bagaimana cara kita sebagai
perawat agar tidak memberikan pertanyaan yang mengancam?

Dari : Diana Indah


Jawab : Kalau ibu tidak minum obat nanti tidak akan sembuh - sembuh dan terus di
rumah sakit tidak ada keluarga yg menunggu disini. Cara agar perawat tidak memberikan
pertanyaan yang mengancam adalah dengan cara:

A. Hindari memberi saran, kecuali diminta

Biasanya, orangtua memberi nasihat dan meminta anak untuk mendengarkannya. Tapi
sebaliknya, bila saat ini orang tua yang diberi nasihat mungkin takkan berjalan dengan
semestinya. Terkadang sulit bagi beberapa lansia untuk menerima nasihat atau saran dari
anaknya.Karena itu, memberikan saran sebaiknya dihindari kecuali Anda yakin telah
diminta. Biasanya lebih baik meminta pihak lain yang posisinya netral yang menjadi
pemberi saran. Meski demikian, Anda dapat memberikan dorongan dan dukungan, tanpa
memberikan nasihat.

B. Dengarkan apa kata orang tua.

Benar-benar mendengarkan apa yang dikatakan sesepuh Anda. Jangan menyela atau
memotong pembicaraan. Dengarkan terlebih dulu apa yang diucapkan dan disampaikan
lansia. Kemudian, setelah itu Anda bisa mencoba mengutarakan apa yang ingin
disampaikan pada orang tua.

C. Terima perbedaan opini.

Tak selamanya dalam satu sekeluarga ada satu kesepahaman. Karena itu, hormati pendapat
orang lain, dalam hal ini orang tua Anda dan jangan abaikan bila ia tidak setuju dengan
Anda. Dengarkan semua opininya, bila memungkinkan cobalah untuk berkompromi
ketika perlu mengambil sebuah keputusan.
PRAKTIK KOMUNIKASI PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN

KEBUTUHAN KHUSUS

Dosen Pengampu : Yustiana Olfah, APP.,M.Kes

DISUSUN OLEH :

1. Halimatus Sa’diyah (P07120221014)

2. Nur Latifah Sri Maharani (P07120221015)

3. Rizky Wulandari (P07120221032)

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN + PROFESI NERS

POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA

2021/2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia. Dengan berkomunikasi,
manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam kehiduapan sehari-hari
di rumah tangga, ditempat pekerjaan, dipasar, dalam masyarakat atau dimana saja
manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat dalam komunikasi.
Komunikasi sangat penting bagi kehidupan manusia. Berkembangnya pengetahuan
manusia dari hari ke hari karena komunikasi. Komunikasi juga membentuk sistem
sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, maka dari itu komunikasi dan
masyarakat tidak dapat dipisahkan.

Pengertian komunikasi dapat diihat dari etimologi (bahasa) dan terminologi


(istilah) Dari sudut etimologi, menurut Roudhonah dalam buku ilmu komunikasi,
dibagi menjadi beberapa kata diantaranya “communicare yang berarti berpartisipasi
atau member tahukan, Communis opinion yang berarti pendapat umum.1 Raymond S.
Ross yang dikutip oleh Deddy Mulyana dalam buku Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar
mengemukakan bahwa “Komunikasi atau Communication dalam bahasa inggris
berasal dari kata latin Communis yang beberarti membuat sama”.2 Dari pengertian
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa komunikasi adalah suatu penyampaian pesan
yang bertujuan untuk membuat sama persepsi atau arti antara komunikator dan
komunikan.

Sedangkan secara “terminologi” ada banyak ahi yang mencoba mendefinisikan


diantaranya Hovland, Janis dan Kelley seperti yang dikemukakan oleh Forsdale bahwa
“komunikasi adalah proses individu mengirim stimulus yang biasanya dalam bentuk
verbal untuk mengubah tingkah laku orang lain”.3 Menurut Laswell bahwa
“komunikasi itu merupakan jawaban terhadap who says what in which medium to
whom with what effect (siapa mengatakan apa dalam media apa kepada siapa dengan
apa efeknya). 4 John B. Hoben mengasumsikan bahwa komunikasi itu (harus) berhasil
“Komunikasi adalah pertukaran verbal pikiran atau gagasan”.

B. Rumusan Masalah
a. Apakah kebutuhan khusus itu?

b. Apakah yang dimaksud gangguan komunikasi?

c. Apa sajakah macam gangguan yang termasuk dalam kebutuhan khusus?

d. Bagaimana Teknik dan strategi komunikasi pada anak dengan


kebutuhan khusus (gangguan perilaku: hiperaktif)?

C. Tujuan
a. Mengetahui apa itu kebutuhan khusus.

b. Mengetahui apa yang dimaksud gangguan komunikasi.

c. Mengetahui apa saja gangguan yang termasuk kebutuhan khusus.

d. Mengetahui bagaimana teknik dan strategi komunikasi pada anak


kebutuhan khusus (gangguan perilaku: hiperaktif).
BAB II

PEMBAHASAN

Gangguan komunikasi adalah gangguan bicara pada anak sebagai salah satu
kelainan yang sering dialami oleh anak-anak. Gangguan komunikasi ini sering terjadi
pada usia presekolah. Hal ini mencakup gangguan berbicara (3%) dan gagap (1%).
Gangguan wicara yang terlambat ditangani adalah jika terjadi perubahan yang
signifikan dalam hal tingkah laku, gangguan kejiwaan, kesulitan membaca, dan
gangguan prestasi akademik termasuk penurunan prestasi di sekolah sampai drop-out.

Kebutuhan khusus adalah suatu kondisi yang memerlukan pemahaman dan


perlakuan secara khusus pada pasien/anak yang mempunyai keterbatasan atau kelainan
tertentu. Di masyarakat, cukup banyak anak-anak atau orang dewasa dengan kebutuhan
khusus sehingga mereka mengalami kesulitan hidup di tengah-tengah masyarakat
normal. Sebagian mereka seperti terkucilkan/tidak diterima karena “kelainan” atau
“gangguannya” dan tidak mendapatkan bantuan atau penanganan yang adekuat. Salah
satu faktor yang penyebab pasien dengan kebutuhan khusus sulit diterima masyarakat
adalah ketidakmampuannya dalam berkomunikasi/kesulitan berbahasa dan
menyampaikan pendapat, serta perilaku yang “aneh” dan sulit untuk dipahami.
Gangguan komunikasi pada anak/klien dengan kebutuhan khusus
a. Ilustrasi kasus: Dody adalah anak laki-laki berusia 2 tahun dan masih belum
bisa berbicara. Dia dapat mengatakan beberapa kata, namun dibandingkan
teman sebayanya dia jauh ketinggalan. Keterlambatan ini harus segera dikenali
agar tidak terlambat dalam menangani masalah komunikasi Dody.

Karakteristik Pasien Anak dengan Kebutuhan Khusus


1. Tidak dapat menggunakan bahasa tubuh seperti menunjuk atau melambai pada
usia 12 bulan.

2. Memilih menggunakan bahasa tubuh dibandingkan vokalisasi untuk


berkomunikasi pada usia 18 bulan.

3. Memiliki kesulitan menirukan suara atau kata pertama tidak muncul pada usia
18 bulan.

Berikut ini karakteristik anak usia lebih dari 2 tahun yang diidentifikasi sebagai
anak dengan kebutuhan khusus karena mengalami gangguan komunikasi.
1. Hanya dapat mengulang kata atau suara tanpa mampu menghasilkan kata atau
kalimat sendiri.

2. Hanya mengucapkan beberapa kata atau suara berulang-ulang.

3. Tidak dapat mengikuti petunjuk sederhana. d. Memiliki suara yang tidak biasa
(suara hidung).

4. Lebih sulit dimengerti dibandingkan sebayanya.

5. Anak dengan keterlambatan bicara dan bahasa memiliki berbagai karakteristik,


termasuk ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk, lambat dalam berbicara,
kesulitan artikulasi, dan kesulitan dalam membuat kalimat.

Karakteristik lain anak dengan kebutuhan khusus karena mengalami gangguan


komunikasi sebagai berikut:
1. Gagap adalah gangguan dalam berbicara yang muncul antara usia 3—4 tahun
dan dapat berkembang menjadi kasus yang kronik apabila tidak ditangani
secara adekuat. Gagap dapat secara spontan menghilang pada usia remaja.

2. Anak dengan gangguan pendengaran dapat muncul dengan berkurangnya


kemampuan pendengaran. Deteksi dan diagnosis dini gangguan pendengaran
sebaiknya segera dilakukan dan ditangani dengan segera.

Macam – Macam gangguan yang termasuk dalam kebutuhan khusus ada 4 yaitu
:

1. Gangguan bahasa Bahasa adalah apa yang disampaikan dengan kata-kata


(ujaran) dan bukan tulisan. Hal ini sesuai dengan kaidah pertama bahasa, yakni
sebagai lambang bunyi. Seorang pembicara akan selalu sadar apa yang akan ia
katakan, tetapi ia tidak sadar bagaimana ia mengatakannya. Akan tetapi, tidak
semua orang dapat menggunakan bahasa dengan baik dan mudah. Ada sebagian
orang yang memerlukan kebutuhan khusus karena ia bermasalah atau
mengalami gangguan dalam menggunakan bahasa. Gangguan bahasa
merupakan salah satu jenis kelainan atau gangguan dalam komunikasi dengan
indikasi klien mengalami kesulitan atau kehilangan dalam proses simbolisasi.
Kesulitan simbolisasi ini mengakibatkan seseorang tidak mampu memberikan
simbol yang diterima dan sebaliknya tidak mampu mengubah konsep
pengertiannya menjadi simbol-simbol yang dapat dimengerti oleh orang lain
dalam lingkungannya. Gangguan ini adalah satu bentuk kegagalan klien dalam
mencapai tahapan perkembangannya sesuai dengan perkembangan bahasa anak
normal seusianya.

Beberapa bentuk gangguan bahasa adalah keterlambatan dalam perkembangan


bahasa dan afasia seperti uraian berikut:
• Keterlambatan dalam perkembangan bahasa Kelambatan perkembangan
bahasa antara lain disebabkan keterlambatan mental intelektual, tunarungu,
afasia congenital, autisme, disfungsi minimal otak, dan kesulitan belajar. Anak-
anak yang mengalami sebab-sebab tersebut terlambat dalam perkembangan
kemampuan bahasa sehingga anak mengalami kesulitan transformasi yang
diperlukan dalam komunikasi. Gangguan tingkah laku tersebut sangat
memengaruhi proses pemerolehan bahasa di antaranya kurang perhatian dan
minat terhadap rangsangan yang ada di sekelilingnya, perhatian yang mudah
beralih, konsentrasi yang kurang baik, nampak mudah bingung, cepat putus asa,
kreativitas dan daya khayalnya kurang, serta kurangnya pemilikan konsep diri.

• Afasia adalah salah satu jenis kelainan bahasa yang disebabkan adanya
kerusakan pada pusat-pusat bahasa di cortex cerebri. Secara klinis afasia
dibedakan menjadi 4 yaitu:

a) Afasia sensoris Yaitu kelainan yang ditandai dengan kesulitan dalam


memberikan makna rangsangan yang diterimanya. Bicara spontan biasanya
lancar hanya kadang-kadang kurang relevan dengan situasi pembicaraan
atau konteks komunikasi.

Contoh: Seorang afasia dewasa akan kesulitan untuk menyebutkan kata


buku walau di hadapannya ditunjukkan benda buku. Klien dengan susah
menyebut busa, bulu, bubu. (Klien tampak susah dan putus asa). Untuk
afasia auditory, klien tidak mampu memberikan makna apa yang
didengarnya. Ketika ditanya, “apakah bapak sudah makan?” Maka
jawabannya adalah “piring, piring, meja, ya, ya”.

b) Afasia Motoris yaitu ditandai dengan kesulitan dalam mengoordinasikan


atau menyusun pikiran, perasaan, dan kemauan menjadi simbol yang
bermakna dan dimengerti oleh orang lain. Bicara lisan tidak lancar,
terputus-putus, dan sering ucapannya tidak dimengerti orang lain. Apabila
bertutur kalimatnya pendek-pendek dan monoton. Seorang dengan kelainan
ini mengerti dan dapat menginterpretasikan rangsangan yang diterimanya,
hanya untuk mengekspresikannya mengalami kesulitan.
Contoh: Seorang afasia dewasa berumur 59 tahun, kesulitan menjawab,
rumah bapak di mana, dengan menunjuk arah barat dan dengan kesal karena
tidak ada kemampuan dalam ucapannya. Jenis afasia ini juga dialami dalam
menuangkan ke bentuk tulisan. Jenis ini disebut dengan disgraphia
(agraphia).

c. Afasia konduktif, yaitu kelainan ini ditandai dengan kesulitan dalam meniru
pengulangan bunyi-bunyi bahasa. Pada ucapan kalimat-kalimat pendek
cukup lancar, tetapi untuk kalimat panjang mengalami kesulitan.

d. Afasia amnestik, yaitu kelainan yang ditandai dengan kesulitan dalam


memilih dan menggunakan simbol-simbol yang tepat. Umumnya simbol
yang dipilih yang berhubungan dengan nama, aktivitas, dan situasi yang
berhubungan dengan aktivitas kehidupan.

a. Gangguan bicara Perkembangan bahasa tidak dapat dipisahkan dengan


perkembangan bicara. Perkembangan bahasa seseorang akan memengaruhi
perkembangan bicara. Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh situasi dan
kondisi lingkungan ketika anak dibesarkan. Kelainan bicara merupakan salah
satu jenis kelainan atau gangguan perilaku komunikasi yang ditandai dengan
adanya kesalahan proses produksi bunyi bicara. Kelainan proses produksi
menyebabkan kesalahan artikulasi baik dalam titik artikulasinya maupun cara
pengucapannya, akibatnya terjadi kesalahan seperti penggantian/substitusi atau
penghilangan. Secara klinis, kelainan bicara dalam hubungannya dengan
penyebab kelainannya dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu disaudia,
dislogia, disartria, displosia, dan dislalia.

a. Disaudia adalah satu jenis gangguan bicara yang disebabkan gangguan


pendengaran yang menyebabkan terjadinya kesulitan dalam menerima dan
mengolah nada baik secara intensitas maupun kualitas bunyi bicara.
Gangguan ini menyebabkan terjadinya pesan bunyi yang tidak sempurna
dan mungkin salah arti. Pada anak tunarungu kesalahan tersebut sering
dipergunakan dalam berkomunikasi. Anak yang mengalami gangguan
pendengaran cenderung bersuara monoton dan bernada tinggi, tidak
mengenal lagu kalimat, mana kalimat tanya, kalimat penegasan, dan tidak
mengenal makna tanda seru dalam kalimat.

Contoh: kata/kopi/, ia dengar/topi/, kata/bola/, ia dengar/pola. Umumnya,


anak dengan disaudia dalam berkomunikasi cenderung menggunakan
bahasa isyarat yang telah dikuasainya. Namun, tidak semua lawan
bicaranya dapat menerima sehingga komunikasi secara umum
komunikasinya terganggu.

b. Dislogia adalah bentuk kelainan bicara yang disebabkan oleh kemampuan


kapasitas berpikir atau taraf kecerdasan di bawah normal. Kesalahan
pengucapan disebabkan karena tidak mampu mengamati perbedaan bunyi-
bunyi benda terutama bunyi-bunyi yang hampir sama.

Contoh: kata tadi diganti dengan dengan tapi, kopi dengan topi. Rendahnya
kemampuan mengingat menyebabkan penghilangan suku kata atau kata
pada waktu mengucapkan kalimat.

Contoh:/makan/diucapkan/kan/,/pergi/diucapkan/gi/,/ibu pergi
ke pasar/diucapkan/bu…gi….cal.

c. Disartria diartikan jenis kelainan/ketidakmampuan bicara yang terjadi


akibat adanya kelumpuhan, kelemahan, kekakuan atau gangguan
koordinasi otot alatalat ucap atau organ bicara karena adanya kerusakan
susunan syaraf pusat. Gangguan ini disebabkan oleh beberapa keadaan,
yaitu akibat spastisitas atau kekakuan otot-otot bicara, lemahnya otot-otot
organ bicara, gangguan koordinasi gerakan-gerakan fonasi, artikulasi dan
resonansi, penurunan gerak dari otot-otot organ bicara terhadap rangsangan
dari pusat/cortex, dan kegagalan bicara karena adanya gerakan yang tidak
disengaja Gangguan-gangguan tersebut dapat mengakibatkan kesulitan
bicara, keterlambatan, putus, putus atau tidak adanya produksi suara atau
bicara dengan nada monoton. Kondisi ini sulit dipahami lawan bicara.

d. Disglosia mengandung arti kelainan bicara yang terjadi karena adanya


kelainan bentuk struktur dari organ bicara. Kegagalan tersebut akibat
adanya kelainan bentuk dan struktur organ artikulasi, yaitu sumbing
langitan, tidak sesuai konstruksi gigi atas dan gigi bawah, kelainan anomali,
yaitu kelainan atau penyimpangan/cacat bawaan, misalnya bentuk lidah
yang tebal, tidak tumbuh atau tali lidah yang pendek.

e. Dislalia adalah gejala gangguan bicara karena ketidakmampuan dalam


memperhatikan bunyi-bunyi bicara yang diterima sehingga tidak mampu
membentuk konsep bahasa. Misalnya/makan/menjadi/kaman/atau/nakam.

b. Gangguan suara, yaitu salah satu jenis gangguan komunikasi yang disebabkan
adanya gangguan pada proses produksi suara. Macam gangguan suara tersebut
sebagai berikut.

a. Kelainan nada: gangguan pada frekuensi getaran pita suara pada waktu
ponasi yang berakibat pada gangguan nada yang diucapkan.

b. Kelainan kualitas suara: gangguan suara yang terjadi karena adanya


ketidaksempurnaan kontak antara pita suara pada saat aduksi sehingga suara
yang dihasilkan tidak sama dengan suara yang biasanya. Contoh gangguan:
suara menjadi sengau, mengecil, atau membesar.

c. Afonia, yaitu kelainan suara yang diakibatkan ketidakmampuan dalam


memproduksi suara atau tidak dapat bersuara sama sekali karena
kelumpuhan pita suara.

c. Gangguan Irama Gangguan irama adalah gangguan bicara dengan ditandai


adanya ketidaklancaran pada saat berbicara, antara lain gagap, yaitu gangguan
dalam kelancaran berbicara berupa pengulangan bunyi atau suku kata,
perpanjangan dan ketidakmampuan untuk memulai pengucapan kata, dan
gangguan kelancaran bicara yang ditandai bicara yang sangat cepat sehingga
terjadi kesalahan artikulasi yang sulit dipahami dan dimengerti.

Teknik dan strategi komunikasi pada anak dengan kebutuhan khusus


(gangguan perilaku: hiperaktif)
a. Menggunakan komunikasi terapeutik yang efektif untuk digunakan pada anak
dengan kebutuhan khusus karena autis atau hiperaktif?

➢ Komunikasi nonverbal (bahasa tubuh) dan sikap

1) Menerima anak secara utuh.

2) Menjaga kontak mata dan menjaga jarak fisik.

3) Tetap rileks jangan panik dan selalu tersenyum. Jangan marahi anak.

4) Gunakan nada suara lembut, terutama jika klien menunjukkan emosi


yang tinggi. 5) Peluk anak walaupun dia menolak dan tidak
memaksakan pelukan jika anak menolak.

6) Hindari bahasa tubuh tidak sabar seperti rolling mata, kaki


penyadapan, atau mendesah.

7) Memberi contoh perilaku yang tepat.

8) Tetap rileks, tenang, sabar, dan ikhlas.

9) Bantu kesulitan anak.

10) Upayakan anak akan aman dari bahaya fisik.

11) Membantu meningkatkan adaptasi dan mekanisme koping anak.

➢ Komunikasi verbal dan teknik komunikasi yang digunakan

1) Pertanyaan sederhana atau tertutup karena anak/klien sangat tidak


koorperatif.
2) Mengulang pembicaraan yang kurang jelas.

3) Memperjelas ungkap verbal anak.

4) Jangan berbicara sambil berjalan.

5) Bicara singkat dan jelas sesuai kemampuan menerima anak.

6) Memfokuskan dan lain-lain yang sesuai dengan kondisi anak.

Teknik digunakan cara berkomunikasi dengan berkebutuhan khusus dengan


pasien penglihatan

1. Sedekat mungkin ambil posisi yang dapat dilihat oleh klien bila ia mengalami
parsial atau sampaikan secara verbal keberadaan atau kehadiran perawat ketika
anda berada di dekatnya.

2. Identifikasi diri anda dengan menyebutkan nama dan peran anda.

3. Berbicara dengan nada suara normal karena kondisi klien tidak memungkinkan
menerima pesan non verbal secara visual.Nada suara anda memegang peranan
besar dan bermakna bagi pasien.

4. Terangkan alasan anda menyentuh atau mengucapkan kata-kata sebelum


melakukan sentuhan kepada pasien.

5. Ketika anda meninggalkan ruangan atau hendak memutus komunikasi atau


pembicaraan,informasikan kepadanya.

6. Orientasikan klien pada lingkungannya bila pasien dipindah ke lingkungan


asing baginya.

Teknik digunakan cara berkomunikasi dengan berkebutuhan khusus dengan


pasien Pendengaran

1. Orientasikan kehadiran diri anda dengan cara menyentuh klien atau


memposisikan diri didepan klien.
2. Usahakan menggunakan bahasa yang sederhana dan bicaralah dengan perlahan
untuk memudahkan pasien membaca gerak bibir anda.

3. Jangan melakukan komunikasi ketika anda sedang mengunyah sesuatu.

4. Gunakan bahasa pantomime bila memungkinkan dengan gerakan sederhana


dan perlahan.

5. Gunakan bahasa isyarat atau bahasa jari bila anda bisa dan di perlukan.

6. Apabila ada sesuatu kesulitan cobalah sampaikan dalam bentuk tulisan atau
gambar.

Teknik digunakan cara berkomunikasi dengan berkebutuhan khusus dengan


pasien wicara

1. Perawat benar-benar dapat memperhatikan gerak gerik bibir pasien

2. Usahakan memperjelas hal yang disampaikan dengan mengulang kembali kata-


kata yang diucapkan pasien

3. Mengendalikan pembicaraan supaya tidak terlalu membahas banyak topic

4. Mengendalikan pembicaraan sehingga terjadi lebih rileks dan pelan

5. Memperhatikan setipa detail komunikasi sehingga pesan dapat diterima dengan


baik

Teknik digunakan cara berkomunikasi dengan berkebutuhan khusus dengan


pasien gangguan kesadaran

1. Berhati hati ketika melakukan pembicaraan verbal dekat pasien karena ada
keyakinan bahwa organ pendengaran adalah organ terakhir yang mengalami
penurunan peneriman rangsng pada individu yang tidak sadar dan menjadi
pertama kali berfungsi pada waktu sadar maka perawat harus berhati-hati tidak
mengatakan sesuatu pada pasien yang tidak sadar atau pada jarak
pendengaran,hal-hal yang tidak akan mereka katakana pada pasien yang
sepenuhnya sadar.

2. Ambil asumsi bahwa pasien dapat mendengar pembicaraan kita.Usahakan


mengucapkan kata dengan menggunakan nada normal dan memperhatikan
materi ucapan yangkita sampaikan didekat pasien.

3. Ucapkan kata-kata sebeum menyentuh pasien

4. Upayakan mempertahankan lingkungan setenang mungkin untuk komuikasi


pasien pada komunikasi yang dilakukan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Gangguan komunikasi merupakan gangguan bicara pada anak yang
merupakan salah satu kelainan yang sering dialami oleh anak anak dan sering terjadi
pada usia presekolah. Mencakup 3% gangguan berbicara, dan 1% gagap. Anak
berkebutuhan khusus merupakan tipe anak yang memiliki kriteria khusus yang
tidak dimiliki oleh anak lain pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus biasa
juga disebut dengan sebutan Anak Luar Biasa. Dan karena kriterianya inilah
kemudian terdapat beberapa gangguan komunikasi yang dihadapi orang sekitar
pada saat berkomunikasi dengannya.

Karakteristik Pasien Anak dengan Kebutuhan Khusus


1. Tidak dapat menggunakan bahasa tubuh seperti menunjuk atau
melambai pada

usia 12 bulan.

2. Memilih menggunakan bahasa tubuh dibandingkan vokalisasi untuk

berkomunikasi pada usia 18 bulan.

3. Memiliki kesulitan menirukan suara atau kata pertama tidak muncul


pada usia

18 bulan.

4 macam gangguan yang termasuk dalam kebutuhan khusus :

1. Gangguan bahasa

2. Gangguan suara

3. Gangguan bicara
4. Gangguan perilaku

B. Saran
Untuk meminimalisir keterlambatan/ gangguan komunikasi pada anak
sebaiknya, dari usia dini sudah dimulai melatih keterampilan anak untuk
berkomunikasi. Misalkan, dengan cara :
⚫ Melatih komunikasi dua arah dengan anak

Mengajak anak berbicara sangatlah penting untuk mencegah keterlambatan


bicara. Sering mengajak anak ngobrol sejak dini dapat memicu keberanian anak
untuk berbicara. Selain itu, merespons sangat anak berbicara juga bisa jadi cara
mencegah gangguan bicara pada anak.

⚫ Bermain permainan sederhana bersama anak

Meluangkan waktu untuk bermain bersama anak juga dapat mencegah anak
terlambat bicara. Saat bermain, bisa mengajak anak berdiskusi sederhana tentang
mainan anak maupun membuat cerita dari permainan tersebut.

⚫ Membaca buku cerita atau dongeng anak

Membacakan buku pada anak dapat mencegah anak terlambat bicara. Pasalnya,
saat membaca bisa menstimulasi anak dengan pertanyaan atau diskusi sederhana
tentang cerita di buku. Tak hanya membacakan, ketika anak sudah menginjak
usia membaca, juga dapat biasakan anak membaca. Sehingga dapat menambah
perbendaharaan kosakata anak.

⚫ Ajak anak belajar bernyanyi bersama

Selain membaca, menyanyi juga bisa mencegah gangguan bicara pada anak.
Ada banyak sekali kata-kata baru yang bisa dipelajari anak dalam satu lagu. Bisa
dengan menambah sedikit gerakan tarian untuk melatih kemampuan gerak anak.
DISKUSI :

1. Desi oktaviani

Apakah ada hambatan hambatan dalam pelaksanaan komunikasi


dengan pasien berkebutuhan khusus , jika ada hambatan itu seperti apa dan cara
menyelesaikan nya bagaimana ? Jawab :

Dalam berkomunikasi dengan pasien berkebutuhan khusus pasti


terdapat berbagai hambatan, sebagai contohnya pada pasien tuna netra yang
dmn hambatan tersebut dalam hal penglihatan. Pada pasien tunanetra hambatan
yang dialami yaitu memiliki kesulitan dalam membaca, maka kami selaku
perawat harus melatih pasien untuk membaca menggunakan buku braille

2. Nico fahrizal

Apa yang dimaksud pasien dengan gangguan kognitif??

Jawab :
Gangguan kognitif merupakan gangguan dan kondisi yang
mempengaruhi kemampuan berfikir seseorang. Individu dengan masalah
seperti itu akan memiliki kesulitan dengan ingatan, persepsi, dan belajar

Contohnya :

Demensia juga merupakan salah satu gangguan kognitif yang terjadi di


dalam psikologi abnormal, gangguan ini terjadi pada seseorang yang
mengalami penurunan fungsi otak, sehingga daya ingatnya dan kemampuanya
untuk berfikir akan sangat lemah, orang tersebut juga akan kesulitan untuk
memahami sesuatu yang dianggapnya membingungkan.

3. Keysia alea brilianti

pada saat ada interpretasi yg berbeda antara perawat dan pasien, apa yg
bisa dilakukan?

jika ada perbedaan interpretasi pasien terhadap hal2 yg dikatakan oleh


perawat, dengan kondisi hal ini sudah terjadi (bukan sebuah pemisalan), apa yg
bisa perawat lakukan selain menjelaskan kembali kpd pasien. Dan menurut
kalian, apakah hal ini bisa mengurangi kadar kepercayaan pasien kpd perawat
karena kurang jelas menyampaikan informasi?

Jawab :

Menurut kelompok kami yang dilakukan oleh perawat itu hanya sebatas
penyuluhan jika ingin mengambil tindakan lebih itu sudah menjadi kebijakan
dari dokter bukan perawat,nah kemudian apabila pasien tdk percaya kpd
perawat tsb bisa jadi knp?dikarenakan kemungkinan pasien kurang merasa puas
dg penjelasan yang diberikan kpd perawat tsb ada awalnya itu pasti ada
kesepakatan terlebi dahulu
Lalu Disamping itu terkadang pada pasien gangguan kebutuhan khusus
banyak terjadi peristiwa seperti itu, peristiwa tersebut dapat ditangani dengan
cara selain berkomunikasi kembali dengan cara menanyakan apa keinginan dari
pasien tersebut. Jika kita sudah mengetahui, maka kita harus menyesuaikan
dengan apa yang diinginkan pasien

TUGAS KOMUNIKASI KELOMPOK 7


PRAKTIK KOMUNIKASI PADA KELUARGA
Dosen Pengampu: Yustiana Olfah, APP.,M.Kes
Disusun Oleh:
Fifi Ariana Himawan (P07120221029)
Muhammad Abdul Halim Ar Rasyid (P07120221016)
Riyanda Nashril Hidayah (P07120221000)
Zalikhah Sifa Putri Fatikhah (P07120221030)

SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Komunikasi keluarga adalah komunikasi yang terjadi dalam sebuah
keluarga, yang merupakan cara seorang anggota keluarga untuk berinteraksi
dengan anggota lainnya, sekaligus sebagai wadah dalam membentuk dan
mengembangkan nilai-nilai yang dibutuhkan sebagai pegangan hidup.
Komunikasi keluarga memiliki tujuan yaitu untuk mendapat perspektif baru dalam
lebih memahami dan sikap diri di antara anggota keluarga, lebih memahami
kondisi keluarga yang lebih baik, menciptakan dan memelihara hubungan yang
lebih bermakna, mengubah sikap dan perilaku anggota keluarga, bercengkrama
untuk memberi suasana melepas ketegangan dan kejenuhan.

Dalam komunikasi keluarga juga dapat terjadi hambatan, hambatan


tersebut ialah kebisingan, keadaan psikologis komunikan, kekurangan
komunikator atau komunikan, kesalahan penilaian oleh komunikator, keterbatasan
pengetahuan komunikator atau komunikan, bahasa, isi pesan berlebihan, bersifat
satu arah, faktor teknis, kepentingan atau interes, prasangka dan cara penyajian
yang verbalistis.

Manfaat dari komunikasi kelompok ialah saling bertukar informasi antar


anggota keluarga untuk mencapai tujuan bersama, menambah pengetahuan untuk
memecahkan masalah dalam sebuah persoalan yang belum pernah dihadapi oleh
kelauraga, mengembangkan mental setiap anggota keluarga untuk berani
mengungkapkan sebuah pendapat, meningkatkan kesadaran setiap anggota
keluarga untuk tetap bersatu dalam menghadapi sebuah masalah. Fungsi
komunikasi keluarga adalah problem solving, pendidikan, hubungan sosial, dan
persuasi. Faktor yang mempengaruhi komunikasi keluaga adalah penyesuaian diri,
tingkah laku, struktur sosial, dan fungsi dalam kelompok.
Penerapan strategi dalam komunikasi ialah saling memahami antaranggota
keluarga, pemimpin keluarga dapat mengatur dengan baik setiap anggota
keluarga. berkomunikasi yang jelas, sopan, dan sesuai etika yang berlaku, saling
menghargai anggota keluarga, tidak menyela pembicaraan orang lain, selalu
memperhatikan orang yang mengajak bicara dan berikan respons yang baik.

Asma paling banyak ditemukan pada anak-anak dibandingkan populasi


lainnya. Meskipun teknologi pengobatan telah berkembang pesat bahkan telah
ditemukan pengobatan yang efektif, namun angka kejadian asma terus meningkat
tajam. Memperkirakan 1 anak dari setiap 10 anak Indonesia yang menderita asma,
suatu angka yang meningkat dalam 5 tahun terakhir. Hal ini sangat berpotensi
menjadi beban kesehatan pada tahun tahun mendatang.

Survei-survei yang dilakukan membuktikan bahwa asma membutuhkan


manajemen yang kompleks serta terus menerus. Kekambuhan asma sebenarnya
bisa dicegah, hampir 50% pasien tidak bereaksi secara tepat terhadap kekambuhan
asma, dan ketaatan pasien terhadap pengobatan asma masih rendah. Manajemen
asma ini penting karena dapat meningkatkan kualitas hidup, memperbaiki perilaku
sehat, efikasi diri, dan status kesehatan. Selain itu, manajemen diri dapat
menurunkan kunjungan ke UGD, mencegah kekambuhan, mengurangi biaya
perawatan secara lebih efektif dan mengurangi insidensi asma.

Untuk menangani asma anak, yang tak kalah penting mendapatkan


perhatian adalah manajemen asma pada orangtua. Hal ini disebabkan orangtua
sebagai penanggungjawab anak. Pengelolaan asma anak akan lebih optimal jika
ada kesepahaman mengenai kondisi anak yang sesungguhnya antara anak dan
orang yang merawatnya. Anak, sebagai orang yang mempunyai asma, adalah yang
paling mengetahui kondisinya. Misalnya, gejala yang dirasakannya, hal-hal yang
baru saja dilakukan sebelum munculnya gejala, seberapa berat dan sering gejala
itu dirasakan serta bagaimana perasaannya saat itu. Sayangnya, anak tidak selalu
mengetahui pentingnya atau bagaimana cara memberikan informasi tersebut pada
orang yang merawatnya.
1.2 Rumusan Masalah
1) Bagaimanakah praktik komunikasi pada keluarga?

2) Bagaimana Strategi Pelaksanaan praktik komunikasi pada keluarga?

3) Bagaimanakah pengaruh komunikasi keluarga dalm manajemen asma?

1.3 Tujuan
1) Untuk memberikan informasi mengenai bagaimanakah komunikasi pada
keluarga

2) Untuk memberikan informasi mengenai bagaimanakah strategi


pelaksanaannya pada keluarga

3) Memahami salah satu faktor yang mempengaruhi optimalnya manajemen


asma, yaitu komunikasi tentang penyakit anak antara anak dengan orang
tuanya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Keluarga


Pengertian keluarga secara struktural didasarkan pada kehadiran atau
ketidakhadiran anggota keluarga, seperti orang tua, anak, dan kerabat lainnya.
Definisi ini memfokuskan pada siapa yang menjadi bagian dari keluarga. Dari
perspektif ini dijelaskan bahwa keluarga sebagai wahana melahirkan keturunan
(families of procreation), sebaga asal usul (families of origin), dan keluarga batih
(extended family).

Pengertian keluarga secara fungsional menekankan pada terpenuhinya


tugas-tugas dan fungsi-fungsi psikososial meliputi perawatan, sosialisasi pada
anak, dukungan emosi dan materi, serta pemenuhan peran-peran tertentu.

Pengertian keluarga secara transaksional menekankan bahwa keluarga


sebagai kelompok yang mengembangkan keintiman melalui perilaku-perilaku yang
memunculkan rasa identitas sebagai keluarga (family identity), berupa ikatan
emosi, pengalaman historis, maupun cita-cita masa depan.

2.2 Ciri dan Karakteristik Keluarga


Menurut teori R.M. Iver dan C.H. Page, karakteristik dan ciri - ciri suatu
keluarga sebagai berikut:

1) Hubungan batiniah melalui perkawinan.

2) Lembaga keluarga dibentuk secara disengaja dengan tujuan tertentu.

3) Memiliki garis keturunan sesuai dengan norma yang berlaku.

4) Memiliki fungsi ekonomi dalam rangka mencapai kebutuhannya.

5) Memiliki fungsi reproduksi untuk melanjutkan keturunan dan membesarkan


anak.
6) Mempunyai tempat tinggal bersama sebagai tempat berkumpulnya anggota
keluarga.

2.3 Pengertian Peranan


Peranan berasal dari kata peran. Peran memiliki makna yaitu seperangkat
tingkat diharapkan yang dimiliki oleh yang berkedudukan di masyarakat.
Sedangkan peranan adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan.
Pengertian peranan menurut Soerjon Soekanto adalah sebagai aspek yag dinamis
dari kedudukan (status) apabila seseorang melaksanakan hal-hak dan kewajibannya
sesuai dengan kedudukkannya, maka dia menjalankan suatu peranan. Jadi dapat
dikatakan bahwa peranan adalah berkaitan dengan kedudukkan seseorang dalam
masyarakat serta:

1) Bagian utama dari tugas yang dilakukan oleh manajemen

2) Pola perilaku yang diharapkan dapat menyertai suatu status

3) Bagian suatu fungsi seseorang dalam kelompok terutama keluarga

4) Fungsi yang diharapkan dari seseorang menjadi karakteristik yang ada padanya

Dari definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa peranan merupakan


penilaian sejauh mana seseorang atau bagian dalam menunjang usaha pencapaian
tujuan yang ditetapkan.

2.4 Pengertian Komunikasi Pada Keluarga


1) Menurut Rosnandar komunikasi pada keluarga adalah proses penyampaian
pernyataan atau pesan komunikasi kepada anggota keluarga dengan tujuan
untuk mepengaruhi atau membentuk sikap sesuai isi pesan yang disampaikan
Bapak atau Ibu sebagai Komunikator.

2) Menurut Idris Sardy komunikasi pada keluarga hakekatnya adalah suatu proses
penyampaian pesan bapak atau ibu sebagai komunikator kepada anak-anak
sebagai komunikan tentang norma-norma atau nilai-nilai yang berlaku dalam
keluarga dengan tujuan keutuhan dan pembentukan keluarga yang harmonis.
3) Menurut Evelyn Suleman komunikasi pada keluarga, adalah bahwa komunikasi
keluarga merupakan penyampaian pesan-pesan komunikasi dalam keluarga
sebagai suatu proses komunikasi yang dilancarkan antara bapak, ibu serta anak-
anaknya antara lain seperti masa depan anak, pekerjaan anak, pendidikan anak
dan pengeluaran rumah tangga.

2.5 Tujuan Komunikasi


1) Agar apa yang kita sampaikan dapat dimengerti, sebagai komunikator kita
harus menjelaskan kepada komunikan dengan sebaik-baiknya dan tuntas
sehingga mereka dapat mengerti dan mengikuti apa yang kita maksudkan.

2) Memahami orang lain, sebagai orang tua harus mengerti apa yang diinginkan
anaknya.

3) Agar gagasan dapat diterima orang lain, sebagai orang tua harus berusaha
menerima gagasan dari orang lain (anak) melalui pendekatan persuasif lewat
komunikasi dalam keluarga.

4) Menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu dapat berupa kegiatan yang
mendorong dan bermanfaat.

2.6 Peneparan Komunikasi Terapeutik pada Keluarga


Melakukan komunikasi dalam keluarga tidaklah mudah, komunikator
harus mempunyai cara-cara strategis sebagai upaya agar tujuan komunikasi
tercapai. Berikut upaya meningkatkan komunikasi dalam keluarga.

1) Saling memahami antaranggota kelompok agar dapat diketahui komunikasi


seperti apa yang harus ia lakukan demi lancarnya komunikasi tersebut.

2) Pemimpin kelompok dapat mengatur dengan baik setiap anggota kelompok


agar proses komunikasi antaranggota kelompok dapat berkembang dengan
baik.

3) Berkomunikasi yang jelas, sopan, dan sesuai etika yang berlaku agar tidak
terjadi salah paham dan saling menyinggung antara anggota kelompok.
4) Saling menghargai anggota kelompok lain.

5) Jangan menyela pembicaraan orang lain.

6) Selalu memperhatikan orang yang mengajak bicara.

7) Berikan respons yang baik, mendukung, dan tidak menyinggung ketika ada
yang mengajak bicara.

2.7 Pengertian Manajemen Asma


Asma adalah penyakit alergi yang mengenai saluran napas bagian bawah,
sehingga timbul keluhan berulang berupa batuk, napas berbunyi atau sesak napas
apabila terpicu alergen atau pencetus.

Manajemen asma dalam berbagai literatur disamakan dengan manajemen


diri namun diterapkan dalam konteks kesehatan yaitu penyakit asma. Namun
demikian definisi manajemen diri ini bermacam-macam sesuai dengan setting
penggunaannya, sehingga McGowan (2004) menyatakan tidak ada definisi standar
yang bisa diterima secara universal. Lorig (1993) mengartikan manajemen diri
sebagai belajar dan praktek ketrampilan yang dibutuhkan agar bisa hidup dengan
aktif dan memiliki kepuasan secara emosional dalam menghadapi kondisi kronis.
Secara khusus McCarthy dkk (2002) mendefinisikan manajemen asma sebagai
belajar melakukan pencegahan dan mengelola gejala asma.

2.8 Pentingnya Manajemen Asma


Manajemen Asma pada pasien merupakan salah satu bentuk manajemen
diri dalam konteks pemeliharaan kesehatan. Oleh karena itu, dasar pemikiran
penggunaan manamajen asma juga menggunakan dasar pemikiran manajemen diri,
terdiri atas beberapa hal seperti banyak perilaku yang tidak mudah dimodifikasi
oleh siapapun kecuali klien. Perilaku problematik seringkali berhubungan erat
dengan reaksi diri sendiri dan dengan aktivitas kognitif seperti berpikir, berfantasi,
berimajinasi atau merencanakan. Untuk merubah perilaku yang tak nampak ini,
tanggung jawab utama terletak pada klien.
Oleh karena itu, menerima program perubahan sebagai tugas yang
diinginkan, bisa dilakukan dan berarti merupakan persyaratan dasar yang bersifat
motivasional dan kegunaan perubahan perilaku tidak saja terletak pada
menghilangkan problem yang berkaitan dengan situasi khusus atau gejala tertentu
tetapi juga ketrampilan umum yang dipelajari seperti strategi koping, kemampunan
menilai siuasi dan perilaku yang diakibatkannya, sehingga menjadi bekal bagi klien
untuk menghindari atau menghadapi masalah di masa yang akan datang secara
lebih efektif.

Secara lebih khusus dikaitkan dengan asma, maka fungsi manajemen diri
adalah sebagai strategi tritmen dengan cara mengajari pasien agar bisa bertindak
yang tepat ketika tanda-tanda kekambuhan asma muncul. Manajemen diri pada
berbagai pasien dengan penyakit kronis menemukan bahwa manajemen diri dapat
memperbaiki perilaku sehat (olah raga, manajemen simptom kognitif, dan
komunikasi dengan dokter), efikasi diri, status kesehatan (lemas, napas pendek,
nyeri, fungsi peran sakit, depresi dan distres kesehatan) dan kunjungan ke UGD
menurun. Selain itu manajemen diri bisa memperbaiki kualitas hidup dan
mengurangi insiden yang disebabkan asma.

2.9 Manajemen Asma pada Anak


Dalam berbagai literatur yang ada, manajemen asma pada anak hampir
selalu dibebankan pada orangtuanya atau orang dewasa di sekitar anak. Hal ini juga
terjadi di Indonesia. Meskipun kebanyakan pasien asma adalah anak tetapi
informasi tentang pengelolaan asma baik yang diberikan di seminar ataupun di
ruang klinik lebih banyak ditujukan untuk orang dewasa. Melalui manajemen asma
ini anak akan mempunyai beberapa ketrampilan seperti berikut:

1) Menerima bahwa asma adalah penyakit berlangsung lama dan butuh perawatan

2) Mendeskripsikan asma dan tritmennya secara akurat

3) Berpartisipasi aktif dalam mengontrol dan mengelola asma mereka

4) Mengidentifikasi faktor yang membuat asma memburuk


5) Mendeskripsikan strategi untuk menghindari atau mengurangi faktor yang
memperparah

6) Mengenali gejala dan tanda-tanda asma memburuk

7) Mengikuti rencana tritmen tertulis yang diresepkan baginya

8) Menggunakan teknik pengobatan yang tepat termasuk inhaler, dry powder


inhaler, diskhaler, spacer, atau nebuliser

9) Bertindak tepat untuk mencegah dan menangani gejala dalam berbagai situasi

10) Menggunakan sumber daya medis yang tepat untuk perawatan akut dan rutin

11) Memonitor gejala dan tujuan pengukuran kontrol asma

12) Mengidentifikasi hambatan kepatuhan terhadap rencana tritmen

13) Mencermati problem spesifik yang mempunyai dampak pada kondisi


pribadinya

2.10 Manajemen Asma Oleh Orangtua Anak


Mempunyai anak yang didiagnosa asma merupakan tekanan bagi orangtua.
Pentingnya keterlibatan orangtua dalam manajemen asma karena anak yang
mempunyai keluarga yang lebih kohesif terbukti lebih mengontrol asmanya. Selain
itu, keterlibatan orang tua dalam melakukan manajemen asma akan mengurangi
gangguan kehidupan sehari-hari di keluarga akibat asma anak. Manajemen asma
oleh orangtua meliputi beberapa hal antara lain mendukung anak untuk
berpartisipasi dalam setiap aktivitas seperti anak lain, memonitor simptom asma,
memonitor kapan dan bagaimana anak menggunakan obatnya, menyediakan obat-
obat ketika habis, membawa ke dokter 2x dalam 1 tahun, berkomunikasi dengan
anak tentang sekolah dan perawatan bagi anak asma, mengidentifikasi dan
menjauhkan/hilangkan faktor pemicu dari lingkungan anak.
2.11 Hubungan Antara Komunikasi Anak Orangtua dengan
Manajemen Asma anak dan Manajemen Asma Orangtuanya
Sebagai penyakit kronis, asma tidak akan sembuh total. Namun demikian
anak yang memiliki asma terkontrol akan dapat hidup normal seperti anak lainnya.
Manajemen diri memegang peranan penting dalam rangka mengontrol asma.
Manajemen asma pada anak ini meliputi tindakan anak dalam mencegah asma dan
mengelola gejala asma ketika kambuh, baik ketika anak berada di sekolah maupun
di rumah.

Perilaku mencegah dan mengelola gejala asma ini penting agar kondisi
asma anak tidak memburuk dan anak dapat mencapai kualitas hidup yang lebih
baik. Hanya saja, manajemen asma yang dilakukan anak belumlah cukup
mengingat banyak faktor lain di lingkungan luar yang belum bisa dikendalikan
anak. Misalnya berkomunikasi dengan dokter mengenai penyakit asmanya,
mengontrol faktor-faktor di lingkungan rumah yang menjadi pemicu kekambuhan
dan berkomunikasi dengan guru mengenai asma. Oleh karena itu peranan
manajemen asma pada orang tua juga menjadi penting bagi kesehatan anak.

Manajemen asma yang dilakukan anak akan lebih optimal ketika anak
mendapatkan informasi yang memadai dari orang tuanya. Orang tua yang
mendapatkan informasi dari dokter dan kemudian mengkomunikasikannya kepada
anak. Hal ini akan membuat anak lebih tepat dalam melakukan manajemen
asmanya. Sebaliknya, melalui komunikasi ini orang tua mendapatkan informasi
mengenai perasaan, pikiran serta kondisi fisik anak secara lebih akurat. Dengan
demikian Orang tua akan lebih memahami secara tepat kondisi anaknya dan
memiliki bekal yang memadai dalam membuat keputusan melakukan manajemen
asma.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Komunikasi keluarga adalah komunikasi yang terjadi dalam sebuah
keluarga, yang merupakan cara seorang anggota keluarga untuk berinteraksi
dengan anggota lainnya. Penerapan strategi dalam komunikasi ialah saling
memahami antaranggota keluarga, pemimpin keluarga dapat mengatur dengan baik
setiap anggota keluarga. berkomunikasi yang jelas, sopan, dan sesuai etika yang
berlaku, saling menghargai anggota keluarga, tidak menyela pembicaraan orang
lain, selalu memperhatikan orang yang mengajak bicara dan berikan respons yang
baik.

Manajemen Asma pada pasien merupakan salah satu bentuk manajemen


diri dalam konteks pemeliharaan kesehatan. Pentingnya keterlibatan orangtua
dalam manajemen asma karena anak yang mempunyai keluarga yang lebih kohesif
terbukti lebih mengontrol asmanya. Selain itu, keterlibatan orang tua dalam
melakukan manajemen asma akan mengurangi gangguan kehidupan sehari-hari di
keluarga akibat asma anak.

Manajemen asma oleh orangtua meliputi beberapa hal antara lain


mendukung anak untuk berpartisipasi dalam setiap aktivitas seperti anak lain,
memonitor simptom asma, memonitor kapan dan bagaimana anak menggunakan
obatnya, menyediakan obat-obat ketika habis, membawa ke dokter 2x dalam 1
tahun, berkomunikasi dengan anak tentang sekolah dan perawatan bagi anak asma,
mengidentifikasi dan menjauhkan/hilangkan faktor pemicu dari lingkungan anak.

3.2 Saran
Sudah semestinya setiap anggota keluarga saling berkomunikasi satu sama
lain sehingga hubungan kekeluargaan terus terjalin. Dengan komunikasi, segala
penyakit termasuk juga penyakit asma akan lebih mudah dikendalikan sehingga
tidak semakin parah.
MAKALAH

Praktik komunikasi pada kelompok


Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah komunikasi
Dosen pengampu : Bapak Sutejo, S.Kep,M.Kep, Sp.Kep.J

Disusun oleh Kelompok 8 :


KHIRNIQ QIQI MILATAKI (P07120221034)
NURLINA EKA PRATIWI (P07120221009)
SULIS TIA RINI (P07120221043)

SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN + PROFESI NERS


POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA
2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan dunia kesehatan yang semakin pesat kian membuka


pengetahuan masyarakat mengenai dunia kesehatan dan keperawatan.Hal ini
ditandai dengan banyaknya masyarakat yang mulai menyoroti kinerja tenaga
kesehatan dan mengkritisi berbagai aspek yang terdapat dalam pelayanan
kesehatan. Pengetahuan masyarakat yang semakin meningkat, berpengaruh
terhadap meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan kesehatan,
termasuk pelayanan keperawatan. Oleh karena itu citra seorang perawat kian
menjadi sorotan.Hal ini tentu saja merupakan tantangan bagi profesi keperawatan
dalam mengembangkan keprofesionalisme selama memberikan pelayanan yang
berkualitas agar citra perawat dimata masyarakat senantiasa baik.

Sebagai perawat yang baik, kita tidak hanya memiliki pengetahuan yang luas,
empati terhadap klien maupun memiliki komunikasi yang bagus. Perawat juga
harus bisa membuat klien merasa nyaman saat menjalani perawatan di rumah sakit.
Buatlah klien merasa menjalani perawatan dirumah sendiri. Perhatikan kebutuhan-
kebutuhan klien, karena setiap klien mempuanyai kebutuhan dan keluhan yang
berbeda. Lakukan komunikasi dengan keluarga klien, supaya keluarga klien lebih
mengerti tentang penyakit yang dialami oleh klien, bagaimana cara keluarga klien
memperlakukan klien yang sedang sakit sehingga klien merasa dekat dan mendapat
perhatian yang sama dari anggota keluarga saat ketika klien masih sehat. Selain itu,
komunikasi yang baik antara klien dengan keluarganya juga memberi semangat dan
harapan akan kesembuhan bagi klien serta dapat membantu mempercepat proses
kesembuhan.

Peran perawat sebagai komunikator juga sangat berpengaruh terhadap citra


perawat dimata masyarakat.masyarakat sangat mengharapkan perawat dapat
menjadi komunikator yang baik. Klien juga manusia yang membutuhkan
interaksipada saat menjalani asuhan keperawatan. Komunikasi verbal maupun non
verbal yang dilakukan dengan perawat sedikit banyak akan berpengaruh terhadap
peningkatan kesehatan klien. Keperawatan mencakup komunikasi dengan klien dan
keluarga klien, antar sesama perawat dan profesi kesehatan lainnya, serta sumber
informasi dan komunitas. Kualitas komunikasi yang dimiliki oleh perawat
merupakan faktor yang menentukan dalam memenuhi kebutuhan individu,
keluarga, dan komunitas. Sudah seharusnya seorang perawat yang profesional
memiliki kualitas komunikasi yang baik saat berhadapan dengan klien, keluarga
klien, maupun siapa saja yang membutuhkan informasi mengenai masalah
keperawatan yang terkait dengan kesehatan klien.

Komunikasi merupakan proses yang sangat khusus dan berarti dalam hubungan
antar manusia. Pada profesi keperawatan komunikasi menjadi lebih bermakna
karena merupakan metoda utama dalam mengimplementasikan proses
keperawatan. Dalam dunia keperawatan komunikasi kelompok digunakan sebagai
metode untuk mengatasi masalah-masalah kejiwaan atau psikologis yang dialami
oleh klien.

Kelompok merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari aktivitas kita
sehari-hari.Kelompok baik yang bersifat primer maupun sekunder, merupakan
wahana bagi setiap orang untuk dapat mewujudkan harapan dan keinginannya
berbagi informasi dalam hampir semua aspek kehidupan.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut, maka dapat diambil beberapa rumusan masalah
sebagai berikut:

1. Apa pengertian komunikasi kelompok ?

2. Bagaimana komunikasi kelompok dalam keperawatan?


1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui dan mengerti tentang Pengertian Komunikasi kelompok


dalam keperawatan

2. Untuk mengetahui bagaimana komunikasi kelompok dalam keperawatan

1.4 Manfaat Penulisan

1. Dengan kita membaca dan mempelajari isi dari makalah ini membuat
bertambahnya pengetahuan serta wawasan mengenai komunikasi kelompok
dalam keperawatan.

2. Memberikan literatur tambahan bagi para mahasiswa selanjutnya yang


memerlukan materi terkait komunikasi kelompok dalam keperawatan.
BAB II

TINJAUAN TEORI

Komunikasi kelompok merujuk pada komunikasi yang dilakukan kelompok,


yang lebih sering dilakukan oleh kelompok kecil. Komunikasi kelompok dengan
sendirinya melibatkan juga komunikasi antarpribadi. Faktor komunikasi didalam
interaksi kelompok sangat berperan pada dinamika yang terjadi didalam kelompok.
Karena didalam berkomunikasi adanya perpindahan pesan berupa ide dan gagasan
yang akan diubah menjadi simbol oleh komunikator kepada komunikan melalui media
(Huraerah dan Purwanto, 2006:34).

Faktor komunikasi didalam kelompok merupakan hal yang sangat penting pada
dinamika yang terjadi didalam kelompok. Dari komunikasi merupakan faktor penting
ini, didalam komunikasi kelompok juga memiliki hambatan didalamnya. Hambatan
yang ada seperti cara penyampaian simbol-simbol dan cara pengolahan simbol serta
penggunaan media yang kurang tepat. Selain itu ada faktor-faktor yang perlu
diperhatikan didalam berkomunikasi khususnya didalam komunikasi kelompok
(Huraerah dan Purwanto, 2006: 38-39).

1. Tingkat Kecerdasan

Tingkat kecerdasan dapat berperan didalam mengolah dan mengubah


ide ke dalam simbol yang dapat digunakan dalam situasi komunikasi yang
sedang berlangsung.

2. Kepribadian

Kepribadian ini dapat dilihat seperti motivasi, emosi dan sebagainya.


Hal itu turut pula mempengarungi dalam berkomunikasi, sehingga
pengolahan terhadap ide dan pesan dapat pula sesuai dengan situasi
komunikasi.
3. Latar belakang pendidikan

Pendidikan juga mempengaruhi bagaimana seseorang dapat mengolah


simbol-simbol komunikasi. Tetapi juga kadangkala tidak linierberati tidak
berati semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka ia akan lebih baik
dalam menggunakan simbol didalam berkomunikasi.

4. Pengalaman masa lalu

Hal ini berperan pula dalam berkomunikasi, karena dengan


pengalamannya ia dapat menggunakan simbol-simbol yang sesuai dalam
berkomunikasi.

5. Sosial-budaya

Sosial-budaya mempengaruhi proses dan situasi komunikasi. Pada


situasi tertentu ditentukan cara berkomunikasi didalam kelompok yang
seharusnya dilakukan. Demikian hal ini menjadi norma dalam
berkomunikasi pada masyarakat tersebut.

Menurut Adler dan Rodman, terdapat empat elemen komunikasi kelompok,


yaitu interaksi, waktu, ukuran dan tujuan.

1. Interaksi merupakan faktor yang paling penting dalam komunikasi


kelompok. Karena melalui interaksi kita dapat melihat perbedaan antara
kelompok dengan istilah yang disebut dengan coact yaitu sekumpulan orang
yang secara bersama-sama memiliki aktivitas yang sama, namun tanpa
komunikasi satu sama lain.

2. Waktu, sangat diperlukan seseorang untuk berinteraksi satu dengan yang


lain. kelompok menghendaki interaksi dalam waktu yang lama, karena
mampu mengenal karakteristik satu dengan yang lain.

3. Ukuran atau jumlah, ini berkaitan dengan jumlah anggota kelompok. Tidak
ada ukuran yang pasti berapa jumlah anggota dalam satu kelompok.
Berkisar 3-8 orang, 3-15 orang, dan 3-20 orang. Untuk membedakan
perbedaan jumlah anggota tersebut, muncul konsep small-hess, yaitu
kemampuan setiap anggota kelompok untuk dapat mengenal satu dengan
yang lain dalam kelompok.

4. Tujuan, mengandung arti bahwa keanggotaan dalam satu kelompok akan


membantu individu lain untuk dapat mewujudkan tujuan bersama.
BAB III

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Komunikasi

Komunikasi berasal dari kata “to Commune” yang berarti “menjadikan milik
bersama”.Berikut beberapa pengertian komunikasi. Komunikasi adalah pertukaran
informasi antara dua atau lebih manusia, atau dengan kata lain pertukaran ide dan
pikiran (Kozier & Erb, 1995). Komunikasi proses pengoperan lambang yang memiliki
arti di antara individu. Komunikasi adalah proses ketika seorang individu
(komunikator) mengoper perangsang (biasanya lambang bahasa) untuk mengubah
tingkah laku individu yang lain(komunikan).

Komunikasi adalah proses interpersonal yang melibatkan perubahan verbal dan


nonverbal dari informasi dan ide. Sedangkan komunikasi terapeutik adalah proses
dimana perawat yang menggunakan pendekatan terencana mempelajari klien. proses
memfokuskan pada klien namun direncanakan dan dipimpin oleh seorang profesional.
(Potter & Perry, 2009).Stuart,G.W., & Laraia, 2005 mengatakan bahwa dalam
hubungan komunikasi terapeutik perawat dan klien menjadi penting dalam
mengeksplorasi kebutuhan klien.

Komunikasi merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku dan


memungkinkan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan dunia sekitarnya.
Menurut Potter dan Perry (1993), komunikasi terjadi pada tiga tingkatan yaitu
intrapersonal, interpersonal dan publik.

Menurut Potter dan Perry (1993), Swansburg (1990), Szilagyi (1984), dan Tappen
(1995) ada tiga jenis komunikasi yaitu verbal, tertulisa dan non-verbal yang
dimanifestasikan secara terapeutik.

Teori komunikasi sangat sesuai dalam praktek keperawatan (Stuart dan Sundeen, 1987)
karena :
1. Komunikasi merupakan cara untuk membina hubungan yang terapeutik.
Dalam proses komunikasi terjadi penyampaian informasi dan pertukaran
perasaan dan pikiran.

2. Maksud komunikasi adalah mempengaruhi perilaku orang lain. Berarti,


keberhasilan intervensi keperawatan bergantung pada komunikasi karena
proses keperawatan ditujukan untuk merubah perilaku dalam mencapai
tingkat kesehatan yang normal.

3. Komunikasi adalah berhubungan. Hubungan perawat dan klien yang


terapeutik tidak mungkin dicapai tanpa komunikasi.

2.2 Pengertian Kelompok

Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang


berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama
lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut (Deddy
Mulyana, 2005).

Cartwright dan Zender (1968): kelompok itu sekumpulan individu yang mempunyai
hubungan antara anggota yang satu dengan yang lain yang membuat mereka saling
tergantung dalam tingkatan tertentu.

Baron & Byrne (1979): kelompok memiliki dua tanda psikologis, yaitu pertama,
adanya sense of belonging; kedua, nasib anggota kelompok tergantung satu sama lain
sehingga hasil setiap anggota terkait dengan anggota yang lain.

Forsyth (1983): kelompok adalah dua atau lebih individu yang saling mempengaruhi
melalui interaksi sosial.

Kozier.,et all (2010) menyampaikan bahwa kelompok adalah dua atau lebih individu
yang berbagi kebutuhan dan tujuan berama, melibatkan satu sama lain ke dalam
tindakan yang mereka lakukan, dan akhirnya bersatu padu serta memisahkan diri dari
pihak lain demi kebaikan interaksi yang mereka lakukan. Kelompok hadir untuk
membantu manusia mencapai tujuan yang tidak dapat dicapai dengan kemampuan
individu.

Gibson: kumpulan yang terdiri dari dua individu atau lebih yang berinteraksi dan
saling bergantungan, yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan tertentu.

Jenis Kelompok :

1. Kelompok Primer: dalam kelompok ini terjadi interaksi sosial yang intensif
serta hubungan lebih erat diantara anggota serta biasa disebut dengan
kelompok tatap muka yang diartikan dengan suatu kelompok sosial yang
anggotanya sering bertatap muka dan saling mengenal dekat, serta memiliki
hubungan erat. Sifat interaksi ini lebih bersifat kekeluargaan dan
berdasarkan simpati. Pada kelompok ini memiliki sense of
belongingnes/rasa memiliki yang tinggi diantara anggota.

2. Kelompok Sekunder: interaksi pada kelompok ini terjadi atas saling


hubungan yang tidak langsung, formal, berjauhan, dan kurang bersifat
kekeluargaan. Hubungan ini lebih bersifat obyektif dan rasional, sifat
interaksi atas dasar pertimbangan untung – rugi.

3. Kelompok bentukan, kelompok ini terjadi karena dibentuk oleh kekuatan


eksternal, artinya wadah kelompok disediakan oleh pihak tertentu, dimana
anggota dari kelompok bentukan ini terdiri dari berbagai macam kelompok
tertentu yang disatukan. Ciri – ciri yang mudah terlihat adalah kurangnya
rasa seiya sekata dalam langkah dan ikatan batin antar anggota kurang kuat.
Kelompok ini juga memiliki struktur organisasi dan pembagian kerja demi
kelangsungan kelompok. Kelompok ini kurang kuat dan mudah digoyang
oleh kekuatan eksternal lain.

a. Dinamika Kelompok

Komunikasi yang berlangsung antar anggota dikenal dengan


dinamika kelompok. Tata cara komunikasi ini akan ditentukan oleh
sejumlah variable dan faktor yang saling terkait. Setiap anggota
kelompok akan memberikan pengaruh pada dinamika kelompok,
didasarkan pada motivasi mereka dalam berpartisipasi, kesamaan
mereka dengan kelompok lain, kedewasaan anggota kelompok dalam
mengekspresikan perasaan mereka dalam tujuan kelompok tersebut.

b. Tipe Kelompok Layanan Kesehatan

Sebagian besar kehidupan perawat dihabiskan dibanyak ragam


kelompok, dari dua hingga organisasi profesional yang besar.Sebagai
partisipan kelompok, perawat mungkin diharuskan menjalani peran yang
berbeda baik menjadi anggota atau pemimpin, pemberi saran atau
penerima saran sesuai dengan kapasitasnya.Tipe kelompok layanan
kesehatan yang umum meliputi kelompok kerja, kelompok penyuluhan,
kelompok swabantu, kelompok terapi, dan kelompok pendukung sosial
terkait kerja. Kerja profesional dalam kelompok bergantung pada gaya
kepemimpinan, tanggung jawab anggota, tanggung jawab kepemimpinan,
dan identifikasi tugas dalam fase grup berbeda.

2.3 Peranan Komunikasi Kelompok Dalam Menciptakan Keharmonisan Antar


Anggota

Komunikasi kelompok berarti komunikasi yang berlangsung antara seorang


komunikator dengan sekelompok orang yang jumlahnya lebih dari dua orang.
Sekelompok orang yang menjadi komunikan itu bisa sedikit, bisa banyak.
Apabila jumlah orang yang dalam kelompok itu sedikit yang berarti kelompok
itu kecil, komunikasi yang berlangsung disebut komunikasi kelompok kecil
(Small group communication); jika jumlahnya banyak yang berarti kelompoknya
besar dinamakan komuniasi kelompok besar (large group communication).

Sehubungan dengan itu sering muncul pertanyaan, yang termasuk


komunikasi kecil itu jumlah komunikannya berapa orang, demikian pula
komunikasi kelompok besar. Apakah 100 orang atau 200 orang itu termasuk
komunikasi kecil atau besar ? Secara teoritis dalam ilmu komunikasi untuk
membedakan komunikasi kelompok kecil atau komunikasi kelompok besar tidak
di dasar kan pada jumlah komunikasn dalam hitungan secara matematika,
melainkan pada kualitas proses komunikasi.

a. Komunkasi Kelompok Kecil Komunikasi kelompok kecil (Small group


communication) adalah komunikasi yang:

• Ditujukan kepada kognisi komunikan

• Prosesnya berlangsung secara dialogis

Dalam komunikasi kelompok kecil komunikator menunjukan


pesannya kepada benak atau pikiran komunikan, misalnya kuliah,
ceramah, diskusi, seminar, rapat, dan lainnya. Dalam situasi seperti itu
logika berperan penting. Komunikasn akan dapat menilai logis tidaknya
uraian komunikator.

Ciri yang kedua dari komunikasi kelompok kecil ialah bahwa


prosesnya berlangsung secara dialogis, tidak linier, melainkan sirkular.
Umpan balik terjadi secara verbal. Komunikan dapat menanggapi uraian
komunikator, bias bertanya bila tidak mengerti, dan dapat menyanggah
bila tidak setuju, dan lain sebagainya.

b. Komunikasi Kelompok Besar Sebagai kebalikan dari komunikasi


kelompok kecil, komunikasi kelompok besar (large group
communication) adalah komunikasi yang:

• Dijujukan kepada afeksi kominikan

• Prosesnya berlangsung secara linier

Pesan yang disampaikan oleh komunitor dalam situasi


komunikasi kelompok besar, ditujuakan kepada afeksi
komunikan,kepada hatinya atau kepada perasaannya. Contoh
komunikasi kelompok besar rapat raksasa di sebuah lapangan, kampanye
di sebuah lapangan dan lain-lain. Jika komunikan pada komunikasi
kelompok kecil umumnya bersifat homogen (antara lain yang sama jenis
kelaminnya, sama pendidikannya, sama umurnya,sama status sosialnya),
maka komunikan pada komunikasi kelompok besar umumnya bersifat
heterogen atau berbagai macam jenisnya.

Mereka yang heterogen dalam jumlahnya yang relative sangat


banyak itu mereka tidak sempat berfikir logis terhadap pesan
komunikator, karena kerena pikiran mereka di dominasi oleh perasaan,
maka dalam situasi kelompok besar terjadi apa yang dinamakan
“Contagion mentale” yang berarti wabah mental. Seperti halnya wabah
yang cepat menjalar, maka dalam situasi komunikasi seperti itu jika satu
orang menyatakan sesuatu maka akan segera diikuti oleh anggota
kelompok lainnya, secara serentak dan serempak.

Proses komunikasi kelompok besar bersifat linier, satu arah dari


titik yang satu ke titik yang lain, dari komunikator ke komunikan.Tidak
seperti pada komunikasi kolompok kecil yang terjadi dialog atau tanya
jawab dalam berpidato di lapangan amat kecil kemungkinannya terjadi
dialog antara seorang orator dengan halayak massa.

❖ Keharmonisan

Secara terminology keharmonisan berasal dari kata harmonis yang berarti selaras atau
serasi, keselarasan atau keserasian. Menurut Martin H. Manser dalam Oxford Learnery
Pocket Dictionary, “harmony is agreement and cooperation”, yang artinya
keharmonisan adalah persetujuan dan kerjasama. Ciri-ciri keharmonisan antara lain:

• Adanya ketenangan, ketentraman, baik secara individu, keluarga ataupun


lingkungan tempat tinggal
• Perasaan cinta, kasih dan sayang yang melahirkan keikhlasan dan saling
menghormati antar sesama

• Toleransi, lemah-lembut, tenggang rasa yang akan menciptakan


kedamaian.

Aspek-aspek Keharmonisan Menurut Gunarsa (2000) ada beberapa


aspek keharmonisan adalah :

1.Kasih sayang antar anggota sesama Menunjukkan saling menghargai dan


saling menyayangi, mereka bisa merasakan betapa baiknya keluarga.
Anggota keluarga mengekspresikan penghargaan dan kasih sayang secara
jujur. Penghargaan itu mutlak diperlukan, karena dengan demikian masing-
masing anggota merasa sangat dicintai dan diakui keberadaannya.

2.Saling pengertian Selain kasih sayang, pada umumnya setiap individu sangat
mengharapkan pengertian dari orang lain . Dengan adanya saling pengertian
maka tidak akan terjadi pertengkaran-pertengkaran antar satu dengan yang
lainnya.

3.Dialog atau komunikasi efektif yang terjalin Mempunyai keterampilan


berkomunikasi dan banyak waktu digunakan untuk itu. Dalam keluarga
harmonis ada beberapa kaidah komunikasi yang baik, antara lain: \

a. Menyediakan cukup waktu Anggota keluarga melakukan


komunikasi yang bersifat spontan maupun tidak spontan
(direncanakan). Bersifat spontan, misalnya berbicara sambil
melakukan pekerjaan bersama, biasanya yang dibicarakan hal-hal
sepele. Bersifat tidak spontan, misalnya merencanakan waktu yang
tepat untuk berbicara, biasanya yang dibicarakan adalah suatu
konflik atau hal penting lainnya. Mereka menyediakan waktu yang
cukup untuk itu.
b. Mendengarkan Anggota keluarga meningkatkan saling pengertian
dengan menjadi pendengar yang baik dan aktif. Mereka tidak
menghakimi, menilai, menyetujui, atau menolak pernyataan atau
pendapat pasangannya. Mereka menggunakan feedback,
menyatakan/menegaskan kembali, dan mengulangi pernyataan.

c. Pertahankan kejujuran Anggota keluarga mau mengatakan apa yang


menjadi kebutuhan, perasaan serta pikiran mereka, dan mengatakan
apa yang diharapkan dari anggota keluarga.

4.Mempunyai waktu bersama dan kerjasama Keluarga menghabiskan waktu


(kualitas dan kuantitas waktu yang besar) di antara mereka. Kebersamaan
di antara mereka sangatlah kuat, namun tidak mengekang. Selain itu,
kerjasama yang baik antara sesama anggota keluarga juga sangat
dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Saling membantu dan gotong
royong akan mendorong anak untuk bersifat toleransi jika kelak
bersosialisasi dalam masyarakat
BAB IV

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Komunikasi kelompok yang efektif dapat tercipta dengan mengenal anggota-


anggota satu dengan yang lainya terlebih dahulu dengan baik. Kelompok yang
efektif selain di pengaruhi saling mengenal satu dengan yang lain juga dipengaruhi
oleh posisi tempat duduk yang ditempati para anggota. Posisi tempat duduk ini
mempengaruhi adanya interaksi komunikasi antara anggota satu dengan yang lain,
posisi tempat yang tepat yang menjadikan anggota didalam kelompok merasa
mempunyai hak yang sama untuk mengeluarkan pendapat. Selain posisi tempat
duduk kelompok yang berkomunikasi dengan efektif adalah kelompok yang dapat
menyelesaikan permasalahan dengan baik dan melalui 4 tahap perkembangan
kelompok.

3.2 Saran

Komunikasi Kelompok Kecil termasuk dalam komunikasi efektif karena


mampu mengintensifkan komunikasi, oleh karena itu saran kami para kalangan
akademisi banyak membentuk kelompok kecil dengan tujuan mampu memberikan
kontribusi lebih dalam aktivitas sehari-hari baik internal kelompok maupun
eksternal.
MAKALAH
PRAKTIK KOMUNIKASI DI MASYARAKAT

Mata Kuliah: Komunikasi

Dosen Pengampu: Ns. Sutejo,M.Kep.,Sp.Kep.J

KELOMPOK 9

Nama Anggota Kelompok:

1. Bernata Ulfa (P07120221010)

2. Hanum Nasrul Ma’rufah (P07120221045)

3. Ratu Felisa Balqis (P07120221017)

SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN + PROFESI NERS


POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2021/2022
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Komunikasi multikutural merupakan proses komunikasi yang terjadi di dalam

masyarakat yang berbagai suku, agama danbudaya. Dalam kehidupan masyarakat terjadi interaksi
antara individu atau kelompok bahkan antar masyarakat. Proses komunikasi ini perlu difahami
sesama individu agar tercipta ruang dan lingkungan yang harmonis. Masyarakat yang harmonis
tentunya memerlukan interaksi atau pola hubungan yang sistem sistemnya berfungsi secara
efektif.

Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial yang juga dapat dinamakan

proses sosial, karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial.
Bentuk lain dari proses sosial hanya merupakan bentuk-bentuk khusus dari interaksi sosial,
menurut Soerjono yang mengutip dari buku Gillin, “interaksi sosial merupakan hubungan-
hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara orang-orang-perorangan, antara
kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.

Dalam interaksi sosial terebut terdapat berbagai komponen yang mendukung terjadinya
suatu interaksi sosial diantaranya yaitu: Proses interaksi sosial yang terjadi dari individu dan
individu lainnya dimana proses tersebut meliputi persepsi sosial, motivasi sosial, sosiallearning
dan sosialisasi.

Rumusan masalah

Bagaimana Praktik Komunikasi di Masyarakat?

Apa saja Peran Komunikasi di Masyarakat?

B. Tujuan

Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami bagaimana Praktik Komunikasi Di


Masyarakat.

Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami Peran Komunikasi di Masyarakat.


BAB 2

PEMBAHASAN

A. Praktik Komunikasi di Masyarakat

2.1 Komunikasi
Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang berlangsung antara dua
orang terjadi secara atau bersifat tatap muka dan biasanya bersifat spontan dan informal.
Onong menjelaskan komunikasi interpersonal (interpersonal communication) adalah
komunikasi antar komunikator dengan seorang komunikan bersifat dialogis berupa
percakapan. Dari definisi yang terurai di atas komunikasi interpersonal .
menunjukkan secara jelas mengenai manfaat atau fungsinya yaitu:
a. Pembukaan diri merupakan dasar bagi hubungan yang sehat antara dua orang.
b. Semakin kita terbuka kepada orang lain, semakin orang tersebut akan menyukai diri
kita. Akibatnya ia akan semakin membuka diri kepada kita.
c. Orang yang rela membuka diri kepada orang lain terbukti cenderung memiliki sifat-
sifat sebagai berikut: kompeten, terbuka, ekstroper, fleksibel, adaptif, dan intellegen,
yakni sebagaian dari ciri orang yang masak dan bahagia.
d. Membuka diri kepada orang lain merupakan dasar relasi yang memungkinkan
komunikasi intim baik dengan diri kita sendiri maupun dengan orang lain.
e. Membuka diri berarti bersifat realistik, maka pembukaan diri kita haruslah jujur tulus
dan autentik

Jenis komunikasi ini dilaksanakan perorangan yaitu komunikasi antara dua yang saling
berhadapan muka atau face to face. Kondisi semacam ini akan terjadi kontak langsung
antara sesamanya secara mendalam dan leluasa. Adanya kontak langsung ini akan
memberi peluang untuk melakukan umpan balik dengan segera. Melalui umpan balik
seperti itulah akan terjadi tanggapan/respon atau feed back antara komunikator dengan
audien. Adapun ciri-ciri lain dari komunikasi antarpribadi dapat disimak pendapat di
bawah ini yaitu:
a. Bersifat spontan.
b. Tidak mempunyai struktur.
c. Terjadi secara kebetulan.
d. Tidak mengejar tujuan yang direncanakan.
e. Identitas keanggotannya tidak jelas.
f. Dapat terjadi hanya sambil lalu.15
Senada dengan pendapat di atas yaitu pendapat yang dikemukakan oleh Fisher,
mengatakan bahwa bentuk komunikasi ini amat menentukan peristiwa komunikatif dan
pentingnya makna pesan juga bersifat internal, yakni diberikan oleh individu yang
mempergunakan filter atau perangkat konseptual.
Dalam komunikasi ini yang dikaji bukan sekedar pesan itu diterima, melainkan
adanya pembentukan atau perubahan sikap dan perilaku pada sosial kehidupan. Efek
perubahan dalam sikap dan perilaku tersebut berasal dari isi pesan komunikasi yang dapat
menyentuh aspek-aspek kejiwaan manusia. Aspek kejiwaan itu dalam Ilmu Psikologi
mencakup unsur kognisi, afeksi, dan psikomotorik, akibat adanya keterlibatan dalam
dialog langsung antara komunikator dengan komunikan secara face to face. Aspek
kejiwaan yang ada pada unsur kognisi adalah kejiwaan yang berhubungan dengan bilief,
pengetahuan, ide, pemahaman, dan konsep. Sedangkan aspek kejiwaan yang ada pada
unsur afeksi adalah kejiwaan yang berhubungan dengan kehidupan emosional/perasaan
manusia.

2.2 Peran Komunikasi Interpersonal Dalam Pemberdayaan Masyarakat

komunikasi interpersonal sangat penting dan dibutuhkan dalam pemberdayaan


masyarakat. Manakala jenis komunikasi ini diterapkan dengan baik memiliki
keistimewaan dan efektivitas tersendiri untuk meraih hasil secara maksimal.
Keistimewaannya akan terjadi interaksi antara masing-masing individu berjalan dengan
baik dan akan dipahami secara pasti adanya kemauan/keinginan seseorang. Dengan
komunikasi jenis ini kehidupan manusia, kapanpun, dan di manapun akan dilakukan tukar
menukar informasi antar invidu dalam kehidupan sosialnya. Dalam kegiatannya masing
individu akan mengemukakan keinginan dan problemanya sehingga akan terjadi proses
komunikasi yaitu proses komunikasi antar personal atau komunikasi langsung antara
individu dengan individu lain.

Salah satu isu utama dalam komunikasi kesehatan adalah memengaruhi individu
dan komunitas. Tujuannya meningkatkan derajat kesehatan dengan cara berbagi informasi
seputar kesehatan. Centers for Disease Control and Prevention.

mendefinisikan komunikasi kesehatan sebagai studi mengenai penggunaan strategi


komunikasi untuk menginformasikan dan memengaruhi keputusan individu atau
kelompok guna meningkatkan kesehatan (Schiavo, 2007). Kata memengaruhi juga
tertuang dalam pengertian komunikasi kesehatan menurut Healthy People 2010, yaitu seni
dan teknik-teknik yang digunakan untuk menginformasikan, memengaruhi dan
memotivasi individu, institusi, serta masyarakat tentang isu-isu penting di bidang
kesehatan dalam meningkatkan kualitas kesehatan.

Hal ini menjelaskan bahwa komunikasi kesehatan semakin diakui sebagai unsur
yang diperlukan dalam upaya untuk meningkatkan kesehatan pribadi dan publik.
Komunikasi kesehatan memberi kontribusi terhadap semua aspek yang berkaitan dengan
pencegahan penyakit dan promosi kesehatan, termasuk juga dalam beberapa konteks yang
lain, seperti

(1) hubungan kesehatan antara pasien-pekerja medis,

(2) panduan individu dalam pencarian serta penggunaan informasi kesehatan,

(3) panduan individu untuk mematuhi rekomendasi klinis,

(4) menyelanggarakan kampanye kesehatan masyarakat

(5) penyebaran informasi mengenai risiko-risiko kesehatan bagi penduduk,

(6) penggambaran kondisi kesehatan dalam media massa dan budaya pada umumnya,

(7) pendidikan bagi konsumen tentang cara untuk mendapatkan akses kesehatan
masyarakat dan sistem perawatan kesehatan dan

(8) pengembangan alat-alatnkomunikasi kesehatan mutakhir.

Komunikasi kesehatan menurut Notoatmodjo (2007) merupakan usaha yang


sistemastis untuk memengaruhi secara positif perilaku kesehatan masyarakat dengan
menggunakan berbagai prinsip dan metode komunikasi, baik menggunakan komunikasi
interpersonal, maupun komunikasi massa. Tujuan utama komunikasi kesehatan adalah
perubahan perilaku kesehatan masyarakat yang selanjutnya akan berpengaruh pula
kepada meningkatnya derajat kesehatan masyarakat. Guna menyukseskan kesehatan
masyarakat, pemanfaatan jasakomunikasi kesehatan memang harus ditingkatkan. Semua
analisis mengenai upaya meningkatkan kualitas hidup manusia harus mengikutsertakan
peranan ilmu komunikasi, terutama strategi komunikasi, dengan tujuan menyebarluaskan
informasi yang dapat memengaruhi individu dan komunitas masyarakat agar dapat
membuat keputusan yang tepat demi memelihara kesehatan mereka. Demi menjawab
tantangan kesehatan masyarakat dunia dalam upaya meningkatkan kualitas kesehatan,
sejak tahun 1982 pemerintah Indonesia telah menyusun suatu tatanan atau program
menyeluruh untuk bidang kesehatan, yang dikenal sebagai Sistem Kesehatan Nasional
(SKN).

Sistem ini merupakan sub sistem dari suatu sistem pembangunan nasional yang
sifatnya menyeluruh. Dengan tidak seimbangnya biaya bidang kesehatan yang tersedia
dibandingkan dengan banyaknya masalah yang harus diatasi, maka dalam SKN
dicantumkan penentuan prioritas serta perlunya peranan masyarakat dan pihak swasta
Tujuan dan sasaran SKN mencangkup:

(1) peningkatan kemampuan masyarakat, yaitu menolong diri sendiri dalam

menghadapai masalah kesehatan yang sering dijumpai sehari-hari;

(2) peningkatan mutu lingkungan hidup;

(3) peningkatan status gizi masyarakat;

(4) pengurangan kejadian morbiditas dan mortalitas; dan

(5) pengembangan keluarga sejahtera (Liliweri, 2009).

Dari uraian di atas disebutkan bahwa unsur kemandirian harus terdapat dalam
konteks peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Kemandirian yang dimaksud disini
adalah adanya upaya dari masing-masing warga masyarakat untuk segera keluar dari
masalah kesehatan yang sedang mereka hadapi tanpa harus menunggu pertolongan dari
pihak lain. Teori-teori dalam komunikasi kesehatan, merupakan satu kajian yang
dipengaruhi oleh berbagai disiplin ilmu dan teori yang dalam pendekatan ilmu memiliki
arti yang sangat penting. Dalam komunikasi kesehatan, pemahaman yang baik tentang
teori dapat membantu penentuan strategi komunikasi kesehatan yang tepat terhadap suatu
masalah kesehatan. Selain itu, penerapan teori juga dapat membimbing peneliti di bidang
komunikasi kesehatan dalam melakukan riset komunikasi, program-program pencarian
donatur, menganalisis program yang telah dilangsungkan dan mengevaluasi hasil serta
pengaruh dari program kesehatan terdahulu. Teori juga dapat menentukan hal-hal yang
tepat untuk merancang sebuah program komunikasi kesehatan yang nantinya akan
berdampak pada perubahan sosial dan perilaku yang bersifat positif. Sejumlah ahli telah
menjabarkan teori-teori di bidang komunikasi kesehatan. Salah satunya ditulis Judith A.
Graeff dan kawan-kawan dalam buku Komunikasi Untuk Kesehatan dan Perubahan
Perilaku (1996). Sebagian dari teori yang dikemukaan ada yang disebut sebagai model.
Model merupakan bentuk penyederhanaan dari teori. Di antara berbagai teori dan model
perilaku kesehatan, yang saat ini menonjol di bidang promosi dan komunikasi kesehatan,
menurut Graeff, adalah Model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model), Teori
Komunikasi untuk Persuasi (Communication for Persuation Theory), Teori Aksi
Beralasan (Theory of Reasoned Action), Model Transteoritik (Transtheoretical Model),
Precede-Proceed Model, Model Difusi Inovasi (Diffusions of Inovation).

Model kepercayaan kesehatan (health belief model) Rosenstock mengatakan


model kepercayaan kesehatan sangat dekat dengan bidang pendidikan kesehatan. Dalam
model ini dijelaskan bahwa perilaku kesehatan merupakan fungsi dari pengetahuan
maupun sikap. Secara khusus model ini menegaskan bahwa persepsi seseorang tentang
kerentaan dan kemujaraban pengobatan dapat memengaruhi keputusan seseorang dalam
perilaku-perilaku kesehatannya. Sementara itu, model kepercayaan yang diungkapkan
oleh Becker menyebutkan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh beberapa hal, antara
lain percaya bahwa mereka rentan terhadap masalah kesehatan tertentu, menganggap
masalah ini serius, meyakini efektivitas tujuan pengobatan dan pencegahan, tidak mahal,
serta menerima anjuran untuk mengambil tindakan.

Konsep dasar dari model kepercayaan kesehatan ditujukan untuk menjelaskan


alasan-alasan orang-orang tidak berpartisipasi dalam program yang dapat membantu
mereka mendiagnosa atau mencegah suatu penyakit (National Cancer Institute dan
National Institutes of Health, 2002). Asumsi utama dari model ini adalah agar masyarakat
terlibat dalam perilaku sehat maka terlebih dulu masyarakat yang dituju oleh sebuah
program kesehatan harus sadar akan risiko timbulnya penyakit yang parah atau
mematikan dan melihat bahwa keuntungan dari perubahan perilaku lebih penting dari
hambatan potensi atau aspek-aspek negatif.

(Schiavo, 2007) menjelaskan komponen-komponen kunci dalam model


kepercayaan kesehatan:

a) Rasa kepekaan: kesadaran individu tentang risiko terjangkit oleh penyakit yang spesifik
atau memiliki masalah kesehatan.

b) Rasa keburukan: perasaaan subjektif akan suatu penyakit yang spesifik atau masalah
kesehatan dapat menjadi buruk (contoh, cacat fisik permanen atau cacat mental) atau
membahayakan nyawa dan karena itu patut untuk diberi perhatian yang lebih.
c) Rasa keuntungan: persepsi individu terhadap keuntungan dari mengadopsi aksi yang
direkomendasikan yang pada akhirnya dapat mengurangi risiko suatu penyakit yang
memburuk, tidak wajar, dan mematikan.

d) Rasa keterbatasan: persepsi individu atas biaya dan hambatan untuk mengadopsi aksi
yang direkomendasikan (termasuk biaya ekonomi seperti hal-hal lainnya dalam
pengorbanan gaya hidup).

e) Isyarat untuk bertindak: peristiwa sosial yang dapat mengingatkan pentingnya untuk
mengambil suatu tindakan (contoh, tetangga yang terdiagnosa oleh penyakit yang sama
atau kampanye media massa).

f) Kemampuan diri sendiri: kepercayaan diri individu terhadap kemampuannyauntuk


menampilkan dan memertahankan perilaku yang direkomendasikan dengan sedikit atau
tidak mendapat bantuan sama sekali dari orang lain.

Pechmann menunjukkan model kepercayaan kesehatan sebagai model risiko


pembelajaran karena tujuannya adalah untuk mengajarkan informasi baru tentang risiko
kesehatan dan perilaku yang dapat meminimilasi risiko-risiko tersebut Seluruh pernyataan
yang mendasari model kepercayaan kesehatan adalah bahwa pengetahuan akan membawa
perubahan. Sementara itu Andreasen menyebut pengetahuan ini ditujukan kepada target
masyarakat melalui pendekatan pendidikan yang pada utamanya memfokuskan kepada
pesan, saluran dan juru bicara (Schiavo, 2007).

Kontribusi utama dari model kepercayaan kesehatan terhadap bidang komunikasi


kesehatan adalah penekanannya terhadap pentingnya pengetahuan dan kebutuhan, bukan
langkah-langkah yang harus diambil untuk melakukan perubahan. Namun demikian,
setelah dilakukan pengamatan terhadap model ini, ternyata model kepercayaan kesehatan
memiliki sejumlah kelemahan. Sejumlah ahli menyadari bahwa model kepercayaan
kesehatan tidak memerkirakan atau menerapkan strategi untuk perubahan.

2) Teori komunikasi untuk persuasi (communication for persuation theory) Dikatakan


oleh McGuire teori komunikasi untuk persuasi menegaskan bahwa komunikasi dapat
dipergunakan untuk mengubah sikap dan perilaku kesehatan yang secara langsung terkait
dalam rantai kausal yang sama (Graeff, 1996). Efektivitas upaya komunikasi yang
diberikan bergantung pada berbagai input (stimulus) serta output (tanggapan terhadap
stimulus). Menurut teori ini, perubahan pengetahuan dan sikap merupakan prakondisi
bagi perubahan perilaku kesehatan dan perilaku-perilaku yang lain. Variabel-variabel
input meliputi: sumber pesan, pesan itu sendiri, saluran penyampai, dan karakteristik
penerima dan tujuan pesan-pesan tersebut. Variabel-variabel output merujuk pada
perubahan dalam faktor-faktor kognitif tertentu, seperti pengetahuan, sikap, pembuatan
keputusan dan juga perilaku-perilaku yang dapat diobservasi.

Saat ini fokus komunikasi kesehatan ditujukan lebih untuk menarik perhatian
khalayak daripada membujuk mereka, dengan mempertimbangkan langkah-langkah
persuasi McGuire yang dituangkan dalam teori ini dapat memberikan kerangka yang valid
untuk mendekati donatur atau stakeholder untuk menarik minat mereka agar mau terlibat
dalam sebuah program kesehatan. Namun teori ini perlu juga memperhatikan perihal
karateristik dan kebutuhan khalayak yang dapat berubah dari waktu ke waktu. Hal ini
mengharuskan komunikator untuk memasukkan perubahan-perubahan dalam desain dan
pengiriman pesan serta merekomendasikan perilaku-perilaku yang sesuai dengan gaya
hidup dan kebutuhan masyarakat (Graeff, 1996).

3) Teori aksi beralasan (theory of reasoned action) Teori aksi beralasan menegaskan peran
dari niat seseorang dalam menentukan apakah sebuah perilaku akan terjadi. Hal ini
dikemukakan oleh dua ahli komunikasi Fishben dan Ajzen. Teori ini secara tidak
langsung menyatakan bahwa perilaku pada umumnya mengikuti niat dan tidak akan
pernah terjadi tanpa niat. Niat-niat seseorang juga dipengaruhi oleh sikap-sikap terhadap
perilaku, seperti apakah ia merasa suatu perilaku itu penting. Teori ini juga menegaskan
mungkin dimiliki orang-orang: mereka berpikir tentang apa yang akan dilakukan orang
lain (terutama, orang-orang yang berpengaruh di dalam kelompok) pada suatu situasi yang
sama. Theory of reasoned action (TRA) merupakan salah satu teori yang paling penting
dalam komunikasi kesehatan. TRA juga sering digunakan dalam mengevaluasi program-
program kesehatan. Namun salah satu kekurangan teori ini adalah kurang hati-hati dalam
menyimpulkan bahwa tujuan mengadopsi perilaku tertentu selalu menerjemahkan kinerja
perilaku aktual. Komunikasi dapat memainkan peran penting dalam mendukung niat
perilaku dan meningkatkan kemungkinan sampel datanya bahwa mereka akan menjadi
perilaku aktual.Pernyataan ini memerlukan pengembangan alat-alat yang memadai guna
memfasilitasi dan memudahkan orang untuk mencoba, mengadopsi dan mengintegrasikan
perilaku kesehatan baru dalam gaya hidup mereka. TRA sangat berguna dalam
menganalisis dan mengidentifikasi alasan untuk aksi dan pesan yang dapat mengubah
sikap masyarakat.
Ayub menerangkan bahwa pemberdayaan terkandung makna pemberian kemampuan dan
pemberian kekuasaan, dan akhir kesimpulannya pengembangan masyarakat untuk
mencapai enam tujuan yaitu:

• Memenuhi kebutuhan pokok masyarakat yang terdiri dari kebutuhan konsumsi


dan kebutuhan usaha produktif.

• Meningkatkan kesadaran, pengetahuan, dan partisipasi masyarakat dalam


berbagai kegiatan pembangunan.

• Meningkatkan rasa tanggung jawab masyarakat untuk membangun dirinya


sendiri.

• Menumbuhkankemampuan masyarakat untuk membangun dirinya sendiri.

• Membangun serta memlihara sarana prasarana fisik wilayahnya.

• Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

• Promosi kesehatan merupakan proses pemberdayaan masyarakat

untuk memelihara, meningkatkan, melindungi, dan mempengaruhi lingkungan, perilaku, serta


kualitas kesehatan. Media sebagai alat bantu komunikasi diperlukan agar masyarakat
mendapatkan informasi mengenai usaha pengendalian dan pencegahan suatu penyakit.
Pengetahuan dan partisipasi masyarakat menjadi penting seiring dengan kemajuan teknologi ini.
Media massa memberikan pengaruh yang positif untuk penyebaran berbagai informasi yang
berkaitan dengan perilaku kesehatan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Komunikasi interpersonal merupakan cara komunikasi yang penting bagi seseorang


dalam menerapkan strategi pemberdayaan masyarakat menuju hasil yang diinginkan.
Dalam proses komunikasi ini para penentu kebijakan akan lebih mudah memberi nasehat
pada kliennya untuk melakukan perubahan menuju pemberdayaan. Demikian pula
seorang penentu kebijakan untuk dapat mencapai hasil yang ditentukan yaitu
meningkatkan mutu prestasi pemberdayaan masyarakat, nampaknya proses/teknik
komunikasi interpersonal dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Teknik komunikasi
interpersonal juga memberikan informasi tentang visi, misi, dan prioritas pemberdayaan
masyarakat. Melalui teknik komunikasi interpersonal ini akan lebih mudah dan efektif
para penentu kebijakan mengarahkan masyarakat kepada tujuan-tujuan yang ditentukan
sebelumnya. Mencapai tujuan itu bukan sekedar meningkat ekonominya, tetapi
pengembangan terus hidup dan Berjaya, dapat memelihara keteraturan, dapat mengikuti
perubahan, menciptakan angkatan kerja, dan dapat memelihara diri untuk masa
mendatang.

3.2 Saran

Makalah ini dibuat membahas tentang komunikasi umum dan komunikasi


kesehatan yang sangat penting dalam kehidupan sehari hari ,diharapkan setelah membaca
makalah ini u ntuk dapat diterapkan dalam kehidupan sehari hari cara berkomunikasi yang
baik dalam masyarakat dan memahami cara cara atau strategi dalam berkomunikasi
mengenai kesehatan khususnya kesehatan masyarakat.
MAKALAH KOMUNIKASI TERAPEUTIK DENGAN PASIEN SAKIT FISIK

Dosen Pengampu : Ns. Sutedjo, M.Kep., Sp.Kep.J.

Disusun Oleh :

DESI OKTAVIANI (P07120221053)

KEYSHA ALEA BRILIANTI (P07120221036)

NI PUTU WIDYANTARI (P07120221021)

PROGRAM STUDI STR. KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS

JURUSAN KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA

2021/2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Komunikasi merupakan hal yang sangat esensial untuk melakukan interaksi dan menjalin
hubungan dengan orang lain. Komunikasi dapat menetapkan, memertahankan dan
meningkatkan hubungan antar individu. Komunikasi ini bukanlah suatu proses yang mudah,
melainkan proses yang kompleks yang melibatkan tingkah laku manusia dengan orang-orang
di lingkungan sekitarnya. Perawat dan pasien sebagai contoh. Perawat sebagai orang yang
berperan mendampingi pasien untuk mencapai tingkat kesembuhannya harus memiliki
kemampuan berkomunikasi dengan baik. Hal ini dikarenakan perawat akan terus
menghadapi berbagai macam pasien, mulai dari agama, suku, budaya, bahkan pandangan
terhadap suatu objek pun bisa berbeda. Pada tahun 1974, World Health Organization (WHO)
mendefinisikan sehat secara luas. Tidak hanya sebatas tidak sakit secara fisik, tetapi juga
secara mental, sosial, dan bebas dari suatu penyakit, cacat, dan kelemahan sehingga bisa
hidup secara produktif.

Pada makalah penyusun akan membahas lebih jauh mengenai komunikasi dengan pasien
sakit fisik. Tetapi perlu diketahui terlebih dahulu bahwa kesakitan atau rasa sakit yang
diderita oleh pasien, khususnya penderita sakit fisik, bersifat sangat subjektif.

1.2.Perumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka penyusun merumuskan masalah
yang akan dibahas secara spesifik di dalam makalah ini, yaitu : “Bagaimana komunikasi
terapeutik yang bisa dilakukan perawat dalam menghadapi pasien sakit fisik?”.

1.3.Tujuan
A. Mengetahui komunikasi terapeutik perawat terhadap pasien sakit fisik.
B. Mengetahui komunikasi terapeutik dalam keperawatan.
C. Mengetahui jenis-jenis sakit fisik.

1.4.Manfaat
Penyusunan makalah ini diharapkan bisa menjadi bahan belajar ataupun ajar mengenai
komunikasi terapeutik perawat dengan pasien sakit fisik.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Komunikasi Terapeutik


Komunikasi terapeutik adalah kemampuan atau keterampilan perawat untuk
membantu klien beradaptasi terhadap stress, mengatasi gangguan patologis dan belajar
bagaimana berhubungan dengan orang lain (Northhouse, 1998). Definisi lain dari
komunikasi terapeutik yang dirumuskan oleh Stuart pada tahun 2016 adalah komunikasi
terapeutik merupakan hubungan interpersonal antara perawat dan klien, dimana dalam
hubungan ini keduanya memperoleh pengalaman belajar Bersama dalam rangka memeroleh
pengalaman emosional klien. Dari dua pengertian di atas, bisa kita simpulkan bahwa
komunikasi terapeutik ini sebenarnya komunikasi yang dilakukan atau dirancang untuk
tujuan terapi. Tujuan lainnya yaitu untuk mengembangkan pribadi pasien kea rah yang lebih
positif atau adaptif.

Beberapa prinsip komunikasi terapeutik menurut Boyd & Nihart (1998) adalah :

A. Klien harus merupakan fokus utama dari interaksi,

B. Tingkah laku professional mengatur hubungna terapeutik,

C. Hubungan sosial dengan klien harus dihindari,

D. Kerahasiaan klien harus dijaga,

E. Kompetensi intelektual harus dikaji untuk menentukan pemahaman,

F. Memelihara interaksi yang tidak menilai, dan hindari membuat penilaian tentang tingkah
laku klien dan memberi nasehat,
G. Beri petunjuk klien untuk menginterpretasikan kembali pengalamannya secar rasional,
H. Telusuri interaksi verbal klien melalui statemen klarifikasi dan hindari perubahan
subyek/topik jika perubahan isi topik tidak merupakan sesuatu yang sangat menarik
klien,
I. Implementasi intervensi berdasarkan teori, dan
J. Membuka diri hanya digunakan hanya pada saat membuka diri mempunyaitujuan
terapeutik.

2.2. Penyakit Fisik


Penyakit fisik merupakan keadaan dimana adanya kekurangan seseorang pada fisiknya
atau tertanggunya sistem organ, sensorik bahkan motoric di dalam tubuh. Beberapa jenis sakit
fisik diantaranya :

A. Gangguan Pendengaran
Pada pasien dengan gangguan pendengaran, media komunikasi yang paling sering
digunakan ialah media visual. Penderita menangkap pesan bukan dari suara yang dikeluarkan
orang lain, tetapi dengan mempelajari gerak bibir lawan bicaranya. Kondisi visual menjadi
sangat penting bagi pasien ini sehingga dalam melakukan komunikasi, upayakan supaya
sikap dan gerakan perawat dapat ditangkap oleh indra visual pasien.

B. Gangguan Penglihatan

Gangguan penglihatan dapat terjadi baik karena kerusakan organ, misal., kornea, lensa
mata, kekeruhan humor viterius, maupun kerusakan kornea, serta kerusakan saraf penghantar
impuls menuju otak. Kerusakan di tingkat persepsi antara lain dialami penderita dengan
kerusakan otak. Semua ini mengakibatkan penurunan visus hingga dapat menyebabkan
kebutaan, baik parsial maupun total. Akibat kerusakan visual, kemampuan menangkap
rangsang ketika berkomunikasi sangat bergantung pada pendengaran dan sentuhan. Oleh
karena itu, komunikasi yang dilakukan harus mengoptimalkan fungsi pendengaran dan
sentuhan karena fungsi penglihatan sedapat mungkin harus digantikan oleh informasi yang
dapat ditransfer melalui indra yang lain.

C. Gangguan Wicara

Gangguan wicara dapat terjadi akibat kerusakan organ lingual, kerusakan pita suara,
ataupun gangguan persarafan. Berkomunikasi dengan pasien dengan gangguan wicara
memerlukan kesabaran supaya pesan dapat dikirim dan ditangkap dengan benar. Pasien yang
mengalami gangguan wicara umumnya telah belajar berkomunikasi dengan menggunakan
bahasa isyarat atau menggunakan tulisan atau gambar.

D. Pasien dengan Keadaan Tidak Sadar


Ketidaksadaran mengakibatkan fungsi sensorik dan motorik pasienmengalami penurunan
sehingga seringkali stimulus dari luar tidak dapat diterima dan pasien tidak dapat merespons
kembali stimulus tersebut. Keadaaan tidak sadar dapat terjadi akibat gangguan organik pada
otak, trauma otak yang berat, syok, pingsan, kondisi tidur dan narkose, ataupun gangguan
berat yang terkait dengan penyakit tertentu. Seringkali timbul pertanyaan tentang perlu
tidaknya perawat berkomunikasi dengan pasien yang mengalami gangguan kesadaran ini.
Bagaimanapun, secara etika penghargaan terhadap nilai nilai kemanusiaan mengharuskan
penerapan komunikasi pada pasien dengan gangguan kesadaran.

E. Gangguan Kematangan Kognitif

Akibat dari gangguan kematangan kognitif ini adalah retardasi mental, down syndrome,
pendidikan yang rendah, kebudayaan primitive dll. Dalam melakukan komunikasi dengan
penderita gangguan kematangan kognitif sebaiknya perawat mencari pendekatan komunikasi
yang efektif dengan menjadikan kemampuan penyandang (capability of audience) sebagai
aspek yang utama.

2.3. Teknik Komunikasi Terapeutik pada Pasien Gangguan Fisik


A. Gangguan Pendengaran
• Orientasikan kehadiran perawat dengan cara menyentuh klien atau memosisikan diri
di depan pasien,
• Gunakan bahasa yang sederhana dan bicaralah dengan perlahan untukmemudahkan
pasien membaca gerak bibir perawat,
• Usahakan berbicara dengan posisi tepat di depan pasien dan pertahankan sikap
tubuh dan mimik wajah yang lazim,
• Jangan melakukan pembicaraan ketika sedang mengunyah sesuatu (permen karet),
• Bila mungkin gunakan bahasa pantomim dengan gerakan sederhana dan wajar,
• Gunakan bahasa isyarat atau bahasa jari bila bisa dan diperlukan, dan

• Apabila ada sesuatu yang sulit untuk dikomunikasikan, cobalah sampaikan pesan
dalam bentuk tulisan atau gambar (simbol).

B. Gangguan Penglihatan

• Sedapat mungkin ambil posisi yang dapat dilihat pasien bila ia mengalami kebutaan
parsial atau sampaikan secara verbal keberadaan / kehadiran perawat ketika berada di
dekatnya,
• Identifikasi diri perawat dengan menyebutkan nama (dan peran),

• Berbicara menggunakan nada suara normal karena kondisi pasien tidak


memungkinkanya menerima pesan verbal secara visual. Nada suara memegang
peranan besar dan bermakna bagi pasien,
• Terangkan alasan perawat menyentuh atau mengucapkan kata – kata sebelum
melakukan sentuhan pada pasien,
• Informasikan kepada pasien ketika akan meninggalkanya / memutus komunikasi,
• Orientasikan pasien dengan suara – suara yang terdengar disekitarnya, dan

• Orientasikan pasien pada lingkunganya bila dipindahkan ke lingkungan / ruangan


yang baru.

C. Gangguan Wicara

• Perawat benar - benar dapat memerhatikan mimik dan gerak bibir pasien,

• Usahakan memperjelas hal yang disampaikan dengan mengulang kembali kata kata
yang diucapkan oleh pasien,
• Mengendalikan pembicaraan supaya tidak membahas terlalu banyak topik,
• Mengendalikan pembicaraan sehingga menjadi lebih rileks dan pelan,

• Memperhatikan setiap detail komunikasi sehingga pesan dapat diterima dengan baik,
• Apabila perlu, gunakan tulisan dan simbol, dan

• Apabila memungkinkan, hadirkan orang yang terbiasa berkomunikasi lisan dengan


klien untuk menjadi mediator komunikasi.

D. Pasien dengan Keadaan Tidak Sadar

• Berhati - hati ketika melakukan pembicaraan verbal di dekat pasien karena ada
kayakinan bahwa organ pendengaran merupakan organ terakhir yang mengalami
penurunan penerimaan rangsang pada individu yang tidak sadar dan yang menjadi
pertama kali berfungsi pada waktu sadar,
• Ambil asumsi bahwa pasien dapat mendengar pembicaraan perawat. Usahakan
mengucapkan kata dengan menggunakan nada normal dan memperhatikan materi
ucapan yang perawat sampaikan kepada pasien,
• Ucapkan kata - kata sebelum menyentuh pasien. Sentuhan diyakini dapat menjadi
salah satu bentuk komunikasi yang sangat efektif pada pasien dengan penurunan
kesadaran, dan
• Upayakan mempertahankan lingkungan setenang mungkin untuk membantu pasien
pada komunikasi yang dilakukan.

E. Gangguan Kematangan Kognitif

• Berbicara dalam tema yang jelas dan terbatas,

• Hindari menggunakan istilah yang membingungkan pasien, usahakan menggunakan


kata pengganti yang lebih mudah dimengerti, contoh gambar dan simbol,
• Berbicara dengan menggunakan nada yang relatif datar dan pelan,

• Apabila perlu, lakukan pengulangan dan tanyakan kembali pesan untuk memastikan
kembali maksud pesan sudah diterima, dan

• Berhati - hatilah dalam menggunakan teknik komunikasi non verbal karena dapat
menimbulkan interprestasi yang berbeda pada pasien.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Komunikasi terapeutik ini merupakan aspek penting dalam melakukan hubungan antara
perawat dan pasien khususnya bagi pasien penderita gangguan fisik. Ada banyak hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam melakukan komunikasi dengan pasien dengan jenis sakit fisik ini. Juga ada usaha
yang diperlukan untuk sebisa mungkin menghindari kesalahan dalam berkomunikasi.

3.2. Saran
Perawat harus bisa menghadapi pasien dengan berbagai macam gangguan fisik, menguasai
teknik-teknik berkomunikasi serta hal-hal yang bisa menghambat komunikasi antara perawat dengan
pasien sakit fisik.
MAKALAH

PRAKTIK KOMUNIKASI GANGGUAN JIWA

Dosen Pengampu : Ns. Sutejo, M.Kep., Sp.Kep.J

Disusun Oleh :

Kelompok 11

Novita Ayu Dwi Martika (P07120221028)

Sahira Kansha Rasyaray (P07120221050)

Salsabila Fadhila (P07120221008)

Tri Fitri Yani (P07120221006)

PROGRAM STUDI STR. KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS

JURUSAN KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA

2021/2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Komunikasi senantiasa berperan penting dalam proses kehidupan. Komunikasi


merupakan inti dari kehidupan sosial manusia.Komunikasi merupakan kunci utama
dalam melakukan proses interaksi antar manusia. Di dalam dunia kesehatan, khususnya
dalam profesi keperawatan sendiri, komunikasi juga mendapatkan peran utama dalam
melaksanakan proses keperawatan. Dalam asuhan keperawatan, komunikasi ditujukan
untuk mengubah perilaku klien dalam mencapai tingkatan kesehatan yang optimal.

Melakukan komunikasi dengan penderita gangguan jiwa membutuhkan sebuah


strategi khusus, ada beberapa hal yang membedakan berkomunikasi antara orang
gangguan jiwa dengan gangguan akibat penyakit fisik. Perbedaannya adalah penderita
gangguan jiwa cenderung mengalami gangguan konsep diri, penderita gangguan
penyakit fisik masih memiliki konsep diri yang wajar.Komunikasi dengan penderita
gangguan jiwa membutuhkan sebuah dasar pengetahuan tentang ilmu komunikasi yang
benar.

Komunikasi yang dibangun dengan pasien gangguan kejiwaan sangat menentukan


cepat lambatnya proses kesembuhan. Komunikasi yang dilakukan kepada pasien
gangguan kejiwaan tidak bisa dilakukan begitu saja. Karena setiap komunikasinya akan
berdampak pada pasien baik itu dampak positif maupun negatif. Untuk itu sangat penting
seorang perawat harus membangun hubungan yang dekat dengan pasien. Hubungan yang
terbentuk antara perawat dengan pasien merupakan hubungan saling membutuhkan.

Untuk melakukan asuhan keperawatan pada pasien gangguan jiwa, perawat


mengacu pada teknik komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik sendiri memandang
gangguan jiwa bersumber pada gangguan komunikasi, pada ketidakmampuan pasien
untuk mengungkapkan dirinya. Interaksi perawat dan pasien akan menghasilkan
informasi untuk perawat tentang keadaan pasien dan pada waktu yang bersamaan,
perawat dapat memberikan informasi tentang cara-cara menyelesaikan masalah dengan
strategi tertentu sehingga pasien terpengaruh dan mau melakukannya untuk penyelesaian
masalah pasien. Jika pasien menerima dan melakukan informasi yang diberikan oleh
perawat maka perilaku pasien dapat dikatakan menuju ke arah penerimaan yang
merupakan hasil utama dari tindakan keperawatan.
B. Tujuan

3. Tujuan Umum

Secara umum tujuan penyusunan pedoman komunikasi efektif ini adalah memberikan
pengetahuan dan pedoman bagi petugas, perawat dan dokter tentang bagaimana cara
berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya.

4. Tujuan Khusus

a. Agar petugas, perawat dan dokter dapat melakukan komunikasi yang efektif
dengan pasien dan keluarganya

b. Agar professional pemberi asuhan keperawatan dapat memenuhi kebutuhan pasien


dengan baik.

c. Menghindarkan kesalah pahaman yang bisa menimbulkan dugaan malpraktik.

C. Manfaat

1. Manfaat Teoritis

Makalah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan. Selain
itu juga bermanfaat untuk melakukan asuhan keperawatan pada pasien gangguan jiwa.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi perawat

Makalah ini diharapkan sebagai sumber pengetahuan khusunya dalam hal


komunikasi terapeutik yang dapat dilakukan perawat kepada para pemberi asuhan
lainnya ataupun kepada pasien dengan gangguan jiwa dan keluarganya dalam
rangka proses pemenuhan kebutuhan pasien itu sendiri.

b. Bagi tempat layanan kesehatan

Makalah ini diharapkan dapat memberi masukan ilmu pengetahuan sehingga dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menerapan komunikasi terapeutik
khususnya dalam pembahasan ini adalah komunikasi terapeutik pada pasien
dengan gangguan jiwa.

c. Bagi progam studi Sarjana Terapan Keperawatan

Menambahkan pustaka dan bahan kajian ilmiah, sehingga dapat menambah ilmu
pengetahuan dan wawasan pembaca khususnya mahasiswa progam studi Sarjana
Terapan Keperawatan mengenai bagaimana komunikasi terapeutik dengan pasien
gangguan jiwa.

d. Bagi masyarakat

Diharapkan setelah tersusunnya makalah ini masyarakat bisa melakukan


komunikasi yang efektif pada pasien dengan gangguan jiwa yang terkadang
memang pasien sangat sensitif terhadap oranglain.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa adalah manifestasi dari bentuk penyimpangan perilaku akibat adanya
distorsi emosi sehingga ditemukan ketidakwajaran dalam hal bertingkah laku. Hal ini
terjadi karena menurunnya semua fungsi kejiwaan(Akemat, Helena, Keliat, Nurhaeni
(2011). Gangguan jiwa ini menimbulkan stress dan penderitaan bagi penderita dan
keluarganya (Stuart &Sundeen, 1998). Gangguan jiwa dapat mengenai setiap orang, tanpa
mengenal umur, ras, agama, maupun status sosial dan ekonomi.

Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa
yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan
pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial. Penyebab gangguan
jiwa itu bermacam-macam. Gangguan Jiwa ada yang bersumber dari hubungan dengan
orang lain yang tidak memuaskan, misalnya seperti diperlakukan tidak adil, diperlakukan
semena-mena, cinta tidak terbalas, kehilangan seseorang yang dicintai, kehilangan
pekerjaan, dan lain-lain. Selain itu ada juga gangguan jiwa yang disebabkan faktor organik,
kelainan saraf dan gangguan pada otak (Djamaludin, 2001).

Sedangkan menurut Undang-Undang RI No. 18 Tahun 2014, orang dengan gangguan


jiwa yang disingkat ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran,
perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan
perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan
dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.

Gejala gangguan jiwa yang menonjol adalah unsur psikisnya, tetapi yang sakit dan
menderita tetap sebagai manusia seutuhnya (Maramis, 2010).

1. Faktor somatik (somatogenik), yakni akibat gangguan pada neuroanatomi,


neurofisiologi, dan neurokimia, termasuk tingkat kematangan dan perkembangan
organik, serta faktor pranatal dan perinatal.

2. Faktor psikologik (psikogenik), yang terkait dengan interaksi ibu dan anak, peranan
ayah, persaingan antarsaudara kandung, hubungan dalam keluarga, pekerjaan,
permintaan masyarakat. Selain itu, faktor intelegensi, tingkat perkembangan emosi,
konsep diri, dan pola adaptasi juga akan memengaruhi kemampuan untuk menghadapi
masalah. Apabila keadaan ini kurang baik, maka dapat mengakibatkan kecemasan,
depresi, rasa malu, dan rasa bersalah yang berlebihan.

3. Faktor sosial budaya, yang meliputi faktor kestabilan keluarga, pola mengasuh anak,
tingkat ekonomi, perumahan, dan masalah kelompok minoritas yang meliputi
prasangka, fasilitas kesehatan, dan kesejahteraan yang tidak memadai, serta pengaruh
rasial dan keagamaan.

Setiap gangguan jiwa dinamai dengan istilah yang tercantum dalam PPDGJ-IV
(Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi IV) atau DSM-
IV-TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th edition with text
revision). Kendati demikian, terdapat pula beberapa istilah yang dapat digunakan untuk
mendeskripsikan gangguan jiwa:

1. Gangguan jiwa psikotik: ditandai hilangnya kemampuan menilai realitas, ditandai


waham (delusi) dan halusinasi, misalnya schizophrenia.

2. Gangguan jiwa neurotik: tanpa ditandai kehilangan kemampuan menilai realitas,


terutama dilandasi konflik intrapsikis atau peristiwa kehidupan yang menyebabkan
kecemasan (ansietas), dengan gejala-gejala obsesi, fobia, dan kompulsif.

3. Gangguan jiwa fungsional: tanpa kerusakan struktural atau kondisi biologis yang
diketahui dengan jelas sebagai penyebab kinerja yang buruk.

4. Gangguan jiwa organik: ketidakberesan kesehatan disebabkan oleh suatu penyebab


spesifik yang membuahkan perubahan struktural di otak, biasanya terkait dengan
kinerja kognitif, delirium, atau demensia, misalnya pada penyakit Pick. Istilah ini tidak
digunakan dalam DSM-IV-TR karena ia merangkum pengetian bahwa beberapa
gangguan jiwa tidak mengandung komponen biologis.

5. Gangguan jiwa primer: tanpa penyebab yang diketahui disebut pula idiopatik atau
fungsional.

6. Gangguan jiwa sekunder: diketahui sebagai sutu manifestasi simtomatik dari suatu
gangguan sistemik, medis atau serebral, misalnya delirium yang disebabkan oleh
penyakit infeksi otak.

B. Metode Komunikasi Pada Pasien Gangguan Jiwa


Stuart dan Sundeen dalam buku ‘Buku Saku Keperawatan Jiwa’ (1998 ) menyebutkan
metode atau teknik yang digunakan dalam komunikasi terapeutik dalam bidang
keperawatan antara lain:

1. Mendengarkan dengan penuh perhatian: perawat harus menjadi pendengar yang


aktif, beri kesempatan pasien untuk lebih banyak berbicara. Dengan begitu perawat
dapat mengetahui perasaan pasie

2. Menunjukkan penerimaan: menerima bukan berarti menyetujui, namun kesediaan


untuk mendengarkan tanpa menunjukkan keraguan atau ketidaksetujuan akan apa yang
dikatakan pasien.

3. Menanyakan pertanyaan yang berkaitan: ini dilakukan untuk mendapatkan


informasi spesifik mengenai hal yang diampaikan pasien.

4. Mengulangi ucapan klien menggunakan kata-kata sendiri: ini dilakukan untuk


mendapatkan umpan balik. Bahwa perawat mengerti pesan pasien, dan berharap
komunikasi dilanjutkan kembali.

5. Mengklasifikasi: usaha perawat untuk menjelaskan kata-kata ide atau pikiran yang
kurang jelas dari pasien.

6. Memfokuskan: Bahan pembicaraan dibatasi agar pembicaraan lebih spesifik.

7. Menyatakan hasil observasi: perawat menguraikan kesan yang didapatnya dari isyarat
nonverbal yang dilakukan pasien

8. Menawarkan informasi: memberikan tambahan informasi yang bertujuan untuk


memfasilitasi klien dalam mengambil keputusan.

9. Diam: dengan diam, pasien dan perawat memiliki kesempatan untuk berkomunikasi
dengan dirinya sendiri. Mengorganisir pikiran dan memproses informasi yang
didapatkan.

10. Meringkas: pengulangan ide utama secara singkat. Memberi penghargaan kepada
pasien.

11. Memberi pasien kesempatan untuk memulai pembicaraan, memberi inisiatif dalam
memilih topic pembicaraan.
12. Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan, dalam metoda ini perawat
memberikan pasien kesempatan untuk mengarahkan hampir seluruh pembicaraan yang
berlangsung.

13. Menempatkan kejadian secara berurutan, untuk membantu perawat juga pasien
melihatnya dalam suatu perspektif.

14. Memberikan pasien kesempatan untuk menguraikan persepsinya

15. Refleksi: memberikan pasien kesempatan untuk mengemukakan dan menerima ide dan
perasaannya sebagai bagian dari dirinya.

C. Teknik Komunikasi Pada Pasien Gangguan Jiwa

Berkomunikasi dengan penderita gangguan jiwa membutuhkan sebuah teknik khusus,


ada beberapa hal yang membedakan berkomunikasi antara orang gangguan jiwa dengan
gangguan akibat penyakit fisik. Perbedaannya adalah :

a. Penderita gangguan jiwa cenderung mengalami gangguan konsep diri, penderita


gangguan penyakit fisik masih memiliki konsep diri yang wajar (kecuali pasien
dengan perubahan fisik, ex : pasien dengan penyakit kulit, pasien amputasi, pasien
pentakit terminal dll).

b. Penderita gangguan jiwa cenderung asyik dengan dirinya sendiri sedangkan penderita
penyakit fisik membutuhkan support dari orang lain.

c. Penderita gangguan jiwa cenderung sehat secara fisik, penderita penyakit fisik bisa
saja jiwanya sehat tetapi bisa juga jiwa ikut terganggu.

Ada beberapa trik ketika harus berkomunikasi dengan penderita gangguan jiwa:

a. Pada pasien halusinasi maka perbanyak aktivitas komunikasi, baik meminta klien
berkomunikasi dengan klien lain maupun dengan perawat, pasien halusinasi terkadang
menikmati dunianya dan harus sering harus dialihkan dengan aktivitas fisik.

b. Pada pasien harga diri rendah harus banyak diberikan reinforcement

c. Pada pasien yang sering menarik diri harus sering dilibatkan dalam aktivitas atau
kegiatan yang bersama – sama ajari dan contohkan cara berkenalan dan berbincang
dengan pasien lain, beri penjelasan manfaat berhubungan dengan orang lain dan
akibatnya jika dia tidak mau berhubungan, dll.
D. Tahap Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Kejiwaan.

Pasien yang mempunyai gangguan jiwa membutuhkan strategi khusus dan kemahiran
berkomunikasi. Penerapan komunikasi pada pasien gangguan jiwa dan berkebutuhan
khusus adalah penting karena komunikasi alat kerja utama dalam mengubah perilaku.
Penerapan komunikasi pada dua kondisi di atas adalah sulitsehingga memerlukan
kesabaran, sikap menerima, dan teknik-teknik khusus. Jika kita kesulitan untuk mencapai
efektivitas komunikasi, maka komunikasi dapat dilakukansepihak atau jika perlu
membuat keputusan maka dapat dilakukan dengan persetujuan keluarga.

1. Pada tahap pengkajian keperawatan (pengumpulan data) ini, komunikasi dilakukan untuk
mengklarifikasi data dan melakukan analisis sebelum menentukan masalah keperawatan
bersama pasien dan keluarga. Pada fase perencanaan, aktivitas yang penting dilakukan
perawat adalah adalah mendiskusikan kembali rencana yang sudah disusun perawat dan
bersama pasien/keluarga dan menentukan kriteria keberhasilan yang akan dicapai.

2. Pada tahap implementasi, hal penting yang harus dilakukan perawat adalah memberikan
informasi yang adekuat kepada pasien sebelumpelaksanaan tindakan, termasuk dalam
memberikan informed consent.

3. Pada tahap evaluasi, perawat menilai keberhasilan dari asuhan dan tindakan
keperawatan yang telah dilakukan. Semua hasil dicatat dalam buku catatan
perkembangan perawatan klien, mendiskusikan hasil dengan klien, meminta tanggapan
klien atas keberhasilan atau ketidakberhasilan tindakan yang dilakukan, dan bersama
klien merencanakan tindak lanjut asuhan keperawatannya.
BAB III

PEMBAHASAN

A. Menerapkan komunikasi dalam asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan


kejiwaan.

Banyak ahli yang memberikan pendapatnya tentang gangguan jiwa. Menurut teori
psychoanalitic, dijelaskan bahwa gangguan jiwa terjadi karena adanya perilaku yang
menyimpang pada manusia yang dapat diobservasi secara objektif melalui struktur
mentalnya, yaitu id, ego, dan superego. Teori ini menjelaskan bahwa deviasi (gangguan)
perilaku pada masa dewasa berhubungan dengan adanya masalah dalam tahap
perkembangan pada masa awal kehidupan. Setiap fase perkembangan mempunyai tugas-
tugas yang harus diselesaikan. Apabila banyak tugas tidak terselesaikan, akan
mengakibatkan konflik, energi psikologikal (libido) terfiksasi sehingga terjadi kecemasan.
Keadaan ini akan memunculkan gejala-gejala neurotik sebagai usaha mengontrol anxietas
yang terjadi.

Pada bagian ini, akan dibahas penerapan komunikasi dalam asuhan keperawatan
pasien gangguan kejiwaan khususnya cemas. Kecemasan adalah respons emosi yang
bersifat subjektif dan individual. Cemas berentang mulai dari ringan, sedang, berat, dan
panik. Kondisi cemas yang berkepanjangan dapat menyebabkan gangguan jiwa berat
(depersonaisasi), yaitu individu merasa asing dengan dirinya sendiri dan dalam keadaan
serius dapat terjadi exhaustion dan kematian.

Penerapan komunikasi pada pasien dengan gangguan jiwa adalah hal yang paling
esensial karena komunikasi adalah alat kerja utama perawat untuk membantu pasien
meningkatkan perilaku adaptif/memperbaiki perilakunya.

a) Menerapkan komunikasi pada tahap pengkajian klien dengan gangguan


kejiwaan (kecemasan)

Tahap pengkajian adalah tahap yang penting dalam proses keperawatan karena
hasil dari pengkajian ini akan menentukan langkah selanjutnya dalam menangani
masalah pasien. Pengkajian yang penting dilakukan pada pasien dengan gangguan jiwa
(cemas) adalah perilaku, mengidentifikasi faktor predisposisi, stressor presipitasi,
penggalian sumber-sumber koping, dan mekanisme koping yang digunakan. Seorang
perawat harus menggunakan kemampuan komunikasi agar dapat mengidentifikasi data
tentang pasien.

Contoh komunikasi tahap pengkajian:

• “Saya lihat ibu tampak gelisah, jelaskan apa yang menyebabkan ibu merasa tidak
tenang!”

• “Apakah yang biasa ibu lakukan jika menghadapi masalah yang demikian?

b) Menerapkan komunikasi pada tahap diagnosis keperawatan klien dengan


gangguan kejiwaan (kecemasan)

Setelah melakukan pengkajian, langkah selanjutnya adalah menentukan


diagnosis atau masalah keperawatan. Diagnosis/masalah keperawatan yang telah
ditetapkan penting disampaikan kepada pasien agar mereka kooperatif dalam
perawatan. Beberapa diagnosis/masalah keperawatan yang relevan dengan kecemasan
adalah kecemasan (sedang, berat, panik), koping individu tidak efektif, ketakutan.

Contoh komunikasi pada tahap diagnosis:

Perawat:

• “Berdasarkan data dan analisis, diketahui bahwa ibu mengalami cemas berat.”

c) Menerapkan komunikasi pada tahap perencanaan klien dengan gangguan


kejiwaan (kecemasan)

Rencana asuhan keperawatan dilakukan sesuai dengan diagnosis keperawatan


dan tingkat kecemasan yang terjadi. Beberapa rencana tindakan yang memerlukan
kemampuan perawat dalam berkomunikasi adalah membina hubungan saling percaya,
meningkatkan kesadaran diri, pasien mengenal kecemasan yang terjadi, meningkatkan
relaksasi, dan melindungi pasien. Rencana ini perlu dikomunikasikan kepada pasien
agar mereka kooperatif dan dapat memberikan bekerja sama sesuai rencana.

Contoh komunikasi tahap perencanaan:

Perawat:

• “Untuk membantu menurunkan kecemasan yang terjadi, saya akan mengajarkan


teknik relaksasi yang dapat ibu lakukan setiap saat jika merasa cemas.”
d) Menerapkan komunikasi pada tahap implementasi klien dengan gangguan
kejiwaan (kecemasan)

Aktivitas penting dalam perencanaan adalah menetapkan tujuan dan rencana


tindakan keperawatan. Beberapa aktivitas yang direncanakan dan harus
dikomunikasikan antara lain pengaturan posisi, latihan nafas dan batuk efektif,
humidifier dan nebulizer, serta suctioning. Sesuai dengan rencana, beberapa tindakan
yang dilakukan kepada pasien dengan gangguan kebutuhan oksigen antara lain
pengaturan posisi, latihan napas dan batuk efektif, humidifier dan nebulizer, serta
suctioning. Sebelum melakukan tindakan ini, penting bagi perawat untuk melakukan
komunikasi terapeutik untuk memberikan penjelasan terkait tujuan dan tindakan yang
akan dilakukan.

Contoh komunikasi tahap implementasi:

• “Mulailah dengan menajamkan mata, tenangkan pikiran Anda, buat tubuh Anda
serileks mungkin.”

• “Tarik napas melalui hidung dan keluarkan secara perlahan-lahan melaluimulut.”

e) Menerapkan komunikasi pada tahap evaluasi klien dengan gangguan kejiwaan


(kecemasan)

Tahap terakhir proses keperawatan adalah evaluasi. Aktivitas ini dilakukan


untuk mengukur pencapaian keberhasilan asuhan dan tindakan yang telah dilakukan.
Pada pasien kecemasan, komunikasi perlu dilakukan untuk mengetahui respons
subjektif pasien terkait tanda-tanda penurunan tingkat cemas dengan menurunnya tanda
dan gejala yang muncul.

Contoh komunikasi tahap evaluasi:

Perawat:

• “Bagaimanakah perasaan ibu setelah melakukan latihan relaksasi napas


dalam?”

• “Sebutkan tanda-tanda kecemasan yang sudah berkurang setelah melakukan


latihan teratur.”

B. Praktik Komunikasi Terapeutik pada Gangguan Jiwa

Ilustrasi Kasus
• Berikut ini kasus terkait gangguan jiwa.

• Seorang pasien wanita bernama Ina, usia 19 tahun, diantar ayahnya ke rumah

• sakit dengan keluhan sering menyendiri, tidak mau bergaul dengan orang lain, dan

• kadang-kadang menangis tanpa sebab. Kondisi ini terjadi setelah pasien putus
dengan pacarnya.

• Saat pengkajian pasien selalu menghindar, tidak bisa duduk berhadapan,

• dan menatap lawan bicara dan kadang-kadang mengunci diri di kamar.

Tugas:

• Bentuklah kelompok kecil (3—4 orang).

• Tentukan peran masing-masing sebagai pasien model, keluarga (model) dan

• peran perawat, serta observer.

• Gunakan format SP komunikasi.

• Diskusikan skenario percakapan SP komunikasi pada tahap pengkajian proses

• keperawatan.

• Praktikkan SP komunikasi yang sudah dibuat dengan cara bermain peran.

• Lakukan role play secara bergantian dan setiap anggota harus pernah berperan
sebagai perawat.

A. PERSIAPAN

1. Alat dan Bahan (Materi)


a. Kasus
b. Format SP komunikasi
c. Skenario SP komunikasi
d. Instrumen observasi
e. Pasien model
2. Persiapan Lingkungan

Mendesain lingkungan/setting tempat untuk interaksi (sesuai setting lokasi dalam


kasus misal: ruang perawatan, klinik, ruang konsultasi, atau rumah).

3. Pembagian Peran
a. Membentuk kelompok.

b. Menentukan peran: model pasien, model keluarga, dan peran perawat, serta
observer (sesuai skenario yang akan dikembangkan).

4. Pengembangan Skenario Percakapan (sesuai Format)

a. Fase orientasi.

b. Fase kerja.

c. Fase terminasi.

Contoh Strategi Pelaksanaan Komunikasi Fase Pengkajian

STRATEGI PELAKSANAAN (SP) KOMUNIKASI

Kondisi Pasien

Seorang pasien wanita bernama Ina, usia 19 tahun, diantar ayahnya ke rumah sakit
dengan keluhan sering menyendiri, tidak mau bergaul dengan orang lain, dan kadang-
kadang menangis tanpa sebab. Kondisi ini terjadi setelah pasien putus dengan pacarnya.
Saat pengkajian pasien selalu menghindar, tidak bisa duduk berhadapan, dan menatap
lawan bicara dan kadang-kadang mengunci diri di kamar.

Diagnosis/Masalah Keperawatan:

• Menarik diri.

Rencana Keperawatan:

1. Bina hubungan saling percaya.

2. Kaji penyebab menarik diri pasien.

3. Identifikasi kelebihan dan kekurangan diri pasien.

Tujuan:

• Pasien dapat mengembangkan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain.

SP Komunikasi

Fase Orientasi : (salam terapeutik, evaluasi/validasi, dan kontrak)

Perawat : “Selamat pagi, Mbak. Assalamualaikum”.

Pasien : (Diam dan menghindar).


perawat : “Bagaimana perasaan Mbak Ina hari ini?”

“Saya lihat Mbak Ina tampak kurang semangat hari ini”.

Pasien : (Diam dan menghindar/tidak menatap lawan bicara).

Perawat : “Tujuan saya datang ke Mbak Ina adalah akan melakukan pengkajian keperawatan
untuk mendapatkan data terkait dengan masalah Mbak Ina. Pemeriksaan yang akan
saya lakukan lebih kurang 15 menit, saya harap Mbak Ina dapat bekerja sama
dengan baik”.

Pasien : (Diam).

Perawat : Tempatnya di taman saja ya supaya lebih santai.

Pasien : (Diam).

Fase Kerja: (terkait dengan pemeriksaan yang akan dilakukan)

Perawat : “Coba ceritakan apa yang terjadi sehingga Mbak selalu menjauh dari

orang lain?”

Pasien : “Aku bodoh. Semua bodoh. Pengkhianat”.

Perawat : “Saya paham dengan masalah yang terjadi pada Mbak Ina, tetapi

masalah tidak akan selesai dengan hanya diam”.

Pasien : (Respons pasien diam).

Perawat : “Ceritakan kepada saya apa yang menyebabkan Mbak Ina mengurung diri dan tidak
mau bicara dengan orang lain”.

Pasien : “Aku ingin mati saja untuk apa hidup kalau untuk dikhianati”.

Perawat : “Saya sangat paham dengan perasaan Mbak. Untuk itulah, saya akan

membantu Mbak Ina”.

Pasien : “Pacar saya meninggalkan saya. Dia jahat. Dia sekarang bersama dengan sahabat
saya”.

Fase Terminasi :

Perawat : “Baiklah, terima kasih, telah mampu bekerja sama dengan saya dalam
rangka mengumpulkan data tentang masalah Mbak Ina. Setelah saya pelajari,
penyebab masalah Mbak Neny adalah ditinggal oleh pacar?”

Pasien : (Diam).

Perawat : “Mbak Ina harus bersabar dan meningkatkan kemampuan

penyelesaian masalah yang baik, lebih mencari kesibukan, dan

meningkatkan komunikasi”.

Pasien : “Aku harus bagaimana?”

Perawat : “Mbak harus belajar menerima kenyataan dan meningkatkan aktivitas”.

Pasien : (Diam).

Perawat : “Bagaimana perasaannya sekarang? Saya simpulkan bahwa penyebab

Mbak menyendiri adalah merasa marah karena pacar meninggalkan

Anda sendirian. Mbak mengalami masalah berduka (depresi) dan harus segera
diatasi”.

Pasien : (Diam).

Perawat : “Kita harus ketemu lagi, 1 jam lagi saya akan datang lagi untuk

membantu Mbak merencanakan tindakan untuk mengatasi masalah

ini”.

Pasien : “Terserah”.

Perawat : “Tempatnya di mana yang enak? Jam berapa?”

Pasien : “Iya”.

Perawat : “Setelah pertemuan ini Mbak harus mencoba terbuka dan mulai bicara

lagi dengan orang lain”.

B. PELAKSANAAN

1. Lakukan bermain peran secara bergantian dengan menggunakan SP komunikasi


pada anak menggunakan sesuai contoh di atas.
2. Selama proses bermain peran sebagai perawat, observer melakukan observasi
dengan menggunakan format observasi komunikasi terapeutik, berikan penilaian
secara objektif dan sampaikan hasilnya setelah selesai melakukan role play.

C. EVALUASI (PASCAPELAKSANAAN)

1. Ungkapkan perasaan Anda setelah melakukan latihan/praktik.

2. Identifikasi kelebihan dan kekurangan Anda selama proses interaksi/

komunikasi.

3. Mintalah masukan anggota tim untuk meningkatkan kemampuan Anda dalam


berinteraksi dan komunikasi.

4. Catat kekurangan untuk perbaikan pada masa yang akan datang dan

gunakan kelebihan Anda untuk meningkatkan motivasi Anda.

Petunjuk Evaluasi Latihan

Untuk melakukan evaluasi dari praktik komunikasi yang telah Anda lakukan
gunakan format penilaian yang telah disediakan. Hitung skor yang Anda peroleh,
apakah Anda puas dengan hasil yang dicapai? Ulangi jika penilaian Anda masih
kurang. Mengacu pada ilustrasi kasus pada latihan 1, lanjutkan untuk
mengembangkan SP komunikasi untuk latihan berikut ini seperti contoh pada fase
pengkajian dan tahapan komunikasi. Latihan 2 : Praktik Komunikasi Terapeutik pada
Gangguan Jiwa Fase Diagnosa Latihan 3 : Praktik Komunikasi Terapeutik pada
Gangguan Jiwa Fase PerencanaanLatihan 4 : Praktik Komunikasi Terapeutik pada
Gangguan Jiwa Fase Implementasi Latihan 5 : Praktik Komunikasi Terapeutik pada
Gangguan Jiwa Fase Evaluasi

Selanjutnya, lakukanlah praktik dengan melakukan role play bermain peran


sesuai SP yang telah dikembangkan dengan mengikuti langkah-langkah kegiatan
sebagai berikut.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Semua aktivitas perawatan selalu menggunakan komunikasi. Penerapan

komunikasi dilakukan pada setiap tahap proses keperawatan mulai pengkajian,diagnosa


keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi untuk menyelesaikan masalah
klien/pasien yang mengalami gangguan jiwa.Pada setiap fase dalam proses perawatan,
perawat harus menggunakan teknikteknik komunikasi terapeutik dan menggunakan strategi
pelaksanaan komunikasi meliputi fase-fase berhubungan terapeutik perawat-klien mulai
dengan fase praorientasi yang dilanjutkan dengan fase orientasi, kerja, dan terminasi.

B. Saran

1. Bagi perawat

Perawat harus dapat menjalin hubungan baik dengan pasien agar pasien dapat diajak
bekerja sama untuk menjalin hubungan yang baik dengan pasien agar pasien dapat
diajak bekerja sama untuk menjalankan proses kesembuhan. Pemahaman tentang
penggunaaan pola komunikasi yang tepat akan membantu perawat untuk menambah
pengetahuan dan referensi untuk melakukan praktik asuhan keperawatan dengan baik.
Berbekal ilmu dan pengalaman akan membantu perawat memahami dan menambah
wawasan mengenai asuhan keperawatan yang baik, khususnya bagi pasien jiwa yang
disebutkan memiliki tingkat ysng lebih sulit dibanding pasien umum dalam hal
membangun hubungan terapeutik.

2. Bagi Tempat Pelayanan Kesehatan

Tempat Pelayanan Kesehatan sebaiknya memberikan pelatihan secara


berkelanjutan tentang komunikasiefektif agar perawat dapat menerapkan komunikasi
efektif serah terima lebih baik lagi.

3. Bagi Studi Sarjana Terapan Keperawatan

Mahasiswa sebaiknya dapat menambah bahan kajian mengenai komunikasi

4. Bagi masyarakat
Seluruh masyarakat dituntut untuk menjaga kondisi siri dengan baik, baik secara fisik
maupun jiwa. Bagi setiap orang yang memliki masalah, diharapkan untuk tidak malu atau
canggung untuk sharing dengan orang lain yang tepat agar dapat membantu memecahkan atau
meringankan beban masalah. Wajib bagi setiap orang untuk menjaga kerabat yang terkena
gangguan jiwa pasca dirawat dari rumah sakit. Jangan memandang sebelah mata atau
meremehkan mereka yang terkena gangguan jiwa
MAKALAH KOMUNIKASI
PRAKTIK KOMUNIKASI EFEKTIF UNTUK KESELAMATAN PASIEN
Dosen Pengampu: Bapak Sutedjo,M Kep.,Sp.Kep.J

Disusun oleh:

1. Dyahajeng Retno Wulansari (P07120221026)


2. Karmila Ismawati (P07120221007)
3. Via Novita Sari (P07120221019)

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN+PROFESI NERS


POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2021/2022
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Komunikasi dalam praktek keperawatan profesional merupakan unsur utama bagi


perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan dalam mencapai hasil yang optimal
dalam kegiatan keperawatan. Komunikasi adalah bagian dari strategi koordinasi yang
berlaku dalam pengaturan pelayanan di rumah sakit khususnya pada unit keperawatan.
Komunikasi terhadap berbagai informasi mengenai perkembangan pasien antar profesi
kesehatan di rumah sakit merupakan komponen yang fundamental dalam perawatan
pasien (Suhriana, 2012). Komunikasi yang efektif dalam lingkungan perawatan
kesehatan membutuhkan pengetahuan, keterampilan dan empati. Ini mencakup
mengetahui kapan harus berbicara, apa yang harus dikatakan dan bagaimana
mengatakannya serta memiliki kepercayaan diri dan kemampuan untuk memeriksa
bahwa pasien telah diterima dengan benar.
Pelaksanaan komunikasi yang efektif bagi perawat , dimulai dari elemen
terkecil dalam organisasi yaitu pada tingkat "First Line Manager" (kepala ruang),
karena produktifitas (jasa) berada langsung ditangan individuindividu dalam kerja tim.
Namun demikian komitmen dan dukungan pimpinan puncak dan stakeholder lainnya
tetap menjadi kunci utama. Bertemunya persepsi yang sama antara dua komponen
tersebut dalam menentukan sasaran dan tujuan, merupakan modal utama untuk
meningkatkan kinerja dalam suatu organisasi. Menentukan tingkat prestasi 2 melalui
indikator kinerja klinis akan menyentuh langsung faktor -faktor yang menunjukkan
indikasi-indikasi obyektif terhadap pelaksanaan fungsi/tugas seorang perawat , sejauh
mana fungsi dan tugas yang dilakukan memenuhi standar yang ditentukan.
Keselamatan pasien merupakan salah satu isu penting dalam penyelenggaran
pelayanan kesehatan di rumah sakit. Rumah sakit merupakan institusi yang penuh
dengan aktifitas dan manusia. Pekerja, pasien, pengunjung, dan masyarakat perlu
mendapat perlindungan dari kecelakaan dan penyakit. Komunikasi mempengaruhi
kesalahan pengobatan sebesar 19%. Komunikasi yang efektif harus diselenggarakan
dalam upaya penerapan Sembilan elemen keselamatan pasien
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan komunikasi efektif pada keselamatan pasien?
b. Apa saja tipe dan saluran pada komunikasi?
c. Bagaimana pelaksanaan komunikasi yang efektif dengan metode SBAR pada keselamatan pasien.
C. Tujuan
• Tujuan Umum
Mengetahui pelaksanaan komunikasi efektif metode SBAR (Situation, Background,
Assessment, Recommendation) perawat untuk keselamatan pasien.
• Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik responden pada perawat di RSU.
b. Mengetahui pelaksanaan komunikasi efektif pada aspek Situation pada perawat
di RSU.
c. Mengetahui pelaksanaan komunikasi efektif pada aspek background pada
perawat di RSU.
d. Mengetahui pelaksanaan komunikasi efektif pada aspek Assessment pada
perawat di RSU.
e. Mengetahui pelaksanaan komunikasi efektif pada aspek Recommendation pada
perawat di RSU.
D. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat membantu proses pembelajaran dan dapat
mengaplikasikan ilmu pengetahuan khususnya terhadap ilmu managemen keperawatan tentang
pelaksanaan komunikasi efektif SBAR perawat di RSU.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
a) Definisi Komunikasi Efektif
Komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh
seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa merupakan
gagasan, informasi, opini dan lain-lain yang muncul dari benaknya. Perasaan bisa
berupa keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian dan
sebagainya yang timbul dari lubuk hati (Effendy, 2006).
Komunikasi yang efektif menggabungkan satu set keterampilan termasuk
komunikasi nonverbal, keterampilan mendengarkan, mengelola stres pada saat itu,
kemampuan untuk berkomunikasi tegas, dan kemampuan untuk mengenali dan
memahami emosi sendiri dengan orang-orang yang sedang diajak untuk
berkomunikasi. Komunikasi yang efektif adalah lem yang membantu memperdalam
hubungan dengan orang lain dan meningkatkan kerja sama tim, pengambilan
keputusan, dan pemecahan masalah (Robinson, et al, 2016)
b) Definisi Keselamatan Pasien
Keselamatan pasien merupakan masalah kesehatan masyarakat global yang
serius. Estimasi menunjukkan bahwa di negara-negara maju sebanyak satu dari 10
pasien yang dirugikan ketika menerima perawatan di rumah sakit. Dari setiap seratus
100 pasien dirawat di rumah sakit pada 24 waktu tertentu, 7 di negara maju dan 10 di
negara berkembang akan memperoleh infeksi terkait perawatan kesehatan (WHO,
2014).
Keselamatan pasien saat ini merupakan hal yang penting diterapkan dalam
suatu rumah sakit. Terdapat lima hal yang berkaitan dengan keselamatan (safety) di
rumah sakit yaitu keselamatan pasien (patient safety), keselamatan pekerja atau petugas
kesehatan, keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit yang dapat berdampak
terhadap keselamatan pasien dan petugas, serta keselamatan lingkungan (green
productivity) dan keselamatan bisnis rumah sakit yang berkaitan dengan
keberlangsungan perkembangan rumah sakit. Kelima aspek keselamatan tersebut
sangatlah penting untuk dilaksanakan di setiap rumah sakit (Depkes, 2007).
B. Tipe komunikasi
Beberapa tipe klasifikasi komunikasi yang sering digunakan oleh seorang komunikator
menurut Cangara, H (2004) terdiri dari komunikasi intrapersonal, komunikasi
interpersonal, komunikasi public, dan komunikasi massa.
1) Komunikasi Intrapersonal
Komunikasi Intrapersonal adalah komunikasi yang terjadi di dalam diri sendiri yang
terdiri atas sensai, persepsi, memori, dan berpikir. Komunikasi interpersonal
merupakan keterlibatan internal secara aktif individu dalam pemrosesan simbolik
dari pesan-pesan.
2) Komunikasi interpersonal
Komunikasi interpersonal adalah proses pengiriman pesan antara dua orang atau
lebih dengan efek dan feedback langsung. Komunikasi interpersonal memiliki sifat
dua arah yang melibatkan dua orang dalam situasi interaksi, ada unsur dialogis dan
ditujukan kepada sasaran terbatas dan dikenal.
3) Komunikasi Public
Komunikasi public merupakan suatu proses komunikasi dimana pesan yang
disampaikan pembicara dalam situasi tatap muka di depan khalayak yang lebih
besar dengan tujuan menumbuhkan semangat 11 kebersamaan, memberikan
informasi, mendidik, serta mempengaruhi orang lain dalam upaya menumbuhkan
semangat.
4) Komunikasi Massa
Komunikasi massa adalah komunikasi yang berlangsung dimana pesan yang
dikirim dari sumber yang melembaga kepada khalayak yang sifatnya misal melalui
alat-alat yang bersifat mekanis. Penyebaran pesan melalui media maka terkandung
unsur menyiarkan informasi, mendidik, dan menghibur. Pesan yang disampaikan
berlangsung cepat, serempak, luas, mampu mengatasi jarak dan waktu serta tahan
lama bila didokumentasikan.
C. Saluran Komunikasi
a. Media lisan
Pesan yang disampaikan melalui media lisan dapat dilaksanakan dengan
menyampaikan sendiri (in person), melalui telepon, mesin dikteatau videotape.
Penerima bisa seorang diri, kelompok kecil, kelompok besar atau massa.
Keuntungan media lisan antara lain:
a. Mendapat tanggapan langsung entah berupa pernyataan ataupun sekedar
permintaan penjelasan
b. Memungkinkan disertai nada atau warna suara, gerak-gerik tubuh, raut wajah
b. Media tertulis
Pesan yang disampaikan secara tertulis dapat disampaikan melalui surat, memo,
laporan, hand-out, selebaran, catatan, poster, gambar, grafik dan lain-lain.
Keuntungan dari media tertulis antara lain:
a. Ada catatannya sehingga data dan informasi tetap utuh tidak dapat berkurang
atau bertambah seperti informasi lisan
b. Memberi waktu untuk dipelajari isinya, cara penyusunannya dan rumusan kata-
katanya.
c. Media elektronik Pesan yang disampaikan secara elektronik dilakukan melalui
faksimili, email, radio, televisi. Keuntungan dari media elektronik antara lain:
a) Prosesnya cepat
b) Datanya dapat disimpan
BAB III
PEMBAHASAN
A. Penerapan Komunikasi Metode SBAR untuk Keselamatan Pasien
1. Situation
Situation merupakan kondisi terkini yang terjadi pada pasien. Untuk mengetahui kondisi
pasien saat ini dapat dilakukan dengan sebutkan nama pasien, umur, tanggal masuk, dan
hari perawatan, serta dokter yang merawat. Mentebutkan diagnosa medis yang sudah atau
belum diatasi sebelumnya. Contoh penerapan:
a) Pemindahan pasien :
Pada saat pemindahan pasien melengkapi format dengan mengisi tanggal, waktu, dari
ruang asal ke ruang tujuan pemindahan.
b) Diagnosa medis :
Diagnosa medis diisi dengan diagnosa medis yang terakhir diputuskan oleh dokter dan
tim medis lainnya yang merawat pasien.
c) Masalah utama keperawatan saat ini, dengan mengisi masalah keperawatan pasien
secara aktual pada pasien yang wajib dilanjutkan diruangan yang baru.
2. Background
Background merupakan info penting yang berhubungan dengan kondisi terkini pasien.
Dapat dilakukan dengan mnjelaskan intervensi yang telah dilakukan dan respons
pasien dari setiap diagnosis keperawatan, menyebutkan riwayat alergi, riwayat
pembedahan, pemasangan alat invasif, dan obat – obatan termasuk cairan infus yang
digunakan, menjelaskan intervensi yang telah dilakukan dan respon pasien dari setiap
diagnosis keperawatan, menyebutkan riwayat alergi, riwayat pembedahan,
pemasangan alat invasif, dan obat – obatan termasuk cairan infus yang digunakan,
menjelaskan pengetahuan pasien dan keluarga terhadap diagnosis medis.
Contoh penerapan:
a) Riwayat alergi/reaksi obat :
Riwayat alergi diisi dengan alergi jenis apa yang diderita atau jenis reaksi
terhadap obat tertentu pada pasien dulu sampai sekarang.
b) Hasil investigasi abnormal :
Hasil investigasi yang tidak normal diisi dengan keadaan abnormal atau keluhan
saat pasien datang ke RS sehingga mengharuskan pasien tersebut menerima
perawatan.
3.Assessment
Assesment merupakan hasil pengkajian dari kondisi pasien saat ini. Dapat dilakukan
dengan menjelaskan secara lengkap hasil pengkajian pasien terkini seperti tanda vital,
skor nyeri, tingkat kesadaran, status restrain, risiko jatuh, status nutrisi, kemampuan
eliminasi, dan lain – lain dan menjelaskan informasi klinik lain yang mendukung.
Contoh penerapan:
a) Observasi terakhir, Hasil pemeriksaan terakhir diisi dengan vital sign dan tingkat
b) Kesadaran pasien secara numerik. contoh : E 3, V 4, M 5
c) BAB dan BAK, diet, mobilisasi, dan alat bantu dengar, diisi sesuai keadaan
pasien
d) Luka decubitus : isi dengan kondisi saat ini (misalnya terdapat pus, kematian
jaringan dan lain-lain dilengkapi dengan llokasi dan ukurannya.
e) Mengisi peralatan khusus yang diperlukan misalnya WSD, colar brace, infuse
pump dan lain-lain.
4. Recommendation
Recommendation merupakan kegiatan merekomendasikan intervensi keperawatan
yang telah dan perlu dilanjutkan termasuk discharge planning dan edukasi pasien dan
keluarga.
a) Konsultasi, Dengan mengisi rencana konsultasi dan fisioterapi dengan
mengisi rencana fisioterapi
b) Obat bekas dan barang-barang bekas lainnya : Dengan mangisi jumlah
barang atau obat bekas.

B. Penerapan Komunikasi Terapeutik pada Keselamata Pasien

Penerapan komunikasi terapeutik oleh perawat ini dihubungkan dengan


peningkatan rasa saling percaya antara pasien dan perawat, apabila penerapannya
kurang akan mengakibatkan pada hubungan yang kurang baik yang akan berdampak
pada ketidakpuasan pasien. Pasien akan merasakan kepuasan saat kinerja layanan
kesehatan yang mereka terima melebihi harapan (Rorie, 2014). Komunikasi yang buruk
merupakan penyebab yang paling sering ditemukan, yang memberikan dampak
masalah dalam identifikasi pasien, pengobatan dan transfusi, prosedur operasi, dimana
semua hal tersebut dapat meningkatkna resiko insiden keselamatan pasien (Ulva, 2017).
Keberhasilan penerapan komunikasi terapeutik dipengaruhi oleh faktor usia,
tingkat pendidikan, lama bekerja, pengetahuan, kepercayaan, sikap, ketersediaan
peraturan kerja, dan dukungan eksternal (Budiman, 2013). Dengan begitu,pada jurnal
yang kami temukan yang menerapkan komunikasi pada kategori kurang termasuk
kedalam rentang usia 21-40 dan usia 41-50 tahun,sedangkan komunikasi terapeutik
yang cukup berada pada rentang usia 21 – 40 tahun dan sebagian besar berada pada
rentang usia 41-50 tahun.
Dari data ini dapat kita lihat bahwa semakin bertambah usia seseorang akan
semakin meningkatkan kemampuan komunikasi, hal ini juga akan terkait dengan lama
bekerjanya. Semakin banyak usianya, maka dapat kita analogikan semakin lama pula
dia bekerja. Semakin lama perawat itu bekerja, maka semakin banyak pula
pengalamannya. Pengalaman sendiri merupakan sumber pengetahuan atau satu cara
untuk memperoleh kebenaran pengetahuan, oleh karena pengalaman bekerja (yang
diperoleh dari lama bekerja) dapat digunakan sebagai upaya untuk memperoleh
pengetahuan (Budiman, 2013).
Contoh Komunikasi Keselamatan Pasien
Komunikasi telpon:
assalamualaikum dokter.
- perawat melaporkan status pasien
(SITUATION)
“Dengan suster …. Dari rumah sakit cempaka ruangan melati ingin menginformasikan
dokter ada pasien baru dengan diare akut kiriman ugd. Datang dengan keluhan buang
buang air kurang lebih 10x, nyeri uluh hati,ada mual ada muntah dok.

(BACKGROUND)
Pasien tersebut Bernama nyonya A, Berumur 30 th. Dan darah terakhir tensinya 110/70.
Nadinya 100. Pernafasannya 20 dokter. Dari hasil labnya terlihat di sini hb nya 10,5
lekositnya 13.000, hematokret 45, trombositnya 200 dok.”

(ASSESSMENT)
“Untuk saat ini saya menduga dok ibu ini mengalami efek samping dari mengkonsumsi
obat obatan diet dok”.

- Perawat mencatat perintah secara lengkap/hasil pemeriksaan.


(RECOMENDATION)

- Perawat membacakan Kembali catatan tersebut


“Baik dokter saya bacakan ulang intruksi dokter ya dok. Untuk RL infusnya 6
jam/kolef, Kemudian, mediator 3x2, antibiotiknya 2x1 dokter”.
- Perawat mengkonfirmasikan ulang perintah dokter tersebut.
“Baik dokter intruksinya akan saya ulang ya dok, untuk infusnya RL 6 jam/kolef,
mediator 3x2, antibiotiknya 2x1 ya dokter”.

“Baik terimakasih banyak dokter. Assalamualaikum”


Ingatlah LACABAK
1. LAPOR
2. CATAT
3. BACA KEMBALI
4. KONFIRMASI ULANG
Atau catat di folmulir CPPT, lalu di beri cap read back, dan di tandatangani oleh
DPJP/pemberi intruksi.
Komunikasi Langsung:
A: pagi mba
B: pagi
A: saya perawat … mau operan pasien ya
B: iya mba
A: operan dari ruang melati akan melaporkan pasien Bernama nyonya A. dengan tgl
lahir 3 agustus 1991 , dengan jenis kelamin perempuan dari ruang melati ya, hendak
melaporkan pasien atas nama tersebut saat ini kondisinya sudah baik, kemudian
kesadarannya CM, tensinya 109/80 mmhg. Nadinya 83x/menit, RR 21X/Menit,
suhunya 36,5 c, SPO2 99%. Pasien saat ini masi lemas belum mampu untuk berjalan .
kemudian pasien baru selesai di lakukan penyuntikan antibiotic , terpasang infus RL
20 ttm dalam sehari.
Menurut saya kondisi pasien saat ini sudah setabil. Nanti rekomendasinya tolong
pindahkan pasien denga naman. Pasien masi lemah. Kemudian jangan lupa pasang
kateter jika pasien belum bisa berjalan.
Bagaimana?
B: “Baik mba saya ulang ya”.
A: “Iya”.
B: “Tensi pasien saat ini 109/80 mmhg. Nadinya 83x/menit, RR 21X/Menit, suhunya
36,5 c, SPO2 99%. Pasien saat ini masi lemas belum mampu untuk berjalan . kemudian
pasien baru selesai di lakukan penyuntikan antibiotic , terpasang infus RL 20 ttm dalam
sehari. Menurut saya kondisi pasien saat ini sudah setabil. Nanti rekomendasinya tolong
pindahkan pasien denga naman. Pasien masi lemah. Kemudian jangan lupa pasang
kateter jika pasien belum bisa berjalan”.
A: “Ya benar”.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Komunikasi adalah Proses mengubah prilaku orang lain. Teknik komunikasi,
yaitu cara yang digunakan dalam menyampaikan informasi dari komunikator ke
komunikan dengan media tertentu. Agar jalannya komunikasi berkualitas, maka
diperlukan suatu pendekatan komunikasi yaitu pendekatan secara ontologis,
aksiologis, epistemologis. Terdapat lima prinsip komunikasi diantaranya respect,
emphaty, audible, claeity, humble. Komunikasi juga memiliki beberapa fungsi,
diantaranya Fungsi informasi, Fungsi ekspresi, Fungsi control, Fungsi sosial, Fungsi
ekonomi. Penerapan komunikasi terapeutik oleh perawat ini dihubungkan dengan
peningkatan rasa saling percaya antara pasien dan perawat. Keberhasilan penerapan
komunikasi terapeutik dipengaruhi oleh faktor usia, tingkat pendidikan, lama bekerja,
pengetahuan, kepercayaan, sikap, ketersediaan peraturan kerja, dan dukungan
eksternal.

B. Saran
Setiap tenaga kesehatan terutama perawat menerapkan komunikasi metode
SBAR dalam setiap aspek pelayanan kepada pasien terutama pada keselamatan pasien.

PERTANYAAN
1. Nama : Ratu Felisha Balqis
Pertanyaan : Aspek apakah yang perlu diperhatikan seorang perawat dalam
berkomunikasi secara efektif dengan pasien?
Jawaban : Yang perlu di perhatikan yaitu sikap perawat dalam komunikasi, pesan isi
informasi yang akan disampaikan dan teknik dalam komunikasi

2. Nama : Halimatus’sadiyah
Pertanyaan : Saluran komunikasi diantaranya ada media lisan,tertulis dan elektronik nah
menurut pendapat kelompok kamu itu media yang baik digunakan pada komunikasi itu yang
mna dan alasannya knp?
Jawaban : Lisan,karena komunikasi lisan lebih mudah dipahami,saat kita
berkomunikasi lisan tentunya membutuhkan tatap muka dimana saat kita berkomunikasi dapat
lebih luas menjelaskan dengan mimik wajah yg tertera dan meminimalisir adanya kesalah
pahaman
PRAKTIK KOMUNIKASI ANTAR PROFESIONAL PEMBERI ASUHAN (PPA) DI
CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN TERINTEGRASI (CPPT)

DISUSUN OLEH :

1. Al Zulva Hafifah I. T. (P07120221017)


2. Sagita Widya Ashari (P07120221023)
3. Salamatussa`diyah (P07120221001)

PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN PROFESI NERS

JURUSAN KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA

2021/2022
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Komunikasi merupakan kunci utama dalam menjalin suatu hubungan yang baik
antar manusia. Komunikasi efektif merupakan unsur utama dari sasaran keselamatan
pasien karena komunikasi adalah penyebab yang dapat menimbulkan masalah
keselamatan pasien jika tidak berjalan dengan baik . Oleh karena itu komunikasi efektif
perlu ditekankan dengan kuat pada setiap program perawatan kesehatan demi menjamin
kepuasan dan keselamatan pasien. Berdasarkan hasil penelitian World Health
Organization (WHO) bahwa 70-80% kesalahan yang terjadi di pelayanan kesehatan
disebabkan oleh rendahnya kualitas komunikasi dan pemahaman anggota tim yang
masih kurang. Kolaborasi tim yang efektif dapat mengurangi masalah yang terjadi pada
keselamatan pasien.
Komunikasi di rumah sakit tidak hanya dilakukan secara tatap muka melainkan
juga melalui suatu media komunikasi yang ada di rumah sakit yang disebut dengan
rekam medis. Sehingga untuk mempermudah proses komunikasi dalam memantau
riwayat kesehatan seseorang, setiap professional pemberi asuhan (PPA) diwajibkan
untuk membuat rekam medis pasien. Rekam Medis adalah berkas yang berisikan
catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan
pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien (Permenkes RI Nomor 269 Tahun
2008). Berkas rekam medis merupakan salah satu media komunikasi verbal secara
tertulis yang digunakan oleh dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya yang dapat
menunjang pelaksanaan kolaborasi interprofesi. Rekam medis sebagai sarana
komunikasi dapat menyatukan data pelayanan kesehatan pasien secara komprehensif
serta sebagai sumber informasi bagi setiap profesi dalam pengambilan keputusan.
Menurut Mishra dalam Lestari et al (2017), sistem pencatatan rekam medis
yang tidak terintegrasi dapat mengakibatkan tidak efisiennya antara unit dan unit
lainnya dalam merekam data karena dibuat berulang dan terpisah-pisah mulai dari
pendaftaran, poliklinik dan pelaporan di rekam medis. Sedangkan rekam medis yang
terintegrasi memberikan kemudahan bagi tenaga interprofessional dalam membuat
keputusan yang korektif dan keputusan klinis pada saat menganalisa dan merawat
kondisi pasien. Berdasarkan Komite Akreditasi Rumah Sakit di Indonesia, model
rekam medis terintegrasi merupakan standar penilaian mutu rumah sakit. Berdasarkan
kenyataan yang terjadi, rumah sakit perlu mengembangkan catatan kesehatan pasien
yakni menjadi rekam medis yang terintegrasi. Salah satu bagian dari rekam medis
terintegrasi adalah pelaksanaan formulir catatan perkembangan pasien terintegrasi
(CPPT).
Kelengkapan dokumen rekam medis dapat menunjang komunikasi yang efektif
dengan dilakukannya analisis kualitatif dan kuantitatif yang merupakan kegiatan
menilai kelengkapan isi dan kekonsistenan mutu suatu rekam medis. Kelengkapan
dokumen rekam medis sangat penting sebab dapat mempengaruhi proses pengobatan
dan pelayanan kesehatan pasien. Salah satu faktor yang mempengaruhi kelengkapan
rekam medis yaitu kurangnya komunikasi antar profesi yakni misalnya dokter dengan
perawat terkait masalah instruksi pengobatan pasien, dokter dengan apoteker terkait
masalah penyediaan obat untuk pasien, dsb. Dengan demikian peran rekam medis
sangat penting dalam terkoordinasinya pelayanan kesehatan bagi setiap pofesi dan
terjalinnya hubungan yang baik antar profesi di rumah sakit.
B. Tujuan
a. Tujuan Umum
Secara umum tujuan penyusunan pedoman komunikasi efektif ini adalah
memberikan pengetahuan dan pedoman bagi petugas, perawat dan dokter tentang
bagaimana cara berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya.
b. Tujuan Khusus
1. Agar petugas, perawat dan dokter dapat melakukan komunikasi yang efektif
dengan pasien dan keluarganya
2. Agar professional pemberi asuhan keperawatan dapat memenuhi kebutuhan
pasien dengan baik
3. Menghindarkan kesalah pahaman yang bisa menimbulkan dugaan malpraktik
C. Manfaat
a. Manfaat Teoritis
Makalah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu Pendidikan.Khususnya
Pendidikan keperawatan yaitu dalam hal berkomunikasi dengan para pemberi
asuhan lainnya agar terpenuhinya kebutuhan pasien.
b. Manfaat Praktis
1. Bagi perawat
Makalah ini diharapkan sebagai sumber pengetahuan khusunya dalam hal
komunikasi efektif yang dapat dilakukan perawat kepada para pemberi asuhan
lainnya ataupun kepada pasien dan keluarganya dalam rangka proses pemenuhan
kebutuhan pasien.
2. Bagi tempat layanan kesehatan
Makalah ini diharapkan dapat memberi masukan ilmu pengetahuan sehingga
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menerapan komunikasi
efektif anatara Para Pemberi Asuhan Keperawatan (PPA) dalam Catatan
Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT) di layanan kesehatan yang ada.
3. Bagi progam studi Sarjana Terapan Keperawatan
Menambahkan pustaka dan bahan kajian ilmiah, sehingga dapat menambah ilmu
pengetahuan dan wawasan pembaca khususnya mahasiswa progam studi Sarjana
Terapan Keperawatan mengenai komunikasi efektif antara Para PemberiAsuhan
(PPA) dalam penyusunan Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT).
4. Bagi Masyarakat
Diharapkan setelah tersusunnya makalah ini masyarakat dapat megetahui
bagaimana proses dan strategi komunikasi efektif yang dilakukan oleh PPA
dalam penyusunan CPPT.
BAB II

TINJAUAN TEORI
A. Komunikasi Efektif Antar PPA
1) Pengertian Komunikasi Efektik Antar PPA
Suarli (2014) mendefinisikan komunikasi sebagai suatu pertukaran pikiran,
perasaan, pendapat dan pemberian nasihat yang terjadi antara duaorang atau lebih
yang bekerja bersama. Komunikasi juga merupakan suatu seni untuk dapat
menyusun dan merupakan suatu seni untuk dapat menyusun dan menghantarkan
suatu pesan dengan cara yang gampang sehingga orang lain dapat mengerti dan
menerima. Dokumentasi dalam rekam medis merupakan sarana komunikasi antar
profesi kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Komunikasi yang
dimaksud adalah komunikasi antar profesi yang bertujuan untuk mencegah
kesalahan informasi, koordinasi interdisipliner, mencegah informasi berulang,
membantu perawat dalammanajemen waktunya (Klehr, 2009).
Dokumentasi asuhan keperawatan merupakan media komunikasi yang sangat
efektif antara perawat dengan perawat, antara perawat dengan dokter, dan antara
perawat dengan profesi lain. Sehingga jika hal ini tidak menjadi perhatian bagi
tenaga kesehatan maka komunikasi yang dibangun akan terputus dalam
memberikan asuhan keperawatan (Merelli, 2000).
Pelayanan yang berfokus pasien membutuhkan dokumentasi terintegrasi yang
mewajibkan setiap profesi melakukan pencatatan pada dokumen yang sama.
Metode ini diharapakan dapat meningkatkan komunikasi yang efektif antar profesi,
pencatatan dapat dilakukan lebih optimal karena semua profesi menulis pada
dokumen yang sama meminimalkan mis komunikasi, menurunkan angka kejadian
tidak diharapkan dan pada akhirnya itu semua bertujuan untuk meningkatkan
keselamatan pasien dan berdampak pada peningkatan mutu pelayanan (Frelita,
Situmorang & Silitonga, 2011).
2) Hambatan dalam berkomunikasi
• Hambatan fisik, komunikasi melintasi ruangan dengan cara berteriak –teriak,
atau komunikasi dengan beda lokasi antara pembicara dengan pendengar.
• Hambatan persepsi, beda dalam menggunakan istilah kata.
• Hambatan emosi, perasaan tidak senang dalam berkomunikasi.
• Hambatan budaya, budaya dapat menghambat komunikasi.
• Hambatan bahasa,kata yang dipergunakan dalam komunikasi
mengandung bahasa yang kurang di mengerti oleh pendengar
3) Dampak Salah Dalam Berkomunikasi
✓ Menimbulkan kejadian yang tidak diharapkan, hal ini disebabkan karenasalah
dalam mengambil tindakan.
✓ Menimbulkan konflik antara penyampai berita dengan penerima berita. Hal
ini dapat mempengaruhi mutu pelayanan medis yang dilaksanakan di Rumah
sakit.
✓ Komunikasi antar petugas/pemberi pelayanan di dalam (internal) dankeluar
(eksternal) rumah sakit.
B. Pendokumentasian Asuhan Terintegrasi
1) Pengertian Pendokumentasian Asuhan Terintegrasi
Asuhan terintegrasi adalah suatu kegiatan tim yang terdiri dari dokter,
perawat/bidan, nutrisionis dan farmasi dalam menyelenggarakan asuhan yang
terintergrasi dalam satu lokasi rekam medis, yang dilaksanakan secara kolaborasi
dari masing-masing profesi. Pelayanan terintegrasi berorientasi pada kepentingan
pasien dan tidak didominasi oleh satu profesi tertentu, seperti dulu dokter
merupakan pelaksana asuhan tunggal. Profesi saat ini telah berkembang sangat
pesat sehingga tak mungkin lagi dikuasai secara penuh ilmunya oleh para dokter.
Tentunya hal ini akan berdampak sangat positif terhadap mutu pelayanan kesehatan
(Sutoto, 2015).
Dokumentasi proses asuhan keperawatan merupakan tampilan perilaku atau
kinerja perawat pelaksanan dalam memberikan proses asuhan keperawatan kepada
pasien selama pasien dirawat di rumah sakit. Kualitas pendokumentasian
keperawatan dapat dilihat dari kelengkapan dan keakuratan menuliskan proses
asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien, yang meliputi pengkajian,
diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan evaluasi (Nursalam, 2007). Bila
terjadi suatu masalah yang berhubungan dengan profesi keperawatan, dimana
perawat sebagai pemberi jasa dan klien sebagai penggunajasa, maka dokumentasi
proses asuhan keperawatan diperlukan, dimana dokumentasi tersebut dapat
dipergunakan sebagai barang bukti di pengadilan (Hidayat, 2004).
2) Tujuan Pendokumentasian Asuhan terintegrasi
• Meningatkan mutu pelayanan pada keadaan klinis dan lingkungan
tertentu bekerja sama dengan tim multidisiplin
• Mengurangi jumlah intervensi yang tidak perlu atau berbahaya
• Memberikan opsi pengobatan dan perawatan terbaik dengan
keuntungan maksimal
• Menghindari terjadinya medication eror secara dini dan mis
komunikasi.
• Memberikan opsi pengobatan dengan risiko terkecil
• Memberikan tata laksana asuhan dengan biaya yang memadai
Dokumentasi yang terintegrasi dapat dijadikan bukti tertulis dari
kegiatan yang telah dilakukan oleh tenaga kesehatan multidisiplin yang
ada diruangan rawat inap. Dokumentasi yang dikatakan lengkap apabila
pencatatan yang dilakukan oleh dokter, perawat, farmasi dan nutrisioni
jika sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh rumah sakit,
sehingga mampu melindungi tenaga kesehatan terhadap permasalahan
hukum yang terjadi (Hariyati, 2014).
3) Standar Dokumentasi Asuhan Keperawatan
Standar dokumentasi asuhan keperawatan menurut DepKes (2005) sesuai
Instrumen “A” adalah sebagai berikut:

1. Pengkajian
• Mendokumentasikan data yang dikaji sesuai dengan pedoman
pengkajian
• Data dikelompokkan (bio-psiko-sosio-spritual)
• Data dikaji sejak klien mulai masuk sampai pulang
• Masalah dirumuskan berdasarkan masalah kesenjangan antara status
kesehatan dengan norma dan pola fungsi kehidupan
2. Diagnosis
• Diagnosis keperawatan berdasarkan masalah yang telah dirumuskan
• Diagnosis keperawatan mencerminkan PE/PES
• Merumuskan diagnosis keperawtan aktual/potensial.
3. Perencanaan
• Berdasarkan diagnosis keperawatan
• Disusun menurut urutan prioritas
• Rumusan tujuan mengandung komponen klien/subjek, perubahan,
perilaku, kondisi klien, dan atau kriteria.
• Rencana intervensi mengacu pada tujuan dengan kalimat perintah,
terinci, dan jelas, dan atau melibatkan klien/keluarga
• Rencana intervensi menggambarkan keterlibatan klien/keluarga
• Rencana intervensi menggambarkan kerja sama dengan tim kesehatan lain.
4. Intervensi
• Intervensi dilaksanakan mengacu pada rencana asuhan keperawatan
• Perawat mengobservasi respon klien terhadap intervensi keperawatan
• Revisi intervensi berdasarkan hasil evaluasi
• Semua intervensi yang telah dilaksanakan didokumentasikan denganringkas
dan jelas.
5. Evaluasi
• Evaluasi mengacu pada tujuan
• Hasil evaluasi didokumentasikan dengan penulisan SOAP (Subyektif,
obyektif, assesment, dan plan)
• Pada catatan SOAP menyediakan tentang keadaan fisik, statuspendidikan
klien,dan status mental klien
• Evaluasi respon klien terhadap intervensi dicatat untuk mendukung data
• Pergunakan “A” (assesment) tidak hanya untuk mencatat analisapengkajian
tetapi juga evaluasi respon klien terhadap intervensi
• Pergunakan “P” (plan) dapat dinyatakan sebagai standar tindakan
keperawatan.
6. Dokumentasi
• Menulis pada format yang baku
• Pendokumentasian dilakukan sesuai dengan intervensi yang
dilaksanakan
• Pendokumentasian ditulis dengan jelas, ringkas, istilah yang baku dan
benar.
• Setiap melakukan intervensi/kegiatan perawat mencantumkan paraf
dan nama dengan jelas, serta tanggal dan waktu dilakukannya
intervensi.
• Berkas catatan keperawatan disimpan dengan ketentuan yang berlaku.
4) Karakteristik dalam Pendokumentasian
Potter & Perry (2011), mengkategorikan dokumentasi asuhan keperawatan yang
berkualitas mengandung beberapa karakteristik penting antara lain:
❖ Lengkap
Seluruh data yang diperlukan untuk mengidentifikasi masalah keperawatan
klien dicatat dengan terperinci. Data yang terkumpul harus lengkap, guna
membantu mengatasi masalah klien yang adekuat.
❖ Akurat dan nyata
Dalam pengumpulan data ada kemungkinan terjadi salah paham. Untuk
mencegah hal tersebut, maka perawat harus berpikir akurasi dan nyata
untuk membuktikan benar tidaknya apa yang telah didengar, dilihat,
diamati, dan diukur melalui pemeriksaan ada tidaknya validasi terhadap
semua data yang mungkin meragukan.
❖ Relevan
Pencatatan data yang komprehensif biasanya banyak data yang harus
dikumpulkan, sehingga menyita waktu perawat untuk mengidentifikasi.
Kondisi seperti ini bisa diantisipasi dengan membuat data komprehensif
tetapi singkat dan jelas. Mencatat data yang relevan sesuai dengan masalah
klien yang merupakan datafokus terhadap klien sesuai dengan situasi
khusus.
BAB III

PEMBAHASAN
A. Peran CPPT dalam Komunikais antar PPA
Rekam medis merupakan media komunikasi yang digunakan pada pelaksanaan
kolaborasi interprofesional. Rekam medis yang dimaksud adalah rekam medis yang
terintegrasi dengan alasan dapat membantu profesional kesehatan dalam menuangkan
hasil temuan dan gagasan masing-masing profesi yang terkait serta dapat menunjang
pengambilan keputusan yang tepat untuk mencapai pelayanan kesehatan yang
maksimal. Salah satu rekam medis terintegrasi yang digunakan yaitu Catatan
Perkembangan Pasien Terintegrasi atau biasa dikenal dengan lembar CPPT.
Hal ini telah sesuai dengan yang dinyatakan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit
(KARS) bahwa dokumen yang terintegrasi merupakan solusi dalam meminimalisir
kesalahpahaman komunikasi (miscommunication) serta kejadian tidak terduga pada
masa perawatan pasien yang dilakukan oleh penyedia pelayanan kesehatan. Dalam
lembar CPPT ini setiap PPA yang berkaitan dan bergabung dalam tim kolaborasi akan
mencatat hasil pengamatan, pengobatan dan diskusi dari setiap profesi dalam bentuk
format SOAP (Subject, Object, Assesment dan Planning). Format SOAP bertujuan agar
pendokumentasian pada lembar CPPT lebih terarah sehingga menciptakan
keseragaman saat pendokumentasian dilakukan.
a. S (Subject), adalah keluhan pasien dari hasil anamnesa, baik auto-anamnesa atau
wawancara langsung dengan pasien maupun alo-anamnesa atau wawancara dengan
keluarga/kerabat pasien.
b. (Object), adalah hasil pemeriksaan fisik terkait dengan pemeriksaan tanda-tanda
vital, skala nyeri dan hasil pemeriksaan penunjang pasien.
c. A (Assessment), adalah penilaian keadaan pasien yang berisikan diagnosis pasien
yang merupakan gabungan dari penilaian subjektif dan objektif.
d. P (Planning), adalah rencana asuhan kesehatan bertujuan untuk menegakkan
diagnosis seperti pemeriksaan penunjang, rencana terapi baik obat serta tindakan
dan rencana asuhan pendidikan seperti apa yang diperbolehkan atau tidak bagi
pasien (SNARS ed.1, 2017).

Pada lembar CPPT ini berisi identitas pasien, tanggal dan jam pemeriksaan, catatan
dokter penanggung jawab pasien (DPJP), catatan klinis lainnya oleh PPA yang
kemudian diverifikasi dengan paraf serta nama lengkap petugas yang bersangkutan.
Apabila ada kesalahan dalam proses pencatatan maka dapat diperbaiki dengan
mencoret catatan yang salah dengan garis lurus kemudian disertai dengan paraf.
Berdasarkan hasil review disebutkan bahwa rekam medis pada pelaksanaan kolaborasi
interprofesional digunakan sebagai media komunikasi dimana setiap temuan dan
pendapat profesional kesehatan antara lain dokter, perawat, ahli gizi, apoteker dan
tenaga kesehatan lainnya, dituangkan dalam rekam medis. Rekam medis yang dapat
menyatukan catatan milik profesional kesehatan yang terkait yaitu Catatan
Perkembangan Pasien Terintegrasi atau biasa dikenal dengan CPPT.

Menurut Kusumaningrum et al (2018). bahwa implementasi pada lembar CPPT,


profesional kesehatan memiliki posisi yang sama dalam bekerja bersama, berdiskusi
serta berkoordinasi satu sama lain dalam mengambil keputusan medis. Sehingga sistem
pencatatan ini diharapkan dapat meningkatan komunikasi efektif antar profesi,
pencatatan dilakukan lebih optimal, terhindar dari miscommunication dan
meningkatkan keselamatan pasien yang berdampak kepada mutu pelayanan. Adapun
dampak penggunaan lembar CPPT ini yakni dapat memudahkan dalam mengamati
perkembangan kondisi kesehatan pasien, memudahkan dalam pengambilan keputusan
yang berdasar pada hasil evaluasi setiap profesi yang telah disatukan pada lembar
CPPT rekam medis pasien.

B. Metode untuk Meningkatkan Komunikasi Efektif Antar PPA


Sesuai dengan nilai guna dari rekam medis yakni sebagai alat komunikasi di
antara dokter dan tenaga ahli lainnya dalam proses pemberian pelayanan kesehatan
terhadap pasien. Selain itu rekam medis memiliki nilai legal atau hukum dimana
sebagai bukti tertulis maupun terekam atas segala tindakan pelayanan, pengobatan dan
perkembangan penyakit selama pasien berkunjung atau dirawat di rumah sakit. Maka
dari itu diperlukan metode yang efektif untuk menghindari kejadian yang tidak
diinginkan seperti kasus hukum yang melibatkan tenaga medis atau penyedia pelayanan
kesehatan, ketidaklengkapan rekam medis yang mengakibatkan pelayanan terhadap
pasien terhambat.
Berdasarkan PERMENKES Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 Pasal 5 Ayat
(2), rekam medis harus dibuat segera dan dilengkapi setelah pasien menerima
pelayanan. Pembuatan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
melalui pencatatan dan pendokumentasian hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan,
dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Rekam medis dinyatakan
lengkap apabila persentase kelengkapan mencapai 100%. Sehingga untuk itu perlu
dilakukan metode yang efektif untuk mejaga kelengkapan rekam medis tetap terjaga
yaitu analisis kuantitaif dan kualitatif. Adapun komponen dari analisis kuantitatif dan
kualitatif antara lain:
1. Analisis Kuantitatif, yaitu analisis yang dilakukan dalam menilai kelengkapan dan
keakuratan isi dari dokumen rekam medis. Yang berisi, antara lain :
Identifikasi Pasien
Laporan Penting
Autentikasi
Pencatatan yang Baik
2. Analisis Kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan untuk menilai mutu suatu rekam
medis serta kekonsistenan isi dari rekam medis.
Catatan Diagnosa dan Penyakit yang Lengkap dan Konsisten
Pencatatan yang Konsisten
Catatan Deskripsi Dasar yang Dilakukan saat Pengobatan dan Perawatan
Pengisian Dokumen Informed Consent
Praktik Pencatatan dan Pengesahan Dokumentasi

Catatan yang Berpotensi Kejadian Ganti Rugi/ Kejadian Penting (Gemala Hatta,
2008) Berdasarkan masalah yang terjadi apabila dokumen rekam medis tidak lengkap
maka kualitas data yang dihasilkan tidak baik dan tidak akurat sehingga dapat
merugikan rumah sakit serta mempengaruhi dalam pengambilan keputusan oleh
profesinal kesehatan. Ketidaklengkapan dokumen rekam medis dipengaruhi oleh
berbagai faktor, salah satu faktor yang berkaitan yaitu petugas (Man). Faktor man ini
dimana kurangnya kedisiplinan dokter dalam mengisi berkas rekam medis disebabkan
kurangnya pemahaman mengenai pentingnya pendokumentasian pada rekam medis
yang berguna sebagai sumber informasi kesehatan pasien. Pada penelitian Dominick et
al (2012), bahwa kurangnya informasi yang dituangkan pada dokumen terintegrasi
menjadi masalah kepada profesional kesehatan dalam proses pengambilan keputusan.
Dampak dilakukan analisis pada berkas rekam medis yaitu untuk mengidentifikasi
bagian yang tidak lengkap agar dapat dikoreksi sehingga rekam medis menjadi lebih
lengkap dan dapat dipakai guna pelayanan lanjutan kepada pasien. Selain itu berguna
untuk melindungi dari kasus hukum, memenuhi aturan yang berlaku serta analisa
statistik yang akurat.

C. Faktor yang Memengaruhi komunikasi Efektif Antar PPA


Faktor yang mempengaruhi komunikasi yang efektif pada pelaksanaan kolaborasi
interprofesional terdapat 3 unsur faktor antara lain:
➢ Kepemimpinan
Faktor yang mempengaruhi komunikasi yang efektif pada pelaksanaan kolaborasi
interprofesional dipengaruhi dari kemitraan suatu tim. Kepemimpinan
transformasional atau gaya kepemimpinan yang memberikan motivasi dan inspirasi
untuk mencapai tujuan dan merubah sikap, perilaku dan nilai-nilai bawahannya .
➢ Karakteristik
Faktor yang mempengaruhi komunikasi yang efektif pada pelaksanaan kolaborasi
interprofesional dipengaruhi oleh karakteristik setiap anggota diantaranya seperti
sikap, kebiasaan, kompetensi atau latar pendidikan. Sikap dan kebiasaan seorang
profesional pemberi asuhan (PPA) contohnya seperti kelelahan, perbedaan pendapat,
kelupaan akibat terburu-buru dalam mengerjakan tugas mengakibatkan tidak
efektifnya pencatatan dokumen CPPT. Selain itu, kompetensi seorang PPA juga
dapat mempengaruhi kualitas komunikasi sebab latar pendidikan setiap profesi
berbeda sehingga dalam aspek berkomunikasi satu sama lain pun berebda .
Kurangnya kedisiplinan dan kesadaran profesional kesehatan dapat mempengaruhi
kelengkapan rekam medis.
➢ Beban Kerja
Setiap orang memiliki beban kerja yang berbeda, sehingga tidak maksimalnya
pencatatan pada asuhan pasien diakibatkan beban kerja yang berlebihan . Hal ini
dikarenakan yang dilakukan oleh PPA tidak hanya pencatatan asuhan pasien tetapi
beban kerja lainnya seperti merawat kondisi pasien, kunjungan dokter terhadap
pasien, melakukan operasi dan lain-lain. Waktu yang tersedia serta kesibukan yang
terus meningkat menjadi penyebab pencatatan hasil temuan kesehatan pasien pada
CPPT tidak lengkap. Adapun kepatuhan profesional kesehatan dalam mengisi CPPT
dipengaruhi oleh masa kerja bahwa semakin lama kerja petugas maka keahliannya
akan semakin baik.
BAB IV

PENUTUP
A. Kesimpulan
Komunikasi Efektif
Berdasarkan hasil penelitian WHO bahwa 70-80% kesalahan yang terjadi di
pelayanan kesehatan disebabkan oleh rendahnya kualitas komunikasi dan
pemahaman anggota tim yang masih kurang. Kolaborasi tim yang efektif dapat
mengurangi masalah yang terjadi pada keselamatan pasien. Terdapat 3 faktor yang
mempengaruhi komunikasi efektif yaitu kepempimpinan, karakteristik, serta beban
kerja. Strategi yang dapat dilakukan untuk menerapkan komunikasi efektif antara
lain, situation, background, assessment, recommendation, serta penyampaian
informasi tentang hal kritis.
Profesional Pemberi Asuhan (PPA)
Profesional pemberi asuhan (PPA) adalah Tenaga kesehatan secara langsung
memberikan asuhan kepada pasien, antara lain dokter, perawat, bidan, ahli gizi,
apoteker, psikolog klinis, penata anestesi, terapis fisik dsb. Dengan kompetensi
yang memadai dan berkontribusi setara dalam fungsi profesinya bertugas mandiri,
kolaboratif, delegatif. Memberikan asuhan yang terintegrasi dalam satu kesatuan
sebagai timinter displin dengan kolaborasi interprofesional. Terdapat beberapa hal
yang harus diperhatikan oleh PPA agar dalam pemberian asuhan dapat berjalan
dengan baik, sehingga tidak terjadi misinterpretasi yang dapat berpengaruh
terhadap penanganan pasien selanjutnya.
Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT)
CPPT memiliki tipe pernyataan dalam melihat perkembangan pasien, yaitu tipe
evaluasi formatif (evaluasiklien pada saatitu) atau evaluasisumatif (evaluasi
kumulatif perkembangan klien terhadap hasil yang diharapkan). Evaluasi
Formatifdilakukan pada setiap akhir pembahasan suatu pokok bahasan/topik,dan
dimaksudkan untuk mengetahui sejauh manakah suatu proses pembelajaran telah
berjalan sebagaimana yang direncanakan. Sedangkan evaluasi sumatif dilakukan
pada setiap akhir satu satuan waktu yang didalamnya tercakup lebih dari satu pokok
pembahasan,dan dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana peserta didik telah
dapat berpindah dari satu unit ke unit berikutnya. Pada evaluasi sumatif, data
pengkajian yang telah didokumentasikan sebelumnya mengenai status kesehatan
klien sangat penting untuk melihat kemajuan kondisi klien apakah sudah sesuai
dengan kriteria hasil yang diharapakan atau belum.
B. Saran
• BagiPerawat
Perawat sebaiknya selalum menerapkan komunikasi efektif sesuai dengan SOP
tentang serah terima pasien yang berlaku di rumah sakit agar tidak terjadi insiden
keselamatan pasien terkait serah terima pasien.
• Bagi Tempat Pelayanan Kesehatan
Tempat Pelayanan Kesehatan sebaiknya memberikan pelatihan secara
berkelanjutan tentang komunikasi efektif agar perawat dapat menerapkan
komunikasi efektif serah terima lebih baik lagi.
• Bagi Studi Sarjana Terapan Keperawatan
Mahasiswa sebaiknya dapat menambah bahan kajian mengenai komunikasi efektif
antar Profesi Pemberi Asuhan
• Bagimasyarakat
Masyarakat sebaiknya mengetahui bagaimana proses dan strategi komuniaksi
efektif yang dilakukan oleh PPA dalam penyusunan CPPT
PRAKTIK KOMUNIKASI EFEKTIF MENANGANI KOMPLAIN

Disusun Oleh:

1. Aisha Amelia (P07120221039)


2. Elfrida Apriliani (P07120221037)
3. Jihan Fadilla Hafiz (P07120221044)

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN + NERS

JURUSAN KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA

2021/2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rumah sakit adalah suatu institusi pelayanan yang memberikan solusi terhadap
orang yang memiliki masalah kesehatan. Orang yang datang ke rumah sakit merasa
cemas, gelisah dan khawatir akan kondisi diri atau keluarganya mudah tersinggung
atau bahkan marah apabila mengalami kejadian yang tidak menyenangkan (mulai
dari masuk area rumah sakit sampai dengan keluar dari area rumah sakit ). Rasa
tersinggung atau kemarahan tersebut bisa terungkap atau tidak terungkap. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa kemarahan yang terungkap lebih sedikit
dibandingkan kemarahan yang tidak terungkap.
Komplain pasien dapat terjadi disemua titik pada pelayanan. Ada beberapa titik
kritis yakni pada parkir, registrasi, nurse station, konsultasi dan pemeriksaan fisik
oleh dokter, pemeriksaan penunjang (laboratorium, radiologi, elektromedik),
farmasi, pembayaran.
Inventaris komplain di RS Hermina Jatinegara tahun 2016, terungkap 54 kejadian
komplain pasien. Hasil analisa 57% (31 kejadian komplain) penyebabnya adalah
komunikasi, 1 kejadian berpotensi menjadi tuntutan hukum (dalam proses tingkat
MKDKI) pasien merasa tidak mendapat penjelasan tentang resiko operasi,
sedangkan dokter merasa sudah menjelaskan secara lisan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Jelaskan bagaimana pelaksanaan penanganan komplain?
1.3 Tujuan
1. Agar pembaca dapat mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan
komplain.
2. Pembaca diharapkan dapat mengetahui dan memahami jenis-jenis komplain yang
ada di rumah sakit.
3. Pembaca diharapkan dapat memahami bagaimana alur dan regulasi dari
penanganan komplain.
4. Pembaca diharapkan dapat mengetahui dan memahami apa saja tantangan dan
hambatan dalam penanganan komplain.
5. Pembaca diharapkan dapat mengetahui dan memahami Strategi Penanganan
Komplain Di Rumah Sakit.
1.4 Manfaat
1. Pembaca dapat mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan komplain.
2. Pembaca dapat mengetahui dan memahami jenis-jenis komplain yang ada di
rumah sakit.
3. Pembacadapat memahami bagaimana alur dan regulasi dari penanganan
komplain.
4. Pembaca dapat mengetahui dan memahami apa saja tantangan dan hambatan
dalam penanganan komplain.
5. Pembaca dapat mengetahui dan memahami Strategi Penanganan Komplain Di
Rumah Sakit.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pelaksanaan Penanganan Komplain

A. Pengertian Komplain

Menurut Tjiptono dalam (Darmajaya : 2016) berpendapat, Keluhan atau


complaint bisa diartikan sebagai ungkapan atau rasa kekecewaan. Organisasi
bisa mengumpulkan keluhan pelanggan melalui sejumlah cara, di antaranya
kotak saran, formulir keluhan pelanggan, saluran relepon khusus, website, kartu
komentar, survei kepuasan pelanggan dan customer exit surveys. Situasi ini
dikenal dengan istilah “Recovery Paradox”.

Menurut Daryanto dan Setyabudi, (2014 : 32) “Komplain atau keluhan


adalah pengaduan atau penyampaian ketidakpuasan, ketidaknyamanan,
kejengkelan, dan kemarahan atas service jasa atau produk”.

Hal tersebut juga dikemukakan oleh Bell dan Luddington (2016 : 78),
bahwasanya “Keluhan pelanggan (customer complaint) adalah umpan balik
(feedback) dari pelanggan yang ditujukan kepada perusahaan yang cenderung
bersifat negatif. Umpan balik ini dapat dilakukan secara tertulis atau secara
lisan”.

Berdasarkan pengertian tersebut, bahwa pengertian keluhan atau


complain adalah Keluhan atau komplain pelayanan adalah ekspresi perasaan
ketidakpuasan atas standar pelayanan, tindakan atau tidak adanya tindakan
pemberi pelayanan yang berpengaruh terhadap pelanggan.
B. Jenis-jenis Komplain yang Ada di Rumah Sakit

Keluhan atau komplain merupakan suatu ungkapan ketidakpuasan dari pelanggan terhadap
pelayanan yang diberikan oleh suatu instansi. Jenis-jenis keluhan yang datang dari pelanggan
yang dikemukakan oleh beberapa ahli antara lain: Tjiptono (2005), membedakan keluhan atau
komplain menjadi 2 tipe:

A. Instrumental Complain, yaitu komplain atau keluhan yang diungkapkan dengan tujuan
mengubah situasi atau keadaan yang tidak diinginkan. Keluhan langsung disampaikan,
kepada perusahaan dengan harapan perusahaan dapat memperbaiki situasi tersebut.

B. Non-instrumental complain, keluhan yang dilontarkan tanpa ekspetasi khusus bahwa


situasi yang tidak diinginkan tersebut akan berubah. Komplain ini mencakup pula
instrumental complain yang disampaikan kepada pihak ketiga dan bukan kepada pihak
yang menimbulkan masalah.

Keluhan dibedakan menjadi keluhan langsung dan tidak langsung. Keluhan langsung
merupakan keluhan yang disampaikan secara langsung baik melalui tatap muka atau
komunikasi lewat telepon. Sedangkan keluhan tidak langsung merupakan keluhan vang
disampaikan secara tertulis yaitu melalui surat atau form pengaduan yang disediakan rumah
sakit atau pun melalui pihak ketiga seperti pengacara dan surat melalui media massa.

C. Alur dan Regulasi Proses Penanganan Komplain


1. Alur Komplain Secara Langsung
2. Alur Komplain Secara Tidak Langsung Melalui Media Komunikasi

Pada umumnya pasien yang marah ingin : Didengarkan, Dimengerti, Dihormati, Diberi
penjelasan, Mendapatkan permintaan maaf, Adanya tindakan untuk merespon penyebab
kemarahan.

Maka, perlu untuk dibuat : Panduan penanganan keluhan dan konflik pasien serta SPO
menangani keluhan pasien.

D. Tantangan dan Hambatan dalam Penanganan Komplain

INTERNAL:

- Masih ada petugas tidak menguasai product knowledge


- Masih ada petugas yang tidak hafal alur pelayanan secara menyeluruh
- Adanya pihak dokter yang tidak hati-hati dalam melakukan komunikasi & tindakan
medis
EKSTERNAL (Pasien, Keluarga & LBH):

- Adanya provokator (medis & non medis) yang berujung mempidanakan rumah sakit
- Adanya pihak ketiga atau keluarga yang mempunyai motif mencari uang
E. Strategi Penanganan Komplain Di Rumah Sakit

Dalam menjalankan langkah strategis penanganan komplain di rumah sakit, tindakan


penanganan dengan proses oprasional Public Relations. Menurut Cutlip, Center dan Broom
(2010: para praktisi public relations melakukan proses empat langkah dalam pemecahan
masalah, yaitu:

1. Fact Finding
Humas memulai dengan memetakan masalah pengaduan yang ada di RS. Setelah
masalah terpetakan, Humas langsung menganalisa situasi dimana hal ini dilakukan dengan
mengenali teknik dan metode handling complaint yang akan di aplikasikan, lalu setelah
itu humas melakukan identifikasi masalah, yang mana ketika pengaduan masuk humas
langsung mengkategorisasikan aduan tersebut masuk kedalam jenis aduan mana, apakah
aduan berat, aduan ringan, atau aduan sedang dan juga apakah aduan tersebut masuk ke
bidang kemedikan atau non kemedikan.
2. Planning dan Programing
Humas merencanakan langkah/mekanisme penanganan yang nantinya akan dilakukan
sesuai jenis aduannya. Selain itu humas juga mengimplementasikan SPO penanganan
keluhan yang memang sudah ditetapkan di RS. Terakhir, Humas akan membuat pedoman
sebagai rancangan penanganan kasus dan perbaikan sesuai SPO yang berlaku.
3. Communicating & Actuating
Dalam proses Communicating seorang sender atau komunikator (encoder). Seorang
Humas menjadi seorang Komunikator mewakili RS. Pesan disampaikan baik melalui lisan
ataupun tulisan. Jika dengan lisan Humas RS dapat melakukan pertemuan langsung
langsung (direct) bersama para pasien yang sudah melakukan pengaduan terkait keluhan
di rumah sakit misalnya “face to face” komunikasi untuk melakukan pertemuan secara
langsung. Humas juga melakukan pertemuan secara tidak langsung (indirect) melalui
media. Adapun cara Humas RS secara tidak langsung seperti menggunakan media
Whatsapp, Website dan media online lainya dan dibuatnya template permohonan maaf.
Itulah langkah yang dilakukan oleh Humas RS dengan bentuk klarifikasi atau komfirmasi
kepada pasien yang bersangkutan.
Dalam proses ini pun Humas RS memberikan Case Management tiap unit kamar guna
mempermudah pasien untuk memberikan keluhan-keluhan. Case Manager setiap unit
memiliki peran yang cukup vital karena menjadi penjembatani pasien dengan rumah sakit
karena Case Management ini salah satu team yang sama dengan seorang Humas.
Lalu ada pun Prosedur penanganan keluhan yang dibuat dengan menjelaskan
bagaimana langkah-langkah yang perlu diambil dengan tujuan kebijakan penanganan
pengaduan dan menanggapi keluhan tersebut. Dilihat dari terbitan SOP Rumah Sakit. Lalu
ada proses Klarifikasi dimana Humas yang sebelumnya menerima keluhan dengan
menanyakan masalah yang dikeluhkan dan mendengarkan serta bersikap terbuka dan tidak
pernah lupa untuk mengucapkan permintaan maaf serta terima kasih. Sebisanya Humas
memberikan informasi baik karifikasi tentang pengaduan yang sudah dilaporkan ataupun
konfirmasi dari hasil-hasil pengaduan pasien. Serta bersifat empati dengan mencoba
menunjukan antusiasme yang benar dan menempatkan diri dan mengutarakan kata-kata
yang menunjukan sikap empati kepada pasien.

4. Evaluating
Evaluating dalam tahapan proses public relations adalah langkah terakhir. Dengan
memberikan kegiatan monitoring sebagai bahan evaluasi. Melihat perkembangan pasien
yang mengadu dan menkontrol bagaimana akhirnya jika penangana tersebut sudah
dilakukan. Apakah akan menjadi lebih baik, sama saja atau sebaiknya. Jika hasilnya
kurang memuaskan maka ada evaluasi dari berbagai aspek dan sudut.
Langkah selanjutnya melakukan pencatatan atau arsip dari data yang diterima rumah
sakit dari pasien-pasien yang mengadukan keluhanya. Dalam catatan tersebut ada tulisan
masalah yang dikeluhkan dan unit mana yang memang dipersoalkan. Pencatatan rincian
yang menjadi arsip adalah masalah komplain dan merupakan hal yang sangat penting bagi
pihak rumah sakit serta menjadi bahan pertimbangan rumah sakit apakah perlu adanya
pengkajia investasi yang lebih mendalam. Pertimbangan yang sudah mencakup masalah
yang sudah dikeluhkan, dan maksud pasien yang sudah melakukan keluhan.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Keluhan atau komplain pelayanan adalah ekspresi perasaan ketidakpuasan atas standar
pelayanan, tindakan atau tidak adanya tindakan pemberi pelayanan yang berpengaruh
terhadap pasien. Tjiptono (2005), membedakan keluhan atau komplain menjadi 2 tipe,
yaitu Instrumental Complain dan Non-instrumental complain. Adapun alur complain
secara langsung dan tidak langsung. Dalam penanganan complain pastinya juga ada
tantangan dan hambatannya antara lain: Masih ada petugas tidak menguasai product
knowledge, Adanya pihak ketiga atau keluarga yang mempunyai motif mencari uang,
dll. Oleh karena itu, maka perlu dibuat panduan penanganan keluhan dan konflik pasien
serta SPO menangani keluhan pasien supaya tantangan dan hambatan tadi dapat teratasi
dengan tepat dan sesuai aturan.

3.2. Saran

Menurut kelompok kami, dalam menghadapi komplain dari pasien, seharusnya kita
sebagai perawat harus benar-benar bisa memahami dan mengerti apa yang diinginkan
dari pasien itu sendiri, waktu kita berbicara gunakan sopan santun dimana hal itu
menunjukan bahwa kita menghargai pasien. Perlu juga untuk menghindari timbulnya
perdebatan, menjelekkan pihak lain, agar penanganan complain dapat dilakukan
dengan lebih mudah, aman, dan terselesaikan dengan damai.

Anda mungkin juga menyukai