Anda di halaman 1dari 16

SEKSUALITAS, KESEHATAN REPRODUKSI DAN PMTCT

Disusun Oleh :

KELOMPOK 6

1. Mawar Dianty (10011181520028)


2. Putri Ramadiana (10011181520083)
3. Evi Sundari (10011181520090)
4. Simanjuntak, Widya Linawati (10011181520105)
5. Ica Hervita Trisfayeti (10011281520242)
6. Eva Syafiera Aziza (10011381520152)
7. Nur Amri Sari (10011181520034)

KELAS : PPHIV (SP)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun mengucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat, hidayah serta bimbingan-Nya akhirnya penulis dapat menyusun makalah yang
berjudul Seksualitas, Kesehatan Reproduksi dan PMTCT.

Penulisan makalah ini merupakan bentuk peran aktif penulis dalam tugas yang
diberikan oleh dosen mata kuliah Penularan dan Pencegahan HIV/AIDS, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Sriwijaya. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan penulisan makalah ini dimasa yang akan datang.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
membantu penyelesaian makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Indralaya, Mei 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................ii


Daftar Isi ...............................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................2
1.3 Tujuan ................................................................2
BAB II: PEMBAHASAN
2.1 Seksualitas pada Remaja …………………………………..……..3
2.2 Kesehatan Reproduksi Remaja ……………………………………........3
2.3 PMTCT …………………………………………7

BAB III : PENUTUP

4.1 Kesimpulan ……………………………………..…11

4.2 Saran ………………………………….…….11

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

2.1 Latar Belakang

HIV/AIDS telah menimbulkan kekhawatiran di berbagai belahan bumi.


HIV/AIDS adalah salah satu penyakit yang harus diwaspadai karena Acquired
Immunodeficiency Syndrome ( AIDS) sangat berakibat pada penderitanya. Acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan sekumpulan gejala penyakit yang
menyerang tubuh manusia setelah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus).

Cara penularan HIV dapat melalui hubungan seksual, penggunaan obat suntik, ibu
ke anak-anak dan lain-lain. Mengenai penyakit HIV/AIDS, penyakit ini telah menjadi
pandemi yang mengkhawatirkan masyarakat dunia, karena disamping belum ditemukan
obat dan vaksin pencegahan penyakit ini juga memiliki “window periode” dan fase
asimtomatik (tanpa gejala) yang relatif panjang dalam perjalanan penyakitnya. Hal
tersebut menyebabkan pola perkembangannya seperti fenomena gunung es (iceberg
phenomena).

Jumlah kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun di seluruh bagian dunia terus
meningkat meskipun berbagai upaya preventif terus dilaksanakan. Dari beberapa cara
penularan tersebut, masing-masing penularan memiliki resiko penularan cukup besar.
Oleh karena itu, penularan HIV harus diberi pengobatan agar penyebaran mengalami
perlambatan.

HIV tidak dapat disembuhkan karena tidak ada obat yang dapat sepenuhnya
menyembuhkan HIV/AIDS. Perkembangan penyakit dapat diperlambat namun tidak
dapat dihentikan sepenuhnya. Kombinasi yang tepat antara berbagai obat-obatan
antiretroviral dapat memperlambat kerusakan yang diakibatkan oleh HIV pada sistem
kekebalan tubuh dan menunda awal terjadinya AIDS.

1
2.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu HIV AIDS ?
2. Bagaimana seksualitas pada remaja ?
3. Bagaimana proses reproduksi pada remaja ?
4. Apa itu PMTCT ?

2.3 Tujuan Penulisan


1. Dapat memahami tentang HIV AIDS.
2. Dapat memahami apa yang dimaksud dengan seksualitas pada remaja.
3. Dapat memahami bagaimana proses reproduksi pada remaja.
4. Dapat memahami tentang PMTCT.

2
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Seksualitas Pada Remaja
Masa remaja dimulai dengan munculnya pubertas, sebuah periode dimana
perubahan fisik terjadi secara pesat pada setiap individu.Masa ini ditandai dengan
munculnya karakteristik seksual sekunder. Setiap individu akan memasuki masa remaja
pada usia yang berbeda-beda. Akan tetapi, secara umum masa remaja dimulai dari usia 12
hingga 20 tahun. Selama masa ini, tidak hanya perubahan fisik yang terjadi tetapi juga
perubahan perilaku serta peran yang diharapkan pada individu pun berubah.
Salah satu isu krusial di masa remaja adalah mengenai perilaku seksual.
Perubahan fisik berupa peningkatan hormon seks tidak hanya menyebabkan perubahan
tampilan luar remaja, seperti tumbuhnya rambut halus di area tertentu, membesarnya
payudara, berubahnya suara, dan perubahan pada organ kelamin. Meningkatnya secara
cepat hormon seks, terutama testosterone, ternyata meningkatkan dorongan dan
rangsangan seksual pada remaja. Kondisi ini membuat remaja ingin mengekspresikan dan
mengeksplorasi dorongannya melalui berbagai perilaku seksual.

II.2 Kesehatan Reproduksi Pada Remaja


Defenisi Remaja
Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke mas
dewasa. Batasan usia remaja menurut WHO (badan PBB untuk kesehatan dunia) adalah
12 sampai 24 tahun. Namun jika pada usia remaja seseorang sudah menikah, maka ia
tergolong dalam dewasa atau bukan lagi remaja. Sebaliknya, jika usia sudah bukan lagi
remaja tetapi masih tergantung pada orang tua (tidak mandiri), maka dimasukkan ke
dalam kelompok remaja.
Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau
to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990). Banyak tokoh yang memberikan
definisi tentang remaja, seperti DeBrun (dalam Rice, 1990) mendefinisikan remaja
sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Papalia dan
Olds (2001) tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan
secara implicit melalui pengertian masa remaja (adolescence).
Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi
perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai
3
pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua
puluhan tahun.
Perubahan fisik selama masa remaja dibagi menjadi beberapa tahap :
1. Perubahan Eksternal : Perubahan yang terjadi dan dapat dilihat pada fisik luar anak.
Perubahan tersebut ialah :
a. Tinggi Badan : Rata-rata anak perempuan mencapai tinggi matang pada usia
antara tujuh belas dan delapan belas tahun, rata-rata anak laki-laki kira-kira
setahun setelahnya.
b. Berat Badan: Perubahan berat badan mengikuti jadual yang sama dengan
perubahan tinggi badan, perubahan berat badan terjadi akibat penyebaran lemak
pada bagian-bagian tubuh yang hanya mengandung sedikit lemak atau bahkan
tidak mengandung lemak.
c. Proporsi Tubuh : Berbagai anggota tubuh lambat laun, mencapai perbandingan
yang tubuh yang baik. Misalnya badan melebar dan memanjang sehingga anggota
badan tidak lagi kelihatan terlalu pandang.
d. Organ Seks: Baik laki-laki maupun perempuan organ seks mengalami ukuran
matang pada akhir masa remaja, tetapi fungsinya belum matang sampai beberapa
tahun kemudian.
e. Ciri – ciri Seks Sekunder: Ciri – ciri seks sekunder yang utama, perkembangannya
matang pada masa akhir masa remaja. Ciri sekunder tersebut antara lain ditandai
dengan tumbunya kumis dan jakun pada laki-laki sedangkan pada wanita ditanda
dengan membesarnya payudara.
2. Perubahan Internal : Perubahan yang terjadi dalam organ dalam tubuh remaja dan
tidak tampak dari luar. Perubahan ini nantinya sangat mempengaruhi kepribadian
remaja. Perubahan tersebut adalah :
a. Sistem Pencernaan: Perut menjadi lebih panjang dan tidak lagi terlampau
berbentuk pipa, usus bertambah panjang dan bertambah besar, otot-oto di perut
dan dinding-dinding usus menjadi lebih tebal dan kuat, hati bertambah berat dan
kerongkongan bertambah panjang.
b. Sistem Peredaran Darah : Jantung tumbuh pesat selama masa remaja, pada usia
tujuh belas atau delapan belas, beratnya dua belas kali berat pada waktu lahir.
Panjang dan tebal dinding pembuluh darah meningkat dan mencapai tingkat
kematangan bilamana jantung sudah matang.

4
c. Sistem Pernafasan: Kapasitas paru-paru anak perempuan hampir matang pada usia
tujuh belas tahun ; anak laki-laki mencapat tingkat kematangan baru beberapa
tahun kemudian.
d. Sistem Endokrin: Kegiatan gonad yang meningkat pada masa puber menyebabkan
ketidak seimbangan sementara dari seluruh system endokrin pada masa awal
puber. Kelenjar-kelenjar seks berkembang pesat dan berfungsi, meskipun belum
mencapai ukuran yang matang sampai akhir masa remaja atau awal masa dewas
e. Jaringan Tubuh: Perkembangan kerangka berhenti rata-rata pada usia delapan
belas tahun. Jaringan selain tulang, khususnya bagi perkembangan otot, terus
berkembang sampai tulang mencapai ukuran yang matang.
3. Perubahan kejiwaan : Proses perubahan kejiwaan berlangsung lambat yang meliputi:
a. Perubahan emosi, sehingga remaja menjadi :
 sensitif ( mudah menangis, cemas, frustasi dan tertawa )
 Agresif dan mudah bereaksi terhadap rangsangan luar yang berpengaruh,
sehingga misalnya mudah berkelahi.
b. Perkembangan intelegensia, sehingga remaja menjadi:
 Mampu berpikir abstrak
 Senang memberikan kritik
 Ingin mengetahui hal-hal baru, sehingga muncul prilaku ingin mencoba-coba.
Prilaku ini jika didorong oleh rangsangan sesual dapat membawa remaja
masuk pada hubungan seks pranikah dengan segala akibatnya, antara lain
akibat kematangan organ seks maka dapat terjadi kehamilan remaja putri
diluar nikah, upaya abortus dan penularan penyakit kelamin, termasuk
HIV/AIDS.Prilaku ingin mencoba-coba juga dapat mengakibatkan remaja
mengalami ketergantungan NAPZA (Narkotik, psikotropik dan zat adiktif
lainnya, termasuk rokok dan alkohol).

Kesehatan Reproduksi Remaja


Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat yang menyangkut sistem,
fungsi dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja. Pengertian sehat disini tidak
semata-mata berarti bebas penyakit atau bebas dari kecacatan namun juga sehat secara
mental serta sosial kultural.
Remaja perlu mengetahui kesehatan reproduksi agar memiliki informasi yang
benar mengenai proses reproduksi serta berbagai faktor yang ada disekitarnya. Dengan
5
informasi yang benar, diharapkan remaja memiliki sikap dan tingkah laku yang
bertanggung jawab mengenai proses reproduksi.
Pengetahuan dasar apa yang perlu diberikan kepada remaja
1. Pengenalan mengenai sistem, proses dan fungsi alat reproduksi (aspek tumbuh
kembang remaja)
2. Mengapa remaja perlu mendewasakan usia kawin serta bagaimana merencanakan
kehamilan agar sesuai dengan keinginnannya dan pasanganya.
3. Penyakit menular seksual dan HIV/AIDS serta dampaknya terhadap kondisi
kesehatan reproduksi
4. Bahaya narkoba dan miras pada kesehatan reproduksi
5. Pengaruh sosial dan media terhadap perilaku seksual
6. Kekerasan seksual dan bagaimana menghindarinya
7. Mengambangkan kemampuan berkomunikasi termasuk memperkuat kepercayaan diri
agar mampu menangkal hal-hal yang bersifat negatif
8. Hak-hak reproduksi
9. Manakala tubuh juga mengalami transisi, maka pada masa seperti ini, remaja sangat
perlu untuk benar-benar memperhatikan kondisi tubuh terutama organ reproduksi
yang banyak berkembang dalam fase ini.
10. Anak-anak perempuan yang dulu hanya peduli untuk membersihkan organ
kewanitaannya begitu saja tanpa ada permasalahan yang lain, pada masa remaja dan
pubertas, organ kewanitaan anak gadis mulai mengalami perubahan.
11. Tumbuhnya rambut-rambut halus disekitar organ intim juga perlu diperhatikan
sehingga kebersihanpun tetap terjaga, terutama setelah buang air kecil maupun buang
air besar. Cara mencuci pun harus perlu diperhatikan dimana arah yang sesuai
(menjauhi arah kemaluan) lebih disarankan agar bakteri dan kotoran tidak kembali
bersarang.
12. Organ kewanitaan memang patut benar-benar dijaga kebersihannya terutama bagi
yang tinggal di negara tropis semcam Indonesia. Produksi keringat membuat daerah
tersebut lembab dan merupakan kondisi yang tepat untuk tumbuhnya jamur. Selain itu
darah haid dan perubahan hormon juga dapat merubah ekosistem organ kewanitaan.
13. Bekal pengetahuan seperti ini sangat mendasar dan penting yang nantinya akan sangat
berpengaruh pada perkembangan organ kewanitaan pada remaja putri.
14. Kebersihan organ reproduksi juga harus diperhatikan oleh remaja pria. Beberapa
remaja pria tidak harus mengalami pemotongan kulit pembungkus penis pada masa
6
kanak-kanak yang sering dikenal dengan sunatan, nah remaja pria yang memiliki
organ intim seperti ini harus tetap rajin membersihan organ intimnya dengan
membersihkan daerah di dalam lipatan kulit tersebut, karena apabila bagian di dalam
lipatan kulit tidak dibersihkan, potensi untuk tumbuhnya jamur dan hidupnya bakteri-
bakteri lain akan sangat besar.
15. Seringkali karena terburu-buru, para remaja pria juga tidak memperhatikan keadaan
sekitar saat mereka beraktivitas. Padahal apabila salah sedikit saja dan organ intim
mereka terantuk, terjepit resleting ataupun terkena benda lain dengan cukup keras,
organ intim tersebut dapat mengalami cedera, pembengkakan yang akan dapat
berakibat fatal dikemudian hari bahkan sampai disfungsi ereksi.

Promosi Pengembangan Kesehatan remaja


Pada tahun 1994, International Conference on Population and Development
(ICPD) melakukan upaya untuk mengembangkan program yang cocok untuk kebutuhan
kesehatan reproduksi remaja. Strategi kunci untuk menjangkau dan melayani generasi
muda :
a.) Melakukan pengembangan layanan-layanan yang ramah bagi generasi muda;
b.) Melibatkan generasi muda dalam perancangan, pelaksaan, dan evaluasi program;
c.) Membentuk pelatihan bagi penyedia layanan (provider) untuk dapat melayani
kebutuhan dan memperhatikan kekhawatiran-kekhawatiran khusus para remaja;
d.) Mendorong upaya-upaya advokasi masyarakat untuk mendukung perkembangan
generasi muda dan mendorong munculnya perilaku kesehatan remaja yang positif;
e.) Memadukan latihan-latihan membangun keterampilan ke dalam programprogram
yang ditujukan untuk generasi muda agar dapat meningkatkan rasa percaya diri
mereka, mengembangkan kemampuan mereka berkomunikasi mengenai
seksualitas,dan memperkuat kemampuan mereka dalam mengupayakan praktik-
praktik seksual yang lebih aman.

II.3 PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission of HIV)


Pelayanan PMTCT semakin menjadi perhatian dikarenakan epidemi HIV/AIDS di
Indonesia meningkat dengan cepat. Infeksi HIV dapat berdampak kepada ibu dan bayi.
Dampak infeksi HIV terhadap ibu antara lain: timbulnya stigma sosial, diskriminasi,
morbiditas dan mortalitas maternal. Sebagian besar infeksi HIV pada bayi disebabkan

7
penularan dari ibu, hanya sebagian kecil yang terjadi karena proses transfusi.
Kecenderungan Infeksi HIV pada Perempuan dan Anak Meningkat oleh karenanya
diperlukan berbagai upaya untuk mencegah infeksi HIV pada perempuan, serta mencegah
penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yaitu PMTCT (Prevention of Mother to Child HIV
Transmission). Dengan intervensi yang baik maka risiko penularan HIV dari ibu ke bayi
sebesar 25 hingga 45% bisa ditekan menjadi kurang dari 2%. Intervensi tersebut meliputi
4 konsep dasar: (1) Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif, (2) Menurunkan
viral load serendah-rendahnya, (3) Meminimalkan paparan janin/bayi terhadap darah dan
cairan tubuh ibu HIV positif, dan (4) Mengoptimalkan kesehatan dari ibu dengan HIV
positif.
Pelayanan PMTCT semakin menjadi perhatian dikarenakan epidemic HIV/AIDS
di Indonesia meningkat dengan cepat (jumlah kasus AIDS pada akhir triwulan II 2008
adalah 12,686 kasus). Infeksi HIV dapat berdampak kepada ibu dan bayi. Dampak infeksi
HIV terhadap ibu antara lain: timbulnya stigma sosial, diskriminasi, morbiditas dan
mortalitas maternal. Besarnya stigma sosial menyebabkan orang hidup dengan HIV AIDS
(Odha) semakin menutup diri tentang keberadaannya, yang pada akhirnya akan
mempersulit proses pencegahan dan pengendalian infeksi. Dampak buruk dari penularan
HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah apabila : (1) Terdeteksi dini, (2) Terkendali (Ibu
melakukan perilaku hidup sehat, Ibu mendapatkan ARV profilaksis secara teratur, Ibu
melakukan ANC secara teratur, Petugas kesehatan menerapkan pencegahan infeksi sesuai
Kewaspadaan Standar), (3) Pemilihan rute persalinan yang aman (seksio sesarea), (4)
Pemberian PASI (susu formula) yang memenuhi persyaratan, (5) Pemantauan ketat
tumbuhkembang bayi & balita dari ibu dengan HIV positif, dan (6) Adanya dukungan
yang tulus, dan perhatian yang berkesinambungan kepada ibu, bayi dan keluarganya.
Pelayanan PMTCT dapat dilakukan di berbagai sarana kesehatan (rumah sakit,
puskesmas) dengan proporsi pelayanan yang sesuai dengan keadaan sarana tersebut.
Namun yang terutama dalam pelayanan PMTCT adalah tersedianya tenaga/staf yang
mengerti dan mampu/berkompeten dalam menjalankan program ini.

Sasaran Program PMTCT


Guna mencapai tujuan tersebut, Program PMTCT mempunyai sasaran program, antara
lain:
1. Peningkatan Kemampuan Manajemen Pengelola Program PMTCT
2. Peningkatan akses informasi mengenai PMTCT
8
3. Peningkatan akses intervensi PMTCT pada ibu hamil, bersalin dan nifas
4. Peningkatan akses pelayanan Dukungan Perawatan dan Pengobatan (Care, Support
dan Treatment) bagi ibu dan bayi.

Bentuk-bentuk intervensi PMTCT


1. Intervensi untuk Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi Dengan intervensi yang
baik maka risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 25 – 45% bisa ditekan
menjadi kurang dari 2%. Menurut estimasi Depkes, setiap tahun terdapat 9.000 ibu
hamil HIV positif yang melahirkan di Indonesia. Berarti, jika tidak ada intervensi
diperkirakan akan lahir sekitar 3.000 bayi dengan HIV positif setiap tahunnya di
Indonesia. Intervensi tersebut meliputi 4 konsep dasar: (1) Mengurangi jumlah ibu
hamil dengan HIV positif, (2) Menurunkan viral load serendah-rendahnya, (3)
Meminimalkan paparan janin/bayi terhadap darah dan cairan tubuh ibu HIV positif,
dan (4) Mengoptimalkan kesehatan dari ibu dengan HIV positif.
2. Mengurangi jumlah ibu hamil denga HIV positif. Secara bermakna penularan infeksi
virus ke neonatus dan bayi terjadi trans plasenta dan intrapartum (persalinan).
Terdapat perbedaan variasi risiko penularan dari ibu ke bayi selama Kehamilan dan
Laktasi, tergantung sifat infeksi terhadap ibu : Infeksi primer (HSV/ Herpes Simpleks
Virus, HIV1), Infeksi Sekunder/ Reaktivasi (HSV, CMV/ Cyto Megalo Virus), atau
Infeksi Kronis (Hepatitis B, HIV1, HTLV-I). Mengingat adanya kemungkinan
transmisi vertikal dan adanya kerentanan tubuh selama proses kehamilan, maka pada
dasarnya perempuan dengan HIV positif tidak dianjurkan untuk hamil. Dengan alasan
hak asasi manusia, perempuan Odha dapat memberikan keputusan untuk hamil
setelah melalui proses konseling, pengobatan dan pemantauan. Pertimbangan untuk
mengijinkan Odha hamil antara lain: apabila daya tahan tubuh cukup baik (CD4 di
atas 500), kadar virus (viral load) minimal/ tidak terdeteksi (kurang dari 1.000
kopi/ml), dan menggunakan ARV secara teratur.
3. Menurunkan viral load/ kadar virus serendah-rendahnya. Obat antiretroviral (ARV)
yang ada sampai saat ini baru berfungsi untuk menghambat multiplikasi virus, belum
menghilangkan secara total keberadaan virus dalam tubuh Odha. Walaupun demikian,
ARV merupakan pilihan utama dalam upaya pengendalian penyakit guna menurunkan
kadar virus.
4. Meminimalkan paparan janin dan bayi terhadap cairan tubuh ibu. Persalinan dengan
seksio sesarea berencana sebelum saat persalinan tiba merupakan pilihan pada Odha.
9
Pada saat persalinan pervaginam, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir.
Bayi mungkin juga terinfeksi karena menelan darah atau lendir jalan lahir tersebut
(secara tidak sengaja pada saat resusitasi). Beberapa hasil penelitian menyimpulkan
bahwa seksio sesarea akan mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar
50-66% . Apabila seksio sesarea tidak bisa dilaksanakan, maka dianjurkan untuk tidak
melakukan tindakan invasive yang memungkinkan perlukaan pada bayi (pemakaian
elektrode pada kepala janin, ekstraksi forseps, ekstraksi vakum) dan perlukaan pada
ibu (episiotomi).

Mekanisme penularan HIV dari Ibu ke Bayi


Penularan HIV dari ibu ke bayi memiliki resiko sebesar 15-35%. Terendah
dilaporkan di Eropa dan tertinggi di Afrika. Sebuah lembaga International telah
mengembangkan standard metode perhitungan rerata angka penularan secara vertical
berdasarkan studi prenatal, prosedur pemantauan, criteria diagnosis dan definisi kasus.
Hal-hal tersebut lebih mempengaruhi terjadinya penularan disbanding area geografi yang
telah dilaporkan. Angka penularan kemungkinan lebih mencerminkan faktor resiko dari
ibu ke bayi pada beberapa kelompok dan dapat berubah dengan waktu.
A. Faktor Virus
Penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor
utama yang penting adalah jumlah virus (viral load). Adanya faktor antigen p24
secara konsisten mempunyai hubungan terhadap meningkatnya penularan (meningkat
2-3 kali dibanding wanita tidak hamil. Beberapa studi berdasarkan data bayi yang
terinfeksi dari ibunya menunjukkan tingginya jumlah kuman (viral load) yang
dihitung dengan teknik kultur kuantitatif.
B. Faktor Bayi
1. Prematuritas : Beberapa pusat penelitian telah memaparkan tentang hubungan
prematuritas terhadap infeksi HIV. Sebagai contoh status HIV maternal
menjembatani prematuritas kehamilan. Ryder dan teman-teman pada tahun 1989
di Zaire, menggaris bawahi tentang prematuritas sebsar 13% pada wanita + HIV
dan 3% pada kelompok control. Pengamatan tersebut tidak konsisten pada Negara
berkembang, bayi yang lahir premature lebih beresiko terinfeksi HIV dibanding
bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV.
2. Nutrisi Fetus : Terlepas dari status infeksi HIV, nutrisi prenatal yang buruk dapat
menyebabkan retardasi pertumbuhan janin dalam rahim atau intrauterine growth

10
retandation (IUGR) dengan perbandingan pertumbuhan yang tidak sesuai dengan
umur kehamilan. Semua akan menyebabkan menurunnya imunitas selular dengan
jumlah sel T yang rendah, respon proliferatif yang buruk, pertumbuhan thymus
yang terganggu, meningkatkan kecenderungan terserang infeksi, dan menetap
selama 5 tahun masa pertumbuhan yang akan terganggu. Direkomendasikan untuk
asupan vitamin A, untuk mencegah perburukan gejala diare yang ada baik pada
ibu maupun bayinya.
3. Fungsi Pencernaan : Fungsi pencernaan pada neonates memegang peranan penting
dalam penularan HIV. Sejak infeksi HIV diperkirakan masuk melalui pencernaan
saat kelahiran, oleh karena terpapar darah yang terinfeksi, sekresi vagina, cairan
amnion dan air susu ibu. Pada sistem pencernaan bayi memiliki keasaman
lambung yang rendah, aktifitas enzym pencernaan yang rendah, produksi cairan
mukosa yang rendah dan sedikit sekresi dari immunoglobulin A (Ig A) yang
merupakan system kekebalan pada pencernaan untuk melawan kuman yang
masuk. Pada infeksi sekunder akan terjadi diare, pertumbuhan yang terganggu,
dan menunjukkan prekembangan perjalanan penyakitnya.
C. Faktor Ibu, Kehamilan, dan Proses Persalinan
Resiko penularan terjadi pada kondisi korioamnionitis dan penyakit menular
seksual. Hal ini berhubungan dengan gangguan pertahanan pada plasenta dan
kecenderungan lahir premature, serta dapat meningkatkan viral load pada organ
genital. Disamping itu pemilihan cara melahirkan, lamanya persalinan, kapan
pecahnya ketuban, dan saat proses kelahiran berjalan seorang bayi dapat terpapar
darah sang ibu. Inflamasi pada daerah servik dan uretritis dapat meningkatkan deteksi
sel yang terinfeksi HIV-A.

11
BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan

III. 2 Saran

12
DAFTAR PUSTAKA

Catherine Peckham, Diana Gibb. Mother-to-child Transmission of the Human


Immunodeficiency Virus. New England Journal of Medicine 1995;333(5):298-302
Depkes RI. 2008. Modul Pelatihan. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi (Prevention
Mother to Child Transmission.
Gondo, Harry Kurniawan. 2010. Pencegahan Penularan HIV Dari Ibu ke Bayi. Surabaya :
Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
http://www.indonesian-publichealth.com/tujuan-dan-strategi-pmtct-pada-ibu-hamil/
Kementrian Kesehatan RI. Infodatin Reproduksi Remaja ISSN 2442-7659
Philippe, M. 2009. Improving mother’s acces to PMTCT program in West Africa: a public
health perspective. Social Science and Medicine.
Wahid, Abdurrahman, dkk, 1996, “Seksualitas, Kesehatan Reproduksi dan Ketimpangan
Gender”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Wardani, Dayne Trikora. 2012. Perkembangan dan Seksualitas Remaja. Bandung : Sekolah
Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung
WHO. 2009. Priority Interventions; HIV/AIDS Prevention, Treatment and Care in The
Health Sector.

13

Anda mungkin juga menyukai