Anda di halaman 1dari 33

Cara Membedakan Laporan Keuangan ‘Palsu’

Berdasarkan pengalaman penulis ketika beberapa kali mengadakan seminar


investasi saham, salah satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan oleh
peserta seminar ketika sesi tanya jawab adalah soal bagaimana cara kita
mengetahui apakah laporan keuangan sebuah perusahaan menyajikan angka-
angka (pendapatan, laba bersih dll) yang sebenarnya atau tidak. Atau dengan
kata lain, bagaimana jika kita melihat bahwa laporan keuangan sebuah
perusahaan tampak bagus dengan laba bersih yang besar dll, namun ternyata
itu karena pihak perusahaan memalsukan laporan keuangannya tersebut?
Nah, berhubung ini mungkin merupakan pertanyaan dari banyak sekali
teman-teman investor, maka sekalian saja kita bahas disini. Okay, kita
langsung saja.

Salah satu kekhawatiran yang sering melanda seorang investor adalah terkait
benar tidaknya informasi keuangan yang disajikan oleh laporan keuangan
perusahaan. Contohnya, pada Kuartal II 2014, laporan keuangan PT Astra
International, Tbk (ASII) menunjukkan bahwa perusahaan membukukan laba
bersih Rp11.8 trilyun selama Januari – Juni 2014. Pertanyaannya, dari mana
kita tahu bahwa ASII benar-benar membukukan laba sebesar itu? Bagaimana
jika kenyataannya adalah bahwa laba ASII ternyata lebih kecil dari Rp11.8
trilyun, atau sebaliknya lebih besar?

Terkait hal ini, penulis jadi ingat dengan seorang kawan yang merupakan
pemilik dari salah satu perusahaan terbesar di Indonesia, namun tidak
terdaftar di bursa, dimana kami sempat mengobrol soal laporan keuangan ini
(kalau saya sebutkan nama PT-nya anda pasti tahu, namun beliau keberatan
jika nama perusahaannya disebut). Beliau bercerita bahwa, sebagai pemilik
dari perusahaan besar yang memiliki banyak sekali anak perusahaan, maka
bukanlah pekerjaan yang mudah untuk merekap data-data pendapatan, laba
bersih, dll dari anak-anak usahanya tersebut, untuk kemudian
dikonsolidasikan ke induknya. Alhasil, bahkan beliau sendiri pun tidak bisa
menjamin bahwa data-data yang disajikan di laporan keuangannya adalah
benar, dan itu bukan karena mereka (pihak manajemen) sengaja
memanipulasinya, melainkan karena kesulitan dalam merekap itu tadi.
Sekarang coba anda bayangkan: Kalau anda adalah pemilik dari perusahaan
rental mobil kecil-kecilan, maka menghitung laba bersihnya mudah saja:

Page 1 of 33
Ongkos rental yang masuk selama satu periode dikurangi bensin, gaji supir,
penyusutan, dan seterusnya hingga potongan pajak. Maka ketemu deh laba
bersihnya berapa. Tapi kalau anda adalah pemilik dari grup usaha yang
bergerak di bidang produksi dan distribusi mobil, perkebunan kelapa sawit,
alat-alat berat, tambang batubara, perbankan dan jasa keuangan, hingga
teknologi informasi (seperti ASII), maka bagaimana menghitung total laba
bersihnya? Ya bisa saja dihitung hingga ketemu totalnya berapa. Namun
semakin besar angkanya, maka semakin besar kemungkinan terjadinya
perbedaan antara hasil perhitungan laba bersih yang sesungguhnya dengan
yang disajikan di laporan keuangan, karena perhitungan yang dilakukan
harus memenuhi standar akuntansi.

Itu sebabnya Warren Buffett pernah ngomong begini, 'Karena faktor


keterbatasan akuntansi, kinerja kami yang sesungguhnya mungkin tidak
tersajikan dalam laporan keuangan Berkshire Hathaway.'

Nah, ketika pihak manajemen ketemu dengan auditor independen, seringkali


terdapat dispute (perselisihan) tentang berapa angka yang benar, karena
adanya perbedaan tadi. Misalnya, manajemen mengklaim bahwa berdasarkan
perhitungan internal yang mereka lakukan, laba bersih perusaahaan adalah
Rp100 milyar. However, setelah melakukan audit, pihak auditor menyatakan
bahwa perusahaan tidak bisa menyajikan cukup bukti bahwa laba bersihnya
mencapai Rp100 milyar, melainkan (yang benar, atau istilahnya yang 'wajar
tanpa pengecualian') adalah Rp70 milyar. Jika kedua belah pihak (pihak
manajemen dan auditor) sama-sama bersikukuh dengan hasil perhitungannya
masing-masing, maka seringkali yang diambil adalah jalan tengahnya.
Alhasil, di laporan keuangan perusahaan (yang sudah diaudit), laba bersih
yang ditampilkan bukanlah Rp70 atau 100 milyar, melainkan mungkin Rp85
milyar.

Lalu apakah dengan begitu laba perusahaan adalah benar Rp85 milyar? Sekali
lagi, belum tentu. Malah faktanya, tidak ada seorangpun yang bisa
mengetahui secara persis, berapa sebenarnya nilai laba bersih tersebut.

Catatan: Yang dimaksud dengan mengaudit laporan keuangan bukanlah


menghitung ulang nilai pendapatan, laba bersih dll sejak awal, melainkan
mengevaluasi transaksi-transaksi keuangan yang dilakukan perusahaan,

Page 2 of 33
apakah benar transaksi itu dilakukan atau tidak, itupun pihak auditor
tidak mengevaluasi seluruh transaksi. Contohnya, kalau pihak perusahaan
mengklaim telah mengeluarkan Rp10 milyar untuk biaya hotel, dimana hal itu
dicatat sebagai beban di laporan keuangannya, maka pihak auditor akan minta
bukti kwitansi hotelnya sebagai bukti transaksi tersebut, tidak perlu
semuanya, tapi beberapa diantaranya saja.

Jadi tugas auditor bukanlah membuat 'laporan keuangan tandingan',


melainkan, sekali lagi, hanya mengevaluasi angka-angka yang diajukan
perusahaan di laporan keuangannya. Jika perusahaan tidak bisa mengajukan
bukti-bukti yang cukup terkait angka-angka yang mereka ajukan, maka pihak
auditor mungkin akan memberikan opini bahwa laporan keuangan tersebut
adalah 'tak wajar'. Opini terbaik yang bisa diberikan auditor adalah 'wajar
tanpa pengecualian', dan untuk memperoleh opini tersebut-lah, pihak
perusahaan seringkali harus beberapa kali mengkoreksi laporan keuangannya,
hingga akhirnya sesuai dengan semua bukti yang bisa diajukan kepada pihak
auditor (pada titik inilah mungkin akan dilakukan 'jalan tengah' tadi). Setelah
itu barulah laporan keuangannya akan dipublikasikan, plus dilengkapi
pernyataan opini dari auditornya.

Proses audit ini rata-rata memerlukan waktu hampir 2 bulan setelah pembuatan
laporan keuangannya selesai (tapi belum dipublikasikan karena masih belum
memperoleh opini dari auditor). Itu sebabnya untuk laporan keuangan periode
setahun penuh yang diaudit, keluarnya adalah sekitar tanggal 31 Maret, atau 3
bulan setelah tanggal laporan keuangannya (31 Desember). Sementara untuk
periode kuartal yang lain (yang tidak diaudit), laporan keuangannya akan
sudah dipublikasikan 1 bulan setelah tanggal laporan keuangan. Untuk periode
kuartal 1 yang berakhir tanggal 31 Maret, misalnya, laporan keuangannya
akan sudah dipublikasikan pada tanggal 30 April atau beberapa hari
sebelumnya.

Makanya, kalau anda perhatikan, dalam Bahasa Inggris, laporan keuangan


tidak disebut sebagai financial report, melainkan financial statement, alias
pernyataan keuangan. Berbagai data dan angka terkait nilai aset, kewajiban,
ekuitas, pendapatan, laba operasional, hingga laba bersih perusahaan, itu
semua tidak lebih dari pernyataan dari satu pihak saja yakni pihak
manajemen perusahaan, dan bukan merupakan laporan yang secara persis

Page 3 of 33
menggambarkan keadaan dan fakta di lapangan. Sebagai contoh, ketika di
laporan keuangan PT A disebutkan bahwa nilai ekuitas atau aset bersih
perusahaan (setelah dikurangi seluruh kewajiban) adalah Rp1 trilyun, maka
ketika perusahaan dilikuidasi dimana aset-aset tersebut dijual kemudian
sebagian uangnya dipakai untuk melunasi semua utang/kewajiban, maka
nilai uang tunai yang tersisa belum tentu akan persis Rp1 trilyun juga,
melainkan bisa kurang, dan bisa juga lebih, tergantung oleh banyak faktor
(kalau jualnya cepet-cepet alias diobral, maka kemungkinan harga jual
asetnya akan turun, sehingga uang yang terkumpul akan lebih sedikit dari
Rp1 trilyun).

Itu sebabnya, untuk mengkonfirmasi apakah pernyataan seperti yang


tercantum di laporan keuangan itu benar atau tidak, maka diperlukan
pernyataan tambahan dari pihak ketiga, dalam hal ini auditor independen,
dimana pernyataan tersebut bukan berupa 'laporan keuangan tandingan',
melainkan hanya sekedar pernyataan pendapat/opini bahwa laporan
keuangan tersebut disajikan secara wajar atau tidak. Jika 'wajar tanpa
pengecualian' adalah opini terbaik yang bisa diberikan pihak auditor, maka
opini terburuknya adalah 'disclaimer', yakni bahwa auditor sama sekali tidak
melihat bahwa laporan keuangannya disajikan secara wajar, atau dengan kata
lain, berbagai angka-angka seperti pendapatan dan laba bersih, itu semua
tidak bisa dibuktikan kebenarannya sama sekali (penulis ingat dulu pernah
menemukan satu perusahaan Tbk di Indonesia yang memperoleh predikat
'disclaimer' dari auditornya, namun saya lupa nama perusahaannya).

Makanya pihak BEI sebagai otoritas bursa juga mewajibkan perusahaan


untuk menunjuk auditor untuk mengaudit laporan keuangannya minimal
setahun sekali (laporan keuangan kuartalan boleh nggak diaudit, tapi laporan
keuangan pada akhir tahun harus diaudit). Namun keberadaan auditor inipun
tetap tidak menjamin bahwa laporan keuangan perusahaan akan menjadi
benar 100%, karena itu tadi: Kalau pihak manajemen dan pihak auditor sama-
sama mengklaim bahwa angka mereka-lah yang benar, maka kemudian yang
diambil adalah tengah-tengahnya.

Page 4 of 33
Logo PWC, salah satu auditor paling terkemuka di dunia

Lho, jadi apakah dengan demikian laporan keuangan perusahaan itu


angkanya justru palsu semua? Well, bukan palsu, hanya saja tidak bisa
dijamin keakuratannya, dan itu sekali lagi bukan karena pihak perusahaan
sengaja memanipulasi (meski kemungkinan manipulasi tersebut akan selalu
ada), melainkan karena faktor perbedaan yang mungkin terjadi ketika
dilakukan perhitungan nilai laba bersih dll.

Tapi berdasarkan pengalaman penulis selama ini, tidak adanya jaminan


bahwa angka-angka yang disajikan di laporan keuangan sebuah perusahaan
(termasuk laporan keuangan yang diaudit) adalah benar, itu tidak sebenarnya
tidak jadi masalah. Sebab mau datanya benar atau tidak, namun yang jelas
semua investor melihat ke laporan keuangan yang sama, karena tidak
pernah ada laporan keuangan tandingan atau semacamnya. Contohnya, ketika
ASII menyatakan di laporan keuangannya bahwa laba bersih mereka untuk
periode Kuartal II 2014 adalah Rp11.8 trilyun, maka entah itu angkanya benar
atau tidak, namun yang jelas tidak ada data lain (atau laporan keuangan versi
lain) yang menyebutkan bahwa laba ASII bukanlah Rp11.8 trilyun, melainkan
hanya (misalnya) Rp10 trilyun.

Dan ketika informasi tertentu hanya bisa diperoleh dari satu sumber yang
sama, maka anda tidak perlu khawatir bahwa anda akan memperoleh
informasi yang keliru, karena orang lain juga memperoleh informasi yang
sama. Ketika anda membaca bahwa nilai laba bersih ASII adalah Rp11.8
trilyun, maka fund manager di Schroders juga membaca angka yang sama.
Alhasil, entah itu merupakan angka yang benar atau tidak, namun semua
orang sepakat bahwa laba bersih ASII adalah benar Rp11.8 trilyun.

Page 5 of 33
Analoginya seperti ketika Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa
angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia pada tahun 2014 adalah
sekian persen. Nah, apakah itu merupakan angka yang benar? Ya bisa benar,
bisa juga tidak, tapi yang jelas data dari BPS itulah yang dijadikan acuan oleh
semua orang, atau dengan kata lain dianggap benar oleh semua orang,
karena memang tidak ada data alternatif.

Namun ketika sebuah lembaga survey politik menyatakan bahwa, berdasarkan


survey/polling yang mereka selenggarakan, partai tertentu akan
memenangkan Pemilu, maka orang-orang tidak akan langsung percaya dengan
data hasil survey tersebut, karena masih ada beberapa lembaga lain yang juga
menyajikan data hasil survey milik mereka masing-masing, yang berbeda satu
sama lain. Sementara pada kasus data yang disajikan di laporan keuangan,
hal ini tidak terjadi karena untuk perusahaan manapun, laporan keuangannya
(untuk periode tertentu) hanya ada satu, dan tidak ada ‘laporan keuangan
tandingan’.

Dan jika laporan keuangan sebuah perusahaan memang menunjukkan hasil


yang menggembirakan, sementara disisi lain sahamnya pun masih murah,
maka harga sahamnya juga akan naik. Contoh sederhana saja: Pada awal
tahun 2013 lalu, saham-saham properti mengalami kenaikan yang signifikan,
dan itu adalah karena sektor properti memang mencatat kinerja yang luar
biasa pada tahun 2013 tersebut. Jika pada tahun ini saham-saham properti
tidak mampu naik kembali hingga melewati titik tertinggi yang pernah dicapai
setahun yang lalu, maka itu adalah karena pada tahun 2014 ini laba
perusahaan properti banyak yang turun. Contoh lainnya, saham-saham
batubara dan CPO terbilang terpuruk sepanjang 2012 – 2013 karena pada dua
tahun tersebut kinerja mereka memang jeblok, namun pada tahun ini saham-
saham di dua sektor tersebut mulai bergerak naik, dan itu karena beberapa
perusahaan batubara dan sawit (meski tidak semuanya) mulai menunjukkan
kenaikan pendapatan dan laba kembali.

Nah, jika anda kritis, anda mungkin bertanya: 1. Benarkah laba perusahaan-
perusahaan properti naik banyak pada tahun 2013, lalu 2. Bernarkah laba
tersebut kemudian turun pada tahun 2014 ini? Well, jika anda meragukan
dua fakta tersebut, namun yang jelas orang lain juga melihat data dan
angka yang sama, dimana mereka kemudian mengeksekusi buy and sell

Page 6 of 33
mereka berdasarkan data-data tersebut. Dan itu sebabnya saham-saham di
sektor properti rata-rata naik banyak pada tahun 2013 lalu karena orang
ramai-ramai membelinya (karena laporan keuangannya bagus). Namun setelah
mini-crash di akhir tahun 2013 lalu, mereka ternyata belum naik banyak lagi
pada tahun ini (sementara saham-saham konstruksi, meski juga turun banyak
pada akhir tahun 2013 lalu, namun kesininya dengan cepat naik kembali
karena kinerja mereka sejauh ini masih bagus).

Dan contoh terakhir, kalau anda membaca laporan keuangan dari


perusahaan-perusahaan Grup Bakrie, maka anda bisa dengan mudah melihat
bahwa kinerja mereka amat sangat berantakan: Ekuitas yang turun terus
(bahkan ada yang sampai minus), utang segunung, dan rugi melulu. Kalaupun
anda menganggap bahwa mungkin saja kinerja mereka sebenarnya tidak
seburuk kelihatannya, namun investor yang lain juga melihat ke laporan
keuangan yang sama, sehingga mereka ramai-ramai menghindari sahamnya.
Hasilnya, bisa anda lihat sendiri kan gimana nasib saham-saham Bakrie?

Tips-tips dalam membaca laporan keuangan

However, seperti yang sudah disebut diatas, kemungkinan terjadinya


manipulasi yang disengaja pada laporan keuangan akan selalu ada. Selain
itu, problem terbesar yang seringkali dialami seorang investor adalah ketidak
telitiannya dalam membaca dan menganalisis laporan keuangan secara
mendetail, sehingga bisa menimbulkan salah persepsi. Sebagai contoh, saya
sering sekali menerima keluhan, ‘Mas Teguh, saham A kenapa turun ya?
Padahal saya lihat labanya naik.’ Dan saat itulah saya sekali lagi harus
menjelaskan bahwa hanya karena sebuah perusahaan mencatatkan laba yang
naik, maka itu bukan berarti bisa langsung disimpulkan bahwa kinerjanya
bagus, karena masih ada beberapa hal lain yang juga perlu diperhatikan di
laporan keuangannya, belum termasuk valuasi sahamnya. Jadi jika seorang
investor mengalami kerugian karena hal ini, maka itu bukan berarti karena
perusahaan memanipulasi laporan keuangannya, melainkan karena ia kurang
teliti saja dalam membaca laporan keuangan tersebut.

Dan satu tips yang mudah-mudahan bisa membantu anda untuk


membedakan mana laporan keuangan yang berkualitas (baca: menyajikan
data dan angka yang kemungkinan besar adalah benar adanya), dan laporan

Page 7 of 33
keuangan yang abal-abal, adalah sebagai berikut: Sebaiknya pilih saham yang
menyajikan laporan keuangannya secara ‘bersih’, yakni disajikan secara
simpel, rapih, dan tidak ada akun-akun yang aneh-aneh. Contohnya Unilever
Indonesia (UNVR) dimana pada laporan laba ruginya hanya ada angka
penjualan, yang setelah dikurangi harga pokok penjualan, beban pemasaran,
beban umum, penghasilan/biaya keuangan, dan pajak, maka diperolehlah
laba bersihnya berapa.

Sementara kalau anda lihat laporan keuangan Benakat Integra (BIPI), di


laporan laba ruginya terdapat beberapa akun yang ‘tidak sederhana’, seperti
keuntungan/kerugian lain-lain (kalau ditulis ‘lain-lain’, biasanya tidak ada
hubungannya dengan operasional perusahaan, atau dengan kata lain itu
merupakan keuntungan/kerugian yang tidak seharusnya ada),
keuntungan/kerugian yang timbul dari penjabaran laporan keuangan, dan
peningkatan/penurunan nilai wajar dari aset keuangan. Semakin banyak
akun-akun yang rumit seperti ini, maka semakin besar kemungkinan bahwa
laporan keuangan tersebut telah diutak atik sedemikian rupa sehingga
hasilnya menjadi tidak seperti yang sebenarnya.

Kasus paling terkenal terkait hal ini adalah ketika Enron, perusahaan minyak
raksasa di Amerika Serikat, ketahuan telah memanipulasi laporan
keuangannya dan akhirnya dinyatakan bangkrut pada tahun 2011. Ketika itu,
para analis di Wallstreet pun mengaku bingung ketika mempelajari laporan
keuangan Enron, yang dipenuhi oleh akun 'transaksi oleh pihak berelasi',
'tansaksi derivatif', 'kerugian dari penurunan nilai dari aset yang tersedia
untuk dijual', dan semacamnya (auditor Enron, Arthur Andersen, pada
akhirnya juga ikut bangkrut setelah mereka dengan cerobohnya terus
memberikan opini 'wajar tanpa pengecualian' untuk laporan Enron yang
berantakan tersebut).

Selain itu, hati-hati dengan perusahaan yang sering telat dalam merilis
laporan keuangannya karena bisa jadi mereka sengaja mengutak atiknya
terlebih dahulu, atau perusahaan yang menunjuk auditor yang kurang
kredibel untuk mengaudit laporan keuangannya. Beberapa grup usaha yang
punya kredibilitas tinggi seperti Grup Astra, mau kinerja mereka bagus atau
lagi turun, selama lima tahun terakhir ini selalu merilis laporan keuangannya
tepat waktu, dan mereka selalu menggunakan jasa PriceWaterhouseCooper

Page 8 of 33
(PWC), salah satu anggota big four auditor kelas dunia, untuk mengaudit
laporan keuangan mereka.

Sementara Grup Bakrie, mereka hanya menunjuk auditor yang tidak terlalu
terkenal, Mazars, untuk mengaudit laporan keuangan Bumi Resources (BUMI)
dkk. Meski memang, untuk laporan keuangan BUMI di tahun penuh 2013,
pihak Mazars juga memberikan banyak sekali catatan setelah memberikan
opini 'wajar tanpa pengecualian'nya, yakni dengan menyebutkan bahwa
angka-angka yang disajikan di laporan keuangan BUMI (yang telah diaudit)
belum termasuk memperhitungan penyesuaian/perubahan tertentu yang
mungkin terjadi karena kondisi tertentu yang dialami perusahaan/anak
usahanya (mungkin disini artinya laporan keuangannya tidak bisa dipastikan
kebenarannya bukan?)

Lalu untuk membaca laporan keuangan secara teliti, maka anda tidak boleh
membaca laporan keuangan hanya secara sekilas, melainkan hari dari awal
(dari bagian aset lancar) hingga akhir (arus kas), termasuk poin-poin
penjelasannya (di bagian ‘catatan’), sehingga anda akan memperoleh informasi
yang lebih menyeluruh ketimbang sekedar ‘laba perusahaan naik sekian
persen’. Jika perusahaan membukukan laba bersih yang tiba-tiba naik
signifikan, maka coba cek, dari mana asal peningkatan tersebut, apakah dari
penjualan aset atau memang benar dari operasional. Kasus lain yang sering
penulis temui belakangan ini adalah ketika nilai ekuitas/aset bersih
perusaahan naik signifikan, sehingga valuasinya (dari sisi PBV) menjadi
rendah, namun ternyata itu karena tambahan modal disetor, revaluasi aset
dll, dan bukan karena peningkatan saldo laba yang riil. Dan seterusnya.

Cara Membuat Laporan Laba Rugi Perusahaan


Page 9 of 33
Salah satu komponen penting dalam laporan keuangan adalah laporan laba
rugi. Pada dasarnya yang dimaksud dengan laporan laba rugi adalah laporan
keuangan yang memuat dan menyediakan informasi tentang ukuran
keberhasilan operasi perusahaan selama periode waktu tertentu. Unsur-unsur
yang terkandung dalam laporan laba rugi meliputi semua transaksi
pendapatan, beban, keuntungan, dan kerugian.

Dengan menyusun laporan laba rugi ini, perusahaan dan pihak yang
berkepentingan (investor, kreditor, dan lain-lain) akan merasakan manfaatnya,
seperti untuk meramalkan jumlah, penetapan waktu, dan ketidakpastian laba
serta arus kas masa depan. Karena unsur-unsur laporan laba rugi disajikan
dalam tampilan yang memadai dan dapat dibandingkan dengan data tahun-
tahun sebelumnya, maka pengambil keputusan akan lebih mudah dalam
menilai laba dan arus kas masa depan.

Itulah kenapa setiap perusahaan sangat diwajibkan untuk menyusun laporan


laba rugi, terutama untuk perusahaan yang go public. Selain wajib untuk
dibuat, laporan laba rugi ini juga harus disusun dengan tepat dan benar,
tentu saja ini harus dilakukan agar informasi yang terkandung dalam laporan
valid dan dapat diandalkan. Tapi sayangnya, belum semua orang mampu
menyusunnya dengan benar. Nah, berkaitan dengan hal itu, ulasan tentang
cara membuat laporan laba rugi ini mungkin dapat membantu anda dalam
menyusun laporan laba rugi, berikut caranya.

Langkah-langkah Dalam Membuat Laporan Laba Rugi

Langkah pertama dalam menyusun laporan laba rugi adalah dengan


menyiapkan neraca lajur, neraca lajur ini digunakan sebagai dasar dalam
menyusun laporan laba rugi karena semua data laporan laba rugi bersumber
dari neraca lajur pada kolom laba/rugi. Jadi sebelum anda membuat laporan
ini, persiapkan terlebih dahulu neraca lajurnya.

Setelah neraca lajur siap, maka anda hanya tinggal menyalin data yang
dibutuhkan ke dalam laporan laba rugi, sembari anda olah (perhitungan) data-
data tersebut. Hanya itu saja langkah-langkahnya, simpel dan mudah, bukan?
Tapi, mungkin saja anda masih kesulitan dalam membayangkan seperti apa

Page 10 of 33
proses sebenarnya. Untuk itu, coba kalian perhatikan contoh penyusunan
laporan laba rugi dibawah ini.

Cara Membuat Laporan Laba Rugi

Contoh neraca lajur (hanya kolom laba/rugi saja):

PT. ABC
Neraca Lajur (Kolom laba/rugi)
Untuk Tahun yang Berakhir 31 Desember 2014

Akun Debit Kredit


Penjualan 400.000.000
Harga pokok penjualan 316.000.000
Beban gaji penjualan 20.000.000
Beban iklan 2.200.000
Beban perjalanan 8.000.000
Gaji, kantor, dan umum 19.000.000
Beban telp dan internet 600.000
Beban sewa 4.300.000
Beban pajak property 5.300.000
Beban bunga 1.700.000
Beban penyusutan peralatan dan perabotan 6.700.000
Beban piutang tak tertagih 1.000.000
Beban asuransi 360.000
Pendapatan bunga 800.000
Total 385.160.000 400.800.000
Laba sebelum pajak penghasilan 15.640.000
Total 400.800.000 400.800.000
Laba sebelum pajak penghasilan 15.640.000
Beban pajak penghasilan 3.440.000
Laba bersih 12.200.000
Total 15.640.000 15.640.000

*Jika total debet lebih kecil dari total kredit, maka terjadi laba. Begitu juga
sebaliknya, jika debet lebih besar dari kredit, maka terjadi rugi.

Setelah neraca lajur siap, khususnya neraca lajur pada kolom laba/rugi, maka
anda tingga menyalinnya dan menyusun ulang ke dalam laporan laba rugi,
disusun sesuai dengan standar tentunya. Nah, dari neraca lajur diatas, maka
dapatlah dibuat laporan laba rugi berikut ini.

Page 11 of 33
PT. ABC
Laporan Laba Rugi
Untuk Tahun yang Berakhir 31 Desember 2014

Penjualan bersih 400.000.000


Harga pokok penjualan 316.000.000 (-)
Laba kotor 84.000.000

Beban penjualan:
Beban gaji penjualan 20.000.000
Beban iklan 2.200.000
Beban perjalanan 8.000.000 (+)
Total beban penjualan 30.200.000

Beban administratif:
Gaji, kantor, dan umum 19.000.000
Beban telp dan internet 600.000
Beban sewa 4.300.000
Beban pajak property 5.300.000
Beban penyusutan peralatan dan
6.700.000
perabotan
Beban piutang tak tertagih 1.000.000
Beban asuransi 360.000 (+)
37.260.000
Total beban administratif
(+)
Total beban penjualan dan
67.460.000 (-)
administratif
Laba operasi 16.540.000

Pendapatan dan keuntungan


lainnya
Pendapatan bunga 800.000 (+)
17.340.000
Beban dan kerugian lain
Beban bunga 1.700.000 (-)
Laba sebelum pajak penghasilan 15.640.000
Pajak penghasilan 3.440.000 (-)
Laba bersih 12.200.000
Ingat ya, salah satu indikasi bahwa perhitungan anda dalam membuat laporan
laba rugi itu benar adalah jumlah laba bersih yang dihasilkan dari neraca lajur
dan di laporan laba rugi adalah sama.

Page 12 of 33
Memahami Logika Laporan Keuangan (Neraca dan Laba Rugi)

Produk akhir dari proses akuntansi, yang paling penting, adalah


laporan keuangan. Dengan membaca laporan keuangan, manajemen,
pemilik perusahaan, dan sesiapapun yang berkepentingan, bisa
mengetahui kondisi keuangan perusahaan. Ironinya, dari sekian
banyak pihak yang berkentingan atas produk ini, yang sungguh-
Page 13 of 33
sungguh memahami logika laporan keuangan tidak banyak. Dan itu
bisa dimengerti karena mereka memang berasal dari kalangan yang
berbeda-beda—mungkin malah lebih banyak yang dari luar akuntansi
dan keuangan.

Yang sulit untuk dimengerti adalah bila: orang accounting (yang membuat
laporan itu sendiri) yang tidak sungguh-sungguh memahami logika di balik
laporan keuangan. Boleh percaya boleh tidak, yang seperti ini sudah pernah
saya temukan berkali-kali.

“Mana mungkin. Bukankah orang-orang accounting memang dididik dan


ditempa—sejak di bangku kuliah—untuk sungguh-sungguh menguasai
akuntansi?”

Mungkin ini kenyataan pahit yang harus ditelan, sekaligus tantangan yang
harus dijawab oleh rekan-rekan akuntan pendidik (pengajar akuntansi di
kampus-kampus) bahwa, apa yang selama ini diajarkan lebih banyak kulit
ketimbang isinya. Sehingga output yang dihasilkan adalah anak-anak
akuntansi yang bisa menjurnal dan membuat laporan keuangan tetapi tidak
sungguh-sungguh memahami logika atas apa yang mereka buat.

Jurnal dan laporan keuangan yang mereka hasilkan, secara teknis, benar.
Tetapi begitu ada masalah mereka mengalami kesulitan untuk menelusuri
darimana sumber masalahnya. Al hasil mereka tidak (belum) mampu
memberikan masukan yang diharapkan oleh pihak manajemen perusahaan.
Lebih parahnya lagi, bahkan untuk sekedar menjelaskan “mengapa bisa
demikian?”-pun tidak bisa.

Misalnya:
1. Angka pendapatan tinggi, tetapi mengapa Laporan Laba Rugi menunjukan
angka laba yang sangat kecil? (Tolong jangan buru-buru menjawab “karena
cost-nya tinggi,” nanti terjebak sendiri.)
2. Angka penjualan rendah, tetapi mengapa Laporan Laba Ruginya
menunjukan angka minus alias rugi? Bukankah bila penjualan rendah
berarti aktivitas produksi juga rendah sehingga mestinya tidak rugi?

Page 14 of 33
3. Penjualan begitu tinggi, Laporan Laba Rugi menunjukan angka laba yang
signifikan, tetapi mengapa begitu banyak vendor (supplier) yang
mengeluhkan keterlambatan pembayaran?
4. Ekuitas Pemilik menunjukan peningkatan yang cukup besar, tetapi
mengapa tidak ada dividen yang bisa dibagikan kepada pemegang saham?

Keempat pertanyaan di atas sesungguhnya hanya memerlukan logika


akuntansi yang sangat sederhana dan lumrah terjadi di hampir semua
perusahaan. Kenyataannya, saat ditanya pegawai accounting seringkali
gelagapan, akhirnya tidak bisa menjelaskan dengan baik. Setidaknya, minimal
mereka bisa menjelaskan “mengapa bisa terjadi demikian?”.

Idealnya, jika mereka memahami logika-logika dibalik sebuah laporan


keuangan, mestinya mereka bisa memberi saran dan masukan bagi
manajemen mengenai apa yang perlu (atau tak perlu) dilakukan di masa-masa
yang akan datang agar masalah yang sama tidak terjadi lagi.

Mengingat kembali masa-masa kuliah dahulu (bisa jadi sekarang sudah


jauh lebih baik), materi mata kuliah begitu banyak sementara waktu yang
tersedia sangat sempit, “so little time, so many things to do.”

Mata kuliah ‘Akuntansi Dasar’ (Basic Accounting) misalnya. Dengan materi


yang begitu banyak, harus bisa diselesaikan hanya dalam 48 kali pertemuan.
Setiap pertemuan selalu digunakan untuk mengejar penyelesaian materi yang
isinya memang semuanya bersifat teknikal. Samasekali tidak ada ruang untuk
menanamkan pemahaman-pemahaman logika akuntansi (mulai dari siklus
akuntansi, menjurnal hingga membuat laporan keuangan).

Bahwa kematangan logika bertumbuh seiring dengan pengalaman kerja,


BETUL. Bahwa bangku kuliah hanya memberikan bekal dasar, boleh jadi IYA
(terutama untuk universitas non-elite, tanpa AC, tanpa dasi, masih pakai
kapur tulis, seperti tempat saya berkuliah dahulu).

Di sinilah akhirnya bermuara: TERGANTUNG MASING-MASING INDIVIDU.

Page 15 of 33
Tantangan utamanya—terutama bagi kita yang sudah bekerja: Bagimana
caranya mengasah kemampuan logika akuntansi diantara himpitan
tugas rutin sehari-hari yang seolah tak ada habisnya?

Itulah semangat dasar yang menjadi latar belakang mengapa ‘Jurnal


Akuantansi Keuangan’ (JAK) ada, yaitu: menjadi tempat untuk sharing dan
diskusi sambil mengasah skill akuntansi (hard maupun soft skill) di sela-sela
rutinitas sehari-hari. Pengelola JAK sadar sepenuhnya bahwa keberadaan JAK
pastinya masih jauh dari apa yang diharapkan. Tetapi mudah-mudahan bisa
menjadi alternative sekaligus awal yang baik.

Melalui tulisan sederhana ini, saya pribadi ingin mengajak siapa saja yang
tertarik untuk mengksplorasi logika-logika di balik sebuah laporan
keuangan.

Seperti telah saya sampaikan di awal, produk akhir dari akuntansi adalah
laporan keuangan. Dengan membaca laporan keuangan, mereka yang
berkepentingan bisa mengetahui kondisi keuangan perusahaan.

Kondisi apa saja yang bisa dilihat dengan membaca laporan keuangan?

Untuk sungguh-sungguh memahami logikanya, anda harus memposisikan diri


sebagai sesorang yang sangat berkepentingan untuk mengetahui kondisi
keuangan perusahaan. Untuk sementara lupakan status anda saat ini (sebagai
pegawai accounting), anggap diri anda adalah pemilik usaha.
Nah, sebagai pemilik usaha, apa yang ingin anda ketahui mengenai kondisi
keuangan perusahaan?

Saya coba menebak-nebak (dengan menggunakan kelaziman). Sebagai


pengusaha, minimal anda ingin tahu 2 hal berikut ini:

1. Kekayaan Perusahaan

Page 16 of 33
Pertanyaan paling mendasar di wilayah ini adalah: Apakah perusahaan dalam
kondisi baik-baik saja? “Baik-baik saja” dalam hal ini maksudnya: Dapat
beroperasi secara lancar.

Perusahaan hanya akan bisa lancar beroperasi bila:


a. Memiliki kas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan operasional sehari-
hari;
b. Memiliki kas yang cukup untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya, yaitu:
mampu membayar utang kepada vendor/supplier, bank, dan membayar
dividen kepada pemegang saham;
c. Memiliki persediaan (bahan baku untuk diproduksi atau barang jadi untuk
di jual);
d. Memiliki sarana dan fasilitas yang cukup untuk menunjang kelancaran
operasional perusahaan.

Dengan kata lain, apakah perusahaan memiliki “kekayaan” yang cukup untuk
bisa beroperasi dengan lancar? Jawaban atas pertanyaan itu ada di NERACA—
yang sering juga disebut sebagai “Laporan Posisi Keuangan.”

Masih ingat dengan persamaan akuntansi di bawah ini?

Aktiva (asset) = Kewajiban (Liability) + Ekuitas Pemilik (equity)

Itulah isi utama dari sebuh Neraca. Untuk visualisasi, silahkan lihat contoh
necara sederhana di bawah ini:

Page 17 of 33
Dari contoh Neraca di atas anda sebagai pemilik PT. JAK bisa melihat posisi
keuangan perusahaan dan memperoleh informasi sbb:

Kekayaan kotor perusahaan sama dengan total nilai aktiva (asset)-nya.


Dalam contoh ini adalah 137. Jika dibandingkan dengan total kewajiban
(utang) yang sebesar 67, masih ada selisih kekayaan sebesar 70. Selisih yang
70 inilah yang disebut dengan “Kekayaan Bersih (Net Asset atau Net Worth)”
perusahaan.

Dari sini jelas tergambar bahwa perusahaan memiliki kemampuan yang cukup
untuk memenuhi semua kewajibannya, dengan asumsi: jika semua asset
dijual maka semua utang bisa dilunasi.

Jika kembali ke contoh pertanyaan yang saya sampaikan di awal tulisan:


Mestinya perusahaan bisa memenuhi kewajibannya, tetapi mengapa
banyak vendor (supplier) yang mengeluhkan keterlambatan
pembayaran?

Untuk menjawab pertanyaan spesifik seperti ini, perhatian harus diarahkan ke


elemen-elemen neraca yang lebih kecil. Pada sisi aktiva nampak akun “Kas”
saldonya hanya 10, sementara akun “Utang Dagang” di sisi sisi Kewajiban
nampak sebesar 30. Jelas perusahaan akan mengalami defisit (kekurangan)
kas sebesar 20, sehingga banyak vendor yang mengalami penundaan
pembayaran.

Page 18 of 33
Mengapa terjadi demikian? Bagaimana cara mengatasinya? Apa yang
perlu dilakukan oleh manajemen agar kondisi ini tidak terjadi lagi di masa
yang akan datang?

Bentuk Neraca sudah dirancang sedemikian rupa sehingga mampu menjawab


semua kemungkinan pertanyaan yang ada. Dengan catatan, anda harus
memahami logikanya. Dari total aktiva (asset) sebesar 137, mengapa akun kas
nilainya hanya 10, dimana sisanya? Perhatian di alihkan ke elemen-elemen
aktiva (asset) lainnya, yaitu:
 Piutang = 85
 Persediaan = 32
 Aktiva Tetap = 10.

Nah ketahuan sudah, asset menumpuk di akun “Piutang” sebesar 85.


Sehingga pertanyaan “mengapa”-nya sudah terjawab. Tinggal berpikir
bagaimana cara mengatasinya dan cara mencegahnya di waktu yang akan
datang. Untuk mengatasinya manajemen perusahaan perlu memfokuskan
perhatian pada proses penagihan piutang—mungkin dengan menawarkan
potongan untuk pembayaran lebih awal, kalau perlu panggil debt collector jika
mengalami kesulitan penagihan. Untuk mencegah agar tidak terjadi lagi di
masa yang akan datang, manajemen perlu mengubah kebijakan kredit—
mungkin di buat lebih ketat lagi, lebih selektif terhadap pemberian kredit,
termin pembayaran di perpendek, dan lain sebagainya.

Selanjutnya, dari Neraca yang sama anda juga bisa melihat bahwa total
“Ekuitas Pemilik” meningkat 20. Dari modal awal sebesar 50 kini menjadi 70.
Mengapa angkanya sama dengan “Kekayaan Bersih” perusahaan yaitu 70,
apakah karena kebetulan?

Tidak. Ini berasal dari persamaan dasar akuntansi: Asset = Kewajiban +


Equitas Pemilik. Dengan demikian, maka: Equitas Pemilik = Asset –
Kewajiban. Nah jika Kekayaan Bersih = Asset – Kewajiban, Maka otomatis:
Kekayaan Bersih = Ekuitas Pemilik.
Jika kembali ke pertanyaan di awal tulisan: “Mengapa ekuitas pemiliki
meningkat tetapi tidak ada dividen yang bisa dibagikan kepada pemegang
saham”? (dengan kata lain perusahaan tidak bisa memenuhi kewajibannya
kepada pemegang saham)

Page 19 of 33
Jawabannya kembali ke masalah ketersediaan kas. Perusahaan tidak memiliki
cukup persediaan Kas. Bagaimana mengatasinya? Sama seperti solusi
sebelumnya.

Lebih detail mengenai ketersediaan kas dan pengalokasiannya (apakah sudah


seperti yang direncanakan, apakah dipergunakan secara efeisien, dan lain
sebagainya) bisa dilihat di “Laporan Arus Kas”.

Laporan Arus Kas, untuk perusahaan yang sudah Go Publik (listing di bursa
saham) wajib ada. Sedangkan untuk perusahaan non-publik bisa ada bisa
tidak. Mengapa boleh ada boleh tidak? Karena “Laporan Arus Kas” hanya
merupakan rincian lebih detail dari akun “Kas” di Neraca. Sehingga pada
dasarnya, nilai akhir dari laporan arus kas sama dengan saldo yang ada pada
akun “Kas” di Neraca. (Catatan: Saya akan membahas laporan arus kas secara
terpisah (di tulisan lain).

Hal yang tak kalah pentingnya untuk diketahui dari sebuah Neraca adalah
“Tanggal Neraca” (dibawah tulisan “NERACA PT. JAK”), dalam contoh ini
adalah “Per 31 Januari 2012.” Artinya: Kekayaan Kotor sebesar 137 dan
Kekayaan Bersih sebesar 70 adalah “Kekayaan Perusahaan” per tanggal 31
Januari 2012. Itu sebabnya mengapa dalam teori akuntansi, Neraca
didefinisikan sebagai “Laporan yang menyajikan posisi keuangan perusahaan
pada tanggal tertentu.” Di U.S. sana sering disebut dengan “Snapshot of
Financial Position.”

2. Untung atau Rugi

Mengetahui berapa besarnya kekayaan perusahaan, mengetahui apakah


perusahaan mampu melunasi utang-utangnya saja, belumlah cukup. Sebagai
pengusaha anda juga ingin tahu:
a. Apakah bulan/tahun ini anda untung atau rugi? Jika rugi, mengapa?

Page 20 of 33
b. Apakah operasional perusahaan berjalan dengan efisien atau sebaliknya,
boros?
c. Apakah sumber daya perusahaan lebih banyak digunakan untuk aktivitas
yang menghasilkan barang/jasa atau untuk hal-hal di luar itu?

Semua jawabanya ada di ‘Laporan Laba Rugi.’ Untuk visualisasi silahkan lihat
contoh Laporan Laba Rugi PT. JAK di bawah ini:

Memperhatikan Laporan Laba Rugi di atas, anda bisa melihat dengan jelas
bahwa:
a. Pendapatan (Revenue) sebesar 187
b. Harga Pokok Penjualan (Cost of Goods Sold) sebesar 50
c. Laba Kotor (Gross Profit) sebesar 137
d. Biaya-biaya 132
e. Laba Bersih (Net Profit) sebesar 5
Diantara kelima angka-angka di atas, mana yang paling penting bagi anda
sebagai pengusaha? Sudah pasti “Laba Bersih”. Laba bersih menunjukan
angka 5. Ini sangat kecil jika dibandingkan dengan nilai Revenue anda yang
menunjukan angka 187. Dengan kata lain, profit margin anda hanya 3%
(=5/187). Kalau begini ceritanya mah mendingan uangnya di taruh di deposito
kan?

Page 21 of 33
Lalu anda tanya orang accounting “Mengapa labanya hanya 5, padahal
revenuenya tinggi? Pasti ada yang tidak beres di sini.”

Mungkin dengan cekatan mereka menjawab “Karena biayanya tinggi, boss.”


Ya iyalah. Revenue tinggi, wajar jika biaya juga tinggi (kecuali yang bikin
barang dari golongan jin.) Tidak usah orang manajemen, Mbok Jum warung
sebelah juga tahu pendapatan dikurangi biaya sama dengan laba atau rugi.
Tapi, bukankah bila revenue tinggi, biaya tinggi, mestinya laba masih tetap
tinggi?

Pertama, mungkin mereka akan memeriksa kembali angka-angka di laporan,


dibandingkan dengan neraca saldo, dibandingkan dengan buku besar, bahkan
bukti transaksi dibandingkan dengan catatan transaksi (jurnal) satu-per-satu.
Semua perhitungan diperiksa satu per satu. Beberapa hari kemudian mereka
kembali dengan jawaban “Semua angka sudah saya periksa, hasilnya benar
dan akurat. Semua jurnal sudah benar, tidak ada transaksi yang tertinggal
atau diposting dua kali”.

Nah inilah yang saya sebutkan di awal: menguasai teknis akuntansi, mahir
menjunal dan membuat laporan keuangan, tetapi tidak (belum) memahami
logika akuntansi dengan baik.

Andai sudah memahami logika di balik Laporan Keuangan (Laba Rugi dalam
hal ini), mereka tidak perlu sampai memeriksa transaksi satu-per-satu,
bahkan mungkin tidak sampai perlu memeriksa saldo buku besar. Cukup
hanya dengan melihat Laporan secara sepintas (scanning) dari atas kebawah:
Pertama anda lihat “Pendapatan (revenue)”, lalu anda bandingkan dengan
“Harga Pokok Penjualan”, apakah angkanya terlihat logis? Dengan pendapatan
sebesar 187, apakah logis jika harga pokok penjualannya 50 sehingga laba
kotornya menjadi 137? Permasalahan dilokalisir sampai di sini dahulu.
Untuk mengetahui logis-atau-tidak logis, sebenarnya sudah disediakan alat
bantu di bawah “Laba Kotor (Gross Profit)” yang disebut dengan “Gross Profit
Margin” yang menunjukan angka 73%. Angka ini tidak akan ada di sana jika
tidak ada fungsinya. Apa fungsinya? Untuk mengetahui apakah perbandingan
antara pendapatan dengan laba kotor. Pertanyaaan selanjutnya: apakah gross
profit margin sebesar 73% itu wajar? Anda bisa memanggil cost accountant
anda, merekalah yang paling tahu berapa besarnya gross profit margin untuk

Page 22 of 33
produk yang dijual. Separah-parahnya, anda bisa membandingkan angka 73%
ini dengan angka gross profit margin bulan lalu—jika perlu, tarik hingga satu
tahun ke belakang untuk melihat ‘trend’-nya.

Saya pribadi, untuk penelusuran cepat, memilih menggunakan kelaziman dan


benchmark. Dari sana saya tahu bahwa untuk jenis usaha manufaktur gross
profit margin ada di kisaran 25 hingga 50%. Untuk jenis perusahaan jasa ada
di kisaran 50 hingga 70%. Dan untuk jenis usaha trading (termasuk retail) ada
di kisaran 70 hingga 200%.

Nah jika PT. JAK dalam contoh ini adalah perusahaan manufaktur, maka
angka gross profit margin sebesar 73% tergolong tinggi. Sehingga akar
masalahnya sudah pasti tidak ada di antara wilayah revenue hingga harga
pokok penjualan. Lalu dimana? Sudah pasti ada di wilayah biaya-biaya.

Selanjutnya tinggal scanning wilayah akun-akun biaya yang ada di laporan


laba rugi. Diantara biaya-biaya tersebut mana yang terlihat tidak wajar? Jika
anda punya laporan laba rugi bulan sebelumnya, anda tinggal meletakannya
secara bersisian dengan laporan laba rugi Januari 2012 ini, lalu bandingkan.
Dalam contoh ini saya tidak buatkan laporan laba rugi bulan sebelumnya
sebagai pembanding. Angka yang janggal langsung saja saya beri warna
merah, yaitu “Biaya Telepon” sebesar 35. Mengapa ini janggal? Bandingkan
dengan “Biaya Gaji?”—apakah logis biaya telepon lebih besar dibandingkan
biaya gaji dalam sebuah perusahaan manufaktur? Tidak logis.

“Bukankah tadi sudah diperiksa oleh orang accounting dan mereka


mengatakan semua transaksi sudah diperiksa hingga ke nota-nya dan
hasilnya akurat?”

Yup. Jika jurnal dan angka di nota benar, berarti yang salah adalah: ORANG
YANG BOROS MENGGUNAKAN TELEPHONE. Biaya telephone bengkak begitu
besar sudah pasti ada pemakaian yang luar biasa tinggi di luar kebutuhan
perusahaan. Selanjutnya tinggal kirim memo ke HRD untuk investigasi lebih
lanjut (siapa yang menelpon pacar berjam-jam setiap hari?). Untuk mencegah
agar tidak tejadi lagi di masa yang akan datang, mungkin HRD perlu membuat
aturan pemakaian telepon. Misalnya: Akses inetrlokal, handphone dan SLI
hanya untuk manajer ke atas dengan menggunakan PIN—sehingga

Page 23 of 33
penggunaannya bisa diketahui. Sedangkan untuk staff, jika perlu interlokal,
SLI atau handphone harus via operator (front office) dengan approval dari
manajer.

Logika-logika dasar seperti ini sangat perlu terus diasah, agar


penguasaan akuntansi dan keuangan menjadi semakin matang,
sehingga bisa menjalankan fungsi dengan baik, bisa memberi masukan
yang bermanfaat bagi perusahaan.

Ini baru sebagian kecil dan masih di permukaan. Semakin dalam


menyelam, semakin detail, sudah pasti semakin banyak pula ragam
logika akuntansi yang harus dipelajari. Tentunya ini bukan sesuatu
yang bisa dikuasai secara instant. Butuh waktu, kesabaran dan
kesungguhan.
Bagi mereka yang sudah bekerja, dan masih merasa perlu mengasah
kemampuan akuntansi melalui pemahaman logika-logikanya, tidak ada
cara selain “Learn as you go.” Modal awalnya hanya satu: selalu
penasaran/ingin tahu. Selanjutnya tergantung pada seberapa besar
keberanian kita dalam mengikuti instinct rasa ingin tahu itu.

Sumber:
http://jurnalakuntansikeuangan.com/2012/01/memahami-logika-laporan-
keuangan-neraca-dan-laba-rugi/

Cara Mudah Menghitung Harga Pokok Penjualan Sekaligus Alurnya

Bagimana caranya menghitung harga pokok penjualan? Pertanyaan ini


sering saya gunakan untuk test penerimaan calon pegawai di bagian
accounting. Melalui tulisan ini saya ingin share cara mudah menghitung
harga pokok penjualan, beserta alurnya, dengan bagan grafis sederhana
(agar mudah diingat). Mungkin tidak applicable untuk segala kondisi, tetapi

Page 24 of 33
(mudah-mudahan) bisa menjadi awal pemahaman yang tentunya masih perlu
dilengkapi dengan panduan-panduan dari buku dan literature.

Siapa Bilang Menghitung Harga Pokok Penjualan Hanya Urusan Cost


Accountant?
Kembali ke pertanyaan yang sering saya ajukan dalam test penerimaan staf
accounting. Jawaban mereka, bervariasi. Tentu saja ada yang benar dan ada
yang salah. Tak sedikit juga jawaban yang membuat saya tersenyum kecut—
prihatin persisnya.

Bagaimana tidak prihatin, suatu ketika, seorang kandidat yang melamar


posisi cost accountant tidak tahu caranya menghitung harga pokok
penjualan—padahal perhitungan harga pokok penjualan adalah
fundamentalnya akuntansi biaya (cost accounting).

Yang lebih memperihatinkan lagi, salah seorang kandidat yang melamar


posisi chief accountant dengan penuh percaya diri bertanya:
“Apakah perusahaan bapak menerapkan sistim persediaan periodik?”
Saya jawab, ‘Tidak. Kami menerapkan sistim perpetual”
“Oh. Kalau begitu tidak perlu menghitung HPP, pak. Kan sudah dijurnal saat
terjadi penjualan,” dia menyampaikan pandangannya.

Betul. Dalam sistim persediaan perpetual, harga pokok penjualan diakui


saat barang laku terjual. Tetapi saya tidak terlalu yakin jika dia benar-benar
memahami konsep harga pokok penjualan dengan baik. Untuk itu saya
meminta dia membuat satu contoh.

“Misalnya, Pak. Terjadi penjualan barang persediaan maka dijurnal:


[Debit]. Piutang Dagang
[Kredit]. Penjualan
Dan;
[Debit]. Harga Pokok Penjualan
[Kredit]. Persediaan Barang Jadi”

Page 25 of 33
Jurnalnya sudah benar. Lalu saya minta dia mengisikan angka di masing-
masing jurnalnya. Dan, dia memasukan angka (saya tidak ingat persisnya),
tetapi kurang-lebih sbb:
[Debit]. Piutang Dagang = Rp 20
[Kredit]. Penjualan = Rp 20
Dan;
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 15
[Kredit]. Persediaan Barang Jadi = Rp 15

Saya bertanya lagi, “Mengapa kalau penjualannya Rp 20 trus HPP-nya jadi Rp


15? Apakah boleh jika angka 15 itu saya ganti dengan angka 5 atau 1,000,000
atau angka apa saja yang saya suka?”

Melihat dia cuma diam dan nampak bingung, saya ganti pertanyaanya dengan
ekspresi yang lebih tegas, “Saat anda membuat jurnal transkasi penjualan, dari
mana anda tahu harga pokok penjualan sebesar angka yang anda masukan
dalam jurnal?”
“Biasanya sudah ada di system, pak,” dia menjawab dengan jujur.
Mendapat jawaban seperti itu, lalu saya mendesak dia dengan pertanyaan,
“Dan, anda PERCAYA dengan angka yang di sistem itu?”
“Kan sudah dihitung oleh cost accountant, pak. Bukan tanggungjawab saya.”

Dari sana saya mengambil kesimpulan bahwa kandidat tidak sungguh-


sungguh memahami teknis perhitungan harga pokok penjualan. Dan dia
bukan orang yang tepat untuk berada dalam team saya. Yang mungkin luput
dari pertimbangannya adalah: seorang cost accountant berada di bawah
tanggungjawabnya—sebagai seorang chief accountant.

Lepas dari itu semua, khususnya chief accountant, harus bisa menjamin
akurasi setiap digit angka yang tersaji dalam laporan keuangan—termasuk
harga pokok penjualan yang “muncul di system.” Nah, jika darimana
datangnya (teknis perhitungannya) saja tidak tahu, bagaimana bisa menjamin
angka yang dihasilkan sudah akurat atau belum.

Mengenai angka harga pokok penjualan satuan yang suda ada di sistem
(software) akuntansi perusahaan, TIDAK muncul begitu saja, melainkan

Page 26 of 33
melalui perhitungan teknis—entah itu dilakukan secara manual (lalu diinput
ke sistem) atau melalui proses otomatisasi dengan menggunakan variable-
variable data yang dimasukan saat proses produksi berlangsung.

Pada perushaan-perusahaan yang menerapkan “standard costing”,


perhitungan harga pokok penjualan biasanya diotomatisasi dengan
menggunakan input data yang dimasukan pada saat suatu product (barang)
dirancang di bagian Research and Development. Unit cost (harga pokok
satuan) suatu produk terdiri dari berbagai element cost (yang sudah
distandarisasi) yang kemudian membentuk apa yang disebut dengan ‘Bill of
Materials” (BOM). Bagimanapun juga, tetap melalui alur pehitungan yang
menggunakan konsepdasar harga pokok penjualan.

Yang ingin saya sampaikan (melalui ilustrasi kasus di atas) adalah:


“Mampu menghitung harga pokok penjualan adalah wajib bagi seorang
akuntan—terlepas apakah dia seorang cost accountant atau bukan.”
Bahkan seorang auditor—yang nota benanya lebih banyak menggeluti
akuntansi keuangan (dibandingkan akuntantansi biaya/akuntansi
manajemen)—pun wajib tahu. Tidak menutup kemungkinan, seorang auditor
perlu menguji akurasi angka-angka yang ada di Laporan Laba Rugi yang
pastinya mengandung harga pokok penjualan.

Melalui tulisan ini saya ingin share cara mudah menghitung harga pokok
penjualan, sekaligus alurnya. Jika tertarik, silahkan ikuti sampai selesai.

Perhitungan Harga Pokok Penjualan Sederhana

Perhitungan Harga Pokok Penjualan yang paling sederhana adalah sbb:


Saldo Awal Persediaan + Pembelian (atau penambahan persediaan) – Saldo
Akhir Persediaan = Harga Pokok Penjualan

Page 27 of 33
Perhitungan sederhana itu bisa diterapkan pada jenis perusahaan
dagangyang jenis persediaannya hanya berupa barang jadi—yang dibeli dari
pemasok.

Misalnya:
Data persediaan UD. JAK (pedagang eceran beras) untuk tahun 2012 adalah
sbb:
Saldo awal persediaan = Rp 5,000,000
Pembelian beras dari 1 Januari s/d 31 Desember 2012 = Rp 85,000,000
Saldo Akhir Persediaan per 31 Desember 2012 = Rp 3,000,000
Harga Pokok Penjualan 2012 = 5,000,000 + 85,000,000 – 3,000,000
Harga Pokok Penjualan 2012 = 87,000,000

Itu perhitungan harga pokok penjualan beras pada perusahan dagang beras.
Perhitungan menjadi agak rumit untuk perusahan manufaktur—yang barang
persediaannya dibuat sendiri (baik itu sebagian atau keseluruhan).

Bagaimana menghitung harga pokok penjualan perusahaan


manufaktur?

Yuk kita pindah ke paragraph berikutnya…

Alur Perhitungan Harga Pokok Penjualan Perusahaan Manufaktur

Menghitung harga pokok penjualan untuk perusahaan manufaktur


menjadi sedikit lebih rumit, jika dibandingkan dengan perusahaan dagang,
karena adanya “persediaan bahan baku” (raw materials) yang diolah menjadi
“persediaan barang dalam proses” (work in process—biasanya disingkat WIP),
lalu barang jadi (finished goods—biasa disingkat FG).
Proses pengolahan dari bahan baku menjadi barang dalam proses lalu barang
jadi menimbulkan cost-cost lain, diantaranya: “biaya tenaga kerja langsung”
(labor cost) dan “overhead produksi” (production overhead).

Secara garis besar alur proses produksi adalah sbb:


Bahan Baku (raw materials) dikeluarkan dari gudang ==> Bahan baku diolah
menjadi barang dalam proses(work in process) ==> Barang dalam proses
diolah lagi menjadi barang jadi (finished goods).

Page 28 of 33
Nah, perhitungan harga pokok penjualan mengikuti alur produksi di atas.
Berikut adalah bagan alur perhitungan yang saya buat sedemikian rupa
sehingga menjadi lebih sederhana dan mudah dipahami:

Penjelasan:
Dari bagan di atas jelas terlihat bahwa, alur penghitungan “Harga Pokok
Penjualan” perusahaan manufaktur melalui 4 tahapan, mengikuti alur
produksi, yang terdiri dari:
 Tahap-1. Perhitungan “Bahan Baku Yang Digunakan”
 Tahap-2. Perhitungan “Total Biaya Produksi”
 Tahap-3. Perhitungan “Harga Pokok Produksi”
 Tahap-4. Pergitungan “Harga Pokok Penjualan”
Berikut adalah penjelasan lebih rincinya:

Tahap-1. Perhitungan BAHAN BAKU YANG DIGUNAKAN:

Saldo Awal Persediaan Bahan Baku – Yang dimaksud dengan “saldo awal
persediaan bahan baku” adalah total nilai persediaan bahan baku di awal
periode yang dihitung (awal bulan untuk bulanan dan awal tahun untuk
tahunan). Saldo awal periode yang dihitung sama dengan saldo akhir periode
sebelumnya yang secara global bisa dilihat di Neraca, sedangkan per jenis
bahan baku bisa dilihat di buku persediaan (inventory ledger) dan kartu stock.
Cakupan “bahan baku” dalam hal ini termasuk: bahan
penolong/pembantu/apapun namanya.

Pembelian Bahan Baku – Yang dimaksud dengan “pembelian bahan baku”


dalam hal ini adalah total pembelian bahan baku (termasuk bahan penolong)
NETO selama periode yang dihitung. Misalnya: “Perhitungan HPP untuk bulan
Juni 2012”, berarti total pembelian bahan baku dari 1 s/d 30 Juni 2012. Jika
“Perhitungan HPP untuk Tahun 2012”, berarti total pembelian bahan baku
dari 1 Januari s/d 31 Desember 2012. Bisa dilihat di buku besar persediaan.
Dan “NETO” dalam hal ini artinya: sudah memperhitungkan pengurangan dan
penambahan akibat adanya discount, rabat, dan retur.

Saldo Akhir Persediaan Bahan Baku – Yang dimaksud dengan “saldo akhir
persediaan bahan baku” adalah total nilai persediaan bahan baku (yang

Page 29 of 33
tersisa) pada akhir periode yang dihitung—setelah dilakukan penghitungan
fisik dan penyesuaian-penyesuaian.

Bahan Baku yang Digunakan – Yang dimaksud dengan “bahan baku yang
digunakan” dalam hal ini adalah total bahan baku yang diolah (diproduksi)
untuk menghasilkan produk yang diinginkan. Angka ini (Rp 67,000 dalam
contoh) diperoleh dengan menggunakan formula perhitungan seperti yang
terlihat pada bagan: saldo awal persediaan bahan baku + pembelian bahan
baku – saldo akhir persediaan bahan.

Tahap-2. Perhitungan TOTAL BIAYA PRODUKSI

Bahan Baku yang Digunakan – Ini pindahan dari perhitungan tahap-1

Biaya Tenaga Kerja Langsung – Yang dimaksud dengan “biaya tenaga kerja
langsung” adalah total upah karyawan/buruh yang pekerjaannya berimplikasi
langsung terhadap volume output produk yang dihasilkan. Angkanya bisa
dilihat dari daftar pembayaran gaji untuk karyawan yang masuk dalam
kelompok “tenaga kerja langsung”. Yang masuk dalam kelompok tenaga kerja
langsung adalah pegawai yang dibayar berdasarkan jumlah jam kerja (yang
ada rate per jamnya) atau berdasarkan volume pekejaan yang diselesaikan
(biasa disebut borongan). Sedangkan pegawai bagian produksi di luar kriteria
itu, tidak ikut dihitung.

Overhead Produksi – Overhead ini sering menjadi sumber kebingungan dan


simpang-siur. Begini saja, yang dimaksud dengan “overhead produksi” adalah
segala biaya yang berhubungan dengan aktivitas produksi SELAIN bahan baku
dan biaya tenaga kerja langsung (lihat bahan penjelasan mengenai bahan
baku di tahap-1). Termasuk dalam kelompok ini adalah biaya yang timbul dari
aktivitas packaging, pengiriman barang, biaya pemeliharaan mesin dan
peralatan, biaya pemeliharaan gedung pabrik dan gudang, penyusutan mesin
dan peralatan, penyusutan gedung pabrik dan gudang.

Total Biaya Produksi – Yang dimaksud dengan “total biaya produksi” dalam
hal ini adalah semua biaya yang timbul akibat aktivitas produksi yang
berlangsung selama periode yang dihitung—termasuk bahan baku yang
digunakan (itu sebabnya mengapa “biaya bahan baku yang digunakan” dari

Page 30 of 33
perhitungan tahap-1 diikutsertakan) ditambah biaya tenaga kerja langsung
dan overhead produksi.

Note: Sampai pada tahap ini, perhitungan telah mencerminkan segala


biaya/cost yang timbul dari aktivitas produksi selama periode yang dihitung,
TETAPI belum mengikutsertakan penggunaan “persediaan barang dalam
proses” yang merupakan SISA (saldo akhir) periode sebelumnya. Itu sebabnya
mengapa hasil perhitungan sampai pada tahap-2 ini disebut “Biaya produksi”
saja—BELUM disebut Harga Pokok Produksi. Lanjut ke tahap-3…

Tahap-3. Perhitungan HARGA POKOK PRODUKSI

Total Biaya Produksi – Ini pindahan dari perhitungan tahap-2 (baca note di
tahap-1)

Saldo Awal Persediaan Barang Dalam Proses – Yang dimaksud dengan


“saldo awal persediaan barang dalam proses” adalah total nilai persediaan
barang dalam proses di awal periode yang dihitung. Saldo awal periode yang
dihitung sama dengan saldo akhir periode sebelumnya yang secara global bisa
dilihat di Neraca, sedangkan rincian per item/jenis barang bisa dilihat di buku
persediaan (inventory ledger) persediaan barang dalam proses.

Saldo Akhir Persediaan Barang Dalam Proses – Yang dimaksud dengan


“saldo akhir persediaan barang dalam proses” adalah total nilai persediaan
barang dalam proses (yang tersisa) pada akhir periode yang dihitung—setelah
dilakukan penghitungan fisik dan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan.

Harga Pokok Produksi – Yang dimaksud denga “harga pokok produksi”


adalah segala biaya/cost yang timbul dari aktivitas produksi pada masa yang
dihitung (itu sebabnya mengapa total biaya produksi dari hasil perhitungan
tahap-2 diikutsertakan) ditambah dengan saldo awal persediaan barang dalam
proses, lalu dikurangi saldo akhirnya.

Note: Ketiga tahap (dari tahap-1 s/d tahap-3) ini sudah mewakili semua
biaya/cost yang timbul dari aktivitas suatu proses manufaktur (pabrikan).
Dengan kata lain, mencerminkan semua biaya/cost yang timbul akibat proses

Page 31 of 33
pengolahan dari bahan baku menjadi barang yang siap untuk dijual.
Kasarannya, angka ini mewakili nilai persediaan barang jadi yang berhasil
dibuat selama periode yang dihitung. TETAPI belum mengikutsertakan
penggunaan persediaan barang jadi SISA dari periode sebelumnya. Itu
sebabnya mengapa hasil perhitungan sampai tahap-3 ini disebut “Harga
Pokok Produksi” saja—BELUM disebut Harga Pokok Penjualan. (Untuk
menentukan HARGA POKOK PRODUKSI SATUAN, perhitungan dibuat ditahap
ini dengan cara membagi total nilai harga pokok produksi dengan jumlah
output produk yang dihasilkan selama periode tersebut, dibuat per jenis/item
produk.)

Tahap-4. Pergitungan HARGA POKOK PENJUALAN (HPP)

Harga Pokok Produksi – Ini pindahan dari perhitungan tahap-3 (baca note di
tahap-3)

Saldo Awal Persediaan Barang Jadi – Yang dimaksud dengan “saldo awal
persediaan barang jadi” adalah total nilai persediaa barang jadi di awal periode
yang dihitung. Saldo awal periode yang dihitung sama dengan saldo akhir
periode sebelumnya yang secara global bisa dilihat di Neraca, sedangkan
rincian per jenis/item barang bisa dilihat di buku persediaan (inventory ledger)
barang jadi dan kartu stock.

Barang Tersedia Untuk Dijual – Yang dimaksud dengan “barang tersedia


untuk dijual” adalah total nilai persediaan barang jadi—yaitu: barang jadi yang
dihasilkan selama periode yang dihitung ditambah dengan saldo awal
persediaan barang jadi (alias sisa barang jadi dari periode sebelumnya)—yang
tersedia atau siap untuk dijual.
Saldo Akhir Persediaan Barang Jadi – Yang dimaksud dengan “saldo akhir
barang jadi” adalah nilai persediaan barang jadi (yang tersisa) di akhir periode
yang dihitung—tentunya setelah melalui penghitungan fisik dan rekonsiliasi
(antara fisik barang dan catatan), serta adjustments yang diperlukan telah
dimasukan.

Harga Pokok Penjualan (HPP) – Inilah hasil (angka) yang diperoleh diujung
alur proses—setelah melalui empat tahap penghitungan—untuk menentukan
harga pokok penjualan perusahaan manufaktur.

Page 32 of 33
Tentu ini bukan panduan yang komprehensif, tetapi saya berharap ini bisa
menjadi panduan awal yang bisa membantu pembaca untuk memahami
alur penghitungan harga pokok penjualan (HPP) dengan lebih mudah.
Untuk panduan yang lebih komprehensif silahkan baca kembali buku-buku
akuntansi manajemen dan akuntansi biaya

Page 33 of 33

Anda mungkin juga menyukai