Anda di halaman 1dari 32

36.

CEKUNGAN KUTAI

36.1 REGIONAL

Nama Cekungan Polyhistory : Paleogene Continental Fracture-Neogene Passive Margin


Klasifikasi Cekungan : Cekungan Sedimen Dengan Produksi Hidrokarbon

36.1.1 Geometri Cekungan

Cekungan Kutai memiliki luas sekitar 43.680 km2. Cekungan ini merupakan salah satu cekungan
tersier terbesar dan terdalam di Indonesia. Cekungan ini termasuk dalam klasifikasi Paleogene
Continental Fracture-Neogene Passive Margin. Secara geografis, cekungan Kutai terletak
dibagian timur Pulau Kalimantan pada koordinat 103o LU - 2o LS, dan 113o - 118o BT (Gambar
36.1). Batuan dasar dari Cekungan Kutai tersusun oleh kerak kontinen yang diinterpretasikan
sebagai bagian dari Kraton Sunda dan akresi dari lempeng mikro. Adang Flexure dengan arah
umum baratlaut – tenggara (batas patahan Paternosfer) membatasi bagian selatan dari cekungan
ini dengan Cekungan Barito. Di utara, arah utarabaratlaut Busur Mangkalihat memisahkan
Cekungan Kutai dengan Cekungan Tarakan. Cekungan Kutai berdampingan dengan Cekungan
Lariang di bagian timur dan Tinggian Kuching di sebelah baratnya.

Cekungan Kutai merupakan cekungan hidrokarbon terbesar kedua di Indonesia saat ini.
Cekungan Kutai mengandung cadangan minyak sebesar 2,47 MMBO dan 28,1 TCF gas.
Merupakan cekungan Tersier yang berlokasi di Propinsi Kalimantan Timur, memanjang ke arah
timur menuju lepas pantai Selat Makassar.

Cekungan Kutai memiliki tebal sedimen antara 1.500-12.000 m, dengan kedalaman cekungan
antara 0-14.000 m (Gambar 36.2, Gambar 36.4 dan Gambar 36.5). Sebagian besar wilayah
Cekungan Kutai menempati wilayah daratan dengan sebagian kecil menempati wilayah perairan
Selat Makasar.

36-1
Nilai anomali gaya berat yang rendah berkorelasi dengan ketetebalan sedimen yang sangat tebal.
Pola distribusi anomali gaya berat ini memperlihatkan pula tinggian-tinggian batuan dasar yang
diperlihatkan dengan nilai anomali gaya berat yang tinggi (30-100 mgal), yang merupakan batas
terluar dari cekungan ini (Gambar 36.3).

Gambar 36.1 Peta indeks Cekungan Kutai.

36-2
Gambar 36.2 Peta konfigurasi batuan dasar Cekungan Kutai (dimodifikasi dari Wilson & Moss,
1999).

36-3
Gambar 36.3 Peta anomali gaya berat Cekungan Kutai (Pusat Survei Geologi, 2000).

36-4
Gambar 36.4 Peta ketebalan sedimen dan distribusi sumur di Cekungan Kutai.

36-5
Gambar 36.5 Penampang seismik regional Cekungan Kutai (dimodifikasi dari Pertamina-BEICIP, 1992).

36-6
36.1.2 Sejarah Eksplorasi

Sejarah eksplorasi di Cekungan Kutai dimulai dengan kegiatan pemboran yang dilakukan di
dekat rembesan minyak pada komplek Antiklinorium Samarinda. Minyak pertama kali
ditemukan pada kedalaman 46 m pada sumur Louise-1 di dekat Sanga-Sanga pada tahun 1897.
Lapangan Balikpapan (atau Klandasan) diketemukan pada 1898 dengan kedalaman minyak pada
180 m. Lapangan Sambodja yang terletak di antara Lapangan Louise dan Balikpapan
diketemukan pada 1923. Sedangkan Lapangan Sangatta diketemukan sebagai hasil dari survei
gaya berat yang dilakukan oleh BPM pada tahun 1939.

PSC (Production Sharing Contract) pertama dilakukan pada akhir tahun 1960-an, pada saat itu
perusahaan-perusahaan PSC giat melakukan survei geofisika yang dengan sukses menemukan
beberapa lapangan minyak dan gas raksasa di Cekungan Kutai, baik di darat maupun di lepas
pantai. Lapangan Attaka merupakan lapangan pertama yang diketemukan oleh perusahaan PSC
yakni UNOCAL dan Inpex pada tahun 1970 berdasarkan pemetaan struktur bawah permukaan
yang diidentifikasi dari data seismik. UNOCAL secara intensif melakukan survei di Lapangan
Kerindingan dan Melahin pada tahun 1972, Lapangan Sepinggan (1975), dan Lapangan Yakin
pada 1976.

Pada saat ini survei dilakukan dengan pemboran yang ditentukan berdasarkan data seismik 3D.
Survey mutakhir ini telah menemukan beberapa lapangan baru di Cekungan Kutai antara lain
Lapangan Serang 1973 dan Lapangan Santan (1971).

Roy Huffington Co menemukan Lapangan Badak (1973), Nilam (1974), Semberah Utara (1974),
Wailawi (1975), Pamuguan (1975), dan Lapangan Mutiara (1981). TOTAL pertama kali terlibat
di cekungan Kutai sebagai rekanan dari JAPEX. Dua perusahaan ini menemukan Lapangan
Bekapai (1972), Tunu (1973), dan lapangan raksasa Handil dan Tambora pada tahun 1974.
Hingga kini TOTAL masih bekerja di Lapangan Sisi, Nubi, dan Peciko. Peciko pertama kali di
bor pada tahun 1982 dan diaktifasi kembali pada 1991.

36-7
36.2 TEKTONIK DAN STRUKTUR GEOLOGI REGIONAL

Dalam tatanan tektonik, Cekungan Kutai terbentuk sebagai bagian dari bagian tenggara dari
Kraton Sunda yang dipengaruhi oleh tiga lempeng utama yakni Eurasia, India-Australia, dan
Pasifik. Struktur batuan dasar dari Cekungan Kutai merupakan produk tektonik Mesozoik Akhir
hingga Tersier Awal (Gambar 36.6).

Pada kala Paleosen hingga Eosen Awal pada wilayah ini terjadi pengangkatan dan juga erosi dari
Paparan Sunda. Aktivitas tektonik ini berlanjut dengan peregangan dan penipisan kerak pada
tepian benua dan pemekaran lantai samudra di Laut Sulawesi. Episode ini membentuk terban-
terban rift terisi sedimen sungai dan danau, pensesaran bongkah pada tepi bukaan, serta intrusi
gunungapi pada bagian tengah bukaan. Elemen tektonik ini memisahkan bagian barat Sulawesi
dari bagian timur Kalimantan. Sementara itu, pemekaran lantai samudra di Laut Sulawesi meluas
ke Selat Makasar pada kala Oligosen Tengah. Setelah tektonik ekstensi di sepanjang Selat
Makasar, terbentuk rendahan pada Cekungan Kutai. Proses penurunan suhu (thermal) pada tepi
benua dan poros cekungan tersebut juga berakibat pada pengendapan “post-rift-sag”. Pada saat
ini, terjadi suatu transgresi besar yang menghasilkan lautan luas epikontinental, pertumbuhan
karbonat pada paparan dan juga pengendapan suspensif dan “massflow” pada rendahan
cekungan.

Pada awal Miosen Tengah tektonik kompresif bekerja pada tepian Paparan Sunda yang
mengakibatkan karbonat paparan dan endapan delta pada tepian rendahan Makasar terlipat kuat
serta terangkat dengan topografi tinggian membentuk antiklinorium Samarinda, sementara itu di
kawasan Mahakam dan paparan di selatan telah mengalami perubahan oleh sedimentasi klastik
progradatif. Antiklinorium Samarinda selanjutnya menjadi suatu daerah sumber pasir kuarsa bagi
tahap regresi berikutnya. Demikian juga, Kalimantan Tengah menjadi sumber klastik kasar
mengisi lepas pantai Cekungan Kutai dan rendahan Selar Makasar.

36-8
Sejak kala Neogen pusat pengendapannya bergeser kearah lepas pantai. Pada kala Pliosen terjadi
penurunan pada bagian utara dasar cekungan dan berlanjut menjadi suatu lereng paparan
regresif. Sementara itu, Sulawesi Barat menjadi sumber klastik pengisi Selat Makasar.

Gambar 36.6 Elemen struktur regional Cekungan Kutai (van de Weerd dan Armin, 1992).

36-9
Evolusi tektonik di cekungan Kutai menurut Asikin (1995) dalam laporan internal VICO
Indonesia terdiri dari 8 kejadian utama (Gambar 36.7), antara lain:

a. Berpisahnya lempeng Australia dari Antartika pada masa Jurasik hingga Kapur Awal,
yang memulai pergerakan dari lempeng India-Australia menuju ke Utara (Gambar
36.8). Dalam waktu ini, Cekungan Kutai masih bagian dari Lempeng Kontinen
Eurasia yang dipisahkan dari Gondwana oleh lautan Tethys.

b. Terbukanya Laut Cina Selatan selama Kapur Akhir untuk pertama kali yang diikuti
oleh pemekaran samudra (spreading) yang terjadi pada masa Eosen Tengah,. Dalam
kurun waktu ini, Kalimantan berada di sebelah Pulau Hainan yang terpisah dari
daratan Cina dan berkembang ke arah selatan yang mengakibatkan terbentuknya
cekungan Pre-Laut Cina Selatan. Bagian batas timur dari Kalimantan mencerminkan
seri dari suatu seri struktur regangan dengan arah strike utama NE. Kejadian rift
pertama ini mengakibatkan pembentukan intra-cratonic graben di daratan Cina dan
Kalimantan sepanjang patahan ekstensi yang berarah NE-SW. Rifting ini
kemungkinan berkaitan dengan tahap awal dari ekstrusi daratan Sunda (Tapponier,
1986).

c. Subduksi dari kerak samudra India-Australia terhadap kerak kontinen Sunda yang
membentuk kompleks subduksi Meratus pada Kapur akhir hingga Paleosen Awal.
Pada masa ini, punggungan Kutai yang terletak di bagian barat dari danau Kutai
kemungkinan terbentuk sebagai kelanjutan dari pembentukan zona subduksi Meratus.
Cekungan Kutai atas (Upper Kutai Basin), yang terletak di bagian Barat dari
punggungan Kutai terbentuk sebagai bagian dari fore arc basin dan busur magmatik.
Sebagai konsekuensinya Cekungan Kutai bawah (Lower Kutai Basin) masih berperan
sebagai cekungan samudra tanpa pengendapan sedimen yang signifikan pada masa
ini. Mendekati akhir dari kejadian ini, fragmen kontinen dari Gondwana yang dikenal
dengan blok Kangean-Paternosfer mengalami collision dengan kompleks subduksi
Meratus. Pemotongan ini disebabkan oleh sayatan dari aktifitas magmatik.

36-10
d. Subduksi Lupar pada Paleosen Akhir hingga Miosen Tengah. Subduksi ini
merupakan hasil dari kelanjutan proses rifting pada Laut Cina selatan yang memicu
terjadinya proses pemekaran (Spreading). Pada masa ini, Cekungan Kutai Atas
(Upper Kutai basin) merupakan busur magmatik, dan Cekungan Kutai Bawah (Lower
Kutai basin) merupakan suatu back arc basin, yang dicerminkan oleh pengendapan
formasi Mangkupa dan formasi Marah/Berium. Cekungan ini terletak di bagian barat
yang terbentuk di bagian atas dari kerak transisi yang terdiri dari accretional wedge
dan busur magmatik, dimana Cekungan Kutai dilandasi oleh kerak kontinen sebagai
bagian dari kompleks collisional Kangean-Paternosfer fragmen allochtonous
kontinen (Gambar 36.9).

e. Terjadinya collision antara lempeng India dengan Asia pada Eosen tengah, yang
memicu perputaran berlawanan arah jarum jam dari Kalimantan. Kejadian ini
dihasilkan oleh modifikasi kembali lempeng besar Asia. Pergerakan terjadi sepanjang
struktur patahan strike-slip, (patahan Sungai Merah, NNE-SSW Vietnam Selatan,
Adang dll.), yang menyatu menjadi sebuah rotasi besar yang berlawanan arah jarum
jam dari Kalimantan dengan lantai samudera Sulawesi dan membuka serta mekarnya
sebagian besar dari laut Cina Selatan. Pergerakan patahan strike slip en-echelon
berasosiasi dengan displacement besar ke arah selatan dari fragmen Asia sepanjang
patahan Sungai Merah, di lempeng Indo-Cina hingga zona Lupar di Kalimantan, telah
menghasilkan transtension (wrench) basin di Laut Cina Selatan (Cekungan Natuna)
dan di bagian Kalimantan Tengah dan Barat.

f. Pemekaran di selat Makasar pada masa Eosen tengah hingga Oligosen akhir
(Gambar 36.10). Penekanan ke arah tenggara berhubungan dengan terjadinya
ekstrusi dari fragmen kontinen yang terpicu oleh terjadinya collision antara lempeng
India terhadap Asia. Hal ini mengakibatkan pembentukan regangan di Selat Makasar
yang mengaktivasi kembali patahan-patahan tua yakni Adang, Mangkalihat, Baram
Barat, dan lain-lain. Selama masa ini Cekungan Kutai didefinisikan sebagai rift basin.
Pengangkatan dan deformasi regangan sepanjang shear paralel pada batuan dasar
kerak kontinen telah menghasilkan pemekaran (rifting) tersebut.

36-11
g. Tahap kedua membukanya laut Cina Selatan pada masa Oligosen Akhir hingga
Miosen Awal yang diikuti oleh collision antara Lempeng Palawan-Red Bank (Miosen
Awal) yang diakhiri oleh proses pemekaran (akhir dari Miosen Awal), dan
mengakhiri terjadinya rotasi dari Kalimantan (Miosen Tengah), dan terjadinya
pengangkatan Tinggian Kucing (Gambar 36.11).

h. Collision dari kontinen Banggai-Sula terhadap Sulawesi, dan pada saat yang sama
terjadi pengangkatan Pegunungan Meratus pada Miosen Tengah (Gambar 35.12 dan
Gambar 36.13).

Gambar 36.7 Diagram evolusi tektonik Cekungan Kutai (Asikin dkk., 1995).

36-12
Gambar 36.8 Rekonstruksi pergerakan lempeng pada Kapur Akhir (80-60 jtl), memperlihatkan
tahap pertama dari membukanya Laut Cina Selatan yang memisahkan Kalimantan dari Daratan
Cina (Asikin dkk., 1995).

36-13
Gambar 36.9 Rekonstruksi penampang pada Paleosen-Eosen Tengah (60-40 jtl). a) Pada
Paleosen, Upper Kutai merupakan suatu cekungan busur depan, dan Lower Kutai merupakan
Oceanic Basin b) pada Paleosen hingga Eosen Tengah, Cekungan Kutai berkembang menjadi
cekungan busur belakang (Asikin dkk., 1995).

36-14
Gambar 36.10 Rekonstruksi lempeng pada Eosen-Oligosen Awal (40-32 Juta tahun y.l).
Pemekaran Selat Makasar (Asikin dkk., 1995).

36-15
Gambar 36.11 Rekonstruksi lempeng pada Oligosen Akhir-Miosen Tengah (32-16 jtl). Tahap
kedua membukanya Laut Cina Selatan (Asikin dkk., 1995).

36-16
Gambar 36.12 Rekonstruksi penampang pada:
A) Oligosen-Miosen Tengah (32-16.2 jtl)
B) Miosen Tengah-Sekarang (16.2-0 jtl)

36-17
Gambar 36.13 Rekonstruksi lempeng pada Miosen Tengah-sekarang (Asikin dkk., 1995).

36-18
36.3 STRATIGRAFI REGIONAL

Litostratigrafi Cekungan Kutai telah ditulis oleh Courtney dkk (1991) dalam kolom stratigrafi
regional Cekungan Kutai (Gambar 36.14). Berikut penjelasan litostratigrafi Cekungan Kutai
dari masa Paleogen, Neogen dan Kuarter.

36.3.1 Endapan Paleogen

Cekungan Kutai memiliki batuan dasar yang tersusun atas asosiasi batuan mafik dan sedimen
dengan tingkat metamorfisme yang berbeda. Batuan dasar volkanik yang dilaporkan tersingkap
di Sungai Mahakam merupakan hasil aktivitas volkanik pada Eosen Awal-Tengah. Batuan ini
berbeda dengan batuan dasar volkanik yang terdapat pada sumur Gendring-1 yang berumur
Kapur Awal.

Batuan sedimen Tersier tertua pada stratigrafi Cekungan Kutai adalah Formasi Boh, yang terdiri
dari batu serpih, lanau, dan batupasir sangat halus. Batuan-batuan tersebut mengandung
foraminifera planktonik yang berumur Eosen Tengah. Pada beberapa lokasi, formasi ini
berasosiasi dengan batuan volkaniklastik (daerah Mangkalihat) dan aliran Lava (ketebalan 1.400
meter). Ketebalan total dari Formasi Boh diperkirakan sekitar 300 meter, tanpa lapisan lava.
Distribusi dari perlapisan batupasir pada formasi ini tidak diketahui.

Pada batas Eosen Tengah-Akhir, fase regresi ditunjukan oleh terjadinya pembajian lapisan
sedimen klastik yang diikuti oleh endapan laut berumur Eosen Akhir hingga Oligosen Awal.
Lapisan sedimen klastik ini diberi nama Keham Halo Beds, suksesi lapisan batuserpih-
batulumpur dikenal sebagai Atan Beds. Di Sungai Muru (Cekungan Kutai bagian selatan) dan
Sungai Atan (bagian barat Kutai Tengah), endapan ini onlap terhadap batuan dasar dan secara
tidak selaras menutupi Formasi Boh. Ketidakselarasan ini secara progresif menghilang ke arah
bagian dalam dari cekungan, seperti yang terlihat pada Sumur Kariorang dan Sambang yang
berlokasi di bagian utara dari cekungan.

36-19
Keham Halo Beds terdiri dari batupasir dan konglomerat dengan ketebalan antara 1.400-2.000
meter. Batupasir pada lapisan ini merupakan suatu batupasir sangat halus dengan ketebalan 400-
600 meter. Horizon Tufa ditemukan pada lapisan Keham Halo Beds pada bagian utara dari
Cekungan Kutai. Lapisan ini memiliki potensi yang baik sebagai reservoar, khususnya pada
bagian-bagian dangkal dari cekungan.

Atan Beds terdiri dari batuserpih dan batulumpur dan terkadang bersifat karbonatan. Ketebalan
dari lapisan ini sangat sulit ditentukan karena kuat nya deformasi pada lapisan tersebut, namun
dapat diperkirakan bahwa ketebalan lapisan ini berkisar antara 200-400 meter.

Interkalasi batugamping hadir pada lapisan Atan Beds, dengan ketebalan sekitar 70 meter. Selain
itu interkalasi tipis batupasir juga hadir pada lapisan ini. Pengendapan dari Atan Beds diakhiri
oleh fase regresi yang diindikasikan oleh kehadiran klastik kasar (Marah Beds).

36.3.2 Endapan Oligosen Akhir-Miosen Tengah

Pengendapan sedimen pada Oligosen Akhir-Miosen Tengah terdiri dari sikuen tunggal dan
beberapa terdiri dari dua siklus transgresi dan regresi yang terpisahkan oleh Klinjau Beds. Marah
Beds secara tidak selaras menutupi endapan yang lebih tua. Ketidakselarasan ini diakibatkan
oleh fase tektonik yang secara intensif mempengaruhi struktur batuan di daerah dan membentuk
keadaan Cekungan Kutai saat ini. Pengendapan dimulai pada Oligosen Akhir yang ditandai
dengan pengendapan klastik dari Marah Beds yang berubah secara berangsur menjadi serpih dan
batulumpur dari Formasi Pamaluan, yang diikuti oleh pengendapan batuan karbonat dari Formasi
Bebulu dan pada akhir pengendapannya diendapkan serpih napal dan batulanau dari Formasi
Pulau Balang yang berumur Miosen Awal-Tengah.

Marah Beds hanya terdapat di bagian barat, dan mencapai ketebalan maksimum hingga 120
meter. Lapisan ini terdiri dari konglomerat dan batupasir dan sedikit kandungan volkaniklastik.
Perlapisan batuserpih dan batubara sering hadir pada lapisan ini. Klastik Marah Beds secara
selaras ditutupi oleh Formasi Pamaluan yang tersusun atas sikuen serpih-batulanau dengan

36-20
ketebalan mencapai 1000 meter. Kandungan Foraminifera pada lapisan ini mengindikasikan
zona N3-N5. Formasi Pamaluan berubah secara berangsur menjadi batugamping dari Formasi
Bebulu, yang membentuk suatu paparan di Cekungan Kutai bagian dalam dengan ketebalan 100-
200 m. Umur dari formasi ini adalah pada interval N6-N7. Formasi Bebulu secara selaras
tersuksesi oleh Formasi Pulau Balang yang terdiri dari batulumpur-serpih dengan perlapisan
batugamping dan batupasir dengan ketebalan berkisar 1.500 meter. Foraminifera planktonik pada
lapisan ini mengindikasikan zona N8-N9.

36.3.3 Endapan Miosen Tengah-Miosen Akhir.

Kelompok batuan pada umur ini pada umumnya tersusun sangat kompleks dan masih
membingungkan. Dalam stratigrafi regional, kelompok batuan ini dinamai Grup Balikpapan
(Marks dkk., 1982). Bagian bawah dari kelompok batuan ini tersusun atas batuan klastik Formasi
Mentawir dan dapat dibedakan dari bagian atasnya yang tersusun atas serpih-karbonat Formasi
Mentawir. Batupasir Formasi Mentawir memiliki ciri litologi masif, berbutir halus-sedang,
berlapis dengan serpih, lanau, dan batubara. Ketebalan unit batuan ini kurang lebih 450 meter,
Secara selaras Grup Balikpapan ini ditutupi oleh Formasi Klandasan, yang tersusun atas serpih,
napal dan karbonat. Ke arah barat, Formasi Klandasan semakin intensif tererosi. Batupasir basal
dengan ketebalan 1000 meter berubah secara berangsur menjadi lanau dan serpih. Formasi
Klandasan dengan interval karbonat dikenal dengan Formasi Meruat, yang berangsur ke arah
basinward menjadi napal.

Formasi Sepinggan menutupi Formasi Klandasan secara selaras. Formasi Sepinggan disusun
oleh sikuen serpih-batulumpur dengan ketebalan kurang lebih 1.000 meter. Di bagian barat laut
dari Cekungan Kutai, unit sikuen pengendapan ini menyatu menjadi sikuen serpih-napal (Birah-
1) yang membentuk unit batuan Bongas Beds. Di daerah Runtu-Agar dan Sangatta, interkalasi
batupasir sangat halus dan batubara mencirikan endapan delta bagian distal dari bagian timur
kompleks delta prograding yang menyatu dengan klastik anggota Grup Balikpapan. Sikuen ini
dikenal dengan Formasi Sangatta (batubaraan) dengan ketebalan mencapai 2.200 meter.

36-21
Pada Miosen Tengah hingga Miosen Akhir, siklus sedimentasi ditutup oleh regresi pada Miosen
Akhir, yang diindikasikan oleh pembajian klastik yang membentuk bagian dari Formasi
Kampung Baru.

36.3.4 Endapan Pliosen dan Kuarter

Formasi Kampung Baru dapat dikenali dengan baik pada area tepi pantai di daerah tenggara dari
Cekungan Kutai (daerah Balikpapan), yang secara tidak selaras menutupi Formasi Balikpapan.
Formasi ini tersusun atas batupasir, batulanau dan serpih yang kaya akan batubara. Klastik yang
lebih kasar umumnya lebih banyak terdapat pada bagian bawah dari formasi ini dengan
ketebalan 30-120 meter. Batupasir ini membaji ke arah timur menjadi unit serpih seluruhnya.
Unit klastik pada bagian atas lapisan ini merupakan sebuah bukti transgresi pada pliosen awal.
Ke arah basinward unit ini bergradasi menjadi fasies karbonat (Batugamping Sepinggan).

36-22
Gambar 36.14 Stratigrafi regional Cekungan Kutai (Courtney dkk., 1991).

36-23
36.4 SISTEM PETROLEUM

Sistem Petroleum di Cekungan Kutai ini didokumentasikan dengan baik oleh Duval, dkk (1992).
Dalam publikasinya, batuan induk di Cekungan Kutai merupakan batubara yang telah matang
dan batu serpih yang kaya akan bahan organik di daerah kitchen, yang dibatasi oleh nilai Ro
0,6% di bagian atas dan zona bertekanan tinggi (overpressured zone) di bagian bawahnya.

36.4.1 Batuan Induk

Analisis batuan induk yang dilakukan oleh Oudin dan Picard (1982) serta Burus dkk (1992) di
daerah Mahakam menyimpulkan bahwa batuan induk yang membentuk hidrokarbon di daerah
itu berjenis ”humic”. Serpih yang berasosiasi dengan Batubara yang terendapkan diantara
endapan paparan pantai yang merupakan anggota dari formasi Balikpapan dan Kampung Baru,
kaya akan kandungan bahan organik. Batuan ini memiliki kerogen yang melimpah yang berasal
dari endapan darat yang banyak mengandung sisa tumbuhan. Analisis hidrokarbon di Cekungan
Kutai menunjukan bahwa minyak yang berasal dari batuan induk ini mencapai tingkat
kematangan sedang-akhir.

Kandungan TOC pada batuan induk ini bervariasi dan dipengaruhi oleh struktur dan elemen
sikuen (Burrus dkk., 1992). Di bagian dasar dari sikuen dengan jenis endapan laut dan pro delta,
nilai TOC rata-rata nya adalah 1%. Batupasir endapan delta anggota batuan induk tidak
memiliki kerogen, dan serpih yang berseling dengan batupasir ini memiliki TOC 2,5 - 8%. Pada
bagian atas dari sikuen ini lapisan batubara dengan ketebalan 0,1 - 5 meter memiliki TOC di atas
80%.

36-24
36.4.2 Kematangan

Tingkat kematangan batuan induk yang berumur Miosen awal sangat tinggi dengan nilai Ro
lebih dari 0,4%. Hal ini dapat dikenali dari peta kematangan permukaan dan data sumur.

36.4.3 Batuan Reservoir

Batuan reservoir utama yang berumur Miosen Akhir-Pliosen pada umunya merupakan batupasir
yang berasal dari endapan paparan delta, delta front, prodelta/marine, dan fasies prograding
lowstand.

Pada arah struktur Badak-Nilam-Handil, objektif reservoirnya merupakan endapan bar dan
endapan sungai yang berumur Miosen Tengah-Akhir. Reservoir ini merupakan anggota dari
Grup Balikpapan dan juga Formasi Kampung Baru (Miosen Akhir-Pliosen). Batupasir ini hadir
dalam lapisan yang multilayer, dengan ketebalan 0,5 - 30 meter, porositas rata-rata 14 - 19%,
permeabilitas rata-rata 1 – 3.000 md dan kumulatif ketebalan netpay antara 200-300 meter. Pada
formasi Kampung Baru, batupasirnya merupakan endapan delta front dengan porositas rata-rata
25 - 30% dan permeabilitas rata-rata 2 - 300 md.

Pada tren struktur Attaka-Tunu-Bakapai, reservoir utamanya berumur Miosen Akhir-Pliosen dari
formasi Kampung Baru. Fasies batupasir dari reservoir ini bervariasi, dari endapan upper tidal
delta hingga marine delta front. Porositas rata-rata dari reservoir ini adalah 16 - 30%. Pada
bagian bawah dari lapisan reservoir ini, fasies pro delta hadir dengan kualitas batupasir yang
buruk.

Pada tren struktur Sisi-Nubi-Dian, fasies prograding lowstand dariperlapisan batupasir yang
berumur Miosen Akhir-Pliosen dari Formasi Kampung Baru dan batuan karbonat berumur
Pliosen menjadi reservoir yang paling potensial.

36-25
Batuan reservoir utama penghasil hidrokarbon berupa batupasir endapan delta yang berumur
Miosen Awal – Miosen Tengah dari Formasi Pamaluan, Pulubalang, dan Balikpapan dengan
porositas berkisar 15% - 30%.

Di daerah Tanjung, batuan sedimen dari Formasi Tanjung bagian bawah menjadi batuan
reservoir dengan kualitas baik-sangat baik. Di daerah Mamahak, batuan reservoir merupakan
batupasir dan konglomerat dari Formasi Kehamhaloq. Di daerah Teweh, batuan reservoirnya
merupakan batuan karbonat Oligosen yang terisolasi.

36.4.4 Perangkap

Perangkap yang paling berperan dalam akumulasi hidrokarbon di Cekungan Kutai merupakan
perangkap struktural dengan tipe closure empat arah, seperti yang ditemukan di Lapangan
Badak, Handil, Bekapai, dan Attaka. Selain itu, perangkap stratigrafi pula menjadi perangkap
yang paling penting pada saat ini, namun lebih sulit diidentifikasi keberadaannya bila
dibandingkan dengan perangkap struktur. Kombinasi dari perangkap struktur dan stratigrafi lebih
umum ditemukan pada lapangan-lapangan di Cekungan Kutai.

Perangkap hidrodinamik juga berperan dalam akumulasi hidrokarbon di Cekungan Kutai.


Perangkap hidrodinamik ini terutama berhubungan dengan aliran hidrodinamik dari air meteorik
dan tekanan yang tinggi pada aliran tersebut.

Perangkap hidrokarbon yang berkembang berupa perangkap struktur berupa perangkap lipatan
dan perangkap sesar inversi, maupun kombinasi antara lipatan dan sesar naik, disamping itu
beberapa perangkap stratigrafi umum dijumpai pada kawasan ini berupa pembajian dari lensa-
lensa batupasir.

36-26
36.4.5 Batuan Penyekat

Batuan tudung yang berkembang dikawasan Cekungan Kutai berasal dari serpih. Grup
Balikpapan dan Formasi Kampung Baru memiliki serpih yang sangat potensial sebagai batuan
tudung. Serpih ini berinterkalasi dengan batupasir yang membentuk cebakan hidrokarbon. Dalam
konteks stratigrafi sikuen, maximum flooding surface merupakan lapisan tudung yang efektif,
karena mengandung banyak serpih. Patahan dapat pula berperan sebagai tudung yang sangat
efektif di beberapa lapangan minyak di Cekungan Kutai.

36.4.6 Migrasi

Migrasi primer yang merupakan ekspulsi dari hidrokarbon dari batuan induk yang telah matang
dapat diperhitungkan dari beberapa metoda pendekatan, seperti indeks plot silang kematangan –
produksi dan pemodelan kinetik. Dengan menggunakan plot silang Ro-OPI, secara semu dapat
terlihat bahwa hidrokarbon terekspulsi pada Ro=0.7%. Pada Ro 1.2%, semua cairan dari
hidrokarbon akan terkonversi menjadi gas dan memicu migrasi sekunder. Model Kinetik
menunjukan bahwa efisiensi ekspulsi dari batuan induk yang berumur Miosen berkisar antara
25% - 40%.

Migrasi sekunder dari batuan induk menuju reservoir kebanyakan dipengaruhi oleh strukturisasi
yang intensif pada area tersebut. Mekanisme yang dominan yakni migrasi vertikal sepanjang
sistem patahan. Pada beberapa area, ditemukan migrasi lateral. Rembesan minyak dan gas
ditemukan sepanjang Zona Patahan Saka Kanan-Loa Haur-Separi.

36-27
36.5 KONSEP PLAY REGIONAL

Pendekatan konsep play di Cekungan Kutai akan dijabarkan berdasarkan kombinasi konsep
stratigrafi, mekanisme pemerangkapan, dan litologi reservoir. Hal ini dilakukan karena sebuah
pendekatan saja tidak dapat merepresentasikan konsep play untuk suatu cebakan hidrokarbon
pada lapangan minyak tertentu.

Tabel 36.51 Tipe-tipe konsep play umum di Cekungan Kutai (PERTAMINA-BPPKA, 1996).
NO PLAY OBJECTIVE PROVEN NOT PROVEN
1 EOCENE TANJUNG
MAMAHAK
2 OLIGOCENE KERENDAN TURBIDIT
3 MIOCENE DELTA
LOW RESISTIVITY SANDS
OVERPRESSURE HIDRODYNAMIC
LOWSTAND WEDGE
CARBONATE

36.5.1 Play Eosen

36.5.1.1 Lapangan Tanjung

Akumulasi hidrokarbon di Lapangan Tanjung berhubungan dengan struktur berumur Paleogen


yang memiliki karakteristik antiklin asimetris dengan arah umum NE-SE. Sesar naik dengan arah
kemiringan ke NE memotong antiklin, dan juga memotong sesar normal berarah NW-SE
(Gambar 36.15 dan Gambar 36.16).

36-28
36.5.1.2 Lapangan Mamahak

Lapangan ini terletak di Sungai Mahakam, kurang lebih 275 km dibagian barat dari Samarinda
dan 100 km di bagian utara lapangan gas Kerendan. Sumur ini di bor pada tahun 1939 oleh BPM
berdasarkan identifikasi struktur antiklin di permukaan. Antiklin ini memiliki arah umumn SSW-
ENE. Lapisan reservoir di lapangan ini merupakan batupasir Kehamhaloq yang tertutupi oleh
serpih dan batulumpur dari Formasi Atan. Play pada umur Eosen ini merupakan tipe perangkap
struktur dengan dip closure 2 arah. Jenis play ini kemungkinan menerus sepanjang antiklin
Mamahak.

36.5.2 Play Oligosen

Di area Teweh, akumulasi hidrokarbon terdapat pada batuan karbonat Oligosen yang terisolasi.
Batuan ini terdapat pada daerah tinggian batuan dasar. Fasies slope-nya terdiri dari seprih laut.
Play pada batuan karbonat ini merupakan play stratigrafi.

36.5.3 Play Miosen

Lapangan minyak dan gas yang telah berproduksi di Cekungan Kutai secara garis besar
diproduksi dari batuan reservoir berumur Miosen. Total cadangan terbukti dari interval reservoir
ini adalah 8.6 MMBO minyak dan 28.1 TCF gas yang setara dengan total 2.4 juta bbl minyak
ekivalen.

Secara umum dapat disebutkan bahwa seluruh tipe play pada cebakan minyak berumur Miosen
seluruh nya berjenis endapan delta. Play untuk endapan delta ini dibagi lagi menjadi tipe play
lain seperti lowstand wedge, hidrodinamik, overpressure dan batupasir dengan tingkat resistivitas
rendah.

36-29
Gambar 36.5.1 Konfigurasi play struktur pada Paleogen di Lapangan Tanjung Raya
(PERTAMINA-BPPKA, 1996).

36-30
Gambar 36.5.2 Penampang geologi pada Lapangan Tanjung dan Kambitin pada Paleogen (PERTAMINA-BPPKA, 1996).

36-31
DAFTAR PUSTAKA

Burrus, J., Brosse, E., Choppin de janvry,G., Grosjean, Y., Oudin, J.L.,1992, Basin Modelling In
The Mahakam Delta Based On the Integrated 2D Model Temispack. Indonesian Pet.
Assoc., 21st Annual Convention Proceeding I.
Courteney, S., Cockcroft, P. Lorentz, R. A. Miller, R. Ott, H. L. Prijosoesilo, P. Suhendan, A. R.
& Wight, A. W. R. 1991. Indonesia-Oil and Gas Field Atlas. Volume 2 Central
Sumatra. Indonesian Petroleum Association.
Duval, B.C., G.C. de Janvry, and B.Loiret, 1992, Detailed Geoscience Re-Interpretation of
Indonesia’s Mahakam Delta Score, Oil and Gas Journal, 10 Agustus 1992.
Laporan Internal VICO, 1995, Regional Tectonic Projects, Tidak dipublikasikan.
Marks, E.L., Sujatmiko, L. samuel, H. Dhanutirto, T. Ismoyati, dan B.B. Sidik, 1982, Cenozoic
stratigraphic nomenclature in East Kutei Basin, Kalimantan, Indonesian Pet. Assoc.,
11th Annual Convention Proceeding.
Oudin, J.L., dan P.F. Picard, 1982, Genesis of Hydrocarbons in the Mahakam Delta and the
Relationship Between their distribution and the overpressured zones. , Indonesian Pet.
Assoc., 11th Annual Convention Proceeding.
PERTAMINA dan BEICIP FRANLAB, 1992, Global Geodynamics, Basin Classification and
Exploration Play-types in Indonesia, Vol I, Kutai Basin, PERTAMINA, Jakarta.
PERTAMINA dan BPPKA; 1996; Petroleum Geology of Indonesian Basins: Principles,
Methods and Application, Vol XI: Kutai Basins.
Wilson, M.E.J., and Moss, S.J., 1999., Cenozoic Evolution of Borneo-Sulawesi.
Palaeogeography, Palaeoclimatology and Palaeooceanography. Vol. 145.

36-32

Anda mungkin juga menyukai