Electronic Road Pricing Untuk Jakarta Rev PDF
Electronic Road Pricing Untuk Jakarta Rev PDF
Dari total waktu perjalanan pada beberapa ruas jalan, 40% merupakan waktu bergerak dan
60% merupakan waktu hambatan. Kecepatan rata-rata lalu lintas adalah 20.21 km/jam
(Kedeputian V Menko Perekonomian, 2007).
Kerugian ekonomi per tahun pada tahun 2002 akibat inefisensi sistem transportasi
diperkirakan sebesar 5.5 trilyun, di mana 3 trilyun untuk biaya operasi kendaraan, dan 2.5
trilyun untuk biaya waktu perjalanan (SITRAMP, 2004).
Lalu lintas di Jakarta didominasi oleh kendaraan pribadi, jumlah angkutan umum (bus)
hanya 4%, sepeda motor 67%, mobil pribadi 23% (Polda Metro Jaya, 2006). Pertumbuhan
kendaraan dalam lima tahun terakhir mencapai 9.5% per tahun (paparan Dirjen Bina Marga
ke KKPPI tanggal 18 Desember 2007).
Proporsi volume lalu lintas pada beberapa koridor utama adalah: sepeda motor 60%, sedan
32%. Angkutan umum (mobil penumpang umum-MPU, bus sedang, dan bus besar) 5%
(Kedeputian V Menko Perekonomian, 2007).
Pada sisi lain, permintaan angkutan umum lebih besar dari permintaan angkutan pribadi.
Pengguna angkutan umum sekitar 54.7%, dimana 52.7% menggunakan bus (bus besar,
bus sedang, dan mikrobus) dan 2% menggunakan kereta api (SITRAMP, 2004). Pengguna
angkutan umum sebagian besar adalah masyarakat berpenghasilan rendah (64.5%) dan
masyarakat berpenghasilan menengah (52.8%) (SITRAMP, 2004)
1
Fasilitas bagi pejalan kaki dan pengguna kendaraan tidak bermotor sangat minim
25 dari 33 stasiun pemantau kualitas udara menunjukkan kadar PM10 telah melebihi
ambang batas, bahkan terdapat sepuluh stasiun yang menunjukkan kadar PM10 mencapai
lebih dari 2 kali lipat dari ambang batas yang telah ditetapkan. Kerugian ekonomi akibat
kualitas udara yang rendah diperkirakan mencapai 2.8 trilyun pada tahun 2002 (SITRAMP,
2004).
Apabila kualitas dan kuantitas angkutan umum tidak diperbaiki, maka akan terjadi
peningkatan penggunaan kendaraan pribadi. Dengan kondisi ini, diperkirakan akan terjadi
peningkatan greenhouse gases (seperti CO2) dari tahun 2002 sampai dengan 2020
sebesar 2.35 kali (SITRAMP, 2004).
Angka kecelakaan baik transportasi jalan maupun Kereta Api masih tinggi. Untuk Kereta
Api, dari tahun 2000-2002 terjadi 174 kecelakaan. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding
negara berkembang lain (SITRAM, 2004).
Jumlah korban kecelakaan di jalan tol dalam kota mangalami penurunan dari sekitar 380
pada tahun 1995 menjadi sekitar 200 pada tahun 2006. Akan tetapi proporsi jumlah korban
dengan luka berat dan meninggal dunia relatif stabil (CMNP, http://www.cmnp.co.id/).
b. Aturan 3 in 1
Aturan ini mewajibkan semua kendaraan pribadi yang akan melewati jalan Sudirman
dan Thamrin, berpenumpang 3 orang atau lebih termasuk pengemudi. Diterapkan hanya
pada jam sibuk pagi dan sore.
Skema ini sedikit banyak telah mampu menekan penggunaan kendaraan pribadi pada
koridor utama tersebut, akan tetapi hal ini tidak berpengaruh banyak terhadap keseluruhan
sistem transportasi perkotaan di Jakarta. Terdapat beberapa kelemahan dari skema ini
antara lain: (1) tidak adanya manajemen atau aturan yang melarang pengunaan jalan-jalan
lokal, sehingga pengguna jalan akan mencari jalan-jalan lokal (jalan tikus) yang ada untuk
menghindari daerah 3 in 1, ini memindahkan kemacetan ke daerah lain, (2) beroperasinya
penyedia jasa ilegal yang berperan sebagai penumpang (jockey) dengan imbalan sejumlah
uang, untuk melengkapi jumlah penumpang menjadi 3, dan (3) daerah cakupan aturan ini
terbatas pada satu koridor dan tidak didukung dengan skema manajamen permintaan yang
lain (seperti manajemen parkir) serta alternatif sistem angkutan umum yang baik.
Bus Rapid Transit (BRT) dikembangkan di Jakarta dengan membangun Bus Only Lane
(Busway) di beberapa koridor utama di Jakarta. Busway dimaksudkan untuk meningkatkan
pelayanan angkutan umum dan mampu menarik pengguna kendaraan pribadi untuk
menggunakan angkutan umum ini (Busway) sehingga akan mengurangi kemacetan.
Solusi ini juga belum memberikan hasil yang optimal, Busway belum bisa berbuat
banyak untuk menarik minat pengguna kendaraan pribadi. Hal ini dimungkinkan terjadi
karena opportunity cost dan standard kebutuhan kenyamanan pengguna kendaraan pribadi
relatif tinggi dimana hal ini belum mampu dipenuhi oleh Busway, serta daerah pelayanan
yang terbatas dan belum menjangkau daerah pinggiran Jakarta.
Penggunaan ruas jalan untuk parkir (on-street parking) dan pedagang kaki lima (juga di
trotoir) akan mengurangi kapasitas jalan. Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah DKI Jakarta
telah melakukan upaya penertiban dengan melarang dan merazia pedagang kaki lima serta
Upaya ini belum begitu efektif dan tidak terlihat dampaknya terhadap perbaikan lalu
lintas. Hal ini dimungkinkan karena tidak adanya konsistensi kebijakan, penegakan aturan
yang kurang maksimal, dan masih banyaknya area on-street parking yang diijinkan.
Dalam beberapa tahun terakhir, telah dibangun beberapa ruas jalan toll di kota Jakarta
sebagai upaya untuk menambah kapasitas jaringan jalan di Jakarta.
Pembangunan ruas jalan toll di Jakarta belum mampu mengatasi kemacetan di Jakarta.
Terdapat kecenderungan, peningkatan kapasitas jalan justru menjadi salah satu variabel
yang mendorong penggunaan kendaraan pribadi.
Salah satu strategi dalam kebijakan system transportasi yang berkelanjutan (sustainable
transport system policy) adalah manajemen permintaan perjalanan (travel demand
management). Secara umum, tujuan dari kebijakan travel demand management adalah untuk
mendorong pengguna jalan untuk mengurangi perjalanan yang relative tidak perlu (terutama
pengguna kendaraan pribadi) dan mendorong penggunaan moda transportasi yang lebih efektif,
lebih sehat, dan ramah lingkungan. Kebijakan travel demand management dapat dikelompokan
menjadi tiga grup yaitu: instrumen-instrumen regulasi (regulatory instruments), persetujuan-
persetujuan kerjasama (cooperative agreements), dan instrument-instrument ekonomi
(economic instruments).
Terdapat beberapa tujuan utama dari road pricing, yaitu mengurangi kemacetan, menjadi
sumber pendapatan daerah, mengurangi dampak lingkungan, mendorong penggunaan
angkutan umum masal.
Biaya yang dikenakan juga bertujuan untuk memberikan kesadaran kepada pengguna
kendaraan pribadi bahwa perjalanan mereka dengan kendaraan pribadi mempunyai kontribusi
terhadap kerusakan lingkungan dan kerugian kepada masyarakat yang tidak mengunakan
kendaraan pribadi. Kondisi ini seringkali tidak dipikirkan oleh masyarakat dan pengambil
kebijakan. Congestion pricing telah sukses diaplikasikan di beberapa kota seperti Singapore,
Oslo, Stockholm, dan London. Dana yang terkumpul, bisa juga dijadikan sebagai salah satu
sumber pembiayaan untuk mendukung beroperasinya moda transportasi yang lebih efektif,
sehat, dan ramah lingkungan sepert Bus Rapid Transit, Mass Rapid Transit, dan lain-lain.
a. Singapore
Singapore merupakan kota pertama yang mengaplikasikan ERP (sejak tahun 1998), pada
awalnya disebut urban road user charging. Tujuannya adalah untuk membatasi lalu lintas yang
masuk CBD pada saat jam puncak untuk mengurangi kemacetan. Sebelum ERP, Singapore
menggunakan Area-Licensing Scheme (ALS), pada tahun 1998, ALS diganti dengan Electronic
Road Pricing (ERP).
Harga untuk memasuki daerah atau koridor ERP bervariasi berdasarkan rata-rata
kecepatan jaringan. Harga yang bervariasi tersebut ditujukan untuk mempertahankan
kecepatan antara 45-65 km/jam pada expressways dan 20-30 km/jam pada jalan arteri.
ERP diaplikasikan di London pada 17 Pebruari 2003. Tujuan dari aplikasi ERP di London
adalah untuk mengurangi kemacetan, meningkatkan reliabilitas waktu perjalanan, dan
mengurangi polusi udara.
Tidak terjadi dampak lalu lintas yang besar di daerah diluar area congestion charging
Menjadi sumber pendapatan yang sebagian besar dipakai untuk perbaikan pelayanan
angkutan umum
c. Stockholm
Diaplikasikan secara resmi mulai 1 Agustus 2007, Setelah diuji cobakan sejak tahun 2006.
Tujuannya mengurangi kemacetan, meningkatkan aksesibilitas, memperbaiki kualitas
lingkungan.
Menurunnya prosentase lalu lintas ke/dari pusat kota dari 20-25% menjadi 10-15%
Meningkatnya aksesibilitas yang ditandai dengan penurunan antrian di pusat kota dan
daerah-daerah dekat pusat kota sebesar 30-50%
Menurunnya total emisi kendaraan bermotor antara 10-14% di pusat kota, dan antara 2-3%
untuk total satu kota.
Mengapa ERP?
Fenomena ”Induced Demand” ini sangat potesial untuk terjadi di Jakarta dengan indikasi
bahwa jumlah pengguna jalan tol inelastis terhadap tarif tol. Volume lalu lintas jalan tol dalam
kota terus meningkat dari 95 juta per tahun pada tahun 1995 menjadi 186 juta pertahun pada
tahun 2005, atau meningkat hampir 2 kali lipat. Pada sisi lain, tarif tol untuk kelas kendaraan
Oleh sebab itu, pembangunan jalan baru handaknya dilakukan setelah semua upaya
manajemen permintaan (termasuk ERP) tidak berhasil meningkatkan kinerja lalu lintas secara
signifikan. Pembangunan jalan baru hendaknya dilihat sebagai salah satu upaya dalam
mendukung manajemen permintaan lalu lintas.
Keuntungan ERP
Meskipun tujuan utama congestion pricing (ERP) adalah untuk mengurangi kemacetan,
akan tetapi uang hasil pungutan biaya kemacetan dapat menjadi sumber dana pemerintah
daerah dalam meningkatkan pelayanan transportasi seperti meningkatkan pelayanan angkutan
umum, peningkatan fasilitas bagi pejalan kaki dan pengguna sepeda, dan lain-lain.
Berdasarkan studi yang dilakukan PCI, PCKK, dan Sumitomo Corporation, aplikasi ERP
di Jakarta layak secara ekonomi maupun finansial (periode evaluasi dari 2008 sampai dengan
2020).
Apabila aplikasi Congestion Pricing mampu meningkatkan kecepatan rata-rata lalu lintas
dari 20 km/jam menjadi 30 km/jam (naik 10 km/jam), dan menurunkan volume kendaraan
pribadi sebesar 10%, dan dengan asumsi panjang perjalanan rata-rata 10 km, maka
aplikasi Congestion Pricing di Jakarta akan menghemat penggunaan BBM dan subsidi
sebesar 6.65 trilyun/tahun.
Dengan menggunakan data yang sama seperti perhitungan penghematan BBM, maka
dengan asumsi kecepatan rata-rata lalu lintas akan naik dari 20 km/jam menjadi 30 km/jam
(naik 10 km/jam), volume kendaraan pribadi menurun 10%, dan panjang perjalanan rata-
rata 10 km, maka akan didapat penurunan CO sebesar 35% per hari dan penurunan NOx
sebesar 23% per hari.
Selain itu, karena ERP salah satu tujuannya adalah mengurangi penggunaan kendaraan
pribadi, maka harus disediakan angkutan umum yang nyaman, aman, reliable, dan tariff
terjangkau sehingga utilitas angkutan umum ini tidak jauh berbeda dengan utilitas kendaraan
pribadi. ERP dan perbaikan angkutan umum juga harus didukung dengan penyediaan fasilitas
ERP tidak akan berhasil apabila diterapkan secara parsial, tidak terintegrasi dengan
strategi lain. ERP akan berhasil apabila merupakan salah satu bagian dari sebuah integrated
transport policy. Beberapa teknik manajemen permintaan lalu lintas yang akan bersinergi baik
dengan ERP seperti pajak bahan bakar; kontrol penggunaan dan pemilikan kendaraan;
pengawasan land-use development dan Transit Oriented Development (TOD); Intelligent
transport systems (ITS); parking controls dan pricing, dll.
ERP harus diterapkan dalam kondisi seluruh ruas jalan di dalam satu kota telah
mengikuti standar design jalan perkotaan yang telah ditetapkan dan perilaku pengemudi
mengikuti peraturan tata cara berlalu lintas yang berlaku. Hal ini untuk menghindari tuduhan
bahwa kemacetan sebenarnya karena standar design jalan yang tidak tepat dan perilaku
pengemudi yang tidak teratur.
Penegakkan peraturan lalu lintas meliputi larangan berhenti pada tempat yang tidak
semestinya, parkir pada tempat yang tidak semestinya, pengawasan kecepatan, pengawasan
menyalip (merging, diverging), dan lain-lain. Perilaku yang tidak benar dalam berlalu lintas
merupakan salah satu sumber kemacetan.
Elctronic Road Pricing (ERP) dapat menjadi salah satu strategi yang efektif untuk mengatasi
kemacetan, hanya jika didukung kebijakan lain.
REFERENSI
[edited/sawal]