Anda di halaman 1dari 149

STUDI KELAYAKAN USAHA BUDIDAYA ULAT SUTERA

(Bombix mori L.) DI KECAMATAN SUKANAGARA,


KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT

WIJI LESTARI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
STUDI KELAYAKAN USAHA BUDIDAYA ULAT SUTERA
(Bombix mori L.) DI KECAMATAN SUKANAGARA,
KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT

WIJI LESTARI
E14051170

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
RINGKASAN

WIJI LESTARI. E14051170. Studi Kelayakan Usaha Budidaya Ulat Sutera


(Bombix mori L.) di Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa
Barat. Dibimbing oleh DODIK RIDHO NURROCHMAT dan KASNO.

Kegiatan agroindustri persuteraan alam dilakukan untuk memenuhi


permintaan produk berbahan benang ulat sutera dan upaya peningkatan
pendapatan masyarakat. Permintaan produk berbahan benang sutera baik di dalam
maupun di luar negeri terus meningkat dari tahun ke tahun. Kebutuhan benang
sutera dunia mencapai 118.000 ton, sedangkan kebutuhan dalam negeri mencapai
700 ton. Jumlah produksi benang sutera dunia menurun hingga 52.342 ton dan
Indonesia hanya menghasilkan benang sutera 81,5 ton. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui kelayakan usaha berdasarkan aspek non finansial, aspek
finansial serta mengetahui tingkat kepekaan atau sensitivitasnya.
Penelitian dilakukan di Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur pada
tanggal 15 April hingga 15 Mei 2010. Data primer diperoleh melalui wawancara
dengan responden dan observasi lapang. Data sekunder diperoleh melalui
wawancara maupun penelusuran dokumen dan sumber informasi cetak lainnya.
Data diolah dengan menggunakan software Microsoft Excel 2007. Analisis
dilakukan terhadap aspek-aspek non finansial (aspek pasar dan pemasaran, teknis
dan teknologi, manajemen, sumberdaya manusia, sosial, yuridis, dan aspek
lingkungan), aspek finansial (Net Present Value (NPV), Gross Benefit-Cost Ratio
(gross B/C), Internal Rate of Return (IRR), dan Pay Back Period (PBP)), serta
analisis sensitivitas dalam waktu analisis 10 tahun dengan tingkat suku bunga
12%.
Berdasarkan hasil analisis aspek-aspek non finansial, usaha budidaya ulat
sutera layak dijalankan. Analisis aspek-aspek finansial dilakukan pada tiga skala
usaha berdasarkan luas lahan murbei, yaitu: skala usaha I (1 ha tanaman murbei),
skala usaha II (1,5 ha tanaman murbei), dan skala usaha III (2 ha tanaman
murbei). Berdasarkan kriteria kelayakan usaha, budidaya ulat sutera skala usaha I
dan II layak dilaksanakan dengan nilai NPV sebesar Rp 8.688.681 dan Rp
7.202.019; gross B/C 1,17 dan 1,08; nilai IRR 33,99% dan 20,55% dan PBP
selama 2,75 tahun dan 4,13 tahun. Sedangkan pada skala usaha III, usaha
budidaya ulat sutera dinilai layak jika dilakukan skenario pengembangan dengan
peningkatan pemeliharaan ulat sutera sebanyak 24 boks/th dengan nilai NPV
sebesar Rp 12.649.681; gross B/C sebesar 1,12; IRR 26,06%, dan PBP selama
3,44 tahun.
Penurunan harga jual kokon sebesar 10% lebih berpengaruh (sensitif) pada
kondisi usaha daripada peningkatan biaya operasional sebesar 10%. Usaha
budidaya sutera pada skala usaha I dan skala usaha III dalam skenario
pengembangan tetap layak untuk dijalankan meskipun terjadi penurunan harga
jual kokon sebesar 10% dan peningkatan biaya operasional sebesar 10%,
sedangkan usaha budidaya ulat sutera yang dilakukan oleh skala usaha II menjadi
tidak layak dilakukan.

Kata kunci: kelayakan, usaha tani, ulat sutera, Kabupaten Cianjur


SUMMARY

WIJI LESTARI. E14051170. Feasibility Study of Silk Worm Farming Business


(Bombix mori L.) in Sukanagara District, Cianjur Regency, West Java Province.
Supervised by DODIK RIDHO NURROCHMAT and KASNO.

Agro-industry activities of natural silk are intended to meet the demand for
products made from silkworm thread and to increase the people's income. The
demand for products made from silk threads both at home and abroad continues to
increase from year to year. The world’s need for silk thread reaches 118,000 tons,
while the domestic demand accounts for 700 tons. The world silk production
decreased to 52,342 tons and Indonesia only produced 81.5 tons of silk yarn. This
study aimed to determine the business feasibility based on non-financial aspects,
financial aspects as well as determine its level of sensitivity.
The study was conducted in Sukanagara District, Cianjur Regency from
April 15 to May 15, 2010. The primary data were obtained through interviews
with respondents and field observations. The secondary data were collected
through interviews and traces of documents and other printed materials. The data
were processed using Microsoft Excel 2007 software. The analysis was carried
out for non-financial aspects (aspects of markets and marketing, technical and
technological, management, human resource, social, judicial, and environment),
and financial aspects (Net Present Value (NPV), Benefit-Cost Ratio Gross (gross
B/C), Internal Rate of Return (IRR) and Pay Back Period (PBP)), as well as
sensitivity analysis within the period of 10 years with the interest rate of 12%.
Based on the resulted analysis of non-financial aspects, the silk worm
farming is feasible. The financial analysis was based on three business scales of
land area, namely business scale I (1 ha of mulberry), scale II (1.5 ha of
mulberry), and scale III (2 ha of mulberry). Based on the business feasibility
criteria, the silk worms farming businesses of scale I and II are feasible with NPV
of Rp 8,688,681 and Rp 7,202,019; gross B/C of 1.17 and 1.08; IRR values of
33.99% and 20.55% and PBP of 2.75 years and 4.13 years respectively.
Meanwhile the business scale III of silk worms is considered feasible if the
development scenario is conducted by improving the farming of silk worm as
many as 24 boxes/year with a NPV of Rp 12,649,681; gross B/C of 1.12; IRR of
26.06%, and PBP of 3.44 years.
The cocoon price decrease of 10% is more influential (sensitive to) on the
business condition rather than an increase of 10% in the operational cost. Silk
worm businesses of scale I and III with the development scenarios remain feasible
to operate despite a decline of 10% in cocoon price and an increased operating
cost of 10%, whereas the silk worm business of scale II is not feasible to do.

Key words: feasibility, farming business, silk worm, Cianjur Regency


PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Kelayakan


Usaha Budidaya Ulat Sutera (Bombix mori L.) di Kecamatan Sukanagara,
Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat adalah benar-benar hasil karya saya
sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan
sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2012

Wiji Lestari
E14051170
PENGESAHAN

Judul Skripsi : Studi Kelayakan Usaha Budidaya Ulat Sutera (Bombix


mori L.) di Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur,
Provinsi Jawa Barat
Nama : Wiji Lestari
NRP : E14051170
Departemen/Fakultas : Manajemen Hutan/Kehutanan

Menyetujui
Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, MSc, F.Trop Ir. Kasno, MSc
NIP. 19700329 199608 1 001 NIP. 19460920 198011 1 001

Mengetahui
Ketua Depatemen Manajemen Hutan
Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS


NIP. 19630401 199403 1 001

Tanggal Lulus:
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah swt. atas limpahan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Studi
Kelayakan Usaha Budidaya Ulat Sutera (Bombix mori L.) di Kecamatan
Sukanagara, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat.
Skripsi ini berisi tentang kelayakan dan sensitivitas usaha budidaya ulat
sutera yang dianalisis dengan melihat aspek-aspek studi kelayakan proyek, yaitu:
aspek pasar, pemasaran, teknis dan teknologi, manajemen, sumberdaya manusia,
finansial, sosial, yuridis, dan aspek lingkungan hidup.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Dodik Ridho
Nurrochmat, MSc, F.Trop dan Bapak Ir. Kasno, MSc, selaku pembimbing yang
telah memberikan bimbingan dan pengarahan hingga skripsi ini selesai. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada pemilik usaha budidaya ulat sutera
yang telah bersedia membantu dalam pelaksanaan penelitian.
Penulis berharap skripsi ini dapat menjadi suatu referensi yang bermanfaat
bagi berbagai pihak yang memerlukan.

Bogor, Juni 2012

Penulis
ii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukoharjo, Jawa Tengah pada tanggal 7 Juli 1987.


Penulis merupakan anak ke enam dari tujuh bersaudara dari pasangan Cipto
Miharjo dan Miyarsi.
Penulis lulus dari SMA 1 Lubuk Dalam pada tahun 2005 dan lulus seleksi
masuk IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah Kabupaten Siak. Penulis
menempuh kuliah pada Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor dengan minor Komunikasi.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi
kemahasiswaan, yakni sebagai Staf HRD Asean Forest Student Association
(AFSA LC IPB) tahun 2006-2008, Staf Divisi Keputrian DKM Ibaadurrahman
Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB tahun 2006-2008, Staf
Divisi Pembinaan dan Pengembangan Anggota Ikatan Silaturahmi Anak Negeri
Agung Mahasiswa Siak Bogor (ISTANA MAS Bogor) tahun 2006-2010, dan Staf
Divisi Pembinaan dan Pengembangan Anggota Ikatan Keluarga Pelajar
Mahasiswa Riau-Bogor (IKPMR Bogor) tahun 2006-2008. Penulis mengikuti
berbagai kepanitian, seminar, dan pelatihan untuk menambah keterampilan dan
pengetahuan. Selain itu penulis juga melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem
Hutan (PPEH) jalur Linggarjati-Indramayu tahun 2007, Praktek Pengelolaan
Hutan (PPH) di Gunung Walat, Sukabumi tahun 2008, dan Praktek Kerja Lapang
(PKL) di PT. Musi Hutan Persada, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan
tahun 2009.
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan
skripsi dengan judul Studi Kelayakan Usaha Budidaya Ulat Sutera (Bombix mori
L.) di Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat dibimbing
oleh Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, MSc, F.Trop dan Ir. Kasno, MSc.
iii

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, rasa syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt. atas


berkah dan hidayah-Nya sehingga penyususnan skripsi ini berhasil diselesaikan.
Hal ini tidak terlepas dari dukungan banyak pihak yang turut membantu proses
penyususnan skripsi ini baik secara moral maupun materil. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Ayahanda Cipto Miharjo (Alm.), Ibunda Miyarsi beserta saudara-saudara
(Mas Warsito, Mas Manto, Mas Mi, Mbak Dar, Mas Is, Mas Sir, Mbak
Idar, Mbak Lastri, Mas Parno, dan Dik Andri) yang telah memberikan
inspirasi, dorongan moral dan material, rasa kasih sayang, cinta, dan
doanya kepada penulis;
2. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, MSc, F.Trop dan Ir. Kasno, MSc selaku
dosen pembinbing atas semangat, bimbingan, arahan, pemikiran, dan
nasihat berharga kepada penulis;
3. Dr. Nurheni sebagai dosen penguji dari perwakilan Fakultas Kehutanan
IPB yang telah memberikan nasehat dan ilmu yang bermanfaat. Terima
kasih untuk segala kritikan dan masukan yang diberikan kepada penulis;
4. Pemerintah Daerah Kabupaten Siak atas bantuan beasiswa kepada penulis
selama menempuh perkuliahan di IPB;
5. Ibu Lincah dan Bapak Rido atas bimbingan dan bantuannya;
6. Keluarga besar Bapak Yayat Hidayat atas rasa kekeluargaan dan bantuan
selama penelitian berlangsung;
7. Pak Edi, Pak Saeful, Teh Meli yang telah memberikan kemudahan penulis
dalam menyelesaikan administrasi;
8. Sahabat-sahabat yang penulis cintai Tri Lartono, Sulami, Vivi, Masdalena,
Husna atas semangat dan kasih sayangnya;
9. Sahabat Al Farabi (Suci, Fajri, Fitri, Maul, Ari, Ita, Ana, Atu, Mbak
Wacih, Mbak Dama, Mbak Ani, Mbak Tuti, dan lainnya) yang tidak henti-
hentinya menemani penulis dalam suka maupun duka;
iv

10. Sahabat-sahabat ISTANAMAS-Bogor (Zera, Helni, Santi, Nani, Supatmi,


Siti, Neneng, Diah, Putri, Bang Iik, Bang Hengki, dan Bang Hendri,
Dodot, Siska, Tika, dan lainnya) atas keceriaan dan bantuannya;
11. Seluruh sahabat Departemen Manajemen Hutan angkatan 42 khususnya
Canny, Irma, Eva, Demi, Feni, Nita, Budi Yahna, Choki atas bantuan,
semangat, dan rasa persaudaraan, dan
12. Segenap pihak yang telah membantu dalam penyususnan skripsi ini, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa melimpahkan berkah,
rahmat, dan karunia-Nya. Amin.
v

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR TABEL ......................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2 Tujuan Penelitian ..................................................................... 2
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Budidaya Tanaman Murbei (Morus sp) ................................. 4
2.1.1 Penyebaran .................................................................... 6
2.1.2 Syarat Tumbuh............................................................... 6
2.1.3 Pembibitan .................................................................... 6
2.1.4 Persiapan Lahan ............................................................ 7
2.1.5 Penanaman .................................................................... 9
2.1.6 Pemeliharaan ................................................................. 9
2.1.7 Pemanenan .................................................................... 11
2.2 Budidaya Ulat Sutera ............................................................. 12
2.2.1 Biologi Ulat Sutera ....................................................... 12
2.2.2 Pemeliharaan ................................................................. 13
2.2.3 Pengokonan ................................................................... 15
2.2.4 Pemanenan .................................................................... 16
2.2.5 Penyakit dan Hama ....................................................... 16
2.3 Penelitian Terdahulu .............................................................. 16
BAB III KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1 Letak Geografis dan Luas ...................................................... 18
3.2 Tanah dan Geologi ................................................................. 19
3.3 Iklim ....................................................................................... 19
3.4 Kependudukan ....................................................................... 19
vi

3.5 Sarana dan Prasarana ............................................................. 20


3.6 Sejarah dan Perkembangan Usaha ......................................... 21
BAB IV KERANGKA PEMIKIRAN
4.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ................................................. 23
4.1.1 Studi Kelayakan Usaha ................................................ 23
4.1.2 Aspek-Aspek Studi Kelayakan Usaha ......................... 23
4.1.3 Analisis Finansial ......................................................... 28
4.1.4 Kriteria Kelayakan Investasi ........................................ 28
4.1.5 Analisis Sensitivitas ..................................................... 29
4.2 Kerangka Pemikiran Operasional .......................................... 30
BAB V METODE PENELITIAN
5.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 31
5.2 Jenis dan Sumber Data ........................................................... 31
5.3 Metode Pengumpulan Data ................................................... 31
5.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data .................................. 32
5.4.1 Kelayakan Usaha .......................................................... 33
5.4.2 Analisis Sensitivitas ...................................................... 35
5.4.3 Asumsi-Asumsi Dasar .................................................. 35
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Petani Sutera ..................................................... 37
6.2 Analisis Aspek Non Finansial ................................................ 38
6.2.1 Aspek Pasar .................................................................. 38
6.2.2 Aspek Pemasaran .......................................................... 40
6.2.3 Aspek Teknis dan Teknologi ........................................ 41
6.2.4 Aspek Manajemen ........................................................ 52
6.2.5 Aspek Sumber Daya Manusia ...................................... 54
6.2.6 Aspek Sosial ................................................................. 55
6.2.7 Aspek Yuridis ............................................................... 55
6.2.8 Aspek Lingkungan Hidup ............................................. 55
6.3 Analisis Aspek Finansial ........................................................ 56
6.3.1 Analisis Aspek Finansial pada Usaha yang Sedang
Berjalan ......................................................................... 56
vii

6.3.2 Analisis Aspek Finansial pada Skenario


Pengembangan ............................................................. 75
6.3.3 Analisis Sensitivitas .................................................... 78
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan ............................................................................ 82
7.2 Saran ...................................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 84
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. 87
viii

DAFTAR TABEL

No. Halaman
1. Produksi benang ulat sutera Indonesia tahun 2004 – 2008
di 20 Provinsi ......................................................................................... 2
2. Varietas murbei yang tumbuh baik pada berbagai ketinggian
di atas permukaan laut .......................................................................... 5
3. Penutupan lahan di Kecamatan Sukanagara bulan April 2009 ............... 18
4. Sarana dan prasarana umum di Kecamatan Sukanagara ........................ 20
5. Karakteristik responden pada tiap skala usaha ...................................... 32
6. Karakteristik petani sutera ..................................................................... 38
7. Kelas kualitas kokon secara visual ........................................................ 39
8. Biaya pembuatan kebun murbei pada tiap skala usaha .......................... 58
9. Penggunaan pupuk dasar pada tiap skala usaha ..................................... 59
10. Biaya pembuatan rumah ulat sutera pada tiap skala usaha .................... 60
11. Peralatan budidaya ulat sutera pada tiap skala usaha ............................. 62
12. Biaya reinvestasi pada tiap skala usaha ................................................. 63
13. Kebutuhan perlengkapan dan biaya pembeliannya per tahun ................ 65
14. Penyerapan tenaga kerja tetap pada tiap skala usaha ............................. 66
15. Kebutuhan bibit ulat sutera dan daun murbei per tahun ........................ 68
16. Penggunaan BBM dan desinfektan per tahun ........................................ 68
17. Kebutuhan pupuk per tahun pada tiap skala usaha ................................ 70
18. Kebutuhan tenaga kerja borongan per tahun pada skala usaha I ........... 70
19. Kebutuhan tenaga kerja borongan per tahun pada skala usaha II .......... 71
20. Kebutuhan tenaga kerja borongan per tahun pada skala usaha III ......... 71
21. Biaya transportasi per tahun pada tiap skala usaha ................................ 72
22. Hasil analisis finansial pada tiap skala usaha ........................................ 73
23. Kebutuhan perlengkapan per tahun pada skala usaha III dalam
skenario pengembangan ......................................................................... 76
24. Biaya pembelian perlengkapan per tahun pada skala usaha III dalam
skenario pengembangan ......................................................................... 77
ix

25. Hasil analisis finansial skala usaha III dalam skenario


pengembangan ....................................................................................... 78
26. Analisis sensitivitas pada skala usaha I, skala usaha II, dan skala usaha
III dalam skenario pengembangan ......................................................... 79
27. Analisis sensitivitas pada skala usaha III pada usaha yang sedang
berjalan ................................................................................................ 81
x

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman
1. Penyebaran murbei Morus alba L. ........................................................ 4
2. Kerangka pemikiran operasional ........................................................... 30
3. Layout lahan murbei .............................................................................. 44
4. Tanaman Murbei yang terkena hama dan penyakit ............................... 46
5. Layout rumah ulat sutera ........................................................................ 48
6. Ulat sutera yang terkena penyakit .......................................................... 49
7. Struktur kelompok tani sutera di Kecamatan Sukanagara ..................... 53
xi

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman
1. Bahan-bahan pembuatan rumah ulat sutera pada tiap skala usaha ........ 88
2. Aliran kas usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha I ...................... 90
3. Perhitungan NPV usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha I .......... 92
4. Perhitungan gross B/C usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha I... 93
5. Perhitungan IRR usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha I ............ 94
6. Perhitungan Pay Back Period (PBP) usaha budidaya ulat sutera pada
skala usaha I ........................................................................................... 96
7. Aliran kas usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha II .................... 97
8. Perhitungan NPV usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha II ........ 99
9. Perhitungan gross B/C usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha II 100
10. Perhitungan IRR usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha I ............ 101
11. Perhitungan Pay Back Period (PBP) usaha budidaya ulat sutera pada
skala usaha II ......................................................................................... 103
12. Aliran kas usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha III ................... 104
13. Aliran kas usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha III dalam
skenario pengembangan ......................................................................... 106
14. Perhitungan NPV usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha III
dalam skenario pengembangan .............................................................. 108
15. Perhitungan gross B/C usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha III
dalam skenario pengembangan .............................................................. 109
16. Perhitungan IRR usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha III
dalam skenario pengembangan .............................................................. 110
17. Perhitungan Pay Back Period (PBP) usaha budidaya ulat sutera pada
skala usaha III dalam skenario pengembangan ..................................... 112
18. Analisis sensitivitas penurunan harga jual kokon pada skala usaha I
sebesar 10% ........................................................................................... 113
19. Analisis sensitivitas peningkatan biaya operasional pada skala usaha I
sebesar 10% ........................................................................................... 115
20. Analisis sensitivitas penurunan harga jual kokon pada skala usaha II
sebesar 10% ........................................................................................... 118
21. Analisis sensitivitas peningkatan biaya operasional pada skala usaha II
sebesar 10% ........................................................................................... 119
xii

22. Analisis sensitivitas peningkatan harga jual kokon pada skala usaha III
sebesar 10% pada usaha yang sedang berjalan ...................................... 121
23. Analisis sensitivitas penurunan biaya operasional pada skala usaha III
sebesar 10% pada usaha yang sedang berjalan ...................................... 123
24. Analisis sensitivitas penurunan harga jual kokon pada skala usaha III
sebesar 10% dalam skenario pengembangan ......................................... 125
25. Analisis sensitivitas peningkatan biaya operasional pada skala
usaha III sebesar 10% dalam skenario pengembangan .......................... 127
26. Dokumentasi .......................................................................................... 129
27. Peta lokasi penelitian .............................................................................. 131
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kegiatan agroindustri persuteraan alam dilakukan untuk memenuhi
permintaan produk berbahan benang ulat sutera dan upaya peningkatan
pendapatan masyarakat. Kegiatan ini dapat dilakukan dalam skala rumah dengan
teknologi yang cukup sederhana, bersifat padat karya, mudah dikerjakan, dan
cepat menghasilkan. Hal yang dilakukan mencakup budidaya murbei, pembibitan
ulat sutera, pemeliharaan ulat, produksi kokon, pengolahan kokon, pemintalan
benang, dan penenunan.
Peluang pasar produk berbahan benang sutera alam sangat besar. Permintaan
produk ini baik di dalam maupun luar negeri terus meningkat dari tahun ke tahun
selaras dengan pertambahan penduduk. Kebutuhan benang sutera dunia pada
tahun 2008 mencapai 118.000 ton, sedangkan kebutuhan dalam negeri mencapai
700 ton. Jumlah produksi benang sutera dunia terus menurun selama enam tahun
terakhir dari 55.222 ton menjadi 52.342 ton dan Indonesia hanya menghasilkan
benang 81,5 ton pada tahun 2008. Indonesia harus mengimpor benang sutera
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (Dephut RI 2008).
Peluang Indonesia menjadi pemasok produk sutera alam pada posisi 5
besar dunia bukanlah hal yang tidak mungkin. Kondisi agroklimat sangat
mendukung kegiatan budidaya murbei dan ulat sutera. Selain itu, jumlah tenaga
kerja, sosial, dan budaya sangat mendukung. Pinjaman modal dari pemerintah
daerah setempat pun dapat diperoleh. Namun kenyataannya, perkembangan
produksi benang sutera Indonesia dari tahun 2002 hingga tahun 2008 mengalami
fluktuasi yang cukup besar (Tabel 1). Produksi benang sutera pada tahun 2002
mencapai 92,54 ton. Selanjutnya mengalami penurunan sampai tahun 2004
sebesar 55,21 ton benang sutera. Penurunan tersebut terjadi karena petani sutera
beralih pada usaha tani lain yang lebih menguntungkan. Pada tahun 2005 produksi
benang sutera alam Indonesia mengalami peningkatan sebesar 69,45 ton.
Permintaan Indonesia terhadap produk benang sutera pun lebih tinggi dari pada
penawaran ke pasar dunia (Dephut RI 2008).
2

Tabel 1 Produksi benang ulat sutera Indonesia tahun 2002 – 2008 di 20 Provinsi
Provinsi 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
(Ton) (Ton) (Ton) (Ton) (Ton) (Ton) (Ton)
Nangroe Aceh Darussalam 1,80 - - - - - -
Sumatera Utara 1,70 2,10 1,72 0,10 0,28 0,28 -
Sumatera Barat 0,70 0,13 0,13 - - - 0,01
Sumatera Selatan 0,39 0,35 0,30 - - - -
Bengkulu 0,03 0,01 0,02 - - - -
Lampung - 0,20 0,13 0,20 0,06 0,06 -
Jawa Barat 18,51 1,24 4,07 2,50 0,34 0,34 1,72
Jawa Tengah 15,90 1,75 6,06 4,90 3,17 1,75
DI Yogyakarta 1,10 1,02 0,99 0,30 0,12 0,12 -
Jawa Timur 5,12 3,13 0,03 - - - -
Bali 0,34 0,43 0,61 0,25 0,01 0,01 0,03
Nusa Tenggara Barat - 0,02 - 0,90 0,01 - 0,01
Nusa Tenggara Timur 0,27 0,03 0,01 0,90 0,01 - 0,04
Kalimantan Timur - 0,02 - - - - -
Kalimantan Tengah - - 3,49 - - - -
Sulawesi Utara - - - - 0,64 0,64 1,24
Sulawesi Tengah 0,67 0,09 0,18 - 0,05 0,05 0,07
Sulawesi Selatan 46,01 59,25 37,47 59,00 8,94 - 31,55
Sulawesi Tenggara - - - 0,40 - - -
Sulawesi Barat - - - - 0,02 0,02 0,43
Jumlah 92,54 88,77 55,21 69,45 13,65 1,52 36,85
Keterangan : -) Tidak ada Kegiatan
Sumber : Dephut RI (2008)

Penelitian mengenai kelayakan usaha perlu dilakukan untuk mengetahui


layak atau tidaknya suatu usaha sehingga korbanan biaya yang dikeluarkan tidak
menjadi sia-sia. Hal ini juga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah
dalam menstabilkan dan memajukan persuteraan alam Indonesia yang beberapa
tahun terakhir mengalami fluktuasi. Dengan demikian, permintaan benang sutera
baik di dalam maupun di luar negeri dapat terpenuhi. Penelitian kelayakan usaha
dilakukan dengan menganalisis aspek non finanial (aspek pasar, pemasaran, teknis
dan teknologi, manajemen, sumberdaya manusia, finansial, sosial, yuridis, dan
aspek lingkungan hidup), aspek finansial (Net Present Value, Internal Rate of
Return, Net Benefit Cost Ratio, dan Pay Back Period), dan analisis sensitivitas.

1.2 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan usaha berdasarkan
aspek non finansial dan aspek finansial serta mengetahui tingkat kepekaan
(sensitivitas) usaha budidaya ulat sutera.
3

1.3 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1. Memberikan informasi mengenai kelayakan usaha budidaya ulat sutera.
2. Sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan
pengelolaan usaha budidaya ulat sutera.
3. Sebagai bahan pertimbangan pemerintah dalam menetapkan kebijakan untuk
memajukan usaha budidaya ulat sutera Indonesia.
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Budidaya Tanaman Murbei


2.1.1 Penyebaran
Morus nigra L. adalah satu jenis murbei yang tersebar sangat luas di
antara 6 jenis murbei yang didatangkan dari Jawa ke Sulawesi, karena
perakaran yang sangat baik. Setelah beberapa percobaan pemupukan, maka
Morus alba L. dipilih untuk disebarluaskan karena menghasilkan daun yang
banyak dan berkualitas tinggi. Dalam percobaan yang sama, Morus multicaulis
menghasilkan daun yang banyak juga walau tanpa pemupukan, namun berdaun
kasar. Pengklasifikasian tanaman murbei didasarkan perbedaan bentuk dan
warna bunga, kuncup, tunas, daun, dan lainnya. Namun ciri daun secara umum,
yaitu berlekuk dan daun utuh. Semakin banyak lekukan yang terdapat pada
daun maka kualitasnya semakin rendah (Yamamoto 1985 dalam Atmosoedarjo
et al. 2000).

Korea Jepang

M. alba L. Cina India Eropa (Italia, Prancis)

Thailand Semenanjung Melayu Jawa,


Indonesia

Gambar 1 Penyebaran murbei Morus alba L.

Murbei merupakan tumbuhan asli Pegunungan Himalaya. Sekarang,


murbei menyebar baik di daerah tropik maupun daerah sub tropik mulai dari
ketinggian 0 – 4000 m dpl. Koidzummi membagi marga morus menjadi 29
jenis berdasarkan morfologi bunga pada tahun 1930. Murbei memiliki lebih
dari 35 spesies dan sub spesies (Ryu 1998 dalam Atmosoedarjo et al. 2000).
Murbei pada dasarnya memiliki bunga kelamin tunggal. Di daerah tropik
marga morus pada umumnya hidup di antara 10 LS sampai daerah sub-artik 50
5

LU (Kitaura dalam Atmosoedarjo et al. 2000). Berdasarkan long style bunga


jantan spesies murbei dikelompokkan ke dalam Dolychostyle dan Macromorus.
Perdu ini memiliki tinggi 1,5 m, panjang daun 5 - 10 cm, bercabang, bunga
dan buah banyak pada umur 8 bulan (dari stek) atau lebih dari 2 bulan (setelah
pemangkasan).
Murbei yang dipilih memiliki sifat-sifat unggul, yaitu menghasilkan
daun yang banyak, berkualitas, perkembangan akar baik, memiliki daya tahan
tumbuh stek, dan pertumbuhan stek baik. Salah satu persyaratan varietas
murbei untuk daerah tropis, yaitu memiliki kemampuan beradaptasi dengan
keadaaan alam (suhu, musim, dan lainnya) dan memiliki ketahanan terhadap
hama dan penyakit. Tidak kurang dari 100 spesies murbei yang telah dikenali.

Tabel 2 Varietas murbei yang tumbuh baik pada berbagai lokasi ketinggian
Varietas Spesies Negeri asal Tinggi (m dpl)
Kanva 3 M. bombycis India 400 – 1200
Cathayana M. alba L. Jepang 200 – 500
Multicaulis M. multicaulis Jepang 700 – 1200
Lembang M. bombycis Indonesia 200 – 500
Khumpai M. bombycis Thailand 200 – 500
Sumber : Ryu (1998 dalam Atmosoedarjo et al. 2000)

2.1.1.1 Klasifikasi
Klasifikasi tanaman murbei untuk kepentingan budidaya ulat sutera
sebagai berikut :
Kerajaan : Plantaneae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Morales
Famili : Moraceae
Genus : Morus
Spesies : Morus alba L., Morus nigra L., Morus cathayana, Morus
multicaulis
6

2.1.1.2 Morfologi
Daun murbei memiliki petiole yang berada di pangkal daun. Tepat di
bawah petiole terdapat stipul berjumlah dua, berdaun tunggal, ada yang
bergelombang ada yang tidak, permukaan daun ada yang mengkilap ada
yang tidak, tepi daun sebagian besar bergerigi, bentuk daun (berlekuk, bulat
lebar, bulat cekung, dan oval), dan berwarna hijau hingga hijau tua.
Batang berwarna coklat, hijau kecoklatan, hijau abu-abu, dan abu-
abu. Lentisel ditemukan pada ruas-ruas batang. Antar ruas terdapat buku-
buku yang ditumbuhi daun dan mata tunas. Buah didominasi merah. Murbei
termasuk tumbuhan yang memiliki perakaran dalam dan sistem akar
tunggang.

2.1.1.3 Kandungan Kimia Daun Murbei


Suntana (2008) mengemukakan bahwa setidaknya ada delapan
kandungan kimia yang terdapat pada daun murbei dalam satuan persen (%).
Kandungan kimiannya terdiri atas kandungan air (74,79%); bahan air
(25,21%); protein (7,172%); lemak (1,02 %); serat (3,4%); karbohidrat
terlarut (11,31%); mineral (2,3%), dan pre-nitrogen (1,15%).

2.1.2 Syarat Tumbuh


Lokasi penanaman murbei di daerah tropik sebaiknya berada di dataran
tinggi (≥ 700 m dpl) dengan suhu rata-rata berkisar antara 21°C - 25°C. Jika
penanaman murbei ingin dilakukan di dataran rendah (< 700 m dpl) maka perlu
memperhatikan suhu dan kelembaban. Pertumbuhan murbei akan baik bila
ditanam tanpa naungan. Tanaman ini harus ditanam pada lahan yang memiliki
drainase yang baik atau tidak tergenang dan ber-pH netral (Suntana 2008).

2.1.3 Pembibitan
Murbei varietas lokal mampu beradaptasi dengan lingkungan setempat
secara baik. Bila produksi daun varietas lokal rendah maka bisa didatangkan
dari luar yang bisa beradaptasi dengan kondisi lingkungan baru. Sumber bibit
murbei dapat diperoleh dari seedling, hasil sambungan (grafting), bibit dari
7

layering (layerages), stek batang, stek daun, dan kultur jaringan. Namun bibit
yang banyak digunakan berasal dari stek batang yang mudah dan tidak
memerlukan biaya yang mahal dalam pengadaannya. Stek batang yang akan
dijadikan bibit memiliki ciri-ciri panjang ± 20 cm berdiameter ≥ 1 cm dan mata
tunas berjumlah 3 sampai 4 mata. Stek diambil dari bagian pangkal cabang
yang berumur empat sampai enam bulan. Bagian ujung stek dipotong mendatar
dan bagian bawah dipotong diagonal. Daun yang ada pada stek harus dibuang
secara hati-hati agar kuncup lateral tidak rusak. Stek siap untuk ditanam.
Suntana (2008) menyatakan varietas murbei unggul dan dapat
beradaptasi dengan kondisi lingkungan Indonesia, sebagai berikut:
1. Kanva II: Tahan terhadap penyakit tukra dan hama kutu (Mealy bug), tahan
kekeringan dan layak dikembangkan di ketinggian 400 - 1200 m dpl.
Produksinya mencapai 48 ton per Ha per tahun.
2. Katayana: Peka terhadap jamur, tahan terhadap serangan hama serta tahan
kekeringan. Layak dikembangkan di ketinggian 200 - 500 m dpl. Produksi
mencapai 45 ton per Ha per Tahun.
3. Morus multicaulis: Tahan terhadap berbagai penyakit tetapi peka terhadap
serangan ulat pucuk, sedikit tahan terhadap kekeringan dan layak
dikembangkan di ketinggian 700 - 1200 m dpl. Produksi mencapai 42 ton
per Ha per Tahun.
4. Lembang: Tahan terhadap hama serta tahan terhadap kekeringan. Layak
dikembangkan di ketinggian 200 - 500 m dpl. Produksi daun 42 ton per Ha
per tahun.
5. Kunpai: Tahan hama dan penyakit serta tahan terhadap kekeringan. Layak
dikembangkan di ketinggian 200 - 500 m dpl. Produksi 33 ton per Ha per
tahun.

2.1.4 Persiapan Lahan


Kegiatan persiapan lahan memiliki tujuan untuk menyediakan media
tumbuh yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Persiapan
lahan yang dilakukan, yaitu pembersihan lahan, pengolahan tanah, dan
pembuatan lubang.
8

2.1.4.1 Pembersihan Lahan


Pembersihan lahan dapat dilakukan secara manual maupun kimia.
Pembersihan secara manual dilakukan dengan cara membabat semak
belukar, alang-alang, dan penebangan pohon selain kanan kiri sungai
sepanjang 100 m untuk sungai besar dan 50 m untuk aliran anak sungai.
Hasil babatan bisa dibakar secara terkendali dengan membuat sekat bakar
selebar 2-3 m maupun dijadikan kompos. Pembersihan lahan secara kimia
dilakukan dengan cara penyembrotan herbisida dengan dosis 10 lt/ Ha, pada
lahan berpopulasi perdu jarang dan kondisi alang-alang masih relatif
pendek. Pencegahan penyakit akar dilakukan dengan menyemprot tanah
dengan bakterisida (pada tanaman murbei lama di lahan bekas kebun
murbei) (Atmosoedarjo et al. 2000).

2.1.4.2 Pengolahan Tanah dan Pembuatan Lubang


Pengolahan tanah dilakukan dengan pencangkulan dan pembuatan
lubang sedalam 50 cm. Hal ini dilakukan karena murbei memiliki perakaran
yang dalam hingga mampu mencapai kedalaman tanah lebih dari 1 meter.
Lubang tanaman dapat dibuat dalam bentuk bujur sangkar (parsial) maupun
berbentuk parit (memanjang). Pembuatan lubang berbentuk bujur sangkar
dilakukan bila jarak barisan lebar dengan lubang berukuran 30 cm x 30 cm x
30 cm atau 40 cm x 40 cm x 40 cm. Pemberian kompos atau pupuk kandang
matang ke dalam lubang dilakukan dua minggu kemudian. Setelah itu
dilakukan pengadukan dengan lapisan top soil, ditimbun dengan lapisan sub
soil, dan diberi tanda ajir. Penanaman dilakukan setelah dua minggu
kemudian (Atmosoedarjo et al. 2000).
Pembuatan lubang dengan sistem parit dilakukan bila jarak barisan
cukup rapat dan ukuran lubang tanam cukup lebar. Pada lahan datar
dilakukan pencangkulan tanah sepanjang baris tanaman dengan lebar 40 cm
dan dalam 40 - 45 cm. Pemupukan dilakukan setelah dua minggu kemudian
dengan 40 Kg kompos atau pupuk kandang yang matang di setiap 160 meter
parit. Peratakan dan pengadukan dilakukan dengan lapisan top soil dan
9

ditutup dengan tanah sub soil. Penanaman dilakukan setelah dua minggu
kemudian.
Ajir tanaman sebagai penanda barisan diletakkan pada daerah yang
memiliki ketinggian yang sama di lahan miring. Top soil yang berada di
sebelah atas lubang dimasukkan ke dalam lubang, kemudian dilakukan
pengadukan dengan pupuk organik dan menimbun lubang dengan lapisan
sub soil. Bila tanah dalam keadaan basa maka dinetralkan dengan pemberian
kapur secukupnya. Tanah disepanjang barisan tanaman dibuat gundukan.
Saluran pembuangan air dibuat memotong barisan tanaman atau parit
dengan interval +100 meter.

2.1.5 Penanaman
Setelah rorak atau lubang dibuat maka dua minggu kemudian proses
penanaman stek dapat dilakukan. Penanaman dilakukan pada awal musim
hujan agar pertumbuhan akar cukup kuat bertahan di musim kemarau. Stek
yang ditanam merupakan stek yang tidak terserang penyakit dan diupayakan
menanam stek yang memiliki ukuran yang sama agar pertumbuhannya seragam
dan jumlah daun yang dipanen tidak berkurang.

2.1.6 Pemeliharaan
2.1.6.1 Penyiangan
Pemeliharaan tahap awal setelah penanaman yaitu penyiangan
gulma. Hal ini dilakukan agar tanaman murbei tidak terhambat
pertumbuhannya karena adanya persaingan dengan gulma. Penyiangan
dilakukan pada saat gulma mulai tumbuh. Pada musim hujan penyiangan
dilakukan sebulan sekali. Penyiangan kedua dilakukan setelah tiga bulan
dari masa penanaman. Penyiangan dapat dilakukan dengan cara manual
maupun menggunakan traktor tergantung luasan kebun murbei. Laju
pertumbuhan gulma dapat ditekan dengan pemulsaan menggunakan 1,5 ton
mulsa per 0,1 Ha. Cara lain menggunakan film polyethylene yang harus
diganti setahun sekali. Cara ini memerlukan dana yang sangat mahal
(Atmosoedarjo 2000).
10

2.1.6.2 Pendangiran
Pendangiran memiliki tujuan agar tanah menjadi gembur sehingga
asupan oksigen di dalam tanah cukup, perakaran berkembang baik,
penyerapan mineral dan hara menjadi mudah, kehidupan jasad renik
terangsang, dan dekomposisi bahan organik dipercepat. Pendangiran
pertama dilakukan pada saat pembuatan rorak atau lubang hingga
kedalaman 50 cm. Pendangiran selanjutnya dilakukan pada saat tanaman
berumur 5 bulan dan 2 tahun (Atmosoedarjo et al. 2000).
2.1.6.3 Pemupukan
Pemupukan dilakukan agar kandungan hara di dalam tanah terjaga
sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik. Pemupukan pertama
dilakukan pada saat pembuatan rorak dengan menggunakan 1,5 ton kompos
per 0,1 Ha lahan. Pemupukan selanjutnya dilakukan pada tanaman berumur
5 bulan, 1 tahun, dan 2 tahun dengan pupuk N (30 kg/0,1 Ha), P (14 – 16
kg/0,1 Ha), dan K (12 -20 kg/Ha). Pemupukan pertama dilakukan dengan
cara bergaris di samping bibit murbei. Pada tahun kedua tanaman dipupuk di
antara larikan murbei. Pemupukan dilakukan dengan cara membenamkan ke
dalam tanah (Atmosoedarjo et al. 2000).
2.1.6.4 Pemangkasan
Pemangkasan memiliki tujuan untuk merangsang pertumbuhan
cabang baru, meningkatkan kualitas dan kuantitas daun, dan mempermudah
pemanenan daun. Pemangkasan pertama menurut Japan International
Cooperation Agency (1981) dalam Atmosoedarjo et al. (2000) dilakukan
setelah tanaman berumur ± 9 bulan. Tunas baru akan merekah dalam jangka
waktu ±10 hari. Pemangkasan harus dilakukan secara hati-hati, teratur, dan
disesuaikan dengan keadaan lingkungan sehingga kematian akibat
banyaknya zat cair (getah) yang keluar dari tubuh murbei dapat
meminimalkan.
11

Metode pemangkasan menurut Japan International Cooperation


Agency (1981) dalam Atmosoedarjo et al. (2000) terbagi dalam tiga
kategori, sebagai berikut:
1. Pangkas rendah
Pemangkasan dilakukan setinggi 10 – 30 cm dari permukaan tanah.
Pangkas rendah memberikan keuntungan berupa produksi daun yang
dihasilkan lebih banyak, ukuran cabang dan daun seragam, pengendalian
hama dan penyakit mudah, kandungan air tinggi, dan pemungutan daun
lebih mudah. Namun pemeliharaan murbei terhadap gulma harus seefisien
mungkin. Pangkas rendah tidak cocok dikembangkan di daerah yang
mudah tergenang air.
2. Pangkas sedang
Pemangkasan dilakukan setinggi 70 – 100 cm dari permukaan tanah.
Keuntungan yang diperoleh dari pemangkasan ini yaitu perakaran tanaman
menjadi dalam dan tidak mudah terserang penyakit.
3. Pangkas tinggi
Tanaman dipangkas setinggi 120 – 150 cm dari permukaan tanah.
Dari satu batang tanaman disisakan 2 – 3 tunas dan setiap tunasnya
terdapat 3 cabang. Waktu pemanenan daun menjadi cukup lama dan sulit
dilakukan.

2.1.7 Pemanenan
Daun dipetik dari cabang murbei satu persatu bersama petiol.
Sedangkan cabang murbei tetap tumbuh dalam pohon. Panen semacam ini
biasanya dilakukan untuk pengadaan pakan ulat kecil atau pengendalian hama
penyakit. Pada penyediaan pakan bagi ulat besarpun dapat diterapkan, apabila
cabangnya diarahkan untuk pengadaan bibit (stek). Kelebihan panen secara
rempel adalah daun yang dipanen umumnya sehat, karena pada saat panen
hanya daun yang baik yang dipetik. Kelemahannya boros tenaga kerja
(Atmosoedarjo et al. 2000).
12

2.2 Budidaya Ulat Sutera Bombyx mori Linnaeus


2.2.1 Biologi Ulat Sutera
Ulat sutra (Bombyx mori L.) merupakan larva kupu-kupu yang memiliki
nilai ekonomi tinggi sebagai penghasil serat atau benang sutra. Ia berasal dari
utara Tiongkok. Telur ulat sutra membutuhkan waktu sekitar 10 hari untuk
menetas. Ulat sutra menghasilkan kepompong sutra mentah, yang setelah
dipintal bisa menghasilkan benang sutra sepanjang 300 hingga 900 m per
kepompong. Seratnya berdiameter sekitar 10 mikrometer. Sebagaimana
umumnya larva atau ulat, ulat sutra sangat rakus yang makan sepanjang siang
dan malam sehingga tumbuh dengan cepat (Wikipedia 2006).
Adapun klasifikasi ulat sutera sebagai berikut:
Kerajaan : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Familia : Bombycidae
Genus : Bombyx
Spesies : Bombyx mori Linnaeus

Telur ulat pada umumnya berbentuk bulat pipih dengan lebar 1 mm,
panjang 1,3 mm, tebal 0,5 mm, dan berat sekitar 0,5 mg. Ukuran dan berat telur
sedikit bervariasi berdasarkan ras dan lingkungan pemeliharaan induk. Satu
induk menghasilkan sekitar 500 butir dengan warna kuning muda yang akan
berubah menjadi warna abu-abu atau kehijauan. Warna telur tergantung ras
atau galur (Atmosoedarjo et al. 2000).
Larva sutera yang baru menetas memiliki seta yang banyak, umumnya
berwarna hitam, dan panjang 3 mm. Satu hari kemudian, panjang tubuh
menjadi 7 mm dan permukaan kulit mengkilap. Seta terlihat kurang jelas pada
umur 2 hari. Setelah itu ulat berhenti makan selama 24 jam dan berganti kulit
(ekdisi). Pergantian kulit larva berlangsung 4 kali dengan 5 periode makan
disebut instar. Panjang larva maksimum mencapai 70 mm pada instar V. Pada
instar ini, larva banyak makan. Larva yang telah berkembang penuh, berhenti
13

makan, dan kulit menjadi transparan diletakkan pada alat pengokonan. Larva
berhenti mengeluarkan serat sutera dalam 2 hari dan berubah menjadi pupa 24
jam kemudian. Kupu dewasa keluar setelah melalui tahap stadia pupa selama 3
hari dan masa dewasa awal selama 5 hari (Tajima 1978 dalam Atmosoedarjo et
al. 2000).

2.2.2 Pemeliharaan Ulat Sutera


2.2.2.1 Pemeliharaan Ulat Kecil
Suhu dan kelembaban nisbi di dalam ruangan pemeliharaan pada
instar I berkisar 27 – 28°C dan 90 %. Pada instar II dan II, suhu ruangan
diusahaan sekitar 26 – 27°C dan 25°C. Sedangkan kelembaban nisbi untuk
instar II dan III berkisar 85 % dan 80 % (JOCV 1975 dalam Atmosoedarjo
et al. 2000). Ruangan memiliki kualitas udara dan aliran udara yang baik
serta pencahayaan yang cukup.
Metode pemeliharaan ulat kecil menurut Atmosoedarjo et al. (2000)
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Pemeliharaan dalam kotak dan pemeliharaan tertutup dengan kertas
kedap, tergantung pada cara penutupan tempat pemeliraan,
2. Pemeliharaan dengan daun ranjang, tunas yang dirajang, tergantung pada
cara persiapan pakan,
3. Pemeliharaan dalam rak, papan gantung, dan pemeliharaan mekanis,
tergantung padatipe tempat pemeliharaan yang dipakai, dan
4. Pemeliharaan oleh perorangan atau bersama-sama.
Kesehatan ulat sutera pada instar 1 hingga instar III sangat
diperhatikan dengan pemberian daun murbei yang berkualitas dengan nilai
gizi yang baik. Oleh karena itu, pembuatan kebun murbei khusus ulat kecil
perlu dilakukan. Pemetikan pucuk daun murbei pada tunas muda sampai
daun kelima dan ke enam cocok dikonsumsi oleh instar I, sampai daun ke
enam dan ke tujuh untuk instar II, dan sampai daun ke tujuh dan ke delapan
untuk instar III. Pemungutan dilakukan pada pagi hari, disimpan di tempat
yang sejuk, dan dibasahi dengan air (Atmosoedarjo et al. 2000).
14

Nafsu makan ulat pada permulaan instar tidak begitu tinggi,


meningkat dalam pertumbuhan selanjutnya, dan menurun pada akhir setiap
instar. Pemberian pakan ulat disesuaikan dengan perkembangan ini. Rata-
rata jumlah daun yang dibutuhkan untuk satu kotak berisi 20.000 telur, yaitu
sebanyak 2,080 gr untuk instar I; 5,600 gr untuk instar II, dan 10,800 gr
untuk instar III (AICAF 1995 dalam Atmosoedarjo et al. 2000).
2.2.2.2 Pemeliharaan Ulat Besar
Instar IV dan V termasuk dalam fase ulat besar tetapi berbeda secara
fisiologis. Pada instar IV, kesehatan sangat diperhatikan seperti pada instar
sebelumnya. Pemeliharaan lingkungan dilakukan agar ulat tidak terkena
penyakit dengan suhu dan kelembaban yang cocok dan kesediaan pakan
yang bergizi tinggi. Sedangkan instar V merupakan fase yang penting dalam
produksi ulat sutera. Kelenjar sutera cepat bertambah hingga 40%
(Atmosoedarjo et al. 2000).
Pemanfaatan daun murbei dilakukan secara efisien dan tenaga kerja
dihemat untuk kegiatan panen daun dan pemberian pakan. Ulat sutera tidak
tahan terhadap suhu dan kelembaban yang tinggi serta peredaran udara yang
buruk. Cairan tubuh berkurang bersamaan dengan nafsu makan yang luar
biasa. Oleh karena itu, ventilasi yang baik diperlukan untuk membuang uap
air dan gas-gas berbahaya yang ditimbulkan dari kotoran.
Metode pemeliharaan ulat besar menurut Atmosoedarjo et al. (2000),
di antaranya:
1. Pemeliharaan dengan tunas,
2. Pemeliharaan dengan daun utuh (tanpa dicacah),
3. Pemeliharaan dengan potongan tunas yang tergantung pada:
a. Pakan yang diberikan,
b. Pemeliharaan dalam rak (shelf rearing),
c. Pemeliharaan mendatar,
d. Pemeliharaan mekanis dan lain sebagainya.
15

2.2.3 Pengokonan
Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa pengokonan yang
dilakukan pada sesaat belum dewasa atau sesaat lewat matang membuat daya
pintal dan panjang filamen yang didapat menjadi berkurang. Jika ulat sutera
yang lewat masa dewasa maka kokon yang dibuat menjadi rangkap (kokon
yang dibuat oleh dua ulat).
Fase yang cocok untuk pengokonan, yaitu pada saat ulat mencapai
dewasa sempurna. Pencapaian masa ini ditandai dengan berkurangnya ukuran
tubuh ulat, kotoran yang menjadi lunak, ulat berhenti makan, dan mulai
berputar-putar dengan mengangkat kepala dan badannya. Ulat mulai naik
vertikal dengan geotropisme yang negatif. Badan ulat tampak transparan.
Badan mulai berwarna kuning atau kecoklatan pada ulat sutera multivoltin
(Atmosoedarjo et al. 2000).
Material dan struktur tempat pengokonan mempengaruhi kualitas
kokon, filamen, dan tenaga kerja untuk mengokonkan dan panen kokon.
Tempat pengokonan yang baik memenuhi persyaratan, di antaranya kuat,
struktur cocok untuk pengokonan, mampu mengontrol kelembaban, memberi
kemudahan untuk memperlakukan ulat pada waktu mengokon, dan mudah
dalam proses pemanenaan kokon. Tempat pengokonan diklasifikasikan
berdasarkan bentuk dan strukturnya, yakni yang berputar (rotary), yang
berombak, bambu spiral, yang terbuat dari plastik, dan lainnya (Atmosoedarjo
et al. 2000).
Metode mengokonkan (mounting) dilakukan dengan cara yang berbeda-
beda. Cara yang selama ini digunakan, yaitu pemungutan langsung
menggunakan tangan, guncangan tunas, maupun guncangan tunas yang diikuti
dengan pengokonan alami. Setiap metode memiliki kelemahan dan kelebihan
(Atmosoedarjo et al. 2000).
16

2.2.4 Pemanenan Kokon


Pemanenan baik dilakukan pada hari ke enam dan ke tujuh setelah
mulai mengokon dengan suhu lingkungan berkisar 24 - 27°C. Pada saat
dipanen pupa telah terbentuk dengan warna coklat dan kulitnya telah cukup
keras sehingga tidak mudah pecah (Atmosoedarjo et al. 2000).
Untuk pemanenan kokon pada tempat pengokonan berputar dilakukan
dengan melepas tempat pengokonan dan bagian-bagiannya diperiksa dengan
arah melihat melawan cahaya. Kokon yang kotor dan pupa yang mati dibuang.
Kokon yang baik dipanen dengan menggunakan alat pelepas kokon. Kokon
yang telah dipanen dibersihkan dari serabut serat sutera (floss) yang dapat
mengadopsi air dari udara dan menurunkan mutu kokon dengan alat pembersih
serabut kokon (floss removal) yang dapat digerakkan dengan tangan, kaki atau
motor listrik (Atmosoedarjo et al. 2000).

2.2.5 Penyakit dan Hama


Penyakit yang biasanya menyerang ulat sutera disebabkan oleh virus,
cendawan, protozoa, dan bakteri. Penyakit yang disebabkan oleh virus, antara
lain penyakit Grasserie (Borcelia virus), penyakit Cytoplasmic Polyhedrosis
Virus atau CPV (Smithia virus), dan penyakit Infectious Flacherie (Morator
virus). Penyakit yang disebabkan oleh cendawan, antara lain penyakit
Aspergillus (Aspergillus oryzae) dan penyakit Muscardine (Beauveria
bassiana, Spicaria prasina, dan Isaria farinosa). Penyakit protozoa disebabkan
oleh patogen Microsparidia jenis Nosema bombycis. Dan penyakit yang
disebabkan oleh bakteri terjadi kalau kondisi pemeliharaan buruk sehingga
ketahanan ulat sutera terhadap bakteri akan lemah dan metabolism menurun
Hama yang menyerang ulat sutera, yaitu semut, tikus, cicak, tokek, dan kadal
(Ahdiat 2007).

2.3 Penelitian Terdahulu


Afrilia (2004) meneliti tentang kelayakan pendirian usaha ternak ulat
sutera di Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penelitian ini bertujuan mengetahui kelayakan usaha ternak ulat. Indikator
kelayakan usaha ulat sutera menggunkan nilai NPV, IRR, dan BCR dengan suku
17

bunga tabungan sebesar 12 persen. Peternak ulat sutera di kecamatan ini dibagi
dalam tiga kelompok menurut rata-rata luas lahan yang digunakan untuk usaha
ternak ulat sutera, yaitu rata-rata luas lahan 0,06 hektar (< 0,09 hektar); 0,15
hektar (0,09 - 0,20 hektar); dan 0,4 hektar (> 0.2 hektar). Umur usaha ulat sutera
dianalisis selama 10 tahun didasarkan pada pertimbangan umur teknis tanaman
murbei.
Nilai NPV masing-masing adalah Rp. 747.653,39; Rp. 6.117.546,15 dan
Rp. 11.443.982,51 menunjukan bahwa nilai NPV > 0, jadi kriteria kelayakan nilai
NPV telah terpenuhi. Nilai BCR yang diperoleh masing-masing usaha ternak ini
layak secara finansial untuk diusahakan (BCR>1). Nilai BCR pada rata-rata luas
lahan usaha ternak 0,06 hektar; 0,15 hektar dan 0,4 hektar masing-masing adalah
1,16 hektar; 1,60 hektar dan 1,51 hektar. Nilai IRR yang diperoleh juga
menunjukan bahwa usaha ternak ini layak untuk diusahakan. Nilai IRR pada rata-
rata luas lahan 0,06 hektar; 0,15 hektar dan 0,4 hektar masing-masing adalah
21,42 persen; 41,15 persen; dan 44,74 persen. Usaha ulat sutera tetap layak secara
finansial untuk diusahakan pada sensitivitas harga input variabel naik 10 persen
dan harga kokon turun 10 persen. Sensitivitas harga kokon turun 10 persen lebih
berpengaruh pada indikator kelayakan usaha ternak ulat sutera. Usaha ulat sutera
yang paling layak secara finansial untuk diusahakan adalah usaha ternak dengan
luas lahan rata-rata 0,40 hektar.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada aspek
kajian. Selain nilai NPV, IRR, BCR, dan sensitivitas, peneliti juga
memperhitungkan payback period sehingga diketahui waktu pengembalian
investasi dari proyek yang dijalankan. Penelitian ini dilakukan di tempat yang
berbeda, yaitu daerah Jawa Barat tepatnya di Kecamatan Sukanagara, Kabupaten
Cianjur, Provinsi Jawa Barat sehingga diketahui kelayakan usaha budidaya ulat
sutera di daerah tersebut.
18

BAB III
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1 Letak Geografis dan Luas


Kecamatan Sukanagara secara administratif termasuk dalam Kabupaten
Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Letak Kabupaten Cianjur secara geografis berada
pada 106°42’ – 107°25’ BT dan 6°21’ – 7°25’ LS. Kecamatan sukanagara
berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Kecamatan Campaka Mulya di
sebelah utara, Kecamatan Pagelaran dan Kecamatan Campaka Mulya di sebelah
timur, Kecamatan Kadupandak dan Kecamatan Pagelaran di sebelah selatan, serta
Kabupaten Sukabumi dan Kecamatan Takokak di sebelah barat. Jarak kecamatan
Sukanagara dari Ibukota Kabupaten Cianjur, yaitu 50 kilometer dengan jarak
tempuh 2 jam perjalanan (Edi 2009).

Tabel 3 Penutupan lahan di Kecamatan Sukanagara bulan April 2009


Desa Pemukiman Pertanian* Perkebunan Hutan Lain-Lain Jumlah
(Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha)
Sukanagara 147,380 219,957 1.070,628 55,535 3,500 1.497,000
Sukamekar 1.043,690 572,748 548,000 773,000 15,200 2.952,638
Sukakarya 49,749 28,744 1.668,012 50,000 3,840 1.800,345
Sukajembar 40,520 162,225 560,900 1.851,694 11,260 2.626,599
Cigunung 71,060 71,346 99,600 22,500 3,600 1.164,106
Gunungsari 36,442 157,615 1.137,527 1.277,518 0,830 2.609,932
Sukalaksana 35,310 200,180 239,530 168,030 3,200 646,250
Sukarame 15,541 293,394 265,000 - 3,670 577,605
Sidangsari 18,500 66,300 1.041,330 50,000 3,180 1.179,310
Jayagiri 28,715 147,131 935,950 - 8,207 1.120,003
Jumlah 1.486,907 1.919,64 8.462,477 4.248,277 56,487 16.173,788
Sumber: Edi (2009)
Keterangan: Lain-lain = lapangan olah raga, kolam, dan rawa
* = pertanian, termasuk sawah dan tegalan

Luas Kecamatan Sukanagara ± 16.173,788 hektar yang berada di


ketinggian lebih dari 700 – 1.010 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar
lahan di Kecamatan Sukanagara berupa perkebunan seluas 4.248,277 hektar.
Perkebunan yang diusahakan berupa perkebunan teh milik swasta maupun
perhutani. Penggunaan lahan terbesar kedua berupa areal hutan seluas 4.248,277
19

hektar yang merupakan hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi yang
diusahaan oleh perhutani. Areal pemukiman warga dibangun pada lahan seluas
1.486,907 hektar (Tabel 3).

3.2 Tanah dan Geologi


Jenis tanah yang ada di Kecamatan Sukanagara, yaitu latosol. Jenis tanah
vulkanik muda dengan kelapukan tinggi membuat daerah ini rawan terhadap
bencana longsor. Tekstur tanah sebagian besar lempung hingga geluh dengan
struktur remah hingga gumpal lemah dan konsistensi gembur. Tingkat kesuburan
tanah tergolong cukup tinggi dengan lapisan tanah organik (top soil) yang dalam.
Topografi secara umum bergelombang dan berbukit-bukit dengan kemiringan 15
– 45 persen. Kecamatan Sukanagara termasuk ke dalam lempeng Indo-Australia.
Pergerakan tanah berpotensi rendah hingga sangat tinggi.

3.3 Iklim
Wilayah Kecamatan Sukanagara menurut klasifikasi Koppen termasuk
pada iklim tipe A (iklim tropika basah). Sedangkan menurut klasifikasi Oldeman,
Kecamatan ini termasuk pada Zona D dengan jumlah bulan basah 3 – 4 kali
berturut-turut. Curah hujan bulanan rata-rata 1.000 mm dengan suhu harian rata-
rata 19,7 °C – 23,3 °C. Daerah ini beriklim humud-tropik tanpa bulan kering.

3.4 Kependudukan
Kecamatan Sukanagara terdiri atas 10 desa, 59 RW, dan 267 RT.
Pemeliharaan ulat sutera berada di Desa Sukanagara, Desa Sukamekar, dan Desa
Sukalaksana. Jumlah penduduk Kabupaten Cianjur sebanyak 2.171.281 jiwa yang
terdiri dari 1.123.091 laki-laki dan 1.048.190 perempuan (BPS 2010). Jumlah
penduduk Sukanagara sebesar 47.311 jiwa. Sebagian penduduk merupakan suku
sunda dan 5 persen di antaranya merupakan pendatang bersuku jawa. Mata
pencaharian sebagian besar penduduk bekerja di sektor pertanian.
20

3.5 Sarana dan Prasarana


Kecamatan Sukanagara dilalui oleh jalur utama Provinsi Cianjur dengan
mobilitas kendaraan hampir terjadi setiap waktu. Jalan utama kecamatan telah
diaspal sedangkan jalan desa berbatu dengan kondisi yang cukup baik. Alat
transportasi mudah ditemukan, di antaranya bus, mobil elf, mobil L300, angkutan
kota, dan jasa ojek di titik-titik tertentu. Kegiatan masyarakat setempat didukung
dengan banyaknya pilihan angkutan umum dan kondisi jalan yang memadai.
Sarana dan prasarana yang terdapat di Kecamatan Sukanagara, antara lain
sekolah atau lembaga pendidikan, fasilitas kesehatan, tempat peribadatan,
koperasi, dan pasar (Tabel 4). Lembaga pendidikan yang ada di Kecamatan
Sukanagara terdiri dari 20 kelompok Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), 35
Sekolah Dasar atau Ibtidaiyah, 4 Sekolah Menengah Pertama, 3 Tsanawiyah, 6
kelas jauh, 1 Sekolah menengah Tinggi, 1 Sekolah Menengah Kejuruan, 1 Aliyah,
dan 7 pondok pesantren. Fasilitas kesehatan yang disediakan oleh pemerintah
kecamatan, yaitu 1 puskesmas, 3 pustu, 3 Puskesdes, 2 klinik, dan 66 kelompok
Posyandu. Tenaga kesehatan yang tersedia berjumlah 95 orang yang terdiri dari 1
dokter umum, 1 dokter gigi, 1 asisten dokter gigi, 1 ahli gizi, 12 bidan, 14
perawat, dan 65 dukun beranak. Tempat peribadatan yang tersedia terdiri dari
masjid berjumlah 119 buah, langgar 323 buah, dan mushola 9 buah. Terdapat 4
pasar tradisional yang terdiri dari 1 pasar kecamatan dan 3 pasar desa.

Tabel 4 Sarana dan prasarana umum di Kecamatan Sukanagara


Uraian Jumlah
Lembaga Pendidikan 78
Kesehatan 75
Tempat Ibadah 451
Koperasi 1
Pasar 4
Sumber: Edi (2009)
21

3.6 Sejarah dan Perkembangan Usaha


Perseroan Terbatas Indo Jado Sutera Pratama yang berdiri pada tahun
1997 ini merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pemintalan dengan
menggunakan mesin-mesin otomatis. Perusahaan ini mengajak masyarakat yang
tinggal di Sukanagara untuk bekerjasama dalam usaha budidaya ulat sutera.
Perusahaan ini menyediakan bibit ulat ke petani sekaligus menjadi penjamin
pasar. Kondisi fisik Kecamatan Sukanagara sangat mendukung perkembangan
usaha ini dengan tersedianya tenaga kerja, dan dapat meningkatkan pendapatan.
Petani di Sukanagara dibedakan atas tiga kelompok yang tersebar di 3
desa, yakni Sukanagara, Sukamekar, dan Sukalaksana. Pembentukkan kelompok
dilakukan untuk mempermudah koordinasi antar petani yang terletak di tiga desa
yang berbeda. Kelompok I berasal dari Desa Sukamekar yang terdiri dari 8 orang.
Kelompok II berasal dari Desa Sukanagara terdiri dari 9 orang. Dan kelompok III
berasal dari Desa Sukalaksana terdiri dari 10 orang.
Peminjaman modal usaha PT Indo Jado Sutera Pratama untuk kegiatan
pembuatan kebun murbei, rumah ulat sutera, dan peralatan yang digunakan untuk
memelihara kebun murbei dan ulat sutera. Pengembalian pinjaman dilakukan
berangsur-angsur per bulannya disesuaikan dengan hasil panen kokon. Sebelum
melakukan usaha, para petani mendapat pelatihan gratis mengenai usaha budidaya
ulat sutera yang diadakan oleh PT Indo Jado Sutera Pratama dan instansi terkait.
Kerjasama ini berlangsung hingga tahun 2003. Terputusnya kerjasama ini
dikarenakan bangkrutnya PT Indo Jado Sutera Pratama. Bangkrutnya perusahaan
ini disebabkan oleh kurangnya bahan baku usaha yang berasal dari benang ulat
sutera padahal kapasitas produksi mesinnya sangat besar. Petani sutera kehilangan
pemasok bibit ulat sutera sekaligus penjamin pasar mereka sehingga kegiatan
budidaya ulat sutera mengalami kemunduran. Banyak petani mengganti tanaman
murbei dengan sayur-mayur untuk dikonsumsi sendiri maupun dijual. Sempat
menjadi kekuatiran petani jika peminjaman modal harus segera dikembalikan.
Namun PT Indo Jado Sutera Pratama tidak meminta pengembalian pinjaman
modal dari petani karena mengerti kondisi keuangan petani.
Keadaan kembali membaik dengan adanya CV Batu Gede yang menjadi
pemasok bibit ulat sutera menjamin pasar bagi petani ulat sutera di Kecamatan
22

Sukanagara, kabupaten Cianjur. Kondisi ini merupakan peluang sekaligus


tantangan bagi CV Batu Gede yang terletak di Kecamatan Ciapus, Kabupaten
Bogor. Selain bermitra dengan petani sutera dari Cianjur, CV Batu Gede juga
menjalin kerjasama dengan petani yang berada Sukabumi, dan Bogor. Hal ini
dilakukan karena petani ulat sutera di tiga daerah tersebut telah punya pengalaman
dalam pembudidayaan.
Sebagian petani tidak mau melakukan usaha budidaya ulat sutera karena
untuk membangun kebun murbei dan ulat sutera memerlukan biaya yang tidak
sedikit. Beberapa petani tetap mempertahankan kebun murbei untuk dijual
daunnya. Namun sebagian lagi melanjutkan usaha ini karena mereka masih
memiliki harapan untuk dapat meningkatkan taraf hidup. Pelatihan dan
penyuluhan juga dilakukan oleh CV Batu Gede.
Para petani yang masih bergelut di usaha ini berharap bisa
mengembangkan usaha berupa perluasan kebun murbei dan penambahan jumlah
boks bibit ulat yang dipelihara yang tentu saja harus mengeluarkan dana yang
tidak sedikit. Harapan lainnya yaitu meningkatkan nilai tambah dengan menjual
produk benang bukan kokon.
23

BAB IV
KERANGKA PEMIKIRAN

4.1 Kerangka Pemikiran Teoritis


4.1.1 Studi Kelayakan Usaha
Proyek atau usaha merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
mendapatkan manfaat (benefit) dengan menggunakan sumberdaya yang ada
(Kadariah et al. 1999). Studi kelayakan proyek dilakukan untuk mengetahui
berhasil atau tidaknya suatu proyek (biasanya berupa proyek investasi) yang
telah dilaksanakan (Husnan dan Suwarsono 2008). Pihak swasta menilai
keberhasilan suatu proyek dilihat dari manfaat ekonomis dari investasi.
Sedangkan lembaga non profit seperti pemerintah, menilai keberhasilan suatu
proyek bukan hanya dilihat dari manfaat ekonomisnya saja melainkan manfaat
lainnya seperti penyerapan tenaga kerja dari masyarakat.
Komponen biaya dan manfaat diukur dalam menilai suatu proyek.
Biaya dapat diartikan sebagai korbanan ekonomis yang dikeluarkan untuk
mencapai tujuan. Sedangkan manfaat merupakan segala sesuatu yang
membantu maupun yang dapat menimbulkan kontribusi tercapainya suatu
tujuan. Biaya dapat menimbulkan pengurangan terdapat manfaat yang
diperoleh dari suatu proyek.

4.1.2 Aspek-Aspek Studi Kelayakan Usaha


Husnan dan Suwarsono (2008) menyatakan bahwa belum ada
kesepakatan mengenai berbagai aspek yang perlu diteliti dalam studi kelayakan
hingga saat ini. Aspek-aspek studi kelayakan proyek yang akan dikaji pada
penelitian ini, antara lain aspek pasar, pemasaran, teknis dan teknologi,
manajemen, sumber daya manusia, finansial, sosial, yuridis, dan aspek
lingkungan hidup.
4.1.2.1 Aspek Pasar
Pasar, menurut para ahli, merupakan tempat bertemunya penjual
dan pembeli atau bertemunya kekuatan permintaan dan penawaran dari
kedua pihak untuk membentuk suatu harga (Umar 2003). Pengertian pasar
24

jika dilihat dari sudut pandang pemasaran merupakan kumpulan pembeli


aktual dan potensial dari sebuah produk yang melakukan pertukaran untuk
memuaskan kebutuhan atau keingingan yang sama (Kotler dan Armstrong
2004). Tjiptono (2008) menyatakan bahwa pasar adalah semua pelanggan
potensial yang bersedia dan mampu melakukan proses pertukaran untuk
memuaskan kebutuhan dan keinginan tertentu. Terdapat tiga faktor utama
dalam pembentukan terjadinya pasar, yaitu orang yang memiliki
kebutuhan dan keinginan, daya beli, dan perilaku dalam pembeliannya.
Permintaan dan penawaran dilakukan oleh penjual dan pembeli
ketika melakukan proses pertukaran produk. Umar (2003) menyatakan
permintaan sebagai jumlah barang yang dibutuhkan dan mampu dibeli
oleh konsumen pada berbagai tingkat harga. Permintaan yang hanya
dipengaruhi oleh kebutuhan disebut permintaan potensial dan permintaan
yang disertai daya beli disebut permintaan efektif. Hukum permintaan
menyatakan bahwa jika harga suatu barang meningkat maka jumlah barang
yang diminta semakin berkurang dan jika harga suatu barang mengalami
penurunan maka jumlah barang yang diminta akan semakin meningkat.
Penawaran memiliki arti jumlah barang yang ditawarkan pada
berbagai tingkat harga. Jika harga suatu barang meningkat maka produsen
berusaha meningkatkan jumlah barang yang akan dijual. Terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran barang pada berbagai
tingkat harga, di antaranya harga barang itu sendiri, harga barang lain,
biaya produksi, tingkat teknologi, dan tujuan perusahaan.
4.1.2.2 Aspek Pemasaran
Analisis mengenai segmen, target, posisi produk di pasar, dan
bauran pemasaran dilakukan setelah pasar bagi rencana produk dipilih.
Segmentasi pasar dilakukan dengan melihat keberagaman keinginan,
kemampuan keuangan, lokasi, sikap pembelian, dan praktek pembelian
dari banyaknya pembeli (Umar 2003). Beberapa aspek yang perlu
diperhatikan dalam segmentasi, di antaranya aspek geografis, demografis,
psikografis, dan aspek perilaku. Target pasar menentukan jumlah segmen
yang akan dicakup dan yang akan dilayani. Kemudian posisi yang akan
25

ditempati dalam segmen tersebut ditentukan dengan mengidentifikasi


keunggulan kompetitif, memilih keunggulan kompetitif, serta mewujudkan
dan mengkoomunikasikan posisi.
Kotler dan Armstrong (2004) menyatakan bahwa bauran
pemasaran (marketing mix) merupakan kombinasi satu perangkat alat
pemasaran perusahaan untuk mencapai tujuan. Bauran pemasaran adalah
sebagai berikut:
1. Produk (Product)
Produk merupakan segala sesuatu yang ditawarkan produsen
untuk diperhatikan, diminta, dicari, dibeli, digunakan, atau dikonsumsi
konsumen sehingga kebutuhan dan keinginan konsumen terpenuhi. Produk
memiliki manfaat tangible dan intangible dengan mutu, ciri, dan desain
tertentu (Tjiptono 2008).
2. Harga (Price)
Harga merupakan sejumlah nilai yang ditukarkan konsumen
dengan produk yang akan dibeli. Harga produk ditetapkan dalam proses
tawar-menawar antara penjual dan pembeli atau ditetapkan oleh penjual
untuk harga yang sama terhadap semua pembeli (Umar 2003).
3. Distribusi (Place)
Perantara pemasaran produk yang umum digunakan oleh
produsen, yaitu membangun saluran distribusi, sekelompok organisasi
yang saling tergantung dalam proses penyediaan produk atau jasa bagi
konsumen atau pengguna industrial (Umar 2003).
4. Promosi (Promotion)
Promosi dilakukan dengan memberitahu masyarakat mengenai
produk yang ditawarkan agar dikenal dan dibeli sehingga volume
penjualan meningkat. Strategi bauran promosi yang umum digunakan,
yaitu periklanan, promosi penjualan, hubungan masyarakat, dan penjualan
perorangan.
26

4.1.2.3 Aspek Teknis dan Teknologi


Evaluasi aspek teknis dan teknologis menurut Sutojo (2008),
sebagai berikut:
1. Penentuan lokasi proyek, yaitu dimana suatu proyek akan didirikan,
baik untuk pertimbangan lokasi dan lahan proyek.
2. Penentuan kapasitas produksi ekonomis yang merupakan volume satuan
produk yang dihasilkan selama waktu tertentu.
3. Pemilihan teknologi yang tepat yang dipengaruhi oleh pengadaan
tenaga kerja ahli, bahan baku dan bahan pembantu, kondisi alam, dan
lainnya tergantung proyek yang akan didirikan.
4. Penentuan proses produksi yang akan dilakukan dan tata letak pabrik
yang akan dipilih, termasuk tata letak bangunan dan fasilitas lain.
4.1.2.4 Aspek Manajemen
Manajemen merupakan cara pencapaian tujuan dengan
menggunakan sumber-sumber yang ada. Sumber-sumber ini berupa uang
(modal), mesin dan peralatan, personil (tenaga kerja), dan material. Tujuan
studi aspek ini adalah untuk mengetahui dapatkah pembangunan dan
implementasi bisnis direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan
sehingga rencana bisnis dapat dikatakan layak atau sebaliknya (Umar
2003).
4.1.2.5 Aspek Sumber Daya Manusia
Studi aspek ini bertujuan untuk memperkirakan kelayakan
pembangunan dan implementasi dilihat dari ketersediaan SDM (Umar
2003). Kajian dalam aspek ini, yaitu perencanaan SDM, analisis pekerjaan,
rekuitmen, seleksi, orientasi, hingga pada pemutusan hubungan kerja.
4.1.2.6 Aspek Finansial
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam aspek
keuangan menurut Husnan dan Suwarsono (2008), yaitu aktiva tetap,
modal kerja, dan sumber dana untuk modal kerja dan investasi aktiva
tetap. Aktiva tetap terbagi dua, yaitu aktiva tetap berwujud dan aktiva tetap
tidak berwujud. Tanah dan pengembangan lokasi, bangunan dan
perlengkapan, pabrik dan mesin serta aktiva lainnya termasuk dalam aktiva
27

tetap berwujud. Sedangkan biaya pendahuluan dan biaya sebelum operasi


termasuk aktiva tetap tidak berwujud.
Modal kerja terbagi dua, yaitu modal kerja bruto dan modal kerja
netto. Modal kerja bruto menunjukkan semua investasi yang diperlukan
untuk aktiva lancar yang terdiri dari kas, surat-surat berharga (kalau ada),
piutang, persediaan, dan lainnya. Modal kerja netto adalah selisih antara
aktiva lancar dengan utang jangka pendek. Aktiva lancar adalah aktiva
yang hanya memerlukan waktu pendek untuk berubah menjadi kas, yaitu
kurang dari satu tahun atau satu siklus produksi (Husnan dan Suwarsono
2008).
Sumber dana untuk membiayai aktiva tetap dan modal kerja
berasal dari milik sendiri, saham, obligasi, kredit bank, leasing, dan project
finance. Kombinasi sumber dana yang dipilih, yaitu mempunyai biaya
rendah dan tidak menimbulkan kesulitan likuiditas bagi proyek atau atau
perusahaan yang mensponsori proyek tersebut selama jangka waktu
pengembalian dan penggunaan dana.
Evaluasi kriteria investasi dilakukan pada aspek finansial
menggunakan Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR),
Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C), Pay Back Period (PBP), dan
analisis sensitivitas (Sutojo 2008).
4.1.2.7 Aspek Sosial
Untuk melakukan analisis dalam studi kelayakan bisnis
diperlukan informasi dari lingkungan luar perusahaan untuk mengetahui
peluang dan ancaman bagi rencana bisnis serta mengetahui hal yang dapat
disumbangkan oleh proyek bisnis bagi lingkungan luar setelah bisnis
terealisasi (Umar 2003). Selain memperoleh keuntungan (benefit),
perusahaan memiliki tanggung jawab sosial. Aspek sosial yang dikaji
dalam analisis ini, yaitu perusahaan sebagai lembaga sosial, perubahan
kondisi sosial yang kompleks, dan perusahaan dalam masyarakat yang
pluralistik.
28

4.1.2.8 Aspek Yuridis


Aspek ini menyangkut hukum yang mengatur tingkah laku badan
usaha mengenai perizinan sebagai legalitas usaha. Menurut Umar (2003),
studi ini dilakukan untuk menetahui rencana secara yuridis dapat dikatakan
layak atau tidak. Jika rencana bisnis yang tidak layak tetap dilaksanakan
maka bisnis akan beresiko besar akan dihentikan oleh pihak yang berwajib
atau oleh protes masyarakat. Hal yang perlu dikaji dalam aspek ini, yaitu
siapa pelaksana bisnis, bisnis apa yang akan dilaksanakan, waktu
pelaksanaan bisnis, di mana bisnis dilaksanakan, serta peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku.
4.1.2.9 Aspek Lingkungan Hidup
Studi pada aspek ini bertujuan menentukan secara lingkungan
hidup rencana bisnis ini diperkirakan dapat dilaksanakan secara layak atau
sebaliknya. Hal yang berkaitan dengan aspek ini, yaitu mengenai peraturan
dan perundangan AMDAL dan kegunaannya dalam kajian pendirian
industri dan pelaksanaan proses pengelolan dampak lingkungan (Umar
2003).

4.1.3 Analisis Finansial


Analisis finansial membatasi manfaat dan pengorbanan dari sudut
pandang perusahaan (Husnan dan Suwarsono 2008). Kadariah et al. (1999)
menyatakan bahwa analisis finansial menyangkut perbandingan antara
pengeluaran uang dengan revenue earning proyek, apakah proyek tersebut
akan terjamin dananya yang diperlukan, mampu membayar kembali dana
tersebut, dan berkembang sedemikian rupa sehingga secara finansial dapat
berdiri sendiri.

4.1.4 Kriteria Kelayakan Investasi


Kriteria investasi yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Net Present Value (NPV) atau nilai sekarang bersih merupakan analisis
manfaat finansial untuk mengukur kelayakan suatu usaha dilihat dari nilai
sekarang arus kas bersih yang akan diterima dibandingkan dengan nilai
sekarang dari jumlah investasi yang dikeluarkan. Arus kas merupakan laba
29

bersih usaha ditambah penyusutan. Jumlah investasi adalah jumlah total


dana yang dikeluarkan untuk membiayai pengadaan seluruh alat produksi
yang dibutuhkan dalam menjalankan usaha. Suatu proyek dikatakan layak
bila nilai NPV lebih besar dari nol.
2. Internal Rate or Return (IRR), nilai discount rate yang membuat NPV dari
proyek yang dijalankan sama dengan nol (Kadariah et al. 1999). Nilai ini
dianggap sebagai tingkat keuntungan atas inventasi bersih dari proyek. Jika
nilai IRR yang diperoleh lebih besar dari nilai rate return yang ditentukan
maka investasi dapat diterima.
3. Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C), yaitu perbandingan antara jumlah PV
yang positif (pembilang) dengan PV yang negatif (penyebut) (Kadariah et
al. 1999). Hasil perhitungan nilai ini menunjukkan manfaat tambahan yang
diterima dari setiap tambahan biaya yang dikeluarkan. Proyek dikatakan
layak bila Net B/C bernilai lebih dari satu.
4. Payback Period, yaitu umur dimana pada tingkat diskonto tertentu manfaat
bersih kumulatif sama dengan nol dan menunjukkan pada umur proyek
berapa investasi dapat kembali (Umar 2003).

4.1.5 Analisis Sensitivitas


Kadariah et al. (1999) menyatakan bahwa analisis sensitivitas
merupakan suatu analisis untuk menguji secara sistematis hal yang akan terjadi
pada kapasitas penerimaan suatu proyek apabila terjadi kejadian-kejadian yang
berbeda dengan perkiraan yang dibuat dalam perencanaan. Tujuannya untuk
melihat hal yang akan terjadi dengan analisis proyek jika terjadi kesalahan
atau perubahan dalam dasar perhitungan biaya atau manfaat. Hal ini dilakukan
karena analisis proyek didasarkan pada proyeksi-proyeksi yang mengandung
ketidakpastian mengenai hal yang akan terjadi di masa yang akan datang.
30

4.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Usaha Budidaya Ulat Sutera

Analisis Kelayakan

Aspek Internal : Aspek Eksternal :


Aspek Teknis dan Teknologis Aspek Pasar dan Pemasaran
Aspek Manajemen Aspek Yuridis dan Sosial
Aspek Sumberdaya Manusia Aspek Lingkungan Hidup

Aspek Internal & Eksternal

Analisis Finansial

Analisis Sensitivitas

Layak Tidak Layak

Gambar 2 Kerangka pemikiran operasional.


31

BAB V
METODE PENELITIAN

5.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur.
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan
mempertimbangkan aspek keterwakilan contoh sesuai dengan batasan dan tujuan
penelitian serta rekomendasi dari CV Batu Gede dan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan Bagian Persuteraan Alam. Pengambilan data dilaksanakan
pada tanggal 15 April hingga 15 Mei 2010.

5.2 Jenis dan Sumber Data


Jenis data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari petani sutera, berupa karakteristik responden, informasi
lahan, penggunaan sarana produksi, tahapan kegiatan budidaya ulat sutera, dan
data biaya pembudidayaan ulat sutera. Sedangkan data sekunder diperoleh dari
Pemerintah Kecamatan Sukanagara, CV Batu Gede, dan Puslitbang Persuteraan
Alam Departemen Kehutanan RI, berupa data kondisi umum lokasi penelitian,
data monografi masyarakat Kecamatan Sukanagara, dan informasi terkait
pembudidayaan ulat sutera.

5.3 Metode Pengumpulan Data


Data primer diperoleh melalui wawancara dengan responden dan observasi
langsung ke areal budidaya ulat sutera. Data sekunder diperoleh melalui
wawancara dengan Pemerintah Kecamatan Sukanagara, CV Batu Gede, dan
Puslitbang Persuteraan Alam Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Selain
itu, perolehan data sekunder dilakukan dengan penelusuran dokumen dan sumber
informasi cetak lainnya dari Kecamatan Sukanagara, CV Batu Gede, Puslitbang
Persuteraan Alam Departemen Kehutanan RI, Biro Pusat Statistik (BPS),
Departemen Kehutanan RI, Departemen Perindustrian RI, Departemen
Perdagangan RI, dan berbagai literatur yang relevan dengan penelitian ini.
32

Petani sutera di Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur berjumlah


lima orang sehingga penentuan responden dilakukan dengan metode sensus.
Responden dikelompokan ke dalam tiga skala usaha berdasarkan luasan lahan
murbei yang dimiliki, yaitu skala usaha I dengan luas lahan 1 ha di Desa
Sukamekar, skala usaha II dengan luas lahan 1,5 ha di Desa Sukamekar,
Sukanagara, dan Desa Sukalaksana, dan skala usaha III dengan luas lahan 2 ha
murbei di Desa Sukamekar. Pengelompokan petani sutera berdasarkan luas lahan
murbei dilakukan karena budidaya ulat sutera sangat tergantung pada ketersediaan
pakan daun murbei. Ulat sutera yang dipelihara per tahunnya berjumlah 12 boks
pada skala usaha I, 20 boks pada skala usaha II, dan 12 boks pada skala usaha III.

Tabel 5 Karakteristik responden pada tiap skala usaha


Karakteristik Skala Usaha
I II III
Lokasi (Desa) Sukamekar Sukamekar Sukamekar
Sukanagara
Sukalaksana
Luas Lahan Murbei (ha) 1 1,5 2
Jumlah Ulat (boks/th) 12 20 12

5.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data


Data yang diperoleh dari data primer dan sekunder dianalisis secara
kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan mendeskripsikan
aspek-aspek kelayakan usaha, meliputi aspek pasar dan pemasaran, teknis dan
teknologi, manajemen, sumberdaya manusia, sosial, yuridis, serta aspek
lingkungan. Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis aspek keuangan
dari usaha budidaya ulat sutera.
Informasi dan data yang diperoleh diolah dengan menggunakan software
Microsoft Excel 2007 yang hasilnya disajikan dalam bentuk tabulasi untuk
mempermudah pengelompokan data. Data berupa arus kas tunai dianalisis
menggunakan kriteria kelayakan investasi, yaitu Net Present Value (NPV),
Internal Rate or Return (IRR), Gross Benefit-Cost Ratio (gross B/C), dan
Payback Period.
33

5.4.1 Kelayakan Usaha


5.4.1.1 Net Present Value (NPV)
Net Present Value atau nilai sekarang bersih adalah selisih antara
total present value (PV) dari manfaat dan biaya pada setiap tahun kegiatan
usaha. Usaha atau proyek dikatakan layak jika NPV > 0, sedangkan bila
NPV< 0 maka usaha tersebut tidak layak untuk diusahakan (Kadariah et al.
1999). Rumus perhitungannya adalah sebagai berikut:

n
Bt - Ct
NPV = ∑
t =0 (1 + i) t

keterangan:
Bt = manfaat usaha pada tahun ke-t
Ct = biaya usaha pada tahun ke-t
t = interval waktu
n = umur ekonomis proyek
i = tingkat suku bunga yang berlaku

5.4.1.2 Internal Rate of Return (IRR)


Internal Rate of Return merupakan tingkat suku bunga pada saat
NPV sama dengan nol. Nilai IRR yang lebih besar atau sama dengan
tingkat diskonto yang telah ditentukan maka usaha layak untuk diusahakan
(Kadariah et al. 1999). Rumus perhitungannya adalah:

IRR = i 1 +
NPV 1
(i 2 - i 1)
NPV 1 - NPV 2

keterangan:
NPV 1 = NPV bernilai positif
NPV 2 = NPV bernilai negatif
i1 = tingkat diskonto yang menyebabkan NPV positif
i2 = tingkat diskonto yang menyebabkan NPV negatif
34

5.4.1.3 Gross Benefit Cost Ratio (Net B/C)


Gross Benefit Cost Ratio merupakan perbandingan antara NPV
total dari benefit bersih terhadap total dari biaya bersih (Kadariah et al.
1999). Perhitungan ini digunakan untuk mengukur efisiensi dari
penggunaan modal. Usaha dikatakan layak untuk diusahakan bila Gross
B/C > 1 dan usaha dikatakan tidak layak untuk diusahakan bila Gross B/C
< 1. Net Benefit Cost Ratio dihitung dengan rumus:

n
Bt
∑ (1 + i )
t =0
t
Gross B / C = n
C
∑ (1 + i )
t
t
t =0

keterangan:
Bt = manfaat dari usaha pada tahun ke-t
Ct = biaya dari usaha pada tahun ke-t
t = interval waktu
n = umur ekonomis proyek
i = tingkat suku bunga yang berlaku

5.4.1.4 Pay Back Period (Tingkat pengembalian Investasi)


Tingkat pengembalian investasi digunakan untuk mengukur
periode pengembalian modal berdasarkan aliran kas (cash flow). Cara
perhitungan yang dipilih dalam analisis ini adalah menutup biaya investasi
yang dikeluarkan dengan aliran kas bersih pada tahun-tahun berikutnya
hingga biaya investasi dapat tertutupi (Umar 2003). Rumus untuk
menghitung tingkat pengembalian investasi adalah sebagai berikut:

Investasi
PBP =
Net Benefit Setiap Tahunnya
35

Kriteria penilaian yang digunakan, yaitu jika PBP lebih pendek dari
maksimum PBP-nya maka proyek dapat diterima. Namun jika PBP lebih
lama dari maksimum PBP-nya maka proyek ditolak.
5.4.2 Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengkaji sejauh mana perubahan
unsur-unsur dalam aspek finansial kegiatan usaha yang dilaksanakan. Analisis
ini akan melihat hal yang akan terjadi dengan hasil kegiatan usaha jika terjadi
perubahan-perubahan dalam dasar-dasar perhitugan biaya dan manfaat
(Kadariah et al. 1999). Analisis sensitivitas (kepekaan) menurut Nugroho
(2008) adalah suatu teknik untuk menguji sejauh mana hasil analisis peka
terhadap faktor-faktor yang berpengaruh. Kepekaan memiliki arti sebagai
besaran perubahan relatif ukuran imbalan atau keuntungan yang disebabkan
oleh perubahan-perubahan estimasi faktor-faktor yang berpegaruh.

5.4.3 Asumsi-Asumsi Dasar


Asumsi-asumsi dasar yang digunakan dalam pengolahan data, sebagai
berikut:
1. Umur proyek berdasarkan umur ekonomis tanaman murbei selama 10
tahun yang dimulai tahun 2010 sampai dengan tahun 2020. Hal ini
dilakukan karena usaha budidaya ulat sutera sangat bergantung pada
tanaman murbei sebagai pakan ulat sutera.
2. Modal usaha yang digunakan berasal dari modal pinjaman.
3. Tingkat suku bunga yang digunakan, yaitu suku bunga pinjaman Bank
Indonesia tahun 2010 sebesar 12 persen.
4. Menggunakan faktor diskonto (discount factor) pada tingkat suku bunga
yang telah ditentukan sebelumnya untuk investasi jangka panjang.
5. Periode pemeliharaan ulat sutera dilakukan selama 12 kali dalam 1 tahun.
6. Satu boks bibit ulat sutera berisi 25.000 ulat.
7. Keadaan perekonomian negara stabil selama jangka waktu analisis.
8. Harga yang digunakan adalah harga pasar yang berlaku pada saat
penelitian dan tidak mengalami perubahan selama 10 tahun.
36

9. Harga bibit ulat sutera instar III diasumsikan tetap sebesar Rp 130.000 per
boks.
10. Produksi kokon yang diperhitungkan merupakan hasil rata-rata per tahun
dan diasumsikan tetap selama 10 tahun.
11. Harga jual kokon sebesar Rp 23.000 dengan asumsi kualitas kokon pada
grade B atau sedang.
12. Anggota rumah tangga yang bekerja dinilai sebagai tenaga kerja yang
mendapat upah.
13. Lahan pribadi yang digunakan untuk kebun murbei dan pemeliharaan ulat
sutera diasumsikan sebagai lahan sewa dan diperhitungkan sebagai
opportunity cost sebesar Rp 100.000 per hektar per tahun.
14. Besarnya pajak tidak diperhitungkan dalam usaha budidaya ulat sutera.
15. Penyusutan barang investasi dan nilai sisa tidak diperhitungkan.
37

BAB VI
HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Karakteristik Petani Sutera


Petani sutera dikelompokan ke dalam tiga skala usaha berdasarkan luasan
lahan murbei yang dimiliki, yaitu skala usaha I dengan luas lahan 1 ha di Desa
Sukamekar, skala usaha II dengan luas lahan 1,5 ha di Desa Sukamekar,
Sukanagara, dan Desa Sukalaksana, dan skala usaha III dengan luas lahan 2 ha
murbei di Desa Sukamekar. Pengelompokan petani sutera berdasarkan luas lahan
murbei dilakukan karena budidaya ulat sutera sangat tergantung pada ketersediaan
pakan daun murbei. Ulat sutera yang dipelihara per tahunnya berjumlah 12 boks
pada skala usaha I, 20 boks pada skala usaha II, 12 boks pada skala usaha III yang
sedang berjalan, dan 24 boks pada skala usaha III dalam skenario pengembangan.
Petani sutera pada tiap skala usaha berada pada usia yang produktif
sehingga kemampuan dalam mengelola usaha menjadi lebih baik yang didukung
pula dengan pengalaman usaha yang cukup lama. Petani skala usaha I berusia 29
tahun dengan pengalaman usaha selama 13 tahun. Tiga orang petani termasuk
dalam skala usaha II yang memiliki usia 48 tahun, 49 tahun, dan 50 tahun.
Kegiatan budidaya ulat sutera telah dilakukan petani ulat sutera selama 13 tahun.
Sedangkan petani sutera skala usaha III berusia 50 tahun dan telah melakukan
budidaya ulat sutera selama 12 tahun.
Tingkat pendidikan pada tiap skala usaha tidak jauh berbeda sehingga
percepatan dalam menerima informasi hampir sama. Semua petani memiliki
totalitas yang hampir sama dalam usaha budidaya ulat sutera meskipun sifat
pekerjaan berbeda. Tingkat pendidikan petani skala usaha I berada pada jenjang
Sekolah Menengah Pertama yang menjadikan usaha budidaya ulat sutera sebagai
pekerjaan utama. Dua orang petani skala usaha II merupakan lulusan Sekolah
Menengah Pertama. Sedangkan satu orang petani merupakan lulusan Sekolah
Dasar. Dua orang petani menjadikan usaha budidaya ulat sutera sebagai pekerjaan
utama. Sedangkan satu orang petani menjadikan kegiatan budidaya ulat sutera ini
sebagai pekerjaan sampingan. Pekerjaan utamanya sebagai tengkulak kayu dari
tanaman masyarakat.
38

Tabel 6 Karakteristik petani sutera


Karakteristik Skala Usaha
I II III III*
Lokasi (Desa) Sukamekar Sukamekar Sukamekar Sukamekar
Sukanagara
Sukalaksana
Luas Lahan
Murbei (ha) 1 1,5 2 2
Jumlah Ulat
(boks/th) 12 20 12 24
Usia (tahun)
a. 21-30 1 - - -
b. 31-40 - - - -
c. 41-50 - 3 1 1
Tingkat
Pendidikan
a. SD - 1 1 1
b. SMP 1 2 - -
Sifat Pekerjaan
a. Utama 1 2 - -
b. Sampingan - - 1 1
Pelatihan
a. Mengikuti 1 3 1 1
b. Tidak
Mengikuti - - - -
Keterangan: * = skala usaha III dalam skenario pengembangan

6.2 Analisis Aspek Non Finansial


6.2.1 Aspek Pasar
Permintaan kokon berasal dari dari CV Batu Gede. Berdasarkan
kesepakatan tidak tertulis, CV Batu Gede bersedia menampung seluruh hasil
kokon petani sekaligus sebagai pemasok bibit ulat sutera instar III ke pada petani
sutera. Produsen dapat memilih satu atau lebih segmen pasar untuk dimasuki
(Herlianto & Pujiastuti 2009). Adanya kemitraan dengan CV Batu Gede bukan
berarti menutup kemungkinan untuk membuka jalur pemasaran kepada yang lain
bila sudah mampu memenuhi seluruh permintaan dari CV Batu Gede. Permintaan
kokon dari pihak lain dengan harga yang lebih bersaing tidak ditanggapi oleh
petani sutera karena takut mengecewakan pihak CV Batu Gede selaku pemasok
bibit ulat sutera. Sedangkan permintaan stek murbei dari konsumen lain dipenuhi
agar mendapat nilai tambah. Dengan permintaan yang tinggi dan dengan adanya
jaminan pasar kokon, usaha budidaya ulat sutera yang dilakukan di Kecamatan
Sukanagara Kabupaten Cianjur layak dilaksanakan.
39

Produk yang ditawarkan oleh petani sutera di Kecamatan Sukanagara


berupa kokon. Jumlah produksi kokon baru mencapai 174,5 kilogram per bulan.
Kualitas kokon yang dihasilkan secara umum berada pada kualitas sedang
sehingga harga jual kokon dari CV Batu Gede sebesar Rp 23.000 per kilogram.
Harga bibit ulat sutera per kilogramnya mencapai Rp 130.000. Secara visual,
kokon berkualitas sedang atau kelas B merupakan kokon dengan berat berkisar
1,5 gram hingga 1,9 gram, persentase cacat kokon mencapai 1,1 persen hingga 4
persen, dan persentase kulit kokon mencapai 20 persen hingga 24,9 persen.

Tabel 7 Kelas kualitas kokon secara visual


Kriteria Kelas Kualitas
A B C D
berat (gram) ≥2 1,5 – 1,9 1 – 1,4 ≤ 0,9
cacat (%) ≤1 1,1 – 4 4,1 – 8 ≥9
kulit kokon 25 20 – 24,9 15 – 19,9 ≥ 14,9
Sumber: Santoso (1997) dalam Atmosoedarjo (2000)

Terdapat tiga kelompok dalam memenangkan persaingan pasar, yaitu


keunggulan operasional (operational excellence), kepemimpinan produk (product
leadership), dan keakraban dengan pelanggan (customer intimacy) (Treacy &
Wiersema 1995) dalam Tjiptono (2008). Petani budidaya ulat sutera memiliki
konsumen/pelanggan tetap dan produk yang dihasilkan bukan bersifat operasional
sehingga petani sutera dapat memilih perluasan pangsa pasar dengan cara
mengembangkan dan menginovasi produk yang dihasilkan. Strategi ini tepat
ditujukan pada pelanggan yang mengutamakan keunikan produk. Untuk
meningkatkan profitabilitas, produk yang dijual bukan hanya berupa kokon
namun dapat berupa benang dan kerajinan tangan yang dibuat dari kokon yang
tidak layak jual. Dana operasional akan meningkat dengan adanya pengadaan
benang. Untuk meminimalkan dana tersebut, pengadaan benang dapat dilakukan
secara berkelompok.
40

6.2.2 Aspek Pemasaran


Produk merupakan suatu nilai yang didapat oleh konsumen sebagai pelaku
pengambil keputusan pembelian. Dalam hal ini, kokon merupakan produk yang
diperjualbeliakan antara petani sutera dan CV Batu Gede. Harga jual kokon
ditetapkan sebesar Rp 23.000 merupakan harga standar yang sesuai untuk kokon
berkualitas B (sedang) meskipun kualitas kokon yang dihasilkan oleh petani
sutera bervariasi. Penetapan harga jual kokon ini dilakukan agar mempermudah
proses transaksi penjualan.
Harga jual kokon sebesar Rp 23.000 memiliki keuntungan dan kerugian
baik pada pihak CV Batu Gede maupun pada petani sutera. Keuntungan
penetapan harga jual kokon sebesar Rp 23.000 bagi CV Batu Gede selain
mempermudah transaksi penjualan, yaitu mempersingkat waktu penjualan
sehingga kokon kering yang telah dibeli dapat langsung dibawa ke tempat
pemintalan CV Batu Gede di Kecamatan Ciapus, Bogor. Kerugian yang dialami
CV Batu Gede, yaitu kemungkinan kokon berkualitas C dan D banyak diperoleh
dan petani tidak termotivasi menghasilkan kokon berkualitas baik. Keuntungan
penetapan harga ini bagi petani sutera, yaitu kepastian harga yang menguntungkan
pada saat kualitas kokon yang dihasilkan berada pada kualitas C dan D.
Sedangkan kerugiaan yang diterima oleh petani sutera, yaitu tidak mendapat harga
kokon yang sesuai pada saat kualitas harga kokon yang dihasilkan mencapai kelas
(grade) A.
Untuk meningkatkan nilai tambah, stek murbei dijual ke konsumen yang
membutuhkan. Selain kokon, kepompong ulat sutera dan buah murbei (mulberry)
dicari oleh konsumen lain namun tidak ditanggapi oleh petani sutera meskipun
dapat menambah peningkatkan pendapatan dari budidaya ulat sutera. Untuk
meningkatkan nilai tambah budidaya murbei, petani sutera dapat mengusahakan
pembuatan teh murbei yang dijadikan minuman antioksidan atau mengolah
limbah ulat sutera menjadi pupuk organik.
Kegiatan promosi untuk meningkatkan penjualan tidak dilakukan oleh
petani karena telah mendapat jaminan pasar internal. Oleh karena itu, biaya
promosi tidak dikeluarkan oleh petani sutera. Konsumen lain mengetahui adanya
kegiatan budidaya ulat sutera di Kecamatan Sukanagara dari mulut ke mulut
41

(word of mouth) melalui jejaring petani. Pemasaran kokon dilakukan secara


langsung oleh petani sutera ke pihak CV Batu Gede sehingga hanya memerlukan
biaya distribusi kokon.

6.2.3 Aspek Teknis dan Teknologi


6.2.3.1 Lokasi Usaha
Penempatan lokasi usaha berpengaruh terhadap biaya operasional dan
biaya investasi sehingga perlu dilakukan sebaik mungkin dengan
mempertimbangkan berbagai faktor (Suliyanto 2010). Lokasi pemeliharaan ulat
secara umum berdekatan dengan tempat tinggal sehingga memudahkan
pemeliharaan dan pengawasan. Rumah ulat petani skala usaha I berjarak 30
meter dari tempat tinggal. Jarak rumah ulat skala usaha II dari tempat tinggal
bervariasi antara 30 meter hingga 150 meter. Sedangkan jarak rumah ulat skala
usaha III dari tempat tinggal, yaitu 50 meter. Selain memudahkan pemeliharaan
ulat dan pengawasan, pemilihan lokasi pemeliharaan ulat sutera berdasarkan
pada letak kebun murbei, ketersediaan tenaga kerja, dan ketersediaan sumber air
dan energi, serta fasilitas transportasi.
Letak kebun murbei dengan rumah ulat secara umum berdekatan, yaitu
di sekitar rumah ulat hingga berjarak sekitar 300 meter. Kebun murbei dibuat
dalam bentuk petak-petak atau gawang. Satu gawang memiliki luas sekitar 0.2
hektar hingga 0,3 hektar tergantung luasan lahan yang tersedia. Gawang yang
satu dan lainnya sekitar 30 meter hingga 250 meter. Jarak ini tergantung dengan
luasan lahan yang tersedia sehingga tidak dapat dikumpulkan menjadi satu.
Namun demikian, pada skala usaha II ada petani yang lokasi lahan murbeinya
berjarak sekitar 250 meter hingga ± 1,3 kilometer dari rumah ulat. Hal ini
mengakibatkan biaya operasional yang lebih besar dari pada petani sutera
lainnya. Ahdiat (2007) menyatakan jarak kebun murbei yang berjauhan dengan
rumah ulat mengakibatkan daun murbei sedikit layu sehingga kurang baik untuk
perkembangan ulat sutera.
Tenaga kerja di sekitar tempat pemeliharaan ulat sutera tersedia cukup
banyak. Pekerjaan pemeliharaan kebun murbei dan ulat sutera dilakukan sendiri
beserta keluarga maupun mengupah orang lain. Tenaga kerja dibutuhkan pada
42

saat pembuatan kebun murbei, pemangkasan, pengendalian gulma, pemanenan


murbei, pengangkutan, pemberian pakan, pengendalian hama ulat, pemeliharaan
kandang penjemuran, dan pemanenan kokon. Tenaga kerja diperoleh dari
masyarakat yang memiliki latar belakang sebagai petani teh maupun petani
hortikultura. Tenaga kerja dibagi menjadi tenaga kerja tetap dan tenaga kerja
tidak tetap. Tenaga kerja tetap diperluan dari pemeliharan kebun murbei hingga
pemeliharaan ulat. Sedangkan tenaga kerja tidak tetap diperlukan pada saat
pembuatan kebun murbei dan pemanenan kokon. Jumlah tenaga kerja borongan
disesuaikan dengan luasan kebun murbei yang dibuat dan produksi kokon yang
dihasilkan.
Lokasi pemeliharaan ulat sutera dan lahan murbei berada pada tempat
yang datar hingga landai. Ketersediaan air diperoleh dari aliran anak sungai
yang berada di sekitarnnya sehingga mempermudah pemeliharaan ulat sutera
maupun murbei. Energi listrik yang digunakan sebagai penerangan rumah di
malam hari diperoleh dari PLN. Penggunaan energi dilakukan oleh seorang
petani pada skala usaha II dan petani skala usaha III.
Kecamatan Sukanagara dilalui oleh jalur kabupaten beraspal sehingga
mobilitas kendaraan hampir terjadi di setiap waktu. Banyaknya kendaraan
mempermudah penjualan kokon ke Kecamatan Cibeber. Penjualan kokon di
Kecamatan Cibeber dilakukan untuk meminimalkan pengeluaran biaya
operasional antara petani sutera dan CV Batu Gede. Waktu tempuh dari
Kecamatan Sukanagara ke Kecamatan Cibeber, yaitu sekitar 1 jam 45 menit
perjalanan atau 3 jam 30 menit per rit/perjalanan pergi pulang. Sedangkan waktu
tempuh dari Bogor ke Kecamatan Cibeber ditempuh selama ± 2 jam 45 menit.
6.2.3.2 Skala Produksi
Jumlah produk yang diproduksi oleh perusahaan dalam periode tertentu
harus direncanakan dengan matang agar keuntungan dapat dioptimalkan
(Suliyanto 2010). Jumlah ulat sutera yang dipelihara per tahun pada ketiga skala
usaha, yaitu 12 boks pada skala usaha I, 20 boks pada skala usaha II dan 12 boks
pada skala usaha III. Skala usaha I memelihara 1 boks ulat dalam satu periode
pemeliharaan. Skala usaha I memiliki satu hektar lahan murbei yang seharusnya
dapat memenuhi kebutuhan pakan 1 boks ulat sutera. Karena pemeliharaan
43

murbei yang kurang maksimal, skala usaha I membeli daun murbei ke petani
lain (skala usaha III) untuk memenuhi kebutuhan pakan ulat sutera sehingga
diperlukan biaya pembelian murbei yang dapat menambah biaya operasional.
Skala usaha II memiliki lahan murbei seluas 1,5 hektar. Satu orang
petani skala usaha II hanya memelihara 1 boks ulat per periode pemeliharaan.
Sedangkan dua petani lainnya memelihara 2 boks ulat per periode pemeliharaan.
Pemeliharaan murbei yang kurang optimal mengharuskan petani yang
memelihara 2 boks ulat membeli daun murbei ke petani lainnya. Hal ini
membuat petani mengeluarkan biaya operasional yang lebih. Petani membeli
daun murbei ke petani sutera yang sudah tidak lagi memelihara ulat sutera
karena terlanjur mengubah sebagian lahan murbei menjadi lahan pertanian
lainnya dan rumah ulat sutera sudah dibongkar.
Skala usaha III hanya memelihara ulat 1 boks per periode pemeliharaan.
Padahal skala usaha III memiliki lahan murbei seluas 2 hektar. Dua hektar
murbei dengan pemeliharaan yang cukup dapat memenuhi pakan 2 boks hingga
3 boks ulat sutera. Jika pemeliharaan murbei dilakukan secara maksimal maka
petani sutera dapat memelihara 4 boks per periode pemeliharaan. Biaya
pemeliharaan kebun murbei berdasarkan luasannya bukan pada jumlah ulat
sutera yang dipelihara. Oleh karena itu, petani skala usaha III perlu melakukan
penambahan ulat sutera yang dipelihara menjadi 2 boks hingga 3 boks. Selain
itu, rumah ulat yang dibuat dapat memelihara ulat sutera maksimal 3 boks per
periode pemeliharaan.
6.2.3.3 Budidaya Murbei
Persiapan lahan dilakukan dengan membersihkan lahan, pengolahan
tanah, dan pemupukan. Pembersihan lahan dilakukan secara manual, yaitu
dengan melakukan pembabatan semak, ilalang, dan penebangan pohon yang
dapat mengganggu perkembangan murbei. Semak, ilalang, dan ranting pohon
dikumpulkan dan dibakar sedangkan kayu pohon dimanfaatkan sebagai kayu
bakar maupun keperluan lainnya. Kemudian dilakukan pengolahan tanah
dengan cara pencangkulan.
44

Ahdiat (2007) menyatakan jarak tanam murbei pada penanaman


monokultur yaitu 100 cm x 50 cm dan jarak tanam murbei untuk penanaman
secara tumpang sari yaitu 150 cm x 50 cm. Petani sutera menanam murbei
dalam larikan yang membujur dari utara ke selatan. Ini dimaksudkan agar
penyinaran matahari lebih merata ke seluruh tanaman murbei. Larikan dibuat
lebih tinggi dari sekitarnya agar tanaman mendapat asupan oksigen yang cukup.
Jarak antara barisan satu dengan barisan lainnya, yaitu 120 sentimeter. Di dalam
satu barisan, terdapat rorak atau lubang tanam yang dalamnya ± 50 sentimeter.
Jarak antara rorak yang satu dengan rorak lainnya sekitar 40 sentimeter. Dalam
satu petak atau gawang, tanaman murbei dibagi per blok tanaman untuk
mempermudah pemanenan. Pada saat pemanenan, daun murbei ditumpuk di
antara blok satu dengan lainnya. Jarak antara satu tumpukan dengan tumpukan
lainnya, yaitu sekitar 4 hingga 5 meter. Hasil panenan daun murbei dimasukkan
ke dalam karung untuk dibawa ke rumah ulat sutera. Tanaman hortikultura yang
ditumpangsarikan dengan tanaman murbei ditanam di antara larikan sehingga
tidak terlalu mengganggu tanaman murbei.

Keterangan: tanaman murbei


tanaman hortikultura
Gambar 3 Layout lahan murbei.
45

Dua minggu kemudian dilakukan pemupukan berupa pupuk kandang dan


pupuk kimia yang disertai dengan pengadukan dengan lapisan top soil, ditimbun
dengan lapisan sub soil dan diberi tanda ajir. Pemberian tanda ajir hanya
dilakukan pada rorak di tepi lahan penanaman. Sedangkan penanaman pada
rorak di tengah lahan mengikuti jalur ajir yang berada di tepi lahan. Pupuk dasar
yang digunakan pada skala usaha I, yaitu 1.000 kilogram pupuk kandang, 50
kilogram KCl, 50 kilogram SP, dan 75 kilogram pupuk urea. Skala usaha II
menggunakan pupuk dasar berupa 527,8 kilogram pupuk kandang; 52,9
kilogram KCl; 36,3 kilogram SP; 43,1 kilogram urea, dan 50 gram pupuk NPK.
Sedangkan skala usaha III menggunakan pupuk dasar berupa 250 kilogram
pupuk kandang, 50 kilogram urea, 50 kilogram NPK, dan 100 kilogram pupuk
ZA.
Dua minggu kemudian dilakukan penanaman stek murbei dengan
panjang ± 25 sentimeter dengan diameter ± 1 sentimeter hingga 1,5 sentimeter.
Jenis tanaman murbei yang ditanam oleh skala usaha I, yaitu Morus alba, Morus
multicaulis, dan Morus cathayana. Skala usaha II menanam jenis murbei Morus
alba, Morus multicaulis, Morus cathayana, dan Morus nigra. Sedangkan skala
usaha III menanam jenis murbei Morus alba, Morus multicaulis, dan Morus
cathayana.
Pemeliharaan yang dilakukan setiap tahunnya berupa penyiangan,
penyulaman, pemangkasan, dan pemupukan. Pada tahun pertama dilakukan
pendangiran untuk menjaga asupan oksigen di dalam tanah. Penyiangan
dilakukan untuk membuang gulma tanaman sehingga tidak terjadi persaingan
unsur hara di dalam tanah. Penyulaman dilakukan untuk mengganti tanaman
yang mati atau yang terserang hama dan penyakit agar tidak menular ke
tanaman yang sehat. Pemangkasan berguna untuk membentuk tajuk maupun
menghilangkan bagian tanaman yang terkena hama maupun penyakit.
Pemupukan tiap tahunnya dilakukan untuk memberikan asupan hara pada
tanaman murbei maupun tanaman hortikultura.
46

Penyakit yang menyerang murbei, yaitu penyakit tepung, karat, bintik


daun, dan bercak daun. Murbei yang terkena penyakit tepung ditandai dengan
adanya bintik-bintik berwarna putih yang kemudian menjadi bercak-bercak
kuning, dan menghitam. Kandungan gizi dan air pada daun murbei berkurang.
Tanaman murbei dipupuk dengan pupuk organik atau dilakukan fungisida.
Penyakit karat yang menyerang murbei ditandai dengan adanya bercak kuning
pada kuncup atau tunas muda. Kuncup murbei yang terserang dibuang sebelum
musim hujan. Selain itu, jarak tanaman tidak boleh terlalu rapat. Permukaan
murbei yang terkena bintik daun menjadi hitam dan kotor seperti terkena jelaga.
Daun yang terserang penyakit ini dibuang. Pemupukan dengan pupuk organik
perlu dilakukan agar pertumbuhan murbei tetap baik. Bintik-bintik penyakit
ditemukan di kedua sisi daun yang berwarna coklat gelap. Selain menjaga aerasi
dan drainase, penyemprotan fungisida dapat dilakukan untuk menanggulangi
penyakit ini.
Hama yang menyerang tanaman murbei petani yakni kutu daun dan
penggerek batang. Gejala tanaman murbei terserang kutu daun yaitu timbulnya
bercak-bercak hitam di daun muda, daun mengkerut, dan ruas pada daun
menjadi pendek. Pangkas ulang tanaman murbei, penyiangan rumput, dan
insektisida harus dilakukan untuk menanggulangi serangan hama ini. Gejala
murbei yang terserang hama penggerek batang yakni murbei melemah
kemudian mati. Tanaman murbei harus dipotong dan dibakar. Skala usaha II
menggunakan herbisida untuk mengendalikan gulma tanaman. Sedangkan Skala
usaha III menggunakan insektisida untuk mengendalikan hama dan penyakit
tanaman.

Gambar 4 Tanaman murbei yang terkena hama dan penyakit.


47

6.2.3.4 Budidaya Ulat Sutera


Desain layout sebaiknya mempertimbangkan efisiensi biaya, efektivitas
ruangan, keselamatan kerja, dan keindahan (Suliyanto 2010). Pemeliharaan ulat
sutera kecil instar III dan ulat sutera besar instar IV dan V dilakukan di rumah
ulat sutera yang terbuat dari dinding bambu, tiang kayu atau bambu, dan
beratapkan genteng atau asbes. Luas rumah ulat sutera tiap skala usaha, yaitu 45
m2 pada skala usaha I; 104,7 m2 pada skala usaha II, dan 98 m2 pada skala usaha
III. Rumah ulat sutera merupakan tempat pemeliharaan ulat yang di dalamnya
terdapat rak pemeliharaan ulat, tempat penyimpanan daun murbei, dan gudang.
Tata letak dilakukan sedemikian rupa agar mempermudah pergerakan di dalam
rumah ulat. Rumah ulat secara umum dibuat memanjang ke arah utara-selatan.
Hal ini dimaksudkan agar penyinaran matahari lebih merata. Menurut Ahdiat
(2007), tempat penyimpanan daun murbei harus dipisah dari ruang
pemeliharaan/penyimpanan peralatan pengokonan. Selain itu, daun murbei
disusun berdiri dan tidak terlalu rapat serta ditutup dengan kain basah (blacu).
Hal ini tidak dilakukan oleh petani sutera. Daun murbei menjadi sedikit layu dan
kurang baik jika dikonsumsi oleh ulat sutera.
Ventilasi atau lubang udara dibuat di dinding rumah ulat maupun di
bagian atas dinding depan atau belakang rumah ulat. Jumlah dan besar kecilnya
ventilasi berbeda pada tiap skala usaha tergantung pada keinginan petani saat
pembuatan rumah ulat. Peredaran udara di ruangan menjadi lebih lancar dengan
adanya ventilasi ini. Ventilasi dibuat dengan memasang potongan bambu yang
disusun vertikal. Antara potongan bambu yang satu dan lainnya berjarak 1
hingga 2 sentimeter. Ventilasi udara ditutupi oleh karung atau plastik mulsa
yang dipasang di bagian atas ventilasi seperti yang dilakukan oleh petani skala
usaha II dan skala usaha III. Salah satu petani skala usaha II menutupi ventilasi
di bagian atas dinding belakang dengan bekas spanduk yang diperoleh dari
masyarakat sekitar. Penutupan ventilasi berguna agar ulat tidak terkena udara
langsung pada saat malam hari yang dingin. Petani skala usaha I tidak
melakukan penutupan pada ventilasi untuk menekan biaya operasional.
48

Gudang memiliki fungsi untuk meletakkan peralatan pemeliharaan


budidaya murbei dan peralatan pemeliharaan ulat sutera, di antaranya seriframe,
hand sprayer, cangkul, sabit, golok, gaet, pisau rajang, tempat rajang, alat pikul,
nanpan, gintiran, stik bambu, sapu lantai, dan lain sebagainya. Gunang berada di
dalam rumah ulat bertujuan untuk mempermudah pengambilan peralatan jika
dibutuhkan. Sebagian petani meletakkan beberapa peralatan di rumah agar lebih
aman.

Gudang
Rak ulat

Rak ulat

Rak ulat U

Keterangan: tanpa sekat


ventilasi udara
Gambar 5 Layout rumah ulat sutera.

Rak ulat digunakan untuk tempat ulat pada saat pemeliharaan. Jumlah
rak yang ada di dalam rumah ulat berkisar antara 2 hingga 3 rak. Satu rak terdiri
dari 2 hingga 3 lantai. Jumlah rak tergantung pada jumlah ulat yang dipelihara.
Rak yang tidak berisi ulat dijadikan tempat untuk meletakkan daun murbei.
Daun murbei diletakkan berdekatan dengan ulat agar mudah dalam pemberian
pakan sehingga dapat mengefisienkan waktu. Selain itu, rak juga digunakan
untuk meletakkan peralatan budidaya murbei dan ulat sutera sehingga tidak
memerlukan adanya gudang, seperti yang dilakukan oleh petani sutera skala
usaha I dan satu orang petani skala usaha II yang hanya memelihara 1 boks ulat
sutera per periode pemeliharaan.
49

Ahdiat (2007) menyatakan bahwa pemberian pakan ulat dilakukan empat


kali dalam sehari agar pertumbuhan ulat menjadi lebih optimal yakni pada pagi
hari, siang, sore dan malam hari. Petani sutera member makan ulat sebanyak 3
kali dalam sehari, yaitu pada pukul 06.00 WIB, 12.00 WIB, dan pada pukul
17.30 WIB. Pemberian kapur dilakukan setiap hari agar ulat terhindar dari
berbagai penyakit yang berasal dari kotoran dan tangkai murbei. Desinfeksi ulat
sutera menurut Ahdiat (2007) sebaiknya menggunakan campuran kapur dan
kaporit dengan perbandingan 9 : 1. Jumlah desinfektan untuk ulat besar yaitu
sekitar 50 gr hingga 60 gr per meter persegi. Pemindahan sebagian ulat
dilakukan secara langsung maupun menggunakan nanpan untuk menjaga ruang
gerak ulat sutera yang semakin hari bertambah besar.

Gambar 6 Ulat sutera yang terkena penyakit.

Penyakit yang sering menyerang ulat sutera petani, yaitu grasserie


(NPV), Infectious Flacherie (FV), Aspergillus, Muscardine, pebrin, bakteri, dan
keracunan obat-obat pertanian. Gejala NPV pada ulat, yaitu kulit ulat
membengkak, ulat membentuk kokon yang lembek dan kemudian mati, dan ulat
mati menjadi lembek dan hitam. Gejala ulat yang terkena FV, yaitu nafsu makan
berkurang, waktu ganti kulit tidak seragam, dan ulat muntah dan diare. Gejala
penyakit Aspergillus, yaitu nafsu makan berkurang, mengeluarkan pencernaan
sebelum mati, bangkai larva berwarna kuning atau coklat, dan muncul mycelia
pada permukaan ulat yang mati. Gejala penyakit Muscardine, yaitu larva
mengeras dan tidak membusuk, kotoran lunak, dan terdapat bintik-bintik besar
di permukaan kulit ulat yang masih hidup. Gejala pebrin, yaitu nafsu makan
berkurang, warna larva gelap, bintik-bintik coklat kehitaman, larva dewasa
berputar-putar tanpa membuat kokon, dan tubuh larva mengkerut,
pertumbuhannya terhambat dan kemudian mati. Gejala ulat yang terkena
50

bakteri, yaitu ulat menjadi lemah, metabolism turun, tubuh tidak elastic dan
lunak, diare, dan ulat yang mati membusuk berwarna hitam dan mengeluarkan
cairan berbau busuk. Sedangkan ulat yang terkena obat-obatan pertanian
menunjukkan gejala berupa mengeluarkan cairan getah lambung, kaku, dan
sering menggerakkan kepala. Salah satu petani pada skala usaha II membeli
daun murbei ke petani yang menanam murbei berdekatan dengan tanaman
bakau.
Penanggulangan terhadap penyakit yang menyerang ulat sutera menurut
Ahdiat (2007) dan Atmosoedarjo et al. (2000), yaitu desinfeksi ruangan dan
peralatan pemeliharaan ulat menggunakan larutan kaporit atau formalin sebelum
pemeliharaan, larva yang sakit harus dipisahkan dengan ulat yang sehat,
memisahkan larva yang terlambat ganti kulit, tidak menggunakan daun yang
menguning, layu, dan basah sebagai pakan ulat, tempat pembuangan kotoran
ulat harus berjauhan dengan rumah ulat, pemeliharaan ulat tidak terlalu padat,
dan tidak menanam murbei berdekatan dengan tembakau. Kebersihan rak
pemeliharaan ulat dari kotoran ulat dan sisa makanan ulat berupa ranting murbei
kurang terjaga sehingga menjadi sumber penyakit dan menghambat
pertumbuhan ulat. Ahdiat (2007) menyatakan pembersihan kotoran ulat instar
IV dilakukan pada hari ke dua pemeliharaan dan setelah tidur. Sedangkan
pembersihan kotoran ulat instar V dilakukan setiap dua hari sekali atau setiap
hari tergantung kondisi kotoran dan sisa makanannya.
Cara pembersihan kotoran ulat menurut Ahdiat (2007), yaitu:
1. Cabang daun murbei diletakkan di atas 2 tali yang dipasang secara
memanjang. Kemudian cabang murbei digulung setelah ulat naik ke cabang
dan sisihkan dari tempat tersebut.
2. Sisa makanan dan kotoran ulat dibuang. Kemudian, gulungan ulat diletakkan
kembali dengan memperluas tempat.
Penjemuran kokon di bawah terik matahari dilakukan sebelum
pemanenan. Hal ini bertujuan agar kokon menjadi kering dan mempermudah
pemanenan. Kokon dikeluarkan dari seriframe menggunakan stik bambu.
Serabut kokon atau floss dihilangkan dengan cara manual menggunakan tangan.
Salah satu petani sutera pada skala usaha II menghilangkan floss dengan
51

menggunakan gintiran yang dibuat sendiri sehingga pekerjaan menjadi lebih


mudah dan lebih cepat. Setelah itu, kokon diletakkan di atas rak pemeliharaan
ulat yang telah dibersihkan dengan diberi alas karung. Kokon siap untuk dijual.
Pengemasan kokon dilakukan untuk mempermudah pengangkutan ke tempat
penjualan, Kecamatan Cibeber. Kokon dimasukkan ke dalam karung berukuran
besar yang diikat ujungnya agar kokon tidak berhamburan. Pengangkutan kokon
dilakukan dengan menyewa angkutan umum.
6.2.3.5 Peralatan dan Teknologi
Secara umum, peralatan dan teknologi yang digunakan masih sederhana.
Untuk membawa hasil panen murbei ke rumah ulat dilakukan dengan pemikulan
dengan atau tanpa alat pikul. Salah satu petani skala usaha II menggunakan alat
pikul untuk mempermudah pekerjaan. Petani lainnya baik pada skala usaha II
maupun skala usaha I dan III mengangkut murbei menggunakan kendaraan
bermotor atau dipikul tanpa menggunakan alat pikul tergantung jauh dekatnya
letak lahan murbei. Tempat perajang daun murbei yang didesain sendiri
digunakan oleh salah satu petani skala usaha II sehingga pekerjaan dapat
dilakukan lebih cepat dan lebih baik hasilnya jika dibandingkan dengan cara
manual. Petani skala usaha II lainnya maupun petani skala usaha I dan III
melakukan perajangan daun murbei tanpa menggunakan alat.
Pemanenan kokon pada setiap skala usaha dilakukan secara manual
dengan menggunakan stik bambu untuk mengeluarkan kokon dari seriframe
tanpa menggunakan peralatan khusus. Petani menghilangkan serabut luar dari
kokon (floss atau kebatori) hanya dengan tangan tanpa menggunakan mesin
pembersih serabut kokon (floss removal). Salah satu petani skala usaha II
menggunakan gintiran untuk menghilangkan floss sehingga mempermudah
pekerjaan, lebih cepat diselesaikan, dan lebih banyak menghasilkan kokon tanpa
floss.
Petani ulat sutera di Kecamatan Sukanagara mendapatkan hibah satu
mesin reeling semi otomatis dari Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur. Namun
mesin ini tidak digunakan petani karena kapasitas listrik tidak cukup untuk
mengoperasikannya. Untuk menggerakkannya membutuhkan listik minimal 900
Watt. Sedangkan petani hanya menggunakan listrik berkapasitas 450 Watt.
52

6.2.4 Aspek Manajemen


6.2.4.1 Fungsi Perencanaan
Perencanaan mengenai penanaman murbei, pemeliharaan murbei,
pemanenan dan pengangkutan murbei, pemeliharaan ulat sutera, dan pemanenan
ulat sutera dilakukan oleh petani dengan bekal penyuluhan dan pelatihan yang
diperoleh sebelum maupun selama menjalankan usaha budidaya ulat sutera.
Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur dan Kementrian Kehutanan RI bagian
Penelitian dan Pengembangan Persuteraan Alam melakukan perencanaan
mengenai pengembangan persuteraan alam di Kecamatan Sukanagara dengan
cara memberikan bantuan dana maupun peralatan kepada petani sutera dan
bekerjasama dengan dalam meningkatkan produktivitas dan mutu kokon.
Kementrian Kehutanan RI bagian Penelitian dan Pengembangan Persuteraan
Alam dan CV Batu Gede bekerjasama dalam meningkatkan produktivitas dan
mutu kokon dengan melakukan penelitian-penelitian.
Perencanaan mengenai cara pembelian bibit ulat sutera, harga bibit ulat
sutera, waktu pemeliharaan, dan waktu distribusi atau penjualan kokon
dilakukan oleh pihak CV Batu Gede. Perencanaan ini dilakukan berdasarkan
waktu pengiriman telur ulat sutera dari PSA Soppeng di Sulawesi Selatan
maupun dari PPUS Candiroto di Jawa Tengah, biaya pembelian telur ulat, biaya
pengiriman telur, dan ketersediaan pakan ulat kecil milik CV Batu Gede.
Sedangkan penentuan harga jual kokon merupakan kesepakatan antara CV Batu
Gede dengan petani sutera.
6.2.4.2 Fungsi Pengorganisasian
Pengorganisasian bersifat informal dilakukan oleh ketua umum
kelompok tani. Ketua umum kelompok tani bertindak sebagai pemimpin yang
menampung aspirasi anggota, menginformasikan hal-hal yang berkaitan dengan
pembudidayaan ulat sutera, mengarahkan, mengkoordinir bila ada bantuan dana
maupun peralatan budidaya murbei dan pemeliharaan ulat sutera dari pihak-
pihak tertentu. Ketua umum kelompok berhubungan langsung dengan pihak CV
Batu Gede terkait dengan pemeliharaan ulat sutera dan lainnya. Garis koordinasi
dari ketua umum kelompok tani langsung ke ketua kelompok di tiga desa yang
53

berbeda, yaitu kelompok I di Desa Sukamekar, kelompok II di Desa


Sukanagara, dan kelompok III di Desa Sukalaksana.
6.2.4.3 Fungsi Pelaksaan
Ketua umum kelompok tani memiliki fungsi menggerakkan
bawahannya, bersikap dan berperilaku sesuai dengan yang diperlukan. Ketua
kelompok tani di tiap desa mengkoordinasikan setiap informasi yang diterima
dari ketua umum kelompok tani dan menyampaikan inspirasi anggota ke ketua
umum kelompok tani. Keputusan mengenai perencanaan kegiatan pemeliharaan
murbei dan ulat sutera sepenuhnya berada di tangan anggota. Ketua umum
kelompok tani dan ketua kelompok tani hanya memberikan saran dan arahan
agar kegiatan persuteraan alam berjalan dengan lancar.
6.2.4.4 Fungsi Pengendalian
Fungsi pengendalian dipegang oleh ketua umum kelompok tani dan
ketua kelompok tani di setiap desa. Kepala desa dan pemerintah Kecamatan
Sukanagara tidak terlibat dalam fungsi pengendalian. Ketua umum kelompok
tani melakukan peninjauan langsung ke lokasi pembudidayaan ulat sutera untuk
mengetahui pelaksanaan pembudidayaan yang sedang dilakukan yang
berkoordinasi dengan ketua kelompok tani. Berdasarkan pengamatan terhadap
pelaksanaan fungsi-fungsi manajerial tersebut, dapat dikatakan bahwa dilihat
aspek manajerial, usaha pembudidayaan ulat sutera ini layak dijalankan.

Ketua Umum Kelompok Tani

Ketua Ketua Ketua


Kelompok Tani I Kelompok Tani II Kelompok Tani III

Anggota Anggota Anggota

Keterangan: komunikasi informal


Gambar 7 Struktur kelompok tani sutera di Kecamatan Sukanagara.
54

6.2.5 Aspek Sumber Daya Manusia


Sebagian besar petani mengetahui secara teknik budidaya tanaman dan
peternakan secara umum. Adapun untuk detil yang disesuaikan dengan tanaman
murbei dan pemeliharaan ulat, para petani diberikan tambahan pengetahuan
melalui penyuluhan dan pelatihan. Penyuluhan maupun pelatihan yang didapat
oleh petani sutera berasal dari CV Batu Gede, Politeknik Vedca, Dinas Kehutanan
Kabupaten Cianjur, Dinas Koperasi Kabupaten Cianjur, Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Kabupaten Cianjur, Dinas Kehutanan Jawa Barat, Dinas Koperasi
Jawa Barat, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat, Kementrian
Kehutanan RI bagian Penelitian dan Pengembangan Persuteraan Alam, dan
Kementrian Perindustrian dan Perdagangan RI. Biaya pelatihan dan penyuluhan
tidak ditanggung oleh petani sutera sehingga dalam analisis kelayakan finansial
tidak diperhitungkan.
Tingkat pendidikan petani sutera berada pada jenjang Sekolah Dasar dan
Sekolah Menengah Pertama. Petani sutera cukup terbuka mengenai informasi-
informasi mengenai pembudidayaan ulat sutera. Berdasarkan pengamatan,
beberapa petani sutera maupun petani lainnya memiliki mental yang kurang ulet
dan cepat putus asa atau cenderung pasrah dengan kondisi yang ada. Hal ini
menjadi penghalang majunya persuteraan alam di Kecamatan Sukanagara.
Petani sutera kehilangan pasar kokon pada tahun 2003 dengan tidak
beroperasinya lagi PT Indo Jado Sutera Pratama. Hal ini membuat sebagian besar
petani mengganti tanaman murbei dengan tanaman hortikultura yang lebih jelas
keuntungannya. Namun sebagian petani sutera tetap mempertahankan dan
menjalankan usaha ini. Pasar internal baru diperoleh dengan adanya CV Batu
Gede yang menggantikan peranan PT Indo Jado Sutera Pratama sebagai pemasok
bibit ulat sutera dan pembeli kokon. Berdasarkan aspek sumber daya manusia,
usaha budidaya ulat sutera layak dilaksanakan meskipun terdapat beberapa
kekurangan.
55

6.2.6 Aspek Sosial


Sebagian besar masyarakat di Kecamatan Sukanagara berprofesi sebagai
petani teh maupun petani hortikultura. Kegiatan budidaya ulat sutera sepenuhnya
didukung oleh masyarakat namun dengan memperhatikan limbah ulat sehingga
tidak mengganggu kenyamanan masyarakat. Selain itu, pembudidayaan ulat sutera
ini tidak mengganggu kehidupan sosial masyarakat dan tidak bertentangan dengan
kebudayaan setempat. Usaha ini membuka kesempatan kerja bagi masyarakat
sekitar sehingga dapat menambah pendapatan. Berdasarkan aspek sosial, kegiatan
usaha ini layak untuk dilakukan.

6.2.7 Aspek Yuridis


Usaha budidaya ulat sutera di Kecamatan Sukanagara dilakukan
perseorangan. Usaha ini belum memiliki izin resmi dari pemerintah setempat. Hal
ini dikarenakan usaha yang dijalankan masih dalam skala kecil. Meskipun belum
memiliki izin resmi, pemerintah setempat memperbolehkan usaha ini karena tidak
mengganggu kehidupan masyarakat dan tidak berdampak buruk pada lingkungan
sehingga usaha ini layak diusahakan. Kegiatan budidaya ulat sutera ini boleh
diusahakan sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 664/Kpts-II/2002
tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Persuteraan Alam, Peraturan bersama
Menteri Kehutanan, Menteri Perindustrian dan Menteri Negara Koperasi dan
UKM Nomor P.47/Menhut-II/2006, Nomor 29/M-Ind/Per/6/2006, dan Nomor
7/Per/M.KUKM/VI/2006 tentang Pembinaan dan Pengembangan Persuteraan
Alam Nasional dengan Pendekatan Klaster, serta Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu.

6.2.8 Aspek Lingkungan Hidup


Berdasarkan observasi, kegiatan budidaya ulat sutera yang dijalankan tidak
menghasilkan limbah yang dapat berdampak buruk bagi keseimbangan
lingkungan. Lahan murbei dapat ditumpangsarikan dengan tanaman pertanian
sehingga potensi lahan dapat dimaksimalkan, keanekaragaman tanaman cukup
terjaga, dan menambah pendapatan petani. Selain itu, limbah dari kotoran ulat
sutera bisa diolah menjadi pupuk organik yang dapat meningkatkan kandungan
56

nutrisi tanah dan juga dapat mengurangi biaya pembelian pupuk kandang untuk
menyuburkan tanaman murbei.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai tingkat erosi dan
sendimentasi di lahan murbei sehingga diketahui dampak lebih lanjut terhadap
lingkungan mengingat sebagian besar lahan murbei berada pada kemiringan
landai. Berdasarkan aspek lingkungan, budidaya ulat sutera layak diusahakan
karena tidak bertentangan dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup meskipun
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai tingkat erosi dan sendimentasi.

6.3 Analisis Aspek Finansial


Teknik penilaian investasi usaha menggunakan pendiskontoan aliran kas
bersih (discounted net cash flow) dinilai sebagai teknik penilaian terbaik karena
memperhitungkan time value of money dan menetapkan jumlah perolehan kembali
seluruh investasi (Halim 2009). Perhitungan manfaat dan biaya-biaya yang
dikeluarkan dalam budidaya ulat sutera perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum
melakukan analisis kelayakan usaha. Analisis kelayakan usaha dilakukan pada
tiga skala usaha yang pembagiannya didasarkan pada luasan kebun murbei petani,
yaitu skala usaha I (1 ha), skala usaha II (1,5 ha), dan skala usaha III (2 ha).
Analisis finansial ini juga terdiri dari analisis finansial pada usaha yang sedang
berjalan dan analisis finansial pada skenario pengembangan usaha.

6.3.1 Analisis Aspek Finansial pada Usaha yang Sedang Berjalan


6.3.1.1 Arus Penerimaan
Arus penerimaan pada usaha budidaya ulat sutera meliputi, penjualan
kokon, penjualan stek murbei, dan penjualan daun murbei. Volume penjualan
kokon diasumsikan tetap per tahun pada tiap skala usaha, yaitu: 420 kg (skala
usaha I), 716 kg (skala usaha II), dan 420 kg (skala usaha III). Harga jual kokon
per kilogramnya ditetapkan sebesar Rp 23.000 dengan kualitas kokon
disamakan pada tingkat sedang. Dengan demikian, total nilai penjualan kokon
per tahunnya sebesar Rp 9.660.000 (skala usaha I), Rp 16.468.000 (skala usaha
II), dan Rp Rp 9.660.000 (skala usaha III). Pemeliharaan ulat sutera pada tahun
57

nol telah dilakukan dengan 6 periode pemeliharaan sehingga produksi kokonnya


diasumsikan setengah dari produksi kokon per tahunnya.
Stek murbei dijual dengan harga Rp 10.000 per ikat. Satu ikat stek
murbei dapat menghasilkan 400 bibit murbei dengan panjang stek 25 sentimeter.
Penerimaan dari penjualan stek murbei per tahun pada tiap skala usaha, yaitu
sebesar Rp 10.000, Rp 220.000, dan Rp 40.000. Pada tahun nol tidak dilakukan
penjualan stek murbei karena belum adanya konsumen yang berminat.
Skala usaha III melakukan penjualan daun murbei pada petani skala
usaha I. Daun murbei dengan cabang atau ranting dijual dengan harga Rp 300
per kilogramnya. Penerimaan yang berasal penjualan daun murbei, yaitu sebesar
Rp 220.200 dengan volume penjualan sebanyak 734 kilogram per tahunnya.
Pada tahun nol petani skala usaha III tidak menjual murbei karena produktivitas
daun murbei yang dihasilkan dari kebun skala usaha I memenuhi kebutuhan
pakan ulat sutera. Skala usaha II tidak melakukan penjualan daun murbei karena
produksi daun murbei yang dihasilkan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
pakan ulat sutera yang dipelihara.

6.3.1.2 Arus Pengeluaran


Perhitungan biaya dilakukan pada biaya investasi dan biaya operasional.
Biaya investasi terdiri dari biaya pembuatan kebun murbei, pembuatan rumah
ulat sutera, biaya peralatan budidaya ulat sutera, dan reinvestasi. Biaya
operasional terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel.
A. Biaya Investasi
1. Biaya Pembuatan Kebun Murbei
Biaya yang dikeluarkan dalam pembuatan kebun murbei meliputi, biaya
pengadaan bibit murbei, persiapan lahan, penanaman, dan pembelian pupuk
dasar (Tabel 8). Persiapan lahan yang dilakukan berupa pembersihan lahan,
pengelolaan tanah, dan pemberian pupuk dasar.
Petani skala usaha III memerlukan biaya pembuatan kebun murbei
paling banyak dibandingkan dengan petani skala usaha I dan II yakni sebesar Rp
4.827.500. Hal ini dikarenakan kebun murbei yang dibuat lebih luas sehingga
memerlukan lebih banyak bibit murbei, pupuk dasar, dan tenaga kerja.
58

Pembiayaan terbesar dikeluarkan untuk persiapan lahan, yaitu sebesar Rp


2.790.000 dengan persentase sebesar 57.79%. Pembelian bibit murbei
memerlukan biaya sebesar Rp 1.037.500 dengan nilai persentase 21.49%.

Tabel 8 Biaya pembuatan kebun murbei pada tiap skala usaha


Skala Usaha
Uraian I II III
Rp % Rp % Rp %
Bibit murbei 518.750 18.72 778.125 22.12 1.037.500 21.49
Persiapan lahan 1.530.000 55.21 2.050.000 58.29 2.790.000 57.79
Penanaman 90.000 3.25 120.000 3.41 165.000 3.42
Pembelian pupuk
dasar 632.500 22.82 568.870 16.17 835.000 17.30
Total 2.771.250 100 3.516.995 100 4.827.500 100

Persiapan lahan dilakukan oleh tenaga kerja dari masyarakat sekitar.


Tenaga kerja laki-laki lebih banyak direkrut dari pada tenaga kerja perempuan.
Hal ini dilakukan karena pekerjaan persiapan lahan merupakan pekerjaan yang
berat. Tenaga kerja perempuan diperuntukkan pada pemberian pupuk dasar.
Secara umum persiapan lahan memerlukan biaya yang paling banyak
dibandingkan dengan biaya pembuatan kebun murbei yang lainnya. Semakin
besar luasan lahan murbei yang dibuat maka kebutuhan tenaga kerja semakin
banyak dan biaya yang dikeluarkan menjadi lebih besar.
Biaya persiapan lahan paling sedikit dikeluarkan oleh skala usaha I yakni
sebesar Rp 1.530.000 dengan luasan kebun murbei 1 hektar. Biaya pembelian
pupuk dasar skala usaha I lebih banyak dibandingkan dengan biaya yang
dikeluarkan oleh skala usaha II sebesar Rp 632.500 walaupun kebun murbei
skala usaha II lebih luas dibandingkan dengan skala usaha I. Pemberian pupuk
yang banyak dilakukan oleh skala usaha I agar tanaman murbei tumbuh dengan
subur.
Jumlah dan jenis pupuk dasar yang digunakan petani skala usaha III
lebih sedikit jika dibandingkan dengan penggunaan pupuk dasar petani skala
usaha II. Namun petani skala usaha III mengeluarkan biaya pembelian pupuk
dasar yang lebih banyak sebesar Rp 835.000. Perbedaan harga pupuk NPK per
kilogramnya sangat mempengaruhi kondisi ini. Petani skala usaha III membeli
59

pupuk NPK dengan harga Rp 10.000 per kilogramnya. Pupuk NPK berwarna
biru ini memiliki kualitas yang lebih baik dari pada pupuk NPK yang dibeli oleh
petani skala usaha II dengan harga Rp 3.000 per kilogram (warna merah).

Tabel 9 Penggunaan pupuk dasar pada tiap skala usaha


Skala usaha
Uraian I II III
Jumlah Biaya Jumlah Biaya Jumlah Biaya
(kg) (Rp) (kg) (Rp) (kg) (Rp)
Pupuk kandang 1.000 300.000 527,8 158.330 250 75.000
KCl 50 112.500 52.9 119.100 - -
SP 50 100.000 36.3 72.533 - -
Urea 50 120.000 43,1 68.907 50 80.000
NPK - - 50 150.000 50 500.000
ZA - - - - 100 180.000
Jumlah 632.500 568.870 485.000

2. Biaya Pembuatan Rumah Ulat Sutera


Biaya pembuatan rumah ulat, meliputi biaya pembelian bahan-bahan
rumah ulat, biaya pembuatan bak pencuci seriframe, dan biaya tenaga kerja
pembuatan rumah ulat (Tabel 10). Bahan-bahan yang digunakan dalam
pembuatan rumah ulat sutera secara umum, yaitu: genteng/asbes, kayu albasia,
bambu tali, batu pecah, semen, pasir, batako, kapur, kuas, kampak, gergaji,
kikir, palu, paku, engsel, pintu, oterpal, gembok, dan instalasi listrik. Kayu
albasia digunakan sebagai kaso, tiang, dan balok. Pemilihan jenis kayu ini
dilakukan karena mudah didapat dan harganya murah. Bambu tali digunakan
sebagai bilik dan kaso. Penggunaan kaso berbahan bambu tali dilakukan untuk
meminimalisir biaya pembelian kayu albasia.
Petani skala usaha II mengeluarkan biaya pembuatan rumah ulat sutera
paling banyak sekitar Rp 12.778.235. Sedangkan petani skala usaha I
mengeluarkan biaya yang paling sedikit sekitar Rp 4.196.750. Biaya pembelian
bahan-bahan pembuat rumah ulat merupakan biaya yang paling banyak
dikeluarkan dalam pembuatan rumah ulat dengan persentase rata-rata dari ketiga
skala usaha sebesar 78,11%. Biaya pembelian bahan-bahan pembuat rumah ulat
skala usaha I dan skala usaha II sebesar Rp 3.066.750 dan Rp 8.868.850. Skala
60

usaha II mengeluarkan biaya sebesar Rp 10.544.335 untuk membeli bahan-


bahan pembuat rumah ulat.

Tabel 10 Biaya pembuatan rumah ulat sutera pada tiap skala usaha
Skala usaha
Uraian I II III
Rp % Rp % Rp %
Bahan rumah ulat 3.066.750 73,07 10.544.335 82,52 8.868.850 78,74
Pembuatan bak* - - 268.900 2,10 268.900 2,39
Tenaga kerja 1.130.000 26,93 1.965.000 15,38 2.125.000 18,87
Jumlah 4.196.750 100,00 12.778.235 100,00 11.262.750 100,00
Keterangan:* = untuk mencuci seriframe dan karung
Petani skala usaha I menekan pengeluaran biaya pembuatan rumah ulat
dengan tidak membuat bak pencuci. Selain itu, bahan-bahan pembuat rumah ulat
jauh lebih sedikit dibandingkan dengan lainnya. Petani skala usaha I tidak
menggunakan instalasi listrik dan dinding rumah ulat tidak disemen (tanpa
menggunakan batako). Dasar tiang disemen agar lebih tahan terhadap rayap.
Petani skala usaha III melakukan hal yang sama dengan petani skala
usaha I yakni tidak menyemen dinding rumah ulatnya. Namun biaya pembuatan
rumah ulat lebih besar dari skala usaha I karena membuat bak pencuci dan
rumah ulat yang dibuat memiliki 2 lantai. Lantai pertama digunakan sebagai
tempat pemeliharaan ulat sutera dan gudang penyimpanan peralatan
pemeliharaan murbei dan ulat. Sedangkan tingkat dua digunakan untuk menjaga
rumah ulat dan hewan ternak di malam hari. Kandang peternakan sapi dan
lainnya terletak 4,5 meter di depan rumah ulat. Selain itu, petani skala usaha III
menggunakan listrik sebagai penerangan di malam hari.
Besarnya biaya pembelian bahan-bahan pembuat rumah ulat yang
dikeluarkan oleh petani skala usaha II disebabkan oleh penggunaan batu pecah,
semen, pasir, dan batako yang jumlahnya lebih banyak jika dibandingkan
dengan skala usaha yang lainnya. bahan-bahan tersebut digunakan untuk
menyemen lantai dan dinding rumah ulat. Penyemenan dinding rumah ulat
dilakukan agar masa pakai rumah ulat menjadi lebih lama dan menghindari
hama ulat, seperti tikus yang masuk ke dalam rumah pemeliharaan ulat melalui
celah-celah dinding. Sedangkan penyemenan lantai dilakukan agar lantai selalu
61

terjaga kebersihan dan kelembabannya sehingga dapat menghindari adanya


bibit-bibit penyakit. Petani skala usaha II mengeluarkan biaya pembelian kabel
standar PLN sebesar Rp 570.000 dengan panjang 38 meter sehingga menambah
besarnya biaya pembuatan rumah ulat.

3. Biaya Peralatan Budidaya Ulat Sutera


Peralatan budidaya ulat sutera terdiri atas peralatan yang digunakan
dalam budidaya murbei dan pemeliharaan ulat sutera (Tabel 11). Terdapat lima
alat yang tidak hanya digunakan untuk kegiatan usaha budidaya ulat sutera
tetapi juga digunakan untuk usaha lain dan untuk kegiatan sehari-hari. Oleh
karena itu, proporsi pemakaian dengan persentase dilakukan dalam perhitungan
biaya peralatan yang dikeluarkan. Besarnya proporsi pemakaian diperoleh
dengan membandingkan waktu pemakaian alat untuk usaha budidaya ulat dan
kegiatan lainnya.
Skala usaha I mengeluarkan biaya pembelian peralatan dengan biaya
yang paling sedikit jika dibandingkan dengan skala usaha yang lainnya sebesar
Rp 2.829.560. Hal ini dikarenakan penggunaan seriframe yang sedikit. Skala
usaha ini tidak menggunakan tempat rajang khusus maupun gintiran. Selain itu,
skala usaha ini hanya memiliki 2 rak pemeliharaan ulat yang berukuran kecil 5
mᶟ/rak ulat. Satu rak memiliki 2 lantai. Biaya pembuatan rak seluruhnya sebesar
Rp 983.500.
Skala usaha II paling banyak mengeluarkan biaya pembelian peralatan
sebesar Rp 4.426.360. Biaya ini dipengaruhi oleh pembelian seriframe yang
jumlah 146 buah dengan biaya total Rp 2.570.000. Pembuatan rak
menghabiskan biaya sebesar Rp 1.313.400 dengan jumlah 3 rak pemeliharaan

ulat (satu rak memiliki 2 lantai) berukuran 9,67 mᶟ/rak. Biaya pembuatan rak

ini lebih sedikit dibandingkan dengan biaya pembuatan rak skala usaha III yang

memiliki 3 rak berukuran 14 mᶟ/rak dengan 3 lantai per rak ulat. Petani skala

usaha II mengunakan tempat rajang khusus yang dibuat sendiri untuk


mempermudah kegiatan perajangan daun murbei sebagai pakan ulat sutera instar
III. Selain itu, petani juga menggunakan gintiran yang dibuat sendiri untuk
62

membantu menghilangkan floss kokon. Kedua alat tersebut hanya berpengaruh


kecil pada besarnya biaya pembelian peralatan.

Tabel 11 Peralatan budidaya ulat sutera pada tiap skala usaha


Umur Skala Usaha
Nama Alat Ekonomis I II III
Jumlah Harga Jumlah Harga Jumlah Harga
(tahun) (buah) (Rp) (buah) (Rp) (buah) (Rp)
Budidaya murbei
- hand sprayer
(10% x nilai) 5 1 35.000 1 35.000 1 35.000
- cangkul
(20% x nilai) 5 1 10.000 1 10.000 1 10.000
- garpu
(20% x nilai) 5 1 10.000 1 10.000 1 10.000
- sabit
(40% x nilai) 5 2 20.000 2 20.000 2 20.000
- golok
(20% x nilai) 5 1 6.000 1 6.000 1 6.000
- gaet 3 2 50.000 2 50.000 2 50.000
- pisau rajang 3 1 30.000 1 30.000 1 30.000
- tempat rajang 3 - - 1 50.000 - -
- alat pikul 3 - - 1 10.000 - -
- sepatu boat 3 1 70.000 2 140.000 2 140.000
- asahan 2 1 9.000 1 9.000 1 9.000
- tambang
(meter) 2 5 4.000 10,5 8.400 10 8.000
Pemeliharaan
ulat
- rak 10 2 983.500 3 1.313.400 3 1.878.400
- seriframe
• hitam 10 34 510.000 70 1.050.000 62 930.000
• kuning 10 50 1.000.000 76 1.520.000 50 1.000.000
- selang
(meter) 10 - - 3.5 17.500 - -
- kran 10 - - 1 6.000 - -
- mangkuk 5 24 48.000 34 68.000 50 100.000
- spanduk
bekas 5 - - 2 4.000 - -
- gintiran 4 - - 1 25.000 - -
- baskom 3 2 8.000 2 8.000 2 8.000
- nanpan 2 2 20.000 2 20.000 2 20.000
- ember 2 1 10.000 1 10.000 2 20.000
- kursi kecil 2 2 6.000 2 6.000 2 6.000
- stik bambu 2 2 60 2 60 2 60
Jumlah 2.829.560 4.426.360 4.280.460
63

4. Reinvestasi
Beberapa variabel investasi mengalami reinvestasi ketika barang investasi
telah habis umur ekonomisnya sehingga perlu dilakukan pembelian kembali.
Biaya reinvestasi pada tiap skala usaha tersaji pada Tabel 12.

Tabel 12 Biaya reinvestasi pada tiap skala usaha


Umur Harga Skala Usaha
Nama alat Ekonomis Satuan I II III
Jumlah Harga Jumlah Harga Jumlah Harga
(tahun) (Rp) ( buah) (Rp) ( buah) (Rp) ( buah) (Rp)
Cangkul
(20% x nilai) 5 50.000 1 10.000 1 10.000 1 10.000
Garpu
(20% x nilai) 5 50.000 1 10.000 1 10.000 1 10.000
Sabit
(40% x nilai) 5 25.000 2 20.000 2 20.000 2 20.000
Golok
(20% x nilai) 5 30.000 1 6.000 1 6.000 1 6.000
Mangkuk 5 2.000 24 48.000 34 68.000 50 100.000
Spanduk bekas 5 2.000 - - 2 4.000 - -
Gintiran 4 25.000 - - 1 25.000 - -
Gaet 3 25.000 2 50.000 2 50.000 2 50.000
Pisau rajang 3 30.000 1 30.000 1 30.000 1 30.000
Tempat rajang 3 50.000 - - 1 50.000 - -
Alat pikul 3 10.000 - - 1 10.000 - -
Sepatu boat 3 70.000 1 70.000 2 140.000 2 140.000
Baskom 3 4.000 2 8.000 2 8.000 2 8.000
Asahan 2 9.000 1 9.000 1 9.000 1 9.000
Tambang
(meter) 2 800 5 4.000 10,5 8.400 10 8.000
Nanpan 2 10.000 2 20.000 2 20.000 2 20.000
Ember 2 10.000 1 10.000 1 10.000 2 10.000
Kursi kecil 2 3.000 2 6.000 2 6.000 2 6.000
Stik bamboo 2 30 2 60 2 60 2 60

B. Biaya Operasional
1. Biaya Tetap
a. Sewa lahan
Status lahan yang dimiliki oleh petani terdiri atas lahan pribadi, lahan
warisan, lahan sewa, atau perpaduan antara ketiganya. Petani skala usaha I
memiliki lahan yang merupakan warisan dari orang tua. Sedangkan lahan petani
skala usaha III diperoleh dengan membeli lahan bekas tanah perkebunan the
sebelum membudidayakan ulat sutera. Petani sutera skala usaha II menyewa lahan
64

pada masyarakat sekitar atau lahan milik perum perhutani rasamala yang berada di
Kecamatan Sukanagara. Lahan sewa digunakan untuk pembudidayaan murbei.
Pemeliharaan ulat sutera dilakukan pada lahan pribadi yang telah dimiliki
sebelumnya.
Lahan yang dimiliki petani sutera diperhitungkan sebagai biaya tidak tunai
(opportunity cost) mengingat status kepemilikan lahan yang berbeda-beda.
Perkiraan besarnya sewa lahan berdasarkan biaya sewa lahan pertanian di
Kecamatan Sukanagara per hektar setiap tahunnya. Biaya untuk menyewa lahan
Perum Perhutani di Kecamatan Sukanagara sebesar Rp 100.000 per hektar setiap
tahunnya. Sedangkan biaya sewa lahan masyarakat per hektar setiap tahunnya
sebesar Rp 500.000.
Biaya sewa lahan yang dikenakan pada skala usaha I dan III per hektar
setiap tahun sebesar Rp 100.000. Hal ini dilakukan karena masyarakat di
Sukanagara lebih sering menyewa lahan pada Perum Perhutani dengan biaya yang
lebih murah. Petani skala usaha I mengeluarkan biaya sewa per tahun sebesar Rp
100.450 dengan luas 1,005 hektar. Sedangkan petani skala usaha III mengeluarkan
biaya sewa lahan yang lebih besar, yakni Rp 200.980 per tahun dengan luas 2,01
hektar. Petani skala usaha II memiliki lahan seluas 1,510 hektar. Skala usaha II
mengeluarkan biaya sewa lahan per tahunnya sebesar Rp 352.449 dengan biaya
sewa per hektarnya sebesar Rp 233.333. Biaya sewa lahan skala usaha II per
hektarnya diperoleh dari rata-rata biaya sewa lahan responden yang termasuk
dalam skala usaha II.

b. Perlengkapan
Perlengkapan digunakan untuk membantu kegiatan budidaya murbei
terutama untuk pemeliharaan rumah ulat (Tabel 13). Sarung tangan digunakan
pada saat kegiatan pemanenan maupun pemeliharaan murbei. Saringan
digunakan untuk menaburkan kapur ke tubuh ulat agar lebih merata. Sapu lidi,
sapu ijuk, dan serokan digunakan untuk membersihkan rumah ulat sutera.
Selama berada di dalam rumah ulat, sandal harus digunakan agar kebersihan
rumah ulat sutera tetap terjaga.
65

Tabel 13 Kebutuhan perlengkapan dan biaya pembeliannya per tahun


Skala Usaha
Uraian I II III
Jumlah Harga Jumlah Harga Jumlah Harga
(Rp) (Rp) (Rp)
Karung besar 7 buah 17.500 7 buah 17.500 5 buah 12.500
Karung sedang 25 buah 50.000 31 buah 62.000 30 buah 60.000
Karung berjaring - - 5 buah 15.000 - -
Plastik mulsa - - 9 meter 36.000 8 meter 32.000
Sarung tangan 2 buah 8.000 4 buah 16.000 4 buah 16.000
Saringan 1 buah 10.000 1 buah 10.000 1 buah 10.000
Sapu lidi 1 buah 3.000 1 buah 3.000 1 buah 3.000
Sapu ijuk 1 buah 10.000 1 buah 10.000 1 buah 10.000
Serokan 1 buah 10.000 1 buah 10.000 1 buah 10.000
Sandal 1 buah 10.000 1 buah 10.000 2 buah 10.000
Lampu: 5 watt - - 9 buah 27.000 9 buah 27.000
Jumlah 118.500 216.500 200.500

Biaya pembelian peralatan yang paling banyak dikeluarkan adalah


karung berukuran sedang sebesar Rp 50.000 (skala usaha I), Rp 62.000 (skala
usaha II), dan Rp 60.000 (skala usaha III). Karung ini banyak digunakan sebagai
alas ulat sutera yang diletakkan di dalam rak ulat. Karung berukuran besar
maupun sedang digunakan sebagai tirai lubang udara (ventilasi) rumah ulat dan
tempat untuk membawa hasil panen daun murbei dari kebun murbei ke rumah
ulat. Tirai berfungsi untuk melindungi ulat dari sinar matahari secara langsung.
Selain karung, plastik mulsa juga digunakan sebagai tirai oleh skala usaha II dan
III.
Biaya perlengkapan per tahun yang dikeluarkan oleh petani skala usaha
II dan III tidak jauh berbeda sebesar Rp 216.500 dan Rp 200.500 dengan jumlah
peralatan yang tidak berbeda pula. Skala usaha I mengeluarkan biaya
perlengkapan yang paling sedikit sebesar Rp 118.500. Hal ini dikarenakan
jumlah pemakaian peralatan yang sedikit. Selain itu, skala usaha I tidak
menggunakan karung berjaring, plastik mulsa maupun lampu sebagai
penerangan.

c. Tenaga Kerja Tetap


Tenaga kerja tetap yang digunakan meliputi aktivitas pemanenan
murbei, pemberian pakan, pemindahan ulat ke tempat pengokonan, pemanenan
kokon, dan pemeliharaan kandang. Kegiatan ini dilakukan oleh laki-laki pada
66

umumnya. Skala usaha 1 melakukan melakukan kegiatan ini sendiri dengan


dibantu oleh tenaga kerja borongan untuk memanen kokon. Skala usaha III
mempekerjakan dua orang pekerja tetap laki-laki untuk melakukan semua
kegiatan budidaya murbei. Petani skala usaha III hanya mengawasi pekerjaan
pekerjanya. Skala usaha II melakukan aktivitas pembudidayaan ulat sutera
dengan dibantu oleh anggota keluarga yang lain. Upah tenaga kerja ini
diperhitungkan sebagai biaya tidak tunai. Biaya yang dikeluarkan oleh skala
usaha II dan III sama sebesar Rp 5.400.000 per tahunnya karena jumlah
pekerjanya sama. Sedangkan skala usaha I hanya mengeluarkan biaya sebesar
Rp 2.700.000. Tenaga kerja tetap pada tahun nol hanya dipekerjakan selama 6
bulan karena ulat sutera baru dipelihara setelah murbei berumur 6 bulan.

Tabel 14 Penyerapan tenaga kerja tetap pada tiap skala usaha


Skala Usaha Jumlah HOK* Biaya/HOK Biaya total
Laki-laki Perempuan (hari) (Rp) (Rp)
I 1 0 180 15.000 2.700.000
II 1 1 180 15.000 5.400.000
III 2 0 180 15.000 5.400.000
Keterangan *: Hari Orang Kerja

d. Komunikasi
Komunikasi melalui telpon seluler dilakukan untuk mengetahui
perkembangan budidaya ulat sutera mulai dari informasi waktu kedatangan bibit
ulat, masalah pemeliharaan, pemanenan kokon hingga pemasaran. Biaya
komunikasi yang dikeluarkan petani skala usaha I dan III sama per tahunnya,
yaitu sebesar Rp 60.000. Petani skala usaha II mengeluarkan biaya komunikasi
sebesar Rp 80.000 per tahunnya. Koordinator kelompok tani yang merupakan
petani skala usaha II sering melakukan komunikasi dengan pihak CV. Batu
Gede sehingga mempengaruhi besarnya biaya komunkasi yang dikeluarkan.

e. Listrik
Biaya listrik yang dikeluarkan oleh petani skala usaha II dan III sama per
bulan, yaitu sebesar Rp 25.000 atau sekitar Rp 300.000 per tahunnya. Biaya
listrik perbulannya tetap tanpa memperhitungkan jumlah KWh dan diasumsikan
67

tanpa biaya beban. Hal ini dilakukan karena tenaga listrik yang digunakan tidak
terlalu besar. Pada tahun ke nol, penggunaan listrik selama 6 bulan karena ulat
sutera yang dipelihara hanya 6 periode pemeliharaan. Listrik digunakan untuk
menjaga suhu rumah ulat agar tidak terlalu dingin pada malam hari. Petani skala
usaha I tidak menggunakan listrik dengan pertimbangan untuk meminimalkan
biaya operasional.

2. Biaya Variabel
a. Bibit ulat Sutera dan Daun Murbei
Bibit ulat sutera dibeli dari CV Batu Gede dengan harga Rp 130.000 per
boks. Satu boks berisi 25.000 bibit ulat sutera. Dalam satu tahun dilakukan 12
periode pemeliharaan. Skala usaha I dan III hanya memelihara 1 boks ulat per
periode pemeliharaan atau sebanyak 12 boks per tahun sehingga biaya yang
dikeluarkan sama, yaitu sebesar Rp 1.560.000 per tahun. Biaya pembelian bibit
ulat sutera yang dikeluarkan oleh petani skala usaha II sebesar Rp 2.600.000 per
tahun dengan jumlah ulat yang dipelihara sebanyak 20 boks per tahun. Jumlah
ini merupakan hasil rata-rata produksi kokon pada petani skala usaha II. Pada
tahun ke nol, ulat sutera dipelihara dalam 6 periode pemeliharaan sehingga
biaya yang dikeluarkan hanya setengahnya.
Skala usaha I dan II mengeluarkan biaya pembelian daun murbei pada
petani yang masih memelihara ulat sutera maupun tidak lagi memelihara ulat.
Pembelian dilakukan pada saat ulat berada pada akhir instar V sebelum
pergantian kulit. Satu kilogram daun murbei dengan cabang dibeli dengan harga
Rp 300. Besarnya biaya yang dikeluarkan pada masing-masing skala usaha per
tahunnya, yaitu Rp 220.200 dan Rp 540.000. Skala usaha II lebih banyak
mengeluarkan biaya pembelian karena jumlah daun murbei yang dibeli lebih
banyak, yaitu 1.800 kilogram. Skala usaha III tidak membeli daun murbei
karena produktivitas kebun murbei lebih dari cukup untuk memberi makan ulat
sutera yang dipelihara. Produksi daun murbei yang berlebih ini dijual kepada
petani skala usaha I. Sedangkan skala usaha II membeli daun murbei ke petani
yang tidak lagi memelihara ulat sutera.
68

Tabel 15 Kebutuhan bibit ulat sutera dan daun murbei per tahun
Skala Usaha
Uraian I II III
Jumlah Harga Jumlah Harga Jumlah Harga
(Rp) (Rp) (Rp)
Pembelian ulat 12 boks 1.560.000 20 boks 2.600.000 12 boks 1.560.000
Pembelian
daun murbei 730 kg 219.000 150 kg 45.000 - -
Jumlah 1.779.000 2.645.000 1.560.000

b. BBM dan Desinfektan


Bahan bakar minyak dan desinfektan sangat diperlukan dalam
pembudidayaan ulat sutera. Bahan bakar yang digunakan berupa bensin untuk
keperluan pembelian bibit ulat maupun pengangkutan hasil panen daun murbei
ke rumah ulat. Oli bekas digunakan untuk menghalangi semut ke rak ulat
dengan cara dituangkan ke mangkuk kecil dan diletakkan di bawah kaki rak.
Deterjen digunakan untuk mencuci karung alas ulat dan seriframe. Pencucian ini
dilakukan setelah pemasaran kokon ulat sutera.

Tabel 16 Penggunaan BBM dan desinfektan per tahun pada tiap skala usaha

Skala Usaha
Uraian I II III
Jumlah Rp Jumlah Rp Jumlah Rp
Bensin 6 liter 27.000 15,7 liter 70.650 6 liter 27.000
Oli bekas 1 liter 500 1,2 liter 600 2 liter 1.000
Kapur 120 kg 84.000 260 kg 182.000 120 kg 84.000
Insektisida - - 1 liter 97.000 - -
Herbisida - - - - 5 liter 215.000
Deterjen 12 bks 24.000 20 bks 40.000 12 bks 24.000
Jumlah 135.500 390.250 351.000

Petani skala usaha II mengeluarkan biaya penggunaan BBM dan


desinfektan terbesar Rp 390.250 per tahun. Besarnya biaya ini dipengaruhi oleh
penggunaan bensin, kapur, dan deterjen yang lebih banyak dari skala usaha
lainnya. Selain itu, skala usaha II menggunakan insektisida (curracron) untuk
mengurangi jumlah hama yang menyerang tanaman murbei. Penyemprotan
dilakukan dua kali dalam setahun setelah pemangkasan murbei. Pemakaian
kapur sebanyak 260 kilogram per tahun dilakukan oleh petani skala usaha II
69

sebagai desinfektan untuk mengurangi jumlah ulat sutera yang terserang


penyakit. Pada tahun ke nol, biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 235.925. Hal ini
dikarenakan pemakaian bensin hanya sebanyak 7,85 liter, kapur 1,2 kilogram,
dan deterjen sebanyak 6 bungkus ukuran kecil.
Petani skala usaha III yang menggunakan herbisida untuk memberantas
gulma tanaman murbei. Penyemprot gulma dilakukan tiga kali dalam setahun
setelah pemangkasan murbei. Penggunaan 5 liter herbisida per tahun
memerlukan biaya sebesar Rp 215.000. Biaya pembelian BBM dan desinfektan
per tahunnya mencapai Rp 351.000. Pada tahun ke nol biaya yang dikeluarkan
sebesar Rp 283.500 dengan pemakaian 3 liter bensin, 60 kilogram kapur dan 6
bungkus deterjen. Berbeda halnya dengan petani skala usaha I yang tidak
melakukan penyemprotan herbisida maupun insektisida. Biaya pembelian BBM
dan desinfektan per tahunnya sebesar Rp 135.500 dan pada tahun ke nol hanya
mengeluarkan biaya sebesar Rp 68.000 dengan pemakaian 3 liter bensin, 60
kilogram kapur, dan 6 bungkus deterjen. Hal ini yang membuat petani skala
usaha I mengeluarkan lebih sedikit biaya pembelian BBM dan desinfektan
dibandingkan dengan skala usaha III dan skala usaha II.

c. Kebutuhan Pupuk
Pupuk digunakan untuk memelihara kesuburan tanah sehingga daun
murbei yang dihasilkan menjadi lebih baik kandungan nutrisinya. Ini
berpengaruh secara tidak langsung terhadap kesehatan ulat sutera. Skala usaha
III mengeluarkan biaya pembelian pupuk terbanyak per tahunnya, yaitu sebesar
Rp 1.530.000. Hal ini dipengaruhi oleh pemakaian jumlah per jenis pupuk yang
besar. Skala usaha I mengeluarkan biaya pembelian pupuk yang paling sedikit di
antara yang lain sebesar Rp 752.500 per tahun dengan jenis pupuk dan jumlah
pemakaian yang lebih sedikit. Pada tahun ke nol, biaya pembelian pupuk pada
tiap skala usaha sebesar Rp 120.000, Rp 911.073, dan Rp 1.045.000. Perbedaan
biaya pupuk pada tahun nol dengan tahun-tahun berikutnya dikarenakan pada
tahun ke nol telah dilakukan pembelian pupuk dasar pada saat pembuatan kebun
murbei. Penggunaan pupuk per tahun pada tiap skala usaha tersaji pada Tabel
17.
70

Tabel 17 Kebutuhan pupuk per tahun pada tiap skala usaha


Skala Usaha
Uraian I II III
Jumlah Rp Jumlah Rp Jumlah Rp
SP 50 100.000 105 210.000 - -
Urea 150 240.000 137,5 220.000 150 240.000
NPK 50 112.500 48 144.000 150 450.000
KCl - - 180 405.000 - -
ZA - - - - 300 540.000
Pupuk kandang 1.000 300.000 1.000 300.000 1.000 300.000
Jumlah 752.500 1.279.000 1.530.000

d. Tenaga Kerja Borongan


Tenaga kerja borongan yang digunakan berasal dari keluarga maupun
luar keluarga. Upah kerja borongan rata-rata sebesar Rp 15.000 per harinya.
Sedangkan upah kerja untuk menghilangkan floss atau serabut kokon sebesar Rp
1.000 per kilogram kokon yang dihasilkan. Upah tenaga kerja keluarga dihitung
sebagai biaya tidak tunai. Kebutuhan tenaga kerja borongan pada tiap skala
usaha berbeda-beda yang disesuaikan dengan luasan kebun murbei yang
dipelihara, jumlah boks ulat sutera, dan jumlah hari pengerjaannya (Tabel 18,
Tabel 19, dan Tabel 20).

Tabel 18 Kebutuhan tenaga kerja borongan per tahun pada skala usaha I
Uraian Jumlah (orang) HOK Biaya (Rp)
Penyiangan 2 12 360.000
Pemangkasan 1 10 180.000
Pemupukan 1 12 30.000
Menghilangkan floss* 2 12 420.000
Pengolahan limbah - - -
Jumlah 8 990.000
Keterangan: * = Jumlah kokon yang dihasilkan 450 kg per periode pemeliharaan
71

Tabel 19 Kebutuhan tenaga kerja borongan per tahun pada skala usaha II
Uraian Jumlah (orang) HOK Biaya (Rp)
Penyiangan 3 6 270.000
Pemangkasan 2 10 300.000
Pemupukan 2 6 180.000
Menghilangkan floss* 3 12 716.400
Pengolahan limbah 1 12 180.000
Jumlah 12 1.646.400
Keterangan: * = Jumlah kokon yang dihasilkan 716 kg per periode pemeliharaan

Tabel 20 Kebutuhan tenaga kerja borongan per tahun pada skala usaha III
Uraian Jumlah (orang) HOK Biaya (Rp)
Penyiangan 4 15 900.000
Pemangkasan 17 2 450.000
Pemupukan 2 6 180.000
Menghilangkan floss* 3 12 420.012
Pengolahan limbah - - -
Jumlah 28 2.010.012
Keterangan: * = Jumlah kokon yang dihasilkan 450 kg per periode pemeliharaan

Tenaga kerja borongan paling banyak dibutuhkan pada skala usaha III
sebanyak 29 orang khususnya pada saat pemangkasan yang membutuhkan
tenaga kerja sebanyak 17 orang. Pemangkasan dilakukan dua kali dalam satu
tahun. Upah tenaga kerja borongan skala usaha III sebesar Rp 2.010.012 per
tahunnya. Skala usaha II mengeluarkan biaya tambahan untuk membersihkan
limbah sebesar Rp 180.000 per tahunnya. Sedangkan skala usaha I hanya
membutuhkan tenaga kerja sebanyak 9 orang per tahunnya. Penggunaan tenaga
pada skala usaha I disesuaikan dengan kebutuhan. Pada tahun ke nol, upah
tenaga kerja borongan pada tiap skala usaha, yaitu sebesar Rp 855.000, Rp
1.198.200, dan Rp 1.920.006. Besarnya biaya ini dipengaruhi oleh adanya biaya
pendangiran pada tiap skala usaha sebesar Rp 90.000, Rp 60.000, dan Rp
180.000. Besarnya biaya pendangiran dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja dan
jumlah hari orang kerja. Biaya menghilangkan floss pada tahun ke nol yang
hanya setengah dari tahun-tahun berikutnya karena pemeliharaan ulat hanya
dilakukan dalam 6 periode pemeliharaan.
72

e. Transportasi
Perhitungan biaya transportasi dilakukan pada pengangkutan hasil panen
daun murbei dan pendistribusian kokon (Tabel 21). Besarnya biaya transportasi
yang dikeluarkan pada tahun ke nol hanya setengahnya karena ulat hanya
dipelihara dalam 6 periode pemeliharaan. Pengangkutan hasil panen daun
murbei pada skala usaha I dilakukan dengan tenaga sendiri atau tidak
menggunakan jasa pengangkutan sehingga tidak dilakukan perhitungan. Pada
skala usaha III, pengangkutan daun murbei sudah termasuk dalam kegiatan
pemanenan murbei sehingga tidak diperhitungkan sebagai biaya pengangkutan
murbei.

Tabel 21 Biaya transportasi per tahun pada tiap skala usaha


Uraian Skala Usaha
I II III
Pengangkutan murbei - 2.436.000 -
Transportasi kokon 300.000 300.000 300.000
Jumlah 300.000 2.736.000 300.000

Perhitungan biaya pengangkutan hasil panen daun murbei dari kebun


murbei ke tempat pemeliharaan ulat sutera hanya dilakukan pada skala usaha II
karena menggunakan jasa pengangkutan. Biaya pengangkutan murbei
berdasarkan berat daun murbei yang diangkut. Pengangkutan hasil panen daun
murbei dengan atau tanpa cabang dikenai biaya sebesar Rp 100 per
kilogramnya. Biaya pengangkutan murbei yang dikeluarkan oleh petani skala
usaha II sebesar Rp 2.436.000 per tahun dengan rata-rata 200 kilogram daun
murbei yang diangkut per harinya.
Kokon dijual ke pihak CV Batu Gede dengan harga Rp 23.000 per
kilogramnya. Penjualan ini dilakukan di Kecamatan Cibeber yang berjarak ± 1,5
jam dari Kecamatan Sukanagara atau ± 2,5 jam dari CV Batu Gede. Hal ini
dilakukan untuk meminimalkan biaya transportasi pada kedua belah pihak.
Biaya sewa angkutan umum sebesar Rp 125.000 untuk 1 rit/perjalanan pergi
pulang dalam satu periode pemeliharaan. Biaya ini dibebankan pada tiap petani
sama banyaknya sehingga biaya tranportasi kokon per tahunnya sama, yaitu
sebesar Rp 300.000.
73

6.3.1.3 Kriteria Kelayakan Investasi


Kriteria yang digunakan dalam analisis kelayakan finansial ini terdiri
dari Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Gross Benefit
Cost Ratio (Gross B/C), dan Pay Back Period (PBP). Untuk menentukan layak
atau tidaknya proyek tersebut didanai, perlu diperhitungkan pula perubahan nilai
uang terhadap waktu atau faktor diskonto. Hal ini dikarenakan proyek arus uang
yang dilakukan untuk menghitung kriteria kelayakan investasi tersebut
diproyeksikan hingga jangka waktu yang cukup panjang, dalam proyek ini
adalah 10 tahun. Selama umur proyek tersebut, nilai uang akan terus berubah
sehingga perlu digunakan metode yang dapat memperhitungkan perubahan nilai
uang terhadap waktu tersebut. Dengan teknik tersebut, nilai manfaat dan biaya
pada masa mendatang dapat diturunkan menjadi nilai manfaat dan biaya pada
masa sekarang. Hasil analisis finansial usaha budidaya ulat sutera pada tiap
skala usaha tersaji pada Tabel 22.

Tabel 22 Hasil analisis finansial pada tiap skala usaha


Kriteria Kelayakan Investasi Skala Usaha
I II III
NPV (Rp) 8.688.681 7.202.019 -30.269.954
IRR (%) 33,99 20,55 -
Gross B/C 1,17 1,08 0,67
PBP (tahun) 2,75 4,13 -

Net Present Value (NPV) adalah perbedaan antara nilai sekarang dari
nilai manfaat dan biaya suatu proyek. Untuk menghitung perubahan nilai uang
terhadap waktu, digunakan tingkat suku bunga 12% yang merupakan suku
bunga pinjaman Bank Indonesia pada tahun 2010. Perhitungan Net Present
Value (NPV) pada skala usaha I menghasilkan nilai sebesar Rp 8.688.681.
Sedangkan nilai NPV pada skala usaha II sebesar Rp 7.202.019. Artinya, jumlah
manfaat bersih yang diterima petani skala usaha I dan II selama 10 tahun dengan
discount rate 12 persen sebesar Rp 8.598.681 dan Rp 7.202.019. Berdasarkan
kriteria kelayakan NPV, budidaya ulat sutera skala usaha I dan II layak
dilaksanakan karena nilai NPV > 0. Nilai NPV skala usaha III berada pada nilai
74

negatif (NPV < 0) adalah – Rp 30.269.954 sehingga usaha ini tidak layak
dilakukan.
Tingkat pengembalian internal (IRR) merupakan tingkat kemampuan
proyek untuk menghasilkan keuntungan dan dapat dinyatakan sebagai tingkat
diskonto. Nilai IRR menunjukkan tingkat suku bunga pinjaman (bank) yang
menghasilkan nilai NPV sama dengan nol. Nilai IRR pada skala usaha I dan
skala usaha II ini adalah 33,99 persen dan 20,55 persen lebih tinggi dari tingkat
diskonto 12 persen. Dengan demikian, usaha ini dianggap layak berdasarkan
kriteria IRR. Nilai IRR skala usaha III tidak dapat dihitung. Hal ini dikarenakan
nilai NPV < 0 atau nilai manfaat bersih yang diperoleh skala usaha III bernilai
negatif dari tahun pertama hingga akhir proyek.
Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C) merupakan perbandingan antara
benefit kotor dengan biaya yang telah didiskonto. Skala usaha I dan II memiliki
nilai gross B/C 1,17 dan 1,08. Hal ini menunjukkan bahwa usaha budidaya ulat
sutera layak dilakukan karena nilai Gross B/C > 1. Pada skala usaha III nilai
Gross B/C sebesar 0,668. Berdasarkan kriteria kelayakan Gross B/C, usaha ini
tidak layak diusahakan.
Analisis waktu pengembalian modal (pay back period) diperlukan untuk
mengetahui lama waktu yang diperlukan suatu usaha atau proyek untuk dapat
mengembalikan nilai investasi. Nilai pay back period (PBP) skala usaha I adalah
2,75 tahun setara dengan 2 tahun 9 bulan 4 hari. Sedangkan skala usaha II
memiliki waktu pengembalian modal 4,13 tahun yang setara dengan 4 tahun 1
bulan 17 hari. Kedua skala usaha dikatakan layak karena waktu pengembalian
modal kurang dari umur proyek 10 tahun.

6.3.2 Analisis Aspek Finansial pada Skenario Pengembangan


Hasil perhitungan selisih arus uang masuk dengan arus uang keluar pada
skala usaha III menunjukkan nilai yang negatif dari tahun pertama hingga akhir
proyek. Hal ini mengakibatkan nilai NPV menjadi negatif (NPV < 0) dan usaha
budidaya ulat sutera yang dilakukan tidak layak dijalankan. Ketidaklayakan usaha
yang sedang dijalankan juga diketahui dengan nilai gross B/C yang kurang dari
satu (gross B/C < 1). Tingkat pengembalian internal (IRR) dan pay back period
75

tidak dapat dihitung karena nilai NPV yang negatif. Skenario pengembangan
usaha perlu dilakukan pada skala usaha III agar manfaat bersih bernilai positif
dapat diperoleh sehingga usaha budidaya ulat sutera menjadi layak dilakukan.

6.3.2.1 Arus Penerimaan


Skala usaha III memilihi luas lahan murbei sebanyak 2 hektar dan ulat
yang dipelihara hanya berjumlah 1 boks per periode pemeliharaan (satu bulan).
Berdasarkan penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, jumlah
ulat maksimal yang dapat dipelihara pada luasan lahan murbei 2 hektar
sebanyak 4 boks dalam kondisi optimal. Dalam skenario pengembangan, jumlah
ulat yang dipelihara sebanyak 2 boks per periode pemeliharaan dengan asumsi
cara pemeliharaan tanaman murbei dan ulat sutera sama seperti sebelumnya.
Arus penerimaan usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha III dalam
skenario pengembangan diperoleh dari penjualan kokon, stek murbei, dan
penjualan daun murbei. Volume penjualan kokon meningkat 100 persen dari
420 kilogram menjadi 820 kilogram per tahun dengan 12 periode pemeliharaan
dalam satu tahun. Nilai penjualan kokon mencapai Rp 19.320.000 per tahunnya
dengan harga jual kokon per kilogramnya sebesar Rp 23.000. Pada tahun ke nol
dilakukan 6 kali musim pemeliharaan sehingga produksi kokon hanya mencapai
setengahnya, yaitu 420 kilogram. Penerimaan dari penjualan stek dan daun
murbei per tahunnya tetap, yaitu Rp 40.000 dan Rp 220.200. Pada tahun ke nol
usaha, skala usaha III tidak melakukan penjualan stek dan daun murbei karena
belum adanya konsumen yang berminat.

6.3.2.2 Arus Pengeluaran


A. Biaya Investasi
Biaya investasi skala usaha III pada saat memulai usaha budidaya ulat
sutera bernilai total Rp 21.242.710. Investasi terbesar digunakan untuk
membangun rumah ulat seluas 50 m3 dengan biaya Rp 11.262.750. Pembuatan
kebun murbei membutuhkan biaya sebesar Rp 4.827.500. Biaya tersebut
mencakup pembelian bibit murbei Rp 1.037.500, persiapan lahan Rp 2.790.000,
penanaman Rp 165.000, dan pembelian pupuk dasar sebesar Rp 835.000.
76

Sedangkan peralatan yang digunakan dalam budidaya murbei dan pemeliharaan


ulat sutera menghabiskan biaya sebesar Rp 5.152.460. Jenis peralatan, biaya
pembelian peralatan, dan peralatan-peralatan yang mengalami reinvestasi sama
seperti usaha yang sedang dijalankan (sebelum dilakukan skenario
pengembangan).

B. Biaya Operasional
1. Biaya Tetap
Biaya tetap per tahun yang dikeluarkan terdiri dari sewa lahan sebesar
Rp. 200.980, upah tenaga kerja tetap Rp 4.680.000, komunikasi Rp 60.000,
listrik Rp 300.000, dan perlengkapan sebesar Rp 218.500 (Tabel 23). Kebutuhan
karung sebagai alas ulat sutera di dalam rak pemeliharaan dan pengangkutan
hasil panen daun murbei meningkat dari sebelumnya berjumlah 5 buah karung
berukuran besar dan 30 buah karung berukuran sedang menjadi 9 karung
berukuran besar dan 34 karung berukuran sedang. Hal ini dikarenakan
bertambahnya ruang pemeliharaan dan jumlah pakan ulat sutera.

Tabel 23 Kebutuhan perlengkapan per tahun pada skala usaha III dalam
skenario pengembangan
Uraian Jumlah Satuan Harga Satuan Harga Total
(Rp) (Rp)
Karung besar 9 buah 2.500 22.500
Karung sedang 34 buah 2.000 68.000
Klastik mulsa 8 meter 4.000 32.000
Sarung tangan 4 buah 4.000 16.000
Saringan 1 buah 10.000 10.000
Sapu lidi 1 buah 3.000 3.000
Sapu ijuk 1 buah 10.000 10.000
Serokan 1 buah 10.000 10.000
Sandal 2 buah 10.000 20.000
Lampu: 5 watt 9 buah 3.000 27.000
Jumlah 218.500

2. Biaya Variabel
Biaya variabel adalah biaya yang besarnya dipengaruhi oleh jumlah
produksi yang dihasilkan. Terdapat perbedaan pada komponen biaya variabel
dalam skenario pengembangan dengan usaha yang sedang dijalankan. Jumlah
77

ulat sutera yang dipelihara sebelumnya hanya 12 boks menjadi 24 boks sehingga
total biaya pembelian ulat menjadi Rp 3.120.000 dengan harga bibit ulat per
boks sebesar Rp 130.000. Pemakaian kapur untuk desinfeksi ulat sutera dan
deterjen untuk mencuci seriframe dan karung meningkat 100 persen menjadi
240 kilogram kapur dan 24 bungkus deterjen berukuran kecil. Jumlah tenaga
kerja borongan untuk menghilangkan floss ulat sutera bertambah 3 orang
menjadi 6 orang pekerja. Biaya transportasi kokon ke tempat penjualan
bertambah dua kali libat menjadi Rp 600.000.

Tabel 24 Biaya pembelian perlengkapan per tahun pada skala usaha III dalam
skenario pengembangan
Uraian Satuan Jumlah Biaya
(Rp)
Bibit ulat 24 boks 3.120.000
BBM dan desinfektan
• bensin 6 liter 27.000
• oli bekas 2 liter 1.000
• kapur 240 kg 168.000
• herbisida 5 liter 215.000
• deterjen 24 bungkus 48.000
Kebutuhan pupuk
• urea 150 kg 240.000
• NPK 150 kg 450.000
• ZA 300 kg 540.000
• Pupuk Kandang 1.000 kg 300.000
Upah tenaga kerja borongan
• penyiangan 4 orang 900.000
• pemupukan 2 orang 120.000
• pemangkasan 17 orang 510.000
• pendangiran 3 orang 180.000
• menghilangkan floss 6 orang 840.024
Transportasi kokon 12 rit 600.000
Jumlah 8.259.024

6.3.2.3 Kriteria Kelayakan Investasi


Nilai Net Present Value (NPV) yang diperoleh pada skenario
pengembangan usaha budidaya ulat sutera yang dijalankan skala usaha III
adalah sebesar Rp 12.649.681. berdasarkan kriteria kelayakan NPV, usaha ini
78

dianggap layak dilaksanakan karena nilai NPV-nya lebih besar dari nol
(NPV>0).
Internal Rate of Return (IRR) merupakan tingkat kemampuan proyek
menghasilkan keuntungan yang dinyatakan dalam tingkat diskonto, suku bunga
pinjaman bank, yang menghasilkan nilai NPV sama dengan nol. Hasil
perhitungan IRR pada skala usaha III sebesar 26,06 persen, lebih tinggi dari
tingkat diskonto 12 persen. Dengan demikian, berdasarkan kriteria IRR, usaha
ini layak dilakukan.
Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C) merupakan perbandingan antara
nilai sekarang manfaat (present value inflow) dengan nilai sekarang biaya
(present value outflow) yang telah didiskonto sehingga diketahui efisiensi dalam
penggunaan modal. Nilai Gross B/C pada pembudidayaan ulat sutera skala
usaha III dalam skenario pengembangan sebesar 1,12 yang menunjukkan bahwa
usaha ini dinilai layak (nilai Gross B/C > 1).
Waktu pengembalian nilai investasi suatu proyek dapat diketahui dengan
analisis Pay Back Period (PBP). Nilai PBP yang diperoleh pada skala usaha III
dalam skenario pengembangan, yaitu sebesar 3,44 tahun yang setara dengan 3
tahun 5 bulan 11 hari. Jika dibandingkan dengan umur proyek yaitu 10 tahun
maka waktu pengembalian investasi pada usaha ini relatif cepat dan dapat
dikatakan layak.

Tabel 25 Hasil analisis finansial skala usaha III dalam skenario pengembangan
Kriteria Kelayakan Investasi Nilai
NPV (Rp) 12.649.681
IRR (%) 26,06
Gross B/C 1,12
PBP (tahun) 3,44

6.3.3 Analisis Sensitivitas


Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui seberapa besar
perubahan pada tingkat manfaat dan biaya dapat terjadi sehingga masih memenuhi
kriteria kelayakan investasi. Variabel sensitivitas yang digunakan dalam analisis
ini, yaitu harga jual kokon, dan biaya operasional. Analisis sensitivitas dilakukan
pada skala usaha I, skala usaha II, dan skala usaha III pada usaha yang sedang
79

berjalan serta pada skala usaha III dalam skenario pengembangan. Dari hasil
analisis sensitivitas akan diketahui variabel mana yang lebih peka ketika terjadi
perubahan yang akan memberikan pengaruh terhadap keberhasilan suatu usaha
(Tabel 26).

Tabel 26 Analisis sensitivitas pada skala usaha I, skala usaha II, dan skala usaha
III dalam skenario pengembangan
Kondisi
Uraian Normal P -10% B +10%
Nilai ∆ (%) Nilai ∆ (%)
Skala Usaha I
• NPV (Rp) 8.688.681 2.657.565 69,41 4.619.977 46,83
• IRR (%) 33,99 18,85 44,54 23,82 29,92
• Gross B/C 1,17 1,05 10,26 1,08 7,69
• PBP (tahun) 2,75 4,38 59,27 3,67 33,45
Skala Usaha II
• NPV (Rp) 7.202.019 -2.926.168 140,63 -211.534 102,94
• IRR (%) 20,55 8,34 59,42 11,75 42,82
• Gross B/C 1,08 0,97 10,19 0,99 8,33
• PBP (tahun) 4,13 6,64 60,77 5,67 37,29
Skala Usaha III*
• NPV (Rp) 12.649.681 902.450 92,87 4.199.223 66,80
• IRR (%) 26,06 13,05 49,92 16,79 35,57
• Gross B/C 1,12 1,01 9,82 1,04 7,14
• PBP (tahun) 3,44 5,39 56,69 4,73 37,50
Keterangan: P -10% = Penurunan harga jual kokon
B +10% = Peningkatan biaya operasional
* = Skala usaha III dalam skenario pengembangan

Berdasarkan simulasi penurunan harga jual kokon sebesar 10 persen pada


proyeksi arus kas skala usaha I, nilai NPV mengalami penurunan 69,41 persen
sebesar Rp 2.657.565. Nilai IRR sebesar 18,85 persen dengan penurunan sekitar
44,54 persen. Nilai gross B/C juga mengalami penurunan sebesar 1,05 dengan
persentase penurunan sebesar 10,26 persen. Waktu yang diperlukan untuk
mengembalikan modal menjadi lebih lama, yaitu 4,38 tahun atau setara dengan 4
tahun 4 bulan 18 hari. Hasil simulasi peningkatan biaya operasional sebesar 10
persen membuat nilai NPV berkurang dari Rp 8.688.681 menjadi Rp 4.619.977
dengan persentase penurunan sebesar 46,83 persen. Nilai IRR dan gross B/C juga
mengalami penurunan sebesar 23,82 persen dan 1,08. Tingkat pengembalian
80

modal (PBP) menjadi menjadi lebih lama, yaitu sekitar 3,67 tahun atau setara
dengan 3 tahun 8 bulan 5 hari. Variabel penurunan harga jual kokon memiliki
tingkat kepekaan yang lebih tinggi dari variabel peningkatan biaya operasional.
Penurunan harga jual kokon sebesar 10 persen dan peningkatan biaya operasional
sebesar 10 persen tetap membuat budidaya ulat sutera yang dilakukan oleh petani
sutera skala usaha I layak untuk diusahakan dengan nilai NPV lebih dari 1, nilai
IRR lebih besar dari suku bunga yang berlaku, nilai gross B/C lebih dari 1, dan
PBP lebih cepat dari umur proyek 10 tahun.
Budidaya ulat sutera yang dijalankan oleh skala usaha II memiliki tingkat
kepekaan atau sensitivitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan usaha yang
dijalankan oleh skala usaha I. Penurunan harga jual kokon sebesar 10 persen dan
peningkatan biaya operasional sebesar 10 persen pada skala usaha II membuat
kegiatan budidaya ulat sutera tidak layak untuk dilakukan. Nilai NPV berada pada
kisaran negatif adalah sebesar –Rp 2.926.168 dengan persentase penurunan
sebesar 140,63 persen. Hal ini menunjukkan bahwa usaha ini mengalami kerugian
sebesar Rp 2.926.168. Nilai IRR lebih kecil dari suku bunga yang berlaku sebesar
8,34 persen dengan persentase penurunan sebesar 59,42 persen. Nilai gross B/C
kurang dari 1 sebesar 0,97. Peningkatan biaya operasional sebesar 10 persen
membuat nilai NPV negatif sebesar –Rp 211.534. Nilai IRR sebesar 11,75 persen
ini lebih kecil dari suku bunga pinjaman Bank Indonesia, 12 persen. Nilai gross
B/C berkurang 0,09 menjadi 0,99.
Usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha III dalam skenario
pengembangan tetap layak dilakukan meskipun terjadi penurunan harga jual
kokon sebesar 10 persen dan peningkatan biaya operasional sebesar 10 persen.
Penurunan harga jual kokon sebesar 10 persen mengakibatkan nilai NPV turun
menjadi sebesar Rp 902.450 dengan persentase 92,87 persen. Nilai IRR pada
kondisi normal 26,06 persen turun menjadi 13,05 persen. Nilai gross B/C sebesar
juga mengalami penurunan sebesar 9,82 persen, yaitu 1,01. Pengembalian modal
dapat dilakukan dalam waktu 5,39 tahun atau setara dengan 5 tahun 4 bulan 22
hari. Peningkatan biaya operasional sebesar 10 persen membuat nilai NPV turun
66,80 persen, yaitu sebesar Rp 4.199.223. Nilai IRR mengalami penurunan
sebesar 16,79 persen. Nilai gross B/C menurun dari 1,12 menjadi 1,04. Waktu
81

pengembalian modal menjadi lebih lama, yaitu 4,73 tahun atau setara dengan 4
tahun 8 bulan 27 hari.
Analisis sensitivitas pada skala usaha III pada usaha yang sedang berjalan
dilakukan untuk mengetahui tingkat kelayakan usaha bila terjadi peningkatan
harga jual kokon sebesar 10 persen dan penurunan biaya produksi sebesar 10
persen. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa usaha budidaya pada skala
usaha III tetap tidak layak dilakukan meskipun terjadi peningkatan nilai NPV dan
nilai gross B/C. Pada kondisi peningkatan harga jual kokon sebesar 10 persen,
nilai NPV tetap berada pada kisaran negatif, yaitu –Rp 24.328.839. Artinya, skala
usaha III mengalami kerugian sebesar Rp 24.328.839. Nilai gross B/C meningkat
dari 0,67 menjadi 0,73 namun tetap tidak lebih besar dari satu. Nilai IRR dan PBP
tidak dapat dihitung karena nilai NPV negatif dari tahun ke nol hingga akhir
proyek.

Tabel 27 Analisis sensitivitas pada skala usaha III pada usaha yang sedang
berjalan
Kondisi
Uraian Normal P +10% B -10%
Nilai ∆ (%) Nilai ∆ (%)
NPV (Rp) -30.269.954 -24.328.839 19,63 -23.232.948 23,25
IRR (%) - - - - -
Gross B/C 0,67 0,73 8,96 0,72 7,46
PBP (tahun) - - - - -
Keterangan: P +10% = Peningkatan harga jual kokon
B -10% = Penurunan biaya operasional
82

BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis kualitatif dan kuantitatif yang telah dilakukan, maka
dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut:
1. Budidaya ulat sutera di Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur layak
dilaksanakan berdasarkan analisis aspek-aspek non finansial.
2. Hasil analisis finansial pada skala usaha I dan skala usaha II menunjukkan
bahwa usaha ini layak dilakukan karena nilai NPV yang positif dengan nilai
IRR > 12%, nilai gross B/C > 1, dan PBP < 10 tahun. Usaha budidaya ulat
sutera pada skala usaha III dikatakan layak jika jumlah ulat sutera yang
dipelihara menjadi 24 boks/th (skenario pengembangan).
3. Penurunan harga jual kokon sebesar 10% lebih berpengaruh pada kondisi
usaha daripada peningkatan biaya operasional sebesar 10%. Usaha yang
dijalankan oleh skala usaha I dan skala usaha III (skenario pengembangan)
tetap layak dijalankan, sedangkan usaha budidaya ulat sutera yang dilakukan
oleh skala usaha II menjadi tidak layak dengan nilai NPV yang negatif, nilai
IRR < 12%, dan nilai gross B/C < 1.

7.2 Saran
Saran yang dapat diberikan pada usaha budidaya ulat sutera, sebagai
berikut:
1. Izin resmi pendirian usaha sebaiknya dilakukan untuk pengembangan usaha
jangka panjang sehingga para investor lebih mau dan lebih percaya untuk
menanamkan sahamnya.
2. Motivasi petani dalam menjalankan usaha perlu ditingkatkan agar petani
memiliki semangat dan etos kerja yang tinggi.
3. Jumlah ulat sutera yang dipelihara perlu ditingkatkan sesuai dengan
ketersediaan pakan karena menguntungkan secara finansial.
83

4. Peningkatan nilai tambah dapat dilakukan dengan penjualan buah murbei,


pembuatan teh murbei, atau pembuatan benang sutera menggunakan alat
reeling tradisional tanpa menggunakan energi listrik.
5. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai kontribusi pendapatan dari usaha
budidaya ulat sutera terhadap pendapatan total petani.
6. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai peningkatan kualitas dan
produktivitas daun murbei untuk mengurangi tingkat kematian ulat sutera dan
kualitas kokon yang dihasilkan menjadi lebih baik.
7. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai tingkat erosi dan sendimentasi lahan
murbei sehingga diketahui dampak yang lebih spesifik terhadap lingkungan
hidup.
84

DAFTAR PUSTAKA

Ahdiat N. 2007. Bombyx mori: Ulat Penghasil Sutera. Ed-1. Bandung: Sinergi
Pustaka Indonesia.

[AICAF] Association for International Cooperation of Agriculture & Forestry,


Japan. 1995. Sericulture in the Tropics.

Afrilia JD. 2004. Analisis kelayakan finansial usaha ternak ulat sutera di
Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta
[skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Atmosoedarjo S, Kartasubrata J, Kaomini M, Saleh W, Moerdoko W. 2000.


Sutera Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Sarana Wahana Jaya.

[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2010. Sensus Penduduk 2010.
http://jabar.bps.go.id/index.php/sensus-penduduk-2010.html. [24 Juli
2011].

[Dephut RI] Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial


Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2008. Statistik Kehutanan
Indonesia Tahun 2008. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik
Indonesia.

Gittinger JP. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Ed Ke-2. Jakarta:


UI Press.

Kadariah, Karlina L, Gray C. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Ed Revisi.


Jakarta: Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.

Kelompok Peneliti Persuteraan Alam. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Ulat


Sutera (Bombyx mori L.) dan Pengolahan Kokon. Bogor: Puslitbang Hutan.

Edi F. 2009. Data Potensi Desa dan Monograpi Kecamatan Sukanagara.


Sukanagara: Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur.

Halim A. 2009. Analisis Kelayakan Investasi Bisnis. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Herlianto H, Pujiastuti T. 2009. Studi Kelayakan Bisnis. Yogyakarta: Graha Ilmu.


85

Husnan S, Suwarsono M. 2008. Studi Kelayakan Proyek. Yogyakarta: UPP STIM


YKPN.

[JICA] Japan International Cooperation Agency. 1981. Pedoman persuteraan


alam. Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Kehutanan, Proyek
Pembinaan Persuteraan Alam Sulawesi Selatan, JICA – Sericulture
Development Cooperation Project.

Kelompok Peneliti Persuteraan Alam. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Ulat


Sutera (Bombyx mori L.) dan Pengolahan Kokon. Bogor: Puslitbang
Hutan.

Kotler P, Armstrong G. 2004. Dasar-Dasar Pemasaran. Ed Ke-9. Sindoro A,


penerjemah. Jakarta: Indeks. Terjemahan dari: Prinsiples of Marketing.

Moerdoko W. 1996. Prospek pemasaran sutera alam di Indonesia. Seminar


Nasional Persuteraan Alam, Juli 1996, Bandung

Nugroho B. 2008. Analisis Investasi Proyek Kehutanan dan Pertanian:


Pendekatan Ekonomi Keteknikan (Engineering Economics Approach).
Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Pracaya. 2009. Hama dan Penyakit Tanaman. Ed Revisi. Jakarta: Penebar


Swadaya.

Ryu CH. 1989. Panduan teknis persuteraan alam. Petunjuk dasar persuteraan
alam. Jawa Barat: PT Indo Jado Sutera Pratama.

Suliyanto. 2010. Studi Kelayakan Bisnis. Yogyakarta: ANDI.

Suntana A. 2008. Murbei dan ulat sutera. hhtp://acusuntana.blogspot.com/2008/


04/budidaya-murbei.html. [3 Maret 2009].

Sutojo S. 2008. Intisari Discounted Cash Flow (DCF). Jakarta: Damar Mulia
Pustaka.

Tajima Y. 1978. The silkworm, an Important Laboratory Tool. Tokyo: Kodansha.

Tjiptono F. 2008. Strategi Pemasaran. Yogyakarta: ANDI.


86

Treacy M and Wiersema F. 1995. The discipline of market leaders. MA: Addison-
Wesley Publishing Company.

Umar H. 2003. Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama.

Wikipedia. 2006. Ulat Sutra. http://id.wikipedia.org/wiki/ulat-sutra.html. [3 Maret


2009].

Yamamoto M. 1985. Mulberry cultivation. Indonesian Sericulture Development


Project. Audio Visual Book, 1 – 18, JICA.
87

LAMPIRAN
Lampiran 1 Bahan-bahan pembuatan rumah ulat sutera pada tiap skala usaha

Harga Satuan Skala Usaha


Uraian (Rp) Satuan I II III
Jumlah (Rp) Jumlah (Rp) Jumlah (Rp)
Genteng 800 buah 766 612.800 1.136 908.800 1.200 960.000
Asbes 34.000 buah - - 11 374.000 - -
Seng 15.000 meter - - 2,4 36.000 - -
Kayu albasia 960.000 mᶟ 2 1.920.000 4,3 4.128.000 6 5.760.000
Bambu tali 3.300 batang 55 181.500 126 415.800 368 1.214.400
Batu pecah 350.000 mᶟ 0,25 87.500 4,4 1.540.000 0,25 87.500
Semen 1.040 kg 5 5.200 910 946.400 5 5.200
Pasir 110.000 mᶟ 0,125 13.750 6 660.000 0,125 13.750
Batako 800 buah - - 580 464.000 - -
Kaca 50.000 meter - - - - 1,5 75.000
Cat 6.000 buah - - - - 1 6.000
Kapur 500 kg 10 5.000 21,67 10.835 30 15.000
Kuas 8.000 buah 1 8.000 1 8.000 2 16.000
Kampak 25.000 buah 1 25.000 1 25.000 1 25.000
Gergaji 25.000 buah 1 25.000 1 25.000 1 25.000
Kikir 9.000 buah 1 9.000 1 9.000 1 9.000
Palu 25.000 buah 1 25.000 1 25.000 1 25.000
Paku 10.000 kg 13 130.000 24 240.000 25 250.000
Engsel 8.000 buah 2 16.000 2 16.000 4 32.000
Oterpal 3.000 buah 1 3.000 1 3.000 2 6.000
Gembok 14.000 buah - - 1 14.000 1 14.000

88
88
Lampiran 1 Bahan-bahan pembuatan rumah ulat sutera pada tiap skala usaha (Lanjutan)
Harga Satuan Skala Usaha
Uraian (Rp) Satuan I II III
Jumlah (Rp) Jumlah Jumlah (Rp) Jumlah
Instalasi listrik:
• kabel standar PLN 15.000 meter - - 38 570.000 - -
• kabel hitam 5.500 meter - - 4 22.000 43 236.500
• kabel putih 2.500 meter - - 9 22.500 5 12.500
• sakelar 7.000 buah - - 3 21.000 3 21.000
• colokan 3.000 buah - - 2 6.000 2 6.000
• stop kontak 7.000 buah - - 2 14.000 2 14.000
• fitting 1.000 buah - - 10 10.000 10 10.000
Lampu
• 25 watt 30.000 buah - - 1 30.000 1 30.000
Total 3.066.750 10.544.335 8.868.850
Keterangan : Luas rumah : 32 m² (skala usaha I ); 63,7 m² (skala usaha II), dan 80 m² (skala usaha III)

89
89
Lampiran 2 Aliran kas usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha I
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Inflow
Penjualan kokon 4.830.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000
Penjualan stek murbei - 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000
Total Inflow 4.830.000 9.670.000 9.670.000 9.670.000 9.670.000 9.670.000 9.670.000 9.670.000 9.670.000 9.670.000 9.670.000
Outflow
1. Biaya Investasi
a. kebun murbei 2.771.250 - - - - - - - - - -
b. rumah ulat 4.196.750 - - - - - - - - - -
c. peralatan 2.829.560 - - 49.060 158.000 - 153.060 - 158.000 49.060 -
Total Biaya Investasi 9.797.560 0 0 49.060 158.000 0 153.060 0 158.000 49.060 0
2. Biaya Operasional
a. Biaya Tetap
sewa lahan 100.450 100.450 100.450 100.450 100.450 100.450 100.450 100.450 100.450 100.450 100.450
perlengkapan 118.500 118.500 118.500 118.500 118.500 118.500 118.500 118.500 118.500 118.500 118.500
upah tenaga kerja tetap 1.170.000 2.340.000 2.340.000 2.340.000 2.340.000 2.340.000 2.340.000 2.340.000 2.340.000 2.340.000 2.340.000
komunikasi 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000
b. Biaya Variabel
bibit ulat&daun murbei 889.500 1.779.000 1.779.000 1.779.000 1.779.000 1.779.000 1.779.000 1.779.000 1.779.000 1.779.000 1.779.000
BBM dan desinfektan 68.000 135.500 135.500 135.500 135.500 135.500 135.500 135.500 135.500 135.500 135.500
pupuk 120.000 752.500 752.500 752.500 752.500 752.500 752.500 752.500 752.500 752.500 752.500
tenaga kerja borongan 855.000 990.000 990.000 990.000 990.000 990.000 990.000 990.000 990.000 990.000 990.000
transportasi 150.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000
Total Biaya Operasional 3.531.450 6.575.950 6.575.950 6.575.950 6.575.950 6.575.950 6.575.950 6.575.950 6.575.950 6.575.950 6.575.950
6.575.950
Total Outflow 13.329.010 6.575.950 6.575.950 6.625.010 6.733.950 6.575.950 6.729.010 6.575.950 6.733.950 6.625.010

90
90
Lampiran 2 Aliran kas usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha I (Lanjutan)
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Net Benefit -8.499.010 3.094.050 3.094.050 3.044.990 2.936.050 3.094.050 2.940.990 3.094.050 2.936.050 3.044.990 3.094.050
Discount Factor (12%) 1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220
PV Inflow 4.830.000 8.633.929 7.708.865 6.882.915 6.145.460 5.487.018 4.899.123 4.374.217 3.905.551 3.487.099 3.113.481
PV Outflow 13.329.010 5.871.384 5.242.307 4.715.551 4.279.547 3.731.371 3.409.126 2.974.626 2.719.729 2.389.045 2.117.280
PV Net Benefit - 8.499.010 2.762.545 2.466.558 2.167.364 1.865.913 1.755.647 1.489.997 1.399.591 1.185.821 1.098.054 996.201
NPV 8.688.681
IRR 33,9957
Gross B/C 1,1711
Pay Back Period 2,7469

91
91
Lampiran 3 Perhitungan NPV usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha I
Tahun Total Inflow Total Outflow Net Benefit Discount Factor PV Inflow PV Outflow PV Net Benefit
(Rp) (Rp) (Rp) 12% (Rp) (Rp) (Rp)
0 4.830.000 13.329.010 -8.499.010 1,0000 4.830.000 13.329.010 -8.499.010
1 9.670.000 6.575.950 3.094.050 0,8929 8.633.929 5.871.384 2.762.545
2 9.670.000 6.575.950 3.094.050 0,7972 7.708.865 5.242.307 2.466.558
3 9.670.000 6.625.010 3.044.990 0,7118 6.882.915 4.715.551 2.167.364
4 9.670.000 6.733.950 2.936.050 0,6355 6.145.460 4.279.547 1.865.913
5 9.670.000 6.575.950 3.094.050 0,5674 5.487.018 3.731.371 1.755.647
6 9.670.000 6.729.010 2.940.990 0,5066 4.899.123 3.409.126 1.489.997
7 9.670.000 6.575.950 3.094.050 0,4523 4.374.217 2.974.626 1.399.591
8 9.670.000 6.733.950 2.936.050 0,4039 3.905.551 2.719.729 1.185.821
9 9.670.000 6.625.010 3.044.990 0,3606 3.487.099 2.389.045 1.098.054
10 9.670.000 6.575.950 3.094.050 0,3220 3.113.481 2.117.280 996.201
Total 101.530.000 79.745.690 21.784.310 59.467.657 50.778.976 8.688.681
NPV 8.688.681
Keterangan : NPV = ∑ PV Net Benefit

92
92
93

Lampiran 4 Perhitungan gross B/C usaha budidaya ulat sutera


pada skala usaha I
Tahun Discount Factor (12%)
PV Inflow (Rp) PV Outflow (Rp)
0 4.830.000 13.329.010
1 8.633.929 5.871.384
2 7.708.865 5.242.307
3 6.882.915 4.715.551
4 6.145.460 4.279.547
5 5.487.018 3.731.371
6 4.899.123 3.409.126
7 4.374.217 2.974.626
8 3.905.551 2.719.729
9 3.487.099 2.389.045
10 3.113.481 2.117.280
Total 59.467.657 50.778.976
Gross BCR 13.329.010

Rp 59.467.657
Perhitungan Gross B/C =
Rp 50.778.976
= 1,171

93
Lampiran 5 Perhitungan IRR usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha I
Nilai Net Present Value pada discount factor 33%
Tahun Total Inflow Total Outflow Net Benefit Discount Factor PV Inflow PV Outflow PV Net Benefit
(Rp) (Rp) (Rp) 33% (Rp) (Rp) (Rp)
0 4.830.000 13.329.010 -8.499.010 1,0000 4.830.000 13.329.010 -8.499.010
1 9.670.000 6.575.950 3.094.050 0,7519 7.270.677 4.944.323 2.326.353
2 9.670.000 6.575.950 3.094.050 0,5653 5.466.674 3.717.536 1.749.138
3 9.670.000 6.625.010 3.044.990 0,4251 4.110.281 2.815.993 1.294.288
4 9.670.000 6.733.950 2.936.050 0,3196 3.090.437 2.152.104 938.333
5 9.670.000 6.575.950 3.094.050 0,2403 2.323.637 1.580.157 743.480
6 9.670.000 6.729.010 2.940.990 0,1807 1.747.095 1.215.742 531.354
7 9.670.000 6.575.950 3.094.050 0,1358 1.313.606 893.299 420.306
8 9.670.000 6.733.950 2.936.050 0,1021 987.673 687.791 299.882
9 9.670.000 6.625.010 3.044.990 0,0768 742.612 508.770 233.841
10 9.670.000 6.575.950 3.094.050 0,0577 558.355 379.701 178.653
Total 32.441.047 32.224.429 216.618
NPV 216.618
Keterangan : NPV = ∑ PV Net Benefit

94
94
Nilai Net Present Value pada discount factor 34%
Tahun Total Inflow Total Outflow Net Benefit Discount Factor PV Inflow PV Outflow PV Net Benefit
(Rp) (Rp) (Rp) 34% (Rp) (Rp) (Rp)
0 4.830.000 13.329.010 -8.499.010 1,0000 4.830.000 13.329.010 -8.499.010
1 9.670.000 6.575.950 3.094.050 0,7463 7.216.418 4.907.425 2.308.993
2 9.670.000 6.575.950 3.094.050 0,5569 5.385.387 3.662.258 1.723.129
3 9.670.000 6.625.010 3.044.990 0,4156 4.018.945 2.753.418 1.265.527
4 9.670.000 6.733.950 2.936.050 0,3102 2.999.213 2.088.578 910.635
5 9.670.000 6.575.950 3.094.050 0,2315 2.238.219 1.522.070 716.149
6 9.670.000 6.729.010 2.940.990 0,1727 1.670.312 1.162.311 508.001
7 9.670.000 6.575.950 3.094.050 0,1289 1.246.502 847.666 398.835
8 9.670.000 6.733.950 2.936.050 0,0962 930.225 647.786 282.439
9 9.670.000 6.625.010 3.044.990 0,0718 694198 475.602 218.596
10 9.670.000 6.575.950 3.094.050 0,0536 518.058 352.298 165.760
Total 31.747.476 31.748.422 -946
NPV -946
Keterangan : NPV = ∑ PV Net Benefit

x (34 % − 33 % )
Rp 216.618
Perhitungan IRR = 33 % +
Rp 216.618 − (− Rp 946)
= 33,996%

95
95
96

Lampiran 6 Perhitungan Pay Back Period (PBP) usaha budidaya ulat sutera
pada skala usaha I
Tahun Biaya investasi Net Benefit Pengembalian modal
(Rp) (Rp) (Rp)
0 -8.589.010 -8.589.010 -8.589.010
1 3.094.050 -5.494.960
2 3.094.050 -2.400.910
3 3.044.990 644.080
4 2.936.050 3.580.130
5 3.094.050 6.674.180
6 2.940.990 9.615.170
7 3.094.050 12.709.220
8 2.936.050 15.645.270
9 3.044.990 18.690.260
10 3.094.050 21.784.310
PBP 2,747

Rp 2.400.910
Perhitungan PBP = 2 tahun + x 1 tahun
Rp 3.094.050
= 2,747 tahun

96
Lampiran 7 Aliran kas usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha II
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Inflow
Penjualan kokon 8.234.000 16.468.000 16.468.000 16.468.000 16.468.000 16.468.000 16.468.000 16.468.000 16.468.000 16.468.000 16.468.000
Penjualan stek murbei - 220.000 220.000 220.000 220.000 220.000 220.000 220.000 220.000 220.000 220.000
Total Inflow 8.234.000 16.688.000 16.688.000 16.688.000 16.688.000 16.688.000 16.688.000 16.688.000 16.688.000 16.688.000 16.688.000
Outflow
1. Biaya Investasi
a. kebun murbei 3.516.995 - - - - - - - - - -
b. rumah ulat 12.778.235 - - - - - - - - - -
c. peralatan 4.426.360 - - 53.460 288.000 25.000 171.460 - 288.000 53.460 25.000
Total Biaya Investasi 20.721.590 0 0 53.460 288.000 25.000 171.460 0 288.000 53.460 25.000
2. Biaya Operasional
a. Biaya Tetap
sewa lahan 352.449 352.449 352.449 352.449 352.449 352.449 352.449 352.449 352.449 352.449 352.449
perlengkapan 216.500 216.500 216.500 216.500 216.500 216.500 216.500 216.500 216.500 216.500 216.500
upah tenaga kerja tetap 2.340.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000
komunikasi 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
listrik 150.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000
b. Biaya Variabel
bibit ulat&daun murbei 1.322.500 2.645.000 2.645.000 2.645.000 2.645.000 2.645.000 2.645.000 2.645.000 2.645.000 2.645.000 2.645.000
BBM dan desinfektan 235.925 390.250 390.250 390.250 390.250 390.250 390.250 390.250 390.250 390.250 390.250
pupuk 911.073 1.279.000 1.279.000 1.279.000 1.279.000 1.279.000 1.279.000 1.279.000 1.279.000 1.279.000 1.279.000
tenaga kerja borongan 1.198.200 1.646.400 1.646.400 1.646.400 1.646.400 1.646.400 1.646.400 1.646.400 1.646.400 1.646.400 1.646.400
transportasi 150.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000

97
97
Lampiran 7 Aliran kas usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha II (Lanjutan)
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Total Biaya Operasional 6.956.647 11.889.599 11.889.599 11.889.599 11.889.599 11.889.599 11.889.599 11.889.599 11.889.599 11.889.599 11.889.599
Total Outflow 27.678.237 11.889.599 11.889.599 11.943.059 12.177.599 11.914.599 12.061.059 11.889.599 12.177.599 11.943.059 11.914.599
Net Benefit -19.444.237 4.798.401 4.798.401 4.744.941 4.510.401 4.773.401 4.626.941 4.798.401 4.510.401 4.744.941 4.773.401
Discount Factor (12%) 1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220
PV Inflow 8.234.000 14.900.000 13.303.571 11.878.189 10.605.526 9.469.219 8.454.660 7.548.804 6.740.003 6.017.860 5.373.089
PV Outflow 27.678.237 10.615.713 9.478.316 8.500.833 7.739.084 6.760.663 6.110.508 5.378.251 4.918.328 4.306.787 3.836.182
PV Net Benefit -19.444.237 4.284.287 3.825.256 3.377.355 2.866.441 2.708.556 2.344.152 2.170.553 1.821.675 1.711.073 1.536.907
NPV 7.202.019
IRR 20,545
Gross B/C 1,0756
Pay Back Period 4,1313

98
98
Lampiran 8 Perhitungan NPV usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha II
Tahun Total Inflow Total Outflow Net Benefit Discount Factor PV Inflow PV Outflow PV Net Benefit
(Rp) (Rp) (Rp) 12% (Rp) (Rp) (Rp)
0 8.234.000 27.678.237 -19.444.237 1,0000 8.234.000 27.678.237 -19.444.237
1 16.688.000 11.889.599 4.798.401 0,8929 14.900.000 10.615.713 4.284.287
2 16.688.000 11.889.599 4.798.401 0,7972 13.303.571 9.478.316 3.825.256
3 16.688.000 11.943.059 4.744.941 0,7118 11.878.189 8.500.833 3.377.355
4 16.688.000 12.177.599 4.510.401 0,6355 10.605.526 7.739.084 2.866.441
5 16.688.000 11.914.599 4.773.401 0,5674 9.469.219 6.760.663 2.708.556
6 16.688.000 12.061.059 4.626.941 0,5066 8.454.660 6.110.508 2.344.152
7 16.688.000 11.889.599 4.798.401 0,4523 7.548.804 5.378.251 2.170.553
8 16.688.000 12.177.599 4.510.401 0,4039 6.740.003 4.918.328 1.821.675
9 16.688.000 11.943.059 4.744.941 0,3606 6.017.860 4.306.787 1.711.073
10 16.688.000 11.914.599 4.773.401 0,3220 5.373.089 3.836.182 1.536.907
Total 175.114.000 147.478.607 27.635.393 102.524.922 95.322.903 7.202.019
NPV 7.202.019
Keterangan : NPV = ∑ PV Net Benefit

99
99
100

Lampiran 9 Perhitungan gross B/C usaha budi daya ulat sutera


pada skala usaha II
Tahun Discount Factor (12%)
PV Inflow (Rp) PV Outflow (Rp)
0 8.234.000 27.678.237
1 14.900.000 10.615.713
2 13.303.571 9.478.316
3 11.878.189 8.500.833
4 10.605.526 7.739.084
5 9.469.219 6.760.663
6 8.454.660 6.110.508
7 7.548.804 5.378.251
8 6.740.003 4.918.328
9 6.017.860 4.306.787
10 5.373.089 3.836.182
Total 102.524.922 95.322.903
Gross B/C 1,0756

Rp 102.524.922
Perhitungan Gross B/C =
Rp 95.322.903
= 1,0756

100
Lampiran 10 Perhitungan gross B/ C usaha budi Lampiran 10 Perhitungan IRR usaha budidaya ulat sutera
pada skala usaha II
Nilai Net Present Value pada discount factor 20%
Tahun Total Inflow Total Outflow Net Benefit Discount Factor PV Inflow PV Outflow PV Net Benefit
(Rp) (Rp) (Rp) 20% (Rp) (Rp) (Rp)
0 8.234.000 27.678.237 -19.444.237 1,0000 8.234.000 27.678.237 -19.444.237)

1 16.688.000 11.889.599 4.798.401 0,8333 13.906.667 9.907.999 3.998.668

2 16.688.000 11.889.599 4.798.401 0,6944 11.588.889 8.256.666 3.332.223


3 16.688.000 11.943.059 4.744.941 0,5787 9.657.407 6.911.492 2.745.915
4 16.688.000 12.177.599 4.510.401 0,4823 8.047.840 5.872.685 2.175.155
5 16.688.000 11.914.599 4.773.401 0,4019 6.706.533 4.788.210 1.918.323
6 16.688.000 12.061.059 4.626.941 0,3349 5.588.777 4.039.224 1.549.553
7 16.688.000 11.889.599 4.798.401 0,2791 4.657.315 3.318.169 1.339.146
8 16.688.000 12.177.599 4.510.401 0,2326 3.881.095 2.832.120 1.048.975
9 16.688.000 11.943.059 4.744.941 0,1938 3.234.246 2.314.645 919.601
10 16.688.000 11.914.599 4.773.401 0,1615 2.695.205 1.924.274 770.931
Total 78.197.974 77.843.722 354.252
NPV 354.252
Keterangan : NPV = ∑ PV Net Benefit

Nilai Net Present Value pada discount factor 21%

101
101
Tahun Total Inflow Total Outflow Net Benefit Discount Factor PV Inflow PV Outflow PV Net Benefit
(Rp) (Rp) (Rp) 20% (Rp) (Rp) (Rp)
0 8.234.000 27.678.237 -19.444.237 1,0000 8.234.000 27.678.237 -19.444.237
1 16.688.000 11.889.599 4.798.401 0,8264 13.791.736 9.826.115 3.965.621
2 16.688.000 11.889.599 4.798.401 0,6830 11.398.129 8.120.756 3.277.372
3 16.688.000 11.943.059 4.744.941 0,5645 9.419.941 6.741.545 2.678.395
4 16.688.000 12.177.599 4.510.401 0,4665 7.785.075 5.680.940 2.104.135
5 16.688.000 11.914.599 4.773.401 0,3855 6.433.946 4.593.594 1.840.353
6 16.688.000 12.061.059 4.626.941 0,3186 5.317.311 3.843.025 1.474.286
7 16.688.000 11.889.599 4.798.401 0,2633 4.394.472 3.130.903 1.263.569
8 16.688.000 12.177.599 4.510.401 0,2176 3.631.795 2.650.200 981.595
9 16.688.000 11.943.059 4.744.941 0,1799 3.001.483 2.148.064 853.419
10 16.688.000 11.914.599 4.773.401 0,1486 2.480.565 1.771.029 709.536
Total 75.888.453 76.184.409 -295.956
NPV -295.956
Keterangan : NPV = ∑ PV Net Benefit

x (21 % − 20 % )
Rp 354.252
Perhitungan IRR = 20 % +
Rp 354.252 − (− Rp 295.956)
= 20,545%

102
102
103

Lampiran 11 Perhitungan Pay Back Period (PBP) usaha budidaya ulat sutera
pada skala usaha II
Tahun Biaya investasi Net benefit Pengembalian modal
(Rp) (Rp) (Rp)
0 -19.444.237 -19.444.237 -19.444.237
1 4.798.401 -14.645.836
2 4.798.401 -9.847.435
3 4.744.941 -5.102.494
4 4.510.401 -592.093
5 4.773.401 4.181.308
6 4.626.941 8.808.249
7 4.798.401 13.606.650
8 4.510.401 18.117.051
9 4.744.941 22.861.992
10 4.773.401 27.635.393
PBP 4,1313

Rp 592.093
Perhitungan PBP = 4 tahun + x 1 tahun
Rp 4.510.401
= 4,1313 tahun

103
Lampiran 12 Aliran kas usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha III
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Inflow
Penjualan kokon 4.830.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000
Penjualan stek murbei - 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000
Penjualan daun murbei - 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200
Total Inflow 4.830.000 9.920.200 9.920.200 9.920.200 9.920.200 9.920.200 9.920.200 9.920.200 9.920.200 9.920.200 9.920.200
Outflow
1. Biaya Investasi
a. kebun murbei 4.827.500 - - - - - - - - - -
b. rumah ulat 11.262.750 - - - - - - - - - -
c. peralatan 4.280.460 - - 63.060 228.000 - 209.060 - 228.000 63.060 -
Total Biaya Investasi 20.370.710 0 0 63.060 228.000 0 209.060 0 228.000 63.060 0
2. Biaya Operasional
a. Biaya Tetap
sewa lahan 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980
perlengkapan 200.500 200.500 200.500 200.500 200.500 200.500 200.500 200.500 200.500 200.500 200.500
upah tenaga kerja tetap 2.340.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000
komunikasi 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000
listrik 150.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000
b. Biaya Variabel
bibit ulat 780.000 1.560.000 1.560.000 1.560.000 1.560.000 1.560.000 1.560.000 1.560.000 1.560.000 1.560.000 1.560.000
BBM dan desinfektan 283.500 351.000 351.000 351.000 351.000 351.000 351.000 351.000 351.000 351.000 351.000
pupuk 1.045.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000
tenaga kerja borongan 1.920.006 2.010.012 2.010.012 2.010.012 2.010.012 2.010.012 2.010.012 2.010.012 2.010.012 2.010.012 2.010.012
300.000
transportasi 150.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000

104
104
Lampiran 12 Aliran kas usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha III (Lanjutan)
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Total Biaya Operasional 7.129.986 11.192.492 11.192.492 11.192.492 11.192.492 11.192.492 11.192.492 11.192.492 11.192.492 11.192.492 11.192.492
Total Outflow 27.500.696 11.192.492 11.192.492 11.255.552 11.420.492 11.192.492 11.401.552 11.192.492 -11.420.492 11.255.552 11.192.492
Net Benefit -22.670.696 -1.272.292 -1.272.292 -1.335.352 -1.500.292 -1.272.292 -1.481.352 -1.272.292 -1.500.292 -1.335.352 -1.272.292
Discount Factor (12%) 1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220
PV Inflow 4.830.000 8.857.321 7.908.323 7.061.002 6.304.466 5.628.988 5.025.882 4.487.395 4.006.602 3.577.324 3.194.039
PV Outflow 27.500.696 9.993.296 8.922.586 8.011.480 7.257.929 6.350.921 5.776.381 5.062.915 4.612.545 4.058.865 3.603.683
PV Net Benefit -22.670.696 -1.135.975 -1.014.263 -950.477 -953.463 -721.933 -750.499 -575.520 -605.943 -481.541 -409.644
NPV -30.269.954
IRR -
Gross B/C 0,6679
Payback Periode -

105
105
Lampiran 13 Aliran kas usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha III dalam skenario pengembangan
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Inflow
Penjualan kokon 9.660.000 19.320.000 19.320.000 19.320.000 19.320.000 19.320.000 19.320.000 19.320.000 19.320.000 19.320.000 19.320.000
Penjualan stek murbei - 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000
Penjualan daun murbei - 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200
Total Inflow 9.660.000 19.580.200 19.580.200 19.580.200 19.580.200 19.580.200 19.580.200 19.580.200 19.580.200 19.580.200 19.580.200
Outflow
1. Biaya Investasi
a. kebun murbei 4.962.500 - - - - - - - - - -
b. rumah ulat 11.262.750 - - - - - - - - - -
c. peralatan 5.152.460 - - 63.060 228.000 - 209.060 - 228.000 63.060 -
Total Biaya Investasi 21.377.710 0 0 63.060 228.000 0 209.060 0 228.000 63.060 0
2. Biaya Operasional
a. Biaya Tetap
sewa lahan 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980
perlengkapan 218.500 218.500 218.500 218.500 218.500 218.500 218.500 218.500 218.500 218.500 218.500
upah tenaga kerja tetap 2.340.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000
komunikasi 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000
listrik 150.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000
b. Biaya Variabel
bibit ulat 1.560.000 3.120.000 3.120.000 3.120.000 3.120.000 3.120.000 3.120.000 3.120.000 3.120.000 3.120.000 3.120.000
BBM dan desinfektan 337.500 459.000 459.000 459.000 459.000 459.000 459.000 459.000 459.000 459.000 459.000
pupuk 1.045.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000
tenaga kerja borongan 2.129.994 2.550.024 2.550.024 2.550.024 2.550.024 2.550.024 2.550.024 2.550.024 2.550.024 2.550.024 2.550.024
600.000
transportasi 300.000 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000

106
106
Lampiran 13 Aliran kas usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha III dalam skenario pengembangan (Lanjutan)
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Total Biaya Operasional 8.341.974 13.718.504 13.718.504 13.718.504 13.718.504 13.718.504 13.718.504 13.718.504 13.718.504 13.718.504 13.718.504
Total Outflow 29.719.684 13.718.504 13.718.504 13.781.564 13.946.504 13.718.504 13.927.564 13.718.504 13.946.504 13.781.564 13.718.504
Net Benefit -20.059.684 5.861.696 5.861.696 5.798.636 5.633.696 5.861.696 5.652.636 5.861.696 5.633.696 5.798.636 5.861.696
Discount Factor (12%) 1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220
PV Inflow 9.660.000 17.482.321 15.609.216 13.936.800 12.443.571 11.110.331 9.919.939 8.857.088 7.908.114 7.060.816 6.304.300
PV Outflow 29.719.684 12.248.664 10.936.307 9.809.445 8.863.255 7.784.248 7.056.137 6.205.555 5.632.759 4.969.770 4.416.991
PV Net Benefit -20.059.684 5.233.657 4.672.908 4.127.355 3.580.316 3.326.084 2.863.801 2.651.534 2.275.355 2.091.046 1.887.309
NPV 12.649.681
IRR 26,0551
Gross B/C 1,1175
Pay Back Period 3,4376

107
107
Lampiran 14 Perhitungan NPV usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha III dalam skenario pengembangan
Tahun Total Inflow Total Outflow Net Benefit Discount Factor PV Inflow PV Outflow PV Net Benefit
(Rp) (Rp) (Rp) 12% (Rp) (Rp) (Rp)
0 9.660.000 29.719.684 -20.059.684 1,0000 9.660.000 29.719.684 -20.059.684
1 19.580.200 13.718.504 5.861.696 0,8929 17.482.321 12.248.664 5.233.657
2 19.580.200 13.718.504 5.861.696 0,7972 15.609.216 10.936.307 4.672.908
3 19.580.200 13.781.564 5.798.636 0,7118 13.936.800 9.809.445 4.127.355
4 19.580.200 13.946.504 5.633.696 0,6355 12.443.571 8.863.255 3.580.316
5 19.580.200 13.718.504 5.861.696 0,5674 11.110.331 7.784248 3.326.084
6 19.580.200 13.927.564 5.652.636 0,5066 9.919.939 7.056.137 2.863.801
7 19.580.200 13.718.504 5.861.696 0,4523 8.857.088 6.205.555 2.651.534
8 19.580.200 13.946.504 5.633.696 0,4039 7.908.114 5.632.759 2.275.355
9 19.580.200 13.781.564 5.798.636 0,3606 7.060.816 4.969.770 2.091.046
10 19.580.200 13.718.504 5.861.696 0,3220 6.304.300 4.416.991 1.887.309
Total 205.462.000 167.695.904 37.766.096 120.292.497 107.642.816 12.649.681
NPV 12.649.681
Keterangan : NPV = ∑ PV Net Benefit

108
108
109

Lampiran 15 Perhitungan gross B/C usaha budidaya ulat sutera


pada skala usaha III dalam skenario pengembangan
Tahun Discount Factor (12%)
PV Inflow (Rp) PV Outflow (Rp)
0 9.660.000 29.719.684
1 17.482.321 12.248.664
2 15.609.216 10.936.307
3 13.936.800 9.809.445
4 12.443.571 8.863.255
5 11.110.331 7.784248
6 9.919.939 7.056.137
7 8.857.088 6.205.555
8 7.908.114 5.632.759
9 7.060.816 4.969.770
10 6.304.300 4.416.991
Total 120.292.497 107.642.816
Gross B/C 1,1175

Rp 120.292.497
Perhitungan Gross B/C =
Rp 107.642.816
= 1,1175

109
Lampiran 16 Perhitungan IRR usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha III dalam skenario pengembangan
Nilai Net Present Value pada discount factor 26%
Tahun Total Inflow Total Outflow Net Benefit Discount Factor PV Inflow PV Outflow PV Net Benefit
(Rp) (Rp) (Rp) 26% (Rp) (Rp) (Rp)
0 9.660.000 29.719.684 -20.059.684 1,0000 9.660.000 29.719.684 -20.059.684
1 19.580.200 13.718.504 5.861.696 0,7937 15.539.841 10.887.702 4.652.140
2 19.580.200 13.718.504 5.861.696 0,6299 12.333.207 8.641.033 3.692.174
3 19.580.200 13.781.564 5.798.636 0,4999 9.788.260 6.889.487 2.898.773
4 19.580.200 13.946.504 5.633.696 0,3968 7.768.460 5.533.287 2.235.173
5 19.580.200 13.718.504 5.861.696 0,3149 6.165.445 4.319.704 1.845.740
6 19.580.200 13.927.564 5.652.636 0,2499 4.893.210 3.480.582 1.412.628
7 19.580.200 13.718.504 5.861.696 0,1983 3.883.500 2.720.902 1.162.598
8 19.580.200 13.946.504 5.633.696 0,1574 3.082.143 2.195.336 886.807
9 19.580.200 13.781.564 5.798.636 0,1249 2.446.145 1.721.724 724.421
10 19.580.200 13.718.504 5.861.696 0,0992 1.941.385 1.360.195 581.190
Total 77.501.596 77.469.637 31.960
NPV 31.960
Keterangan : NPV = ∑ PV Net Benefit

110
110
Nilai Net Present Value pada discount factor 27%
Tahun Total Inflow Total Outflow Net Benefit Discount Factor PV Inflow PV Outflow PV Net Benefit
(Rp) (Rp) (Rp) 27% (Rp) (Rp) (Rp)
0 9.660.000 29.719.684 -20.059.684 1,0000 9.660.000 29.719.684 -20.059.684
1 19.580.200 13.718.504 5.861.696 0,7874 15.417.480 10.801.972 4.615.509
2 19.580.200 13.718.504 5.861.696 0,6200 12.139.748 8.505.489 3.634.259
3 19.580.200 13.781.564 5.798.636 0,4882 9.558.857 6.728.021 2.830.836
4 19.580.200 13.946.504 5.633.696 0,3844 7.526.659 5.361.058 2.165.601
5 19.580.200 13.718.504 5.861.696 0,3027 5.926.503 4.152.295 1.774.209
6 19.580.200 13.927.564 5.652.636 0,2383 4.666.538 3.319.348 1.347.190
7 19.580.200 13.718.504 5.861.696 0,1877 3.674.439 2.574.428 1.100.012
8 19.580.200 13.946.504 5.633.696 0,1478 2.893.259 2.060.799 832.461
9 19.580.200 13.781.564 5.798.636 0,1164 2.278.157 1.603.485 674.671
10 19.580.200 13.718.504 5.861.696 0,0916 1.793.824 1.256.810 537.015
Total 75.535.465 76.083.388 -547.923
NPV -547.923
Keterangan : NPV = ∑ PV Net Benefit

x (27 % − 26 % )
Rp 31.960
Perhitungan IRR = 26 % +
Rp 31.960 − (− Rp 547.923)
= 26,0551%

111
111
112

Lampiran 17 Perhitungan Pay Back Period (PBP) usaha budidaya ulat sutera
pada skala usaha III dalam skenario pengembangan
Tahun Biaya investasi Net Benefit Pengembalian modal
(Rp) (Rp) (Rp)
0 -20.059.684 -20.059.684 -20.059.684
1 5.861.696 -14.197.988
2 5.861.696 -8.336.292
3 5.798.636 -2.537.656
4 5.633.696 3.096.040
5 5.861.696 8.957.736
6 5.652.636 14.610.372
7 5.861.696 20.472.068
8 5.633.696 26.105.764
9 5.798.636 31.904.400
10 5.861.696 37.766.096
PBP 3,4376

Rp 2.537.656
Perhitungan PBP = 3 tahun + x 1 tahun
Rp 5.798.636
= 3,4376 tahun

112
Lampiran 18 Analisis sensitivitas penurunan harga jual kokon pada skala usaha I sebesar 10%
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Inflow
Penjualan kokon 4.347.000 8.694.000 8.694.000 8.694.000 8.694.000 8.694.000 8.694.000 8.694.000 8.694.000 8.694.000 8.694.000
Penjualan stek murbei - 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000
Total Inflow 4.347.000 8.704.000 8.704.000 8.704.000 8.704.000 8.704.000 8.704.000 8.704.000 8.704.000 8.704.000 8.704.000
Outflow
1. Biaya Investasi
a. kebun murbei 2.771.250 - - - - - - - - - -
b. rumah ulat 4.196.750 - - - - - - - - - -
c. peralatan 2.829.560 - - 49.060 158.000 - 153.060 - 158.000 49.060 -
Total Biaya Investasi 9.797.560 0 0 49.060 158.000 0 153.060 0 158.000 49.060 0
2. Biaya Operasional
a. Biaya Tetap
sewa lahan 100.450 100.450 100.450 100.450 100.450 100.450 100.450 100.450 100.450 100.450 100.450
perlengkapan 118.500 118.500 118.500 118.500 118.500 118.500 118.500 118.500 118.500 118.500 118.500
upah tenaga kerja tetap 1.170.000 2.340.000 2.340.000 2.340.000 2.340.000 2.340.000 2.340.000 2.340.000 2.340.000 2.340.000 2.340.000
komunikasi 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000
b. Biaya Variabel
bibit ulat&daun murbei 889.500 1.779.000 1.779.000 1.779.000 1.779.000 1.779.000 1.779.000 1.779.000 1.779.000 1.779.000 1.779.000
BBM dan desinfektan 68.000 135.500 135.500 135.500 135.500 135.500 135.500 135.500 135.500 135.500 135.500
pupuk 120.000 752.500 752.500 752.500 752.500 752.500 752.500 752.500 752.500 752.500 752.500
tenaga kerja borongan 945.000 990.000 990.000 990.000 990.000 990.000 990.000 990.000 990.000 990.000 990.000
transportasi 150.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000

Total Biaya Operasional 3.561.450 6.575.950 6.575.950 6.575.950 6.575.950 6.575.950 6.575.950 6.575.950 6.575.950 6.575.950 6.575.950
6.575.950
Total Outflow 13.359.010 6.575.950 6.575.950 6.625.010 6.733.950 6.575.950 6.729.010 6.575.950 6.733.950 6.625.010

113
113
Lampiran 18 Analisis sensitivitas penurunan harga jual kokon pada skala usaha I sebesar 10% (Lanjutan)
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Net Benefit -9.072.010 2.128.050 2128.050 2.078.990 1.970.050 2.128.050 1.974.990 2.128.050 1.970.050 2.078.990 2.128.050
Discount Factor (12%) 1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220
PV Inflow 4.347.000 7.771.429 6.938.776 6.195.335 5.531.549 4.938.883 4.409.717 3.937.248 3.515.400 3.138.750 2.802.455
PV Outflow 13.419.010 5.871.384 5.242.307 4.715.551 4.279.547 3.731.371 3.409.126 2.974.626 2.719.729 2.389.045 2.117.280
PV Net Benefit -9.072.010 1.900.045 1.696.468 1.479.784 1.252.002 1.207.513 1.000.591 962.622 795.670 749.705 685.175
NPV (Rp) 2.657.565
IRR (%) 31,4608
Gross B/C 1,0522
Pay Back Period (tahun) 4,3893

114
114
Lampiran 19 Analisis sensitivitas peningkatan biaya operasional pada skala usaha I sebesar 10%
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Inflow
Penjualan kokon 4.830.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000
Penjualan stek murbei - 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000
Total Inflow 4.830.000 9.670.000 9.670.000 9.670.000 9.670.000 9.670.000 9.670.000 9.670.000 9.670.000 9.670.000 9.670.000
Outflow
1. Biaya Investasi
a. kebun murbei 2.771.250 - - - - - - - - - -
b. rumah ulat 4.196.750 - - - - - - - - - -
c. peralatan 2.829.560 - - 49.060 158.000 - 153.060 - 158.000 49.060 -
Total Biaya Investasi 9.797.560 0 0 49.060 158.000 0 153.060 0 158.000 49.060 0
2. Biaya Operasional
a. Biaya Tetap
sewa lahan 110.495 110.495 110.495 110.495 110.495 110.495 110.495 110.495 110.495 110.495 110.495
perlengkapan 130.350 130.350 130.350 130.350 130.350 130.350 130.350 130.350 130.350 130.350 130.350
upah tenaga kerja tetap 1.287.000 2.574.000 2.574.000 2.574.000 2.574.000 2.574.000 2.574.000 2.574.000 2.574.000 2.574.000 2.574.000
komunikasi 66.000 66.000 66.000 66.000 66.000 66.000 66.000 66.000 66.000 66.000 66.000
b. Biaya Variabel
bibit ulat&daun murbei 978.450 1.956.900 1.956.900 1.956.900 1.956.900 1.956.900 1.956.900 1.956.900 1.956.900 1.956.900 1.956.900
BBM dan desinfektan 74.800 149.050 149.050 149.050 149.050 149.050 149.050 149.050 149.050 149.050 149.050
pupuk 132.000 827.750 827.750 827.750 827.750 827.750 827.750 827.750 827.750 827.750 827.750
tenaga kerja borongan 940.500 1.089.000 1.089.000 1.089.000 1.089.000 1.089.000 1.089.000 1.089.000 1.089.000 1.089.000 1.089.000
transportasi 165.000 330.000 330.000 330.000 330.000 330.000 330.000 330.000 330.000 330.000 330.000
Total Biaya Operasional 3.884.595 7.233.545 7.233.545 7.233.545 7.233.545 7.233.545 7.233.545 7.233.545 7.233.545 7.233.545 7.233.545
7.233.545
Total Outflow 13.682.155 7.233.545 7.233.545 7.282.605 7.391.545 7.233.545 7.386.605 7.233.545 7.391.545 7.282.605

115
115
Lampiran 19 Analisis sensitivitas peningkatan biaya operasional pada skala usaha I sebesar 10% (Lanjutan)
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Net Benefit -8.852.155 2.436.455 2.436.455 2.387.395 2.278.455 2.436.455 2.283.395 2.436.455 2.278.455 2.387.395 2.436.455
Discount Factor (12%) 1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220
PV Inflow 4.830.000 8.633.929 7.708.865 6.882.915 6.145.460 5.487.018 4.899.123 4.374.217 3.905.551 3.487.099 3.113.481
PV Outflow 13.682.155 6.458.522 5.766.538 5.183.614 4.697.460 4.104.508 3.742.284 3.272.088 2.985.321 2.626.180 2.329.008
PV Net Benefit -8.852.155 2.175.406 1.942.327 1.699.301 1.447.999 1.382.510 1.156.839 1.102.129 920.230 860.919 784.473
NPV (Rp) 4.619.977
IRR (%) 20,6920
Gross B/C 1,0842
Pay Back Period (tahun) 5,4150

116
116
Lampiran 20 Analisis sensitivitas penurunan harga jual kokon pada skala usaha II sebesar 10%
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Inflow
Penjualan kokon 7.410.600 14.821.200 14.821.200 14.821.200 14.821.200 14.821.200 14.821.200 14.821.200 14.821.200 14.821.200 14.821.200
Penjualan stek murbei - 220.000 220.000 220.000 220.000 220.000 220.000 220.000 220.000 220.000 220.000
Total Inflow 7.410.600 15.041.200 15.041.200 15.041.200 15.041.200 15.041.200 15.041.200 15.041.200 15.041.200 15.041.200 15.041.200
Outflow
1. Biaya Investasi
a. kebun murbei 3.516.995 - - - - - - - - - -
b. rumah ulat 12.778.235 - - - - - - - - - -
c. peralatan 4.426.360 - - 53.460 288.000 25.000 171.460 - 288.000 53.460 25.000
Total Biaya Investasi 20.721.590 0 0 53.460 288.000 25.000 171.460 0 288.000 53.460 25.000
2. Biaya Operasional
a. Biaya Tetap
sewa lahan 352.449 352.449 352.449 352.449 352.449 352.449 352.449 352.449 352.449 352.449 352.449
perlengkapan 216.500 216.500 216.500 216.500 216.500 216.500 216.500 216.500 216.500 216.500 216.500
upah tenaga kerja tetap 2.340.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000
komunikasi 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
listrik 150.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000
b. Biaya Variabel
bibit ulat&daun murbei 1.322.500 2.645.000 2.645.000 2.645.000 2.645.000 2.645.000 2.645.000 2.645.000 2.645.000 2.645.000 2.645.000
BBM dan desinfektan 235.925 390.250 390.250 390.250 390.250 390.250 390.250 390.250 390.250 390.250 390.250
pupuk 911.073 1.279.000 1.279.000 1.279.000 1.279.000 1.279.000 1.279.000 1.279.000 1.279.000 1.279.000 1.279.000
tenaga kerja borongan 1.198.200 1.646.400 1.646.400 1.646.400 1.646.400 1.646.400 1.646.400 1.646.400 1.646.400 1.646.400 1.646.400
transportasi 150.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000
11.889.599
Total Biaya Operasional 6.956.647 11.889.599 11.889.599 11.889.599 11.889.599 11.889.599 11.889.599 11.889.599 11.889.599 11.889.599

117
117
Lampiran 20 Analisis sensitivitas penurunan harga jual kokon pada skala usaha II sebesar 10% (Lanjutan)
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Total Outflow 27.678.237 11.889.599 11.889.599 11.943.059 12.177.599 11.914.599 12.061.059 11.889.599 12.177.599 11.943.059 11.914.599
-
Net Benefit 20.267.637 3.151.601 3.151.601 3.098.141 2.863.601 3.126.601 2.980.141 3.151.601 2.863.601 3.098.141 3.126.601
Discount Factor (12%) 1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3.606 0,3220
PV Inflow 7.410.600 13.429.643 11.990.753 10.706.029 9.558.955 8.534.781 7.620.340 6.803.875 6.074.888 5.424.008 4.842.864
PV Outflow 27.678.237 10.615.713 9.478.316 8.500.833 7.739.084 6.760.663 6.110.508 5.378.251 4.918.328 4.306.787 3.836.182
-
PV Net Benefit 20.267.637 2.813.929 2.512.437 2.205.196 1.819.870 1.774.117 1.509.832 1.425.624 1.156.560 1.117.221 1.006.682
NPV (Rp) -2.926.168
IRR (%) 19,2785
Gross B/C 0,9693
Pay Back Period (tahun) 6,6362

118
118
Lampiran 21 Analisis sensitivitas peningkatan biaya operasional pada skala usaha II sebesar 10%
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Inflow
Penjualan kokon 8.234.000 16.468.000 16.468.000 16.468.000 16.468.000 16.468.000 16.468.000 16.468.000 16.468.000 16.468.000 16.468.000
Penjualan stek murbei - 220.000 220.000 220.000 220.000 220.000 220.000 220.000 220.000 220.000 220.000
Total Inflow 8.234.000 16.688.000 16.688.000 16.688.000 16.688.000 16.688.000 16.688.000 16.688.000 16.688.000 16.688.000 16.688.000
Outflow
1. Biaya Investasi
a. kebun murbei 3.516.995 - - - - - - - - - -
b. rumah ulat 12.778.235 - - - - - - - - - -
c. peralatan 4.426.360 - - 53.460 288.000 25.000 171.460 - 288.000 53.460 25.000
Total Biaya Investasi 20.721.590 0 0 53.460 288.000 25.000 171.460 0 288.000 53.460 25.000
2. Biaya Operasional
a. Biaya Tetap
sewa lahan 387.694 387.694 387.694 387.694 387.694 387.694 387.694 387.694 387.694 387.694 387.694
perlengkapan 238.150 238.150 238.150 238.150 238.150 238.150 238.150 238.150 238.150 238.150 238.150
upah tenaga kerja tetap 2.574.000 5.148.000 5.148.000 5.148.000 5.148.000 5.148.000 5.148.000 5.148.000 5.148.000 5.148.000 5.148.000
komunikasi 88.000 88.000 88.000 88.000 88.000 88.000 88.000 88.000 88.000 88.000 88.000
listrik 165.000 330.000 330.000 330.000 330.000 330.000 330.000 330.000 330.000 330.000 330.000
b. Biaya Variabel
bibit ulat&daun murbei 1.454.750 2.909.500 2.909.500 2.909.500 2.909.500 2.909.500 2.909.500 2.909.500 2.909.500 2.909.500 2.909.500
BBM dan desinfektan 259.518 429.275 429.275 429.275 429.275 429.275 429.275 429.275 429.275 429.275 429.275
pupuk 1.002.180 1.406.900 1.406.900 1.406.900 1.406.900 1.406.900 1.406.900 1.406.900 1.406.900 1.406.900 1.406.900
tenaga kerja borongan 1.318.020 1.811.040 1.811.040 1.811.040 1.811.040 1.811.040 1.811.040 1.811.040 1.811.040 1.811.040 1.811.040
transportasi 165.000 330.000 330.000 330.000 330.000 330.000 330.000 330.000 330.000 330.000 330.000
13.078.559
Total Biaya Operasional 7.652.312 13.078.559 13.078.559 13.078.559 13.078.559 13.078.559 13.078.559 13.078.559 13.078.559 13.078.559

119
119
Lampiran 21 Analisis sensitivitas peningkatan biaya operasional pada skala usaha II sebesar 10% (Lanjutan)
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Total Outflow 28.373.902 13.078.559 13.078.559 13.132.019 13.366.559 13.103.559 13.250.019 13.078.559 13.366.559 13.132.019 13.103.559
Net Benefit -20.139.902 3.609.441 3.609.441 3.555.981 3.321.441 3.584.441 3.437.981 3.609.441 3.321.441 3.555.981 3.584.441
Discount Factor (12%) 1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220
PV Inflow 8.234.000 14.900.000 13.303.571 11.878.189 10.605.526 9.469.219 8.454.660 7.548.804 6.740.003 6.017.860 5.373.089
PV Outflow 28.373.902 11.677.285 10.426.147 9.347.112 8.494.690 7.435.311 6.712.872 5.916.076 5.398.529 4.735.538 4.218.995
PV Net Benefit -20.139.902 3.222.715 2.877.424 2.531.077 2.110.836 2.033.908 1.741.788 1.632.728 1.341.474 1.282.322 1.154.094
NPV (Rp) -211.534
IRR (%) 11,7308
Gross B/C 0,9979
Pay Back Period (tahun) 5,6331

120
120
Lampiran 22 Analisis sensitivitas peningkatan harga jual kokon pada skala usaha III sebesar 10% pada usaha yang sedang berjalan
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Inflow
penjualan kokon 5.313.000 10.626.000 10.626.000 10.626.000 10.626.000 10.626.000 10.626.000 10.626.000 10.626.000 10.626.000 10.626.000
penjualan stek murbei - 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000
penjualan daun murbei - 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200
Total Inflow 5.313.000 10.886.200 10.886.200 10.886.200 10.886.200 10.886.200 10.886.200 10.886.200 10.886.200 10.886.200 10.886.200
Outflow
1. Biaya Investasi
a. kebun murbei 4.827.500 - - - - - - - - - -
b. rumah ulat 11.262.750 - - - - - - - - - -
c. peralatan 4.280.460 - - 63.060 228.000 - 209.060 - 228.000 63.060 -
Total Biaya Investasi 20.370.710 0 0 63.060 228.000 0 209.060 0 228.000 63.060 0
2. Biaya Operasional
a. Biaya Tetap
sewa lahan 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980
perlengkapan 200.500 200.500 200.500 200.500 200.500 200.500 200.500 200.500 200.500 200.500 200.500
upah tenaga kerja tetap 2.340.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000
komunikasi 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000
listrik 150.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000
b. Biaya Variabel
bibit ulat 780.000 1.560.000 1.560.000 1.560.000 1.560.000 1.560.000 1.560.000 1.560.000 1.560.000 1.560.000 1.560.000
BBM dan desinfektan 283.500 351.000 351.000 351.000 351.000 351.000 351.000 351.000 351.000 351.000 351.000
pupuk 1.045.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000
tenaga kerja borongan 1.920.006 2.010.012 2.010.012 2.010.012 2.010.012 2.010.012 2.010.012 2.010.012 2.010.012 2.010.012 2.010.012
300.000
transportasi 150.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000

121
121
Lampiran 22 Analisis sensitivitas peningkatan harga jual kokon pada skala usaha III sebesar 10%
pada usaha yang sedang berjalan (Lanjutan)
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Total Biaya Operasional 7.129.986 11.192.492 11.192.492 11.192.492 11.192.492 11.192.492 11.192.492 11.192.492 11.192.492 11.192.492 11.192.492
Total Outflow 27.500.696 11.192.492 11.192.492 11.255.552 11.420.492 11.192.492 11.401.552 11.192.492 11.420.492 11.255.552 11.192.492
Net Benefit -22.187.696 -306.292 -306.292 -369.352 -534.292 -306.292 -515.352 -306.292 -534.292 -369.352 -306.292
Discount Factor (12%) 1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220
PV Inflow 5.313.000 9.719.821 8.678.412 7.748.582 6.918.377 6.177.122 5.515.288 4.924.364 4.396.754 3.925.673 3.505.065
PV Outflow 27.500.696 9.993.296 8.922.586 8.011.480 7.257.929 6.350.921 5.776.381 5.062.915 4.612.545 4.058.865 3.603.683
PV Net Benefit -22.187.696 -273.475 -244.174 -262.897 -339.552 -173.798 -261.093 -138.551 -215.792 -133.192 -98.618
NPV (Rp) -24.328.839
IRR (%) -
Gross B/C 0,7331
Pay Back Period (tahun) -

122
122
Lampiran 23 Analisis sensitivitas penurunan biaya operasional pada skala usaha III sebesar 10% pada usaha yang sedang berjalan
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Inflow
Penjualan kokon 4.830.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000 9.660.000
Penjualan stek murbei - 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000
Penjualan daun murbei - 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200
Total Inflow 4.830.000 9.920.200 9.920.200 9.920.200 9.920.200 9.920.200 9.920.200 9.920.200 9.920.200 9.920.200 9.920.200
Outflow
1. Biaya Investasi
a. kebun murbei 4.827.500 - - - - - - - - - -
b. rumah ulat 11.262.750 - - - - - - - - - -
c. peralatan 4.280.460 - - 63060 228000 - 209060 - 228000 63060 -
Total Biaya Investasi 20.370.710 0 0 63060 228000 0 209060 0 228000 63060 0
2. Biaya Operasional
a. Biaya Tetap
sewa lahan 180.882 180.882 180.882 180.882 180.882 180.882 180.882 180.882 180.882 180.882 180.882
perlengkapan 180.450 180.450 180.450 180.450 180.450 180.450 180.450 180.450 180.450 180.450 180.450
upah tenaga kerja tetap 2.106.000 4.212.000 4.212.000 4.212.000 4.212.000 4.212.000 4.212.000 4.212.000 4.212.000 4.212.000 4.212.000
komunikasi 54.000 54.000 54.000 54.000 54.000 54.000 54.000 54.000 54.000 54.000 54.000
listrik 135.000 270.000 270.000 270.000 270.000 270.000 270.000 270.000 270.000 270.000 270.000
b. Biaya Variabel
bibit ulat 702.000 1.404.000 1.404.000 1.404.000 1.404.000 1.404.000 1.404.000 1.404.000 1.404.000 1.404.000 1.404.000
BBM dan desinfektan 255.150 315.900 315.900 315.900 315.900 315.900 315.900 315.900 315.900 315.900 315.900

123
123
Lampiran 23 Analisis sensitivitas penurunan biaya operasional pada skala usaha III sebesar 10%
pada usaha yang sedang berjalan (Lanjutan)
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
pupuk 940.500 1.377.000 1.377.000 1.377.000 1.377.000 1.377.000 1.377.000 1.377.000 1.377.000 1.377.000 1.377.000
tenaga kerja borongan 1.728.005 1.809.011 1.809.011 1.809.011 1.809.011 1.809.011 1.809.011 1.809.011 1.809.011 1.809.011 1.809.011
transportasi 135.000 270.000 270.000 270.000 270.000 270.000 270.000 270.000 270.000 270.000 270.000
Total Biaya Operasional 6.416.987 10.073.243 10.073.243 10.073.243 10.073.243 10.073.243 10.073.243 10.073.243 10.073.243 10.073.243 10.073.243
Total Outflow 26.787.697 10.073.243 10.073.243 10.136.303 10.301.243 10.073.243 10.282.303 10.073.243 10.301.243 10.136.303 10.073.243
Net Benefit -21.957.697 -153.043 -153.043 -216.103 -381.043 -153.043 -362.103 -153.043 -381.043 -216.103 -153.043
Discount Factor (12%) 1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220
PV Inflow 4.830.000 8.857.321 7.908.323 7.061.002 6.304.466 5.628.988 5.025.882 4.487.395 4.006.602 3.577.324 3.194.039
PV Outflow 26.787.697 8.993.967 8.030.327 7.214.820 6.546.626 5.715.828 5.209.335 4.556.623 4.160.499 3.655.252 3.243.315
PV Net Benefit -21.957.697 -136.645 -122.005 -153.818 -242.160 -86.841 -183.453 -69.229 -153.897 -77.929 -49.276
NPV (Rp) -23.232.948
IRR (%) -
Gross B/C 0.724
Pay Back Period (tahun) -

124
124
Lampiran 24 Analisis sensitivitas penurunan harga jual kokon pada skala usaha III sebesar 10% dalam skenario pengembangan
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Inflow
Penjualan kokon 8.694.000 17.388.000 17.388.000 17.388.000 17.388.000 17.388.000 17.388.000 17.388.000 17.388.000 17.388.000 17.388.000
Penjualan stek murbei - 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000
Penjualan daun murbei - 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200
Total Inflow 8.694.000 17.648.200 17.648.200 17.648.200 17.648.200 17.648.200 17.648.200 17.648.200 17.648.200 17.648.200 17.648.200
Outflow
1. Biaya Investasi
a. kebun murbei 4.827.500 - - - - - - - - - -
b. rumah ulat 11.262.750 - - - - - - - - - -
c. peralatan 5.152.460 - - 63.060 228.000 - 209.060 - 228.000 63.060 -
Total Biaya Investasi 21.242.710 0 0 63.060 228.000 0 209.060 0 228.000 63.060 0
2. Biaya Operasional
a. Biaya Tetap
sewa lahan 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980 200.980
perlengkapan 218.500 218.500 218.500 218.500 218.500 218.500 218.500 218.500 218.500 218.500 218.500
upah tenaga kerja tetap 2.340.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000 4.680.000
komunikasi 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000
listrik 150.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000
b. Biaya Variabel
bibit ulat 1.560.000 3.120.000 3.120.000 3.120.000 3.120.000 3.120.000 3.120.000 3.120.000 3.120.000 3.120.000 3.120.000
BBM dan desinfektan 337.500 459.000 459.000 459.000 459.000 459.000 459.000 459.000 459.000 459.000 459.000
pupuk 1.045.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000 1.530.000
tenaga kerja borongan 2.129.994 2.550.024 2.550.024 2.550.024 2.550.024 2.550.024 2.550.024 2.550.024 2.550.024 2.550.024 2.550.024
600.000
transportasi 300.000 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000

125
125
Lampiran 24 Analisis sensitivitas penurunan harga jual kokon pada skala usaha III sebesar 10% (Lanjutan)
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Total Biaya Operasional 8.341.974 13.718.504 13.718.504 13.718.504 13.718.504 13.718.504 13.718.504 13.718.504 13.718.504 13.718.504 13.718.504
Total Outflow 29.584.684 13.718.504 13.718.504 13.781.564 13.946.504 13.718.504 13.927.564 13.718.504 13.946.504 13.781.564 13.718.504
Net Benefit -20.890.684 3.929.696 3.929.696 3.866.636 3.701.696 3.929.696 3.720.636 3.929.696 3.701.696 3.866.636 3.929.696
Discount Factor (12%) 1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220
PV Inflow 8.694.000 15.757.321 14.069.037 12.561.640 11.215.750 10.014.063 8.941.127 7.983.149 7.127.812 6.364.118 5.682.248
PV Outflow 29.548.684 12.248.664 10.936.307 9.809.445 8.863.255 7.784.248 7.056.137 6.205.555 5.632.759 4.969.770 4.416.991
PV Net Benefit -20.890.684 3.508.657 3.132.730 2.752.195 2.352.495 2.229.815 1.884.990 1.777.595 1.495.053 1.394.348 1.265.257
NPV (Rp) 902.450
IRR (%) 13,052
Gross B/C 1,088
Pay Back Period (tahun) 5,390

126
126
Lampiran 25 Analisis sensitivitas peningkatan biaya operasional pada skala usaha III sebesar 10% dalam skenario pengembangan
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Inflow
Penjualan kokon 9.660.000 19.320.000 19.320.000 19.320.000 19.320.000 19.320.000 19.320.000 19.320.000 19.320.000 19.320.000 19.320.000
Penjualan stek murbei - 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000
Penjualan daun murbei - 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200 220.200
Total Inflow 9.660.000 19.580.200 19.580.200 19.580.200 19.580.200 19.580.200 19.580.200 19.580.200 19.580.200 19.580.200 19.580.200
Outflow
1. Biaya Investasi
a. kebun murbei 4.827.500 - - - - - - - - - -
b. rumah ulat 11.262.750 - - - - - - - - - -
c. peralatan 5.152.460 - - 63.060 228.000 - 209.060 - 228.000 63.060 -
Total Biaya Investasi 21.242.710 0 0 63.060 228.000 0 209.060 0 228.000 63.060 0
2. Biaya Operasional
a. Biaya Tetap
sewa lahan 221.078 221.078 221.078 221.078 221.078 221.078 221.078 221.078 221.078 221.078 221.078
perlengkapan 240.350 240.350 240.350 240.350 240.350 240.350 240.350 240.350 240.350 240.350 240.350
upah tenaga kerja tetap 2.574.000 5.148.000 5.148.000 5.148.000 5.148.000 5.148.000 5.148.000 5.148.000 5.148.000 5.148.000 5.148.000
komunikasi 66.000 66.000 66.000 66.000 66.000 66.000 66.000 66.000 66.000 66.000 66.000
listrik 165.000 330.000 330.000 330.000 330.000 330.000 330.000 330.000 330.000 330.000 330.000
b. Biaya Variabel
bibit ulat 1.716.000 3.432.000 3.432.000 3.432.000 3.432.000 3.432.000 3.432.000 3.432.000 3.432.000 3.432.000 3.432.000
BBM dan desinfektan 371.250 504.900 504.900 504.900 504.900 504.900 504.900 504.900 504.900 504.900 504.900
pupuk 1.149.500 1.683.000 1.683.000 1.683.000 1.683.000 1.683.000 1.683.000 1.683.000 1.683.000 1.683.000 1.683.000
tenaga kerja borongan 2.342.993 2.805.026 2.805.026 2.805.026 2.805.026 2.805.026 2.805.026 2.805.026 2.805.026 2.805.026 2.805.026
660.000
transportasi 330.000 660.000 660.000 660.000 660.000 660.000 660.000 660.000 660.000 660.000

127
127
Lampiran 25 Analisis sensitivitas peningkatan biaya operasional pada skala usaha III sebesar 10% (Lanjutan)
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Total Biaya Operasional 9.176.171 15.090.354 15.090.354 15.090.354 15.090.354 15.090.354 15.090.354 15.090.354 15.090.354 15.090.354 15.090.354
Total Outflow 30.418.881 15.090.354 15.090.354 15.153.414 15.318.354 15.090.354 15.299.414 15.090.354 15.318.354 15.153.414 15.090.354
Net Benefit -20.758.881 4.489.846 4.489.846 4.426.786 4.261.846 4.489.846 4.280.786 4.489.846 4.261.846 4.426.786 4.489.846
Discount Factor (12%) 1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220
PV Inflow 9.660.000 17.482.321 15.609.216 13.936.800 12.443.571 11.110.331 9.919.939 8.857.088 7.908.114 7.060.816 6.304.300
PV Outflow 30.418.881 13.473.531 12.029.938 10.785.901 9.735.091 8.562.672 7.751.159 6.826.110 6.186.826 5.464.473 4.858.690
PV Net Benefit -20.758.881 4.008.791 3.579.277 3.150.899 2.708.480 2.547.659 2.168.779 2.030.978 1.721.288 1.596.343 1.445.610
NPV (Rp) 4.199.223
IRR (%) 16,785
Gross B/C 1,036
Pay Back Period (tahun) 4,725

128
128
129

Lampiran 26 Dokumentasi

Rumah ulat sutera Pemeliharaan ulat sutera

Pemanenan murbei Pengokonan

Pemanenan kokon Menghilangkan floss


menggunakan alat
130

Menghilangkan floss Kokon


tanpa alat

Penjualan
131

Lampiran 27 Peta Lokasi


Penelitian

Anda mungkin juga menyukai