Anda di halaman 1dari 35

I.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Lele (Clarias sp.) adalah salah satu jenis ikan air tawar komersial yang
popular sehingga banyak dibudidayakan secara intensif (Simanjuntak, Suminto, &
Sudaryono, 2016). Lele merupakan salah satu spesies yang memiliki keunggulan
dibandingkan dengan ikan air tawar lainnya, antara lain mudah dipelihara, dapat
tumbuh dengan cepat dalam waktu relatif singkat (Chou, 1994 dalamSimanjuntak
et al., 2016). Ikan lele mengandung sumber protein hewani, menjadi salah satu
bahan pangan komoditas perikanan di Indonesia dan bernilai ekonomis
(Hermawan, Sudaryono, & Prayitno, 2014). Lele memiliki prospek pasar yang
cukup cerah karena kelebihannya dapat dipijahkan sepanjang tahun (Imron,
Sudaryono, & Harwanto, 2014). Produksi lele di Indonesia mengalami
peningkatan pada tahun 2009-2013 yaitu tahun 2009 sebesar 144.755 ton, tahun
2010 sebesar 242.811 ton, tahun 2011 sebesar 337.557 ton, tahun 2012 sebesar
441.217 ton, dan tahun 2010 sebesar 543.461 ton (Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya, 2013).

Allsopp et.al., (2008) dalamAji, Sudaryono, & Harwanto, 2014),


menyatakan bahwa, pada budidaya intensif ikan dipelihara dengan kepadatan
tinggi dan semua nutrisi diperoleh secara langsung dari pakan yang diberikan
dengan kandungan protein yang tinggi. Intensifikasi budidaya khususnya
peningkatan padat penebaran membawa dampak kurang baik terhadap kelestarian
dan kesehatan lingkungan yang berupa penurunan kualitas lingkungan budidaya
(Hermawan et al., 2014). Salah satu permasalahan dalam budidaya intensif adalah
air buangan budidaya yang berdampak pada penurunan kualitas perairan di
lingkungan sekitar budidaya, karena akumulasi bahan organik dari sisa pakan
maupun feses (Darmawan, 2010 dalamSeptiani, Maharani, & Supono, 2014).
Akumulasi pakan yang tidak termakan, limbah organik dan anorganik yang dari
hasil ekskresi ikan bersifat toksik pada ikan yang dibudidayakan (Sukendar,
Widanarni, & Setiawati, 2016).

Teknologi bioflok yang menerapkan penggunaan probiotik merupakan


salah satu teknologi yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah kualitas air

1
dalam budidaya yang diadaptasi dari teknik pengolahan limbah domestik secara
konvensional (Avnimelech and Kochba, 2009 dalam Rachmawati, Samidjan, &
Setyono, 2015); Avnimelech, 2006 dalamAbulias, SR, & Winarti, 2014);
(Sukendar et al., 2016). Aplikasi teknologi bioflok pada budidaya ikan lele
mampu meningkatkan produksi ikan, meningkatkan efisiensi pemanfatan pakan
yang diberikan, memperbaiki nilai konversi pakan serta memperbaiki kualitas air
media serta meningkatkan angka kelangsungan hidup ikan (Hastuti &
Subandiyono, 2014). Prinsip utama yang diterapkan dalam teknologi ini adalah
manajemen kualitas air yang didasarkan pada kemampuan bakteri heterotrof untuk
memanfaatkan N- organik dan N-anorganik yang terdapat di dalam air. Pada
kondisi C dan N yang seimbang dalam air, bakteri heterotrof akan memanfaatkan
N, baik dalam bentuk organik maupun anorganik, yang terdapat dalam air untuk
pembentukan biomasa sehingga konsentrasi N dalam air menjadi berkurang
(Schneider et.al., 2005 dalamPutri, Wardiyanto, & Supono, 2015). Teknologi ini
meminimalkan pergantian air untuk memperbe- sar biosekuritas dengan
memperkecil efek luar terhadap lingkungan budi daya (De Schryver et al. 2008
dalamSukendar et al., 2016).

Penambahan probiotik pada pakan dengan proses lama penyimpanan yang


dilakukan dapat meningkatkan kualitas pakan ikan melalui pemecahan bahan-
bahan yang tidak dapat dicerna oleh tubuh ikan seperti selulosa, hemiselulosa
menjadi gula sederhana yang mudah dicerna dengan bantuan mikroorganisme
(Harianto, Sasanti, & Fitrani, 2016). Penambahan tepung bioflok sebanyak 15%
sebagai suplemen pakan memberikan pertumbuhan terbaik benih ikan lele (Nuari,
Supono, Wardiyanto, & Hudaidah, 2016)

Aplikasi bioflok selama ini difokuskan untuk perbaikan kualitas air dan
digunakan sebagai pakan alami bagi ikan. Penggunaan tepung bioflok sebagai
suplemen pakan untuk penunjang pertumbuhan ikan belum banyak diaplikasikan
(Nuari et al., 2016). Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka salah satu cara
yang dapat dilakukan yaitu dengan menambahkan probiotik dalam pakan dan
mengaplikasikan teknologi bioflok dalam budidaya ikan.

2
1.2 Tujuan

Tujuan dari pelaksanaan Praktek Keahlian ini adalah sebagai berikut :

1. Memahami teknologi bioflok dalam budidaya ikan lele (Clarias sp.) secara
intensif.
2. Memahami dinamika kualitas air dalam teknologi bioflok.
3. Mengetahui laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan lele (Clarias sp.)
dalam aplikasi teknologi bioflok.

1.3 Batasan Masalah

Pelaksanaan praktek pada Praktek Keahlian ini terdapat keterbatasan


waktu, maka praktek ini dibatasi pada :
1. Persiapan wadah dan media pemeliharaan, perlakuan yang diujikan pada
hewan uji, criteria pemnentukan bioflok.
2. Parameter kualitas air yang meliputi, suhu, DO, amoniak, nitrat dan nitrit.
3. Perhitungan laju pertumbuhan ikan yang meliputi biomassa, Average Daily
Growth (ADG), Feed Covertion Ratio (FCR) dan Survival Rate (SR).

3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Lele (Clarias sp.)
2.1.1 Klasifikasi

Klasifikasi ikan lele menurut Hasanuddin Saanin (1984) sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Sub-Kingdom : Metazoa
Phyllum : Chordata
Sub-Phyllum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Sub-Kelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub-Ordo : Siluroidea
Familia : Clariidae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias sp

2.1.2 Anatomi dan Morfologi

Ikan lele merupakan ikan air tawar yang banyak dibudidayakan di


Indonesia. (Taufiq Yunus Hasim dan Rully Tuiyo, 2014). Jenis lele yang beredar
di masyarakat cukup beragam, diantaranya lele lokal, lele dumbo, lele
sangkuriang, lele phyton, lele mutiara dan lele paiton. Warna tubuhnya tergantung
dari seiap jenis lele. (Hendriana, 2010). Ikan lele Mutiara hingga saat ini
merupakan satusatunya strain ikan lele Afrika unggul baru hasil pemuliaan di
Indonesia yang dibentuk melalui program seleksi (selective breeding program).

4
Strain-strain ikan lele Afrika yang lain di Indonesia merupakan ikan lele yang
dibentuk melalui proses persilangan (crossbreeding ataupun backcross) ataupun
hanya melalui proses introduksi. Ikan Lele Mutiara dibentuk melalui seleksi
individu pada karakter pertumbuhan selama tiga generasi. Seleksi individu selama
tiga generasi tersebut telah menghasilkan respons seleksi kumulatif sebesar
52,64% berdasarkan parameter bobot. Selain itu, hasil pengujian keragaan-
keragaan zooteknis menunjukkan bahwa ikan lele Mutiara memiliki keunggulan
karakter yang relatif lengkap sebagai komoditas perikanan budidaya, terutama
pada karakter pertumbuhan, efisiensi pakan, keseragaman ukuran, dan ketahanan
terhadap penyakit, lingkungan, dan stres (BPPI, 2014) dalam (Iswanto, Suprapto,
& Marnis, 2015). Menurut (Wahyudin, 2008) dalam bukunya “Panduan Lengkap
Agribisnis Lele.”, ikan lele secara umum memiliki tubuh yang licin, berlendir,
tidak bersisik, dan bersungut atau berkumis. Secara anatomi dan morfologi lele
terbagi menjadi 3 bagian. Berikut uraian masing-masing bagiannya :
1. Kepala (Cepal)
Lele memiliki kepala yang panjang, hampir mencapai seperempat dari
panjang tubuhnya. Kepala lele pipih ke bawah (depressed). Bagian atas dan
bawah kepalanya tertutup oleh tulang pelat. Tulang pelat ini membentuk ruangan
rongga di atas insang. Di ruangan inilah terdapat alat pernapasan tambahan lele
berupa labirin. Mulut lele terletak pada ujung moncong (terminal) dengan dihiasi
4 sungut (kumis). Mulut lele dilengkapi gigi, gigi nyata, atau hanya berupa
permukaan kasar di mulut bagian depan.
Lele juga mempunyai empat pasang sungut yang terletak di sekitar mulut.
Sepasang terletak di sekitar mulut. Sepasang sungut hidung, sepasang sungut
mandibular luar, sepasang sungut mandibular dalam, dan sepasang sungut
maxilar. Ikan ini memiliki alat olfaktori di dekat sungut yang berfungsi untuk
perabaan dan penciuman serta penglihatan lele yang kurang berfungsi baik.
Mata lele berbentuk kecil dengan tepi orbital yang bebas. Matanya latero-
lateral atau di permukaan dorsal tubuh yang dapat mengenali warna. Untuk
memfokuskan pandangan, lensa mata dapat bergerak keluar-masuk. Ikan lele
memiliki sepasang lubang hidung (nostrils) yang terdapat pada bagian anterior.
Nostrils tersebut berfungsi mendeteksi bau dan sangat sensitif.

5
2. Badan (abdomen)
Ikan lele mempunyai bentuk badan yang berbeda dengan jenis ikan
lainnya, seperti tawes, mas, ataupun gurami. Ikan lele mempunyai bentuk tubuh
memanjang, agak bulat, dan tidak bersisik. Warna tubuhnya kelabu sampai hitam.
Badan lele pada bagian tengahnya mempunyai potongan membulat. Sementara
itu, bagian belakang tubuhnya berbentuk pipihke samping (compressed). Dengan
demikian, ada tiga bentuk potongan melintang pada ikan lele, yaitu pipih ke
bawah, bulat, dan pipih ke samping.
3. Ekor (caudal)
Sirip ekor lele membulat dan tidak bergabung dengan sirip punggung
maupun sirip anal.sirip ekor berfungsi untuk bergerak maju. Sirip anal, caudal dan
dorsal tidak bersatu, panjang kepala adalah 2,9 - 3,8 bagian dari panjang baku.
Badan dihiasi oleh bercak bercak putih. (Rachmatika & Wahyudewantoro, 2006).

2.1.3 Habitat
Lele dapat hidup di berbagai tipe habitat mulai ketinggian 1 m dpl alias
pesisir pantai hingga ketinggian 800 m dpl. Lele juga dapat bertahan di daerah
minim air, menurut (Agriflo, 2012) dalam bukunya yang berjudul “Lele”. Habitat
atau lingkungan hidup lele sangkuriang adalah air tawar, meskipun air yang
terbaik untuk memelihara lele sangkuriang adalah air sungai, air saluranirigasi, air
tanah dari mata air, maupun air sumur, tetapi lele sangkuriang srelatif tahan
terhadap kondisi air yang menurut ukuran kehidupan ikan dinilai kurang baik.
Lele sangkuriang juga dapat hidup dengan padat penebaran tinggi maupun dalam
kolam yang kadar oksigennya rendah, karena ikan lele sangkuriang mempunyai
alat pernapasan tambahan yang disebut arborescent yang memungkinkan lele
sangkuriang mengambil oksigen langsung dari udara untuk pernapasan
(Himawan, 2008)
Kelompok pembudidaya yang mengikuti program budidaya ikan lele
berbasis teknologi bioflok mendapat manfaat dalam membudidayakan ikan lele
yaitu peningkatan produksi, pemanfaatan lahan sempit dan mengurangi bau dalam
budidaya lele. Hal ini dirasakan oleh pembudidaya karena budidaya lele berbasis

6
teknologi bioflok belum pernah dilakukan sebelumnya. (Hudaidah, Hasani, &
Yusup, 2017)

2.2 BIOFLOK
2.2.1 Pengertian Bioflok

Aiyushirota (2009) menyatakan bahwa bioflok adalah pemanfaatan bakteri


pembentuk flok (flocs forming bacteria) untuk pengolahan limbah. Tidak semua
bakteri dapat membentuk bioflok dalam air, bakteri pembentuk flok dipilih dari
genera bakteri yang non pathogen, seperti dari genera Bacillus hanya dua spesies
yang mampu membentuk bioflok. Sistem bioflok adalah teknologi yang
meningkatkan budidaya yang modern dengan meminimalisir penggunaan air.
(McAbee et al., 2003).

Menurut (Ebeling et al., 2006), bioflok adalah sistem produksi yang


merupakan komunitas mikroba padat yang berhasil mengendalikan amoniak yang
dilepaskan oleh organisme hasil budidaya serta amoniak dapat diserap oleh
mikroalga atau bakteri heterotrofik, dan dapat diubah oleh bakteri nitrifikasi.
Bentuk flok dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bentuk Flok dalam (Hargreaves, 2013)

2.2.2 Jenis Jenis Bakteri Pembentuk Flok

Menurut (Bratvold and Browdy 1998), bakteri adalah kumpulan mikroba


penting dalam sistem bioflok untuk menghilangkan amoniak beracun dalam siklus

7
nitrogen. Bioflok terdiri atas mikroorganisme (bakteri, ragi, fungi, protozoa,
fitoplankton) dan limbah. Komposisi organisme dalam flok akan mempengaruhi
struktur bioflok dan kandungan nutrisi bioflok (Izquierdoet al., 2006) dengan
ukuran bervariasi kisaran 100 - 1000 μm (Azim dan Little., 2008). Flok bakteri
tersusun atas campuran berbagai jenis mikroorganisme (bakteri pembentuk flok,
bakteri filamen, fungi), partikel-partikel tersuspensi, berbagai koloid dan polimer
organik, berbagai kation dan sel-sel mati (Jorand et al., 1995) dengan ukuran
bervariasi dengan kisaran 100 - 1000 µm (Azim et al., 2007). Selain alga dan
bateria, bioflok terdiri dari protozoa, rotifera, dan nematoda (Avnimelech, 2009)..

Bakteri yang mampu membentuk flok diantaranya, Zooglea ramigera,


Flavobacterium, Escherichia intermedia, Pseudomonas alcaligenes,
Paracolobacterium aerogenoids, Sphaerotillus natans, Bacillus subtilis, Bacillus
cereus, Tetrad dan Tricoda.

2.2.3 Pembentukan Flok

Teknologi bioflok merupakan salah satu alternatif baru dalam mengatasi


masalah kualitas air dalam akuakultur yang diadaptasi dari teknik pengelolaan
limbah domestik secara konvensional (Avnimelech, 2006). Pembentukan bioflok
oleh bakteri terutama bakteri heterotrof secara umum bertujuan untuk
meningkatkan pemanfaatan nutrient (Bossier & Verstraete, 1996). Prinsip dari
teknologi bioflok adalah menumbuhkan mikroorganisme terutama bakteri
heterotrof di air bak fiber yang dimaksudkan untuk menyerap komponen polutan,
amoniak yang ada di air bak fiber dan selanjutnya dikonversi menjadi protein
bakteri dan dapat dijadikan sebagai substitusi pakan bagi biota yang
dibudidayakan (Gunarto dkk., 2012).

Sistem kerja dari bioflok adalah mengubah senyawa organik dan


anorganik yang mengandung senyawa karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O),
nitrogen (N) dan sedikit unsur fosfor (P) menjadi gumpalan berupa bioflok
dengan menggunakan bakteri pembentuk flok yang mensintesis biopolymer
polihidroksi alkanoat sebagai ikatan bioflok (Suryaningrum, 2012).

8
2.2.4 Biokimia Pertumbuhan Bioflok

Prinsip utama yang diterapkan dalam teknologi ini adalah manajemen


kualitas air yang didasarkan pada kemampuan bakteri heterotrof untuk
memanfaatkan N organik dan anorganik yang terdapat dalam air. Bioflok
memiliki kapasitas yang besar dalam mengkonversi nitrogen anorganik dalam air,
sehingga dapat memperbaiki kualitas air dengan lebih cepat. Secara teoritis,
pemanfaatan N oleh bakteri heterotrof dalam sistem akuakultur disajikan dalam
reaksi kimia berikut NH4+ + 1.18 C6H12O6 + HC03- + 2.O6O2 + C5H7O2N +
6.O6H2O + 3.07CO2 (Ebeling et al,. 2006).

Secara teoritis dari persamaan tersebut maka dapat diketahui bahwa


mengkonversi setiap gram N dalam bentuk amoniak, diperlukan 6,07 g karbon
organik dalam bentuk karbohidrat, 0,86 karbon anorganik dalam bentuk
alkalinitas dan 4,71 g oksigen terlarut. Dari persamaan ini juga diperoleh bahwa
rasio C/N yang diperlukan oleh bakteri heterotrof adalah sekitar 6 (Ekasari, 2009).

Analisis kuantitatif proksimat, terdapat rumus molekul bioflok identik


dengan rumus empirik sel bakteri C5H7NO2. Kadar kandungan bioflok dapat
dilihat pada Tabel 1 dan tabel senyawa organik bioflok dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Kadar Kandungan Bioflok

No Unsur Kadar (%)


1 Karbon 47,00
2 Hydrogen 6,00
3 Oksigen 32,40
4 Nitrogen 8,5
Sumber : Aiyushirota (2009)

Tabel 2. Senyawa Organik Bioflok

Konversi Menjadi
No Senyawa Organik
Bioflok (%)
1 Karbohidrat 65-85

9
2 Alkohol 55-66
3 Protein 32-62
4 Lemak 10-60
5 Kasein 50-53
6 Glukosa 49-59
7 Sukrosa 58-68
Sumber : Aiyushirota (2009)

Sistem bioflok (heterotrophic system) dalam budidaya perairan


menekankan pada penumbuhan bakteri heterotrof pada kolam untuk
menggantikan komunitas autotrofik yang didominasi oleh fitoplankton (McIntosh,
2000). Ebeling et al., (2006) dan Mara (2004) menyatakan bahwa bakteri
heterotrof merupakan mikroba yang mempunyai laju pertumbuhan 40 kali lebih
cepat daripada mikroba oleh bakteri nitrifikasi. Peningkatan jumlah bakteri
heterotrof dapat menurunkan ammonia-nitrogen total, nitrit dan nitrat dalam
media, baik pada skala laboratorium maupun skala lapang (Ekasari, 2008; Hari et
al. 2004).

2.2.5 Indikator Keberhasilan Pembentukan Bioflok

Pertumbuhan bioflok dalam sistem akuakultur dipcngaruhi oleh faktor


kimia, fisika dan biologis dalam air. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan
untuk mendorong pembentukan bioflok dalam sistem budidaya diantaranya adalah
pergantian air seminimal mungkin hingga mendekati nol, aerasi kuat serta
peningkatan rasio C/N (Van Wyk & Avnimelech, 2007).

Menurut Van Wyk & Avnimelech (2007), karakteristik sistem bioflok


adalah kebutuhan oksigen yang tinggi dan laju produksi biomassa bakteri yang
tinggi. Oleh karena itu, dalam sistem ini diperlukan aerasi dan pengadukan yang
kuat untuk menjamin kebutuhan oksigen baik dari organisme budidaya maupun
biomassa bakteri serta untuk memastikan bahwa bioflok tetap tersuspensi dalam
air dan tidak mengendap. Intensitas pengadukan dan kandungan oksigen juga
mempengaruhi struktur dan komposisi bioflok (Ekasari, 2009). Intensitas
pengadukan yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi ukuran bioflok sedangkan

10
kandungan oksigen yang terlalu rendah dapat menyebabkan dominasi bakteri
filamen pada bioflok yang akan menyebabkan bioflok cenderung terapung.

Kepadatan bakteri yang tinggi dalam air akan menyebabkan kebutuhan


oksigen yang lebih tinggi sehingga aerasi untuk penyediaan oksigen dalam
penerapan teknologi bioflok merupakan salah satu kunci keberhasilan. Selain
berperan dalam penyediaan oksigen, aerasi juga berfungsi untuk mengaduk
(mixing) air agar bioflok yang tersuspensi dalam kolom air tidak mengendap
(Ekasari, 2009).

2.2.6 Peranan dan Proses Bioflok

Penerapan teknologi bioflok dalam kegiatan budidaya udang atau ikan


prinsipnya memanfaatkan limbah amoniak dan nitrit pada kolam budidaya
menjadi bahan pakan alami dengan bantuan bakteri heterotrofik, akan tetapi
proses penyerapan nitrogen anorganik oleh bakteri hanya terjadi ketika rasio C/N
lebih tinggi dari 10 (Burford, 2003). Ballester et al., (2010), mengatakan bahwa
teknologi bioflok pada budidaya ikan dan udang dapat mengurangi konsumsi
tepung ikan dan rasio konversi pakan ikan dapat dikurangi karena tergantikan oleh
produksi pakan alami berupa bioflok.

Roy dan Knowles (1995) mengkritisi bahwa teknologi bioflok hanya


berkonsentrasi pada konversi TAN (Total Ammonia Nitrogen) menjadi nitrit,
tetapi tidak memperhitungkan konsumsi O2 yang dibutuhkan untuk proses aerobik
oleh bakteri dalam proses mengubah nitrit menjadi nitrat. Teknik bioflok dapat
menyebabkan masalah lingkungan lain yang berkaitan dengan akumulasi nitrat.

11
Gambar 2. Tahapan Bioflok
Sumber :www.weebly.com (2016)

Bioflok menyediakan dua layanan penting yaitu mengelola limbah dari


makan dan memberikan nutrisi dari sisa pakan. Sistem bioflok dapat beroperasi
dengan nilai tukar air rendah (0,5-1 persen per hari). Air yang lama tertinggal
memungkinkan pengembangan komunitas bioflok padat dan aktif untuk
meningkatkan pengelolaan bahan organik limbah dan nutrisi. Dalam sistem
bioflok, menggunakan pertukaran air untuk mengelola kualitas air diminimalkan
dan proses pengolahan limbah internal ditekankan dan dianjurkan (Hargreaves,
2013).

2. 3 Kualitas Air

Dalam bidang perikanan, pengaruh kualitas air sangat penting terhadap


kegiatan budidaya, sehingga pengawasan parameter kualitas mutlak dilakukan
oleh pembudidaya (Ghufran et al., 2007 dalam Afriansyah, 2016), Parameter
kualitas air yang diamati, yaitu kandungan oksigen terlarut, pH, amoniak,
nitrat,nitrit, dan suhu air. Sistem sirkulasi merupakan salah satu cara untuk
memperbaiki kualitas air pada media pemeliharaan (Maniani dkk, 2016).

Selain itu, penggunaan teknologi probiotik jika diaplikasikan dengan tepat


dapat meminimalisir pergantian air bahkan tidak ada pergantian air dalam sistem
budidaya dan juga teknologi ini ramah lingkungan (Rachmawati dkk, 2015).
Probiotik bekerja dengan cara mengontrol perkembangan dan populasi mikroba

12
yang merugikan sehingga menghasilkan lingkungan yang optimal bagi mikroba
yang menguntungkan. Mikroba tersebut akan mendominasi dan membuat habitat
lebih sesuai untuk pertumbuhan makhluk hidup (Gunawan dan Bagus, 2011;
Widarni dkk., 2012 dalam Hariani, Biologi, & Surabaya, 2017).

2.3.1 Suhu (oC)

Kisaran suhu yang baik untuk pertumbuhan ikan lele adalah antara 28 –
29ºC, Suhu yang semakin tinggi akan meningkatkan laju metabolisme ikan,
namun respirasi yang terjadi semakin cepat sehingga mengurangi konsentrasi
oksigen di air, yang dapat menyebabkan stres bahkan kematian pada ikan
(Widiyantara, 2009 dalam Kasmat Samaun, Hasim, 2015).

Tinggi rendahnya suhu air bergantung pada banyaknya intensitas sinar


matahari yang jatuh pada permukaan air selama siang hari. Namun sebagian
intensitas cahaya tersebut juga dipantulkan kembali ke atmosfir dan yang tersisa
akan tersimpan pada badan air dalam bentuk energi (Maniani dkk, 2016).

2.3.2 Derajat Keasaman (pH)

Menurut Abdullah (2014) dalam Kasmat Samaun, Hasim (2015) pH yang


baik untuk pertumbuhan lele adalah 6,8 – 7,2. Tinggi atau rendahnya nilai pH di
suatu perairan dapat disebabkan oleh tingginya jumlah bahan organik, dimana
turunnya nilai pH disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi CO2 karena
aktivitas mikroba dalam menguraikan bahan organik.

2.3.3 Oksigen Terlarut (DO)

Menurut Setiawan (2007) dalamKasmat Samaun, Hasim (2015),


kandungan oksigen yang terlalu tinggi akan menyebabkan timbulnya gelembung –
gelembung dalam jaringan tubuh. Sebaliknya penurunan kandungan oksigen
secara tiba – tiba dapat mengakibatkan kematian. Oksigen terlarut (DO) yang baik
untuk pertumbuhan benih ikan lele adalah maksimal 5 mg/L (Setiawan, 2007
dalamKasmat Samaun, Hasim, 2015).

13
Meningkatnya sisa pakan dan buangan metabolit yang terakumulasi dapat
menyebabkan peningkatan phosfat sehingga kualitas air menjadi rendah yaitu
menurunnya kadar oksigen terlarut pada perairan (Afriansyah, 2016).

2.3.4 Nitrit

Tingginya kadar nitrit berkaitan erat dengan bahan organik, diantaranya


penguraian bahan organik oleh mikroorganisme memerlukan oksigen dalam
jumlah yang banyak, namun bila oksigen tersebut tidak cukup maka oksigen
tersebut diambil dari senyawa nitrat berubah menjadi senyawa nitrit (Hutagalung
dkk,1997 dalam Afriansyah, 2016).

Proses nitrifikasi berlangsung karena adanya bakteri kemoautotrofik


nitrifikasi yang membutuhkan kondisi aerob untuk mengoksidasi NH4+ dan NO2-,
dimana bakteri tersebut hanya hidup pada lingkungan terbatas seperti lapisan
sedimen aerobik atau oxiclayers sediment. Untuk menitrifikasi 1 mg/L ion
ammonium menjadi nitrat diperlukan 4,5 mg/L oksigen terlarut, sehingga harus
tersedia sejumlah oksigen terlarut yang cukup banyak di perairan untuk
terbentuknya senyawa nitrat. Selain itu, kecepatan laju nitrifikasi di perairan juga
dipengaruhi oleh pH, dimana kisaran pH optimum untuk berlansungnya proses
nitrifikasi berkisar antara 8-9 (Maniani dkk, 2016).

2.3.5 Nitrat

Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan dan merupakan nutrien


utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat sangat mudah larut dalam air
dan bersifat stabil (Bahri, 2006 dalam Afriansyah, 2016).

2.3.6 Amonia (NH3)

Menurut (Fitri Norjanna & Eko Efendi, 2015),amoniak merupakan


parameter kualitas air yang berperan penting pada budidaya ikan. Ikan
mengeluarkan limbah dari sisa pakan dan metabolisme yang banyak mengandung
amonia. Afriansyah (2016), menyatakan bahwa amoniak adalah senyawa beracun
dan faktor penghambat pertumbuhan, pada konsentrasi 0,18 mg/L dapat
menghambat pertumbuhan ikan.

14
Potensi pasokan amoniak ke dalam air budidaya ikan adalah sebesar 75%
dari kadar nitrogen dalam pakan (Gunardi & Hafsari 2008 dalam
Rachmawatidkk, 2015). Berkurangnya konsentrasi amoniak dan beberapa
parameter lain dalam wadah pemeliharaan dapat disebabkan oleh terpakainya
sejumlah ion amonium oleh makrofita, fitoplankton dan alga bentik yang ada
dalam media pemeliharaan tersebut. Selain itu ion amonium dapat mengalami
nitrifikasi menjadi nitrat apabila tersedia sejumlah oksigen yang cukup (Maniani
dkk, 2016).

3. METODE PRAKTIK

3.1 Waktu Dan Tempat

Waktu pelaksanaan praktik keahlian dimulai dari tanggal 19 Februari


hingga tanggal 04 April 2018 di Hatchery Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta, Jalan
AUP Barat, RT 1/RW 9, Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan Kode Pos
12520.

3.2 Alat Dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan pada budidaya lele sitem bioflok dapat dilihat pada
Tabel 3.

Tabel 3. Alat yang digunakan pada Pembesaran Ikan Lele Sistem Bioflok
No. Alat Spesifikasi Jumlah Keterangan

15
1 2 3 4 5
Bak Bak fiber
1 2 buah Wadah pemeliharaan
Pemeliharaan ukuran 0,5 m3
2 Hi Blow 100 watt 1 buah Penyuplai oksigen
PE, diameter Sebagai penyuplai
3 Selang Aerasi 2m
100 mm oksigen
Membentuk gelembung
4 Batu Aerasi Batu berpori 8 buah
udara
5 Pipa Aerasi PVC ¾’ 1 unit Penyuplai oksigen
6 Pipa Outlet PVC 2’ 2 buah Membuang air
7 Regulator Plastik 8 buah Penyuplai oksigen
Wadah pemberian
8 Baskom Plastik 2 buah
pakan
Menimbang pakan dan
9 Timbangan Ketelitian 1 g 1 buah
bahan bahan lain
Diameter 30
10 Serokan 2 buah Mengambil ikan
cm
Mesin
11 pencampur / 1 unit Mengaduk pakan
Pengaduk
Volume 500 Menakar bahan bahan
12 Gelas ukur 1 buah
ml praktik

Tempat
fermentasi Tempat fermentasi
13 Volume 50 kg 1 unit
pakan pakan

14 Kertas pH Ketelitian 1 1 set Mengukur pH air

15 Nitrat test 1 unit Mengukur NO3-N

16 Nitrit test 1 unit Mengukur NO2 –N

16
17 Ammonia test 1 unit Mengukur kadar NH3-N

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan pada budidaya lele sitem bioflok dapat dilihat pada
Tabel 4.

Tabel 4.Bahan Bahan Yang Digunakan Untuk Pembesaran Lele Sistem Bioflok

No. Bahan Spesifikasi Jumlah Keterangan


1 Pakan Cargill DE 2 Pakan Ikan
2 Bibit Lele Mutiara 2000 ekor Objek pengamatan
3 Probiotik Bacillus 1 liter Pembentuk flok
4 Molase Tetes tebu 1 liter Bahan fermentasi
5 Dolomite Pupuk 500 g Bahan fermentasi
6 Garam Krosok 3 kg Bahan fermentasi
7 Chlorine 70% 10 g Desinfektan

3.3 Metode Kerja

Metode kerja yang dilakukan pada budidaya lele bioflok adalah meliputi
beberapa kegiatan diantaranya adalah :

3.3.1 Persiapan Wadah

Wadah yang digunakan untuk pembesaran lele sistem bioflok adalah bak
fiber bulat volume 0,5 m3. Setiap bak terdapat saluran outlet serta didalam wadah
terdapat 4 titik aerasi. Bak fibre pemeliharaan lele sistem bioflok dapat dilihat
pada Gambar 3.

Bak yang digunakan pada pembesaran lele sistem bioflok berjumlah 2


buah, sebelum digunakan sebagai wadah pemeliharaan, dilakukan persiapan
wadah terlebih dahulu. Adapun tahapan persiapan wadah bioflok adalah :

1. Bak yang sudah dikeringkan disiram dicuci dengan klorin dosis 10 ppm.

17
2. Membersihkan dengan menyikat menggunakan sikat atau benda yang
bersubsrat kasar.
3. Membuang air yang terdapat didalam bak dan membilas bak dengan air
bersih.
4. Setelah bau kaporit hilang bak siap digunakan untuk tahap selanjutnya.

Gambar 4.Strelisasi Bak Dan Alat Alat Lainnya Menggunakan Chlorine

3.3.2 Pembuatan Probiotik Fermentasi

Probiotik yang akan diberikan ke dalam wadah pemeliharaan adalah bukan


murni probiotik dari wadah, akan tetapi dilakukan fermentasi terlebih dahulu
sebagai proses adaptasi bagi bakteri yang akan ditumbuhkan pada media
pemeliharaan, karena bisa saja bakteri yang baru keluar dari wadah nya apabila
langsung dimasukkan ke dalam media pemeliharaan yang pada awalnya masih
dalam fase dormant bisa langsung mengalami kematian karena belum ada proses
adapatasi terlebih dahulu. Salah satu tujuan dari fermentasi probiotik untuk
memperbanyak jumlah bakteri yang didapatkan.

Bahan yang digunakan untuk fermentasi probiotik adalah, 20 liter air


bersih, probiotik cair merk Ms Pro dengan kandungan bakteri dari jenis Bacillus
substilis, Bacillus licheniformis, Bacillus megaterium, Bacillus polymyxa. Dosis
yang digunakan adalah 1 liter/20 liter air, molase atau tetes tebu dengan dosis 1

18
liter/20 liter air dan juga vitamin B dengan dosis 10 gram/ 20 liter air. Adapun
langkah kerja dari kegiatan pembuatan probiotik fermentasi adalah :

1. Persiapkan bak, bisa berupa bak bulat volume 50 liter atau konikel tank.
2. Isi air bersih sebanyak 20 liter dan berikan aerasi.
3. Tambahkan probiotik, molase, dan juga vitamin sesuai dengan dosis yang
telah ditentukan diatas. Dapat dilihat pada Gambar 5.
4. Proses fermentasi berlangsung selama 3 hari, setelah 3 hari probiotik
fermentasi siap digunakan.

(a) (b) (c)

Gambar 5.(a) Penambahan Probiotik. (b) Penambahan Vitamin B (c) Penambahan


Molase

3.3.3 Persiapan Media Budidaya Dengan Sistem Bioflok

Tahapan persiapan media untuk budidaya bioflok adalah sebagai berikut :

1. Wadah yang sudah dipersiapkan diisi air setinggi 85 cm.


2. Tambahkan garam pada hari pertama sebanyak 1-3 kg/m3.
3. Pada hari kedua tambahkan probiotik yang sudah di fermentasi dengan dosis
250 ml/m3, dan juga penambahan dolomit sebanyak 250 gr/m3.
4. Air dalam bak diaerasi kuat dan dibiarkan sampai terbentuk flok (± 7 hari).
Penambahan garam, dolomit dan probiotik fermentasi dapat dilihat pada
Gambar 6.

19
(a) (b) (c)

Gambar 6.(a) Penambahan Garam (b) Penambahan Dolomit(c) Penambahan


Probiotik Fermentasi

3.3.4 Penebaran Benih

Benih yang ditebar pada kegiatan ini berasal dari pembenih ikan di
Hatchery Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Benih yang digunakan adalah benih
yang memiliki kualitas baik. Dalam pemilihan benih yang akan ditebar, dilakukan
pengamatan secara visual terhadap gerakan dan morfologi.
Ciri – ciri benih yang baik yang digunakan dalam pembesaran ikan sistem
bioflok ini adalah sebagai berikut :
1. Ukurannya seragam
2. Organ tubuh lengkap dan tidak ada cacat fisik
3. Gerakannya lincah dan aktif
4. Respon terhadap pakan yang diberikan
5. Warna tubuh cerah dan tidak pucat

Sebelum dilakukan penebaran benih, dilakukan sampling terlebih dahulu


terhadap panjang dan berat dari benih ikan yang akan ditebar, dengan tujuan untuk
mengetahui ukuran awal ikan yang akan dipelihara dan juga untuk menentukan
jumlah pakan yang akan diberikan kepada ikan yang akan dipelihara.

Sampling benih ikan lele dilakukan dengan cara cara dibawah ini :

1. Mengambil 20 ekor ikan sebagai sampel yang akan diukur panjang dan
beratnya.
2. Menimbang dan mengukur panjang ikan satu persatu.
3. Menjumlahkan hasil timbangan per ekor kemudian dibagi dengan jumlah
sampel untuk mengetahui berat rata rata per ekor ikan.
4. Menjumlahkan hasil pengukuran panjang per ekor kemudian dibagi dengan
jumlah sampel untuk mengetahui panjang rata rata per ekor ikan.

20
Pengecekan kualitas air dilakukan terlebih dahulu sebelum dilakukan
proses penebaran benih dilakukan. Benih ditebar dengan kepadatan 2000 ekor/m3.
Benih yang akan ditebar dihitung satu persatu. Adapun tahapan penebaran benih
pada bak bioflok dilakukan sebagai berikut :
1. Mengambil benih dibak pemberokan kemudian memasukkan kedalam bak
penampungan terlebih dahulu.
2. Menghitung jumlah benih yang akan ditebarkan di bak pemeliharaan sesuai
dengan kepadatan.
3. Menebar benih lele pada masing – masing bak dengan kepadatan 2000
ekor/m3.
4. Penebaran ini dilakukan dengan melalui proses aklimatisasi. Penebaran benih
dapat dilihat pada dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7.Penebaran Benih

3.3.5 Pengelolaan Kualitas Air


Selama proses pemeliharaan tidak dilakukan pergantian air secara total,
akan tetapi penambahan dilakukan apabila terjadi penguapan dan juga kondisi
tertentu yang membuat pergantian air harus dilakukan seperti kondisi bakteri pada
pemeliharaan melebihi batas. Kondisi dasar bak harus sering diperhatikan untuk
mengetahui jumlah endapan yang ada. Pengukuran kualitas air untuk pH dan suhu
dilakukan dilakukan setiap hari pada pagi dan sore hari, sedangkan untuk DO,

21
nitrit, nitrat, dan amoniak dilakukan 4 hari sekali. Selain itu kondisi flok juga
diperhatikan setiap seminggu sekali dengan cara pengamatan visual menggunakan
corong glass. Pengamatan endapan dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8.Pengamatan Endapan

3.3.6 Perlakuan Bioflok Susulan


Pada budidaya dengan sistem bioflok, perlakuan bioflok susulan dilakukan
dengan tahapan berikut ini :
1. Setiap 5 kg pakan yang masuk kedalam media pemeliharaan maka dilakukan
pengurangan air sebanyak 30 % pada bagian dasar (penyiponan)
2. Penambahan dolomit dan probiotik fermentasi dengan dosis seperti diawal
persiapan media.

3.3.7 Pengelolaan Pakan


Pakan yang digunakan untuk budidaya lele bioflok adalah pakan buatan
(pellet) dengan merk dagang Cargill, dan kadar protein 32 %. Frekuensi
pemberian pakan adalah 2 kali sekali, pemberian pada pukul 08 : 00 dan 16 : 00.
Dosis pakan (Feeding Rate) yang digunakan adalah 3 %. Pakan pellet yang
diberikan harus disesuaikan dengan bukaan mulut ikan.
Adapun langkah langkah dalam pemberian pakan adalah sebagai berikut :
1. Siapkan wadah berupa baskom dan timbangan.

22
2. Timbang pakan yang akan diberikan sesuai dengan jumlah yang telah
diperhitungkan.
3. Tebarkan pakan secara merata pada bak, sebaiknya pemberian dilakukan pada
satu titik penebaran.
4. Perhatikan dengan cermat respon ikan terhadap pakan yang diberikan, apabila
ikan tidak mau makan dari pakan yang diberikan maka pemberian pakan
dihentikan dan timbang sisa pakan yang tidak termakan.

3.3.8 Pengamatan Pertumbuhan


Pengamatan pertumbuhan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
1. Sebelum melakukan sampling maka ikan tidak diberi pakan (dipuasakan).
2. Siapkan segala peralatan yang akan digunakan (timbangan, penggaris,
baskom, serok).
3. Ikan ditangkap sebagai sampel dengan jumlah 20 ekor setiap bak. Kemudian
di timbang dan diukur panjangnya.
4. Jumlahkan hasil pengukuran panjang dan berat ikan, kemudian dibagi dengan
jumlah sampel ikan. Maka didapatkan rata rata berat dan panjang ikan.
Sampling dilakukan adalah untuk mengetahui ABW (Average Body
Weight), ADG (Average Daily Growth), ABW (Average Body Weight), dan SGR
(Spesific Growth Rate). Adapun rumus yang digunakan adalah :
Rumus Menghitung ADG (Average Daily Growth)

Wt0 – WtI
ADG =
t

Ket : Wto = Berat awal pemeliharaan

Wti =Berat Akhir pemeliharaan

t = Waktu pemeliharaan

Laju pertumbuhan spesifik harian (Specific Growth Rate/SGR) ikan


dihitung dengan menggunakan rumus Hasan et al. (2012) dalam Fajri dkk (2015).

23
Ln Wt0 - Ln WtI
SGR = X 100 %
t

Ket : SGR = Pertumbuhan spesifik harian (% per hari)

Wto = Berat tubuh rata – rata awal pemeliharaan (g)

WtI = Berat tubuh rata – rata akhir pemeliharaan (g)

t = Waktu pemeliharaan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Persiapan Wadah
Menurut Farikha dan Badrul (2013), kolam berfungsi sebagaimana
dijadikan media pemeliharaan ikan, kolam dapat dibuat dari berbagai macam
bahan antara lain kolam tanah, kolam beton, kolam terpal, kolam drum, keramba
tancap atau keramba jaring apung (KJA). Pada praktik keahlian ini menggunakan
bak fiber bulat yang berukuran diameter 70 cm, tinggi 90 cm,dan volume air
sebanyak 0,5 m3 sebanyak 4 bak. Bak A dan B pemeliharaan ikan lele
menggunakan probiotik dan fermentasi pakan, bak C pemeliharaan ikan lele
dengan menggunakan probiotik dan tanpa pakan fermentasi, dan bak D
pemeliharaan ikan lele tanpa probiotik dan fermentasi pakan. Salah satu syarat
kolam yang baik yaitu memiliki saluran pemasukan air (inlet) dan pengeluaran air
(outlet) (Farikha dan Badrul, 2013).
Setelah persiapan selesai maka ada tahapan selanjutnya yaitu pencucian bak
dan pemasangan aerasi.

24
a. Pencucian bak
Setelah bak dipersiapkan maka pastikan wadah tersebut tidak bocor dan
tidak pecah. Sebelum dibersihkan sebaiknya bak tersebut disucihamakan
menggunakan klorin dengan dosis 10 ppm (Farikha dan Badrul, 2013), bak disikat
menggunakan sikat yang bertekstur kasar, pastikan kotoran atau lumut tidak
menempel pada bak, kemudian bilas dengan air mengalir hingga bersih.
b. Pemasangan aerasi
Setelah bak dibersihkan, maka langkah selanjutnya yaitu memasang
perlengkapan aerasi. Perlengkapan aerasi terdiri dari batu aerasi, selang aerasi,
pemberat (batu), spuyer, pipa aerasi, dan blower. Disetiap bak dipasang aerasi
sebanyak 4 titik dan dibuka kuat agar didalam bak tersebut homogen.

4.2 Persiapan media pemeliharaan


Pada pembasaran ikan lele diawali dengan menyiapkan air sebagai
medianya (Sujito dan Kusairi, 2017), persiapan media yaitu berupa air, garam
krosok (NaCl) sebanyak 1-3 kg/m3, kapur dolomit (CaMg(Co3)2) sebanyak 250
g/m3, dan probiotik fermentasi 250 ml/m3. Air di masukkan kedalam wadah
pemeliharaan setinggi 85 cm. Sumber air yang ada di hatchery Jakarta yaitu
bersumber dari tanah yang pH nya mencapai 5, sehingga untuk menetralkan nya
membutuhkan kapur. Kapur terdiri dari beberapa jenis yaitu kapur tohor
(Ca(Co3)2), kapur dolomit (CaMg(Co3)2), kapur pertanian (CaCo3), dll. Tetapi
pada praktikum keahlian ini menggunakan kapur dolomit (caMg(Co3)2). Dan juga
garam krosok (NaCl) yang berfungsi untuk mengikat pH agar normal.
Setelah media (air) dimasukkan kedalam wadah pemeliharaan, pada hari
pertama masukkan garam krosok sebanyak 2 kg/m3, kemudian air diendapkan
selama 24 jam. Pada hari ke-dua tambahkan probiotik fermentasi kedalam wadah
yang telah di campur dengan garam dengan sebanyak 250 ml/m3 dan dolomit
sebanyak 25 g/m3. Kemudian diberikan aerasi cukup kuat agar proses pengadukan
cepat homogen. Diamkan selama 3 hari, kemudian dapat menebar benih ikan lele.

4.3 Aplikasi probiotik

Pada saat ini banyak metode lain yan aman dan efektif digunakan dalam
budidaya yaitu salah satunya penambahan probiotik (Sya’bani dkk, 2015).

25
Menurut Supriatna (2016), probiotik sebagai penambahan mikroba hidup yang
memiliki pengaruh menguntungkan terhadap komunitas mikroba lingkungan
hidupnya. Menurut Sya’bani (2015), probiotik telah diketahui manfaatnya yaitu
dapat meningkatkan immunitas ikan dan memperbaiki kualitas air. Rosenberry
(2006) menyatakan bahwa teknik menumbuhkan bakteri heterotrof dalam kolam
budidaya dengan tujuan untuk memanfaatkan limbah nitrogen menjadi pakan
yang berprotein tinggi dengan menambahkan sumber karbon untuk meningkatkan
rasio C/N disebut teknologi biofloc (BFT). Menurut Avnimelech (1999), bakteri
heterotrof akan tumbuh maksimal melalui peningkatan rasio C/N dengan
menambahkan sumber karbon organik secara kontinu seperti molase, tepung
terigu dan tepung tapioka. Penambahan karbon dapat mereduksi nitrogen
anorganik pada tangki percobaan udang dan kolam tilapia skala komersil (Aji dkk
2014).

Jenis bakteri yang digunakan dalam praktikum keahlian ini yaitu Bacillus
substilis, Bacillus licheniformis, Bacillus megaterium, Bacillus polymixa. Jenis
bakteri tersebut berindikasi bahwa : 1) untuk menguraikan bahan organik; 2)
mencegah pembusukan di perairan dasar; 3) menstabilkan kualitas air. Pemberian
bakteri B.substilis dan B.licheniformis memberikan hasil terbaik, ini dikarenakan
bakteri probiotik memberi pengaruh yang baik untuk pertumbuhan. Menurut
Mulyadi (2011), pemanfaatan Bacillus sp. memberikan pengaruh positif bagi
pertumbuhan, enzim yang dihasilkan oleh bakteri yang ikut termakan akan
membantu proses pencernaan dalam saluran pencernaan kultivan, selanjutnya
dilaporkan bahwa bakteri ini akan menghasilkan enzim protease dan lipase
(Simanjuntak 2016).

4.4 Hewan uji


Biota yang digunakan dalam praktikum keahlian di hatchery STP Jakarta
yaitu ikan lele mutiara (Clarias sp.). Bibit ikan lele tersebut telah tersedia di
hatchery sehingga tidak sulit untuk mencari bibit yang unggul.
Menurut SNI : 01-6484.2-2000, ciri-ciri bibit yang unggul yaitu :
1. Anggota badan lengkap
2. Tidak cacat

26
3. Berenang normal
4. Warna tubuh hitam keabu abuan

Bibit ikan lele yang digunakan pada saat praktikum keahlian yaitu
berukuran panjang rata-rata 20 cm dan berat rata-rata 50 g/ekor. Setiap wadah
pemeliharaan di isi sebanyak 1000 ekor dengan padat tebar 2000 ekor/m3.

4.5 Kualitas air


Kualitas air baik sifat kimia dan fisika diamati seminggu sekali dengan
pengambilan air semple yang diamati di laboratorium. Parameter kualitas air yang
diamati meliputi amoniak, nitrat, nitrit, suhu, oksigen terlarut, pH (Aji dkk 2014).
Hasil pengukuran kualitas air sebelum dilakukan penebaran benih pada bak A, B,
dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. NilaiKualitas Air Sebelum Penebaran Benih


Wadah Pemeliharaan
No Parameter
A B
1 Ph 6 6
2 Suhu (˚C) 24 24
3 DO (mg/liter) 7 7
4 Nitrat (mg/liter) 0 0
5 Nitrit (mg/liter) 0,2 0,2
6 Ammonia (mg/liter) 0,5 0,5

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan padasistem biflok ikan lele


(Clarias sp.), nilai kisaran kualitas air dapat di lihat pada Tabel 6.

Tabel 6.Nilai Kualitas Air Selama Pemeliharaan Ikan Lele Sistem Bioflok

27
Wadah Pemeliharaan
No Parameter
A B
1 pH 7 7
2 Suhu (˚C) 24-31 24-31
3 DO (mg/Liter) 3,493 3,593
4 Nitrat (mg/Liter) 10-50 10-50
5 Nitrit (mg/Liter) 1,5-2,0 1,5-2,0
6 Ammonia (mg/Liter) 3,0 3,0

Kualitas air selama pengamatan di praktik ini (Tabel 4), bahwa kualitas air
media pemeliharaan masih dalam taraf kelayakan untuk pemeliharaan lele.
Kisaran nilai parameter sifat fisika-kimia pada umumnya tidak begitu berbeda.
Hasil pengukuran suhu berkisar 26-30ºC dan pH berkisar 6-7. Menurut Effendi
(2003) kisaran suhu optimal untuk kegiatan budidaya ikan lele dumbo adalah
berada pada kisaran 25-30ºC dan pH antara 6,5-8,6 (Simanjuntak, dkk 2016).
Selama pelaksanan praktik, parameter suhu sering kaliterjadi penurunan dan
peningkatan secara fluktuatif, contohnya saja ketiga pagi hari suhu dapat
mencapai 24˚C dan pada saat siang menjelang sore terkadang berkisar hingga
31˚C dan pH tidak menunjukkan perubahan yang berbeda ketika ditambahkan
konsentrasi bakteri probiotik ke dalamnya.
Oksigen terlarut merupakan hal penting dalam yang harus dipenuhi dalam
media pemeliharaan ikan. Berdasarkan Tabel 4, bahwa kisaran oksigen terlarut
media pemeliharan lele dumbo selama praktik berada pada kisaran 3,49-3,59
mg/L, kondisi ini mampu menunjang pertumbuhan ikan secara normal. Menurut
Khairuman dan Amri (2002), kandungan oksigen terlarut yaitu > 3 mg/L. Boyd
(1986) menambahkan bahwa kandungan oksigen terlarut kurang dari 1 mg/L akan
mematikan ikan, pada kandungan 1-5 mg/L cukup mendukung kehidupan ikan
tetapi pertumbuhan ikan lambat, dan pada kandungan oksigen lebih dari 5 mg/L
pertumbuhan ikan berjalan normal. Stickney (2005) dalam (Abulias dkk 2014)
juga berpendapat, bahwa konsentrasi oksigen yang baik untuk ikan lele tidak
boleh kurang dari 3 mg/l.

28
Limbah yang sangat berbahaya dan bersifat toksik bagi ikan, khususnya
adalah amoniak. Limbah amoniak ini sangat berbahaya dan mampu memicu
timbulnya racun ataupun penyakit pada ikan. Limbah amoniak dari budidaya ikan
yang dibuang langsung ke perairan sekitarnya merupakan sumber pencemaran
yang perlu mendapat perhatian. Potensi pasokan amonia ke dalam air budidaya
ikan adalah sebesar 75% dari kadar nitrogen dalam pakan (Abulias dkk 2014).
Pengukuran amoniak di awal praktik menunjukkan kisaran 0,1-0,5 mg/L dan
selama masa pemeliharaan terjadi kenaikan Amoniak berkisar 2,5-3,0 mg/L. Hasil
ini menunjukkan selama praktik berlangsung kondisi kualitas air media tidak baik
dan menunjukkan lonjakankenaikan kualitas air, sehingga tidak layak untuk
menunjang kehidupan lele dumbo dan mengakibatkan sering terjadinya kematian
tiap harinya. Hal ini dapat terjadi karena peran bakteri heterotof dalam mengubah
amonia - nitrogen sebagai sumber nutrisi pembentukan biomassa sel tidak
berlangsung secara maksimal.

Hasil praktikum menunjukkan kadar nitrit air selama masa pemeliharaan


berkisar antara 1,5-2,0 mg/L, nilai kisaran ini sangat tidak normal untuk
mendukung kelulushidupan organisme air. Kiasaran ini jauh dari batas normal
yang kisaran kadar nitrit pada perairan mampu untuk menunjang kehidupan yaitu
dibawah 1 mg/L (Simanjuntak dkk 2016). Penggunaan probiotik yang tidak
sesuai tersebut, ternyata tidak mampu menyeimbangkan variabel-variabel kualitas
air pada kadarnya. Tapi pada prinsipnya Bakteri Bacillus sp mampu memperbaiki
kualitas air. Ini juga disebutkan oleh Irianto (2003) menyatakan bahwa
penggunaan Bacillus sp. mampu memperbaiki kualitas air melalui penyeimbangan
populasi mikroba dan mengurangi jumlah patogen dan secara bersamaan
mengurangi penggunaan senyawa-senyawa kimia serta meningkatkan
pertumbuhan hewan air.

4.6 Pakan
Aplikasi teknologi bioflok berperan penting dalam meningkatkan efisiensi
pemanfaatan pakan oleh kultivan budidaya .Efisiensi pakan pada perlakuan
dengan aplikasi teknologi bioflok lebih tinggi karena adanya peningkatan
biomassa bioflok sebagai sumber nutrisi atau makanan tambahan untuk kultivan

29
budidaya. Penelitian Crab et al. (2009) mencatat kandungan protein yang terdapat
pada bioflok mencapai 42% dalam berat kering. Tingginya kandungan protein
yang terkandung dalam nutrisi mikrobial flok diduga menjadi penyebab efisiensi
pakan pada perlakuan (Simanjuntak, dkk 2016). Pakan yang digunakan dalam
pembesaran ikan lele sistem bioflok digunakan pakan yang berfermentasi. Dengan
metode suplementasi dalam pakan dapat meningkatkan pertumbuhan, respon
imun, dan resistensi terhadap infeksi virus (Widanarni, dkk 2014) dan
memperbaiki rasio konversi pakan (Widanarni dkk, 2012), serta peningkatan
kualitas air (Watson dkk, 2008). Untuk fermentasi pakan, pakan yang digunakan
adalah pakan pabrikan sebanyak 10 kg, kemudian dicampur dengan FCO
sebanyak 25 ml/kg pakan, dan air sebanyak 100 ml/kg pakan. Kemudian pakan
tersebut dimasukkan kedalam mesin pencampur yang ada di hatchery Jakarta, lalu
masukkan FCO dan juga air kedalam mesin pencampur yang ada pakannya,
tunggu hingga pakan tercampur secara merata. Apabila pakan telah tercampur rata
maka pakan disimpan ke dalam wadah yang tertutup dankedap udara. Fermentasi
pakan dilakukan selama 3 hari, kemudian pakan bisa digunakan.
Setelah pakan difermentasi selama 3 hari, pakan dapat digunakan.untuk
FR yang digunakan dalam pemeliharaan ikan lele sistem bioflok yaitu 3% dari
biomassa ikan lele. Untuk frekuensi pemberian pakan sebanyak 2 kali sehari, pada
pagi pukul 08.00 dan sore pada pukul 16.00. Selama 4 hari pemeliharaan dari
awal tebar, pakan diberikan sebanyak 20% dari total pakan perhari dikarenakan
ikan belum beradaptasi secara keseluruhan. Setelah bibit dan media pemeliharaan
stabil, maka pakan dapat diberikan dengan sesuai porsinya.
Adapun cara pemberian pakan sebagai berikut :
1. Pakan ditimbang sesuai dengan perhitungan biomassa dan FR
2. Tunggu hingga pakan yang di makan olehikan lele habis termakan
3. Amati respon ikan terhadap pakan yang diberikan
4. Jika respon baik, pakan yang diberikan bisa sesuai dosis, namun jika buruk
maka akan dikurangi dari dosis atau ikan akan dipuasakan

4.7 Pengamatan Pertumbuhan


Sampling pertumbuhan dilakukan sebanyak dua kali, data sampling
pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8.

30
Tabel 7. Data Sampling 1
BAK A BAK B
PANJANG BERAT PANJANG BERAT
(cm) (gr) (cm) (gr)
20 46 21 50
19,5 48 19,5 50
20 42 18,5 50
19 48 18 40
20 44 18 50
22 62 19 55
19,5 37 19 60
20 54 19,5 40
20,5 49 19 45
18 37 19 45
18,5 44 17,5 40
18 52 18,5 40
19,5 42 23 50
21 49 21,5 40
20 46 21,5 50
20 45 21,5 50
20 47 19 35
17,5 33 19,8 40
19 42 18,2 50
18,5 41 18 30

Bak A
Panjang rata-rata = 19,525 cm

Biomassa = 45400 gram

ABW = 45,4 gram

Bak B

Panjang rata-rata = 19,45 cm

Biomassa = 45500 gram

ABW = 45,5 gram

Pada bak A hasil pengukuran pertama sebelum penebaran didapatkan data


panjang rata rata 19,525 cm dengan biomassa 45400 gram dan ABW 45,5 gram.
Jumlah tebar pada bak A adalah sebanyak 1000 ekor. Sedangkan pada bak B,

31
panjang rata rata adalah 19,45 cm dengan biomassa 45500 gram dan ABW 45,4
gram denga jumlah penebaran yang sama. Data tersebut digunakan sebagai data
awal untuk perhitungan ABW dan SGR pada saat sampling kedua.

Tabel 6. Data Sampling 2


BAK A BAK B
PANJANG BERAT PANJANG
BERAT (gr)
(CM) (gr) (CM)
19,2 40 19 44
20,5 65 20 50
18,7 40 19 55
21,4 55 18,5 42
20,3 60 20 44
18 40 20,5 51
18,1 35 20 51
19,5 45 19 47
18,9 55 18,5 41
17,8 45 20 48
20,3 55 19,5 50
20,3 40 20,5 55
22,7 70 19,5 45
19,7 42 18,5 49
20 45 21 54
19,4 50 20 50
22 60 21 44
22 65 22 60
19,2 40 21 53
20,1 50 20 48

Bak A
Panjang rata-rata = 19.905 cm

Biomassa = 49850 gram

ABW = 49,85gram

ADG = 2,222 gram

SGR =54.7 %

Bak B
Panjang rata-rata = 19,875 cm

32
Biomassa = 49050 gram

ABW = 49,05 gram

ADG = 1,775 gram

SGR = 54,4 %

Sampling dilakukan sebanyak 2 kali. Dari hasil sampling pertama pada


bak A didapatkan panjang rata rata 19,905 cm, jika dihitung maka didapatkan
pertumbuhan panjang adalah 0,38 cm/minggu. Biomassa pada sampling pertama
adalah 45400 dan pada saat sampling berikutnya menjadi 49850 gr. Jadi diketahui
pertambahan biomassa sebanyak 4450 kg/minggu. Sedangkan ABW, didapatkan
data awal 45,4 gram dan pada saat sampling berikutnya menjadi 49,85 gram.
ADG yang didapatkan adalah 2,222 gram/hari dengan SGR 54,7 %.
Sedangkan hasil sampling kedua pada bak B didapatkan data panjang rata
rata setiap ikan menjadi 19,45, maka dapat diketahui pertambahan panjang per
minggu adalah 0,425 gram minggu. Biomassa pada sampling pertama adalah
45500 dan pada saat sampling berikutnya menjadi 49050 gr. Jadi diketahui
pertambahan biomassa sebanyak 3,550 kg/minggu. Sedangkan ABW, didapatkan
data awal 45,5 gram dan pada saat sampling berikutnya menjadi 49,05 gram.
Dengan ADG yang didapatkan adalah 1,775 gram/hari dengan SGR 54,4%.

33
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil praktik keahlian tentang Teknik Pembesaran Lele (Clarias sp)
dengan Sistem Bioflok dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Sistem budidaya bioflok pada budidaya ikan lele merupakan sebuah sistem
budidaya ikan lele melalui proses penumbuhan dan pengembangan mikro
organisme yang ditumbuhkan pada media budidaya sehingga membentuk flok
atau gumpalan kecil yang berguna sebagai makanan ikan secara alami.
2. Perlakuan yang dilakukan pada air untuk membentuk flok adalah dengan
melakukan penambahan fermentasi probiotik 250 ml/m3 kemudian garam
sebanyak 1-3 kg/m3 dan dolomite sebanyak 250 gr/m3.
3. Laju pertumbuhan dibagi menjadi dua yaitu :

34
a. Laju pertumbuhan spesifik, pada bak A yaitu 54,7 % sedangkan pada bak
B 54,4 %
b. Laju pertumbuhan harian, pada bak A yaitu 2,222 gram/hari sedangkan
pada bak B 1,775 gram/hari

5.2 Saran
Dari kesimpulan praktik keahlian pembesaran ikan lele dengan sistem
bioflok diatas, maka kami menyarankan:

1. Sebaiknya, monitoring terhadap kondisi flok selalu dilakukan untuk


mengetahui jumlah flok yang sudah terbentuk.
2. Pengecekan kualitas air juga sebaiknya menggunakan alat digital untuk
memastikan keakuratan data karena jika menggunakan test kit, Pada
beberapa parameter memiliki batas tertentu sehingga data tidak bisa
terlengkapi.
3. Pada pengukuran pertumbuhan, sebaaiknya sebagai pembelajaran,
pengukuran panjang tidak hanya mengukur panjang total, akan tetapi
panjang standar, panjang kepala, tinggi badan dengan tujuan pertumbuhan
bisa ketahui lebih spesifik lagi.

35

Anda mungkin juga menyukai