Tren Perawatan Fraktur Panggul Akibat Osteoporosis dari Tahun 2010 – 2014 di
Rumah Sakit Swasta di Malaysia
Osteoporosis di definisikan sebagai kelainan pada tulang dan sendi yang di tandai
dengan predisposisi kekuatan tulang yang membahayakan seseorang dan dapat
meningkatkan resiko patah tulang. Fraktur osteoporosis tipikal sering terjadi pada
pergelangan tangan, tulang belakang dan pinggul. Semua fraktur osteoporosis terutama di
pinggul secara substansial dapat meningkatkan resiko kematian dalam waktu dekat dan
merupakan penyebab utama morbitas pada lansia. Tingkat kematian dalam satu tahun
dapat berkisar antara 12% - 37% dengan sekitar 50% pasien tidak mampu untuk kembali
hidup mandiri. Selain itu, fraktur sebelumnya merupakan faktor resiko yang dapat
meningkatkan terjadinya fraktur di masa depan, oleh karena itu disarankan agar setelah
terjadi fraktur fragilitas semua pasien dengan osteoporosis dapat dinilai dan diobati.
Namun, banyak variabel yang dapat meningkatkan perawatan setelah fraktur panggul,
tapi umumya agak buruk. Sebuah penelitian di italia menunjukkan 78% dari pasien yang
menerima pengobatan farmakologis dan 68,7% diberikan kalsium dan vitamin D (CaD)
setelah patah tulang pinggul. Sebaliknya, penelitian lain menunjukkan tingkat pengobatan
terendah 6% di Belgia, 7,2% - 13% di Amerika Serikat, 15% di Belanda, 25 % di Spanyol
sampai 39% di Finlandia. Pada sejumlah studi dengan pasien Asia, ditemukan bahwa 33%
pasien diberikan obat untuk osteoporosis setelah rawat inap untuk patah tulang pinggul dan
39% pasien dari korea menerima lebih dari satu resep untuk pengobatan fraktur panggul
akibat osteoporosis.
Berdasarkan catatan rekam medis rumah sakit terkomputerisasi yang dicari istilah
“panggul”, “femur”, “femoralis”, “trochanteric”, “fracture”, atau “pergantian panggul total”
untuk semua pasien berusia di atas 50 tahun, antara tahun 2010 – 2014. Diperoleh data
rekam medis dan secara manual mencari informasi tentang data demografi pasien dan
pengobatan farmakologis untuk osteoporosis. Pasien yang memiliki riwayat operasi pinggul
untuk fraktur traumatis atau untuk arthritis tidak disertakan. Dari 1 Januari – 31 Desember
2014, ada 370 pasien berusia di atas 50 tahun dengan patah tulang / operasi panggul.
Setelah mengecualikan pasien yang menjalani prosedur trauma ( trauma nonelow) atau
arthitis ada 258 (69,7%) yang menganggap fraktur osteoporosis.
Tabel 1.
Proporsi Perbandingan dari Pasien yang Dirawat dan Tidak Dirawat dari Tahun 2010 –2014.
Tahun Dirawat Tidak Dirawat p-value
2010 (n= 60) 34 (56,7) 26 (43,3) -
2011 (n= 58) 17 (29,3) 41 (70,7) 0,003
2012 (n= 53) 17 (32,1) 36 (67,9) 0,009
2013 (n= 44) 14 (31,8) 30 (62,2) 0,012
2014 (n= 43) 13 (30,2) 30 (69,8) 0,008
Jumlah nilai disajikan dalam (%)
P < 0,005, Perbedaan signifikan statisfik dibandingkan tahun 2010. Chi-Square test.
Pada Tabel 1 Ditunjukkan jumlah pasien yang dirawat atau tidak dirawat di masing-
masing tahun. Secara signifikan lebih banyak pasien yang diobati pada tahun 2010
dibandingkan dengan tahun-tahun berikutnya. Namun tidak ada perbedaan antara jumlah
pasien yang dirawat di tahun 2011 – 2014 (Chi-square, p > 0,05 untuk perbandingan antara
semua tahun 2011 – 2014 [data tidak ditampilkan]. Secara keseluruhan, 95 dari 258 (36,8%)
menerima pengobatan setelah mereka mengalami patah tulang pinggul, tetapi 23 dari 95
(75,8%) diberi resep kalsium / vitamin D saja, meninggalkan 72 dari 95 (75,8%) diberikan
pengobatan osteoporosis aktif. Jadi secara keseluruhan, 72 dari 258 (27,9%) dari total
jumlah penderita osteoporosis pinggul diberi terapi osteoporosis aktif.
Meski sebagian besar fraktur tulang panggul berada di leher femoralis, ada 15 dari
258 fraktur batang femoralis (5,8%), yang mungkin termasuk fraktur atipikal. Namun, tidak
ada fraktur poros femoralis yang dilaporkan sebagai fraktur atipikal oleh ahli radiologi. Tidak
satupun pasien dengan fraktur poros femur terjadi pada bifosfonat. Lama tinggal di rumah
sakit adalah 7 hari (IQR, 4 hari). Dalam 3 bulan saja 26 pasien (10,1%) kembali untuk
kunjungan lanjutan, berturut turut di ikuti dengan penurunan pasien pada 6 bulan dan 12
bulan dengan masing-masung 9 pasien (3,5%) dan 3 pasien (1,2%).
Belum banyak penelitian dilakukan di Asia. Sebuah studi Korea telah menguji Tinjauan
Asuransi dan Database Layanan Penilaian mereka menunjukkan bahwa 3 bulan setelah
fraktur panggul, 39% pasien telah diberi resep obat antiosteoporosis. Kung dkk melihat
pengobatan yang diterima menyusul fraktur panggul dengan trauma rendah di 6 negara Asia
di daratan China, Hongkong, Singapur, Korea Selatan, Malaysia, Thailand, dan Taiwan.
Begitu pula dengan penelitian yang melihat sebuah database asuransi kesehatan
komersial yang mencangkup orang-orang diseluruh Amerika Serikat ditemukan penurunan
jumlah orang yang diobati setelah mengalami fraktur panggul dengan energi rendah,
vertebra atau pergelangan tangan antara tahun 2000-2009. Pada wanita, 23,8% telah
menerima pengobatan selama tahun 2001-2002 dibandingkan dengan tahun 2007-2009
yaitu hanya 15,9%. Untuk pria, pada periode yang sama jumlah yang diobati adalah masing-
masing 10,6% dan 8,5%. Sebaliknya, sebuah penelitian yang mengamati pengobatan
setelah fraktur panggul dari database obat pennsylvania Medicare menunjukkan bahwa
tingkat perawatan meningkat dari 7% ditahun 1995 menjadi 31% di tahun 2002 dan tetap
stabil sampai akhir tahun 2004.
Salah satu alasan lain yang dapat menurunkan tingkat pengobatan di tahun 2010
dibandingkan dengan tahun-tahun berikutnya bisa jadi karena kenaikan laporan asosiasi
ftraktur femoral atipikal dengan penggunaan bifosfonat. Salah satu kasus awal berasal dari
Singapura, ke negara tetangga Malaysia, dimana ditemukan bahwa 9 dari 13 kasus fraktur
subtrochanterik berenergi rendah telah dilakukan pengobatan alendronate, amino
bifosfonat, rata-rata 5 tahun sebelum fraktur. Lebih banyak laporan yang diikuti sampai
tahun 2010, American Society of Bone and Mineral Research menerbitkan laporan
pertamanya tentang fraktur atipikal yang mengatakan bahwa resiko patah tulang dapat
meningkat seiring dengan meningkatnya durasi penggunaan bifosfonat. Sayangnya, efek
dari laporan tersebut adalah untuk mengurangi pengguanaan secara umum, bahkan banyak
dokter yang enggan untuk memulai pengobatan. Di Malaysia, data pelacakan penjualan
industri farmasi menunjukkan bahwa pembelian obat antiosteoporosis menurun selama
periode tersebut diperkirakan sekitar 34.000 pengobatan pada tahun 2012, berkurang
sekitar 30.000 pengobatan ditahun 2015.
Dalam penelitian ini hanya 36,8% pasien yang memulai pengobatan, durasi rata-rata
pengobatan mengecewakan, hanya 1 bulan karena tidak akan ada manfaatnya untuk
melakukan perawatan seperti itu dalam periode yang singkat. Ini mungkin karena tingkat
tindak lanjut yang rendah dengan hanya 10,1% yang janji untuk kembali menerima
pengobatan tindak lanjut selama 3 bulan. Penelitian yang lain juga menunjukkan bahwa
tingkat ketekunan untuk minum obat anti osteoporosis pada 1 tahun sangat rendah,
bervariasi dari 34% - 43%.
Dari semua fraktur femur hanya 4%-10% yang mengalami fraktur poros subtrochanter
dan femoralis. Dalam penelitian ini 5,8% yang mengalami fraktur poros femoralis, tidak lebih
tinggi dari jumlah yang dilaporkan. Selain itu, semua pasien dengan fraktur poros femur
belum pernah terpapar bifosfonat sebelum mereka fraktur. Jadi dalam sampel kecil ini, kami
tidak mengamati mengenai fraktur batang femur biposponat.
Untuk memperbaiki pengobatan pasien setelah mengalami fraktur, telah ditunjukkan 10
tahun yang lalu bahwa memiliki staf khusus atau “ manajer kasus” untuk menasehati dan
menindaklanjuti pasien serta memperbaiki jumlah pasien yang menerima perawatan setelah
mengalami fraktur panggul, 6 bulan setelah fraktur panggul, 51% pasien dalam kelompok
menerima intervensi terapi bifosfonat dibandingkan dengan 22% pasien pada kelompok
kontrol. Baru-baru ini Osteoporosis Internasionl Foundation dan American Society of Bone
Mineral Research merekomendasikan model perawatan berbasis koordinator atau dikenal
sebagai Fracture Liaison Service (FLS) sebagai model pilihan. Diadopsi oleh seluruh rumah
sakit dan fasilitas rawat jalan yang merawat pasien fraktur osteoporosis untuk pencegahan
fraktur sekunder mengikuti fraktur pertama. Program FLS telah terbukti hemat biaya dan
sangat efektif untuk pencegahan fraktur sekunder. Hasil penelitian ini akan menambah bukti
yang mendukung kebutuhan untuk menetapkan program FLS di rumah sakit tersebut dan
dapat meningkatkan tingkat pengobatan setelah osteoporosis fraktur panggul. Namun
penelitian tidak digeneralisasikan ke seluruh populasi Malaysia yang mayoritas memiliki
etnis Melayu.