Anda di halaman 1dari 21

Case Report Session

SINDROM STEVEN JOHNSON

OLEH :

PRESEPTOR :

dr. Satya Wydya Yenny, Sp.KK

BAGIAN KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG

2014
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

I.1. Definisi SJS

Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SSJ, adalah

reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini

mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini

yang lebih buruk, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik (toxik

epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai

eritema multiforme (EM) (Adithan,2006).

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis

erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa,

mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain :

sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema

poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.

Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter,

dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter

tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya (Adithan,2006).

I.2. Epidemiologi SSJ

Jumlah kasus di Amerika Serikat cenderung meningkat pada awal musim

semi dan musim dingin. Untuk kasus overlap SSJ/NET, NSAID oksikam

(piroksikam, meloksikam, tenoksikam) dan sulfonamid merupakan penyebab

tersering di Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya. Kontras dengan


negara-negara Barat, penyebab tersering di negara-negara Asia Timur dan

Tenggara adalah allopurinol.

Predominansi kasus pada ras Kaukasia telah dilaporkan dan rasio

pria:wanita adalah 2:1. Kebanyakan pasien berusia antara 20-40 tahun, akan tetapi

pernah dilaporkan terjadi kasus pada bayi berusia 3 bulan.

I.3. Etiologi SSJ

1. Obat-obatan dan keganasan merupakan penyebab utama pada pasien

dewasa dan usia lanjut.

2. Kasus pediatrik lebih banyak berhubungan dengan infeksi daripada

keganasan atau reaksi obat. Jarang pada anak usia 3 tahun atau

dibawahnya, karna imunitas belum berkembang sepenuhnya.

3. NSAID oksikam dan sulfonamid merupakan penyebab utama di negara-

negara Barat. Di Asia Timur allopurinol merupakan penyebab utama.

4. Obat seperti sulfa, fenitoin atau penisilin telah diresepkan kepada lebih

dari dua pertiga pasien dengan SSJ.

5. Lebih dari setengah pasien dengan SSJ melaporkan adanya infeksi saluran

napas atas.

6. 4 kategori etiologi adalah infeksi, reaksi obat, keganasan dan idiopatik.

a. Penyakit viral yang pernah dilaporkan termasuk HSV, AIDS,

infeksi virus coxsakie, hepatitis, influensa,

variola, lymphogranuloma venerum dan infeksi ricketsia.

Etiologi bakterial termasuk streptokokus grup A, difteria,

bruselosis, mikobakteria, Mycoplasma pneumoniae dan tifoid.


Koksidioidomikosis, dermatofitosis danhistoplasmosis merupakan

kemungkinan dari infeksi jamur.

Malaria dan trikomoniasis dilaporkan sebagai penyebab dari

protozoa.

Pada anak-anak, EBV dan enterovirus telah diidentifikasi.

b. Etiologi dari antibiotik termausk penisilin dan sulfa. Antikonvulsan

termasuk fenitoin, karbamazepin, asam valproat, lamotrigin dan

barbiturat.

c. Berbagai karsinoma dan limfoma juga dimasukkan sebagai faktor

yang berhubungan.

d. SSJ bersifat idiopatik pada 25-50% kasus.

I.4. Patofisiologi SJS

SSJ merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks

imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan keganasan. Akhir-akhir

ini kokain dimasukkan dalam daftar obat yang dapat menyebabkan SSJ. Sampai

dengan setengah dari total kasus, tidak ada etiologi spesifik yang telah

diidentifikasi.

SSJ sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe II

(sitolitik) menurut Coomb dan Gel. Gejala klinis atau gejala reaksi bergantung

kepada sel sasaran (target cell). Sasaran utama SSJ dan NET ialah pada kulit

berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivitas sel T, termasuk

CD4 dan CD8, IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin lain. CD4 terutama terdapat

di dermis, CD8 di epidermis. Keratinosit epidermis mengekspresikan ICAM-1,


ICAM-2 dan MHC-II. Sel langerhans tidak ada atau sedikit. TNF alfa meningkat

di epidermis. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit

sehingga terjadi (Carroll, 2001):

1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan

2. Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin,

hiperglikemia dan glukosuriat

3. Kegagalan termoregulasi

4. Kegagalan fungsi imun

5. Infeksi

Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang

dapat berupa didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak,

gejala bermula di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul

mukosa mata, genitalia sehingga terbentuk trias (stomatitis, konjunctivitis, dan

uretritis). Gejala prodormal tidak spesifik, dapat berlangsung hingga 2 minggu.

Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa, beberapa penderita

mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada selaput lendir, mulut dan

bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat

penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta

hemoragik (Ilyas, 2004).

Walaupun tidak sepenuhnya relevan dengan praktek keadaan gawat

darurat, penelitian terhadap patofisiologi SSJ/NET dapat memberikan

kesempatan pemeriksaan untuk membantu diagnosis selain untuk membantu

pasien yang memiliki resiko.


Berdasarkan hasil penelitian Steven J Parrillo, DO, FACOEP,

FACEP Adjunct Professor, School of Health and Science, Philadelphia

University, secara patologis, nekrosis sel menyebabkan pemisahan antara

epidermis dan dermis. Reseptor nekrosis sel, Fas, dan ligannya, FasL, telah

dihubungkan dengan proses seperti TNF-alfa. Peneliti telah menemukan

peningkatan kadar FasL pada pasien dengan SSJ/NET sebelum pelepasan kulit

atau inset dari lesi mukosa. Beberapa peneliti lain menghubungkan sitokin

inflamatori pada patogenesis.

Terdapat juga bukti kuat mengenai predisposisi genetik pada reaksi

kutaneus berat dari efek samping obat seperti SSJ. FDA dan Health Canada

menyarankan screening terhadap antigen leukosit manusia, HLA-B*1502, pada

pasien etnis Asia Tenggara sebelum memulai terapi dengan karbamazepin.

Antigen lainnya, HLA-B*5801, memberikan reaksi yang berhubungan dengan

allopurinol.. Screening sebelum terapi belum tersedia.

I.5. Riwayat Klinis SSJ

SSJ dan TEN biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-

14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah,

pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi

gejala tersebut. Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada

muka dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan

pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk

lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila
digosok. Secara khas, proses penyakit dimulai dengan infeksi nonspesifik saluran

napas atas.

Lesi mukokutaneus berkembang cepat. Kelompok lesi yang berkembang

akan bertahan dari 2-4 minggu. Lesi tersebut bersifat nonpruritik.Riwayat demam

atau perburukan lokal harus dipikirkan ke arah superinfeksi,demam dilaporkan

terjadi sampai 85% dari seluruh kasus.

Gejala pada membran mukosa oral dapat cukup berat sehingga pasien

tidak dapat makan dan minum. Pasien dengan gejala genitourinari dapat memberi

keluhan disuria. Riwayat penyakit SSJ atau eritema multiforme dapat ditemukan.

Rekurensi dapat terjadi apabila agen yang menyebabkan tidak tereliminasi atau

pasien mengalami pajanan kembali.

Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan

sentuhan halus. Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang.

Daerah kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan

panas-dingin dan demam. Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok

(Adithan, 2006).

Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan

sama-sama berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat

merembes dari daerah kulit yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap

infeksi, yang menjadi penyebab kematian utama akibat TEN.

Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik

untuk mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang

yang mengalaminya. Gejala awal termasuk (Mansjoer, 2002) :

a. Ruam
b. Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin.

c. Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir

seluruh tubuh.

d. Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta

berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal,

muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah

vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis

merupakan gambaran utama.

e. Bengkak di kelopak mata, atau mata merah. Pada mata terjadi: konjungtivitis

(radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola

mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis,

simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi

erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera

mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan

terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari

mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai

onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari

beberapa bulan sampai 31 tahun.

Bila mengalami dua atau lebih gejala ini, terutama bila baru mulai memakai

obat baru, segera periksa ke dokter.


I.6. Diagnosis Banding SSJ

Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson :

1. Toxic Epidermolysis Necroticans. Sindroma steven johnson sangat dekat

dengan TEN. SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN.

2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi

kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa

terkena (Siregar, 2004).

3. Konjungtivitis membranosa, ditandai dengan adanya massa putih atau

kekuningan yang menutupi konjungtiva palpebra bahkan sampai konjungtiva

bulbi dan bila diangkat timbul perdarahan (Wijana, 1993).

I.7. Pemeriksaan Penunjang SSJ

Pemeriksaan Laboratorium :

Tidak ada pemeriksaan laboratorium selain biopsi yang dapat menegakkan

diagnosis SSJ.

a. Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan jumlah leukosit yang normal

atau leukositosis yang nonspesifik. Leukositosis yang nyata mengindikasikan

kemungkinan infeksi bakteri berat.

b. Kultur jaringan kulit dan darah telah disetujui karena insidensi infeksi bakteri

yang serius pada aliran darah dan sepsis yang menyebabkan peningkatan

morbiditas dan mortalitas.

c. Mengevaluasi fungsi renal dan evaluasi urin untuk melihat adanya hematuria.

d. Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnson

dengan panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.


e. Elektrolit dan kimia lainnya mungkin diperlukan untuk membantu menangani

masalah lainnya.

f. Kultur darah, urin dan jaringan pada luka diindikasikan ketika dicurigai

adanya infeksi.

g. Bronkoskopi, esofagogastroduodenoskopi dan kolonoskopi dapat dilakukan.

Pemeriksaan Radiologi:

Foto rontgen thorak dapat menunjukkan adanya pneumonitis ketika dicurigai

secara klinis. Akan tetapi foto rontgen rutin biasa tidak diindikasikan.

Pemeriksaan Histopatologi:

Biopsi kulit merupakan pemeriksaan definitif tetapi pemeriksaan ini bukan

merupakan prosedur ruang gawat darurat.

a. Spesimen biopsi kulit memperlihatkan bahwa bula terletak subepidermal.

b. Nekrosis sel epidermal dapat dilihat.

c. Area perivaskular diinfiltrasi oleh limfosit.

I.8. Penatalaksanaan SSJ

Sebelum sampai ke rumah sakit, paramedis harus mengenali adanya

kehilangan cairan yang banyak dan menangani pasien dengan SSJ sama dengan

pasien yang mengalami luka bakar luas. Kebanyakan pasien memperlihatkan

gejala awal yang mengarah kepada gangguan hemodinamik. Peran utama dokter

UGD yang sangat penting adalah mendeteksi SSJ atau NET sesegera mungkin

dan memulai penanganannya.


Penghindaran dari agen yang menjadi penyebabnya merupakkan langkah

yang sangat penting. Perkiraan waktu berhubungan erat dengan keadaan akhir

pasien.

1. Penanganan di UGD harus dilakukan secara langsung untuk mengganti cairan

dan koreksi elektrolit.

2. Lesi pada kulit ditangani sama seperti luka bakar.

3. Pasien dengan SSJ harus ditangani dengan perhatian khusus kepada airway

dan stabilitas hemodinamik, status cairan, penanganan lesi kulit dan kontrol

nyeri.

4. Perawatan secara primer bersifat suportif dan simptomatis. Beberapa ahli

menyarankan pemberian kortikosteroid, siklofosfamid, hemodialisis dan

imunoglobulin.

a. Rawat lesi oral dengan obat kumur.

b. Anestesi topikal sangat berguna untuk mengurangi rasa nyeri dan

memberi kesempatan kepada pasien untuk mendaapat cairan.

c. Berikan profilaksis untuk tetanus.

d. Bagian kulit yang mengalami lesi harus ditutup dengan kompres

larutan NaCl fisiologis.

5. Penyakit utama dan infeksi sekunder harus diidentifikasi dan diterapi. Obat

yang menjadi penyebab harus langsung dihentikan.

6. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversial. Beberapa ahli menyebutkan

bahwa steroid merupakan kontraindikasi, terutama karena diagnosis masih

belum pasti. Pasien dengan eritema multiforme yang disebabkan infeksi akan

memburuk dengan pemberian steroid. Beberapa penulis menyimpulkan


bahwa steroid IV dan terapi imunoglobulin tidak meningkatkan atau

memperbaiki keadaan umum pasien.

7. Pada penelitian besar di Eropa, menemukan bahwa tidak ada cukup bukti

adanya keuntungan dari berbagai terapi spesifik. Studi ini memperhatikan

mortalitas pasien yang diterapi dengan imunoglobulin IV dan kortikosteroid.

Konsultan dapat membantu menegakkan diagnosis dan memberikan terapi.

Dermatologis merupakan konsultan yang paling tepat untuk menegakkaan

diagnosis, dengan atau tanpa biopsi.

a. Pada kasus-kasus yang berat sangat diperlukan bantuan daari ahli bedah

plastik.

b. Dokter penyakit dalam atau spesialis anak diperlukan untuk membantu

penanganan pasien.

c. Konsultasi dengan spesialis mata merupakan keharusan untuk pasien dengan

gejala okular.

d. Berdasarkan sistem organ yang terkena, konsultasi dengan gastroenterologis,

pulmonologis dan nefrologis sangat membantu.

I.9. Medikametosa SSJ

Tidak ada obat spesifik yang menunjukkan keuntungan secara konsisten

pada terapi SSJ. Pemilihan antibiotik untuk infeksi bergantung kepada penyebab

infeksi tersebut.

Gejala klinis dan hasil laboratorium memperlihatkan bahwa infeksi pada

aliran darah memastikan penggunaan antibiotik. Organisme yang paling umum


antara lain Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa dan spesies

Enterobacteriaceae.

Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversial tetapi mungkin

berguna jika diberikan dalam dosis tinggi pada fase awal penyakit. Morbiditas dan

mortalitas dapat meningkat berhubungan dengan penggunaan kortikosteroid.

Imunoglobulin IV telah dijabarkan sebagai terapi dan profilaksis.

Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat

sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah :

 Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.

 Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji

resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.

 Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus,

kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid

sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan

steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat

dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap

steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.

 Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin

hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun

7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari.

Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun

: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan

kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.

 Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.


 Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.

 Lesi mulut diberi kenalog in orabase.

 Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan

alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat

nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena,

diberikan 2 kali/hari.

 Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada

hari 1, 2, 3, 4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan

menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang

dimediasi FAS (Adithan, 2006; Siregar, 2004).

Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan :

 Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam

fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan

terjadinya kekeringan pada bola mata.

 Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah

terjadinya perlekatan konjungtiva (Sharma, 2006).


BAB II

ILUSTRASI KASUS

Identitas

Nama : Ny. D

Umur : 30 tahun

Jenis Kelamin : perempuan

Pekerjaan : IRT

Alamat :

Status Perkawinan : Menikah

Negeri Asal : Padang

Agama : Islam

Suku : Minang

Tanggal Pemeriksaan : 23 Juli 2008

ANAMNESIS

KELUHAN UTAMA

Bercak merah disertai gelembung berisi cairan jernih, tersa gatal pada

hampir seluruh tubuh sembilan hari yang lalu.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

- Bercak merah disertai gelembung berisi cairan jernih, tersa gatal

pada hampir seluruh tubuh sembilan hari yang lalu


- Bercak mula-mula muncul di wajah dan leher, satu hari kemudian

menyebar ke seluruh tubuh

- Di atas bercak muncul gelembung-gelembung kecil berisi cairan

jernih, terasa gatal kemudian pecah karena digaruk

- Tidak ada kulit yang melepuh

- Bercak tidak muncul di kemaluan dan anus

- Nyeri menelan sembilan hari yang lalu sehingga pasien kesulitan

untuk makan

- Mata merah, terasa kabur dan bengkak sembilan hari yang lalu,

keluar kotoran dari mata

- Keropeng warna hitam di bibir sembilan hari yang lalu

- Riwayat minum obat dari psikiater 15 hari sebelum munculnya

gejala pada kulit. Selama minum obat tidak ada timbul gejala pada

kulit

- Demam, sakit tenggorokan dan bibir pecah-pecah 12 hari yang

lalu, pasien berobat ke bidan, diberi obat amoxicillin,

dexamethasone, CTM, dan vitamin C. Keluhan pasien berkurang

tanpa muncul gejala pada kulit

- Sepuluh hari yang lalu pasien datang ke dukun kampung untuk

mengobati gangguan jiwa dan diberi obat tradisional berupa jamu

yang merupakan campuran jahe merah, kunyit dan madu. Jamu

diminum dua kali, pagi dan sore sebanyak setengah gelas/kali.

Pasien baru pertama kali mengkonsumsi jamu seperti ini.

Keesokan harinya muncul gejala pada kulit


- Nyeri pada saat buang air kecil dan buang air besar tidak ada

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

- pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA/ATOPI/ALERGI

- tidak ada keluarga pasien yang menderita penyakit seperti ini

- riwayat bersin-bersin pagi hari tidak ada

- riwayat alergi makanan tidak ada

- riwayat alergi obat tidak ada

- riwayat mata merah, berair, gatal tidak ada

PEMERIKSAAN FISIK

STATUS GENERALIS

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : composmentis

Status Gizi : sedang

Pemeriksaan Thorak & abdomen : tidak dilakukan

STATUS DERMATOLOGIKUS

Lokasi : Hampir seluruh tubuh

Distribusi : Generalisata

Bentuk : Bulat – tidak khas

Susunan : Tidak khas

Batas : Tidak tegas

Ukuran : Milier – plakat

Efloresensi : Plak hiperpigmentasi, makula hipepigmentasi, krusta

kehitaman
Nikolsky sign (-)

STATUS VENEREOLOGIKUS

Tidak diperiksa

KELAINAN SELAPUT

Mata : konjungtiva : tidak hiperemis

Sekret : (+)

Faring : sukar dinilai

KELAINAN KELENJAR LIMFE

Tidak ada pembesaran

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak dilakukan
BAB III

RESUME

Seorang pasien perempuan, usia 30 tahun datang ke poliklinik kulit dan Kelamin

RSUP Dr. M. Djamil dengan:

STATUS DERMATOLOGIKUS

Lokasi : Hampir seluruh tubuh

Distribusi : Generalisata

Bentuk : Bulat – tidak khas

Susunan : Tidak khas

Batas : Tidak tegas

Ukuran : Milier – plakat

Efloresensi : Plak hiperpigmentasi, makula hipepigmentasi, krusta

kehitaman

DIAGNOSIS KERJA

Sindrom Stevens-Johnson

DIAGNOSIS BANDING

Nekrolisis Epidermal Toksin

PENATALAKSANAAN

TERAPI

Umum

- hentikan pemakaian obat dan jamu yang dicurigai sebagai

penyebab
Khusus

- dexamethasone 5 x 5 mg/hr, bila membaik  2-3 hari, tapp off 5

mg/hari setelah dosis menjadi 1 x 5 mg/hari, ganti dengan

prednison 20 mg/ hari, tapp off keesokan harinya menjadi 10

mg/hari

- siprofloksasin 2 x 400 mg IV

PROGNOSIS

- quo ad sanationam : bonam

- quo ad vitam : bonam

- quo ad kosmetikum : bonam

- quo ad functionam : bonam


DAFTAR PUSTAKA

Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5thedition.
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2007. p:154-158.

Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.5th edition.
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2007. p:163-165.

Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement


of Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at:
www.jipmer.edu

Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita
Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139

Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3rd edition. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2004. Hal 135-136.

Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2ndedition. EGC.
Jakarta. 2004. hal 141-142.

Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in


pediatric patients. Pediatrics 2001; 108 : 485-92.

Parrilo, S. : Steven Johnson Syndrome In Emergency Medicine.Philadelphia University.


2010. Access on : May 15, 2011. Available at
: http://emedicine.medscape.com/article/756523-overview.

Sharma, V.K. : Proposed IADVL Consensus Guidelines 2006: Management of Stevens-


Johnson Syndrome ( SJS) and Toxic Epidermal Necrolysis ( TEN). IADVL.2006

Viswanadh, B. : Ophthalmic complications and management of Steven Johnson


syndrome at a tertiary eye vare centre in South India. L V Prasad Eye Institute.
2002. Access on : June 22, 2008. Available at
: www.indianjournalofophthalmology.com

Anda mungkin juga menyukai