Perkembangan SLB
Tahun 1770 : SLB pertama untuk tunarungu di Paris didirikan oleh Charles- Michel de
l’Epee
Tahun 1784 : SLB pertama untuk tunanetra di Paris didirikan oleh Valentin Hauy
Pertengahan abad ke-19 : SLB untuk tunagrahita di Eropa dan Amerika dikembangkan
oleh Edward Seguin
Tahun 1960-an : SLB telah didirikan di (semua) negara di dunia dengan model serupa:
eksklusif
Tahun 1901 : Dr. Westhoff mendirikan Blinden Instituut di Bandung (sekarang Wyata
Guna dan SLB/A Bandung)
Tahun 1927: SLB pertama untuk tunagrahita didirikan di Bandung
Tahun 1930: SLB pertama untuk tunarungu didirikan di Bandung
Tahun 2013 : SLB yang ada di 34 provinsi di Indonesia ialah sebanyak 2.095 sekolah.
Tahun 1960-an: Integrasi siswa tunanetra di sekolah menengah umum dimulai atas
inisiatif individual
Tahun 1978-1986: Proyek Pendidikan Terpadu bagi anak tunanetra dengan bantuan
teknis HKI
Tahun 1999: Pemerintah memperkenalkan gagasan pendidikan inklusif dengan bantuan
teknis dari Universitas Oslo, melalui seminar dan lokakarya
Tahun 2002: Rintisan sekolah inklusif di beberapa kota
SEJARAH
Pendidikan Inklusi adalah pendidikan yang didasarkan pada hak asasi dan model
sosial, sistem yang harus disesuaikan dengan anak, bukan anak yang menyesuaikan
dengan sistem. Pendidikan Inklusi dapat dipandang sebagai pengerakan yang
menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan dan prinsip-prinsip utama yang berkaitan
dengan anak, pendidikan, keberagaman dan diskriminasi, proses partisipasi dan
sumber-sumber yang tersedia
Namun kenyataannya belum seperti itu, baik dari sisi jumlah maupun mutu. Tentu hal
ini belum menggembirakan bagi anak-anak spesial dan para orang tuanya.
Untuk diketahui, pendidikan untuk anak yang berkebutuhan khusus telah dicantumkan
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Undang-undang tersebut memberi tentu saja memberikan ruang
gerak baru bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus.
Dalam pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus
merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang
memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa
satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah
yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Terdapat beberapa Sekolah ABK di kecamatan Gunungputri namun tidak semuanya
termasuk sekolah inklusif. Untuk memaksimalkan fungsi dari Sekolah ABK maka dari
itu dicanangkan sebuah pelatihan pelayanan dan pendampingan ABK terhadap para
guru yang belum dapat menerapkan program sekolah inklusif.
rinci seperti deklarasi Jomtien dan Konvensi PBB tentang Hak Anak.
Alfian, Pendidikan …
72
yang wajar. Sehingga sistem pendidikan harus mampu
lalu baju tersebut terlalu kecil sehingga sempit dan tidak cukup di
badan
MANAJEMEN PENDIDIKAN INKLUSI
Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari
negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia,Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun1960-an,
Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk
mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk
diterapkan di Amerika Serikat. Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata
terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia
tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok
yang menghasilkan deklarasi "education for all". Implikasi dari statement ini mengikat bagi semua
anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus)
mendapatkan layanan pendidikan secara memadai.
Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensipendidikan
di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal
dengan "the Salamanca statement on inclusive education" Di Inggris pun tahun 1991 mulai
diperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya pergeseran model
pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif.
Di Indonesia sejarah pendidikan inklusi dapat diamati dari upaya pemerintah dalam melakukan
pemerataan layanan pendidikan untuk menuntaskan wajib belaja pendidikan dasar sembilan tahun
yang berkualitas bagi semua anak di Idonesia. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
No.002/U/1986 menunjukan usaha pengembangan sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusif
yang melayani Penuntasan Wajib Belajar bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus. Kepmen
tersebut sekaligus juga sebagai implementasi pernyataan untuk mencerdaskan bangsa yang selaras
dengan adanya pesan dari Pendidikan Untuk Semua (Education for all), sabagai satu usaha
meningkatkan partisipasi anak-anak bersekolah, (pemerataan kesempatan pendidikan) termasuk
anak berkebutuhan khusus. Juga, sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31
ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab IV pasal 5
ayat 1 pun dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual
dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang
memiliki hambatan, kelainan dan/atau memiliki kemampuan potensi kecerdasan dan bakat istimewa
berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam layanan
pendidikan. Secara tegas, Surat edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No 380/C.66/MN/2003, 20
Januari 2003 perihal pendidikan Inklusif juga menekankan bahwa disetiap Kabupaten/Kota di
seluruh Indonesia sekurang-kurangnya harus ada 4 sekolah penyelenggara inklusi yaitu dijenjang
SD,SMP,SMA dan SMK masing-masing minimal satu sekolah.