Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

TEKNIK SINTERING DAN PENGGUNAANNYA PADA PROSES


PEMBUATAN KERAMIK

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sintesis Anorganik

Dosen Pengampu:

1. Dr. Jumaeri, M. Si.


2. Ella Kusumastuti, S.si., M.si.

Disusun oleh:

Nama: Nika Lutfiana

NIM: 4311415064

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGATAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2018
RINGKASAN

Pembuatan keramik pada zaman dahulu hanya dilakukan dengan membakar


satu bahan saja, yaitu dengan lempung. Seiring dengan perkembangan ilmu bahan
maka proses pembuatan keramik dari tahun ke tahun mengalami kemajuan. Sifat-sifat
yang dimilik oleh suatu produk keramik dipengaruhi oleh komposisi bahan penyusun
serta proses pembuatannya salah satunya adalah pada saat proses sintering. Proses
sintering merupakan proses pemadatan material serbuk dengan cara membentuk ikatan
batas butir antar serbuk penyusunnya. Prinsip dasar dari sintering adalah dengan
memberikan panas atau memanaskan sampel pada temperatur di bawah melting point-
nya hingga terjadi transfer massa pada permukaan serbuk sehingga terbentuk ikatan
bersama antar serbuk. Dalam proses sintering digunakan alat yang disebut dengan
tungku sintering.

Masing-masing mekanisme dapat bekerja secara individu atau kombinasi


dengan yang lain untuk mendapatkan densifikasi. Sedangkan sumber energi (driving
force) dari proses sintering adalah energi permukaan. Berdasarkan mekanisme
ikatannya, proses sinter dikategorikan menjadi vapor phasesintering (VPS), solid state
sintering (SSS), liquid phase sintering (LPS). Tahapan proses indirect pressureless
sintering merupakan suatu interval perubahan geometri yang diikuti penurunan ukuran
rongga dan terbagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap awal, tahap intermediate dan tahap
akhir sedangkan parameter yang digunakan dalam proses ini yaitu temperatur dimana
difusi merupakan satu-satu mekanisme pembentuk ikatan, maka peningkatan
temperatur akan mempertinggi kinetika sinter. Tahapan proses terjadi selama sinter
umumnya mengacu pada perubahan fisik ketika proses pembentukan ikatan antar
partikel berlangsung, tahapannya adalah Tahap Awal (Initial Stage), Tahap Kedua
(Intermediate Stage), Tahap Ketiga (Final Stage).

Secara umum, ukuran serbuk untuk sintering berkisar antara 0,1 dan 100 μm;
total energi permukaan serbuk adalah 500-0,5 J/mol. Energi ini sangat kecil,
dibandingkan dengan perubahan energi dalam pembentukan oksida yang biasanya
dalam kisaran antara 300 dan 1500 kJ / mol. Faktor yang mempengaruhi hasil sintering
diantaranya adalah: temperatur, waktu penahanan, kecepatan pendinginan, kecepatan
pemanasan, jenis material, ukuran partikel, green compact, dan lingkungan sintering.
Teknik sintering juga digunakan dalam proses pembuatan keramik yang mana proses
sintering ini memegang peranan penting dalam menentukan sifat-sifat produk yang
dihasilkan.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembuatan keramik pada zaman dahulu hanya dilakukan dengan


membakar satu bahan saja, yaitu dengan lempung. Seni dan industri keramik telah
berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu, proses pembuatan keramik pada zaman
dahulu dengan cara dibakar menggunakan bahan dan peralatan sederhana. Bahan
yang dipakai adalah feldspar, tanah liat dan lempeng. Hal ini disebabkan karena
pengetahuan tentang keramik belum memadai (Harefa, 2009).

Seiring dengan perkembangan ilmu bahan maka proses pembuatan


keramik dari tahun ke tahun mengalami kemajuan. Keramik pada awalnya
diproduksi secara tradisional dari mineral alam, namun sekarang kegunaan keramik
bermacam-macam fungsinya, dulu hanya digunakan sebagai barang pecah belah,
gerabah. Sekarang telah menjadi industri yang cukup besar dengan aplikasi
kegunaan seperti keramik porselin salah satu bahan isolator listrik, peralat pabrik
dan lain sebagainya (Vlack, 1991).

Keramik merupakan paduan logam yang terikat secara ionik dan kovalen.
Untuk mendapatkan sifat-sifat keramik biasanya diperoleh dengan pemanasan
pada suhu tinggi. Ada dua pembagian keramik, yaitu:

1. Keramik tradisional
Keramik tradisional biasanya dibuat dari tanah liat.
Contoh: porselen, bata ubin, gelas, dll.
2. Keramik modern
Keramik modern mempunyai ruang lingkup lebih luas dari keramik tradisional
pada kehidupan manusia.
Contoh: pemakaian pada bidang elektronik, komputer, komunikasi, aerospace
dan lain-lain. (Tri sidabutar, 2017).
Sifat-sifat yang dimilik oleh suatu produk keramik dipengaruhi oleh
komposisi bahan penyusun serta proses pembuatannya. Secara umum proses
pembuatan suatu produk keramik dimulai dari mencari bahan campuran, lalu
membuat semua bahan menjadi homogen (pengeringan, penggilingan, penyaringan,
dll), pencetakan, proses sintering, pendinginan, sampai menjadi produk jadi (Astuti,
1997). Namun yang akan dibahas dalam makalah ini adalah proses sintering dalam
pembuatan keramik.
Proses sintering merupakan proses pemadatan material serbuk dengan
cara membentuk ikatan batas butir antar serbuk penyusunnya ikatan antar butir
terjadi akibat pemanasan dan temperatur sintering yang diatur dibawah temperatur
leleh dari partikel penyusunnya. Pada proses sinter, benda padat terjadi karena
terbentuknya ikatan-ikatan antar partikel (Nugroho, 2008).

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud sintering?


2. Bagaimana prinsip dasar sintering?
3. Apa alat yang digunakan dalam proses sintering?
4. Bagaimana mekanisme proses sintering?
5. Faktor apa saja yang mempengaruhi proses sintering?
6. Bagaimana penggunaan proses sintering dalam proses pembuatan keramik?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian sintering.
2. Untuk mengetahui prinsip dasar sintering.
3. Untuk mengetahui alat yang digunakan dalam proses sintering.
4. Untuk mengetahui mekanisme proses sintering.
5. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi proses sintering.
6. Untuk mengetahui penggunaan proses sintering dalam pembuatan keramik.

D. Manfaat
1. Dapat mengetahui pengertian sintering.
2. Untuk mengetahui prinsip dasar sintering.
3. Untuk mengetahui alat yang digunakan dalam proses sintering.
4. Untuk mengetahui mekanisme proses sintering.
5. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi proses sintering.
6. Untuk mengetahui penggunaan proses sintering dalam pembuatan keramik.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Sintering
Proses sintering merupakan proses pemadatan material serbuk dengan cara
membentuk ikatan batas butir antar serbuk penyusunnya. Ikatan antar butir terjadi
akibat pemanasan dengan atau tanpa penekanan dan temperatur sintering diatur
dibawah temperatur leleh dari partikel penyusunnya. Proses pemanasan biasanya
dilakukan selama 8 hingga 24 jam (Fayed dan Otten, 1997).
Pada proses sinter, benda padat terjadi karena terbentuk ikatan-ikatan antar
partikel. Panas menyebabkan bersatunya partikel dan efektivitas reaksi tegangan
permukaan meningkatdengan perkataan lain, proses sinter menyebabkan
bersatunya partikel sedemikian rupa sehingga kepadatan bertambah. Selama
proses ini terbentuklah batas-batas butir, yang merupakan tahap permulaan
rekristalisasi. Di samping itu, gas yang ada menguap dan temperatur sinter
umumnya berada di bawah titik cair unsur serbuk utama selama proses sinter terjadi
perubahan dimensi, baik berupa pengembangan maupun penyusutan tergantung
pada bentuk dan distribusi ukuran partikel serbuk, komposisi serbuk, prosedur sinter
dan tekanan pemampatan(German, 1994).
Model sintering yang dipelajari saat ini memiliki asumsi dimana kondisi awal
sebelum sintering serbuk yang digunakan berbentuk bulat dan berukuran sama
(monosize sphere). Pada teori sintering juga digunakan asumsi isotermal. Namun
pada kenyataannya, proses sintering dimulai dengan kondisi awal serbuk berbentuk
iregular dengan distribusi ukuran yang bervariatif serta serbuk telah dikompaksi
terlebih dahulu (German, 1994).
Pada proses kompaksi, serbuk dipadatkan, mengurangi porositas yang
besar, dan memperbesar kontak area antar partikel. Sebagian besar ikatan antar
partikel yang terbentuk saat sintering terjadi ketika temperatur sintering mencapai
temperatur maksimum, sedangkan model isotermal yang diasumsikan pada
kebanyakan model sintering jarang mencapai temperatur maksimum. Pada tahapan
akhir sintering, serbuk yang kompak dihasilkan dari suatu kondisi yang dinamik
dimana, gradien yang terjadi diakibatkan tegangan termal (thermal stress) dan
interaksi serbuk kompak dengan atmosfer (Yafie dan Widyastuti, 2014).
B. Prinsip Dasar Sintering
Prinsip dasar dari sintering adalah dengan memberikan panas atau
memanaskan sampel pada temperatur di bawah melting point-nya hingga terjadi
transfer massa pada permukaan serbuk sehingga terbentuk ikatan bersama antar
serbuk (German, 1994).
Model sinter dapat digambarkan dalam bentuk dua partikel yang membentuk
ikatan antar partikel selama sinter. Dimulai dengan kontak titik dan dilanjutkan
dengan pertumbuhan leher yang terjadi pada batas butir kontak partikel. Jika waktu
cukup, dua partikel akan bergabung menjadi satu partikel besar seperti pada
Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Model sinter dua partikel (German, 1994).


C. Alat Sintering
Peralatan yang dapat digunakan dalam proses sintering biasa disebut
dengan tungku sintering atau furnace. Gambarnya adalah sebagai berikut:
Gambar 2.2. Furnace sintering (www.bmdstore.com)

Gambar 2.3. Furnace sintering beserta keterangannya


(Kejiafurnace.en.alibabab.com)

D. Mekanisme Proses Sintering


Sintering dapat terjadi dengan variasi dari mekanismenya. Masing-masing
mekanisme dapat bekerja secara individu atau kombinasi dengan yang lain untuk
mendapatkan densifikasi. Sedangkan sumber energi (driving force) dari proses
sintering adalah energi permukaan. Energi permukaan tiap satuan volume
berbanding terbalik dengan diameter partikel jadi partikel berukuran kecil
mempunyai energi lebih besar daripada partikel dengan ukuran besar. Selama
proses sintering terjadi perpindahan massa dari partikel ke neck dan perpindahan
massa ini terjadi untuk mengurangi energi permukaan partikel dengan cara
memperluas permukaan partikel jadi selama proses sintering terjadi eliminasi atau
pengurangan energi permukaan (Kwon dan Gery, 1992). Parameter yang dapat
digunakan untuk mengukur tingkat sintering (degree of sintering) adalah luas
permukaan karena eliminasi energi pemukaan merupakan proses yang terjadi
selama sintering. Parameter lain yang bisa digunakan dalam mengukur tingkat
sintering adalah perbandingan antara ukuran neck (X) dengan diameter partikel (D),
untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.4. Permodelan Partikel (Kwon dan Gery, 1992)


Berdasarkan mekanisme ikatannya, proses sinter dikategorikan menjadi :
vapor phasesintering (VPS), solid state sintering (SSS), liquid phase sintering (LPS).
Penjelasan masing-masing jenis sinter diuraikan sebagai berikut:
1. Vapor Phase Sintering (VPS)
Energi gerak dalam VPS disebabkan oleh perbedaan tekanan uap sebagai
fungsi kurva permukaan. Mekanismenya seperti pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5. Skema dari Vapor – Phase Sintering (Kwon dan Gery, 1992).
2. Solid State Sintering (SSS)
Dalam proses SSS, mekanisme gerakan bahan berupa difusi dengan energi
gerakan berasal dari perbedaan energi potensial kimia bebas. Secara umum
tahapan proses sinter merupakan suatu interval perubahan geometri yang diikuti
penurunan ukuran rongga. Pada SSS, sinter terbagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap
awal, tahap intermediate dan tahap akhir. Selama tahap awal kontak titik antar
partikel terus meningkat hingga membentuk pertumbuhan leher dari 0 sampai
mendekati 0.2%, sedangkan densitas meningkat hingga mencapai 60% sampai
65% (German, 1994).
Pada tahap intermediate penggabungan antar butir terus terjadi hingga
membentuk saluran rongga kontinyu, densitas meningkat dari 65% ke 90%, rongga
mulai hilang dari saluran silindris. Sedangkan pada tahap akhir saluran rongga
kontinyu menghilang dan berubah bentuk menjadi rongga-rongga terpisah satu
dengan lainnya (Barsoum, 1997). Pada SSS mengalami proses sebagai berikut
seperti pada jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6. Skema dari Solid State Sintering (SSS) (Kwon dan Gery, 1992).
Mekanisme ikatan antar partikel didorong oleh mekanisme transport yang
berupasurface transport dan bulk transport. Surface transport terdiri dari difusi
permukaan dan evaporasi-kondensasi, sedangkan bulk transport terdiri dari difusi
volume, difusi batas butir, aliran plastis dan aliran viscous. Transport permukaan
menghasilkan pertumbuhan leher tanpa penyusutan ((Barsoum, 1997).
Gaya pendorong proses sinter berupa energi permukaan yang besar per unit
volumenya meningkat sebanding dengan penurunan diameter partikel. Selama
proses sinter, transportasi masa terjadi dari partikel ke leher. Berdasarkan hukum
kesetimbangan energi, transport masa bertujuan untuk menurunkan energi
permukaan partikel dengan meningkatkan luas permukaan partikel, sehingga
selama proses sinter energi permukaan akan turun (Barsoum, 1997).
3. Liquid Phase Sintering (LPS)
Energi gerak LPS berupa perbedaan tegangan permukaan antar partikel.
Dalam sistem sinter ini, fase cair berguna sebagai media transport dan proses sinter
cepat (rapid sintering) terjadi ketika beberapa kriteria ditemukan seperti: fase cair
berupa lapisan film di sekitar fasa padat, pada kondisi ini derajat kebasahan
merupakan faktor utama dan fase cairan harus memiliki kelarutan padat. Huppmann
dan Riegger menyatakan bahwa sinter cepat terjadi bila transport difusi atom-atom
padat larut dalam fase cair cukup tinggi (Huppmann dan Riegger, 1975).
Dalam LPS, laju densifikasi jauh lebih cepat dibandingkan dalam SSS
(German, 1996). Gradien penyusutan pada serbuk tersinter padat secara khusus
berhubungan dengan gradien densitas green part, sedangkan reduksi penyusutan
selama sinter di bawah padatan dihubungkan dengan gesekan antara padatan dan
material substrat (Callister dan Willian, 2003). Densifikasi dan distorsi bentuk
selama LPS tergantung pada gaya pendorong dan hambatan deformasi kekentalan
(German, 1996). LPS mempunyai beberapa keuntungan yaitu adanya peningkatan
kinetik saat terjadinya sintering dan bisa menutup pada daerah yang kosong.
Sedangkan kerugian dari proses sintering LPS yaitu adanya distorsi bentuk dan sulit
mengontrol parameter sintering dari fasa cair (temperatur mempengaruhi
dissolution dan kristalisasi). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7. (a). Skema diagram dari tahap-tahap LPS (0) melting, (I)
rearrangement, (II) solution precipitation, (III) pore removal (b).Tahap-tahap LPS
dengan contoh densifikasi actual sebagai fungsi temperatur sintering dan waktu
pada sistem alumina-glass (Kwon dan Gery, 1992).

E. Indirect Pressureless Sintering


Pada proses sinter konvensional, sebelum dipanaskan dalam furnace
serbuk dikompaksi dalam cetakan namun dalam proses ini tidak ada kompaksi
dalam pembuatan produk hasil sintering. Serbuk supporting powder yang
mempunyai titik leleh dibawah serbuk produk berfungsi sebagai serbuk penyangga
serbuk produk dan penghantar panas selama proses sinter berlangsung.
Mekanisme yang dipakai sama dengan SSS dimana mekanisme gerakan bahan
berupa difusi dengan energi gerakan berasal dari perbedaan energi potensial kimia
bebas sehingga terjadi ikatan antar partikel dan terjadi penyusutan terhadap produk
hasil sinter (Subekti, 2011).
Secara umum tahapan proses indirect pressureless sintering merupakan
suatu interval perubahan geometri yang diikuti penurunan ukuran rongga dan
terbagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap awal, tahap intermediate dan tahap akhir
sedangkan parameter yang digunakan dalam proses ini yaitu temperatur dimana
difusi merupakan satu-satu mekanisme pembentuk ikatan, maka peningkatan
temperatur akan mempertinggi kinetika sinter (Shimosaka, dkk., 2001). Energi
aktivasi difusi bulk selalu lebih tinggi dari pada difusi batas permukaan maupun
batas butir, oleh karena itu kenaikan temperatur selalu mempertinggi mekanisme
difusi bulk yang mendahului proses solidifikasi dan ukuran partikel dalam hal ini
gaya pendorong pemadatan adalah pereduksian luaran permukaan, semakin luas
permukaan, semakin besar gaya pendorong. Ukuran partikel yang semakin halus
akan meningkatkan karakteristik mekanik produk sinter, namun ukuran partikel yang
sangat halus akan memunculkan persoalan serius. Mengecilnya ukuran partikel
akan meningkatkan rasio permukaan atau volume, gaya elektrostatik dan gaya-
gaya lainnya semakin dominan, yang mendorong terjadinya aglomerasi. Selama
pemanasan, aglomerasi cenderung akan tersinter bersama menjadi partikel yang
lebih besar, bukan hanya menghamburkan gaya pendorong untuk proses
pemadatan, tetapi juga menciptakan rongga besar diantara aglomerasi tersinter dan
sulit untuk dihilangkan (Totemeier, dkk., 2009).

F. Tahapan Proses Sintering


Tahapan proses terjadi selama sinter umumnya mengacu pada perubahan
fisik ketika proses pembentukan ikatan antar partikel berlangsung. Tahapan
sintering diuraikan sebagai berikut:
a. Tahap Awal (Initial Stage), secara umum ditandai dengan penyusunan kembali
formasi leher, yang meliputi penyusunan kembali partikel dan formasi leher awal di
titik kontak antar partikel, penyusunan kembali formasi partikel setelah mengalami
pergerakan untuk meningkatkan jumlah titik kontak dan pada akhirnya membentuk
ikatan pada titik kontak tersebut, dengan pergerakan material terjadi dengan energi
permukaan tertinggi (German, 1994). Tahapan pertama dalam proses sinter seperti
ditunjukkan Gambar 2.8.

Gambar 2.8. Tahap pertama proses sinter: a) Partikel awal, b) Penyusunan


kembali, c) Terbentuknya formasi leher (German, 1994).
b. Tahap Kedua (Intermediate Stage), pertumbuhan leher terus berlanjut, yang
diikuti dengan pertumbuhan butir dan pertumbuhan pori. Perubahan fisik selama
tahap kedua adalah sebagai berikut pertumbuhan ukuran leher antar partikel,
porositas menurun atau berkurang, pusat partikel bergerak semakin dekat secara
bersama-sama, penyusutan setara dengan jumlah berkurangnya porositas, batas
butir mulai berpindah sehingga butir mulai bertumbuh, terbentuknya saluran yang
saling berhubungan (continuous channel) dan berakhir ketika porositas terisolasi.
Penyusutan secara maksimal terjadi pada tahap kedua (German, 1994). Tahapan
kedua proses sinter ditunjukkan Gambar 2.9.

Gambar 2.9. a) Pertumbuhan leher dan volume penyusutan b) Perpanjangan dari


batas butir, c) Pertumbuhan butir berlanjut danbatas butir meluas, volume
penyusutan dan pertumbuhan butir (German, 1994).
c. Tahap Ketiga (Final Stage) ditandai dengan hilangnya struktur pori dan
munculnya batas butir. Perubahan fisik selama tahap akhir meliputiporositas
mengalami pergerakan terakhir dan pertumbuhan butir terjadi. Mekanisme sinter
tahap ketiga ditunjukkan seperti Gambar 2.10 dan Gambar 2.11.
Gambar 2.10 a) Pertumbuhan leher dengan discontinues pore-phase, b) Pertumbuhan
butir dengan pengurangan porositas,c) Pertumbuhan butir (German, 1994).

Gambar 2.11. Pertumbuhan ikatan mikrostruktur antar partikel keramik selama


proses sintering (German, 1994).

G. Kekuatan Pendorong Sintering


Kekuatan pendorong sintering adalah pengurangan total energi antarmuka.
Energi antarmuka total dari compact powder dinyatakan sebagai γA, di mana γ
adalah permukaan spesifik (antarmuka) energi dan A total permukaan (interface)
area kompak. Pengurangan total energi dapat dinyatakan sebagai berikut:

Di sini, perubahan energi antar muka (Δγ) adalah karena densifikasi dan perubahan
di area antarmuka karena butiran kasar. Untuk sintering keadaan padat, Δγ terkait
dengan penggantian antarmuka padat / uap (permukaan) oleh antarmuka padat /
padat. Sebagaimana ditunjukkan secara skematik pada Gambar 2.12, pengurangan
total energi antarmuka terjadi melalui densifikasi dan pertumbuhan butir untuk
fenomena dasar sintering (Joong dan Kang, 2005).
Gambar. 2.12. Fenomena dasar terjadi selama sintering di bawah kekuatan
pendorong untuk sintering, Δ(γA) (Joong dan Kang, 2005).
Secara umum, ukuran serbuk untuk sintering berkisar antara 0,1 dan 100
lam; total energi permukaan serbuk adalah 500-0,5 J/mol. Energi ini sangat kecil,
dibandingkan dengan perubahan energi dalam pembentukan oksida yang biasanya
dalam kisaran antara 300 dan 1500 kJ / mol. Jika diinginkan struktur mikro dari tubuh
yang disinter akan dicapai dengan penggunaan jumlah energi yang sangat kecil,
perlu untuk memahami dan mengendalikan variabel yang terlibat dalam proses
sintering. (Joong dan Kang, 2005).

H. Faktor Yang Mempengaruhi Proses Sintering


1. Suhu
Suhu yang digunakan pada proses sintering dipengaruhi oleh komposisi
bahan-bahan penyusun produk keramik yang akan dibuat. Karena, secara umum
bahan penyusun keramik berupa feldspar, quartz, dan silika yang masing-masing
mempunyai titik lebur yang berbeda-beda. Suhu yang digunakan biasanya sekitar
2/3 atau 4/5 dari titik lebur campuran bahan. Namun semakin tinggi suhu yang
digunakan (semakin mendekati titik lebur) maka semakin banyak pula molekul –
molekul atom yang saling berdifusi sehingga meningkatkan intensitas butiran (grain)
dan membuat produk yang dihasilkan menjadi lebih padat (porositas kecil) (Ramlan,
dkk., 2011).
2. Waktu
Waktu yang diperlukan pada saat proses sintering berpengaruh pada
lamanya molekul-molekul penyusun saling berdifusi hingga saling menyatu satu
sama lain. Jika waktu sintering terlalu singkat maka atom-atom kurang menyatu
secara sempurna sehingga masih banyak rongga-rongga yang terbentuk (porositas
masih tinggi) (Ramlan, dkk., 2011).
3. Kecepatan Pemanasan dan Kecepatan Pendinginan
Pemanasan dan pendinginan merupakan salah satu hal yang penting
dalam proses sintering. Kecepatan pemanasan dan pendinginan selalu dijaga
agar berjalan konstan baik setiap menit atau setiap jamnya. Hal itu dilakukan
agar tidak terjadi pemanasan atau pendinginan yang terlalu cepat atau
mendadak karena akan menyebabkan molekul atom memuai atau menyusut
secara cepat sehingga terdapat keretakan pada bentuk campuran bahan bahkan
pecah (Ramlan, dkk., 2011).
4. Ukuran Partikel
Ukuran partikel yang semakin halus akan meningkatkan karakteristik
mekanik produk sinter. Akan tetapi mengecilnya ukuran partikel akan meningkatkan
rasio permukaan atau volume, gaya elektrostatik dan gaya-gaya lainnya semakin
dominan, yang mendorong terjadinya aglomerasi. Selama pemanasan, aglomerasi
cenderung akan tersinter bersama menjadi partikel yang lebih besar, bukan hanya
menghamburkan gaya pendorong untuk proses pemadatan, tetapi juga
menciptakan rongga besar diantara aglomerasi tersinter dan sulit untuk dihilangkan
(Totemeier, dkk. 2009).
Adapun faktor lain yang berpengaruh pada sintering adalah green compact,
jenis bahan, dan lingkungan sintering (Totemeier, dkk., 2009).

I. Aplikasi Teknik Sintering dalam Pembuatan Keramik


Pada saat ini sudah banyak penelitian mengenai penggunaan teknik
sintering dalam pembuatan keramik. Salah satunya adalah berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan oleh Ramlan, dkk. (2007), dimana mereka melakukan
penelitian mengenai pembuatan keramik beta alumina (Na2O - Al2O3) dengan aditif
MgO. Pembuatan keramik beta alumina digunakan komposisi tetap yaitu dengan
mole ratio antara Na2O dan Al2O3 adalah 1 : 11, dan sebagai aditif sintering
digunakan MgO dengan variasi: 0, 1 %, 2 %, 3 %, dan 4 % berat. Sebagai bahan
baku digunakan bahan kimia murni dari E-Merck yaitu: serbuk Na2CO3 sebagai
sumber Na2O, serbuk α-Al2O3 , dan sebagai sumber MgO digunakan Mg(OH)2CO3.
Ada dua tahapan yang dilakukan yaitu pembuatan serbuk dengan mencampurkan
ketiga macam bahan baku tersebut berdasarkan komposisinya menggunakan ball
mill dan media nya adalah alkohol. Proses pencampuran dengan ball mill dilakukan
selama 24 jam, setelah di ball mill dilakukan pengeringan pada suhu sekitar 60 –
80oC, sehingga diperoleh serbuk kering. Selanjutnya serbuk tersebut digerus
dengan mortar tangan dan diayak dengan ayakan 400 mesh. Selanjutnya serbuk
yang lolos ayakan dicetak tekan dengan tekanan sekitar 50 MPa, kemudian
disintering dengan menggunakan tungku listrik dengan kecepatan 10OC/menit.
Suhu sintering divariasikan dari 1400OC sampai 1600OC dengan interval 50OC, pada
masing suhu tersebut dilakukan penahanan selama 2 jam. Selanjutnya masing-
masing sampel yang telah disintering dilakukan pengujian yang meliputi pengujian
densitas dan porositas dengan metode Archimedes, serta dilakukan analisa fasa
dengan menggunakan difraksi sinar X.
Hasil pengukuran densitas dan porositas dari masing-masing sampel
ditunjukkan pada gambar 1 dan 2 sebagai berikut:

Gambar. 2.13. Kurva hubungan Bulk Density terhadap Suhu Sintering untuk
berbagai Persen Aditif MgO ( A : 0%, B : 1 %, C : 2 %, D : 3 %, E : 4 % ).
Berdasarkan kurva di atas dari suhu 1400 oC sampai 1500 oC merupakan
awal proses sintering, kenaikkan densitasnya masih kecil, tetapi pada kisaran 1500
o
C sampai 1600oC terjadi perubahan densitas yang besar, berarti terjadi proses
akhir sintering atau pemadatan. Penambahan aditif dari 1 % sampai dengan 3 %
memberikan dampak kenaikkan densitas, peranan aditif MgO mampu meredam
pertumbuhan butir selama proses sintering, sehingga terjadi pemadatan, tetapi
dengan bertambah banyaknya aditif MgO ( 4 % ) peranannya berkurang, sehingga
densitasnya turun kembali. Suhu sintering yang baik adalah pada suhu 1600oC
dengan aditif 3 % MgO yaitu diperoleh densitas sebesar 2,34 g/cm3.
Pada Gambar 2.14 dibawah ini ditunjukkan pola kurva yang berlawanan
dengan kurva pada Gambar 2.13.

Gambar 2.14. Kurva hubungan Porositas terhadap Suhu Sintering untuk


berbagai Persen Aditif MgO ( A : 0%, B : 1 %, C : 2 %, D : 3 %, E : 4 % ).

Semakin tinggi suhu sintering maka nilai porositasnya cenderung mengecil,


hal ini sesuai dengan mekanisme proses sintering, dimana terjadi pengurangan pori
selama terjadi proses sintering. Porositas terendah adalah 32 % pada sampel
dengan aditif 3 % MgO dan disintering pada suhu 1600OC. Idealnya porositasnya
harus mendekati nol, tetapi hal ini dilihat dari nilai densitasnya juga masih jauh
dibawah densitas teoritis. Untuk dapat mencapai porositas yang lebih rendah lagi
dan densitas juga dapat meningkat mendekati densitas teoritis, maka perlu
dilkakukan penelitian lebih lanjut lagi . Hasil analisa dengan difraksi sinar X
ditunjukkan pada Gambar 2.15 sebagai berikut. Telah teridentifikasi bahwa telah
terbentuk fasa dominan Na-β″ Al2O3 dengan fasa minor Na-β′ Al2O3 . Perubahan
suhu sintering tidak memberikan adanya perubahan fasa yang besar. Karena fasa-
fasa tersebut telah terbentuk pada suhu 1400oC, dan tetap stabil dengan suhu
sintering yang meningkat.

Gambar 2.15. Pola difraksi sinar X untuk sample D ( 3 % MgO ) yang


disinterring pada suhu dari 1400 oC – 1600oC.
Berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh tersebut menunjukkan bahwa aditif
MgO mampu memberikan efek pemadatan/sintering keramik beta alumina yang
signifikan. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa densitas tertinggi (2,34 g/cm 3 )
dan porositas terendah (32 %) diperoleh pada sample dengan aditif 3 % MgO dan
suhu sintering 1600oC. Hasil analisa dengan difraksi sinar X menunjukkan bahwa
telah terbentuk fasa dominan Na-β″ Al2O3 dengan fasa minor Na-β′ Al2O3
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Dari penjelasan yang sudah dijelaskan di atas maka dapat disimpulan bahwa
teknik sintering adalah sebuah teknik yang memberikan panas atau memanaskan
sampel pada temperatur di bawah melting point-nya hingga terjadi transfer massa
pada permukaan serbuk sehingga terbentuk ikatan bersama antar serbuk. Alat
yang digunakan dalam proses sintering adalah tungku sintering atau furnace.
Adapun faktor yang mempengaruhi hasil sintering diantaranya adalah: temperatur,
waktu penahanan, kecepatan pendinginan, kecepatan pemanasan, jenis material,
ukuran partikel, green compact, dan lingkungan sintering. Tahapan dalam proses
sintering antara lain adalah Initial Stage, Intermediate Stage dan Final Stage.
Secara umum, ukuran serbuk untuk sintering berkisar antara 0,1 dan 100 μm.
Teknik sintering juga digunakan dalam proses pembuatan keramik yang mana
proses sintering ini memegang peranan penting dalam menentukan sifat-sifat
produk yang dihasilkan.

B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan terkait makalah ini adalah untuk lebih
menelaah makalah ini dan menjadikannya sebagai sebuah referensi dan juga agar
memanfaatkan makalah ini sebagai sumber informasi mengenai teknik sintering
dan penggunaannya dalam proses pembuatan keramik.
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Ambar. 1997. Pengetahuan Keramik, Cetakan Pertama. Yogyakarta: Universitas


Gajah Mada Press.

Barsoum, M.W. 1997. Fundamentals of Ceramics, 1st Edition. Singapore: McGraw-


Hill.

Callister Jr, William. D. 2003. Material Science and Engineering, 6rd Edition. New Jersey:
John Wiley & Sons, Inc.

Fayed, M. E. and Otten, L. 1997. Handbook of Powder Science and Technology, 2nd
Edition. New York: Chapman and Hall – ITP.

German, R.M., 1994. Powder Metalurgy Science. Metal Powder Industries. New Jersey:
Federation Princeton.

Harefa, Fani. 2009. Pemanfaatan Limbah Padat Pulp Grits Dan Dregs Dengan
Penambahan Kaolin Sebagai Bahan Pembuatan Keramik Konstruksi. Skripsi.
Universitas Sumatra Utara: Medan.

Huppmann, W.J. dan Riegger H. 1975. Modelling of Rearrangement Processes In Liquid


Phase Sintering. Acta Metallurgica. Volume 23, Issue 8, pp: 965-971.

Joong, S. dan Kang L. 2005. Sintering Densification, Grain Growth, and Microstructure.
Daejeon: Butterworth Heinemann.

Kwon, O.H. dan Gery L. Messing. 1992. Kinetic Analysis of Solution‐Precipitation


During Liquid ‐ Phase Sintering of Alumina. Journal of Materials Science,
Vol. 44(1):1-39.

Nugroho, Galih Ajie. 2008.Sintesis & Karakterisasi Keramik Struktural Alumina Pada
Sintering Temperatur Rendah Untuk Aplikasi Armorf Facing. Skripsi. Institut
Teknologi Bandung: Bandung.

Ramlan, Masno Ginting , Muljadi, Perdamean Sebayang. 2007. Pembuatan Keramik


Beta Alumina (Na2O-Al2O3) dengan Aditif MgO dan Karakterisiasi Sifat Fisis serta
Struktur Kristalnya. Jurnal Fisika Himpunan Fisika Indonesia. Vol. 7 No.1., pp: 10-
15.

Shimosaka, A. Yasushi Ueda, Yoshiyuki Shirakawa dan Jusuke Hidaka 2001. Sintering
Mechanism of Two Spheres Forming a Homogeneous Solid Solubility Neck. KONA.
Vol. 21: 219-233.
Sidabutar, Tri. 2017. Pembuatan dan Karakterisasi Keramik Magnesium Alumina Silika
dari Abu Vulkanik Gunung Sinabung. Skripsi. Fakultas Teknik Universitas Mercu
Buana: Jakarta.
Subekti, Daniel. 2011. Analisa Sifat Fisik, Sifat Mekanik, Struktur produk Proses indirect
Pressureless Sintering Berbahan Serbuk Ni dan Sifat Termal Berbahan Serbuk Cu
Dengan Supporting Powder Besi Cor. Skripsi. Fakultas Teknik Universitas
Diponegoro: Semarang.
Totemeier, Aaron R. dan Sean M. McDeavitt. 2009. Powder Metallurgical Fabrication of
Zirconium Matrix Cermet Nuclear Fuels. J Mater Sci. Vol.44: 5494–5500.
Vlack, Van Lawrence. 2004. Elemen-Elemen Ilmu Dan Rekayasa Material, Edisi
Keenam. Jakarta: Erlangga.
www.kejiafurnace.en.alibaba.com/product-detail/dental-zirconia-ceramics-sintering-
furnace- for_60013187086.html. Diakses pada tanggal 23 Mei 2018, Pukul: 20.00
WIB.

www.bmdstore.com/jual-1700-degree-lab-muffle-furnace-dental-sintering-furnace-lab-
muffle-oven-scientific-instruments.html. Diakses pada tanggal 23 Mei 2018 Pukul:
19.14 WIB.

Yafiedan, Mohammad Safrudin dan Widyastuti. 2014. Pengaruh Variasi Temperatur dan
Waktu Tahan Sintering Terhadap Densitas dan Kekerasan pada Mmc W-Cu
Melalui Proses Metalurgi Serbuk. Jurnal Teknik Pomits. Vol. 3, No. 1: Hal.45. ISSN
No. 2337-3539.

Anda mungkin juga menyukai