Anda di halaman 1dari 124

ASIDIMETRI DAN AlKALIMETRI

Januari 20, 2011

kokyum Uncategorized Tinggalkan Komentar

I. DASAR TEORI

Asidimetri adalah analisis (volumetri) yang menggunakan asam sebagai larutan standar.

Alkalimetri adalah analisis (volumetri) yang menggunakan alkali (basa) sebagai larutan standar.

Analisis anorganik secara kualitatif yaitu proses atau operasi analisis yang digunakan untuk
mengetahui atau mengidentifikasi penyusun-penyusun dari suatu zat dan pengembang-
pengembang metode-metode pemisahan masing-masing penyusun yang terdpat dalam suatu
campuran.

Analisis anorganik kuantitatif yaitu proses analisis untuk menentukan atau mengidentifikasi
banyaknya atau perbandingan banyaknya tiap-tiap penyusun yang terdapat dalam suatu zat atau
senyawa.

Secara garis besar analisis kuantitatif dibagi menjadi :

1. Analisis secara volumetri.

2. Anallisis secara gravimetri.

Analisis secara volumetric adalah analisis kimia kuantitatif yang dilakukan dengan menentukan
banyaknya volume suatu larutan yang konsentrasinya telah diketahui dengan teliti yang bereaksi
secara kwantitatif dengan larutan dari suatu zat yang akan ditentukan konsentrasinya.

Larutan yang konsentrasinya telah diketahui dengan teliti, disebut larutan standar atau larutan
lembaga, dimana larutan ini setiap liternya mengandung sejumlah gram ekivalen tertentu.
Sedang banyaknya zat yang akan ditentukan dapat dihitung dari banyaknya volum larutan
standar dengan hukum ekivalen kimia biasa.

Proses penambahan larutan standar kedalam larutan yang akan ditentukan normalitasnya sampai
terjadi reaksi yang sempurna disebut titrasi. Sedangkan larutan yang akan ditentukan
normalitasnya disebut larutan yang dititrasi. Saat dimana reaksi sempurna tercapai disebut saat
titik ekivalen atau titik stokiometri biasanya titik akhir titrasi disebut juga titik akhir teoritis. Titik
akhir titrasi ini dapat dilihat dengan adanya perubahan warna yang terdapat dalam larutan yang
dititrasi. Perubahan warna dalam larutan ini akan jelas bila dalam proses titrasi ditmbahkan
sedikmit indikator.

Dalam analisis secara volumetric, reaksi yang terjadi antara zat yang ditentukan dengan larutan
standar harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Reaksi harus sederhana sehingga mudah dituliskan dengan persamaan reaksi kimianya. Zat
yang akan ditentukan harus bereaksi secara kuantitatif dengan larutan standar atau larutan
pereaksi dalam perbandingan yang setara atau secara stokiometri.

2. Reaksi harus terjadi dengan cepat, apabila perlu untuk mempercepat reaksi dapat
ditambahkan suatu katalisator.

3. Pada saat tercapainya titik setara atau ekivalen, di dalam larutan harus terjadi perubahan
yang jelas, baik dalam sifat fisik maupun sifat kimianya.

4. Indikator yang digunakan harus memberikan ketentuan yang jelas saat terjadinya titik akhir
titrasi, misalnya perubahan warna atau terjadinya pembentukan endapan. Apabila ternyata tidak
ada indikator yang mampu menunjukkan saat tercapainya titik ekivalen, amak proses ini dapat
dikerjakan dengan cara :

a. Titrasi secara potensiometri.

b. Titrasi secara konduktometri.

c. Titrasi secara amperometri.

Reaksi dalam analisis volumetric terbagi menjadi :

1. Reaksi-reaksi yang tidak mengakibatkan terjadinya perubahan valensi, sehingga hanya


terjadi penggabungan ion-ion saja.

2. Reaksi-reaksi yang mengakibatkan terjadinya perubahan valensi atau pepindahan elektron


yaitu reaksi-reaksi oksidasi-reduksi.

Sehingga berdasarkan reaksi-reaksi diatas, proses titrsi terbagi menjadi :

1. Titrasi netralisasi.

2. Titrasi pengendapan dan pembentukan kompleks.

3. Titrasi oksidasi-reduksi.

Proses titrasi asidimetri dan alkalimetri merupakan salah satu proses titrasi netralisasi. Asidimetri
merupakan suatu titrasi terhadap larutan basa bebas atau garam yang berasal dari basa lemah
dengan larutan standar asam. Dalam proses ini terjadi penggabungan ion H+ dengan ion OH-
membentuk molekul air. Sedangkan alkalimetri adalah suatu proses titrsi larutan asam bebas atau
larutan garam yang berasal dari asam lemah dengan larutan standar biasa.

Dalam perhitungan selanjutnya, digunakan persamaan antara volume dan konsentrasi masing-
masing zat yang dititrasi dengan penetrasinya dan berlaku rumus sebagai berikut :
V1 X N1 = V2 X N2

V1 : Volume zat penetrasi/standar (mL).

N1 : Normalitas zat penetrasi/standar (gr ekivalen/L).

V2 : Volume zat yang dititrasi (mL).

N2 : Normalitas zat yang diititrasi (mL)

V. PEMBAHASAN

Titrasi asidi-alkalimetri merupakan titrasi asam-basa dan termasuk dalam titrasi netralisasi
(penetralan). Titrasi asidimetri yaitu titrasi terhadap larutan basa bebas atau garam yang berasal
dari basa lemah dengan menggunakan larutan standar asam. Sedangkan, titrasi alkalimetri yaitu
titrasi terhadap larutan asam bebas atau garam yang berasal dari asam lemah dengan
menggunakan larutan standar basa.

Asidimetri dan alkalimetri yang dilakukan dalam percobaan ini melalui beberapa tahap. Untuk
alkalimetri yaitu pembuatan larutan NaOH dan larutan asam oksalat, kemudian standarisasi
larutan NaOH dengan larutan asam oksalat. Larutan asam oksalat dipakai sebagai larutan standar
karena memiliki kemurnian tinggi, tidak higroskopis dan memiliki berat ekivalen yang cukup
besar, sehinngga tergolong sebagai larutan standar primer. Karena larutan NaOH termasuk basa
kuat sedangkan larutan asam oksalat termasuk asam lemah, Maka, pH saat terjadi titik ekivalen
bersifat basa. Oleh karena itu digunakan indikator fenolftalein, dengan trayek PH antara 8,3-10.
Saat titrasi larutan asam oksalat dengan larutan NaOH, warna larutan berubah dari merah
menjadi tak berwarna. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa normalitas larutan NaOH sebelum
distandarisasi yaitu 0,1009 N, namun setelah distandarisasi, normalitas larutan NaOH yaitu
0,0952 N.

Untuk titrasi asidimetri, tahap-tahap yang dilakukan yaitu pembuatan larutan HCl dan larutan
borat, kemudian standarisasi larutan HCl dengan larutan borat. Larutan borat dipakai sebagai
larutan standar karena memiliki beberapa keuntungan yaitu :

1. Borat memiliki berat ekivalen yang tinggi ( 1 grek borat = 190,72).

2. Borat mudah dimurnikan dengan jalan rekristalisasi.

3. Tidak perlu memanaskan sampai berat tetap (konsatan).

4. Secara praktis, borat tidak higroskopis.

5. Titik akhir titrasi dapat terlihat jelas dengan indikator metil orange, karena indikator ini
tidak dipengaruhi oleh asam borak (H3BO3) yang sangat lemah.
Pada standarisasi larutan HCl dengan larutan borat, karena larutan HCl termasuk asam kuat,
sedangkan larutan borat adalah garam dari basa lemah. Maka, pH saat titik ekivalen terjadi
bersifat asam. Oleh karena itu, indikatot yang dipakai adalah indikator metil orange (MO),
dengan trayek pH antara 3,1 – 4,4. Saat titrasi larutan HCl dengan larutan borat, warna larutan
berubah dari merah menjadi orange. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa normalitas larutan
HCl setalah distandarisasi adalah 0,0740 N.

Pada percobaan ini juga dilakukan penentuan normalitas larutan sampel yaitu larutan H2SO4.
Untuk menentukan normalitas larutan H2SO4, maka larutan H2SO4 dititrasi dengan larutan NaOH
standar, dengan indikator PP. Saat titrasi berlangsung, warna larutan berubah dari tak berwarna
menjadi merah. Dari hasil perhitunggan diperoleh bahwa normalitas larutan sampel (H2SO4)
yaitu 0,0805 N. Dari seluruh perobaan yang dilakukan tersebut, dimungkinkan terjadi beberapa
kesalahan. Kesalahan-kesalahan tersebut mungkin lebih disebabkan karena ketidak-telitian
waktu pembuatan larutan dan menentukan titik akhir titasi.

VI. KESIMPULAN

1. Normalitas larutan NaOH setelah distandarisasi adalah 0,0952 N.

2. Normalitas larutan HCl setelah distandarisasi adalah 0,0740 N.

3. Normalitas larutan sampel (H2SO4) adalah 0,0805 N.

VII. DAFTAR PUSTAKA

1. Mudjiran.Diktat Analisis Kuantitatif Bagian Volumetri.Yogyakarta:STTN-BATAN.

2. Siswantoro.dkk.2010.Petunjuk Praktikum Kimia Analisis.Yogyakarta:STTN-BATAN.

A.Dasar Teori
Asidimetri adalah pengukuran konsentrasi asam dengan menggunakan larutan b a k u
basa, sedangkan alkalimeteri adalah pengukuran konsentrasi basa
d e n g a n menggunakan larutan baku asam. Oleh sebab itu, keduanya disebut juga sebagai
titrasiasam-basa.Titrasi adalah proses mengukur volume larutan yang terdapat dalam buret
yangditambahkan ke dalam larutan lain yang diketahui volumenya sampai terjadi
reaksisempurna. Atau dengan perkataan lain untuk mengukur volume titran yang
diperlukanuntuk mencapai titik ekivalen.Titik ekivalen adalah saat yang menunjukkan bahwa
ekivalen perekasi-pereaksisama. Di dalam prakteknya titik ekivalen sukar diamati, karena
hanya merupakan titik akhir teoritis atau titik akhir stoikometri. Hal ini diatasi dengan
pemberian indikator asam-basa yang membantu sehingga titik akhir titrasi dapat diketahui. Titik
akhir titrasim e r u a p a k a n k e a d a a n d i m a n a p e n a m b a h a n s a t u t e t e s z a t
p e n i t r a s i ( t i t r a n ) a k a n menyebabkan perubahan warna indikator. Kadua cara di atas termasuk
analisis titrimetriatau volumetrik.Selama bertahun-tahun istilah analisis volumetrik l ebih
sering digunakan dari pada titrimetrik. Akan tetapi dilihat dari segi yang kata, “titrimetrik” lebih baik,
karena pengukuran volume tidak perlu dibatasi oleh titrasi.R e k a s i - r e a k s i k i m a y a n g d a p a t
d i t e r i m a s e b a g a i d a s a r p e n e n t u a n t i t r i m e t r i k asam-basa adalah sebagai berikut :
Jika HA meruapakn asam yang akan ditentukan dan BOH sebabagi basa, maka reksinya
adalah :HA + OH-→A-+ H2O
Jika BOH merupakan basa yang akan ditentukan dan HA sebagi asam, maka reaksinya adalah
:BOH + H+→ B++ H2O

Dari kedua reaksi di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip reaksi titrasi asam b a s a
a d a l a h r e a k s i p e n e t r a l a n , y a k n i : H + + OH-→ H2O d a n t e r d i r i d a r i
b e b e r a p a kemungkinan yaitu reaksi-rekasi antara asam kuat dengan basa kuat, asam kuat dan
basalemah, asam lemah dan basa kuat, serta asam lemah dan basa lemah.Khusus reaksi antara
asam lemah dan basa lemah tidak dapat digunakan dalam analisis kuantitatif, karena pada titik
ekivalen yang terbentuk akan terhidrolisis kembalisehingga titik akhir titrasi tidak dapat diamati.
Hal ini yang menyebabkan bahwa titran biasanya merupakan larutan baku elektrolit kuat seperti
NaOH dan HCl.

B.Data Pengamatan
1.Standardisasi larutan HCl dengan larutan standar primer boraks
s e c a r a Asidimetri
Berat zat standar primer boraks (Na 2B4O7.10H2O) ditimbang dengan telitiseberat 0,2 gram,
dilarutkan dengan H2O dalam volumetrickflash sebanyak 50 mL.sehingga diperoleh konsentrasi sebesar
0,01 M atau 0,02 N NoVolume titran(Na2B4O7) Normalitastitran (Na2B4O7)Skala buretVolumererata
titrat(HCl)a w a l a k h i r 1 1 0
m L 0 , 0 2
N 0 , 0 3 , 2 4
, 0
m L 2 1 0
m L 3 ,
2 6 , 3
3 1 0
m L 6 ,
3 1 0 ,
1
2.Menetapkan kadar NH
3
dalam NH
4
Cl dengan larutan HCl standart secara Asidimetri
Berat titrat (NH
4
Cl) ditimbang dengan teliti seberat 0,26 gram, dilarutkan dalam volumetrickflash sebanyak 50
mL. NoVolume titrat(NH
4
Cl) Normalitastitran (HCl)Skala buretVolumererata
titran(HCl)a w a l a k h i r 1 1 0
m L 0 , 0 2
N 1 0 , 1 2 1 . 4
8 , 5
m L 2 1 0
m L 2 1 .
4 2 8 . 6
3 1 0
m L 2 8 .
6 3 5 , 7

PERCOBAAN VIIIA ASIDIMETRI

LAporan ASIDIMETRI DAN ALKALIMETRI

Posted by For Indonesiaku 15:46, under | No comments

ASIDIMETRI DAN ALKALIMETRI

TUJUAN
Mahasiswa dapat membuat larutan HCl 0,1 N
Mahasiswa dapat melakukan standarisasi larutan HCl 0,1 N
Mahasiswa dapat membuat larutan NaOH 0,1 N
Mahasiswa dapat melakukan standarisasi larutan NaOH 0,1 N
Mahasiswa dapat melakukan standarisasi cuplikan (sampel)

DASAR TEORI
Asidimetri : Analisis (volumetri) yang menggunakan asam sebagai larutan asam sebagai larutan
Standart.
Alkalimetri : Analisis (volumetri) yang menggunakan alkali (basa) sebagai larutan asam sebagai
larutan standart.

Analisis anorganik secara kuantitatif yaitu proses atau operasi analisis hanya digunakan untuk
mengetahui atau mengidentifikasi penyusun-penyusun dari suatu zat dan pengembang-
pengembang metoda-metoda pemisahan masing-masing penyusun yang terdapat dalam suatu
campuran. Analisis anorganik secara kuantitatif yaitu proses analisis untuk menentukan atau
mengidentifikasi banyaknya atau perbandingan banyaknya tiap-tiap penyusun yang terdapat
suatu zat atau persenyawaan.

Secara garis besar, analisis kuantitatif terbagi menjadi :


1.Analisis berdasarkan Gravimetri.
2.Analisis berdasarkan Volumetri.

Analisis secara Volumetri adalah analisis kimia kuantitatif utuk menentukan banyaknya volume
suatu larutan yang konsentrasinya telah diketahui dengan teliti yang bereaksi secara kuantitatif
dengan larutan/zat yang akan kita tentukan konsentrasinya.
Larutan yang konsentrasinya telah diketahui dengan teliti disebut Larutan Standart, larutan
standart ini tiap liternya mengandung sejumlah gram ekivalen tertentu. Banyaknya zat yang akan
ditentukan konsentrasinya dapat dihitung dari banyaknya volume standart dengan hukum
ekivalen biasa.
Proses penambahan larutan standart ke dalam larutan yang akan ditentukan normalitasnya
sampai terjadi reaksi yang sempurna disebut Titrasi. Sedang larutan yang akan ditentukan
normalitasnya disebut larutan yang dititrasi. Saat dimana terjadi reaksi yang sempurna tercapai
disebut saat Titik Ekivalen atau titik Stoikiometri biasanya titik akhir titrasi disebut juga titik
akhir teoritis. Titik akhir titrasi ini dapat dilihat denga adanya perubahan warna yang terdapat
dalam larutan yang dititrasi. Perubahan warna dalam larutan ini akan lebih jelas bila dalam
proses titrasi ditambahkan sedikit indicator.

Reaksi dalam analisis volumetri terbagi menjadi :


Reaksi-reaksi yang tidaj menimbulkan / mengakibatkan terjadinya perubahan valensi, hanya
penggabungan ion-ion saja.
Reaksi-reaksi yang tidaj menimbulkan / mengakibatkan terjadinya perubahan valensi, misalnya
pada reaksi Oksidasi dan Reduksi.
Proses titrasi Asidimetri dan Alkalimetri merupakan salah satu proses titrasi netralisasi.
Asidimetri suatu titrasi terhadap larutan-larutan basa bebas atau garam yang berasal dari basa
lemah dengan larutan standart asam.Dalam proses ini yang terjadi adalah penggabungan antara
ion-ion H+dengan ion-ion OH- membentuk molekul air.
Sedang alkalimetri adalah suatu proses titrasi larutan-larutan asam bebas atau larutan-larutan
garam yang berasal dari asam lemah dengan larutan standar basa. Dalam perhitungan selanjutnya
kita gunakan persamaan antara volume dan konsentrasi masing-masing zat yang dititrasi dengan
zat penetrasinya dan berlaku rumus sebagai berikut :

V1 x N1 = V2 x N2

Dimana,
V1 : Volume zat penetrasi/standar (ml)
N1 : Normalitas zat penetrasi/standar (gram ekivalen/liter)
V2 : Volume zat yang dititrasi/dicari N nya (ml)
N2 : Normalitas zat yang dititrasi/dicari N nya (gram ekivalen/liter)

Sedangkan reaksi-reaksi yang melibatkan proses oksidasi dan reduksi akan dibahas tersendiri
dalam praktikum yang menggunakan zat kimia bersifat oksidator/reduktor seperti Iodometri dan
Iodimetri.

ALAT DAN BAHAN


ALAT :
Buret 7. Pipet gondok
Sendok sungu 8. Pipit ukur
Gelas arloji 9. Bulbpet
Labu takar 10. Erlenmeyer
Corong 11. Gelas beker
Pipet tetes 12. Neraca timbang

BAHAN :
NaOH Kristal 5. Natrium Borat kristal
HCl pekat 6. Indikator MO dan PP
H2SO4 pekat 7. Aquadest
Asam oksalat

CARA KERJA
1. Membuat larutan NaOH 0,1 N
NaOH sebanyak 1,091 ditimbang dengan gelas arloji (sesuai dengan perhitungan).
NaOH tersebut dimasukkan ke dalam labu takar 250 ml, kemudian ditandabataskan.
Disimpan di dalam botol dan ditutup rapat-rapa.

2. Penentuan normaitas larutan NaOH 0,1 N dengan Asam Oksalat.


Kristal asam oksalat (H2C2O4 )ditimbang sebanyak 0,632 gram.
Dilarutkan dengan air murni dalam labu takar 100 ml, kemudian ditandabataskan.
Sebanyak 25 ml larutan asam oksalat tersebut dimasukkan dalam Erlenmeyer dan ditambahkan 3
tetes indicator PP.
Dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N (yang akan dicari normalitasnya).
Dititrasi ulang 2-3 kali.

Membuat larutan HCl 0,1 N


HCl pekat dianbil sebanyak 0,83 mL.
HCl pekat dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL, kemudian ditambah dengan aquadest.
Larutan dikocok sampai homogen, kemudian ditandabataskan.
Cara menghitung (X) ml HCl sebagai berikut:
x=(N x V x M)/(10n x K x L)
Dimana ,
X : Banyaknya HCl yang diambil ( ml )
N : Normalitas larutan HCl yang dibuat ( 0,1 N )
V : Volume asamyang dibutuhkan ( 100 ml )
M : Berat molekul asam ( HCl = 36,5 )
n : Valensi asam ( HCl = 1 )
L : Berat jenis asam ( HCL = 1,3-1,4 )
K : Kadar asam HCl ( %= 35-36 )
4. Penentuan Normalitas HCl 0,1 N
Larutan natrium Borat 0,1 N dibuat sebanyak 100 ml (sesuai perhitungan).
Larutan HCl (yang dibuat) diambil sebanyak 25 ml dan ditambahkan 3 tetes indikator MO.
Larutan HCl tersebut dititrasi dengan Natrium Borat yang dibuat.
Dititrasi ulang 2-3 kali.
Ditentukan Normalitas asam tersebut.

Penentuan larutan sampel


Sebanyak 25 mL sampel yang sudah disediakan dimasukkan kedalam Erlenmeyer.
Indikator PP ditambahkan sebanyak 3 tetes.
Dititrasi dengan larutan NaOH standart.
Titrasi diulang sampai 3 kali.
Ditentukan normalitas sampel tersebut.

DATA PENGAMATAN
҉ Pembuatan NaOH 0,1 N
BM NaOH : 40,0 g/mol
Berat NaOH : ± 1,091 gram
Volume NaOH : 250 ml
҉ Standarisasi Normalitas lautan NaOH dengan garam asam oksalat ( H2C2O4 )
Massa oksalat : 0,632 gram
BM oksalat : 126,07 gram/mol
Volume pengenceran : 100 ml
NO. Volume Oksalat Indikator Volume NaOH Perubahan warna
1. 25 ml PP 3 tetes 24 merah mudaml Jernih
2. 25 ml PP 3 tetes 23,6 merah mudaml Jernih
3. 25 ml PP 3 tetes 24 merah mudaml Jernih

҉ Pembuatan larutan HCl 0,1 N


Volume diambil HCl : 0,83 ml
BM HCl pekat : 36,5 g/mol
BD HCl pekat : 1,19 gr/ml
Prosen HCl pekat : 37 %
Volume pengenceran : 100 ml
҉ Standarisasi larutan HCl dengan larutan Na2B4O7
Massa Borat : 1,903 gram
BM Borat : 381,37 g/mol
Volume pengenceran : 100 ml
NO. Volume HCl Volume Na2B4O7 Indikator Perubahan warna
1. 25 ml 30,4 ml MO 3 Orangetetes Kuning
2. 25 Orangeml 30,3 ml MO 3 tetes Kuning
3. 25 Orangeml 30,9 ml MO 3 tetes Kuning

҉ Penentuan larutan sampel


NO. Volume HCl/Sampel Indikator Volume NaOH Perubahan warna
1. 25 Merah mudaml PP 3 tetes 18,4 ml Jernih
2. 25 Merah mudaml PP 3 tetes 18,6 ml Jernih
3. 25 Merah mudaml PP 3 tetes 18,8 ml Jernih

PERHITUNGAN
Ѽ Pembuatan NaOH 0,1 N
Massa NaOH yang ditimbang = 1,047 gram
N NaOH=(Massa NaOH)/(BE NaOH) x 1000/(V (ml))
Massa NaOH = N NaOH x BE NaOH x V (ml) : 1000
=(0,1 N)x (40 gr/mol)/1 x (250 ml)/(1000 ml)
= 1 gram
Ѽ Penentuan normalitas larutan NaOH 0,1 N dengan asam oksalat.
₰ Normalitas asam oksalat
Massa asam oksalat = 0,632 gram
BM asam oksalat = 126,07 gr/mol
Volume asam oksalat = 100 ml

Maka,
N C2H2O4.H2O=(M C2H2O4.H2O)/(BE C2H2O4.H2O) x 1000/(V (ml))
N C2H2O4.H2O=(0,632 gram)/(126,07/2) x 1000/100
= 0,1003 N
₰ Volume NaOH
V rata NaOH=( 24 +23,6 + 24 )ml/3
= 23,87 ml
Normalitas NaOH
V NaOH x N NaOH = V Oksalat x N Oksalat
N NaOH = (V Oksalat x N Oksalat)/(V NaOH)
N NaOH = ((25 ml)(0,1003))/(23,87 ml)
= 0,105 N
Ѽ Pembuatan larutan HCl 0,1 N
Volume HCl yang harus diambil : ± 0,83 ml
BM HCl pekat : 36,5 g/mol
BD HCl pekat : 1,19 gr/ml
Prosen HCl pekat : 37 %
Volume pengenceran : 100 ml

x=(N x V x M)/(10n x K x L)

x=((0,1 N)x (100)x (36,5))/(10(1)x (37)x (1,19))


x= 0,83 ml ( diencerkan menjadi 100 ml)
Ѽ Penentuan massa Natrium Borat yang diambil
Mr Na-Borat = 381,37 gr/mol
Volume pelarutan = 100 ml
N Na-Borat = 0,1 N
0,1 N dalam 100 ml
0,1 N = 0,1 grek/L
Mol = 0,1/2 L
= (0,05 mol x 381,37 gr/mol x 100 ml)/(1000 ml)
= 1,907 gram (pembulatan)
Ѽ Penentuan Normalitas HCl :
V Na-Borrat = ((30,4+30,3+30,7 ))/3
= 30,467 ml
N Na-Borat = (m Na-Borat)/Be x 1000/V
= (1,903 gr)/((381,37/2)(gr/mol)) x 1000/100
= 0,0998 N
VHCl x NHCl = V Na2B4O7 x N Na2B4O7
NHCl = (V Na2B4O7 xN Na2B4O7)/VHCl
= (30,467 ml x 0,0998N)/(25 ml)
= 0,1216 N
Konsentrasi HCl sesungguhnya
x=(N x V x M)/(10n x K x L)

K=(N x V x m)/(10n x L x X)

=((0,1216 N)x (100)x (36,5))/(10(1)x (1,19)x 0,83 )


= 44,936 %
Penentuan Larutan sampel (HCl)
V sampel = 25 ml
V NaOH = (18,4+18,6+18,8 )ml/3 = 18,6 ml
N NaOH = 0,105 N
Vsampel x N sampel = V NaOH x N NaOH
25 ml x N sampel = 18,6 ml x 0,105 N
N sampel = (1,953 ml)/(25 ml)
= 0,078 N

PEMBAHASAN
Percobaan ini, praktikan bertujuan untuk dapat membuat larutan HCl 0,1 N, dapat melakukan
standarisasi larutan HCl 0,1 N, dapat membuat larutan NaOH 0,1 N, dapat melakukan
standarisasi larutan NaOH 0,1 N, dan dapat melakukan standarisasi cuplikan (sampel).
Penggunaan larutan NaOH dan HCl sendiri didasarkan pada pengertian asidimitri dan alkalimetri
itu sendiri. Asidimetri yaitu analisis secara volumetric dengan larutan standar basa. Pada
percobaan ini HCl distandarisasi dengan Na-Borat. Sedangkan alkalimetri yaitu analisis secara
volumetric dengan larutan standar asam. Pada percobaan ini, NaOH distandarisasi menggunakan
asam oksalat.
Tujuan dari standarisasi adalah menentukan konsentrasi larutan setepat mungkin, sebab belum
tentu dalam pembuatan HCl dan NaOH didapat normalitas 0,1 N,bisa kurang bisa lebih. Pada
pembuatan larutan asam oksalat 0,1 N diperoleh perhitungan 0,1003 N sebab pada saat
penimbangan padatannya tidak diperoleh tepat 0,63 gr, tetapi 0,632 gr. Begitu juga pada
pembuatan Na-Borat, penimbangannya 1,903 gr seharusnya 1,906 gr, sehingga diperoleh
normalitas sebesar 0,0998 N.
Percobaan pertama yaitu membuat larutan NaOH 0,1 N. NaOH adalah basa kuat yang dapat larut
dalam air, dan biasanya digunakan untuk pembuatan larutan alkali standar, selain itu harganya
juga murah. Tetapi NaOH harus di standarisasai terlebih dahulu karena tidak satupun dari
hidroksida padat ini dapat diperoleh murni, sehingga suatu larutan standar tidak dapat dibuat
dengan melarutkan suatu bobot yang diketahui dalam volume air tertentu. NaOH sangat
higroskopis dan selalu terdapat sejumlah tertentu alkali karbonat dan air.
Pada percobaan ini, NaOH distandarisasi dengan asam oksalat karena agar lebih stabil dengan
adanya 2 valensi pada asam oksalat. Dan untuk mengindikasi adanya perubahan pH maka
digunakan indicator PP. Dengan adanya indicator PP, maka dapat diketahui titik ekivalen dengan
berubahnya warna larutan dari bening menjadi merah muda. Dari hasil percobaan diketahui
bahwa volume NaOH untuk titrasi adalah 23,87 ml sehingga normalitas NaOH hasil standarisasi
yaitu 0,105 N.
Reaksi yang terjadi :
NaOH + (COOH)2 (COONa)2 + 2H2O
Reaksi indicator dengan titrant :
NaOH + In- NaIn- + OH-

Untuk pembuatan larutan HCL 0,1 N dari HCL 37% dalam 100 ml harus diambil ± 0,83 ml.
Standarisasi HCl dengan Na-Borat menggunakan indicator MO (Metil Orange). Titrasi
dihentikan setelah terjadi perubahan warna dari kuning menjadi orange. Terjadinya perubahan
warna merupakan akibat reaksi yang menunjukkan perbedaan pH. Reaksi yang terjadi sebagai
berikut :
Na2B4O7 + 5 H2O + 2 HCl 2 NaCl + 4 H3BO3
Reaksi indicator dengan titrant :
HCl + In-
Percobaan kedua yaitu menentukan normaitas larutan NaOH 0,1 N dengan asam
oksalat.Pertama,dilakukan terlebih dahulu pengenceran asam oksalat 0,63 gram ke dalam
erlenmeyer 100 ml.Setelah dilakukak pengenceran,selanjutnya dilakukan titrasi dengan maksud
mencari titik ekivalen atau titik akhir titrasi guna standarisasi normalitas larutan NaOH dengan
asam oksalat.titik ekivalen atau titik akhir titrasi selesai dilakukan saat terjadi perubahan
warna.Untuk mengetahui adanya perubahan warna,digunakan indicator PP yang dicampur pada
larutan oksalat.Saat dititrasi,larutan oksalat berwarna jernih dan setelah dititrasi dengan
NaOH,ternyata terjadi perubahan warna menjadi merah muda yang menghabiskan volume
NaOH sebanyak 24,7 ml. Setelah diperoleh beberapa data,didapat nilai normalitas oksalat
sebesar 0,0999 N.
Percobaan selanjutnya yaitu membuat larutan HCl 0,1 N.dimana akan dibuat larutan HCl 0,1 N
sebanyak 100 ml.Metode yang digunakan sama seperti yang sebelumnya yaitu dengan
pengenceran.Hanya saja pada percobaan yang ketiga ini harus menentukan seberapa banyak
volume HCl pekat yang diperlukan.Untuk melakukan perhitungan,terlebih dahulu dicari data-
data seperti volume HCl yang diambil,berat molekul HCl pekat,massa jenis HCl pekat ,serta
prosen HCl pekat nya.Setelah diperoleh data tersebut,didapat hasil bahwa diperlukan HCl
sebanyak 1,227 ml.

Kemudian dilanjutkan dengan percobaan yang ke empat yaitu Standarisasi larutan HCl dengan
larutan Na2B4O7.Dari percobaan diperoleh data massa Borat sebanyak 1,906 gram dan berat
jenis Borat sebesar 381,37 gr/mol.Setelah dititrasi,diperoleh perubahan warna dari merah muda
menjadi kuning.Percobaan yang terakhir yaitu penentuan larutan sampel 25% yang diambil 5ml
dan diencerkan menjadi 250 ml diambil 10 ml untuk sampelnya dan setelah dilakukan titrasi
ternyata dihabiskan volume NaOH rata sebanyak 12,05 ml.
KESIMPULAN

1.Pembuatan larutan NaOH dan HCl 0,1 N dapat dilakukan dengan pengenceran.
2.Pembuatan NaOH 0,1 N diperlukan massa NaOH seberat 1 gram.
3.Penentuan normalitas larutan NaOH 0,1 N dengan asam oksalat diperlukan volume sebanyak
24,7 ml.
4.Normalitas HCl sebesar 0,0811 N
BAB 4

TITRASI ASIDIMETRI-ALKALIMETRI

(TITRASI ASAM-BASA)

Pengertian
Titrasi asam-basa sering disebut asidimetri-alkalimetri, yaitu titrasi yang menyangkut asam dan
basa. Reaksi yang dibahas mengenai reaksi dengan asam dan/atau basa, diantaranya:

1. Asam kuat-basa kuat

2. asam kuat-basa lemah

3. asam lemah-basa kuat

4. asam kuat-garam dari asam lemah

5. basa kuat-garam dari basa lemah

Ada beberapa pendapat mengenai pengertian asam dan basa, yaitu :

Asam dan basa menurut Arrhenius

Asam adalah zat yang terdissosiasi dalam air membentuk ion hidrogen (H+) sedangkan basa adalah zat
yang terdissosiasi dalam air membentuk ion hidroksida (OH-).

Contoh :

HCl dalam air akan membentuk ion H+ dan Cl-, oleh karena itu HCl merupakan suatu asam.

HCl H+ + Cl-
NaOH dalam air akan membentuk ion Na+ dan OH-, oleh karena itu NaOH
merupakan suatu basa.
NaOH Na+ + OH-

Asam dan basa menurut Broensted dan Lowry

Asam merupakan zat yang cendrung memberikan sebuah proton (H+), sedangkan basa adalah zat yang
cendrung menerima sebuah proton (H+).

Contoh : asam asetat (CH3COOH), cendrung untuk melepaskan proton (H+) yang ada pada gugus
karboksilatnya, dimana :

CH3COOH  CH3COO- + H+

Sehingga asam asetat adalah suatu asam.

Asam dan basa menurut Lewis

Asam adalah zat yang menerima sepasang elektron, atau dikenal juga dengan akseptor elektron,
sedangkan basa adalah zat yang memberikan sepasang elektron, atau dikenal juga dengan donor
elektron.

Contoh :

asam lewis basa lewis

KLASIFIKASI ASAM DAN BASA


Secara garis besar, asam dan basa dapat diklasifikasikan berdasarkan kemampuan
ionisasinya dan berdasarkan kekuatan.

1. Berdasarkan kemampuan ionisasinya, asam dan basa dikelompokkan atas:

Asam dan basa monoprotik :

Asam dan basa yang dapat melepaskan satu ion H+ atau OH- (dikenal juga dengan ionisasi primer).

Contoh :

Asam monoprotik : HCl, HNO3, CH3COOH, dll

Basa monoprotik : NaOH, KOH, dll

Asam dan Basa diprotik :

Asam dan basa yang dapat melepaskan dua ion H+ atau OH- (dikenal juga dengan ionisasi sekunder).

Contoh :

Asam diprotik : H2SO4, H2CO3, H2C2O4, dll

Basa diprotik : Ca(OH)2, Mg(OH)2, dll

Asam dan basa poliprotik :

Asam dan basa yang dapat melepaskan 3 atau lebih ion H+ atau OH- (dikenal juga dengan ionisasi tersier)

Contoh :

Asam poliprotik : H3PO4

2. Berdasarkan kekuatannya, asam dan basa dibedakan atas :

Asam/basa kuat :

Asam atau basa yang terdissosiasi hampir sempurna di dalam air

Asam atau basa lemah :


Asam atau basa yang terdissosiasi sebagian di dalam air.

Contoh :

HCl merupakan suatu asam kuat, sebab hampir semua molekul HCl akan terdissosiasi menjadi ion H+ dan
Cl-.

HCl  H+ + Cl-

>90%

Sementara itu CH3COOH merupakan suatu asam lemah, sebab hanya sebagian dari molekul CH3COOH
yang terdissosiasi menjadi ion H+ dan CH3COO-.

CH3COOH ===== CH3COO- + H+

+ 1,3%

Kekuatan relatif asam dan basa tergantung pada :

Kekuatan relatif asam/basa yang terbentuk.

Suatu asam akan terdissosiasi membentuk suatu basa konjugasi. Semakin kuat suatu asam, maka akan
basa konjugasi yang terbentuk akan semakin lemah.

Demikian pula sebaliknya, semakin kuat suatu basa, makin lemah asam konjugasi yang terbentuk dan
semakin lemah suatu basa, maka akan semakin kuat asam konjugasi yang terbentuk.

Contoh :

HCl  H+ + Cl-

Asam kuat basa konjugasi

(basa lemah)

CH3COOH ===== CH3COO- + H+

Asam lemah basa konjugasi

(basa kuat)
NaOH  Na+ + OH-

Basa kuat Asam konjugasi

(asam lemah)

NH4OH ===== NH4+ + OH-

Basa lemah asam konjugasi

(asam kuat)

Kemampuan Ionisasinya :

Asam :

Untuk asam poliprotik (dapat terionisasi beberapa kali), maka ionisasi pertama dapat berlangsung lebih
mudah dibandingkan ionisasi kedua maupun ketiga, sedangkan ionisasi kedua lebih mudah dari ionisasi
ketiga. Semakin mudah suatu asam terionisasi maka semakin kuat asam tersebut. Karena itu asam
dengan ionisasi pertama lenih kuat dibandingkan asam dengan ionisasi kedua maupun ketiga

Contoh :

Ionisasi pertama (primer)

Ionisasi kedua (sekunder)

Ionisasi ketiga (tersier)

Dari ketiga asam diatas, urutan kekuatan asamnya adalah :

H3PO4 > H2PO4- > HPO4-3


Untuk asam-asam yang mempunyai atom-atom non logam yang sama, maka kekuatan asamnya
tergantung pada bilangan oksidasi ion non logamnya. Semakin besar bilangan oksidasi non logamnya,
semakin kuat asamnya.

Contoh :

Asam H2SO4 dan H2SO3.

Bilangan oksidasi S pada H2SO4 = +6, sedangkanbilangan oksidasi S pada H2SO3 = +4, maka kekuatan
asamnya :

H2SO4 > H2SO3

Basa :

Kekuatan basa tergantung pada ion positifnya.

semakin besar ukuran ion positifnya, maka kekuatan basa akan semakin besar.

Semakin kecil muatan ion positinya kekuatan basanya akan semakin besar.

Contohnya :

Ion positif K+ lebih besar ukurannya dari ion Na+, akibatnya basa KOH lebih kuat dari NaOH

Ukuran ion Na+ lebih kecil daripada ion Mg+2, akibatnya basa NaOH lebih kuat daripada basa Mg(OH)2.

Tabel 1. Kekuatan relatif dari beberapa asam/basa

Contoh Asam/Basa % Ionisasi

Asam Kuat > 90 %

HCl > 90 %

HBr > 90 %

HI > 90 %

HNO3 > 90 %

H2SO4 > 60 %

Asam Lemah
H3PO4 27

H2SO3 20

HNO2 1,5
CH3COOH 1,3

H2CO3 0,2

Basa Kuat
NaOH > 90 %

KOH > 90 %

Ca(OH)2 100 %

Mg(OH)2 100 %

Basa Lemah
NH3 1,3 (pada 18oC)

DISSOSIASI AIR

Air mengalami ionisasi membentuk ion H3O+ dan OH-. Karena itu air dapat bertindak sebagai
asam atau basa. Persamaan reaksi kesetimbangan asam-basa pada air adalah :

H2O + H2O ==== H3O+ + OH-

Asam 1 basa 1 asam 2 basa 2

Asam 1 dan basa 2 merupakan suatu pasangan asam-basa konjugasi, demikian juga halnya basa 1 dan
asam 2. Basa 2 merupakan basa konjugasi dari asam 1 sedangkan asam 2 merupakan asam konjugasi
dari basa 1.

Jadi :

Basa konjugasi adalah :

Basa yang terbentuk akibat berpindahnya proton dari suatu asam.

Asam konjugasi adalah :

Asam yang terbentuk akibat masuknya suatu proton ke dalam suatu basa.

Jadi dalam hal ini terjadi serah terima proton dari satu molekul H2O ke molekul H2O yang lain.

H2O + H2O ==== H3O+ + OH-

Dari persamaan reaksi kesetimbangan air tersebut, didapatkan bahwa


konstanta kesetimbangan kimianya adalah :
Atau :

KC [H2O] = [H3O+][OH-]

Nilai [H2O] dapat dianggap tetap karena berwujud cair.

Bila Kc x [H2O] = Kw, maka persamaan diatas akan menjadi :

Kw = [H3O+][OH-]

Pada suhu 25oC, diketahui bahwa [H3O+] = 1,0 x 10-7 M.

Sedangkan dari persamaan reaksi kesetimbangannya diketahui [H3O+]=[OH-].

Akibatnya :

Kw = [H3O+][OH-]

= (1,0 x 10-7) x (1,0 x 10-7)

= 1,0 x 10-14

pKw = - log Kw

= -log 1,0 x 10-14

= 14

Dari nilai [H3O+] dan [OH-] ini kita dapat menentukan apakah suatu larutan bersifat asam, basa atau
netral.

Larutan asam : bila [H3O+]>[OH-]

Larutan netral : bila [H3O+]=[OH-]

Larutan basa : bila [H3O+]<[OH-]

Selain itu keasaman suatu larutan bisa dinyatakan dalam skala pH,

Dimana :

pH = - log [H3O+] atau

[H3O+] = 10-pH

Air adalah larutan yang bersifat netral,

dimana [H3O+]=[OH-]= 1,0 x 10-7,

maka air mempunyai pH :

pH air = -log [H3O+]

= - log 1,0 x 10-7


=7

Dengan demikian dengan cara yang sama akan di dapatkan bahwa :

Larutan asam : punya pH < 7

Larutan netral : punya pH = 7

Larutan basa : punya pH > 7

Indikator Asam-Basa

Indikator asam-basa digunakan untuk mengatahui apakah suatu larutan asam, basa atau netral.
Indikator asam basa merupakan zat yang dapat mengalami perubahan warna dalam suatu rentang pH
yang spesifik.

Tabel 2. Contoh beberapa indicator asam-basa

NAMA TRAYEK pH PERUBAHAN WARNA


pH
1. Asam pikrat 0,1-0,8 Tidak berwarna-kuning LAR
2. Hijau bromkresol 3,8-5,4 Kuning-biru UTA
N
3. Biru bromtimol 6,0-7,6 Kuning-biru ASA
M
4. lakmus 4,5-8,3 Merah-biru KUA
T
5. Fenolftalein 8,2-10,0 Tidak berwarna-merah
DAN
6. Kuning alizarin 10,1-12,0 Tidak berwarna-jingga BAS
A
KUAT

Asam Kuat :

pH dihitung dari konsentrasi [H3O+] yang ada dalam larutan,

dimana : pH = -log [H3O+] atau : pH = -log [H+]

[H+] = a. M

Dimana a = valensi asam

M = Konsentrasi asam (Molar)

Basa Kuat :

pOH dihitung dari konsentrasi [OH-] yang ada dalam larutan,

Dimana : pOH = -log [OH-]

[OH-] = b. M
Dimana b = valensi basa

M = Konsentrasi basa (Molar)

Dalam kesetimbangan air telah diketahui :

Kw = [H3O+][OH-]

-log Kw = -log [H3O+] + -log [OH-]

pKw = pH + pOH

Karena pKw = 14, maka

pH + pOH = 14

Jadi untuk basa kuat, didapatkan bahwa :

pH = 14 + log [OH-]

KESETIMBANGAN ASAM LEMAH DAN BASA LEMAH

Kesetimbangan Asam Lemah

Suatu asam lemah mengalami ionisasi dengan persamaan kesetimbangan reaksi :

HA + H2O ===== H3O+ + A-

Dengan konstanta protolisa asam :

pH larutan asam lemah sangat tergantung dari nilai Ka ini, dimana dapat didefinisikan :

[H3O+] = (Ka c)½

sehingga :

pH = - ½ (log Ka + log c)

Semakin besar nilai Ka suatu asam semakin kuat keasamannya.

Kesetimbangan Basa Lemah


Suatu basa lemah mengalami ionisasi dengan persamaan kesetimbangan reaksi :

B + H2O ===== BH+ + OH-

Dengan konstanta protolisa asam :

pH larutan basa lemah sangat tergantung dari nilai Kb ini.

Dimana dapat didefinisikan :

[OH-] = (Kb c)½

sehingga :

pOH = -½ (log Kb + log c)

pH = 14 + ½ (log Kb + log c)

Semakin besar nilai Kb, semakin kuat sifat kebasaannya.

Hubungan Ka dan Kb

Terdapat hubungan yang erat antara nilai Ka dan Kb suatu asam/basa.

Dimana : Ka Kb = [H3O+][OH-]

= Kw = 10-14

maka :

-log Ka - log Kb = -log [H3O+]- log (OH-]

pKa + pKb = pH + pOH

= pKw = 14

LARUTAN BUFFER

Larutan buffer :

Larutan yang mampu mempertahankan pH meskipun pada larutan tersebut ditambahkan sedikit asam
maupun basa.

Larutan buffer merupakan campuran dari : Suatu asam lemah dengan basa konjugasinya (garamnya)
atau Suatu basa lemah dengan asam konjugasinya (garamnya)
Contoh :

1. Buffer asetat (campuran CH3COOH dengan CH3COONa)

CH3COOH + H2O ==== CH3COO- + H3O+

2. Buffer format (campuran HCOOH dengan HCOONa)

HCOOH + H2O ==== HCOO- + H3O+

Suatu buffer dapat mempertahankan pH dengan cara menetralisir asam atau basa yang ditambahkan
pada larutan. Jika larutan buffer ditambah sedikit asam, maka asam yang ditambahkan akan bereaksi
dengan basa konjugasi dari asam lemah yang terdapat dalam larutan buffer.

Contoh :

Buffer asetat + larutan HCl, maka akan berlangsung reaksi netralisasi sbb:

CH3COONa+ + HCl === CH3COOH + NaCl

basa konjugasi

dari buffer

Jika larutan buffer ditambah sedikit basa, maka basa yang ditambahkan akan bereaksi dengan asam
lemah yang terdapat dalam larutan buffer.

Contoh :

CH3COOH + NaOH ==== CH3COONa + H2O

asam lemah

dari buffer

pH Larutan Buffer

pH dari larutan buffer dapat ditentukan dengan rumus :

Jadi perbandingan konsentrasi dari asam lemah dan garamnya sangat menentukan pH dari larutan
buffer.

Proses pengenceran tidak akan mempengaruhi pH larutan buffer, sebab dengan pengenceran, baik
konsentrasi garam maupun asam akan berubah secara bersamaan, sehingga perbandingan
konsentrasinya akan tetap.
Kurva Titrasi

Kurva titrasi dapat diperoleh dengan menghitung pH larutan selama titrasi berlangsung. Untuk itu
dibedakan empat daerah titrasi:

1. titik awal titrasi, yakni sebelum titrasi dimulai, jadi pH yang diukur adalah pH titrat.

2. Daerah sebelum titik ekivalen, pH yang diukur adalah pH larutan campuran antara titrat dan titran

3. Daerah saat titik ekivalen, saat jumlah mol titrat tepat habis bereaksi dengan jumlah mol titran

4. Daerah setelah titik ekivalen, pH yang diukur adalah pH larutan campuran antara titrat dan titran.

Titrasi Asam kuat oleh basa kuat

Misalnya 20 ml HCL 0,1M dititrasi oleh NaOH 0,1M:

1. Awal Titrasi, pH larutan asam kuat [H+] = a. M

[H+] = 1. 0,1 pH=-log [H+] pH= -log 0,1 maka pH=1


2. sebelum titik ekivalen (volume NaOH kurang dari 20ml misal 5ml), larutan berisi garam dan sisa asam
kuat, sehingga pH larutan diitung berdasarkan pH larutan sisa asam kuat.

HCl + NaOH NaCl + H2O

Awal : 2mmol 0,5mmol - -

Bereaksi: 0,5mmol 0,5mmol 0,5mmol 0,5mmol

Sisa: 1,5mmol - 0,5mmol 0,5mmol

pH=-log [H+] pH=-log [HCl] pH=-log[1,5mmol/Vol larutan]

pH=-log1,5/25 pH=-log0,06 pH=1,2218

3. saat titik ekivalen, pH larutan sama dengan 7

4. setelah titik ekivalen (volume NaOH lebih dari 20ml misal 22ml), larutan berisi garam dan sisa basa kuat,
jadi pH dihitung berdasarkan pH larutan sisa basa kuat.

HCl + NaOH NaCl + H2O

Awal : 2mmol 2,2mmol - -

Bereaksi: 2mmol 2mmol 2mmol 2mmol

Sisa: - 0,2mmol 2mmol 2mmol


pOH=-log [OH-] pOH=-log [NaOH]

pOH=-log [0,2mmol/Vol larutan]

pOH=-log0,2/42 pOH=-log4,7619x10-3 pOH=2,322

pH= 14-pOH pH= 14 – 2,322 pH=11,678

Titrasi Asam lemah oleh basa kuat

Misalnya 20 ml CH3COOH 0,1M Ka=1x10-5 dititrasi oleh NaOH 0,1M:

1. Awal Titrasi, pH larutan asam lemah [H+] = √ Ka. M

[H+] =√1x10-5. 0,1 pH=-log [H+] pH= -log√1x10-5. 0,1


maka pH=-log 10-3 pH=3

2. sebelum titik ekivalen (volume NaOH kurang dari 20ml misal 5ml), larutan berisi garam dan sisa asam
kuat, sehingga pH larutan dihitung berdasarkan pH larutan sisa asam kuat.

CH3COOH + NaOH CH3COONa + H2O

Awal : 2mmol 0,5mmol - -

Bereaksi: 0,5mmol 0,5mmol 0,5mmol 0,5mmol

Sisa: 1,5mmol - 0,5mmol 0,5mmol

pH dihitung berdasarkan larutan buffer asam, yaitu

pH=-log ka x –log (1,5/25)/(0,5/25) pH=-log3 x 10 -5

pH=4,523
3. saat titik ekivalen, pH larutan dihitung berdasar hidrolisis

4. setelah titik ekivalen (volume NaOH lebih dari 20ml misal 22ml), larutan berisi garam dan sisa basa kuat,
jadi pH dihitung berdasarkan pH larutan sisa basa kuat.

HCl + NaOH NaCl + H2O

Awal : 2mmol 2,2mmol - -

Bereaksi: 2mmol 2mmol 2mmol 2mmol

Sisa: - 0,2mmol 2mmol 2mmol

pOH=-log [OH-] pOH=-log [NaOH]

pOH=-log [0,2mmol/Vol larutan]

pOH=-log0,2/42 pOH=-log4,7619x10-3 pOH=2,322

pH= 14-pOH pH= 14 – 2,322 pH=11,678

Latihan Soal

1. Jika dilakukan titrasi asam lemah oleh basa kuat, ada beberapa indikator yang disiapkan, yaitu jingga
metil, biru bromtimol dan fenolftalein. Indikator mana yang paling tepat digunakan, sertakan alasannya.

2. Larutan HCl 0,0900M sebanyak 40,00ml diencerkan menjadi 100ml dengan air dan dititrasi dengan NaOH
0,1000M. Hitunglah pH setelah penambahan titran (dalam mililiter) sebagai berikut:

a. 00,00ml b. 10,00ml c.18,00ml d. 30,00ml

e. 35,95ml f. 36,00ml g. 36,05ml h. 40,00ml

Buatlah kurva titrasinya!


Titrasi Asam Basa
26 May

Keasaman atau kebasaan suatu larutan merupakan factor yang penting dalam reaksi-reaksi kimia
Kesetimbangan asam basa pun sangat penting dalam pemahaman titrasi asam basa. Ada
beberapa teori asam basa yang digunkan dalam penjelasan mengenai suasana asam dan basa dari
suatu zat (Christian,1994).
Teori asam basa Arrhenius emperkenalkan istilah asam sebagai zat-zat yang terionisasi (secara
parsial atau sempurna) dalam air untuk memberikan ion hydrogen (hidronium), sedangkan suatu
basa terionisasi dalam air menghasilkan ion hidroksil. Teori Arrhenius ini hanya berlaku dalam
keadaan air yang digunakan sebagai pelarut (Christian,1994).
Teori asam basa berikutnya adalah Teori Brownsted-Lowry. Teori menyatakan bahwa asam
adalah semua zat yang dapat memberikan atau mendonorkan proton, sedangkan basa adalah
semua zat yang dapat menerima proton. Jadi, dapat dituliskan sebagai setengah reaksi :
Asam = H+ +Basa
Asam dan basa dari setengah reaksi disebut pasangan konjugat. Proton-proton bebas tidak
terdapat dalam larutan, dan pasti ada penerima proton (basa) sebelum pendonor proton (asam)
menghasilkan protonnya. Selain itu, ada teori Lewis yang menyatakan bahwa asam adlah zat
yang menerima pasangan electron dan basa adalah zat yang mendaonorkan pasangan electron.
teori Lewis ini membuktikan bahwa tidak hanya ion H+ yang menyatakan keberadaan suatu
asam atau OH- untuk basa (Christian,1994).
Reaksi yang paling penting antara asam dan basa disebut reaksi netralisasi. Dalam larutan air,
netralisasi yang terjadi antara suatu asam kuat dan basa kuat akan menghasilkan hasil akhir
persamaan ion sebgai berikut :
H3O+(aq) + OH- –> 2H2O
atau bila digunakan H+ sebagai singkatan ino H3O+
H+(aq) + HCl(aq) –> NaCl(aq) + H2O
akan didapat suatu kesimpulan bahwa hasil akhir reaksi netralisasi dalam larutan adalah suatu
garam dan air (Brady,1999).
Titrasi asam basa mencakup dua metode titrasi, yaitu asidimetri dan alkalimetri. Asidimetri
adalah pengukuran konsentrasi asam dengan menggunakan larutan baku basa, sedangkan
alkalimetri adalah pengukuran konsentrasi basa dengan menggunakan larutan baku asam
(Rifai,2008).
Larutan baku adalah suatu larutan yang konsentrsinya diketahui dengantepat, dapat digunakn
untuk menetapkan kadar suatu larutan lain yang belum diketahui konsentrasinya. Larutan baku
dapat dibedakan dalam larutan baku primer dan larutan baku sekunder. Larutan baku primer
mengandung zat padat murni yang konsentrasinya diketahui dengan tepat, dapat digunakan untuk
menetapkan konsentrasi larutan lain ayng belum diketahui. Larutan baku sekunder adalah larutan
suatu zat yang konsentrasinya tidak dapat diketahui dengan tepat karean berasal dari zat yang
tidak pernah murni (bersifat higroskopis atau sangat mudah bereaksi dengan udara).
Karakteristik dari larutan baku primer adalah harus tersedia dengan mudah dalam bentuk murni,
zatharus stabil, tidak boleh higroskopis, dan memiliki massa molekul atau berat molekul yang
cukup besar. Karakteristik dari larutan baku sekunder adalah kebalikan dari larutan baku primer.
Oleh sebab itu, sebelum digunakan, larutan baku sekunder harus dibakukan atau distandardisasi
dengan larutan baku primer (Suhana,2002)

Reference :
Brady, J.E. 1999. Kimia Universitas Asas dan Struktur.Edisi Kelima.Jilid I.Binarupa
Aksara.Jakarta
Christian, G.D. 1994. Analytical Chemistry.John Wiley & Sons. New York.
Rifai,A.2008.Asidimetri dan Alkalimetri.
http://arifbio.multiply.com.journal/item/7?&item_id=7&view:respires:threaded
Suhana, N.2002.Larutan Baku Primer dan Sekunder. http://www.geocitis.com/nana_suhana2002/

 Categories
o Materi Kuliah
o Materi Praktikum
PRAKTIKUM ALKALIMETRI

TUJUAN
Praktikan mampu menetapkan kadar CH3COOH (asam asetat) dan asam cuka (HCl) menggunakan
prinsip reaksi asam-basa.

DASAR TEORI

Titrasi asam – basa adalah titrasi dimana reaksi antara titrat dan titranya merupakan reaksi asam –
basa. Alkalimetri adalah penetapan kadar secara kuantitatif terhadap senyawa yang bersifat asam
dengan menggunakan standar senyawa basa. Reaksi antara senyawa asam dan basa pada dasarnya
adalah reaksi netralisasi, yaitu reaksi antara donor proton (asam) dengan resipien/aseptor proton
(basa). Jika asam dan salah satu lemah maka garam akan terhidrolisa dan larutan sedikit asam/basa.
Asidi-alkalimetri merupakan salah satu metode kimia analisa kuantitatif yang didasarkan pada prinsip
titrasi asam-basa. Asidi-alkalimetri berfungsi untuk menentukan kadar asam-basa dalam suatu larutan
secara analisa volumetri. Titik akhir dari titrasi ini mudah dilihat dengan penambahan indikator yang
sesuai. Percobaan ini dilakukan untuk menentukan kadar asam Cuka (CH3COOH) dengan titrasi Asidi-
Alkalimetri. Sampai pH asam cuka berubah menjadi larutan basa, untuk ditentukan kadarnya.
Salah satu dari empat golongan utama dalam penggolongan analisis titrimetri adalah reaksi
penetralan atau asidimetri dan alkalimetri. Asidi dan alkalimetri ini melibatkan titrasi basa yang
terbentuk karena hidrolisis garam yang berasal dari asam lemah (basa bebas) dengan suatu asam
standar (asidimetri), dan titrasi asam yang terbentuk dari hidrolisis garam yang berasal dari basa
lemah (asam bebas) dengan suatu basa standar (alkalimetri). Bersenyawanya ion hidrogen dan ion
hidroksida untuk membentuk air merupakan akibat reaksi-reaksi tersebut (Basset, J, 1994).
Larutan yang mengandung reagensia dengan bobot yang diketahui dalam suatu volume tertentu
dalam suatu larutan disebut larutan standar. Sedangkan larutan standar primer adalah suatu larutan
yang konsentrasinya dapat langsung ditentukan dari berat bahan sangat murni yang dilarutkan dan
volume yang terjadi. Suatu zat standar primer harus memenuhi syarat seperti dibawah ini:
1. Zat harus mudah diperoleh, mudah dimurnikan, mudah dikeringkan (sebaiknya pada suhu 110-
120oC).
2. Zat harus mempunyai ekuivalen yang tinggi, sehingga sesatan penimbangan dapat diabaikan.
3. Zat harus mudah larut pada kondisi-kondisi dalam mana ia digunakan.
4. Zat harus dapat diuji terhadap zat-zat pengotor dengan uji-uji kualitatif atau uji-uji lain yang
kepekaannya diketahui (jumlah total zat-zat pengotor, umumnya tak boleh melebihi 0,01-0,02 %).
5. Reaksi dengan larutan standar itu harus stoikiometrik dan praktis sekejap. Sesatan titrasi harus
dapat diabaikan, atau mudah ditetapkan dengan cermat dengan eksperimen.
6. Zat harus tak berubah dalam udara selama penimbangan; kondisi-kondisi ini mengisyaratkan
bahwa zat tak boleh higroskopik, tak pula dioksidasi oleh udara, atau dipengaruhi oleh
karbondioksida.Standar ini harus dijaga agar komposisinya tak berubah selama penyimpanan.
Natrium karbonat Na2CO3, natrium tetraborat Na2B4O7, kalium hydrogen iodat KH(IO3)2, asam
klorida bertitik didih konstan merupakan zat-zat yang biasa digunakan sebagai standar primer.
Sedangkan standar sekunder adalah suatu zat yang dapat digunakan untuk standarisasi yang
kandungan zat aktifnya telah ditemukan dengan perbandingan terhadap suatu standar primer
(Basset, J, 1994).
Proses penambahan larutan standar sampai reaksi tepat lengkap, disebut titrasi. Titik (saat) mana
reaksi itu tepat lengkap, disebut titik ekuivalen (setara) atau titik akhir teoritis. Lengkapnya titrasi,
lazimnya harus terdeteksi oleh suatu perubahan,yang tak dapat di salah lihat oleh mata, yang
dihasilkan oleh larutan standar (biasanya ditambahkan dari dalam sebuah buret) itu sendiri, atau
lebih lazim lagi, oleh penambahan suatu reagensia pembantu yang dikenal sebagai indikator (Basset,
J, 1994).

Selama proses titrasi asam – basa, pH larutan terus menerus berubah dengan aturan yang khas. pH
tersebut akan berubah secara drastis pada saat volume titran mendekati titik ekivalen.
Karakteristik dari kurva ini sangat penting, karena menentukan pemilihan indicator yang sesuai
(paling mendekati titik ekivalen) untuk meminimalkan kesalahan titrasi. Indicator adalah zat yang
berubah warnanya atau membentuk fluorescent pada suatu trayek pH tertentu. Perubahan ini terjadi
karena karena adanya perubahan struktrur dari indicator tersebut.
Gambar diatas adalah contoh titrasi alkalimetri, terlihat bahwa pH naik perlahan terhadap
penambahan NaOH. Pada saat mendekati titik ekivalen, pH menaik secara drastis. Berdasarkan hal
tersebut, maka indikator yang sesuai adalah phenol phtalein yang bekerja pada trayek pH 8,3 -10.
Phenol phtalein merupakan bentuk asam lemah yang lain. Asam lemah tidak berwarna dan ion-nya
berwarna merah muda terang. Penambahan ion hidrogen berlebih menggeser posisi kesetimbangan
ke arah kiri, dan mengubah indikator menjadi tak berwarna. Penambahan ion hidroksida
menghilangkan ion hidrogen dari kesetimbangan yang mengarah ke kanan untuk menggantikannya -
mengubah indikator menjadi ungu.
Selain dengan menggunakan indikator, titik ekivalen dapat dicari dengan bantuan pH meter. Kurva
titrasi diperoleh dengan memplotkan data jumlah titran yang ditambahkan versus pH larutan. Titik
ekivalen jelas terlihat dengan menggunakan perhitungan turunan kedua, dimana titik ekivalen
merupakan perpotongan antara garis mendatar (volume titran).

PROSEDUR KERJA
Alat dan Bahan yang Dipergunakan

Alat-alat yang digunakan adalah:

Neraca analitik
Gelas arloji 1 buah
Pipet gondok 10 ml 1 buah
Buret 25 ml 1 buah
Statif dan klem 1 buah
Corong gelas 2 buah (besar dan kecil)
Labu ukur 3 buah (50 ml, 100 ml, 250 ml)
Propipet 1 buah
Beker glass 200ml 1 buah
Pengaduk kaca 1 buah
Pipet tetes 1 buah
Botol semprot 1 buah
Erlenmeyer 250 ml 2 buah

Bahan-bahan yang digunakan adalah:

Aquades secukupnya
Sampel CH3COOH (asam asetat)
Sampel H2C2O4.2H2O (asam oksalat)
Sampel asam cuka
Sampel NaOH (natrium hidroksida)
Indicator PP (phenol phtalein)
Prosedur kerja
Standarisasi larutan NaOH
Semua alat yang akan di gunakan harus dibersihkan terlebih dahulu
Membuat larutan NaOH 0,1 N yang mana di fungsikan untuk bahan titrasi
Adapun cara membuat larutan NaOH 0,1 N dengan cara : menimbang 1 gr NaOH dan larutkan dengan
aquades dalam beker glas (diaduk-aduk sampai homogeny). Larutan kemudian dimasukan ke dalam
labu ukur 250ml, tambahkan aquades sampai batas dan dikocok sampai homogen.
Larutan NaOH 0,1 N tersebut dimasukan ke dalam buret 25 ml sampai titik nol.
Menimbang 0,315 gr asam oksalat (H2C2O4.H2O).
Asam oksalat dimasukkan ke dalam gelas beker, tambahkan aquades dan diaduk sampai homogen,
pindahkan ke dalam labu ukur 50 ml dan tambahkan aquades sampai batas lalu di kocok supaya
homogen.
Memipet sebanyak 10 ml larutan asam oksalat, masukan ke dalam Erlenmeyer, tambahkan indicator
pp 3 tetes dan dititrasi dengan larutan NaOH sampai terjadi peerubahan warna.
Mengulangi langkah 7 sebanyak 3 kali
Mencatat informasi yang di dapat.
Penetapan kadar asam asetat dan cuka makan
Memipet sampel Asam asetat dan cuka makan sebanyak 10 ml
Diencerkan dengan penambahhan aquades,di dalam labu ukur 100ml sampai batas.
Kocok sampai homogen.
Memipet larutan sebanyak 10 ml dan tabahkan 3 tetes indicator pp di dalam Erlenmeyer.
Titrasi dengan NaOH sampai terjadi perubahan warna.
Mengulang langkah ke 4 sebanyak 3 kali
Mencatat volume NaOH dan informasi lain yang diperoleh.

PERMANGANOMETRI


Home
 kimia dasar
 kimia analisis
 Instrumen
 senyawa obat
 Kontak

Subscribe
search...
Titrasi Permanganometri
in kimia analisis, titrasi / by S Hamdani /

1. Sifat sifat Kalium Permanganat

Kalium permanganate adalah oksidator kuat. Reagen ini dapat diperoleh dengan mudah, tidak
mahal, dan tidak membutuhkan indicator terkecuali untuk larutan yang amat encer. Satu tetes 0,1
N permanganate memberikan warna merah muda yang jelas pada volume dari larutan yang biasa
dipergunakan dalam sebuah titrasi. Warna ini digunakanuntuk mengindikasi kelebihan reagen
tersebut. Kelemahannya adalah dalam medium HCL. Cl-dapat teroksidasi, demikian juga
larutannya, memiliki kestabilan yang terbatas.

Reaksi yang paling umum ditemukan dalam laboratorium adalah reaksi yang terjadi dalam
larutan-larutan yang bersifat asam, 0.1 N atau lebih besar:

MnO
-
+ 8H+ + 5e ? Mn+ + 4H

O E° = +1,51 V

Permanganate bereaksi secara cepat dengan banyak agen pereduksi berdasarkan reaksi ini,
namun beberapa substansi membutuhkan pemanasan atau penggunaan sebuah katalis untuk
mempercepat reaksi. Sebagai contoh, permanganate adalah agen unsure pengoksidasi yang
cukup kuat unuk mengoksidasi Mn(II) menjadi MnO

, titik akhir permanganate tidak permanen dan warnanya dapat hilang karena reaksi:

Mn+ + 2MnO
-
+ 2H

O ? 5MnO

(s) + 4H+

Ungu Tidak berwarna

Reaksi ini berjalan lambat dalam keadaan asam, tapi cepat dalam keadaan netral. Kelebihan
sedikit dari permanganate yang hadir pada titik akhir dari titrasi cukup untuk mengakibatkan
terjadinya pengendapan sejumlah MnO

. Bagaimanapun juga, mengingat reaksinya berjalan lambat, MnO


tidak diendapkan secara normal pada titik akhir titrasi-titrasi permanganate.

Tindakan pencegahan khusus harus dilakukan dalam pembuatan larutan permanganate. Mangan
oksida mengkatalisis dekomposisi larutan permanganate. Jejak-jejak dari MnO

yang semula ada dalam permanganate, atau berbentuk akibat reaksi antara permanganate dengan
jejak-jejak dari agen-agen pereduksi di dalam air, mengarah pada dekomposisi. Tindakan-
tindakan ini biasanya berupa larutan Kristal-kristalnya, pemanasan untuk menghancurkan
substansi-substansi yang dapat direduksi, dan penyaringan melalui asbestos atau gelas yang
disinter (filter-filter non pereduksi) untuk menghilangkan MnO

. Biasanya sebelum disaring dipanaskan terlebih dahulu selama 15-30 menit, jika tidak
dipanaskan, sebagai alternative larutan didiamkan dalam suhu ruang selama 2-3 hari. Larutan
tersebut kemudian distandardisasi, dan jika disimpan dalam gelap dan tidak diasamkan,
konsentrasinya tidak akan banyak berubah selama beberapa bulan. Larutan kalium permanganate
harus disimpan dalam tempat yang bersih, berbahan kaca dengan warna gelap yang sebelumnya
telah dibersihkan dengan larutan pembersih kemudian dibilas dengan deionised water.

Larutan-larutan permanganate yang bersifat asam tidak stabil karena asam permanganate
terdekomposisi dan air teroksidasi dengan persamaan:

MnO
-
+ 4H+ ? 5MnO

(s) + 3O

(g) + 2H

Ini adalah sebuah reaksi lambat di dalam larutan-larutan encer pada suhu ruangan.
Penguraiannya dikatalisis oleh cahaya panas asam-basa, ion Mn(II) dan MnO

. Namun demikian, jangan pernah menambahkan permanganate berlebih ke dalam sebuah unsure
reduksi dan kemudian menaikkan suhu untuk mempercepat oksidasi, karena reaksi yang nantinya
muncul akan berlangsung dengan laju yang rendah.

1. Standar-standar Primer untuk Permanganat

 Natrium Oksalat

Senyawa ini, Na

C
O

merupakan standar primer yang baik untukpermanganat dalam larutan asam. Senyawa ini dapat
diperoleh dengan tingkat kemurnian tinggi, stabil pada saat pengeringan, dan non higroskopis.
Reaksinya dengan permanganate agak sedikit rumit dan berjalan lambat pada suhu ruangan,
sehingga larutan biasanya dipanaskan sampai sekitar 60°C. Bahkan pada suhu yang lebih tinggi
reaksinya mulai dengan lambat, namun kecepatannya eningkat ketika ion mangan (II) terbentuk.
Mangan (II) bertindak sebagai katalis, dan reaksinya disebut autokatalitik, karena katalisnya
diproduksi di dalam reaksi itu sendiri. Ion tersebut dapat memberikan efek katalitiknya dengan
cara bereaksi dengan cepat dengan permanganate untuk membentuk mangan berkondisi oksidasi
menengah (+3 atau +4), di mana pada gilirannya secara cepat mengoksidasi ion oksalat, kembali
ke kondisi divalent.

Persamaan utnuk reaksi antara oksalat dan permanganate adalah

- + 2MnO
-
+ 16H+ ? 2Mn+ + 10CO

+ 8H

Hal ini digunakan untuk analisis Fe (II), H

, Ca dan banyak senyawa lain. Selama beberapa tahun analisis-analisis prosedur yang disarankan
oleh McBride, yang mengharuskan seluruh titrasi berlangsung perlahan pada suhu yang lebih tinggi dengan pengadukan yang kuat.
Belakangan, Fowler dan Bright menyelidiki secara menyeluruh reaksinya dan menganjurkan agar hampir
semua permanganate ditambahkan secara tepat ke larutan yang diasamkan pada suhu ruangan.
Setelah reaksinya selesai, larutan tersebut dipanaskan sampai 60°C dan titrasi diselesaikan pada
suhu ini. Prosedur ini mengeliminasi kesalahan apa pun yang disebabkan oelh pembentukan
hydrogen peroksida.

 Besi

Kawat besi dengan tingkat kemurnian yang tinggi dapat dijadikan sebagai standar primer. Unsur
ini larut dalam asam klorida encer, dan semua besi (III) yang diproduksi selama proses pelarutan
direduksi menjadi besi (II). Oksidasi dari ion klorida oleh permanganate berjalan lambat pada
suhu ruangan. Namun demikian, dengan kehadiran besi, oksidasi akan berjalan lebih cepat.
Meskipun besi (II) adalah agen pereduksi yang lebih kuat daripada ion klorida, ion yang
belakangan disebut ini teroksidasi secara bersamaan dengan besi. Kesulitan semacam ini tidak
ditemukan dalam oksidasi dari As

ataupun Na

dalam larutan asam klorida.

Sebuah larutan dari mangan (II) sulfat, asam sulfat dan asam fosfat, disebut larutan “pencegah”,
atau larutan Zimmermann-Reinhardt, dapat ditambahkan ke dalam larutan asam klorida dari besi
sebelum dititrasi dengan permanganate. Asam fosfat menurunkan konsentrasi dari ion besi
(III)dengan membentuk sebuah kompleks, membantu memaksa reaksi berjalan sampai selesai,
dan juga menghilangkan warna kuning yang ditunjukkan oleh besi (III) dalam media klorida.
Kompleks fosfat ini tidak berwarna, dan titik akhirnya lebih jelas.

 Arsen (III) Oksida


 Hidrogen peroksida
 Nitrat

1. Penentuan-penentuan dengan Permanganat

Penentuan besi dalam bijih-bijih besi adalah salah satu aplikasi terpenting dari titrasi-titrasi
permanganate. Asam terbaik untuk melerutkan bijih-bijh besi adalah asm klorida, dan Timah (II)
klorida sering ditambahkan untuk membantu proses pelarutan. Sebelum titrasi dengan
permanganate setiap besi (III) harus direduksi menjadi besi (II). Timah (II) klorida biasanya
dipergunakan untuk mereduksi besi dalam sampel-sampel yang telah dilarutkan dalam asam
klorida. Larutan pencegah Zimmermann-Reinhardt lalu ditambahkan jika titrasi akan dilakukan
dengan permanganate.

Banyak agen pereduksi selain besi (II) dapat ditentukan melalui titrasi langsung dengan
permanganate dalam larutan asam. Diantaranya adalah: Antimon (III) , Arsenik (III), Bromin,
Titanium (III), Tungsten (III), Uranium (IV), Vanadium (IV).

Sebuah standar KMnO

dapat pula dipergunakan secara tidak langsung dalam penentuan agen-agen pengoksidasi,
khususnya oksida-oksida yang lebih tinggi dari metal-metal seperti timbale dan mangan. Oksida-
oksida semacam ini sulit untuk dilarutkan dalam asam-asam atau basa-basa tanpa mereduksi
metal ke kondisi oksidasi yang lebih rendah. Adalah tidak praktis untuk mentitrasi substansi-
substansi ini secara langsung, karena reaksi dari zat padat dengan suatu agen pereduksi adalah
lambat. Maka sampel direaksikan dengan suatu agen pereduksi berlebih dan dipanaskan untuk
menyelesaikan reasi. Kemudian kelebihan agen pereduksi ini dititrasi dengan permanganate
standar. Beragam agen reduksi dapat dipergunakan, seperti As

dan Na

Disusun oleh : Indah Abdillah

Farmasi UNISBA

Laporan Permanganometri

16:56 Hendrayana Taufik


Oleh : Hendrayana Taufik

E1A078002

Mahasiswa Teknologi Pangan

Universitas Al-Ghifari Bandung


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Permanganometri merupakan metode titrasi menggunakan kalium permanganat, yang merupakan

oksidator kuat sebagi titran. Titrasi ini didasarkan atas titrasi reduksi dan oksidasi atau redoks.

Analisa permanganometri ini merupakan salah satu dari banyak metode analisis kuantitatif

lainnya, sehingga penggunaan analisa ini cukup erat hubungannya dengan disiplin ilmu

keteknikkimiaan.

Percobaan ini merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip umum mengenai permenganometri yang

didapat dikuliah, sehingga praktek yang sebenarnya sangat membantu pemahaman mahasiswa.

Metode permanganometri didasarkan pada reaksi oksidasi ion permanganat. Oksidasi ini dapat

berlangsung dalam suasana asam, netral dan alkalis.

MnO4- + 8H+ + 5e → Mn 2+ + 4H2O

Kalium permanganat dapat bertindak sebagai indikator, dan umumnya titrasi dilakukan

dalam suasan asam karena karena akan lebih mudah mengamati titik akhir titrasinya.

Namun ada beberapa senyawa yang lebih mudah dioksidasi dalam suasana netral atau

alkalis contohnya hidrasin, sulfit, sulfida, sulfida dan tiosulfat .

Reaksi dalam suasana netral yaitu


MnO4 + 4H+ + 3e → MnO4 +2H2O

Kenaikan konsentrasi ion hidrogen akan menggeser reaksi kekanan

Reaksi dalam suasana alkalis :

MnO4- + 3e → MnO42-

MnO42- + 2H2 O + 2e → MnO2 + 4OH-

MnO4- + 2H2 O + 3e → MnO2 +4OH-

Reaksi ini lambat dalam larutan asam, tetapi sangat cepat dalam larutan netral. Karena

alasan ini larutan kalium permanganat jarang dibuat dengan melarutkan jumah-jumlah

yang ditimbang dari zat padatnya yang sangat dimurnikan misalnya proanalisis dalam air,

lebih lazim adalah untuk memanaskan suatu larutan yang baru saja dibuat sampai

mendidih dan mendiamkannya diatas penangas uap selama satu /dua jam lalu menyaring

larutan itu dalam suatu penyaring yang tak mereduksi seperti wol kaca yang telah

dimurnikan atau melalui krus saring dari kaca maser.

Permanganat bereaksi secara cepat dengan banyak agen pereduksi berdasarkan pereaksi

ini, namun beberapa pereaksi membutuhkan pemanasan atau penggunaan sebuah katalis

untuk mempercepat reaksi. Kalau bukan karena fakta bahwa banyak reaksi permanganat

berjalan lambat, akan lebih banyak kesulitan lagi yang akan ditemukan dalam

penggunaan reagen ini sebagai contoh, permanganat adalah agen unsur pengoksida, yang

cukup kuat untuk mengoksida Mn(II) menjadi MnO2 sesuai dengan persamaan

3Mn2+ + 2MnO4- + 2H2O → 5MnO2 + 4H+


Kelebihan sedikit dari permanganat yang hadir pada titik akhir dari titrasi cukup untuk

mengakibatkan terjadinya pengendapan sejumlah MnO2 .

Tindakan pencegahan khusus harus dilakukan dalam pembuatan larutan permanganat.

Mangan dioksidasi mengkatalisis dekomposisi larutan permanganate. Jejak-jejak dari

MNO2 yang semula ada dalam permanganat. Atau terbentuk akibat reaksi antara

permanganat dengan jejak-jejak dari agen-agen produksi didalam air, mengarah pada

dekomposisi. Tindakan ini biasanya berupa larutan kristal-kristalnya, pemanasan untuk

menghancurkan substansi yang dapat direduksi dan penyaringan melalui asbestos atau

gelas yang disinter untuk menghilangkan MNO2. Larutan tersebut kemudian

distandarisasi dan jika disimpan dalam gelap dan tidak diasamkan konsentrasinya tidak

akan banyak berubah selama beberapa bulan.

Penentuan besi dalam biji-biji besi adalah salah satu aplikasi terpenting dalam titrasi-

titrasi permanganat. Asam terbaik untuk melarutkan biji besi adalah asam klorida dan

timah (II) klorida sering ditambahkan untuk membantu proses kelarutan.

Sebelum dititrasi dengan permanganat setiap besi (III) harus di reduksi menjadi besi (II).

Reduksi ini dapat dilakukan dengan reduktor jones atau dengan timah (II) klorida.

Reduktor jones lebih disarankan jika asam yang tersedia adalah sulfat mengingat tidak

ada ion klorida yang masuk .

Jika larutannya mengandung asam klorida seperti yang sering terjadi reduksi dengan

timah (II) klorida akan lebih memudahkan. Klorida ditambahkan kedalam larutan panas

dari sampelnya dan perkembangan reduksi diikuti dengan memperhatikan hilangnya


warna kuning dari ion besi.

URAIAN BAHAN

1.KMnO4 ( FI III ,330 )

Nama resmi = KALII PERMANGANAS

Nama lain = Kalium permanganate

RM = KMnO4
BM = 158,03
Pemerian = Hablur mengkilap, ungu tua /hampir hitam, tidak berbau, rasa manis /sepat.
Kelarutan = Larut dalam 16 bagian air, mudah larut dalam air mendidih .
Kegunaan = Sebagai sampel
Penyimpanan = Dalam wadah tertutup rapat

2. Aquadest ( FI III,96 )
Nama resmi = AQUADESTILLATA
Nama lain = Air suling
RM = H2O
BM = 18,02
Pemerian = Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau.
Kelarutan = Larut dalam etanol dan gliserol
Kegunaan = Sebagai pelarut
Penyimpanan = Dalam wadah tertutup rapat

3. Asam oksalat (FI III,651)


Nama lain = Asam oksalat
RM = (CO2H)2.2H2O
Pemerian = Hablur ,tidak berwarna .
Kelarutan = Larut dalam air dan etanol
Kegunaan = Sebagai zat tambahan
Penyimpanan = Dalam wadah tertutup rapat

5. Asam sulfat (FI III,58)


Nama resmi = ACIDUM SULFURICUM
Nama lain = Asam sulfat
RM = H2 SO4
BM = 98,07
Pemerian = Cairan kental, seperti minyak, korosif tidak berwarna, jika ditambahkan
kedalam air menimbulkan panas.
Kegunaan = Sebagai larutan titer.
Penyimpanan = Dalam wadah tertutup rapat.
1.2. Tujuan Percobaan

a. Mengetahui Normalitas suatu zat dengan cara permanganometri.

b. Mengetahui proses pembuatan larutan baku primer oxalat,

c. Menetahui pengenceran larutan baku sekunder (KMnO4)

d. Mencari normalitas KMnO4 yang sebenarnya

e. Mengetahui perhitungan konsentrasi suatu sampel.

f. Menentukan Nitrit

1.3. Prinsip Percobaan

Prinsip praktikum ini yaitu berdasarkan titrasi redoks (reduksi-oksidasi), yaitu titrasi yang

didasari oleh reaksi oksidasi dan reduksi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Permanganometri

Permanganometri merupakan titrasi yang dilakukan berdasarkan reaksi oleh kalium

permanganat (KMnO4). Reaksi ini difokuskan pada reaksi oksidasi dan reduksi yang terjadi

antara KMnO4 dengan bahan baku tertentu. Titrasi dengan KMnO4 sudah dikenal lebih dari

seratus tahun. Kebanyakan titrasi dilakukan dengan cara langsung atas alat yang dapat dioksidasi

seperti Fe+, asam atau garam oksalat yang dapat larut dan sebagainya. Beberapa ion logam yang

tidak dioksidasi dapat dititrasi secara tidak langsung dengan permanganometri seperti: (1) ion-
ion Ca, Ba, Sr, Pb, Zn, dan Hg (I) yang dapat diendapkan sebagai oksalat. Setelah endapan

disaring dan dicuci, dilarutkan dalam H2SO4 berlebih sehingga terbentuk asam oksalat secara

kuantitatif. Asam oksalat inilah yang akhirnya dititrasi dan hasil titrasi dapat dihitung banyaknya

ion logam yang bersangkutan. (2) ion-ion Ba dan Pb dapat pula diendapkan sebagai garam

khromat. Setelah disaring, dicuci, dan dilarutkan dengan asam, ditambahkan pula larutan baku

FeSO4 berlebih. Sebagian Fe2+ dioksidasi oleh khromat tersebut dan sisanya dapat ditentukan

banyaknya dengan menitrasinya dengan KMnO4.

Sumber-sumber kesalahan pada titrasi permanganometri, antara lain terletak pada: Larutan

pentiter KMnO4 pada buret Apabila percobaan dilakukan dalam waktu yang lama, larutan

KMnO4 pada buret yang terkena sinar akan terurai menjadi MnO2 sehingga pada titik akhir

titrasi akan diperoleh pembentukan presipitat coklat yang seharusnya adalah larutan berwarna

merah rosa. Penambahan KMnO4 yang terlalu cepat pada larutan seperti H2C2O4 Pemberian

KMnO4 yang terlalu cepat pada larutan H2C2O4 yang telah ditambahkan H2SO4 dan telah

dipanaskan cenderung menyebabkan reaksi antara MnO4- dengan Mn2+¬. MnO4- + 3Mn2+ +

2H2O ↔ 5MnO2 + 4H+ Penambahan KMnO4 yang terlalu lambat pada larutan seperti H2C2O4

Pemberian KMnO4 yang terlalu lambat pada larutan H2C2O4 yang telah ditambahkan H2SO4

dan telah dipanaskan mungkin akan terjadi kehilangan oksalat karena membentuk peroksida

yang kemudian terurai menjadi air. H2C2O4 + O2 ↔ H2O2 + 2CO2↑

H2O2 ↔ H2O + O2↑

Hal ini dapat menyebabkan pengurangan jumlah KMnO4 yang diperlukan untuk titrasi yang

pada akhirnya akan timbul kesalahan titrasi permanganometri yang dilaksanakan.


2.1. Pengertian Oksidasi-Reduksi

Bilangan oksidasi (atau tingkat oksidasi) ialah berapa electron (muatan) dianggap

ada/dipunyai oleh atom tersebut, seakan-akan dalam ikatan kimia, electron sepenuhnya pindah

dari atom satu ke atom yang lain, tetapi sedemikian rupa, sehingga molekul secara keseluruhan

tak bermuatan. Valensi dan bilangan oksidasi (BO) merupakan pengertian tidak sama. Valensi

dalam perkembangan histories Ilmu Kimia diartikan sebagai “daya ikat” atau berapa banyak

atom H diikat oleh satu atom unsure yang bersangkutan (atau, sebagai ganti atom H, berapa atom

univalent lain atau 2x jumlah atom O).

Maka valensi dalam arti sempitnya itu merupakan bilangan bulat dan harus positif dan

punya akar dalam kenyataan, walaupun tidak mencerminkan teori. Valensi penting dalam

pengertian rumus bagun. Sebaliknya bilangan oksidasi dapat positif maupun negative; umumnya

nilainya sama dengan nilai valensi tetapi ada kalanya berbeda, malahan tidak selalu bulat, dapat

juga pecahan. Perbedaan ini terjadi karena BO merupakan hasil perhitungan dan sebenarnya

tidak punya dasar riil. Perbedaan nilai ini dengan valensi terjadi antara lain kalau dalam molekul

terdapat ikatan antara atom-atom unsure sejenis (misalnya dalam ikatan organik). BO sangat

membantu untuk mengerti reksi oksidasi-reduksi (redoks) dan perhitungan yang bersangkutan

dengan redoks, misalnya dalam penentuan koefesien reaksi.


Oksidasi ialah reksi yang menaikkan BO suatu unsure dalam zat yang mengalami

oksidasi, dapat juga dilihat sebagai kenaikan muatan positif (penurunan muatan negatif) dan

umumnya juga kenaikan valensi. Sebaliknya ialah reduksi, yaitu reaksi yang menurunkan BO

atau muatan positif (menaikkan muatan negatif) dan umumnya menurunkan valensi unsure

dalam zat yang direduksi . Jadi sekalipun kita mereduksi atau mengoksidasi suatu persenyawaan,

sebenarnya yang dioksidasi atau reduksi itu ialah unsure tertentu yang terdapat di dalam

pesenyawaan tersebut. Miasalnya:

MnO2 + 4 HCl MnCl2 + Cl2 + 2 H2O

Dalam reaksi ini, MnO2 ialah oksidator dan HCl, sedang HCL mereduksi atau dioksidasi oleh

MnO2. Tetapi, seperti disebut di atas, yang dioksidasi ataupun direduksi ialah suatu unsure dalam

persenyawaan-persenyawaan yang bersangkutan. Dalam hal ini, yang dioksidasi ialah unsure Cl

karena tampak berubah (naik muatan positifnya) dari Cl di dalam HCl, menjadi Cl dalam

molekul Cl2. Yang diredusi ialah unsure Mn karena berubah (turun) BO-nya dari +4 dalam

MnO2 menjadi +2 dalam MnCl2.

2.2. Kemungkinan Terjadinya Suatu Reaksi Redoks

Bila zat A direkasikan dengan zat B, bagaimana diketahui apakah akan terjadi reaksi

redoks atau bukan redoks? Untuk menjawab pertanjaan ini harus diperhatiakan:
1. tingkat oksidasi/valensi unsure-unsur dalam A maupun B, apakah ada yang dapat naik

dan ada yang turun BO-nya.

2. bila ada, apakah A oksidator cukup kuat dan B reduktor cukup kuat, ataupun sebaliknya;

3. hal-hal lain.

A harus berisi unsure yang dapat dioksidasi dan B berisi unsure yang dapat direduksi atau

sebaliknya. Misalnya reaksi antara asam nitrat dan ferrioksida

HNO3 + Fe2O3 ?

Bukan reaksi redoks karena H,N, dan Fe sudah mempunyai BO tertinggi sehingga kedua zat

tidak dapat dioksidasi, hanya dapat direduksi (untuk reaksi redoks, satu harus dapat dioksidasi

dan satu harus dapat direduksi). Juga reaksi antara asam nintrat dan kalium hidroksida

HNO3 + KOH

Tidak mungkin redoks.

Lain halnya dengan reaksi :

FeSO4 + I2 ?
Yang mungkin berlangsung sebagai reaksi redoks, karena Fe (+2) dapat naik BO menjadi Fe

(+3), dan di pihak lain I (0) masih dapat turun menjadi I (-1). Maka mungkin terjadi reaksi

redoks dengan FeSO4 sebagai reduktor dan I2 sebagai oksidator.

Contoh lain yang mungki menghasilkan reaksi redoks ialah :

MNO2 + NaBr + H2SO4 ?

Karena Mn (+4) dapat menjadi (+2); Br (-1) dapat menjadi (0) atau lebih.

2.3. Kurva Titrasi Redoks

Bahwa pada setiap titrasi selalu terbentuk kesetimbangan antara titrant yang sudah

ditambahkan dan titrat. Ini merupakan dasar utama perhitungan titik-titik kurva titrant. Dalam hal

ini, ordinat ialah potensial larutan, sebab inilah yang mencirikan keadaan larutan pada setiap saat

titrant dan berubah bersama dengan penambahan titrant.

Dalam membentuk kurva titrasi dengan titrasi redoks, biasanya diplot grafik E sel

(terdapat SCE) dengan volume dari titrant. Seperti diketahui sebagaian besar indicator redoks

redoks memang sensitive tetapi indicator ini sendiri merupakan oksidator atau reduktor, sehingga

perubahan potensial sistem indicator juga perlu dipertimbangkan selama titrasi. Oleh karena itu

pada titrasi potensiometri, dimana E sel (dibandingkan terhadap elektroda pembanding) dibaca
selama titrasi, titik ekivalen ditentukan dari kurva titrasinya. Perubahan potensial akibat

penambahan Nernst asalkan potensial elektroda standar diketahui. Misalnya pada suatu jenis

kurva titrasi dengan mempertimbangkan potensial reduktor oksidasi pada titik kesetimbangan

(Eeg). Persamaan Nernst menyatakan:

E=E - log

Untuk reaksi:

Fe + Ce = Fe + Ce

Pada kesetimbangan potensial elektroda untuk dua setengah reaksi adalah sama.Ece =

EFe = Esistem. Ini adalh potensialnya dari sistem. Untuk indicator redoks berlaku pula: Ece =

EFe = Esistem.

2.4. Jenis-jenis Titrasi Oksidasi-Reduksi

Titrasi redoks dapat dibedakan menjadi beberapa cara berdasar pemakaiannya:

1. Na2S2O3 sebagai titrant; dikenal sebagai yodometri tak langsung

Analat harus berbentuk suatu oksidator yang cukup kuat, karena dalam metode ini analat selalu

direduksi dulu dengan KI sehingga terjadi I2. I2 inilah dititrasi dengan Na2S2O3:
OKsanalat + I Red analat I2 (…1)

2 S2O3 + I2 S4O6 + 2 I (…2)

Daya reduksi ion yodida cukup besar dan titrasi ini banyak diterapkan. Reaksi S 2O3 dengan I2

berlangsung baik dari segi kesempurnaannya, berdasarkan potensial redoks masing-masing:

S4O6 + 2 e 2 S2O3 E = 0,08 volt (…3)

I2 + 2 e 2 I E = 0,536 volt (…4)

Selain itu, reaksi berjalan cepat dan bersifat unik karena oksidator lain tidak mengubah S2O3

menjadi S4O6 melainkan menjadi SO3 seluruhmya atau sebagaian menjadi SO4 .

Titrasi dapat dilakukan tanpa indicator dari luar karena warna I2 yang dititrasi itu akan lenyap

bila titik akhir tercapai; warna itu mula-mula coklat agak tua, menjadi lebih muda, lalu kuning,

kuning-muda, dan seterusnya, samapai akhirnya lenyap. Bila diamati dengan cermat perubahan

warna tersebut, maka titik akhir dapat ditentukan dengn cukup jelas. Konsentrasi 5 x 10 M

yod masih tepat dapat dilihat dengan mata dan memungkinkan penghentian titrasi dengan

kelebihan hanya senilai 1 tetes yod 0,05 M. Namun lebih amudah dan lebioh tegas bila

ditambahakan amilum kedalam larutan sebagai indicator. Amilum dengan I2 membentuk suatu

kompleks berwarna biru tua yang masih sangat jelas sekalipun I2 sedikit sekali. Pada titik akhir,
yod yang terikat itu pun hilang bereaksi dengan titrant sehingga warna biru lenyap mendadak dan

perubahan warnanya tampak sangat jelas. Penambahan amilum ini harus menunggu sampai

mendekati titik akhir titrasi (bila yod sudah tinggal sedikit yang tanpa dari warnanya yang

kuning-muda). Maksudnya ialah agar amilum tidak membungkus yod dan menyebabkan sukar

lepas kembali. Hal ini akan berakibat warna biru sulit sekali lenyap sehingga titik akhir tidak

kelihatan tajam lagi. Bila yod masih banyak sekali bahkan dapat menguraikan amilum dan hasil

penguraian ini mengganggu perubahan warna pada titik akhir.

a. Larutan Na2S2O3

Larutan ini biasanya dibuat dari garam, Na2S2O3. 5 H2O. Karena BE = BM-nya (248,17)

maka dari segi ketelitian penimbangan, hal ini menguntungkan. Larutan ini perlu distandardisasi.

Kestabilan larutan mudah dipengaruhi oleh Ph rendah, sinar matahari, dan terutama adanya

bakteri yang memanfaatkan S. Pada PH rendah (<5)>

S2O3 +H HSO3 + S

Tetapi karena reaksi ini berjalan lambat, kesalahan tidak perlu dikuartirkan walaupun

larutan yang dititrasi cukup asam asal titrasi dilakukan dengan penambahan titrant yang tidak

terlalu cepat. Bakteri dapat menyebabkan perubahan S2O3 menjadi SO3 , SO4 dan S . S ini

tanpa sebagian endapan koloida yang membuat larutan menjadi keruh; ini pertanda larutan harus
diganti. Untuk mencegah aktivitas bakteri, pada pembuatan larutan hendaknya dipakai air yang

sudah dididihkan; selain itu dapat ditambahakan pengawet seperti misalnya klorofom, natrium

benzoate, atau HgI2.

Kestabilan larutan Na2S2O3= dalam penyimpangan ternyata paling baik bila mempunyai

pH antara 9 dan 10, mungkin karena aktivitas bakteri yang minimal. Untuk kebutuhan biasa, pH

7 sudah sangat memadai. Walupun demikian, larutan Na2S2O3 harus sering distandardisasi ulang.

b. Sumber kesalahan Titrasi

● Kesalahan Oksigen: Oksigen di udara dapat menyebabkan hasil titrasi terlalu tinggi karena

dapat mengoksidasi ion yodida menjadi I2 juga sebagai berikut :

O2 + 4 + 4 H 2 I2 + 2 H2O

● Pada Ph tinggi muncul bahan lain, yaitu bereaksinya I2 yang berbentuk dengan air

(hidrodisa) dan hasil reaksinya lanjut:

I2 + H2O HOI + I + H (a)

4 HOI + S2O3 + H2O 2 SO4 + 4 I + 6 H (b)

● Di atas sudah disebutkan bahaya kesalahan karena pemberian amilum terlalu awal.
● Banyak reaksi analat dengan KI yang berjalan agak lambat. Karena itu sering kali harus

ditunggu sebelum titrasi; sebaliknya menunggu terlalu lama tidak baik karena

kemungkinan yod menguap.

C. Berat ekivalen

Dalam titrasi ini, BE suatu zat dihitung dari banyaknya zat mol) yang menghasilkan atau

membutuhkan satu mol atom yod (bukan ion yodida).

BE =

c. Bahan Baku Primer

● I2 murni atau dimurnikan dengan jalan disublimasikan. BE cukup tinggi (126,9). Yod

mudah menguap, maka bahan ini harus ditimbang dalam botol tertutup

● KIO3 kemurnianya baik, tetapi Be agak terlalu rendah (35,67)

● K2 Cr2O7 juga mudah sekali diperoleh dalam keadaan murni, tetapi juga agak rendah BE-

nya (49,03). Reaksinya dengan KI harus ditunggu beberapa lama senelumnya dititrasi.

2. I2 sebagai titrant; dikenal sebagai titrasi yodometri langsung dan kadang-kadang

dinamakan yodimetri
Dalam metode ini, analat dioksidasi oleh I2 sehingga I2 tereduksi menjadi ion yodida:

Ared + I2 Aoks + I , Yod meruapakan oksidator yang tidak terlalu kuat , sehingga hanya

zat-zat yang merupakan dari tak berwarna menjadi warna biru.

a. Larutan Baku Yod

Yod (I2) sebagai zat padat sukatr larut dalam air , yaitu hanya sekitar 0,0013 mol per liter

pada 25 C, tetapi sangat mudah larut dalam larutan KI karena membentuk ion I3 sebagai

berikut:

I2 + I I3 (ion triyodida)

Maka larutan dibuat dengan KI sebagai pelarut. Larutan yod ini tidak stabil, sehingga

standardisasi perlu dilakukan berulang kali.

b. Kesempurnaan Reaksi

Sebagai oksidator lemah, yod tidak dapat bereaksi terlalu sempurna. Karena itu sering dibuat

kondisi yang menggeser kesetimbangan kea rah hasil reaksi antara lain dengan mengatur Ph

atau menambahkan bahan pengkomleksan seperti yang dilakukan pada titrasi Fe dengan

pemberian EDTA atau P2O7.


3. Suatu oksidator kuat sebagai titrant. Diantaranya yang paling sering dipakai ialah:

a. KMnO4

b. K2Cr2O7

c. Ce (IV)

4. Suatu reduktor kuat sebagai titrant

Larutan bahan pereduksi sering penggunaanya karena sangat mudah teroksidasi oleh udara.

Akibatnya, kadang-kadang titrasi harus dilakukan dalam atmosfer insert, misalnya dengan

mengalirkan N2 atau CO2 ke dalam atau ke atas titrat. Juga penyimpangan larutan

memerlukan lingkaran inert. Cara lain ialah menambahkan pereduksi berlebih, lalu

menitrasikannya kembali dengan oksidator untuk menentukan kelebihannya; oksidator yang

dipakai dapat misalnya kalium bikhromat baku. Disamping itu dilakuakan titrasi blangko atas

pereduksi tersebut untuk menentukan konsentrasinya yang tepat.

a. Pereduksi-pereduksi kuat yang dapat dipakai sebagai titrant antara lain ialah titrant (III)

dan khrom (II) yang cepet sekali bereaksi dengan udara sehingga harus digunakan dengan

gas inert N2 atau CO2.

b. Natrium tiosulfat sebagai titrant untuk yodometri tak langsung sudah dibicarakan.
c. Larutan Fe dengan mudah dapat dibuat dari garam Mohr, Fe(NH4)2 (SO4)2.6 H2O atau

garam Oesper, FeC2H4 (NH4)2.4 H2O (ferro etilendiammonium sulfat). Dalam larutan

netral, Fe (II) cepat teroksidasi oleh udara, tetapi hal itu dapat dicegah bila larutan

diasami dan larutan paling stabil dibuat dengan H2SO4 sekitar 0,5 M. Larutan demikian

perlu distandarisasi setiap kali hendak dipakai.

2.6. Penentuan Titik Akhir pada Titrasi Redoks

Biasanya dua jenis indicator digunakan untuk menentukan titik akhir. Indikator tersebut

adalah indicator eksternal maupun indicator internal. Biasanya indicator eksternal digunakan

dalam uji bercak.Contohnya : K3Fe(CN)6 untuk Fe. UO2(NO3)2 untuk Zn. Indikator eksternal

dapat digantikan oleh indicator redoks internal. Indikator terdiri dari jenis ini harus menghasilkan

perubahan potensial oksidasi di sekitar titik ekivalen reaksi redoks. Yang terbaik adalah indicator

1.10-fenantrolin, indicator ini mempunyai potensi oksidasi pada harga antara potensial larutan

yang titrasi dan penitrannya sehingga memberikan titik akhir yang jelas.

(fen)3Fe +e (fen)3 Fe E = 1,06 V – 1,11 V

Biru Merah

Garam kompleks yang diperoleh dari pencampuran secara ekivalen 1.10-fenantrolin dan

FeSO4 membentuk kompleks khelat yang disebut “ferroin”. Pertukaran electron berlangsung
melalui cincin aromatic. Kompleks Fe dengan 5-nitro-1, 10-fenantrolin dan 5-metil-1-10-

fenantrolin masing-masing dikenal sebagai nitroferrolin (E = 1,25 V) dan metal-ferroin (E =

1,02 V). Kompleks Fe dengan 4-7 dimetil fenantrolin mempunyai harga E = 0,921 V dalam

0,5 M H2SO4. Turunan-turunan lain yang sering digunakan adalah 5,6-dimetil; 3,5,7 trimetil;

3,4,6,7-tetrametil; 5 fenil; 5-khloroferroin. Kemudian indicator trimetil metana; turunan ini

digunakan dalam suasan larutan alkalis dan netral. Misalnya saja eroglaucine A (0,98 V), erigren

B (0,99 v), eriogren semuanya berubah warnanya dari kuning ke jingga pada peristiwa oksidasi.

Pada keadaan tersebut titrasi kembali tidak mungkin dilakukan karena perubahan warnanya tidak

reversible. Difenil amin dalam H2SO4 juga merupakan indicator yang sering digunakan.

2.7.Pemakaian Iodium Sebagai Regen Redoks

Karena harga E iodium berada pada daerah pertengahan maka sistem iodium dapat

digunakan untuk oksidator maupun reduktor. Jika E tidak tergantung pada pH (pH <>

I2 +2e 2I ,E = 0,535 V

I2 adalah oksidator lemah sedangkan iodide secara relative merupakan reduktor lemah.

Kelarutannya cukup baik dalam air dengan pembentukan triodida [KI3]. Oleh karena itu
I2 +2e 2I ,E = 6,21 adalah reaksi pada permulaan reaksi. Iodium dapat dimurnikan

dengan sublimasi. Ia larut dalam larutan KI dan harus disimpan dalam tempat yang dingin dan

gelap. Dapat distandarisasi adalah As2O3. Berkurangnya iodium akibat penguapan dan oksidasi

udara menyebabkan banyak kesalahan analisis. Cara lain standarisasi dengan Na2S2O3. 5H2O.

Larutan thiosulfat distandarisasi lebih dahulu terhadap K2CrO7. Reaksinya :

Cr2O7 + 14 H + 6 I 3 I2 + 2Cr + 7H2O

Biasanya indicator yang digunakan adalah kanji/amilum. Iodida pada konsentrasi <

style="position: relative; top: 2pt;"> M dapat dengan mudah ditelan oleh amilum.

Sensitivitas warnanya tergantung pada pelarut yang digunakan. Kompleks iodium-amilum

mempunyai kelarutan yang kecil dalam air sehingga biasanya ditambahkan pada titik akhir

reaksi. Dengan formamida penyerangan kanji oleh mikroorganisma paling sedikit. Kita akan

membahas beberapa pilihan reaksi iodometrik.

a. reaksi iodium-tiosulfat : Jika larutan iodium di dalam KI pada suasana netral maupun

asam dititrasi maka : I3 + 2S2O3 3I + 2S4O6 sealam reaksi zat antara S2O3 I

yang tidak berwarna adalah terbentuk sebagai

S2O3 + I3 S2O3 I + 2 I warna yang terus menjadi


2S2O3 I + I S4O6 + I3 warna indicator muncul kembali pada

S2O3 I + S2O3 S4O6 + I Reaksi berlangsung baik dibawah pH = 5,0, sedangkan

pada larutan alkali, larutan asam hpoiodus (HOI) terbentuk.

b. Reaksi dengan tembaga : Kelebihan KI bereaksi dengan CU (II) untuk membentuk CuI

dan melepaskan sejumlah ekivalen I2.

2Cu +4I 2CuI + I2 ; 2Cu +3I 2CuI + I3 Iodida berperan sebagai reduktor.

Reaksi dengan Cu

Cu +e Cu E = 0,15 V; I2 + 2 e = 21 E =0,54 V dan Cu +I +e

CuI E = 0,86 V Hasil yang terbaik diperoleh dalam 4% KI. pH optimum adalah 4,0.Cu

(II) pada medium alkali akan lebih sulit dioksidasi. Na2S2O3 di tambahkan secara

perlahan-lahan karena iodium yang teradsorbsi dilepaskan sedikit demi sedikit. Adanya

ion klorida dapat mengganggu karena iodide tidak dapat mereduksi Cu (II) secara

kuantitatif.

c. Oksigen terlarut : Dengan menggunakan metode Winkler, oksigen terlarut (DO) dapat

ditentukan. Dasarnya adalah reaksi antara O2 dan Mn (II) hidroksida yang tersuspensi

pada media alkali. Pada penambahan asam Mn (OH)2 berubah menjadi Mn-iodida.
d. Air dengan metode Kerl Fischer : Ini meliputi titrasi sampel dalam methanol. Titik akhir

titrasi sesuai dengan munculnya kelebihan I2, yang dapat dideteksi secara manual maupun

dengan cara-cara elektrokimia. Reaksi adalah :

C5H5N.I2 + C5H5N.SO2 + C5H5N + H2O 2C5H5N H I + C5H5N. SO2 (Piridin N –

asam sulfonat)

C5H5N.SO3 + CH3OH C5H5NO. SO2OCH3 (Piridium metal sulfat)

C5H5N.SO3 + H2O C5H5NHO. SO2OH (Piridium hydrogen sulfat)

Reaksi totalnya :

I2 + SO2 + H2O + CH3OH + 3 pyH I 2 pyH I + pyHOSO2OCH3

Metode ini sangat untuk menentukan kelembapan dan kandungan H2O dari beberapa

materi. Metode dua reagen lebih baik bila sampel dan piridin methanol serta SO2 dititrasi

dengan iodium dalam metanol.

2.8. Beberapa Sistem Redoks

a. Ce (IV) sulfat adalah oksidator yang sangat baik dengan indicator o-fenantrolin. Pada reaksi

Ce Ce + e electron orbital 4f-lah yang dibebaskan. Laju reaksi dipengaruhi oleh pelarut
dan pembentukan kompleks. Ce (IV) selama reaksi dalam medium H2SO4, HNO3 dan HCLO4

berada dalam bentuk kompeks. Potensial formal pasangan Ce (IV)-Ce (III) adalah 1,70 V dalam

HCIO4; 1,60 V dalam HNO3 dan 1,42 V dalam larutan H2SO4.

b. Kalium permanganate : adalah oksidator kuat. Tidak memerlukan indicator. Kelemahanya

adalah dalam medium HCI CI dapat teroksidasi. Demikian juga kelarutannya, mempunyai

kestabilan yang terbatas. Biasanya digunakan pada medium asam 0,1N; MnO4 + 8 H + 5 e

4 H2O E = 1,51 V. Reaksi oksidasi terhadap H2C2O4 berjalan lambat pada temperature

ruang.

c. Kalium dikromat : reaksi ini berproses seperti

Cr2O7 + 14 H + 6 e Cr + 7 H2O E = 1,33 V Zat ini mempunyai keterbatasan

dibandingkan KMnO4 atau Ce (IV), yaitu kekuatan oksidasinya lebih lemah dan reaksinya

lambat. K2Cr2O4 bersifat stabil dan inert terhadap HCI. Mudah diperoleh dalam kemurniaan

tinggi dan merupakan standar primer. Biasanya indicator yang digunakan adalah asam

difenilamin-sulfonat. Terutama digunakan untuk analisis besi (III) menurut reaksi :

6 Fe + Cr2O7 + 14 H 6 Fe + 2 Cr + 7 H2O
d. Kalium bromate : ini adalah oksidator kuat. Reaksinya: BrO +6H Br + 3H2O E =

1,44 V. BrO3 adalah standar primer dan sifatnya stabil. Methyl orange atau red digunakan

sebagai indicator tetapi tidak sebaik nafthaflavon,quinoline yellow. Kalium Bromat banyak

digunakan dalam kimia organic, missal titrasi dengan oksin. Sebagian besar titrasi meliputi titrasi

kembali dengan asam arsenic.

e. Kalium iodat : banyak dipakai dalam kimia analitik IO3 + 5 I + 6 H 3 I2 + 3 H2O dan

reaksi dalam titrasi Adrew’s: IO3 + Cl +6H +4 e ICI + 3 H2O E = 1,20 V. titrasi

Andrew dilakukan pada suasana asam HCI 6 M dalam CCI4. Titik akhir ditetapkan pada saat

earna unggu menghilang . Untuk mendapatkan warna titik akhir yang tepat perlu dilakukan

pengocokan.

BAB III

BAHAN, ALAT DAN METODE

3.1. Bahan Percobaan

Beberapa bahan yang digunakan untuk praktikum ini yaitu : asam oksalat, KMnO4, dan

sampel (sampel I)

3.2. Alat Percobaan


Alat-alat yang digunakan pada percobaan ini yaitu : pembakar bunsen, termometer, kaki

tiga, kasa, neraca elektrik, labu erlemeyer, buret, gelas ukur, pipet, kertas, labu ukur, dan

corong

3.3 Metode/prosedur Percobaan

Metode Percobaannya yaitu :

1. Pembuatan Larutan Baku Primer asam oksalat, (H2C2O4.2H2O) (BM 126) 0,05 N. Asam

oksalat ditimbang seberat + 0,315 gram, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur seukuran

kemudian larutkan dengan menambahkan aquadest sampai volume 100 ml.

2. Pengenceran larutan baku sekunder KMnO4 0,1 N menjadi 0,05 N 50 ml kalium

permanganat (KMnO4) diadakan sampai volume 100 ml.

3. Pembakuan KMnO4

Pipet 25 ml asam oksalat, masukkan ke dalam labu Erlemenyer, kemudian tambahkan

15 ml H2SO4 panaskan. Titrasi dengan larutan baku KMnO4 sampai terbentuk warna

ros. Catat volume akhir KMnO4 pada buret. Ulangi, kemudian cari volume rata-rata

KMnO4 yang terpakai.

Catat Volum rata-rata KMnO4 yang terpakai.

4. Perhitungan Konsentrasi Sampel (Sampel I)

Pipet 25 ml sampel, tambahkan H2SO4 kemudian panaskan sampai letupan yang

pertama. Titrasi dengan larutan baku KMnO4 sampai terbentuk warna ros. Catat akhir

KMnO4. Ulangi kemudian cari volume rata-rata KMnO4.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Percobaan

Pada percobaan ini, asam oksalat 25 ml ditambahkan H2SO4 pekat kemudian dipanaskan

mencapai suhu 60-65o C ternyata mempunyai warna larutan tetap bening.

Tabel Hasil Titrasi Asam Oksalat dengan H2SO4 oleh KMnO4

Percobaan Titik Ekivalen (mL)

1 5,7 mL

2 5,7 mL

Rata-rata TE 5,7 mL

Keterangan :

Warna berubah menjadi warna ros.

V1 . N1 = V2 . N2

N asam oksalat . Vasam Oksalat = N KMnO4 . V KMnO4

N1 = N2 . V2
V1

= 0,03 . 5,7 mL
25 mL

= 0,171
25

= 0,00684 N

= 6,84 X 10-3

Jadi N asam oksalat adalah 6,84 X 10-3 N

4.2. Pembahasan
Pereaksi kalium permanganat ukan pereaksi aku primer. Sangat sukar untuk

mendapatkan perekasi ini dalam keadaan murni, bebas dari mangan dioksida. Kalium

permanganat merupakan zat pengoksid kuat yang berlainan menurut pH medium,

kalium permanganat merupakan zat padat coklat tua yang menghasilkan larutan ungu

bila dilarutkan dalam air, yang merupakan ciri khas untuk ion permanganat.

Timbulnya mangan dioksida ini justru akan mempercepat reduksi pemanganat.

Demikian juga adanya ion mangan (II) dalam larutan akan mempercepat reduksi

permanganat menjadi mangan oksida. Reaksi tersebut berlangsung sangat cepat dalam

suasana netral. Oleh karena itu larutan kalium permanganat harus dibakukan dahulu

dengan menggunakan asam oksalat (H2C2O4) dan H2SO4.

Pembakuan larutan KMnO4 ini dapat dilakukan dengan titrasi permanganometri secara

langsung, biasanya dilakukan pada analit yang dapat langsung dioksida.

Kalium permanganat merupakan zat pengoksidasi yang sangat kuat. Pereaksi ini dapat

dipakai tanpa penambahan indikator, karena mampu bertindak sebagai indikator. Oleh

karena itu pada larutan ini tidak ditambahkan indikator apapun dan langsung dititrasi

dengan larutan KMnO4.

Sumber-sumber kesalahan pada titrasi permanganometri, antara lain terletak pada:

Larutan pentiter KMnO4 pada buret Apabila percobaan dilakukan dalam waktu yang

lama, larutan KMnO4 pada buret yang terkena sinar akan terurai menjadi MnO2

sehingga pada titik akhir titrasi akan diperoleh pembentukan presipitat coklat yang

seharusnya adalah larutan berwarna merah rosa. Penambahan KMnO4 yang terlalu

cepat pada larutan seperti H2C2O4 Pemberian KMnO4 yang terlalu cepat pada larutan
H2C2O4 yang telah ditambahkan H2SO4 dan telah dipanaskan cenderung

menyebabkan reaksi antara MnO4- dengan Mn2+¬. MnO4- + 3Mn2+ + 2H2O ↔

5MnO2 + 4H+ Penambahan KMnO4 yang terlalu lambat pada larutan seperti H2C2O4

Pemberian KMnO4 yang terlalu lambat pada larutan H2C2O4 yang telah ditambahkan

H2SO4 dan telah dipanaskan mungkin akan terjadi kehilangan oksalat karena

membentuk peroksida yang kemudian terurai menjadi air.

Raeksi antara permanganat dengan asam oksalat berjalan agak lambat pada suhu kamar.

Tetapi kecepatan meningkat setelah ion mangan (II) terbentuk mangan (II) bertindak

sebagai suatu katalis dan reaksinya diberi istilah otokatalitik karena katalis

menghasilkan reaksinya sendiri. Kalium permanganat merupakan pengoksidasi yang

kuat sehingga dapat memakainya tanpa penambahan indikator. Hal ini dikarenakan

kalium permanganat dapat ertindak sebagai indikator atau autoindikator. Diperoleh

volume yang menggunakan KMnO4 sebesar 1 mL, dengan perubahan larutan menjadi

warna ros.

Reaksi yang terjadi adalah :

2MnO4- + 5H2C2O4 + 6H+  2Mn2 +10 CO2 + 8 H2O

Berdasarkan reaksi diatas diperoleh sesuai dengan konsep awal bahwa normalitas

KMnO4 yang digunakan adalah 0,03 N maka untuk dihasilkan perhitungan sebagai

berikut :

V1 . N1 = V2 . N2

N asam oksalat . Vasam Oksalat = N KMnO4 . V KMnO4

N1 = N2 . V2
V1

= 0,03 . 5,7 mL
25 mL

= 0,171
25

= 0,00684 N

= 6,84 X 10-3

Jadi N asam oksalat adalah 6,84 X 10-3 N

Permanganat akan memberikan warna merah ros yang jelas pada volume larutan biasa

dipergunakan dalam larutan yang biasa dipergunakan dalam sebuah titrasi. Warna ini

dipergunakan untuk mengidikasi kelebihan reagen tersebut. Permanganat berekasi

secara cepat dengan banyak agen pereduksi, namun beberapa substansi membutuhkan

pemanasan atau penggunaan sebuah katalis untuk mempercepat reaksi.

Tabel Hasil Titrasi Asam Oksalat dengan H2SO4 oleh KMnO4

Percobaan Titik Ekivalen (mL)

1 5,7 mL

2 5,7 mL

Rata-rata TE 5,7 mL

Kelebihan sedikit dari permanganat yang hadir pada titik akhir dari titrasi cukup untuk

mengakibatkan terjadinya pengendapan sejumlah MnO2. Bagaimanapun juga,

mengingat reaksinya berjalan lambat, MnO2 tidak diendapkan secara normal pada titik

akhir titras-titrasi permanganat. Tindakan pencegahan khusus harus dilakukan dalam

pembuatan larutan permanganat. Jejak-jejak dari MnO2 yang semula ada dalam

permanganat, atau terbentuk akiat dari reaksi antara permanganat dengan jejak-jejak
dari agen-agen pereduksi didalam air, mengarah pada dekomposisi. Tindakan-tindakan

ini biasanya berupa larutan kristal-kristalnya, pemanasan untuk menghancurkan

substansi-substansi yang dapat direduksi.


BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Setelah melakukan percobaan maka praktikan dapat menarik beberap kesimpulan yang penting, yaitu :

a. Permanganometri adalah metode titrasi menggunakan larutan KMnO4 sebagai titran

b. Larutan KMnO4 dibakukan dengan H2C2O4. 2H2O dan diperoleh konsentrasi KMnO4 standarisasi sebesar 0,03 N.

Konsentrasi H2C2O4. 2H2O adalah 6,84 X 10-3 N

c. Reaksi titrasi kalium permanganat tidak memerlukan indikator

d. Titrasi ini berjalan agak lambat pada temperatur ruangan

e. Dilakukan pemanasan untuk mempercepat titrasi

B. SARAN

Pada praktikum kali ini, praktikan menyadari banyak kekurangan. Dalam hal ini

diharapkan supaya prosedur serta ala-alat yang digunakan itu sesuai dengan penuntun

praktikum, sehingga saat pembuatan jurnal maupun untuk pembuatan laporan atau bahkan

saat praktikum itu sedang berjalan praktikan tidak bingung. Praktikan juga menyadari akan kesulitan

untuk lebih teliti dalam membaca angka-angka yang ada dalam buret, karena posisi penyangga buretnya miring yang sulit

untuk diluruskan. Sehingga praktikan berharap untuk kedepannya sarana dan alat-alat praktikum yang sekira sudah kurang

layak, atau rusak harap bisa cepat diperbaiki, agar para praktikan lainnya pada umumnya, khususnya saya bisa mendapatkan

data yang benar-benar akurat. Demikianlah laporan praktikum saya. Dalam hasil ini tentulah masih banyak kekurangan

maupun kesalahan yang disengaja maupun tak disengaja, maka dari pada itu praktikan mohon maaf apabila ada dari pembaca

yang kurang berkenan terhadap laporan saya ini, kritik dan saran yang bersifat membangun selalu saya harapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Basset, J. Dkk.199. Buku Ajar Vogel Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Penerbit Buku

Kedokteran. EGC. Jakarta

Haryadi.1990. Ilmu Kimia Analitik Dasar. PT. Gramedia: Jakarta.

Purba, Michael 1995. Ilmu Kimia untuk SMU Kelas 2 Jilid 2A. Jakarta :

Erlangga.

Sutresna, Nana. 2003. Pintar Kimia Jilid 3 untuk SMU Kelas 3. Jakarta :

Ganeca Exact.

Pudjaatmaka, Hadyana.1989. KIMIA UNTUK UNIVERSITAS. ERLANGGA: Jakarta.

Khopkar, S.M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI-Press. Jakarta


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Permanganometri


Penetapan kadar zat dalam praktek ini berdasarkan reaksi redoks dengan KMnO4 atau dengan cara
permanganometri. Hal ini dilakukan untuk menentukan kadar reduktor dalam suasana asam dengan
penambahan asam sulfat encer, karena asam sulfat tidak bereaksi terhadap permanganat dalam larutan
encer.Pembakuan KMnO4 dibuat dengan melarutkan KMnO4 dalam sejumlah air, dan mendidihkannya
selama beberapa jam dan kemudian endapan MnO2 disaring. Endapan tersebut dibakukan dengan
menggunakan zat baku utama, yaitu natrium oksalat. Larutan KMnO4 yang diperoleh dibakukan dengan
cara mentitrasinya dengan natrium oksalat yang dibuat dengan pengenceran kristalnya pada suasana
asam. Pada pembakuan larutan KMnO4 0,1 N, natrium oksalat dilarutkan kemudian ditambahkan
dengan asam sulfat pekat, kemudian dititrasi dengan KMnO4 sampai larutan berwarna merah jambu
pucat. Setelah didapat volume titrasi, maka dapat dicari normalitas KMnO4 (anonim, 2009.d).
Pada permanganometri titran yang digunakan adalah kalium permanganat. Kalium permanganat mudah
diperoleh dan tidak memerlukan indikator kecuali digunakan larutan yang sangat encer serta telah
digunakan secara luas sebagai pereaksi oksidasi selama seratus tahun lebih. Setetes permanganat
memberikan suatu warna merah muda yang jelas kepada volume larutan dalam suatu titrasi.
Kalium permanganat sukar diperoleh secara sempurna murni dan bebas sama sekali dari mangan oksida.
Lagipula, air suling yang biasa mungkin mengandung zat-zat pereduksi yang akan bereaksi dengan
kalium permanganat dengan membentuk mangan dioksida.
Kalium permanganat dapat bertindak sebagai indikator, dan umumnya titrasi dilakukan dalam suasan
asam karena karena akan lebih mudah mengamati titik akhir titrasinya. Namun ada beberapa senyawa
yang lebih mudah dioksidasi dalam suasana netral atau alkalis contohnya hidrasin, sulfit, sulfida, sulfida
dan tiosulfat .Reaksi dalam suasana netral yaitu :
MnO4 + 4H+ + 3e → MnO4 +2H2O
Kenaikan konsentrasi ion hidrogen akan menggeser reaksi kekanan
Reaksi dalam suasana alkalis :
MnO4- + 3e → MnO42-
MnO42- + 2H2O + 2e → MnO2 + 4OH-
MnO4- + 2H2O + 3e → MnO2 +4OH-
Reaksi ini lambat dalam larutan asam, tetapi sangat cepat dalam larutan netral. Karena alasan ini larutan
kalium permanganat jarang dibuat dengan melarutkan jumah-jumlah yang ditimbang dari zat padatnya
yang sangat dimurnikan misalnya proanalisis dalam air, lebih lazim adalah untuk memanaskan suatu
larutan yang baru saja dibuat sampai mendidih dan mendiamkannya diatas penangas uap selama satu
/dua jam lalu menyaring larutan itu dalam suatu penyaring yang tak mereduksi seperti wol kaca yang
telah dimurnikan atau melalui krus saring dari kaca maser.
Permanganat bereaksi secara cepat dengan banyak agen pereduksi berdasarkan pereaksi ini, namun
beberapa pereaksi membutuhkan pemanasan atau penggunaan sebuah katalis untuk mempercepat
reaksi. Kalau bukan karena fakta bahwa banyak reaksi permanganat berjalan lambat, akan lebih banyak
kesulitan lagi yang akan ditemukan dalam penggunaan reagen ini sebagai contoh, permanganat adalah
agen unsur pengoksida, yang cukup kuat untuk mengoksida Mn(II) menjadi MnO2 sesuai dengan
persamaan
3Mn2+ + 2MnO4- + 2H2O → 5MnO2 + 4H+
Kelebihan sedikit dari permanganat yang hadir pada titik akhir dari titrasi cukup untuk mengakibatkan
terjadinya pengendapan sejumlah MnO2 .
Tindakan pencegahan khusus harus dilakukan dalam pembuatan larutan permanganat. Mangan
dioksidasi mengkatalisis dekomposisi larutan permanganate. Jejak-jejak dari MNO2 yang semula ada
dalam permanganat. Atau terbentuk akibat reaksi antara permanganat dengan jejak-jejak dari agen-
agen produksi didalam air, mengarah pada dekomposisi. Tindakan ini biasanya berupa larutan kristal-
kristalnya, pemanasan untuk menghancurkan substansi yang dapat direduksi dan penyaringan melalui
asbestos atau gelas yang disinter untuk menghilangkan MNO2. Larutan tersebut kemudian
distandarisasi dan jika disimpan dalam gelap dan tidak diasamkan konsentrasinya tidak akan banyak
berubah selama beberapa bulan.
Penentuan besi dalam biji-biji besi adalah salah satu aplikasi terpenting dalam titrasi-titrasi
permanganat. Asam terbaik untuk melarutkan biji besi adalah asam klorida dan timah (II) klorida sering
ditambahkan untuk membantu proses kelarutan.
Sebelum dititrasi dengan permanganat setiap besi (III) harus di reduksi menjadi besi (II). Reduksi ini
dapat dilakukan dengan reduktor jones atau dengan timah (II) klorida. Reduktor jones lebih disarankan
jika asam yang tersedia adalah sulfat mengingat tidak ada ion klorida yang masuk .
Jika larutannya mengandung asam klorida seperti yang sering terjadi reduksi dengan timah (II) klorida
akan lebih memudahkan. Klorida ditambahkan kedalam larutan panas dari sampelnya dan
perkembangan reduksi diikuti dengan memperhatikan hilangnya warna kuning dari ion besi
(anonim,2009.c).
Kalium permanganat merupakan oksidator kuat dalam larutan yang bersifat asam lemah, netral atau
basa lemah. Dalam larutan yang bersifat basa kuat, ion permanganat dapat tereduksi menjadi ion
manganat yang berwarna hijau.
Titrasi harus dilakukan dalam larutan yang bersifat asam kuat karena reaksi tersebut tidak terjadi bolak
balik, sedangakan potensial elektroda sangat tergantung pada pH.
Beberapa ion logam yang tidak dioksidasi dapat dititrasi secara tidak langsung dengan permanganometri
seperti :
(1) ion-ion Ca, Ba, Sr, Pb, Zn, dan Hg (I) yang dapat diendapkan sebagai oksalat. Setelah endapan disaring
dan dicuci, dilarutkan dalam H2SO4 berlebih sehingga terbentuk asam oksalat secara kuantitatif. Asam
oksalat inilah yang akhirnya dititrasi dan hasil titrasi dapat dihitung banyaknya ion logam yang
bersangkutan.
(2) ion-ion Ba dan Pb dapat pula diendapkan sebagai garam khromat. Setelah disaring, dicuci, dan
dilarutkan dengan asam, ditambahkan pula larutan baku FeSO4 berlebih. Sebagian Fe2+ dioksidasi oleh
khromat tersebut dan sisanya dapat ditentukan banyaknya dengan menitrasinya dengan KMnO4.
(anonim,2009.a)
2.2 Prinsip Titrasi Permanganometri
Prinsip titrasi permanganometri adalah berdasarkan reaksi oksidasi dan reduksi. Pada percobaan
permanganometri ini, secara garis besarnya terbagi atas 2 komponen utama yang secara skema dapat
digambarkan sebagai berikut:
Permanganometri

Zat pentiter Zat yang dititer


(di dalam buret) (di dalam erlenmeyer)

KMnO4 H2C2O4

Akhir titrasi : Grek zat pentiter = Grek zat yang dititer


V1. N1 = V2. N2
Gambar 2.1 Skema Komponen Utama Permanganometri
(Anonim,2009.d)

2.3. Reaksi-reaksi Kimia dalam Permanganometri


Kalium permanganat yang digunakan pada permanganometri adalah oksidator kuat yang dapat bereaksi
dengan cara yang berbeda-beda, tergantung dari pH larutannya. Kekuatannya sebagai oksidator juga
berbeda-beda sesuai dengan reaksi yang terjadi pada pH yang berbeda itu. Reaksi yang beraneka ragam
ini disebabkan oleh keragaman valensi mangan. Reduksi MnO4- berlangsung sebagai berikut:
a.dalam larutan asam, [H+] 0,1 N atau lebih
MnO4- + 8H+ + 5e- Mn2+ + 4H2O
b.dalam larutan netral, pH 4 – 10
MnO4- + 4H+ + 3e- MnO2 ↓ + 2H2O
c.dalam larutan basa, [OH-] 0,1 N atau lebih
MnO4- + e- MnO42-
Kebanyakan titrasi ini dilakukan dalam keadaan asam, seperti pada tabel dibawah ini:
Tabel 2.1. Reaksi-reaksi kimia dalam permanganometri
Analat
Reaksi separuh (oksidasi)
Sn2+
H2O2
Fe2+
Fe(CN)64-
H2C2O4
HNO2
K

Uranium(IV)
Vanadium(IV)
Antimon (III)
Arsenik(III)
Br-
Mo3+
Ti3+
W3+
Sn2+ Sn4+ + 2e-
H2O2 O2(g) + 2H+ + 2e-
Fe2+ Fe3+ +2e-
Fe(CN)64- Fe(CN)63-
H2C2O4 2CO2 + 2H+ + 2e-
HNO2 + H2O NO3- + 3H+ + 2e-
K2Na[Co(NO2)6] + 6H2O Co2+ + 6NO3- +12H+ + 2K++ Na+ + 11e-
U4+ + 2H2O UO22++ 4H++ 2e-
VO2+ + 3H2O V(OH)4-+ 2H++ e-
HSbO2 + 2H2O H3SbO4
HAsO2+ 2H2O H2AsO4 + 2H+ + 2e
2Br-- Br2 + 2e-
Mo3++ H2O MoO22+ + 4H+ + 1e-
Ti3+ + 2H2O TiO2+ + 2H+ +3e-
W3+ + 2H2O WO22+ + 4H+ + 2e-
(Sumber : Anonim, 2009.d)
2.4. Sumber-sumber Kesalahan Titrasi Permanganometri
Sumber-sumber kesalahan pada titrasi permanganometri, antara lain terletak pada:
1.Larutan pentiter KMnO4 pada buret
Apabila percobaan dilakukan dalam waktu yang lama, larutan KMnO4 pada buret yang terkena sinar
akan terurai menjadi MnO2 sehingga pada titik akhir titrasi akan diperoleh pembentukan presipitat
coklat yang seharusnya adalah larutan berwarna merah rosa.
2.Penambahan KMnO4 yang terlalu cepat pada larutan seperti H2C2O4
Pemberian KMnO4 yang terlalu cepat pada larutan H2C2O4 yang telah ditambahkan H2SO4 dan telah
dipanaskan cenderung menyebabkan reaksi antara MnO4- dengan Mn2+.
MnO4- + 3Mn2+ + 2H2O 5MnO2 + 4H+
3.Penambahan KMnO4 yang terlalu lambat pada larutan seperti H2C2O4
Pemberian KMnO4 yang terlalu lambat pada larutan H2C2O4 yang telah ditambahkan H2SO4 dan telah
dipanaskan mungkin akan terjadi kehilangan oksalat karena membentuk peroksida yang kemudian
terurai menjadi air.
H2C2O4 + O2 H2O2 + 2CO2↑
H2O2 H2O + O2↑
Hal ini dapat menyebabkan pengurangan jumlah KMnO4 yang diperlukan untuk titrasi yang pada
akhirnya akan timbul kesalahan titrasi permanganometri yang dilaksanakan (anonim,2009.b).

2.5. Aplikasi Permanganometri


Sistem Pengolahan Air Asin
Alat pengolah air asin ada banyak macamnya. Selama ini untuk mengolah air asin dikenal dengan cara
destilasi, pertukaran ion, elektrodialisis, dan osmosis balik. Masing-masing teknologi mempunyai
keunggulan dan kelemahan. Pemanfaatan teknologi pengolahan air asin harus disesuaikan dengan
konsidi air baku, biaya yang tersedia, kapasitas dan kualitas yang diinginkan oleh pemakai air. Di antara
berbagai macam teknologi tersebut yang banyak dipakai adalah teknologi destilasi dan osmosis balik.
Teknologi destilasi umumnya banyak dipakai ditempat yang mempunyai energi terbuang (pembakaran
gas minyak pada kilang minyak), sehingga dapat menghemat biaya operasi dan skala produksinya besar
(>500 m3/hari). Sedangkan teknologi osmosis balik banyak dipakai dalam skala yang lebih kecil.
Keunggulan teknologi membran osmosis balik adalah kecepatannya dalam memproduksi air, karena
menggunakan tenaga pompa. Kelemahannya adalah penyumbatan pada selaput membran oleh bakteri
dan kerak kapur atau posfat yang umum terdapat dalam air asin atau laut. Untuk mengatasi
kelemahannya pada unit pengolah air osmosa balik selalu dilengkapi dengan unit anti pengerakkan dan
anti penyumbatan oleh bakteri. Sistem membran reverse yang dipakai dapat berupa membran hollow
fibre, lempeng/plate atau berupa spiral wound. Membran ini mampu menurunkan kadar garam hingga
95-98%. Air hasil olahan sudah bebas dari bakteri dan dapat langsung diminum.
Teknologi pengolahan air asin sistem osmosis balik banyak dipakai di banyak negara seperti Amerika,
Jepang, Jerman dan Arab. Teknologi ini banyak dipakai untuk memasok kebutuhan air tawar bagi kota-
kota tepi pantai yang langka sumber air tawarnya. Pemakai lain adalah kapal laut, industri farmasi,
industri elektronika, dan rumah sakit.
Pada proses dengan membran, pemisahan air dari pengotornya didasarkan pada proses penyaringan
dengan skala molekul. Di dalam proses desalinasi air laut dengan sistem osmosis balik, tidak
memungkinkan untuk memisahkan seluruh garam dari air lautnya, karena akan membutuhkan tekanan
yang sangat tinggi sekali. Pada prakteknya untuk menghasilkan air tawar, air asin atau air laut dipompa
dengan tekanan tinggi ke dalam suatu modul membran osmosis balik yang mempunyai dua buah pipa
keluaran, yakni pipa keluaran untuk air tawar yang dihasilkan dan pipa keluaran untuk air garam yang
telah dipekatkan.
Di dalam membran osmosis balik tersebut terjadi proses penyaringan dengan ukuran molekul, yakni
partikel yang molekulnya lebih besar dari pada molekul air, misalnya molekul garam dan lainnya, akan
terpisah dan akan ikut ke dalam air buangan. Oleh karena itu air yang akan masuk ke dalam membran
osmosis balik harus mempunyai persyaratan tertentu, misalnya kekeruhan harus nol, kadar besi harus <
0,1 mg/l, pH harus dikontrol agar tidak terjadi pengerakan kalsium karbonat dan lainnya.

Gambar 2.2 Sistem Pengolah Air Asin Bergerak

Pengolahan air minum dengan sistem osmosis balik terdiri dari dua bagian, yakni unit pengolahan awal
dan unit osmosis balik. Salah satu contoh diagram proses pengolahan air dengan sistem osmosis balik
dapat dilihat seperti pada Gambar 2.1. Air laut, terutama yang dekat dengan pantai masih mengandung
partikel padatan tersuspensi, mineral, plankton dan lainnya, maka air baku tersebut perlu dilakukan
pengolahan awal sebelum diproses di dalam unit osmosis balik. Unit pengolahan pendahuluan tersebut
terdiri dari beberapa peralatan utama yakni pompa air baku, tangki reaktor (kontaktor), saringan pasir,
filter mangan zeolit, dan filter untuk penghilangan warna (color removal), dan filter cartridge ukuran 0,5
m. Sedangkan unit osmosis balik terdiri dari pompa tekanan tinggi dan membran osmosis balik, serta
pompa dosing klorin dan sterilisator ultra violet (UV) (anonim,2009.e).

BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Bahan
3.1.1 Kalium Permanganat ( KMnO4 )
A.Sifat Fisika
1.Berat molekul : 197,12 gr/mol.
2.Titik didih : 32,350C.
3.Titik beku : 2,830C.
4.Bentuk : Kristal berwarna ungu-kehitaman
5.Densitas : 2,7 kg/L pada 20°C
B.Sifat kimia
1.Larut dalam metanol.
KMnO4 + CH3OH → CH3MnO4 + KOH
2.Mudah terurai oleh sinar.
4KMnO4 + H2O → 4 MnO2 ↓ + 3O2 + 4KOH
3.Dalam suasana netral dan basa akan tereduksi menjadi MnO2.
4KMnO4 + H2O → 4 MnO2 ↓ + 3O2 + 4KOH
4.Kelarutan dalam basa alkali berkurang jika volume logam alkali berlebih.
5.Merupakan zat pengoksidasi yang kuat.
6.Bereaksi dengan materi yang tereduksi dan mudah terbakar menimbulkan bahaya api dan ledakan.
(Mulyono,2005)

3.1.2 Asam Oksalat (H2C2O4)


A. Sifat Fisika
1.Berat molekul : 90,03584 gr/mol.
2.Berat jenis : 2,408 gr/cm3.
3.Bentuk : Padatan Kristal
4.Tak berwarna
5.Larut dalam air panas dan dingin.
B. Sifat Kimia
1.Didapatkan dari reaksi pemanasan gula (sukrosa) dengan oksigen.
C12H22O11 + 18 O 6 (COOH)2 + 5 H2O
2.Memiliki afinitas yang besar terhadap air.
3.Dapat menggantikan hidrogen dalam reaksinya dengan logam aktif. dan membentuk garam sulfat.
4.Dapat digunakan sebagai pembersih logam
5.Beracun
(Mulyono,2005)
3.1.3 Asam Fosfat (H3PO4)
A. Sifat Fisika
1.Berat molekul : 98 gr/mol.
2.Titik leleh : 21 0C.
3.Titil lebur : 42,350 C.
4.Bentuk : Cairan tak berwarna
5.Densitas : 1,83 kg/L pada 40C
B.Sifat Kimia
1.Memiliki konstanta diasosiasi K1 = 7,1 ×10–3, K2 = 6,3×10–8, dan K3 = 4,7 × 10–13.
2.Merupakan senyawa alkali kuat.
3.Merupakan asam yang lebih kuat daripada asam asetat, asam oksalat, asam borat dan asam salisilat.
4.Merupakan asan bervalensi 3.
5.Merupakan senyawa polar.
6.Bersifat korosif pada logam.
(Mulyono,2005)

3.1.4 Asam Sulfat (H2SO4)


A.Sifat Fisika
1.Berat molekul : 98 gr/mol
2.Titik didih : 315-338 0C
3.Titik lebur : 10 0C
4.Bentuk : Cairan Kental tak berwarna
5.Densitas : 1,8 kg/L pada 40C
B. Sifat kimia :
1.Merupakan asam kuat.
2.Bersifat korosif.
3.Memiliki afinitas yang sangat besar terhadap air.
4.Bersifat sangat reaktif.
5.Merupakan asam bervalensi dua.
6.Diperoleh dari reaksi SO3 dengan air.
SO3 + H2O H2SO4
(Mulyono,2005)

3.1.5 Besi (Fe)


A. Sifat Fisika
1.Berat molekul : 55,847 gr/mol.
2.Titik leleh : 15370C.
3.Titik didih : 30000C.
4.Bentuk : Padatan berwarna putih abu-abu
5.Densitas : 7,874 kg/L pada 20 0C
6.Fase padat.
7.Berwarna metalik mengkilap keabu-abuan.
8.Termasuk dalam golongan logam transisi.
B. Sifat Kimia
1.Derajat keasamannya meningkat sebanding dengan peningkatan bilangan oksidasinya.
2.Tingkat hidrolisis besi meningkat sebanding dengan peningkatan bilangan valensinya.
3.Pada temperatur kamar, besi bersifat sangat stabil.
4.Tidak larut dalam asam nitrat.
5.Larut dalam larutan natrium hidroksida panas.
6.Konfigurasi elektronnya adalah 3d 6 4s 2.
(Mulyono,2005)
3.1.6 Air (H2O)
A.Sifat Fisika
1.Berat molekul : 18.0153 gr/mol
2.Titik leleh : 00C
3.Titik didih : 1000C
4.Berat jenis : 0.998 gr/cm3
5.Berupa cairan yang tidak berwarna dan tidak berbau.
6.Memiliki gaya adhesi yang kuat.
B.Sifat Kimia
1.Memiliki keelektronegatifan yang lebih kuat daripada hidrogen.
2.Merupakan senyawa yang polar.
3.Memiliki ikatan van der waals dan ikatan hidrogen.
4.Dapat membentuk azeotrop dengan pelarut lainnya.
5.Dapat dipisahkan dengan elektrolisis menjadi oksigen dan hidrogen.
6.Dibentuk sebagai hasil samping dari pembakaran senyawa yang mengandung hidrogen.
(Mulyono,2009)

3.2 Alat
3.2.1 Nama Alat dan Fungsi
1.Statif dan klem
Fungsi : sebagai alat untuk menahan dan menjepit buret selama proses titrasi berlangsung.
2.Buret
Fungsi : sebagai alat untuk menempatkan larutan penitrasi.
3.Bunsen
Fungsi : sebagai sumber api untuk memanaskan larutan.
4.Erlenmeyer
Fungsi : sebagai wadah atau tempat larutan yang akan dititrasi.
5.Pipet tetes
Fungsi : untuk mengambil larutan dalam jumlah sedikit.
6. Termometer
Fungsi : untuk mengukur suhu larutan.
7.Gelas ukur
Fungsi : untuk mengukur volume larutan yang akan digunakan.
8.Corong
Fungsi : untuk memperluas permukaan agar larutan yang dituang tidak tumpah.
9.Beaker glass
Fungsi : untuk mengukur volume larutan yang digunakan atau sebagai
wadah suatu larutan.
10.Kaki tiga
Fungsi : sebagai tempat meletakkan kasa penangas air.
11.Kasa penangas air
Fungsi : sebagai tempat meletakkan suatu wadah larutan yang akan di-
panaskan dan membatasi api dan suatu wadah larutan supaya tidak bersentuhan secara langsung.
12.Penangas air
Fungsi : sebagai wadah untuk air yang akan dipanaskan dengan api.
6.2.2Gambar rangkaian Peralatan

ab
Gambar 3.1 : a. Peralatan Permanganometri
b. Rangkaian Peralatan Titirasi

Keterangan gambar :
1. Statif dan Klem
2. Buret
3. Erlenmeyer
4. Beaker glass
5. Gelas ukur
6. Corong glass
7. Kasa penyangga
8. Pipet tetes
9. Termometer
10. Penanggas air
11. Batang Pengaduk

3.3 Prosedur Percobaan


3.3.1 Prosedur Penyiapan Larutan KMnO4 0,1 N
1.Sebanyak 3,16 gram kristal KMnO4 ditimbang dan dimasukkan kedalam beker gelas.
2.Ditambahkan kedalam beaker gelas aquades hingga volume 200 ml.
3.Larutan diaduk rata dan dipanaskan hingga mendidih.
4.Larutan didinginkan dan disimpan kedalam botol coklat agar tidak terkontaminasi.
5.Apabila larutan akan digunakan larutan harus distandarisasi terlebih dahulu.
3.3.2 Prosedur Standarisasi Larutan KMnO4 0,1 N
1.Dipipet 10 ml larutan asam oksalat 0,1 N menggunakan pipet volume, masukkan kedalam erlenmeyer
100 ml.
2.Ke dalam erlenmeyer ditambahkan 10 ml H2SO4 6 N aduk rata kemudian panaskan hingga mencapai
70-80 oC menggunakan penangas air.
3.Dalam keadaan panas titrasi perlahan-lahan dengan larutan KMnO4 0,1 N hingga diperoleh warna
merah rosa yang stabil.
4.Setelah warna tersebut terbentuk, catat volume KMnO4 yang terpakai.
5.Percobaan di atas dilakukan sebanyak 3 kali.
6.Dihitung volume KMnO4 rata-rata, konsentrasi dan % ralatnya.
3.3.3 Prosedur Penentuan Kadar Besi (Fe)
1.Sampel yang mengandung larutan Fe2+ dipipet 15 ml dimasukkan kedalam Erlenmeyer.
2.Ditambahkan 10 ml H2SO4 dan 2 ml H3PO4 85%.
3.Lakukan titrasi perlahan-lahan dengan larutan KMnO4 0,05 N hingga terjadi perubahan warna merah
rosa yang stabil.
4.Apabila warna tersebut telah terbentuk, dicatat volume KMnO4 yang terpakai.
5.Percobaan di atas dilakukan sebanyak 3 kali.
6.Dihitung konsentrasi Fe dalam sampel dan % ralatnya.

3.4 Flowchart
3.4.1 Flowchart Penyiapan Larutan KMnO4 0,1 N

4.2 Pembahasan
Pada percobaan titrasi permanganometri, didapatkan konsentrasi KMnO4 adalah 0,1 N dimana persen
ralat KMnO4 adalah 50 % setelah pentitrasian. Pada penentuan kadar Fe didapat konsentrasi Fe sebesar
0,002 N, dan persen ralat Fe adalah 99 % dari larutan sampel.
Penambahan KMnO4 yang terlalu cepat pada larutan seperti H2C2O4 yang telah ditambahkan H2SO4
dan telah dipanaskan cenderung menyebabkan reaksi antara MnO4- dengan Mn2+ ( Day & Underwood,
1993 ).
MnO4- + 3Mn2+ + 2H2O ↔ 5MnO2 + 4H
Untuk menentukan kadar besi dengan terlebih dahulu diubah menjadi ferrosulfat baru dioksidasi
menjadi ferrisulfat (anonim,2009.f)
5Fe3+ + Mn2+ + 4H2O2Fe2+ + MnO- + 8H+
Dari reaksi ini digunakan:
1.H2SO4 agar reaksi cepat dan kuantatif.
2.H3PO4 agar warna Fe(III) luntur dengan pembentukan kompleks tak berwarna.
Besarnya persen ralat yang didapat, dapat disebabkan oleh banyak hal. Adapun faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya keadaan seperti ini adalah :
1.Dalam melakukan percobaan alat seperti buret sudah tidak bagus lagi (tidak efesien).
2.Pembacaan buret tidak teliti.
3.Zat pentiter yang digunakan dalam percobaan, normalitasnya sudah tidak tepat lagi akibat telah
terkontaminasi.
Didalam permanganometri diperlukan larutan-larutan seperti H2SO4 dan H3PO4 sebab dalam titrasi
dengan KMnO4 harus dalam suasana asam. Dalam titrasi permanganometri titrasi harus dilakukan
dalam suasana asam. Oleh karena itu, digunakan asam kuat yang dapat mengionisasi sempurna dan
dapat berfungsi untuk menciptakan suasuana asam yang stabil bukan sebagai indikator karena KMnO4
bersifat autoindikator. Dalam hal ini dipilih asam sulfat (H2SO4) sebagai pencipta suasana asam yang
paling baik dan juga berfungsi mengikat air yang akan dipanaskan supaya menguap
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Setelah melakukan percobaan, maka praktikan dapat mengambil kesimpulan penting yaitu :
1.Permanganometri adalah metode titrasi menggunakan larutan KMnO4 sebagai titran.
2.Larutan KMnO4 distandarisasi dengan asam oksalat dan asam sulfat pada suhu 70-80oC, sehingga
diperoleh konsentrasi KMnO4 adalah sebesar 0,1 N dan persen ralat sebesar 50 %.
3.Kadar Fe yang terkandung dalam sampel adalah sebesar 0,002 N dan persen ralat 99 %.
4.Dalam percobaan ini terdapat % ralat sebesar 99 %.
5.Larutan KMnO4 merupakan larutan yang sifatnya autoindikator sehingga dalam percobaan
Permanganometri ini tidak diperlukan indikator yang lain.
6.Titrasi Permanganometri berlangsung dalam keadaan asam.

5.2 Saran
Dalam hal ini diharapkan kepada praktikan selanjutnya supaya :
1. Lebih teliti dan hati-hati dalam melakukan titrasi.
2. Untuk menghindari terontaminasinya larutan KMnO4 diusahakan agar percobaan lebih cepat
dilaksanakan
3. Menjaga suhu larutan konstan pada saat melakukan standarisasi .
4. Teliti melihat dan mengukur volume KMnO4 yang digunakan pada buret.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009a. Permanganonetri http//-www.wikipedia.org. 9 September 2009


Anonim. 2009b. Permanganometri http//-www.medicafarma.com 9 September 2009
Anonim. 2009c. Permanganonetri praktikum http//-www.rumahkimia.wordpress.com 11 September
2009
Anonim. 2009d. Permanganonetri http//-www.bolgkita.info.fv 11 September 2009
Anonim. 2009e. Analisa permanganonetri http//-www.che-mistry.wordpress.org
11 September 2009
Anonim. 2009f. Laporan Permanganometri http//-sulae.blogspot.com
14 September 2009
Day,R.A. dan A.L. Underwood. 1993. Analisa Kimia Kuantitatif. Edisi ke-4. Jakarta : Erlangga.
Harjadi,W. 1990. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta : Gramedia.
Mulyono,HAM. 2005. Kamus Kimia. Cetakan ke-3 Jakarta : Bumi aksara

PERCOBAAN II

IODOMETRI DAN IODIMETRI

I. TUJUAN PERCOBAAN

Tujuan percobaan praktikum ini adalah untuk menentukan kadar tembaga dalam kristal CuSO4.5
H2O.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Istilah oksidasi mengacu pada setiap perubahan kimia dimana terjadi kenaikan bilangan oksidasi,
sedangkan reduksi digunakan untuk setiap penurunan bilangan oksidasi.Berarti proses oksidasi
disertai hilangnya elektron sedangkan reduksi memperoleh elektron. Oksidator adalah senyawa
di mana atom yang terkandung mengalami penurunan bilangan oksidasi. Sebaliknya pada
reduktor, atom yang terkandung mengalami kenaikan bilangan oksidasi. Oksidasi-reduksi harus
selalu berlangsung bersama dan saling menkompensasi satu sama lain. Istilah oksidator reduktor
mengacu kepada suatu senyawa, tidak kepada atomnya saja (Khopkar, 2003).

Oksidator lebih jarang ditentukan dibandingkan reduktor. Namin demikian, oksidator dapat
ditentukan dengan reduktor. Reduktor yang lazim dipakai untuk penentuan oksidator adalah
kalium iodida, ion titanium(III), ion besi(II), dan ion vanadium(II). Cara titrasi redoks yang
menggunakan larutan iodium sebagai pentiter disebut iodimetri, sedangkan yang menggunakan
larutan iodida sebagai pentiter disebut iodometri (Rivai, 1995).

Dalam proses analitik, iodium digunakan sebagai pereaksi oksidasi (iodimetri) dan ion iodida
digunakan sebagai pereaksi reduksi (iodometri). Relatif beberapa zat merupakan pereaksi reduksi
yang cukup kuat untuk dititrasi secara langsung dengan iodium. Maka jumlah penentuan
iodimetrik adalah sedikit. Akan tetapi banyak pereaksi oksidasi cukup kuat untuk bereaksi
sempurna dengan ion iodida, dan ada banyak penggunaan proses iodometrik. Suatu kelebihan ion
iodida ditambahkan kepada pereaksi oksidasi yang ditentukan, dengan pembebasan iodium, yang
kemudian dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat. Reaksi antara iodium dan tiosulfat
berlangsung secara sempurna (Underwood, 1986).

Iodium hanya sedikit larut dalam air (0,00134 mol per liter pada 25 0C), tetapi agak larut
dalam larutan yang mengandung ion iodida. Larutan iodium standar dapat dibuat dengan
menimbang langsung iodium murni dan pengenceran dalam botol volumetrik. Iodium,
dimurnikan dengan sublimasi dan ditambahkan pada suatu larutan KI pekat, yang ditimbang
dengan teliti sebelum dan sesudah penembahan iodium. Akan tetapi biasanya larutan
distandarisasikan terhadap suatu standar primer, As2O3 yang paling biasa digunakan.
(Underwood, 1986).

Larutan standar yang dipergunakan dalam kebanyakan proses iodometrik adalah natrium
tiosulfat. Garam ini biasanya tersedia sebagai pentahidrat Na2S2O3.5H2O. Larutan tidak boleh
distandarisasi dengan penimbangan secara langsung, tetapi harus distandarisasi terhadap standar
primer. Larutan natrium tiosulfat tidak stabil untuk waktu yang lama. Sejumlah zat padat
digunakan sebagai standar primer untuk larutan natrium tiosulfat. Iodium murni merupakan
standar yang paling nyata, tetapi jarang digunakan karena kesukaran dalam penanganan dan
penimbangan. Lebih sering digunakan pereaksi yang kuat yang membebaskan iodium dari
iodida, suatu proses iodometrik (Underwood, 1986).

Metode titrasi iodometri langsung (kadang-kadang dinamakan iodimetri) mengacu kepada titrasi
dengan suatu larutan iod standar. Metode titrasi iodometri tak langsung (kadang-kadang
dinamakan iodometri), adlaah berkenaan dengan titrasi dari iod yang dibebaskan dalam reaksi
kimia. Potensial reduksi normal dari sistem reversibel:

I2(solid) 2e 2I-

adalah 0,5345 volt. Persamaan di atas mengacu kepada suatu larutan air yang jenuh dengan
adanya iod padat; reaksi sel setengah ini akan terjadi, misalnya, menjelang akhir titrasi iodida
dengan suatu zat pengoksid seperti kalium permanganat, ketika konsentrasi ion iodida menjadi
relatif rendah. Dekat permulaan, atau dalam kebanyakan titrasi iodometri, bila ion iodida
terdapat dengan berlebih, terbentuklah ion tri-iodida:

I2(aq) + I- I3-

Karena iod mudah larut dalam larutan iodida. Reaksi sel setengah itu lebih baik ditulis sebagai:

I3- + 2e 3I-

Dan potensial reduksi standarnya adalah 0,5355 volt. Maka, iod atau ion tri-iodida merupakan
zat pengoksid yang jauh lebih lemah ketimbang kalium permanganat, kalium dikromat, dan
serium(IV) sulfat (Bassett, J. dkk., 1994).

Dalam kebanyakan titrasi langsung dengan iod (iodimetri), digunakan suatu larutan iod dalam
kalium iodida, dan karena itu spesi reaktifnya adalh ion tri-iodida, I3-. Untuk tepatnya, semua
persamaan yang melibatkan reaksi-reaksi iod seharusnya ditulis dengan I3- dan bukan dengan I2,
misalnya:

I3- + 2S2O32- = 3I- + S4O62-

akan lebih akurat daripada:

I2 + 2S2O32- = 2I- + S4O62-

(Bassett, J. dkk., 1994).

Warna larutan 0,1 N iodium adalah cukup kuat sehingga iodium dapat bekerja sebagai
indikatornya sendiri. Iodium juga memberi warna ungu atau merah lembayung yang kuat kepada
pelarut-pelarut sebagai karbon tetraklorida atau kloroform dan kadang-kadang hal ini digunakan
untuk mengetahui titik akhir titrasi. Akan tetapi lebih umum digunakan suatu larutan (dispersi
koloidal) kanji, karena warna biru tua dari kompleks kanji-iodium dipakai untuk suatu uji sangat
peka terhadap iodium. Kepekaan lebih besar dalam larutan yang sedikit asam daripada larutan
netral dan lebih besar dengan adanya ion iodida (Underwood, 1986).

III. ALAT DAN BAHAN

A. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah neraca analitik, pipet volum, labu ukur 100
mL, erlenmeyer 250 mL, buret, dan beaker gelas., pipet tetes, dan botol semprot.

1. B. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah KIO3, H2SO4 2 N, larutan KI 10%,
larutan Na2S2O3, larutan amilum 1%, garam (pembuatan larutan sampel), larutan KCNS atau
NH4CNS 10% dan akuades.

1. IV. PROSEDUR KERJA


1. A. Pembakuan larutan Na2S2O3 dengan larutan baku KIO3
2. Dengan teliti ditimbang 0,35 gram KIO3 dilarutkan dalam akuades kemudian
memasukan secara kuantitatif ke dalam labu ukur 100 ml
3. Sampai batas diencerkan, dipipet 25 ml larutan baku KIO3 dan dimasukan dalam
Erlenmeyer
4. 2 ml H2SO4 2 N dan 10 ml KI 10 %, ditambahkan kemudian dikocok. Larutan ini
dititrasi dengan larutan baku Na2S2O3 sampai larutan berwarna kuning muda.
5. Dengan akuades 25 ml diencerkan dan ditambahkan dengan 4 ml larutan amilum
10 %, titrasi dilanjutkan sampai warna biru hilang.

B. Penentuan Kadar Cu dengan Larutan Baku Na2S2O3

1. Dengan teliti ditimbang ± 1,0 gram garam CuSO4, dilarutkan dalam akuades,
dimasukkan secara kuantitatif ke dalam labu ukur 100 mL,
2. Sampai tanda batas diencerkan, dan mengocok secara sempurna. Diambil 5 mL larutan
ke dalam labu ukur 100 mL, mengencerkan dengan akuades sampai tanda batas, dan
dikocok sempurna.
3. 10 mL larutan sampel dipipet, dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL, menambahkan
2 mL KI 10%, kemudian dikocok.
4. I2 yang dihasilkan dititrasi dengan larutan baku thio sampai larutan berwarna kuning
muda, kemudian menambahkan 2 mL larutan amilum 1% dan dilanjutkan titrasi sampai
warna biru hampir hilang.
5. 2 mL larutan KCNS 10%, ditambahkan warna biru akan timbul lagi, cepat-cepat
dilanjutkan titrasi sampai warna biru tepat hilang. Dilakukan duplo

V. DATA HASIL PENGAMATAN

1. A. Hasil dan Perhitungan


1. 1. Hasil

No Langkah percobaan Hasil pengamatan


1. Pembakuan larutan Na2S2O3 dengan Larutan kuning
KIO3
V titrasi 1 = 0,3 ml
-Menimbang 0,35 gr KIO3 + akuades
dalam 100 ml labu ukur, V titrasi 2 = 0,1 ml
Mengencerkan
V total = 0,4 ml
- 25 ml KIO3 + 3 ml H2SO4 2N+ KI
10%,
mentitrasi dengan Na2S2O3 sampai
warna kuning muda

+ 2 tetes amilum 1% menitrasi sampai


warna biru tepat hilang
2. Penentuan Kadar Cu dengan Na2S2O3 kuning tua menjadi kuning
muda
a. – Menimbang 1 gr garam
V = 0-3,6 ml
- Melarutkan dalam akuades dan
mengencerkan V = 3,6 – 7,7 ml

- 10 ml larutan sampel + 2 ml KI 10% V = 7,7 – 8,2 ml


dan mengocok
Tidak timbul warna biru lagi
- Menitrasi sampai warna kuning
muda V = 0-3,2 ml

- + 2 ml amilum 1% dan titrasi V = 3,2 – 7,3 ml

- + 2 tetes KCNS 10% V = 7,3 – 7,9 ml

b. – Menimbang 1 gr garam V total titrasi 1 dan titrasi 2 =


1,1 ml
- Melarutkan dalam akuades dan
mengencerkan V rata-rata = 0,55 ml

- 10 ml larutan sampel + 2 ml KI 10%


dan mengocok

- Menitrasi sampai warna kuning


muda

- + 2 ml amilum 1% dan titrasi

- + 2 tetes KCNS 10%

2. Perhitungan

- Pembuatan Larutan Baku KIO3 0,1N

Massa KIO3 = 0,36 gr

BM KIO3 = 214,0064 gr/mol

V pengenceran = 0,1 L
N KIO3 = ………..?

N KIO3 =

= 0,1009 N

- Pembakuan Larutan Baku Na2S2O3 dengan Larutan Baku KIO3 0,1N

N KIO3 = 0,1009 N

V KIO3 = 25 mL

V Na2S2O3 = 0,4 mL

N Na2S2O3 = ……..?

N Na2S2O3 =

= 6,25N

- Penentuan Kadar Cu2+ dalam CuSO4.5H2O

V Na2S2O3 = 0,55 mL

N Na2S2O3 = 6,25 N

Massa sampel = 1 gr

% Cu2+ dalam sampel = ……?

2 S2O32- + I2 S4O62- + 2I-

2 mgrek S2O32- = mgrek I2

2 (V x N) S2O32- = mol I2 x e I2

mol I2 = 2

=2

= 0,0034375 mol
Reaksi :

2 Cu2+ + 4 I- 2 CuI- + I2

mol Cu2+ = 2 mol I2

= 2 x 3,4375 x 10-3 mol

= 6,8 x 10-3 mol

massa Cu2+ = mol Cu2+ x BA Cu2+

= 6,8 x 10-3 mol x 63,546 mol

= 0,4321 gr

% Cu dalam sampel =

= 43,21 %

B. Pembahasan

Garam KIO3 mampu mengoksidasi iodida menjadi iod secara kuantitatif dalam larutan asam.
Oleh karena itu digunakan sebagai larutan standar dalam proses titrasi Iodometri ini. Selain itu
juga karena sifat Iod itu sendiri yang mudah teroksidasi oleh oksigen dalam lingkungan sehingga
iodida mudah terlepas. Reaksi ini sangat kuat dan hanya membutuhkan sedikit sekali kelebihan
ion hidrogen untuk melengkapi reaksinya. Namun kekurangan utama dari garam ini sebagai
standar primer adalah bahwa bobot ekivalennya yang rendah. Larutan standar ini sangat stabil
dan menghasilkan iod bila diolah dengan asam :

IO3- + 5I- + 6H+ 3 I2 + 3H2O

Larutan KIO3 memiliki dua kegunaan penting, pertama, adalah sebagai sumber dari sejumlah iod
yang diketahui dalam titrasi, ia harus ditambahkan kepada larutan yang mengandung asam kuat,
ia tak dapat digunakan dalam medium yang netral atau memiliki keasaman rendah. Yang kedua,
dalam penetapan kandungan asam dari larutan secara iodometri, atau dalam standarisasi larutan
asam keras. Larutan baku KIO3 0,1 N dibuat dengan melarutkan beberapa gram massa kristal
KIO3 yang berwarna putih dengan menggunakan aquades dan mengencerkannya.

1. 1. Pembakuan Larutan Na2S2O3 dengan Larutan Baku KIO3

Percobaan ini menggunakan metode titrasi iodometri yaitu titrasi tidak langsung dimana mula-
mula iodium direaksikan dengan iodida berlebih, kemudian iodium yang terjadi dititrasi dengan
natrium thiosulfat. Larutan baku yang digunakan untuk standarisasi thiosulfat sendiri adalah
KIO3 dan terjadi reaksi:

Oksidator + KI I2

I2 + 2Na2S2O3 2NaI + Na2S4O6

Natrium tiosulfat dapat dengan mudah diperoleh dalam keadaan kemurnian yang tinggi, namun
selalu ada saja sedikit ketidakpastian dari kandungan air yang tepat, karena sifat flouresen atau
melapuk-lekang dari garam itu dan karena alasan-alasan lainnya. Karena itu, zat ini tidak
memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai larutan baku standar primer. Natrium tiosulfat
merupakan suatu zat pereduksi, dengan persamaan reaksi sebagai berikut :

2S2O32- S4O62- + 2e-

Pembakuan larutan natrium tiosulfat dapat dapat dilakukan dengan menggunakan kalium iodat,
kalium kromat, tembaga dan iod sebagai larutan standar primer, atau dengan kalium
permanganat atau serium (IV) sulfat sebagai larutan standar sekundernya. Namun pada
percobaan ini senyawa yang digunakan dalam proses pembakuan natrium tiosulfat adalah kalium
iodat standar.

Larutan thiosulfat sebelum digunakan sebagai larutan standar dalam proses iodometri ini harus
distandarkan terlebih dahulu oleh kalium iodat yang merupakan standar primer. Larutan kalium
iodat ini ditambahkan dengan asam sulfat pekat, warna larutan menjadi bening. Dan setelah
ditambahkan dengan kalium iodida, larutan berubah menjadi coklat kehitaman. Fungsi
penambahan asam sulfat pekat dalam larutan tersebut adalah memberikan suasana asam, sebab
larutan yang terdiri dari kalium iodat dan klium iodida berada dalam kondisi netral atau memiliki
keasaman rendah. Reaksinya adalah sebagai berikut :

IO3- + 5I- + 6H+ → 3I2 + 3H2O

Indikator yang digunakan dalam proses standarisasi ini adalah indikator amilum 1%.
Penambahan amilum yang dilakukan saat mendekati titik akhir titrasi dimaksudkan agar amilum
tidak membungkus iod karena akan menyebabkan amilum sukar dititrasi untuk kembali ke
senyawa semula. Proses titrasi harus dilakukan sesegera mungkin, hal ini disebabkan sifat I2
yang mudah menuap. Pada titik akhir titrasi iod yang terikat juga hilang bereaksi dengan titran
sehingga warna biru mendadak hilang dan perubahannya sangat jelas. Penggunaan indikator ini
untuk memperjelas perubahan warna larutan yang terjadi pada saat titik akhir titrasi. Sensitivitas
warnanya tergantung pada pelarut yang digunakan. Kompleks iodium-amilum memiliki
kelarutan yang kecil dalam air, sehingga umumnya ditambahkan pada titik akhir titrasi. Jika
larutan iodium dalam KI pada suasana netral dititrasi dengan natrium thiosulfat, maka :

I3- + 2S2O32- 3I- + S4O62-

S2O32- + I3- S2O3I- + 2I-


2S2O3I- + I- S4O62- + I3-

S2O3I- + S2O32- S4O62- + I-

Dari hasil perhitungan diketahui besarnya konsentrasi natrium thiosulfat yang digunakan sebagai
larutan baku standar sebesar 6,25 N.

1. 2. Penentuan Kadar Cu2+ dengan Larutan Baku Na2S2O3

Pada penentuan kadar Cu dengan larutan baku Na2S2O3 akan terjadi beberapa perubahan warna
larutan sebelum titik akhir titrasi. Tembaga murni dapat digunakan sebagai standar primer untuk
natrium thiosulfat dan direkomendasikan jika thiosulfat harus digunakan untuk menetapkan
tembaga. Potensial standar pasangan Cu(II) – Cu(I) adalah +0,15 V dan karena itu iod
merupakan pengoksidasi yang lebih baik dari pada ion Cu(II). Tetapi bila ion iodida
ditambahkan ke dalam larutan Cu(II) akan terbentuk endapan Cu(I).

2Cu2+ + 4I- 2CuI(s) + I2

Penentuan kadar Cu2+ dalam larutan dengan bantuan larutan natrium tiosulfat yang dilakukan
mengencerkan 5 mL sampel garam hingga 100 mL dan mengambil 10 mL hasil pengenceran
tersebut untuk ditambahkan dengan larutan KI 10% dan menitrasi dengan larutan baku natrium
tiosulfat hingga larutan yang semula berwarna coklat tua menjadi larutan yang berwarna kuning
muda. Kemudian larutan tersebut ditambahkan dengan 4 mL larutan amilum 1 % menghasilkan
larutan yang semula berwarna kuning muda menjadi biru tua, Penambahan indikator amilum 1%
ini dimaksudkan agar memperjelas perubahan warna yang terjadi pada larutan tersebut.
kemudian larutan tersebut dititrasi kembali dengan larutan natrium tiosulfat hingga warna biru
pada larutan tepat hilang. Untuk lebih memperjelas terjadinya reaksi tersebut, ke dalam larutan
ditambahkan amilum. Bertemunya I2 dengan amilum ini akan menyebabakan larutan berwarna
biru kehitaman. Selanjutnya titrasi dilanjutkan kembali hingga warna biru hilang dan menjadi
putih keruh.

I2 + amilum I2-amilum

I2-amilum + 2S2O32- 2I- + amilum + S4O6-

Hal yang perlu diperhatikan setelah penambahan amilum adalah adanya sifat adsorpsi pada
permukaan endapan tembaga(I) iodida. Sifat ini menyebabkan terjadinya penyerapan iodium dan
apabila iodium ini dihilangkan dengan cara titrasi, maka titik akhir titrasi akan tercapai terlalu
cepat. Oleh karena itu, sebelum titik akhir titrasi tercapai, yaitu pada saat warna larutan yang
dititrasi dengan Na2S2O3 akan berubah dari biru menjadi bening, dilakukan penambahan kalium
tiosianat KCNS.

Penambahan KCNS menyebabkan larutan kembali berwarna biru. Reaksi yang terjadi adalah
sebagai berikut:

2Cu2+ + 2I- + 2SCN- → 2CuSCN ↓ + I2


Endapan tembaga(I) tiosianat yang terbentuk mempunyai kelarutan yang lebih rendah daripada
tembaga(I) iodida sehingga dapat memaksa reaksi berjalan sempurna. Selain itu, tembaga(I)
tiosianat mungkin terbentuk pada permukaan tembaga(I) iodida yang telah mengendap.
Reaksinya sebagai berikut:

CuI ↓ + SCN- → CuSCN ↓ + I-

Penambahan larutan KCNS ini bertujuan sebagai larutan yang mengembalikan reaksi
penambahan indikator amilum dalam larutan sehingga larutan menjadi kembali biru. Reaksi
yang berlangsung adalah

2Cu2+ + 4 I- 2CuI + I2

2S2O32- + I2 S4O62-+ 2I-

dari hasil pengamatan dan perhitungan, didapatkan jumlah volume titrasi larutan natrium
tiosulfat yang dibutuhkan untuk merubah larutan dari warna coklat tua menjadi kuning muda
setelah penambahan amilum maka larutan menjadi bening dan setelah penambahan KCNS maka
larutan menjadi jernih kembali. Dari hasil perhitungan diperoleh massa tembaga pada larutan
sampel sebesar 0,4321 gram dan kadar tembaga (%Cu2+) dalam larutan sample tersebut adalah
sebesar 43,21 %.

VI. KESIMPULAN

Berdasarkan tujuan, perhitungan dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat
ditarik beberapa kesimpulan berikut :

1. Ada dua cara analisis menggunakan senyawa iodium yaitu titrasi iodimetri atau dengan
iodometri dimana iodium terlebih dahulu dioksidasi oleh oksidator misalnya KI.
2. Kadar tembaga dalam garam CuSO4.5H2O dapat ditentukan dengan cara iodometri.
3. Indikator yang dipakai adalah amilum karena amilum sangat peka terhadap iodium dan
terbentuk kompleks amilum berwarna biru cerah, saat ekivalen amilum terlepas kembali.
4. Massa tembaga pada larutan diketahui sebesar 0,4321 gram dan kadar tembaga dalam
larutan sebesar 43,21 %.

DAFTAR PUSTAKA

Basset. J etc. 1994. Buku Ajar Vogel, Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.

Khopkar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Rivai, Harrizul. 1995. Asas Pemeriksaan Kimia. Penerbit UI. Jakarta

Titrasi Iodometri dan Iodimetri


Iodometri adalah analisa titrimetrik yang secara tidak langsung untuk zat yang bersifat
oksidator seperti besi III, tembaga II. Zat–zat ini akan mengoksidasi iodida yang ditambahkan
membentuk iodin. Iodin yang terbentuk ditentukan dengan menggunakan larutan baku natrium
tiosulfat.

Oksidator + KI → I2 + 2e
I2 + Na2S2O3 → NaI + Na2S4O6
Sedangkan iodimetri merupakan analisis titrimetri yang secara langsung digunakan untuk
zat reduktor atau natrium tiosulfat dengan menggunakan larutan iodin atau dengan penambahan
larutan baku berlebihan. Kelebihan iodin dititrasi kembali dengan menggunakan larutan tiosulfat.
Reduktor + I2 → 2I-
Na2S2O3 + I2 → NaI + Na2S4O6
Untuk senyawa yang memiliki potensial reduksi yang rendah dapat direaksikan secara sempurna
dalam suasana asam. Indikator yang digunakan dalam metode ini adalah indikator kanji
(amilum).

Daftar Pustaka :
Saragih, S., Iodometri dan Iodimetri, http://www.scribd.com/doc/23569314/Iodometri-Dan-
Iodimetri, 27 Maret 2011.

titrasi iodometri
Posted on Juni 18, 2012 by julialinahapsari
titrasi iodometri

Titrasi redoks merupakan jenis titrasi yang paling banyak jenisnya. Terbaginya titrasi ini
dikarenakan tidak ada satu senyawa (titran) yang dapat bereaksi dengan semua senyawa
oksidator dan reduktor, sehingga diperlukan berbagai senyawa titran. Karena prinsipnya adalah
reaksi redoks, sehingga pastinya akan melibatkan senyawa reduktor dan oksidator, karena Titrasi
redoks melibatkan reaksi oksidasi dan reduksi antara titrant dan analit. Jadi kalau titrannya
oksidator maka sampelnya adalah reduktor, dan kalau titrannya reduktor maka samplenya adalah
oksidator.

Salah satu jenis titrasi redoks adalah titrasi


iodometri. Iodometri adalah analisa titrimetri yang secara tidak langsung untuk zat yang bersifat
oksidator seperti besi (III), tembaga (II), dimana zat ini akan mengoksidasi iodida yang
ditambahkan membentuk iodin. Metode titrasi iodometri (tak langsung) menggunakan larutan
Na2S2O3 sebagai titran untuk menentukan kadar iodium yang dibebaskan pada suatu reaksi
redoks.Garam ini biasanya berbentuk sabagai pentahidrat Na2S2O3.5H2O. Larutan tidak boleh
distandarisasi dengan penimbangan secara langsung, tetapi harus distandarisasi dengan standar
primer, larutan natrium tiosulfat tidak stabil untuk waktu yang lama. Tembaga murni dapat
digunakan sebagi standar primer untuk natrium tiosulfat.
Dalam iodometri I- dioksidasi oleh suatu oksidator. Jika oksidatornya kuat tidak apa – apa, tetapi
jika oksidatornya lemah maka oksidasinya berlangsung sangat lambat dan mungkin tidak
sempurna, ini harus dihindari. Cara menghindarinya :
- Memperbesar [H+], jika oksidasinya kuat dengan menambah H+ atau menurunkan pH.
- Memperbesar [I-], misalnya oksidasi dengan Fe3+.
- Dengan mengeluarkan I2 yang berbentuk dari campuran reaksi : misalnya dikocok dengan
kloroform, karbon tetra klorida atau bisulfida, maka I2 akan masuk dalam pelarut organik ini,
sebab I2 lebih mudah larut dalam senyawa solven organic daripada dalam air.
Reaksi yang terjadi pada titrasi iodometri untuk penentuan iodat adalah sebagai berikut :
IO3- + 5I- + 6H+ → 3I2 + H2O
I2 + 2S2O32- → 2I- + S4O62-
Mengapa natrium thiosulfat dititrasi langsung dengan analit ?
Beberapa alasan yang dapat dijabarkan adalah karena analit yang bersifat sebagai oksidator dapat
mengoksidasi tiosulfat menjadi senyawan yang bilangan oksidasinya lebih tinggi dari tetrationat
dan umumnya reaksi ini tidak stoikiometri. Alasa kedua adalah tiosulfat dapat membentuk ion
kompleks dengan beberapa ion logam seperti Besi (II).
Indikator yang digunakan
Dalam penentuan titik akhir titrasi pada titrasi redoks digunakan indikator, dimana indikator ini
memberikan perubahan warna yang berbeda pada saat terjadi oksidasi dan reduksi. Indikator –
indikator yang digunakan dalam titrasi redoks adalah sebagai berikut:
 Auto Indikator (warna dari pereaksinya sendiri), apabila pereaksinya sudah mempunyai
warna yang kuat, kemudian warna tersebut hilang atau berubah bila direaksikan dengan
zat lain maka pereaksi tersebut dapat bertindak sebagai indikator. Contoh :
KMnO4 berwarna ungu dila direduksi berubah menjadi ion Mn2+ yang tidak berwarna.

 Larutan I2 yang berwarna kuning coklat, titik akhir dapat diketahui dari awal
terbentuknya atau hilangnya warna kuning, perubahan warna ini dipertajam dengan
larutan amilum atau kloroform atau karbon tetraklorida :
a. I2dengan amilum berwarna biru. Amilum terdiri dari amilosa dan amipektin,
amilosa dengan I2 berwarna biru sedangkan amilopektin dengan I2 berwarna ungu.
b. I2 larut dalm kloroform atau karbon tetraklorida berwarna ungu.

 Indikator Redoks, indikator redoks adalah indikator yang berwarna dalam bentuk
oksidasinya berbeda dengan warna dsalam bentuk reduksinya. Contoh larutan difenilamin
atau difenilbenisidin dalam asam sulfat pekat. Ferro-fenantrolin disebut juga ferroin.

 Indikator Eksternal, dipergunakan apabila indikator internal tidak ada. Contoh


ferrisianida untuk penentuan ion ferro memberikan warna biru (ferro – ferrisianida) pada
keping tetes dilakukan di luar labu titrasi.

 Indikator Spesifik, yaitu zat yang bereaksi secara khas dengan salah satu pereaksi dalam
titrasi menghasilkan warna. Contoh amilum membentuk warna biru dengan iodium, atau
tiosianat membentuk warna merah dengan ion ferri.

Adapun indikator yang digunakan dalam titrasi iodometri adalah indicator kanji, dimana warna
dari sebuah larutan iodin 0,1 N cukup intens sehingga iodine dapat bertindak sebagai indicator
bagi dirinya sendiri. Iodin juga memberikan warna ungu atau violet yang intens untuk zat – zat
pelarut seperti karbon tetra klorida dan kloroform. Namun demikian, larutan dari kanji lebih
umum dipergunakan karena warna biru gelap dari kompleks iodin – kanji bertindak sebagai
suatu tes yang amat sensitif untuk iodin.

ARGENTOMETRI

Landasan Teori Titrasi Argentometri Kimia Analis


Titrasi pengendapan merupakan titrasi yang melibatkan
pembentukan endapan dari garam yang tidak mudah larut antara titrant dan analit. Hal dasar
yang diperlukan dari titrasi jenis ini adalah pencapaian keseimbangan pembentukan yang cepat
setiap kali titran ditambahkan pada analit, tidak adanya interferensi yang menggangu titrasi, dan
titik akhir titrasi yang mudah diamati.
Salah satu jenis titrasi pengendapan yang sudah lama dikenal adalah melibatkan reaksi
pengendapan antara ion halida (Cl-, I-, Br-) dengan ion perak Ag+. Titrasi ini biasanya disebut
sebagai Argentometri yaitu titrasi penentuan analit yang berupa ion halida (pada umumnya)
dengan menggunakan larutan standart perak nitrat AgNO3. Titrasi argentometri tidak hanya
dapat digunakan untuk menentukan ion halide akan tetapi juga dapat dipakai untuk menentukan
merkaptan (thioalkohol), asam lemak, dan beberapa anion divalent seperti ion fosfat PO43- dan
ion arsenat AsO43-.
Dasar titrasi argentometri adalah pembentukan endapan yang tidak mudah larut antara titran
dengan analit. Sebagai contoh yang banyak dipakai adalah titrasi penentuan NaCl dimana ion
Ag+ dari titran akan bereaksi dengan ion Cl- dari analit membentuk garam yang tidak mudah
larut AgCl.
Ag(NO3)(aq) + NaCl(aq) -> AgCl(s) + NaNO3(aq)
Setelah semua ion klorida dalam analit habis maka kelebihan ion perak akan bereaksi dengan
indicator. Indikator yang dipakai biasanya adalah ion kromat CrO42- dimana dengan indicator
ini ion perak akan membentuk endapan berwarna coklat kemerahan sehingga titik akhir titrasi
dapat diamati. Inikator lain yang bisa dipakai adalah tiosianida dan indicator adsorbsi.
Berdasarkan jenis indicator dan teknik titrasi yang dipakai maka titrasi argentometri dapat
dibedakan atas Argentometri dengan metode Mohr, Volhard, atau Fajans. Selain menggunakan
jenis indicator diatas maka kita juga dapat menggunakan metode potensiometri untuk
menentukan titik ekuivalen.
Ketajaman titik ekuivalen tergantung dari kelarutan endapan yang terbentuk dari reaksi antara
analit dan titrant. Endapan dengan kelarutan yang kecil akan menghasilkan kurva titrasi
argentometri yang memiliki kecuraman yang tinggi sehingga titik ekuivalen mudah ditentukan,
akan tetapi endapan dengan kelarutan rendah akan menghasilkan kurva titrasi yang landai
sehingga titik ekuivalen agak sulit ditentukan. Hal ini analog dengan kurva titrasi antara asam
kuat dengan basa kuat dan anatara asam lemah dengan basa kuat.

YOGA KEVAN RAHMAT


FARMASI 2B
31109071

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


BAKTI TUNAS HUSADA (PRODI FARMASI)
TASIKMALAYA
2010
A. Tujuan
Untuk menentukan kadar suatu zat / sample dalam larutan dengan menggunakan titrasI
pengandapan secara volhard.

B. Dasar Teori
Titrasi argentometri dengan cara Volhard didasarkan atas pengendapan perak tiosianat
dalam larutan asam nitrat dengan menggunakan ion besi (III) untuk mengetahui adanya ion
tiosianat berlebih. Cara ini digunakan untuk titrasi langsung atau tidak langsung. Cara titrasi
langsung digunakan untuk menentukan kadar perak dan cara titrasi tidak langsung digunakan
untuk menentukan kadar klorida. Cuplikan yang mengandung klorida direaksikan dengan perak
nitrat berlebih, selanjutnya kelebihan perak nitrat dititrasi dengan larutan tiosianat standar yang
diketahui konsentrasinya. Titik akhir titrasi dapat diketahui dengan terbentuknya warna merah
dari kompleks besi (III) tiosianat (Selamat, 2004).

Metode Volhard pertama kali diperkenalkan oleh Jacobus Volhard, ahli kimia dari Jerman
pada tahun 1874. Dengan metode ini, larutan standar AgNO3 berlebih ditambahkan ke dalam
larutan yang mengandung ion halogen (misalnya Cl-). Kelebihan ion Ag+ dalam suasana asam
dititrasi dengan standar garam tiosianat (KSCN atau NH4SCN) menggunakan indikator larutan
Fe3+. Sampai titik ekivalen, terjadi reaksi antara titran dan Ag+ membentuk endapan putih.
Kelebihan titran menyebabkan reaksi dengan indikator membentuk senyawa kompleks tiosianato
ferrat (III) yang berwarna merah.

Konsentrasi ion klorida, iodide, bromide dan yang lainnya dapat ditentukan dengan
menggunakan larutan standar perak nitrat. Larutan perak nitrat ditambahkan secara berlebih
kepada larutan analit dan kemudian kelebihan konsentrasi larutan Ag+ dititrasi dengan
menggunakan larutan standar tiosianida (SCN-) dengan menggunakan indicator ion Fe3+. Ion
besi(III) ini akan bereaksi dengan ion tiosianat membentuk kompleks yang berwarna merah.
Reaksi yang terjadi dalam titrasi argentometri dengan metode volhard adalah sebagai
berikut:
Ag+(aq) + Cl-(aq) -> AgCl(s) (endapan putih)
Ag+(aq) + SCN-(aq) -> AgSCN(s) (endapan putih)
Fe3+(aq) + SCN(aq) -> Fe(SCN)2+ (kompleks berwarna merah)
Titrasi dengan cara ini disebut sebagai titrasi balik atau titrasi kembali. Mol analit diperoleh
dari pegurangan mol perak mula-mula yang ditambahkan dengan mol larutan standar tiosianat.
Karena perbandingan mol dari reaksi adalah 1:1 semua maka semua hasil diatas dapat langsung
dikurangi.
Mol analit = mol Ag+ total – mol SCN
Aplikasi dari argentometri dengan metode Volhard ini adalah penentuan konsentrasi ion
halide. Kondisi titrasi denga metode Volhard harus dijaga dalam kondisi asam disebabkan jika
laruran analit bersifat basa maka akan terbentuk endapat Fe(OH)3. Jika kondisi analit adalah
basa atau netral maka sebaiknya titrasi dilakukan dengan metode Mohr atau fajans.
Konsentrasi indikator dalam titrasi Volhard juga tidak boleh sembarang, karena titrant
bereaksi dengan titrat maupun dengan indikator, sehingga kedua reaksi itu saling mempengaruhi.

Penerapan terpenting cara Volhard ialah untuk penentuan secara tidak langsung ion-ion
halogenida: perak nitrat standar berlebih yang diketahui jumlahnya ditambahkan sebagai contoh,
dan kelebihannya ditentukan dengan titrasi kembali dengan tiosianat baku. Keadaan larutan yang
harus asam sebagai syarat titrasi Volhard merupakan keuntungan dibandingkan dengan cara-cara
lain penentuan ion halogenida karena ion-ion karbonat, oksalat, dan arsenat tidak mengganggu
sebab garamnya larut dalam keadaan asam.
G. Daftar Pustaka
http://kimiaanalisa.web.id/argentometri-metode-volhard/
http://www.scribd.com/doc/27914385/Percobaan-Argentometri-Volhard

Laporan Argentometri

04:22 Hendrayana Taufik

Oleh :

Hendrayana Taufik

E1A078002

Mahasiswa Teknologi Pangan

Universitas Al-Ghifari Bandung

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Istilah Argentometri diturunkan dari bahasa latin Argentum, yang berarti perak. Jadi,

Argentometri merupakan salah satu cara untuk menentukan kadar zat dalam suatu larutan yang
dilakukan dengan titrasi berdasar pembentukan endapan dengan ion Ag+. Salah satu cara untuk

menentukan kadar asam-basa dalam suatu larutan adalah dengan volumetri (titrasi). Volumetri

(titrasi) merupakan cara penentuan kadar suatu zat dalam larutannya didasarkan pada

pengukuran volumenya.

Berdasarkan pada jenis reaksinya, volumetri dibedakan atas :

1. Asidimetri dan alkalimetri

Volumetri jenis ini berdasar atas reaksi netralisasi asam-basa.

2. Oksidimetri

Volumetri jenis ini berdasar atas reaksi oksidasi-reduksi.

3. Argentometri

Volumetri jenis ini berdasar atas reaksi kresipilasi (pengendapan dari ion Ag+).

Pada titrasi argentometri, zat pemeriksaan yang telah dibubuhi indikator dicampur

dengan larutan standar garam perak nitrat (AgNO3). Dengan mengukur volume larutan standar

yang digunakan sehingga seluruh ion Ag+ dapat tepat diendapkan, kadar garam dalam larutan

pemeriksaan dapat ditentukan. (Al.Underwood,1992)

Ada tiga tipe titik akhir yang digunakan untuk titrasi dengan AgNO3 yaitu :

1. Indikator

2. Amperometri
3. Indikator kimia

Titik akhir potensiometri didasarkan pada potensial elektrode perak yang dicelupkan

kedalam larutan analit. Titik akhir amperometri melibatkan penentuan arus yang diteruskan

antara sepasang mikroelektrode perak dalam larutan analit. Sedangkan titik akhir yang dihasilkan

indikator kimia, biasanya terdiri dari perubahan warna/muncul tidaknya kekeruhan dalam larutan

yang dititrasi. Syarat indikator untuk titrasi pengendapan analog dengan indikator titrasi

netralisasi, yaitu :

1. Perubahan warna harus terjadi terbatas dalam range pada p-function dari reagen /analit.

2. Perubahan Warna harus terjadi dalam bagian dari kurva titrasi untuk analit. (skogg,1965)

1.2. Tujuan Percobaan

Tujuan praktikum ini untuk menentukan konsentrasi sampel AgNO3 dengan cara titrasi

pengendapan dan menentukan pembakuan larutan natrium klorida dan perak nitrat serta

menentukan analisa sampel.

1.3. Prinsip Percobaan

Prinsipnya adalah berdasarkan pada reaksi pengendapan zat yang akan dianalisa (Cl -

dan CNS) dengan larutan baku AgNO3 sebagai penitrasi dengan cara Mohr, Volhard, dan

Fajans. Dan teknik pengendapan untuk memisahkan analit dari pengganggu-penggangunya

sehingga diperoleh bentuk yang tidak larut/kelarutannya kecil sekali


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Argentometri merupakan titrasi pengendapan sample yang dianalisis dengan

menggunakan ion perak. Biasanya, ion-ion yang ditentukan dalam titrasi ini adalah ion halida

(Cl-, Br-, I-). (Khopkar,1990)

Hasil kali konsentrasi ion-ion yang terkandung suatu larutan jenuh dari garam yang sukar

larut pada suhu tertentu adalah konstan. Misalnya suatu garam yang sukar larut AmBn dalam

larutan akan terdisosiasi menjadi m kation dan n anion.

AmBn → Ma++ Nb-

Hasil kali kelarutan = (CA+)M × (CB-)Ntitrasi argentometri adalah titrasi dengan

menggunakan perak nitrat sebagai titran dimana akan terbentuk garam perak yang sukar larut.

Jika larutan perak nitrat ditambahkan pada larutan kalium sianida maka mula-mula akan

terbentuk endapan putih yang pada pengadukan akan larut membentuk larutan kompleks yang

stabil .

AgNO3 + 2 KCN → K(Ag(CN)2) +KNO3

Ag+ + 2 nn- → Ag(CN)2

Jika reaksi telah sempurna maka reaksi akan berlangsung lebih lanjut membentuk

senyawa kompleks yang tak larut .

Ag+ (Ag(CN)2)- → Ag(Ag(CN)2)


Titik akhir ditandai dengan terbentuknya endapan putih yang permanent. salah satu

kesulitan dalam menentukan titik akhir ini terletak pada fakta dimana perak sianida yang

diendapkan oleh adanya kelebihan ion perak yang agak lebih awal dari titik ekuivalen, sangat

lambat larut kembali dan titrasi ini makan waktu yang lama.

Titrasi Pengendapan

• Jumlah metode tidak sebanyak titrasi asam-basa ataupun titrasi reduksi-oksidasi (redoks)

• Kesulitan mencari indikator yang sesuai

• Komposisi endapan seringkali tidak diketahui pasti terutama jika ada efek kopresipitasi

Kelarutan = konsentrasi larutan jenuh zat padat (kristal) di dalam suatu pelarut pada suhu

tertentu.(dalam keadaan setimbang).

Larutan jenuh dapat dicapai dengan penambahan zat ke dalam pelarut secara terus

menerus hingga zat tidak melarut lagi dengan cara menaikkan lagi konsentrasi ion-ion

tertentu hingga terbentuk endapan.

Faktor yg mempengaruhi kelarutan

1 SUHU

2. SIFAT PELARUT

3. ION SEJENIS

4. AKTIVITAS ION

5. pH
.6 HIDROLISIS

7. HIDROKSIDA LOGAM

8. PEMBENTUKAN SENYAWA KOMPLEKS

Pada kebanyakan garam anorganik, kelarutan meningkat jika suhu naik. Sebaiknya

proses pengendapan, penyaringan dan pencucian endapan dilakukan dalam keadaan

larutan panas kecuali untuk endapan yang dalam larutan panas memiliki kelarutan kecil

(mis. Hg2Cl2, MgNH4PO4) cukup disaring setelah terlebih dahulu didinginkan di lemari

es. Kebanyakan garam anorganik larut dalam air dan tidak arut dalam pelarut organik. Air

memiliki momen dipol yang besar dan tertarik oleh kation dan anion membentuk ion hidrat.

Sebagaimana ion hidrogen yang membentuk H3O+, energi yang dibebaskan pada saat interaksi

ion dengan pelarut akan membantu meningkatkan gaya tarik ion terhadap kerangka padat

endapan. Ion-ion dalam kristal tidak memiliki gaya tarik terhadap pelarut organik, sehingga

kelarutannya lebih kecil daripada kelarutan dalam air. Pada analisis kimia, perbedaan kelarutan

menjadi dasar untuk pemisahan senyawa. Contoh : campuran kering Ca(NO3)2 + Sr(NO3)2

dipisahkan dalam campuran alkohol + eter, hasilnya Ca(NO3)2 larut, sedangkan Sr(NO3)2 tidak

larut. Endapan lebih mudah larut dalam air daripada dalam larutan yang mengandung ion

sejenis. Mis. pada AgCl, [Ag+][Cl-] tidak lebih besar dari tetapan (Ksp AgCl = 1x10-10)di

dalam air murni di mana [Ag+] = [Cl-] = 1x10-5 M; jika ditambahkan AgNO3 hingga [Ag+] =

1x10-4 M, maka [Cl-] turun menjadi 1x10-6 M, kanan sesuai arah : Ag+ + Cl- AgCl Ke dalam

endapan terjadi penambahan garam, sedangkan jumlah Cl- dalam larutan menurun.

Teknik penambahan ion sejenis dilakukan oleh analis untuk tujuan :

1) menyempurnakan pengendapan
2) pencucian endapan dengan larutan yang mengandung ion sejenis dengan endapan

Untuk larutan yang mengandung Ag, jika ditambahkan NaCI maka mula-mula

terbentuk suspensi yang kemudian terkoagulasi (membeku). Laju terjadinya koagulasi

menyatakan mendekamya titik ekivalen. Penambahan NaCI ditersukan sampai titik akhir

tercapai. Perubahan ini dilihat dengan tidak terbentuknya endapan AgCI pada cairan

supernatan. Akan tetapi sedikit NaCI harus ditambahkan untuk menyempurnakan titik akhir.

Penentuan Ag sebagai AgCI dapat dilakukan dengan pengukuran turbidimetri yaitu dengan

pembauran sinar (Underwood, 1986).

Jika AgNO3 ditambahkan ke NaCI yang mengandung zat berpendar fluor, titik akhir

ditentukan dengan berubahnya warna dari kuning menjadi merah jingga. Jika didiamkan,

tampak endapan berwarna, sedangkan larutan tidak berwarna disebabkan adanya adsorpsi

indikator pada endapan AgCI. Warna zat yang terbentuk dapat berubah akibat adsorpsi pada

penukaan (Khopkar, 1990).

Semua indikator adsorpsi bersifat ionik. Selain indikator adsorpsi tersebut terdapat

pula indikator-indikator adsorpsi yang digunakan dalam titrasi pengendapan, yaitu turunan

krisodin. Indikator tersebut merupakan indikator asam basa dan indikator reduksi oksidasi dan

memberikan perubahan warna yang reversibel dengan brom. Indikator ini berwarna merah

pada suasana asam clan kuning pada suasana basa. Indikator ini juga digunakan untuk titrasi ion

I" dengan ion Ag+. Kongo merah adalah indikator asam basa lainnya (Khopkar, 1990).

Selain kelemahan, indikator adsorpsi mempunyai beberapa keunggulan. Indikator ini

memberikan kesalahan yang kecil pada penentuan titik akhir titrasi. Perubahan warna yang
disebabkan adsorpsi indikator biasanya tajam. Adsorpsi pada permukaan berjalan baik jika

endapan mempunyai luas permukaan yang besar. Warna adsorpsi tidak begitu jelas jika

endapan terkoagulasi. Kita tidak dapat menggunakan indikator tersebut karena koagulasi.

Koloid pelindung dapat mengurangi masalah tersebut. Indikator-indikator tersebut bekerja

pada batasan daerah-daerah pH tertentu juga pada konsentrasi tertentu saja, yaitu pada

keadaan yang sesuai dengan peristiwa adsorpsi dan desorpsi saja (Vogel, 1990).

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kelarutan

Pengendapan merupakan metode yang paling baik pada anlisis gravimetri. Kita akan

memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan. Parameter-parameter yang penting

adalah temperatur, sifat pelarut, adanya ion-ion pengotor, pH, hidrolisis, pengaruh kompleks,

dan lain-lain (Khopkar, 1990).

Kelarutan bertambah dengan naiknya temperatur. Kadangkala endapan yang baik

terbentuk pada larutan panas, tetapi jangan dilakukan penyaringan terhadap larutan panas

karena pengendapan dipengaruhi oleh faktor temperatur. Garam-garam anorganik lebih larut

dalam air. Berkurangnya kelarutan di dalam pelarut organik dapat digunakan sebagai dasar

pemisahan dua zat. Kelarutan endapan dalam air berkurang jika lanitan tersebut mengandung

satu dari ion-ion penyusun endapan, sebab pembatasan K s.p (konstanta hasil kali kelarutan).

Baik kation atau anion yang ditambahkan, mengurangi konsentrasi ion penyusun endapan

sehingga endapan garam bertambah. Pada analisis kuantitatif, ion sejenis ini digunakan untuk

mencuci larutan selama penyaringan (Vogel, 1990).


Beberapa endapan bertambah kelarutannya bila dalam lanitan terdapat garam-garam

yang berbeda dengan endapan. Hal ini disebut sebagai efek garam netral atau efek aktivitas.

Semakin kecil koefesien aktivitas dari dua buah ion, semakin besar hasil kali konsentrasi

molar ion-ion yang dihasilkan. Kelarutan garam dari asam lemah tergantung pada pH larutan.

Jika garam dari asam lemah dilarutkan dalam air, akan menghasilkan perubahan (H). Kation

dari spesies garam mengalami hidrolisis sehingga menambah kelarutannya (Vogel, 1990).

Kelarutan garam yang sedikit larut merupakan fungsi konsentrasi zat lain yang

membentuk kompleks dengan kation garam tersebut. Beberapa endapan membentuk kompleks

yang larut dengan ion pengendap itu sendiri. Mula-mula kelarutan berkurang (disebabkan

ion sejenis) sampai melalui minuman. Kemudian bertambah akibat adanya reaksi kompleksasi

(Vogel, 1990). Reaksi yang menghasilkan endapan dapat dimanfaatkan untuk analisis secara

titrasi jika reaksinya berlangsung cepat, dan kuantitatif serta titik akhir dapat dideteksi.

Beberapa reaksi pengendapan berlangsung lambat dan mengalami keadaan lewat jenuh.

Tidak seperti gravimetri, titrasi pengendapan tidak dapat menunggu sampai pengendapan

berlangsung sempurna. Hal yang penting juga adalah hasil kali kelarutan (KSP) harus cukup

kecil sehingga pengendapan bersifat kuantitatif dalam batas kesalahan eksperimen. Reaksi

samping tidak boleh terjadi, demikian juga kopresipitasi. Keterbatasan utama pemakaian cara

ini disebabkan sedikit sekali indikator yang sesuai. Semua jenis reaksi diklasifikasi

berdasarkan tipe indikator yang digunakan untuk melihat titik akhir (Khopkar, 1990).

Ada beberapa metode dalam titrasi argentometri yang dibedakan berdasarkan indikator

yang digunakan pada penentuan titik akhir titrasi, antara lain:

a. Metode Mohr
Metode Mohr biasanya digunakan untuk menitrasi ion halida seperti NaCl, dengan

AgNO3 sebagai titran dan K2CrO4 sebagai indikator. Titik akhir titrasi ditandai dengan

adanya perubahan warna suspensi dari kuning menjadi kuning coklat. Perubahan warna

tersebut terjadi karena timbulnya Ag2CrO4, saat hamper mencapai titik ekivalen, semua ion

Cl- hamper berikatan menjadi AgCl. Larutan standar yang digunakan dalam metode ini, yaitu

AgNO3, memiliki normalitas 0,1 N atau 0,05 N. (Alexeyev,V,1969)

Indikator menyebabkan terjadinya reaksi pada titik akhir dengan titran, sehingga

terbentuk endapan yang berwarna merah-bata, yang menunjukkan titik akhir karena

warnanya berbeda dari warna endapan analat dengan Ag+.

Pada analisa Cl- mula-mula terjadi reaksi:

Ag+(aq) + Cl-(aq) ↔ AgCl(s)↓

Sedang pada titik akhir, titran juga bereaksi menurut reaksi:

2Ag+(aq) + CrO4(aq) ↔ Ag2CrO4(s)↓

Pengaturan pH sangat perlu, agar tidak terlalu rendah ataupun tinggi. Bila terlalu tinggi, dapat

terbentuk endapan AgOH yang selanjutnya terurai menjadi Ag2O sehingga titran terlalu

banyak terpakai.

2Ag+(aq) + 2OH-(aq) ↔ 2AgOH(s)↓ ↔ Ag2O(s)↓ + H2O(l)

Bila pH terlalu rendah, ion CrO4- sebagian akan berubah menjadi Cr2O72- karena reaksi

2H+(aq) + 2CrO42-(aq) ↔ Cr2O72- +H2O(l)


Yang mengurangi konsentrasi indikator dan menyebabkan tidak timbul endapannya atau

sangat terlambat. Selama titrasi Mohr, larutan harus diaduk dengan baik. Bila tidak, maka

secara lokal akan terjadi kelebihan titrant yang menyebabkan indikator mengendap sebelum

titik ekivalen tercapai, dan dioklusi oleh endapan AgCl yang terbentuk kemudian; akibatnya

ialah, bahwa titik akhir menjadi tidak tajam.

b. Metode Volhard

Metode Volhard menggunakan NH4SCN atau KSCN sebagai titrant, dan larutan Fe3+

sebagai indikator. Sampai dengan titik ekivalen harus terjadi reaksi antara titrant dan Ag,

membentuk endapan putih.

Ag+(aq) + SCN-(aq) ↔ AgSCN(s)↓ (putih)

Sedikit kelebihan titrant kemudian bereaksi dengan indikator, membentuk ion kompleks

yang sangat kuat warnanya (merah)

SCN-(aq) + Fe3+(aq) ↔ FeSCN2+(aq)

Yang larut dan mewarnai larutan yang semula tidak berwarna.

Karena titrantnya SCN- dan reaksinya berlangsung dengan Ag+, maka dengan cara

Volhard, titrasi langsung hanya dapat digunakan untuk penentuan Ag+ dan SCN- sedang

untuk anion-anion lain harus ditempuh cara titrasi kembali: pada larutan X- ditambahkan

Ag+ berlebih yang diketahui pasti jumlah seluruhnya, lalu dititrasi untuk menentukan

kelebihan Ag+. Maka titrant selain bereaksi dengan Ag+ tersebut, mungkin bereaksi pula

dengan endapan AgX:


Ag+(aq) (berlebih) + X- (aq) ↔ AgX(s) ↓

Ag+(aq) (kelebihan) + SCN- (aq) (titrant) ↔ AgSCN(s) ↓

SCN-(aq) + AgX (s) ↔ X-(aq) + AgSCN(aq) ↓

Bila hal ini terjadi, tentu saja terdapat kelebihan titrant yang bereaksi dan juga titik akhirnya

melemah (warna berkurang).

Konsentrasi indikator dalam titrasi Volhard juga tidak boleh sembarang, karena titrant

bereaksi dengan titrat maupun dengan indikator, sehingga kedua reaksi itu saling

mempengaruhi.

Penerapan terpenting cara Volhard ialah untuk penentuan secara tidak langsung ion-ion

halogenida: perak nitrat standar berlebih yang diketahui jumlahnya ditambahkan sebagai

contoh, dan kelebihannya ditentukan dengan titrasi kembali dengan tiosianat baku. Keadaan

larutan yang harus asam sebagai syarat titrasi Volhard merupakan keuntungan dibandingkan

dengan cara-cara lain penentuan ion halogenida karena ion-ion karbonat, oksalat, dan

arsenat tidak mengganggu sebab garamnya larut dalam keadaan asam.

c. Metode Fajans

Dalam titrasi Fajans digunakan indikator adsorpsi. Indikator adsorpsi ialah zat yang dapat

diserap pada permukaan endapan (diadsorpsi) dan menyebabkan timbulnya warna.

Penyerapan ini dapat diatur agar terjadi pada titik ekivalen, antara lain dengan memilih

macam indikator yang dipakai dan pH.


Cara kerja indikator adsorpsi ialah sebagai berikut: indikator ini ialah asam lemah atau

basa lemah organik yang dapat membentuk endapan dengan ion perak. Misalnya fluoresein

yang digunakan dalam titrasi ion klorida. Dalam larutan, fluoresein akan mengion (untuk

mudahnya ditulis HFl saja).

HFl(aq) ↔ H+(aq) +Fl-(aq)

Ion Fl- inilah yang diserap oleh endapan AgX dan menyebabkan endapan berwarna merah

muda. Karena penyerapan terjadi pada permukaan, dalam titrasi ini diusahakan agar

permukaan endapan itu seluas mungkin supaya perubahan warna yang tampak sejelas

mungkin, maka endapan harus berukuran koloid. Penyerapan terjadi apabila endapan yang

koloid itu bermuatan positif, dengan perkataan lain setelah sedikit kelebihan titrant (ion

Ag+).

Pada tahap-tahap pertama dalam titrasi, endapan terdapat dalam lingkungan dimana

masih ada kelebihan ion X- dibanding dengan Ag+; maka endapan menyerap ion-ion X-

sehingga butiran-butiran koloid menjadi bermuatan negatif. Karena muatan Fl- juga negatif,

maka Fl- tidak dapat ditarik atau diserap oleh butiran-butiran koloid tersebut. Makin lanjut

titrasi dilakukan, makin kurang kelebihan ion X-; menjelang titik ekivalen, ion X- yang

terserap endapan akan lepas kembali karena bereaksi dengan titrant yang ditambah saat itu,

sehingga muatan koloid makin berkurang negatif. Pada titik ekivalen tidak ada kelebihan X-

maupun Ag+; jadi koloid menjadi netral. Setetes titrant kemudian menyebabkan kelebihan

Ag+. Ion-ion Ag+ ini diserap oleh koloid yang menjadi positif dan selanjutnya dapat menarik

ion Fl- dan menyebabkan warna endapan berubah mendadak menjadi merah muda. Pada

waktu bersamaan sering juga terjadi penggumpalan koloid, maka larutan yang tadinya
berwarna keruh juga menjadi jernih atau lebih jernih. Fluoresein sendiri dalam larutan

berwarna hijau kuning, sehingga titik akhir dalam titrasi ini diketahui berdasar ketiga macam

perubahan diatas, yakni

(i) Endapan yang semula putih menjadi merah muda dan endapan kelihatan menggumpal

(ii) Larutan yang semula keruh menjadi lebih jernih

(iii) Larutan yang semula kuning hijau hampir-hampir tidak berwarna lagi.

Suatu kesulitan dalam menggunakan indikator adsorpsi ialah, bahwa banyak diantara zat

warna tersebut membuat endapan perak menjadi peka terhadap cahaya (fotosensifitasi) dan

menyebabkan endapan terurai.

Titrasi menggunakan indikator adsorpsi biasanya cepat, akurat dan terpercaya. Sebaliknya

penerapannya agak terbatas karena memerlukan endapan berbentuk koloid yang juga harus

dengan cepat. (Harjadi,W,1990)

URAIAN BAHAN

1. Aquades /air suling (FI III,96)


Nama resmi : AQUA DESTILLATA Nama lain : Air suling
RM : H2O
BM : 18,02
Kelarutan : larut dalam etanol dan gliser
Kegunaan : sebagai pelarut
Pemerian : cairan jernih, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat .
Struktur : H-O-H
2. Perak nitrat (FI III,97)
Nama resmi : ARGENTI NITRAS
Nama lain : Perak nitrat
RM : AgNO3
BM : 169,87
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air ;larut dalam etanol (95%)P.
Kegunaan : Sebagai indicator
Pemerian : Hablur transparan atau serbuk hablur berwarna putih, tidak berbau,menjadi gelap
jika kena cahaya.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik ,terlindung dari cahaya.

3. Efedrina hidroklorida (FI III,236)


Nama resmi : EPHEDRINI HYDROCHLORIDUM
Nama lain : Efedrina hidroklorida
RM : C10H15NO,HCL
BM : 201,70
Kelarutan : Larut dalam lebih kurang 4 bagian air ,lebih dalam kurang 14 bagian etanol
(95%)P.,tidak larut dalam eter P.
Kegunaan : Sebagai pereaksi
Pemerian : Hablur putih atau serbuk putih halus ,tidak berbau, rasa pahit
Penyimpanan : Dalam wadah tertutupm baik, terlindungi dari cahaya
Struktur : CH(OH)-CH(NHCH3)-CH3 ,HCL

4. K2CRO4 (FI III,690)


Nama resmi : KALII KROMAT
Nama lain : kalium kromat
RM : K2CrO4
BM : 194,2
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air,larutan jernih
Kegunaan : Sebagai pereaksi
Pemerian : Massa hablur ,berwarna kuning
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

5. NH4SCN (FI III,645)


Nama lain : Amonium tiosulfat
RM : NH4SCN
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air,mudah larut dalam etanol (95%)P.
Pemerian : Hablur ,tidak berwarna
Kegunaan : Sebagai pereaksi
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
6. NaCL (FI III,403)
Nama resmi : NATRII CHLORIDUM
Nama lain : Natrium klorida
RM : NaCL
BM : 58,44
Kelarutan : Larut dalam 2,8 bagian air,dalam 2,7 bagian air mendidih,dan dalam kurang lebih
10 bagian gliserol P.,sukar larut dalam etanol (95%) P.
Pemerian : Hablur heksahedral tidak berwarna atau serbuk hablur putih, tidak berbau, dan
rasa asin .
Kegunaan : Sebagai sampel
Penyimpanan : Dalam wadah ntertutup baik .

7. KBr (FI III,328)


Nama resmi : KALII BROMIDUM
Nama lain : kalium bromide
RB : KBr
BM : 119,01
Pemerian : Hablur tidak berwarna ,transparan atau buram atau serbuk butir ,tidak berbau, rasa
asin dan agak pahit.
Kelarutan : Larut dalam 1,6 bagian air,dan dalam kurang 200 bagian etanol (90%)P.
Kegunaan : Sebagai sampel.
Penyimpanan : Simpan dalam wadah tertutup baik

8. (NH4 )2(SO4)2. 6.H2 O


Nama lain : Besi (III)ammonium sulfat
RM : (NH4)2(SO4 )2 6.H2O
Pemerian : Hablur atau serbuk hablur ,biru kehijauan pucat .
Kelarutan : Larut dalam air bebas akrbondioksida P.
Kegunaan : Sebagai sampel
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

9. HNO3 (FI III,650)


Nama resmi : ACIDUM NITRAS
Nama lain : Asam nitrat
RM : HNO3
Kandungan : Tidak kurang dari 69 % dan tidak lebih dari 71% HNO3
Pemerian : cairan berasap, jernih,tidak berwarna
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Sebagai pemberi suasana asam.

Pembentukan Endapan Berwarna

Seperti sistem asam, basa dapat digunakan sebagai suatu indicator untuk titrasi asam-

basa. Pembentukan suatu endapan lain dapat digunakan untuk menyatakan lengkapnya suatu

titrasi pengendapan. Dalam hal ini terjadi pula pada titrasi Mohr, dari klorida dengan ion perak

dalam mana digunakan ion kromat sebagai indikator. Pemunculan yang permanen dan dini dari

endapan perak kromat yang kemerahan itu diambil sebagai titik akhir (TE).

Titrasi Mohr terbatas untuk larutan dengan perak dengan pH antara 6,0 – 10,0. Dalam

larutan asam konsentrasi ion kromat akan sangat dikurangi karena HCrO4- hanya terionisasi

sedikit sekali. Lagi pula dengan hidrogen kromat berada dalam kesetimbangan dengan dikromat

terjadi reaksi :

2H+ + 2CrO4

- ↔ 2HCrO4 ↔ Cr2O7

2- + 2H2O

Mengecilnya konsentrasi ion kromat akan menyebabkan perlunya menambah ion perak

dengan sangat berlebih untuk mengendapkan ion kromat dan karenanya menimbulkan galat yang

besar. Pada umumnya garam dikromat cukup dapat larut. Proses argentometri termasuk dalam

titrasi yang menghasilkan endapan dan pembentukan ion kompleks. Proses argentometri

menggunakan AgNO3 sebagai larutan standar. Proses ini biasanya digunakan untuk menentukan
garam-garam dari halogen dan sianida. Karena kedua jenis garam ini dapat membentuk endapan

atau senyawa kompleks dengan ion Ag+ sesuai dengan persamaan reaksi sebagai berikut :

NaCL + Ag+ → AgCl ↓ + Na+

KCN + Ag+ → AgCl ↓ + K+

KCN + AgCN ↓ → K [Ag(CN)2 ]

Karena AgNO3 mempunyai kemurnian yang tinggi maka garam tersebut dapat digunakan

sebagai larutan standar primer. Dalam titrasi argentometri terhadap ion CN- tercapai untuk

garam kompleks K [Ag(CN)2 ] karena propes tersebut dikemukakan pertama kali oleh Lieberg,

cara ini tidak dapat dilakukan dalam suasana amoniatial karena garam kompleks dalam larutan

akan larut menjadi ion komplek diamilum. (Harizul, Rivai. 1995)

BAB III

BAHAN, ALAT DAN METODE PERCOBAAN

3.1. Bahan yang Digunakan

Bahan yang digunakan adalah perak nitrat, natrium klorida, indikator, sampel K dan

aquades.

3.2. Alat yang Digunakan


Alat-alat yang digunakan yaitu buret 50 ml, statif dan klem buret, corong, labu

Erlenmeyer, labu takar 100 ml, pipet volume 1 ml, pipet volume 25 ml, gelas kimia dan gelas

ukur.

3.3. Metode Percobaan

Percobaan argentometri di laboratorium dilakukan melalui dua tahap percobaan,

yaitu pembuatan larutan baku natrium klorida dan pembuatan larutan baku perak nitrat.

3.3.1. Pembuatan Larutan Baku Natrium Klorida

Larutan ini sebagai larutan baku primer, lebih kurang 2,8 gram NaCI dikeringkan dahulu

di dalam oven pada temperatur 500-600°C, kemudian disimpan di dalam esikator. Setelah

dingin baru ditimbang teliti dengan 1,9 gram dan dilarutkan dalam air suling sampai tepat

tanda batas pada labu ukur I liter. 3.3.2. Pembuatan Larutan Baku Perak Nitrat

Lebih kurang 12 gram AgN03 dilarutkan dalam air suling sampai volume 2 liter.

Simpan dalam botol coklat.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan

Dik : N AgNO3 = 0,1 N


V NaCl = 25 ml

Percobaan 1

Hasil dari percobaan 1 didapatkan V AgNO = 3,2 ml

Percobaan 2

Hasil dari percobaan 2 didapatkan V AgNO = 3,2 ml

Maka V rata-rata = (3,2+3,2) / 2

= 3,2 ml

Maka N NaCl adalah

V1.N1 = V2. N2

3,2 . 0,1 = 25 N2

N2 = (3,2 . 0,1) / 25

N2 = 0,0128

N2 = 1,28 X 10 -2 N

Jadi N NaCl = 1,28 X 10 -2 N

4.2. Pembahasan
Argentometri merupakan analisis volumetri berdasarkan atas reaksi pengendapan dengan

menggunakan larutan standar argentum. Atau dapat juga diartikan sebagai cara pengendapan

atau pengendapan kadar ion halida atau kadar Ag+ itu sendiri dari reaksi terbentuknya endapan

dan zat uji dengan titran AgNO3.

Tujuan dari percobaan kita kali ini adalah dapat melakukan standarisasi AgNO3 dengan

NaCl, dapat melakukan standarisasi NH4CNS dengan AgNO3, dapat menentukan klorida dalam

garam dapur kasar dengan metode argenometri, serta dapat menentukan bromida dengan cara

Volhard.

Standarisasi larutan AgNO3 dengan NaCl merupakan titrasi yang termasuk dalam

presipitimetri jenis argentometri. Reaksi yang terjadi adalah:

AgNO3(aq) + NaCl(aq) → AgCl(s) + NaNO3(aq)

Larutan AgNO3 dan larutan NaCl, pada awalnya masing-masing merupakan larutan yang

jernih dan tidak berwarna. Ketika NaCl ditambah dengan garam natrium bikarbonat yang

berwarna putih, larutan tetap jernih tidak berwarna, dan garam tersebut larut dalam larutan.

Penambahan garam ini dimaksudkan agar pH larutan tidak terlalu asam ataupun terlalu basa, atau

dapat dikatakan garam ini sebagai buffer. Larutan kemudian berubah menjadi kuning mengikuti

warna K2CrO4 yang merupakan indikator.

Setelah dititrasi dengan AgNO3, awalnya terbentuk endapan berwarna putih yang

merupakan AgCl. Ketika NaCl sudah habis bereaksi dengan AgNO3, sementara jumlah AgNO3

masih ada, maka AgNO3 kemudian bereaksi dengan indikator K2CrO4 membentuk endapan

Ag2CrO4 yang berwarna krem.


Dalam titrasi ini, titrasi perlu dilakukan secara cepat dan pengocokan harus juga

dilakukan secara kuat agar Ag+ tidak teroksidasi menjadi AgO yang menyebabkan titik akhir

titrasi menjadi sulit tercapai.

Sedangkan pada titrasi sampel merupakan titrasi yang menggunakan metode Fajans.

Selain itu, asam cuka digunakan untuk menjaga agar pH tidak terlalu tinggi ataupun rendah,

karena indikator adsorpsi bersifat asam lemah yang tidak dapat digunakan dalam keadaan larutan

yang terlalu asam.

Dalam titrasi perubahan warna yang terjadi adalah pada awalnya larutan sampel yang

ditambah dengan asam cuka, akuades dan asam cuka tetap tidak berwarna. Ketika ditambahkan

dengan amilum, larutan menjadi sedikit keruh karena pengaruh suspensi amilum. Dan ketika

ditambah dengan eosin yang berwarna merah, larutan menjadi berwarna kuning.

Saat dititrasi menggunakan AgNO3 larutan makin lama makin mengental akibat

terbentuknya koloid. Koloid ini terbentuk karena reaksi antara ion X- dalam sampel dengan Ag+.

Kemudian lama-kelamaan warnanya berubah dari kuning menjadi merah muda akibat dari

penyerapan ion Fl- oleh kelebihan ion Ag+ dalam koloid.

Faktor yang menyebabkan kelebihan titran berpengaruh kecil, tetapi untuk larutan encer,

masalahnya menjadi serius. Maka diperlukan faktor koreksi, yang dicapai dengan titrasi

blanko (blank titration), yaitu diambil suspensi CaCO3 yang bebas ion Cl- dengan volume clan

indikator sebanyak yang digunakan dalam titrasi sebenamya, lalu ditambah AgN03 sampai

tercapai wama tertentu; jumlah AgN03 dikurangkan dari hasil titrasi sebenamya, yang

dilakukan sampai mencapai warna seperti blanko tersebut (Harjadi, 1990).


Selama titrasi mohr, larutan harus diaduk dengan baik. Bila tidak, maka secara lokal

terjadi kelebihan titrant yang menyebabkan indikator mengendap sebelum titik ekivalen

tercapai, clan dioklusi oleh endapan AgCI yang terbentuk kemudian; akibatnya ialah, bahwa

titik akhir menjadi tidak sharp (Harjadi, 1990).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan. Parameter-parameter yang penting adalah:

1. Temperatur: Kelarutan bertambah dengan naiknya temperatur. Kadangkala endapan yang

baik terbentuk pada larutan panas, tetapi jangan dilakukan penyaringan terhadap

larutan panas karena pengendapan dipengaruhi oleh faktor temperatur.

2. Sifat pelarut: Garam-garam anorganik lebih larut dalam air. berkurangnya kelarutan di

dalam pelarut organik dapat digunakan sebagai dasr pemisahan dua zat.

3. Efek ion sejenis: Kelarutan enddapan dalam air berkurang jika larutan tersebut mengandung

satu ion-ion penyusun endapan, sebab pembatasan Ksp. Baik kation maupun anion yang

ditambahkan, mengurangi konsentrasi ion penyusun endapan sehingga endapan garam

bertambah. Suatu endapan umumnya lebih dapat larut dalam air mumi daripada dalam

suatu larutan yang mengandung salah satu ion endapan. Pentingnya efek ion sejenis

dalam mengendapkan secara lengkap dalam analisis kuantitatif akan tampak dengan

mudah. Dalam melaksanakan opengendapan itu lengkap. Dalam mencuci endapan di mana

susut karena melarut mungkin cukup berarti. Dapatlah digunakan suatu ion sejenis

dalam cairan pencuci untuk mengurangi kelarutan. Ion itu harus juga ion dari zat

pengendap, dan tentu saja bukan ion yang sedang diselidiki. 4. Efek ion-ion lain: Beberapa

endapan bertambah kelarutannya bila dalam larutan terdapat garam-garam yang berbeda
dengan endapan. Hal ini disebut sebagai efek garam netral atau efek aktivitas. Semakin

kecil koef sien aktivitas dari dua buah ion, semakin besar hasil kali konsentrasi molar

ion-ion yang dihasilkan.

4. Pengaruh hidrolisis: jika garam dari asam lemah dilarutkan dalam air, akan menghasilkan

perubahan (H+). Kation dari spesies gararn mengalami hidrolisis sehingga menambah

kelarutannya.

5. Pengaruh kompleks: Kelarutan garam yang sedikit larut merupakan fimgsi konsentrasi zat

lain yang membentuk kompleks dengan kation garam tersebut.

Reaksi yang menghasilkan endapan dapat dimanfaatkan untuk analisis secara titrasi jika

reaksinya berlangsung cepat, dan kuantitatif serta titik akhir dapat dideteksi. Beberapa

reaksi pengendapan berlangsung lambat dan mengalami keadaan tewat jenuh. Reaksi

samping tidak boleh terjadi, demikian pula kopresipitasi (Khopkar, 2002).

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Titrasi AgNO3 dan NaCl merupakan titrasi dengan Metode Mohr dan Titrasi sampel

termasuk dalam Metode Fajans karena sampel mengandung ion I-. Argentometri adalah titrasi

pengendapan dengan larutan standar AgNO3. Ada 4 metode argentometri yaitu metode Mohr,

Volhard, Vajans, Duckel. Pada titrasi argentometri, zat pemeriksaan yang telah dibubuhi
indikator dicampur dengan larutan standar garam perak nitrat (AgNO3). Dengan mengukur

volume larutan standar yang digunakan sehingga seluruh ion Ag+ dapat tepat diendapkan, kadar

garam dalam larutan pemeriksaan dapat ditentukan. (Al.Underwood,1992). Titik akhir

potensiometri didasarkan pada potensial elektrode perak yang dicelupkan kedalam larutan analit.

Titik akhir amperometri melibatkan penentuan arus yang diteruskan antara sepasang

mikroelektrode perak dalam larutan analit. Sedangkan titik akhir yang dihasilkan indikator

kimia, biasanya terdiri dari perubahan warna/muncul tidaknya kekeruhan dalam larutan yang

dititrasi. Hasil yang didapat pada praktikum kali ini yaitu Normalitas AgNO3 = 0,1 N.

Normalitas NaCl = 0,0128 N.

5.2. Saran

Pada praktikum kali inidan selanjutnya mudah-mudahan diperhatikan sebaiknya sebelum

melakukan percobaan alat yang akan digunakan harus dalam keadaan bersih agar diperoleh

hasil yang murni dari ekstraksi tersebut. Dan pada saat melakukan titrasi sebaiknya

dilakukan dengan hati-hati supaya tidak kelebihan titran. Dan juga diberikan waktu yang lebih

leluasa agar praktikan dapat menganalisa hasilnya dengan maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Harjadi, W. 1986. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: PT Gramedia (hal 176 – 187)

Alexeyev, V. 1969. Quantitative Analysis. Moscow: MIR Publishers (hal 406 – 410)

Khopkar, S.M. 1990. Konsep Dasar Ilmu Kimia Analitik. Jakarta: Universitas Indonesia (hal 61)

A. L. Underwood, (1989), Analisa Kuantitatif Edisi Keempat, Erlangga, Jakarta


Harjadi W, (1993), Ilmu Kimia Analitik Dasar, PT Gramedia, Jakarta.

Khopkar, (1990), Konsep Dasar Kimia Analitik, Universitas Indonesia,

Jakarta. Day RA. Jr dan Al Underwood.1992. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi

Kelima. Jakarta : Erlangga

Harizul, Rivai. 1995. Asas Pemeriksaan Kimia. Jakarta : UI Press

Hastuti, Sri, M.Si, dkk. 2007. Buku Petunjuk Praktikum Kimia Analitik Dasar I.

Surakarta : Laboratorium Kimia Dasar FMIPA UNS

Khopkhar, SM. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI Press

Skogg. 1965. Analytical Chemistry. Edisi keenam. Florida : Sounders College

Anda mungkin juga menyukai