Anda di halaman 1dari 310

TUGAS PERPAJAKAN 1

PENAGIHAN PAJAK

KELOMPOK 5

NAMA :

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MATARAM

2018
UNDANG-UNDANG

TENTANG

PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA


SUSUNAN DALAM SATU NASKAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1997

TENTANG PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan:

1. Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea
Masuk dan Cukai, dan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, menurut undang-
undang dan peraturan daerah.
2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan,
termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
3. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas
pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib
Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
4. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau Daerah dengan
nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang
sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
5. Pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak,
menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Surat Penentuan
Harga Limit, Pembatalan Lelang, Surat Perintah Penyanderaan dan surat lain yang
diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak melunasi
sebagian atau seluruh utang pajak menurut undang-undang dan peraturan daerah.
6. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan
seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
7. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
tindakan penagihan pajak dilaksanakan.
8. Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa
bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat
sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
9. Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang
pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan
penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan
pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang
telah disita.
10. Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis adalah surat yang diterbitkan
oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi
utang pajaknya.
11. Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan
oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo
pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan
Tahun Pajak.
12. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
13. Biaya Penagihan Pajak adalah biaya pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, Jasa Penilai dan
biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak.
14. Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak,
guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-
undangan.
15. Objek Sita adalah barang Penanggung Pajak yang dapat dijadikan jaminan utang pajak.
16. Barang adalah tiap benda atau hak yang dapat dijadikan objek sita.
17. Lelang adalah setiap penjualan barang dimuka umum dengan cara penawaran harga secara
lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli.
18. Kantor Lelang adalah kantor yang berwenang melaksanakan penjualan secara lelang.
19. Risalah Lelang adalah Berita Acara Pelaksanaan Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang
atau kuasanya dalam bentuk yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan lelang.
20. Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak tertentu
untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
21. Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan
menempatkannya di tempat tertentu.
22. Gugatan atau Sanggahan adalah upaya hukum terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau
kepemilikan barang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
yangbersangkutan.
23. Kepala Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota.
24. Pemerintah Daerah adalah pemerintah daerah yang wilayah hukumnya meliputi tempat
tindakan penagihan pajak dilaksanakan.
25. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
26. Hari adalah hari kalender.

BAB II

PEJABAT DAN JURUSITA PAJAK

Pasal 2

(1) Menteri berwenang menunjuk Pejabat untuk penagihan pajak pusat.


(2) Kepala Daerah berwenang menunjuk Pejabat untuk penagihan pajak daerah.
(3) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berwenang:
a. mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak;
b. menerbitkan:
1) Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis;
2) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
3) Surat Paksa;
4) Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
5) Surat Perintah Penyanderaan;
6) Surat Pencabutan Sita;
7) Pengumuman Lelang;
8) Surat Penentuan Harga Limit;
9) Pembatalan Lelang; dan
10) Surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan penagihan pajak.

Pasal 3

(1) Jurusita Pajak diangkat dan diberhentikan oleh Pejabat.


(2) Syarat-syarat, tata cara pengangkatan dan pemberhentiansebagai Jurusita Pajak ditetapkan
oleh Menteri.

Pasal 4

Sebelum memangku jabatannya, Jurusita Pajak diambil sumpah atau janji menurut agama
atau kepercayaannya oleh Pejabat yang berbunyi sebagai berikut:

Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memangku jabatan


saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga,
tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga.

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatan saya ini, tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun
juga sesuatu janji atau pemberian.

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan
segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia.

Pasal 5

(1) Jurusita Pajak bertugas:


a. melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
b. memberitahukan Surat Paksa;
c. melaksanakan penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan; dan
d. melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan.
(2) Jurusita Pajak dalam melaksanakan tugasnya harus dilengkapi dengan kartu tanda
pengenal Jurusita Pajak dan harus diperlihatkan kepada Penanggung Pajak.
(3) Dalam melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak berwenang memasuki dan memeriksa
semua ruangan termasuk membuka lemari, laci, dan tempat lain untuk menemukan objek
sita di tempat usaha, di tempat kedudukan, atau di tempat tinggal Penanggung Pajak, atau
di tempat lain yang dapat diduga sebagai tempat penyimpanan objek sita.
(4) Dalam melaksanakan tugasnya, Jurusita Pajak dapat meminta bantuan Kepolisian,
Kejaksaan, Departemen yang membidangi hukum dan perundang-undangan, Pemerintah
Daerah setempat, Badan Pertanahan Nasional, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut,
Pengadilan Negeri, Bank atau pihak lain.
(5) Jurusita Pajak menjalankan tugas di wilayah kerja Pejabat yang mengangkatnya, kecuali
ditetapkan lain dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah.

Pasal 6

(1) Jurusita Pajak melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal
jatuh tempo pembayaran berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus
yang diterbitkan oleh Pejabat apabila:
a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat
untuk itu;
b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai
dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan
yang dilakukannya di Indonesia;
c. terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya,
atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau
memindahtangankan perusahaan yang dimilikiatau dikuasainya, atau melakukan
perubahan bentuk lainnya;
d. badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau
e. terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-
tanda kepailitan.
(2) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sekurang-kurangnya memuat:
a. nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak;
b. besarnya utang pajak;
c. perintah untuk membayar; dan
d. saat pelunasan pajak.
(3) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan Surat
Paksa.

BAB III
SURAT PAKSA

Pasal 7

(1) Surat Paksa berkepala kata-kata DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN


YANG MAHA ESA, mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Surat Paksa sekurang-kurangnya harus memuat:
a. nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak;
b. dasar penagihan;
c. besarnya utang pajak; dan
d. perintah untuk membayar.

Pasal 8

(1) Surat Paksa diterbitkan apabila:


a. Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat
Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis;
b. terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus; atau
c. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam
keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
(2) Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis diterbitkan apabila
Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo
pembayaran.

Pasal 9

(1) Dalam hal terjadi keadaan di luar kekuasaan Pejabat atau sebab lain, Surat Paksa
pengganti dapat diterbitkan oleh Pejabat karena jabatan.
(2) Surat Paksa pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan
eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan Surat Paksa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1)

Pasal 10

(1) Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan Salinan
Surat Paksa kepada Penanggung Pajak.
(2) Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dituangkan dalam Berita
Acara yang sekurang-kurangnya memuat hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa,
nama Jurusita Pajak, nama yang menerima, dan tempat pemberitahuan Surat Paksa.
(3) Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:
a. Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat lain yang
memungkinkan;
b. orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha
Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat
dijumpai;
c. salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta
peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum
dibagi; atau
d. para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah
dibagi.
(4) Surat Paksa terhadap badan diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:
a. pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik
ditempat kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun
ditempat lain yang memungkinkan; atau
b. pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan
apabila Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud
dalam huruf a.
(5) Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Kurator,
Hakim Pengawas atau Balai Harta Peninggalan, dan dalam hal Wajib Pajak dinyatakan
bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang
dibebani untuk melakukan pemberesan, atau likuidator.
(6) Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk
menjalankan hak dan kewajiban perpajakan, Surat Paksa dapat diberitahukan kepada
penerima kuasa dimaksud.
(7) Apabila pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4)
tidak dapat dilaksanakan, Surat Paksa disampaikan melalui Pemerintah Daerah setempat.
(8) Dalam hal Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat
usaha, atau tempat kedudukannya, penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan cara
menempelkan Surat Paksa pada papan pengumuman kantor Pejabat yang menerbitkannya,
mengumumkan melalui media massa, atau cara lain yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri atau Keputusan Kepala Daerah.
(9) Dalam hal Surat Paksa harus dilaksanakan di luar wilayah kerja Pejabat, Pejabat dimaksud
meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan
Surat Paksa, kecuali ditetapkan lain dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala
Daerah.
(10) Pejabat yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) wajib membantu dan
memberitahukan tindakan yang telah dilaksanakannya kepada Pejabat yang meminta
bantuan.
(11) Dalam hal Penanggung Pajak atau pihak-pihak yang dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4)
menolak untuk menerima Surat Paksa, Jurusita Pajak meninggalkan Surat Paksa dimaksud
dan mencatatnya dalam Berita Acara bahwa Penanggung Pajak tidak mau menerima Surat
Paksa, dan Surat Paksa dianggap telah diberitahukan.
(12) Pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan Surat
Paksa

Pasal 10 A

Tata cara pelaksanaan penagihan seketika dan sekaligus, dan pelaksanaan Surat Paksa
ditetapkan dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah.

Pasal 11

Pelaksanaan Surat Paksa tidak dapat dilanjutkan dengan penyitaan sebelum lewat waktu 2
(dua) kali 24 (dua puluh empat) jam setelah Surat Paksa diberitahukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal10.

BAB IV

PENYITAAN

Pasal 12

(1) Apabila utang pajak tidak dilunasi Penanggung Pajak dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11, Pejabat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
(2) Penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2
(dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat
dipercaya.
(3) Setiap melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita
yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak dan saksi-saksi.

(3a) Dalam hal Penanggung Pajak adalah Badan maka Berita Acara Pelaksanaan Sita
ditandatangani oleh pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab,
pemilik modal atau pegawai tetap perusahaan.

(4) Walaupun Penanggung Pajak tidak hadir, penyitaan tetap dapat dilaksanakan dengan
syarat salah seorang saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), berasal dari Pemerintah
Daerah setempat.
(5) Dalam hal penyitaan dilaksanakan tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4), Berita Acara Pelaksanaan Sita ditandatangani Jurusita Pajak dan
saksi-saksi.
(6) Berita Acara Pelaksanaan Sita tetap mempunyai kekuatan mengikat, meskipun
Penanggung Pajak menolak menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Sita sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3).
(7) Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita dapat ditempelkan pada barang bergerak atau
barang tidak bergerak yang disita, atau di tempat barang bergerak atau barang tidak
bergerak yang disita berada, dan atau di tempat-tempat umum.
(8) Atas barang yang disita dapat ditempel atau diberi segel sita.

Pasal 13

Pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan


penyitaan.

Pasal 14

(1) Penyitaan dilaksanakan terhadap barang milik Penanggung Pajak yang berada di tempat
tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain termasuk yang
penguasaannya berada ditangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang
tertentu yang dapat berupa:
a. barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito berjangka,
tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu, obligasi saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada
perusahaan lain; dan atau
b. barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu.

(1a) Penyitaan terhadap Penanggung Pajak Badan dapat dilaksanakan terhadap barang milik
perusahaan, pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik
modal, baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di
tempat lain.

(2) Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sampai dengan nilai barang
yang disita diperkirakan cukup oleh Jurusita Pajak untuk melunasi utang pajak dan biaya
penagihan pajak.
(3) Hak lainnya yang dapat disita selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 15

(1) Barang bergerak milik Penanggung Pajak yang dikecualikan dari penyitaan adalah:
a. pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh Penanggung
Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya;
b. persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan
memasak yang berada di rumah;
c. perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara;
d. buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak dan alat-
alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan;
e. peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan
atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000,00
(dua puluh juta rupiah); atau
f. peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga
yang menjadi tanggungannya.
(2) Perubahan besarnya nilai peralatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e
ditetapkan dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah.

(2a) Dalam hal barang yang disita mudah rusak atau cepat busuk, dikecualikan dari penjualan
secara lelang.
(3) Penambahan jenis barang bergerak yang dikecualikan dari penyitaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf f diatur dengan
Peraturan Pemerintah

Pasal 16

Barang yang telah disita dititipkan kepada Penanggung Pajak, kecuali apabila menurut
Jurusita Pajak barang dimaksud perlu disimpan di kantor Pejabat atau di tempat lain.

Pasal 17

(1) Penyitaan terhadap deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu.
(2) Dalam hal penyitaan dilaksanakan terhadap barang yang kepemilikannya terdaftar, salinan
Berita Acara Pelaksanaan Sita diserahkan kepada instansi tempat kepemilikan barang
dimaksud terdaftar.
(3) Dalam hal penyitaan dilaksanakan terhadap barang tidak bergerak yang kepemilikannya
belum terdaftar, Jurusita Pajak menyampaikan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita
kepada Pemerintah Daerah dan Pengadilan Negeri setempat untuk diumumkan menurut
cara yang lazim di tempat itu.

Pasal 18

(1) Terhadap barang yang telah disita oleh Kejaksaan atau Kepolisian sebagai barang bukti
dalam kasus pidana, Jurusita Pajak menyampaikan Surat Paksa dengan dilampiri surat
pemberitahuan yang menyatakan bahwa barang dimaksud akan disita apabila proses
pembuktian telah selesai dan diputuskan bahwa barang bukti dikembalikan kepada
Penanggung Pajak.
(2) Kejaksaan atau Kepolisian segera memberitahukan kepada Pejabat yang menerbitkan
Surat Paksa agar segera melaksanakan penyitaan sebelum barang dimaksud dikembalikan
kepada Penanggung Pajak.
(3) Dalam hal barang yang disita oleh Kejaksaan atau Kepolisian telah dikembalikan kepada
Penanggung Pajak tanpa pemberitahuan kepada Pejabat, penyitaan terhadap barang
dimaksud tetap dapat dilaksanakan.
Pasal 19

(1) Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang telah disita oleh Pengadilan
Negeri atau instansi lain yang berwenang.
(2) Terhadap barang yang telah disita sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Jurusita Pajak
menyampaikan Surat Paksa kepada Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang.
(3) Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam sidang berikutnya
menetapkan barang yang telah disita dimaksud sebagai jaminan pelunasan utang pajak.
(4) Instansi lain yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), setelah menerima
Surat Paksa menjadikan barang yang telah disita dimaksud sebagai jaminan pelunasan
utang pajak.
(5) Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang menentukan pembagian hasil
penjualan barang dimaksud berdasarkan ketentuan hak mendahulu Negara untuk tagihan
pajak.
(6) Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali
terhadap:
a. biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang
suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud;
c. biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu
warisan.
(7) Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap segera disampaikan oleh Pengadilan
Negeri kepada Kantor Lelang untuk dipergunakan sebagai dasar pembagian hasil lelang.

Pasal 20

(1) Dalam hal objek sita berada di luar wilayah kerja Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa,
Pejabat meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat objek sita
berada untuk menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan terhadap objek sita
dimaksud, kecuali ditetapkan lain oleh Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah.
(2) Dalamhal objek sita letaknya berjauhan dengan tempat kedudukan Pejabat tetapi masih
dalam wilayah kerjanya, Pejabat dimaksud dapat meminta bantuan kepada Pejabat yang
wilayah kerjanya juga meliputi tempat objek sita berada untuk menerbitkan Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan.
(3) Pejabat yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
memberitahukan pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dimaksud kepada
Pejabat yang meminta bantuan segera setelah penyitaan dilaksanakan dengan
mengirimkan berita Acara Pelaksanaan Sita.

Pasal 21

Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan apabila:

a. nilai barang yang disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) nilainya tidak
cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak; atau
b. hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan
pajak dan utang pajak.

Pasal 22

(1) Pencabutan sita dilaksanakan apabila Penanggung Pajak telah melunasi biaya penagihan
pajak dan utang pajak atau berdasarkan putusan pengadilan atau putusan badan peradilan
pajak atau ditetapkan lain dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah.
(2) Pencabutan sita sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Surat
Pencabutan Sita yang diterbitkan oleh Pejabat.
(3) Dalam hal penyitaan dilaksanakan terhadap barang yang kepemilikannya terdaftar,
tindasan Surat Pencabutan Sita disampaikan kepada instansi tempat barang tersebut
terdaftar.

Pasal 23

(1) Penanggung Pajak dilarang:


a. memindahkan hak, memindahtangankan, menyewakan, meminjamkan,
menyembunyikan, menghilangkan, atau merusak barang yang telah disita;
b. membebani barang tidak bergerak yang telah disita dengan hak tanggungan untuk
pelunasan utang tertentu;
c. membebani barang bergerak yang telah disita dengan fidusia atau diagunkan untuk
pelunasan utang tertentu; dan atau
d. merusak, mencabut, atau menghilangkan segel sita atau salinan Berita Acara
Pelaksanaan Sita yang telah ditempel pada barang sitaan.
(2) dihapus
Pasal 24

Ketentuan mengenai tata carapenyitaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 25

(1) Apabila utang pajak dan atau biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan
penyitaan, Pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara lelang terhadap barang yang
disita melalui Kantor Lelang.
(2) Barang yang disita berupa uang tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran,
obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada
perusahaan lain, dikecualikan dari penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
(3) Barang yang disita sebagaimana dimaksud dalamayat(2) digunakan untuk membayar biaya
penagihan pajak dan utang pajak dengan cara:
a. uang tunai disetor ke Kas Negara atau Kas Daerah;
b. deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu, dipindahbukukan ke Kas Negara atau Kas Daerah atas
permintaan Pejabat kepada Bank yang bersangkutan;
c. obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang diperdagangkan di bursa efek dijual
di bursa efek atas permintaan Pejabat;
d. obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang tidak diperdagangkan di bursa efek
segera dijual oleh Pejabat;
e. piutang dibuatkan berita acara persetujuan tentang pengalihan hak menagih dari
Penanggung Pajak kepada Pejabat;
f. penyertaan modal pada perusahaan lain dibuatkan akte persetujuan pengalihan hak
menjual dari Penanggung Pajak kepada Pejabat.
(4) Dalam hal penjualan yang dikecualikan dari lelang, biaya penagihan pajak ditambah 1%
(satu persen) dari hasil penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(5) Ketentuan mengenai tata cara penjualan barang yang dikecualikan dari penjualan secara
lelang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26

(1) Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 ayat (1) dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang
melalui media massa.

(1a) Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan paling singkat
14 (empat belas) hari setelah penyitaan.

(1b) Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali dan untuk barang tidak
bergerak dilakukan 2 (dua) kali.

(1c) Pengumuman lelang terhadap barang dengan nilai paling banyak Rp20.000.000,00 (dua
puluh juta rupiah) tidak harus diumumkan melalui media massa.

(2) Pejabat bertindak sebagai penjual atas barang yang disita mengajukan permintaan lelang
kepada Kantor Lelang sebelum lelang dilaksanakan.
(3) Pejabat atau yang mewakilinya menghadiri pelaksanaan lelang untuk menentukan dilepas
atau tidaknya barang yang dilelang dan menandatangani asli Risalah Lelang.
(4) Pejabat dan Jurusita Pajak tidak diperbolehkan membeli barang sitaan yang dilelang.
(5) Larangan terhadap Pejabat dan Jurusita Pajak untuk membeli barang sitaan yang dilelang,
berlaku juga terhadap istri, keluarga sedarah dan semenda dalam keturunan garis lurus,
serta anak angkat.
(6) Pejabat dan Jurusita Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Perubahan besarnya nilai barang yang tidak harus diumumkan melalui media massa
sebagaimanadimaksud dalam ayat (1c) ditetapkan dengan Keputusan Menteri atau
Keputusan Kepala Daerah.

Pasal 27

(1) Lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak
belum memperoleh keputusan keberatan.
(2) Lelang tetap dapat dilaksanakan tanpa dihadiri oleh Penanggung Pajak.
(3) Lelang tidak dilaksanakan apabila Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya
penagihan pajak, atau berdasarkan putusan pengadilan, atau putusan badan peradilan
pajak, atau objek lelang musnah.
Pasal 28

(1) Hasil Lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan pajak yang
belum dibayar dan sisanya untuk membayar utang pajak.

(1a) Dalam hal penjualan secara lelang, biaya penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditambah 1% (satu persen) dari pokok lelang.

(2) Dalam hal hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya
penagihan pajak dan utang pajak, pelaksanaan lelang dihentikan oleh Pejabat walaupun
barang yang akan dilelang masih ada.
(3) Sisa barang beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh Pejabat kepada
Penanggung Pajak segera setelah pelaksanaan lelang.
(4) Pejabat yang lalai melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat
(3), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Hak Penanggung Pajak atas barang yang telah dilelang berpindah kepada pembeli dan
kepadanya diberikan Risalah Lelang yang merupakan bukti otentik sebagai dasar
pendaftaran dan pengalihan hak.

BAB V

PENCEGAHAN DAN PENYANDERAAN

Pasal 29

Pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai jumlah
utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.

Pasal 30

(1) Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 hanya dapat dilakukan berdasarkan
keputusan pencegahan yang diterbitkan oleh Menteri atas permintaan Pejabat atau atasan
Pejabat yang bersangkutan.
(2) Keputusan pencegahan memuat sekurang-kurangnya:
a. identitas Penanggung Pajak yang dikenakan pencegahan;
b. alasan untuk melakukan pencegahan; dan
c. jangka waktu pencegahan.
(3) Jangka waktu pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c paling lama 6
(enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk selama lamanya 6 (enam) bulan.
(4) Keputusan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
Penanggung Pajak yang dikenakan pencegahan, Menteri Kehakiman, Pejabat yang
memohon pencegahan, atasan Pejabat yang bersangkutan, dan Kepala Daerah setempat.
(5) Pencegahan dapat dilaksanakan terhadap beberapa orang sebagai Penanggung Pajak Wajib
Pajak badan atau ahli waris.

Pasal 31

Pencegahan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan
terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.

Pasal 32

Pencegahan dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 33

(1) Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai utang
pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan
itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.
(2) Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilaksanakan berdasarkan
Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh Pejabat setelah mendapat izin tertulis
dari Menteri atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
(3) Masa penyanderaan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-
lamanya 6 (enam) bulan.
(4) Surat Perintah Penyanderaan memuat sekurang-kurangnya :
a. identitas Penanggung Pajak;
b. alasan penyanderaan;
c. izin penyanderaan;
d. lamanya penyanderaan; dan
e. tempat penyanderaan.
(5) Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam hal Penanggung Pajak sedang beribadah,
atau sedang mengikuti sidang resmi, atau sedang mengikuti Pemilihan Umum.
(6) Besarnya jumlah utang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal 29
dapat diubah dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 34

(1) Penanggung Pajak yang disandera dilepas:


a. apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas;
b. apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah Penyanderaan itu telah
terpenuhi;
c. berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d. berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri atau Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I.
(2) Sebelum Penanggung Pajak dilepas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf c,
dan huruf d, Pejabat segera memberitahukan secara tertulis kepada kepala tempat
penyanderaan sebagaimana tercantum dalamSurat Perintah Penyanderaan.
(3) Penanggung Pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan
penyanderaan hanya kepada Pengadilan Negeri.
(4) Dalam hal gugatan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikabulkan
dan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Penanggung Pajak dapat
memohon rehabilitasi nama baik dan ganti rugi atas masa penyanderaan yang telah
dijalaninya.
(5) Besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah) setiap hari.
(6) Perubahan besarnya nilai ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh
Menteri.
(7) Penanggung Pajak tidak dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan
setelah masa penyanderaan berakhir.

Pasal 35

Penyanderaan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan
terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.

Pasal 36

Ketentuan mengenai tempat penyanderaan, tata cara penyanderaan, rehabilitasi nama baik
Penanggung Pajak, dan pemberian ganti rugi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI

GUGATAN

Pasal 37

(1) Gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang hanya dapat diajukan kepada badan
peradilan pajak.

(1a) Dalam hal gugatan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dikabulkan,Penanggung Pajak dapat memohon pemulihan nama baik dan ganti rugi
kepada Pejabat.

(1b) Besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1a) paling banyak Rp
5.000.000,00(lima juta rupiah).

(1c) Perubahan besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1b) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah.

(2) Gugatan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dalam jangka
waktu 14 (empat belas) hari sejak Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan,
atau Pengumuman Lelang dilaksanakan.
(3) dihapus

Pasal 38

(1) Sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita hanya dapat diajukan
kepada Pengadilan Negeri.
(2) Pengadilan Negeri yang menerima suratsanggahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
memberitahukan secara tertulis kepada Pejabat.
(3) Pejabat menangguhkan pelaksanaan penagihan pajak hanya terhadap barang yang
disanggah kepemilikannya sejak menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2).
(4) Sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita tidak dapat diajukan
setelah lelang dilaksanakan.
BAB VII

KETENTUAN KHUSUS

Pasal 39

(1) Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan pembetulan atau penggantian kepada
Pejabat terhadap Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis, Surat
Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan, Surat Perintah Penyanderaan, Pengumuman Lelang dan Surat Penentuan Harga
Limit yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan.

(1a) Pejabat dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal diterima permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus memberi keputusan atas permohonan yang
diajukan.

(1b) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1a) Pejabat tidak
memberikan keputusan, permohonan Penanggung Pajak dianggap dikabulkan dan
penagihan ditunda untuk sementara waktu.

(2) Pejabat karena jabatan dapat membetulkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat
lain yang sejenis, Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Perintah Penyanderaan, Pengumuman Lelang dan
Surat Penentuan Harga Limit yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau
kekeliruan.
(3) Tindakan pelaksanaan penagihan pajak dilanjutkan setelah kesalahan atau kekeliruan
dibetulkan oleh Pejabat.
(4) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditolak, tindakan
pelaksanaan penagihan pajak dilanjutkan sesuai jangka waktu semula.

Pasal 40

(1) Apabila setelah pelaksanaan lelang Wajib Pajak memperoleh keputusan keberatan atau
putusan banding yang mengakibatkan utang pajak menjadi berkurang atau nihil sehingga
menimbulkan kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak tidak dapat meminta atau tidak
berhak menuntut pengembalian barang yang telah dilelang.
(2) Pejabat mengembalikan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dalam bentuk uang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
Pasal 41

(1) Penagihan pajak tidak dilaksanakan apabila telah daluwarsa sebagaimana diatur dalam
undang-undang dan peraturan daerah.
(2) Pengajuan keberatan atau permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak
dan pelaksanaan penagihan pajak.
(3) Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) dan dalam Pasal 37 ayat (1) tidak
menunda pelaksanaan penagihan pajak.

BAB VIIA

KETENTUAN PIDANA

Pasal 41A

(1) Penanggung Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak
Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
(2) Apabila pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e, dan huruf f tidak melaksanakan kewajibannya, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) bulan 2 (dua) minggu dan denda paling banyak Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan
dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama.
(3) Setiap orang yang dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan
menurut undang-undang, atau dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau
menggagalkan tindakan dalam melaksanakan ketentuan undang-undang yang dilakukan
oleh Jurusita Pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan 2 (dua)
minggu dan denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

BAB VIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 42

(1) Tindakan pelaksanaan penagihan pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun


1959 tentang Penagihan Pajak Negara Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Tahun 1959
Nomor 63 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 1850) yang belum dapat diselesaikan
pada saat berlakunya Undang- Undang ini ditetapkan sebagai berikut :
a. dalam hal Surat Paksa sudah diterbitkan tetapi belum diberitahukan kepada
Penanggung Pajak yang bersangkutan, Surat Paksa dimaksud dinyatakan batal demi
hukum;
b. dalam hal Surat Paksa sudah diberitahukan kepada Penanggung Pajak yang
bersangkutan, pelaksanaan sita yang belum diproses diselesaikan berdasarkan
Undang-Undang ini;
c. dalam hal Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan sudah diterbitkan tetapi belum
dilaksanakan, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dimaksud dinyatakan batal
demi hukum;
d. dalam hal lelang sudah diproses tetapi belum diselesaikan, tetap diselesaikan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara
Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 63 dan Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1850).
(2) Gugatan Penanggung Pajak terhadap tindakan pelaksanaan penagihan pajak sebelum
tanggal 1 Januari 1998 diajukan kepada badan peradilan yang bersangkutan.

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 43

(1) Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang
Penagihan Pajak Negara Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 63
dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 1850) dinyatakan tidak berlaku.
(2) Dengan berlakunya Undang-Undang ini, semua peraturan pelaksanaan di bidang
penagihan pajak tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini
atau belum diganti dengan peraturan pelaksanaan yang baru.

Pasal 44

Undang-undang ini dinamakan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Pasal 45

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

TENTANG

PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 135 TAHUN 2000

TENTANG

TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN


SURAT PAKSA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 19 Tahun


1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 beserta perubahannya;
2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3987);
MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM


RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas
pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban
Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2. Pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak,
menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Surat
Penentuan Harga Limit, Pembatalan Lelang, Surat Perintah Penyanderaan dan surat lain
yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak
melunasi sebagian atau seluruh utang pajak menurut undang-undang dan peraturan
daerah.
3. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan
seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
4. Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang
pajak dan Biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan
penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan
pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang
telah disita.
5. Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa
bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat
sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
6. Biaya Penagihan Pajak adalah biaya pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, Jasa Penilai dan
biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak.
7. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan Biaya Penagihan Pajak.
8. Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan adalah surat perintah yang diterbitkan oleh
Pejabat untuk melaksanakan penyitaan.
9. Objek Sita adalah barang Penanggung Pajak yang dapat dijadikan jaminan utang pajak.
10. Barang adalah tiap benda atau hak yang dapat dijadikan objek sita.
11. Pemblokiran adalah tindakan pengamanan harta kekayaan milik Penanggung Pajak yang
tersimpan pada bank dengan tujuan agar terhadap harta kekayaan dimaksud tidak terdapat
perubahan apapun, selain penambahan jumlah atau nilai.
12. Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak,
guna dijadikan jaminan untuk melunasi Utang pajak menurut peraturan perundang-
undangan.
13. Hari adalah hari kalender.

BAB II
PELAKSANAAN PENYITAAN

Pasal 2

(1) Penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak dilaksanakan oleh Jurusita Pajak
berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan yang diterbitkan oleh Pejabat.

(2) Penyitaan dilaksanakan apabila Utang pajak tidak dilunasi dalam jangka waktu 2 (dua)
kali 24 (dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan kepada
Penanggung Pajak.

Pasal 3

(1) Barang milik Penanggung Pajak yang dapat disita adalah Barang yang berada di tempat
tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain termasuk yang
penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang
tertentu yang dapat berupa:

a. barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito, tabungan, saldo
rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi,
saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan
lain; dan atau

b. barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu.

(2) Terhadap Penanggung Pajak Orang Pribadi penyitaan dapat dilaksanakan atas barang
milik pribadi yang bersangkutan, isteri, dan anak yang masih dalam tanggungan, kecuali
dikehendaki secara tertulis oleh suami atau isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta
dan penghasilan.

(3) Terhadap Penanggung Pajak Badan penyitaan dapat dilaksanakan atas barang milik
perusahaan, pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik
modal, baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di
tempat lain.

(4) Penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan barang bergerak kecuali dalam keadaan
tertentu dapat dilaksanakan langsung terhadap barang tidak bergerak.

(5) Urutan barang bergerak dan atau barang tidak bergerak yang disita ditentukan oleh
Jurusita Pajak dengan memperhatikan jumlah utang pajak dan Biaya Penagihan Pajak,
kemudahan penjualan atau pencairannya.

Pasal 4

(1) Penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2
(dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak dan
dapat dipercaya.

(2) Dalam melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak harus :

a. memperlihatkan kartu tanda pengenal Jurusita Pajak;


b. memperlihatkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; dan
c. memberitahukan tentang maksud dan tujuan penyitaan.

(3) Setiap melaksanakan penyitaan Jurusita Pajak harus membuat Berita Acara Pelaksanaan
Sita yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak dan saksi-saksi.

(4) Dalam hal Penanggung Pajak menolak untuk menandatangani Berita Acara Pelaksanaan
Sita, Jurusita Pajak harus mencantumkan penolakan tersebut dalam Berita Acara
Pelaksanaan Sita, dan Berita Acara Pelaksanaan Sita tersebut ditandatangani oleh Jurusita
Pajak dan saksi-saksi, dan Berita Acara Pelaksanaan Sita tersebut tetap sah dan
mempunyai kekuatan mengikat.

(5) Penyitaan tetap dapat dilaksanakan sekalipun Penanggung Pajak tidak hadir, sepanjang
salah seorang saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berasal dari Pemerintah Daerah
setempat, sekurang-kurangnya setingkat Sekretaris Kelurahan atau Sekretaris Desa.

(6) Dalam hal pelaksanaan penyitaan tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak, Berita Acara
Pelaksanaan Sita ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan saksi-saksi, dan Berita Acara
Pelaksanaan Sita tersebut tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat.

(7) Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita dapat ditempelkan pada barang bergerak dan atau
barang tidak bergerak yang disita, atau di tempat barang bergerak dan atau barang tidak
bergerak yang disita berada, atau di tempat-tempat umum.

(8) Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita disampaikan kepada:

a. Penanggung Pajak;
b. Polisi untuk barang bergerak yang kepemilikannya terdaftar;
c. Badan Pertanahan Nasional, untuk tanah yang kepemilikannya sudah terdaftar;
d. Pemerintah Daerah dan Pengadilan Negeri setempat, untuk tanah yang
kepemilikannya belum terdaftar;
e. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, untuk kapal.

Pasal 5

(1) Penyitaan terhadap perhiasan emas, permata dan sejenisnya dilaksanakan sebagai berikut
:

a. membuat rincian tentang jenis, jumlah dan harga perhiasan yang disita dalam suatu
daftar yang merupakan lampiran Berita Acara Pelaksanaan Sita;
b. membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita.

(2) Penyitaan terhadap uang tunai termasuk mata uang asing dilaksanakan sebagai berikut :

a. menghitung terlebih dahulu uang tunai yang disita dan membuat rinciannya dalam
suatu daftar yang merupakan lampiran Berita Acara Pelaksanaan Sita;
b. membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita;
c. menyimpan uang tunai yang telah disita dalam tempat penyimpanan yang selanjutnya
ditempeli dengan segel sita dan kemudian menitipkannya pada Penanggung Pajak
atau menitipkannya pada bank.

(3) Penyitaan terhadap kekayaan Penanggung Pajak yang disimpan di bank berupa deposito,
tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu
dilaksanakan sebagai berikut :

a. Pejabat mengajukan permintaan pemblokiran kepada bank disertai dengan


penyampaian Salinan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
b. bank wajib memblokir seketika setelah menerima permintaan pemblokiran dari
Pejabat dan membuat berita acara pemblokiran serta menyampaikan salinannya
kepada Pejabat dan Penanggung Pajak;
c. Jurusita Pajak setelah menerima berita acara pemblokiran dari bank memerintahkan
Penanggung Pajak untuk memberi kuasa kepada bank agar memberitahukan saldo
kekayaannya yang tersimpan pada bank tersebut kepada Jurusita Pajak;
d. dalam hal Penanggung Pajak tidak memberikan kuasa kepada bank sebagaimana
dimaksud dalam huruf c, Pejabat meminta Bank Indonesia melalui Menteri Keuangan
untuk memerintahkan bank untuk memberitahukan saldo kekayaan Penanggung Pajak
yang tersimpan pada bank yang dimaksud;
e. setelah saldo kekayaan yang tersimpan pada bank diketahui, Jurusita Pajak
melaksanakan penyitaan dan membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan
menyampaikan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita kepada Penanggung Pajak dan
bank yang bersangkutan;
f. Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran kepada bank setelah
Penanggung Pajak melunasi Utang pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
g. Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran terhadap kekayaan
Penanggung Pajak setelah dikurangi dengan jumlah yang disita apabila utang pajak
dan Biaya Penagihan Pajak tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak sekalipun telah
dilakukan pemblokiran.

(4) Penyitaan terhadap surat berharga berupa obligasi, saham, dan sejenisnya yang
diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan sebagai berikut :

a. Pemblokiran Rekening Efek pada Kustodian dilakukan berdasarkan permintaan


tertulis dari Direktur Jenderal Pajak atau Pejabat yang ditunjuknya kepada Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dengan menyebutkan nama Pemegang Rekening atau
nomor Pemegang Rekening sebagai Penanggung Pajak, sebab dan alasan perlunya
pemblokiran tersebut dilakukan;
b. Berdasarkan permintaan Direktur Jenderal Pajak atau Pejabat yang ditunjuknya
sebagaimana dimaksud pada huruf a, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dapat
menyampaikan perintah tertulis kepada Kustodian untuk melakukan pemblokiran
terhadap Rekening Efek Penanggung Pajak;
c. Berdasarkan perintah tertulis dari Ketua Badan Pengawas Pasar Modal sebagaimana
dimaksud pada huruf b, Kustodian melakukan pemblokiran;
d. Dalam hal permintaan pemblokiran tersebut disertai dengan permintan keterangan
tentang Rekening Efek pada Kustodian, maka permintaan tertulis dari Direktur
Jenderal Pajak harus memuat nama Pejabat yang berwenang mendapat keterangan
tersebut;
e. Kustodian yang melakukan pemblokiran dan memberikan keterangan tentang
Rekening Efek Pemegang Rekening membuat Berita Acara Pemblokiran dan Berita
Acara Pemberian Keterangan;
f. Berita Acara Pemblokiran dan Berita Acara Pemberian Keterangan tersebut
disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak dan salinannya disampaikan kepada
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Pemegang Rekening sebagai Penanggung
Pajak, selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja setelah pemblokiran dan pemberian
keterangan tersebut dilakukan;
g. Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan atas Efek dan atau dana dalam Rekening Efek
pada Kustodian segera setelah menerima Berita Acara Pemblokiran dan Berita Acara
Pemberian Keterangan;
h. Jurusita Pajak yang melakukan penyitaan harus membuat Berita Acara Pelaksanaan
Sita yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak dan saksi-saksi;
i. Dalam hal Penanggung Pajak tidak hadir, Berita Acara Pelaksanaan Sita
ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan saksi-saksi;
j. Berita Acara Pelaksanaan Sita disampaikan kepada Penanggung Pajak, dan
salinannya disampaikan kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Kustodian;
k. Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran terhadap Rekening Efek
Penanggung Pajak kepada Kustodian, setelah Penanggung Pajak melunasi utang
pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
l. Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran terhadap Rekening Efek
Penanggung Pajak setelah dikurangi dengan jumlah yang disita apabila utang pajak
dan Biaya Penagihan Pajak tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak sekalipun telah
dilakukan pemblokiran;
m. Efek yang diperdagangkan di bursa yang telah disita, dijual di bursa melalui Perantara
Pedagang Efek Anggota Bursa atas permintaan Pejabat.

(5) Penyitaan terhadap surat berharga berupa obligasi, saham, dan sejenisnya yang tidak
diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan sebagai berikut :

a. melakukan inventarisasi dan membuat rincian tentang jenis, jumlah dan nilai nominal
atau perkiraan nilai lainnya dari surat berharga yang disita dalam suatu daftar yang
merupakan lampiran Berita Acara Pelaksanaan Sita;
b. membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita;
c. membuat Berita Acara Pengalihan Hak Surat Berharga atas nama dari Penanggung
Pajak kepada Pejabat.

(6) Penyitaan terhadap piutang dilaksanakan sebagai berikut :

a. melakukan inventarisasi dan membuat rincian tentang jenis dan jumlah piutang yang
disita dalam suatu daftar yang merupakan lampiran Berita Acara Pelaksanaan Sita;
b. membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita;
c. membuat Berita Acara Persetujuan Pengalihan Hak Menagih Piutang dari
Penanggung Pajak kepada Pejabat, dan salinannya disampaikan kepada Penanggung
Pajak dan pihak yang berkewajiban membayar utang.

(7) Penyitaan terhadap penyertaan modal pada perusahaan lain yang tidak ada surat
sahamnya dilaksanakan sebagai berikut :

a. melakukan inventarisasi dan membuat rincian tentang jumlah penyertaan modal pada
perusahaan lain dalam suatu daftar yang merupakan lampiran Berita Acara
Pelaksanaan Sita;
b. membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita;
c. membuat Akte Persetujuan Pengalihan Hak Penyertaan Modal pada perusahaan lain
dari Penanggung Pajak kepada Pejabat, dan salinannya disampaikan kepada
perusahaan tempat penyertaan modal.

(8) Tata cara pemblokiran diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Pasal 6

Penyitaan terhadap barang yang telah disita oleh Kejaksaan atau Kepolisian sebagai barang
bukti dalam kasus pidana, baru dapat dilaksanakan setelah barang bukti tersebut
dikembalikan kepada Penanggung Pajak.

Pasal 7

Penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak dilaksanakan sampai dengan jumlah nilai
barang yang disita diperkirakan cukup untuk melunasi utang pajak dan Biaya Penagihan
Pajak.

Pasal 8

(1) Barang yang telah disita dititipkan kepada Penanggung Pajak, kecuali apabila menurut
pertimbangan Jurusita Pajak barang sitaan tersebut perlu disimpan di kantor Pejabat atau
di tempat lain.

(2) Dalam hal penyitaan tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak

a. barang bergerak yang telah disita dapat dititipkan kepada aparat Pemerintah Daerah
setempat yang menjadi saksi dalam pelaksanaan sita;
b. barang tidak bergerak pengawasannya diserahkan kepada aparat Pemerintah Daerah
setempat yang menjadi saksi dalam pelaksanaan sita tersebut.

(3) Tempat lain yang dapat digunakan sebagai tempat penitipan barang yang telah disita
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Kantor Pegadaian, bank, Kantor Pos atau
tempat lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Pasal 9

Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan apabila:

a. nilai barang yang disita nilainya tidak cukup untuk melunasi Biaya Penagihan Pajak dan
utang pajak; atau
b. hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi Biaya Penagihan Pajak
dan utang pajak. dengan menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.

Pasal 10

(1) Atas barang yang disita dapat ditempeli atau diberi segel sita.

(2) Penempelan segel sita dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, sifat dan bentuk barang
sitaan.

(3) Segel sita sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:

a. kata " DISITA";


b. nomor dan tanggal Berita Acara Pelaksanaan Sita;
c. larangan untuk memindahtangankan, memindahkan hak, meminjamkan, merusak
barang yang disita.

Pasal 11

(1) Pencabutan sita dilaksanakan apabila Penanggung Pajak telah melunasi Biaya Penagihan
Pajak dan Utang pajak atau berdasarkan putusan pengadilan atau berdasarkan putusan
badan peradilan pajak atau ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan atau Gubernur atau
Bupati/Walikota.

(2) Pencabutan sita sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Surat
Pencabutan Sita yang diterbitkan oleh Pejabat.

(3) Surat Pencabutan Sita sekaligus berfungsi sebagai pencabutan Berita Acara Pelaksanaan
Sita disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak dan instansi yang terkait,
diikuti dengan pengembalian penguasaan barang yang disita kepada Penanggung Pajak.

(4) Pencabutan sita terhadap :

a. deposito, tabungan, saldo rekening koran, giro atau yang dipersamakan dengan itu
dilaksanakan dengan menyampaikan Surat Pencabutan Sita kepada Penanggung Pajak
dan tembusannya disampaikan kepada bank yang bersangkutan;
b. surat berharga berupa obligasi, saham atau sejenisnya baik yang diperdagangkan
maupun yang tidak diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan dengan
menyampaikan Surat Pencabutan Sita kepada Penanggung Pajak dan tembusannya
disampaikan kepada pihak terkait yang sekaligus berfungsi sebagai pembatalan Berita
Acara Pengalihan Hak Atas Surat Berharga tersebut;
c. piutang dilaksanakan dengan menyampaikan Surat Pencabutan Sita kepada
Penanggung Pajak dan tembusannya disampaikan kepada pihak yang berutang yang
sekaligus berfungsi sebagai pembatalan Berita Acara Persetujuan Pengalihan Hak
Menagih Piutang;
d. penyertaan modal pada perusahaan lain dilaksanakan dengan menyampaikan Surat
Pencabutan Sita kepada Penanggung Pajak dan tembusannya disampaikan kepada
pihak terkait serta membuat Akte Pembatalan Pengalihan Hak.

Pasal 12

Penanggung Pajak dilarang :

a. memindahkan hak, memindahtangankan, menyewakan, meminjamkan,


menyembunyikan, menghilangkan, atau merusak barang yang telah disita;
b. membebani barang tidak bergerak yang telah disita dengan hak tanggungan untuk
pelunasan utang tertentu;
c. membebani barang bergerak yang telah disita dengan fidusia atau diagunkan untuk
pelunasan utang tertentu; dan atau
d. merusak, mencabut, atau menghilangkan segel sita atau salinan Berita Acara Pelaksanaan
Sita yang telah ditempel pada barang sitaan.
Pasal 13

(1) Pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan penyitaan atas barang-barang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, wajib
membantu pelaksanaan penyitaan.

(2) Setiap orang dilarang dengan sengaja untuk tidak menuruti perintah atau permintaan yang
dilakukan menurut undang-undang, atau dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi
atau menggagalkan tindakan penagihan pajak yang dilakukan oleh juru sita pajak.

Pasal 14

(1) Apabila Utang pajak dan atau Biaya Penagihan Pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan
penyitaan, Pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara lelang atau tidak secara
lelang, maupun menggunakan atau memindahbukukan barang yang disita untuk
pelunasan utang pajak dan atau Biaya Penagihan Pajak dimaksud.

(2) Penjualan secara lelang dilakukan melalui Kantor Lelang dan dilaksanakan paling cepat
setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak Pengumuman Lelang;

(3) Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilaksanakan paling cepat
setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak penyitaan.

(4) Apabila hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi Biaya Penagihan
Pajak dan utang pajak, maka pelaksanaan lelang dihentikan dan sisa barang serta
kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh Pejabat kepada Penanggung Pajak paling
lambat 3 (tiga) hari setelah pelaksanaan lelang.

Pasal 15

Penanggung Pajak dapat melunasi utang pajak dan biaya yang timbul dalam rangka
penagihan pajak selama barang yang telah disita belum dijual, digunakan atau
dipindahbukukan.
Pasal 16

(1) Besarnya Biaya Penagihan Pajak adalah Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk
setiap pemberitahuan Surat Paksa dan Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap
pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.

(2) Besarnya tambahan Biaya Penagihan Pajak yang dibayar oleh penanggung pajak dalam
hal barang yang telah disita dijual adalah:

a. secara lelang, adalah 1% (satu persen) dari pokok lelang.


b. tidak secara lelang, adalah 1% (satu persen) dari hasil penjualan.

(3) Biaya Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan tambahan Biaya
Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan Penerimaan Negara
Bukan Pajak.

(4) Tata cara pengelolaan dan penggunaan Biaya Penagihan Pajak dan tambahan Biaya
Penagihan Pajak diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.

BAB III
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17

Ketentuan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur dengan
Keputusan Menteri Keuangan.

Pasal 18

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun
1998 tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
(lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3725) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 19

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2000
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,

ttd

ABDURRAHMAN WAHID

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 20 Desember 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DJOHAN EFFENDI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 247


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 136 TAHUN 2000

TENTANG

TATA CARA PENJUALAN BARANG SITAAN YANG DIKECUALIKAN DARI


PENJUALAN SECARA LELANG DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK
DENGAN SURAT PAKSA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 25 ayat (5) Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1997 tentang Penagihan pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Tata Cara Penjualan Barang Sitaan yang dikecualikan Dari Penjualan Secara Lelang Dalam
Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3987);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan Dalam
Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 247, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4049);
MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PENJUALAN BARANG


SITAAN YANG DIKECUALIKAN DARI PENJUALAN SECARA LELANG DALAM
RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1. Barang adalah tiap benda atau hak yang dapat dijadikan objek sita.
2. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan
perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan
dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
3. Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan
menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan
pemindahbukuan.
4. Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu
berdasarkan perjanjian Nasabah Penyimpan dengan bank.
5. Sertifikat Deposito adalah simpanan dalam bentuk deposito yang sertifikat bukti
penyimpanannya dapat dipindahtangankan.
6. Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat
tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat
lainnya yang dipersamakan dengan itu.
7. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel saham, obligasi, sekuritas kredit,
atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam
bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang.
8. Rekening adalah dana yang tersimpan pada bank dalam bentuk rekening korang.
9. Obligasi adalah surat utang berjangka waktu lebih dari satu tahun dan bersuku bunga
tertentu, yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk menarik dana dari masyarakat guna
menutup pembiayaan perusahaan.
10. Saham adalah surat bukti pemilikan bagian modal perseroan terbatas yang memberi hak
atas deviden dan lain-lain menurut besar kecilnya modal yang disetor.
11. Piutang adalah tagihan orang pribadi atau badan kepada orang pribadi atau badan lain
baik karena peminjaman uang maupun karena perikatan lainnya, yang akan dilunasi pada
waktu tertentu sesuai perjanjian.
12. Penyertaan modal adalah pemilikan sebagian dari modal suatu perusahaan oleh orang
pribadi atau badan pada badan lain baik dalam bentuk surat setoran modal atau bentuk
lainnya.

BAB II
JENIS BARANG SITAAN YANG DIKECUALIKAN DARI PENJUALAN SECARA
LELANG
Pasal 2

Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang berupa :

1. Uang tunai;
2. Surat-surat berharga;
a. Kekayaan Penanggungan Pajak yang tersimpan pada bank seperti deposito
berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lain yang dipersamakan
dengan itu;
b. Obligasi;
c. Saham;
d. Piutang;
e. Penyertaan modal; dan
f. Surat berharga lainnya.
3. Barang yang mudah rusak atau cepat busuk.

Pasal 3

(1) Apabila Penanggungan Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak
setelah 14 (empat belas) hari sejak penyitaan barang yang penjualannya dikecualikan dari
penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pejabat segera
menggunakan, menjual dan atau memindahbukukan barang sitaan untuk pelunasan biaya
penagihan pajak dan utang pajak.
(2) Sebelum jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berakhir Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Pejabat untuk
menggunakan barang sitaan berupa uang tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo
rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu untuk pelunasan
biaya penagihan pajak dan utang pajak.
(3) Terhadap barang yang mudah rusak atau cepat busuk, Pejabat dapat segera menjual
barang-barang dimaksud untuk pelunasan biaya penagihan pajak dan utang pajak.

Pasal 4

(1) Penggunaan, penjualan dan atau pemindahbukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1), dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Uang tunai disetor ke kas negara atau ke kas daerah;


b. Deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu dipindahbukukan ke rekening kas negara atau kas daerah
atas permintaan Pejabat kepada bank yang bersangkutan;
c. Obligasi, saham, atau surat berharga lainnya :
1. Yang diperdagangkan di bursa efek, dijual oleh Pejabat melalui bursa efek sesuai
dengan ketentuan yang berlaku; dan
2. Yang tidak diperdagangkan di bursa efek langsung dijual oleh Pejabat kepada
pembeli;
d. Piutang yang hak menagihnya beralih kepada Pejabat berdasarkan berita acara
persetujuan pengalihan hak, dijual oleh Pejabat kepada pembeli;
e. Penyertaan modal pada perusahaan lain yang penguasaannya beralih kepada Pejabat
berdasarkan akte persetujuan pengalihan hak dijual oleh Pejabat kepada pembeli;
f. Hasil penjualan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada huruf c, huruf d, dan huruf
e disetor ke kas negara atau kas daerah;

(2) Untuk penentuan harga jual, Pejabat dapat meminta bantuan kepada Jasa Penilai.

(3) Penjualan atas barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e
diikuti dengan pembuatan Berita Acara Pengalihan Hak dari Pejabat kepada pembeli yang
fungsinya dipersamakan dengan Risalah Lelang.

Pasal 5
(1) Pejabat dan Jurusita Pajak dilarang membeli barang sitaan baik untuk diri sendiri maupun
atas kuasa pihak lain.
(2) Larangan terhadap Pejabat dan Jurusita Pajak untuk membeli barang sitaan, berlaku juga
terhadap isteri, suami, keluarga sedarah dan semenda dalam keturunan garis lurus, serta
anak angkat.

BAB III
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 6

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Pasal 7

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, maka Peraturan Pemerintah Nomor 4
Tahun 1998 tentang Tata Cara Penjualan Barang Sitaan Yang Dikecualikan Dari Penjualan
Secara Lelang Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3726)
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 8

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini


dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2000
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA

ttd

ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ttd

DJOHAN EFFENDI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 248


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 137 TAHUN 2000

TENTANG

TEMPAT DAN TATA CARA PENYANDERAAN, REHABILITASI NAMA BAIK


PENANGGUNG PAJAK, DAN PEMBERIAN GANTI RUGI DALAM RANGKA
PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 19 Tahun


1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak,
dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 beserta perubahannya;
2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3987);
MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TEMPAT DAN TATA CARA


PENYANDERAAN, REHABILITASI NAMA BAIK PENANGGUNG PAJAK DAN
PEMBERIAN GANTI RUGI DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN
SURAT PAKSA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1. Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang
pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan
penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan
pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang
telah disita.
2. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas
pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban
Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak tertentu
untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak
dengan menempatkannya di tempat tertentu.
5. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan
seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
6. Pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak,
menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Surat
Penentuan Harga Limit, Pembatalan Lelang, Surat Perintah Penyanderaan dan surat lain
yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak
melunasi sebagian atau seluruh utang pajak menurut undang-undang dan peraturan
daerah.
7. Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa
bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat
sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
8. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
tindakan penagihan pajak dilaksanakan.

BAB II
TATA CARA DAN TEMPAT PENYANDERAAN

Pasal 2

Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang tidak melunasi utang
pajak setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal Surat Paksa
diberitahukan kepada Penanggung Pajak.

Pasal 3

(1) Penyanderaan hanya dapat dilakukan dalam Penanggung Pajak:

a. mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);


dan
b. diragukan itikad baiknya dalam melunasi Utang pajak.

(2) Penyanderaan terhadap Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh Pejabat
setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri Keuangan untuk penagihan pajak pusat atau
dari Gubernur untuk penagihan pajak daerah.

Pasal 4
(1) Permohonan izin penyanderaan diajukan oleh Pejabat atau atasan Pejabat kepada Menteri
Keuangan untuk penagihan pajak pusat atau kepada Gubernur untuk penagihan pajak
daerah.

(2) Permohonan izin penyanderaan memuat sekurang-kurangnya :

a. identitas Penanggung Pajak yang akan disandera;


b. jumlah utang pajak yang belum dilunasi;
c. tindakan penagihan pajak yang telah dilaksanakan; dan
d. uraian tentang adanya petunjuk bahwa Penanggung Pajak diragukan itikad baik dalam
pelunasan utang pajak.

Pasal 5

(1) Surat Perintah Penyanderaan diterbitkan oleh Pejabat seketika setelah diterimanya izin
tertulis dari Menteri Keuangan untuk penagihan pajak pusat atau dari Gubernur untuk
penagihan pajak daerah.

(2) Surat Perintah Penyanderaan memuat sekurang-kurangnya :

a. identitas Penanggung Pajak;


b. alasan penyanderaan;
c. izin penyanderaan;
d. lama penyanderaan; dan
e. tempat peyanderaan.

Pasal 6

(1) Penanggung Pajak yang disandera ditempatkan ditempat tertentu sebagai tempat
penyanderaan dengan syarat-syarat sebagai berikut :

a. tertutup dan terasing dari masyarakat;


b. mempunyai fasilitas terbatas; dan
c. mempunyai sistem pengamanan dan pengawasan yang memadai.

(2) Sebelum tempat penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk,
Penanggung Pajak yang disandera dititipkan di rumah tahanan negara dan terpisah dari
tahanan lain.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyanderaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) ditetapkan dengan keputusan bersama Menteri Keuangan dan menteri
yang membidangi hukum dan perundang-undangan.

Pasal 7

Jangka waktu penyanderaan selama-lamanya 6 (enam) bulan terhitung sejak Penanggung


Pajak ditempatkan dalam tempat penyanderaan dan dapat diperpanjang untuk paling lama 6
(enam) bulan.

Pasal 8

(1) Jurusita Pajak harus menyampaikan Surat Perintah Penyanderaan langsung kepada
Penanggung Pajak dan salinannya disampaikan kepada kepala tempat penyanderaan.

(2) Dalam hal Penanggung Pajak yang akan disandera tidak dapat ditemukan, Jurusita Pajak
melalui Pejabat atau atasan Pejabat dapat meminta bantuan Kepolisian atau Kejaksaan
untuk menghadirkan Penanggung Pajak yang tidak dapat ditemukan tersebut.

(3) Penyanderaan mulai dilaksanakan pada saat Surat Perintah Penyanderaan diterima oleh
Penanggung Pajak yang bersangkutan.

Pasal 9

(1) Penyanderaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak disaksikan oleh 2 (dua) orang penduduk
Indonesia yang telah dewasa, dikenal oleh Jurusita Pajak dan dapat dipercaya.

(2) Dalam melaksanakan penyanderaan Jurusita Pajak dapat meminta bantuan Kepolisian
atau Kejaksaan.

(3) Jurusita Pajak membuat Berita Acara Penyanderaan pada saat Penanggung Pajak
ditempatkan di tempat penyanderaan, dan Berita Acara Penyanderaan ditandatangani oleh
Jurusita Pajak, kepala tempat penyanderaan dan saksi-saksi.
(4) Berita Acara Penyanderaan paling sedikit memuat :

a. nomor dan tanggal Surat Perintah Penyanderaan;


b. izin tertulis Menteri Keuangan atau Gubernur;
c. identitas Jurusita Pajak;
d. identitas Penanggung Pajak yang disandera;
e. tempat penyanderaan;
f. lamanya penyanderaan; dan
g. identitas saksi penyanderaan.

(5) Salinan Berita Acara Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disampaikan
kepada kepala tempat penyanderaan, Penanggung Pajak yang disandera, dan Bupati atau
Walikota.

Pasal 10

(1) Penanggung Pajak yang disandera dilepas, jika memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas;
b. apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah Penyanderaan telah
dipenuhi;
c. berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d. berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan atau Gubernur.

(2) Pejabat memberitahukan secara tertulis kepada kepala tempat penyanderaan apabila
Penanggung Pajak akan dilepas dari penyanderaan berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf c, atau huruf d.

(3) Kepala tempat penyanderaan segera memberitahukan secara tertulis kepada Pejabat
apabila Penanggung Pajak telah dilepas dari penyanderaan.

Pasal 11

(1) Penanggung Pajak yang melarikan diri dari tempat penyanderaan dalam masa
penyanderaan, disandera kembali berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang dahulu
diterbitkan terhadapnya.

(2) Masa penyanderaan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sama dengan
masa penyanderaan menurut Surat Perintah Penyanderaan yang dahulu diterbitkan
terhadapnya dengan memperhitungkan masa penyanderaan yang telah dijalani sebelum
Penanggung Pajak melarikan diri.

Pasal 12

Penyanderaan tetap dapat dilaksanakan terhadap Penanggung Pajak yang telah dilakukan
pencegahan.

Pasal 13

Biaya penyanderaan dibebankan kepada Penanggung Pajak yang disandera dan


diperhitungkan sebagai biaya penagihan pajak.

Pasal 14

Selama dalam penyanderaan Penanggung Pajak berhak untuk :

a. melakukan ibadah di tempat penyanderaan sesuai dengan agama dan kepercayaannya


masing-masing;
b. memperoleh pelayanan kesehatan yang layak sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
c. mendapat makanan yang layak termasuk menerima kiriman dari keluarga;
d. menyampaikan keluhan tentang perlakuan petugas;
e. memperoleh bahan bacaan dan informasi lainnya atas biaya Penanggung Pajak yang
disandera;
f. menerima kunjungan dari :

1) keluarga, pengacara dan sahabat;


2) dokter pribadi atas biaya sendiri;
3) rohaniawan.
Pasal 15

(1) Penanggung Pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan
penyanderaan hanya kepada Pengadilan Negeri.

(2) Gugatan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat diajukan
setelah masa penyanderaan berakhir.

BAB III
REHABILITASI NAMA BAIK PENANGGUNG PAJAK DAN PEMBERIAN GANTI
RUGI

Pasal 16

(1) Dalam hal gugatan Penanggung Pajak dikabulkan oleh pengadilan dan putusan
pengadilan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Penanggung Pajak dapat
mengajukan permohonan rehabilitasi nama baik dan ganti rugi.

(2) Permohonan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada
Pejabat yang menerbitkan Surat Perintah Penyanderaan.

(3) Rehabilitasi nama baik dilaksanakan oleh Pejabat dalam bentuk 1 (satu) kali
pengumuman pada media cetak harian yang berskala nasional dengan ukuran yang
memadai, yang dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya
permohonan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(4) Besarnya ganti rugi yang diberikan Pejabat kepada Penanggung Pajak adalah sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) setiap hari selama masa penyanderaan yang telah
dijalaninya.

(5) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh)
hari sejak diterimanya permohonan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).

(6) Tata cara pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan.

BAB IV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun
1998 tentang Tata Cara Penyanderaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3727) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 18

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 20 Desember 2000
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,

ttd

ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 20 Desember 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DJOHAN EFFENDI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 249


PERATURAN MENTERI KEUANGAN

TENTANG

PENAGIHAN PAJAK SURAT PAKSA


PERATURAN MENTERI KEUANGAN

NOMOR 24/PMK.03/2008

TENTANG

TATA CARA PELAKSANAAN PENAGIHAN DENGAN SURAT PAKSA

DAN PELAKSANAAN PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 10 ayat (9), Pasal 10A dan Pasal 20 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 dan ketentuan
Pasal 27 ayat (10) Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan dengan Surat Paksa dan
Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan
Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4797);
6. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005 ;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN


PENAGIHAN DENGAN SURAT PAKSA DAN PELAKSANAAN PENAGIHAN
SEKETIKA DAN SEKALIGUS.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:

1. Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang
pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan
Penagihan Seketika dan Sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan
pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang
yang telah disita.
2. Pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang selanjutnya disebut Pejabat adalah pejabat yang
berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak, serta menerbitkan Surat
Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Surat Penentuan Harga Limit,
Pembatalan Lelang, Surat Perintah Penyanderaan, dan surat lain yang diperlukan untuk
Penagihan Pajak, sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak melunasi sebagian atau
seluruh utang pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat lain yang sejenis adalah surat yang
diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan Wajib Pajak untuk
melunasi utang pajaknya.
4. Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan
oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo
pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan
Tahun Pajak.
5. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya Penagihan Pajak.
6. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan
Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan, dan penyanderaan.

Pasal 2

Dalam rangka pelaksanaan Penagihan Pajak, Menteri Keuangan menunjuk:

a. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar, Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Madya, dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak Jakarta Khusus sebagai Pejabat untuk Penagihan Pajak yang meliputi
Pajak Penghasilan serta Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah;
b. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama sebagai Pejabat untuk Penagihan Pajak yang
meliputi Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan;
c. Kepala Kantor Pelayanan Pajak selain Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b sebagai Pejabat untuk Penagihan Pajak yang meliputi
Pajak Penghasilan serta Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah;
d. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai Pejabat untuk Penagihan
Pajak yang meliputi Pajak Bumi dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.

Pasal 3

Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
berwenang untuk mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pasal 4

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a
melaksanakan Penagihan Pajak dalam hal utang pajak sebagaimana tercantum dalam Surat
Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), serta Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, tidak dilunasi sampai dengan
tanggal jatuh tempo.
(2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b
melaksanakan Penagihan Pajak dalam hal utang pajak sebagaimana tercantum dalam:
a. Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), serta
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan
Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, untuk
Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah;
b. Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (STPPBB), untuk Pajak Bumi dan
Bangunan;
c. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
(SKBKB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang
Bayar Tambahan (SKBKBT), serta Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (STB), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah
pajak yang harus dibayar bertambah, untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan,tidak dilunasi sampai dengan tanggal jatuh tempo.
(3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c
melaksanakan Penagihan Pajak dalam hal utang pajak sebagaimana tercantum dalam Surat
Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), serta Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, tidak dilunasi sampai dengan
tanggal jatuh tempo.
(4) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 huruf d melaksanakan Penagihan Pajak dalam hal utang pajak sebagaimana yang
tercantum dalam:
a. Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (STPPBB), untuk Pajak Bumi dan
Bangunan;
b. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
(SKBKB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang
Bayar Tambahan (SKBKBT), serta Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (STB), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah
pajak yang harus dibayar bertambah, untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan,tidak dilunasi sampai dengan tanggal jatuh tempo.

Pasal 5

(1) Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), serta Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka
waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(2) Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, jangka waktu pelunasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan.

Pasal 6

(1) Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (STPPBB) harus dilunasi dalam jangka
waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterima oleh Wajib Pajak.
(2) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB),
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan
(SKBKBT), serta Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STB), dan
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan
Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan sejak tanggal diterima oleh Wajib Pajak.

Pasal 7

(1) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
(SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), jangka waktu
pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 untuk jumlah pajak yang belum
dibayar pada saat pengajuan keberatan sebesar pajak yang tidak disetujui dalam
pembahasan akhir hasil pemeriksaan, tertangguh sampai dengan 1(satu) bulan sejak
tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding atas Surat Keputusan Keberatan sehubungan
dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan (SKPKBT), jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 atau pada ayat (1), tertangguh sampai dengan 1(satu) bulan sejak tanggal
penerbitan Putusan Banding.

Pasal 8

(1) Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dilakukan dengan terlebih dahulu
menerbitkan Surat Teguran oleh Pejabat.
(2) Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diterbitkan terhadap
Penanggung Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran
pajak.
Pasal 9

(1) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih
harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan Wajib Pajak tidak
mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), kepada Wajib Pajak disampaikan
Surat Teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), setelah 7 (tujuh) hari sejak
saat jatuh tempo pengajuan keberatan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih
harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan Wajib Pajak tidak
mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan (SKPKBT), kepada Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan
banding.
(3) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih
harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan Wajib Pajak mengajukan
permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT),
kepada Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1), setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus
dibayar berdasarkan Putusan Banding.
(4) Dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam
pembahasan akhir hasil pemeriksaan, kepada Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo
pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(5) Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) setelah
tanggal jatuh tempo pelunasan tetapi sebelum tanggal diterima Surat Pemberitahuan Untuk
Hadir oleh Wajib Pajak, kepada Wajib Pajak disampaikan Surat Teguran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal pencabutan
pengajuan keberatan tersebut.
Pasal 10

Surat Teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam rangka Penagihan Pajak
atas utang Pajak Bumi dan Bangunan dan/atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
sebagaimana tercantum dalam:

a. Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (STPPBB);


b. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB);
c. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan
(SKBKBT);
d. Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STB); atau
e. Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah,disampaikan kepada Wajib
Pajak setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo pelunasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6.
Pasal 11

Penyampaian Surat Teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 dapat
dilakukan:

a. secara langsung;
b. melalui pos; atau
c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.

Pasal 12

Apabila jumlah utang pajak tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak setelah lewat waktu 21
(dua puluh satu) hari sejak tanggal disampaikan Surat Teguran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1), Surat Paksa diterbitkan oleh Pejabat dan diberitahukan secara langsung oleh
Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak.
Pasal 13

(1) Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus tanpa menunggu tanggal
jatuh tempo pembayaran berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus
yang diterbitkan oleh Pejabat apabila:
a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama - lamanya atau berniat
untuk itu;
b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai
dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan
yang dilakukannya di Indonesia;
c. terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha, atau
menggabungkan usaha, atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan
perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk
lainnya;
d. badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
e. terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-
tanda kepailitan.
(2) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sekurang-kurangnya memuat:
a. nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak;
b. besarnya utang pajak;
c. perintah untuk membayar; dan
d. saat pelunasan pajak.

Pasal 14

Penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus oleh Pejabat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. diterbitkan sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran;


b. diterbitkan tanpa didahului Surat Teguran;
c. diterbitkan sebelum jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak Surat Teguran
diterbitkan; atau
d. diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa.
Pasal 15

Selain kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Surat Paksa juga dapat diterbitkan
dalam hal:

a. terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13; atau
b. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan
persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.

Pasal 16

(1) Surat Paksa yang diterbitkan karena kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan
Pasal 15 diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan Salinan
Surat Paksa kepada Penanggung Pajak.
(2) Pemberitahuan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan dengan membacakan isi Surat Paksa oleh Jurusita Pajak dan dituangkan
dalam Berita Acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan.
(3) Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya berisi hari dan
tanggal pemberitahuan Surat Paksa, nama Jurusita Pajak, nama yang menerima, dan
tempat pemberitahuan Surat Paksa serta ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan
Penanggung Pajak.

Pasal 17

Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:

a. Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat lain yang
memungkinkan;
b. orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha
Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai;
c. salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta
peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum
dibagi; atau
d. ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi.
Pasal 18

Surat Paksa terhadap badan diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:

a. pengurus meliputi Direksi, Komisaris, pemegang saham pengendali atau mayoritas untuk
perseroan terbuka, pemegang saham untuk perseroan tertutup, dan orang yang nyata-
nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil
keputusan dalam menjalankan perseroan, untuk perseroan terbatas;
b. kepala perwakilan, kepala cabang, atau penanggung jawab, untuk Bentuk Usaha Tetap;
c. direktur, pemilik modal, atau orang yang ditunjuk untuk melaksanakan dan
mengendalikan serta bertanggung jawab atas perusahaan, untuk badan usaha lainnya
seperti kontrak investasi kolektif, persekutuan, firma, dan perseroan komanditer;
d. ketua atau orang yang melaksanakan dan mengendalikan serta bertanggung jawab atas
yayasan, untuk yayasan;
e. pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan apabila
Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud pada huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d.

Pasal 19

(1) Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Kurator,
Hakim Pengawas, atau Balai Harta Peninggalan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan
kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator.
(3) Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk
menjalankan hak dan kewajiban perpajakan, Surat Paksa dapat diberitahukan kepada
penerima kuasa.

Pasal 20

(1) Dalam hal Penanggung Pajak atau pihak-pihak yang dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18,
dan Pasal 19 menolak untuk menerima Surat Paksa, Jurusita Pajak meninggalkan Surat
Paksa dimaksud dan mencatatnya dalam Berita Acara bahwa Penanggung Pajak tidak mau
menerima Surat Paksa, dan Surat Paksa dianggap telah diberitahukan.
(2) Apabila pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, dan
Pasal 19 tidak dapat dilaksanakan, Surat Paksa disampaikan melalui Pemerintah Daerah
setempat.
(3) Dalam hal Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat
usaha, atau tempat kedudukannya, penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan
menempelkan salinan Surat Paksa pada papan pengumuman di kantor Pejabat yang
menerbitkannya, dengan mengumumkan melalui media massa, atau dengan cara lain.

Pasal 21

(1) Dalam hal pelaksanaan Surat Paksa harus dilakukan di luar wilayah kerja Pejabat, Pejabat
yang menerbitkan Surat Paksa meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya
meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa.
(2) Dalam hal di 1(satu) kota terdapat lebih dari 1(satu) wilayah kerja dari beberapa Pejabat,
Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa dapat memerintahkan Jurusita Pajaknya untuk
melaksanakan Surat Paksa di luar wilayah kerjanya sepanjang masih berada di kota
tersebut.
(3) Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
memberitahukan pelaksanaan Surat Paksa yang telah dilakukan kepada Pejabat yang
wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa.
(4) Dalam hal pelaksanaan Surat Paksa harus dilakukan di luar kota tempat kedudukan kantor
Pejabat namun masih dalam wilayah kerjanya, Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa:
a. meminta bantuan untuk melaksanakan Surat Paksa kepada Pejabat yang wilayah
kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa; atau
b. memerintahkanJurusita Pajaknya untuk melaksanakan Surat Paksa secara langsung
tanpa meminta bantuan kepada Pejabat setempat disertai dengan pemberitahuan
kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa.
(5) Pejabat yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) huruf a
wajib membantu dan memberitahukan tindakan yang telah dilaksanakannya kepada
Pejabat yang meminta bantuan.

Pasal 22
(1) Dalam hal terjadi keadaan di luar kekuasaan Pejabat atau sebab lain, Surat Paksa
pengganti dapat diterbitkan oleh Pejabat karena jabatan.
(2) Surat Paksa pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan
eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan Surat Paksa.

Pasal 23

(1) Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan pembetulan atau penggantian kepada
Pejabat terhadap Surat Teguran dan/atau Surat Paksa yang dalam penerbitannya terdapat
kesalahan atau kekeliruan.
(2) Pejabat dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal diterima permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberi keputusan atas permohonan yang
diajukan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pejabat tidak
memberikan keputusan, permohonan Penanggung Pajak dianggap dikabulkan dan
Penagihan Pajak ditunda untuk sementara waktu.
(4) Pejabat karena jabatan dapat membetulkan Surat Teguran, Surat Perintah Penagihan
Seketika dan Sekaligus, dan Surat Paksa yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan
atau kekeliruan.
(5) Tindakan pelaksanaan Penagihan Pajak dilanjutkan setelah kesalahan atau kekeliruan
dibetulkan oleh Pejabat.

Pasal 24

(1) Apabila setelah lewat waktu 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa
diberitahukan kepada Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan utang
pajak tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak, Pejabat menerbitkan Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan.
(2) Berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan terhadap barang milik penanggung pajak.
Pasal 25

(1) Dalam hal objek sita berada di luar wilayah kerja Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa,
Pejabat dimaksud meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat
objek sita berada untuk menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
(2) Dalam hal di 1 (satu) kota terdapat lebih dari 1(satu) wilayah kerja dari beberapa Pejabat,
Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa dapat memerintahkan Jurusita Pajaknya untuk
melaksanakan penyitaan terhadap objek sita yang berada di luar wilayah kerjanya
sepanjang masih berada di kota bersangkutan.
(3) Pejabat yang memerintahkan Jurusita Pajaknya untuk melaksanakan penyitaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memberitahukan pelaksanaan Penyitaan yang
telah dilakukan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat objek sita berada.
(4) Dalam hal objek sita terletak berjauhan atau di luar kota tempat kedudukan kantor Pejabat
namun masih dalam wilayah kerjanya, Pejabat dimaksud:
a. meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya juga meliputi tempat objek
sita berada untuk menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; atau
b. memerintahkanJurusita Pajaknya untuk melaksanakan penyitaan secara langsung
tanpa meminta bantuan Pejabat setempat, disertai dengan pemberitahuan kepada
Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa.
(5) Pejabat yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) huruf a
wajib membantu dan memberitahukan pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan dimaksud kepada Pejabat yang meminta bantuan.

Pasal 26

Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), Penanggung Pajak tidak melunasi utang
pajak dan biaya Penagihan Pajak, Pejabat melakukan pengumuman lelang.

Pasal 27

Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 untuk barang bergerak dilakukan
1(satu) kali dan untuk barang tidak bergerak dilakukan 2 (dua) kali.
Pasal 28

Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak Pengumuman Lelang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27, Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya
Penagihan Pajak, Pejabat melakukan penjualan barang sitaan Penanggung Pajak melalui
kantor lelang negara.

Pasal 29

Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur penagihan dengan Surat Paksa yang diperlukan
dalam pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan ini diatur dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak.

Pasal 30

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku:

1. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan


Penagihan Seketika dan Sekaligus dan Pelaksanaan Surat Paksa dinyatakan tidak
berlaku, kecuali untuk hak dan kewajiban perpajakan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun
Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya.
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Surat Paksa dan Penyitaan di Luar Wilayah Kerja Pejabat yang Menerbitkan Surat Paksa,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 31

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri


Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 6 Februari 2008


MENTERI KEUANGAN,

Ttd

SRI MULYANI
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

TENTANG

PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA


KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 85/KMK.03/2002
TENTANG
TATA CARA PENYITAAN KEKAYAAN PENANGGUNG PAJAK BERUPA
PIUTANG
DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
bahwa untuk kelancaran pelaksanaan penyitaan kekayaan Penanggung Pajak berupa
piutang dalam rangka penagihan dengan Surat Paksa, perlu menetapkan Keputusan
Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penyitaan Kekayaan Penanggung Pajak Berupa
Piutang Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;

Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3987);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan Dalam
Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 247, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4049);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penjualan Barang
Sitaan Yang Dikecualikan dari Penjualan Secara Lelang Dalam Rangka Penagihan
Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 248, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4050);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001;
5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.04/2000 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus dan Pelaksanaan Surat Paksa;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENYITAAN
KEKAYAAN PENANGGUNG PAJAK BERUPA PIUTANG DALAM RANGKA
PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA.

Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Piutang adalah harta kekayaan yang merupakan hak Penanggung Pajak yang berada
pada pihak lain yang dapat dilakukan penyitaan guna dijadikan jaminan untuk
melunasi utang pajak.
2. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas
pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban
Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita
Pajak, menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa,
Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman
Lelang, Surat Penentuan Harga Limit, Pembatalan LelangSurat Perintah
Penyanderaan dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan
dengan Penanggung Pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak
menurut undang-undang dan peraturan daerah.
4. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan pengihan pajak yang meliputi penagihan
seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
5. Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi
berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak
atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
6. Biaya Penagihan Pajak adalah biaya pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, Jasa Penilai
dan biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak.

Pasal 2

(1) Pejabat menyampaikan surat peringatan kepada Penanggung Pajak bahwa Piutang
Penanggung Pajak akan digunakan untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan
Pajak.
(2) Apabila setelah batas waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal surat peringatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Penanggung Pajak tidak melunasi Utang
Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Pejabat memerintahkan Jurusita pajak untuk
melaksanakan penyitaan.

Pasal 3

(1) Penyitaan terhadap kekayaan Penanggung Pajak berupa Piutang dilaksanakan sebagai
berikut:
a. Jurusita Pajak melakukan inventarisasi dan membuat rincian tentang jenis dan
jumlah Piutang yang disita dalam suatu daftar yang merupakan lampiran Berita
Acara Pelaksanaan Sita;
b. Jurusita Pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita;
c. Jurusita Pajak membuat Berita Acara Persetujuan Pengalihan Hak Menagih
Piutang dari Penanggung Pajak kepada Pejabat, dan salinannya disampaikan
kepada Penanggung Pajak dan pihak yang berkewajiban membayar utang.
(2) Pelunasan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dengan Piutang yang telah disita
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan cara :
a. Dijual oleh Pejabat kepada pembeli; atau
b. Disetor langsung oleh pihak yang berkewajiban membayar utang ke Kas Negara
atas permintaan Pejabat.

Pasal 4

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan
ini ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 5

Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri


Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Maret 2002
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

BOEDIONO
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 562/KMK.04/2000

TENTANG

SYARAT-SYARAT, TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN


JURUSITA PAJAK

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 19 Tahun


1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan
tentang Syarat-syarat, Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Jurusita Pajak;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
2. Keputusan Presiden Nomor 234/M Tahun 2000;
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Penagihan Seketika dan Sekaligus dan Pelaksanaan Surat Paksa;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG SYARAT-SYARAT, TATA CARA


PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN JURUSITA PAJAK.
Pasal 1

(1) Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan
Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, melaksanakan penyitaan dan
penyanderaan.

(2) Jurusita Pajak diangkat dan diberhentikan oleh Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan untuk penagihan pajak pusat atau Gubernur atau Bupati/Walikota untuk
penagihan pajak daerah.

Pasal 2

Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk diangkat menjadi Jurusita Pajak adalah sebagai
berikut :
a. Berijazah serendah-rendahnya Sekolah Menengah Umum atau yang setingkat dengan itu;
b. Berpangkat serendah-rendahnya Pengatur Muda/Golongan II/a;
c. Berbadan sehat;
d. Lulus pendidikan dan latihan Jurusita Pajak; dan
e. Jujur, bertanggungjawab dan penuh pengabdian.

Pasal 3

Sebelum memangku jabatannya, Jurusita Pajak diambil sumpah atau janji menurut agama
atau kepercayaannya oleh Pejabat yang berbunyi sebagai berikut :

"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memangku jabatan


saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga,
tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga."

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatan saya ini, tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun
juga sesuatu janji atau pemberian."
"Sayabersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan
segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia."

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan
jujur, seksama dan dengan tidak membeda-bedakan orang dalam melaksanakan kewajiban
saya dan akan berlaku sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang
Jurusita Pajak yang berbudi baik dan jujur, menegakkan hukum dan keadilan."

Pasal 4

Jurusita Pajak diberhentikan apabila :

a. Meninggal dunia;
b. Pensiun;
c. Karena alih tugas atau kepentingan dinas lainnya;
d. Ternyata lalai atau tidak cakap dalam menjalankan tugas;
e. Melakukan perbuatan tercela;
f. Melanggar sumpah atau janji Jurusita Pajak; atau
g. Sakit jasmani atau rohani terus menerus.

Pasal 5

Jurusita Pajak yang telah diangkat sebelum berlakunya Keputusan Menteri Keuangan ini
tetap berstatus dan melaksanakan tugasnya sebagai Jurusita Pajak.

Pasal 6

Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 149/KMK.04/1998 tentang Syarat-syarat, Tata Cara Pengangkatan dan
Pemberhentian Jurusita Pajak dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 7

Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri


Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Desember 2000
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd

PRIJADI PRAPTOSUHARDJO
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
TENTANG
PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER - 24/PJ/2014
TENTANG
TATA CARA PELAKSANAAN PEMBLOKIRAN DAN PENYITAAN HARTA
KEKAYAAN
PENANGGUNG PAJAK YANG TERSIMPAN PADA BANK DALAM RANGKA
PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pemblokiran dan penyitaan harta
kekayaan penanggung pajak yang tersimpan pada bank dalam rangka penagihan pajak
dengan Surat Paksa telah diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-
627/PJ./2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan
Penanggung Pajak yang Tersimpan pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-109/PJ./2007;
b. bahwa untuk memberikan kepastian hukum pelaksanaan pemblokiran dan penyitaan harta
kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank serta dalam rangka upaya
penagihan dengan Surat Paksa di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, perlu dilakukan
penyesuaian dan penyempurnaan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara
pelaksanaan pemblokiran dan penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak yang
tersimpan pada bank dalam rangka penagihan pajak dengan Surat Paksa sebagaimana
dimaksud dalam huruf a;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 563/KMK.04/2000 tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan
Penanggung Pajak yang tersimpan pada Bank dalam rangka Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa, perlu menerapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang
Tersimpan Pada Bank dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 211, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4953);
2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan dalam
Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 247, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4049);
5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Penagihan Seketika dan Sekaligus dan Pelaksanaan Surat Paksa;
6. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.04/2000 tentang Pemblokiran dan
Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada Bank dalam rangka
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Penagihan dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2010;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA
PELAKSANAAN PEMBLOKIRAN DAN PENYITAAN HARTA KEKAYAAN
PENANGGUNG PAJAK YANG TERSIMPAN PADA BANK DALAM RANGKA
PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA.

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan :

1. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak,
dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas
pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban
Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak adalah Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama, Kepala
Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kepala Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Wajib Pajak Besar yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai Pejabat untuk
Penagihan Pajak.
4. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan
seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
5. Harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank meliputi simpanan, dan
bentuk simpanan lain yang lazim dalam praktik perbankan.
6. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan
perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan
dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
7. Pemblokiran adalah tindakan pengamanan harta kekayaan milik Penanggung Pajak yang
tersimpan pada bank dengan tujuan agar terhadap harta kekayaan dimaksud tidak terdapat
perubahan apapun, selain penambahan jumlah atau nilai.
8. Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai harta dan hak Penanggung
Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 2

(1) Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank
dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu.
(2) Untuk melaksanakan pemblokiran harta kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib mengajukan permintaan pemblokiran kepada
pimpinan bank pengelola simpanan dan/atau kantor pusat bank tempat harta kekayaan
Penanggung Pajak tersimpan.
(3) Permintaan pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan:
a. salinan Surat Paksa;
b. salinan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; dan
c. Daftar Surat Paksa.
(4) Dalam hal pelaksanaan pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap harta kekayaan milik Penanggung Pajak yang namanya tidak tercantum dalam
Surat Paksa dan/atau Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, maka surat permintaan
pemblokiran disertai dengan Surat Keterangan Kedudukan Penanggung Pajak Pada Wajib
Pajak.

Pasal 3

(1) Permintaan pemblokiran diajukan kepada pimpinan bank pengelola simpanan yang berada
di wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
(2) Dalam hal permintaan pemblokiran diajukan kepada pimpinan bank pengelola simpanan
yang berada di luar wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan Pajak, Kepala Kantor
Pelayanan Pajak dimaksud meminta bantuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi bank pengelola simpanan.
(3) Dalam hal di 1 (satu) kota terdapat lebih dari 1 (satu) wilayah kerja dari beberapa Kepala
Kantor Pelayanan Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat memerintahkan Jurusita
Pajak untuk melaksanakan permintaan pemblokiran kepada pimpinan bank pengelola
simpanan di luar wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan Pajak sepanjang masih berada di
kota tersebut.
(4) Dalam hal permintaan pemblokiran diajukan kepada pimpinan bank pengelola simpanan
yang terletak di luar kota tempat kedudukan Kepala Kantor Pelayanan Pajak namun masih
dalam wilayah kerjanya, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dimaksud:
a. meminta bantuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya juga
meliputi bank pengelola simpanan untuk melaksanakan pemblokiran; atau
b. memerintahkan Jurusita Pajak untuk melaksanakan pemblokiran secara langsung
tanpa meminta bantuan Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat.
(5) Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (4) huruf a wajib membantu dan memberitahukan tindakan yang telah
dilaksanakannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan.
(6) Dalam hal permintaan pemblokiran ditujukan ke kantor pusat bank yang berada di luar
wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dimaksud dapat
meminta pemblokiran kepada pimpinan kantor pusat bank atau pejabat kantor pusat bank
yang ditunjuk tanpa meminta bantuan Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi kantor pusat bank tersebut.

Pasal 4

(1) Penyampaian permintaan pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ayat
(3), dan ayat (4) huruf b dilakukan secara langsung oleh Jurusita Pajak.
(2) Penyampaian permintaan pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan
ayat (4) huruf a dilakukan secara langsung oleh Jurusita Pajak Kantor Pelayanan Pajak
yang diminta bantuan.
(3) Penyampaian permintaan pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6)
dilakukan dengan cara:
a. menyampaikan secara langsung;
b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.

Pasal 5
Dalam hal Penanggung Pajak memiliki lebih dari 1 (satu) nomor rekening simpanan, bank
melakukan pemblokiran hanya terhadap sejumlah rekening simpanan yang dananya cukup
untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak sesuai dengan jumlah yang tercantum
dalam surat permintaan pemblokiran harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada
bank.

Pasal 6

(1) Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk wajib melaksanakan pemblokiran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (4) berdasarkan permintaan Kepala
Kantor Pelayanan Pajak.
(2) Pelaksanaan pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara seketika
setelah permintaan pemblokiran dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak diterima oleh
pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk yang berwenang melakukan pemblokiran.
(3) Atas pelaksanaan pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan bank atau
pejabat bank yang ditunjuk wajib membuat berita acara pemblokiran yang sekurang-
kurangnya memuat:
a. nomor dan tanggal surat permintaan pemblokiran;
b. tanggal dan waktu diterima surat permintaan pemblokiran;
c. hari, tanggal, dan waktu dilakukan pemblokiran oleh bank; dan
d. nama, NPWP, dan alamat Wajib Pajak/Penanggung Pajak.
(4) Berita acara pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat rangkap 3 (tiga),
dan disampaikan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Penanggung Pajak.
(5) Penyampaian Berita acara pemblokiran sebagaimana dimaksud ayat (4) kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak dilakukan secara seketika dan penyampaian kepada Penanggung
Pajak harus dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal dilakukan pemblokiran.

Pasal 7

(1) Setelah menerima berita acara pemblokiran, Jurusita Pajak memerintahkan Penanggung
Pajak untuk memberikan kuasa kepada bank pengelola simpanan agar memberitahukan
saldo harta kekayaan yang tersimpan pada bank tersebut kepada Jurusita Pajak dengan
menggunakan surat perintah memberikan kuasa kepada bank untuk memberitahukan saldo
harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank.
(2) Penyampaian surat perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan surat
pengantar penyampaian surat perintah memberikan kuasa kepada bank untuk
memberitahukan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank.
(3) Dalam hal Penanggung Pajak bersedia memberitahukan saldo harta kekayaan yang
tersimpan pada bank, Penanggung Pajak memberikan kuasa kepada pimpinan bank atau
pejabat bank yang ditunjuk dengan membuat surat kuasa memberitahukan saldo harta
kekayaan yang tersimpan pada bank dan menyampaikan surat kuasa beserta salinannya
kepada Jurusita Pajak.
(4) Dalam hal Penanggung Pajak menolak memberikan kuasa kepada pimpinan bank atau
pejabat bank yang ditunjuk untuk memberitahukan saldo harta kekayaannya yang
tersimpan pada bank, Jurusita Pajak membuat berita acara penolakan pemberian kuasa
oleh Penanggung Pajak kepada bank untuk memberitahukan saldo harta kekayaan yang
tersimpan pada bank kepada Jurusita Pajak.
(5) Dalam hal Penanggung Pajak:
a. tidak memberikan jawaban atas perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak disampaikannya surat perintah tersebut; atau
b. tidak dapat ditemukan,Jurusita Pajak membuat berita acara tidak diperoleh kuasa
Penanggung Pajak kepada bank untuk memberitahukan saldo harta kekayaan yang
tersimpan pada bank.
(6) Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5) digunakan sebagai dasar
bagi Kepala Kantor Pelayanan Pajak untuk mengajukan permohonan kepada Dewan
Komisioner Otoritas Jasa Keuangan melalui Menteri Keuangan untuk memberikan
perintah kepada bank guna memberitahukan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak.
(7) Pimpinan Bank atau pejabat bank yang ditunjuk memberitahukan saldo harta kekayaan
Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank secara tertulis kepada Jurusita Pajak
berdasarkan surat kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau perintah kepada bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (6).

Pasal 8

(1) Dalam hal berita acara pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3)
diterima oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan dari bank pengelola
Simpanan yang berada di luar wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang
meminta bantuan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan meneruskan
berita acara pemblokiran kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan.
(2) Berdasarkan berita acara pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Jurusita Pajak
Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan, memerintahkan Penanggung Pajak untuk
memberikan kuasa kepada bank pengelola simpanan agar memberitahukan saldo harta
kekayaan yang tersimpan pada bank tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang
diminta bantuan dengan menggunakan surat perintah memberikan kuasa kepada bank
untuk memberitahukan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada
bank.
(3) Penyampaian surat perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan surat
pengantar penyampaian surat perintah memberikan kuasa kepada bank untuk
memberitahukan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank.
(4) Dalam hal Penanggung Pajak bersedia memberitahukan saldo harta kekayaan yang
tersimpan pada bank, Penanggung Pajak memberikan kuasa kepada pimpinan bank atau
pejabat bank yang ditunjuk dengan membuat surat kuasa memberitahukan saldo harta
kekayaan yang tersimpan pada bank dan menyampaikan surat kuasa beserta salinannya
kepada Jurusita Pajak Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan.
(5) Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan meneruskan surat kuasa beserta
salinannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
yang diminta bantuan.
(6) Dalam hal Penanggung Pajak menolak memberikan kuasa kepada pimpinan bank atau
pejabat bank yang ditunjuk untuk memberitahukan saldo harta kekayaan yang tersimpan
pada bank, Jurusita Pajak Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan membuat berita
acara penolakan pemberian kuasa oleh Penanggung Pajak kepada bank untuk
memberitahukan saldo harta kekayaan yang tersimpan pada bank.
(7) Dalam hal Penanggung Pajak:
a. tidak memberikan jawaban atas perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak disampaikannya surat perintah tersebut; atau
b. tidak dapat ditemukan,Jurusita Pajak Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan
membuat berita acara tidak diperoleh kuasa Penanggung Pajak kepada bank untuk
memberitahukan saldo harta kekayaan yang tersimpan pada bank.
(8) Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau ayat (7) digunakan sebagai dasar
bagi Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan untuk mengajukan
permohonan kepada Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan melalui Menteri
Keuangan untuk memberikan perintah kepada bank guna memberitahukan saldo harta
kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank.
(9) Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk memberitahukan saldo harta kekayaan
Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank secara tertulis kepada Jurusita Pajak
berdasarkan surat kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau perintah kepada bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (8).

Pasal 9

(1) Dalam hal berita acara pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
diterima oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang dari kantor cabang bank pengelola
simpanan yang berada di luar wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang
mengajukan permintaan pemblokiran, Kepala Kantor Pelayanan Pajak:
a. meminta bantuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi kantor cabang bank pengelola simpanan untuk menerbitkan Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan terkait obyek pemblokiran dimaksud; dan
b. mengirimkan surat pemberitahuan kepada kantor cabang bank pengelola simpanan
bahwa pemblokiran akan ditindaklanjuti oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi kantor cabang bank tersebut.
(2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan wajib menerbitkan Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan dan menindaklanjutinya.
(3) Jurusita Pajak Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan, memerintahkan
Penanggung Pajak untuk memberikan kuasa kepada bank pengelola simpanan agar
memberitahukan saldo harta kekayaan yang tersimpan pada bank tersebut kepada Jurusita
Pajak Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan dengan menggunakan surat perintah
memberikan kuasa kepada bank untuk memberitahukan saldo harta kekayaan Penanggung
Pajak yang tersimpan pada bank.
(4) Penyampaian surat perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai dengan surat
pengantar penyampaian surat perintah memberikan kuasa kepada bank untuk
memberitahukan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank.
(5) Dalam hal Penanggung Pajak bersedia memberitahukan saldo harta kekayaan yang
tersimpan pada bank, Penanggung Pajak memberikan kuasa kepada pimpinan bank atau
pejabat bank yang ditunjuk dengan membuat surat kuasa memberitahukan saldo harta
kekayaan yang tersimpan pada bank dan menyampaikan surat kuasa beserta salinannya
kepada Jurusita Pajak Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan.
(6) Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan meneruskan surat kuasa beserta
salinannya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
yang diminta bantuan.
(7) Dalam hal Penanggung Pajak menolak memberikan kuasa kepada pimpinan bank atau
pejabat bank yang ditunjuk untuk memberitahukan saldo harta kekayaan yang tersimpan
pada bank, Jurusita Pajak Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan membuat berita
acara penolakan pemberian kuasa oleh Penanggung Pajak kepada bank untuk
memberitahukan saldo harta kekayaan yang tersimpan pada bank.
(8) Dalam hal Penanggung Pajak:
a. tidak memberikan jawaban atas perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak disampaikannya surat perintah tersebut; atau
b. tidak dapat ditemukan,Jurusita Pajak Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan
membuat berita acara tidak diperoleh kuasa Penanggung Pajak kepada bank untuk
memberitahukan saldo harta kekayaan yang tersimpan pada bank.
(9) Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (7) atau ayat (8) digunakan sebagai dasar
bagi Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan untuk mengajukan
permohonan kepada Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan melalui Menteri
Keuangan untuk memberikan perintah kepada bank guna memberitahukan saldo harta
kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank.
(10) Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk memberitahukan saldo harta kekayaan
Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank secara tertulis kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak yang diminta bantuan berdasarkan surat kuasa sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) atau perintah kepada bank sebagaimana dimaksud pada ayat (9).

Pasal 10

(1) Penanggung Pajak dapat melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak dengan
menggunakan harta kekayaan yang telah diblokir.
(2) Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:
a. mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
dengan melampirkan Surat Setoran Pajak dan Surat Setoran Bukan Pajak yang telah
ditandatangani oleh Penanggung Pajak;
b. memberikan kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3);
c. membuat surat perintah pemindahbukuan kepada bank pengelola simpanan untuk
melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak dengan menggunakan harta kekayaan
yang telah diblokir.
(3) Berdasarkan permohonan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a,
Kepala Kantor Pelayanan Pajak mengajukan permintaan pembukaan blokir dan
pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak yang telah diblokir untuk melunasi
biaya penagihan pajak dan utang pajak kepada bank pengelola simpanan.
(4) Permintaan pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan
menggunakan surat permintaan pembukaan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan
Penanggung Pajak yang telah diblokir untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang
pajak, dengan melampirkan:
a. Surat Setoran Pajak dan Surat Setoran Bukan Pajak yang telah ditandatangani oleh
Penanggung Pajak;
b. Surat perintah pemindahbukuan dari Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c.
(5) Berdasarkan surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), bank pengelola
simpanan setelah membuka blokir wajib secara serta merta memindahbukukan harta
kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank sebesar jumlah yang diminta
sebagaimana tercantum dalam surat permintaan tersebut.

Pasal 11

(1) Dalam hal harta kekayaan yang telah diblokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(1) berada pada kantor cabang bank pengelola simpanan di luar wilayah kerja Kepala
Kantor Pelayanan Pajak, Penanggung Pajak dapat melunasi biaya penagihan pajak dan
utang pajak dengan menggunakan harta kekayaan yang telah diblokir dengan cara:
a. mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
dengan melampirkan Surat Setoran Pajak dan Surat Setoran Bukan Pajak yang telah
ditandatangani oleh Penanggung Pajak;
b. memberikan kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) atau Pasal 9 ayat
(5);
c. membuat surat perintah pemindahbukuan kepada bank pengelola simpanan unluk
melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak dengan menggunakan harta kekayaan
yang telah diblokir.
(2) Berdasarkan permohonan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
Kepala Kantor Pelayanan Pajak meminta secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak yang diminta bantuan untuk mengajukan permintaan pembukaan blokir dan
pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak kepada bank pengelola simpanan
untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.
(3) Permintaan bantuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan:
a. Surat Setoran Pajak dan Surat Setoran Bukan Pajak yang telah ditandatangani oleh
Penanggung Pajak;
b. Surat Kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5);
c. surat perintah pemindahbukuan dari Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c.
(4) Berdasarkan permintaan Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan mengajukan permintaan kepada
bank pengelola simpanan untuk melakukan pembukaan blokir dan pemindahbukuan harta
kekayaan Penanggung Pajak ke kas negara dalam rangka pelunasan biaya penagihan pajak
dan utang pajak.
(5) Permintaan pembukaan blokir dan pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilakukan dengan menggunakan surat permintaan pembukaan blokir dan
pemindahbukuan, dengan melampirkan:
a. Surat Setoran Pajak dan Surat Setoran Bukan Pajak yang telah ditandatangani oleh
Penanggung Pajak;
b. Surat perintah pemindahbukuan dari Penanggung Pajak sebagaimana pada ayat (1)
huruf c.
c. Berdasarkan surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), bank pengelola
simpanan setelah membuka blokir wajib secara serta merta memindahbukukan harta
kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank sebesar jumlah yang diminta
sebagaimana tercantum dalam surat permintaan tersebut.

Pasal 12

(1) Dalam hal Penanggung Pajak tidak melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak dan
saldo harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank telah diketahui,
Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan dengan membuat berita acara pelaksanaan sita
yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, saksi-saksi, dan pimpinan bank atau pejabat bank
yang ditunjuk.
(2) Jurusita Pajak menyampaikan salinan berita acara pelaksanaan sita kepada Penanggung
Pajak menggunakan surat pengantar penyampaian salinan berita acara pelaksanaan sita
dengan tembusan kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk.

Pasal 13

(1) Dalam hal harta kekayaan yang telah diblokir berada pada kantor cabang bank pengelola
simpanan di luar wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Penanggung Pajak
tidak melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak serta saldo harta kekayaan
Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank telah diketahui, Kepala Kantor Pelayanan
Pajak mengirimkan permintaan untuk menindaklanjuti pemblokiran dengan melakukan
penyitaan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi kantor
cabang bank pengelola simpanan.
(2) Jurusita Pajak Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan melaksanakan penyitaan
dengan membuat berita acara pelaksanaan sita yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak,
saksi-saksi, dan pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk.
(3) Jurusita Pajak Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan menyampaikan salinan berita
acara pelaksanaan sita kepada Penanggung Pajak menggunakan surat pengantar
penyampaian salinan berita acara pelaksanaan sita dengan tembusan kepada pimpinan
bank atau pejabat bank yang ditunjuk.

Pasal 14

(1) Apabila Penanggung Pajak tidak melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak dalam
jangka waktu setelah 14 (empat belas) hari sejak penyitaan, Kepala Kantor Pelayanan
Pajak segera menyampaikan surat permintaan kepada pimpinan bank atau pejabat bank
yang ditunjuk untuk memindahbukukan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan
pada bank ke kas negara sejumlah yang tercantum dalam berita acara pelaksanaan sita,
yang tembusannya disampaikan kepada Penanggung Pajak.
(2) Permintaan kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diajukan dengan melampirkan Surat Setoran Pajak dan Surat
Setoran Bukan Pajak yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak.
(3) Berdasarkan surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan bank atau
pejabat bank yang ditunjuk selaku pengelola simpanan membuka blokir dalam rangka
pemindahbukuan dan wajib secara serta merta memindahbukukan sebesar jumlah yang
diminta oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak.

Pasal 15

(1) Apabila harta kekayaan yang telah diblokir berada pada kantor cabang bank pengelola
simpanan di luar wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Penanggung Pajak
tidak melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak dalam jangka waktu setelah 14
(empat belas) hari sejak penyitaan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak meminta Kepala
Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan untuk menerbitkan dan menyampaikan
surat permintaan kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk untuk
memindahbukukan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank ke kas
negara sejumlah yang tercantum dalam berita acara pelaksanaan sita.
(2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan segera menerbitkan dan
menyampaikan surat permintaan kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk
untuk memindahbukukan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank ke
kas negara.
(3) Permintaan kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diajukan dengan melampirkan Surat Setoran Pajak dan Surat
Setoran Bukan Pajak yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak Kantor Pelayanan Pajak
yang diminta bantuan.
(4) Berdasarkan surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan bank atau
pejabat bank yang ditunjuk selaku pengelola simpanan membuka blokir dalam rangka
pemindahbukuan dan wajib secara serta merta memindahbukukan sebesar jumlah yang
diminta oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan.

Pasal 16

(1) Sebelum jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(1) berakhir, Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan tertulis kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak untuk menggunakan harta kekayaan Penanggung Pajak yang
disita guna melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.
(2) Permohonan Penanggung Pajak kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan Surat Setoran Pajak dan Surat Setoran Bukan
Pajak yang telah ditandatangani oleh Penanggung Pajak.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan
Pajak meminta kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk selaku pengelola
simpanan untuk memindahbukukan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan
pada bank ke kas negara sejumlah yang tercantum dalam berita acara pelaksanaan sita,
yang tembusannya disampaikan kepada Penanggung Pajak.
(4) Permintaan kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) diajukan dengan melampirkan Surat Setoran Pajak dan Surat
Setoran Bukan Pajak yang ditandatangani oleh Penanggung Pajak.
(5) Berdasarkan surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pimpinan bank atau
pejabat bank yang ditunjuk selaku pengelola simpanan membuka blokir dalam rangka
pemindahbukuan dan wajib secara serta merta memindahbukukan sebesar jumlah yang
diminta oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak.

Pasal 17

(1) Dalam hal harta kekayaan yang telah diblokir berada pada kantor, cabang bank pengelola
simpanan di luar wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan sebelum jangka waktu
14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) berakhir,
Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan untuk menggunakan harta kekayaan
yang disita guna melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak.
(2) Permohonan Penanggung Pajak kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan Surat Setoran Pajak dan Surat Setoran Bukan
Pajak yang telah ditandatangani oleh Penanggung Pajak.
(3) Permohonan Penanggung Pajak kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diteruskan kepada Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan.
(4) Berdasarkan permohonan yang diterima dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan meminta
kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk selaku pengelola simpanan untuk
membuka blokir dalam rangka pemindahbukuan dan secara serta merta memindahbukukan
harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank ke kas negara sejumlah yang
tercantum dalam berita acara pelaksanaan sita, yang tembusannya disampaikan kepada
Penanggung Pajak.
(5) Permintaan kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) diajukan dengan melampirkan Surat Setoran Pajak dan Surat
Setoran Bukan Pajak yang ditandatangani oleh Penanggung Pajak.
(6) Berdasarkan surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan bank atau
pejabat bank yang ditunjuk selaku pengelola simpanan membuka blokir dalam rangka
pemindahbukuan dan wajib secara serta merta memindahbukukan sebesar jumlah yang
diminta oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan.

Pasal 18

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak mengajukan surat permintaan pencabutan pemblokiran
kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk setelah biaya penagihan pajak dan
utang pajak yang tercantum dalam Daftar Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada Pasal 2
ayat (3) lunas.
(2) Dalam hal jumlah yang diblokir lebih besar dari jumlah yang disita, atas sisa lebih tersebut
diajukan permintaan pencabutan pemblokiran oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak kepada
pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk.

Pasal 19

(1) Dalam hal harta kekayaan yang telah diblokir berada pada Kantor cabang bank pengelola
simpanan di luar wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan Pajak serta biaya penagihan
pajak dan utang pajak yang tercantum dalam Daftar Surat Paksa sebagaimana dimaksud
pada Pasal 2 ayat (3) telah lunas, Kepala Kantor Pelayanan Pajak mengirimkan permintaan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan untuk menerbitkan surat
permintaan pencabutan pemblokiran kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang
ditunjuk.
(2) Dalam hal harta kekayaan yang telah diblokir berada pada kantor cabang bank pengelola
simpanan di luar wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan Pajak serta jumlah yang diblokir
lebih besar dan jumlah yang disita, atas sisa lebih tersebut, Kepala Kantor Pelayanan Pajak
mengirimkan permintaan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan
untuk menerbitkan surat permintaan pencabutan pemblokiran kepada pimpinan bank atau
pejabat bank yang ditunjuk.
(3) Berdasarkan permintaan Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan mengajukan
permintaan pencabutan pemblokiran kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang
ditunjuk.

Pasal 20

(1) Pencabutan sita harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dilakukan
apabila:
a. Penanggung Pajak telah melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak yang
tercantum dalam Daftar Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3);
atau
b. terdapat putusan pengadilan, putusan badan peradilan pajak, atau ditetapkan lain
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(2) Dalam hal harta kekayaan yang telah diblokir berada pada kantor cabang bank pengelola
simpanan di luar wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan:
a. Penanggung Pajak telah melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak yang
tercantum dalam Daftar Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3);
atau
b. terdapat putusan pengadilan, putusan badan peradilan pajak, atau ditetapkan lain
dengan Keputusan Menteri Keuangan,Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang meminta
bantuan mengirimkan permintaan bantuan untuk menerbitkan surat permintaan
pencabutan sita kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan.
(3) Berdasarkan permintaan Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan menerbitkan surat pencabutan
sita kepada Penanggung Pajak.
(4) Pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan
berdasarkan Surat Pencabutan Sita yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak
atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan dan tembusannya disampaikan
kepada bank yang bersangkutan.

Pasal 21

Formulir berupa:

a. Surat permintaan pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2);


b. Daftar Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c;
c. Surat Keterangan Kedudukan Penanggung Pajak Pada Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4);
d. Berita acara pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3);
e. Surat perintah untuk memberikan kuasa kepada bank untuk memberitahukan saldo harta
kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank kepada Jurusita Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 9 ayat (3);
f. Surat pemberitahuan kepada bank bahwa pemblokiran akan ditindaklanjuti oleh Kepala
Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi kantor bank pengelola simpanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b;
g. Surat pengantar penyampaian surat perintah untuk memberikan kuasa kepada bank untuk
memberitahukan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank
kepada Jurusita Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 ayat (3) dan
Pasal 9 ayat (4);
h. Surat kuasa memberitahukan saldo harta kekayaan yang tersimpan pada bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3), Pasal 8 ayat (4) dan Pasal 9 ayat (5);
i. Berita Acara Penolakan Pemberian Kuasa Oleh Penanggung Pajak Kepada Bank Untuk
Memberitahukan Saldo Harta Kekayaan Yang Tersimpan Pada Bank Kepada Jurusita
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4), Pasal 8 ayat (6) dan Pasal 9 ayat (7);
j. Berita Acara Tidak Diperoleh Kuasa Penanggung Pajak Kepada Bank Untuk
Memberitahukan Saldo Harta Kekayaan Yang Tersimpan Pada Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5), Pasal 8 ayat (7) dan Pasal 9 ayat (8);
k. Surat permohonan Penanggung Pajak untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang
pajak dengan menggunakan harta kekayaan yang telah diblokir sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a dan Pasal 11 ayat (1) huruf a;
l. Surat permintaan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak yang telah diblokir
untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak sebagaimana dimaksud Pasal 10
ayat (4) dan Pasal 11 ayat (5);
m. Surat pengantar penyampaian salinan berita acara pelaksanaan sita sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 (2) dan Pasal 13 ayat (3);
n. Surat permintaan bantuan untuk menindaklanjuti pemblokiran dengan penyitaan kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi kantor cabang bank
pengelola simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
o. Surat permintaan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak yang telah disita
untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (3),dan Pasal 17 ayat (4);
p. Surat permintaan bantuan untuk menerbitkan dan menyampaikan surat permintaan
pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak yang telah disita untuk melunasi
biaya penagihan pajak dan utang pajak kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang
diminta bantuan sebagaimana dimaksud dengan dalam Pasal 15 ayat (1);
q. Surat permohonan untuk menggunakan harta kekayaan yang disita untuk melunasi biaya
penagihan pajak dan utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan
Pasal 17 ayat (1);
r. Surat permintaan pencabutan pemblokiran kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (3);
s. Surat permintaan bantuan untuk melakukan pencabutan pemblokiran kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) dan ayat (2);
t. Surat Pencabutan Sita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4);
u. Surat permintaan bantuan untuk menerbitkan Surat Pencabutan Sita sebagaimana
dimaksud Pasal 20 ayat (2),dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 22

Dengan berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, terhadap pemblokiran yang belum
dilakukan pencabutan pemblokiran dan/atau pencabutan sita sampai dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini berlaku, diselesaikan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur
dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-627/PJ./2001 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan
pada Bank dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-109/PJ./2007.
Pasal 23

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku:

a. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-627/PJ./2001 tentang Tata Cara


Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang
Tersimpan pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
b. Pasal 6 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-21/PJ/2002 tentang Tata Cara
Pemberitahuan Pelaksanaan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan Penyitaan di Luar
Wilayah Kerja Pejabat yang Berwenang Menerbitkan Surat Paksa;
c. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-109/PJ./2007 tentang Perubahan Atas
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-627/PJ./2001 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang
Tersimpan pada Bank dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa; dan
d. Formulir dalam KEP-474/PJ./2002 dan KEP-645/PJ./2001 yang diperbaharui dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini,dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 24

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 17 September 2014

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

A. FUAD RAHMANY
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI
NOMOR 25/BC/2009

TENTANG

BENTUK DAN ISI SURAT PENETAPAN, SURAT KEPUTUSAN,


SURAT TEGURAN, DAN SURAT PAKSA

DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

Menimbang:

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 17 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
51/PMK.04/2008 tentang Tata Cara Penetapan Tarif, Nilai Pabean, dan Sanksi Administrasi,
serta Penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat Bea dan Cukai, perlu
menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang Bentuk dan Isi Surat
Penetapan, Surat Keputusan, Surat Teguran, dan Surat Paksa;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang
Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 129 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3987);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Keuangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 149/PMK.01/2008;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51/PMK.04/2008 tentang Tata Cara Penetapan
Tarif, Nilai Pabean, dan Sanksi Administrasi, serta Penetapan Direktur Jenderal Bea dan
Cukai atau Pejabat Bea dan Cukai;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG BENTUK DAN


ISI SURAT PENETAPAN, SURAT KEPUTUSAN, SURAT TEGURAN, DAN SURAT
PAKSA.

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:

1. Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang


Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.
2. Sanksi Administrasi Berupa Denda adalah sanksi administrasi menurut Undang-Undang
Kepabeanan yang pengenaannya ditetapkan secara tertulis oleh Pejabat Bea dan Cukai
terhadap orang yang tidak sepenuhnya memenuhi kewajiban pabean berupa sejumlah
uang yang wajib dibayar karena adanya pelanggaran di bidang kepabeanan.
3. Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
4. Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea
Masuk dan Cukai.
5. Penanggung Pajak adalah orang yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak,
termasuk wakil yang menjalankan hak untuk memenuhi kewajiban Penanggung Pajak.
6. Tarif adalah klasifikasi barang dan pembebanan bea masuk.
7. Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Kepabeanan.
8. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
9. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk
dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang
Kepabeanan.

Pasal 2

(1) Pejabat Bea dan Cukai dapat melakukan penetapan atas tarif, nilai pabean, dan/atau
Sanksi Administrasi Berupa Denda.

(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Surat Penetapan yang
terdiri atas:

a. Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP),


b. Surat Penetapan Pabean (SPP); dan
c. Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA).

(3) Bentuk, isi, dan tata cara pengisian SPTNP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
sesuai dengan yang ditetapkan dalam Lampiran I yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal ini.

(4) Bentuk, isi, dan tata cara pengisian SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
sesuai dengan yang ditetapkan dalam Lampiran II yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal ini.

(5) Bentuk, isi, dan tata cara pengisian SPSA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
sesuai dengan yang ditetapkan dalam Lampiran III yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal ini.

Pasal 3

(1) Direktur Jenderal dapat menetapkan kembali tarif dan/atau nilai pabean.

(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Surat Penetapan
Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP).

(3) Bentuk, isi, dan tata cara pengisian SPKTNP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai
dengan yang ditetapkan dalam Lampiran IV yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal ini.

Pasal 4

(1) Orang yang berkeberatan terhadap penetapan Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada
Direktur Jenderal.

(2) Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
menerbitkan surat keputusan.

(3) Surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berfungsi sebagai:

a. penetapan Direktur Jenderal;


b. pemberitahuan; dan
c. penagihan kepada Orang.

(4) Bentuk, isi, dan tata cara pengisian surat keputusan atas keberatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) sesuai dengan yang ditetapkan dalam Lampiran V yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 5

(1) Terhadap piutang bea masuk, cukai dan/atau Sanksi Administrasi Berupa Denda dan/atau
bunga yang tidak dilunasi dalam jangka waktu yang ditetapkan, diterbitkan Surat
Teguran, Surat Paksa dan/atau Surat Pemberitahuan Piutang Pajak Dalam Rangka Impor.

(2) Bentuk, isi, dan tata cara pengisian Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan yang ditetapkan dalam Lampiran VI yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal ini.
(3) Bentuk, isi, dan tata cara pengisian Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan yang ditetapkan dalam Lampiran VII yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal ini.

(4) Bentuk, isi, dan tata cara pengisian Surat Pemberitahuan Piutang Pajak Dalam Rangka
Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan yang ditetapkan dalam
Lampiran VIII yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 6

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, terhadap :

1. Formulir Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda


Administrasi, Dan Pajak Dalam Rangka Impor (SPKPBM) sebagaimana tercantum
dalam Lampiran IX;
2. Surat Teguran sebagaimana tercantum dalam Lampiran X;
3. Surat Paksa sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI; dan
4. Surat Pemberitahuan Piutang Pajak Dalam Rangka Impor dalam Lampiran XII,yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini, pada Kantor Pabean yang
pelayanan impornya menggunakan Sistem Komputer Pelayanan, berlaku paling lambat
sampai dengan tanggal sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIII yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 7

Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Juni 2009.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Mei 2009
DIREKTUR JENDERAL,

ttd

ANWAR SUPRIJADI
NIP. 120050332
PERATURAN DlREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR PER-24/PJ/2014

TENTANG

TATA CARA PELAKSANAAN PEMBLOKIRAN DAN PENYITAAN HARTA


KEKAYAAN

PENANGGUNG PAJAK YANG TERSIMPAN PADA BANK DALAM RANGKA

PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pemblokiran dan penyitaan harta
kekayaan penanggung pajak yang tersimpan pada bank dalam rangka penagihan pajak
dengan Surat Paksa telah diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-
627/PJ./2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan
Penanggung Pajak yang Tersimpan pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-109/PJ./2007;
b. bahwa untuk memberikan kepastian hukum pelaksanaan pemblokiran dan penyitaan
harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank serta dalam rangka upaya
penagihan dengan Surat Paksa di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, perlu dilakukan
penyesuaian dan penyempurnaan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara
pelaksanaan pemblokiran dan penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak yang
tersimpan pada bank dalam rangka penagihan pajak dengan Surat Paksa sebagaimana
dimaksud dalam huruf a;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b,
serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 Keputusan Menteri Keuangan Nomor
563/KMK.04/2000 tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung
Pajak yang tersimpan pada Bank dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa,
perlu menerapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan Pada
Bank dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 211, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4953);
2. Undang-Undang Nomor 19 TAHUN 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 19 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 135 TAHUN 2000 tentang Tata Cara Penyitaan dalam
Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 247, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4049);
5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.04/2000 tentang Tata Cara PeIaksanaan
Penagihan Seketika dan SekaIigus dan Pelaksanaan Surat Paksa;
6. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.04/2000 tentang Pemblokiran dan
Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada Bank dalam rangka
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Penagihan dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan SekaIigus
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
85/PMK.03/2010;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA


PELAKSANAAN PEMBLOKIRAN DAN PENYITAAN HARTA KEKAYAAN
PENANGGUNG PAJAK YANG TERSIMPAN PADA BANK DALAM RANGKA
PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA.

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:

3. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak,
dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
4. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas
pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban
Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
5. Kepala Kantor Pelayanan Pajak adalah Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama, Kepala
Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kepala Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Wajib Pajak Besar yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai Pejabat untuk
Penagihan Pajak.
6. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan
seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
7. Harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank meliputi simpanan, dan
bentuk simpanan lain yang lazim dalam praktik perbankan.
8. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan
perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertilikat deposito, tabungan
dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
9. Pemblokiran adalah tindakan pengamanan harta kekayaan milik Penanggung Pajak yang
tersimpan pada bank dengan tujuan agar terhadap harta kekayaan dimaksud tidak
terdapat perubahan apapun, seIain penambahan jumlah atau nilai.
10. Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai harta dan hak Penanggung
Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 2

(1) Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank
dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu.
(2) Untuk melaksanakan pemblokiran harta kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib mengajukan permintaan pemblokiran kepada
pimpinan bank pengelola simpanan dan/atau kantor pusat bank tempat harta kekayaan
Penanggung Pajak tersimpan.
(3) Permintaan pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan:
a. salinan Surat Paksa;
b. salinan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; dan
c. Daftar Surat Paksa.
(4) Dalam hal pelaksanaan pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap harta kekayaan milik Penanggung Pajak yang namanya tidak tercantum dalam
Surat Paksa dan/atau Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, maka surat permintaan
pemblokiran disertai dengan Surat Keterangan Kedudukan Penanggung Pajak Pada Wajib
Pajak.

Pasal 3

(1) Permintaan pemblokiran diajukan kepada pimpinan bank pengelola simpanan yang berada
di wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
(2) Dalam hal permintaan pemblokiran diajukan kepada pimpinan bank pengelola simpanan
yang berada di luar wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan Pajak, Kepala Kantor
Pelayanan Pajak dimaksud meminta bantuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi bank pengelola simpanan.
(3) Dalam hal di 1 (satu) kota terdapat lebih dari 1 (satu) wilayah kerja dari beberapa Kepala
Kantor Pelayanan Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat memerintahkan Jurusita
Pajak untuk melaksanakan permintaan pemblokiran kepada pimpinan bank pengelola
simpanan di luar wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan Pajak sepanjang masih berada di
kota tersebut.
(4) Dalam hal permintaan pemblokiran diajukan kepada pimpinan bank pengelola simpanan
yang terletak di luar kota tempat kedudukan Kepala Kantor Pelayanan Pajak namun masih
dalam wilayah kerjanya, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dimaksud:
a. meminta bantuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya juga
meliputi bank pengelola simpanan untuk melaksanakan pemblokiran; atau
b. memerintahkan Jurusita Pajak untuk melaksanakan pemblokiran secara langsung
tanpa meminla bantuan Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat.
(5) Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (4) huruf a wajib membantu dan memberitahukan tindakan yang telah
dilaksanakannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan.
(6) Dalam hal permintaan pemblokiran ditujukan ke kantor pusat bank yang berada di luar
wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dimaksud dapat
meminta pemblokiran kepada pimpinan kanlor pusat bank atau pejabat kantor pusat bank
yang ditunjuk tanpa meminta bantuan Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi kantor pusat bank tersebut.

Pasal 4

(1) Penyampaian permintaan pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ayat
(3), dan ayat (4) huruf b dilakukan secara langsung oleh Jurusita Pajak.
(2) Penyampaian permintaan pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan
ayat (4) huruf a dilakukan secara langsung oleh Jurusita Pajak Kantor Pelayanan Pajak
yang diminta bantuan.
(3) Penyampaian permintaan pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6)
dilakukan dengan cara:
a. menyampaikan secara langsung;
b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.

Pasal 5

Dalam hal Penanggung Pajak memiliki lebih dari 1 (satu) nomor rekening simpanan, bank
melakukan pemblokiran hanya terhadap sejumlah rekening simpanan yang dananya cukup
untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak sesuai dengan jumlah yang tercantum
dalam surat permintaan pemblokiran harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada
bank.

Pasal 6

(1) Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk wajib melaksanakan pemblokiran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (4) berdasarkan permintaan Kepala
Kantor Pelayanan Pajak.
(2) Pelaksanaan pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara seketika
setelah permintaan pemblokiran dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak diterima oleh
pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk yang berwenang melakukan pemblokiran.
(3) Atas pelaksanaan pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan bank atau
pejabat bank yang ditunjuk wajib membuat berita acara pemblokiran yang sekurang-
kurangnya memuat:
a. nomor dan tanggal surat permintaan pemblokiran;
b. tanggal dan waktu diterima surat permintaan pemblokiran;
c. hari, tanggal, dan waktu dilakukan pemblokiran oleh bank; dan
d. nama, NPWP, dan alamat Wajib Pajak/Penanggung Pajak.
(4) Berita acara pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat rangkap 3 (tiga),
dan disampaikan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Penanggung Pajak.
(5) Penyampaian Berita acara pemblokiran sebagaimana dimaksud ayat (4) kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak dilakukan secara seketika dan penyampaian kepada Penanggung
Pajak harus dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal dilakukan pemblokiran.

Pasal 7

(1) Setelah menerima berita acara pemblokiran, Jurusita Pajak memerintahkan Penanggung
Pajak untuk memberikan kuasa kepada bank pengelola simpanan agar memberitahukan
saldo harta kekayaan yang tersimpan pada bank tersebut kepada Jurusita Pajak dengan
menggunakan surat perintah memberikan kuasa kepada bank untuk memberitahukan saldo
harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank.
(2) Penyampaian surat perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan surat
pengantar penyampaian surat perintah memberikan kuasa kepada bank untuk
memberitahukan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank.
(3) Dalam hal Penanggung Pajak bersedia memberitahukan saldo harta kekayaan yang
tersimpan pada bank, Penanggung Pajak memberikan kuasa kepada pimpinan bank atau
pejabat bank yang ditunjuk dengan membuat surat kuasa memberitahukan saldo harta
kekayaan yang tersimpan pada bank dan menyampaikan surat kuasa beserta salinannya
kepada Jurusita Pajak.
(4) Dalam hal Penanggung Pajak menolak memberikan kuasa kepada pimpinan bank atau
pejabat bank yang ditunjuk untuk memberitahukan saldo harta kekayaannya yang
tersimpan pada bank, Jurusita Pajak membuat berita acara penolakan pemberian kuasa
oleh Penanggung Pajak kepada bank untuk memberitahukan saldo harta kekayaan yang
tersimpan pada bank kepada Jurusita Pajak.
(5) Dalam hal Penanggung Pajak:
a. tidak memberikan jawaban atas perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak disampaikannya surat perintah tersebut; atau
b. tidak dapat ditemukan, Jurusita Pajak membuat berita acara tidak diperoleh kuasa
Penanggung Pajak kepada bank untuk memberitahukan saldo harta kekayaan yang
tersimpan pada bank.
(6) Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5) digunakan sebagai dasar
bagi Kepala Kantor Pelayanan Pajak untuk mengajukan permohonan kepada Dewan
Komisioner Otoritas Jasa Keuangan melalui Menteri Keuangan unluk memberikan
perintah kepada bank guna memberitahukan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak.
(7) Pimpinan Bank atau pejabat bank yang ditunjuk memberitahukan saldo harta kekayaan
Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank secara tertulis kepada Jurusita Pajak
berdasarkan surat kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau perintah kepada bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (6).

Pasal 8

(1) Dalam hal berita acara pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3)
diterima oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan dari bank pengelola
Simpanan yang berada di luar wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang
meminta bantuan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan meneruskan
berita acara pemblokiran kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan.
(2) Berdasarkan berita acara pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Jurusita Pajak
Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan, memerintahkan Penanggung Pajak untuk
memberikan kuasa kepada bank pengelolal simpanan agar memberitahukan saldo harta
kekayaan yang tersimpan pada bank tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang
diminta bantuan dengan menggunakan surat perintah memberikan kuasa kepada bank
untuk memberitahukan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada
bank.
(3) Penyampaian surat perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan surat
pengantar penyampaian surat perintah memberikan kuasa kepada bank untuk
memberitahukan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank.
(4) Dalam hal Penanggung Pajak bersedia memberitahukan saldo harta kekayaan yang
tersimpan pada bank, Penanggung Pajak memberikan kuasa kepada pimpinan bank atau
pejabat bank yang ditunjuk dengan membuat surat kuasa memberitahukan saldo harta
kekayaan yang tersimpan pada bank dan menyampaikan surat kuasa beserta salinannya
kepada Jurusita Pajak Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan.
(5) Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan meneruskan surat kuasa beserta
salinannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
yang diminta bantuan.
(6) Dalam hal Penanggung Pajak menolak memberikan kuasa kepada pimpinan bank atau
pejabat bank yang ditunjuk untuk memberitahukan saldo harta kekayaan yang tersimpan
pada bank, Jurusita Pajak Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan membuat berita
acara penolakan pemberian kuasa oleh Penanggung Pajak kepada bank untuk
memberitahukan saldo harta kekayaan yang tersimpan pada bank.
(7) Dalam hal Penanggung Pajak:
a. tidak memberikan jawaban atas perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak disampaikannya surat perintah tersebut; atau
b. tidak dapat ditemukan,Jurusita Pajak Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan
membuat berita acara tidak diperoleh kuasa Penanggung Pajak kepada bank untuk
memberitahukan saldo harta kekayaan yang tersimpan pada bank.
(8) Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau ayat (7) digunakan sebagai dasar
bagi Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan untuk mengajukan
permohonan kepada Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan melalui Menteri
Keuangan untuk memberikan perintah kepada bank guna memberitahukan saldo harta
kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank.
(9) Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk memberitahukan saldo harta kekayaan
Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank secara tertulis kepada Jurusita Pajak
berdasarkan surat kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau perintah kepada bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (8).

Pasal 9

(1) Dalam hal berita acara pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
diterima oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang dari kantor cabang bank pengelola
simpanan yang berada di luar wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang
mengajukan permintaan pemblokiran, Kepala Kantor Pelayanan Pajak:
a. meminta bantuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi kantor cabang bank pengelola simpanan untuk menerbitkan Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan terkait obyek pemblokiran dimaksud; dan
b. mengirimkan surat pemberitahuan kepada kantor cabang bank pengelola simpanan
bahwa pemblokiran akan ditindaklanjuti oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi kantor cabang bank tersebut.
(2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan wajib menerbitkan Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan dan menindaklanjutinya.
(3) Jurusita Pajak Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan, memerintahkan
Penanggung Pajak untuk memberikan kuasa kepada bank pengelola simpanan agar
memberitahukan saldo harta kekayaan yang tersimpan pada bank tersebut kepada Jurusita
Pajak Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan dengan menggunakan surat perintah
memberikan kuasa kepada bank untuk memberitahukan saldo harta kekayaan Penanggung
Pajak yang tersimpan pada bank.
(4) Penyampaian surat perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai dengan surat
pengantar penyampaian surat perintah memberikan kuasa kepada bank untuk
memberitahukan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank.
(5) Dalam hal Penanggung Pajak bersedia memberitahukan saldo harta kekayaan yang
tersimpan pada bank, Penanggung Pajak memberikan kuasa kepada pimpinan bank atau
pejabat bank yang ditunjuk dengan membuat surat kuasa memberitahukan saldo harta
kekayaan yang tersimpan pada bank dan menyampaikan surat kuasa beserta salinannya
kepada Jurusita Pajak Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan.
(6) Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan meneruskan surat kuasa beserta
salinannya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
yang diminta bantuan.
(7) Dalam hal Penanggung Pajak menolak memberikan kuasa kepada pimpinan bank atau
pejabat bank yang ditunjuk untuk membetitahukan saldo harta kekayaan yang tersimpan
pada bank, Jurusita Pajak Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan membuat berita
acara penolakan pemberian kuasa oleh Penanggung Pajak kepada bank untuk
memberitahukan saldo harta kekayaan yang tersimpan pada bank.
(8) Dalam hal Penanggung Pajak:
a. tidak memberikan jawaban atas perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak disampaikannya surat perintah tersebut; atau
b. tidak dapat ditemukan,Jurusita Pajak Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan
membuat berita acara tidak diperoleh kuasa Penanggung Pajak kepada bank untuk
memberitahukan saldo harta kekayaan yang tersimpan pada bank.
(9) Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (7) atau ayat (8) digunakan sebagai dasar
bagi Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang meminta bantuan untuk mengajukan
permohonan kepada Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan melalui Menteri
Keuangan untuk memberikan perintah kepada bank guna memberitahukan saldo harta
kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank.
(10) Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk memberitahukan saldo harta kekayaan
Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank secara tertulis kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak yang diminta bantuan berdasarkan surat kuasa sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) atau perintah kepada bank sebagaimana dimaksud pada ayal (9).

Pasal 10

(1) Penanggung Pajak dapat melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak dengan
menggunakan harta kekayaan yang telah diblokir.
(2) Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:
a. mengajukan permohonan secara terlulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
dengan melampirkan Surat Setoran Pajak dan Surat Setoran Bukan Pajak yang telah
ditandatangani oleh Penanggung Pajak;
b. memberikan kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3);
c. membuat surat perintah pemindahbukuan kepada bank pengelola simpanan untuk
melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak dengan menggunakan harta kekayaan
yang telah diblokir.
(3) Berdasarkan permohonan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a,
Kepala Kantor Pelayanan Pajak mengajukan permintaan pembukaan blokir dan
pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak yang telah diblokir untuk melunasi
biaya penagihan pajak dan utang pajak kepada bank pengelola simpanan.
(4) Permintaan pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan
menggunakan surat permintaan pembukaan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan
Penanggung Pajak yang telah diblokir untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang
pajak, dengan melampirkan:
a. Surat Setoran Pajak dan Surat Setoran Bukan Pajak yang telah ditandatangani oleh
Penanggung Pajak;
b. Surat perintah pemindahbukuan dari Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c.
(5) Berdasarkan surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), bank pengelola
simpanan setelah membuka blokir wajib secara serta merta memindahbukukan harta
kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank sebesar jumlah yang diminta
sebagaimana tercantum dalam surat permintaan tersebut.

Pasal 11

(1) Dalam hal harta kekayaan yang telah diblokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(1) berada pada kantor cabang bank pengelola simpanan di luar wilayah kerja Kepala
Kantor Pelayanan Pajak, Penanggung Pajak dapat melunasi biaya penagihan pajak dan
utang pajak dengan menggunakan harta kekayaan yang telah diblokir dengan cara:
a. mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
dengan melampirkan Surat Setoran Pajak dan Surat Setoran Bukan Pajak yang telah
ditandatangani oleh Penanggung Pajak;
b. memberikan kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) atau Pasal 9 ayat
(5);
c. membuat surat perintah pemindahbukuan kepada bank pengelola simpanan unluk
melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak dengan menggunakan harta kekayaan
yang telah diblokir.
(2) Berdasarkan permohonan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayal (1) huruf a,
Kepala Kantor Pelayanan Pajak meminta secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak yang diminta bantuan untuk mengajukan permintaan pembukaan blokir dan
pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak kepada bank pengelola simpanan
untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.
(3) Permintaan bantuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan:
a. Surat Setoran Pajak dan Surat Setoran Bukan Pajak yang telah ditandatangani oleh
Penanggung Pajak;
b. Surat Kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5);
c. surat perintah pemindahbukuan dari Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c.
(4) Berdasarkan permintaan Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan mengajukan permintaan kepada
bank pengelola simpanan untuk melakukan pembukaan blokir dan pemindahbukuan harta
kekayaan Penanggung Pajak ke kas negara dalam rangka pelunasan biaya penagihan pajak
dan utang pajak.
(5) Permintaan pembukaan blokir dan pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilakukan dengan menggunakan surat permintaan pembukaan blokir dan
pemindahbukuan, dengan melampirkan:
a. Surat Setoran Pajak dan Surat Setoran Bukan Pajak yang telah ditandatangani oleh
Penanggung Pajak;
b. Surat perintah pemindahbukuan dari Penanggung Pajak sebagaimana pada ayat (1)
huruf c.
(6) Berdasarkan surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), bank pengelola
simpanan setelah membuka blokir wajib secara serta merta memindahbukukan harta
kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank sebesar jumlah yang diminta
sebagaimana tercantum dalam surat permintaan tersebut.

Pasal 12

(1) Dalam hal Penanggung Pajak tidak melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak dan
saldo harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank telah diketahui,
Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan dengan membuat berita acara pelaksanaan sita
yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, saksi-saksi, dan pimpinan bank atau pejabat bank
yang ditunjuk.
(2) Jurusita Pajak menyampaikan salinan berita acara pelaksanaan sita kepada Penanggung
Pajak menggunakan surat pengantar penyampaian salinan berita acara pelaksanaan sita
dengan tembusan kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk.
Pasal 13

(1) Dalam hal harta kekayaan yang telah diblokir berada pada kantor cabang bank pengelola
simpanan di luar wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Penanggung Pajak
tidak melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak serta saldo harta kekayaan
Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank telah diketahui, Kepala Kantor Pelayanan
Pajak mengirimkan permintaan untuk menindaklanjuti pemblokiran dengan melakukan
penyitaan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi kantor
cabang bank pengelola simpanan.
(2) Jurusita Pajak Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan melaksanakan penyitaan
dengan membuat berita acara pelaksanaan sita yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak,
saksi-saksi, dan pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk.
(3) Jurusita Pajak Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan menyampaikan salinan berita
acara pelaksanaan sita kepada Penanggung Pajak menggunakan surat pengantar
penyampaian salinan berita acara pelaksanaan sita dengan tembusan kepada pimpinan
bank atau pejabat bank yang ditunjuk.

Pasal 14

(1) Apabila Penanggung Pajak tidak melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak dalam
jangka waktu setelah 14 (empat belas) hari sejak penyitaan, Kepala Kantor Pelayanan
Pajak segera menyampaikan surat permintaan kepada pimpinan bank atau pejabat bank
yang ditunjuk untuk memindahbukukan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan
pada bank ke kas negara sejumlah yang tercantum dalam berita acara pelaksanaan sita,
yang tembusannya disampaikan kepada Penanggung Pajak.
(2) Permintaan kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diajukan dengan melampirkan Surat Setoran Pajak dan Surat
Setoran Bukan Pajak yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak.
(3) Berdasarkan surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan bank atau
pejabat bank yang ditunjuk selaku pengelola simpanan membuka blokir dalam rangka
pemindahbukuan dan wajib secara serta merta memindahbukukan sebesar jumlah yang
diminta oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak.

Pasal 15

(1) Apabila harta kekayaan yang telah diblokir berada pada kantor cabang bank pengelola
simpanan di luar wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Penanggung Pajak
tidak melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak dalam jangka waktu setelah 14
(empat belas) hari sejak penyitaan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak meminta Kepala
Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan untuk menerbitkan dan menyampaikan
surat permintaan kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk untuk
memindahbukukan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank ke kas
negara sejumlah yang tercantum dalam berita acara pelaksanaan situ.
(2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan segera menerbitkan dan
menyampaikan surat permintaan kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk
untuk memindahbukukan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank ke
kas negara.
(3) Permintaan kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diajukan dengan melampirkan Surat Setoran Pajak dan Surat
Setoran Bukan Pajak yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak Kantor Pelayanan Pajak
yang diminta bantuan.
(4) Berdasarkan surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan bank atau
pejabat bank yang ditunjuk selaku pengelola simpanan membuka blokir dalam rangka
pemindahbukuan dan wajib secara serta merta memindahbukukan sebesar jumlah yang
diminta oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan.

Pasal 16
(1) Sebelum jangka waktu 14 (empal belas) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(1) berakhir, Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan tertulis kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak untuk menggunakan harta kekayaan Penanggung Pajak yang
disita guna melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.
(2) Permohonan Penanggung Pajak kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan Surat Setoran Pajak dan Surat Setoran Bukan
Pajak yang telah ditandatangani oleh Penanggung Pajak.
(3) Berdasarkan perrmohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan
Pajak meminta kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk selaku pengelola
simpanan untuk memindahbukukan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan
pada bank ke kas negara sejumlah yang tercantum dalam berita acara pelaksanaan sita,
yang tembusannya disampaikan kepada Penanggung Pajak.
(4) Permintaan kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) diajukan dengan melampirkan Surat Setoran Pajak dan Surat
Setoran Bukan Pajak yang ditandatangani oleh Penanggung Pajak.
(5) Berdasarkan surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pimpinan bank atau
pejabat bank yang ditunjuk selaku pengelola simpanan membuka blokir dalam rangka
pemindahbukuan dan wajib secara serta merta memindahbukukan sebesar jumlah yang
diminta oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak.

Pasal 17

(1) Dalam hal harta kekayaan yang telah diblokir berada pada kantor, cabang bank pengelola
simpanan di luar wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan sebelum jangka waktu
14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) berakhir,
Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan untuk menggunakan harta kekayaan
yang disita guna melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak.
(2) Permohonan Penanggung Pajak kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan Surat Setoran Pajak dan Surat Setoran Bukan
Pajak yang telah ditandatangani oleh Penanggung Pajak.
(3) Permohonan Penanggung Pajak kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diteruskan kepada Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan.
(4) Berdasarkan permohonan yang diterima dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan meminta
kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk selaku pengelola simpanan untuk
membuka blokir dalam rangka pemindahbukuan dan secara serta merta memindahbukukan
harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank ke kas negara sejumlah yang
tercantum dalam berita acara pelaksanaan sita, yang tembusannya disampaikan kepada
Penanggung Pajak.
(5) Permintaan kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) diajukan dengan melampirkan Surat Setoran Pajak dan Surat
Setoran Bukan Pajak yang ditandatangani oleh Penanggung Pajak.
(6) Berdasarkan surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan bank atau
pejabat bank yang ditunjuk selaku pengelola simpanan membuka blokir dalam rangka
pemindahbukuan dan wajib secara serta merta memindahbukukan sebesar jumlah yang
diminta oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan.

Pasal 18

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak mengajukan surat permintaan pencabutan pemblokiran
kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk setelah biaya penagihan pajak dan
utang pajak yang tercantum dalam Daftar Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada Pasal 2
ayat (3) lunas.
(2) Dalam hal jumlah yang diblokir lebih besar dari jumlah yang disita, atas siss lebih tersebut
diajukan permintaan pencabutan pemblokiran oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak kepada
pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk.
Pasal 19

(1) Dalam hal harta kekayaan yang telah diblokir berada pada Kantor cabang bank pengelola
simpanan di luar wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan Pajak serta biaya penagihan
pajak dan utang pajak yang tercantum dalam Daftar Surat Paksa sebagaimana dimaksud
pada Pasal 2 ayat (3) telah lunas, Kepala Kantor Pelayanan Pajak mengirimkan permintaan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan untuk menerbitkan surat
permintaan pencabutan pemblokiran kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang
ditunjuk.
(2) Dalam hal harta kekayaan yang telah diblokir berada pada kantor cabang bank pengelola
simpanan di luar wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan Pajak serta jumlah yang diblokir
lebih besar dan jumlah yang disita, atas sisa lebih tersebut, Kepala Kantor Pelayanan Pajak
mengirimkan permintaan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan
unluk menerbitkan surat permintaan pencabutan pemblokiran kepada pimpinan bank atau
pejabat bank yang ditunjuk.
(3) Berdasarkan permintaan Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan mengajukan
permintaan pencabutan pemblokiran kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang
ditunjuk.

Pasal 20

(1) Pencabutan sita harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dilakukan
apabila:
a. Penanggung Pajak telah melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak yang
tercantum dalam Daftar Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3);
atau
b. terdapat putusan pengadilan, putusan badan peradilan pajak, atau ditetapkan lain
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(2) Dalam hal harta kekayaan yang telah diblokir berada pada kantor cabang bank pengelola
simpanan di luar wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan:
a. Penanggung Pajak telah melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak yang
tercantum dalam Daftar Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3);
atau
b. terdapat putusan pengadilan, putusan badan peradilan pajak, atau ditetapkan lain
dengan Keputusan Menteri Keuangan,Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang meminta
bantuan mengirimkan permintaan bantuan untuk menerbitkan surat permintaan
pencabutan sita kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan.
(3) Berdasarkan permintaan Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan menerbitkan surat pencabutan
sita kepada Penanggung Pajak.
(4) Pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan
berdasarkan Surat Pencabutan Sita yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak
atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan dan tembusannya disampaikan
kepada bank yang bersangkutan.

Pasal 21

Formulir berupa:

a. Surat permintaan pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasa] 2 ayat (2);


b. Daftar Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c;
c. Surat Keterangan Kedudukan Penanggung Pajak Pada Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4);
d. Berita acara pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3);
e. Surat perintah untuk memberikan kuasa kepada bank untuk memberitahukan saldo harta
kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank kepada Jurusita Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 9 ayat (3);
f. Surat pemberitahuan kepada bank bahwa pemblokiran akan ditindaklanjuti oleh Kepala
Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi kantor bank pengelola simpanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b;
g. Surat pengantar penyampaian surat perintah untuk memberikan kuasa kepada bank untuk
memberitahukan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank
kepada Jurusita Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 ayat (3) dan
Pasal 9 ayat (4);
h. Surat kuasa memberitahukan saldo harta kekayaan yang tersimpan pada bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3), Pasal 8 ayat (4) dan Pasal 9 ayat (5);
i. Berita Acara Penolakan Pemberian Kuasa Oleh Penanggung Pajak Kepada Bank Untuk
Memberitahukan Saldo Harta Kekayaan Yang Tersimpan Pada Bank Kepada Jurusita
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayal (4), Pasal 8 ayat (6) dan Pasal 9 ayat
(7);
j. Berita Acara Tidak Diperoleh Kuasa Penanggung Pajak Kepada Bank Untuk
Memberilahukan Saldo Harta Kekayaan Yang Tersimpan Pada Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5), Pasal 8 ayat (7) dan Pasal 9 ayat (8);
k. Surat permohonan Penanggung Pajak untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang
pajak dengan menggunakan harta kekayaan yang telah diblokir sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a dan Pasal 11 ayat (1) huruf a;
l. Surat permintaan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak yang telah diblokir
untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak sebagaimana dimaksud PasaI 10
ayat (4) dan Pasal 11 ayat (5);
m. Surat pengantar penyampaian salinan berita acara pelaksanaan sita sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 (2) dan Pasal 13 ayat (3);
n. Surat permintaan bantuan untuk menindaklanjuti pemblokiran dengan penyitaan kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi kantor cabang bank
pengelola simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
o. Surat permintaan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak yang telah disita
untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (3),dan Pasal 17 ayat (4);
p. Surat permintaan bantuan untuk menerbitkan dan menyampaikan surat permintaan
pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak yang telah disita untuk melunasi
biaya penagihan pajak dan utang pajak kepada Kepala Kantor Pelayananl Pajak yang
diminta bantuan sebagaimana dimaksud dengan dalam Pasal 15 ayat (1);
q. Surat permohonan untuk menggunakan harta kekayaan yang disita untuk melunasi biaya
penagihan pajak dan utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan
Pasal 17 ayat (1);
r. Surat permintaan pencabutan pemblokiran kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (3);
s. Surat permintaan bantuan untuk melakukan pencabutan pemblokiran kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) dan ayat (2);
t. Surat Pencabutan Sita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4);
u. Surat permintaan bantuan untuk menerbitkan Surat Pencabutan Sita sebagaimana
dimaksud Pasal 20 ayat (2),dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 22

Dengan berlakunya peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, terhadap pemblokiran yang belum
dilakukan pencabutan pemblokiran dan/atau pencabutan sita sampai dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini berlaku, diselesaikan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur
dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-627/PJ./2001 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan
pada Bank dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-109/PJ./2007.

Pasal 23

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku:

a. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-627/PJ./2001 tentang Tata Cara


Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang
Tersimpan pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paka;
b. Pasal 6 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-21/PJ/2002 tentang Tata Cara
Pemberitahuan Pelaksanaan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan Penyitaan di Luar
Wilayah Kerja Pejabat yang Berwenang Menerbitkan Surat Paksa;
c. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-109/PJ./2007 tentang Perubahan Atas
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-627/PJ./2001 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang
Tersimpan pada Bank dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa; dan
d. Formulir dalam KEP-474/PJ./2002 dan KEP-645/PJ./2001 yang diperbaharui dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini,dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 24

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 17 September 2014

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

A. FUAD RAHMANY
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

TENTANG

PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA


KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP - 459/PJ./2002

TENTANG

TATA CARA PENYITAAN KEKAYAAN PENANGGUNG PAJAK BERUPA


PIUTANG
DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa untuk kelancaran pelaksanaan penyitaan kekayaan Penanggung Pajak berupa piutang
dalam rangka penagihan pajak dengan Surat Paksa, perlu menetapkan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak tentang Tata Cara Penyitaan Kekayaan Penanggung Pajak Berupa Piutang
Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
(Lembaran Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3987);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan Dalam
Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 247, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4049);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penjualan Barang
Sitaan Yang Dikecualikan dari Penjualan Secara Lelang Dalam Rangka Penagihan Pajak
Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 248,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4050);
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 85/KMK.03/2002 tentang Tata Cara Penyitaan
Kekayaan Penanggung Pajak Berupa Piutang Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa.

MEMUTUSKAN :
Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENYITAAN


KEKAYAAN PENANGGUNG PAJAK BERUPA PIUTANG DALAM RANGKA
PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA.

Pasal 1

Dalam keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:

1. Piutang adalah harta kekayaan yang merupakan hak Penanggung Pajak yang berada pada
pihak lain yang dapat dilakukan penyitaan guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang
pajak.
2. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas
pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib
Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak,
menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Surat Penentuan
Harga Limit, Pembatalan Lelang, Surat Perintah Penyanderaan dan surat lain yang
diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak melunasi
sebagian atau seluruh utang pajak menurut undang-undang dan peraturan daerah.
4. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan
seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
5. Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa
bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat
sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
6. Biaya Penagihan Pajak adalah biaya pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, Jasa Penilai dan
biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak.

Pasal 2

(1) Pejabat menyampaikan surat peringatan kepada Penanggung Pajak bahwa piutang
Penanggung Pajak akan digunakan untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan
pajak.
(2) Apabila setelah batas waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal surat peringatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak
dan biaya penagihan pajak, Pejabat memerintahkan Jurusita Pajak untuk melaksanakan
penyitaan.

Pasal 3

(1) Penyitaan terhadap kekayaan Penanggung Pajak berupa piutang dilaksanakan sebagai
berikut:
a. Jurusita Pajak melakukan inventarisasi dan membuat rincian tentang jenis dan
jumlah piutang yang disita dalam suatu daftar yang merupakan lampiran Berita
Acara Pelaksanaan Sita. Daftar rincian tersebut terdiri dari jumlah lembar surat
perjanjian hutang-piutang (promissory notes) antara Penanggung Pajak dengan pihak
ketiga, identitas pihak ketiga dan nilai piutang yang harus ditagih;
b. Jurusita Pajak melakukan penyitaan piutang langsung dari Penanggung Pajak
maupun dari pihak ketiga dan membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita;
c. Jurusita Pajak membuat Berita Acara Persetujuan Pengalihan Hak Menagih Piutang
dari Penanggung Pajak kepada Pejabat, dan salinannya disampaikan kepada
Penanggung Pajak dan pihak yang berkewajiban membayar utang;
d. Apabila Penanggung Pajak menolak menandatangani Berita Acara Persetujuan
Pengalihan Hak Menagih Piutang dari Penanggung Pajak kepada Pejabat, penyitaan
tetap dapat dilaksanakan dan Jurusita Pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita
dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Untuk surat perjanjian hutang-piutang (promissory notes) yang tidak
diperdagangkan di Bursa Efek, maka Berita Acara Pelaksanaan Sita
ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan dua orang saksi dimana salah seorang
saksi dari Pemerintah Daerah setempat sekurang-kurangnya Sekretaris
Kelurahan atau Sekretaris Desa;
2. Untuk surat perjanjian hutang-piutang (promissory notes) yang diperdagangkan
di Bursa Efek, maka Berita Acara Pelaksanaan Sita ditandatangani oleh Jurusita
Pajak dan dua orang saksi dimana salah seorang saksi dari Badan Pengawas
Pasar Modal atau Kustodian.
(2) Apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dalam
jangka waktu setelah 14 (empat belas) hari sejak penyitaan, maka pelunasan utang pajak
dan biaya penagihan pajak dengan piutang yang telah disita sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), dilakukan dengan cara:

a. Piutang dijual oleh Pejabat kepada pembeli dan Pejabat menyetorkan uang hasil
penjualan tersebut ke Kas Negara dengan melampirkan Surat Setoran Pajak yang
telah ditandatangani dan diberi cap (stempel) oleh Kas Negara; atau
b. uang tunai disetor langsung oleh pihak yang berkewajiban membayar utang ke Kas
Negara atas permintaan Pejabat dan melampirkan Surat Setoran Pajak yang telah
ditandatangani dan diberi cap (stempel) oleh Kas Negara;
c. Apabila jumlah piutang atau hasil penjualan piutang lebih besar dari pada jumlah
utang pajak dan biaya penagihan pajak, maka sisa kelebihan uang hasil penjualan
piutang tersebut dikembalikan oleh Pejabat kepada Penanggung Pajak segera setelah
pelaksanaan penjualan piutang.

Pasal 4

Pencabutan sita terhadap piutang dilakukan apabila Penanggung Pajak telah melunasi utang
pajak dan biaya penagihan pajak dengan menggunakan atau tidak menggunakan piutang yang
telah disita berdasarkan bukti Surat Setoran Pajak yang telah dicap dan ditandatangani oleh
bank sebelum jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak penyitaan berakhir, dengan
menyampaikan Surat Pencabutan Sita kepada Penanggung Pajak dan tembusannya
disampaikan kepada pihak yang berutang yang sekaligus berfungsi sebagai pembatalan Berita
Acara Pelaksanaan Sita.

Pasal 5

Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur


Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Oktober 2002
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

HADI POERNOMO
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR : KEP - 11/PJ/2013

TENTANG

PERUBAHAN KESEBELAS ATAS KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR KEP-297/PJ/2002 TENTANG PELIMPAHAN WEWENANG
DIREKTUR JENDERAL PAJAK KEPADA PARA PEJABAT DI LINGKUNGAN
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan tugas Direktur Jenderal Pajak
di bidang penyelesaian pembetulan, penyelesaian keberatan, permohonan pengurangan
atau penghapusan sanksi administrasi, permohonan pengurangan atau pembatalan surat
ketetapan pajak yang tidak benar, permohonan pengurangan atau pembatalan Surat
Tagihan Pajak yang tidak benar, permohonan pembatalan hasil pemeriksaan pajak atau
surat ketetapan pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil
pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak, dan
penyelesaian banding dan gugatan, telah diterbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor KEP-183/PJ/2010 tentang Perubahan Kesepuluh atas Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor KEP-297/PJ/2002 tentang Pelimpahan Wewenang Direktur
Jenderal Pajak Kepada Para Pejabat di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak;
b. bahwa dalam rangka mengoptimalkan fungsi Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak
dalam merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
perpajakan serta sehubungan dengan pembentukan Kantor Pelayanan Pajak Minyak dan
Gas Bumi di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus yang
mengadministrasikan Pajak Bumi dan Bangunan minyak dan gas bumi areal offshore dan
tubuh bumi, perlu dilakukan penyesuaian ketentuan mengenai pelimpahan wewenang
Direktur Jenderal Pajak kepada para pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b,
perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan Kesebelas atas
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-297/PJ/2002 tentang Pelimpahan
Wewenang Direktur Jenderal Pajak Kepada Para Pejabat di Lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688), sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988);
7. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4189);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268);
9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.01/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 167/PMK.01/2012;
10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Keuangan;
11. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-297/PJ/2002 tentang Pelimpahan
Wewenang Direktur Jenderal Pajak Kepada Para Pejabat di Lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-183/PJ/2010;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN KESEBELAS
ATAS KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP-297/PJ/2002
TENTANG PELIMPAHAN WEWENANG DIREKTUR JENDERAL PAJAK KEPADA
PARA PEJABAT DI LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PAJAK.

Pasal I
Mengubah Lampiran VII dan Lampiran XII Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-
297/PJ/2002 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor KEP-183/PJ/2010 sebagai berikut:

1. mengubah 6 (enam) nomor yaitu nomor urut 1, nomor urut 2, nomor urut 3, nomor urut
4, nomor urut 6, dan nomor urut 7, serta menambah 2 (dua) nomor urut, yaitu nomor urut
8 dan nomor urut 9, dalam Lampiran VII Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-297/PJ/2002 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-183/PJ/2010 sehingga menjadi sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan
Direktur Jenderal ini; dan
2. mengubah 5 (lima) nomor yaitu nomor urut 1, nomor urut 2, nomor urut 3, nomor urut
10, dan nomor urut 11, dalam Lampiran XII Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-297/PJ/2002 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-183/PJ/2010 sehingga menjadi sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan
Direktur Jenderal ini.

Pasal II

(1) Wewenang Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan keputusan atas pengajuan
keberatan, permohonan pembetulan, permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi
administrasi, permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak
benar, permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar,
dan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan atau Verifikasi
yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau Surat
Pemberitahuan Hasil Verifikasi atau tanpa pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan
Wajib Pajak atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dengan Wajib Pajak dilaksanakan
dengan ketentuan sebagai berikut:

a. keputusan atas pengajuan keberatan yang batas akhir penyelesaiannya setelah tanggal
30 Juni 2013 dan belum diterbitkan keputusannya oleh Direktur Jenderal Pajak,
dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran
I dan Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur
Jenderal ini;
b. keputusan atas permohonan pembetulan, permohonan pengurangan atau penghapusan
sanksi administrasi, permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak
yang tidak benar, permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak
yang tidak benar, dan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak dari hasil
pemeriksaan atau Verifikasi yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat
pemberitahuan hasil pemeriksaan atau Surat Pemberitahuan Hasil Verifikasi atau
tanpa pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak atau Pembahasan
Akhir Hasil Verifikasi dengan Wajib Pajak, yang batas akhir penyelesaiannya setelah
tanggal 30 April 2013 dan belum diterbitkan keputusannya oleh Direktur Jenderal
Pajak, dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran I dan Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan
Direktur Jenderal ini.

(2) Dalam hal pengajuan atau permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah
dikirim ke Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak sebelum Keputusan Direktur Jenderal
ini berlaku maka seluruh berkas pengajuan atau permohonan beserta tahapan
penyelesaian yang telah dilaksanakan diteruskan ke Kantor Wilayah yang berwenang
menyelesaikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal ditetapkannya
Keputusan Direktur Jenderal ini.

(3) Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Januari 2013
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.
A. FUAD RAHMANY
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR KEP - 21/PJ/2002

TENTANG

TATA CARA PEMBERITAHUAN PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK DENGAN


SURAT PAKSA DAN PENYITAAN DILUAR WILAYAH KERJA PEJABAT YANG
BERWENANG MENERBITKAN SURAT PAKSA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

Bahwa untuk kelancaran pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Paksa dan penyitaan atas
barang milik Penanggung Pajak yang berada di luar wilayah kerja pejabat yang berwenang
menerbitkan Surat Paksa, perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata
Cara Pemberitahuan Pelaksanaan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan Penyitaan di luar
Wilayah Kerja Pejabat yang berwenang Menerbitkan Surat Paksa;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
(LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Republik IndonesiaNomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 19 Tahun 2000 (LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 129,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan dalam
Rangka PenagihanPajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 247, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4049);
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.04/2000 tentang Pemblokiran dan
Penyitaan HartaKekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan pada Bank Dalam Rangka
Penagihan Pajak denganSurat Paksa;
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Surat Paksadan Penyitaan di luar Wilayah Kerja Pejabat yang Menerbitkan Surat Paksa;
5. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-627/PJ/2001 tentang Tata Cara
PelaksanaanPemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang
Tersimpan pada Bank DalamRangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA


PEMBERITAHUAN PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA
DAN PENYITAAN DI LUAR WILAYAH KERJA PEJABAT YANG BERWENANG
MENERBITKAN SURAT PAKSA.

Pasal 1

(1) Surat Paksa yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak
Bumi danBangunan terhadap orang pribadi diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada
Penanggung Pajak ditempat tinggal, tempat usaha atau di tempat lain yang
memungkinkan.
(2) Surat Paksa yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak
Bumi danBangunan terhadap badan diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada pengurus,
kepala perwakilan,kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat
kedudukan badan yangbersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain
yang memungkinkan, atau pegawaitetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan
yang bersangkutan.
(3) Dalam hal Surat Paksa harus dilaksanakan di luar wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan
Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, Kepala Kantor Pelayanan tersebut
wajib memintabantuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan yangwilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa.
(4) Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang
diminta bantuan,wajib membantu dan memberitahukan tindakan yang telah
dilaksanakannya kepada Kepala KantorPelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi
dan Bangunan yang meminta bantuan.

Pasal 2

(1) Dalam hal objek sita berada di luar wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor
PelayananPajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan Surat Paksa, Kepala Kantor
Pelayanan tersebut wajibmeminta bantuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunanyang wilayah kerjanya meliputi tempat objek sita
berada untuk menerbitkan Surat PerintahMelaksanakan Penyitaan atas objek sita
dimaksud, kecuali atas pelaksanaan Surat Paksa, penyitaanmaupun lelang sebagaimana
diatur dalam Pasal 5.
(2) Apabila letak objek sita berjauhan dengan tempat kedudukan Kepala Kantor Pelayanan
Pajak/KantorPelayanan Pajak Bumi dan Bangunan tetapi masih berada dalam wilayah
kerjanya, Kepala KantorPelayanan tersebut dapat meminta bantuan kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak/Kantor PelayananPajak Bumi dan Bangunan yang wilayah kerjanya juga
meliputi tempat objek sita berada untukmenerbitkan Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan.

Pasal 3

Tindakan yang dilakukan oleh kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi
dan Bangunan yang meminta bantuan dalam rangka penagihan pajak dengan Surat Paksa
adalah sebagai berikut:

a. Menyampaikan surat permintaan bantuan pelaksanaan Surat Paksa dengan disertai Surat
Paksaberikut salinannya, serta informasi data mengenai Wajib Pajak kepada Kepala
Kantor PelayananPajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang diminta
bantuan dengan tembusan kepada KepalaKantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
(Kanwil DJP) yang wilayah kerjanya meliputi tempatkedudukan Kantor Pelayanan
Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang memintabantuan dan Kantor
Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang dimintabantuan.
b. Data sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas antara lain:
1) nama, alamat, Nomor Objek Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak;
2) jenis dan tahun pajak;
3) besarnya Pajak terutang;
4) copy Surat Tagihan Pajak (SPT), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah
danBangunan Kurang Bayar (SKBKB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah danBangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT), Surat Tagihan Bea
Perolehan Hak atas Tanahdan Bangunan (STB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
(SKPKB), Surat Ketetapan PajakKurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,putusan Banding yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah yangmenjadi dasar
penagihan dengan Surat Paksa dimaksud;
5) copy tanda terima STP, STB, SKBKB, SKBKBT, SKPKB, SKPKBT;
6) bank/kantor pos/tempat pembayaran pajak terutang;
7) catatan ringkas objek sita dan data yang berkaitan dengan Wajib Pajak.
c. Menerima pemberitahuan tentang pelaksanaan Surat Paksa beserta dokumennya dari
Kepala KantorPelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang diminta
bantuan untuk dicatatdalam buku pengawasan penagihan yang selanjutnya digabung
dengan berkas penagihan.
d. Menyampaikan surat permintaan bantuan untuk menerbitkan Surat Perintah
MelaksanakanPenyitaandisertai salinan Surat Paksa dan data objek sita selengkap-
lengkapnya kepada Kepala KantorPelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan yang diminta bantuan dengan tembusankepada Kepala Kanwil DJP yang
wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan
Pajak Bumi dan Bangunan yang meminta bantuan dan Kantor Pelayanan Pajak/kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang diminta bantuan.
e. Menerima Pemberitahuan pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan Berita
AcaraPelaksanaan Sita dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi
dan Bangunanyang diminta bantuan untuk dicatat dalam buku pengawasan penagihan
yang selanjutnya digabungdengan berkas penagihan.
f. Menyampaikan surat permintaan bantuan untuk pelaksanaan lelang disertai fotokopy
Berita AcaraPelaksanaan Sita Kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan
Pajak Bumi danBangunan yang diminta bantuan dengan tembusan kepada Kepala Kanwil
DJP yang wilayah kerjanyameliputi tempat kedudukan Kantor Pelayanan Pajak/Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yangmeminta bantuan dan Kantor Pelayanan
Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang diminta bantuan.
g. Menerima pemberitahuan pelaksanaan lelang dan Berita Acara Lelang dari Kepala Kantor
PelayananPajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang diminta bantuan.

Pasal 4

Tindakan yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi
dan Bangunan yang diminta bantuan dalam rangka penagihan pajak dengan Surat Paksa
adalah sebagai berikut:

a. Menerima surat permintaan bantuan pelaksanaan Surat Paksa serta informasi data Wajib
Pajak.
b. Melaksanakan Surat Paksa dan memberitahukan tindakan yang telah dilakukan disertai
dokumenpelaksanaan Surat Paksa kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor
Pelayanan Pajak Bumi danBangunan yang meminta bantuan dengan tembusan kepada
Kepala Kanwil DJP yang wilayah kerjanyameliputi tempat kedudukan Kantor Pelayanan
Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi danBangunan yangmeminta bantuan dan Kantor
Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yangdiminta bantuan.
c. Menerima surat permintaan bantuan menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan.
d. Menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
e. Melaksanakan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan memberitahukan pelaksanaan
SuratPerintah Melaksanakan Penyitaan dengan dilengkapi Berita Acara Pelaksanaan Sita
kepada KepalaKantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
yang meminta bantuan dengantembusan kepada Kepala Kanwil DJP yang wilayah
kerjanya meliputi tempat kedudukan KantorPelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan yang meminta bantuan dan KantorPelayanan Pajak/Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang diminta bantuan.
f. Menerima surat permintaan bantuan untuk melakukan proses lelang.
g. Melaksanakan dan memberitahukan pelaksanaan lelang kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang meminta bantuan dengan
tembusan kepada KepalaKanwil DJP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan
Kantor Pelayanan Pajak/KantorPelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang meminta
bantuan dan Kantor Pelayanan Pajak/KantorPelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang
diminta bantuan.

Pasal 5

(1) Apabila dalam satu kota terdapat beberapa Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan
Pajak Bumi danBangunan, sebagaimana contoh dalam Lampiran I Keputusan Direktur
Jenderal Pajak ini, KepalaKantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan selaku pejabat yangmenerbitkan Surat Paksa dapat memerintahkan Jurusita
Pajaknya untuk melaksanakan Surat Paksaterhadap Wajib Pajak/Penanggung Pajak dan
melaksanakan penyitaan maupun lelang terhadap objeksita yang berada di luar wilayah
kerjanya.
(2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang
menerbitkan SuratPaksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memberitahukan
kepada Kepala KantorPelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang
wilayah kerjanya meliputipelaksanaan Surat Paksa, penyitaan maupun lelang atas objek
sita berada, dengan menggunakanformulir surat sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran
II Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dilakukan 1 (satu) kali
yaitu padasaat akan melaksanakan penyampaian Surat Paksa, sedangkan pada saat akan
melaksanakanpenyitaan maupun pelelangan, tidak perlu dibuat surat pemberitahuannya.

Pasal 6
(1) Dalam hal penyitaan atas harta kekayaan Penanggung Pajak berupa deposito berjangka,
tabungan,saldo rekening koran, giro atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu
disimpan pada bankyang berada di luar wilayah kerja Kepala Kantor Pelayanan
Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi danBangunan, Kepala Kantor Pelayanan tersebut
wajib meminta bantuan kepada Kepala KantorPelayananPajak/Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan yang wilayah kerjanya meliputi bank tempat objeksita disimpan.
(2) Tindakan yang dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak
Bumi danBangunan yang meminta bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
sebagai berikut:
a. Menyampaikan surat permintaan bantuan pemblokiran dengan dilampiri salinan Surat
Paksadan data objek sita kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan
Pajak Bumi danBangunan yang diminta bantuan dengan tembusan kepada Kepala
Kanwil DJP yang wilayahkerjanya meliputi tempat kedudukan Kantor Pelayanan
Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumidan Bangunan yang meminta bantuan dan Kantor
Pelayanan/Kantor Pelayanan Pajak Bumidan Bangunan yang diminta bantuan;
b. Menerima berita acara pemblokiran dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor
PelayananPajak Bumi dan Bangunan yang diminta bantuan;
c. Memerintahkan kepada Penanggung Pajak untuk memberi kuasa kepada bank
agarmemberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank tersebut kepada
JurusitaPajak;
d. Mengajukan permohonan kepada Gubernur Bank Indonesia melalui Menteri
Keuangan untukmemerintahkan bank memberitahukan saldo kekayaan Penangung
Pajak yang tersimpanpada bank yang bersangkutan dalam hal Penanggung Pajak tidak
memberi kuasa kepadabank sebagaimana dimaksud dalam huruf c;
e. Menyampaikan surat permintaan bantuan untuk menerbitkan Surat Perintah
MelaksanakanPenyitaan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan
Pajak Bumi danBangunan yang diminta bantuan dengan tembusan kepada Kepala
Kanwil DJP yang wilayahkerjanya meliputi tempat kedudukan Kantor Pelayanan
Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumidan Bangunan yang diminta bantuan;
f. Menyampaikan surat permintaan bantuan untuk pelaksanaan pemindahbukuan.
(3) Tindakan yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak
Bumi danBangunan yang diminta bantuan adalah sebagai berikut:
a. Menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
b. Menyampaikan surat permintaan pemblokiran kepada bank tempat objek sita
disimpandisertai salinan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan
c. Melaporkan hasil pelaksanaan penyampaian surat permintaan pemblokiran kepada
KepalaKantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang
meminta bantuan;
d. Melaksanakan penyitaan dan melaporkan hasil pelaksanaan penyitaan kepada Kepala
KantorPelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang meminta
bantuan;
e. Melaporkan hasil pelaksanaan pemindahbukuan yang telah dilakukan oleh bank
kepadaKepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
yang memintabantuan.

Pasal 7

Dengan berlakunya Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, maka Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-05/PJ.75/1999 tanggal 10 Agustus 1999 dan Nomor SE-
09/PJ.75/2000 tanggal 9 Oktober 2000 dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 8

Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur


Jenderal Pajakini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 11 Januari 2002


DIREKTUR JENDERAL,

ttd

HADI POERNOMO
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

TENTANG
PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 06/PJ.75/1997

TENTANG

PERUBAHAN FORMULIR-FORMULIR YANG DIGUNAKAN DALAM


PENAGIHAN PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksatanggal 23 Mei 1997, maka formulir-formulir yang digunakan untuk pelaksanaan
penagihan pajak sebagaimana tercantum pada Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor KEP-19/PJ/1995 tentang Pedoman Tata Usaha Piutang dan Penagihan Pajak, perlu
disesuaikan.

Penyesuaian tersebut telah ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Nomor KEP-
115/PJ/1997 tanggal 30 Juni 1997 tentang Perubahan Bentuk-Bentuk Formulir yang
Digunakan Untuk Penagihan Pajak Sebagaimana Tercantum pada Lampiran Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-19/PJ/1995Tentang Pedoman Tata Usaha Piutang dan
Penagihan Pajak.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dengan ini disampaikan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak Nomor KEP-115/PJ/1997 tentang Perubahan Bentuk-Bentuk Formulir yang Digunakan
Untuk Penagihan Pajak Sebagaimana Tercantum pada Lampiran Keputusan Direktur Jenderal
Pajak Nomor KEP-19/PJ/1995tentang Pedoman Tata Usaha Piutang dan Penagihan Pajak
beserta lampirannya untuk dipakai sebagai sarana penagihan pajak yang mengacu
kepadaUndang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Demikian untuk dimaklumi dan dilaksanakan.

DIREKTUR

ttd

DJAZOELI SADHANI

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 03/PJ.8/1998

TENTANG

RENCANA KERJA KANTOR PENYULUHAN PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan tugas Pusat Penyuluhan Perpajakan sesuai Keputusan Menteri Keuangan
Nomor : 944/KM.1/1993 adalah membina dan melaksanakan penyuluhan perpajakan untuk
menunjang pelaksanaan tugas pokok DJP, maka dalam rangka untuk lebih meningkatkan
kinerja Kantor Penyuluhan Pajak, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :

1. Agar semua kegiatan penyuluhan pajak dapat diintegrasikan dalam satu pola strategi,
sehingga pelaksanaannya menjadi lebih seragam, efisien dan tidak tumpang tindih maka
perlu rencana kerja setiap Kantor Penyuluhan juga disampaikan atau ditembuskan ke
Pusat Penyuluhan Perpajakan.
2. Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan
pajak dengan surat paksa, Undang-Undang Nomor 21 tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) pada 1 Juli 1998 dan untuk mendukung
pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 1994 juncto Peraturan Presiden Nomor
27 tahun 1996 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari perolehan
hak atas tanah dan bangunan, maka penyampaian informasi, konsultasi, dan bimbingan
perpajakan secara berkesinambungan kepada masyarakat, perlu ditingkatkan agar
masyarakat memperoleh keseimbangan khususnya dalam melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya.
3. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, agar para Kepala Kantor Penyuluhan Pajak segera
membuat rencana kerja Kantor Penyuluhan Pajak untuk jangka waktu 1 semester
(September 1998 sampai dengan Maret 1999).
4. Rencana kerja tersebut agar mengacu pada ketentuan yang telah berlaku selama ini yaitu
berisi kegiatan seperti yang tercantum dalam KPL-KW-8-1-96 (Laporan Pelaksanaan
Tugas Penyuluhan), dan sudah diterima oleh Pusat Penyuluhan Perpajakan paling lambat
akhir bulan Agustus. Rencana kerja tersebut akan dijadikan dasar evaluasi kinerja
penyuluhan baik secara nasional maupun regional.
5. Rencana kerja sebagaimana dimaksud pada butir 3 dan 4 tersebut diatas, harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a. Memprioritaskan kepada Subyek Pajak yang potensial menjadi Wajib Pajak atau
Wajib Pajak yang belum mengetahui atau tidak melaksanakan ketentuan perpajakan
secara baik dan benar;
b. Melampirkan matrik jenis kegiatan penyuluhan, volume kegiatan, sasaran dan lain-
lain dengan mencantumkan tempat, tanggal, topik, jumlah peserta dan nama penatar
seperti terlampir.
c. Melampirkan uraian yang dapat menggambarkan jalannya kegiatan dan kendala yang
mungkin dihadapi.
6. Di samping itu perlu diingatkan agar KPL-KW-8-1-96 (Laporan Pelaksanaan Tugas
Penyuluhan) tetap disampaikan dengan tepat waktu dan dilampiri dengan uraian yang
dapat menggambarkan jalannya kegiatan dan kendala yang dihadapi, satu dan lain hal
agar Pusat Penyuluhan Perpajakan dapat segera melakukan evaluasi kinerja penyuluhan.

Demikian disampaikan dan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

KEPALA PUSAT

ttd

Ir. CHAIZI NASUCHA, MPKN


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 05/PJ.75/1998

TENTANG

UPAYA PENINGKATAN PENCAIRAN TUNGGAKAN PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Berdasarkan hasil penelitian terhadap laporan-laporan pencairan tunggakan yang dilakukan


oleh para Kepala Kantor Pelayanan Pajak menunjukkan bahwa kinerja yang dicapai belum
dapat memenuhi standard yang ditentukan. Dalam rangka membantu mengamankan rencana
penerimaan pajak tahun 1998/1999 yang diperkirakan akan banyak mengalami kesulitan di
lapangan sehubungan dengan keadaan ekonomi yang kurang menggembirakan, maka
diperlukan peningkatan kegiatan penagihan dengan upaya sebagai berikut :

1. Kepala Kantor Pelayanan Pajak diminta untuk melakukan tindakan proaktif dalam
penagihan pajak dengan memantau kegiatan-kegiatan pengumuman lelang yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang oleh Undang-undang diberikan kewenangan untuk
melakukan penjualan secara lelang seperti Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara
(BUPLN), ataupun pengumuman perusahaan-perusahaan yang dinyatakan pailit oleh
kurator melalui media cetak atau media elektronik.
2. Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 ditindaklanjuti dengan :
a. Terhadap Wajib Pajak yang aktiva-aktivanya akan dilelang agar Kepala Kantor
Pelayanan Pajak mengingatkan kepada pihak-pihak yang menyelenggarakan lelang
tersebut bahwa pajak mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik
Penanggung Pajak yang akan dilelang.
b. Terhadap Wajib Pajak yang perusahaannya dinyatakan pailit agar segera menerbitkan
surat ketetapan pajak dan diikuti dengan penagihan aktif.
3. Melakukan himbauan kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak agar melunasi utang
pajaknya terlebih dahulu pada saat memberikan pelayanan kepada Wajib Pajak yang
masih mempunyai tunggakan pajak.
4. Mensosialisasikan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa beserta aturan pelaksanaannya kepada masyarakat Wajib Pajak dan
Instansi Pemerintah yang terkait.

Demikian untuk dapat dilaksanakan.

DIREKTUR JENDERAL

ttd

A. ANSHARI RITONGA
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 05/PJ.75/2000

TENTANG

KEBIJAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Berdasarkan analisa atas Laporan Perkembangan Tunggakan Pajak (KPL.KW.7.4,


KPL.KW.7.5 dan KPL.KW.6) sampai dengan triwulan II tahun 1999/2000 ternyata prestasi
pengurangan/pencairan pajak secara Nasional masih dibawah target (30 %) seperti yang
ditetapkan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE-04/PJ.75/1999tanggal 28 Juni 1999
tentang Kebijaksanaan Penagihan Pajak. Dalam rangka optimalisasi pengurangan/pencairan
tunggakan diperlukan upaya-upaya yang lebih intensif. Untuk keseragaman dan kelancaran
pelaksanaan penagihan pajak, dengan ini disampaikan beberapa hal sebagai berikut :

1. Pelaksanaan penagihan pajak harus dilakukan sampai ke tahap lelang, sesuai jadwal
penagihan yang telah ditentukan sebagaimana telah ditegaskan dalam Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.75/1998 tanggal 20 Nopember 1998 tentang
Jadwal Waktu Pelaksanaan Penagihan Pajak, kecuali Penanggung Pajak telah melunasi
utang pajaknya. Dalam hal Surat Paksa telah diterbitkan tetapi Penanggung Pajak masih
tetap tidak melunasi utang pajaknya, sebelum melakukan penyitaan agar dipilih terlebih
dahulu objek sita yang potensial dapat dicairkan untuk melunasi utang pajaknya. Objek
sita tersebut terutama berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak yang sudah
tidak bermasalah lagi, agar dalam proses pelaksanaannya tidak menimbulkan masalah
dikemudian hari.
2. Penyitaan dilakukan tidak hanya terhadap barang bergerak berupa mobil, televisi,
komputer dan sebagainya, tetapi dilakukan juga pada barang bergerak berupa piutang
dan kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan di bank berupa deposito berjangka,
tabungan, saldo rekening koran, obligasi, saham atau surat berharga lainnya. Penyitaan
yang dilakukan terhadap kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan di bank dan
piutang, diprioritaskan untuk tahun 2000/2001. Untuk itu perlu penyempurnaan tata cara
pemblokiran dan penyitaan terhadap piutang yang juga diatur dalam Surat Edaran ini.
3. Penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak berupa piutang mengacu
pada Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1998 tentang Tata Cara Penyitaan dalam
rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Sebelum melaksanakan penyitaan barang
milik Penanggung Pajak yang berupa piutang, terlebih dahulu dibuat surat peringatan
kepada Penanggung Pajak yang dimaksudkan agar piutang yang ada pada debitur akan
digunakan sebagai pelunasan utang pajak dari Penanggung Pajak bila Penanggung Pajak
tetap tidak melunasi utang pajaknya
Apabila setelah batas waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal surat peringatan
Penanggung Pajak tetap tidak melunasi utang pajaknya, Kepala Kantor Pelayanan
Pajak melaksanakan penyitaan terhadap piutang dimaksud dengan menerbitkan Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan. Contoh formulir surat peringatan penyitaan atas
piutang untuk pelunasan utang pajak dan Berita Acara Persetujuan Pengalihan
sebagaimana terlampir.

4. Tata cara penyitaan terhadap kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan dalam bank
tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1998 tentang Tata Cara
Penyitaan dalam rangka Penagihan pajak dengan surat paksajuncto Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 148/KMK.04/1998tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta
Kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dalam rangka Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa. Contoh formulir yang digunakan sebagaimana terlampir.
5. Paling lambat tanggal 10 setiap bulan Kantor Pelayanan Pajak mengirimkan daftar
usulan Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang akan dilaksanakan penyitaan kepada Kantor
Wilayah atasannya untuk bahan pemantauan tindak lanjutnya
6. Kepala Kantor Wilayah agar melakukan pengawasan/bimbingan langsung terhadap
pelaksanaan penagihan termasuk juga administrasinya di bawah koordinasi Kepala
Bidang Pemeriksaan dan Penagihan Kantor Wilayah yang bersangkutan.
7. Sasaran prestasi penagihan Kantor Pelayanan Pajak digariskan sebagai berikut :
a. Target pencairan tunggakan pajak tahun 2000/2001 adalah sebesar 30 % dari jumlah
tunggakan pada awal triwulan yang bersangkutan.
b. Target kegiatan penagihan aktif untuk tahun 2000/2001 pada setiap Kantor
Pelayanan Pajak sebagaimana terlampir. Target kegiatan penagihan aktif dimaksud
setelah pemberitahuan Surat Paksa (SPMP dan Pengumuman Lelang) dapat saja
tidak tercapai, namun pencairan tunggakan yang ditentukan pada huruf a harus
dicapai.
8. Dalam melaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa di luar wilayah kerja Pejabat
yangberwenang menerbitkan Surat Paksa, maka Pejabat dimaksud harus meminta
bantuan kepadaPejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa,
kecuali ditetapkan lain oleh Menteri atau Kepala Daerah sesuai dengan Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-05/PJ.75/1999 tanggal 10 Agustus 1999 tentang
Pelaksanaan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Di Luar Wilayah Kerja Pejabat yang
Berwenang Menerbitkan Surat Paksa.
9. Secara Nasional Tunggakan Pajak Triwulan II tahun 1999/2000 adalah sebagai berikut :
- Tunggakan awal sebesar .............................................. Rp 14.856.548.545 ribu

- Penambahan sebesar ................................................... Rp 2.327.125.204 ribu

- Pengurangan sebesar ................................................... Rp 2.464.622.520 ribu

- Tunggakan akhir sebesar .............................................. Rp 14.719.051.229 ribu

Prestasi pengurangan tunggakan pajak adalah sebesar Rp 2.464.622.520 ribu atau


sebesar 16,59 % dari tunggakan awal.

Berdasarkan data di atas prestasi pengurangan/pencairan pajak secara nasional masih


jauh dibawah 30 %, sehingga belum memenuhi target sebagaimana ditetapkan dalam
Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE-04/PJ.75/1999 taggal 28 Juni 1999 tentang
Kebijaksanaan Penagihan Pajak.

10. Lain-lain
a. Setelah dilakukan penagihan aktif terhadap piutang pajak ternyata terdapat
Penanggung Pajak yang benar-benar tidak dapat ditagih lagi, terutama piutang pajak
yang telah daluwarsa. Penanggung Pajak ini agar segera diproses usul
penghapusannya sesuai ketentuan yang berlaku.
b. Setiap triwulan Kantor Pusat akan mengeluarkan

- peringkat prestasi pengurangan tunggakan pajak;

- peringkat prestasi pencairan tunggakan pajak atas pembayaran;


- peringkat prestasi pemberitahuan SP; dan

- pelaksanaan SPMP dari masing-masing Kantor Pelayanan Pajak.

(terlampir triwulan II 1999/2000 untuk KPP).

Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

Ttd

MACHFUD SIDIK

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 08/PJ.75/2000

TENTANG

TATA CARA PENERBITAN ULANG SURAT TEGURAN, PENERBITAN SURAT


PAKSA PENGGANTI,
DAN PEMBETULAN ATAU PENGGANTIAN SURAT-SURAT DALAM RANGKA
PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa (UU PPSP) diatur mengenai penerbitan Surat Paksa Pengganti yaitu bahwa dalam hal
terjadi keadaan di luar kekuasaan Pejabat, Surat Paksa Pengganti dapat diterbitkan oleh
Pejabat karena jabatan. Selanjutnya Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU PPSP mengatur
mengenai pembetulan atau penggantian Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus,
Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan, Surat Perintah Penyanderaan, dan
Pengumuman Lelang yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan.

Selain ketentuan tersebut di atas, dalam Pasal 5 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan
Nomor: 147/KMK.04/1998 tanggal 27 Pebruari 1998 diatur bahwa tindakan penagihan
diawali dengan penerbitan Surat Teguran. Sehubungan dengan ketentuan-ketentuan tersebut
dan untuk kelancaran pelaksanaannya, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :

1. PENERBITAN ULANG SURAT TEGURAN

Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB) untuk memberikan
peringatan kepada Wajib Pajak untuk segera melunasi utang pajaknya. Oleh karena itu
penerbitan ulang Surat Teguran dapat saja dilakukan terutama apabila Surat Teguran
yang telah pernah diterbitkan tidak dapat diketemukan lagi dalam administrasi penagihan.
Penerbitan ulang Surat Teguran tersebut dilakukan dengan cara meminta konfirmasi
kepada Wajib Pajak yang bersangkutan terlebih dahulu, untuk meyakinkan bahwa Wajib
Pajak pernah menerima Surat Teguran.

Dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Apabila Wajib Pajak menyatakan sama sekali belum pernah menerima Surat Teguran,
maka penerbitan ulang tersebut dilakukan dengan cara membuat 2 (dua) buah salinan
dari Surat Teguran yang hilang, yang dilegalisasi oleh Kepala Kantor Pelayanan
Pajak/Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang bersangkutan
dengan nomor, tanggal, bulan dan tahun seperti yang tercantum dalam Buku Register
Surat Teguran. Satu salinan dikirimkan kepada Wajib Pajak, satu salinan lagi untuk
arsip Sub Seksi Penagihan.
b. Apabila Wajib Pajak menyatakan telah pernah menerima Surat Teguran maka cukup
dibuat salinan Surat Teguran untuk kepentingan arsip seperti yang tercantum dalam
Buku Register Surat Teguran.
c. Apabila nomor, tanggal bulan dan tahun Surat Teguran yang hilang tidak dapat
diketahui lagi, baik di tempat Wajib Pajak maupun pada administrasi KPP maka
dibuatlah Surat Teguran, baru (bukan salinan) yang ditandatangani oleh Kepala
Kantor Pelayanan Pajak/Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang
bersangkutan karena dianggap bahwa Surat Teguran belum pernah diterbitkan.
2. PENERBITAN SURAT PAKSA PENGGANTI BERDASARKAN PASAL 9 UU PPSP
Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekorial dan kedudukan hukum yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan langsung dapat
dilaksanakan tanpa bantuan putusan pengadilan lagi dan tidak dapat diajukan banding
(Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa)
Oleh karena itu terhadap Surat Paksa tidak dapat dilakukan penerbitan ulang, kecuali
dalam hal terjadi di luar kekuasaan Pejabat, misalnya kecurian, kebanjiran, kebakaran,
atau gempa bumi yang menyebabkan asli Surat Paksa rusak, tidak terbaca, atau tidak dapat
ditemukan lagi. Dalam hal ini Pejabat karena jabatan dapat menerbitkan Surat Paksa
Pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 19 tahun 1997
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa beserta penjelasannya. Surat Paksa Pengganti
mempunyai kekuatan dan kedudukan hukum yang sama dengan Surat Paksa.

Penerbitan Surat Paksa Pengganti dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Konfirmasi kepada Wajib Pajak apakah pernah atau belum terima SP.
b. Dalam hal sudah menerima kemudian dibuat Berita Acara mengenai hilang, rusak
dan tidak terbacanya Surat Paksa dengan menyebutkan antara lain sebab-sebab tidak
dapat diketemukannya Surat Paksa yang bersangkutan. Dalam hal Kepala Kantor
Pelayanan Pajak/Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang
menandatangani Surat Paksa yang hilang telah meninggal dunia, pensiun atau sudah
alih tugas, harus dicantumkan dalam Berita Acara, dan merupakan alasan untuk
ditandatanganinya Surat Paksa Pengganti oleh Kepala Kantor Pelayanan
Pajak/Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang baru. Berita Acara
tersebut dibuat rangkap 2 (dua), yang ditandatangani oleh Kepala Kantor Pelayanan
Pajak/Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang bersangkutan,
Kepala Seksi Penagihan/Kepala Seksi Penerimaan dan Penagihan PBB dan Kasubsi
Penagihan/Kasubsi Penagihan PBB sebagai saksi. Satu lembar asli Berita Acara
dimasukkan dalam berkas Penagihan sedangkan tindasannya direkatkan pada
STP/SKPKB/SKPKBT/Surat Keputusan Pembetulan/Surat Keputusan
Keberatan/Putusan Banding yang bersangkutan.
c. Selanjutnya dibuat Surat Paksa Pengganti berikut salinannya dengan nomor, tanggal,
bulan dan tahun yang sama, sebagaimana tercantum dalam Buku Register Surat
Paksa, Surat Paksa Pengganti yang harus ditandatangani oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak/Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang baru,
"Asli" Surat Paksa Pengganti dimasukkan dalam berkas Penagihan dan "salinannya"
diberitahukan kepada Wajib Pajak bila hasil konfirmasi menyatakan bahwa Wajib
Pajak belum terima.
d. Apabila nomor, tanggal, bulan dan tahun Surat Paksa yang hilang tidak diketemukan
lagi baik kepada Wajib Pajak maupun pada administrasi KPP, maka dianggap bahwa
Surat Paksa tersebut belum pernah diterbitkan, sehingga dapat diterbitkan Surat Paksa
baru.
3. PEMBETULAN BERDASARKAN KETENTUAN PASAL 39 AYAT (1) DAN AYAT
(2) UU PPSP
Pembetulan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah
Melakukan Penyitaan, Surat Perintah Penyanderaan, dan Pengumuman Lelang dilakukan
dalam hal ada kesalahan atau kekeliruan dalam penulisan nama, alamat, NPWP, jumlah
utang pajak, atau keterangan lain. Pembetulan dapat dilakukan karena permohonan
Penanggung Pajak atau secara jabatan. Hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu:

a. Surat-surat dimaksud dibuat baru, dengan menggunakan nomor dan tanggal surat
yang lama. Pada buku register yang berkaitan unsur yang salah atau keliru dicoret dan
diganti dengan yang seharusnya. Surat-surat yang salah atau keliru dibubuhi cap
"BATAL," karena....... (diisi alasan pembatalan tersebut)".
b. 1 (satu) lembar surat yang dibetulkan disampaikan kepada yang bersangkutan,
sedangkan arsip surat-surat yang telah dibetulkan, surat-surat yang salah atau keliru,
dan surat permohonan Penanggung Pajak apabila pembetulan didasarkan pada
permohonan Penaggung Pajak dimasukkan dalam berkas penagihan.
4. PENGGANTIAN BERDASARKAN KETENTUAN PASAL 39 AYAT (1) UU PPSP
Penggantian Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah
Melakukan Penyitaan, Surat Perintah Penyanderaan, dan Pengumuman Lelang dilakukan
dalam hal ada permohonan Penanggung Pajak karena hilang, rusak, atau karena alasan
lain. Hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu :

a. Dibuatkan salinannya dan dikirimkan kepada Penanggung Pajak.


b. Surat permohonan penggantian digabung dengan arsip/berkas penagihan yang
bersangkutan. Tidak berlebihan kiranya dikemukakan bahwa untuk mencegah
terjadinya Surat Teguran atau Surat Paksa tidak dapat diketemukan lagi,
diinstruksikan kepada Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Pelayanan Pajak, dan
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan untuk senantiasa melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan ketertiban administrasi penagihan.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

DIREKTUR JENDERAL

Ttd

MACHFUD SIDIK
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 48/PJ.6/2000

TENTANG

TATA CARA PENERBITAN SURAT TAGIHAN PAJAK PBB


DAN TATA CARA PELAKSANAAN PENAGIHAN PBB DAN BPHTB
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan telah diterbitkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : Kep-


503/PJ/2000 tanggal 22 Nopember 2000 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak
Pajak Bumi dan Bangunan dan Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan
dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dengan ini disampaikan penegasan
sebagai berikut :

1. Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (STP PBB) adalah Surat yang diterbitkan
oleh Kepala Kantor Pelayanan PBB untuk melakukan tagihan pajak yang terutang dalam
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atau Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang
tidak atau kurang dibayar setelah lewat jatuh tempo pembayaran dan atau denda
administrasi.
2. Penerbitan STP PBB dilakukan setelah lewat jatuh tempo pembayaran SPPT atau SKP
dan tidak didahului dengan penerbitan Surat Teguran (ST). Penerbitan STP PBB
menggugurkan dasar penagihan PBB sebelumnya sedangkan penerbitan Surat Tagihan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STB) tidak menggugurkan dasar
penagihan BPHTB sebelumnya.
3. Pelaksanaan penagihan PBB dan BPHTB diawali dengan penerbitan Surat Teguran oleh
Kepala Kantor Pelayanan PBB atau kuasa yang ditunjuk.
4. Dalam rangka membantu pelayanan kepada Wajib Pajak, hendaknya dilakukan
pendekatan persuasif sebelum saat jatuh tempo pembayaran. Apabila tindakan persuasif
tersebut belum berhasil, agar dilakukan tindakan penagihan sesuai ketentuan yang
berlaku.
5. Untuk lebih jelasnya, mekanisme pelaksanaan penerbitan STP PBB dan pelaksanaan
penagihan PBB dan BPHTB dapat dilihat pada diagram alur sebagaimana lampiran surat
edaran ini.
6. Untuk mengantisipasi adanya perubahan peraturan perpajakan tahun 2001 yang
berdampak pada perubahan blangko, maka pengadaan blangko agar disesuaikan dengan
kebutuhan untuk jangka waktu sampai dengan diterbitkannya peraturan yang baru tentang
Penagihan pajak dengan surat paksa.
Demikian disampaikan untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.

A.n. DIREKTUR JENDERAL


DIREKTUR PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

Ttd

HASAN RACHMANY
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 542/PJ./2000

TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH, KEPUTUSAN PRESIDEN, DAN KEPUTUSAN


MENTERI KEUANGAN SEBAGAI PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-
UNDANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN TAHUN 2000

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Bersama ini disampaikan 13 (tiga belas) Keputusan Menteri Keuangan sebagai Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, 10
(sepuluh) Peraturan Pemerintah dan 7 (tujuh) Keputusan Menteri Keuangan sebagai
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, 4 (empat) Peraturan
Pemerintah, 1 (satu) Keputusan Presiden dan 11 (sebelas) Keputusan Menteri Keuangan
sebagai Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, dan 3 (tiga) Peraturan Pemerintah dan 5
(lima) Keputusan Menteri Keuangan sebagai Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1997tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, sebagai berikut :

I. Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum


Dan Tata Cara Perpajakan
1. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 533/KMK.04/2000 tentang
Penyelenggaraan Pembukuan Dalam Bahasa Asing Dan Mata Uang Selain Rupiah
Serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.
2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 534/KMK.04/2000 tentang
Bentuk Dan Isi Surat Pemberitahuan Serta Keterangan Dan Atau Dokumen Yang
Harus Dilampirkan.
3. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 535/KMK.04/2000 tentang
Wajib Pajak Tertentu Yang Dikecualikan Dari Kewajiban Menyampaikan Surat
Pemberitahuan.
4. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 536/KMK.04/2000 tentang
Tata Cara Penerimaan Dan Pengolahan Surat Pemberitahuan.
5. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 537/KMK.04/2000 tentang
Wajib Pajak Tertentu Yang Dikecualikan Dari Pengenaan Sanksi Administrasi
Berupa Denda Karena Tidak Menyampaikan Surat Pemberitahuan Dalam Jangka
Waktu Yang Ditentukan.
6. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 538/KMK.04/2000 tentang
Tata Cara Penghitungan Dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
7. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 539/KMK.04/2000 tentang
Pihak Lain Yang Dapat Diberikan Keterangan Oleh Pejabat Dan Tenaga Ahli Yang
Ditunjuk Mengenai Segala Sesuatu Yang Diketahui Atau Diberitahukan Kepadanya
Oleh Wajib Pajak Dalam Rangka Jabatan Atau Pekerjaannya Untuk Menjalankan
Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan.
8. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 540/KMK.04/2000 tentang
Tata Cara Pemberian Imbalan Bunga Kepada Wajib Pajak.
9. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 541/KMK.04/2000 tentang
Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran Dan Penyetoran Pajak, Tata Cara
Pembayaran, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak, Serta Tata Cara Pemberian Angsuran
Atau Penundaan Pembayaran Pajak.
10. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 542/KMK.04/2000 tentang
Tata Cara Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi Dan Pengurangan
Atau Pembatalan Ketetapan Pajak.
11. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 543/KMK.04/2000 tentang
Penggunaan Bahasa Asing Dalam Pembukuan Atau Pencatatan Wajib Pajak.
12. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 544/KMK.04/2000 tentang
Kriteria Wajib Pajak Yang Dapat Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pembayaran Pajak.
13. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 545/KMK.04/2000 tentang
Tata Cara Pemeriksaan Pajak.
II. Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan
1. Peraturan Pemerintah Nomor 115 Tahun 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan
Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri Dan Pajak Penghasilan Pasal 21
Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 130 Tahun 2000 tentang Pengecualian Sebagai Objek
Pajak Atas Keuntungan Karena Pembebasan Utang Debitur Kecil.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga
Deposito Dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 132 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas
Hadiah Undian.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan
Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan
6. Peraturan Pemerintah Nomor 139 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari Obligasi Yang Diperdagangkan Di Bursa Efek.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 147 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan Di Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 148 Tahun 2000 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan
Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan Atau Di Daerah-
Daerah Tertentu.
10. Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 tentang Pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan
Pensiun, Dan Tunjangan Hari Tua Atau Jaminan Hari Tua.
11. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 466/KMK.04/2000 tentang
Penyediaan Makanan Dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Dan Penggantian Atau
Imbalan Sehubungan Dengan Pekerjaan Atau Jasa Yang Diberikan Dalam Bentuk
Natura Dan Kenikmatan Di Daerah Tertentu Serta Yang Berkaitan Dengan
Pelaksanaan Pekerjaan Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pemberi
Kerja.
12. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 520/KMK.04/2000 tentang
Jenis-Jenis Harta Yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan
Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan.
13. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 521/KMK.04/2000 tentang
Jenis-Jenis Harta Yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Untuk
Keperluan Penyusutan Bagi Kontraktor Yang Melakukan Eksplorasi Dan Eksploitasi
Minyak Dan Gas Bumi Dalam Rangka Kontrak Bagi Hasil Dengan Perusahaan
Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara (Pertamina).
14. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 522/KMK.04/2000 tentang
Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak Berjalan
Yang Harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha
Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah Dan
Wajib Pajak Lainnya Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.
15. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 558/KMK.04/2000 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Pemotongan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari
Obligasi Yang Diperdagangkan Di Bursa Efek.
16. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 559/KMK.04/2000 tentang
Pajak Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi.
17. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 571/KMK.04/2000 tentang
Tata Cara Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan Kepada Wajib Pajak Yang
Melakukan Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan Atau Di
Daerah-Daerah Tertentu.
III. Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
1. Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir
Dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang Dan Jasa Yang
Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak
Yang Tergolong Mewah Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 tentang Impor Dan Atau Penyerahan
Barang Kena Pajak Tertentu Dan Atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu Yang di
Bebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
5. Keputusan Presiden Nomor 180 Tahun 2000 tentang Pencabutan Keputusan Presiden
Nomor 56 Tahun 1988 tentang Penunjukan Badan-Badan Tertentu Dan
Bendaharawan Untuk Memungut Dan Menyetor Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah.
6. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 547/KMK.04/2000 tentang
Penunjukan Bendaharawan Pemerintah, Badan-Badan Tertentu, Dan Instansi
Pemerintah Tertentu Untuk Memungut, Menyetor, Dan Melaporkan Pajak
Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
7. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 548/KMK.04/2000 tentang
Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Oleh Bendaharawan Pemerintah Sebagai
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
8. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 549/KMK.04/2000 tentang
Tata Cara Pemungutan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Oleh Badan-Badan Tertentu Sebagai Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai.
9. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 550/KMK.04/2000 tentang
Tata Cara Pemungutan Dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah Oleh Kantor Perbendaharaan Dan Kas Negara Sebagai
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
10. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 551/KMK.04/2000 tentang
Pencabutan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 180/KMK.04/1999 tentang Saat Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai Atas
Penyerahan Barang Kena Pajak Dalam Rangka Restrukturisasi Perusahaan.
11. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 552/KMK.04/2000 tentang
Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai.
12. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 553/KMK.04/2000 tentang
Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak
Yang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2000 Memilih Dikenakan Pajak Dengan Menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto.
13. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 554/KMK.04/2000 tentang
Batasan Dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan
Membangun Sendiri Yang Dilakukan Tidak Dalam Kegiatan Usaha Atau Pekerjaan
Oleh Orang Pribadi Atau Badan Yang Hasilnya Digunakan Sendiri Atau Digunakan
Pihak Lain.
14. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 567/KMK.04/2000 tentang
Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
15. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 568/KMK.04/2000 tentang
Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak
Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan Atau
Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean.
16. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 569/KMK.04/2000 tentang
Jenis Kendaraan Bermotor Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
IV. Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa
1. Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan Dalam
Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penjualan Barang
Sitaan Yang Dikecualikan Dari Penjualan Secara Lelang Dalam Rangka Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000 tentang Tempat Dan Tata Cara
Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, Dan Pemberian Ganti
Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
4. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 561/KMK.04/2000 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Seketika Dan Sekaligus Dan Pelaksanaan Surat
Paksa.
5. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 562/KMK.04/2000 tentang
Syarat-Syarat, Tata Cara Pengangkatan Dan Pemberhentian Juru Sita Pajak.
6. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 563/KMK.04/2000 tentang
Pemblokiran Dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Tersimpan
Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
7. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 564/KMK.04/2000 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Surat Paksa Dan Penyitaan Di Luar Wilayah Kerja Pejabat
Yang Menerbitkan Surat Paksa.
8. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 565/KMK.04/2000 tentang
Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak Dan Penetapan Besarnya Penghapusan.
Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri Keuangan tersebut mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.

Demikian untuk dilaksanakan dan disebarluaskan sebagaimana mestinya.

DIREKTUR JENDERAL,

Ttd

MACHFUD SIDIK
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 07/PJ.34/2001

TENTANG

PENANGANAN PERKARA GUGATAN TERHADAP DITJEN PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan, saran-saran dan usul-usul berkaitan dengan


penanganan surat panggilan (relaas) dari pengadilan, baik Pengadilan Negeri (PN) maupun
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), panggilan Kejaksaan dan panggilan Kepolisian,
dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :

1. Dalam hal panggilan pengadilan tersebut masih bersifat proses dissmissal atau
pemeriksaan persiapan yaitu acara sebelum panggilan untuk persidangan, sehubungan
dengan adanya gugatan yang merupakan sengketa pajak sebagaimana dimaksud dalam
UU BPSP dan UU PPSP, maka Kepala Kantor Wilayah atau Kepala
KPP/Karikpa/KP.PBB yang dipanggil, agar memenuhi relaas panggilan tersebut dan pada
kesempatan tersebut menjelaskan kepada Majelis Hakim bahwa sejak berlakunya UU
KUP, UU BPSP dan bukan kewenangan PTUN, dengan menunjukkan bukti-bukti dan
ketentuan-ketentuan perpajakan yang terkait. Selanjutnya agar disampaikan kepada
Majelis Hakim untuk menyatakan gugatan tidak diterima (verklaard). Hal tersebut
dimaksudkan selain untuk memberikan kesan bahwa pihak Direktorat Jenderal Pajak
menghormati lembaga peradilan, yang lebih penting adalah untuk memberikan penjelasan
yang sebaik-baiknya mengenai kompetensi absolut (wewenang) BPSP berkaitan dengan
penanganan sengketa di bidang perpajakan.
2. Pemenuhan panggilan tersebut juga dapat dilakukan dengan menugaskan pegawai pada
kantor yang bersangkutan dengan memberikan Surat Kuasa Khusus dan Surat Tugas dan
bila diperlukan dapat meminta bantuan secara hukum kepada Kantor Pusat DJP, Direktur
Peraturan Perpajakan cq Subdit. Dekomentasi PP dan Bantuan Hukum dengan Surat
Kuasa, untuk mewakili Kepala Kantor yang bersangkutan dalam sidang perkara gugatan
tersebut.
3. Untuk kasus-kasus tertentu yang relatif ringan yang sedemikian rupa dapat ditangani
sendiri oleh Kanwil/KPP/Karikpa/KP.PBB tidak perlu dimintakan bantuan agar ditangani
langsung oleh Tim Bantuan Hukum Kantor Pusat DJP tetapi cukup dengan melakukan
konsultasi dan koordinasi seperlunya.
4. Sehubungan dengan panggilan dari Kejaksaan atau Kepolisian yang ditujukan kepada
Kepala Kantor maupun pegawainya untuk dimintai keterangannya sebagai saksi atau
saksi ahli, maka Kepala Kantor yang bersangkutan diminta untuk segera melaporkannya
kepada Pejabat Eselon II di wilayah kerjanya untuk meminta Surat Tugas sebagai saksi
atau Surat Penunjukkan sebagai Saksi Ahli sebagaimana ditegaskan dalam Surat Edaran
Nomor SE-21/PJ.7/1991 tanggal 16 September 1991. pemberian keterangan sebagai saksi
dilakukan sendiri oleh yang dipanggil dengan tetap memperhatikan ketentuan mengenai
rahasia jabatan. Dalam hal ini dapat dilakukan konsultasi dan koordinasi dengan Direktur
Peraturan Perpajakan cq Subdit Dokumentasi PP dan Bantuan Hukum. Demikian pula
apabila diperlukan tenaga bantuan hukum untuk mendampingi pejabat yang dipanggil
tersebut.
5. Terhitung sejak tanggal Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, maka Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-05/PJ.34/1998 tanggal 7 Mei 1998 dinyatakan tidak
berlaku.

Demikian untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Direktur Jenderal,

ttd
HADI POERNOMO

NIP 060027375
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 14/PJ.24/2001

TENTANG

PENGANTAR KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP-


645/PJ./2001 TENTANG
BENTUK, JENIS, DAN KODE KARTU, FORMULIR, SURAT, DAN BUKU YANG
DIGUNAKAN DALAM PELAKSANAAN

PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Bersama ini disampaikan foto copy Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-
645/PJ/2001 tentang Bentuk, Jenis, dan Kode Kartu, Formulir, Surat, dan Buku Yang
Digunakan Dalam Pelaksanaan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebaik-baiknya.

DIREKTUR JENDERAL,

Ttd

HADI POERNOMO
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 01/PJ.75/2005

TENTANG

KEBIJAKAN PENAGIHAN PAJAK TAHUN 2005

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Berdasarkan evaluasi perkembangan tunggakan pajak sampai dengan 31 Desember 2004,


terdapat saldo akhir tunggakan adalah sekitar Rp. 23,523 triliun dan USD 224 juta sehingga
total saldo akhir tunggakan adalah sekitar Rp. 25,543 triliun. Dalam rangka mendukung
tercapainya rencana penerimaan pajak nasional tahun 2005, perlu diupayakan
pengurangan/pencairan tunggakan pajak secara optimal melalui peningkatan kegiatan
operasional penagihan antara lain adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendukung tercapainya rencana penerimaan pajak tahun 2005 perlu dilaksanakan
intensifikasi kegiatan penagihan pajak secara terpadu, profesional, terfokus, terukur dan
konsisten serta sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
2. Rencana pencairan tunggakan pajak nasional ditetapkan sebagai berikut:
a. Untuk tunggakan pajak atas ketetapan yang terbit sebelum tahun 2005, alokasi
rencana pencairan tunggakan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
dapat dilihat pada lampiran 1 Surat Edaran ini. Rencana ini ditetapkan berdasarkan
sisa tunggakan dari ketetapan yang terbit dalam tahun 2004 dan sebelumnya.
b. Untuk tunggakan pajak atas ketetapan yang terbit selama tahun 2005, rencana
pencairan tunggakan pajaknya adalah minimal sebesar 50%.
3. Standar prestasi pelaksanaan kegiatan penagihan pajak tahun 2005 adalah sebagai
berikut:
3.1. Penyampaian Surat Paksa : 12 SP per Jurusita per bulan

3.2. Penyampaian SPMP : 3 SPMP per Jurusita per bulan

3.3. Pelaksanaan Lelang : 1 lelang per Triwulan per KPP

3.4. Pemblokiran rekening Bank : minimal 1 Wajib Pajak per bulan per KPP

3.5. Pencegahan :

3.5.a Bagi Kanwil DJP yang berada di Pulau Jawa : minimal 2 Wajib Pajak per
Triwulan per Kanwil

3.5.b Bagi Kansil DJP yang berada di luar Pulau Jawa : minimal 1 Wajib Pajak per
Triwulan per Kanwil

Apabila tempat pelaksanaan SP, SPMP, Lelang atau Pemblokiran berada di luar wilayah
kerja Kantor Pelayanan Pajak (KPP)/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
(KPPBB) yang menerbitkan surat ketetapan pajak, maka Kepala KPP/KPPBB yang
bersangkutan meminta bantuan kepada Kepala KPP/KPPBB yang wilayah kerjanya
meliputi tempat pelaksanaan SP, SPMP, Lelang atau Pemblokiran. Dalam hal satu kota
terdapat beberapa KPP atau beberapa KPPBB maka pelaksanaannya mengikuti ketentuan
yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 564/KMK.04/2000 tanggal 26
Desember 2000. Standar prestasi pelaksanaan SP, SPMP, Lelang atau Pemblokiran
tersebut diberikan kepada KPP/KPPBB yang meminta bantuan dan KPP/KPPBB yang
memberikan bantuan

4. Bagi KPP/ KPPBB yang mengalami kekurangan tenaga pelaksana juru sita pajak dapat
menunjuk dan mengangkat juru sita yang telah menjabat sebagai Koordinator Pelaksana
pada KPP/KPPBB pada umumnya atau Koordinator Pelaksana pada Seksi Penagihan
pada khususnya, atau Kepala Seksi Penagihan atau Kepala KP4, sepanjang yang
bersangkutan memenuhi ketentuan pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor :562/KMK.04/2000 tentang Syarat-syarat, Tata Cara Pengangkatan dan
Pemberhentian Juru sita Pajak (Lulusan Program Diploma III Spesialisasi Pajak, Diklat
Teknis Substantif Dasar Pajak I atau Diklat Teknis Substantif Dasar Pajak II dianggap
telah memiliki pendidikan dan sertifikat juru sita).
5. Kepala Kantor Wilayah DJP memantau dan memastikan bahwa setiap Kantor Pelayanan
Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan di wilayah kerjanya mempunyai
paling sedikit satu kendaraan operasional yang dapat digunakan untuk pelaksanaan
kegiatan penagihan.
6. Kantor Wilayah DJP/Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan meningkatkan koordinasi regional/lokal dengan instansi terkait untuk
kelancaran kegiatan penagihan berdasarkan prinsip kebersamaan tugas sebagaimana yang
telah disepakati pada MOU antara Dirjen Pajak dengan POLRI /Menteri Kehakiman dan
HAM RI /Gubernur/Walikota/Bupati serta kerja sama dengan pihak bank sesuai Surat
Deputi Gubernur Bl No. 2/35/DpG/DHk tanggal 30 Mei 2000 (lampiran 2).
7. Kantor Wilayah DJP perlu membentuk Bank Data atas semua harta kekayaan Wajib
Pajak /Penanggung Pajak yang terdaftar di wilayahnya yang tersimpan pada bank
sehingga memudahkan Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan dalam melakukan pemblokiran dan penyitaan harta kekayaan Wajib Pajak
/Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank.
8. Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan melaksanakan
pemantauan dan pengawasan tindakan penagihan pajak terhadap 100 Penunggak Pajak
Terbesar yang ada di wilayah kerjanya. Hasil pemantauan dan pengawasan tersebut
dilaporkan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP atasannya setiap tanggal 10 bulan
berikutnya. Berdasarkan laporan tersebut, Kantor Wilayah DJP melakukan analisa dan
menyampaikan Laporan Analisa Pencairan Tunggakan Pajak 100 Wajib Pajak Penunggak
Pajak Terbesar kepada Direktur Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan c.q. Subdit
Penagihan setiap tanggal 15 bulan berikutnya.
9. Kantor Wilayah DJP/Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan agar melakukan bedah tunggakan yang dilanjutkan dengan pemanggilan
terhadap 20 Wajib Pajak Penunggak Pajak Terbesar di wilayah kerjanya setiap bulan
untuk penyelesaian tunggakan pajak Wajib Pajak.
10. Pelaksanaan penyitaan aset Wajib Pajak/Penanggung Pajak agar diprioritaskan atas
kekayaan penanggung pajak berupa monetary assets seperti deposito berjangka,
tabungan, saldo rekening koran, giro, piutang atau tagihan, obligasi, saham dan surat
berharga lainnya. Khusus penyitaan atas harta kekayaan Penanggung Pajak yang
tersimpan pada bank dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu. Apabila dalam
jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak pelaksanaan sita, penanggung pajak tidak
melunasi hutang pajak dan biaya penagihan pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak/
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan segera meminta kepada pimpinan
bank untuk memindahbukukan harta kekayaan penanggung pajak yang tersimpan pada
bank ke kas negara sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
: 563/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 dan Keputusan Dirjen Pajak Nomor
: KEP- 627/PJ./2001 tanggal 24 September 2001.
11. Dalam hal Wajib Pajak/Penanggung Pajak sedang dalam pencegahan/penyanderaan,
diminta agar Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan tetap
melakukan tindakan penagihan pajaknya secara aktif agar terjadi pembayaran/pelunasan
hutang pajak wajib pajak yang sedang dalam pencegahan/penyanderaan tersebut.
12. Sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Republik lndonesia Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undangn-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 disebutkan
bahwa apabila terdapat kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17, Pasal 17B, atau pasal 17C, maka kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan kepada
Wajib pajak, kecuali bila Wajib Pajak mempunyai utang pajak, maka kelebihan tersebut
langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut. Dalam hal
ini utang pajak yang terlebih dahulu dilunasi atau dilakukan pemindahbukuan adalah
utang pajak yang lebih dahulu diterbitkan, untuk mencegah daluwarsa penagihan.
13. Dalam hal permohonan keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak diterima sebagian oleh
unit yang menangani keberatan yaitu Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Wilayah DJP atau
Kantor Pusat DJP, maka atas keputusan keberatan tersebut diupayakan agar Kepala
Kantor Pelayanan Pajak melakukan tindakan penagihan aktif semaksimal mungkin untuk
pencairannya.
14. Terhadap keberatan yang telah ada surat keputusan keberatannya, diminta agar unit yang
menangani keberatan tersebut segera menyampaikan keputusan keberatan tersebut ke
Kantor Pelayanan Pajak, dalam hal keberatan ditangani Kantor Wilayah DJP atau Kantor
Pusat DJP. Apabila keberatan ditangani oleh Kantor Pelayanan Pajak maka Seksi
Penerimaan/Keberatan segera menyampaikan keputusan keberatan tersebut kepada Seksi
Penagihan.
15. Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa) turut bertanggung jawab
dalam pencairan tunggakan atas surat ketetapan pajak hasil pemeriksaannya. Disamping
itu, Kepala Karikpa membantu pencairan tunggakan pajak Wajib Pajak yang sedang
diperiksa, yaitu dengan menghimbau Wajib Pajak untuk segera melunasi utang pajak
yang telah dimiliki selama proses pemeriksaan tersebut berlangsung dan utang pajak
tahun pajak yang diperiksa dengan pembayaran Sesuai dengan Pembahasan Akhir (SPA).
Hasil pencairan tunggakan pajak oleh Karikpa agar dilaporkan kepada Kepala Kantor
Wilayah DJP setiap tanggal 10 bulan berikutnya, dengan tembusan kepada Direktur
Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak.
16. Apabila Wajib Pajak mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak ke
Pengadilan Pajak atau Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung, dalam hal Kantor
Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan/Kantor Wilayah DJP
memerlukan bantuan dari Direktorat Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak,
Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan/Kantor Wilayah
agar menyampaikan data dan bukti pendukung yang diperlukan sesegera mungkin kepada
Direktorat Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak dengan memperhatikan jadwal
sidang dan/atau jatuh tempo penyampaian memori/kontra memori Peninjauan Kembali.
17. Direktorat Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak Kantor Pusat DJP
melaksanakan pengawasan dan pembinaan tindakan penagihan pajak terhadap 1000
Penunggak Pajak Terbesar Nasional dan melaporkannya setiap bulan kepada Direktur
Jenderal Pajak paling lambat tanggal 25 bulan berikutnya.
18. Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
mengupayakan agar semua biaya penagihan pajak termasuk biaya pelaksanaan SP SPMP,
Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, 1% dari pokok lelang atau dari hasil penjualan
sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (la) dan Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa,
dan biaya-biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak dibebankan kepada Wajib
Pajak dan disetorkan ke Kas Negara dengan menggunakan formulir SSBP dan kode MAP
0555 sesuai surat Direktur Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak Nomor : S-
152/PJ.75/2004 tanggal 9 Juli 2004 (lampiran 3).
19. Perlu dibentuk Tim Penagihan Pajak di tingkat Kantor Pelayanan Pajak/Kantor
Wilayah/Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak yang mempunyai tugas dan wewenang
khusus untuk memantau dan menyelesaikan tunggakan pajak dari Wajib Pajak
Penunggak Terbesar lokal, regional dan nasional. Tim Penagihan Pajak secara berjenjang
melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak, Kepala
Kantor Wilayah, dan Direktur Jenderal Pajak/Direktur Pemeriksaan Penyidikan dan
Penagihan Pajak.
20. Untuk mendukung kegiatan penagihan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan membuat jadwal kegiatan penagihan selama tahun
2005 dengan menggunakan contoh seperti pada lampiran 4 surat edaran ini.
21. Kebijakan penagihan yang telah diatur dalam surat edaran tentang kebijakan penagihan
tahun-tahun sebelumnya, termasuk kebijakan pemberian reward, sepanjang tidak
bertentangan dengan surat edaran ini dinyatakan tetap berlaku.

Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan Di Jakarta
Tanggal 3 Maret 2005
Direktur Jenderal Pajak

Ttd

HADI POERNOMO
NIP. 060027375

Tembusan :
1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
2. Para Direktur dan Tenaga Pengkaji di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 03/PJ.04/2009

TENTANG

KEBIJAKAN PENAGIHAN PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan diberlakukannya Undang-Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang


Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, terdapat beberapa perubahan perlakuan
administrasi dan tindakan penagihan piutang pajak. Sebagai tindak lanjut pelaksanaan amanat
Undang-Undang tersebut dan demi meningkatkan tertib administrasi, validitas data piutang
pajak serta mencapai target pencairan piutang pajak Nasional maka dengan ini disampaikan
kebijakan penagihan pajak sebagai berikut :

I. KEBIJAKAN UMUM
1. Kebijakan yang menyangkut pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
(KUP), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (PBB), Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2000 (BPHTB), dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa (PPSP).
2. Kebijakan yang menyangkut Surat Ketetapan Pajak hasil pemeriksaan mulai Tahun
Pajak 2008, penentuan saat mulainya penyampaian surat teguran setelah piutang pajak
jatuh tempo dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah
pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan mengacu
pada Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak
dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.03/2008 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
3. Kebijakan yang menyangkut Batas Waktu Penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, dan Surat Tagihan Pajak
Pajak Bumi dan Bangunan serta Daluwarsa Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan
mengacu pada Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-48/PJ/2008 tanggal 5 September
2008.
4. Kebijakan yang menyangkut Penyisihan, Pengakuan, dan Rekonsiliasi Piutang Pajak
berpedoman pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-08/PJ./2009 tanggal 2
Februari 2009 tentang Pedoman Akuntansi Piutang Pajak.

II. KEBIJAKAN KHUSUS


II.1. Tertib Administrasi

II.1.1Penataan Berkas Penagihan

Dalam rangka pembenahan administrasi piutang pajak dan penataan berkas


penagihan, maka Kantor Pelayanan Pajak (KPP) berkewajiban untuk :
a. Menyediakan tempat/ruangan khusus untuk penyimpanan rumah berkas penagihan
yang memiliki alat pengaman yang cukup kuat dan menunjuk petugas di Seksi
Penagihan sebagai penanggung jawabnya;
b. Membuat rumah berkas penagihan per Wajib Pajak yang disusun sesuai dengan tahun
pajaknya dan masing-masing berisi :
1) Surat ketetapan pajak, termasuk STP/STP PBB/STB/SKP
PBB/SKBKB/SKBKBT;
2) Keputusan Keberatan;
3) Keputusan Pembetulan (Pasal 16 UU KUP);
4) Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan pengurangan
dan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar (Pasal 36 UU KUP)
5) Putusan Banding;
6) Putusan Peninjauan Kembali;
7) Putusan Gugatan;
8) Bukti pembayaran tunggakan pajak dari Wajib Pajak/Penanggung Pajak (WP/PP)
antara lain berupa Surat Setoran Pajak (SSP), Surat Tanda Terima Setoran
(STTS), SSP PBB, Surat Setoran BPHTB (SSB), dan print out MPN/hasil
konfirmasi bank;
9) Bukti Pemindahbukuan (PbK);
10) Dokumen tindakan penagihan;
11) Berkas penagihan lainnya;
12) Khusus untuk Wajib Pajak PBB yang tidak mempunyai NPWP, dibuatkan rumah
berkas tersendiri per NOP dengan perincian berkas sesuai dengan angka 1 s.d. 11
tersebut di atas.
II.1.2 Akurasi Data Piutang Pajak

Dalam proses akurasi data piutang pajak, KPP diwajibkan untuk :

1. Menyelesaikan perekaman seluruh data piutang pajak berdasarkan fisik ketetapan


pajak kondisi per 30 Juni 2007.
2. Melanjutkan proses pemutakhiran data piutang pajak secara berkesinambungan
dan wajib melaporkan data perkembangan perekaman terakhir setiap bulan
melalui email ke Kanwil dan subdit penagihan Direktorat P2 KPDJP. Tata cara
perekaman dapat dilakukan dengan melanjutkan input data pada aplikasi program
SiMIAP atau dalam format excel seperti yang sudah diberikan sebelumnya
(format laporan terlampir).
3. Terhadap KPP yang sudah menyelesaikan perekaman seluruh data piutang pajak
berdasarkan fisik ketetapan pajak kondisi per 30 Juni 2007 agar segera membuat
berita acara penyelesaian perekaman (format Berita Acara terlampir).
4. Menginventarisasikan jumlah piutang pajak yang disisihkan dengan kriteria
sebagai berikut :
a. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
1) Wajib Pajak sudah meninggal dunia;
2) Wajib Pajak sudah tidak mempunyai harta lagi yang dibuktikan dengan
adanya surat dukungan dari instansi berwenang di wilayahnya;
3) Telah disampaikan Surat Paksa melalui PEMDA setempat;
4) Telah daluwarsa; dan
5) Karena sebab lain seperti :
a) Wajib Pajak sudah tidak dapat ditemukan
b) Dokumen penagihan tidak lengkap atau tidak dapat ditelusuri lagi
disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindari seperti bencana alam,
kebakaran, dan sebagainya.
b. Untuk Wajib Pajak Badan
1) Bubar, liquidasi, atau pailit dan pengurus, direksi, pemegang saham,
pemilik modal atau pihak lain yang dibebani untuk melakukan
pemberesan sudah tidak ditemukan;
2) Wajib Pajak sudah tidak mempunyai harta lagi yang dibuktikan dengan
adanya surat dukungan dari instansi berwenang di wilayahnya;
3) Telah disampaikan Surat Paksa melalui PEMDA setempat;
4) Telah daluwarsa, dan
5) Karena sebab lain seperti :
a) Wajib Pajak sudah tidak dapat ditemukan
b) Dokumen penagihan tidak lengkap atau tidak dapat ditelusuri lagi
disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindari seperti bencana alam,
kebakaran, dan sebagainya.

Tatacara penyisihan piutang pajak selengkapnya diatur dalam Peraturan


Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-08/PJ./2009.
5. Melakukan rekonsiliasi data piutang pajak antara Laporan Perkembangan Piutang
Pajak (LP3) dan Laporan Perkembangan Piutang PBB dan BPHTB dengan
Laporan Keuangan Piutang Pajak (LKPP) setiap bulan.
6. Melakukan pembenahan piutang PBB sesuai dengan Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-84/PJ/2008 tanggal 31 Desember 2008 tentang
Pemutakhiran Data Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pedesaan dan
Perkotaan yang dilakukan dengan membentuk tim penyelesaian data tunggakan
PBB.
7. Terhitung mulai Januari 2009, format laporan rutin piutang pajak menggunakan
format laporan sesuai surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Nomor S-
28/PJ.045/2009.
8. Dalam hal terdapat permasalahan yang berkaitan dengan
SIDJP/SIP/SIPMOD/SISMIOP, agar disampaikan kepada Direktur Teknologi
Informasi Perpajakan dengan mengacu pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-73/PJ/2008 tanggal 16 Desember 2008 tentang Kebijakan Perubahan
Data SIP/SIPMOD/SISMIOP.

II.1.3 Prosedur Migrasi Berkas Wajib Pajak

Sehubungan dengan masih terdapatnya permasalahan dalam pemindahan Wajib


Pajak karena pemecahan KPP atau pembentukan KPP baru, maka Kanwil/KPP
diingatkan kembali untuk memperhatikan :

1. Prosedur administrasi untuk WP pindah sesuai dengan surat Direktur


Pemeriksaan dan Penagihan nomor S-14/PJ.0451/2007 tanggal 25 Januari 2007;
2. Pelaksanaan tertib administrasi penagihan terkait dengan pembentukan KPP baru
di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan surat Direktur
Pemeriksaan dan Penagihan nomor S-33/PJ.045/2008 tanggal 2 April 2008

II.2 Fokus dan Strategi Penagihan

II.2.1 Fokus Penagihan

1. Fokus pencarian piutang pajak tahun 2009 lebih diprioritaskan kepada KPP di
unit Kanwil Wajib Pajak Besar (LTO), KPP di Unit Kanwil Jakarta Khusus, dan
Kantor-Kantor Pelayanan Pajak Madya di seluruh Indonesia (34 KPP dari 331
KPP di Indonesia), dengan pertimbangan kondisi likuiditas Wajib Pajak dan
jumlah piutang pajak yang mencapai lebih dari 50% jumlah piutang pajak
Nasional berada di wilayah KPP tersebut diatas.
2. Kegiatan penagihan pada KPP Pratama tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku terutama terhadap 200 Penunggak Pajak terbesar.

II.2.2 Strategi Penagihan

Untuk menunjang peningkatan realisasi pencarian piutang pajak, Kanwil dan KPP
agar melaksanakan kegiatan sebagai berikut:

1. KPP diwajibkan untuk melakukan bedah tunggakan terhadap 200 penunggak


pajak terbesar kemudian dibuat profilnya mengenai kondisi WP tersebut
lengkap dengan daftar harta kekayaan yang masih dimiliki dan dilengkapi
dengan pohon kepemilikan dalam perusahaan yang bersangkutan dimiliki oleh
grup perusahaan (format terlampir).
2. Berdasarkan profil tersebut, KPP kemudian melakukan analisis probabilitas
pencairan piutang pajak terhadap 200 penunggak pajak terbesar di wilayah
kerjanya dan melaporkan ke Kanwil atasannya (format terlampir).
3. Berdasarkan hasil analisis sebagaimana dimaksud pada angka 2, KPP
menetapkan prioritas tindakan penagihan.
4. KPP wajib melaksanakan tindakan penagihan aktif secara optimal terutama
untuk piutang pajak yang akan mendekati daluwarsa namun tindakan
penagihannya belum dan/atau tidak dapat dilaksanakan, atau sebab lainnya.
5. Terhadap tindakan penagihan sebagaimana dimaksud pada angka 4 di atas yang
terhenti pelaksanaannya, perlu dilakukan penelitian administrasi dan/atau
penelitian setempat kemudian dituangkan dalam berita acara dan laporan
penelitian setempat dengan disertai alasan dan bukti pendukungnya (format
terlampir).
6. KPP melaksanakan tindakan penagihan kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak
terutama yang non kooperatif, dengan memprioritaskan;
a. Penyitaan atas harta kekayaan Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang
tersimpan pada bank yang pelaksanaannya mengacu kepada Peraturan
Direktur Jenderal Pajak nomor PER-109/PJ./2007 tanggal 6 Agustus 2007
dengan skala prioritas 200 Penunggak Pajak terbesar dengan prinsip kehati-
hatian dan memperhatikan ada tidaknya upaya hukum yang diajukan Wajib
Pajak dengan urutan sebagai berikut:
1) Melakukan pemblokiran rekening Wajib Pajak yang bersangkutan
terlebih dahulu; dan
2) Apabila piutang pajak belum lunas, maka pemblokiran dapat dilakukan
kepada rekening para Direksi dan pemegang saham mayoritasnya
sebagai penanggung pajaknya;
b. Pencegahan dilakukan secara selektif dengan memperhatikan prinsip
kehati-hatian, antara lain:
1) Ada tidaknya upaya hukum Wajib Pajak/Penanggung Pajak;
2) Validitas data mengenai status/legalitas Penanggung Pajak dalam
kedudukannya selaku Penanggung Pajak suatu badan usaha;
3) Dalam hal Wajib Pajak memiliki lebih dari satu Penanggung Pajak,
KPP dapat mempertimbangkan untuk tidak mengusulkan pencegahan
terhadap seluruh Penanggung Pajak yang ada, tetapi usul pencegahan
dapat dilakukan secara bergantian dengan memperhatikan skala
prioritas.
7. Untuk mendukung upaya penagihan melalui pemblokiran rekening, Direktorat
Pemeriksaan dan Penagihan bekerja sama dengan Direktorat Teknologi
Informasi Perpajakan dalam menyediakan daftar Cabang Bank tempat Wajib
Pajak yang bersangkutan membayar kewajiban pajaknya. Data tersebut dapat
dilihat pada portal subdit penagihan.
8. KPP wajib melakukan pengawasan secara intensif dan melaksanakan hak
mendahulu atas piutang pajak terhadap Wajib Pajak yang dinyatakan pailit,
bubar, atau likuidasi, dengan melakukan koordinasi dengan kurator, likuidator,
orang atau badan yang ditugasi melakukan pemberesan, segera setelah diperoleh
informasinya.
9. Kantor Wilayah DJP;

Sebagai pengawas dan pembina suatu wilayah kerja, diharapkan agar Kantor Wilayah
DJP lebih meningkatkan peranan dan fungsinya untuk membimbing, mengawasi dan
mendukung tindakan penagihan yang dilakukan oleh KPP, oleh karena itu Kanwil
diwajibkan untuk melaksanakan hal-hal sebagai berikut:
a. Membuat pemetaan dan melakukan analisis atas jumlah piutang pajak selain PBB
dan BPHTB di wilayah kerjanya berdasarkan kategori umur piutang pajak
sebagaimana yang tercantum dalam S-28/PJ.045/2009 tanggal 3 Maret 2009
tentang Laporan Rutin Penagihan;
b. Membuat pemetaan dan melakukan analisis atas piutang pajak PBB dan BPHTB
di wilayah kerjanya, yang didasarkan atas beberapa kriteria sebagai berikut:
1) Sektor ketetapan (sektor pedesaan, perkotaan, perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan);
2) Wilayah kerja (kabupaten/kotamadya, kecamatan, desa/kelurahan);
3) Tahun Pajak;
4) Buku Ketetapan, yaitu buku ketetapan I s.d. buku ketetapan V;
c. Melaksanakan pengawasan melekat untuk mencegah terjadinya kesalahan
prosedur atau penyalahgunaan wewenang dan jabatan dalam pelaksanaan
tindakan penagihan;
d. Melakukan pengawasan atas bedah tunggakan terhadap 200 penunggak pajak
terbesar dan profiling penunggak pajak yang dilakukan oleh KPP di wilayah
kerjanya;
e. Melakukan penelitian dan evaluasi atas analisis probabilitas pencairan piutang
terhadap 200 penunggak pajak terbesar yang dilakukan oleh KPP di wilayah
kerjanya;
f. Melakukan pengawasan dan pemantauan proses kegiatan penagihan dan
pencairan piutang pajak dengan prioritas 200 penunggak pajak terbesar yang
dilaporkan oleh masing-masing KPP di wilayah kerjanya;
g. Mengawasi dan meneliti saldo piutang pajak pada masing-masing laporan rutin
penagihan secara periodik dan berkesinambungan sehingga terjadi kesesuaian
angka, khususnya yang berkaitan dengan Wajib Pajak pindah dan pembentukan
KPP baru;
h. Meneliti daftar klasifikasi kualitas piutang pajak yang dibuat oleh KPP terutama
untuk kriteria piutang pajak kurang lancar, perhatian khusus, diragukan dan
macet, serta melihat kondisi piutang pajak dan permasalahannya. Selanjutnya
hasil penelitian tersebut dapat digunakan untuk melakukan reklasifikasi kriteria
kualitas piutang pajak sesuai dengan kondisi yang seharusnya;
i. Mengawasi pelaksanaan perekaman seluruh data piutang pajak berdasarkan fisik
ketetapan pajak kondisi per 30 Juni 2007 yang dilakukan oleh KPP di wilayah
kerjanya dan melaporkan pelaksanaan kegiatan validasi piutang pajak yang
dilakukan oleh KPP di wilayah kerjanya tersebut ke KPDJP (format laporan
terlampir);
j. Melakukan pengujian kembali Daftar Usulan Penghapusan Piutang Pajak yang
diusulkan dari KPP antara lain:
1. Tindakan penagihan terakhir terkait dengan jangka waktu daluwarsa
penagihan;
2. Kesesuaian antara daftar rincian piutang pajak yang diusulkan untuk
dihapuskan dengan jumlah rekapitulasi piutang yang diusulkan untuk
dihapuskan; dan
3. Kelengkapan data-data pendukung sesuai dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor: KMK 539 dan KEP-15
k. Menetapkan standar prestasi jurusita dengan mempertimbangkan kondisi masing-
masing KPP yang berada di wilayah kerjanya;
l. Meningkatkan koordinasi regional/lokal dengan instansi terkait untuk kelancaran
kegiatan penagihan berdasarkan prinsip kebersamaan tugas sebagaimana yang
telah disepakati pada MoU antara Dirjen Pajak dengan Kapolri/Menteri
Kehakiman dan HAM/Gubernur/Walikota/Bupati serta kerja sama dengan pihak
perbankan dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 34 UU KUP.

II. Target Pencarian

Target pencarian piutang pajak secara nasional untuk tahun 2009 akan diatur lebih
lanjut dalam Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan. Selanjutnya alokasi target
pencarian per KPP ditetapkan oleh masing-masing Kantor Wilayah DJP atasannya.

III. Lain-lain

1. Dalam melakukan penelitian administrasi dan/atau penelitian setempat


sebagaimana dimaksud dalam angka romawi II.2.2 angka 5, langkah-langkah yang
perlu dilakukan adalah:
a. Membuat daftar usulan penelitian setempat ke Kantor Wilayah atasannya;
b. Melakukan koordinasi dengan KPP lawan transaksi dari Wajib
Pajak/Penanggung Pajak yang akan dilakukan penelitian setempat untuk
mendapatkan informasi lebih lanjut tentang transaksi terakhir yang dilakukan,
untuk memastikan apakah masih ada aktifitas atau tidak;
c. Meminta informasi dan keterangan dari pihak pengelola gedung atau instansi
yang berwenang di wilayah tempat Wajib Pajak menjalankan usahanya untuk
mendukung keberadaan Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang dilakukan
penelitian setempat;
d. Meminta informasi dan keterangan mengenai Wajib Pajak/Penanggung Pajak
kepada Dinas Kependudukan, Direktorat Jenderal Imigrasi atau instansi terkait
lainnya apabila diperlukan.
2. Kepala KPP harus memperhatikan jumlah sumber daya manusia yang ada di seksi
penagihan dikaitkan beban kerja seksi penagihan guna mendukung kelancaran
pelaksanaan kegiatan penagihan. Adapun jumlah minimal Jurusita di masing-
masing KPP adalah sebagai berikut:
a. 3 (tiga) orang Jurusita untuk:
- KPP di lingkungan Kantor Wilayah Wajib Pajak Besar;
- KPP di lingkungan Kantor Wilayah Jakarta Khusus;
- KPP Madya
b. 2 (dua) orang Jurusita untuk setiap KPP Pratama dengan mempertimbangkan
luasnya wilayah kerja dan jumlah tunggakan.
3. Bagi KPP yang mengalami kekurangan tenaga pelaksana Jurusita pajak dapat
menunjuk dan mengangkat Jurusita dari pelaksana pada Seksi Penagihan, Kepala
Seksi Penagihan, atau Kepala Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi
Perpajakan, sepanjang yang bersangkutan memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
562/KMK.04/2000 tentang Syarat-syarat, Tata Cara Pengangkatan dan
Pemberhentian Jurusita Pajak. Apabila jumlah Jurusita belum juga terpenuhi dan
kebutuhan akan Jurusita sangat mendesak Kanwil dapat mengajukan permohonan
penambahan penempatan Jurusita ke KPDJP.
4. Dalam hal terdapat permasalahan hukum terkait dengan pelaksanaan tindakan
penagihan, KPP agar segera melakukan koordinasi dengan Kepala Seksi
Bimbingan Penagihan dan Kepala Sub Bagian Rumah Tangga dan Bantuan Hukum
di Kantor Wilayah atasannya.
5. Kemungkinan adanya pemakaian seragam Jurusita pajak, maka Kepala KPP agar
menganggarkan biayanya dalam DIPA KPP untuk minimal 3 potong pakaian
seragam per Jurusita, dengan desain sebagaimana terlampir.
6. Dalam hal keperluan penghitungan KPI, maka diinformasikan bahwa saldo awal
piutang pajak yang digunakan untuk KPI adalah saldo awal piutang pajak setelah
dikurangi dengan cadangan piutang yang disisihkan dimana tata cara
penyisihannya diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
08/PJ./2009 tanggal 2 Februari 2009 tentang Pedoman Akuntansi Piutang Pajak.
7. Sehubungan dengan biaya perjalanan dinas dalam rangka tindakan penagihan agar
mengacu pada ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor45/PMK.05/2007
tentang Perjalanan Dinas Jabatan dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai
Negeri, dan Pegawai Tetap, dalam Bab I Pasal 1 ayat (5) diatur bahwa Perjalanan
dinas dalam negeri yang selanjutnya disebut perjalanan dinas adalah perjalanan ke
luar tempat kedudukan baik perseorangan maupun secara bersama yang jaraknya
sekurang-kurangnya 5 (lima) kilometer dari batas kota yang dilakukan dalam
wilayah RI untuk kepentingan Negara atas perintah pejabat yang berwenang
termasuk perjalanan dari tempat kedudukan ke tempat meninggalkan Indonesia
untuk bertolak ke luar negeri dan dari tempat tiba di Indonesia dari luar negeri ke
tempat yang dituju di dalam negeri. Selanjutnya dalam ayat (10) diatur bahwa
Wilayah Jabatan adalah wilayah kerja dalam menjalankan tugas.

Dengan berlakunya Surat Edaran Kebijakan Penagihan ini, maka Surat Edaran
Kebijakan Penagihan sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi. Demikian untuk
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Direktur Jenderal,

ttd.

Darmin Nasution
NIP 130605098

Tembusan:
1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
2. Para Direktur dan Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE - 108/PJ/2009

TENTANG

PELAKSANAAN PEMBLOKIRAN HARTA KEKAYAAN PENANGGUNG PAJAK


YANG

TERSIMPAN PADA BANK MILIK PENANGGUNG PAJAK YANG NAMANYA


TIDAK

TERCANTUM DALAM SURAT PAKSA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sebagai upaya untuk lebih memberikan kepastian hukum dan mendukung kelancaran
pelaksanaan kegiatan penagihan pajak, khususnya terhadap tindakan pemblokiran dalam
rangka penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank milik
Penanggung Pajak yang namanya tidak tercantum dalam Surat Paksa, dengan ini disampaikan
hal-hal sebagai berikut:

1. Pasal 32 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakansebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009 antaralain mengatur bahwa:
a. Ayat (1) huruf a: Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturanperundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal badan
oleh pengurus.
b. Ayat (4): Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf aadalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan
kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.
Dengan penjelasan bahwa orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam
menentukankebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan
kegiatanperusahaan, misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan pihak
ketiga,menandatangani cek, dan sebagainya walaupun orang tersebut tidak tercantum
namanya dalamsusunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan,
termasuk dalampengertian pengurus. Ketentuan dalam ayat ini berlaku pula bagi komisaris
dan pemegangsaham mayoritas atau pengendali.

2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
sebagaimana telahdiubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (UUPPSP),
antara lain, bahwa:
a. Pasal 1, dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan:
- Angka 2: Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut
ketentuanperaturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk
melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong
pajak tertentu.
- Angka 3: Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang
bertanggungjawabatas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan
hak dan memenuhikewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
b. Pasal 7 ayat (1): Surat Paksa yang berkepala kata-kata "DEMI KEADILAN
BERDASARKANKETUHANAN YANG MAHA ESA", mempunyai kekuatan
eksekutorial dan kedudukan hukum yangsama dengan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
c. Pasal 9 ayat (1): Dalam hal terjadi keadaan di luar kekuasaan Pejabat atau sebab
lain, SuratPaksa pengganti dapat diterbitkan oleh Pejabat karena jabatan.Dengan
penjelasan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatur apabila terjadi
keadaandi luar kekuasaan Pejabat, misalnya, kecurian, kebanjiran, kebakaran, atau
gempa bumi yangmenyebabkan asli Surat Paksa rusak, tidak terbaca atau oleh sebab
lain misalnya Surat Paksahilang atau tidak dapat diketemukan lagi, Pejabat karena
jabatan dapat menerbitkan SuratPaksa pengganti yang mempunyai kekuatan dan
kedudukan hukum yang sama dengan SuratPaksa.
d. Pasal 11: Pelaksanaan Surat Paksa tidak dapat dilanjutkan dengan penyitaan sebelum
lewatwaktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam setelah Surat Paksa diberitahukan.
e. Pasal 12 ayat (1): Apabila utang pajak tidak dilunasi Penanggung Pajak dalam
jangka waktusebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pejabat menerbitkan Surat
Perintah MelaksanakanPenyitaan.
f. Pasal 14 ayat (1): Penyitaan dilaksanakan terhadap barang milik Penanggung Pajak
yangberada ditempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau tempat lain
termasuk yangpenguasaannya berada ditangan pihak lain atau yang dijaminkan
sebagai pelunasan utangtertentu.
g. Pasal 17 ayat (1): Penyitaan terhadap deposito berjangka, tabungan, saldo rekening
koran, giro
h. atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan dengan
pemblokiran terlebihdahulu.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan dalam
Rangka PenagihanPajak dengan Surat Paksa mengatur bahwa:
a. Pasal 3 ayat (2): Terhadap Penanggung Pajak Orang Pribadi penyitaan dapat
dilaksanakan atasbarang milik pribadi yang bersangkutan, istri, dan anak yang masih
dalam tanggungan, kecualidikehendaki secara tertulis oleh suami atau istri
berdasarkan perjanjian pemisahan harta danpenghasilan.
b. Pasal 3 ayat (3): Terhadap Penanggung Pajak Badan penyitaan dapat dilaksanakan
atas barangmilik perusahaan, pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang,
penanggung jawab, pemilikmodal, baik ditempat kedudukan yang bersangkutan, di
tempat tinggal mereka maupuntempat lain.
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.04/2000 tentang Pemblokiran dan
Penyitaan HartaKekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan pada Bank dalam Rangka
Penagihan Pajak dengan SuratPaksa, antara lain mengatur bahwa:
a. Pasal 3 ayat (1): Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
diajukan olehPejabat kepada pimpinan bank tempat harta Penanggung Pajak
disimpan disertai dengansalinan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan.
b. Pasal 3 ayat (2): Pimpinan Bank atau pejabat bank yang ditunjuk wajib
melaksanakanpemblokiran terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat(1) seketika setelah menerima permintaan pemblokiran dari
pejabat.
5. Pasal 3 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-109/PJ/2007 tentang Perubahan
Atas KeputusanDirektur Jenderal Pajak Nomor KEP-627/PJ/2001 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pemblokiran danPenyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang
Tersimpan pada Bank dalam Rangka PenagihanPajak dengan Surat Paksa mengatur
bahwa pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk wajibmemblokir harta kekayaan
Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank secara seketika, setelahmenerima
permohonan pemblokiran dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau Kepala Kantor
PelayananPajak Bumi dan Bangunan, dan membuat Berita Acara Pemblokiran serta
menyampaikan salinannyakepada Penanggung Pajak dan Kantor Pelayanan Pajak atau
Kantor Pelayanan Pajak Bumi danBangunan dengan menggunakan formulir sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran 1A PeraturanDirektur Jenderal Pajak ini.
6. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan sebagaimana tersebut di atas, dengan ini
ditegaskanbahwa:
a. Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama
denganputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan Surat
Paksayang telahterbit tidak dapat diterbitkan kembali, kecuali dalam kondisi-kondisi
tertentu sebagaimanadimaksud pada angka 2 huruf c.
b. Surat Paksa dapat dilanjutkan dengan penyitaan dalam jangka waktu sebagaimana
diaturdalam ketentuan pada angka 2 huruf d, dengan menerbitkan Surat Perintah
MelaksanakanPenyitaan.
c. Terhadap Penanggung Pajak Badan, penyitaan dapat dilaksanakan atas harta milik
perusahaan,pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik
modal yang tersimpandi bank, dan terhadap Penanggung Pajak Orang pribadi
penyitaan dapat dilaksanakan atasharta milik pribadi yang bersangkutan, istri, dan
anak yang masih dalam tanggungan yangtersimpan di bank, kecuali dikehendaki
secara tertulis oleh suami atau istri berdasarkanperjanjian pemisahan harta dan
penghasilan.
d. Oleh karena pemblokiran dalam rangka penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak
yangtersimpan pada bank dilaksanakan oleh pimpinan bank atau pejabat bank yang
ditunjuk, ataspermintaan dari Pejabat (Kepala Kantor Pelayanan Pajak), maka dalam
hal pemblokiran dalamrangka penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak yang
tersimpan pada bank milikPenanggung Pajak yang namanya tidak tercantum dalam
Surat Paksa, Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib menyampaikan permintaan
pemblokiran kepada pimpinan bank ataupejabat bank yang ditunjuk disertai salinan
Surat Paksa (SP) dan:
1) Salinan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) yang mencantumkan nama
WajibPajak dan Penanggung Pajak; serta
2) Surat Keterangan yang memuat penjelasan kedudukan Penanggung Pajak pada
WajibPajak, dengan dilampiri dokumen pendukung yang menunjukkan
kedudukanPenanggung Pajak pada Wajib Pajak, antara lain berupa fotokopi akta
pendirianperusahaan dan atau akta perubahan kepengurusan untuk Wajib Pajak Badan
danKartu Keluarga untuk Wajib Pajak Orang pribadi (format terlampir).

Demikian disampaikan untuk dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal

17 November 2009 Direktur Jenderal,

ttd.

Mochamad Tjiptardjo

NIP 060044911
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 50/PJ/2010

TENTANG

KEBIJAKAN PENAGIHAN PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan upaya pencapaian tertib administrasi penagihan dan optimalisasi


pencairan piutang pajak tahun 2010, maka diperlukan perencanaan atas pelaksanaan kegiatan
penagihan baik dari sisi administratif maupun dari sisi tindakan secara intensif, terpadu, dan
berhasil guna sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Oleh
karena itu, dengan ini ditetapkan kebijakan penagihan pajak tahun 2010 sebagai berikut :
I. TERTIB ADMINISTRASI

A. Penataan Berkas Penagihan


Dalam rangka meningkatkan kualitas administrasi demi mewujudkan kelancaran dan
ketertiban operasional kerja, mendukung optimalisasi pencapaian tujuan penagihan,
serta mengurangi tingkat kesalahan yang dapat terjadi akibat tidak terlaksananya tertib
administrasi sesuai dengan ketentuan, maka Kantor Pelayanan Pajak (KPP) diminta
untuk memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Sebagaimana telah tertuang dalam kebijakan-kebijakan sebelumnya, KPP wajib
membuat rumah berkas penagihan per Wajib Pajak, yang masing-masing berisi :
a. Seluruh surat ketetapan pajak, termasuk :
1) STP, STP PBB/STB/SKBKB/SKBKBT;
2) Keputusan/Putusan atas upaya hukum, yaitu :
a) Keputusan Keberatan;
b) Keputusan Pembetulan (Pasal 16 UU KUP);
c) Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan
pengurangan dan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak
benar (Pasal 36 UU KUP);
d) Putusan Banding;
e) Putusan Peninjauan Kembali;
f) Putusan Gugatan.
b. Seluruh bukti pembayaran tunggakan pajak dari Wajib Pajak/Penanggung
Pajak (WP/PP) yang antara lain berupa :
1) Surat Setoran Pajak (SSP);
2) Surat Tanda Terima Setoran (STTS);
3) SSP PBB;
4) Surat Setoran BPHTB; dan
5) print out MPN/hasil konfirmasi bank.
c. Bukti Pemindahbukuan (Pbk);
d. Dokumen tindakan penagihan;
e. Berkas penagihan lainnya;
f. Wajib Pajak PBB yang tidak mempunyai NPWP, dibuatkan rumah berkas
tersendiri per Nomor Objek Pajak (NOP) dengan perincian berkas sesuai
dengan huruf a s.d. e tersebut di atas.
Dokumen yang tersimpan dalam rumah berkas tersebut di atas disusun sesuai dengan
tahun pajaknya.

2. KPP yang belum menyediakan tempat dan/atau ruangan khusus untuk


penyimpanan rumah berkas penagihan sebagaimana disebutkan pada nomor 1 di
atas, agar segera mengupayakan pengadaannya. Tempat/ruangan berkas tersebut
setidaknya memenuhi standar penyimpanan antara lain terbuat dari bahan yang
kuat, tahan lama, serta dilengkapi dengan sistem pengaman seperti kunci lemari
dan kunci ruangan.
3. Pembenahan dan penataan berkas sebagaimana angka 1 dan 2 di atas diharapkan
sudah selesai dilakukan oleh KPP di tahun 2010 ini mengingat aktivitas tersebut
sudah harus dilakukan sejak tahun 2008.
4. Melakukan scanning atas setiap kohir dalam bentuk image, kemudian diberi nama
yang sama dengan nomor kohirnya, dan disimpan ke dalam CD. Setiap 1 (satu) CD
hanya berisi kohir dengan tahun terbit yang sama.
5. Melakukan scanning atas setiap keputusan/putusan upaya hukum Wajib Pajak
dalam bentuk image, kemudian diberi nama yang sama dengan nomor
keputusan/putusan, dan disimpan ke dalam CD. Setiap 1 (satu) CD hanya berisi 1
(satu) jenis putusan dari upaya hukum (misal hanya berisi "Keputusan Keberatan"
saja atau hanya berisi "Putusan Banding" saja) dengan tahun terbit yang sama.
6. Menyediakan tempat/lemari khusus untuk penyimpanan :
a. fotokopi fisik kohir yang disusun urut sesuai nomor kohir per Wajib Pajak dan
dibuat folder tersendiri sesuai tahun terbit kohir;
b. CD yang berisi soft copy hasil scanning kohir; dan
c. CD yang berisi soft copy hasil scanning putusan upaya hukum Wajib Pajak.
7. Menunjuk petugas khusus di Seksi Penagihan sebagai penanggung jawab
penyimpanan dan pengawasan arus keluar masuk dokumen.
8. Menganggarkan biaya terkait pengadaan alat scan (scanner), Compact Disk (CD),
serta lemari/tempat berkas dan/atau ruangan khusus tersebut di atas dalam DIPA
KPP dan/atau Kanwil.
9. Membentuk tim pembenahan administrasi dan berkas penagihan, serta
menganggarkan biaya terkait pembentukan dan pengeluaran honor tim tersebut
dalam DIPA KPP.
Kanwil sangat diharapkan memberi perhatian dan/atau bantuan sarana dan
prasarana misalnya apabila dalam pelaksanaannya KPP mengalami kesulitan dalam
hal pengadaan lemari/tempat berkas, scanner, dan sejenisnya, maka Kanwil
membantu mengusahakan dengan menggunakan anggaran DIPA Kanwil.
B. LAPORAN RUTIN PIUTANG PAJAK
Dalam upaya menyajikan informasi yang akurat pada setiap penyusunan laporan rutin
penagihan, KPP wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Kesesuaian saldo antar bulan, berkesinambungan, dan ketepatan waktu pada
penyusunan Laporan Perkembangan Piutang Pajak;
2. Piutang Pajak yang telah dilaporkan sebagai piutang daluwarsa dalam Laporan
Kriteria Kualitas, Umum, dan Penyisihan Piutang (L-04.17) sampai dengan
Desember 2009 harus ditindaklanjuti dengan segera dengan usulan penghapusan
piutang pajak di tahun 2010. Kanwil melakukan pengawasan tindak lanjut tersebut
dan segera memproses usulan penghapusan piutang yang diajukan KPP sesuai
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-15/PJ/2004;
3. Kepala Seksi Pengolahan Data dan Informasi mengirimkan data pembayaran
piutang pajak dari MPN untuk piutang selain PBB dan BPHTB kepada Kepala
Seksi Penagihan, dengan kode jenis setoran 3xx. Data MPN tersebut dikirim secara
berkala setiap minggu;
4. Kepala Seksi Penagihan setelah menerima data MPN sebagaimana angka 3 di atas,
secara periodik melakukan rekonsiliasi data MPN tersebut dengan Nilai pengurang
piutang pajak khususnya yang berasal dari SSP dalam Laporan Perkembangan
Piutang Pajak;
5. Kepala Seksi Penagihan juga melakukan rekonsiliasi antara nilai pengurang
piutang PBB dan BPHTB yang berasal dari SSP dalam Laporan Perkembangan
Piutang Pajak dengan data pembayaran bank persepsi/bank operasional/pos
persepsi untuk pembayaran piutang PBB dan BPHTB.
6. Saldo negatif atas piutang pajak baik per jenis pajak, per tahun pajak, per umur dan
kualitas pajak, dan per KPP harus dipastikan tidak terdapat lagi dalam Laporan
Rutin Penagihan baik tingkat KPP maupun Kantor Wilayah.

Penjelasan lebih lanjut agar mereferensi pada kebijakan administrasi piutang


secara umum sebagaimana diuraikan dalam Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan
Nomor : S-57/PJ.04/2010 tanggal 9 Februari 2010 mengenai Evaluasi dan Tindak
Lanjut Pelaksanaan Rekonsiliasi Piutang Pajak pada Penyusunan Laporan Keuangan
Direktur Jenderal Pajak Tahun 2009.

C. REKONSTRUKSI DAN PEMETAAN DATA PIUTANG PAJAK

Dalam proses akurasi dan rekonstruksi data piutang pajak, KPP diharapkan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Data Piutang Pajak PPh dan PPN


a. Meneruskan perekaman seluruh data piutang pajak termasuk data
pengurangannya baik dari pembayaran maupun upaya hukum serta tindakan
penagihannya berdasarkan fisik ketetapan pajak ke dalam program Sistem
Manajemen dan Informasi Penagihan (SiMIAP) yang disediakan oleh
Subdirektorat (Subdit) Penagihan. Hasil perekaman akan berupa file dengan
bentuk dbf.
b. Melanjutkan proses pemutakhiran data piutang secara berkesinambungan. KPP
wajib melaporkan data perkembangan perekaman terakhir dengan mengirim :
1) Hasil perekaman berupa folder data (C:/Simiap2007); dan
2) Master File terkini (bentuk file excel), yang diperoleh dari Kepala Seksi
Pengolahan Data dan Informasi (PDI).setiap bulan melalui email ke
Kanwil dan KPDJP.
c. KPDJP tidak menerima lagi hasil perekaman ketetapan yang dilakukan melalui
program excel.
d. KPP yang belum menyerahkan Berita Acara Penyelesaian Perekaman untuk
ketetapan yang terbit sampai dengan 30 Juni 2007, agar segera mengirimkan
Berita Acara dimaksud kepada Subdirektorat Penagihan melalui Kanwil
atasannya. Contoh format berita acara dapat dilihat pada lampiran I.
Kepala KPP diharapkan memantau dan mengkoordinasikan kerja sama antar
seksi dalam kaitannya dengan kebutuhan data dalam rangka terwujudnya
proses akurasi piutang PPh dan PPN tersebut.
2. Data Piutang PBB dan BPHTB
a. Tetap merekam seluruh Surat Tanda Terima Setoran (STTS) dari bank tempat
pembayaran pada program aplikasi SISMIOP dan melakukan sinkronisasi data
pembayaran PBB untuk pembayaran melalui Tempat Pembayaran PBB
elektronik;
b. Tetap merekam seluruh SSB pada program aplikasi BPHTB.
Sebagaimana beberapa kali dicantumkan pada kebijakan-kebijakan tahun
sebelumnya, agar KPP terus melakukan konfirmasi dan koordinasi dengan
seksi-seksi terkait sehubungan dengan data pembayaran piutang PBB dan
BPHTB serta mencetak daftar piutang PBB (negative list).

D. PROSEDUR MIGRASI BERKAS WAJIB PAJAK PINDAH


Dalam hal terdapat Wajib Pajak pindah, maka Kanwil/KPP tetap harus memperhatikan
prosedur administrasi untuk Wajib Pajak pindah dilakukan sesuai dengan surat Direktur
Pemeriksaan dan Penagihan Nomor S-14/PJ.0451/2007 tanggal 25 Januari 2007.

E. PENGAWASAN KETETAPAN YANG TERBIT MULAI TAHUN 2008


Khusus untuk ketetapan yang terbit sejak tahun 2008, sehubungan dengan pentingnya
mengantisipasi tidak terpantaunya nilai piutang yang disetujui namun belum dilunasi
oleh Wajib Pajak pada saat jatuh tempo dan/atau nilai yang tidak disetujui yang belum
dilunasi pada saat jatuh tempo pengajuan upaya hukum dalam hal Wajib
Pajak/Penanggung Pajak ternyata tidak mengajukan upaya hukum, maka sangat penting
dilakukan pengawasan atas hal tersebut.
1. KPP setiap bulan wajib melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Memantau dan mengawasi nilai yang disetujui oleh Wajib Pajak yang sudah
jatuh tempo, namun belum ada pembayaran, untuk segera mempersiapkan dan
melakukan tindakan penagihan;
b. Memantau dan mengawasi upaya hukum yang tidak dilakukan oleh Wajib
Pajak atas nilai yang tidak disetujui dalam hal jangka waktu pengajuan upaya
hukum dimaksud sudah berakhir, untuk segera mempersiapkan dan melakukan
tindakan penagihan;
c. Memantau dan mengawasi upaya hukum yang sedang/telah dilakukan oleh
Wajib Pajak atas nilai yang tidak disetujui dalam hal jangka waktu pengajuan
upaya hukum dimaksud masih berlaku, untuk tidak/belum melakukan tindakan
penagihan;
d. Membuat pencatatan rincian dan rekapitulasi khusus ketetapan yang terbit
mulai tahun 2008 dan perkembangannya sebagaimana diuraikan pada huruf a
s.d. c tersebut di atas, kemudian mengirimkan laporannya setiap bulan ke
Kanwil atasannya;
e. Sehubungan dengan belum terakomodasi secara lengkap menu perekaman
yang berfungsi sebagai pengawasan ketetapan yang terbit sejak tahun 2008
pada SIDJP/SIPMOD, maka KPP wajib melakukan perekaman secara lengkap
ketetapan-ketetapan tersebut yang sudah tersedia pada aplikasi SiMIAP.
2. Kanwil setiap bulan wajib melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Melakukan pengawasan atas laporan KPP dan membuat laporan khusus
ketetapan yang terbit sejak 2008 tersebut untuk dikirimkan ke Subdit
Penagihan KPDJP;
b. Mengingatkan secara berkala pada semua KPP di wilayah kerjanya atas
laporan yang belum/tidak dikirim untuk menghindari penumpukan masalah
data piutang yang tidak teradministrasikan dengan baik; dan
c. Mengingatkan secara berkala pada semua KPP di wilayah kerjanya atas
piutang-piutang tersebut di atas yang tidak terpantau dan/atau sudah jatuh
tempo baik jatuh tempo pelunasan maupun jatuh tempo pengajuan upaya
hukum untuk segera dilakukan tindakan penagihan.

II. FOKUS DAN STRATEGI PENAGIHAN

A. Fokus Penagihan
Fokus penagihan piutang pajak tahun 2010 ditetapkan sebagai berikut :
1. Fokus Pembenahan Administrasi Data dan Informasi Piutang Pajak
Sehubungan dengan kecenderungan makin tingginya tingkat kebutuhan dan/atau
permintaan akan informasi piutang pajak yang akurat dan bersifat mendesak, baik
dari internal maupun eksternal DJP, Kanwil dan KPP harus memperhatikan hal-
hal sebagai berikut :
a. Pastikan bahwa setiap faktor pengurang nilai piutang baik berupa
pembayaran maupun upaya hukum telah direkam dengan benar dalam
SIDJP/SIPMOD dalam upaya penyajian informasi yang mutakhir;
b. Pastikan bahwa setiap aplikasi terkait menu penagihan pada SIDJP/SIPMOD
berjalan dengan baik dan benar, dan segera laporkan apabila menemui
gangguan, kekurangsempurnaan, atau hambatan pada aplikasi/menu yang
bersangkutan yang ditujukan kepada Direktorat Teknologi dan Informasi
Perpajakan (TIP) dengan tembusan kepada Subdit Penagihan, Direktorat
Pemeriksaan dan Penagihan KPDJP;
c. Pastikan bahwa seluruh data piutang yang ada dalam SIDJP/SIPMOD adalah
akurat dengan cara meneliti dan membersihkan data secara berkala, misalnya
atas data-data yang mengakibatkan terjadinya saldo negatif, antara lain
dengan melakukan koreksi atas kesalahan perekaman seperti hasil perekaman
pembayaran yang tercatat lebih dari satu kali, kesalahan pencatatan jenis
pajak piutang, kesalahan input tanggal pembayaran, dan lain-lain.

Dalam rangka percepatan tercapainya fokus pembenahan administrasi data


piutang tersebut sebagai alat utama terwujudnya efektivitas dan efisiensi tindakan dan
laporan penagihan, maka dipandang perlu bagi KPP dan/atau Kanwil untuk membuat
tim validasi data piutang dan pembenahan arsip piutang pajak. Adapun anggaran
biaya terkait pembentukan tim dan pembayaran honor peserta tim tersebut dibebankan
pada DIPA KPP dan/atau Kanwil. Peserta tim setidaknya terdiri dari seluruh personel
seksi Penagihan KPP dan/atau seksi Bimbingan Penagihan Kanwil.

2. Fokus Pencairan dan/atau Penyelesaian Piutang


Fokus pencairan dan/atau penyelesaian piutang tahun 2010 ditentukan sesuai
faktor-faktor sebagai berikut :
a. Nilai Piutang
1) Piutang yang termasuk dalam 200 Besar Penunggak Pajak Nasional;
2) Piutang dengan nilai lebih dari Rp 10 Miliar;
3) Piutang yang terdapat pada :
a) Seluruh KPP di wilayah Kanwil DJP Wajib Pajak Besar dan wilayah
Kanwil DJP Jakarta Khusus;
b) Seluruh KPP Madya.
4) Piutang Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang termasuk dalam 200 Besar
Penunggak Pajak di setiap Kanwil/KPP.

Piutang dengan kategori sebagaimana disebut pada angka 3) dan 4)


merupakan kategori yang selalu menjadi fokus pencairan pada tahun-tahun
sebelumnya. Untuk itu KPP dan/atau Kanwil diharapkan memberi perhatian
penuh dalam penyelesaian seluruh piutang dengan kategori tersebut di tahun
2010.

b. Tingkat Kemudahan Pencairan Piutang


1) Wajib Pajak/Penanggung Pajak dengan tingkat likuiditas tinggi (mampu
membayar);
2) Piutang dengan kategori umur piutang jatuh tempo sampai dengan satu
tahun;
3) Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang ketetapannya terbit sejak tahun
2008, dengan kondisi :
a) setelah jatuh tempo ketetapan ternyata belum melunasi nilai yang
disetujui pada pembahasan akhir pemeriksaan;
b) setelah berakhirnya jangka waktu kesempatan dilakukannya upaya
hukum atas ketetapan yang nilainya tidak disetujui namun ternyata
belum ada upaya hukum yang dilakukan.
Setiap bulan KPP harus mengawasi dan meneliti ada tidaknya
pembayaran atas nilai yang disetujui tersebut, dan/atau ada tidaknya
upaya hukum yang telah dilakukan atas nilai yang tidak disetujui.
5) Wajib Pajak/Penanggung Pajak nonkooperatif yang nilai ketetapannya
tinggi.

Perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan fokus pencairan


dan/atau penyelesaian adalah melakukan tindakan penagihan selengkap,
setepat, secepat, dan seoptimal mungkin baik dalam hal waktu pelaksanaan
maupun jenis tindakan. Apabila dalam tahun 2010 atas piutang-piutang
tersebut tidak bisa lagi diharapkan pencairannya, sesegera mungkin dilakukan
penyelesaian dalam bentuk pelaksanaan prosedur ke arah penyisihan piutang
yang tidak tertagih dan dilanjutkan dengan usulan penghapusan.

B. Strategi Penagihan
Untuk menunjang peningkatan realisasi pencairan piutang pajak, diuraikan strategi
penagihan sebagai berikut :
1. Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
Dalam hal strategi umum, KPP tetap melakukan :
a. Bedah piutang terhadap 200 penunggak pajak terbesar, membuat profil Wajib
Pajak/Penanggung Pajak tersebut lengkap dengan upaya hukum yang telah
dan tengah dilakukan, serta daftar harta kekayaan yang masih dimiliki,
dilengkapi dengan pohon kepemilikan dalam hal perusahaan yang
bersangkutan dimiliki oleh grup perusahaan seperti pada lampiran II;
b. Penentuan prioritas tindakan penagihan berdasarkan hasil profil di atas.
Perlu diperhatikan untuk mendahulukan tindakan penagihan secara persuasif
agar dalam jangka panjang lebih terbina hubungan yang baik antara Wajib
Pajak/Penanggung Pajak dengan DJP, selain untuk menciptakan Wajib
Pajak/Penanggung Pajak yang kooperatif.
Karena strategi sebagaimana disebutkan pada huruf a dan b di atas juga
menjadi strategi pada kebijakan tahun-tahun sebelumnya, maka KPP
dan/atau Kanwil seharusnya dapat mengimplementasikannya dengan lebih
baik sehingga tindakan penagihan yang dilakukan tepat sasaran sesuai
dengan analisis bedah piutang yang dilakukan secara komprehensif.
Dalam hal strategi khusus, atas :
a. Penagihan atas piutang yang mendekati daluwarsa
KPP segera melaksanakan tindakan penagihan aktif seoptimal mungkin.
Apabila terhadap piutang tersebut sudah tidak bisa dilakukan tindakan
penagihan, segera melakukan penelitian administrasi dan/atau penelitian
setempat dalam rangka melakukan penyisihan piutang dan pengusulan
penghapusan piutang.
b. Penagihan atas piutang Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang nonkooperatif
terutama Wajib Pajak yang termasuk dalam 200 penunggak pajak terbesar.
KPP melaksanakan tindakan penagihan kepada Wajib Pajak/Penanggung
Pajak terutama yang nonkooperatif, dengan memprioritaskan tindakan :
1) Penyitaan atas harta kekayaan Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang
tersimpan pada bank yang pelaksanaannya mengacu kepada Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-109/PJ./2007 tanggal 6 Agustus
2007 dengan skala prioritas 200 Penunggak Pajak terbesar, dengan
memperhatikan prinsip kehati-hatian serta ada tidaknya dan status upaya
hukum yang diajukan Wajib Pajak dengan urutan sebagai berikut :
a) Melakukan pemblokiran rekening Wajib Pajak yang bersangkutan
terlebih dahulu; dan
b) Apabila piutang pajak belum lunas, maka pemblokiran dapat
dilakukan kepada rekening para Direksi dan pemegang saham
mayoritasnya sebagai penanggung pajaknya.
2) Pencegahan, yang dilakukan secara selektif dengan memperhatikan
prinsip kehati-hatian, antara lain :
b) Memenuhi persyaratan kualitatif dan kuantitatif sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU
PPSP);
c) Ada tidaknya upaya hukum Wajib Pajak/Penanggung Pajak;
d) Terdapat validitas data mengenai status/legalitas Penanggung Pajak
dalam kedudukannya selaku Penanggung Pajak suatu badan usaha;
e) Dalam hal Wajib Pajak memiliki lebih dari satu Penanggung Pajak,
KPP dapat mempertimbangkan untuk tidak mengusulkan
pencegahan terhadap seluruh Penanggung Pajak yang ada, tetapi
usul pencegahan dapat dilakukan secara bergantian dengan
memperhatikan skala prioritas.
3) Penyanderaan, yang dilakukan secara selektif dengan memperhatikan
prinsip kehati-hatian, antara lain :
b) Memenuhi persyaratan kualitatif dan kuantitatif sebagaimana diatur
dalam UU PPSP;
c) Status upaya hukum atas ketetapan pajak sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap (inkracht);
d) Tindakan penagihan telah dilakukan secara optimal, dan
penyanderaan merupakan upaya penagihan terakhir;
e) Terdapat validitas data mengenai status/legalitas Penanggung Pajak
dalam kedudukannya selaku Penanggung Pajak suatu badan usaha;
f) Data dan dokumen penagihan lengkap dan akurat;
g) Telah dilakukan pengamatan terhadap Penanggung Pajak.
c. Dalam hal KPP memiliki data yang mutakhir mengenai piutang usaha Wajib
Pajak/Penanggung Pajak, maka dapat dilakukan penyitaan atas piutang dengan
cara sebagai berikut :
1) melakukan inventarisasi dan membuat rincian tentang jenis dan jumlah
piutang yang disita dalam suatu daftar yang merupakan lampiran Berita
Acara Pelaksanaan Sita (BAPS);
2) membuat BAPS; dan
3) Membuat Berita Acara Persetujuan Pengalihan Hak Menagih Piutang dari
Penanggung Pajak kepada Kepala KPP, dan salinannya disampaikan
kepada Penanggung Pajak dan pihak yang berkewajiban membayar utang.
d. Untuk mendukung upaya penagihan melalui pemblokiran rekening, Direktorat
Pemeriksaan dan Penagihan bekerja sama dengan Direktorat Teknologi
Informasi Perpajakan dalam menyediakan daftar Cabang Bank tempat Wajib
Pajak yang bersangkutan membayar kewajiban pajaknya. Data tersebut dapat
dilihat pada portal Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, menu Penagihan,
submenu Lainnya, subsubmenu Daftar Bank, dengan alamat :
http://rikpen/bank;
e. KPP wajib melakukan pengawasan secara intensif dan melaksanakan hak
mendahulu atas piutang pajak terhadap Wajib Pajak yang dinyatakan pailit,
bubar, atau likuidasi, dengan melakukan koordinasi dengan kurator, likuidator,
orang atau badan yang ditugasi melakukan pemberesan, segera setelah
diperoleh informasinya.
2. Kantor Wilayah (Kanwil)
Dalam fungsi Kanwil untuk membimbing, mengawasi, dan mendukung tindakan
penagihan yang dilakukan oleh KPP, Kanwil wajib melaksanakan tindakan
sebagai berikut :
a. Membuat pemetaan dan melakukan analisis atas jumlah piutang pajak selain
PBB dan BPHTB di wilayah kerjanya berdasarkan kategori umur piutang
pajak sebagaimana yang tercantum dalam surat Direktur Pemeriksaan dan
Penagihan Nomor : S-28/PJ.045/2009 tanggal 3 Maret 2009 tentang Laporan
Rutin Penagihan;
b. Meneliti daftar klasifikasi kualitas piutang yang dibuat oleh KPP terutama
untuk kriteria piutang kurang lancar, perhatian khusus, diragukan, dan macet
untuk melihat kondisi piutang dan permasalahannya sehingga dapat
direklasifikasikan ke piutang lancar;
c. Menginstruksikan dan mengawasi secara ketat kepada KPP untuk melakukan
tindakan penagihan yang optimal terhadap piutang dengan kriteria lancar
sehingga dapat segera dicairkan di tahun anggaran 2010;
d. Melakukan pengawasan dan pemantauan proses kegiatan penagihan dan
pencairan piutang pajak dengan prioritas 200 penunggak pajak terbesar yang
dilaporkan oleh masing-masing KPP di wilayah kerjanya;
e. Melakukan pengawasan atas bedah tunggakan terhadap 200 penunggak pajak
terbesar dan profiling penunggak pajak yang dilakukan oleh KPP di wilayah
kerjanya;
f. Meneliti prioritas tindakan penagihan yang telah ditetapkan oleh KPP dan
mengevaluasinya;
g. Melaksanakan pengawasan melekat untuk mencegah terjadinya kesalahan
prosedur atau penyalahgunaan wewenang dan jabatan dalam pelaksanaan
tindakan penagihan;
h. Membuat standar prestasi jurusita dalam pelaksanaan kegiatan penagihan
aktif, yaitu : standar prestasi untuk penyampaian Surat Paksa, Penerbitan
SPMP, pelaksanaan Blokir Rekening, pelaksanaan Pencegahan Wajib Pajak
Bepergian ke Luar Negeri (travel ban), dan pelaksanaan Penyanderaan
terhadap Wajib Pajak/Penanggung Pajak;
i. Melakukan penelitian dan pengujian kembali persyaratan kuantitatif dan
kualitatif atas pengajuan Penyanderaan terhadap Wajib Pajak/Penanggung
Pajak oleh KPP;
j. Khusus untuk pelaksanaan Penyanderaan, untuk setiap Kanwil ditetapkan
minimal 2 (dua) kali Penyanderaan;
k. Membuat pemetaan dan melakukan analisis atas piutang pajak PBB dan
BPHTB di wilayah kerjanya, yang didasarkan atas beberapa kriteria, sebagai
berikut :
1) Sektor ketetapan (sektor pedesaan, perkotaan, perkebunan, perhutanan,
dan pertambangan);
2) Wilayah kerja (kabupaten/kotamadya, kecamatan, desa/kelurahan);
3) Tahun Pajak;
4) Buku Ketetapan, yaitu buku ketetapan I s.d. buku ketetapan V.
l. Melakukan pengujian kembali Daftar Usulan Penghapusan Piutang Pajak
yang diusulkan dari KPP antara lain :
1) Tindakan penagihan terakhir terkait dengan jangka waktu daluwarsa
penagihan;
2) Kesesuaian antara daftar rincian piutang pajak yang diusulkan untuk
dihapuskan dengan jumlah rekapitulasi piutang pajak yang diusulkan
untuk dihapuskan; dan
3) Kelengkapan data-data pendukung.sesuai dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor : KMK 539/KMK.03/2002 dan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor : KEP-15/PJ./2004.
m. Meningkatkan koordinasi regional/lokal dengan instansi terkait untuk
kelancaran kegiatan penagihan berdasarkan prinsip kebersamaan tugas
sebagaimana yang telah disepakati pada MoU antara Dirjen Pajak dengan
Kapolri/Menteri Kehakiman dan HAM/Gubernur/Walikota/Bupati serta kerja
sama dengan pihak perbankan dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal
34 UU KUP.
KPP dan Kanwil yang belum melaksanakan secara optimal strategi
penagihan yang sebagian besar pernah ada dalam kebijakan pada tahun-tahun
sebelumnya, diharapkan pada tahun ini sudah dapat memahami, menguasai,
dan melaksanakan strategi-strategi tersebut dengan tepat dan lebih baik.

III. TARGET PENCAIRAN

Target pencairan piutang pajak secara nasional untuk tahun 2010 ditetapkan sebagai
berikut :

A. Target Pencairan Piutang PPh dan PPN

Sehubungan dengan banyaknya faktor yang mempengaruhi pencairan atas


Piutang Pajak PPh dan PPN, maka penentuan target akan diuraikan lebih lanjut dalam
surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan. Secara garis besar target pencairan Piutang
Pajak dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Target pencairan piutang pajak secara nasional ditetapkan berdasarkan saldo awal
piutang pajak tahun 2010 setelah dikurangi dengan cadangan piutang, dengan
memperhitungkan pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) tahun 2009, dan
perkiraan penambahan piutang pajak pada tahun berjalan (tahun 2010);
2. Sebaran target pencairan piutang nasional di setiap Kantor Wilayah DJP seluruh
Indonesia ditetapkan lebih rinci dalam Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.
Selanjutnya alokasi target pencairan per KPP ditetapkan oleh masing-masing
Kantor Wilayah DJP atasannya.
B. Target Pencairan Piutang PBB dan BPHTB
Oleh karena lebih sederhananya faktor yang mempengaruhi dan dengan
melihat kecenderungan pencairan piutang PBB dan BPHTB tahun-tahun sebelumnya,
maka target pencairan ditetapkan minimal 85% (delapan puluh lima persen) dari saldo
awal piutang.

C. Pencapaian Target Pencairan

Dalam rangka efektivitas dan efisiensi sebaran beban kerja, dan menghindari
penumpukan tugas yang berulang terjadi pada akhir tahun, maka pencapaian target
secara akumulasi ditetapkan sebagai berikut :

1. Triwulan I : 25%
2. Triwulan II : 55%
3. Triwulan III : 90%
4. Triwulan IV : 100%
D. Laporan Pencapaian Target Pencairan

KPP diharapkan membuat rencana dan daftar prioritas pencairan piutang secara
terarah dan efisien, dan memperhatikan pencapaian target setiap triwulan, membuat
laporan pencapaian tersebut, dan menyampaikan laporan tersebut kepada Kanwil
atasannya paling lambat tanggal 7 bulan setelah berakhirnya masing-masing triwulan.

Kantor Wilayah sangat diharapkan untuk memantau secara ketat pencapaian


target pencairan piutang setiap KPP di wilayah kerjanya, dan mengirimkan laporan
pencapaian tersebut setiap triwulan ke Subdit Penagihan paling lambat tanggal 15 bulan
setelah berakhirnya masing-masing triwulan.

IV. EVALUASI KINERJA PENAGIHAN

Sebagai salah satu bentuk konkret fungsi pengawasan dan koordinasi, setiap bulan
Kanwil wajib menyusun evaluasi dan analisis kinerja penagihan seluruh KPP di wilayah
kerjanya, yang di dalamnya berisi 4 (empat) pokok bahasan sebagai berikut :

1. Evaluasi Tertib Administrasi;


2. Evaluasi Realisasi Pencairan Piutang Pajak;
3. Evaluasi Kegiatan Penagihan; dan
4. Evaluasi Validasi dan Rekonstruksi Data Piutang Pajak.

Evaluasi tersebut dibuat sesuai dengan format pada lampiran III dan dikirimkan ke
Subdit Penagihan KPDJP dalam bentuk softcopy maupun hardcopy setiap tanggal 15
bulan berikutnya.

Dari evaluasi dan analisis kinerja penagihan setiap KPP di bawahnya tersebut,
maka Kanwil dapat memantau, memetakan permasalahan, dan memberikan peringatan
dan/atau bimbingan penagihan yang tepat, sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai
alat untuk mendukung terlaksananya tujuan dan kebijakan penagihan secara efektif dan
efisien.

V. LAIN-LAIN

A. Pelaksanaan Penelitian Administrasi dan/atau Penelitian Setempat

Sebagaimana sering diuraikan dalam kebijakan-kebijakan tahun sebelumnya,


mengingat masih banyaknya KPP dan/atau Kanwil yang dalam mengajukan usulan
penghapusan belum memenuhi dengan lengkap syarat-syarat pengajuan usulan, dengan
ini diingatkan kembali bahwa dalam melakukan penelitian administrasi dan/atau
penelitian setempat sebagai salah satu syarat pengajuan usulan, langkah-langkah yang
perlu dilakukan adalah :

1. Membuat daftar usulan penelitian setempat ke Kantor Wilayah atasannya;


2. Melakukan koordinasi dengan KPP lawan transaksi dari Wajib Pajak/Penanggung
Pajak yang akan dilakukan penelitian setempat untuk mendapatkan informasi lebih
lanjut tentang transaksi terakhir yang dilakukan, untuk memastikan apakah masih
ada aktivitas atau tidak;
3. Meminta informasi dan keterangan dari pihak pengelola gedung atau instansi yang
berwenang di wilayah tempat kedudukan Wajib Pajak menjalankan usahanya untuk
mendukung keberadaan Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang dilakukan penelitian
setempat;
4. Meminta informasi dan keterangan mengenai Wajib Pajak/Penanggung Pajak
kepada Dinas Kependudukan, Direktorat Jenderal Imigrasi atau instansi terkait
lainnya apabila diperlukan.
B. Kebutuhan Sumber Daya Manusia

Sebagaimana tercantum dalam kebijakan sebelumnya, Kepala KPP harus


memperhatikan jumlah sumber daya manusia yang ada di seksi penagihan dikaitkan
dengan beban kerja seksi penagihan guna mendukung kelancaran pelaksanaan kegiatan
penagihan. Adapun jumlah minimal Jurusita di masing-masing KPP adalah sebagai
berikut :

1. Tiga orang Jurusita untuk :


a. KPP di lingkungan Kantor Wilayah Wajib Pajak Besar;
b. KPP di lingkungan Kantor Wilayah Jakarta Khusus;
c. KPP Madya.
2. Dua orang Jurusita untuk setiap KPP Pratama dengan mempertimbangkan luasnya
wilayah kerja dan jumlah piutang.
3. Bagi KPP yang mengalami kekurangan tenaga pelaksana Jurusita Pajak dapat
menunjuk dan mengangkat Jurusita dari pelaksana pada Seksi Penagihan, Kepala
Seksi Penagihan, atau Kepala Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi
Perpajakan, sepanjang yang bersangkutan memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
562/KMK.04/2000tentang Syarat-Syarat, Tata Cara Pengangkatan dan
Pemberhentian Jurusita Pajak.
4. Apabila jumlah Jurusita belum juga terpenuhi dan kebutuhan akan Jurusita sangat
mendesak maka Kanwil dapat mendata kebutuhan Jurusita dan mengajukan
permohonan ke KPDJP untuk penambahan penempatan Jurusita di wilayah
kerjanya.
C. Koordinasi dengan Pihak-Pihak Terkait

Sebagaimana dijelaskan dalam kebijakan-kebijakan sebelumnya, untuk


mendukung kelancaran dan mengantisipasi permasalahan yang tidak diinginkan, maka
Kepala KPP perlu memperhatikan dan membina adanya komunikasi dan kerja sama
yang baik antar seksi di dalam unitnya maupun pada unit yang berada pada Kanwil
atasannya sebagai berikut :
2. dalam hal terdapat permasalahan hukum terkait dengan pelaksanaan tindakan
penagihan, KPP agar segera melakukan koordinasi dengan Kepala Seksi
Bimbingan Penagihan dan Kepala Subbagian Rumah Tangga dan Bantuan Hukum
di Kantor Wilayah atasannya;
3. dalam hal kebutuhan untuk mendapatkan data dan informasi terkait daftar
pengurus, daftar harta, dan informasi lain terkait kemampuan membayar oleh
Wajib Pajak/Penanggung Pajak maka segera koordinasikan hal tersebut dengan
seksi Pemeriksaan dan pihak fungsional pemeriksa;
4. dalam hal kebutuhan akan informasi upaya hukum maka perlu lakukan koordinasi
berkelanjutan dengan seksi Pelayanan di KPP dan seksi Keberatan di Kanwil
atasannya;
5. dalam hal informasi umum maupun informasi lain yang lebih rinci, maka perlu
lakukan koordinasi berkelanjutan dengan seksi Pelayanan dan pihak Account
Representative di seksi Pengawasan dan Konsultasi.
D. Seragam Jurusita

KPP yang Jurusitanya belum mendapatkan seragam yang seharusnya sudah


diadakan pada tahun 2009 sebagaimana tercantum pada kebijakan tahun tersebut, agar
menganggarkan biaya pengadaan seragam Jurusita tersebut dalam DIPA KPP untuk
minimal 3 (tiga) potong pakaian seragam per Jurusita, dengan desain sebagaimana
contoh pada lampiran IV.

E. Biaya Penggantian Pelaksanaan Tindakan Penagihan

Sehubungan dengan tidak mencukupinya nilai penggantian pelaksanaan


tindakan penagihan dibanding dengan yang sesungguhnya dikeluarkan, tidak adanya
ketentuan yang mengatur mekanisme pembayaran/penggantian biaya pelaksanaan
tindakan penagihan yang sudah dikeluarkan Jurusita, di samping karena biaya tersebut
harus disetor sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), maka sebagai bentuk
dukungan penuh atas kegiatan penagihan yang sudah dan harus dilakukan, KPP wajib
menganggarkan dalam DIPA KPP penggantian seluruh biaya yang sudah dikeluarkan
dalam upaya pelaksanaan tindakan penagihan.

F. Biaya Perjalanan Dinas


Sehubungan dengan biaya perjalanan dinas dalam rangka tindakan penagihan,
dengan ini diingatkan kembali agar Kepala KPP mendukung pelaksanaan tindakan
penagihan dengan memperhatikan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
45/PMK.05/2007 tentang Perjalanan Dinas Jabatan Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara,
Pegawai Negeri, dan Pegawai Tetap, dalam Bab I Pasal 1 ayat (5) diatur bahwa
Perjalananan dinas dalam negeri yang selanjutnya disebut perjalanan dinas adalah
perjalanan ke luar tempat kedudukan baik perseorangan maupun secara bersama yang
jaraknya sekurang-kurangnya 5 (lima) kilometer dari batas kota yang dilakukan dalam
wilayah RI untuk kepentingan Negara atas perintah pejabat yang berwenang termasuk
perjalanan dari tempat kedudukan ke tempat meninggalkan Indonesia untuk bertolak ke
luar negeri dan dari tempat tiba di Indonesia dari luar negeri ke tempat yang dituju di
dalam negeri. Selanjutnya dalam ayat (10) diatur bahwa Wilayah Jabatan adalah
wilayah kerja dalam menjalankan tugas. Dengan berlakunya Surat Edaran Kebijakan
Penagihan ini, maka Surat Edaran Kebijakan Penagihan sebelumnya dinyatakan tidak
berlaku lagi.

Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 7 April 2010

Direktur Jenderal,

ttd.

Mochamad Tjiptardjo

NIP 060044911

Tembusan :

1. Sekretaris Direktorat Jenderal;


2. Para Direktur dan Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal.
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : SE - 37/PJ/2013

TENTANG

PERUBAHAN DATA PADA SISTEM INFORMASI DI DIREKTORAT JENDERAL


PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A UMUM
. Dalam rangka meningkatkan pelayanan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) dan menjamin keamanan data pada sistem informasi di Direktorat Jenderal
Pajak, diperlukan pengaturan mengenai tata cara perubahan data pada sistem informasi di
Direktorat Jenderal Pajak.

B. MAKSUD DAN TUJUAN

1. Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dimaksudkan untuk menjadi pedoman dalam
rangka menyelesaikan permintaan perubahan data pada sistem informasi di Direktorat
Jenderal Pajak.

2. Tujuan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini bertujuan untuk memberikan petunjuk
mengenai pelaksanaan perubahan data pada sistem informasi di Direktorat Jenderal Pajak.

C.RUANG LINGKUP

Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini diatur tata cara dan bentuk dokumen yang
digunakan dalam perubahan data pada sistem informasi di Direktorat Jenderal Pajak, yaitu:

1. Tata Cara Permintaan Perubahan Data di Kantor Pelayanan Pajak;

2. Tata Cara Permintaan Perubahan Data di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak;
3. Tata Cara Permintaan Perubahan Data di Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan;

4. Tata Cara Permintaan Perubahan Data di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak;

5. Tata Cara Perubahan Data di Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan;

6. Formulir Permintaan Perubahan Data pada Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak;

7. Berita Acara Penyelesaian Perubahan Data pada Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak;

8. Berita Acara Penolakan Perubahan Data pada Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak.

D DASAR
.
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaima
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.

2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat paksa sebagaimana tela
denganUndang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (UU Penagihan) yang menjadi batasan dalam perubaha
pajak.

3. Peraturan Menteri Keuangan nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
kewenangan melakukan perubahan data bagi Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan (TIP).

E. MATERI

1. Pada Surat Edaran ini, yang dimaksud dengan:

a. Perubahan data pada sistem informasi di Direktorat Jenderal Pajak adalah kebutuhan untuk mendap
perubahan data pada basis data Direktorat Jenderal Pajak yang meliputi penambahan (insert), pengh
dan pemutakhiran (update) sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam Surat Edaran ini.

b. Sistem informasi di Direktorat Jenderal Pajak yang dimaksud dalam Surat Edaran ini adalah sistem
dan SISMIOP, serta aplikasi pendukung sistem informasi utama.

c. Pengguna layanan TIK adalah pegawai DJP yang menggunakan atau memanfaatkan Layanan TIK D
permintaan perubahan data.

i. Pada Kantor Pelayanan Pajak yaitu Account Representative, Fungsional Pemeriksa, Fungsional
ii. Pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yaitu Penelaah Keberatan, Fungsional Pemer
pegawai lainnya;
iii. Pada Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan yaitu pelaksana PPDDP; Pada Kantor P
yaitu Penelaah keberatan, Fungsional Pemeriksa, Fungsional Penilai, atau pegawai lainnya.

2. Perubahan data pada sistem informasi di Direktorat Jenderal Pajak dapat dilakukan
terhadap:

a. Data produk hukum selain yang diatur dalam Pasal 16 dan 36 UU KUP dan Pasal 39 ayat (2)
UU Penagihan. Data produk hukum yang tidak dapat diubah menggunakan mekanisme Surat
Edaran ini adalah:

i. Surat ketetapan pajak, yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
ii. Surat Tagihan Pajak;
iii. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
iv. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga;
v. Surat Keputusan Pembetulan;
vi. Surat Keputusan Keberatan;
vii. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
viii. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
ix. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak;
x. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak;
xi. Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain sejenis;
xii. Surat Perintah Penagihan Seketika Sekaligus;
xiii. Surat Paksa;
xiv. Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
xv. Surat Perintah Penyanderaan;
xvi. Pengumuman Lelang;
xvii. Surat Penentuan Harga Limit;

b. Data produk hukum selain tersebut pada huruf a yang belum dikirimkan kepada Wajib Pajak;

c. Data yang belum dilakukan tindakan administrasi perpajakan lanjutan sesuai


dengan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-Undang Penagihan
(contoh: SPT yang belum diterbitkan Surat Tagihan Pajak atau Surat Teguran yang
belum diterbitkan Surat Paksa); dan/atau

d. Data yang tidak dapat dilakukan perubahan oleh pengguna layanan TIK karena
belum adanya aplikasi yang mengakomodasi perubahan tersebut.

3. Pengguna layanan TIK dapat mengajukan permintaan perubahan data pada Sistem
Informasi di Direktorat Jenderal Pajak dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Permintaan perubahan data diajukan kepada Direktorat Teknologi Informasi


Perpajakan dengan mengisi Formulir Permintaan Perubahan Data yang terdapat di
dalam aplikasi Lasis Online;
b. Format Formulir Permintaan Perubahan Data adalah sebagaimana terdapat
dalam Lampiran I Surat Edaran ini;
c. Pengajuan permintaan perubahan harus disertai dengan alasan perubahan data
secara lengkap, pernyataan bahwa produk hukum belum dikirimkan ke Wajib
Pajak, pernyataan bahwa belum dilakukan tindakan administrasi perpajakan lanjutan,
dan uraian/laporan penelitian atas permintaan perubahan data yang diajukan. Kecuali
untuk PPDDP hanya menyertakan alasan perubahan data secara lengkap.

4. Tata Cara Perubahan Data pada Sistem Informasi di Direktorat Jenderal Pajak adalah
sebagaimana terdapat dalam Lampiran II Surat Edaran ini.

5. Konsekuensi hukum terhadap perubahan data sepenuhnya menjadi tanggung jawab


Kepala Unit Pengguna Layanan TIK yang mengajukan permintaan perubahan data.

6. Dalam hal diperlukan, Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan dapat meminta


pendapat dari Direktorat lain yang terkait dalam menentukan apakah permintaan
perubahan data dapat dilakukan atau tidak.

7. Dalam hal diperlukan, Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan dapat meminta


Pengguna Layanan TIK untuk menyediakan dokumen pendukung dalam bentuk fisik
terkait dengan permintaan perubahan data.

8. Perubahan data dilakukan oleh Pejabat Fungsional Pranata Komputer di Direktorat TIP
atau pegawai lain yang ditunjuk oleh Direktur TIP sesuai dengan penugasan.

9. Jangka waktu penyelesaian permintaan perubahan data dilakukan paling lambat 15 (lima
belas) hari kerja sejak diterimanya dokumen pendukung secara lengkap oleh Direktorat
TIP.

10. Dalam hal Direktorat TIP meminta pendapat Direktorat lain yang terkait, jangka
waktu penyelesaian permintaan perubahan data paling lambat adalah 15 (lima belas) hari
kerja sejak diterimanya jawaban dari Direktorat lain tersebut.

11. Penyelesaian perubahan data dituangkan dalam Berita Acara Penyelesaian Perubahan
Data pada Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak melalui aplikasi Lasis Online
dengan format sebagaimana terdapat dalam Lampiran III.1 Surat Edaran ini.

12. Dalam hal permintaan perubahan data tidak disetujui, Direktorat TIP membuat Berita
Acara Penolakan Perubahan Data pada Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak
melalui aplikasi Lasis Online dengan format sebagaimana terdapat dalam Lampiran III.2
Surat Edaran ini.

13. Setiap perubahan data yang dilakukan direkam dalam catatan audit (audit log).

14. Kepala Bidang Dukungan Teknis dan Konsultasi di Kanwil DJP, Kepala Seksi
Pengolahan Data dan Informasi di KPP, Direktorat TIP, dan Subdirektorat Analisis dan
Evaluasi Sistem Informasi Direktorat TTKI dapat melakukan pemantauan dan evaluasi
secara berkala terhadap jumlah dan penyebab permintaan perubahan data sehingga dapat
disusun strategi untuk mengurangi permintaan perubahan data di masa mendatang.

15. Sehubungan dengan berlakunya Surat Edaran ini, maka Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak Nomor SE-100/PJ/2010 tentang Kebijakan Perubahan Data SIDJP, SIPMOD, dan
SISMIOP dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

16. Permintaan perubahan data yang diajukan sesuai dengan SE-100/PJ/2010 yang belum
diterima oleh Direktorat TIP secara fisik sampai dengan 14 (empat belas) hari kerja sejak
ditetapkannya Surat Edaran ini dinyatakan ditolak.

Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 2 Agustus 2013
DIREKTUR JENDERAL,
ttd.

A. FUAD RAHMANY
NIP 19541111198112100
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : SE - 07/PJ/2014

TENTANG

PEDOMAN PELAKSANAAN PENGALIHAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN


PERDESAAN DAN PERKOTAAN SEBAGAI PAJAK DAERAH

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A.UMUM

Dalam rangka pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebagai pajak daerah yang pada tahun
2014 merupakan tahun terakhir pengalihan, maka perlu diberikan pedoman pelaksanaan dan tindak lanjut pengalihan pemungutan PBB-P2
dimaksud.

B. MAKSUD DAN TUJUAN

1. Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dibuat agar dapat digunakan sebagai pedoman pelaksanaan dan tindak lanjut pengalihan
pemungutan PBB-P2 kepada Pemerintah Daerah (Pemda).

2. Tujuan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini bertujuan untuk memberikan keseragaman dalam pelaksanaan dan tindak lanjut
pengalihan pemungutan PBB-P2 kepada Pemda.

C. RUANG LINGKUP

Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini diberikan beberapa petunjuk mengenai:

1. penyelesaian permohonan pelayanan PBB-P2 yang diajukan sebelum dialihkan menjadi pajak daerah;
2. pelaksanaan proses beracara terkait dengan gugatan, banding, dan peninjauan kembali PBB-P2;
3. tindak lanjut putusan gugatan, banding, dan peninjauan kembali PBB-P2;
4. penanganan berkas permohonan pelayanan PBB-P2 dan putusan gugatan, banding, serta peninjauan kembali PBB-P2 yang telah selesai
diproses;
5. penyerahan dan tindak lanjut pengelolaan piutang PBB-P2;
6. pelaksanaan pembayaran, pemindahbukuan, dan penutupan Tempat Pembayaran PBB-P2;
7. pelaksanaan pendampingan/asistensi; dan
8. penyerahan salinan Peta Desa/Kelurahan, Peta Blok, Peta Zona Nilai Tanah dalam bentuk softcopy, hasil penggandaan basis data PBB-
P2 sebelum tahun pengalihan, dan hasil penggandaan sistem aplikasi terkait PBB-P2 beserta source code.

D. DASAR

Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 15/PMK.07/2014 dan Nomor 10 Tahun 2014 tentang
Tahapan Persiapan dan Pelaksanaan Pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah.

E. PENJELASAN DAN PENEGASAN

2. Penerimaan permohonan pelayanan PBB-P2 oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP Pratama) untuk objek PBB-P2 yang berada di
kabupaten/kota yang belum dialihkan pemungutannya sampai dengan tahun 2014, dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2013.
3. Terhadap permohonan pelayanan PBB-P2 yang diajukan sampai dengan tanggal 31 Desember sebelum Tahun Pengalihan, Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) dan KPP Pratama:
a. melakukan kompilasi berkas permohonan pelayanan PBB-P2 yang belum selesai sampai dengan tanggal 31 Desember sebelum
Tahun Pengalihan; dan
b. membuat daftar rekapitulasi permohonan pelayanan PBB-P2 yang belum selesai sampai dengan tanggal 31 Desember sebelum
Tahun Pengalihan.
4. Kanwil DJP menyerahkan hasil kompilasi beserta daftar rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada angka 2 kepada KPP Pratama.
5. KPP Pratama menyerahkan hasil kompilasi beserta daftar rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan angka 3 kepada Pemda
dan dituangkan dalam Berita Acara Serah Terima (BAST) paling lambat tanggal 28 Februari 2014.
6. Terhadap putusan gugatan, banding, dan peninjauan kembali PBB-P2, diminta kepada:
a. Direktorat Keberatan dan Banding untuk:
1) melakukan kompilasi atas:
a) berkas banding/gugatan PBB-P2 baik yang belum disidangkan, masih disidangkan, maupun yang telah selesai disidangkan
(dinyatakan cukup) namun belum diputus oleh Pengadilan Pajak sampai dengan tanggal 31 Desember 2013;
b) Memori Peninjauan Kembali yang belum dibuat atau dikirimkan ke Mahkamah Agung sampai dengan tanggal 31 Desember
2013 atas hasil evaluasi putusan Pengadilan Pajak yang merekomendasikan diajukan peninjauan kembali;
c) Kontra Memori Peninjauan Kembali yang belum dibuat atau dikirimkan ke Mahkamah Agung atas permintaan Mahkamah
Agung yang diterima sampai dengan tanggal 31 Desember 2013;
d) Memori Peninjauan Kembali dan Kontra Memori Peninjauan Kembali yang sudah dikirimkan ke Mahkamah Agung sampai
dengan tanggal 31 Desember 2013 dan belum diputus.
2) membuat daftar rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada angka 1).
3) menyerahkan hasil kompilasi beserta daftar rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan angka 2) kepada KPP
Pratama.
b. Kanwil DJP untuk:
1) melakukan kompilasi atas:
a) permintaan Surat Tanggapan dan Surat Uraian Banding dari Pengadilan Pajak yang diterima sampai dengan tanggal 31
Desember 2013 dan belum dibuat;
b) permintaan Surat Tanggapan dan Surat Uraian Banding dari Pengadilan Pajak yang diterima sampai dengan tanggal 31
Desember 2013, berikut Surat Tanggapan dan Surat Uraian Banding yang telah dibuat tetapi belum dikirimkan ke
Pengadilan Pajak;
c) Surat Tanggapan dan Surat Uraian Banding yang sudah dikirimkan ke Pengadilan Pajak sampai dengan tanggal 31
Desember 2013 dan belum diputus oleh Pengadilan Pajak.
2) membuat daftar rekapitulasi atas permintaan Surat Tanggapan dan Surat Uraian Banding dari Pengadilan Pajak dan/atau Surat
Tanggapan dan Surat Uraian Banding sebagaimana dimaksud pada angka 1).
3) menyerahkan hasil kompilasi beserta daftar rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan angka 2) kepada KPP
Pratama.
c. KPP Pratama untuk:
1) melakukan kompilasi atas:
a) putusan gugatan, banding, dan peninjauan kembali PBB-P2 yang sampai dengan tanggal 31 Desember sebelum Tahun
Pengalihan belum ditindaklanjuti; dan
b) putusan gugatan, banding, dan peninjauan kembali PBB-P2 yang diterima setelah PBB-P2 dialihkan ke Pemda untuk
wilayah kabupaten/kota yang sudah melakukan pemungutan PBB-P2 sebelum tahun 2014.
2) membuat daftar rekapitulasi atas putusan gugatan, banding, dan peninjauan kembali PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada angka
1).
3) menyerahkan hasil kompilasi beserta daftar rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 3), huruf b angka 3) dan
huruf c angka 1) dan 2) kepada Pemda dengan dituangkan dalam BAST.
7. Dalam hal setelah tanggal 31 Desember 2013 Direktorat Jenderal Pajak menerima permintaan Surat Uraian Banding, Surat Tanggapan,
atau Kontra Memori Peninjauan Kembali untuk permohonan banding, gugatan atau peninjauan kembali yang diajukan sebelum tanggal
31 Desember 2013, maka:
a. permintaan dimaksud ditindaklanjuti oleh Direktorat Jenderal Pajak sampai dengan pembuatan Surat Uraian Banding, Surat
Tanggapan, atau Kontra Memori Peninjauan Kembali; dan
b. proses beracara lebih lanjut di Pengadilan Pajak/Mahkamah Agung diserahkan kepada Pemda.
8. Dalam hal proses beracara terkait dengan gugatan, banding, dan peninjauan kembali atas PBB-P2 sampai dengan saat pengalihan PBB-
P2 masih berlangsung, maka:
a. atas permintaan Pemda, Direktorat Keberatan dan Banding atau Kanwil DJP dapat melakukan pendampingan dalam proses beracara
di persidangan terkait dengan gugatan, banding, dan peninjauan kembali PBB-P2;
b. atas ijin Pengadilan Pajak dan/atau Mahkamah Agung, Direktorat Jenderal Pajak dapat melanjutkan proses beracara di persidangan
terkait gugatan/banding/peninjauan kembali PBB-P2 yang sudah berlangsung sebelum Tahun Pengalihan sampai dengan
diterbitkannya putusan gugatan/banding/peninjauan kembali PBB-P2;
c. dalam hal terdapat ijin dari Pengadilan Pajak dan/atau Mahkamah Agung sebagaimana huruf b di atas, Direktorat Jenderal Pajak
meminta kepada Pemda agar turut hadir dalam persidangan;
d. Direktorat Jenderal Pajak mengirimkan data Kabupaten/Kota yang di wilayahnya terdapat objek PBB-P2 yang masih dalam proses
banding/gugatan/Peninjauan Kembali kepada Pengadilan Pajak/Mahkamah Agung;
e. dalam hal terdapat upaya hukum peninjauan kembali oleh Wajib Pajak atas putusan gugatan atau banding, KPP Pratama berdasarkan
permintaan Pemda dapat meminjamkan berkas terkait materi gugatan atau banding.
9. Berkas permohonan pelayanan PBB-P2 dan putusan gugatan, banding, dan peninjauan kembali PBB-P2 yang telah selesai diproses
sampai dengan tanggal 31 Desember sebelum Tahun Pengalihan, ditindaklanjuti dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku
sebagaimana diatur dalam:
a. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1429/KMK.1/1993 tentang Jadwal Retensi Arsip Direktorat Jenderal Pajak;
b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 796/KM.1/1995 tentang Pedoman Penyusutan Arsip di Lingkungan Departemen Keuangan;
c. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-241/PJ/2012 tentang Cetak Biru Manajemen Kearsipan di Lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak Tahun 2012-2016; dan
d. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ/2012 hal Pedoman Pengelolaan Arsip di Lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak Kementerian Keuangan.
10. Terkait penyerahan dan tindak lanjut pengelolaan piutang PBB-P2, diminta kepada:
a) Kanwil DJP untuk:
1) melakukan sosialisasi dan koordinasi kepada masing-masing KPP Pratama terkait penentuan piutang PBB-P2 yang seharusnya
tercantum dalam BAST Piutang PBB-P2; dan
2) bersama-sama dengan KPP Pratama melakukan koordinasi serta komunikasi yang intensif dan persuasif kepada Pemda secara
langsung untuk menjelaskan mengenai pengalihan piutang PBB-P2 dan strategi meningkatkan penerimaan daerah dari
penagihan piutang PBB-P2.
b) PP Pratama untuk:
1) melakukan kompilasi data piutang PBB-P2 sampai dengan saldo piutang PBB-P2 per tanggal 31 Desember sebelum Tahun
Pengalihan beserta dokumen pendukung yang menjadi dasar pencatatan nilai piutang PBB-P2 per kabupaten/kota, meliputi:
a) rincian daftar piutang PBB-P2 dalam basis data (negative list);
b) STP PBB;
c) SKP PBB;
d) data dan/atau dokumen penerimaan PBB-P2 yang belum terekam dalam basis data; dan
e) keputusan atau putusan yang mempengaruhi nilai piutang PBB-P2 yang belum terekam dalam basis data, antara lain Surat
Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi PBB yang Tidak Benar, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi PBB yang Tidak Benar, Surat
Keputusan Pengurangan Ketetapan PBB yang Tidak Benar, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan PBB yang Tidak Benar,
Putusan Banding, Putusan Peninjauan Kembali, dan Keputusan Menteri Keuangan mengenai Penghapusan Piutang PBB.
2) mempersiapkan nilai awal PBB-P2 bruto, penyisihan piutang tidak tertagih, dan piutang PBB-P2 netto dengan didukung rincian
nilai piutang PBB-P2 dan Kertas Kerja Penyisihan Piutang PBB-P2;
3) menentukan draft awal nilai piutang PBB-P2 per tanggal 31 Desember 2013 baik piutang PBB-P2 bruto dan Piutang PBB-P2
netto. Dalam hal diperlukan, KPP Pratama dapat menyampaikan draft awal nilai piutang PBB-P2 secara tertulis dan melakukan
konfirmasi kepada Dinas Pendapatan Daerah atau DPPKAD atau unit Pemda yang menangani administrasi pemungutan PBB-P2
disertai konsep BAST, rincian piutang PBB-P2, dan Kertas Kerja Penyisihan Piutang PBB-P2;
4) dalam hal terdapat hasil konfirmasi sebagaimana dimaksud pada angka 3), KPP Pratama mempertimbangkan hasil konfirmasi
untuk menentukan dan menyerahkan data final piutang PBB-P2 bruto, penyisihan piutang tidak tertagih, dan piutang PBB-P2
netto dengan didukung rincian nilai piutang PBB-P2 dan Kertas Kerja Penyisihan Piutang PBB-P2 kepada Pemda dan dituangkan
dalam BAST;
5) melakukan koordinasi serta komunikasi yang intensif dan persuasif kepada Pemda secara langsung untuk menjelaskan mengenai
pengalihan piutang PBB-P2 dan strategi meningkatkan penerimaan daerah dari penagihan piutang PBB-P2; dan
6) dalam hal piutang PBB-P2 yang telah diserahkan sebagaimana dimaksud angka 4) mengalami perubahan sesuai hasil audit
Laporan Keuangan Kementerian Keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, KPP Pratama menyampaikan perubahan data
piutang PBB-P2 dimaksud kepada Pemda melalui surat.
11. Pelaksanaan pembayaran, pemindahbukuan, dan penutupan Tempat Pembayaran PBB-P2 berpedoman pada Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-57/PJ/2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-29/PJ/2012 tentang
Tata Cara Pengawasan Pemindahbukuan Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tempat Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan.
12. Pendampingan/asistensi oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Pemda memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
a. Direktorat Jenderal Pajak dapat memberikan pendampingan/asistensi kepada Pemda:
1) melalui keterlibatan dalam tim yang dibentuk Pemda kecuali tim pendataan/penilaian yang dilakukan oleh Pemda; atau
2) tanpa masuk dalam tim yang dibentuk Pemda.
b. Pendampingan/asistensi dapat dilakukan antara lain dalam bentuk:
1) menjadi narasumber pelatihan teknis, antara lain untuk:
a) pemungutan PBB-P2;
b) Standar Operating Procedure (SOP) dan pembuatan peraturan untuk kegiatan pemutakhiran basis data dan pemutakhiran
data piutang PBB-P2;
c) penagihan pajak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
d) aplikasi SISMIOP;
e) pendataan dan penilaian PBB-P2; dan
f) penyelesaian permohonan pelayanan PBB-P2.
2) menjadi penyusun pembuatan petunjuk teknis pemungutan PBB-P2.
c. Dalam pelaksanaan pendampingan/asistensi tidak diperkenankan untuk:
1) ikut menandatangani laporan atau berita acara yang menjadi dasar penerbitan produk hukum PBB-P2, antara lain berita acara
hasil verifikasi pemutakhiran data, pembatalan SPPT/SKP/STP, penghapusan piutang PBB-P2, laporan penilaian, laporan hasil
pemeriksaan, dan laporan hasil penelitian;
2) menjadi petugas dalam kegiatan pendataan dan penilaian objek pajak PBB-P2 yang dilakukan oleh Pemda;
3) ikut dalam proses pengadaan barang dan/atau jasa terkait pemungutan PBB-P2.
d. Direktorat Jenderal Pajak dapat memberikan pendampingan/asistensi penyelesaian pemutakhiran data piutang PBB-P2 sampai
dengan 2 (dua) tahun setelah Tahun Pengalihan.
e. Pegawai Direktorat Jenderal Pajak diperkenankan menerima honorarium/upah atas kegiatan pendampingan/asistensi sepanjang
sesuai dengan ketentuan terkait pembayaran honorarium yang berlaku dan tidak menyebabkan pegawai yang menerima pembayaran
honorarium patut diduga memiliki kewajiban yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaannya.
13. Penyerahan salinan Peta Desa/Kelurahan, Peta Blok, Peta Zona Nilai Tanah dalam bentuk softcopy, hasil penggandaan basis data PBB-
P2 sebelum tahun pengalihan, dan hasil penggandaan sistem aplikasi terkait PBB-P2 beserta source code-nya oleh Kepala Kanwil DJP
dan/atau Kepala KPP Pratama kepada Pemda dapat dilakukan sebelum tanggal 5 Januari Tahun Pengalihan setelah proses cleansing
dengan menggunakan BAST.
14. Atas permintaan Pemda yang telah mengelola PBB-P2 sebelum tahun 2013, Kanwil DJP dan/atau KPP Pratama setelah berkoordinasi
dengan Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan dapat memberikan aplikasi SISMIOP modul pemutakhiran piutang PBB-P2 sesuai
SE-14/PJ/2013beserta source code-nya.
15. Terhadap perubahan data pada aplikasi SISMIOP antara tanggal cut off basis data sampai dengan tanggal 31 Desember 2013, KPP
Pratama dapat mencetak laporan perubahan data dimaksud untuk disampaikan dan ditindaklanjuti oleh Pemda.
16. Untuk KPP Pratama yang mempunyai wilayah kabupaten/kota yang belum atau tidak memungut PBB-P2 setelah tahun terakhir
pengalihan, KPP Pratama menyerahkan:
a. data piutang PBB-P2 beserta data pendukungnya;
b. Surat Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) yang berlaku dalam
kurun waktu 10 (sepuluh) tahun sebelum pengalihan;
c. salinan Peta Desa/Kelurahan, Peta Blok, Peta Zona Nilai Tanah dalam bentuk softcopy;
d. hasil penggandaan basis data PBB-P2 sebelum tahun pengalihan; dan
e. hasil penggandaan sistem aplikasi terkait PBB-P2 beserta source code-nya;
17. kepada Pemda dengan menggunakan BAST sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2010
tentang Tata Cara Persiapan Pengalihan PBB-P2 sebagai Pajak Daerah.
F. BENTUK FORMULIR

1. Bentuk BAST berkas permohonan pelayanan PBB-P2, permintaan surat tanggapan dan surat uraian banding, surat tanggapan dan surat
uraian banding, memori peninjauan kembali, kontra memori peninjauan kembali, serta putusan gugatan, banding, dan peninjauan kembali
PBB-P2 adalah sebagaimana pada Lampiran I Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
2. Bentuk formulir rekapitulasi berkas permohonan pelayanan PBB-P2 yang belum selesai sampai dengan tanggal 31 Desember sebelum
Tahun Pengalihan, untuk Kanwil DJP dan KPP Pratama adalah sebagaimana pada Lampiran II Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
3. Bentuk formulir rekapitulasi berkas banding/gugatan PBB-P2 baik yang belum disidangkan, masih disidangkan, maupun yang telah
selesai disidangkan (dinyatakan cukup) namun belum diputus oleh Pengadilan Pajak sampai dengan tanggal 31 Desember 2013
sebagaimana pada Lampiran III Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
4. Bentuk formulir rekapitulasi Memori Peninjauan Kembali yang belum dibuat atau dikirimkan ke Mahkamah Agung sampai dengan
tanggal 31 Desember 2013 atas hasil evaluasi putusan Pengadilan Pajak yang merekomendasikan diajukan peninjauan kembali, Kontra
Memori Peninjauan Kembali yang belum dibuat atau dikirimkan ke Mahkamah Agung atas permintaan Mahkamah Agung yang diterima
sampai dengan 31 Desember 2013, Memori Peninjauan Kembali dan Kontra Memori Peninjauan Kembali yang sudah dikirimkan ke
Mahkamah Agung sampai dengan tanggal 31 Desember 2013 dan belum diputus sebagaimana pada Lampiran IV Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak ini.
5. Bentuk formulir rekapitulasi permintaan Surat Tanggapan dan Surat Uraian Banding dari Pengadilan Pajak yang diterima sampai dengan
tanggal 31 Desember 2013 dan belum dibuat, permintaan Surat Tanggapan dan Surat Uraian Banding dari Pengadilan Pajak yang
diterima sampai dengan tanggal 31 Desember 2013, berikut Surat Tanggapan dan Surat Uraian Banding yang telah dibuat tetapi belum
dikirimkan ke Pengadilan Pajak sebagaimana pada Lampiran V Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
6. Bentuk formulir rekapitulasi Surat Tanggapan dan Surat Uraian Banding yang sudah dikirimkan ke Pengadilan Pajak sampai dengan
tanggal 31 Desember 2013 sebagaimana pada Lampiran VI Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
7. Bentuk formulir rekapitulasi putusan gugatan, banding, dan peninjauan kembali PBB-P2 yang sampai dengan tanggal 31 Desember
sebelum Tahun Pengalihan belum ditindaklanjuti sebagaimana pada Lampiran VII Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
8. Bentuk formulir rekapitulasi putusan gugatan, banding, dan peninjauan kembali PBB-P2 yang diterima setelah PBB-P2 dialihkan ke
Pemda untuk wilayah kabupaten/kota yang sudah melakukan pemungutan PBB-P2 sebelum tahun 2014 sebagaimana pada Lampiran VIII
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
9. Bentuk formulir penggolongan Kualitas Piutang PBB-P2 dan Penyisihan Piutang PBB-P2 adalah sebagaimana pada Lampiran IX Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
10. Bentuk formulir rekapitulasi penyesuaian nilai piutang PBB-P2 adalah sebagaimana pada Lampiran X Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak ini.
11. Bentuk surat konfirmasi terkait penyampaian draft awal nilai piutang PBB-P2 per tanggal 31 Desember 2013 yang akan dialihkan kepada
Pemerintah Kabupaten/Kota adalah sebagaimana pada Lampiran XI Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.

Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 3 Februari 2014

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.
A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

Tembusan:

1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak


2. Para Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
3. Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 61/PJ/2015

TENTANG

OPTIMALISASI PENILAIAN (APPRAISAL) UNTUK PENGGALIAN POTENSI PAJAK DAN


TUJUAN PERPAJAKAN LAINNYA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. UMUM

Sebagai bagian dari langkah-langkah pengamanan target penerimaan pajak dan optimalisasi pemanfaatan penilaian (appraisal) dalam rangka
penggalian potensi pajak, perlu disusun Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak sebagai pedoman pelaksanaan penggalian potensi pajak maupun
tujuan perpajakan lainnya, berbasis penilaian (appraisal).

B. MAKSUD DAN TUJUAN

1. Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dimaksudkan untuk menjadi pedoman penggalian potensi pajak dan tujuan perpajakan
lainnya melalui optimalisasi penilaian (appraisal) yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak, dan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak.

2. Tujuan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini bertujuan untuk memberikan pemahaman bahwa penilaian dapat dioptimalkan
pemanfaatannya untuk penggalian potensi pajak dan tujuan perpajakan lainnya, serta memberikan petunjuk mengenai langkah-langkah
yang perlu dilakukan untuk menggali potensi pajak, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Penghasilan (PPh) atau Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), dan tujuan perpajakan lainnya antara lain dalam bidang penagihan pajak.

C. RUANG LINGKUP

Ruang lingkup Surat Edaran ini meliputi:

1. Penilaian dalam rangka Penggalian Potensi Pajak (melalui penetapan PBB, pengawasan dan penegakan hukum perpajakan) dan Prosedur
Pelaksanaannya.
2. Penilaian untuk Tujuan Perpajakan Lainnya dan Prosedur Pelaksanaannya.
D. DASAR

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009;
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008;
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1994;
5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2007;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pemenuhan Hak dan Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan;
7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-35/PJ./2013 tentang Tata Cara Ekstensifikasi;
8. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-51/PJ/2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-35/PJ./2013tentang Tata Cara Ekstensifikasi;
9. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ/2015 tentang pedoman Administrasi Pembangunan, Pemanfaatan dan
Pengawasan Data;
10. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-39/PJ/2015 tentang Pengawasan Wajib Pajak dalam Bentuk Permintaan Penjelasan atas
Data dan/atau Keterangan, dan Kunjungan (Visit) kepada Wajib Pajak.
E. DEFINISI

1. Penilaian adalah serangkaian kegiatan dalam rangka menentukan nilai pasar wajar atas objek penilaian pada suatu saat tertentu yang
dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan standar penilaian yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menghitung pajak
terutang atau tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2. Nilai pasar wajar yang selanjutnya disebut Nilai Pasar (market value) adalah estimasi sejumlah uang pada tanggal penilaian, yang dapat
diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu barang berwujud (tangible asset) maupun barang tidak berwujud (intangible
asset), antara pembeli yang berminat membeli dengan penjual yang berminat menjual, dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang
pemasarannya dilakukan secara layak, di mana kedua pihak masing-masing bertindak atas dasar pemahaman yang dimilikinya, kehati-
hatian, dan tanpa paksaan.
3. Penilai adalah pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang memiliki kemampuan untuk melakukan Penilaian serta menjabat sebagai
Fungsional Penilai atau yang ditetapkan sebagai Petugas Penilai dengan Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
F. PENILAIAN Dalam Rangka Penggalian Potensi Pajak dan Prosedur Pelaksanaannya

2. Penilaian dilakukan dalam rangka penetapan atas Pajak Bumi dan Bangunan sektor Pertambangan, Perkebunan, Perhutanan dan sektor
lainnya (PBB-P3).
3. Selain penetapan PBB-P3 sebagaimana dimaksud pada angka 1, penilaian dapat dilakukan dalam rangka ekstensifikasi, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan (penegakan hukum).
4. Penilaian dapat dilakukan dalam hal:
a. terdapat peristiwa atau transaksi tanpa pembayaran yang mengandung perubahan nilai dari barang yang menjadi objek atas peristiwa
atau transaksi tersebut dan Wajib Pajak diwajibkan menggunakan Nilai Pasar dalam melakukan pelaporan atas peristiwa atau
transaksi dimaksud sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Contoh: revaluasi aktiva tetap, transaksi tukar menukar harta, pengalihan harta dalam hal terjadi likuidasi ataupun penggabungan
perusahaan, pengalihan harta dalam hal penyertaan modal, kegiatan membangun sendiri, waris, hibah, dan sejenisnya:

b. terdapat transaksi yang diikuti dengan pembayaran dan harga transaksi dapat diuji kewajarannya berdasarkan data pembanding yang
tersedia secara luas.
Contoh: penjualan Barang Kena Pajak berupa aktiva bekas, transaksi jual beli/pengalihan hak atas tanah dan bangunan, sewa gedung,
dan sejenisnya;

c. terdapat biaya yang terkait dengan penggunaan aktiva perusahaan.


Contoh: biaya penyusutan, biaya amortisasi, atau cadangan piutang tak tertagih.
5. Peristiwa atau transaksi yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (antara lain: Pasal 4 ayat (1) huruf d, huruf m, Pasal 4 ayat
(2) huruf d, Pasal 9 ayat (1) huruf c, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 11 ayat (1), Pasal 11A ayat (1), Pasal 18
ayat (3), dan Pasal 19) dan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (antara lain: Pasal 1 angka
17, angka 18, Pasal 2 ayat (1), Pasal 16 C,dan Pasal 16 D) serta Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan (Pasal 6 ayat (1)) yang
memerlukan atau berhubungan dengan Penilaian serta peran Penilaian dalam penggalian potensi pajak atas peristiwa atau transaksi
dimaksud, adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
6. Prosedur pelaksanaan penilaian sebagaimana dimaksud angka 1 (satu), dilakukan:
a. berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam penetapan PBB untuk tiap-tiap sektor.
b. dalam hal ditemukan data terkait potensi pajak lainnya, agar ditindaklanjuti sebagai berikut:
1) menjadi alat keterangan berdasarkan mekanisme produksi data sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
10/PJ/2015.
2) apabila pada saat Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini berlaku belum terdapat aplikasi untuk menindaklanjuti data potensi
tersebut, tindak lanjut dari data potensi menjadi alat keterangan dilakukan secara manual.
7. Prosedur pelaksanaan penilaian dalam rangka kegiatan ekstensifikasi dilakukan sebagai berikut:
a. Pelaksana Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan, melakukan analisis atas data internal dan/atau eksternal yang dimiliki dan/atau
diperoleh untuk mengetahui ada atau tidaknya peristiwa atau transaksi yang dilakukan oleh calon Wajib Pajak,yang berkaitan dengan
Penilaian sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
b. Pelaksana Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan dapat berkoordinasi dengan Penilai untuk menentukan ada/tidaknya indikasi bahwa
Nilai Pasar atau harga transaksi tersebut tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, yang menyebabkan tidak terpenuhinya syarat
subyektif dan obyektif sebagai Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak (PKP).
c. Dalam hal terdapat indikasi bahwa Nilai Pasar atau harga transaksi yang ada tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, Kepala
Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan menugaskan Pelaksana Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan untuk memasukkan data tersebut
dalam Daftar Sasaran Ekstensifikasi.
d. Tindak lanjut atas Daftar Sasaran Ekstensifikasi mengacu pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak Nomor SE-51/PJ/2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Ekstensifikasi.
8. Prosedur pelaksanaan penilaian dalam rangka pengawasan, dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Account Representative Seksi Pengawasan dan Konsultasi II/III/IV atau Pelaksana Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan melakukan
analisis data internal atau eksternal yang dimiliki dan/atau diperoleh sebagaimana diatur dalam SE-10/PJ/2015.
b. Analisis sebagaimana dimaksud pada huruf a bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya peristiwa atau transaksi yang dilakukan
oleh Wajib Pajak yang berkaitan dengan Penilaian sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
ini.
c. Dalam hal terdapat peristiwa atau transaksi yang terjadi, Account Representative Seksi Pengawasan dan Konsultasi II/III/IV atau
Pelaksana Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan melakukan penelitian terkait pelaporan peristiwa atau transaksi tersebut dalam SPT
Tahunan atau SPT Masa yang bersangkutan.
d. Atas peristiwa atau transaksi yang telah dilaporkan dalam SPT Tahunan atau SPT Masa, Account Representative Seksi Pengawasan
dan Konsultasi II/III/IV atau Pelaksana Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan dapat berkoordinasi dengan Penilai untuk menentukan
ada/tidaknya indikasi bahwa Nilai Pasar atau harga transaksi yang dilaporkan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
e. Dalam hal terdapat indikasi bahwa Nilai Pasar atau harga yang dilaporkan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, Kepala
Seksi Pengawasan dan Konsultasi II/III/IV atau Kepala Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan menentukan perlu tidaknya dilakukan
Penilaian, dan menyampaikan usulan penilaian kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
f. Dalam hal usulan disetujui, Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) menerbitkan Surat Tugas Penilaian.
g. Dalam hal diperlukan penelitian lapangan untuk melakukan Penilaian, Kepala KPP menerbitkan Surat Tugas Penelitian Lapangan
dalam rangka Penilaian.
h. Penelitian Lapangan dapat dilakukan oleh Penilai bersama-sama dengan Account Representative atau Pelaksana Seksi Ekstensifikasi
dan Penyuluhan sesuai dengan tata cara pelaksanaan kunjungan (visit).
i. Penilai melakukan penilaian dan menuangkannya ke dalam Laporan Hasil Penilaian sesuai contoh format dalam Lampiran II
sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
j. Terhadap Laporan Hasil Penilaian tersebut ditindaklanjuti dengan:
1) mekanisme permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
39/PJ/2015; atau
2) dalam hal ditemukan data potensi pajak atas Wajib Pajak yang diaministrasikan oleh KPP lain, ditindaklanjuti menjadi alat
keterangan berdasarkan mekanisme produksi data sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ/2015. Apabila
pada saat Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini berlaku namun belum terdapat aplikasi untuk menindaklanjuti data potensi
tersebut, maka tindak lanjut dari data potensi menjadi alat keterangan dilakukan secara manual.
k. Dalam hal diperlukan bantuan penilai, dilaksanakan sesuai Prosedur Permintaan Bantuan Penilai sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IV, V, VI, VII, VIII, dan IX Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
l. Prosedur Penyelesaian Permintaan Bantuan Penilai sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI dan XII Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak ini.
9. Prosedur pelaksanaan penilaian dalam rangka pemeriksaan, dilakukan sebagai berikut:
a. Dalam hal tim pemeriksa memerlukan penilaian, tim pemeriksa KPP/Kanwil/Kantor Pusat dapat meminta bantuan penilai dengan
membuat Nota Dinas atau Surat Permintaan Bantuan Penilai sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Ini.
b. Permintaan Bantuan Penilai dilaksanakan sesuai Prosedur Permintaan Bantuan Penilai sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV,
V, VI, VII, VIII dan IX Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
c. Prosedur Penyelesaian Permintaan Bantuan Penilai sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI dan XII Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak ini.
d. Penilai melakukan penilaian dan menuangkannya ke dalam Laporan Hasil Penilaian sesuai contoh format dalam Lampiran II
sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, serta menyampaikan Laporan Hasil Penilaian tersebut
kepada Tim Pemeriksa.
e. Laporan Hasil Penilaian diperlakukan sebagai data yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan ketentuan yang berlaku mengenai
pemeriksaan pajak.
f. Dalam hal ditemukan data potensi pajak atas wajib pajak yang diadministrasikan oleh KPP lain, ditindaklanjuti menjadi alat
keterangan berdasarkan mekanisme produksi data sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ/2015. Apabila pada
saat Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini berlaku namun belum terdapat aplikasi untuk menindaklanjuti data potensi tersebut,
maka tindak lanjut dari data potensi menjadi alat keterangan dilakukan secara manual.
10. Prosedur pelaksanaan penilaian dalam rangka penyidikan, dilakukan sebagai berikut:
a. Dalam hal Penyidik memerlukan penilaian, Penyidik Kantor Wilayah/Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak dapat meminta bantuan
penilai dengan membuat Nota Dinas atau Surat Permintaan Bantuan Penilai sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran III Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
b. Permintaan Bantuan Penilai dilaksanakan sesuai Prosedur Permintaan Bantuan Penilai sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI,
VII dan IX Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
c. Penerbitan Surat Tugas Penilaian dilaksanakan sesuai Prosedur Penyelesaian Permintaan Bantuan Penilai sebagaimana tercantum
dalam Lampiran XI dan XII Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
d. Penilai melakukan penilaian dan menuangkannya ke dalam Laporan Hasil Penilaian sesuai contoh format dalam Lampiran II
sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, serta menyampaikan Laporan Hasil Penilaian tersebut
kepada Penyidik.
e. Penilai melakukan penilaian dan menuangkannya ke dalam Laporan Hasil Penilaian, serta menyampaikan Laporan Hasil Penilaian
tersebut kepada Penyidik.
f. Laporan Hasil Penilaian diperlakukan sebagai data yang selanjutnya ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
perpajakan.
g. Dalam hal ditemukan data potensi pajak atas wajib pajak yang diadministrasikan oleh KPP lain, ditindaklanjuti menjadi alat
keterangan berdasarkan mekanisme produksi data sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ/2015. Apabila pada
saat Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini berlaku namun belum terdapat aplikasi untuk menindaklanjuti data potensi tersebut,
maka tindak lanjut dari data potensi menjadi alat keterangan dilakukan secara manual.
G. KEGIATAN PENILAIAN UNTUK TUJUAN PERPAJAKAN LAINNYA

1. Penilaian dapat digunakan untuk kegiatan penagihan pajak yaitu sebagai dasar penentuan nilai limit lelang sesuai dengan Pasal 36
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 s.td.d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 dan penentuan
nilai objek sita sesuai dengan Pasal 12 Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
2. Juru Sita Pajak dapat meminta bantuan penilai dengan membuat Nota Dinas atau Surat Permintaan Bantuan Penilai sesuai contoh format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
3. Permintaan Bantuan Penilai dilaksanakan sesuai Prosedur Permintaan Bantuan Penilai sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV dan V
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
4. Prosedur Penyelesaian Permintaan Bantuan Penilai sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI dan XII Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak ini.
5. Hasil penilaian dituangkan dalam Laporan Hasil Penilaian yang digunakan oleh Seksi Penagihan untuk menentukan nilai Objek Sita atau
Nilai Limit Lelang atas barang yang disita.

H. LAIN-LAIN

1. Penilaian dapat dilakukan atas tanah, bangunan, dan objek penilaian lainnya.
2. Pendekatan, metode, dan teknis penilaian dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini, dapat mengacu pada Standar Penilaian Indonesia
(SPI) yang berlaku sepanjang belum diatur dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Agar hasil penilaian dapat ditindaklanjuti dalam rangka peningkatan kepatuhan Wajib Pajak serta pengamanan penerimaan pajak sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, penilai dalam melaksanakan proses penilaian agar menggunakan sumber
data/keterangan/dokumen yang lebih selektif, valid, akurat, berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan.
4. Laporan Hasil Penilaian beserta lampiran data terkait agar didokumentasikan dan disimpan dalam rangka pembentukan Bank Data Nilai
Pasar Properti untuk mendukung pelaksanaan penilaian untuk penggalian potensi dan tujuan perpajakan lainnya oleh Seksi Ekstensifikasi
dan Penyuluhan; Bidang Pendaftaran, Ekstensifikasi dan Penilaian; dan Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian.
5. Dalam hal tidak terdapat Penilai di Kantor Pelayanan Pajak atau diperlukan Penilai lain, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat meminta
bantuan Penilai dari Kantor Wilayah DJP atau Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian.
6. Dalam hal tidak terdapat Penilai di Kantor Wilayah DJP atau diperlukan Penilai lain, Kepala Kantor Wilayah DJP dapat meminta
bantuan Penilai dari Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian.
7. Koordinasi, bimbingan, dan monitoring pelaksanaan Penilaian (appraisal) untuk penggalian potensi pajak dan tujuan perpajakan lainnya
dilakukan oleh:
a. Bidang Data dan Potensi pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak Jakarta Khusus;
b. Bidang Pendaftaran, Ekstensifikasi dan Penilaian pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak selain Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus; atau
c. Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian.
8. Untuk kepentingan monitoring kegiatan Penilaian dalam rangka penggalian potensi, Laporan Hasil Penilaian yang ditindaklanjuti
sebagaimana angka 1 di atas agar direkap sebagaimana contoh format yang tercantum dalam Lampiran XIII Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak ini untuk disampaikan ke Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dengan Standard Operating Procedure (SOP) Tata
Cara Penyampaian Dokumen.
9. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak agar memonitoring tindak lanjut penyelesaian atas Laporan Hasil Penilaian yang direkap dan
disampaikan oleh Kantor Pelayanan Pajak.
I. LAMPIRAN DAN PROSEDUR

1. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penilaian, peristiwa atau transaksi yang diatur, dan peranan penilaian
adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini;
2. Contoh format laporan hasil penilaian adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini;
3. Contoh Format Nota Dinas atau Surat Permintaan Bantuan Penilai adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini;
4. Prosedur permintaan bantuan penilai di Kantor Pelayanan Pajak Pratama adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini;
5. Prosedur permintaan bantuan penilai di Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar/Kantor Pelayanan Pajak Di Lingkungan Kanwil DJP
Jakarta Khusus/Kantor Pelayanan Pajak Madya adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini;
6. Prosedur permintaan bantuan penilai Di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak selain Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus dan Kantor
Wilayah DJP Wajib Pajak Besar adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak ini;
7. Prosedur permintaan bantuan penilai di Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus dan Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar adalah
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak ini;
8. Prosedur permintaan bantuan penilai di Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VIII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak ini;
9. Prosedur permintaan bantuan penilai di Direktorat Intelijen dan Penyidikan adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IX yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak ini;
10. Contoh format surat tugas penilaian adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Direktorat Jenderal Pajak ini;
11. Prosedur penyelesaian permintaan bantuan penilai di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas permintaan dari KPP Pratama adalah
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak ini;
12. Prosedur penyelesaian permintaan bantuan penilai di Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian adalah sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak ini;
13. Contoh format laporan monitoring optimalisasi pemanfaatan penilaian (appraisal) adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran XIII
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak ini.

J. PENUTUP

Surat Edaran Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Demikian Surat Edaran ini disampaikan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 September 2015
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

SIGIT PRIADI PRAMUDITO


NIP. 195909171987091001

Tembusan:

1. Staf Ahli Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak;


2. Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak;
3. Staf Ahli Bidang Pengawasan Pajak;
4. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
5. Para Direktur dan Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 22/PJ/2015

TENTANG

TATA CARA PENERBITAN KEMBALI SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR,


SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR TAMBAHAN,
DAN/ATAU SURAT TAGIHAN PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. UMUM

Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak
dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2013 tentang Pencabutan Beberapa
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Terkait dengan Penerbitan Peraturan Menteri Keuangan di Bidang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, termasuk didalamnya adalah pencabutan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-36/PJ/2010 tentang Prosedur Penerbitan
Kembali Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau Surat Tagihan Pajak, dipandang
perlu menetapkan Tata Cara Penerbitan Kembali Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan (SKPKBT), dan/atau Surat Tagihan Pajak (STP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 74 Tahun 2011.

B. MAKSUD DAN TUJUAN

1. Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dimaksudkan untuk memberikan acuan bagi Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak (Kanwil DJP) dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dalam melaksanakan penerbitan kembali SKPKB, SKPKBT, dan/atau
STP.

2. Tujuan
Surat Edaran ini bertujuan untuk:

a. Memberikan standardisasi pelaksanaan kegiatan penerbitan kembali SKPKB, SKPKBT, dan/atau STP di lingkungan KPP dan
Kanwil DJP;
b. Mewujudkan tertib administrasi piutang pajak.

C. RUANG LINGKUP

Ruang lingkup Surat Edaran ini meliputi prosedur penerbitan kembali SKPKB, SKPKBT, dan/atau STP.

D. DASAR

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.

2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2000;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak.

E. MATERI

1. Penerbitan kembali SKPKB, SKPKBT, dan/atau STP dilakukan oleh Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar pada saat dilakukan
penerbitan kembali atas nama Direktur Jenderal Pajak.
2. Prosedur penerbitan kembali SKPKB, SKPKBT, dan/atau STP adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran I yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
3. Sebelum melakukan penerbitan kembali, Kepala KPP menyampaikan Daftar Nominatif Usulan Penerbitan Kembali SKPKB, SKPKBT,
dan/atau STP beserta Berita Acara Hasil Penelitian Usulan Penerbitan Kembali SKPKB, SKPKBT, dan/atau STP, dalam bentuk hardcopy
dan softcopy kepada Kepala Kanwil DJP atasannya untuk mendapatkan persetujuan.
4. Berita Acara Hasil Penelitian Usulan Penerbitan Kembali SKPKB, SKPKBT, dan/atau STP sebagaimana dimaksud pada angka 3 dilampiri
dengan Rincian Hasil Penelitian SKPKB, SKPKBT, dan/atau STP yang akan Diusulkan untuk Diterbitkan Kembali.
5. Kepala Kanwil DJP harus memberikan putusan atas usulan penerbitan kembali SKPKB, SKPKBT, dan/atau STP sebagaimana dimaksud
pada angka 3 dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya usulan tersebut dengan membuat Putusan atas Usulan
Penerbitan Kembali SKPKB, SKPKBT, dan/atau STP.
6. Terhadap usulan yang disetujui oleh Kepala Kanwil DJP, Kepala KPP menerbitkan kembali SKPKB, SKPKBT, dan/atau STP dalam
jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak persetujuan diterima.
7. Terhadap usulan yang tidak disetujui oleh Kepala Kanwil DJP, Kepala KPP diminta segera menindaklanjuti sesuai dengan penjelasan dan
rekomendasi Kepala Kanwil DJP.
8. Kepala KPP membuat Laporan Penerbitan kembali SKPKB, SKPKBT, dan/atau STP dan mengirimkan kepada Kepala Kanwil DJP paling
lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan penerbitan kembali.
9. Kepala Kanwil DJP melakukan kompilasi laporan sebagaimana dimaksud pada angka 8 dengan membuat Laporan Penerbitan Kembali
SKPKB, SKPKBT, dan/atau STP dan mengirimkan kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya setelah bulan diterimanya laporan penerbitan kembali dari KPP.
10. Kepala Kanwil DJP melakukan evaluasi atas pelaksanaan penerbitan kembali SKPKB, SKPKBT, dan/atau STP berdasarkan kompilasi
laporan sebagaimana dimaksud pada angka 9 dalam tahun berjalan dan melaporkan kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan paling
lambat pada akhir bulan Januari tahun berikutnya.
11. Prosedur penagihan berdasarkan SKPKB, SKPKBT, dan/atau STP hasil penerbitan kembali dilakukan dengan memperhatikan tindakan
penagihan terakhir.
F. FORMULIR DAN STEMPEL

Formulir dan stempel berupa:

1. Daftar Nominatif Usulan Penerbitan Kembali SKPKB, SKPKBT, dan/atau STP;


2. Berita Acara Hasil Penelitian Usulan Penerbitan Kembali SKPKB, SKPKBT, dan/atau STP;
3. Rincian Hasil Penelitian SKPKB, SKPKBT, dan/atau STP yang akan Diusulkan untuk Diterbitkan Kembali;
4. Putusan Atas Usulan Penerbitan Kembali SKPKB, SKPKBT, dan/atau STP;
5. Daftar (Register) Hasil Pencetakan Kembali;
6. Laporan Penerbitan kembali SKPKB, SKPKBT, dan/atau STP yang telah dibuat oleh KPP;
7. Laporan Penerbitan kembali SKPKB, SKPKBT, dan/atau STP yang telah dibuat oleh Kanwil DJP;
8. Surat Konfirmasi Hutang Pajak;
9. Jawaban Surat Konfirmasi Hutang Pajak;
10. Bentuk dan Ukuran Stempel Pengesahan pada SKPKB, SKPKBT, dan/atau STP Hasil Penerbitan Kembali.
Dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.

G. LAIN-LAIN
1. Dengan berlakunya Surat Edaran ini, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-82/PJ./2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-36/PJ/2010 tentang Prosedur Penerbitan Kembali Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau Surat Tagihan Pajak dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
2. Terhadap usulan penerbitan SKPKB, SKPKBT, dan/atau STP yang belum diselesaikan pada saat berlakunya Surat Edaran ini, proses
penyelesaian selanjutnya dapat diteruskan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.

Demikian untuk dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 25 Maret 2015

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

SIGIT PRIADI PRAMUDITO

NIP 195909171987091001

Tembusan:

1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;


2. Para Direktur dan Tenaga Pengkaji di Lingkungan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak;
3. Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan.

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 23/PJ/2015

TENTANG

PETUNJUK TEKNIS PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN


TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. UMUM
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tanggal 22 Desember 2014 tentang
Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, perlu disusun Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tentang
Petunjuk Teknis Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.

B. MAKSUD DAN TUJUAN

1. Maksud

Petunjuk teknis ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan (UPPBP) dan Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) dalam pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.

2. Tujuan

Petunjuk teknis ini disusun agar Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan berjalan secara efektif dan
efisien.

C. RUANG LINGKUP

Petunjuk teknis ini mengatur tentang:

1. Ketentuan umum tentang Pemeriksaan Bukti Permulaan;


2. Pengusulan Pemeriksaan Bukti Permulaan;
3. Penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan;
4. Persiapan Pemeriksaan Bukti Permulaan;
5. Pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka;
6. Pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup;
7. Perkembangan dan pengawasan Pemeriksaan Bukti Permulaan;
8. Kertas Kerja dan Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan;
9. Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan;
10. Tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Penelaahan;
11. Penanganan tindak pidana yang diketahui seketika dan Penyidikan tanpa Pemeriksaan Bukti Permulaan; dan
12. Ketentuan lain-lain dan ketentuan peralihan.

D. DASAR HUKUM

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1994;
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai;
4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2000;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan; dan
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang
Perpajakan.

E. MATERI

Bersama ini disampaikan petunjuk teknis Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan formulir yang
digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat
Edaran ini.

F. PENUTUP

Dengan berlakunya Surat Edaran ini, maka:


1. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-49/PJ/2013 tanggal 24 Oktober 2013 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Bukti
Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dinyatakan tidak berlaku;
2. Pemeriksaan Bukti Permulaan berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan (SPPBP) yang diterbitkan sebelum berlakunya
Surat Edaran ini dan masih belum selesai, proses penyelesaian selanjutnya dilakukan berdasarkan petunjuk teknis Pemeriksaan Bukti
Permulaan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran ini.
3. Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 25 Maret 2015

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

SIGIT PRIADI PRAMUDITO

NIP 195909171987091001
TABEL PERUBAHAN

UNDANG-UNDANG PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA


TABEL PERUBAHAN

UNDANG-UNDANG PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1997 – UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2000

PASAL Undang-Undang No 19 tahun 1997 Undang-Undang No 19 tahun 2000 KET

Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud Dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan : Pasal I
dengan :
1. Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut Angka 1
1. Pajak adalah semua jenis pajak yang oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk
Pasal 1
dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk dan Cukai, dan pajak yang dipungut oleh
Bea Masuk dan Cukai, dan pajak yang Pemerintah Daerah, menurut undang-undang
Cukup jelas
dipungut oleh Pemerintah Daerah, dan peraturan daerah.
menurut peraturan perundang-undangan 2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan
yang berlaku; yang menurut ketentuan peraturan perundang-
2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau undangan perpajakan ditentukan untuk
badan yang menurut peraturan perundang- melakukan kewajiban perpajakan, termasuk
undangan perpajakan ditentukan untuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
melakukan kewajiban perpajakan, 3. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau
termasuk pemungut pajak atau pemotong badan yang bertanggung jawab atas
pajak tertentu; pembayaran pajak, termasuk wakil yang
3. Penanggung Pajak adalah orang pribadi menjalankan hak dan memenuhi kewajiban
atau badan yang bertanggung jawab atas Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan
pembayaran pajak, termasuk wakil yang perundang-undangan perpajakan.
menjalankan hak dan memenuhi 4. Badan adalah sekumpulan orang dan atau
kewajiban Wajib Pajak menurut peraturan modal yang merupakan kesatuan baik yang
perundang-undangan perpajakan; melakukan usaha maupun yang tidak
4. Badan adalah suatu bentuk badan usaha melakukan usaha yang meliputi perseroan
yang meliputi perseroan terbatas, terbatas, perseroan komanditer, perseroan
perseroan komanditer, perseroan lainnya, lainnya, badan usaha milik Negara atau Daerah
badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma,
dengan nama dan dalam bentuk apapun, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
koperasi, yayasan atau organisasi yang organisasi sosial politik, atau organisasi yang
sejenis, lembaga, dana pensiun, bentuk sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan
usaha tetap, serta bentuk usaha lainnya; bentuk badan lainnya.
5. Pejabat adalah pejabat yang berwenang 5. Pejabat adalah pejabat yang berwenang
mengangkat dan memberhentikan Jurusita mengangkat dan memberhentikan Jurusita
Pajak, menerbitkan Surat Perintah Pajak, menerbitkan Surat Perintah Penagihan
Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat
Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat
Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Surat
Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, Penentuan Harga Limit, Pembatalan Lelang,
Surat Perintah Penyanderaan dan surat Surat Perintah Penyanderaan dan surat lain
lain yang diperlukan untuk penagihan yang diperlukan untuk penagihan pajak
pajak sehubungan dengan Penanggung sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak
Pajak tidak melunasi sebagian atau melunasi sebagian atau seluruh utang pajak
seluruh utang pajak menurut peraturan menurut undang-undang dan peraturan daerah.
perundang-undangan yang berlaku; 6. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan
6. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan
penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat
seketika dan sekaligus, pemberitahuan Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan; 7. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri
7. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
Negeri yang daerah hukumnya meliputi tindakan penagihan pajak dilaksanakan.
tempat tindakan penagihan pajak 8. Utang Pajak adalah pajak yang masih harus
dilaksanakan; dibayar termasuk sanksi administrasi berupa
8. Utang Pajak adalah pajak yang masih bunga, denda atau kenaikan yang tercantum
harus dibayar termasuk sanksi dalam surat ketetapan pajak atau surat
administrasi berupa bunga, denda atau sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan
kenaikan yang tercantum dalam surat perundang-undangan perpajakan.
ketetapan pajak atau surat sejenisnya 9. Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan
berdasarkan peraturan perundang- agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak
undangan perpajakan; dan biaya penagihan pajak dengan menegur
9. Penagihan seketika dan sekaligus adalah atau memperingatkan, melaksanakan
tindakan penagihan pajak yang penagihan seketika dan sekaligus,
dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan
Penanggung Pajak tanpa menunggu pencegahan, melaksanakan penyitaan,
tanggal jatuh tempo pembayaran yang melaksanakan penyanderaan, menjual barang
meliputi seluruh utang pajak dari semua yang telah disita.
jenis pajak, masa pajak, dan tahun pajak; 10. Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain
10. Surat Paksa adalah surat perintah yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh
membayar utang pajak dan biaya Pejabat untuk menegur atau memperingatkan
penagihan pajak; kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang
11. Biaya penagihan pajak adalah biaya pajaknya.
pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah 11. Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah
Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan
Lelang, Pembatalan Lelang dan biaya oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak
lainnya sehubungan dengan penagihan tanpa menunggu tanggal jatuh tempo
pajak; pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak
12. Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun
untuk menguasai barang Penanggung Pajak.
Pajak, guna dijadikan jaminan untuk 12. Surat Paksa adalah surat perintah membayar
melunasi utang pajak menurut peraturan utang pajak dan biaya penagihan pajak.
perundang-undangan yang berlaku; 13. Biaya Penagihan Pajak adalah biaya
13. Objek sita adalah barang Penanggung pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah
Pajak yang dapat dijadikan jaminan utang Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman
pajak; Lelang, Pembatalan Lelang, Jasa Penilai dan
14. Lelang adalah setiap penjualan barang di biaya lainnya sehubungan dengan penagihan
muka umum dengan cara penawaran pajak.
harga secara lisan dan atau tertulis melalui 14. Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk
usaha pengumpulan peminat atau calon menguasai barang Penanggung Pajak, guna
pembeli; dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak
15. Kantor Lelang adalah kantor yang menurut peraturan perundang-undangan.
berwenang melaksanakan penjualan 15. Objek Sita adalah barang Penanggung Pajak
secara lelang; yang dapat dijadikan jaminan utang pajak.
16. Risalah Lelang adalah Berita Acara 16. Barang adalah tiap benda atau hak yang dapat
Pelaksanaan Lelang yang dibuat oleh dijadikan objek sita.
Pejabat Lelang atau kuasanya dalam 17. Lelang adalah setiap penjualan barang di muka
bentuk yang ditentukan oleh peraturan umum dengan cara penawaran harga secara
perundang-undangan lelang yang berlaku; lisan dan atau tertulis melalui usaha
17. Pencegahan adalah larangan yang bersifat pengumpulan peminat atau calon pembeli.
sementara terhadap Penanggung Pajak 18. Kantor Lelang adalah kantor yang berwenang
tertentu untuk keluar dari wilayah Negara melaksanakan penjualan secara lelang.
Republik Indonesia berdasarkan alasan 19. Risalah Lelang adalah Berita Acara
tertentu sesuai dengan peraturan Pelaksanaan Lelang yang dibuat oleh Pejabat
perundang-undangan yang berlaku; Lelang atau kuasanya dalam bentuk yang
18. Penyanderaan adalah pengekangan ditentukan oleh ketentuan peraturan
sementara waktu kebebasan Penanggung perundang-undangan lelang.
Pajak dengan menempatkannya di tempat 20. Pencegahan adalah larangan yang bersifat
tertentu; sementara terhadap Penanggung Pajak tertentu
19. Gugatan adalah upaya hukum terhadap untuk keluar dari wilayah Negara Republik
pelaksanaan penagihan pajak dan Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai
kepemilikan barang sebagaimana diatur dengan ketentuan peraturan perundang-
dalam peraturan perundang-undangan undangan.
yang bersangkutan; 21. Penyanderaan adalah pengekangan sementara
20. Penagihan pajak adalah serangkaian waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan
tindakan agar Penanggung Pajak melunasi menempatkannya di tempat tertentu.
utang pajak dan biaya penagihan pajak 22. Gugatan atau Sanggahan adalah upaya hukum
dengan menegur atau memperingatkan, terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau
melaksanakan penagihan seketika dan kepemilikan barang sebagaimana diatur dalam
sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, peraturan perundang-undangan yang
mengusulkan pencegahan, melaksanakan bersangkutan.
penyitaan, melaksanakan penyanderaan, 23. Kepala Daerah adalah Gubernur, Bupati atau
menjual barang yang telah disita; Walikota.
21. Barang adalah tiap benda atau hak yang 24. Pemerintah Daerah adalah pemerintah daerah
dapat dijadikan objek sita; yang wilayah hukumnya meliputi tempat
22. Kepala Daerah adalah Gubernur Kepala tindakan penagihan pajak dilaksanakan.
Daerah Tingkat I, Bupati atau Walikota 25. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik
Madya Kepala Daerah Tingkat II; Indonesia.
23. Pemerintah Daerah adalah pemerintah 26. Hari adalah hari kalender
daerah yang wilayah hukumnya meliputi
tempat tindakan penagihan pajak
dilaksanakan;
24. Menteri adalah Menteri Keuangan
Republik Indonesia.

Pasal 2 (1 Menteri berwenang menunjuk Pejabat untuk (1) Menteri berwenang menunjuk Pejabat untuk Pasal 2
) penagihan pajak pusat. penagihan pajak pusat.
Ayat (1)
(2 Kepala Daerah berwenang menunjuk Pejabat (2) Kepala Daerah berwenang menunjuk Pejabat
) untuk penagihan pajak daerah. untuk penagihan pajak daerah.
Ketentuan ini
(3 Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (3) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
memberi kewenangan
) dan ayat (2) berwenang: dan ayat (2) berwenang :
kepada Menteri
a. mengangkat dan memberhentikan a. mengangkat dan memberhentikan
menunjuk Pejabat
Jurusita Pajak; Jurusita Pajak;
untuk penagihan pajak
b. menerbitkan : b. menerbitkan :
pusat. Yang dimaksud
1) Surat Perintah Penagihan Seketika 1) Surat Teguran, Surat Peringatan
dengan Pejabat untuk
dan Sekaligus; atau surat lain yang sejenis;
penagihan pajak pusat
2) Surat Paksa; 2) Surat Perintah Penagihan Seketika
antara lain Kepala
3) Surat Perintah Melaksanakan dan Sekaligus;
Kantor Pelayanan
Penyitaan; 3) Surat Paksa;
Pajak atau Kepala
4) Surat Perintah Penyanderaan; 4) Surat Perintah Melaksanakan
Kantor Pelayanan
5) Surat Pencabutan Sita; Penyitaan;
Pajak Bumi dan
6) Pengumuman Lelang; 5) Surat Perintah Penyanderaan;
Bangunan. Adapun
7) Pembatalan Lelang; dan 6) Surat Pencabutan Sita;
yang dimaksud
8) surat lain yang diperlukan untuk 7) Pengumuman Lelang;
dengan pajak pusat
pelaksanaan penagihan pajak;
adalah pajak yang
dipungut oleh
Pemerintah Pusat,
8) Surat Penentuan Harga Limit; antara lain, Pajak
9) Pembatalan Lelang; dan Penghasilan, Pajak
10) surat lain yang diperlukan untuk Pertambahan Nilai
pelaksanaan penagihan pajak." Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas
Barang Mewah, Pajak
Bumi dan Bangunan,
Bea Masuk dan Cukai.

Ayat (2)

Kewenangan
menunjuk Pejabat
untuk penagihan pajak
daerah diberikan
kepada Kepala
Daerah. Yang
dimaksud dengan
Pejabat untuk
penagihan pajak
daerah misalnya
Kepala Dinas
Pendapatan Daerah.
Adapun yang
dimaksud dengan
pajak daerah adalah
pajak yang dipungut
oleh Pemerintah
Daerah, antara lain,
Pajak Hotel dan
Restoran, Pajak
Penerangan Jalan, dan
Pajak Kendaraan
Bermotor.

Ayat (3)

Ayat ini mengatur


ketentuan tentang
pemberian
kewenangan kepada
Pejabat di bidang
penagihan pajak untuk
mengangkat dan
memberhentikan
Jurusita Pajak,
menerbitkan Surat
Teguran, Surat
Peringatan atau surat
lain yang sejenis,
Surat Perintah
Penagihan Seketika
dan Sekaligus, Surat
Paksa, Surat Perintah
Melaksanakan
Penyitaan, Surat
Perintah
Penyanderaan, Surat
Pencabutan Sita,
Pengumuman Lelang,
Surat Penentuan
Harga Limit,
Pembatalan Lelang,
atau menerbitkan surat
lain.

Yang dimaksud
dengan surat lain yang
diperlukan untuk
pelaksanaan
penagihan pajak
antara lain surat
permintaan tanggal
dan jadwal waktu
pelelangan ke kantor
lelang, surat
permintaan Surat
Keterangan
Pendaftaran Tanah
(SKPT) kepada Badan
Pertanahan
Nasional/Kantor
Pertanahan, surat
permintaan bantuan
kepada kepolisian atau
surat permintaan
pencegahan.

Pasal 3 (1 Jurusita Pajak diangkat dan diberhentikan oleh 1) Jurusita Pajak bertugas :
) Pejabat; a. melaksanakan Surat
(2 Syarat-syarat, tata cara pengangkatan dan Perintah Penagihan
) pemberhentian sebagai Jurusita Pajak Seketika dan
ditetapkan oleh Menteri. Sekaligus;
b. memberitahukan urat
Paksa;
c. melaksanakan
penyitaan atas barang
Penangung Pajak
berdasarkan Surat
Perintah
Melaksanakan
Penyitaan; dan
d. melaksanakan
penyanderaan
berdasarkan Surat
Perintah
Penyanderaan.

(2)Jurusita Pajak dalam


melaksanakan tugasnya
harus dilengkapi dengan
kartu tanda pengenal Jurusita
Pajak dan harus
diperlihatkan kepada
Penanggung Pajak.
(3)Dalam melaksanakan
penyitaan, Jurusita Pajak
berwenang memasuki dan
memeriksa semua ruangan
termasuk membuka lemari,
laci, dan tempat lain untuk
menemukan objek sita di
tempat usaha, di tempat
kedudukan, atau di tempat
tinggal Penanggung Pajak,
atau di tempat lain yang
dapat diduga sebagai tempat
penyimpanan objek sita.
(4)Dalam melaksanakan
tugasnya, Jurusita Pajak
dapat meminta bantuan
Kepolisian, Kejaksaan,
Departemen yang
membidangi hukum dan
perundang-undangan,
Pemerintah Daerah setempat,
Badan Pertanahan Nasional,
Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut,
Pengadilan Negeri, Bank
atau pihak lain.
(5)Jurusita Pajak menjalankan
tugas di wilayah kerja
Pejabat yang
mengangkatnya, kecuali
ditetapkan lain dengan
Keputusan Menteri atau
Keputusan Kepala Daerah."
Pasal 4 Sebelum memangku jabatannya, Jurusita Pajak
diambil sumpah atau janji menurut agama atau DIHAPUS
kepercayaannya oleh Pejabat yang berbunyi
sebagai berikut :

"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-


sungguh bahwa saya, untuk memangku jabatan
saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak
memberikan atau menjanjikan barang sesuai
kepada siapapun juga".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk


melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatan saya ini, tiada sekali-kali akan menerima
langsung atau tidak langsung dari siapapun juga
sesuatu janji atau pemberian".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia


kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan
ideologi negara, Undang-undang Dasar 1945, dan
segala undang-undang serta peraturan lain yang
berlaku bagi negara Republik Indonesia".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa


akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur,
seksama dan dengan tidak membeda-bedakan
orang dalam melaksanakan kewajiban saya dan
akan berlaku sebaik-baiknya dan seadil-adilnya
seperti layaknya bagi seorang Jurusita Pajak yang
berbudi baik dan jujur, menegakkan hukum dan
keadilan".

Pasal 5 ( Jurusita Pajak bertugas : DIHAPUS Angka 3


1 a. melaksanakan Surat Perintah Penagihan
Pasal 5
) Seketika dan Sekaligus;
b. memberitahukan Surat Paksa;
Ayat (1)
c. melaksanakan penyitaan atas barang
Penanggung Pajak berdasarkan Surat Huruf a
Perintah Melaksanakan Penyitaan; dan
Cukup jelas
d. melaksanakan penyanderaan
berdasarkan Surat Perintah
Huruf b
Penyanderaan;
Yang dimaksud
( Jurusita Pajak dalam melaksanakan tugasnya
dengan
2 harus dilengkapi dengan kartu tanda pengenal
memberitahukan
) Jurusita Pajak dan harus diperlihatkan kepada
Surat Paksa adalah
Penanggung Pajak.
menyampaikan
( Dalam melaksanakan tugasnya, Jurusita Pajak
Surat Paksa secara
3 berwenang memasuki dan memeriksa semua
resmi kepada
) ruangan termasuk membuka lemari, laci, dan
Penanggung Pajak
tempat lain untuk menempatkan objek sita di
dengan pernyataan
tempat usaha dan melakukan penyitaan di
dan penyerahan
tempat kedudukan, atau di tempat tinggal
salinan Surat
Penanggung Pajak, atau di tempat lain yang
Paksa.
dapat diduga sebagai tempat penyimpanan
objek sita Huruf c
( Dalam melaksanakan tugasnya, Jurusita Pajak
4 dapat meminta bantuan Kepolisian, Kejaksaan, Cukup jelas

) Departemen Kehakiman, Pemerintah Daerah


Huruf d
setempat, Badan Pertanahan Nasional, Direktur
Jenderal Perhubungan Laut, Pengadilan Negeri, Jurusita Pajak
Bank atau pihak lain dalam rangka melaksanakan
melaksanakan penagihan pajak. penyanderaan
( )Jurusita Pajak menjalankan tugas di wilayah berdasarkan Surat
5 kerja Pejabat yang mengangkatnya, kecuali Perintah
ditetapkan lain oleh Menteri atau Kepala Penyanderaan dari
Daerah. Pejabat sesuai
dengan izin yang
diberikan oleh
Menteri atau
Gubernur.

Ayat (2)

Ketentuan ini
mengatur
keharusan Jurusita
Pajak dalam
melaksanakan
kewajibannya
dilengkapi dengan
kartu tanda
pengenal yang
diterbitkan oleh
Pejabat. Hal ini
dimaksudkan
sebagai bukti diri
bagi Jurusita Pajak
bahwa yang
bersangkutan
adalah Jurusita
Pajak yang sah dan
betul-betul
bertugas untuk
melaksanakan
tindakan
penagihan pajak.

Ayat (3)

Ketentuan ini
mengatur
kewenangan
Jurusita Pajak
dalam
melaksanakan
penyitaan untuk
menemukan objek
sita yang ada di
tempat usaha,
tempat kedudukan,
atau tempat tinggal
Penanggung Pajak
dengan
memperhatikan
norma yang
berlaku dalam
masyarakat,
misalnya, dengan
terlebih dahulu
meminta izin dari
Penanggung Pajak.
Kewenangan ini
pada hakekatnya
tidak sama dengan
penggeledahan
sebagaimana
dimaksud dalam
Kitab Undang-
undang Hukum
Acara Pidana

Ayat (4)

Jurusita Pajak
dalam
melaksanakan
tugas dapat
meminta bantuan
pihak lain,
misalnya, dalam
hal Penanggung
Pajak tidak
memberi izin atau
menghalangi
pelaksanaan
penyitaan, Jurusita
Pajak dapat
meminta bantuan
Kepolisian atau
Kejaksaan.
Demikian juga
dalam hal
penyitaan terhadap
barang tidak
bergerak seperti
tanah, Jurusita
Pajak dapat
meminta bantuan
kepada Badan
Pertanahan
Nasional atau

Pemerintah Daerah
untuk meneliti
kelengkapan
dokumen berupa
keterangan
kepemilikan atau
dokumen lainnya.
Dalam hal
penyitaan terhadap
kapal laut dengan
isi kotor tertentu
dapat meminta
bantuan kepada
Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut.

Ayat (5)

Pada dasarnya
Jurusita Pajak
melaksanakan
tugas di wilayah
kerja Pejabat yang
mengangkatnya,
namun apabila
dalam suatu kota
terdapat beberapa
wilayah kerja
Pejabat, misalnya,
di Jakarta, maka
Menteri atau
Kepala Daerah
berwenang
menetapkan bahwa
Jurusita Pajak
dapat
melaksanakan
tugasnya di luar
wilayah kerja
Pejabat yang
mengangkatnya.
Contoh : Dalam
hal telah ada
keputusan Menteri,
maka Jurusita
Pajak dari Kantor
Pelayanan Pajak
Jakarta Menteng
dapat
melaksanakan
penyitaan barang
Penanggung Pajak
yang berada di
wilayah kerja
Kantor Pelayanan
Pajak Jakarta Pasar
Minggu.

Pasal 6 (1 Jurusita Pajak melaksanakan penagihan (1) Jurusita Pajak melaksanakan penagihan Angka 4
) seketika dan sekaligus tanpa menunggu seketika dan sekaligus tanpa menunggu Pasal 6
tanggal jatuh tempo pembayaran berdasarkan tanggal jatuh tempo pembayaran berdasarkan
Ayat (1)
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Surat Perintah Penagihan Seketika dan
Sekaligus yang diterbitkan oleh Pejabat Sekaligus yang diterbitkan oleh Peja bat
Pengertian penagihan
apabila : apabila :
seketika dan sekaligus
a. Penanggung Pajak akan meninggalkan a. Penanggung Pajak akan meninggalkan
adalah penagihan
Indonesia untuk selama-lamanya atau Indonesia untuk selama-lamanya atau
pajak tanpa menunggu
berniat untuk itu; berniat untuk itu;
tanggal jatuh tempo
b. Penanggung Pajak menghentikan atau b. Penanggung Pajak
pembayaran terhadap
secara nyata mengecilkan kegiatan memindahtangankan barang yang
seluruh utang pajak
perusahaan, atau pekerjaan yang dimiliki atau yang dikuasai dalam
dan semua jenis pajak,
dilakukannya di Indonesia, ataupun rangka menghentikan atau
Masa Pajak dan Tahun
memindahtangankan barang yang mengecilkan kegiatan perusahaan, atau
Pajak.
dimiliki atau dikuasainya; pekerjaan yang dilakukannya di
c. terdapat tanda-tanda bahwa Indonesia; Penyampaian Surat
Penanggung Pajak akan membubarkan c. terdapat tanda-tanda bahwa Perintah Penagihan
badan usahanya atau berniat untuk itu Penanggung Pajak akan membubarkan Seketika dan
d. badan usaha akan dibubarkan oleh badan usahanya, atau menggabungkan Sekaligus
negara; atau usahanya, atau memekarkan usahanya, dilaksanakan secara
e. terjadi penyitaan atas barang atau memindahtangankan perusahaan langsung oleh Jurusita
Penanggung Pajak oleh pihak ketiga yang dimiliki atau dikuasainya, atau Pajak kepada
atau terdapat tanda-tanda kepailitan. melakukan perubahan bentuk lainnya; Penanggung Pajak.
d. badan usaha akan dibubarkan oleh
(2 Surat Perintah Penagihan Seketika dan Dalam hal diketahui
Negara; atau
) Sekaligus sekurang-kurangnya memuat : oleh Jurusita Pajak
e. terjadi penyitaan atas barang
a. nama Wajib Pajak, atau nama Wajib bahwa barang milik
Penanggung Pajak oleh pihak ketiga
Pajak dan Penanggung Pajak; Penanggung Pajak
atau terdapat tanda tanda kepailitan.
b. Besarnya utang pajak; akan disita oleh pihak
c. perintah untuk membayar; dan (2) Surat Perintah Penagihan Seketika dan ketiga atau terdapat
d. saat pelunasan utang pajak. Sekaligus sekurang-kurangnya memuat : tanda-tanda kepailitan,
a. nama Wajib Pajak, atau nama Wajib atau Penanggung
(3 Surat Perintah Penagihan Seketika dan
Pajak dan Penanggung Pajak; Pajak akan
) Sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan Surat
b. besarnya utang pajak; membubarkan badan
Paksa.
c. perintah untuk membayar; dan usahanya,
d. saat pelunasan pajak. memekarkan usaha,
memindahtangankan
(3) Surat Perintah Penagihan Seketika dan
perusahaan yang
Sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan
dimiliki atau
Surat Paksa."
dikuasainya, Jurusita
Pajak segera
melaksanakan
penagihan seketika
dan sekaligus dengan
melaksanakan
penyitaan terhadap
sebagian besar barang
milik Penanggung
Pajak dimaksud
setelah Surat Paksa
diberitahukan.
Yang dimaksud
dengan terdapat
tanda-tanda
adalah petunjuk
yang kuat bahwa
Penanggung
Pajak mengurangi
atau
menjual/meminda
htangankan
barang-barangnya
sehingga tidak
ada barang yang
akan disita.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas
Pasal 7 ( Surat Paksa berkepala kata-kata "DEMI (1) Surat Paksa berkepala kata-kata "DEMI KEADILAN
Angka 5
1 KEADILAN BERDASARKAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA",
Pasal 7
) KETUHANAN YANG MAHA ESA", mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan
mempunyai kekuatan eksekutorial dan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
Ayat (1)
kedudukan hukum yang sama dengan putusan mempunyai kekuatan hukum tetap.
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan (2) Surat Paksa sekurang-kurangnya harus memuat : Agar tercapai
hukum tetap; a. nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan
efektivitas dan
( Surat Paksa sekurang-kurangnya harus memuat Penanggung efisiensi penagihan
2: b. Pajak; pajak yang didasari
) a. nama Wajib Pajak, atau nama Wajib c. dasar penagihan; Surat Paksa, ketentuan
Pajak dan Penanggung Pajak; d. besarnya utang pajak; dan ini memberikan
b. besarnya utang pajak; dan e. perintah untuk membayar kekuatan eksekutorial
c. perintah untuk membayar. serta memberi
kedudukan hukum
yang sama dengan
grosse akte yaitu
putusan pengadilan
perdata yang telah
mempunyai kekuatan
hukum tetap. Dengan
demikian, Surat Paksa
langsung dapat
dilaksanakan tanpa
bantuan putusan
pengadilan lagi dan
tidak dapat diajukan
banding.
Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 8 Surat Paksa diterbitkan apabila : (1) Surat Paksa diterbitkan apabila : Pasal 8
a. Penanggung Pajak tidak melunasi utang
a. Penanggung Pajak tidak melunasi utang Ayat (1)
pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat
Huruf a dan Huruf b
pembayaran dan kepadanya telah
Teguran atau Surat Peringatan atau surat
diterbitkan Surat Teguran atau Surat
Pada dasarnya Surat
Peringatan atau surat lain yang sejenis;
lain yang sejenis; Paksa diterbitkan
b. terhadap Penanggung Pajak telah
setelah Surat Teguran,
dilaksanakan penagihan seketika dan b. terhadap Penanggung Pajak telah
atau Surat Peringatan,
sekaligus; atau
atau surat lain yang
dilaksanakan penagihan seketika dan
c. Penanggung Pajak tidak memenuhi
sejenis diterbitkan
ketentuan sebagaimana tercantum dalam
sekaligus; atau oleh Pejabat. Dalam
keputusan persetujuan angsuran atau
hal penagihan seketika
penundaan pembayaran pajak. c. Penanggung Pajak tidak memenuhi dan sekaligus Surat
Paksa diterbitkan oleh
ketentuan sebagaimana tercantum dalam
Pejabat baik sebelum
keputusan persetujuan angsuran atau maupun sesudah
penerbitan Surat
penundaan pembayaran pajak. Teguran, atau Surat
Peringatan, atau surat
lain yang sejenis.
(2) Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang
Pengertian surat lain
sejenis diterbitkan apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan
yang sejenis meliputi
surat atau bentuk lain
yang fungsinya sama
dengan Surat Teguran
atau Surat Peringatan
dalam upaya
penagihan pajak
sebelum Surat Paksa
diterbitkan.

Huruf c

Dalam hal-hal
tertentu, misalnya,
karena Penanggung
Pajak mengalami
kesulitan likuiditas,
kepada Penanggung
Pajak atas dasar
permohonannya dapat
diberikan persetujuan
untuk mengangsur
atau menunda
pembayaran pajak
melalui keputusan
Pejabat. Oleh karena
itu, keputusan
dimaksud mengikat
kedua belah pihak.
Dengan demikian,
apabila kemudian
Penanggung Pajak
tidak memenuhi
ketentuan
sebagaimana
tercantum dalam
keputusan persetujuan
angsuran atau
penundaan
pembayaran pajak,
maka Surat Paksa
dapat diterbitkan
langsung tanpa Surat
Teguran, Surat
Peringatan, atau surat
lain yang sejenis.

Ayat (2)

Cukup jelas
Pasal 9 ( )Dalam hal terjadi keadaan di luar kekuasaan (1) Dalam hal terjadi keadaan di luar kekuasaan PejabatAngka
atau 7
1 Pejabat, sebab lain, Surat Paksa pengganti dapat diterbitkan oleh
Pasal 9
1 Surat Paksa pengganti dapat diterbitkan oleh Pejabat karena jabatan.
) Pejabat karena jabatan. (2) Surat Paksa pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat
Ketentuan ini
( ) Surat Paksa pengganti sebagaimana dimaksud (1) mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan
dimaksudkan untuk
2 pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Surat Paksa sebagaimana
mengatur bahwa
eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)."
apabila terjadi
dengan Surat Paksa sebagaimana dimaksud
keadaan di luar
dalam Pasal 7 ayat (1).
kekuasaan Pejabat,
misalnya, kecurian,
kebanjiran, kebakaran,
atau gempa bumi yang
menyebabkan asli
Surat Paksa rusak,
tidak terbaca atau oleh
sebab lain misalnya
Surat Paksa hilang
atau tidak dapat
diketemukan lagi,
Pejabat karena jabatan
dapat menerbitkan
Surat Paksa pengganti
yang mempunyai
kekuatan dan
kedudukan hukum
yang sama dengan
Surat

Pasal 10 (1).Surat Paksa diberitahukan oleh JurusitaPajak Angka 8


dengan pernyataan dan penyerahan Surat Paksa
Pasal 10
kepada Penanggung Pajak.
(2) Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana
Ayat (1)
dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam
Berita Acara yang sekurang-kurangnya Mengingat Surat
memuat hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa mempunyai
Paksa, nama Jurusita Pajak, nama yang kekuatan eksekutorial
menerima, dan tempat pemberitahuan Surat dan kedudukan hukum
Paksa. yang sama dengan
(3) Surat Paksa terhadap orang pribadi grosse akte, yaitu
diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada : putusan pengadilan
a. Penanggung Pajak di tempat tinggal, perdata yang telah
tempat usaha atau di tempat lain yang mempunyai kekuatan
memungkinkan; hukum tetap, maka
b. orang dewasa yang bertempat tinggal pemberitahuan kepada
bersama ataupun yang bekerja di Penanggung Pajak
tempat usaha Penanggung Pajak, oleh Jurusita Pajak
apabila Penanggung Pajak yang dilaksanakan dengan
bersangkutan tidak dapat dijumpai; cara membacakan isi
c. salah seorang ahli waris atau pelaksana Surat Paksa dan kedua
wasiat atau yang mengurus harta belah pihak
peninggalannya, apabila Wajib Pajak menandatangani
telah meninggal dunia dan harta Berita Acara sebagai
warisan belum dibagi; atau pernyataan bahwa
d. para ahli waris, apabila Wajib Pajak Surat Paksa telah
telah meninggal dunia dan harta diberitahukan.
warisan telah dibagi. Selanjutnya salinan
Surat Paksa
(4) Surat Paksa terhadap badan diberitahukan oleh
diserahkan kepada
Jurusita Pajak kepada :
Penanggung Pajak,
a. pengurus, pemegang saham, dan
sedangkan asli Surat
pemilik modal baik di tempat
Paksa disimpan di
kedudukan badan yang bersangkutan,
kantor Pejabat.
di tempat tinggal mereka maupun di
tempat lain yang memungkinkan; atau Ayat (2)
b. pegawai tingkat pimpinan di tempat
Cukup jelas
kedudukan atau tempat usaha badan
yang bersangkutan apabila Jurusita
Ayat (3)
Pajak tidak dapat menjumpai salah
seorang sebagaimana dimaksud pada Terhadap Wajib Pajak
huruf a. yang meninggal dunia
dan meninggalkan
(5) Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, Surat
warisan yang telah
Paksa diberitahukan kepada Hakim Komisaris
dibagi, Surat Paksa
atau Balai Harta Peninggalan, dan dalam hal
diterbitkan dan
Wajib Pajak dinyatakan bubar atau dalam
diberitahukan kepada
likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada
masing-masing ahli
orang atau badan yang di bebani untuk
waris. Surat Paksa
melakukan pemberesan, atau likuidator.
dimaksud memuat
(6) Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang
antara lain, jumlah
kuasa dengan surat kuasa khusus untuk
utang pajak yang telah
menjalankan hak dan kewajiban perpajakan,
dibagi sebanding
Surat Paksa dapat diberitahukan kepada
dengan besarnya
penerima kuasa dimaksud.
warisan yang diterima
(7) Apabila pemberitahuan Surat Paksa
oleh masing-masing
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat
ahli waris. Dalam hal
(4) tidak dapat dilaksanakan, Surat Paksa
ahli waris belum
disampaikan melalui Pemerintah Daerah
dewasa, Surat Paksa
setempat.
diserahkan kepada
(8) Dalam hal Wajib Pajak atau Penanggung Pajak
wali atau
tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat
pengampunya.
usaha, atau tempat kedudukannya,
penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan Ayat (4)
cara menempelkan Surat Paksa pada papan
Huruf a
pengumuman kantor Pejabat yang
menerbitkannya, mengumumkan melalui
Pemberitahuan Surat
media massa, atau cara lain yang ditetapkan
Paksa terhadap badan
oleh Menteri atau Kepala Daerah.
dapat disampaikan :
(9) Dalam hal Surat Paksa harus dilaksanakan di
luar wilayah kerja Pejabat, Pejabat dimaksud -untuk perseroan
meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah terbatas kepada
kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat pengurus meliputi
Paksa, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Direksi, Komisaris,
atau Kepala Daerah. pemegang saham
(10)Pejabat yang diminta bantuan sebagaimana tertentu, dan orang
dimaksud pada ayat (9) wajib membantu dan yang nyata-nyata
memberitahukan tindakan yang telah mempunyai
dilaksanakannya kepada Pejabat yang meminta wewenang ikut
bantuan. menentukan
(11)Dalam hal Penanggung Pajak menolak untuk kebijaksanaan dan
menerima Surat Paksa, Jurusita Pajak atau mengambil
meninggalkan Surat Paksa dimaksud dan keputusan dalam
mencatatnya dalam Berita Acara bahwa menjalankan
Penanggung Pajak tidak mau menerima Surat perseroan. Pengertian
Paksa, dan Surat Paksa dianggap telah Komisaris meliputi
diberitahukan. Komisaris sebagai
orang yang lazim
disebut Dewan
Komisaris dan
Komisaris sebagai
orang perseroan yang
lazim disebut anggota
Komisaris. Yang
dimaksud dengan
pemegang saham
tertentu adalah
pemegang saham
pengendali atau
pemegang saham
mayoritas dari
perseroan terbatas
terbuka dan seluruh
pemegang saham dari
perseroan terbatas
tertutup;
-untuk Bentuk Usaha
Tetap kepada kepala
perwakilan, kepala
cabang atau
penanggung jawab;
-untuk badan usaha
lainnya seperti
persekutuan, firma,
perseroan komanditer
kepada direktur,
pemilik modal atau
orang yang ditunjuk
untuk melaksanakan
dan mengendalikan
serta bertanggung
jawab atas perusahaan
dimaksud;
-untuk yayasan kepada
ketua, atau orang
yang melaksanakan
dan mengendalikan
serta bertanggung
jawab atas yayasan
dimaksud.

Huruf b

Pengertian pegawai
tetap adalah pegawai
perusahaan yang
membidangi
keuangan,
pembukuan,
perpajakan,
personalia, hubungan
masyarakat, atau
bagian umum dan
bukan pegawai harian.

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Yang dimaksud
dengan seorang kuasa
pada ayat ini adalah
orang pribadi atau
badan yang menerima
kuasa khusus untuk
menjalankan hak dan
kewajiban perpajakan.

Ayat (7)

Apabila Jurusita Pajak


tidak menjumpai
seorangpun
sebagaimana
dimaksud dalam ayat
(3) dan ayat (4),
Salinan Surat Paksa
disampaikan kepada
Penanggung Pajak
melalui aparat
Pemerintah Daerah
setempat sekurang-
kurangnya setingkat
Sekretaris Kelurahan
atau Sekretaris Desa
dengan membuat
Berita Acara, yang
selanjutnya Salinan
Surat Paksa dimaksud
akan segera
diserahkan kepada
Penaggung Pajak yang
bersangkutan.

Ayat (8)

Cukup jelas
Ayat (9)

Pada dasarnya apabila


Surat Paksa akan
dilaksanakan di luar
wilayah kerja Pejabat,
Pejabat dimaksud
harus meminta
bantuan kepada
Pejabat lain.
Menyimpang dari
ketentuan tersebut di
atas, apabila di suatu
kota terdapat beberapa
wilayah kerja Pejabat,
dan telah ada
Keputusan Menteri
atau Keputusan
Kepala Daerah,
Pejabat dimaksud
dapat langsung
memerintahkan
Jurusitanya untuk
melaksanakan Surat
Paksa di luar wilayah
kerjanya tanpa harus
meminta bantuan
Pejabat setempat.

Contoh :
Dalam hal telah ada
keputusan Menteri,
maka Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bumi
dan Bangunan Jakarta
Utara dapat langsung
memerintahkan
Jurusitanya untuk
melaksanakan Surat
Paksa di tempat
Penanggung Pajak di
Pasar Minggu Jakarta
Selatan, tanpa harus
meminta bantuan
Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bumi
dan Bangunan Jakarta
Selatan.

Ayat (10)

Cukup jelas
Ayat (11)

Apabila Penanggung
Pajak menolak
menerima Surat Paksa
dengan berbagai
alasan, misalnya,
karena Wajib Pajak
sedang mengajukan
keberatan, salinan
Surat Paksa dimaksud
ditinggalkan di tempat
tinggal, tempat usaha,
atau tempat
kedudukan
Penanggung Pajak dan
dicatat dalam Berita
Acara bahwa
Penanggung Pajak
tidak mau atau
menolak menerima
salinan Surat Paksa.
Dengan demikian,
Surat Paksa dianggap
telah diberitahukan.

Ayat (12)

Cukup jelas

(1) Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan


pernyataan dan penyerahan Salinan Surat Paksa kepada
Penanggung Pajak.
(2) Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dituangkan dalam Berita Acara yang
Pasal 10 sekurang-kurangnya memuat hari dan tanggal
pemberitahuan Surat Paksa, nama Jurusita Pajak, nama
yang menerima, dan tempat pemberitahuan Surat Paksa.
(3) Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh
Jurusita Pajak kepada :
a. Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat
usaha atau di tempat lain yang memungkinkan;
b. orang dewasa yang bertempat tinggal bersama
ataupun yang bekerja di tempat usaha Penanggung
Pajak, apabila Penanggung Pajak yang
bersangkutan tidak dapat dijumpai;
c. salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau
yang mengurus harta peninggalannya, apabila
Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta
warisan belum dibagi; atau
d. para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah
meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi.

(4) Surat Paksa terhadap badan diberitahukan oleh Jurusita


Pajak kepada :
a. pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang,
penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat
kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat
tinggal mereka maupun di tempat lain yang
memungkinkan; atau
b. pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat
usaha badan yang bersangkutan apabila Jurusita
Pajak tidak dapat menjumpai salah seorang
sebagaimana dimaksud dalam huruf a

(5) Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa


diberitahukan kepada Kurator, Hakim Pengawas atau
Balai Harta Peninggalan, dan dalam hal Wajib Pajak
dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa
diberitahukan kepada orang atau badan yang di bebani
untuk melakukan pemberesan, atau likuidator.
(6) Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan
surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakan, Surat Paksa dapat diberitahukan kepada
penerima kuasa dimaksud.
(7) Apabila pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) t
melalui Pemerintah Daerah setempat.
(8) Dalam hal Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak
diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat
kedudukannya, penyampaian Surat Paksa dilaksanakan
dengan cara menempelkan Surat Paksa pada papan
pengumuman kantor Pejabat yang menerbitkannya,
mengumumkan melalui media massa, atau cara lain yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri atau Keputusan
Kepala Daerah.
(9) Dalam hal Surat Paksa harus dilaksanakan di luar wilayah
kerja Pejabat, Pejabat dimaksud meminta bantuan kepada
Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa, kecuali ditetapkan
Kepala Daerah.
(10) Pejabat yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) wajib memb
dilaksanakannya kepada Pejabat yang meminta bantuan.
(11) Dalam hal Penanggung Pajak atau pihak-pihak yang
(12) dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) menolak untuk
menerima Surat Paksa, Jurusita Pajak meninggalkan Surat
Paksa dimaksud dan mencatatnya dalam Berita Acar
bahwa Penanggung Pajak tidak mau menerima Surat Paksa, dan Surat Paksa dianggap telah

Pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak tidak mengakibatkan


Pasal 10
Tata cara pelaksanaan penagihan seketika dan Angka 9
A
sekaligus, dan pelaksanaan Surat Paksa ditetapkan
Pasal 10A
dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala
Daerah."
Cukup jelas

Pasal 11 Pelaksanaan Surat Paksa tidak dapat dilanjutkan DIHAPUS Pasal 11 sudah tidak
digunakan lagi karena
dihapus
Pasal 12 dengan penyitaan sebelum lewat waktu 2 (dua) (1) Apabila utang pajak tidak Angka 10
kali 24 (dua puluh empat) jam setelah Surat Paksa dilunasi Penanggung Pajak
Pasal 12
diberitahukan sebagaimana dimaksud dalam dalam jangka waktu
Pasal 10. sebagaimana dimaksud dalam
Ayat (1)
( Apabila utang pajak tidak dilunasi oleh Pasal 11, Pejabat menerbitkan
1 Penanggung Pajak dalam jangka waktu Surat Perintah Melaksanakan Cukup jelas
) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pejabat Penyitaan.
Ayat (2)
menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan (2) Penyitaan dilaksanakan oleh
Penyitaan. Jurusita Pajak dengan
Kehadiran para saksi
( Penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak disaksikan oleh sekurang-
dimaksudkan untuk
2 dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 kurangnya 2 (dua) orang yang
meyakinkan bahwa
) (dua) orang yang telah dewasa, penduduk telah dewasa, penduduk
pelaksanaan penyitaan
Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan Indonesia, dikenal oleh
dilaksanakan sesuai
dapat dipercaya. Jurusita Pajak, dan dapat
dengan ketentuan
( Setiap melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak dipercaya.
yang berlaku.
3 membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita yang (3) Setiap melaksanakan
) ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung penyitaan, Jurusita Pajak Ayat (3)
Pajak dan saksi-saksi. membuat Berita Acara
( Walaupun Penanggung Pajak tidak hadir, Pelaksanaan Sita yang Berita Acara

4 penyitaan tetap dapat dilaksanakan dengan ditandatangani oleh Jurusita Pelaksanaan Sita

) syarat seorang saksi sebagaimana dimaksud Pajak, Penanggung Pajak dan merupakan

pada ayat (2), berasal dari Pemerintah Daerah saksi-saksi. pemberitahuan kepada

setempat. (3a) Dalam hal Penanggung Pajak Penanggung Pajak dan

( Dalam hal penyitaan dilaksanakan tidak adalah Badan maka Berita masyarakat bahwa

5 dihadiri oleh Penanggung Pajak sebagaimana Acara Pelaksanaan Sita penguasaan barang

) dimaksud pada ayat (4), Berita Acara ditandatangani oleh pengurus, Penanggung Pajak

Pelaksanaan Sita ditandatangani Jurusita Pajak kepala perwakilan, kepala telah berpindah dari

dan saksi-saksi. cabang, penanggung jawab, Penanggung Pajak

( )Berita Acara Pelaksanaan Sita tetap pemilik modal atau pegawai kepada Pejabat. Oleh

6 mempunyai kekuatan mengikat, meskipun tetap perusahaan. karena itu, dalam

Penanggung Pajak menolak menandatangani (4) Walaupun Penanggung Pajak setiap penyitaan,

Berita Acara Pelaksanaan Sita sebagaimana tidak hadir, penyitaan tetap Jurusita Pajak harus

dimaksud pada ayat (3). dapat dilaksanakan dengan membuat Berita Acara

( )Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita dapat syarat salah seorang saksi Pelaksanaan Sita

7 ditempelkan pada barang bergerak atau barang sebagaimana dimaksud dalam secara jelas dan

tidak bergerak yang disita, atau di tempat ayat (2), berasal dari lengkap yang

barang bergerak atau barang tidak bergerak Pemerintah Daerah setempat. sekurang-kurangnya

yang disita berada, dan/atau di tempat-tempat (5) Dalam hal penyitaan memuat hari dan

umum. dilaksanakan tidak dihadiri tanggal, nomor, nama


Jurusita Pajak, nama
( )Atas barang yang disita dapat ditempel atau oleh Penanggung Pajak Penanggung Pajak,
8 diberi segel sita. sebagaimana dimaksud dalam nama dan jenis barang
ayat (4), Berita Acara yang disita, dan
Pelaksanaan Sita tempat penyitaan.
ditandatangani Jurusita Pajak
Ayat (3a)
dan saksi-saksi.
(6) Berita Acara Pelaksanaan Sita
Penandatanganan
tetap mempunyai kekuatan
Berita Acara
mengikat, meskipun
Pelaksanaan Sita :
Penanggung Pajak menolak
menandatangani Berita Acara -untuk perseroan
Pelaksanaan Sita sebagaimana terbatas oleh
dimaksud dalam ayat (3). pengurus meliputi
(7) Salinan Berita Acara Direksi, Komisaris,
Pelaksanaan Sita dapat pemegang saham
ditempelkan pada barang tertentu, dan orang
bergerak atau barang tidak yang nyata-nyata
bergerak yang disita, atau di mempunyai
tempat barang bergerak atau wewenang ikut
barang tidak bergerak yang menentukan
disita berada, dan atau di kebijaksanaan dan
tempat-tempat umum. atau mengambil
(8) Atas barang yang disita dapat keputusan dalam
ditempel atau diberi segel sita." menjalankan
perseroan. Pengertian
Komisaris meliputi
Komisaris sebagai
orang yang lazim
disebut Dewan
Komisaris dan
Komisaris sebagai
orang perseroan yang
lazim disebut anggota
Komisaris. Yang
dimaksud dengan
pemegang saham
tertentu adalah
pemegang saham
pengendali atau
pemegang saham
mayoritas dari
perseroan terbatas
terbuka dan seluruh
pemegang saham dari
perseroan terbatas
tertutup;
-untuk Bentuk Usaha
Tetap oleh kepala
perwakilan, kepala
cabang atau
penanggung jawab;
-untuk badan usaha
lainnya seperti
persekutuan,
perseroan komaditer,
firma oleh direktur,
pemilik modal atau
orang yang ditunjuk
untuk melaksanakan
dan mengendalikan
serta bertanggung
jawab atas perusahaan
dimaksud;
-untuk yayasan oleh
ketua, atau orang
yang melaksanakan
dan mengendalikan
serta bertanggung
jawab atas yayasan
dimaksud.
Penandatanganan ini
dimaksudkan untuk
memberi pengertian
bahwa mereka turut
bertanggung jawab
atas kewajiban badan
usaha tersebut
sehingga barang-
barang milik mereka
juga dapat dijadikan
jaminan utang pajak
(dapat disita).

Ayat (4)

Salah seorang saksi


dari Pemerintah
Daerah setempat,
sekurang-kurangnya
Sekretaris Kelurahan
atau Sekretaris Desa.

Ayat (5)

Dalam pelaksanaan
sita yang tidak
dihadiri oleh
Penanggung Pajak,
Berita Acara
Pelaksanaan Sita
harus memuat alasan
ketidak hadiran
Penanggung Pajak. Di
perlukannya saksi dari
Pemerintah Daerah
setempat berfungsi
sebagai saksi
legalisator. Dengan
demikian, Berita
Acara Pelaksanaan
Sita dimaksud tetap
sah dan mempunyai
kekuatan mengikat.

Ayat (6)

Cukup jelas

Ayat (7)

Pada dasarnya
terhadap barang yang
disita harus di tempeli
salinan Berita Acara
Pelaksanaan Sita,
kecuali jika terdapat
barang yang disita
yang sesuai sifatnya
tidak dapat di tempeli
salinan Berita Acara
Pelaksanaan Sita,
misalnya, uang tunai
atau sebidang tanah.

Ayat (8)

Penempelan atau
pemberian segel sita
pada barang yang
disita dimaksudkan
sebagai pengumuman
bahwa penyitaan telah
dilaksanakan, baik
dihadiri ataupun tidak
dihadiri oleh
Penanggung Pajak.

Pasal 13 Pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak tidak DIHAPUS Pasal 13 sudah tidak
mengakibatkan penundaan pelaksanaan digunakan lagi karena
penyitaan. sudah dihapus
Pasal 14 Angka 11
( Penyitaan dapat dilaksanakan terhadap milik (1) Penyitaan dilaksanakan terhadap barang milik Penanggung
Pasal 14
1 Penanggung Pajak yang berada di tempat Pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat
) tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau kedudukan, atau di tempat lain termasuk yang
Ayat (1)
di tempat lain, termasuk yang penguasaannya penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang
berada di tangan pihak lain atau yang di bebani dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu yang dapat
Tujuan penyitaan
dengan hak tanggungan sebagai jaminan berupa : adalah memperoleh
pelunasan utang tertentu berupa : a. barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang
jaminan pelunasan
a. barang bergerak termasuk mobil, tunai, dan deposito berjangka, tabungan, saldo
utang pajak dari
perhiasan, uang tunai, dan deposito rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang
Penanggung Pajak.
berjangka, tabungan, saldo rekening dipersamakan dengan itu, obligasi saham, atau
Oleh karena itu,
koran, giro, atau bentuk lainnya yang surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan
penyitaan dapat
dipersamakan dengan itu, obligasi, modal pada perusahaan lain; dan atau dilaksanakan terhadap
saham, atau surat berharga lainnya, dan b. barang tidak bergerak termasuk tanah, semua barang
piutang, penyertaan modal pada bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu.
Penanggung Pajak,
perusahaan lain; dan/atau baik yang berada di
(1a) Penyitaan terhadap Penanggung Pajak Badan dapat d
b. barang tidak bergerak termasuk tanah, tempat tinggal, tempat
ilaksanakan terhadap barang milik perusahaan, pengurus,
bangunan, dan kapal dengan isi kotor usaha, tempat
kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab,
tertentu. kedudukan
pemilik modal, baik di tempat kedudukan yang
Penanggung Pajak,
( Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat
atau di tempat lain
2 dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang lain.
maupun yang
) disita diperkirakan cukup untuk melunasi utang (2) Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
penguasaannya berada
pajak dan biaya penagihan pajak. dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang disita
di tangan pihak lain.
( Hak lainnya yang dapat disita selain diperkirakan cukup oleh Jurusita Pajak untuk melunasi
3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur utang pajak dan biaya penagihan pajak. Pada dasarnya
) dengan Peraturan Pemerintah. (3) Hak lainnya yang dapat disita selain sebagaimana penyitaan
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan dilaksanakan dengan
Pemerintah." mendahulukan barang
bergerak, namun
dalam keadaan
tertentu penyitaan
dapat dilaksanakan
langsung terhadap
barang tidak bergerak
tanpa melaksanakan
penyitaan terhadap
barang bergerak.
Keadaan tertentu,
misalnya, Jurusita
Pajak tidak
menjumpai barang
bergerak yang dapat
dijadikan objek sita,
atau barang bergerak
yang di jumpainya
tidak mempunyai
nilai, atau harganya
tidak memadai jika
dibandingkan dengan
utang pajaknya.

Pengertian
kepemilikan atas
tanah meliputi, antara
lain, hak milik, hak
Pasal 15 ( Barang bergerak milik Penanggung Pajak yang (1) Barang bergerak milik Penanggung Pajak Angka 12
1 dikecualikan dari penyitaan adalah : yang dikecualikan dari penyitaan adalah :
Pasal 15
) a. pakaian dan tempat tidur beserta a. pakaian dan tempat tidur beserta
perlengkapannya yang digunakan oleh perlengkapannya yang digunakan
Pengertian makanan
Penanggung Pajak dan keluarga yang oleh Penanggung Pajak dan keluarga
dan minuman
menjadi tanggungannya; yang menjadi tanggungannya;
termasuk obat-obatan
b. persediaan makanan dan minuman b. persediaan makanan dan minuman
yang
untuk keperluan satu bulan beserta untuk keperluan satu bulan beserta
dipergunakan/diminu
peralatan memasak yang berada di peralatan memasak yang berada di
m dalam hal
rumah; rumah;
Penanggung Pajak dan
c. perlengkapan Penanggung Pajak yang c. perlengkapan Penanggung Pajak yang
atau keluarganya
bersifat dinas; bersifat dinas yang diperoleh dari
sakit. Sedangkan obat-
d. buku-buku yang bertalian dengan negara;
obatan untuk
jabatan atau pekerjaan Penanggung d. buku-buku yang bertalian dengan
diperdagangkan tidak
Pajak dan alat-alat yang dipergunakan jabatan atau pekerjaan Penanggung
termasuk dalam obyek
untuk pendidikan, kebudayaan dan Pajak alat-alat yang dipergunakan
yang dikecualikan dari
keilmuan; untuk pendidikan, kebudayaan dan
penyitaan.
e. peralatan dalam keadaan jalan yang keilmuan;
masih digunakan untuk melaksanakan e. peralatan dalam keadaan jalan yang hasil lelang.
pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan masih digunakan untuk melaksanakan
jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp. pekerjaan atau usaha sehari-hari
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); dengan jumlah seluruhnya tidak lebih
dan dari Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta
f. peralatan penyandang cacat yang rupiah); atau
digunakan oleh Penanggung Pajak dan f. peralatan penyandang cacat yang
keluarga yang menjadi tanggungannya. digunakan oleh Penanggung Pajak
dan keluarga yang menjadi
( Perubahan besarnya nilai peralatan
tanggungannya.
2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
) ditetapkan oleh Menteri. (2) Perubahan besarnya nilai peralatan
( Penambahan jenis barang bergerak yang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
3 dikecualikan dari penyitaan sebagaimana e ditetapkan dengan Keputusan Menteri atau
) dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf Keputusan Kepala Daerah.
c, huruf d, dan huruf f diatur dengan Peraturan (2a) Dalam hal barang yang disita mudah rusak
Pemerintah. atau cepat busuk, dikecualikan dari penjualan
secara lelang.
(3) Penambahan jenis barang bergerak yang
dikecualikan dari penyitaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf f diatur dengan
Peraturan Pemerintah."

Pasal 16 Barang yang telah disita dititipkan kepada DIHAPUS Pasal 16 sudah tidak
Penanggung Pajak, kecuali apabila menurut digunakan lagi karena
Jurusita Pajak barang dimaksud perlu disimpan di sudah dihapus
kantor Pejabat atau di tempat lain.
Pasal 17 ( )Penyitaan terhadap deposito berjangka, DIHAPUS Pasal 17 sudah tidak
1 tabungan, saldo rekening koran, giro atau digunakan lagi karena
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu sudah di hapus
dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih
dahulu.
( )Dalam hal penyitaan dilaksanakan terhadap
2 barang yang kepemilikannya terdaftar, salinan
Berita Acara Pelaksanaan Sita diserahkan
kepada instansi tempat kepemilikan barang
dimaksud terdaftar.
( )Dalam hal penyitaan dilaksanakan terhadap
3 barang tidak bergerak yang kepemilikannya
belum terdaftar Jurusita Pajak menyampaikan
salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita kepada
Pemerintah Daerah dan Pengadilan Negeri
setempat untuk diumumkan menurut cara yang
lazim di tempat itu.
Pasal 18 ( Terhadap barang yang telah disita oleh DIHAPUS Pasal 18 sudah tidak
1 Kejaksaan atau Kepolisian sebagai barang bukti digunakan lagi karena
) dalam kasus pidana, Jurusita Pajak sudah dihapus
menyampaikan Surat Paksa dengan dilampiri
surat pemberitahuan yang menyatakan bahwa
barang dimaksud akan disita apabila proses
pembuktian telah selesai dan diputuskan bahwa
barang bukti dikembalikan kepada Penanggung
Pajak.
( )Kejaksaan atau Kepolisian segera
2 memberitahukan kepada Pejabat yang
menerbitkan Surat Paksa agar segera
melaksanakan penyitaan sebelum barang
dimaksud dikembalikan kepada Penanggung
Pajak.
( )Dalam hal barang yang disita oleh Kejaksaan
3 atau Kepolisian telah dikembalikan kepada
Penanggung Pajak tanpa pemberitahuan kepada
Pejabat, penyitaan terhadap barang dimaksud
tetap dapat dilaksanakan.
Pasal 19 ( )Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap (1) Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang diperdagangkan tidak
1 barang yang telah disita oleh Pengadilan Negeri yang telah disita oleh Pengadilan Negeri atau instansi
termasuk
lain dalam obyek
atau instansi lain yang berwenang. yang berwenang. yang dikecualikan dari
( )Terhadap barang yang telah disita (2) Terhadap barang yang telah disita sebagaimana dimaksud
penyitaan.
2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Jurusita dalam ayat (1), Jurusita Pajak menyampaikan Surat Paksa
Angka 13
Pajak menyampaikan Surat Paksa kepada kepada Pengadilan Negeri atau instansi lain yang
Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang.
Pasal 19
berwenang. (3) Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam sidang berikutnya mene
( )Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud jaminan pelunasan utang pajak. Ayat (1)
3 pada ayat (2) dalam sidang berikutnya (4) Instansi lain yang berwenang sebagaimana dimaksud
Ketentuan ini
menetapkan barang yang telah disita dimaksud dalam ayat (2), setelah menerima Surat Paksa menjadikan
dimaksudkan untuk
sebagai jaminan pelunasan utang pajak. barang yang telah disita dimaksud sebagai jaminan pelunas
memberi penegasan
( )Instansi lain yang berwenang sebagaimana an utang pajak.
bahwa terhadap semua
4 dimaksud pada ayat (2), setelah menerima Surat (5) Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang
jenis barang yang
Paksa menjadikan barang yang telah disita menentukan pembagian hasil penjualan barang dimaksud
telah disita oleh
dimaksud sebagai jaminan pelunasan utang berdasarkan ketentuan hak mendahulu Negara untuk
Pengadilan Negeri
pajak. tagihan pajak.
atau instansi lain yang
( )Pengadilan Negeri atau instansi lain yang (6) Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segalaberwenang,
hak tidak
5 berwenang menentukan pembagian hasil mendahulu lainnya, kecuali terhadap : boleh disita lagi oleh
penjualan barang dimaksud berdasarkan a. biaya perkara yang semata-mata disebabkan Jurusita
suatu Pajak.
ketentuan hak mendahulu negara untuk tagihan penghukuman untuk melelang suatu barang Adapun yang
pajak. bergerak dan atau barang tidak bergerak; dimaksud dengan
( )Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi b. biaya yang telah dikeluarkan untuk instansi lain yang
6 segala hak mendahulu lainnya kecuali terhadap menyelamatkan barang dimaksud; berwenang adalah
: c. biaya perkara yang semata-mata disebabkan instansi lain yang juga
a. biaya perkara yang semata-mata pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. berwenang melakukan
disebabkan oleh suatu penghukuman penyitaan, misalnya,
(7) Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
untuk melelang suatu barang bergerak Panitia Urusan
segera disampaikan oleh Pengadilan Negeri kepada Kantor
maupun barang tidak bergerak; Piutang Negara.
Lelang untuk dipergunakan sebagai dasar pembagian
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk
hasil lelang." Ayat (2)
menyelamatkan barang dimaksud; dan
c. biaya perkara yang semata-mata
Penyerahan salinan
disebabkan oleh pelelangan dan
Surat Paksa oleh
penyelesaian suatu warisan.
Jurusita Pajak kepada
Pengadilan Negeri
( Putusan yang telah mempunyai kekuatan
atau instansi lain yang
7 hukum tetap segera disampaikan oleh
berwenang
) Pengadilan Negeri kepada Kantor Lelang untuk
dimaksudkan agar
dipergunakan sebagai dasar pembagian hasil
Pengadilan Negeri
lelang.
atau instansi lain yang
berwenang
menentukan bahwa
penyitaan atas barang
dimaksud juga berlaku
sebagai jaminan untuk
pelunasan utang pajak
yang tercantum dalam
Surat Paksa.

Ayat (3)

Pengadilan Negeri
setelah menerima
salinan Surat Paksa
selanjutnya dalam
sidang berikutnya
menetapkan bahwa
barang yang telah
disita dimaksud juga
sebagai jaminan
pelunasan utang pajak.
Dengan demikian,
berdasarkan penetapan
Pengadilan Negeri
dimaksud pihak lain
yang berkepentingan
dapat mengetahuinya
secara resmi.
Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Ayat ini menetapkan


kedudukan Negara
sebagai kreditur
preferen yang
dinyatakan
mempunyai hak
mendahulu atas
barang-barang milik
Penanggung Pajak
yang akan dijual
kecuali terhadap biaya
perkara yang semata-
mata disebabkan oleh
suatu penghukuman
untuk melelang suatu
barang bergerak dan
atau barang tidak
bergerak, biaya yang
telah dikeluarkan
untuk menyelamatkan
barang dimaksud, atau
biaya perkara yang
semata-mata
disebabkan oleh
pelelangan dan
penyelesaian suatu
warisan. Hasil
penjualan barang-
barang milik
Penanggung Pajak
terlebih dahulu untuk
membayar biaya-biaya
tersebut di atas dan
sisanya dipergunakan
untuk melunasi utang
pajak.

Ayat (7)

Sebagai kelanjutan
dari penetapan
Pengadilan Negeri
yang menentukan
pembagian hasil
penjualan barang
sitaan dengan
memperhatikan hak
mendahulu untuk
tagihan pajak, apabila
putusan dimaksud
kemudian telah
mempunyai kekuatan
hukum tetap,
Pengadilan Negeri
segera mengirimkan
putusannya ke Kantor
Lelang untuk
dipergunakan sebagai
dasar pembagian hasil
lelang.

Pasal 20 ( Dalam hal objek sita berada di luar wilayah Dalam hal objek sita berada diluar wilayah kerja Pejabat
Angka 14
1 kerja Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa, (1) yang menerbitkan Surat Paksa, Pejabat meminta bantuan
Pasal 20
) Pejabat meminta bantuan kepada Pejabat yang kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat
wilayah kerjanya meliputi tempat objek sita objek sita berada untuk menerbitkan Surat Perintah
Ayat (1)
berada untuk menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan terhadap objek sita dimaksud,
Melaksanakan Penyitaan terhadap objek sita kecuali ditetapkan lain oleh Keputusan Menteri atauPada dasarnya apabila
dimaksud, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keputusan Kepala Daerah. objek sita berada di
atau Kepala Daerah. (2) Dalam hal objek sita letaknya berjauhan dengan tempat
luar wilayah kerja
( Dalam hal objek sita letaknya berjauhan dengan kedudukan Pejabat tetapi masih dalam wilayah kerjanya,
Pejabat, Pejabat
2 tempat kedudukan Pejabat tetapi masih dalam Pejabat dimaksud dapat meminta bantuan kepada Pejabat
dimaksud harus
) wilayah kerjanya, Pejabat dimaksud dapat yang wilayah kerjanya juga meliputi tempat objek sita
meminta bantuan
meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah berada untuk menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan
kepada Pejabat lain
kerjanya juga meliputi tempat objek sita berada Penyitaan. untuk menerbitkan
untuk menerbitkan Surat Perintah (3) Pejabat yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud
Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan. dalam ayat (1) dan ayat (2) memberitahukan pelaksanaan
Melaksanakan
( Pejabat yang diminta bantuan sebagaimana Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dimaksud kepada
Penyitaan terhadap
3 dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Pejabat yang meminta bantuan segera setelah penyitaan
objek sita dimaksud.
) memberitahukan pelaksanaan Surat Perintah dilaksanakan dengan mengirimkan Berita Acara Menyimpang dari
Melaksanakan Penyitaan dimaksud kepada Pelaksanaan Sita." ketentuan tersebut di
Pejabat yang meminta bantuan segera setelah atas, apabila di suatu
penyitaan dilaksanakan dengan mengirimkan kota terdapat beberapa
Berita Acara Pelaksanaan Sita. wilayah kerja Pejabat,
dan telah ada
Keputusan Menteri
atau Keputusan
Kepala Daerah,
Pejabat dimaksud
dapat menerbitkan
Surat Perintah
Melaksanakan
Penyitaan dan
memerintahkan
Jurusita Pajak untuk
melaksanakan
penyitaan terhadap
objek sita yang berada
di luar wilayah
kerjanya tanpa harus
meminta bantuan
Pejabat setempat.

Contoh :
Dalam hal telah ada
keputusan Menteri,
maka Jurusita Pajak
Kantor Pelayanan
Pajak Jakarta
Matraman dapat
langsung
melaksanakan
penyitaan terhadap
objek sita yang berada
di wilayah Kantor
Pelayanan Pajak
Jakarta Tanjung Priok
tanpa meminta
bantuan dari Jurusita
Pajak Kantor
Pelayanan Pajak
Jakarta Tanjung Priok.

Ayat (2)

Ketentuan ini
dimaksudkan agar
Pejabat yang
menerbitkan Surat
Paksa dapat meminta
bantuan kepada
Pejabat lain untuk
menerbitkan Surat
Perintah
Melaksanakan
Penyitaan dan
memerintahkan
Jurusita Pajak untuk
melaksanakan
penyitaan terhadap
barang yang berada
jauh dari tempat
kedudukan Pejabat
dimaksud sekalipun
masih berada dalam
wilayah kerjanya.
Misalnya, apabila
Kepala Kantor
Pelayanan Pajak
Perusahaan Negara
dan Daerah di Jakarta
yang wilayah kerjanya
meliputi seluruh
Indonesia akan
melakukan penyitaan
terhadap barang milik
Penanggung Pajak
yang berada di
Kupang, Kepala
Kantor Pelayanan
Pajak Perusahaan
Negara dan Daerah
dapat meminta
bantuan kepada
Kepala Kantor
Pelayanan Pajak
Kupang.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 21 Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan apabila Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan apabila : Angka 15
hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup
a. nilai barang yang disita sebagaimana dimaksud Pasal 21
untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang
dalam Pasal 14 ayat (1) nilainya tidak cukup
pajak.
Ketentuan ini
untuk melunasi biaya penagihan pajak dan
dimaksudkan agar
utang pajak; atau
Jurusita Pajak dapat
b. hasil lelang barang yang telah disita tidak
melaksanakan
cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak
penyitaan terhadap
dan utang pajak."
barang milik
Penanggung Pajak
yang ditemukan atau
diketahui kemudian
apabila nilai barang
yang telah disita
terdahulu tidak cukup
untuk membayar
utang pajak dan biaya
penagihan pajak.
Dengan demikian,
penyitaan dapat
dilaksanakan lebih
dari satu kali sampai
dengan jumlah yang
cukup untuk melunasi
utang pajak dan biaya
penagihan baik
sebelum lelang
maupun setelah lelang
dilaksanakan.
Pasal 22 ( ) Pencabutan sita dilaksanakan apabila (1) Pencabutan sita dilaksanakan apabila PenanggungAngka 16
1 Penanggung Pajak telah melunasi biaya Pajak telah melunasi biaya penagihan pajak dan utang
Pasal 22
penagihan pajak dan utang pajak atau pajak atau berdasarkan putusan pengadilan atau putusan badan peradilan pajak atau diteta
berdasarkan putusan pengadilan atau putusan Kepala Daerah.
Ayat (1)
Badan Penyelesaian Sengketa Pajak atau (2) Pencabutan sita sebagaimana dimaksud dalam ayat
ditetapkan lain oleh Menteri atau Kepala (1) dilaksanakan berdasarkan Surat Pencabutan Sita
Ketentuan ini
Daerah. yang diterbitkan oleh Pejabat. memberi kewenangan
( ) Pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada (3) Dalam hal penyitaan dilaksanakan terhadap barang yang kepemilikannya
kepada Menteri atau terdaftar, tindas
2 ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Surat tempat barang tersebut terdaftar." Kepala Daerah untuk
Pencabutan Sita yang diterbitkan oleh Pejabat. melakukan
pencabutan sita karena
adanya sebab-sebab di
luar kekuasaan
Pejabat yang
bersangkutan,
misalnya, objek sita
terbakar, hilang, atau
musnah. Yang
dimaksud dengan
putusan pengadilan
adalah putusan hakim
dari peradilan umum.
Putusan peradilan
umum, misalnya,
putusan atas
sanggahan pihak
ketiga terhadap
kepemilikan barang
yang disita, sedangkan
putusan badan
peradilan pajak,
misalnya, putusan atas
gugatan Penanggung
Pajak terhadap
pelaksanaan sita.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (2a)

Ketentuan ini
dimaksudkan agar
instansi tempat barang
tersebut terdaftar
mengetahui bahwa
penyitaan terhadap
barang dimaksud telah
dicabut sehingga
penguasaan barang
dikembalikan kepada
Penanggung Pajak.

Contoh :
dalam hal penyitaan
tanah dan bangunan,
tindasan Surat
Pencabutan Sita di
sampaikan kepada
Badan Pertanahan
Nasional/Kantor
Pertanahan.

Pasal 22 ( Penanggung Pajak dilarang : (1) Penanggung Pajak dilarang : Angka 17


1 a. memindahkan hak, a. memindahkan hak,
Pasal 23
) memindahtangankan, menyewakan, memindah tangankan,
meminjamkan, atau merusak barang menyewakan,
Ayat (1)
yang telah disita; meminjamkan,
b. membebani barang yang telah disita menyembunyikan, Karena penguasaan
dengan hak jaminan untuk pelunasan menghilangkan, atau barang yang disita
utang tertentu; merusak barang yang telah beralih dari
c. merusak, mencabut, atau telah disita; Penanggung Pajak
menghilangkan salinan Berita Acara b. membebani barang tidak kepada Pejabat, maka
Pelaksanaan Sita atau segel sita yang bergerak yang telah Penanggung Pajak
telah ditempel pada barang sitaan. disita dengan hak dilarang untuk
tanggungan untuk memindahtangankan,
( Penanggung Pajak yang melanggar ketentuan
pelunasan utang tertentu; menyembunyikan,
2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan
c. membebani barang menghilangkan,
) sanksi pidana sesuai dengan peraturan
bergerak yang telah memindahkan hak
perundang-undangan yang berlaku.
disita dengan fidusia atas barang yang
atau diagunkan untuk disita, misalnya,
pelunasan utang tertentu; dengan cara menjual,
dan atau menghibahkan,
d. merusak, mencabut, atau mewariskan,
menghilangkan segel mewakafkan, atau
sita atau salinan Berita menyumbangkan
Acara Pelaksanaan Sita kepada pihak lain.
yang telah ditempel pada
Selain itu,
barang sitaan.
Penanggung Pajak
(2) dihapus." juga dilarang
membebani barang
yang telah disita
dengan hak
tanggungan untuk
pelunasan utang
tertentu atau
menyewakan.
Larangan dimaksud
berlaku baik untuk
seluruh maupun untuk
sebagian barang yang
disita.

Dalam pengertian
menyembunyikan
termasuk
memindahkan barang
yang disita ke tempat
lain sehingga obyek
sita tidak terletak atau
tidak berada lagi di
tempat sebagaimana
tercantum dalam
Berita Acara
Pelaksanaan Sita.

Ayat (2)

Cukup jelas
Pasal 24 Ketentuan mengenai tata cara penyitaan diatur DIHAPUS Pasal 24 sudah tidak
dengan Peraturan Pemerintah digunakan lagi karena
sudah dIHAPUS
Pasal 25 ( Apabila utang pajak dan/atau biaya penagihan (1) Apabila utang pajak Angka
dan 18 atau biaya

1 pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan, Pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara
Pasal 25
) penyitaan, Pejabat berwenang melaksanakan Lelang.

penjualan secara lelang terhadap barang yang (2) Barang yang disita berupa uang tunai, deposito berjangka,
Ayat (1)
disita melalui Kantor Lelang. tabungan, saldo rekening koran, obligasi, saham, atau

( Barang yang disita berupa uang tunai, deposito, surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada
Sekalipun

2 tabungan, saldo uang di bank atau saldo perusahaan lain, dikecualikan dari penjualan secaraPenanggung
lelang Pajak

) rekening koran, obligasi, saham, atau surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). telah melunasi utang

berharga lainnya, piutang dan penyertaan (3) Barang yang disita sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tetapi
pajak, belum

modal pada perusahaan lain, dikecualikan dari digunakan untuk membayar biaya penagihan pajak melunasi
dan biaya

penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud utang pajak dengan cara : penagihan pajak,

pada ayat (1). a. uang tunai disetor ke Kas Negara atau Kas Daerah;
penjualan secara

( Barang yang disita sebagaimana dimaksud pada b. deposito berjangka, tabungan, saldo rekeninglelang terhadap barang

3 ayat (2) digunakan untuk membayar biaya koran, giro, atau bentuk lainnya yang telah disita tetap

) penagihan pajak dan utang pajak dengan cara c. yang dipersamakan dengan itu, di dapat dilaksanakan.

a. uang tunai disetor ke Kas Negara atau pindahbukukan ke Kas Negara atau Kas Daerah

Kas Daerah; atas permintaan Pejabat kepada Bank yang Ayat (2)

b. deposito berjangka, tabungan, saldo bersangkutan;


Cukup jelas
rekening koran, giro, atau bentuk d. obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang

lainnya yang dipersamakan dengan itu, diperdagangkan di bursa efek dijual di bursa Ayat
efek (3)

dipindahbukukan ke rekening Kas atas permintaan Pejabat;


Huruf a
Negara atau Kas Daerah atas e. obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang
Cukup jelas
permintaan Pejabat kepada Bank yang tidak diperdagangkan di bursa efek segera dijual
Huruf b
bersangkutan; oleh Pejabat;
c. obligasi, saham, atau surat berharga f. piutang dibuatkan berita acara persetujuan
Pemindah bukuan
lainnya yang diperdagangkan di bursa tentang pengalihan hak menagih dari Penanggung
objek sita yang
efek dijual di bursa efek atas permintaan Pajak kepada Pejabat;
tersimpan di bank
Pejabat; g. penyertaan modal pada perusahaan lain dibuatkan
berupa deposito
d. obligasi, saham, atau surat berharga akte persetujuan pengalihan hak menjual dari
berjangka, tabungan,
lainnya yang tidak diperdagangkan di Penanggung Pajak kepada Pejabat.
saldo rekening koran,
bursa efek segera dijual oleh Pejabat;
giro, atau bentuk
(4) Dalam hal penjualan yang dikecualikan dari lelang,
e. piutang dibuatkan berita acara
lainnya yang
biaya penagihan pajak ditambah 1% (satu persen) dari
persetujuan tentang pengalihan hak
dipersamakan dengan
hasil penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
menagih dari Penanggung Pajak kepada
itu dilaksanakan
(5) Ketentuan mengenai tata cara penjualan barang yang
Pejabat;
dengan mengacu
dikecualikan dari penjualan secara lelang sebagaimana
f. penyertaan modal pada perusahaan lain
kepada ketentuan
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan
dibuatkan akte persetujuan pengalihan
mengenai rahasia
Pemerintah."
hak menjual dari Penanggung Pajak
bank sesuai dengan
kepada Pejabat.
peraturan perundang-
undangan yang
( Apabila pihak-pihak sebagaimana dimaksud
berlaku.
4 pada ayat (3) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e,
) dan huruf f tidak melaksanakan kewajibannya,
Huruf c
dikenakan sanksi pidana sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Cukup jelas
( Ketentuan mengenai tata cara penjualan barang
Huruf d
5 yang dikecualikan dari penjualan secara lelang
) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
Cukup jelas
dengan Peraturan Pemerintah.
Huruf e

Cukup jelas

Huruf f

Cukup jelas

Ayat (4)

Mengingat
pelaksanaan
penagihan pajak
sampai penjualan
barang sitaan
mengalami proses
yang panjang, rumit
dan penuh resiko
maka biaya penagihan
pajak sebesar 1% (satu
persen) dari hasil
penjualan merupakan
insentif bagi Jurusita
Pajak.
Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 26 ( Penjualan secara lelang terhadap barang yang (1) Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita Angka 19
1 disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1)
Pasal 26
) ayat (1) dilaksanakan sekurang-kurangnya 14 dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah
(empat belas) hari setelah penyitaan. pengumuman lelang melalui media massa.
Ayat (1)
( Pejabat bertindak sebagai penjual atas barang (1a) Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud dalam
2 yang disita mengajukan permintaan lelang ayat (1) dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari
Ketentuan ini
) kepada Kantor Lelang sebelum lelang setelah penyitaan. dimaksudkan untuk
dilaksanakan. (1b) Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan
memberi kesempatan
( Pejabat atau yang mewakilinya menghadiri 1 (satu) kali dan untuk barang tidak bergerak dilakukan 2
kepada Penanggung
3 pelaksanaan lelang untuk menentukan dilepas (dua) kali. Pajak melunasi utang
) atau tidaknya barang yang dilelang dan (1c) Pengumuman lelang terhadap barang dengan nilai paling
pajaknya sebelum
menandatangani asli Risalah Lelang. banyak Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) tidak
pelelangan terhadap
( harus diumumkan melalui media massa. barang yang disita
Pejabat dan Jurusita Pajak tidak diperbolehkan
4 (2) Pejabat bertindak sebagai dilaksanakan.
penjual
Sesuai atas
membeli barang sitaan yang dilelang.
) mengajukan permintaan dengan lelang
ketentuan kepad
( Larangan terhadap Pejabat dan Jurusita Pajak sebelum lelang dilaksanakan. dalam peraturan
5 untuk membeli barang sitaan yang dilelang (3) Pejabat atau yang mewakilinya menghadiri lelang setiap
) berlaku juga terhadap istri, keluarga sedarah pelaksanaan lelang untuk menentukan di lepas atau penjualan secara
dan semenda dalam keturunan garis lurus, serta tidaknya barang yang dilelang dan menandatanganilelang
asli harus didahului
anak angkat. Risalah Lelang. dengan Pengumuman
( Pejabat dan Jurusita Pajak yang melanggar (4) Pejabat dan Jurusita Pajak tidak diperbolehkan membeli
Lelang.
6 ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) barang sitaan yang dilelang.
Ayat (1a)
) dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan (5) Larangan terhadap Pejabat dan Jurusita Pajak untuk
perundang-undangan yang berlaku. membeli barang sitaan yang dilelang, berlaku juga terha
Cukup jelas
dap istri, keluarga sedarah dan semenda dalam keturunan
garis lurus, serta anak angkat. Ayat (1b)
(6) Pejabat dan Jurusita Pajak yang melanggar ketentuan
Dalam
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dikenakan sanksi hal barang
tidak bergerak yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Perubahan besarnya nilai barang yang tidak harus akan dilelang
bersama-sama barang
diumumkan melalui media massa sebagaimana dimaksud
bergerak,
dalam ayat (1c) ditetapkan dengan Keputusan Menteri atau
Keputusan Kepala Daerah." Pengumuman Lelang
dilakukan 2 (dua) kali
untuk barang tidak
bergerak, 1 (satu) kali
bersama-sama barang
bergerak pada
pengumuman
pertama, sehingga
penjualan barang
bergerak dapat
didahulukan.

Ayat (1c)

Pengertian tidak harus


diumumkan melalui
media massa misalnya
dengan selebaran atau
pengumuman yang
ditempelkan di tempat
umum, misalnya di
kantor kelurahan atau
di papan pengumuman
kantor Pejabat.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Kehadiran Pejabat
atau yang
mewakilinya dalam
pelaksanaan lelang
diperlukan untuk
menentukan di lepas
atau tidaknya barang
yang dilelang apabila
harga penawaran yang
diajukan oleh calon
pembeli lelang lebih
rendah dari harga limit
yang ditentukan.
Selain itu, kehadiran
Pejabat atau yang
mewakilinya juga
diperlukan untuk
menghentikan lelang
apabila hasil lelang
sudah cukup untuk
melunasi biaya
penagihan pajak dan
utang pajak.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 27 (1) Lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun keberatanAngka 20


yang diajukan oleh Wajib Pajak belum memperoleh
( Lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun Pasal 27
keputusan keberatan.
1 keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak
(2) Lelang tetap dapat dilaksanakan tanpa dihadiri oleh
Ayat (1)
) belum memperoleh keputusan keberatan.
Penanggung Pajak.
(
Lelang tetap dapat dilaksanakan tanpa dihadiri (3) Lelang tidak dilaksanakan apabila Penanggung PajakMengingat bahwa
2
oleh Penanggung Pajak. telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak,
lelang merupakan
)
atau berdasarkan putusan pengadilan, atau putusan badan
tindak lanjut eksekusi
( Lelang tidak dilaksanakan apabila Penanggung
peradilan pajak, atau objek lelang musnah." dari Surat Paksa yang
3 Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya
kedudukannya sama
) penagihan pajak, atau berdasarkan putusan
dengan putusan
pengadilan, atau putusan Badan Penyelesaian
pengadilan yang telah
Sengketa Pajak, atau objek lelang musnah.
mempunyai kekuatan
hukum tetap, maka
sekalipun Wajib Pajak
mengajukan keberatan
dan belum
memperoleh
keputusan, lelang
tetap dapat
dilaksanakan.

Ayat (2)

Karena penguasaan
barang yang disita
telah berpindah dari
Penanggung Pajak
kepada Pejabat, maka
Pejabat yang
bersangkutan
mempunyai
wewenang untuk
menjual barang yang
disita dimaksud.
Mengingat
Penanggung Pajak
yang memiliki barang
yang disita telah
diberitahukan bahwa
barang yang disita
akan dijual secara
lelang pada waktu
yang telah ditentukan,
lelang tetap dapat
dilaksanakan
walaupun tanpa
dihadiri oleh
Penanggung Pajak.

Ayat (3)

Pada dasarnya lelang


tidak dilaksanakan
apabila Penanggung
Pajak telah melunasi
utang pajak dan biaya
penagihan pajak.
Namun, dalam hal
terdapat putusan
pengadilan yang
mengabulkan gugatan
pihak ketiga atas
kepemilikan barang
yang disita, atau
putusan badan
peradilan pajak yang
mengabulkan gugatan
Penanggung Pajak
atas pelaksanaan
penagihan pajak, atau
barang sitaan yang
akan dilelang musnah
karena terbakar atau
bencana alam, lelang
tetap tidak
dilaksanakan
walaupun utang pajak
dan biaya penagihan
pajak belum dilunasi.

Pasal 28 ( Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu (1) Hasil Lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk Angka 21

1 untuk membayar biaya penagihan pajak yang membayar biaya penagihan pajak yang belum dibayar dan
Pasal 28
) belum dibayar dan sisanya untuk membayar sisanya untuk membayar utang pajak.

utang pajak. (1a) Dalam hal penjualan secara lelang, biaya penagihan pajak
Ayat (1)
( Dalam hal hasil lelang sudah mencapai jumlah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditambah 1%

2 yang cukup untuk melunasi biaya penagihan (satu persen) dari pokok lelang. Cukup jelas

) pajak dan utang pajak, pelaksanaan lelang (2) Dalam hal hasil lelang sudah mencapai jumlah yang
Ayat (1a)
dihentikan walaupun barang yang akan dilelang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang

masih ada. pajak, pelaksanaan lelang dihentikan oleh pejabat


mengingat
( Sisa barang beserta kelebihan uang hasil lelang walaupun barang yang akan dilelang masih ada.
pelaksanaan
3 dikembalikan oleh Pejabat kepada Penanggung (3) Sisa barang beserta kelebihan uang hasil lelang
penagihan pajak
) Pajak segera setelah pelaksanaan lelang. dikembalikan oleh Pejabat kepada Penanggung Pajak
sampai penjualan
( Pejabat yang lalai melaksanakan ketentuan segera setelah pelaksanaan lelang.
barang sitaan secara
4 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) Pejabat yang lalai melaksanakan ketentuan sebagaimana lelang mengalami
) (3), dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3), dikenakan sanksi
proses yang panjang,
perundang-undangan yang berlaku. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
rumit dan penuh
( Hak Penanggung Pajak atas barang yang telah (5) Hak Penanggung Pajak atas barang yang telah dilelang
resiko maka biaya
5 dilelang berpindah kepada pembeli dan berpindah kepada pembeli dan kepadanya diberikanpenagihan pajak
) kepadanya diberikan Risalah Lelang yang Risalah Lelang yang merupakan bukti otentik sebagai
sebesar 1% (satu
merupakan bukti otentik sebagai dasar dasar pendaftaran dan pengalihan hak." persen) dari pokok
pendaftaran dan pengalihan hak. lelang merupakan
insentif bagi Jurusita
Pajak.

Ayat (2)

Tujuan utama lelang


adalah untuk melunasi
biaya penagihan pajak
dan utang pajak
dengan tetap memberi
perlindungan kepada
Penanggung Pajak
agar lelang tidak
dilaksanakan secara
berlebihan. Selain itu,
ketentuan ini
dimaksudkan untuk
melindungi
Penanggung Pajak
agar Pejabat tidak
berbuat sewenang-
wenang dalam
melakukan penjualan
secara lelang. Sisa
barang sitaan beserta
kelebihan uang hasil
lelang dikembalikan
oleh Pejabat kepada
Penanggung Pajak
segera setelah
dibuatnya Risalah
Lelang sebagai tanda
bahwa lelang telah
selesai dilaksanakan.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Risalah Lelang antara


lain, memuat
keterangan tentang
barang sitaan telah
terjual. Sebagai syarat
pengalihan hak dari
Penanggung Pajak
kepada pembeli lelang
dan juga sebagai
perlindungan hokum
terhadap hak pembeli
lelang, kepadanya
harus diberikan
Risalah Lelang yang
berfungsi sebagai akte
jual beli yang
merupakan bukti
otentik sebagai dasar
pendaftaran dan
pengalihan hak.

Pasal 29 Pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap DIHAPUS Pasal 29 sudah tidak
Penanggung Pajak digunakan lagi karena
sudah dihapus
Pasal 30 yang mempunyai jumlah utang pajak sekurang- DIHAPUS Pasal 30 sudah tidak
kurangnya sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus digunakan lagi karena
juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam sudah dihapus
melunasi utang pajak.
( Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam
1 Pasal 29 hanya dapat dilakukan berdasarkan
) keputusan pencegahan yang diterbitkan oleh
Menteri atas permintaan Pejabat atau atasan
Pejabat yang bersangkutan.
( Keputusan pencegahan memuat sekurang-
2 kurangnya :
) a. identitas Penanggung Pajak yang
dikenakan pencegahan;
b. alasan untuk melakukan pencegahan;
dan
c. jangka waktu pencegahan.

( Jangka waktu pencegahan sebagaimana


3 dimaksud pada ayat (2) huruf c paling lama 6
) (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk
selama-lamanya 6 (enam) bulan.
( Keputusan pencegahan sebagaimana dimaksud
4 pada ayat (1) disampaikan kepada Penanggung
) Pajak yang dikenakan pencegahan, Menteri
Kehakiman, Pejabat yang memohon
pencegahan, atasan Pejabat yang bersangkutan,
dan Kepala Daerah setempat.
( Pencegahan dapat dilaksanakan terhadap
5 beberapa orang sebagai Penanggung Pajak
) Wajib Pajak badan atau ahli waris
Pasal 31 Pencegahan terhadap Penanggung Pajak tidak DIHAPUS Pasal 30 sudah tidak
mengakibatkan di hapusnya utang pajak dan digunakan lagi karena
terhentinya pelaksanaan penagihan pajak. sudah dihapus

Pasal 32 Pencegahan dilaksanakan berdasarkan peraturan DIHAPUS Pasal 32 sudah tidak


perundang- digunakan lagi karena
sudah dihapus
Pasal 33 undangan yang berlaku. DIHAPUS Pasal 33 sudah tidak
( Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap digunakan lagi karena
1 Penanggung Pajak yang mempunyai utang sudah dihapus
) pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang
pajak.
( Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat
2 (1) hanya dapat dilaksanakan berdasarkan Surat
) Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh
Pejabat setelah mendapat izin tertulis dari
Menteri atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat
I.
( Masa penyanderaan paling lama 6 (enam) bulan
3 dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya
) 6 (enam) bulan.
( Surat Perintah Penyanderaan memuat sekurang-
4 kurangnya :
) a. identitas Penanggung Pajak;
b. alasan penyanderaan;
c. izin penyanderaan;
d. lamanya penyanderaan; dan
e. tempat penyanderaan.

( Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam


5 hal Penanggung Pajak sedang beribadah, atau
) sedang mengikuti sidang resmi, atau sedang
mengikuti Pemilihan Umum.
( Besarnya jumlah utang pajak sebagaimana
6 dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal 29
) dapat diubah dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 34 ( Penanggung Pajak yang disandera di lepas : DIHAPUS Pasal 34 sudah tidak
1 a. apabila utang pajak dan biaya penagihan digunakan lagi karena
) pajak telah dibayar lunas; sudah dihapuskan
b. apabila jangka waktu yang ditetapkan
dalam Surat Perintah Penyanderaan itu
telah terpenuhi;
c. berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum
tetap; atau
d. berdasarkan pertimbangan tertentu dari
Menteri atau Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I.

( Sebelum Penanggung Pajak di lepas


2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
) huruf c, dan huruf d, Pejabat segera
memberitahukan secara tertulis kepada tempat
penyanderaan sebagaimana tercantum dalam
Surat Perintah Penyanderaan.
( Penanggung Pajak yang di sandera dapat
3 mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan
) penyanderaan hanya kepada Pengadilan Negeri.
( Dalam hal gugatan Penanggung Pajak
4 sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
) dikabulkan dan putusan pengadilan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, Penanggung
Pajak dapat memohon rehabilitasi nama baik
dan ganti rugi atas masa penyanderaan yang
telah dijalaninya.
( Besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud
5 pada ayat (4) adalah Rp.100.000,00 (seratus
) ribu rupiah) setiap hari.
( Perubahan besarnya nilai ganti rugi
6 sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan
) oleh Menteri.
( Penanggung Pajak tidak dapat mengajukan
7 gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan
) setelah masa penyanderaan berakhir.
Pasal 35 Penyanderaan terhadap Penanggung Pajak tidak DIHAPUS Pasal 35 sudah tidak
mengakibatkan hapusnya utang pajak dan digunakan lagi karena
terhentinya pelaksanaan penagihan pajak. sudah dihapuskan

Pasal 36 Ketentuan mengenai tempat penyanderaan, tata DIHAPUS Pasal 36 sudah tidak
cara penyanderaan, digunakan lagi karena
sudah dihapuskan
Pasal 37 rehabilitasi nama baik Penanggung Pajak, dan (1) Gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan Surat
Angka 22
pemberian ganti rugi diatur dengan Peraturan Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau
Pasal 37
Pemerintah. Pengumuman Lelang hanya dapat diajukan kepada badan
( Gugatan Penanggung Pajak terhadap peradilan pajak.
Ayat (1)
1 pelaksanaan Surat Paksa, sita, atau lelang hanya (1a) Dalam hal gugatan Penanggung Pajak sebagaimana
) dapat diajukan kepada Badan Penyelesaian dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Penanggung Pajak
Ketentuan ini
Sengketa Pajak. dapat memohon pemulihan nama baik dan ganti rugi
dimaksudkan untuk
( Gugatan Penanggung Pajak sebagaimana kepada Pejabat. memberikan hak
2 dimaksud pada ayat (1) diajukan dalam jangka (1b) Besarnya ganti rugi kepada sebagaimana
Penanggung
) waktu 14 (empat belas) hari sejak Surat Paksa, (1a) paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pajak untuk
sita, atau pengumuman lelang dilaksanakan. (1c) Perubahan besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud
mengajukan gugatan
( Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam ayat (1b) ditetapkan dengan Keputusan Menteri atau
kepada badan
3 dan dalam Pasal 34 ayat (3) tidak menunda Keputusan Kepala Daerah. peradilan pajak dalam
) pelaksanaan penagihan pajak. (2) Gugatan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud hal
dalam
Penanggung Pajak
ayat (1) diajukan dalam jangka waktu 14 (empat belas)
tidak setuju dengan
hari sejak Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakanpelaksanaan
Penyitaan, atau Pengumuman Lelang dilaksanakan. penagihan pajak yang
(3) dihapus." meliputi pelaksanaan
Surat Paksa, Surat
Perintah
Melaksanakan
Penyitaan atau
Pengumuman Lelang.

Ayat (1a)

Permohonan ganti
rugi diajukan oleh
Penanggung Pajak
yang gugatannya
dikabulkan kepada
Pejabat tempat
pelaksanaan Surat
Paksa, Surat Perintah
Melaksanakan
Penyitaan atau
Pengumuman Lelang
dilakukan. Pemulihan
nama baik dan ganti
rugi yang diberikan
hanya dalam bentuk
uang.

Ayat (1b)

Cukup jelas

Ayat (1c)

Cukup jelas

Ayat (2)

Jangka waktu 14
(empat belas) hari
untuk mengajukan
gugatan terhadap
Surat Paksa dihitung
sejak pemberitahuan
Surat Paksa kepada
Penanggung Pajak,
untuk Surat Perintah
Melaksanakan
Penyitaan dihitung
sejak pembuatan
Berita Acara
Pelaksanaan Sita, dan
untuk Pengumuman
Lelang dihitung sejak
diumumkan. Dengan
demikian, lelang tidak
boleh dilaksanakan
sebelum lewat 14
(empat belas) hari
sejak Pengumuman
Lelang. Apabila dalam
jangka waktu
dimaksud Penanggung
Pajak tidak
mengajukan gugatan,
maka hak Penanggung
Pajak untuk
menggugat dinyatakan
gugur.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 38 ( Gugatan pihak ketiga terhadap kepemilikan (1) Sanggahan pihak ketiga Angka 23
1 barang yang disita hanya dapat diajukan kepada terhadap kepemilikan barang
Pasal 38
) Pengadilan Negeri. yang disita hanya dapat
( Pengadilan Negeri yang menerima surat diajukan kepada Pengadilan
Ayat (1)
2 gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Negeri.
) memberitahukan secara tertulis kepada Pejabat. (2) Pengadilan Negeri yang Cukup jelas
( Pejabat menangguhkan pelaksanaan penagihan menerima surat sanggahan
Ayat (2)
3 pajak hanya terhadap barang yang digugat sebagaimana dimaksud
) kepemilikannya sejak menerima pemberitahuan dalam ayat (1)
Cukup jelas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2). memberitahukan secara
( Gugatan pihak ketiga terhadap kepemilikan tertulis kepada Pejabat. Ayat (3)
4 barang yang disita tidak dapat diajukan setelah (3) Pejabat menangguhkan
) lelang dilaksanakan. pelaksanaan penagihan pajak Cukup jelas

hanya terhadap barang yang


Ayat (4)
disanggah kepemilikannya
sejak menerima Pada dasarnya pihak
pemberitahuan sebagaimana ketiga dapat
dimaksud dalam ayat (2). mengajukan
sanggahan terhadap
(4) Sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita tidak dapat diajukan se
kepemilikan barang
yang disita oleh
Jurusita Pajak melalui
proses perdata.
Namun, apabila
Pejabat Lelang telah
menunjuk seorang
pembeli sebagai
pemenang lelang
dalam proses lelang
yang sedang
berlangsung, maka
sanggahan tidak dapat
diajukan lagi terhadap
kepemilikan barang
yang telah terjual
dimaksud. Hal ini
dimaksudkan untuk
memberikan kepastian
hukum dan
melindungi
kepentingan pembeli
lelang karena kepada
pihak ketiga telah
diberikan kesempatan
yang cukup untuk
mengajukan
sanggahan sebelum
lelang dilaksanakan.
Pasal 39 ( Penanggung Pajak dapat mengajukan (1) Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan Angka 24
1 permohonan pembetulan atau penggantian pembetulan atau penggantian kepada Pejabat terhadap
Pasal 39
) kepada Pejabat terhadap Surat Perintah Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang
Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, sejenis, Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus,
Ayat (1)
Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Surat Paksa, Surat Perintah
Perintah Penyanderaan, dan Pengumuman Melaksanakan Penyitaan, Surat Perintah Penyanderaan,
Ketentuan ini
Lelang yang dalam penerbitannya terdapat Pengumuman Lelang dan Surat Penentuan Harga Limit
mengatur pembetulan
kesalahan atau kekeliruan. yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau atas kesalahan atau
( Pejabat karena jabatan dapat membetulkan kekeliruan. kekeliruan dalam
2 Surat Perintah Penagihan Seketika dan (1a) Pejabat dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak
penulisan nama,
) Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah tanggal diterima permohonan sebagaimana dimaksud
alamat, Nomor Pokok
Melaksanakan Penyitaan, Surat Perintah dalam ayat (1), harus memberi keputusan atas permohonan
Wajib Pajak, jumlah
Penyanderaan, dan Pengumuman Lelang yang yang diajukan. utang pajak, atau
dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau (1b) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksudketerangan
dalam lainnya
kekeliruan. ayat (1a) Pejabat tidak memberikan keputusan, yang tercantum dalam
permohonan Penanggung Pajak dianggap dikabulkanSurat
dan Teguran, Surat
( Tindakan pelaksanaan penagihan pajak
penagihan ditunda untuk sementara waktu. Perintah Penagihan
3 dilanjutkan setelah kesalahan atau kekeliruan
(2) Pejabat karena jabatan dapat membetulkan Surat Teguran
Seketika dan
) dibetulkan oleh Pejabat.
atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis, Surat
Sekaligus. Surat
Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa,
Paksa, Surat Perintah
Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Perintah
Melaksanakan
Penyanderaan, Pengumuman Lelang dan Surat Penentuan
Penyitaan, Surat
Harga Limit yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan
Perintah
atau kekeliruan. Penyanderaan,
(3) Tindakan pelaksanaan penagihan pajak dilanjutkan setelah
Pengumuman Lelang,
kesalahan atau kekeliruan dibetulkan oleh Pejabat. atau Surat Penentuan
(4) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Harga Limit yang
ayat (1) ditolak, tindakan pelaksanaan penagihan pajak dilanjutkan
permohonannya
sesuai jangka waktu semula." diajukan oleh
Penanggung Pajak
kepada Pejabat.
Dalam hal
Penanggung Pajak
mengajukan
permohonan
penggantian surat-
surat dimaksud, baik
karena hilang maupun
rusak, atau karena
alasan lain,
penggantiannya
diberikan dalam
bentuk salinan atau
turunan yang
ditandatangani oleh
Pejabat.

Ayat (1a)

Cukup jelas

Ayat (1b)

Pengertian ditunda
untuk sementara
waktu adalah ditunda
hingga Pejabat
membetulkan
kesalahannya atau
mengganti dokumen
penagihan yang dalam
penerbitannya terdapat
kesalahan atau
kekeliruan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 40 ( )Apabila setelah pelaksanaan lelang Wajib (1) Apabila setelah pelaksanaan Angka 25
1 Pajak memperoleh keputusan keberatan atau lelang Wajib Pajak
Pasal 40
putusan banding yang mengakibatkan utang memperoleh keputusan
pajak menjadi berkurang sehingga keberatan atau putusan
Ayat (1)
menimbulkan kelebihan pembayaran pajak, banding yang
Wajib Pajak tidak dapat meminta atau tidak mengakibatkan utang pajak Ketentuan ini
berhak menuntut pengembalian barang yang menjadi berkurang atau nihil dimaksudkan untuk
telah dilelang. sehingga menimbulkan memberi kepastian
( )Pejabat mengembalikan kelebihan pembayaran kelebihan pembayaran pajak, hukum dan
2 pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Wajib Pajak tidak dapat perlindungan hak bagi
dalam bentuk uang sesuai dengan peraturan meminta atau tidak berhak pembeli barang sitaan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku. menuntut pengembalian melalui penjualan
barang yang telah dilelang. secara lelang.
(2) Pejabat mengembalikan
Ayat (2)
kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud
Dalam hal barang
dalam ayat (1) dalam bentuk
yang dimiliki oleh
uang sesuai dengan
Penanggung Pajak
ketentuan peraturan
telah dilelang dan
perundang-undangan
kemudian diperoleh
perpajakan."
keputusan keberatan
atau putusan banding
yang mengakibatkan
utang pajak menjadi
berkurang atau nihil
sehingga
menimbulkan
kelebihan pembayaran
pajak, kelebihan
pembayaran dimaksud
hanya dapat
dikembalikan dalam
bentuk uang.

Pasal 41 Penagihan pajak tidak dilaksanakan apabila telah (1) Penagihan pajak tidak Angka 26 dilaksanakan a
kedaluwarsa sebagaimana diatur dalam peraturan sebagaimana diatur dalam undang-undang dan peraturan daerah.
Pasal 41
perundang-undangan perpajakan yang berlaku. (2) Pengajuan keberatan atau permohonan
kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
Cukup jelas
(3) Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
dalam Pasal 37 ayat (1) tidak m
pajak."
Pasal 41 (1) Penanggung Pajak Angka 27
A yang melanggar
Pasal 41A
ketentuan
sebagaimana
Ayat (1)
dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1) Cukup jelas
dipidana dengan
Ayat (2)
pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun
Yang dimaksud
dan denda paling
dengan pihak-pihak
banyak Rp
dalam Pasal 25 ayat
12.000.000,00 (dua
(3) huruf b adalah
belas juta rupiah).
bank termasuk
(2) Apabila pihak-pihak
lembaga keuangan
sebagaimana
lainnya, huruf c
dimaksud dalam
adalah bursa efek,
Pasal 25 ayat (3) huruf d adalah
huruf b, huruf c, Pejabat, huruf e
huruf d, huruf e, dan adalah Notaris dan
huruf f tidak debitur, dan huruf f
melaksanakan adalah Notaris.
kewajibannya,
Ayat (3)
dipidana dengan
pidana penjara paling
Cukup jelas
lama 4 (empat) bulan
2 (dua) minggu dan Pasal II
denda paling banyak
Cukup jelas
Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
Pasal III
(3) Setiap orang yang
dengan sengaja tidak Cukup jelas
menuruti perintah
atau permintaan yang
dilakukan menurut
undang-undang, atau
dengan sengaja
mencegah,
menghalang-halangi
atau menggagalkan
tindakan dalam
melaksanakan
ketentuan undang-
undang yang
dilakukan oleh
Jurusita Pajak,
dipidana dengan
pidana penjara paling
lama 4 (empat) bulan
2 (dua) minggu dan
denda paling banyak
Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta
rupiah)."

PASAL II

Undang-Undang ini dapat disebut "Undang-undang


Perubahan atas Undang-Undang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa."

PASAL III

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1


Januari 2001.Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Pasal 42 (1) Tindakan pelaksanaan penagihan pajak Pasal 42 sudah tidak
berdasarkan Undang-undang Nomor 19 digunakan lagi karena
Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak sdah dihapuskan
Negara Dengan Surat Paksa (Lembaran
Negara Tahun 1959 Nomor 63 dan
Tambahan Lembaran Negara Nomor
1850) yang belum dapat diselesaikan pada
saat berlakunya Undang-undang ini
ditetapkan sebagai berikut :
a. dalam hal Surat Paksa sudah
diterbitkan tetapi belum diberitahukan
kepada Penanggung Pajak yang
bersangkutan, Surat Paksa dimaksud
dinyatakan batal
b. dalam hal Surat Paksa sudah
diberitahukan kepada Penanggung
Pajak yang bersangkutan, pelaksanaan
sita yang belum diproses diselesaikan
berdasarkan Undang-undang ini;
DIHAPUS
c. dalam hal Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan sudah
diterbitkan tetapi belum dilaksanakan,
Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan dimaksud dinyatakan batal
demi hukum;
d. dalam hal lelang sudah diproses tetapi
belum diselesaikan, tetap diselesaikan
berdasarkan Undang-undang Nomor
19 Tahun 1959 tentang Penagihan
Pajak Negara Dengan Surat Paksa
(Lembaran Negara Tahun 1959
Nomor 63 dan Tambahan Lembaran
Negara Nomor 1850)
Gugatan Penanggung Pajak terhadap
tindakan pelaksanaan penagihan pajak
sebelum tanggal 1 Januari 1998 diajukan
kepada badan peradilan yang
bersangkutan.
Pasal 43 (1) Dengan berlakunya Undang-undang ini, Pasal 34 sudah tidak
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 digunakan lagi karena
tentang Penagihan Pajak Negara Dengan sudah dihapuskan
Surat Paksa (Lembaran Negara Tahun
1959 Nomor 63 dan Tambahan Lembaran
Negara Nomor 1850) dinyatakan tidak
berlaku.
(2) Dengan berlakunya Undang-undang ini, DIAHPUS

semua peraturan pelaksanaan di bidang


penagihan pajak tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-
undang ini atau belum diganti dengan
peraturan pelaksanaan yang baru.

Pasal 44 Undang-undang ini dinamakan Undang-undang Pasal 44 sudah tidak


Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. digunakan lagi karena
DIHAPUS
sudah dihapuskan

Pasal 45 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal Pasal 45 sudah tidak
diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, digunakan lagi karena
memerintahkan pengundang Undang-undang ini sudah dihapuskan
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara DIHAPUS

Republik Indonesia.
SE - PP

PERATURAN PEMERINTAH PAJAK TENTANG PENAGIHAN DENGAN SURAT PAKSA

TAHUN NOMOR PERATURAN TENTANG KETERANGAN


2000 NOMOR 135 TAHUN 2000 TATA CARA PENYITAAN DALAM MASIH BERLAKU
RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN
SURAT PAKSA
2000 NOMOR 136 TAHUN 2000 TATA CARA PENJUALAN BARANG MASIH BERLAKU
SITAAN YANG DIKECUALIKAN DARI
PENJUALAN SECARA LELANG DALAM
RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN
SURATPAKSA

2000 NOMOR 137 TAHUN 2000 TEMPAT DAN TATA CARA MASIH BERLAKU
PENYANDERAAN, REHABILITASI NAMA
BAIK PENANGGUNG PAJAK, DAN
PEMBERIAN GANTI RUGI DALAM
RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN
SURAT PAKSA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

TAHUN NOMOR PERATURAN TENTANG KETERANGAN


PERUB AHAN ATAS MASIH BERLAKU
2006 NOMOR 23/PMK.03/2006 KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 85/KMK.03/2002 TENTANG
TATA CARA PENYITAAN
KEKAYAAN PENANGGUNG PAJAK
BERUPA
PIUTANG DALAM RANGKA
PENAGIHAN
PAJAK DENGAN SURAT PAKSA
2008 NOMOR 24/PMK.03/2008 TATA CARA PELAKSANAAN PERATURAN INI TELAH
PENAGIHAN DENGAN SURAT DIGANTI ATAU DI RUBAH
PAKSA DENGAN PERATURAN
DAN PELAKSANAAN PENAGIHAN MENTERI KEUANGAN NO
SEKETIKA DAN SEKALIGUS 85/PMK.03/2010

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

TAHUN NOMOR PERATURAN TENTANG KETERANGAN


TATA CARA PENYITAAN TELAH MENGALAMI
2000 NOMOR 85/KMK.03/2002 KEKAYAAN PENANGGUNG PERUBAHAN/PENYEMPURNAAN
PAJAK BERUPA PIUTANG
DALAM RANGKA PENAGIHAN
PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

2000 Nomor 561/KMK.04/2000 TENTANG TATA CARA TELAH DICABUT


PELAKSANAAN PENAGIHAN
SEKETIKA DAN SEKALIGUS DAN
PELAKSANAAN SURAT PAKSA;

2000 NOMOR 562/KMK.04/2000 SYARAT, TATA CARA MASIH BERLAKU


PENGANGKATAN DAN
PEMBERHENTIAN JURUSITA
PAJAK

PERATURAN DIREKTUR JENDRAL PAJAK TENTANG PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

TAHUN NOMOR PERATURAN TENTANG KETERANGAN


2009 NOMOR 25/BC/2009 BENTUK DAN ISI SURAT MASIH BERLAKU
PENETAPAN, SURAT KEPUTUSAN,
SURAT TEGURAN, DAN SURAT
PAKSA

2014 NOMOR PER - 23/PJ/2014 PERUBAHAN PERATURAN MASIH BERLAKU


DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-27/PJ/2012 TENTANG
BENTUK DAN ISI NOTA
PENGHITUNGAN,
BENTUK DAN ISI SURAT
KETETAPAN PAJAK SERTA
BENTUK DAN ISI
SURAT TAGIHAN PAJAK

2016 NOMOR PER -04/PJ/2016 SURAT , DAFTAR,FORMULIR,DAN MASIH BERLAKU


LAPORAN YANG DIGUNAKAN
DALAM PELAKSANAAN P
PENAGIHAN PAJAK DENGAN
SURAT PAKSA

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDRAL PAJAK TENTANG PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

TAHUN NOMOR PERATURAN TENTANG KETERANGAN


TATA CARA PENYITAAN MASIH BERLAKU
2000 NOMOR KEP - 459/PJ./2002 KEKAYAAN PENANGGUNG
PAJAK BERUPA PIUTANG
DALAM RANGKA PENAGIHAN
PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

2002 NOMOR KEP - 21/PJ/2002 TATA CARA PEMBERITAHUAN MENGALAMI


PELAKSANAAN PENAGIHAN PERUBAHAN/PENYEMPURNAAN
PAJAK DENGAN SURAT PAKSA
DAN PENYITAAN DILUAR
WILAYAH KERJA PEJABAT
YANG BERWENANG
MENERBITKAN SURAT PAKSA

2013 NOMOR : KEP - 11/PJ/2013 PERUBAHAN KESEBELAS ATAS TELAH MENGALAMI


KEPUTUSAN DIREKTUR PERUBAHAN ATAU
JENDERAL PAJAK PENYEMPURNAAAN
NOMOR KEP-297/PJ/2002
TENTANG PELIMPAHAN
WEWENANG
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
KEPADA PARA PEJABAT DI
LINGKUNGAN
DIREKTORAT JENDERAL
PAJAK

SURAT EDARAN JENDRAL PAJAK TENTANG PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

TAHUN NOMOR PERATURAN TENTANG KETERANGAN


2000 NOMOR SE - 08/PJ.75/2000 TATA CARA PENERBITAN ULANG SURAT MASIH BERLAKU
TEGURAN, PENERBITAN SURAT PAKSA
PENGGANTI,
DAN PEMBETULAN ATAU PENGGANTIAN
SURAT-SURAT DALAM RANGKA
PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK
2000 NOMOR SE - 09/PJ.75/2000 TATA CARA PEMBERITAHUAN TELAH DICABUT
PELAKSANAAN PELAKKSANAAN
PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT
PAKSA DAN PENYITAAN DI LUAR
WILAYAH KERJA PEJABAT YANG
BERWENANG MENERBITKAN SURAT
PAKSA
2000 NOMOR SE - 48/PJ.6/2000 TATA CARA PENERBITAN SURAT MASIH BERLAKU
TAGIHAN PAJAK PBB
DAN TATA CARA PELAKSANAAN
PENAGIHAN PBB DAN BPHTB
2001 NOMOR SE - 14/PJ.24/2001 PENGANTAR KEPUTUSAN DIREKTUR TELAH DICABUT
JENDERAL PAJAK NOMOR KEP-
645/PJ./2001 TENTANG
BENTUK, JENIS, DAN KODE KARTU,
FORMULIR, SURAT, DAN BUKU YANG
DIGUNAKAN DALAM
PELAKSANAANPENAGIHAN PAJAK
DENGAN SURAT PAKSA

2005 NOMOR SE - 01/PJ.75/2005 KEBIJAKAN PENAGIHAN PAJAK TAHUN MASIH BERLAKU


2005

2007 NOMOR SE - 05/PJ.04/2007 PENGANTAR PERATURAN DIREKTUR MASIH BERLAKU


JENDERAL PAJAK NOMOR PER-109/PJ/2007
TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR
KEP-627/PJ/2001 TENTANG TATA CARA
PELAKSANAAN PEMBLOKIRAN DAN
PENYITAAN HARTA KEKAYAAN

PENANGGUNG PAJAK YANG TERSIMPAN


PADABANK DALAM RANGKA PENAGIHAN
PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

2009 NOMOR SE - 03/PJ.04/2009 PELAKSANAAN PEMBLOKIRAN HARTA MASIH BERLAKU


KEKAYAAN PENANGGUNG PAJAK YANG
TERSIMPAN PADA BANK MILIK
PENANGGUNG PAJAK YANG NAMANYA
TIDAK
TERCANTUM DALAM SURAT PAKSA
2009 NOMOR SE - 108/PJ/2009 KEBIJAKAN PENAGIHAN PAJAK TAHUN MASIH BERLAKU
2005

2010 NOMOR SE - 50/PJ/2010 KEBIJAKAN PENAGIHAN PAJAK MASIH BERLAKU

2013 NOMOR : SE - 37/PJ/2013 PERUBAHAN DATA PADA SISTEM MASIH BERLAKU


INFORMASI DI DIREKTORAT JENDERAL
PAJAK

2014 NOMOR : SE - 07/PJ/2014 PEDOMAN PELAKSANAAN PENGALIHAN MASIH BEERLAKU DAN YANG
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN MERUPAKAN PERUBAHAN ATAS
PERDESAAN DAN PERKOTAAN SEBAGAI SE NO-17/PJ/2012
PAJAK DAERAH

2015 NOMOR SE - 22/PJ/2015 TATA CARA PENERBITAN KEMBALI MASIH BERLAKU


SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG
BAYAR,
SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG
BAYAR TAMBAHAN,
DAN/ATAU SURAT TAGIHAN PAJAK

2015 NOMOR SE - 23/PJ/2015 PETUNJUK TEKNIS PEMERIKSAAN BUKTI MASIH BERLAKU


PERMULAAN
TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

2015 NOMOR SE - 61/PJ/2015 OPTIMALISASI PENILAIAN (APPRAISAL) MASIH BERLAKU


UNTUK PENGGALIAN POTENSI PAJAK DAN
TUJUAN PERPAJAKAN LAINNYA

Anda mungkin juga menyukai