Anda di halaman 1dari 18

KELENJAR TIROID

Kelenjar tiroid adalah bagian dari sistem endokrin yang menghasilkan 2 hormon,
yaitu thyroxine (T4) dan triiodothyronine (T3).

ANATOMI DAN EMBRIOLOGI


Kelenjar tiroid adalah salah satu organ dari sistem endokrin yang terletak di
leher, anterior terhadap trakea, dan berlokasi diantara cartilago cricoidea dan insicura
suprasternalis, setinggi vertebrae Cervical 5 hingga Thoracal 1. Kelenjar tiroid terdiri dari
dua lobus yang dihubungkan oleh ismus. Kelenjar tiroid umumnya memiliki berat 12-20
gram dan memiliki konsistensi yang lunak. Pada bagian posterior kelenjar tiroid,
terdapat 4 kelenjar paratiroid. Pada bagian lateral kelenjar tiroid terdapat arteri carotis
communis dan nervus laryngeal. Kelenjar tiroid dipersyarafi oleh system syaraf simpatis
dan parasimpatis yang berasal dari ganglia servikal dan N.Vagus. Vaskularisasi kelenjar
tiroid berasal dari trunkus thyrocervicalis yang mempercabangi arteri thyroid inferior
dan dari arteri carotid externa yang mempercabangi arteri thyroid superior. Kelenjar ini
berhubungan dengan tulang rawan cricoid (C6) dengan ligamen suspensorium, sehingga
pada pemeriksaan fisik kelenjar tiroid melalui palpasi, kelenjar tiroid akan ikut bergerak
ketika pasien menelan.
Kelenjar tiroid merupakan kelenjar endokrin pertama yang terbentuk pada tubuh
manusia. Dimulai pada minggu ketiga, terjadi pelebaran sel entodermal pada garis
tengah faring diantara sakus faring I dan II. Kelenjar ini terus bertumbuh dan melakukan
migrasi ke arah dorsocaudal sepanjang thyroglossal duct yang pada akhirnya berakhir di
lokasi yang sesungguhnya di leher pada minggu ketujuh. Gagalnya penutupan dari
thyroglossal duct dapat menyebabkan timbulnya lobus piramidalis jika susunan yang
tersisa sama dengan jaringan tiroid, ataupun otot levator jika strukturnya menyerupai
susunan otot.
SEKRESI HORMON TIROID
Sekresi hormon tiroid distimulasi oleh TSH (thyroid stimulating hormone) yang
disekresikan oleh sel-sel tirotrop hipofisis anterior. TSH sendiri merupakan hasil dari
rangsangan TRH (thyroid releasing hormone) yang dikeluarkan oleh hipotalamus. TSH
akan berikatan dengan reseptor TSH (TSHr) di membrane folikel yang akan
menimbulkan efek pada kelenjar tiroid. Sinyal selanjutnya terjadi melalui perangsangan
protein kinase A oleh cAMP yang akan menstimulasi ekspresi gen-gen yang penting
dalam pembentukan hormon tiroid, seperti pompa yodium, pertumbuhan sel tiroid, TPO
(thyroperoxidase), dan lain-lain. Dari rangkaian stimulasi oleh cAMP, proses-proses ini
juga menjadi target pengobatan pada pasien dengan kelainan hormone tiroid.
Pada Grave disease (salah satu penyakit autoimun), TSHr dirangsang oleh suatu
immunoglobulin, yaitu TSI (thyroid stimulating immunoglobulin) yang secara fungsional
tidak dapat dibedakan dengan TSH. Sehingga kelenjar tiroid terus terangsang dan
menghasilkan hormon tiroid.
FUNGSI HORMON TIROID
 Termoregulasi dan kalorigenik
 Metabolisme potein (dalam dosis fisiologis bersifat anabolik, namun dalam dosis
besar bersifat katabolik)
 Metabolisme karbohidrat (bersifat diabetogenik)
 Metabolism lipid (meningkatkan proses degradasi kolesterol)
 Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati
 Pertumbuhan fetus
 Konsumsi oksigen, panas, dan pembentukan radikal bebas (meningkatkan
metabolism basal)
 Efek kardiovaskular (meningkatkan heart rate dan kontraktilitas jantung)
 Efek simpatik (meningkatkan sensitivitas terhadap katekolamin)
 Efek hematopoetik (meningkatkan eritropoiesis)
 Efek gastrointestinal (meningkatkan motilitas usus)
 Efek pada skeletal (meningkatkan resorpsi tulang)
 Efek neuromuskular (menyebabkan myopathy, hiperrefleksia, hiporefleksia)
 Efek endokrin (meningkatkan metabolisme dari banyak hormon, misalnya
kortisol)
1. HIPOTIROIDISME
Hipotiroidisme adalah keadaan dimana terjadinya penurunan fungsi kelenjar
tiroid yang menyebabkan berkurangnya efek pada sel target. Hipotiroidisme dapat
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain kerusakan pada hipotalamus atau hipofisis
(hipotiroidisme sentral), kerusakan pada kelenjar tiroid (hipotiroidisme primer), dan
hipotiroidisme yang disebabkan oleh penyebab lain (kekurangan yodium, resitensi
perifer, farmakologis, dan lain-lain).
Di dunia, penyebab utama hipotiroidisme saat ini adalah kekurangan iodium.
Sedangkan pada daerah dengan kebutuhan yodium yang tercukupi, penyebab
hipotiroidisme yang terbanyak adalah penyakit autoimun (Hashimoto’s thyroiditis) dan
penyebab iatrogenik (setelah penatalaksanaan hipertiroidisme).

GEJALA DAN TANDA


Gejala dan tanda dari hipotiroidisme tidak ditentukan oleh penyebabnya.
Umumnya pasien dengan hipotiroidisme akan menunjukkan gejala dan tanda yang
serupa, terlepas dari penyebabnya. Adapun gejala dan tanda hipotiroidisme adalah
sebagai berikut:
 Gejala: mudah lelah, lemas, kulit kering, selalu merasa dingin, rambut rontok,
sulit berkonsentrasi dan mudah lupa, konstipasi, peningkatan berat badan
dengan penurunan napsu makan, sesak napas, suara serak, menorrhagia,
kesemutan, kerusakan sistem pendengaran.
 Tanda: kulit kering dan kasar, akral dingin, bengkak pada wajah, tangan dan kaki
(myxedema), edema perifer, bradikardia, carpal tunnel syndrome, goiter.

DEFISIENSI YODIUM
Yodium merupakan salah satu bahan baku utama dalam proses pembuatan
hormon tiroid. Kekurangan yodium (terutama dari makanan) tentunya akan
menyebabkan penurunan fungsi kelenjar tiroid dalam pembuatan hormon tiroid.
WHO dan Unicef menganjurkan kebutuhan yodium perhari sebagai berikut:
 90 mg untuk anak pra sekolah (0-59 bulan)
 120 mg untuk anak sekolah dasar (6-12 tahun)
 150 mg untuk dewasa (diatas 12 tahun)
 200 mg untuk wanita hamil dan wanita menyusui

AUTOIMMUNE HYPOTHYROIDISM
Hipotiroidisme yang disebabkan oleh autoimun (Hashimoto thyroiditis atau
goitrous thyroitis) akan menyebabkan atrofi tiroiditis apabila tidak diobati dengan tepat.
Proses autoimun secara gradual terus menurunkan fungsi kelejar tiroid sehingga
menurunkan sekresi hormon tiroid (T4) dan meningkatkan TSH. Pada awalnya, pasien
tidak menunjukkan gejala atau hanya menunjukkan gejala minimal yang disebut
subclinical hypothyroidism. Namun, peningkatan TSH dan penurunan T4 yang berlebihan
akan mengakibatkan munculnya gejala secara jelas (umumnya bila kadar TSH >10
mIU/L), yang disebut sebagai clinical atau overt hypothyroidism.
Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada wanita dan orang Jepang, mungkin
karena faktor genetik dan kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi yodium. Usia juga
merupakan faktor resiko dari penyakit ini.
Pada Hashimoto tiroiditis, tampak infiltrasi dari limfosit dengan sentral
germinativum, atrofi folikel-folikel tifoid, metaplasia oksifil, berkurangnya koloid, dan
fibrosis ringan sampai sedang. Pada atrofi tiroiditis, tampak fibrosis yang semakin
meluas, dan tidak terlalu banyak infiltrasi limfosit. Folikel tiroid sudah hampir tidak
terlihat. Atrofi tiroid merupakan tahap lanjut dari Hashimoto tiroiditis.
Antibodi terhadap TG dan TPO merupakan penanda dari penyakit ini. Lebih dari
20% pasien memiliki antibody terhadap TSHr, terutama pasien Asia.

HIPOTIROIDISME IATROGENIK
Umumnya terjadi setelah operasi pengangkatan tiroid (thyroidectomy) baik total
maupun parsial. Hipotiroidisme iatrogenik juga dapat terjadi pada 3-4 bulan pertama
pengobatan dengan radioiodine, penggunaan dosis obat anti tiroid yang berlebihan,
pemberian litium karbonat pada pasien psikosis, konsumsi obat kolestiramin dan
kolestipol yang dapat mengikat hormone tiroid di saluran pencernaan (usus), fenitoin
dan fenobarbital yang meningkatkan metabolism tiroksin di hati.

HIPOTIROIDISME SEKUNDER (HIPOTIROIDISME SENTRAL)


Diagnosis dapat ditegakan dengan penurunan kadar T4 bebas dengan adanya
penurunan hormon pituitari anterior lainnya. Defisiensi TSH saja terjadi sangatlah
jarang.

PENATALAKSANAAN
- Subclinical hypothyroidism
Tidak ada rekomendasi khusus untuk pengobatan hipotiroidisme subklinis.
Pemberian levothyroxine (T4) dapat diberikan pada wanita yang masih
menginginkan kehamilan atau pada saat kadar TSH >10 mIU/L.
Apabila kadar TSH <10 mIU/L, levothyroxine dapat diberikan pada pasien yang
menunjukkan gejala, positif memiliki antibodi TPO, atau terdapat riwayat /
penyakit kardiovaskular.
Dosis levothyroxine yang diberikan adalah dosis rendah (25-50 μg/hari) dengan
goal treatment kadar TSH yang normal (0.4-4.50 mIU/L),
Apabila levothyroxine tidak diberikan, maka pemeriksaan fungsi tiroid sebaiknya
dilakukan setahun sekali.

- Clinical hypothyroidism
Jika tidak didapatkan fungsi tiroid sama sekali  pemberian levothyroxine 1.6
μg/kg berat badan per hari (umumnya 100-150 μg), 30 menit sebelum sarapan.
Jika masih didapatkan fungsi tiroid  dosis levothyroxine dapat diturunkan
menjadi 75-125 μg per hari).
Untuk pasien berusia <60 tahun tanpa riwayat penyakit kardiovaskular  50-100
μg per hari.

Keterangan:
 Dosis disesuaikan dengan kadar TSH, goal treatment = kadar normal TSH.
 Periksa respon TSH dalam 2 bulan, umumnya efek klinis baru terlihat 3-6 bulan
setelah kadar TSH kembali normal. Untuk itu, sangat diperlukan kesetiaan pasien
dalam mengkonsumsi obat secara teratur.
 Dosis dapat diubah selama masa pengobatan, peningkatan dosis levothyroxine
12.5-25 μg apabila kadar TSH tinggi, dan penurunan dosis levothyroxine 12.5-25
μg apabila kadar TSH rendah.
 Setelah treatment selesai dilasanakan dan kadar TSH telah stabil, dilakukan
pemeriksaan follow up setahun sekali, dan dapat diperpanjang menjadi 2-3
tahun sekali apabila kadar TSH telah stabil selama beberapa tahun.

- Special treatment considerations


Dosis levothyroxine sebaiknya ditingkatkan 50% pada ibu hamil, diturunkan 20%
pada pasien dengan usia lanjut, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit
kardiovaskular.
2. HIPERTIROIDISME
Hipertiroidisme adalah peningkatan fungsi kelenjar tiroid yang dapat
mengakibatkan terjadinya tirotoksikosis. Tirotoksikosis adalah kelebihan hormon tiroid
yang beredar pada sirkulasi darah. Manifestasi klinis hipertiroidisme dan tirotoksikosis
tidak berbeda. Penyebab utama tirotoksikosis antara lain penyakit Grave, gondok
multinodular toksik (toxic multinodular goiter), dan adenoma toksik.

GEJALA DAN TANDA


Adapun gejala dan tanda hipertiroidisme adalah sebagai berikut:
 Gejala: hiperaktif, gelisah, dysphoria, keringat berlebih, merasa panas, berdebar-
debar, lemas, mudah lelah, penurunan berat badan dengan peningkatan napsu
makan, diare, polyuria, oligomenorrhea, dan loss of libido.
 Tanda: takikardia (mungkin terjadi atrial fibrillation pada orang usia lanjut),
tremor, goiter, kulit yang hangat dan lembab, exophtalmus, gynecomastia.
PENYAKIT GRAVE
Genetika, konsumsi yodium yang berlebihan, stress, dan rokok merupakan faktor
resiko penyakit Grave. Rokok juga merupakan faktor resiko mayor terjadinya
ophthalmopathy. Penyakit Grave umumnya terjadi pada orang berusia 20-50 tahun, dan
terkadang terjadi pada orang usia lanjut. Penyakit Grave juga mungkin terjadi pada fase
rekonstruksi imunitas pada pengobatan HIV (HAART- highly active antiretroviral
therapy) dan pengobatan dengan menggunakan alemtuzumab.
Hipertiroidisme pada penyakit Grave disebabkan dengan adanya TSI (thyroid
stimulating immunoglobulin) yang secara fungsional sama dengan TSH. TSI merupakan
suatu imunoglobulin yang dihasilkan di kelenjar tiroid, sumsum tulang, dan kelenjar
getah bening. Imunoglobulin atau antibodi ini dapat dideteksi dengan bioassays atau
dengan TBII assays. 80% kasus penyakit Grave ini memiliki antibodi TPO, yang menjadi
penanda penyakit autoimun.
Gejala dan tanda penyakit grave sama dengan gejala dan tanda penyakit yang
menyebabkan tirotoksikosis lainnya. Namun pada penyakit Grave, terdapat
exopthalmus yang lebih dominan / khas. Pada pemeriksaan laboratorium, terdapat
penurunan kadar TSH, peningkatan kadar hormone tiroid total dan bebas. Pada pasien
dengan konsumsi yodium yang cukup rendah (borderline), terdapat peningkatan kadar
T3 yang lebih dominan (T3 toksikosis). Sedangkan pada pasien dengan konsumsi yodium
yang tinggi, peningkatan kadar T4 yang lebih dominan (T4 toksikosis).
Diagnosis penyakit Grave dapat ditegakkan hanya dengan keadaan tirotoksikosis,
goiter yang diffuse saat palpasi, opthalmopathy, dan adanya riwayat penyakit keluarga
dengan penyakit autoimun (seperti SLE, rheumatoid arthritis, vitiligo, dan lain-lain).
Apabia meragukan, dapat dilakukan scintigraphy (radionucline scan).

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada penyakit Grave dapat dibagi menjadi 3 bagian:
 Obat anti tiroid
 Radioiodine 131 I treatment
 Thyroidectomy

OBAT ANTI TIROID


Obat anti tiroid yang digunakan adalah golongan thionamides, yaitu
propylthiouracil, carbimazole, dan methimazole. Obat-obatan ini menghambat kerja
TPO (thyroperoxidase) dan menurunkan kadar antibody tiroid. Propylthiouracil juga
menghambat kerja enzim thyroperoxidase (TPO) dan menghambat konversi T4  T3.
Karena efek hepatotoksiknya, Food and Drug Administration (FDA) membatasi
penggunaan propylthiouracil hanya pada trimester pertama pada kehamilan dan thyroid
strom / thyrotoxic crisis. Apabila obat ini digunakan, perlu dilakukan monitor
pemeriksaan fungsi hati.
Thyrotoxic crisis adalah eksaserbasi akut dari hipertiroidisme yang mengancam
jiwa. Biasanya terjadi akibat adanya acute illness (seperti stroke, infeksi, trauma,
diabetes ketoasidosis), post-operasi, radioiodine treatment, atau pasien dengan
hipertiroidisme yang tidak terkontrol dan tidak menyelesaikan pengobatan.
Dosis inisial carbimazole atau methimazole adalah 10-20 mg setiap 8-12 jam.
Apabila euthyroidism telah tercapai (fungsi kelenjar tiroid normal tercapai), dosis dapat
diperpanjang menjadi hanya sekali dalam sehari. Sedangkan propylthiouracil diberikan
dengan dosis 100-200 mg setiap 6-8 jam (dosis dapat dibagi menjadi beberapa kali
pemberian). Dosis yang lebih rendah dapat diberikan kepada pasien dengan diet rendah
yodium. Dosis dapat dititrasi perlahan-lahan sejalan dengan menurunnya kadar hormon
tiroid di dalam sirkulasi darah. Pemberian dosis tinggi dapat dikombinasi dengan
suplemen levothyroxine untuk menghindari terjadinya hipotiroidisme sebagai
komplikasi pengobatan.
Follow up dilakukan 4-6 minggu setelah awal pemberian pengobatan, dan dosis
dititrasi berdasarkan kadar T4 bebas. Efek samping ringan dari obat anti tiroid adalah
demam, arthralgia, urticaria, dan rash. Sedangkan efek samping yang jarang namun
cukup berat dengan pemberian obat anti tiroid adalah hepatitis (propylthiouracyl 
hindari pemberian pada anak) dan cholestasis (methimazole dan carbimazole), SLE-like
syndrome, dan agranulocytosis (terjadi pada <1% pasien dengan gejala sakit
tenggorokan, demam, mouth ulcers, dan lainnya).
Propranolol (beta blocker) juga dapat digunakan untuk mengontrol gejala-gejala
yang ditimbulkan akibat rangsangan adrenergik oleh hormon tiroid. Warfarin (anti-
koagulan) dapat digunakan pada pasien dengan atrial fibrillation.

RADIOIODINE 131 I TREATMENT


Dapat digunakan apabila terjadi relaps setelah pengobatan dengan obat anti
tiroid. Pengobatan dengan radioiodine dapat mengingkatkan resiko terjadinya
thyrotoxic crisis. Untuk mengurangi resiko tersebut, sebaiknya pasien diberikan obat
anti tiroid minimal sebulan sebelum pengobatan dengan radioiodine. Carbimazole dan
methimazole harus dihentikan 3-5 hari sebelum pengobatan radioiodine.
Propylthiouracil harus dihentikan pada waktu yang lebih lama sebelum pengobatan
radioiodine, atau dosis radioiodine harus ditingkatkan. Dosis 131 I yang diberikan 370
MBq (10 mCi) – 555 MBq (15 mCi).
Beberapa hari setelah pengobatan pasien harus menghindari kontak langsung
dengan anak-anak dan wanita hamil sekitar 5-7 hari, untuk menghindari transmisi dan
exposure terhadap radiasi dari kelenjar tiroid pasien. Pasien mungkin akan merasakan
sakit ringan karena radiation thyroiditis selama 1-2 minggu setelah pengobatan.
Efek penuh dari radioiodine ini baru akan terlihat setelah 2-3 bulan. Selama
menunggu hasil tersebut, pasien sebaiknya diberikan beta blocker atau obat anti tiroid
untuk mengontrol gejalanya. Apabila terjadi hipertiroidisme persisten, radioiodine
kedua dapat diberikan dengan jarak interval 6 bulan dari radioiodine yang pertama.
Kehamilan dan menyusui adalah kontraindikasi absolut untuk pengobatan ini.

THYROIDECTOMY
Subtotal thyroidectomy merupakan pilihan untuk pasien dengan relaps
hipertiroidisme setelah menggunakan obat anti tiroid dan memilih untuk operasi
dibandingkan dengan radioiodine treatment. Operasi direkomendasikan pada pasien
muda dengan goiter yang sangat besar. Komplikasi dari thyroidectomy adalah terjadinya
pendarahan, edema pada laring, hipoparatiroid, dan kerusakan pada nervus laryngeal.

SPECIAL CONSIDERATIONS
- Ophthalmopathy
Pada keadaan yang ringan maupun sedang, tidak ada pengobatan secara mutlak.
Ketidaknyamanan pada mata dapat diperingan dengan artificial tears (1%
methylcellulose), obat tetes mata, dan lainnya. Apabila ophthalmopathy terjadi
dengan berat (mengenai nervus opticus), maka perlu dilakukan referral ke
ophthalmologist.
- Thyroid dermopathy
Biasanya tidak memerlukan pengobatan, hanya untuk unsur kecantikan. Dapat
diberikan glucocorticoid secara topikal. Ocreotide juga dapat digunakan.

EFEK AMIODARONE PADA FUNGSI TIROID


Amiodarone, sebagai salah satu obat anti-aritmia tipe 3, memiliki kandungan
yodium sebesar 39%. Sehingga pada pemberian dosis normal amiodarone (200mg/hari),
dapat terjadi peningkatan konsumsi yodium yang akan meningkatkan kadarnya dalam
plasma maupun dalam urin. Keadaan ini dapat bertahan 6 bulan setelah pemberian obat
dihentikan karena amiodarone disimpan dalam sel adiposa tubuh. Secara umum,
amiodarone menghambat kerja enzym deiodinase dan turunannya adalah antagonis
lemah dari hormone tiroid. Amiodarone dapat menghasilkan beberapa dampak yakni,
penekanan fungsi dari tiroid, menyebabkan hipotiroidisme pada pasien yang rentan
terhadap efek inhibisi dari peningkatan konsumsi yodium, dan tirotoxicosis melalui
fenomena Jod-Basedow pada keadaan gondok multinodular atau pada tahap awal
penyakit Grave.
Pemberian amiodarone akan menurunkan kadar hormone T4 secara sementara.
Setelah melewati fase inhibisi ini (Wolf-Chaikoff effect), maka akan terjadi peningkatan
dari kadar T4, penurunan T3, peningkatan rT3 yang disertai dengan peningkatan kadar
TSH akibat terhambatnya enzim deiodinase.
Kejadian hypotiroidisme pada pemberian amiodarone terjadi lebih sering pada
negara dengan konsumsi yodium yang cukup dan lebih sering terjadi pada wanita dan
pasien dengan antibodi TPO (thyroperoxidase / thyroid peroxidase) positif. Pemberian
levothyroxine dapat menanggulangi kelainan hormonal yang terjadi.
Pemberian amiodarone juga dapat menyebabkan tirotoksikosis pada pasien
dengan konsumsi yodium yang rendah. Ada 2 tipe Amiodarone-induced Thyrotoxicosis
(AIT) yakni tipe 1 yang terjadi pada pasien dengan kelainan tiroid (penyakit Grave atau
gondok noduler) dan tipe 2 yang terjadi pada pasien tanpa kelainan tiroid.
Pemberhentian obat adalah tatalaksana yang disarankan jika kondisi pasien
memungkinkan. Pada tipe 2, pemberian agen kontras seperti sodium ipodate
(500mg/hari), pemberian potassium perchlorate (200mg/6jam) memberikan efek positif
terhadap penurunan kadar hormon tiroid. Terapi operasi pengangkatan kelenjar tiroid
tetap menjadi terapi terbaik jangka panjang dalam menangani kasus tirotoksikosis.

GONDOK MULTINODULAR TOKSIK (TOXIC MULTINODULAR GOITER)


Istilah “goiter” diartikan sebagai kelenjar tiroid yang mengalami pembesaran.
Goiter dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti defisiensi yodium, penyakit
autoimun, dan penyakit nodular.
Nodul tiroid merupakan kelainan endokrin yang cukup sering ditemukan di
masyarakat, terutama pada masyarakat dengan defisiensi yodium. Jenis kelamin wanita,
dan usia lanjut juga merupakan faktor resiko terbentuknya nodul tiroid. Nodul tiroid
yang dapat terasa saat palpasi umumnya memiliki diameter >1 cm. Ditemukannya nodul
tiroid pada pemeriksaan fisik (palpasi) juga ditentukan oleh lokasi nodul pada kelenjar
(superfisial atau tidak), anatomi leher pasien, dan pengalaman dari pemeriksa. Lokasi
kelenjar tiroid yang superfisial dapat memudahkan kita untuk mendeteksi adanya nodul
tersebut pada pasien, baik dengan pemeriksaan fisik maupun dengan pemeriksaan yang
lebih sensitif seperti USG, sintigrafi, maupun CT Scan. Nodul tiroid dapat bersifat soliter,
multiple, fungsional dan non fungsional.
Gondok multinodular toksik adalah salah satu penyakit nodular yang bersifat
fungsional. Manifestasi klinis pasien dapat berupa subclinical hyperthyroidism atau
tirotoksitosis ringan. Pasien umumnya merupaka pasien dengan usia lanjut, memiliki
riwayat atrial fibrillation dengan gejala hipertiroid lainnya seperti palpitasi, tremor,
takikardia, penurunan berat badan, dan perasaan nervous. Keadaan tirotoksitosis dapat
diperparah dengan adanya paparan terhadap yodium, baik dalam bentuk kontras
maupun makanan. Kadar TSH pada penyakit ini rendah, dengan kadar T3 lebih tinggi
dibandingkan dengan kadar T4. Scan tiroid menunjukkan uptake heterogen dengan
beberapa area menunjukkan peningkatan dan beberapa area menunjukkan penurunan
uptake.
Penatalaksanaan penyakit ini berupa pengobatan jangka panjang dengan obat
anti tiroid. Treatment of choice pada penyakit ini adalah radioiodine, sedangkan terapi
definit pada penyakit ini adalah operasi. Sebelum operasi dilakukan, pasien harus dalam
keadaan euthyroid dengan penggunaan obat anti tiroid.

HYPERFUNCTIONING SOLITARY NODULE (ADENOMA TOKSIK)


Patogenesis adenoma toksik disebabkan oleh mutasi pada jalur signaling pada
TSH-R. Mutasi terjadi secara tiba-tiba dan melibatkan reseptor pada membran yang
akan meningkatkan siklik AMP dan meningkatkan proliferasi dari fungsi dan folikel
kelenjar tiroid. Tirotoksikosis yang terjadi tidak begitu berat dan kelainan ini ditandai
dengan kadar TSH yang subnormal. Adanya nodul pada palpasi kelenjar tiroid tanpa
disertai gejala klinis yang terjadi pada penyakit Graves atau penyebab tirotoksikosis
lainnya. Diagnosis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan tiroid scan, yang menunjukan
hiperfungsi dari nodul secara fokal dan penurunan fungsi dari sel kelenjar tiroid yang
normal.
Terapi pilihan berupa ablasi radioiodine dengan dosis 370-1110 MBq [10-29.9
mCi] 131I yang dapat mengurangi tirotoksikosis dalam waktu 3 bulan pada 75% pasien.
Operasi pengangkatan tumor juga dapat dilakukan terbatas pada pengangkatan masa
atau pengangkatan satu lobus. Pemberian obat anti-tiroid atau beta blocker dapat
memperbaiki kadar normal hormon tiroid tapi bukan merupakan pilihan untuk terapi
jangka panjang.
3. KANKER TIROID
Karsinoma tiroid merupakan keganasan paling sering pada sistem endokrin.
Keganasan pada tiroid dapat dibagi berdasarkan gambaran histologinya. Neoplasma
yang berdiferensiasi, seperti adenokarsinoma papiler (papillary thyroid cancer / PTC)
dan adenokarsinoma folikuler (follicular thyroid cancer / FTC) memiliki prognosis yang
baik dan dapat disembuhkan (tumor ini bersifat responsive terhadap pemberian iodine).
Sedangkan neoplasma yang tidak berdiferensiasi memiliki prognosis yang lebih buruk
dan tidak responsive terhadap pengobatan.
Prognosis pasien juga diperburuk dengan usia (>65 tahun). Wanita memiliki
resiko menderita kanker tiroid 2x lebih besar dibandingkan dengan laki-laki, namun laki-
laki memiliki prognosis yang lebih buruk daripada wanita. Faktor resiko terjadinya
kanker tiroid pada pasien dengan nodul tiroid antara lain pasien berupa riwayat radiasi
pada kepala dan leher, ukuran nodul yang besar (>3cm), invasi ke kelenjar getah bening,
serta adanya metastasis.
Berikut ini adalah klasifikasi neoplasma tiroid berdasarkan WHO:
TUMOR GANAS BERDIFERENSIASI
1. PTC (PAPILLARY THYROID CANCER)
PTC adalah kanker tiroid yang paling banyak dijumpai di masyarakat, sekitar 70-
90% dari tumor yang berdiferensiasi. Diagnosis dapat ditegakkan dengan aspirasi
jarum halus atau setelah operasi pengangkatan. Gambaran PA yang dapat terlihat
adalah psamomma bodies, nukleus terbelah dengan “orphan-Annie” appearance
karena nukleolus yang besar, dan formasi papiler. PTC dapat menyebar via
hematogen dan limfogen, umumnya penyebaran ke tulang dan paru-paru.

2. FTC (FOLLICULAR THYROID CANCER)


FTC umum terjadi pada daerah dengan defisiensi yodium. FTC sulit didiagnosis
dengan menggunakan aspirasi jarum halus. Penyebaran melalui hematogen dan
umumnya menyebar ke tulang, hati, dan sistem saraf pusat. Prognosis diperburuk
dengan adanya metastasis, usia >50 tahun, tumor primer >4 cm, histologi sel
Hürthle, dan adanya invasi vaskular.

PENATALAKSANAAN
Seluruh tumor ganas yang berdiferensiasi umumnya harus dilakukan operasi,
dapat berupa lobectomy maupun total thyroidectomy. Penatalaksanaan lainnya dapat
berupa TSH-supression therapy dengan menggunakan levothyroxine dan radioiodine
treatment untuk mengurangi relaps dan meningkatkan survival rates.

KANKER TIROID ANAPLASTIK


Berbeda dengan tumor papilar maupun follicular, tumor anaplastik tidak
terdiferensiasi dengan baik dan sifatnya agresif. Prognosisnya sangat buruk dan pada
umumnya menyebabkan kematian dalam waktu kurang dari 6 bulan. Baik pemberian
radioiodine maupun chemotherapy berupa anthracycline dan paclitaxel tidak
memberikan efek yang responsif. Terapi radiasi dapat dilakukan apabila tumor yang ada
memberikan respon yang baik.

THYROID LYMPHOMA
Tumor lymph atau kelenjar getah bening pada umumnya timbul akibat
Hasimoto’s thyroiditis. Diagnosis dapat dicurigai jika ditemukan perbesaran kelenjar
tiroid secara cepat. Biopsi menunjukan lapisan jaringan limfoid yang sulit dibedakan dari
tumor anaplastic maupun small cell lung cancer. Terapi yang dapat diberikan berupa
radiasi external berhubung sifat tumor yang sangat sensitive. Pemilihan operasi
pengangkatan tumor limfoid tidak dianjurkan sebagai terapi inisial.

MEDULLARY THYROID CARCINOMA (MTC)


MTC dapat bersifat sporadik maupun turunan dan meliputi 5% dari kanker tiroid.
3 jenis dari MTC yaitu MEN (Multiple Endocrine Neoplasia) 2A, MEN 2B, dan MTC tanpa
manifestasi dari MEN. Secara garis besar, MTC bersifat lebih ganas pada tipe MEN 2B
daripada MEN 2A, dan yang didapatkan melalui turunan bersifat lebih agresif ketimbang
yang sporadik. Managemen utama pasien dengan MTC adalah operasi. Tidak seperti
tumor papilar dan follicular, MTC tidak dapat mengikat dengan radioiodine. Pemberian
terapi radiasi external dan chemotherapy dapat diberikan pada tingkatan penyakit yang
lebih membahayakan.

CYNTHIA PUTRI
FK-UPH Batch 2014
00000005588

Anda mungkin juga menyukai