.......................
IDENTITAS PASIEN
I. ANAMNESIS
1. Keluhan utama :
2. Keluhan tambahan :
3. Riwayat penyakit :
Pasien datang ke IGD RS Rajawali dengan keluhan nyeri di perut kanan bawah sejak 2 hari
yang lalu. Nyeri dirasakan terus menerus dan semakin bertambah. Nyeri dirasakan seperti
tertusuk-tusuk dan bertambah sakit saat pasien bergerak sehingga menyukarkan pasien untuk
beraktivitas. Nyeri pada awalnya dirasakan di ulu hati, kemudian berpindah ke perut kanan
bawah. Pagi hari sebelum datang ke RS, nyeri di perut kanan bawah dirasakan semakin
memberat sehingga pasien segera dibawa keluarga ke RS.
Pasien juga mengeluh tidak bisa BAB sejak 2 hari yang lalu. Pasien juga tidak bisa kentut,
tetapi BAK pasien masih lancar. Nafsu makan pasien sedikit menurun. Pasien juga
mengatakan sempat demam satu hari yang lalu. Demam menurun setelah minum obat
warung. Mual (+), muntah (-)
4. Riwayat keluarga :
1. STATUS UMUM
2. STATUS LOKALIS
Abdomen;
- Alvarado Score:
IV. LABOTORIUM
Hb 12,3 g/dL
Ht 36%
Leukosit 15,800sel/uL
Trombosit 211,000sel/uL
GDS 101
ureum 16,0 mg/dL
kreatinin 0,62 mg/dL
V. RESUME
Pasien laki-laki 26 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 2 hari
yang lalu. Nyeri pada awal dirasakan di ulu hati sebelum berpindah ke perut kanan bawah.
OS juga mengeluh adanya mual, tanpa muntah. BAK lancar, tetapi pasien masih belum BAB
dan flatus sejak 2 hari yang lalu. Pasien sempat demam satu hari yang membaik setelah
minum obat warung.
Pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal. Status lokalis di
abdomen didapatkan nyeri tekan McBurney (+), Blumberg sign (+), Psoas sign (+), Rovsing
sign (+), Obturator sign (+). Pada perkusi didapatkan nyeri ketuk di RLQ. Pada pemeriksaan
rectal touche didapatkan nyeri pada arah jam 11.
Tidak dilakukan
IX. PENGOBATAN
Non medikamentosa:
- Apendektomi
Laporan Operasi;
Medika mentosa:
- Antibiotik
Levofloksasin 500mg no V
S1 dd 1 tab
- Antinyeri
Asam mefenamat 500mg no XX
S3 dd 1tab
X. PROGNOSIS
Ad vitam: Bonam
Ad fungsionam: Bonam
Ad sanationam: Bonam
TINJAUAN PUSTAKA
APPENDISITIS
Pendahuluan
7 dari 10 kasus nyeri pada fosa iliaka kanan pada anak-anak di bawah 10 tahun
merupakan hal yang tidak spesifik dan sembuh sendiri. Diagnosis banding yang paling sering
pada wanita muda adalah kelainan ovarium. Pencitraan (CT) cross-sectional harus dilakukan
kapanpun diperoleh dugaan diagnosis banding untuk mencegah pembedahan eksplorasi yang
tidak perlu. Merupakan kedaruratan bedah paling sering di negara-negara Barat. Jarang
terjadi pada usia di bawah 2 tahun. Tersering terjadi pada usia dekade kedua dan ketiga,
tetapi dapat terjadi pada semua usia. Gambaran klinis yang sering terjadi adalah nyeri
abdomen periumbilikal, mual, muntah, lokalisasi nyeri menuju fosa iliaka kanan, nyeri tekan
dan nyeri lepas di titik McBurney dapat menyebabkan peritonitis jika apendiks mengalami
perforasi dan dapat terjadi massa apendiks jika pasien datang terlambat. Pada hasil
pemeriksaan penunjang biasanya didapatkan leukositosis dan pada Ultrasonografi untuk
massa apendiks dan jika masih ada keraguan untuk menyingkirkan kelainan pelvis lainnya.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai apendisitis infiltrat, dibahas dari definisi, kejadian,
patofisiologi, hingga penatalaksanaan. Karena kejadian masa apendiks ini cukup sering maka
perlu pemahaman tentang salah satu perjalanan penyakit apendisitis.2
Sistem Pencernaan
Saluran gastro-intestinal atau biasa disingkat GIT berawal di rongga mulut, dan
berlanjut ke esofagus dan lambung. Makanan disimpan sementara di lambung sampai
disalurkan ke usus halus. Usus halus dibagi menjadi tiga bagian: duodenum, jejunum, dan
ileum. Pencernaan dan penyerapan makanan berlangsung terutama di usus halus. Dari usus
halus, makanan kemudian masuk ke usus besar yang terdiri dari kolon dan rektum. Organ
tambahan pada sistem ini adalah hati, pankreas, kandung empedu, dan apendiks (Gambar 1).4
Fungsi utama sistem ini sendiri adalah untuk menyediakan makanan, air, dan
elektrolit bagi tubuh dari nutrien yang dicerna sehingga siap diabsorpsi. Pencernaan
berlangsung secara mekanik dan kimia, dan meliputi proses-proses berikut:5
Persarafan pada saluran pencernaan dilakukan oleh sistem saraf otonom yang
mengatur, baik sistem lokal/intrinsik dan eksternal. Sistem saraf otonom menginervasi
keseluruhan saluran pencernaan, kecuali ujung atas dan ujung bawah yang dikendalikan
secara volunter. Ada tiga jenis impuls yang dihasilkan persarafan ini, yaitu impuls
parasimpatisyang dihantarkan dalam saraf vagus (N. X), mengeluarkan efek stimulasi
konstan pada tonus otot polos dan bertanggung jawab untuk peningkatan keseluruhan
aktivitas.Efek ini meliputi motilitas dan sekresi cairan pencernaan. Kedua adalah impuls
simpatis,yang dibawa medulla spinalis dalam saraf splanknik, menghambat kontraksi otot
polos saluran, mengurangi motalitas, dan menghambat sekresi cairan pencernaan. Terakhir
adalah pleksus Meissner dan Auerbachyang merupakan sisi sinaps untuk serabut
praganglionik parasimpatis. Pleksus ini juga berfungsi untuk pengaturan kontraktil lokal dan
aktivitas sekretori saluran.5
Embriologi Apendiks
Pada minggu keenam perkembangan embrio manusia, apendiks dan sekum muncul
sebagai kantung yang keluar dari bagian caudal dari midgut. Kantung apendiks ini awalnya
dicatat pada minggu kedelapan, mulai memanjang di sekitar bulan kelima untuk mencapai
bentuk seekor ulat “vermiform”. Apendiks mempertahankan posisinya di ujung sekum
selama seluruh proses perkembangan. Pertumbuhan yang tidak bersamaan dari dinding lateral
sekum menyebabkan apendiks menemukan posisi pada saat dewasa pada dinding medial
posterior, tepat di bawah katup ileocecal. Dasar dari apendiks dapat ditemukan dengan
mengikuti taeniae coli berorientasi longitudinal pada pertemuan apendiks pada sekum.
Bagian ujung dari apendiks dapat ditemukan di mana saja di kuadran kanan bawah perut,
panggul, atau retroperitoneum.6
Pada pasien dengan malrotasi midgut dan situs inversus, sekum (dan dengan demikian
bersamaan dengan apendiks) tidak akan berada di lokasi yang biasa pada kuadran kanan
bawah. Dengan malrotasi midgut, midgut (usus kecil dan usus besar proksimal) berputar
secara tidak lengkap atau gagal untuk berputar di sekitar sumbu arteri mesenterika superior
selama perkembangan janin. Dalam keadaan ini, apendiks akan tetap di kuadran kiri atas
abdomen. Situs inversus adalah suatu keadaan kelainan autosomal resesif kongenital yang
ditandai dengan transposisi organ abdomen dan/atau organ dada. Pada keadaan ini, apendiks
dapat ditemukan di kuadran kiri bawah abdomen.6
Anatomi Apendiks
Apendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat
awam sesungguhnya kurang tepat karena usus buntu yang sebenarnya adalah sekum. Organ
yang tidak diketahui fungsinya ini sering menimbulkan masalah kesehatan. Peradangan akut
apendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya
berbahaya. Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm
(kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan
melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi penyebab
rendahnya insidens apendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak, dan ruang geraknya
bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya.7
Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di
belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis
ditentukan oleh letak apendiks. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus
yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan
simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis
bermula di sekitar umbilikus.7
Pendarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa
kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan
mengalami gangren. Bagian-bagian anatomi apendiks dapat dilihat pada gambar 2.7
Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan/dikeluarkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.7
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue)
yang terdapat di sepanjang saluran cerna, termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin
tersebut sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan
apendiks tidak memengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil
sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna lainnya dan di seluruh tubuh.7
Selama bertahun-tahun, apendiks ini secara keliru diyakini sebagai organ rudimenter
dengan fungsi yang tidak diketahui. Namun, sekarang telah diketahui bahwa apendiks adalah
organ imunologi yang aktif berpartisipasi dalam sekresi immunoglobulin, terutama
imunoglobulin A. Meskipun tidak ada peran yang jelas dari apendiks dalam pengembangan
penyakit manusia, hubungan antara apendektomi dan pengembangan kolitis ulserativa telah
dilaporkan, menunjukkan efek melindungi dari apendiks. Namun, asosiasi ini hanya terlihat
pada pasien yang diobati dengan apendektomi sebagai terapi apendisitis pada pasien sebelum
usia 20 tahun.6
Hubungan antara penyakit Crohn dan apendiks kurang jelas. Meskipun studi
sebelumnya menunjukkan bahwa apendiks meningkatkan risiko mengembangkan penyakit
Crohn, penelitian yang lebih baru yang hati-hati menilai waktu apendiks dalam hubungan
dengan timbulnya penyakit Crohn menunjukkan tidak ada korelasi. Sebuah meta-analisis
belakangan ini menunjukkan risiko yang signifikan dari penyakit Crohn segera setelah
apendisitis. Risiko ini berkurang kemudian, yang menunjukkan bahwa diagnostik
(misdiagnosis penyakit Crohn sebagai apendisitis) daripada hubungan fisiologis ada antara
apendektomi dan penyakit Crohn.6
Apendiks dapat berfungsi sebagai reservoir untuk rekolonisasi usus dengan bakteri
sehat. Satu studi retrospektif menunjukkan bahwa apendektomi mungkin memiliki hubungan
terbalik terhadap infeksi Clostridium difficile berulang. Namun, dalam penelitian retrospektif
lain, apendektomi tidak mempengaruhi laju infeksi C. difficile. Peran apendiks dalam
rekoloniasi usus besar masih harus dijelaskan.6
Epidemiologi Apendisitis Akut
Risiko seumur hidup untuk seseorang mendapatkan apendisitis adalah 8,6% untuk
laki-laki dan 6,7% untuk perempuan, dengan insiden tertinggi pada dekade kedua dan ketiga.
Tingkat apendektomi pada apendisitis telah menurun sejak tahun 1950 di sebagian besar
negara. Di Amerika Serikat, mencapai tingkat kejadian terendah dari sekitar 15 per 10.000
penduduk pada 1990-an. Sejak itu, telah terjadi peningkatan angka kejadian apendisitis
nonperforata. Alasan untuk ini tidak jelas, tetapi diperkirakan bahwa peningkatan
penggunaan pencitraan diagnostik telah menyebabkan tingkat deteksi lebih tinggi dari
apendisitis ringan yang seharusnya sembuh dengan sendirinya bila tidak terdeteksi.6,8
Insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang.
Namun, dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini
diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-
hari. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun
jarang dilaporkan. Insidens tertinggi pada kelompok usia 20-30 tahun, setelah itu menurun.
Insidens pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun,
ketika insidens pada laki-laki lebih tinggi.7
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor
pencetusnya. Sumbaran lumen apendiks merupakan fektor yang diajukan sebagai faktor
pencetus. Di samping hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks dan cacing
askariasis dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat
menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks akibat parasit seperti Entamoeba
histolytica.7
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi membentuk
jaringan parut yang melengket dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat
menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Suatu saat, organ ini dapat meradang
akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut.7
Etiologi dan patogenesis dari apendisitis tidak sepenuhnya dipahami. Obstruksi lumen
karena fecaliths atau hipertrofi jaringan limfoid diusulkan sebagai faktor etiologi utama
dalam apendisitis akut. Frekuensi obstruksi meningkat dengan tingkat keparahan dari proses
inflamasi. Fecaliths dan kalkuli ditemukan pada 40% kasus apendisitis akut sederhana, di
65% kasus apendisitis gangren tanpa pecah, dan hampir 90% kasus apendisitis gangren
dengan pecah.6
Secara tradisional, telah ada kepercayaan bahwa ada urutan peristiwa yang mengarah
ke pecahnya appendiks. Obstruksi proksimal lumen appendiks menghasilkan obstruksi loop
tertutup, dan sekresi normal pada mukosa apendiks yang terus berlangsung secara cepat
menghasilkan distensi. Distensi usus buntu merangsang ujung saraf dari visceral serabut
aferen terjadi peregangan, memproduksi rasa nyeri yang jelas, tumpul dan menyebar di
pertengahan abdomen atau epigastrium. Distensi meningkat dari sekresi mukosa terus
menerus dan dari multiplikasi cepat dari bakteri apendiks. Hal ini menyebabkan refleks mual
dan muntah, dan peningkatan nyeri viseral. Dengan meningkatnya Tekanan intra organ,
tekanan vena terlampaui. Kapiler dan venula yang tersumbat tapi inflow arteri terus mengalir,
sehingga menyebabkan pembengkakan dan kongesti vaskular. Proses inflamasi segera
melibatkan serosa apendiks dan pada gilirannya peritoneum parietal. Ini menghasilkan
pergeseran karakteristik nyeri ke kuadran kanan bawah.6
Mukosa apendiks rentan terhadap terjadinya gangguan suplai darah dengan demikian,
integritas terganggu pada awal proses, yang memungkinkan invasi bakteri. Daerah dengan
suplai darah yang paling sedikit yang paling terkena dampak yaitu infark ellipsoid
berkembang di perbatasan antimesenterik. Dengan semakin berkembangnya distensi, invasi
bakteri, gangguan dari suplai vaskular, dan progres infark, perforasi terjadi, biasanya di
perbatasan antimesenterik, sedikit di luar titik obstruksi. Urutan ini tidak bisa dihindari,
namun, beberapa episode apendisitis akut dapat sembuh secara spontan.6
Flora dari apendiks yang meradang berbeda dari apendiks yang normal. Sekitar 60%
hasil aspirasi dari apendiks yang meradang memberikan kesan bakteri anaerob dibandingkan
dengan 25% hasil aspirasi dari apendiks normal. Spesimen jaringan dari dinding apendiks
yang meradang (bukan aspirasi lumen) hampir semua kultur berupa Escherichia coli dan
Bacteroides sp.. Fusobacterium nucleatum/necrophorum, yang tidak terdapat dalam flora
sekum normal, telah diidentifikasi dalam 62% dari apendiks yang meradang. Selain spesies
yang biasa dikultur, yaitu Peptostreptococcus, Pseudomonas, Bacteroides splanchnicus,
Bacteroides intermedius, Lactobacillus, bakteri yang sebelumnya tidak dilaporkan, basil
gram negatif anaerob telah ditemukan. Pasien dengan gangren atau perforasi apendiks
tampaknya memiliki invasi jaringan lainnya oleh Bacteroides sp.6
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh terjadinya
peradangan mendadak pada umbai cacing yang memberikan tanda setempat, baik disertai
maupun tidak disertai dengan rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri
samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar
umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya, nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam, nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney. Di
sini, nyeri dirasa lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita
merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan peritoneum, biasanya pasien
mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.7
Bila apendiks terletak retrosekal retroperitoneal, tanda nyeri perut kanan bawah tidak
begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal karena apendiks terlindung oleh
sekum. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan karena
kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal.7
Radang pada apendiks yang terletak di rongga pelvis dapat menimbulkan gejala dan
tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristalsis meningkat dan pengosongan
rektum menjadi lebih cepat serta berulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih,
dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing akibat rangsangan apendiks terhadap dinding
kandung kemih.7
Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Pada awalnya, anak sering hanya
menunjukkan gejala rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya. Beberapa jam kemudian, anak akan muntah sehingga menjadi lemah dan letargik.
Karena gejala yang tidak khas tadi, apendisitis sering baru diketahui setelah terjadi perforasi.
Pada bayi, 80-90% apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.7
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak ditangani
pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang berusia lanjut, gejalanya sering
samar-samar saja sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah
perforasi. Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan muntah.
Hal ini perlu dicermati karena pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan
muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga
keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih di regio lumbal kanan.7
Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5- 38,5°C. Bila suhu lebih tinggi,
mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1°C.
Pada inspeksi perut, tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada
penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada
massa atau abses periapendikuler.7
Pada palpasi, didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai
nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri
tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah,
akan dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada apendisitis
retrosekal atau retro- ileal, diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri.7
Peristalsis usus sering normal tetapi juga dapat menghilang akibat adanya ileus
paralitik pada peritonitis generalisata yang disebabkan oleh apendisitis perforata.
Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi dapat dicapai dengan jari
telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika. Pada apendisitis pelvika, tanda perut sering
meragukan; maka, kunci diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk
mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat
hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha
kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel di otot psoas mayor, tindakan
tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat bilamana apendiks
yang meradang bersentuhan dengan otot obturator internus yang merupakan dinding panggul
kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan
nyeri pada apendisitis pelvika.7
Leukositosis ringan sering didapati pada pasien apendisitis akut yang tanpa
komplikasi dan biasanya disertai dengan mayoritas sel polimorfonuklear. Tidak umum untuk
jumlah sel darah putih menjadi > 18.000 sel / mm3 di apendisitis ankomplikata. Hitungan di
atas tingkat ini meningkatkan kemungkinan apendiks perforasi dengan atau tanpa abses.
Peningkatan protein C-reaktif (CRP) adalah indikator kuat dari radang apendiks, terutama
untuk apendisitis komplikata. Jumlah sel darah putih dapat menjadi rendah karena limfopenia
atau reaksi septik, tapi dalam situasi ini, proporsi neutrofil biasanya sangat tinggi. Apendisitis
sangat tidak mungkin didiagnosis jika jumlah sel darah putih, proporsi neutrofil, dan CRP
semua normal. Respon inflamasi di apendisitis akut adalah proses dinamis. Awal proses,
respon inflamasi dapat lemah. Elevasi CRP, khususnya, dapat memiliki hingga penundaan 12
jam. Sebuah respon inflamasi menurun mungkin menunjukkan resolusi spontan. Urinalisis
dapat berguna untuk menyingkirkan saluran kemih sebagai sumber infeksi. Namun, beberapa
sel darah putih atau merah bisa hadir dari iritasi ureter atau kandung kemih. Bakteriuria
umumnya tidak terlihat.6
Folikel ovarium yang pecah pada ovulasi dapat menimbulkan nyeri pada perut kanan
bawah di tengah siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri yang sama pernah timbul lebih
dahulu. Tidak ada tanda radang, dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin
dapat mengganggu selama dua hari. Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan
apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian
bawah perut lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi
urin. Pada colok vagina, akan timbul nyeri hebat di panggul jika uterus diayunkan. Pada gadis
dapat dilakukan colok dubur jika perlu untuk diagnosis banding Pelvic Inflammatory Disease
(PID). Kehamilan ektopik hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang
tidak menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan perdarahan,
akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok
hipovolemik. Pada pemeriksaan vagina, didapatkan nyeri dan penonjolan rongga Douglas dan
pada kuldosentesis didapatkan darah. Pada kista ovarium terpuntir timbul nyeri mendadak
dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut,
colok vagina, atau colok rektal. Tidak terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat
menentukan diagnosis. Endometrium di luar rahim akan menimbulkan nyeri di tempat
endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak ada jalan ke
luar.7
Pada urolitiasis terdapat adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut yang menjalar
ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos
perut atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis sering disertai
dengan demam tinggi, nyeri kostovertebral di sebelah kanan, dan piuria. Penyakit lain yang
perlu dipikirkan adalah peradangan di perut, seperti divertikulitis Meckel, perforasi tukak
duodenum atau lambung, kolesistitis akut, pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus
awal, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid, dan mukokel apendiks.7
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya
pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa komplikasi, biasanya tidak
perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata.
Penundaan tindakan bedah sambil memberi antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
perforasi.7
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan sehingga berupa massa
yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus. Massa Periapendikular.
Massa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau
dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikuler dengan
pembentukan dinding yang belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga
peritoneum jika perforasi diikuti oleh peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu,
massa periapendikuler yang masih bebas (mobile) sebaiknya segera dioperasi untuk
mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasinya masih mudah. Pada anak, dipersiapkan
operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikuler yang
terpancang dengan pendindingan yang sempurna sebaiknya dirawat terlebih dahulu dan diberi
antibiotik sambil dilakukan pemantauan terhadap suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya
peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikuler hilang, dan leukosit normal,
penderita boleh pulang dan apendektomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar
perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan
terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi,
bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit.7
Riwayat klasik apendisitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang nyeri di regio
iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa atau abses
periapendikuler. Kadang keadaan ini sulit dibedakan dari karsinoma sekum, penyakit Crohn,
dan amuboma. Perlu juga disingkirkan kemungkinan aktinomikosis intestinal, enteritis
tuberkulosa, dan kelainan ginekologik sebelum memastikan diagnosis massa apendiks. Kunci
diagnosis biasanya terletak pada anamnesis yang khas. Apendektomi dilakukan pada infiltrat
periapendikuler tanpa pus yang telah ditenangkan. Sebelumnya, pasien diberi antibiotik
kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu
sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan apendektomi. Pada anak kecil, wanita hamil, dan
penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses,
dianjurkan operasi secepatnya.7
Bila sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja, apendektomi dikerjakan setelah 6-8
minggu kemudian. Jika, pada saat dilakukan drainase bedah, apendiks mudah diangkat,
dianjurkan sekaligus dilakukan apendektomi.7
Apendisitis perforata. Adanya fekalit di dalam lumen, umur (orang tua atau anak
kecil), dan keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperanan dalam terjadinya
perforasi apendiks. Insidens perforasi pada penderita di atas usia 60 tahun dilaporkan sekitar
60%. Faktor yang memengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang tua adalah gejalanya
yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan
lumen, dan arteriosklerosis. Insidens tinggi pada anak disebabkan oleh dinding apendiks yang
masih tipis, anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis, dan proses
pendindingan kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat dan omentum anak
belum berkembang.7
Perlu dilakukan laparatomi dengan insisi yang panjang, supaya dapat dilakukan
pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin yang adekuat secara
mudah serta pembersihan kantong nanah. Akhir-akhir ini, mulai banyak dilaporkan
pengelolaan apendisitis perforasi secara laparoskopi apendektomi. Pada prosedur ini, rongga
abdomen dapat dibilas dengan mudah. Hasilnya dilaporkan tidak berbeda jauh dibandingkan
dengan laparatomi terbuka, tetapi keuntungannya adalah lama rawat lebih pendek dan secara
kosmetik lebih baik. Karena terdapat kemungkinan terjadi infeksi luka operasi, sebaiknya
dilakukan pemasangan penyalir (drainage) subfasia; kulit dibiarkan terbuka dan nantinya
akan dijahit bila sudah dipastikan tidak ada infeksi. Pemasangan penyalir intraperitoneal tidak
perludilakukan pada anak karena justru lebih sering menyebabkan komplikasi infeksi.7
Apendisitis Rekurens
Diagnosis apendisitis rekurens baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendektomi, dan hasil
patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut
pertama kali sembuh spontan. Namun, apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya
karena terjadi fibrosis dan jaringan parut. Risiko terjadinya serangan berulang adalah sekitar
50%. Insidens apendisitis rekurens adalah 10% dari spesimen apendektomi yang diperiksa
secara patologik. Pada apendisitis rekurens, biasanya dilakukan apendektomi karena
penderita sering kali datang dalam serangan akut.7
Apendisitis Kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika semua syarat berikut
terpenuhi: riwayat nyeri perut kanan bawah yang lebih dari dua minggu, terbukti terjadi
radang kronik apendiks baik secara makroskopik maupun mikroskopik, dan keluhan
menghilang pasca apendektomi.7
Kriteria mikroskopik apendisitis kronik meliputi adanya fibrosis menyeluruh pada
dinding apendiks, sumbatan parsial atau total pada lumen apendiks, adanya jaringan parut dan
ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik adalah
sekitar 1-5%.7
Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks merupakan dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat
adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi lumen
steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang, mukokel dapat disebabkan oleh
kistadenoma yang dicurigai dapat berubah menjadi ganas. Penderita sering datang dengan
keluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa
memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis
akut. Pengobatannya adalah apendektomi.7
Apendisitis akut adalah alasan paling umum untuk operasi perut darurat.
Apendektomi memiliki tingkat komplikasi 4-15%, serta biaya yang terkait dan
ketidaknyamanan rawat inap dan operasi. Oleh karena itu, tujuan dari ahli bedah adalah untuk
membuat diagnosis yang akurat sedini mungkin. Diagnosis dan pengobatan yang tertunda
berperan besar dalam mortalitas dan morbiditas terkait dengan Apendisitis. Angka kematian
keseluruhan 0,2-0,8% disebabkan komplikasi penyakit daripada intervensi bedah. Tingkat
kematian pada anak-anak berkisar antara 0,1% sampai 1%; pada pasien yang lebih tua dari 70
tahun, naik di atas 20%, terutama karena keterlambatan diagnostik dan terapeutik.9
Peritonitis Primer
Peritonitis primer terjadi tanpa adanya perforasi gastrointestinal dan biasanya
disebabkan oleh penyebaran hematogenik dan kadang-kadang secara transluminal dan direk
oleh invasi bakteri di rongga peritoneal. Kerusakan pada sistem retikuloendotel hepatik dan
destruksi kompromis perifer bakteri oleh neutrofil dapat mempromosi bakteremia, yang
kemudian dapat menginfeksi cairan asites yang sudah menurun kemampuan membunuh
bakterinya. Peritonitis primer biasanya berasosiasi dengan sirosis dan penyakit hati dengan
cairan asites yang rendah konsentrasi protein. Dapat juga ditemukan pada pasien dengan
sindrom nefrotik atau SLE (systemic lupus erythematosus) atau setelah splenektomi pada
anak-anak. Rekurensi sering ditemukan pada sirosis dan sering berakibat fatal.11
Gejala yang ditemukan dapat berupa demam, nyeri abdomen, distensi dan rebound
tenderness. Seperempat kasus dapat ditemukan minimal atau bahkan tanpa simptom
peritoneal. Leukositosis, hipoalbuminemia dan pemanjangan masa prothrombin dapat
ditemukan. Pemeriksaan cairan asites akan menemukan jumlah sel darah putih lebih daripada
500/µL dan leukosit polimorfonuklear lebih daripada 25%. Gradien albumin darah-cairan
asites yang lebih daripada 1.1 g/dL, peningkatan level asam laktat serum (> 33 mg/dL) atau
penurunan pH cairan asites (<7.31) dapat membantu menunjang diagnosis. Hanya dalam 25%
kasus dapat ditemukan bakteri seperti E coli, klebsiella atau streptokokus.11
Profilaksis antibiotik tidak terbukti manfaatnya. Antibiotik sistemik yang biasa
digunakan berupa sefalosporin generasi ketiga (Cefotaxim) atau kombinasi beta-laktam dan
clavulanic acid dengan terapi suportif. Hanya sepertiga kasus peritonitis memiliki mortalitas
setinggi 50%. Kegagalan organ multipel dapat mengindikasi terjadinya perdarahan
gastrointestinal, ensefalopati hepatik dan gagal ginjal.11
Peritonitis Sekunder
Gerard M Doherty menjelaskan peritonitis adalah suatu respon inflamasi pada dinding
peritoneal dikarenakan iritasi direk. Peritonitis dapat terjadi setelah perforasi, inflamasi,
infeksi maupun cedera iskemik pada sistem gastrointestinal atau sistem genitourinari. Contoh
penyebab peritonitis dapat dilihat di Tabel 1. Peritonitis sekunder dapat diakibatkan
kontaminasi bakteri yang berasal dari viseral atau eksternal (trauma tembus dll). Biasanya
diikuti dengan rupturnya hollow viscus. Cairan empedu maupun urin, dapat menjadi toksik
jika terinfeksi dan memicu reaksi peritoneal. Asam gastric dari perforasi ulkus duodenum
dapat tetap steril selama beberapa jam, kemudian memproduksi cairan kimia peritonitis
dengan kehilangan cairan yang banyak; jika dibiarkan dapat berubah menjadi peritonitis
bakterialis dalam masa 6-12 jam. Cairan intraperitoneal membantu dilusi protein opsonik dan
memperbaik fagositosis. Adanya hemoglobin dalam ruang peritoneal dapat menyebabkan
Escherichia coli membiak dan mengeluarkan leukotoksin yang mengurangi aktivitas
bakterisidal. Infeksi lokal yang terjadi dapat dieradikasi oleh pertahanan tubuh, tetapi
kontaminasi yang berterusan dapat menyebabkan peritonitis generalis terjadi yang dapat
berkelanjutan menjadi septicemia dengan kegagalan organ multipel.11
Antara faktor yang mempengaruhi keparahan peritonitis termasuk tipe bakteri dan
fungal yang mengkontaminasi, keadaan dan durasi trauma, nutrisi dan status imun penderita.
Derajat peritonitis bervariasi sesuai dengan penyebab. Kontaminasi bersih (perforasi usus
proksimal) atau well-localized (ruptur apendiks) dapat lambat (12-24 jam) berprogresi
menjadi peritonitis fulminant. Sementara perforasi bakteri usus distal dan infeksi traktus
bilier dan menembus pertahanan peritoneal dengan cepat. Tingkat toksisitas juga adalah
karakteristik peritonitis post-operatif akibat kebocoran anastomotik atau kontaminasi.
Kondisi yang biasanya menyebabkan peritonitis ringan dapat menghasilkan sepsis yang
mengancam nyawa jika penderita termasuk dalam golongan imunokompromise.11
Tabel 1: Penyebab tersering peritonitis.11
Sepsis sistemik dari peritonitis dapat terjadi pada tingkat yang berbeda tergantung dari
virulensi patogens, jumlah bakteri dan durasi proliferasi bakteri dan interaksi sinergik.
Peritonitis biasanya bersifat polimikrobial (kecuali spontaneous bacterial peritonitis). Hasil
kultur sering ditemukan lebih dari satu spesies aerobik dan lebih dari dua spesies anaerobik.
Hal ini menggambarkan flora bakterial dalam organ yang terkena. Selagi mana sekresi asam
gastrik dan pengosongan lambung normal, perforasi bowel proksimal (lambung dan
duodenum) biasanya steril dan berasosiasi dengan sebagian kecil organisme gram-positif.
Perforasi atau trauma iskemik pada bowel kecil distal (strangulated hernia) dapat
menyebabkan infeksi bakteri aerobik dalam 30% kasus dan infeksi organisme anaerobik
dalam 10% kasus. Kebocoran feses (fecal spillage) dengan bakterial load 1012 atau lebih per
gram bersifat sangat toksik.Kultur positif bakteri gram-negatif dan anaerobik adalah
karakteristik infeksi yang berasal dari apendiks, kolon dan rektum. Patogen aerobik
predominan termasuk bakteri gram-negatif E coli, streptokokus, proteus dan golongan
Enterobakter-Klebsiella. Selain Bacteroides fragilis, anaerobik cocci dan clostridia
merupakan organisme anaerobik yang berprevalensi. Sinergi antara bakteri fekal anaerobik
dan aerobik meningkat keparahan infeksi.11
Manifestasi klinis peritonitis menggambarkan tingkat keparahan dan lama durasi
infeksi sesuai dengan umur dan keadaan umum pasien. Pemeriksaan fisik dapat dibagi
menjadi gejala abdominal dari initial trauma dan manifestasi infeksi sistemik. Peritonitis akut
biasanya terlihat seperti akut abdomen. Penemuan lokal termasuk nyeri abdominal,
tenderness, rigiditas, distensi, udara di rongga peritoneal dan penurunan bising usus
menandakan iritasi parieta peritoneal dan ileus yang terlibat. Penemuan sistemik dapat
merupakan demam, menggigil, takikardi, keringat, takipnea, restlessness, dehidrasi, oliguria,
disorientasi dan syok refraktori. Syok dapat terjadi akibat kombinasi hipovolemi dan
septicemia dengan disfungsi organ multipel.11
Penemuan sepsis abdominal disesuaikan dengan usia dan keadaan umum pasien.
Pemeriksaan fisik peritonitis bersifat subtle dan sukar diinterpretasi pada pasien muda
maupun lanjut usia termasuk pasien yang chronically debilitated, immunosuppressed dan
pasien post-operatif yang mendapat pengobatan kortikosteroid. Paracentesis atau diagnostic
peritoneal lavage kadang berguna dalam kasus tertentu seperti kasus equivokal, senile dan
pasien yang bingung (confused). Penemuan sel darah putih dalam jumlah lebih daripada 200
sel/µL merupakan indikasi peritonitis, tanpa ditemukan false-positive dan error false-negative
yang minimal. Delayed recognition merupakan salah satu penyebab mayor tingkat mortalitas
yang tinggi pada peritonitis.11
Pemeriksaan penunjang berguna dalam mengenalpasti tingkat keparahan peritonitis
dan membantu terapi. Pemeriksaan darah harus termasuk complete blood cell count, cross
matching dan tes fungsi hati dan ginjal. Sampel kultur dari darah, urin, sputum maupun
cairan peritoneal harus diambil sebelum pemberian antibiotik dimulakan.11
A. Preoperatif
1. Pemberian cairan intravena
2. Persiapan untuk septisemia
3. Antibiotik
B. Manajemen Operatif
1. Kontrol sepsis
2. Peritoneal lavage
3. Drainase peritoneal
4. Manajemen distensi abdomen
C. Post-operatif
1. Monitor TTV
2. Ventilasi suportif
3. Stabilisasi hemodinamik (agen inotropik, cairan, transfusi darah)
4. Antibiotik (10-14 hari)
5. Lepas cateter (arterial, vena sentral, urinari, nasogastrik) bila tidak diperlukan
6. Lepas drainase bila tidak diperlukan
7. Early gut feeding
Secara general, kadar mortalitas peritonitis adalah sekitar 40%. Faktor yang
berkontribusi terhadap tingginya mortalitas termasuk tipe penyakit primer dan durasinya,
asosiasinya dengan kegagalan organ multipel sebelum terapi, usia dan keadaan umum pasien.
Kadar mortalitas biasanya dibawah 10% pada pasien dengan perforasi ulkus dan apendisitis;
pada pasien usia muda; pada pasien dengan kontaminasi bakteri yang tidak terlalu banyak
dan pada pasien yang terdiagnosa awal dan dioperasi secepatnya. Pada pasien dengan distal
small bowel, perforasi kolon atau sepsis post-operatif yang biasanya lanjut usia; pada pasien
dengan penyakit yang berulang atau banyak kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang
cenderung mengalami gangguan ginjal dan respirasi, kadar mortalitas mereka biasanya
sekitar 50%.11
Peritonitis Tuberkulosa
Peritonitis tuberkulosa dapat ditemukan dari 0,5% kasus baru tuberkulosis (TB). Peritonitis
TB ini biasanya bermanifestasi sebagai infeksi primer tanpa penglibatan aktif pulmonal,
intestinal, renal maupun tuba uterin. Penyebabnya adalah reaktivasi fokus peritoneal dormant
yang berasal dari diseminasi hematogen di nidus distal; atau ruptur nodes limfatik
mesenterik. Sebagian kasus yang terjadi menyebabkan infeksi abdominal ekstra sebagai
manifestasi sistemik. Tuberkel multipel kecil, keras, membesar dan putih (whitish) juga
dapatditemukan di peritoneum, omentum dan mesenteri pasien dengan peritonitis TB.
Tuberkuloma cecal, nodus limfa dan penglibatan omental dapat membentuk massa yang
dapat dipalpasi. Penyakit ini dapat terjadi pada dewasa muda, terutama wanita dan
berprevalensi di wilayah endemik tuberkulosis. Pasien AIDS terutama rentan terhadap
perkembangan dari penyakit tuberkulosis ekstrapulmonal.11
Gejala kronik (berlangsung lebih dari seminggu) termasuk nyeri abdomen dan
distensi, demam, keringat malam, penurunan berat badan dan perubahan fisiologi usus. Asites
dapat ditemukan dalam setengah kasus, terutama jika penyakit berlangsung dalam jangka
waktu yang lama, dan mungkin merupakan manifestasi primer. Massa juga dapat ditemukan
dalam sepertiga kasus. Seperempat pasien dengan simptom akut mungkin menandakan
terdapat obstruksi usus akut atau peritonitis yang menyerupai apendisitis, kolesistitis atau
perforasi ulkus.11
Deteksi tuberkulosis di luar abdomen membuktikan diagnostik peritonitis TB dalam
setengah kasus. Efusi pleura dapat ditemukan dalam 50% kasus. Paracentesis, laparoskopi
dan biopsi peritoneal hanya dapat dilakukan pada pasien dengan asites. Cairan peritoneal
dapat dikarakteristikkan oleh konsentrasi protein di atas 3 g/dL dengan perbedaan gradien
albumin serum-cairan asites kurang dari 1.1 g/dL dan predominansi limfosit berbanding sel
darah putih. Diagnosis definitif dapat ditegakkan pada 80% kasus dengan cara kultur
(memerlukan beberapa minggu) dan smear direk. PPD skin test hanya berguna pada hasil
kultur yang positif. Presentasi asites dengan densiti tinggi atau massa jaringan lunak (soft
tissue masses) dalam ultrasonografi atau CT scan membuktikan diagnosis. Dewasa muda di
daerah endemik dengan simptom klasik atau pemeriksaan penunjang bermakna sebaiknya
dilaparoskopi terlebih dahulu untuk memastikan diagnosis, mengurangi kemungkinan harus
dilaparotomi.11
Dalam kasus kronik, terapi non-operatif lebih baik jika diagnosis dapat ditegakkan.
Sebagian besar pasien dengan simptom akut hanya dapat didiagnosis dengan laparotomi. Jika
tidak ditemukan obstruksi intestinal atau perforasi, biopsi peritoneal atau nodul omentum
sebaiknya dikerjakan. Obstruksi yang terjadi karena konstriksi lesi tuberkulosis dapat
berkembang di ileum distal dan cecum. Segmen pendek terlokalisir sebaiknya diterapi dengan
cara reseksi anastomosis primer. Area striktur multipel dapat dikawal dengan cara side-to-
side bypass atau strikturoplasty segmen sempit partial. Kemoterapi kombinasi
antituberkulosis sebaiknya dimulakan sebaiknya diagnosis dikonfirmasi atau mempunyai
kemungkinan besar untuk terjadi.11
Peritonitis Granulomatosa
Bedak (magnesium silikat), pelumas maizena sarung tangan, kasafluffs, dan serat selulosa
dari kain bedah sekali pakai bisa menyebabkan granulomatosa kuat (mungkin
hipersensitivitas yang tertunda) merespon pada beberapa pasien 2-6 minggu setelah
laparotomi. Kondisi ini jarang sekarang terjadi karena ahli bedah sekarang membersihkan
sarung tangan mereka sebelum memegang organ perut. Kadang-kadang, peritonitis
granulomatosa dapat berkembang sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap bahan asing
lainnya (misalnya, ascariasis usus atau partikel makanan dari perforasi ulkus). Proses ini
harus dibedakan dari enkapsulasi peritoneal kongenital atau kepompong perut (abdominal
cocoon).
Selain nyeri abdomen, dan demam ringan, dapat ditemukan juga mual muntah, ileus
dan gejala sistemik yang lain. Nyeri abdomen biasanya menyebar dan ringan. Bebas cairan
abdomen, tetapi jika terdeteksi, harus diperkusi dan diinspeksi bagi mendiagnosis tipe silang
Maltosa dari partikel pati.11
Operasi ulang mempunyai efek minimal dan sebaiknya dihindari sekiranya diagnosis
ini dapat ditegakkan. Kebanyakan pasien melakukan eksplorasi ulang dikarenakan adanya
obstruksi usus post-operatif atau sepsis peritoneal. Massa granulomatosa yang keras, difus
dan putih melekat dapat ditemukan melekat di peritoneum dan omentum, dan sering disangka
sebagai kanker atau tuberkulosis sehingga benda asing granuloma ini hanya terbukti dengan
biopsi spesimen. Sekiranya curiga peritonitis granulomatosa, kortikosteroid atau obat anti-
inflamasi dapat diberikan sebagai terapi. Jika ada perbaikan, metilprednisolon intravena ini
dapat diganti dengan prednison oral selama 2-3 minggu.11
KESIMPULAN
1. Doherty GM, Albanese CT, Anderson JT. Current diagnosis & treatment: surgery.
13th Edition. Michigan: McGraw-Hill Publishers; 2010.p.668-9.
2. Grace PA, Borley NR. At a glance: ilmu bedah. Edisi Ke-3. Jakarta: Penerbit
Erlangga; 2007.h.106-7.
3. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2009.h.583-90.
4. Watson R. Anatomi dan fisiologi untuk perawat. Edisi ke-10. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2002.h.316-9.
5. Gibson J. Fisiologi dan anatomi modern. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2003.h.185-91.
6. Liang MK, Andersson RE, Jaffe BM, Berger DH. The appendix. In: Brunicardi FC,
Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, et all. Schwartz’s
principles of surgery. 10th Edition. New York: McGraw-Hill Publishers; 2015.p.1241-
6.
7. Riwanto I, Hamami AH, Pieter J, Tjambolang T, Ahmadsyah I. Usus halus, apendiks,
kolon dan anorektum. Dalam: Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH,
Rudiman R. Buku ajar ilmu bedah: sjamsuhidajat – de jong. Edisi ke-3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012;h.755-62.
8. Ferri FF. Ferri’s clinical advisor. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2013.p.106-7.
9. Abou-Nukta F, Bakhos C, Arroyo K, Koo Y, Martin J, Reinhold R, et al. Effects of
delaying appendectomy for acute appendicitis for 12 to 24 hours. Arch Surg. 2006
May. 141(5):504-6
10. Sabiston. Peritoneum and peritoneal cavity: peritonitis. In Textbook of Surgery 18th
edition. Saunders: Elsevier, 2008.
11. Doherty GM, Albanese CT, Anderson JT. Current surgical diagnosis & treatment:
peritoneal cavity. 12th Edition. Michigan: McGraw-Hill Publishers; 2010.p.494-505.
12. Medscape. Peritonitis and abdominal sepsis. [cited on 27 March 2017]. From;
http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview