Salah satu kekhawatiran yang sering melanda seorang investor adalah terkait
benar tidaknya informasi keuangan yang disajikan oleh laporan keuangan
perusahaan. Contohnya, pada Kuartal II 2014, laporan keuangan PT Astra
International, Tbk (ASII) menunjukkan bahwa perusahaan membukukan laba
bersih Rp11.8 trilyun selama Januari – Juni 2014. Pertanyaannya, dari mana
kita tahu bahwa ASII benar-benar membukukan laba sebesar itu? Bagaimana
jika kenyataannya adalah bahwa laba ASII ternyata lebih kecil dari Rp11.8
trilyun, atau sebaliknya lebih besar?
Terkait hal ini, penulis jadi ingat dengan seorang kawan yang merupakan
pemilik dari salah satu perusahaan terbesar di Indonesia, namun tidak
terdaftar di bursa, dimana kami sempat mengobrol soal laporan keuangan ini
(kalau saya sebutkan nama PT-nya anda pasti tahu, namun beliau keberatan
jika nama perusahaannya disebut). Beliau bercerita bahwa, sebagai pemilik
dari perusahaan besar yang memiliki banyak sekali anak perusahaan, maka
bukanlah pekerjaan yang mudah untuk merekap data-data pendapatan, laba
bersih, dll dari anak-anak usahanya tersebut, untuk kemudian
dikonsolidasikan ke induknya. Alhasil, bahkan beliau sendiri pun tidak bisa
menjamin bahwa data-data yang disajikan di laporan keuangannya adalah
benar, dan itu bukan karena mereka (pihak manajemen) sengaja
memanipulasinya, melainkan karena kesulitan dalam merekap itu tadi.
Sekarang coba anda bayangkan: Kalau anda adalah pemilik dari perusahaan
rental mobil kecil-kecilan, maka menghitung laba bersihnya mudah saja:
Page 1 of 33
Ongkos rental yang masuk selama satu periode dikurangi bensin, gaji supir,
penyusutan, dan seterusnya hingga potongan pajak. Maka ketemu deh laba
bersihnya berapa. Tapi kalau anda adalah pemilik dari grup usaha yang
bergerak di bidang produksi dan distribusi mobil, perkebunan kelapa sawit,
alat-alat berat, tambang batubara, perbankan dan jasa keuangan, hingga
teknologi informasi (seperti ASII), maka bagaimana menghitung total laba
bersihnya? Ya bisa saja dihitung hingga ketemu totalnya berapa. Namun
semakin besar angkanya, maka semakin besar kemungkinan terjadinya
perbedaan antara hasil perhitungan laba bersih yang sesungguhnya dengan
yang disajikan di laporan keuangan, karena perhitungan yang dilakukan
harus memenuhi standar akuntansi.
Lalu apakah dengan begitu laba perusahaan adalah benar Rp85 milyar? Sekali
lagi, belum tentu. Malah faktanya, tidak ada seorangpun yang bisa
mengetahui secara persis, berapa sebenarnya nilai laba bersih tersebut.
Page 2 of 33
apakah benar transaksi itu dilakukan atau tidak, itupun pihak auditor
tidak mengevaluasi seluruh transaksi. Contohnya, kalau pihak perusahaan
mengklaim telah mengeluarkan Rp10 milyar untuk biaya hotel, dimana hal itu
dicatat sebagai beban di laporan keuangannya, maka pihak auditor akan minta
bukti kwitansi hotelnya sebagai bukti transaksi tersebut, tidak perlu
semuanya, tapi beberapa diantaranya saja.
Proses audit ini rata-rata memerlukan waktu hampir 2 bulan setelah pembuatan
laporan keuangannya selesai (tapi belum dipublikasikan karena masih belum
memperoleh opini dari auditor). Itu sebabnya untuk laporan keuangan periode
setahun penuh yang diaudit, keluarnya adalah sekitar tanggal 31 Maret, atau 3
bulan setelah tanggal laporan keuangannya (31 Desember). Sementara untuk
periode kuartal yang lain (yang tidak diaudit), laporan keuangannya akan
sudah dipublikasikan 1 bulan setelah tanggal laporan keuangan. Untuk periode
kuartal 1 yang berakhir tanggal 31 Maret, misalnya, laporan keuangannya
akan sudah dipublikasikan pada tanggal 30 April atau beberapa hari
sebelumnya.
Page 3 of 33
menggambarkan keadaan dan fakta di lapangan. Sebagai contoh, ketika di
laporan keuangan PT A disebutkan bahwa nilai ekuitas atau aset bersih
perusahaan (setelah dikurangi seluruh kewajiban) adalah Rp1 trilyun, maka
ketika perusahaan dilikuidasi dimana aset-aset tersebut dijual kemudian
sebagian uangnya dipakai untuk melunasi semua utang/kewajiban, maka
nilai uang tunai yang tersisa belum tentu akan persis Rp1 trilyun juga,
melainkan bisa kurang, dan bisa juga lebih, tergantung oleh banyak faktor
(kalau jualnya cepet-cepet alias diobral, maka kemungkinan harga jual
asetnya akan turun, sehingga uang yang terkumpul akan lebih sedikit dari
Rp1 trilyun).
Page 4 of 33
Logo PWC, salah satu auditor paling terkemuka di dunia
Dan ketika informasi tertentu hanya bisa diperoleh dari satu sumber yang
sama, maka anda tidak perlu khawatir bahwa anda akan memperoleh
informasi yang keliru, karena orang lain juga memperoleh informasi yang
sama. Ketika anda membaca bahwa nilai laba bersih ASII adalah Rp11.8
trilyun, maka fund manager di Schroders juga membaca angka yang sama.
Alhasil, entah itu merupakan angka yang benar atau tidak, namun semua
orang sepakat bahwa laba bersih ASII adalah benar Rp11.8 trilyun.
Page 5 of 33
Analoginya seperti ketika Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa
angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia pada tahun 2014 adalah
sekian persen. Nah, apakah itu merupakan angka yang benar? Ya bisa benar,
bisa juga tidak, tapi yang jelas data dari BPS itulah yang dijadikan acuan oleh
semua orang, atau dengan kata lain dianggap benar oleh semua orang,
karena memang tidak ada data alternatif.
Nah, jika anda kritis, anda mungkin bertanya: 1. Benarkah laba perusahaan-
perusahaan properti naik banyak pada tahun 2013, lalu 2. Bernarkah laba
tersebut kemudian turun pada tahun 2014 ini? Well, jika anda meragukan
dua fakta tersebut, namun yang jelas orang lain juga melihat data dan
angka yang sama, dimana mereka kemudian mengeksekusi buy and sell
Page 6 of 33
mereka berdasarkan data-data tersebut. Dan itu sebabnya saham-saham di
sektor properti rata-rata naik banyak pada tahun 2013 lalu karena orang
ramai-ramai membelinya (karena laporan keuangannya bagus). Namun setelah
mini-crash di akhir tahun 2013 lalu, mereka ternyata belum naik banyak lagi
pada tahun ini (sementara saham-saham konstruksi, meski juga turun banyak
pada akhir tahun 2013 lalu, namun kesininya dengan cepat naik kembali
karena kinerja mereka sejauh ini masih bagus).
Page 7 of 33
keuangan yang abal-abal, adalah sebagai berikut: Sebaiknya pilih saham yang
menyajikan laporan keuangannya secara ‘bersih’, yakni disajikan secara
simpel, rapih, dan tidak ada akun-akun yang aneh-aneh. Contohnya Unilever
Indonesia (UNVR) dimana pada laporan laba ruginya hanya ada angka
penjualan, yang setelah dikurangi harga pokok penjualan, beban pemasaran,
beban umum, penghasilan/biaya keuangan, dan pajak, maka diperolehlah
laba bersihnya berapa.
Kasus paling terkenal terkait hal ini adalah ketika Enron, perusahaan minyak
raksasa di Amerika Serikat, ketahuan telah memanipulasi laporan
keuangannya dan akhirnya dinyatakan bangkrut pada tahun 2011. Ketika itu,
para analis di Wallstreet pun mengaku bingung ketika mempelajari laporan
keuangan Enron, yang dipenuhi oleh akun 'transaksi oleh pihak berelasi',
'tansaksi derivatif', 'kerugian dari penurunan nilai dari aset yang tersedia
untuk dijual', dan semacamnya (auditor Enron, Arthur Andersen, pada
akhirnya juga ikut bangkrut setelah mereka dengan cerobohnya terus
memberikan opini 'wajar tanpa pengecualian' untuk laporan Enron yang
berantakan tersebut).
Selain itu, hati-hati dengan perusahaan yang sering telat dalam merilis
laporan keuangannya karena bisa jadi mereka sengaja mengutak atiknya
terlebih dahulu, atau perusahaan yang menunjuk auditor yang kurang
kredibel untuk mengaudit laporan keuangannya. Beberapa grup usaha yang
punya kredibilitas tinggi seperti Grup Astra, mau kinerja mereka bagus atau
lagi turun, selama lima tahun terakhir ini selalu merilis laporan keuangannya
tepat waktu, dan mereka selalu menggunakan jasa PriceWaterhouseCooper
Page 8 of 33
(PWC), salah satu anggota big four auditor kelas dunia, untuk mengaudit
laporan keuangan mereka.
Sementara Grup Bakrie, mereka hanya menunjuk auditor yang tidak terlalu
terkenal, Mazars, untuk mengaudit laporan keuangan Bumi Resources (BUMI)
dkk. Meski memang, untuk laporan keuangan BUMI di tahun penuh 2013,
pihak Mazars juga memberikan banyak sekali catatan setelah memberikan
opini 'wajar tanpa pengecualian'nya, yakni dengan menyebutkan bahwa
angka-angka yang disajikan di laporan keuangan BUMI (yang telah diaudit)
belum termasuk memperhitungan penyesuaian/perubahan tertentu yang
mungkin terjadi karena kondisi tertentu yang dialami perusahaan/anak
usahanya (mungkin disini artinya laporan keuangannya tidak bisa dipastikan
kebenarannya bukan?)
Lalu untuk membaca laporan keuangan secara teliti, maka anda tidak boleh
membaca laporan keuangan hanya secara sekilas, melainkan hari dari awal
(dari bagian aset lancar) hingga akhir (arus kas), termasuk poin-poin
penjelasannya (di bagian ‘catatan’), sehingga anda akan memperoleh informasi
yang lebih menyeluruh ketimbang sekedar ‘laba perusahaan naik sekian
persen’. Jika perusahaan membukukan laba bersih yang tiba-tiba naik
signifikan, maka coba cek, dari mana asal peningkatan tersebut, apakah dari
penjualan aset atau memang benar dari operasional. Kasus lain yang sering
penulis temui belakangan ini adalah ketika nilai ekuitas/aset bersih
perusaahan naik signifikan, sehingga valuasinya (dari sisi PBV) menjadi
rendah, namun ternyata itu karena tambahan modal disetor, revaluasi aset
dll, dan bukan karena peningkatan saldo laba yang riil. Dan seterusnya.
Dengan menyusun laporan laba rugi ini, perusahaan dan pihak yang
berkepentingan (investor, kreditor, dan lain-lain) akan merasakan manfaatnya,
seperti untuk meramalkan jumlah, penetapan waktu, dan ketidakpastian laba
serta arus kas masa depan. Karena unsur-unsur laporan laba rugi disajikan
dalam tampilan yang memadai dan dapat dibandingkan dengan data tahun-
tahun sebelumnya, maka pengambil keputusan akan lebih mudah dalam
menilai laba dan arus kas masa depan.
Setelah neraca lajur siap, maka anda hanya tinggal menyalin data yang
dibutuhkan ke dalam laporan laba rugi, sembari anda olah (perhitungan) data-
data tersebut. Hanya itu saja langkah-langkahnya, simpel dan mudah, bukan?
Tapi, mungkin saja anda masih kesulitan dalam membayangkan seperti apa
Page 10 of 33
proses sebenarnya. Untuk itu, coba kalian perhatikan contoh penyusunan
laporan laba rugi dibawah ini.
PT. ABC
Neraca Lajur (Kolom laba/rugi)
Untuk Tahun yang Berakhir 31 Desember 2014
*Jika total debet lebih kecil dari total kredit, maka terjadi laba. Begitu juga
sebaliknya, jika debet lebih besar dari kredit, maka terjadi rugi.
Setelah neraca lajur siap, khususnya neraca lajur pada kolom laba/rugi, maka
anda tingga menyalinnya dan menyusun ulang ke dalam laporan laba rugi,
disusun sesuai dengan standar tentunya. Nah, dari neraca lajur diatas, maka
dapatlah dibuat laporan laba rugi berikut ini.
Page 11 of 33
PT. ABC
Laporan Laba Rugi
Untuk Tahun yang Berakhir 31 Desember 2014
Beban penjualan:
Beban gaji penjualan 20.000.000
Beban iklan 2.200.000
Beban perjalanan 8.000.000 (+)
Total beban penjualan 30.200.000
Beban administratif:
Gaji, kantor, dan umum 19.000.000
Beban telp dan internet 600.000
Beban sewa 4.300.000
Beban pajak property 5.300.000
Beban penyusutan peralatan dan
6.700.000
perabotan
Beban piutang tak tertagih 1.000.000
Beban asuransi 360.000 (+)
37.260.000
Total beban administratif
(+)
Total beban penjualan dan
67.460.000 (-)
administratif
Laba operasi 16.540.000
Page 12 of 33
Memahami Logika Laporan Keuangan (Neraca dan Laba Rugi)
Yang sulit untuk dimengerti adalah bila: orang accounting (yang membuat
laporan itu sendiri) yang tidak sungguh-sungguh memahami logika di balik
laporan keuangan. Boleh percaya boleh tidak, yang seperti ini sudah pernah
saya temukan berkali-kali.
Mungkin ini kenyataan pahit yang harus ditelan, sekaligus tantangan yang
harus dijawab oleh rekan-rekan akuntan pendidik (pengajar akuntansi di
kampus-kampus) bahwa, apa yang selama ini diajarkan lebih banyak kulit
ketimbang isinya. Sehingga output yang dihasilkan adalah anak-anak
akuntansi yang bisa menjurnal dan membuat laporan keuangan tetapi tidak
sungguh-sungguh memahami logika atas apa yang mereka buat.
Jurnal dan laporan keuangan yang mereka hasilkan, secara teknis, benar.
Tetapi begitu ada masalah mereka mengalami kesulitan untuk menelusuri
darimana sumber masalahnya. Al hasil mereka tidak (belum) mampu
memberikan masukan yang diharapkan oleh pihak manajemen perusahaan.
Lebih parahnya lagi, bahkan untuk sekedar menjelaskan “mengapa bisa
demikian?”-pun tidak bisa.
Misalnya:
1. Angka pendapatan tinggi, tetapi mengapa Laporan Laba Rugi menunjukan
angka laba yang sangat kecil? (Tolong jangan buru-buru menjawab “karena
cost-nya tinggi,” nanti terjebak sendiri.)
2. Angka penjualan rendah, tetapi mengapa Laporan Laba Ruginya
menunjukan angka minus alias rugi? Bukankah bila penjualan rendah
berarti aktivitas produksi juga rendah sehingga mestinya tidak rugi?
Page 14 of 33
3. Penjualan begitu tinggi, Laporan Laba Rugi menunjukan angka laba yang
signifikan, tetapi mengapa begitu banyak vendor (supplier) yang
mengeluhkan keterlambatan pembayaran?
4. Ekuitas Pemilik menunjukan peningkatan yang cukup besar, tetapi
mengapa tidak ada dividen yang bisa dibagikan kepada pemegang saham?
Page 15 of 33
Tantangan utamanya—terutama bagi kita yang sudah bekerja: Bagimana
caranya mengasah kemampuan logika akuntansi diantara himpitan
tugas rutin sehari-hari yang seolah tak ada habisnya?
Melalui tulisan sederhana ini, saya pribadi ingin mengajak siapa saja yang
tertarik untuk mengksplorasi logika-logika di balik sebuah laporan
keuangan.
Seperti telah saya sampaikan di awal, produk akhir dari akuntansi adalah
laporan keuangan. Dengan membaca laporan keuangan, mereka yang
berkepentingan bisa mengetahui kondisi keuangan perusahaan.
Kondisi apa saja yang bisa dilihat dengan membaca laporan keuangan?
1. Kekayaan Perusahaan
Page 16 of 33
Pertanyaan paling mendasar di wilayah ini adalah: Apakah perusahaan dalam
kondisi baik-baik saja? “Baik-baik saja” dalam hal ini maksudnya: Dapat
beroperasi secara lancar.
Dengan kata lain, apakah perusahaan memiliki “kekayaan” yang cukup untuk
bisa beroperasi dengan lancar? Jawaban atas pertanyaan itu ada di NERACA—
yang sering juga disebut sebagai “Laporan Posisi Keuangan.”
Itulah isi utama dari sebuh Neraca. Untuk visualisasi, silahkan lihat contoh
necara sederhana di bawah ini:
Page 17 of 33
Dari contoh Neraca di atas anda sebagai pemilik PT. JAK bisa melihat posisi
keuangan perusahaan dan memperoleh informasi sbb:
Dari sini jelas tergambar bahwa perusahaan memiliki kemampuan yang cukup
untuk memenuhi semua kewajibannya, dengan asumsi: jika semua asset
dijual maka semua utang bisa dilunasi.
Page 18 of 33
Mengapa terjadi demikian? Bagaimana cara mengatasinya? Apa yang
perlu dilakukan oleh manajemen agar kondisi ini tidak terjadi lagi di masa
yang akan datang?
Selanjutnya, dari Neraca yang sama anda juga bisa melihat bahwa total
“Ekuitas Pemilik” meningkat 20. Dari modal awal sebesar 50 kini menjadi 70.
Mengapa angkanya sama dengan “Kekayaan Bersih” perusahaan yaitu 70,
apakah karena kebetulan?
Page 19 of 33
Jawabannya kembali ke masalah ketersediaan kas. Perusahaan tidak memiliki
cukup persediaan Kas. Bagaimana mengatasinya? Sama seperti solusi
sebelumnya.
Laporan Arus Kas, untuk perusahaan yang sudah Go Publik (listing di bursa
saham) wajib ada. Sedangkan untuk perusahaan non-publik bisa ada bisa
tidak. Mengapa boleh ada boleh tidak? Karena “Laporan Arus Kas” hanya
merupakan rincian lebih detail dari akun “Kas” di Neraca. Sehingga pada
dasarnya, nilai akhir dari laporan arus kas sama dengan saldo yang ada pada
akun “Kas” di Neraca. (Catatan: Saya akan membahas laporan arus kas secara
terpisah (di tulisan lain).
Hal yang tak kalah pentingnya untuk diketahui dari sebuah Neraca adalah
“Tanggal Neraca” (dibawah tulisan “NERACA PT. JAK”), dalam contoh ini
adalah “Per 31 Januari 2012.” Artinya: Kekayaan Kotor sebesar 137 dan
Kekayaan Bersih sebesar 70 adalah “Kekayaan Perusahaan” per tanggal 31
Januari 2012. Itu sebabnya mengapa dalam teori akuntansi, Neraca
didefinisikan sebagai “Laporan yang menyajikan posisi keuangan perusahaan
pada tanggal tertentu.” Di U.S. sana sering disebut dengan “Snapshot of
Financial Position.”
Page 20 of 33
b. Apakah operasional perusahaan berjalan dengan efisien atau sebaliknya,
boros?
c. Apakah sumber daya perusahaan lebih banyak digunakan untuk aktivitas
yang menghasilkan barang/jasa atau untuk hal-hal di luar itu?
Semua jawabanya ada di ‘Laporan Laba Rugi.’ Untuk visualisasi silahkan lihat
contoh Laporan Laba Rugi PT. JAK di bawah ini:
Memperhatikan Laporan Laba Rugi di atas, anda bisa melihat dengan jelas
bahwa:
a. Pendapatan (Revenue) sebesar 187
b. Harga Pokok Penjualan (Cost of Goods Sold) sebesar 50
c. Laba Kotor (Gross Profit) sebesar 137
d. Biaya-biaya 132
e. Laba Bersih (Net Profit) sebesar 5
Diantara kelima angka-angka di atas, mana yang paling penting bagi anda
sebagai pengusaha? Sudah pasti “Laba Bersih”. Laba bersih menunjukan
angka 5. Ini sangat kecil jika dibandingkan dengan nilai Revenue anda yang
menunjukan angka 187. Dengan kata lain, profit margin anda hanya 3%
(=5/187). Kalau begini ceritanya mah mendingan uangnya di taruh di deposito
kan?
Page 21 of 33
Lalu anda tanya orang accounting “Mengapa labanya hanya 5, padahal
revenuenya tinggi? Pasti ada yang tidak beres di sini.”
Nah inilah yang saya sebutkan di awal: menguasai teknis akuntansi, mahir
menjunal dan membuat laporan keuangan, tetapi tidak (belum) memahami
logika akuntansi dengan baik.
Andai sudah memahami logika di balik Laporan Keuangan (Laba Rugi dalam
hal ini), mereka tidak perlu sampai memeriksa transaksi satu-per-satu,
bahkan mungkin tidak sampai perlu memeriksa saldo buku besar. Cukup
hanya dengan melihat Laporan secara sepintas (scanning) dari atas kebawah:
Pertama anda lihat “Pendapatan (revenue)”, lalu anda bandingkan dengan
“Harga Pokok Penjualan”, apakah angkanya terlihat logis? Dengan pendapatan
sebesar 187, apakah logis jika harga pokok penjualannya 50 sehingga laba
kotornya menjadi 137? Permasalahan dilokalisir sampai di sini dahulu.
Untuk mengetahui logis-atau-tidak logis, sebenarnya sudah disediakan alat
bantu di bawah “Laba Kotor (Gross Profit)” yang disebut dengan “Gross Profit
Margin” yang menunjukan angka 73%. Angka ini tidak akan ada di sana jika
tidak ada fungsinya. Apa fungsinya? Untuk mengetahui apakah perbandingan
antara pendapatan dengan laba kotor. Pertanyaaan selanjutnya: apakah gross
profit margin sebesar 73% itu wajar? Anda bisa memanggil cost accountant
anda, merekalah yang paling tahu berapa besarnya gross profit margin untuk
Page 22 of 33
produk yang dijual. Separah-parahnya, anda bisa membandingkan angka 73%
ini dengan angka gross profit margin bulan lalu—jika perlu, tarik hingga satu
tahun ke belakang untuk melihat ‘trend’-nya.
Nah jika PT. JAK dalam contoh ini adalah perusahaan manufaktur, maka
angka gross profit margin sebesar 73% tergolong tinggi. Sehingga akar
masalahnya sudah pasti tidak ada di antara wilayah revenue hingga harga
pokok penjualan. Lalu dimana? Sudah pasti ada di wilayah biaya-biaya.
Yup. Jika jurnal dan angka di nota benar, berarti yang salah adalah: ORANG
YANG BOROS MENGGUNAKAN TELEPHONE. Biaya telephone bengkak begitu
besar sudah pasti ada pemakaian yang luar biasa tinggi di luar kebutuhan
perusahaan. Selanjutnya tinggal kirim memo ke HRD untuk investigasi lebih
lanjut (siapa yang menelpon pacar berjam-jam setiap hari?). Untuk mencegah
agar tidak tejadi lagi di masa yang akan datang, mungkin HRD perlu membuat
aturan pemakaian telepon. Misalnya: Akses inetrlokal, handphone dan SLI
hanya untuk manajer ke atas dengan menggunakan PIN—sehingga
Page 23 of 33
penggunaannya bisa diketahui. Sedangkan untuk staff, jika perlu interlokal,
SLI atau handphone harus via operator (front office) dengan approval dari
manajer.
Sumber:
http://jurnalakuntansikeuangan.com/2012/01/memahami-logika-laporan-
keuangan-neraca-dan-laba-rugi/
Page 24 of 33
(mudah-mudahan) bisa menjadi awal pemahaman yang tentunya masih perlu
dilengkapi dengan panduan-panduan dari buku dan literature.
Page 25 of 33
Jurnalnya sudah benar. Lalu saya minta dia mengisikan angka di masing-
masing jurnalnya. Dan, dia memasukan angka (saya tidak ingat persisnya),
tetapi kurang-lebih sbb:
[Debit]. Piutang Dagang = Rp 20
[Kredit]. Penjualan = Rp 20
Dan;
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 15
[Kredit]. Persediaan Barang Jadi = Rp 15
Melihat dia cuma diam dan nampak bingung, saya ganti pertanyaanya dengan
ekspresi yang lebih tegas, “Saat anda membuat jurnal transkasi penjualan, dari
mana anda tahu harga pokok penjualan sebesar angka yang anda masukan
dalam jurnal?”
“Biasanya sudah ada di system, pak,” dia menjawab dengan jujur.
Mendapat jawaban seperti itu, lalu saya mendesak dia dengan pertanyaan,
“Dan, anda PERCAYA dengan angka yang di sistem itu?”
“Kan sudah dihitung oleh cost accountant, pak. Bukan tanggungjawab saya.”
Lepas dari itu semua, khususnya chief accountant, harus bisa menjamin
akurasi setiap digit angka yang tersaji dalam laporan keuangan—termasuk
harga pokok penjualan yang “muncul di system.” Nah, jika darimana
datangnya (teknis perhitungannya) saja tidak tahu, bagaimana bisa menjamin
angka yang dihasilkan sudah akurat atau belum.
Mengenai angka harga pokok penjualan satuan yang suda ada di sistem
(software) akuntansi perusahaan, TIDAK muncul begitu saja, melainkan
Page 26 of 33
melalui perhitungan teknis—entah itu dilakukan secara manual (lalu diinput
ke sistem) atau melalui proses otomatisasi dengan menggunakan variable-
variable data yang dimasukan saat proses produksi berlangsung.
Melalui tulisan ini saya ingin share cara mudah menghitung harga pokok
penjualan, sekaligus alurnya. Jika tertarik, silahkan ikuti sampai selesai.
Page 27 of 33
Perhitungan sederhana itu bisa diterapkan pada jenis perusahaan
dagangyang jenis persediaannya hanya berupa barang jadi—yang dibeli dari
pemasok.
Misalnya:
Data persediaan UD. JAK (pedagang eceran beras) untuk tahun 2012 adalah
sbb:
Saldo awal persediaan = Rp 5,000,000
Pembelian beras dari 1 Januari s/d 31 Desember 2012 = Rp 85,000,000
Saldo Akhir Persediaan per 31 Desember 2012 = Rp 3,000,000
Harga Pokok Penjualan 2012 = 5,000,000 + 85,000,000 – 3,000,000
Harga Pokok Penjualan 2012 = 87,000,000
Itu perhitungan harga pokok penjualan beras pada perusahan dagang beras.
Perhitungan menjadi agak rumit untuk perusahan manufaktur—yang barang
persediaannya dibuat sendiri (baik itu sebagian atau keseluruhan).
Page 28 of 33
Nah, perhitungan harga pokok penjualan mengikuti alur produksi di atas.
Berikut adalah bagan alur perhitungan yang saya buat sedemikian rupa
sehingga menjadi lebih sederhana dan mudah dipahami:
Penjelasan:
Dari bagan di atas jelas terlihat bahwa, alur penghitungan “Harga Pokok
Penjualan” perusahaan manufaktur melalui 4 tahapan, mengikuti alur
produksi, yang terdiri dari:
Tahap-1. Perhitungan “Bahan Baku Yang Digunakan”
Tahap-2. Perhitungan “Total Biaya Produksi”
Tahap-3. Perhitungan “Harga Pokok Produksi”
Tahap-4. Pergitungan “Harga Pokok Penjualan”
Berikut adalah penjelasan lebih rincinya:
Saldo Awal Persediaan Bahan Baku – Yang dimaksud dengan “saldo awal
persediaan bahan baku” adalah total nilai persediaan bahan baku di awal
periode yang dihitung (awal bulan untuk bulanan dan awal tahun untuk
tahunan). Saldo awal periode yang dihitung sama dengan saldo akhir periode
sebelumnya yang secara global bisa dilihat di Neraca, sedangkan per jenis
bahan baku bisa dilihat di buku persediaan (inventory ledger) dan kartu stock.
Cakupan “bahan baku” dalam hal ini termasuk: bahan
penolong/pembantu/apapun namanya.
Saldo Akhir Persediaan Bahan Baku – Yang dimaksud dengan “saldo akhir
persediaan bahan baku” adalah total nilai persediaan bahan baku (yang
Page 29 of 33
tersisa) pada akhir periode yang dihitung—setelah dilakukan penghitungan
fisik dan penyesuaian-penyesuaian.
Bahan Baku yang Digunakan – Yang dimaksud dengan “bahan baku yang
digunakan” dalam hal ini adalah total bahan baku yang diolah (diproduksi)
untuk menghasilkan produk yang diinginkan. Angka ini (Rp 67,000 dalam
contoh) diperoleh dengan menggunakan formula perhitungan seperti yang
terlihat pada bagan: saldo awal persediaan bahan baku + pembelian bahan
baku – saldo akhir persediaan bahan.
Biaya Tenaga Kerja Langsung – Yang dimaksud dengan “biaya tenaga kerja
langsung” adalah total upah karyawan/buruh yang pekerjaannya berimplikasi
langsung terhadap volume output produk yang dihasilkan. Angkanya bisa
dilihat dari daftar pembayaran gaji untuk karyawan yang masuk dalam
kelompok “tenaga kerja langsung”. Yang masuk dalam kelompok tenaga kerja
langsung adalah pegawai yang dibayar berdasarkan jumlah jam kerja (yang
ada rate per jamnya) atau berdasarkan volume pekejaan yang diselesaikan
(biasa disebut borongan). Sedangkan pegawai bagian produksi di luar kriteria
itu, tidak ikut dihitung.
Total Biaya Produksi – Yang dimaksud dengan “total biaya produksi” dalam
hal ini adalah semua biaya yang timbul akibat aktivitas produksi yang
berlangsung selama periode yang dihitung—termasuk bahan baku yang
digunakan (itu sebabnya mengapa “biaya bahan baku yang digunakan” dari
Page 30 of 33
perhitungan tahap-1 diikutsertakan) ditambah biaya tenaga kerja langsung
dan overhead produksi.
Total Biaya Produksi – Ini pindahan dari perhitungan tahap-2 (baca note di
tahap-1)
Note: Ketiga tahap (dari tahap-1 s/d tahap-3) ini sudah mewakili semua
biaya/cost yang timbul dari aktivitas suatu proses manufaktur (pabrikan).
Dengan kata lain, mencerminkan semua biaya/cost yang timbul akibat proses
Page 31 of 33
pengolahan dari bahan baku menjadi barang yang siap untuk dijual.
Kasarannya, angka ini mewakili nilai persediaan barang jadi yang berhasil
dibuat selama periode yang dihitung. TETAPI belum mengikutsertakan
penggunaan persediaan barang jadi SISA dari periode sebelumnya. Itu
sebabnya mengapa hasil perhitungan sampai tahap-3 ini disebut “Harga
Pokok Produksi” saja—BELUM disebut Harga Pokok Penjualan. (Untuk
menentukan HARGA POKOK PRODUKSI SATUAN, perhitungan dibuat ditahap
ini dengan cara membagi total nilai harga pokok produksi dengan jumlah
output produk yang dihasilkan selama periode tersebut, dibuat per jenis/item
produk.)
Harga Pokok Produksi – Ini pindahan dari perhitungan tahap-3 (baca note di
tahap-3)
Saldo Awal Persediaan Barang Jadi – Yang dimaksud dengan “saldo awal
persediaan barang jadi” adalah total nilai persediaa barang jadi di awal periode
yang dihitung. Saldo awal periode yang dihitung sama dengan saldo akhir
periode sebelumnya yang secara global bisa dilihat di Neraca, sedangkan
rincian per jenis/item barang bisa dilihat di buku persediaan (inventory ledger)
barang jadi dan kartu stock.
Harga Pokok Penjualan (HPP) – Inilah hasil (angka) yang diperoleh diujung
alur proses—setelah melalui empat tahap penghitungan—untuk menentukan
harga pokok penjualan perusahaan manufaktur.
Page 32 of 33
Tentu ini bukan panduan yang komprehensif, tetapi saya berharap ini bisa
menjadi panduan awal yang bisa membantu pembaca untuk memahami
alur penghitungan harga pokok penjualan (HPP) dengan lebih mudah.
Untuk panduan yang lebih komprehensif silahkan baca kembali buku-buku
akuntansi manajemen dan akuntansi biaya
Page 33 of 33