Anda di halaman 1dari 12

PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah

Dasar Teknologi Produksi Tanaman

Cahya Effendi

(150510170063)

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2018
STUDI KASUS PENGARUH SOIL TILLAGE DAN NO SOIL TILLAGE
TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT

PENGARUH TEKNIK PERSIAPAN LAHAN TERHADAP SERANGAN HAMA PENYAKIT


PADA TEGAKAN BAMBANG LANANG

 PENDAHULUAN
Bambang lanang (Michelia champaca Linn.) merupakan salah satu jenis pohon
unggulan lokal yang potensial untuk dikembangkan di Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel)
dalam bentuk hutan tanaman, karena jenis ini merupakan jenis asli daerah Sumatera Bagian
Selatan (Sumbagsel) dan mempunyai nilai kompetitif yang cukup tinggi, baik dalam
pertumbuhan maupun nilai ekonominya (Winarno & Waluyo, 2007). Seperti halnya jenis
tanaman lainnya yang ditanam secara monokultur rentan terhadap berbagai gangguan hama
dan penyakit, contoh kasus serangan penyakit karat puru atau tumor Uromycladium
tepperianum Sacc. pada tanaman sengon (Falcataria moluccana (Niq) Barneby`& J.W
Grimes) di pulau Jawa, telah menyebabkan kerugian cukup besar karena banyak tanaman
sengon yang mati (Charomaini & Ismail, 2008) dan menurunkan produk kayu sengon secara
besar-besaran (Rahayu, 2008). Serangan rayap Coptotermes curvignathus Holm. pada
tanaman Acacia mangium Willd. di Sumatera, telah menyebabkan kematian tanaman muda
di lapangan sebesar 10-50% pada tahun pertama penanaman dan serangan hama Hypsipyla
robusta Moore pada tanaman mahoni (Swietenia macrophylla King) di Jawa Barat-Indonesia
dan Kerala-India sebanyak 70-90% tanaman mahoni terserang, yang mengakibatkan
pembangunan tanaman mahoni gagal (Nair, 2007). Tanaman bambang lanang juga tidak
luput dari berbagai gangguan hama dan penyakit.
Faktor penyiapan lahan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan serangan hama dan penyakit serta kesehatan tanaman. Morris et al. (2010)
menyatakan bahwa pengolahan tanah merupakan bagian dari persiapan lahan yang
menentukan kesehatan pertumbuhan tanaman dan kerentanan tanaman terhadap agen
perusak biotik dan abiotik. Pengolahan tanah dapat menghambat pertumbuhan populasi
hama atau dapat membunuh langsung hama yang hidup dalam tanah atau mencegah hama
dalam tanah yang dapat mengganggu tanaman (Untung, 2013) dan dapat mengurangi
keberadaaan hama dan sisasisa tanaman yang dapat menjadi pengganggu (Prasetyo et al.,
2014). Persiapan lahan merupakan bagian integral dari pembangunan tanaman hutan
dengan tujuan untuk mendapatkan daya hidup tanaman yang tinggi dan pertumbuhan awal
yang cepat. Teknik penyiapan lahan yang dapat diaplikasikan untuk membangun suatu
tegakan tanaman hutan adalah teknik penyiapan lahan tanpa olah tanah, olah tanah
maksimum (sempurna) dan olah tanah minimum (Wahyuningtyas, 2010). Teknik olah tanah
minimum merupakan teknik konservasi tanah yang mengupayakan gangguan mekanis t e
rhadap t anah s eminimum mungkin (Wahyuningtyas, 2010). Menurut Jayasumarta (2012),
pengolahan tanah minimum adalah pengolahan tanah yang dilakukan secara terbatas sejajar
kontur dengan cara, membuat lubang tanam dan pengolahan tanah seperlunya.
 HASIL DAN PEMBAHASAN
Metode penelitian dilakukan dengan metode eksperimental menggunakan
Rancangan Acak Blok Lengkap (RAKL), faktor tunggal, terdiri dari 4 perlakuan yaitu tanaman
jagung manis yang diinokulasi mikoriza ditanam pada tanah Regosol tanpa olah tanah (T0),
olah tanah minimal (T1), olah tanah sempurna (T2) dan olah tanah konservasi + mulsa
organik (T3). Metode Olah Tanah Membuat blok sebanyak 3 blok pada lahan. kemudian
membuat petak dengan cangkul ukuran panjang 300 cm dan lebar 135 cm sebanyak 12
petak.
a. Pada teknik tanpa olah tanah (TOT) Tanah dibiarkan tidak terganggu
b. Pengolahan tanah minimal Pengolahan tanah dilakukan dengan cara melakukan
pengolahan hanya dilakukan pada barisan tanaman saja dengan kedalaman 1 5-20 cm
menggunakan cangkul hingga gembur.
c. Pengolahan tanah sempurna Pengolahan tanah sempurna dilakukan dengan
mencangkul tanah dengan kedalaman 12-20 cm pada seluruh petak sampai gembur.
d. Pengolahan tanah konservasi Olah tanah secara konservasi dilakukan dengan cara
mencangkul dengan kedalaman 15-20 cm, kemudian menggunakan sisa tanaman
sebagai mulsa.
Analisis data untuk persentase serangan (P) dihitung menggunakan rumus sebagai
berikut :
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑎𝑛𝑎𝑚𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑢𝑘𝑢𝑟
P= 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑡𝑎𝑛𝑎𝑚𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑢𝑘𝑢𝑟
x 100 %
Adapun intensitas serangan (I) dihitung menggunakan rumus :
∑(ni x vj)
I= X 100 %
𝑍𝑋𝑁

Berdasarkan hasil pengamatan, jenis hama yang paling dominan ditemukan pada
tanaman bambang lanang di Desa Sumber Karya, Kecamatan Gumay Ulu, Kabupaten Lahat,
Provinsi Sumatera Selatan ada 3 jenis, yaitu ulat daun Graphium agamemnon L.
(Papilionidae; Lepidoptera), ulat pelipat daun Sorolopha cumarotis (Tortricidae; Lepidoptera)
dan ulat pengorok daun. Serangan ketiga hama ini berlangsung sepanjang tahun.
a. Ulat daun (Graphium agamemnon)
Gambar 1 menunjukkan bahwa trend perkembangan serangan G. agamemnon pada
semua teknik penyiapan lahan tidak berbeda. Trend perkembangan persentase
serangannya meningkat pada semua teknik penyiapan lahan, sebaliknya trend
perkembangan intensitas serangan menurun. Dilihat dari nilai persamaan regresi
menunjukkan bahwa peningkatan persentase serangan paling tinggi dan penurunan
intensitas paling rendah terjadi pada penyiapan lahan secara cemplongan. Peningkatan
paling rendah dan penurunan paling tinggi terjadi pada penyiapan lahan secara jalur.
Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa rata-rata persentase serangan G. agamemnon pada
hutan tanaman bambang mulai dari umur 4 bulan sampai 2 tahun tidak berbeda nyata
antara semua teknik penyiapan lahan, namun rata-rata intensitas serangannya pada
areal dengan teknik penyiapan lahan secara total paling rendah, tetapi tidak berbeda
nyata dengan teknik penyiapan lahan secara jalur dan berbeda nyata dengan teknik
penyiapan lahan secara cemplongan (Tabel 3).

b. Ulat pelipat daun (Sorolopha cumarotis)


Trend perkembangan serangan hama S. cumarotis pada setiap perlakuan penyiapan
lahan dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 menunjukkan bahwa trend perkembangan
persentase serangan S. cumarotis menurun pada teknik penyiapan lahan secara
cemplongan sedangkan pada teknik penyiapan lahan secara total dan jalur meningkat.
Trend perkembangan intensitas serangannya menurun pada semua teknik penyiapan
lahan, tetapi penurunan intensitas serangan paling tinggi terjadi pada penyiapan lahan
secara cemplongan. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa persentase serangan S.
cumarotis paling rendah pada areal dengan penyiapan lahan secara cemplongan dan
berbeda nyata dengan teknik penyiapan lahan secara total dan jalur, sedangkan rata-
rata intensitas serangannya tidak berbeda nyata antara semua teknik penyiapan lahan
(Tabel 3).
c. Hama ulat pengorok daun
Trend perkembangan serangan hama ulat pengorok daun pada setiap perlakuan
penyiapan lahan dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 menunjukkan bahwa trend
perkembangan persentase serangan ulat pengorok daun meningkat pada semua teknik
penyiapan lahan sedangkan trend perkembangan intensitas serangan menurun pada
semua teknik penyiapan lahan Peningkatan persentase serangan paling tinggi dan
penurunan intensitas serangan paling rendah terjadi pada penyiapan lahan secara
cemplongan sedangkan peningkatan persentase serangan paling rendah terjadi pada
penyiapan lahan secara total dan penurunan intensitas serangan paling tinggi terjadi
pada penyiapan lahan secara jalur. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa rata-rata
persentase serangan hama pengorok daun (leaf minner) paling rendah pada penyiapan
lahan secara cemplongan tetapi tidak berbeda nyata dengan penyiapan lahan secara
total dan jalur. Rata-rata intensitas serangannya paling rendah terjadi pada penyiapan
lahan secara total dan tidak berbeda nyata dengan teknik penyiapan lahan secara jalur
tetapi berbeda nyata dengan teknik penyiapan lahan secara cemplongan (Tabel 3).

 KESIMPULAN
Perkembangan serangan hama G. agamemnon, S. cumarotis dan ulat pengorok daun
cenderung menurun pada berbagai teknik penyiapan lahan seiring dengan bertambahnya
umur tanaman, namun tingkat kerusakan tanaman akibat serangan hama pada teknik
penyiapan lahan secara total paling rendah. Perkembangan serangan patogen
Colletotrichum sp. Cenderung menurun pada perlakuan penyiapan lahan secara total dan
paling rendah intensitas serangannya

 DAFTAR PUSTAKA
Asmaliyah, & Imanullah, A. (2012). Pengamatan serangan hama dan penyakit pada tanaman
bambang lanang (Michelia champaca) pada hutan rakyat di Sumatera Selatan.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang, 167-179.
Mile, M.Y. (2007). Prinsip-prinsip dasar dalam pemilihan jenis, pola tanam dan teknik
produksi agribisnis hutan rakyat (Basic principle on species choice and production
techniques of community forestry agribisnis). Info Teknis, 5(2), 1-6.
Winarno, B., & Waluyo, E.A. (2007). Potensi pengembangan hutan rakyat dengan jenis
tanaman kayu lokal. Prosiding Seminar Hasilhasil Penelitian Hutan Tanaman Balai
Penelitian Kehutanan Palembang, 28-34.
STUDI KASUS PENGARUH SOIL TILLAGE DAN NO SOIL TILLAGE
TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT

BIOPESTISIDA UNTUK PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT


TANAMAN ANEKA KACANG DAN UMBI

 PENDAHULUAN
Serangan hama dan patogen mengakibatkan terjadinya kehilangan hasil panen dan
menurunkan kualitas hasil, sehingga perlu dikendalikan. Salah satu cara pengendalian hama
dan penyakit tanaman pangan adalah dengan aplikasi pestisida. Penggunaan pestisida
kimiawi untuk pengendalian OPT masih banyak dilakukan. Cara ini disukai petani karena
serangan hama dan penyakit dapat cepat diatasi. Namun pemberian pestisida kimia dapat
menimbulkan resistensi terhadap hama dan penyakit, berkembang hama atau penyakit baru
(resurgensi), dan mencemari lingkungan. Aplikasi pestisida kimia juga mengganggu
kesehatan manusia pada saat mengaplikasikan dan residu pestisida pada hasil panen
mengganggu kesehatan konsumen. Dewasa ini telah berkembang biopestisida yang ramah
lingkungan. Biopestisida mudah terdegradasi oleh sinar matahari dan tercuci tanah
(Schumann and D’Arcy, 2012), tidak menimbulkan biotipe atau ras baru hama dan penyakit
serta tidak menimbulkan resistensi (Kardinan 2004).

 HASIL DAN PEMBAHASAN


Dalam pertanian modern, hama dan penyakit tanaman harus dikendalikan secara terpadu.
Biopestisida merupakan salah satu komponen dalam pengelolaan hama dan penyakit.
Biopestisida didefinisikan sebagai bahan yang berasal dari mahluk hidup (tanaman, hewan
atau mikroorganisme) yang berkhasiat menghambat pertumbuhan dan perkembangan atau
mematikan hama atau organisme penyebab penyakit. Schumann and D’Arcy (2012)
mendefinisikan biopestisida sebagai senyawa organik dan mikrobia antagonis yang
menghambat atau membunuh hama dan penyakit tanaman. Biopestisida memiliki senyawa
organik yang mudah terdegradasi di alam. Namun di Indonesia jarang dijumpai tanaman
yang berkhasiat menghambat atau mematikan hama dan penyakit tanaman. Penggunaan
biopestisida kurang disukai petani karena efektivitasnya relatif tidak secepat pestisida kimia.
Biopestisida cocok untuk pencegahan sebelum terjadi serangan hama dan penyakit
(preventif bukan kuratif) pada tanaman.

Biji tanaman lerak banyak digunakan sebagai bahan pencuci pakaian (pakaian baju batik),
peralatan dapur, dan hewan peliharaan. Senyawa aktif ini juga berpotensi digunakan sebagai
pestisida nabati. Kandungan bahan aktif lerak yaitu senyawa saponin, alkaloid, ateroid, dan
triperten masing-masing 12%, 1%, 0,036%, dan 0,029% (Tommy 2009). Ekstrak buah lerak
juga berfungsi sebagai surfaktan nabati dan perekat (Chandra et al. 2012). Menurut
Sumartini (2014a), campuran minyak cengkeh dan ekstrak biji mimba dengan perbandingan
60% dan 40% dapat menekan intensitas penyakit karat pada kedelai hingga 45%, polong isi
meningkat 37%, dan mencegah kehilangan hasil 20%. Campuran minyak cengkeh, ekstrak
biji mimba, dan lerak (10%) dengan perbandingan 50:30:20 hanya mampu menekan
intensitas penyakit karat hingga 24% dan menekan kehilangan hasil hingga 12%. Ekstrak biji
mimba selain digunakan untuk membunuh serangga hama juga sering digunakan sebagai
penghambat perkembangan penyakit tanaman, seperti pada sesame untuk menghambat
perkembangan penyakit pascapanen yang disebabkan oleh cendawan Monilia fructicola,
Penicillium expansum, Trichothesium roseum, Alternaria alternate (Wang et al. 2010).
Ekstrak biji mimba juga dapat menghambat perkembangan cendawan Aspergillus flavus
penghasil aflatoksin (Krishnamurthy and Shashikala 2006). Biji kacang tanah dapat terinfeksi
oleh Aspergillus niger (Porter et al. 1984). Menurut Erturk (2006), A. niger merupakan
cendawan terbawa benih, pertumbuhan dan perkembangannya dapat dihambat oleh ektrak
Lauros nobilis, Dianthus cariophillum, Juniperus oxycedrus, dan Coluten arborescens. Daun
padi dapat terinfeksi oleh cendawan Alternaria (Dellavella et al. 2011). Pertumbuhan dan
perkembangan cendawan tersebut dapat dihambat dengan ekstrak Salvia clarea, Salvia
officinalis, dan Rosmerin officinalis. Pada Tabel 1 disajikan tanaman, senyawa aktif, patogen
target dan efektivitasnya sebagai pestisida nabati.

 KENDALA DAN KEUNTUNAN BIOPESTISIDA


Biopestisida berbentuk ekstrak dari bagian tanaman, bukan sintesis senyawa aktifnya
sehingga membutuhkan volume yang besar sehingga kurang praktis dalam transportasi.
Efektivitas biofungisida tidak bisa sama dengan fungisida kimia. Keuntungan penggunaan
biopestisida adalah ramah lingkungan karena senyawa-senyawa yang terkandung di
dalamnya mudah luruh di alam (Schumann and D’Arcy 2012). Biopestisida tidak
menimbulkan resistensi atau resurgensi sehingga tidak menimbulkan rasras baru pada
mikroorganisme penyebab penyakit (Kardinan 2004). Senyawa dalam biopestisida tidak
bersifat racun pada manusia, sehingga tidak menggangggu kesehatan pengguna (petani) dan
konsumen. Biopestisida berpeluang dikembangkan di Indonesia karena terdapat beragam
tanaman dan mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai bahan baku. Supaya
biopestisida tersedia dari waktu ke waktu maka penanaman tanaman penghasil bahan
nabati sampai menjadi bahan baku harus terus menerus dilakukan, atau pembiakan massal
suatu predator, cendawan entomopatogen (B. bassiana, L. lecanii), atau antagonis penyebab
penyakit (Trichoderma sp.), terutama di sentra produksi tanaman pangan. Supaya mudah
didapatkan petani, maka biopestisida harus tersebar hingga ke desa dan mendapat
pengawasan dari pihak kompeten.
 KESIMPULAN
Biopestisida efektif menekan pertumbuhan dan perkembangan hama dan penyakit
tanaman, baik di tingkat laboratorium maupun lapangan, namun tidak berdasarkan ambang
kendali seperti pestisida anorganik. Pengembangan biopestisida membutuhkan dukungan
dari berbagai pihak supaya dapat digunakan dan menguntungkan petani sebagai pengguna
serta bebas dari pencemaran yang berasal dari pestisda kimiawi.
 DAFTAR PUSTAKA
Kardinan, A. 2004. Pestisida Nabati, Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta, 80p.
Manohara, D., D. Wahyuno, and Sukamto. 1993. Pengaruh tepung dan minyak cengkeh
terhadap Phytophtora, Rigidoporus, dan Sclerotium. p.203-207. Dalam: Prosiding
Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati.
Sitepu, D., A Kardinan, dan A. Asman. 1999. Hasil penelitian, dan peluang penggunaan
pestisida nabati. Pengembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat 9(2):25-33.
STUDI KASUS PENGARUH SOIL TILLAGE DAN NO SOIL TILLAGE
TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT

PENGARUH POLA TANAM PADI (Oryzasativa . L) KULTIVAR INPARI SIDENUK TERHADAP


KEANEKARAGAMAN JENIS HAMA DI KELOMPOK TANI MANUNGGAL PATRAN DESA MADUREJO

 PENDAHULUAN
Adanya perbedaan varietas yang satu dengan yang lainnya disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu jenis lahan, tinggi tempat, dan lingkungan tumbuh (endemik
hama/penyakit, status hara makro dan mikro, target produksi dan mutu produksi) (Satoto et.
al. 2008). Berbagai jenis komuditas tanaman yang berbeda pada suatu areal akan diikuti oleh
berbagai jenis serangga berbeda yang berasosiasi dengan tanaman tersebut. Berbagai jenis
serangga ditemui pada pertanaman pangan, baik yang merugikan berupa hama maupun
yang menguntungkan berupa predator. Keberadaan serangga pada pertanaman dipengaruhi
oleh faktor dalam berupa jenis serangga itu sendiri dan faktor luar antara lain faktor
lingkungan yang meliputi jenis pertanaman, ketinggian tempat, dan cuaca (Messenger
1976).
Serangga hama adalah organisme yang menimbulkan kerusakan pada tanaman dan
menurunkan kualitas maupun kuantitasnya sehingga menimbulkan kerugian ekonomi bagi
manusia (Hill, 1997). Keanekaragaman hayati yang ada pada ekosistem pertanian seperti
persawahan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman, yaitu dalam sistem
perputaran nutrisi, perubahan iklim mikro, dan detoksifikasi senyawa kimia. Serangga
sebagai salah satu komponen keanekaragaman hayati juga memiliki peranan penting dalam
jaring makanan yaitu sebagai herbivora, karnivora, dan detrivora (Strong et al. 1984).
 HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Teknik Analisis Data
1. Menggunakan analisis parametrik One Way Anova digunakan untuk mengetahui
pengaruh pola tanam dan sistem pengairan terhadap keanekaragaman jenis
hama dan predator. 2.
2. Indeks Keanekaragaman Jenis menggambarkan jumlah kekayaan hama pada
tanaman padi baik dari segi famili maupun spesies. Besarnya indeks
keanekaragaman jenis didefinisikan sebagai berikut :
a. H’>3:menunjukan bahwa keanekaragaman tinggi
b. 1≤H’≤3:menunjukan bahwa keanekaragaman sedang
c. H’< 0,3 menunjukkan kemerataan jenis rendah
3. Nilai kemerataan jenis (evennes) Guna mengetahui nilai kemerataan jenis.
Dengan rentang 0 (tidak merata) sampai 1 (merata). (Wheather. 2011:258)
Dengan kriteria sebagai berikut :
E < 0,3 menunjukkan kemerataan jenis rendah
E 0,3 – 0,6 menunjukkan kemetaan jenis KESIMPULAN
E > 0,6 menunjukkan kemerataan tinggi
4. Nilai kekayaan jenis. dengan kriteria berdasarkan Magurran (1988):
R < 3,5 menunjukkan tingkat kekayaan jenis yang rendah
R >3,5 – 5,0 menunjukkan tingkat kekayaan jenis yang sedang
R > 5 menunjukkan tingkat kekayaan jenis yang tinggi
b. Arthopoda (Hama dan Predator)
Hasil organisme arthropoda (hama dan predator) dengan 4 macam perlakuan yaitu
Transplanter, Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), Alternatif Wetting and Drying
(AWD), dan Petani dengan menggunakan perangkap jaring Insect net dan perangkap
feromon adalah sebagai berikut:

Gambar diatas menunjukkan hama paling banyak terdapat pada perlakuan pola
tanam Tegel mencapai 226 ekor diikuti pada pola tanam Transplanter, AWD dan
terahkir paling sedikit yaitu pada perlakuan pola tanam PTT. Hal tersebut sejalan
dengan jumlah predator yang ditemukan pada tanaman padi “Inpari Sidenuk”.
c. Pengaruh Pola Tanam dan Sistem Pengairan terhadap Keanekaragaman Hama Padi
Oryza sativa. L
Dengan jumlah hama terbesar adalah Leptocorisa acuta atau walang sangit
mencapai 187 ditemukan paling banyak pada perlakuan Petani. . Hal ini disebabkan
karena pada jarak tanam tegel memungkinkan adanya sumber makanan bagi walang
sangit lebih banyak, mengingat bahwa pada pola tanam tegel jarak antar tanaman
yang lebih rapat dibandingkan dengan pola tanam lainnya, sehingga bisa dipastikan
bahwa pada perlakuan tegel pada satu petak perlakuan memiliki jumlah rumpun
padi terbanyak.
 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat di kesimpulan bahwa pola tanam dan sistem pengairan
tidak memberikan pengaruh secara nyata terhadap keanekaragaman hama dan predator.
Kanekaragaman hama dan predator termasuk kategori sedang.

 DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Padi. 2011. http:// bbpadi.litbang.go.id/sarinah.pdf. (diakses pada tanggal 15
April 2018 pukul 21.00 WIB).
Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Rineka Cipta. Jakarta. Hal 42-51.
Kartohardjono, A., T. Teryana, W.R. Atmadja dan Nursasongko. 1989. Peranan Predator
Chyrtorhinus sp. Dalam Memangsa Wereng Coklat Pada Tanaman Padi. Edisi Khusus no.
2. Penelitian Wereng Coklat 1987/1988. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor.
Satoto, Y. Widyastuti, I.A. Rumanti, dan Sudibyo TWU. 2010. Stabilitas hasil padi hibrida
varietas Hipa 7 dan Hipa 8 dan ketahanannya terhadap hawar daun bakteri dan tungro.
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 29(3): 129-135.
STUDI KASUS PENGARUH SOIL TILLAGE DAN NO SOIL TILLAGE
TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT

PENGARUH PENGATURAN JARAK TANAM TERHADAP


PERKEMBANGAN SERANGAN HAMA DAN PENYAKIT PULAI DARAT (Alstonia angustiloba)

 PENDAHULUAN
Pulai (Alstonia spp.) merupakan salah satu jenis tanaman lokal salah satu
perusahaan terbatas (PT) di sumatra selatan dan merupakan jenis tanaman yang
direkomendasikan untuk digunakan dalam program Gerakan Rehabilitasi Lahan (GERHAN) di
Provinsi Sumatera Selatan. Khusus untuk Sumatera Selatan, pasar kayu pulai sudah
terbentuk sejak tahun 1994 bersamaan dengan berdirinya pabrik pensil “slate”. Namun
salah satu permasalahan yang sering dihadapi dalam sistem penanaman secara monokultur
adalah rentan terhadap serangan hama dan 42 Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.12
No.1, April 2015, 41 - 50 penyakit yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman bahkan
sampai dapat menurunkan produktivitas kayunya.
Penelitian dilakukan pada plot uji jarak tanam yang dibangun tahun 2007 seluas 2,2
ha yang disusun secara eksperimental menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK).
Perlakuan yang diuji adalah jarak tanam yang terdiri dari 6 (enam) taraf yaitu, perlakuan
jarak tanam, yaitu 2 x 2 m; 2 x 4 m; 3 x 2 m; 3 x 2,5 m; 3 x 3 m dan 3 x 4 m. Setiap perlakuan
diulang 3 (tiga kali). Setiap petak pengamatan berukuran 30 x 30 m, dengan jumlah tanaman
per petak pengamatan bervariasi, tergantung jarak tanam.
Metode pengamatan dilakukan secara sensus, yaitu dengan mengamati seluruh
tanaman yang terdapat dalam petak pengamatan kecuali 2 (dua) baris dari pinggir.
Parameter yang diamati adalah gejala serangan yang tampak pada tanaman yang terserang,
banyaknya tanaman yang menunjukkan gejala dan skor tingkat kerusakan tanaman. Data ini
digunakan untuk menghitung persentase serangan (P) dan intensitas serangan (I). Waktu
pengamatan dilakukan setiap tahun pada bulan Agustus–September mulai tahun 2008
sampai tahun 2010.
 HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan jenis hama yang dominan ditemukan pada tanaman pulai
darat adalah hama kumbang Cycnotrachelus sp. sedangkan hama ulat Clouges glauculalis
hanya ditemukan pada pengamatan tahun 2010 dengan jarak 2x2 m dengan persentase
serangan dan intensitas serangan masing-masing 0,28% dan 0,06%. Berdasarkan kriteria
Unterstenhofer (1963) dalam Djunaedah (1994), serangan ulat C. glauculalis pada tanaman
pulai darat masih termasuk kategori sehat. Sebaliknya serangan kumbang Cycnotrachelus sp.
sudah terjadi sekitar 9 (sembilan) bulan setelah tanam.
 KESIMPULAN
 DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai