Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PEMULIAAN TANAMAN

PERSILANGAN PISANG LIAR DIPLOID Musa acuminate Colla var malaccensis (RIDL.)
Nasution dengan PISANG MADU TETRAPLOID

Disusun oleh:
Devy Rusdiana Choiri (1525010072)
Dinda Yuniar Herawati (1525010081)
Dwitya Mutiara (1525010097)
Azokawati Kansil (1525010105)
Harun Abdul Rahman (1525010122)
Nanda Setiya Puspitasari (1525010123)
Aisyah Anggun Cahyani (1525010208)
Yaspis Martha K (1525010228)
Yuliana (1525010233)
Rasyid Ardiansyah (1525010236)

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
SURABAYA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pisang (Musa sp.) dikenal sebagai tanaman buah berupa herba yang berasal dari Asia
Tenggara, termasuk Indonesia. Pisang dapat dengan mudah ditemui di berbagai daerah di
Indonesia. Menurut FAO (2014), kini pisang menjadi tanaman pangan paling penting nomor 8 di
dunia dan nomor 4 di negara berkembang. Asia menyumbang produksi pisang sebesar 56,4% dari
total pisang dunia. Indonesia menjadi salah satu negara penghasil pisang di Asia. Produksi pisang
Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data FAOSTAT (2014),
pada tahun 2009, 2010, 2011, 2012, dan 2013 Indonesia mampu memproduksi pisang sebanyak
6.373.533, 5.755.073, 6.132.695, 6.189.052, dan 5.359.126 ton/tahun. Angka ini menjadikan
Indonesia menempati posisi ketujuh sebagai negara penghasil pisang terbesar di dunia, berada di
bawah India, Brazil, Cina, Uganda, Filipina, dan Equador. Billah dkk. (2014) menyatakan bahwa
total konsumsi pisang per kapita di Indonesia relatif stabil dengan kecenderungan yang menurun
dalam lima tahun terakhir. Konsumsi pisang per kapita pada tahun 2009, 2010, 2011, 2012, dan
2013, yaitu masing-masing sebesar 7,926; 6,831; 8,812; 5,788; dan 5,631 kg per kapita. Namun,
peningkatan jumlah penduduk dan kesadaran penduduk mengenai gizi diperkirakan akan
menyebabkan permintaan terhadap pisang-pisang berkualitas akan semakin meningkat pula.

Pisang seperti‘Kepok Kuning’ dan ‘Raja Bulu’ kian menjadi populer bagi masyarakat
dalamnegeri karena rasanya yang enak dan bergizi.Produksi pisang berkualitas terkendala oleh
penanaman yang hanya sebatastanaman sampingan, luasan lahan untuk menanam pisang masih
rendah,penanaman bersifat sporadis (Direktorat Pengolahan dan Pemasaran HasilHortikultura,
2005) dan ketersediaan bibit bermutu masih kurang (Billah dkk.,2014). Padahal penyediaan buah
pisang yang berkualitas mutlak diawali denganpenyediaan bibit pisang yang berkualitas pula.
Secara konvensional, bibit pisangdiperoleh dari tunas pisang anakan dengan tinggi 1-1,5 m dan
lebar potonganumbi 15-20 cm. Anakan ini berasal dari pohon yang berbuah baik dan sehat. Pada
umumnya, bibit anakan yang diambil ada dua jenis, yaitu anakan muda dandewasa. Namun,
anakan dewasa lebih sering digunakan karena sudah mempunyaibakal bunga dan persediaan
makanan di dalam bonggol sudah banyak sehinggalaju pertumbuhannya lebih cepat. Penggunaan
bibit yang berbentuk tombak (daun masih berbentuk seperti pedang, helai daun sempit) lebih
diutamakan daripada bibit dengan daun yang lebar (Prihatman, 2000). Kelemahan sistem
konvensionalini adalah kesulitan dalam mencari bibit anakan dalam jumlah banyak dan waktu
singkat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa kelebihan dan kekurangan Pisang Liar Diploid Musa acuminate Colla var
malaccensis (RIDL.) Nasution
2. Apa kelebihan dan kekurangan pisang madu tetraploid?
3. Bagaimana cara menyilangkan pisang liar diploid Musa acuminate Colla Var
Malaccensis (RIDL.) Nasution dengan pisang madu tetraploid?

1.3 Tujuan
 Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan Pisang Liar Diploid Musa acuminate
Colla var malaccensis (RIDL.) Nasution
 Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan pisang madu tetraploid
 Untuk mengetahui cara menyilangkan pisang liar diploid Musa acuminate Colla Var
Malaccensis (RIDL.) Nasution dengan pisang madu tetraploid?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kelebihan dan Kekurangan Pisang Liar Diploid Musa acuminate Colla var malaccensis
(RIDL.) Nasution

Salah satu jenis pisang liar adalah Musa acuminata Colla yang umumnya ditemukan
tumbuh alami, bersifat diploid (2n=2X=22) dan bergenotip AAw. M. acuminata Colla liar tidak
dikonsumsi karena berbiji. Sebagai tetua jantan pisang diploid liar, ‘Calcutta 4’ (Musa acuminata
ssp burmacoides) liar memiliki kelebihan fertilitas polen dan viabilitas polen yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pisang domestikasi/budidaya.Selain itu, tetua jantan liar Musa acuminata
Colla var malaccensis (Ridl.) Nasution sebagai sumber polen yang mempunyai sifat ketahanan
terhadap Fusarium, memiliki viabilitas dan fertilitas polen yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pisang diploid domestikasi (‘Pisang Lilin’, ‘Galeo’) dan pisang hibrid diploid banana-plantain
(‘TMP2x 1297-3’). Banyaknya varietas M. acuminata Colla liar menunjukkan keragaman genetik
dalam jenis tersebut.Kekurangan dari pisang tersebut adalah potensinya yang masih belum banyak
diketahui dan juga belum dimanfaatkan.

2.2 Kelebihan dan Kekurangan Pisang Madu Tetraploid

Pisang madu merupakan salah satu kultivar pisang tetraploid dari hasil persilangan triploid
x diploid. Pemanfaatan pisang tetraploid dalam pemuliaan pisang triploid telah lama digunakan
melalui persilangan pisang tetraploid (tetua betina) dengan pisang diploid (tetua jantan) dan/atau
melalui persilangan resiprokalnya, yaitu persilangan pisang diploid (tetua betina) dengan pisang
tetraploid (tetua jantan). Namun demikian ketersediaan pisang tetraploid di alam sangat terbatas,
sehingga induksi pisang tetraploid secara buatan sangat dibutuhkan.

Kebanyakan pisang komersial adalah triploid dan hampir seluruhnya steril, diperbanyak
secara vegetatif, buah berkembang secara partenokarpi, dan telah mengalami proses domestikasi
yang cukup lama (Simmonds 1962). Pisang komersial seperti kultivar-kultivar dari sub-grup
Cavendish, merupakan pisang triploid (AAA) steril, memiliki dasar genetik sempit dan
keragamannya tergantung atas mutasi somatik yang dapat diseleksi menjadi kultivar baru
(Shepherd 1987; Daniells et al. 2001). Akibatnya, kultivar-kultivar dari sub grup Cavendish
sangat mudah menderita ketika terjadi epidemi penyakit. Oleh karenya perlu dikembangkan
varietas baru pisang komersial, yang didasarkan atas keragaman genetik yang luas, dan/atau
dikombinasikan/ disilangkan dengan varietas pisang yang berbeda dasar genetiknya, sehingga
diperoleh hibrid triploid unggul yang merupakan kombinasi dari kedua tetuanya.

Tanaman pisang tetraploid sudah lama digunakan untuk menghasilkan kultivar baru
dengan karakter agronomi yang dikehendaki, seperti resistensi terhadap penyakit dan ukuran buah
lebih besar dibandingkan dengan tetua diploidnya. Tetraploidi merupakan teknik yang penting
dalam perbaikan genetik tanaman pisang (Vakili 1962, 1967; Stover & Buddenhagen 1986, Hamill
et al. 1992; Van Duren et al. 1996, Ganga & Chezhiyan 2002; Bakry et al. 2007; Kanchanapoom
& Koarapatchaikul 2012; Poerba et al. 2012, 2014 2016). Pisang tetraploid jarang ditemukan di
alam. Secara buatan, pisang tetraploid dapat diinduksi melalui penggandaan kromosom pisang
diploid dengan menggunakan senyawa kimia yang menghambat pembentukan spindle fiber seperti
kolkisin atau oryzalin (Vakili, 1962, 1967; Stover & Buddenhagen 1986, Hamill et al. 1992; Van
Duren et al.1996, Ganga & Chezhiyan, 2002; Bakry et al. 2007; Kanchanapoom &
Koarapatchaikul 2012; Poerba et al. 2012, 2014, 2016).

Pembentukan pisang tetraploid dapat juga dilakukan dengan persilangan pisang triploid x
diploid (Ortiz & Crouch, 1997; Ortiz 1997; E Silva et al. 2001). Produksi tetraploid dari
persilangan triploid x diploid sudah sejak lama digunakan dalam pemuliaan pisang tetraploid,
khususnya pada kultivar Gros Michel. Tetraploid dari skema persilangan ini dapat ditujukan untuk
pemuliaan tahan black & yellow sigatoka, layu Fusarium, nematode, tahan penggerek, tanaman
pendek, siklus tanaman pendek dan jumlah sisir yang banyak, ukuran buah yang lebih besar (E
Silva et al. 2001). Aplikasi metode ini tergantung atas kapasitas produksi biji hibrid setelah
penyerbukan, potensi perkecambahan biji serta jumlah tanaman tetraploid yang dihasilkan (Silva
et al. 2001). Diantara metode hibridisasi lainnya, produksi tetraploid dari kultivar triploid
merupakan pendekatan tercepat untuk mendapatkan kultivar baru yang resisten terhadap penyakit
utama pada pisang dan dapat diterima oleh konsumen (Silva et al. 2001).
2.3 Cara Menyilangkan Pisang Liar Diploid Musa acuminate Colla Var Malaccensis (RIDL.)
Nasution dengan Pisang Madu Tetraploid

Menurut Sumarno (1991) ada 10 teknik pemuliaan, yakni : aklimatisasi dan adaptasi gen,
rekombinasi dan fiksasi gen melalui persilangan, alterasi gen dengan mutasi, alterasi kromosom,
ploidisasi, alterasi genom, introgresi plasma nutfah asing, substitusi sitoplasma, rekayasa genetik,
dan bioteknologi serta kombinasi jaringan somatis. Namun pada umumnya untuk mempercepat
pemuliaan tanaman pisang dapat menggunakan variasi somaklonal, induksi mutasi in vitro.
Berikut merupakan metode kerja dari persilangan tanaman pisang:
1) Tetua betina  Pisang Madu tetraploid (AAAA) hasil induksi poliploidi, diserbukkan
dengan serbuk sari dari tetua jantan diploid, pisang liar Musa acuminata var. malaccesensis
(AA wild).
2) Melakukan persilangan dengan mengambil serbuk sari dari pisang liar M. acuminata var
malaccensis, kemudian menyerbukkannya pada bunga betina pisang madu tetraploid.
Penyerbukan ini dilakukan pada pagi hari antara jam 8-10.
3) Hasil persilangan di ekstrak dari buah yang telah masak penuh dan lunak, tak lupa diberi
label sesuai hasil persilangannya. Biji yang telah dipilih didisinfestasi dengan larutan
Bayclin 20% selama 10- 20 menit dan dibilas akuades steril 2x dalam laminar air flow
cabinet. Setelah dikeringkan, biji diiris longitudinal pada sisi sebelah mikrofil. Embrio
yang berwarna putih opak diambil dengan skalpel dan di letakkan pada permukaan medium
tumbuh.
4) Medium tumbuh berisi garam formulasi MS 30 g l-1 gula, 100 mg l-1 myo inositol, 4 mg
l-1 thiamine HCl dengan tambahan 2 mg/l BA.
5) Biak tunas yang telah berhasil diiniasisi dipelihara dan diperbanyak dengan subkultur 1-3
bulan pada medium garam formulasi MS 30 g l-1 gula, 100 mg l-1 myo inositol, 4 mg l
thiamine HCl dan 2 mg l-1 BA dan dipadatkan dengan 8 g/l agar. Setelah tunas bertumbuh
menjadi plantlet, selanjutnya diaklimatisasi di rumah kaca.
6) Pada tahap pertama tunas di tanam dalam bak plastik yang diisi medium tumbuh pasir,
tanah dan cocopeat steril dan dengan perbandingan 2:1:2 ditutup rapat dengan plastik dan
dipelihara di bawah naungan 50-75%. Setelah 1 bulan dan daun baru tumbuh dan akar telah
beregenerasi, bibit dipindah pada medium tanah dalam polibag dan dipelihara dengan
naungan 25-50% selama 2-3 bulan dan selanjutnya naungan dibuka sepenuhnya selama
sebulan sebelum bibit dapat di tanam di lapang.
7) Hibrid hasil persilangan diidentifikasi secara molekuler dengan menggunakan marka
Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Ekstraksi DNA genom dilakukan dengan
metoda CTAB yang sudah dimodifikasi.
8) Amplifikasi DNA dilakukan dengan Thermal Cycler (Takara) dengan kondisi amplifikasi
berdasarkan metode Williams et al. (1990) dengan menggunakan lima primer RAPD
terpilih, yaitu OPA-18, OPA-13, OPD-08 OPN- 06 dan OPN-12.
9) Reaksi PCR dilakukan pada volume total 15 _l yang berisi 0.2 nM dNTPs; 1X bufer reaksi;
2mM MgCl2; 25 ng DNA sample; 1 pmole primer tunggal; dan 1 unit Taq DNA
polymerase (Promega) dengan menggunakan Thermocylcer (Takara) selama 45 siklus.
Pemanasan pertama pada suhu 940C selama 2 menit, kemudian diikuti oleh 45 siklus yang
terdiri atas denaturasi 1 menit pada suhu 940C, annealing 1 menit pada suhu 360C, dan 2
menit ektensi pada suhu 720C.
10) Setelah 45 siklus selesai, kemudian diikuti 5 menit proses ekstensi fragmen DNA pada
suhu 720C dan pendinginan pada suhu 250C. Hasil amplifikasi PCR divisualisasi pada gel
agarosa 2.0% dalam bufer TAE (Tris-EDTA) secara 50 Volt. Kemudian direndam dalam
larutan ethidium bromida dengan konsentrasi akhir 1_l/100 ml selama 10 menit.
elektroforesis dengan menggunakan Mupid Mini Cell selama 50 menit pada 50 Volt.
Kemudian direndam dalam larutan ethidium bromida dengan konsentrasi akhir 1_l/100 ml
selama 10 menit. Hasil pemisahan fragmen DNA dideteksi dengan menggunakan UV
transluminator, kemudian difoto dengan menggunakan geldoc (Takara). Sebagai standar
ukuran DNA digunakan 100 bp plus DNA ladder (Fermentas) untuk menetapkan ukuran
pita hasil amplifikasi DNA.
11) Analisa ploidi 13 sampel hibrid, tiga sampel tetua betina, dan tiga sampel tetua jantan
menggunakan larutan Cystain Uvploidy (Partec, Germany) yang berisi buffer dan pewarna
DNA. Analisa ploidi 13 sampel hibrid, tiga sampel tetua betina, dan tiga sampel tetua
jantan menggunakan larutan Cystain Uvploidy (Partec, Germany) yang berisi buffer dan
pewarna DNA.
12) Potongan daun berukuran sekitar 100 cm2 diambil dari tanaman di kebun, diberi label dan
disimpan di wadah plastik. Di antara daun diselipkan kertas tissue yang dibasahi dengan
aquades. Potongan daun berukuran 0,5 cm2 diletakkan di petridish dan ditetesi 1,5 ml
buffer cystain UV Ploidi (Partec, Germany) dan dicacah dengan silet. Cacahan daun
disaring dengan saringan 30 μm dan filtrat di masukkan dalam tabung cuvette untuk
analisa. Sampel dibaca pada panjang gelombang 440 nm dan kecepatan 1000 nuclei per
detik.
13) Jumlah DNA pada inti sel sampel kontrol tanaman diploid dikalibrasi pada channel 200.
Data ditunjukkan dalam bentuk grafik. Tanaman diploid menunjukkan peak pada channel
200, triploid pada channel 300 dan tetraploid pada channel 400, dan tanaman mixoploid
menunjukkan lebih dari 1 peak pada channel yang berbeda.
14) Rata-rata kandungan DNA (mean) dan coefficient of variation (CV) dari tiap tiap sampel
pada setiap peak diamati dan dibandingkan dengan tanaman kontrol, dan ditentukan tingkat
ploidinya sesuai dengan kelipatan rata-rata jumlah kandungan DNA.

Sebelumnya telah terdapat penelitian untuk menyilangkan dua varietas tersebut. Pada
penelitian tersebut penggunaan pisang tetraploid sebagai tetua betina dan pisang diploid sebagai
tetua jantan menghasilkan hibrid triploid dengan prosentase yang tinggi yaitu 100%. Tingginya
persentase hybrid triploid ini juga dilaporkan Osebele et al (2006), sedangkan kombinasi
sebaliknya, pisang diploid sebagai tetua betina dan tetraploid sebagai tetua jantan, menghasilkan
keturunan triploid hanya 3,8% (Oselebe et al. 2006). Hasil ini menunjukkan bahwa prosedur
persilangan antara betina tetraploid dengan jantan diploid efektif untuk menghasilkan pisang hibrid
triploid. Pada penelitian ini sembilan dari 15 kombinasi persilangan tidak menghasilkan biji sama
sekali. Semua faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan biji dari persilangan melibatkan
genotip dan kombinasi persilangan lainnya. Perkembangan embrio pisang dipengaruhi banyak
faktor, diantaranya bentuk dan warna biji, serta bentuk dan warna embrio. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa biji hibrid yang terbentuk terdiri atas biji yang utuh hingga kisut dan
berwarna hitam hingga coklat muda (data tidak ditampilkan). Dari pengamatan bentuk dan warna
biji, hanya biji yang utuh dan hitam saja yang memikili embrio yang dapat tumbuh (data tidak
ditampilkan). Selain itu, media yang optimal untuk perkecambahan biji pisang hibrid hasil silangan
perlu diketahui untuk mengecambahkan embrio dengan kebutuhan nutrisi yang terbaik.
Penampilan morfologi tanaman pisang hybrid seperti habitus tanaman, warna batang semu
dan getah batang semu, serta tipe tangkai daun lebih menyerupai tetua betinanya. Habitus tanaman
hibrid yang merunduk lebih menyerupai tetua betina Pisang Madu tetraploid dibandingkan dengan
tetua jantan diploid Musa acuminata var malaccensis yang memliki habitus tegak. Karakter
morfologi seperti lapisan lilin pada lembaran daun, warna permukaan daun, bentuk jantung (male
bud) serta braktea yang menggulung sebelum jatuh merupakan gabungan (intermediate) dari kedua
tetuanya. Sedangkan pangkal daun bagian kiri dan kanan yang berukuran tidak simetris lebih
menyerupai tetua jantannya
DAFTAR PUSTAKA

Simmonds, NW. 1962. Evolution of the bananas. Longmans Tropical Science Series, London.
Shepherd, K. 1987. Banana breeding - past and present. Acta Horticulturae 196: 37-43.
Vakili, NG. 1967. The experimental formation of polyploidy and its effect in the genus Musa. American
Journal of Botany 54: 34-36.
Vakili, NG. 1962. Colchicine-induced polyploidy in Musa. Nature 194: 453-454.
Van Duren M., R. Morpurgo, J. Dolezel & R. Afza. 1996. Induction and Verification of Autotetraploids in
Diploid Banana (Musa acuminata) by In Virto Techniques, Euphytica 88: 25-34.
Stover, RH. & IW. Buddenhagen. 1986. Banana breeding: polyploidy, disease resistance and productivity.
Fruits 41:175-191.
Stover, RH. & NW. Simmonds. 1987. Bananas. Longman Sci & Technical, Essex, England. 3rd Edition.
Hamill, SD., MK. Smith, & WA. Dodd. 1992. In vitro induction of banana autotetraploids by colchicine
treatment of micropropagated diploids. Australian Journal of Botany 40:887–896
Ganga, M., & N. Chezhiyan. 2002. Influence of the antimitotic agents colchicine and oryzalin on in vitro
regeneration and chromosome doubling of diploid bananas (Musa spp.). Journal Horticulture
ScienceBiotechnol 77:572–575.
Bakry, F., NP. Reberdiere, S. Pichot, & C. Jenny. 2007. In liquid medium colchicinetreatment induces non
chimerical doubled-diploids in a wide range of mono-and interspecific diploid banana clones.
Fruits62:3–12.
Kanchanapoom, K. & K. Koarapatchaikul. 2012. In vitro induction of tetraploid plants from callus cultures
of diploid bananas (Musa acuminata, AA group) ‘Kluai Leb Mu Nang’ and ‘Kluai Sa’.
Euphytica 183:111–117.
Poerba, YS., F. Ahmad & Witjaksono. 2012. Persilangan pisang liar diploid Musa acuminata Colla var
malaccensis (Ridl.) Nasution sebagai sumber polen dengan Pisang Madu tetraploid. Jurnal
Biologi Indonesia 8(1):181-196.
Poerba, YS., Witjaksono, F. Ahmad, & T. Handayani. 2014. Induksi dan karakterisasi Pisang Mas Lumut
Tetraploid. Jurnal Biologi Indonesia 10(2):191-200.
Poerba, YS., Witjaksono & T. Handayani. 2016. Pembentukan dan penampilan Pisang Rejang Hibrid
Triploid hasil persilangan Pisang Rejang Mixoploid dengan Pisang Rejang Diploid. Jurnal
Biologi Indonesia 12(1):19-30 .
Ortiz, R. & JH. Crouch. 1997. The efficiency of natural and artificial pollinators in plantain (Musa spp
AAB group) hybridization and seed production. Annals of Botany 80:893-895.
Silva, ESDO., MTS. Junior, EJ. Alves, J. Raimundo, S. Silveira, & MB. Lima. 2001. Banana breeding
program at Embrapa. Crop Breeding and Applied Biotechnology 1 (4): 399-436.

Anda mungkin juga menyukai