Anda di halaman 1dari 7

SITEM MANAJEMEN RANTAI PASOKAN PADA INDUSTRI

AGROBISNIS KELAPA SAWIT INDONESIA

Proses Supply Chain Kelapa Sawit dimulai dari industri pembibitan, perkebunan
kelapa sawit, pengolahan TBS menjadi CPO, dan pengolahan CPO lebih lanjut menjadi
produk turunan baik setengah jadi (seperti oleokimia) maupun produk jadi (seperti minyak
goreng, biodiesel, sabun, shampoo, pelumas dan lain-lain) dari produk jadi di pasarkan
kepada konsumen melalui distributor atau agen.

Gambar Rantai Pasok CPO (Crued Palm Oil)

Sekitar 80% (delapan puluh persen) penduduk dunia, khususnya di negara


berkembang masih berpeluang meningkatkan konsumsi perkapita untuk minyak dan lemak
terutama untuk minyak yang harganya murah. Di samping faktor penduduk, peningkatan
konsumsi juga disebabkan oleh efek substitusi dan pendapatan. Faktor lain yang
memperbesar peluang CPO adalah bergesernya industri yang menggunakan bahan baku
minyak bumi ke bahan yang lebih bersahabat dengan lingkungan seperti oleokimia hasil
CPO, seperti di negara-negara Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang.
Saat ini Indonesia memasok 31% (tiga puluh satu persen) kebutuhan minyak
kelapa sawit (CPO) dunia, dengan posisi ini seharusnya bisa ditingkatkan atau paling tidak
bertahan dan tidak mudah tergoyahkan oleh negara pesaing yang kemungkinan akan lebih
giat memacu produksinya. Selain itu, permintaan domestik terhadap komoditas minyak
sawit juga terus meningkat dari tahun ke tahun yang diperkirakan pada tahun 2010
mencapai lebih dari 3 juta ton per tahun. Dalam prediksi Gabungan Pengusaha Kelapa
Sawit Indonesia (Gapki) kebutuhan minyak kelapa sawit akan terus meningkat dari 2,6
juta ton per tahun pada tahun 1998, menjadi 3,4 juta ton pada tahun 2010. Sementara di
pasar dunia akhir-akhir ini kebutuhan terhadap minyak sawit mentah (CPO) dan
turunannya juga semakin meningkat, menggeser kedudukan minyak nabati jenis lain,
seperti minyak kedelai. Secara relatif pangsa konsumsi minyak sawit menduduki pangsa
terbesar dalam total konsumsi minyak goreng Indonesia, kemudian diikuti minyak goreng
lainnya (minyak kedelai, minyak jagung) dan minyak goreng kelapa.
Hal yang menarik adalah pangsa konsumsi minyak kelapa cenderung meningkat.
Hal ini secara ekonomi lebih baik karena ada kecenderungan diversifikasi dalam konsumsi
minyak goreng sawit. Konsumsi minyak goreng yang terlalu bertumpu pada satu jenis
minyak goreng seperti minyak goreng sawit mengandung resiko secara ekonomi
khususnya dari segi stabilitas harga. Selain itu, mengingat minyak sawit adalah komoditas
ekspor Indonesia, peningkatan konsumsi yang terlalu bertumpu pada minyak goreng sawit
dapat mengurangi kesempatan Indonesia memperoleh devisa dari ekspor. Peningkatan
pangsa konsumsi minyak goreng non sawit juga diharapkan akan mendorong peningkatan
produksi bahan baku minyak goreng non sawit khususnya kelapa dan jagung yang
potensial di Indonesia. Hal ini selain diversifikasi, produksi bahan baku minyak nabati
juga akan melestarikan plasma nutfah kelapa dan jagung secara lintas generasi.
Secara nasional, konsumsi minyak goreng sawit sebagian besar dikonsumsi
masyarakat dalam bentuk minyak goreng curah, yakni mencapai 80% (delapan puluh
persen). Sisanya, yakni 20% (dua puluh persen) dalam bentuk kemasan (bermerek). Selain
karena harga minyak goreng curah lebih murah 20% (dua puluh persen) - 30% (tiga puluh
persen) di bawah harga minyak goreng kemasan, masyarakat Indonesia tampaknya belum
banyak menuntut atribut produk yang lebih rinci (brand minded) sebagaimana diperoleh
dari minyak goreng kemasan. Meskipun pangsa pasar minyak goreng bermerek hanya
sekitar 20% (dua puluh persen), telah cukup banyak produk minyak goreng di pasar.
Beberapa diantaranya adalah Bimoli, Filma, Tropical, Fortune, Sania, Kunci Mas, Madina,
Rolebrand, Delima, Sunco, Avena, Sarimurni. Hal ini berarti, pada segmen pasar minyak
goreng bermerek cenderung terjadi persaingan monopolistik (monopolistic competition)
yang sangat intensif.
Sekitar 32% (tiga puluh dua persen) produsen minyak goreng yang ada
menghasilkan minyak goreng bermerek sekaligus minyak goreng curah. Dengan cara ini,
produsen dapat memanfaatkan pasar minyak goreng curah (umumnya konsumen kelas
berpendapatan menengah ke bawah) dan pasar minyak goreng bermerek (konsumen kelas
berpendapatan menengah ke atas). Secara keseluruhan dibandingkan dengan volume
produksi minyak goreng yang dihasilkan daya serap pasar domestik yakni konsumsi
minyak goreng masih terbatas. Akibatnya sebagian besar produksi minyak goreng nasional
ditujukan untuk ekspor. Kecenderungan peningkatan ekspor dari produksi minyak goreng
nasional secara ekonomi menguntungkan Indonesia. Nilai tambah yang diperoleh melalui
ekspor minyak goreng secara umum lebih besar daripada bila mengekspor CPO.
Selain itu, kecenderungan yang demikian mencerminkan bahwa pasar ekspor lebih
menarik bagi produksi minyak goreng daripada pasar domestik. Sistem pemasaran dalam
minyak goreng dapat dilihat dari jenis minyak goreng yang dipasarkan dimana untuk
minyak goreng kemasan (bermerek), produsen menunjuk satu perusahaan sebagai
distributor untuk melakukan distribusi ke seluruh wilayah pemasarannya termasuk namun
tidak terbatas ke seluruh retail modern. Pemilihan distributor tersebut dapat dilakukan
terhadap perusahaan yang merupakan afiliasinya maupun perusahaan lain yang sama
sekali tidak mempunyai afiliasi. Berdasarkan pemeriksaan dalam kasus kartel minyak
goreng, diperoleh informasi bahwa kontrol produsen terhadap harga minyak goreng
kemasan (bermerek) hanya sampai ditributornya saja dimana distributor mendapatkan
marketing fee sebesar 5% (lima persen).
Sebaliknya hal tersebut tidak terjadi pada sistem pemasaran minyak goreng curah,
sebagian produsen tidak menunujuk distributor dan melakukan penjualan secara langsung.
Hal tersebut terkait dengan karakteristik produk itu sendiri yang sangat berfluktuasi
harganya dan daya tahan produk yang tidak terlalu lama. Produsen biasanya hanya
melayani pembelian dalam jumlah besar kepada konsumen antara (pembeli besar) dengan
sistem jual beli putus. Oleh karena itu, produsen tidak mempunyai kontrol harga di tingkat
konsumen akhir. Kontrol harga dilakukan produsen minyak goreng curah hanya pada
harga jual langsung pada saat minyak goreng akan dijual dan dikeluarkan dari gudang
produsen.

Berikut merupakan data perusahaan penghasil olahan CPO di Indonesia


No Nama Perusahaan Hasil olahan CPO
1 PT Barco Palm oil, Edible oil and fat,
cooking fat
2 PT Kurnia Tunggal Nugraha Cooking oil
3 PT Tunas Baru Lampung Cooking oil from vegetable
4 PT BW Plantation Tbk. Palm oil
5 PT Wicaksana Oversesas International Cooking oil
Tbk. Cooking oil
6 PT Intermas Tata Trading
7 PT Paripurna Swakarsa Cooking, palm oil
8 PT Primus Sanus Cooking Oil Cooking oil
Industrial
9 PT SMART Tbk. Cooking oil and margarine
10 PT Tjengkareng Djaya Cooking oil
11 PT Darmex Oil & Fat Cooking oil
12 PT Luwung Gajah Cooking oil
13 PT Roda Garuda Mas Cooking oil
14 PT Indosco Utama Cooking oil
15 PT Damai Sentosa Cooking Oil Cooking oil
16 PT Hasil Kesatuan Cooking, palm oil
17 PT Saktisetia Santosa Cooking oil
18 PT Musim Mas Cooking oil
19 PT Mitra Sentra Niaga Soap and cooking oil
20 PT Tirta Ekasabda Cooking oil, palm oil
21 PT Sari Agrotama Persada Palm cooking oil; Vegetable fat
22 PT Multimas Nabati Asahan Cooking oil
23 PT Sumber Ampenan Cooking oil
24 PT Pacific Medan Industri Margarine ; Cooking oil
25 PT Pacific Indo Mas Cooking oil
26 CV Sinar laut Laundry soap; Cooking oil
27 PT Mulyorejo minyak goreng, margarine
dan baker’s fat
28 PT Sayang Heulang minyak goreng, margarine
dan baker’s fat
29 PT Bimoli minyak goreng, margarine
Industri
Bibit
Sawit

Pertama kali penyedia bahan baku seperti Perkebunan Besar


Swasta/Negara, Perkebunan Rakyat memperoleh Bibit Sawit untuk ditanam di
perkebunan dengan membeli bibitnya dari industri penanaman bibit sawit.
Kemudian Perkebunan besar swasta/negara dan perkebunan rakyat menanam
sawit hingga bisa dipanen. Distributor juga berperan dalam hal penyedia bahan
baku untuk pembuatan CPO.
Perkebunan besar swasta/negara memberikan hasil panen langsung ke
pabrik kelapa sawit. Untuk perkebunan rakyat atau petani hasil dari panennya
disalurkan ke agen terlebih dahulu karena tidak semua petani sawit bisa langsung
mendistribusikan hasil panennya ke pabrik kelapa sawit. Jadi, petani sawit yang
berada di desa-desa menjual hasil panennya kepada agen terdekat lalu agen yang
mendistribusikan buah kelapa sawit ke pabrik kelapa sawit.
Setelah terkumpulnya hasil panen dari petani sawit dan distributor
kemudian agen menjual atau mendistribusikan buah sawit tersebut ke pabrik
kelapa sawit. Di pabrik kelapa sawit ada pabrik yang langsung mengolah TBS (
tandan buah segar) menjadi CPO. Atau pabrik kelapa sawit mengumpulkan TBS
kemudian diolah pada pabrik kelapa sawit khusus pengolahan ke dalam bentuk
CPO. Pada bagian pengolahan ini pabrik kelapa sawit hanya mengolah TBS
menjadi CPO.
Pada proses pengolahan TBS ada pabrik kelapa sawit yang langsung
mengubah CPO kedalam bentuk-bentuk lainnya seperti minyak goreng, sabun dan
pengolahan lainnya. Ada juga proses pengolahan TBS hanya sampai menjadi
CPO kemudian langsung didistribusikan kepada distributor untuk diekspor ke luar
negeri kemudian CPO dapat diolah kembali oleh perusahaan luar negeri. Untuk
pabrik kelapa sawit yang mengolah TBS menjadi minyak sawit, sabun, coklat dan
bahan kebutuhan konsumen lainnya didistribusikan ke distributor untuk dijualkan
atau dipasarkan ke konsumen-konsumen.
Dalam proses Distribusi minyak kelapa sawit, Minyak olahan yang sudah
jadi ( Minyak goreng , sabun, Margarine) telah siap dipenetrasikan ke pasar
dengan mendistribusikannya ke para distributor. Tentunya dalam proses
perpindahan dari pabrik minyak olahan (Minyak goreng, sabun, margarine, dll) ke
distributor tentunya membutuhkan media Transportasi. Dari 4 Jenis transportasi
ada 3 jenis transportasi yang dapat digunakan untuk pendistribusian minyak
olahan ini:
1. Melalui darat
Dalam distribusi Minyak olahan ini dapat menggunakan kendaraan darat
diantaranya:
a. Truk Bilt up
Ukuran panjang : 9 -12 mtr, lebar: 2,2 - 2,5 mtr ,tinggi : 2,3 -2,5 mtr,
kapasitas muatan 30 -35 ton.
b. Truk Gandeng
Ukuran panjang : 2x :6/7 mtr, lebar:2,3 -2,5 mtr ,tinggi : 2-2,5 mtr,
kapasitas muatan 15-25 ton
c. Truk Engkel Fuso
Ukuran panjang : 6-7 mtr, lebar: 2,3 - 2,5 mtr ,tinggi : 2 - 2,5 mtr,
kapasitas muatan 7-15 ton.
d. Truk pick up
Ukuran panjang : 2 - 3 mtr, lebar: 1 - 1,8 mtr ,tinggi : 1 - 1,8 mtr, kapasitas
muatan 1 - 2 ton
e. Truck Pengangkut Kontainer / Trailer
Ukuran 20 feet, Panjang 6 meter, Kapasitas 118 Ton
Ukuran 40 feet, Panjang 12 meter, Kapasitas 28 Ton

2. Melalui Laut
Hasil produksinya dipasarkan dalam drum (non merk) dan kemasan kaleng
2 kg, 5 kg dan 17 kg, untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri.
Pada tahun 1982 PT. Mulyorejo Industrial Coy mulai meningkatkan produksinya
dengan menambah 1 unit mesin deodoriser sehingga kapasitasnya mencapai 600
ton/hari. Kemasan yang dihasilkan yaitu 15 kg, 5 kg, 250 gr, sachet 200 gr serta
kemasan drum.
Pada tahun yang sama (1982) PT. SMART Tbk membeli PT. Filma Oil
dari P&G Co. yang berlokasi di Jl. Gresik 1-3 Surabaya. Jenis produk yang
dihasilkan PT. Filma saat itu adalah margarine dengan merk Palmboom dengan
kapasitas mencapai 700 ton/bulan.
Selain produk-produk di atas, kapasitas produksi juga ditingkatkan dengan
penambahan jalur produki (line) sehingga kapasitas total produk per hari

Margarine plant 190


Pusaka White dan Delicio White 150 ton/hari
ton/hari
Red Rose Shortening 190 ton/hari
Dengan rincian sebagai berikut :
Kemasan 15 kg = 157,5 ton/hari
Kemasan 5 kg = 10 ton/hari
Kemasan 200 gr = 22,5 ton/hari
Shortening Palmvita 68 on/hari

Anda mungkin juga menyukai