Anda di halaman 1dari 37

RISIKO OPERASIONAL

(Studi Kasus 7-Eleven)

Ini Ditujukkan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah:


Manajemen Risiko

Disusun Oleh:

MN2-2015
Kelompok II

Nama: Nim:

Ajeng Perwati 21215036


Annisa Laras Maulani 21215014
Encep Nugraha 21215024
Kasiana Lusia Santi S 21213197
Muhamad Ihsan 21215028
Shindy Latifah Ar Rohmah 21215013
Siti Nurhalimah 21215042
Wahyudin Anggara Hadi 21215002

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan

penyusunan makalah ini yang membahas Risiko Operasional Studi Kasus 7-

Eleven, dalam bentuk beberapa urainan yang sangat sederhana dengan

menggunakan berbagai literasi yang tersebar secara online maupun offline.

Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk

maupun pedoman bagi pembaca dalam penulisan selanjutnya. Kami menyadari

bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran

dari semua pihak yang bersifat membangun, kami harapkan demi kesempurnaan

makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah

berperan dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah

SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin.

Bandung, 21 Mei 2018


Penyusun

KELOMPOK II

ii
DAFTAR ISI

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manajemen risiko merupakan salah satu elemen penting dalam

menjalankan bisnis perusahaan karena semakin berkembangnya dunia

perusahaan serta meningkatnya kompleksitas aktivitas perusahaan

mengakibatkan meningkatnya tingkat risiko yang dihadapi perusahaan.

Sasaran utama dari implementasi manajemen risiko adalah melindungi

perusahaan terhadap kerugian yang mungkin timbul. Lembaga perusahaan

mengelola risiko dengan menyeimbangkan antara strategi bisnis dengan

pengelolaan risikonya sehingga perusahaan akan mendapatkan hasil optimal

dari operasionalnya. Risiko itu sendiri adalah potensi terjadinya suatu

peristiwa baik yang dapat diperkirakan maupun yang tidak dapat diperkirakan

yang dapat menimbulkan dampak bagi pencapaian tujuan organisasi.

Risiko operasional yaitu potensi terjadinya kerugian karena kesalahan

manusia atau kegagalan proses dan pengendalian dalam operasional sehari-

hari. Pengelolaan atau kegagalan proses dan pengendalian dalam

operasional sehari-hari. Pengelolaan risiko operasional bertujuan untuk

mengantisipasi potensi kerugian yang telah atau hampir terjadi yang disebabkan

karena kurang memadai atau tidak berfungsinyahampir terjadi yang disebabkan

karena kurang memadai atau tidak berfungsinya proses-proses internal, faktor

kesalahan manusia, kelemahan sistem dan teknologi atau berbagai faktor

eksternal yang dapat berpengaruh negatif terhadap operasional perusahaan.

1
Jika suatu perusahaan sudah memiliki databasekerugian risiko operasional

yang memadai, maka perusahaan dapat memanfaatkan data kerugian risiko

tersebut untuk proses pemodelan dan pengukuran potensi kerugian risiko

operasional. Untuk melakukan pemodelan dan pengukuran potensi kerugian

risiko operasional, perusahaan harus terlebih dahulu mengetahui karakteristik

dari distribusi kerugian risiko operasional.

Distribusi data kerugian risiko operasional dapat dikelompokkan ke dalam

distribusi frekuensi data kerugian dan distribusi severitas data kerugian.

Distribusi frekuensi menunjukkan jumlah atau frekuensi terjadinya suatu jenis

kerugian operasional dalam periode waktu tertentu tanpa melihat nilai atau

rupiah kerugian. Sedangkan distribusi severitas data kerugian menunjukkan

nilai rupiah kerugian dari jenis kerugian operasional dalam periode waktu

tertentu.

Seorang manajer dalam mengambil setiap keputusan harus selalu

memikirkan dampak yang akan timbul baik secara jangka pendek maupun

jangka panjang. Risiko operasional merupakan risiko yang umumnya

bersumber dari masalah internal perusahaan, dimana risiko ini terjadi

disebabkan oleh lemahnya sistem control manajemen (management control

system) yang dilakukan oleh pihak internal perusahaan. Risiko dapat

disebabkan oleh ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses

internal, sumber daya manusia, kegagalan sistem dan teknologi,

atau adanya masalah eksternal.

2
Risiko perusahaan bahkan menjadi semakin besar dengan semakin beraneka

ragam barang yang diproduksi perusahaan dan semakin kompleks pekerjaan

yang dilakukan, atau semakin banyak transaksi yang terjadi. Dengan kata lain,

semakin kompleks aktivitas yang dilakukan, semakin besar risiko oprasional

yang dihadapi.

Kondisi terjadinya risiko operasional (operasional risk) sangat dipengaruhi

oleh bagus dan rendahnya kematangan manajemen yang dimiliki oleh manajer

suatu perusahaan. Seorang manajer dalam mengambil setiap keputusan harus

selalu memikirkan dampak yang akan timbul baik secara jangka pendek

maupun jangka panjang. Seperti jika ingjin menaikkan jumlah produksi atau

menambah karyawan baru. Jika jumlah produksi ditingkatkan apakah

persediaan bahan baku di gudang dan di pasaran tersedia dalam jumlah yang

mencukupi, serta apakah bahan baku yang dimiliki memeiliki kualitas yang

sama untuk masa produksi secara jangka panjang.

Dalam kasus pembahasan ini kami mengamati PT Modern Sevel Indonesia

sebagai perusahaan resmi pemegang francise gerai 7-Eleven di Indonesia yang

telah beroprasional kurang lebih delapan tahun di Indonesia. Akan di bahas

tentang bagaimana perusahaan ini mengalami kegagalan oprasional perusahaan

yang menyebabkan hilangnya pendapatan, karir kerja, kesempatan untuk

berekspansi, hilangnya properti yang dimiliki, serta kebijakan apa yang

seharusnya diambil agar kegagalan oprasional perusahaan tidak terjadi akan

kami bahas dalam rincian makalah ini melalui studi pustakaa dan berbagai

literasi.

3
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Risiko Operasional?

2. Bagaimana Identifikasi Risiko Opersional?

3. Bagaimana Bentuk dan Klasifikasi Risiko Operasional?

4. Bagaimana Pengukuran dan Biaya Risiko Operasional?

5. Bagaimana Strategi dan Penerapan Manajemen Risiko Operasional?

1.3 Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui pengertian Risiko Operasional.

2. Untuk mengetahui identifikasi Risiko Opersional.

3. Untuk bentuk dan Klasifikasi dari Risiko Operasional.

4. Untuk mengetahui Pengukuran dan Biaya Risiko Operasional.

5. Untuk mengetahui Strategi Pengolahan Risiko Operasional.

1.4 Tempat dan Alamat

Perusahaan yang menjadi objek penelitian dalam pengembangan makalah

ini adalah PT Moderen Sevel Indonesia yang beralamat di Jl. Matraman Raya

no. 12,Jakarta 13150 Indonesia yang merupakan entitas anak dari Modern

Internasional Tbk. Yang beralamat di Jl. St Iskandar Muda No.29, Jakarta

Selatan – 12240 . Untuk pembahasan lebih lanjut dibahas pada Bab III.

4
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Risiko Operasional

Risiko operational merupakan risiko yang umumnya bersumber dari

masalah internal perusahaan, dimana risiko tersebut terjadi disebabkan oleh

lamanya sistem kontrol manajemen (management controlsystem). Yang

dilakukan oleh pihak internal perusahaan.

Risiko operasinal dapat menimbulkan kerugian keuangan secara langsung

maupun tidak langsung dan kerugian potensial atas hilangnya kesempatan

memperoleh keuntungan. Risiko ini merupakan risiko yang melekat (inherent)

pada setiap aktivitas fungsional perusahaan.

Menurut Fahmi (2010:54), risiko operasional merupakan risiko yang

umumnya bersumber dari masalah internal perusahaan, dimana risiko ini terjadi

disebabkan oleh lemahnya sistem kontrol manajemen (management control

system) yang dilakukan oleh pihak internal perusahaan.

Menurut Djohanputro (2008:65), risiko operasional adalah potensi

penyimpangan dari hasil yang diharapkan karena tidak berfungsinya suatu

sistem, SDM, teknologi, atau faktor lain. Risiko operasional bisa terjadi pada 2

tingkatan: teknis dan organisasi. Pada tataran teknis, risiko operasional bisa

terjadi apabila sistem informasi, kesalahan mencatat, informasi yang tidak

memadai, dan pengukuran risiko tidak akurat dan tidak memadai. Pada tataran

5
organisasi, resiko operasional bisa muncul karena sistem pemantauan dan

pelaporan, sistem dan prosedur, serta kebijakan tidak berjalan sebagaimana

mestinya.

Setiap organisasi perusahaan selalu menanggung risiko. Risiko, bisnis,

kecelakaan kerja, bencana alam, perampokan, dan pencurian, kebangkrutan

adalah beberapa contoh dari risiko yang lazim terjadi di berbagai perusahaan.

Terutama perusahaan yang tidak melakukan tindakan apa-apa, bahkan tindakan

preventif pun tidak dilakukan. Perusahaan ini tidak melakukan tindakan untuk

pencegahan risiko yang akan timbul nantinya.

Dalam hal inilah yang melatarbelakangi manajer diharuskan untuk

mengamati dan mengkaji bagaimana untuk meminimalisir kejadian –kejadian

yang menimbukan terjadinya kerugian oprasional perusahaan terutama pada

perusahaan PT Moderen Sevel Indonesia yang memiliki hak francise di wilayah

Indonesia.

2.2 Identifikasi Risiko Operasional

Menurut Muslich (2007:10), Untuk mengidentifikasi risiko operasional

yang dapat dikendalikan atau tidak dapat dikendalikan, dapat dilakukan dengan

beberapa teknik. Beberapa teknik identifikasi risiko operasional adalah sebagai

berikut:

a. Risk Self Assesment (RSA), adalah perusahaan melakukan penelitian

sendiri terhadap aktivitas dan operasi perusahaan berdasarkan kejadian

risiko. Proses RSA ini didasarkan keinginan perusahaan sendiri untuk

mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dari lingkungan risiko

6
operasional. Proses penilaian RSA dilakukan dengan mempergunakan

suatu daftar checklist yang berisi butirbutir pertanyaan tentang evaluasi

kekuatan dan kelemahan lingkungan risiko operasional tersebut.

b. Risk Mapping, merupakan suatu proses dimana berbagai unit usaha atau

departemen, fungsional organisasi, atau arus proses transaksi yang di

mapping berdasarkan tipe risiko.

c. Key Risk Indicator, Key Risk Indicator atau data statistik keuangan yang

dapat memberikan gambaran tentang posisi risiko operasional

perusahaan.

d. Limit Threshold, Limit threshold menunjukkan batas kerugian yang

dapat dijadikan ukuran toleransi risiko yang dapat diterima.

e. Scorecard, Scorecard merupakan suatu alat untuk mengkonversi

penilaian pengelolaan dan pengendalian berbagai aspek kerugian risiko

operasional yang bersifat kualitatif menjadi perhitungan yang bersifat

kuantitatif.

f. Analytical Hierarchy Process (AHP) / Pairwise Comparison, alat

bantu yang bermanfaat untuk menyederhanakan pola pikir

permasalahan yang ada, kemudian menghasilkan alternatif yang lebih

sederhana untuk memudahkan pengambilan keputusan.

2.3 Bentuk dan Klasifikasi Risiko Operasional

Berikut adalah beberapa Bentuk dalam risiko operasional, antara lain:

7
2.3.1 Bentuk Risiko Oprasional

Ada beberapa factor yang mampu memberi pengaruh pada terbentuknya

operational risk, yaitu:

1. Risiko pada Komputer (Computer Risk)

Risiko pada bidang computer ini biasa terjadi karena berbagai faktor

seperti faktor masuknya virus disebabkan oleh proteksi software yang

tidak memadai.

Oleh karena itu, ada beberapa risiko yang diperkirakan akan timbul

dalam bidang komputer yaitu:

a. Terjadinya perubahan data-data komputer karena faktor terserang oleh

virus, ada beberapa tindakan yang harus dilakukan oleh perusahaan,

yaitu:

1) Melakukan pemisahan data-data yang dianggap penting dan

kurang penting, seperti dengan memuat perangjat penting dan

tidak pentingnya suata data.

2) Membangun proteksi terhadap data dan berbagai informasi

lainnya, seperti dengan membuat password khusus dan hanya

orang-orang tertentu yang bias mengetahui.

b. Komputer adalah teknologi yang selalu mengalami perubahan

terutama pada setiap program yang ditawarkan, sehingga

mengharuskan kualitas IT dari para personelnya juga dapat di update

setiap waktunya dengan tujuan berbagai permasalahan yang akan

timbul di kemudian hari dapat dihindari.

8
c. Komputer adalah masuk dalam kategori IT yang memiliki nilai pasar

yang tinggi, sehingga setiap pergantian perangkat computer dan biaya

tenaga ahlinya selalu saja membutuhkan biaya yang tinggi.

2. Kerusakan Maintenance Pabrik

Bagi setiap perusahaan khususnya perusahaan yang memiliki mesin

sangat mengandalkan pada kualitas peralatannya dalam menunjang

produksi, maka biaya pada pemeliharaan, perawatan dan

pergantianperalatan pabrik bersifat rutin.

3. Kecelakaan kerja

Kecelakaan kerja terjadi pada saat suatu perusahaan tidak menerapkan

dan memberlakukan suatu konsep keselamatan dan jaminan bekerja

sesuai barang dengan aturan dan ketentuan yang berlaku.

Penghindaran biaya tersebut mencakup beberapa hal seperti:

a. Biaya asuransi kepada setiap karyawan yang harus dibayar setiap

bulannya.

b. Biaya tanggungan pada saat karyawan mengalami kecelakaan dan

pihak asuransi belum menyerahkan atau belum keluarnya ajuan klaim

asuransi yang diajukan.

c. Jika aturan tentang jaminan dan konsep keselamatan kerja

dicantumkan pada setiap kontrak kerja dengan para karyawan maka

jika perusahaan tidak mematuhi kesepakatan tersebut maka

memungkinkan untuk dituntut atau diajukan ke pengadilan di

kemudian hari karna faktor pelanggaran kontrak dan harus membayar

9
ganti rugi dengan jumblah yang sesuai dengan permintaan pihak

penggugat.

Atas dasar analisis diatas maka kita daoat menyimpulkan bebrapa

risiko dalam bidang kecelakaan yang akan dialami oleh suatu perusahaan

yaitu sebagai berikut:

a. Perusahaan harus memperbaiki sistem manajemen kerja yang telah

diterapkan selama ini karna dianggap tidak efektif, sehingga untuk

menyempurnakan konsep sistem manajemen kerja yang baik sebuah

perusahaan kangkala harus mengundang konsultan dalam bidang yang

bersangkutan sehungga pengalokasian anggaran untuk membayar

konsultan tersebut harus dipertimbangkan termasuk masa uji coba

sistem tersebut.

b. Bila kecelakaan kerja sering terjadi dan sering mendapat sorotan dari

pihak jurnalistik (pers) maka ini bias berakibat pada turunnya reputasi

perusahaan dimata konsumen dan mitra bisnis.

c. Jika perusahaan tidak menerapkan konsep keselamatan kerja dengan

baik maka pada saat mengajukan pinjaman ke perbankan akan

mengalami kendala.

d. Angka kecelakaan kerja setiap tahun selalu diumumkan baik oleh

pemerintah maupun oleh media cetak. Informasi tersebur menyebar ke

seluruh dunia sehingga citra perusahaan khususnya oemerintah yang

bersangkutan dimata intrnasional akan mengalami penurunan

reputasi, bahkan lebih jauh ini bisa diangkat sebagai salah satu

10
kampanye politik dari pihak oposisi untuk menyudutkan pemerintah

yang bersangkutan.

4. Kesalahan dalam Pembukuan Secara Manual (Manual Risk)

Risiko dalam bidang pembukaan secara manual sebenarnya terjadi

karna bebrapa sebab seperti:

a. Pembukaan secara manual ditulis atau dicatat umumnya di kertas,

sehingga pada saat suatu kantor mengalami kebanjiran, kebakaran,

kesalahan dalam tidak bisa atau sulit untuk mencari penggantinya.

b. Jika kesalahan dalam pencatat secara pembukuan terjadi maka

penyelesaian dan pencarian sumber masalahnya juga harus dilakukan

secara manual.

c. Setiap pengiriman informasi harus dilakukan melalui kantor pos atau

jasa pengiriman surat, sementara dengan penggunaan teknologi sudah

dapat dilakukan dengan cara email atau via internet.

5. Kesalahan Pembelian Barang dan Tidak Ada Kesepakatan Bahwa

Barang yang Dibeli Dapat Ditukar Kembali

Risiko seperti ini timbul pada saat kesepakatan dalam setiap

pembelian barang tidak diikuti dengan perjanjian bahwa barang tersebut

bisa di tukar kembali dan berbagai kesepakatan lainnya. Sehingga pada

saat kesepakatan tersebut tidak dibuat maka perusahaan harus mengalami

atau menanggung beberapa risiko kerugian, yaitu sebagai berikut:

a. Adanya barang yang sudah dibeli dengan harapan dapat terjual namun

tidak laku terjual dan tidak ada perjanjian barang tersebut bisa ditukar

11
sehingga perusahaan mengalami kerugian.

b. Pada saat barang sudah dijual namun ternyata ada sisa dan itu tidak

bisa ditukar dengan yang baru, maka ini memaksakan perusahaan

untuk menjualnya dengan harga yang murah dengan asumsi daripada

barang tersebut tidak dijual dipasaran atau mengalami kadaluarsa.

c. Perusahaan tidak bisa melakukan penghematan biaya, karena kontrak

dagang dengan para mitra bisnis bersifat tunai dan tidak ada konsep

service purna jual.

6. Pegawai Outsourcing

Penerimaan dan penempatan pegawai secara konsep outsourcing

memberi pengaruh besar bagi perusahaan baik secara jangka pendek dan

jangka panjang.

Pada saat ini banyak perusahaan yang menerapkan sistem outsourcing

dengan berbagai alasan yaitu sebagai berikut:

a. Biaya yang dikeluarkan lebih murah karena perusahaan tinggal

menghubungi lembaga penyalur kerja..

b. Pegawai yang berasal dari outsourcing dianggp lebih memiliki

kesiapan karena sudah dipersiapkan.

c. Perusahaan hanya memiliki dan bertanggung jawab kepada lembaga

penyalur tenaga kerja dan itu dilakukan sesuai dengan kontrak kerja

sama yang disepakati.

d. Tidak ada biaya fixed cost yang harus ditanggung dan dipersiapkan,

seperti pada saat pegawai tersebut akan pensiun maka harrus

12
menyiapkan uang pesangon atau dana pensiun.

e. Perusahaan bisa dengan mudah menggnti karyawan tersebut setelah

habis masa kontrak karena perjanjian dilakukan sesuai dengan isi

kontrak kerja.

Pada saat suatu perusahaan menerima pegawai yang bersifat

outsourcing maka ada beberapa risiko yang harus ditanggung oleh

perusahaan, yaitu:

a. Pegawai tersebut bukan pegawai tetap, dalam artian pegawai pegawai

tersebut tidak bekerja mhingga pensiun.

b. Rahasia perusahaan selama ia bekerja memungkinkan sekali untuk

diketahui oleh publik luar ketika ia tidak lagi bekerja di perusahaan

tersebut.

i. Globalisasi dalam Konsep dan Produk

Era globalisasi telah memberi perubahaan besar bagi konsep konsep

bisnis pada seluruh sektor bisnis, baik finansial dan non finansial,

sehingga penciptaan konsep produk dibuat untuk bisa menampung

keinginan globalisasi tersebut, jika tidak maka artinya produk tersebut

tidak akan laku di perusahaan secara baik. Mayarakat pada era sekarang

ini adalah sebuah bentuk dari struktur masyarakat global yang

menggunakan produk global dan menerapkan cara berfikir global.

Karena faktor itu perusahaan dituntut untuk menerapkan manajemen

yang berbasis konsep global yang secara tidak langsung mekanisme

operasional perusahaan juga harus bersifat global.

13
2.3.2 Klasifikasi Risiko Operasional

a. Risiko Produktivitas, Risiko produktivitas berkaitan dengan

penyimpangan hasil atau tingkat produktivitas yang diharapkan karena

adanya penyimpangan dari variabel yang mempengaruhi produktivitas

kerja. Termasuk di dalamnya adalah teknologi, peralatan, material, dan

SDM.

b. Risiko Teknologi, merupakan risiko teknologi berupa potensi

penyimpangan hasil karena teknologi yang digunakan tidak lagi sesuai

dengan kondisi.

c. Risiko Inovasi, merupakan risiko inovasi adalah potensi penyimpangan

hasil karena terjadinya pambaharuan, modernisasi, atau transformasi dalam

beberapa aspek bisnis.

d. Risiko Sistem, merupakan risiko ini merupakan bagian dari risiko proses,

yaitu potensi penyimpangan hasil karena adanya cacat atau ketidaksesuaian

sistem dalam operasi perusahaan.

e. Risiko Proses, merupakan risiko proses adalah resiko mengenai potensi

penyimpangan dari hasil yang diharapkan dari proses karena ada

penyimpangan atau kesalahan dalam kombinasi sumber daya (SDM,

keahlian, metode, peralatan, teknologi, dan material) dan karena perubahan

lingkungan. Kesalahan prosedur merupakan salah satu bentuk

perwujudan risiko proses.

14
2.4 Pengukuran dan Biaya Risiko Oprasional

2.4.1 Pengukuran Risiko Oprasional

Dalam pengukuraan resiko, menurut Hinsa Siahaan (2007:11), risiko

subjektif tidak dapat di ukur secara akurat. Tetapi sebaliknya, besarnya

risiko objektif lebih dapat diobservasi dan diukur secara tepat. Beberapa

konsep penting berkaitan dengan pengukuran risiko objektif adalah chance

of loss dan degree of risk.

a. Kemungkinan terjadinya kerugian (chance of loss)


Kemungkinan terjadinya kerugian dalam jangka panjang, atau frekuensi

relative kerugian, didefinisikan sebagai chance of loss. Konsep ini tidak

ada artinya jika digunakan untuk kemungkinan terjadinya satu kejadian.

b. Derajat Risiko (Degree of Risk)


Besarnya risiko objektif yang timbul dalam satu situasi, yang biasa juga

disebut sebagai derajat atau kadar risiko (degree of risk), adalah variasi

relative antara kerugian aktual dengan kerugian yang diharapkan.

2.4.2 Biaya Risiko Oprasional

Untuk mengatasi risiko operasional suatu perusahaan harus membuat

analisa pembiayan dalam bentuk materil dan non-materil yang

mencakup antara lai sebagai berikut:

1. Menghitung dan memetakan bentuk risiko yang sedang dan akan

dihadapi.

2. Memperhitungkan berapa biaya yang harus dialokasikan

menyangkut pengelolaan risiko.

3. Memutuskan darimana sumber dana yang dapat dialokasikan untuk

15
mendukung penyelesaian operational risk ini.

2.5 Strategi dan Penerapan Manajemen Risiko Oprasionl


2.5.1 Strategi Manajemen Risiko Oprasional
Efektifitas penerapan strategi ini setidaknya perlu didukung dengan

penguatan pada aspek-asppek manajemen risiko yang fokus pada

pengendalian individu dan struktur. Cakupan minimum untuk setiap

aspek pendukung tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pengawasan aktif manajemen

b. Sturktur organisasi dan pertanggungjawaban tiap unit organisasi

c. Pengendalian dan pemantauan

d. Pelatihan dan edukasi pada setiap jajaran pengambil keputusan.

2.5.2 Penerapan Manajemen Risiko Oprasional

Penerapan manajemen risiko untuk risiko operasional, baik secara

individual maupun bagi perusahaan mencakup hal-hal sebagai sebagai

berikut :

a. Pengawasan aktif dewan komisaris, direksi, dan DPS.

1) Kewenangan dan tanggung jawab dewan komisaris, direksi


serta DPS :

 Dewan komisaris dan direksi bertanggung jawab

mengembangkan budaya organisasi yang sadar terhadap risiko

operasional dan menumbuhkan komitmen dalam mengelola

risiko operasional sesuai dengan strategi bisnis perusahaan.

16
 Dewan komisaris memastikan bahwa kebijakan remunerasi

bank sesuai dengan strategi manjemen risiko.

 Direksi menciptakan kultur pengungkapan secara objektif atas

risiko operasional pada seluruh elemen organisasi sehingga

risiko operasional dapat diidentifikasi dengan cepat dan

dimitigasi dengan cepat.

 Dewan Pengawas harus melakukan evaluasi atas kebijakan

manajemen risiko khususnya aspek operasional.

2) Sumber daya insani

3) Organisasi manajemen risiko operasional

 Manajemen unit bisnis merupakan risk owner yang bertanggung

jawab terhadap proses manajemen risiko untuk risiko

operasional sehari-hai serta melaporkan permasalahan risiko

secara spesifik dalam unitnya sesuai jenjang pelaporan yang

berlaku.

 Dalam Satuan Kerja Manajemen Risiko (SKMR), dapat

membentuk unit independen untuk melaksanakan fungsi

manajemen risiko untuk risiko operasional secara menyeluruh.

 Untuk memfasilitasi proses manajemen risiko untuk risiko

operasional dalam penerapan unit bisnis atau unit pendukung

dan memastikan konsistensi penerapan kebijakan manajemen

risiko untuk risiko operasional (Rustam, 2013 :183).

17
b. Kebijakan, prosedur, dan penerapan limit

Melaksanakan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit

untuk risiko operasional. Dirasakan belum cukup unutuk

manajemen risiko operasional, perusahaan menambahkan

beberapa hal dalam tiap aspek kebijakan, prosedur, dan

penetapan limit, sebagai berikut :

1. Srategi manajemen risiko

2. Tingkat risiko yang akan diambil dan toleransi risiko

3. Kebijakan dan prosedur

4. Limit

c. Proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan

pengendalian risiko, serta informasi manajemen risiko

operasional

Penerapan beberapa hal dalam tiap proses yang dimaksud,

sebagai berikut:

1. Identifikasi dan pengukuran risiko operasional

2. Pemantauan risiko operasional

3. Pengendalian risiko operasional

4. Sistem informasi manajemen risiko operasional

18
BAB III

RISIKO YANG DIBAHAS

3.1 Studi Kasus

3.1.1 Sekilas Kasus

Pada 2009 juga menjadi awal mula cerita Sevel Indonesia masuk ke

Indonesia, tepatnya pada 7 November 2009, yang membuka di Bulungan,

Jakarta Selatan. Pada saat itu pula, bisnis ritel di Indonesia merupakan bisnis

yang memiliki prospek dan peluang sangat menjanjikan untuk beberapa

tahun mendatang.

Ekspansi juga terus dilakukan, di mana pada 2010 kembali melakukan

pembukaan gerai 7-Eleven yang ke-21 di Indonesia. Pada 2011, gerai Sevel

Indonesia menjadi 57, dan pada tahun ini juga dilakukan pembukaan PT

Fresh Food Indonesia). Pada 2012 pembukaan gerai 7-Eleven ke-100,

sampai Desember 2014 gerainya menjadi 190 gerai.

Meski memiliki banyak gerai, namun perjalanan bisnis usaha PT MSI ini

mengalami persaingan ketat dengan beberapa ritel dengan konsep bisnis

yang serupa seperti Lowson, Family Mart, Indomaret Poin, dan lainnya.

Tanda-tanda penurunan usaha bisnis 7-Eleven yang dilakukan MDRN

terlihat sejak Bulan April 2015, ditandai dengan kehilangan pendapatannya

dari penjualan alkohol dan makanan kecil, karena larangan penjualan

alkohol dari pemerintah. Selain itu, dari tahun 2015 hingga 2017, setidaknya

hampir sekitar 85 gerai ditutup, bahkan beberapa calon investor seperti New

19
Hope China, Berjaya Malaysia, dan PT CPRI mulai mengundurkan diri

terkait syarat berat yang diberikan SEI.

Usai mengalami kerugian, pada awal 2017 ada isu akuisisi 7-Eleven oleh

PT Charoen Pokphand Restu Indonesia (CPRI) yang merupakan entitas dari

PT Charoen Pokphand Indonesia (CPI) Tbk. Kedua perusahaan tersebut

telah menyepakati akuisisi dengan nilai Rp 1 triliun, kesepatakan tersebut

tertuang dalam Conditional Sales Purchase Agreement (CSPA).

Namun, kabar akuisisi tersebut batal terealisasi dikarenakan adanya

ketidaksepakatan. Informasi itu disampaikan oleh manajemen PT Modern

Internasional Tbk (MDRN) sebagai induk usaha dari PT Modern Sevel

Indonesia yang merupakan pemegang hak master franchise sevel di

Indonesia melalui keterbukaan informasi, Senin (5/6/2017).

Pembatalan akusisi itu juga berujung pada informasi penutupan gerai 7-

Eleven di Indonesia. Akhir bulan Juni 2017, PT Modern Sevel Indonesia

(SMI) resmi menutup seluruh gerai waralaba 7-eleven (sevel) yang

beroperasi di DKI Jakarta. Hal tersebut telah diumumkan sejak Jumat

(23/6/2017) oleh PT Moden Internasional Tbk (MDRN) melalui

keterbukaan informasi di bursa saham.

3.1.2 Riwayat Singkat Perusahaan

PT Modern Internasional Tbk resmi didirikan pada tanggal 12 Mei

1971 dan seiring perjalanannya Peru-sahaan telah beberapa kali

bertransformasi nama dan mengalami perubahan Anggaran Dasar yang

20
diberlakukan. Lahir dengan nama PT Modern Photo Film Company,

Perusahaan pertama kali berganti nama menjadi PT Modern Photo Tbk

pada tahun 1997, melalui entitas anak, juga menekuni bisnis ritel.

Melalui entitas anak, PT Modern Pu-tra Indonesia (MPI) yang

melakukan perubahan nama perusahaan per tanggal 2 Juni 2014 dengan

Akta No 01. menjadi PT Modern Sevel Indonesia ( MSI), pada 7

November 2009 Perseroan mengem-bangkan jaringan bisnis di bidang

Convenience Store melalui gerai waralaba 7-Eleven di Jakarta.

Indonesia adalah negara ke-17 di dunia yang mem-buka bisnis waralaba

7-Eleven. Hingga 31 Desember 2016 , jumlah outlet 7-Eleven mencapai

161 gerai. Kebutuhan masyarakat urban yang serba cepat dan

mengutamakan kecepatan pelayanan, kenyamanan dan kualitas produk

yang baik dan konsisten terus meningkat sehingga memberikan

peluang pasar yang menjanjikan untuk bidang usaha ritel ini kedepannya.

Adapun Visi, Misi dan Budaya Perusahaan antara lain:

Visi

Menjadi Convenience Store Terbaik di Indonesia.

Misi

Menciptakan Convenience Store yang dekat dengan customer dan

memenuhi kebutuhan mereka.

Budaya Perusahaan

“Servant Leadership” (Kepemimpinan yang melayani).

21
3.1.3 Struktur Group Perusahaan dan Organisasi

a. Struktur Grup Perusahaan

Sumber: Bursa Efek Indonesia

22
b. Struktur Organisasi Perusahaan

Sumber: Bursa Efek Indonesia

3.1.4 Posisi Keuangan Perusahaan


3.1.4.1 Neraca Keuangan dan Laporan Rugi/Laba

23
Sumber: Data Bursa Efek Indonesia

Pada Neraca Keuangan PT Modern Internasional tahun 2015, 2016 dan

2017 sudah menunjukan tanda-tanda kegagalan oprasional yang di tandai denga

menurunnya pertumbuhan total asset perusahaan dengan diikuti penurunan total

kewajiban dan ekuitas

3.1.4.2 Rasio Keuangan Perusahaan

Sumber: Data Bursa Efek Indonesia

Pada data diatas dapat dilihat bahwa EPS,DER,ROA, ROE dan NPM

perusahaan pada dua tahun terakhir mengalami depresiasi yang dalam arti

terjadinya kerugian yang besar pada perusahaan yang membuat rasio-rasio

24
untuk menilai kinerja perusahaan bernilai negatif. Ini salah satu penyebab

kegagalan oprasional perusahaan.

3.2 Identifikasi Risiko Oprasional Perusahaan

Dari studi kasus yang telah dipaparkan diatas, kemungkinan terjadiya

kebangkrutan pada gerai 7-Eleven dikarenakan ketidak mampuan manajer

atau pemangku keputusan untuk mengambil langkah dalam pengembangan

bisnis. Berikut fakto-faktor lain yang menyebabkan kegagalan oprasional 7-

Eleven yang kami soroti antara lain:

1. Gagalnya Transaksi dengan Charoen Pokpand

Seperti yang telah dipaparkan dengan singkat pada pembahasan

diatas PT Charoen Pokpand Restu Indonesia senilai Rp1 triliun akan

mengakuisisi 7-eleven secara perseroan, transaksi material perseroan

atas penjualan dan transfer segmen bisnis restoran dan convenience di

Indonesia beserta aset yang menyertainya. Namun, transaksi tersebut

batal karena tidak tercapainya kesepakatan atas pihak-pihak yang

berkepentingan.

2. Kurangnya Kemampuan Membangun Strategi Bisnis Ritel

Tutupnya waralaba 7-Eleven tidak berdampak pada gerai ritel

lainnya, ini membuktikan bahwa strategi bersaing yang masih tradisional

terbukti dengan masih berdirinya ritel-ritel lain yang mampu bersaing

dan tumbuhnya ritel-ritel baru yang serupa dengan konsep 7-eleven.

Salah satu ketidak mampuan Sevel untuk bersaing antara lain dengan

harga yang rendah dan terlalu cepatnya berekspansi yang menyebabkan

25
ritel yang lama belum berkembang tetapi dana harus dihabiskan untuk

mendirikan ritel baru serta tidak dinamisnya strategi bisnis karena

mengikuti standar Sevel Inc sehingga perlunya dana untuk melakukan

renovasi gerai demi persamaan standart.

3. Kurang Dana

Setiap perusahaan yang mengalami kebangkrutan ada sisi

kurangnya dana yang menjadi penyebab utamany tidak terkecuali 7-

eleven yang kekurangna dana dalam melakukan persaingan harga dengan

ritel-ritel lainnya.

4. Minim Dukungan Pemerintah

Salah satu menjadi kegagalan oprasional 7-eleven tidak terlepas dari

minimnya dukungan permerintah yang mengeluarkan kebijakan tentang

larangan peredaran penjualan makanan dan minuman yang mengandung

alkohol yang selama ini menjadi sumber penghasilan terbesar ritel 7-

eleven.

5. Salah Model Bisnis

Kesalahan dalam pengambilan keputusan dalam oprasional ritel

salah satu contoh konkritnya banyak orang berkunjung ke 7-eleven hanya

membeli satu produk dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk

nongkrong (red: kumpul bareng) sehingga menyebabkan volume

penjualan yang sedikit sementara biaya oprasional listrik yang digunakan

untuk mengisi baterai tidak termasuk dalam penjualan.

26
3.3 Jumlah Kerugian

1. Kerugian Finansial

PT Modern Sevel Indonesia tercatat masih memiliki utang sekitar Rp

597 miliar kepada sejumlah bank, terdiri dari utang jangka pendek sebesar

Rp238 miliar dan utang jangka panjang sebesar Rp358,72 miliar, sisa

pinjaman Sevel pada Bank Mayapada tercatat sebesar Rp1,29 miliar dengan

bunga sebesar 16,5 persen per tahun. Pinjaman tersebut, dijamin dengan hak

tanggungan dari beberapa bidang tanah dan bangunan yang dimiliki Modern

Sevel. Sevel juga masih memiliki sisa utang kepada Standard Chartered

Bank Cabang Singapura sebesar Rp243,96 miliar, CIMB Niaga Rp187,6

miliar, dan Bank Mandiri Rp164,33 miliar. Modern Internasional pada

kuartal pertama tahun ini tercatat mengalami kerugian sebesar Rp477 miliar

pada kuartal pertama tahun ini. Kerugian tersebut mencapai lebih dari

separuh kerugian perseroan pada sepanjang tahun lalu yang mencapai

Rp663 miliar

2. Kesempatan Kerja

Tercatat PT. Modern Internasional Tbk telah memecat sekitar 1300

karyawan 7-Eleven yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).

Sejak menutup seluruh gerai 7-eleven pada 30 Juni 2017, Modern

menyatakan telah menghubungi Dinas Ketenagakerjaan untuk berkonsultasi

mengenai pemenuhan hak dan kewajiban karyawan. Kejadian ini

meyebabkan bertambahnya tingkat pegangguran.

27
3. Penutupan Gerai

Tepatnya pada 7 November 2009, yang membuka di Bulungan, Jakarta

Selatan. Ekspansi juga terus dilakukan, di mana pada 2010 kembali

melakukan pembukaan gerai 7-Eleven yang ke-21 di Indonesia. Pada 2011,

gerai Sevel Indonesia menjadi 57, dan pada tahun ini juga dilakukan

pembukaan PT Fresh Food Indonesia). Pada 2012 pembukaan gerai 7-

Eleven ke-100, sampai Desember 2014 gerainya menjadi 190 gerai, dan

pada tertanggal 30 juni 2017 seluruh gerai tersebut resmi tutup dikarenakan

gagal oprasional.

3.4 Cara Mengelola Risiko

Dalam hal ini kami menyoroti beberapa hal yang harus dilakukan oleh 7-

eleven yang pengelolaan risiko di masa depan kepada gerai lainnya yang masih

tersebar diberberapa negra berhubung ritel ini cukup berkembang pesat di

negara lain seperti Jepang, China, Hongkong, Amerika dan negara lainnya.

Antara lai sebagai berikut:

a. Lokasi Usaha

Seharusnya untuk menghindari kerugian, dari awal penetapan strategi

lokasi harus strategis, jika konsep ritel seperti 7-eleven lebih pas

dibangun di lokasi yang terdapat banyak anak muda didaerah tersebut

mengingat terdapat tempat terrence tempat bersaintai di setiap gerainya.

Serta untuk membangun gerai sebaiknya harus menganalisis pesaing

lain pada daerah tersebut agar tidak tertekan harga oleh peritel lainnya.

28
b. Diversifikasi Produk

Dalam persaingan ritel pentingnya untuk mendiversifikasikan produk

dikarenakan ini yang akan menjadi penyumbang dana oprasional

kerberhasilan. Dapat diketahui jika 7-eleven hanya menjual makan,

minuman cepat saji dan tidak menjual barang-barang grocery (bahan

dapur) yang sebenarnya banyak peminat pada barang-barang tersebut.

c. Harga Bersaing

Harga merupakan hal yang paling banyak di cari oleh konsumen,

sebaiknya harga mampu menyaingi harga ritel lainnya. Seperti yang kita

ketahui bahwa harga sebotol air mineral di 7-eleven terhitung sangat

mahal jika di bandingkan dengan ritel lainnya. Ada baiknya dengan

menurunkan harga komoditas sehingga dapat bersaing dengan

kompetitor linnya.

d. Pelayanan

Pelayanan salah satu hal yang dicari oleh pembeli/konsumen yang mana

pelayanan pada gerai-gerai 7-eleven belum bisa dikatakan baik,

dikarenakan masih banyaknya meja, kursi yang kotor, parkir yang tidak

tersedia dan pelayanan yang kurang ramah.

3.5 Peta Risiko

Peta risiko, merupakan gambaran secara visual risiko-risiko yang dihadapi

suatu perusahaan, dalam satu materiks dua sumbu, yaitu sumbu probability

(kemungkinan) dan dampak risiko. Peta risiko dapat juha berfungsi sebagai

29
dashboard bagi manajemen yang memperlihatkan posisi risiko, pada kondisi

inheren dan residual.

Dalam proses penilaian risiko ini dilakukan penilaian terhadap risiko-risiko

yang ada dalam Perusahaan, mencakup penilaian terhadap dampak (impact)

apabila suatu risiko terjadi, serta kemungkinan kejadiannya (likelihood) suatu

risiko. Langkah selanjutnya yaitu dengan melakukan pemetaan resiko, dimana

resiko disusun berdasarkan kelompok tertentu sehingga manajemen dapat

mengidentifikasi karakter dari masing-masing risiko dan menetapkan tindakan

yang sesuai terhadap masing-masing resiko.

Teknik pemetaan yang digunakan adalah pemetaan dua dimensi, yaitu

kemungkinan terjadinya resiko dan dampaknya bila resiko tersebut terjadi.

Dimensi pertama adalah kemungkinan kejadian (likelihood), yang menyatakan

tingkat kemungkinan suatu resiko akan terjadi. Semakin tinggi kemungkinan

suatu risiko terjadi, semakin perlu mendapat perhatian. Sebaliknya, semakin

rendah kemungkinan suatu risiko terjadi, semakin rendah pula kepentingan dari

pihak manajemen perusahaan untuk memberi perhatian pada risiko yang

bersangkutan. Pada penelitian ini dimensi kemungkinan dibagi ke dalam lima

kategori, yaitu almost never, unlikely, possible, likely, dan almost certain

seperti terlihat pada

30
Tabel 1. Deskripsi Kemungkinan Terjadinya Resiko (Likelihood)

Kemungkinan (Likelihood)
No Level Deskripsi
1 almost never Hampir Tidak Pernah Terjadi
Kemungkinan Terjadi Ada Tetapi Kecil
2 unlikely
(Jarang)
3 possible Mungkin Saja Terjadi (Kadang-Kadang)
4 Likely Kemungkinan Besar Terjadi (Sering)
5 almost certain Hampir Selalu Terjadi (Sangat Sering)
Tabel 2. Deskripsi Dampak Resiko (Impact)

Dampak (Impact)
No Level Deskripsi
1 Minor Dampaknya Sangat Kecil
2 Moderate Dampaknya Kecil
3 Severe Dampaknya Cukup Besar
4 Major Dampaknya Besar
5 Worse Case Dampaknya Sangat Besar

Dari kedua tabel deskripsi tersebut, dapat dihasilkan suatu matriks

kemungkinan dan dampak yang terbagi dalam 5 kuadran sesuai dengan level

prioritas penanganan, seperti pada tabel matriks berikut:

31
Tabel 3. Matriks Dampak dan Kemungkinan Resiko

Keterangan:

Jika dilihat dari kasus PT. Moderen Sevel Indonesia yang membawahi ritel 7-

Eleven ini dapat dikategorikan pada pemetaan resiko di posisi Unlikely

(Kemungkinan ada terjadi tetapi sedikit) jika saja pemangku kepentingan dapat

menganalisis pasar dengan baik dan lebih dinamis lagi dalam pengembangan

bisnis waralaba karena runtuhnya ritel 7-eleven terjadi karena ketidak

dinamisan terhadap persaingan pasar dan tidak terlalu kaku untuk mengikuti

demand pasar di Indonesia maka risiko oprasional yang diderita oleh

perusahaan dapat diatasi dengan memetakan risiko-risiko yang kemungkinan

terjadi kedepannya.

32
BAB IV

KESIMPULAN

Risiko Operasional umumnya bersumber dari masalah internal perusahaan,

dimana risiko itu terjadi disebabkan oleh lemahnya sistem kontrol manajemen

(management control sytem) yang dilakukan oleh pihak internal perusahan.

Ada beberapa faktor yang mampu memberi pengaruh pada terbentuknya

risiko operasional, yaitu: human error, kerusakan peralatan pabrik, kecelakaan

kerja, kesalahan dalam pembukuan secara manual, kesalahan pembelian dan

tidak ada kesepakatan bahwa barang yang dibeli dapat ditukar kembali, pegawai

outsourcing, globalisasi dalam konsep dan produk.

Factor yang menyebabkan perubahan karateristik resiko operasional, yaitu:

globalisasi, otomatisasi, Terlalu Mengandalkan Teknologi, Outsourcing,

Perubahan Budaya Masyarakat.

Dalam kasus ini penyebab terjadinya gagal oprasional pada entitas yang di

teliti di karenakan ketidak fleksibelan perusahan dalam menghadapi persaingan

dan tidak mampunya pemangku keputusan untuk menganalisis selera konsumen

pada periode tertentu. Maka dengan ketidak mampuan itu menyebabkan

gagalnya 7-eleven yang merupakan entitas anak perusahaan PT Moderen

International tbk.

33
DAFTAR PUSTAKA

Leo J. Susilo.2010.Manajemen Risiko Berbasis ISO 31000 (Edisi Revisi). Bandung:

Indonesia Publishing House.

https://kumparan.com/@kumparanbisnis/kronologi-di-balik-kebangkrutan-7-

eleven

kumparanBISNIS, dipublikasikan 18 Juli 2017 - 06:34

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3545042/perjalanan-7-eleven-

di-ri-dari-booming-hingga-tutup , dipublikasikan 01 Jul 2017 12:50 WIB

https://economy.okezone.com/read/2017/07/06/320/1730531/tren-bisnis-fakta-

kebangkrutan-7-eleven-hingga-janji-manis-ketua-ojk-wimboh-santoso,

dipublikasikan Jum'at 07 Juli 2017 06:14 WIB

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170630131623-92-224901/tutup-

seluruh-gerai-7-eleven-punya-utang-bank-rp-597-miliar, dipublikasikan Jumat,

30/06/2017 13:30 WIB

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3545042/perjalanan-7-eleven-

di-ri-dari-booming-hingga-tutup, dipublikasikan Sabtu, 01 Jul 2017 12:50 WIB

http://thawonk.blogspot.co.id/2016/11/risiko-operasional.html?m=1,

dipublikasikan Selasa, 08 November 2016 07:17 WIB

idx.co.id

Studi Pustaka

34

Anda mungkin juga menyukai