Anda di halaman 1dari 42

MANAJEMEN RISIKO ( EKM 411 )

“ METODE PENGUKURAN RISIKO OPERASIONAL DAN MANAJEMEN RISIKO


OPERASIONAL ”

Disusun Oleh :
Ni Kadek Ayu Tisnawati 2007521066
Gusti Ayu Peby Karmila Aryaningrat 2007521064
Kadek Joe Florida Subrata 2007521116

Diserahkan Kepada
Dosen Pengampu Mata Kuliah Manajemen Risiko
Dr. Made Reina Candradewi, S.E., M.Sc.

PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas paper yang berjudul “Metode Pengukuran Risiko Operasional Dan
Manajemen Risiko Operasional” dengan tepat waktu. Paper ini disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Manajemen Resiko. Selain itu, paper ini disusun dengan harapan besar agar dapat
berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan pembaca mengenai Metode
Pengukuran Risiko Operasional Dan Manajemen Risiko Operasional.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu reina selaku dosen pengampu Mata Kuliah
Manajemen Risiko Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga
disampaikan untuk semua pihak yang telah membantu selama proses pengerjaan tugas ini.
Diharapkan, tugas ini dapat membawa manfaat ke setiap orang. Penulis menyadari bahwa masih
banyak kekurangan dalam penyusunan paper ini. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan paper ini.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2

1.1 Latar Belakang...................................................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................................4

1.3 Tujuan................................................................................................................................................4

1.4 Manfaat..............................................................................................................................................5

BAB II.........................................................................................................................................................6

PEMBAHASAN.........................................................................................................................................6

2.1 Definisi Risiko Operasional...............................................................................................................6

2.2 Pengukuran Risiko Operasional.........................................................................................................9

2.3. Perubahan Karakteristik Resiko Operasional..................................................................................20

2.4 Manajemen Risiko Operasional.......................................................................................................23

BAB III......................................................................................................................................................36

PENUTUP.................................................................................................................................................36

3.1 Kesimpulan......................................................................................................................................36
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengendalian risiko merupakan permasalahan yang sering dilupakan disebabkan peluang
terjadinya risiko tidak dapat langsung diamati secara jelas. Oleh sebab itu diperlukan penerapan
manajemen risiko dalam menjalankan suatu aktivitas usaha, karena sejak aktivitas tersebut
dimulai maka elemen risiko-risiko pun akan muncul. Manajemen risiko merupakan suatu
kegiatan untuk mengenali risiko yang dihadapi oleh sebuah entitas bisnis dan bagaimana
mengontrol risiko tersebut. Tujuan utama manajemen risiko adalah menjaga agar aktivitas
operasional yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian yang melebihi kemampuan entitas
bisnis untuk menyerap kerugian tersebut ataupun membahayakan kelangsungan usahanya. Salah
satu elemen risiko yang pasti akan muncul dalam aktivitas hidup usaha pada suatu entitas bisnis
adalah risiko operasional, dan juga merupakan risiko tertua dan bersifat inheren yang muncul
sebelum risiko yang lainnya (Muslich, 2007).
Risiko operasional secara umum dapat didefinisikan sebagai risiko kerugian yang berasal
dari ketidakcukupan atau kegagalan proses internal, berkaitan dengan masyarakat dan sistem
atau dari faktor internal dan eksternal. Pengendalian risiko operasional sangatlah penting karena
kegagalan dalam mengelola risiko operasional akan berdampak buruk bagi aktivitas usaha, dari
berkurangnya keuntungan yang didapat hingga bangkrutnya perusahan. Bahkan krisis keuangan
yang terjadi pada tahun 2008 sebagian besar disebabkan oleh serangkaian kegagalan dalam
mengelola manajemen risiko operasional (Society of Actuary, 2009).
1.2 Rumusan Masalah

1.2.1. Apa itu definisi dari resiko operasional ?

1.2.2. Bagaimana pengukuran resiko operasional ?

1.2.3. Bagaimana perubahan karakteristik resiko operasional ?

1.2.4. Apa itu manajemen resiko operasional ?

1.3 Tujuan

1.3.1. untuk mengetahui defines dari resiko operasional


1.3.2. untuk mengetahui pengukuran resiko operasional

1.3.3. untuk mengetahui perubahan krakteristik resiko operasional

1.3.4 untuk mengetahui manajemen resiko operasional

1.4 Manfaat

1.4.1. Bagi penulis, makalah diharapkan dapat menambah wawasan terkait metode
pengukuran resiko operasional dan manajemen resiko operasional

1.4.2. Bagi pembaca, makalah diharapkan mampu dijadikan referensi yang dapat
menambah wawasan dan pengetahuan terkait metode pengukuran resiko operasional dan
manajemen resiko operasional

1.4.3 Bagi masyarakat, makalah ini diharapkan mampu menambah wawasan masyarakat
terkait metode pengukuran operasional dan manajemen resiko operasional

5
berbagai perusahaan.
Terutama perusahaan yang
tidak melakukan
tindakan apa-apa, bahkan
tindakan preventif pun tidak
dilakukan.
Perusahaan ini tidak melakukan
tindakan untuk pencegahan
risiko yang
akan timbul nantinya.
Kondisi terjadinya risiko
operasional (operasional risk)
sangat
dipengaruhi oleh bagus dan
rendahnya kematangan
manajemen yang
dimiliki oleh manajer suatu
perusahaan. Seorang manajer
dalam
mengambil setiap keputusan
harus selalu memikirkan
dampak yang akan
timbul baik secara jangka
pendek maupun jangka
panjang. Seperti jika
ingjin menaikkan jumlah
produksi atau menambah
karyawan baru. Jika
jumlah produksi ditingkatkan
apakah persediaan bahan baku
di gudang
dan di pasaran tersedia
dalam jumlah yang
mencukupi, serta apakah
bahan baku yang dimiliki
memeiliki kualitas yang
sama untuk masa
produksi secara jangka panjang.
Misalnya untuk menambah
produksi saos cabe (chili souce)
bagi
seoreang manajer produksi
harus memperhatikan dengan
betul-betul jika
pasaran cabe dipasaran selalu
berada dalam kondisi normal
price (harga
normal) dan jika harga cabe
menuju kepada kondisi harga
tidak normal
maka apa antisipasi yang harus
dilakukan oleh seorang manajer
produksi
agar operasional produksi tidak
terhenti dan order pembelian
dapat terus
dilakukan
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Definisi Risiko Operasional
Risiko operasional merupakan tipe rissiko yang paling “tua” mengapa dikatakan
paling “tua” karena praktis manajer berhadapan dengan masalah operasional sejak
kegiatan perusahaan/organisasi dimulai (bahkan sebelum dimulai), tetapi paling sedikit
diahami dibandingkan dengan tipe risiko lainnya (misal risiko pasar atau tingkat bunga).
Perusahaan sudah mengenali risiko operasional meskipun dengan nama yang berbeda.
Sebagai contoh, perusahaan sudah ama mengenali kemungkinan kesalahan pencatatan,
system pengawasan internal yang kurang memadai, kegagalan system computer, seragan
virus, kecelakaan kerja, serangan bom oleh teroris, dan lainya. Risiko-risiko tersebut
merupakan contoh risiko operasional. Risiko-risiko tersebut merupakan risiko yang
‘inherent’, yaitu risiko yang muncul karena perusahaan menjalankan bisnisnya.
Perusahaan sudah lama menyadari risiko tersebut dan mengantisipasinya, meskipun tidak
dengan nama manajemen risiko. Sebagai contoh, perusahaan selalu berusaha
memperbaiki training kepada karyawannya agar mereka semakin terlatih dan semakin
sedikit membuat kesalahan. Dalam konteks manajemen risiko, upaya tersebut bias
dipandang sebagai upaya untuk mengelola tau menurunkan risiko operasional

Basel II (lembaga yang mengatur perbankan internasional) mendefinisikan risiko


operasional sebagai risiko yan timbul karena kegagalan dari proses internasional,
manusia, system, atau dari kejadian eksternal. Nampak bahwa definisi tersebut
mencangkup hal yang sangat luas. Tetapi pengelompokan semacam itu bermanfaat
karena bias memberikan pengetahuan menganai sumber-sumber dari risiko operasional.

Sebagai ilustrasi pada akhir November 2001, seorang kayawan UBS Warburg,
bank dari Swiss, melakukan kesalahan dalam perdagangan saham di Tokyo, Trader
tersebut memasukkan order menjual saham Dentsu sebanyak 610.000 lembar dengan
harga 16 yen per lembar saham , meskipun system computer sudah menanyakan ulang
order tersebut. Padahal seharusnya dia menjual 16 lembar saham Dentsu dengan harga
610.000 yen. Dengan kata lain, deengan menjual terlalu murah. Sebagai akibatnya USB
Warburg mengalami kerugian sebesar 50 jutaaa dolar Amerika Serikat. Berdasarkan
ilustrasi tersbeut menggambarkan perusahaan yang mengalami kerugian besar karena
gagal mengantisipasi dan mengelola risiko operasional.

Kegagalan Proses Internal

Risiko kegagalan proses internal merupakann risiko yang berkaitan dengan


kegagalan proses atau proseedur internal orgaisasi. Beberapa contoh risik trsebut adalah:
 Risiko yang diakibatkan kurang lengkapnya dokumentasi, atau dokumentasi yang
salah.
 Kesalahan transaksi
 Pengawasan yang kurang memadai
 Pelaporan yang kurang memadai sehingga kepatuhan terhadap peraturan internal
dan eksternal tidak terpenuhi.

Baring Bank merupakan contoh yang menarik sebagai ilustrasi bagaimana


kegagalan mengelola risiko operasional akan mempunyai akibat yang serius terhadap
organisasi. Kisah Baring Bank tersebut menjadi cerita klasik yang selalu
dibicarakann di kelas manajemen risiko. Kesalahan Baring Bank adalah terlalu
mempercayai salah seorang Trader mereka yaitu Nick Leeson. Nick Leeson bias
mengerjakan dua fungsi sekaligus yaitu fungsi front office (sebagai trader) dan fungsi
back office (melakukan pencatatan atas transaksinya). Ketika dia memperoleh
keuntungan, dia akan mencatatkan keuntungan tersebut. Tetapi ketika ia mengalami
kerugian dari perdagangannya, ia tentu saja tidak akan mencatat kerugiannya.
Akibatnya kerugian dari trading-nya tidak terawasi oleh bank, sampai akhirnya
kerugiannya mencapai $1,3 miliar. Dengan kerugian sebesar itu, praktis modal bank
akan habis untuk menutup kerugian tersbut. Bank sudah bangkrut dalam situasi
tersebut. Karena ia melakukan perdagangan atas nama bank, maka bank yang harus
mananggung akibatnya. Kenapa dia begitu dipercaya? Salah satu kemungkinannya
adalah karena dia ‘star trader’. Pada tahun tertentu dia bias membrikan keuntungan
dari perdagangannya mencapai 25% dari total keutungan Baring Bank. Dengan
situasi semacam itu banyak yang menganggap bahwa dia adalah pahlawan yang
penuh keberuntugan, dan melupakan risiko atau kemungkinan kerugian dari transaksi
perdagangannya, yang mempunyai risiko yyang sangat tinggi.
Risiko Kegagalan Mengelola Manusia (Karyawan)
Karyawan meupakan asset penting bagi perusahaan, tetapi juga merupkan sumber
risiko operasionaal bagi perusahaan. Risiko dari karyawan tersebut akan terjadi baik
secara sengaja maupun tidak sengaja. Contoh transaksi yang salah di bank UBS Warburg
merupakan contoh kesalahan yang tidak disengja. Contoh kesalahan yang sengaja adalah
penggelapan kas perusahaan atau kasus pembobolan bank yang dilakukan dengan
melibatkan karyawan internal. Risiko manuia tersebut mencakup wilayah operasional,
system, pegawasan, lainnya. Risik penggelapan uang perusahaan setidaknya mencakup
wilayah system pengawasan (departemen akuntansi), prosedur operasional, kualifikasi
karyawan yang kurang (moral yang tidak baik).
Beberapa contoh risiko operasional yang berkaitan atau bersumberr dari manusia
adalah:
 Kecelakaan kerja, khususnya kecelakaan kerja karena kecerobohan aatau kurang
pegalaman dari karyawan.
 Terlalu tegantung pada karyawan kunci tertentu, sehingga jika karyawan tersebut
meninggal atau berpindah kerja, perusahaan menghadapi masalah.
 Integritas karyawan yang kurang, sehingga karyawan tersebut bias menggelapkan
uang perusahaan, atau melakukaan aktivitas yang berada di luar wilayah
otoritasnya.

Risiko manusia tersebut mengharuskan prusahaan untuk mempunyai kaaryawaan


yang mempunyai kualifikasi, pengalaman, dan integritas yang diperlukan.

Risiko Sistem

System teknologi bias memberikan kontribusi yang signifikasi bagi organisasi, di


lain pihak, siste tersebut akan memunculkan risiko baru organisasi. Jika perusahaan
terlalu tergantung pada system computer, misalnya maka risiko yang berkaitan dengan
kerusakan kmputr akan semaki tinggi. Beberapa risiko yang muncul berkaitan dengan
system adalah:

 Kerusakan data
 Kesalahan pemograman
 System keamanan yang kurang baik (misal bias dimasuki oleh hecker)
 Penggunaan teknologi yang belum teruji
 Terlalu mengandalkan model tertentu untuk keputusn

Sebagai contoh, pada waktu The Long Term Capital mengalami kehancuran
karena mempunyai posisi yang sangat besar pada Rubel Rasia. Model matematika
mereka memprediksi profitabilitas kejadian semacam itu adalah 0,000001. Tetapi
kejadian tersbut tetap terjadi, sehingga mengejutkan mereka.

Risiko Eksternal
Risiko eksternal berkaitan dengan kejadian yang bersumber dari luar organisasi
dan dari luar pengendalisan organisasi. Kejadian semacam itu biasanya jarang terjadi.
Tetapi mempunyai dampak yang cukup bessar (frekuesi rendah/severity tinggi). Beberapa
contoh risiko eksternal adalah perampokan, serangan teroris, berencana alam.

2.2 Pengukuran Risiko Operasional


Salah satu teknik untuk mengukur risiko operasional adalah dengan menggunakan dua
klasifikasi berkut ini.
a. Frekuensi atau profitabilitas terjadinya risiko
b. Tigkat keseriusan kerugian atau inpact dari risiko tersebut.

Dengan menggunakan dua dimensi tersebut, kita bias membuat matriks frekuensi/tingkat
keseriusan untuk risiko-risiko yang ada, termasuk risiko operasional. Berikut ini contoh
aplikasi matriks tersebutt untuk risiko gagal bayar (default) dan kesalahan pemrosesan
transaksi.

Bagan dibawah berikut ini menunjukkan matriks dengan dimensi frekuensi di sumbu
horizontal dan dimensi severity pada sumbu vertical. Sebagai contoh, risiko gagal bayar
dari debitur perusahaan biasanya jarang terjadi. Karena itu risiko tersebut diklasifikasikan
sebagai risiko dengan frekuensi rendah. Tetapi jika terjadi, kerugian yang timbul bias
sangat besar. Karena itu risiko tersebut diklasifikasikan dengan severity tinggi. Gabungan
antara frekuensi rendah dengan severity tinggi terlihat pada titik C pada bagian di atas.
Sebaliknya, kesalahan pemrosesan atau kesalahan pencatatan transaksi akan sering terjadi
(apalagi jika proses pencatatan masih secara manual). Tetapi tingkat severity dari
kesalahan tersebut tidak terlalu tinggi. Karena itu risiko kesalahan pemrosesan berada
pada titik A. Dengan proses semacam itu, kita bisa memperoleh gambaran mengenai
frekuensi dan severity dari suatu risiko, yang selanjutnya mempunyai implikasi pada
bagaimana mengelola risiko tersebut. Sebagai contoh, berikut ini strategi menghadapi
risiko berdasarkan matriks severity (significance)/frekuensi (likelihood)

Perhatikan bahwa matriks likelihood (frekuensi) dan signifikansi (severity)


dikelompokkan ke dalam empat kuadran,yaitu:

1. Signifikasi (severity) rendan dan likelihood (frekuensi) rendah


2. Signifikasi (severity) tinggi dan likelihood (frekuensi) rendah
3. Signifikasi (severity) rendah dan likelihood (frekuensi) tinggi
4. Signifikasi (severity) tinggi dan likelihood (frekuensi) tinggi

Penentuan tinggi rendah severity atau frekuensi bisa dilakukan melalui berbagai cara.
Sebagai contoh, severity atau frekuensi yang ebih besar dibandingkan median atau rata-
rata dari risiko yang ada dalam daftar dikelompokkan ke dalam severity atau frekuensi
tiggi, dan sebaiknya. Penentuan tinggi renndah tersebut bisa dilakukan melalui
perhitungan angka absolute atau bisa melalui survei terhadap manajer-manajer
perusahaan.
Melalui pertayaan-pertanyaan seperti itu teridentifikasi letak masing-masing risiko
berdasarkan dimensi signifikansi dan kemungkinan. Selanjutnya, stategi yang tepat bisa
dirumuskan untuk mengelola risiko tersebut.

1. Signifikani (severity) rendah likelihood (frekuensi) rendah: low control


Perusahaan bisa menerapkan pengawaan yang rendah terhadap risiko pada
kategori ini. Pengawasan yang terlalu berlebihan
2. Signifikansi (severity) tiggi dan likelihood (frekuensi) rendah : detect and
monitor
Tipe risiko seperti ini lebih “menantang” untuk dihadapi. Jika risiko seperti ini
muncul, perusahaan bisa mengalami kerugian yang cukup besar, dan
berangkali bisa mengakibatkan kebangkrutan. Tetapi frekuensi risiko tersebut
relative jarang, sehingga tidak mudah ditemui atau dikenali oleh bank. Karena
risiko tipe ini paling sulit dipahami karakteristinya, dan sulit diprediksi kapan
datangnya. Sebagai contoh, Barang gagal melakukan pengawasan terhadap
trading yang di luar batas oleh salah satu seorang trader-nya, kemudian terjadi
kerugian yang mengakibatkan kebangkrutan bank tersebut. Frekuensi risiko
semacam itu relative jarang ditemui.
3. Signifikansi (severity) rendah dan likelihood (frekuensi ) tinggi: monitor
Tipe risiko semacam ini sering muncul tetapi besarnya kerugian relative kecil.
Biasanya risiko semacam ini muncul sebagaai akibat perusahaan menjalankan
bisnisnya. Dengan kata lain, risiko semacam ini merupakan kosekuensi
perusahaan menjalankan bisnisnya. Sebagai contoh, untuk perusahaan super
market, ada risiko shoplifting (pencurian oleh nasabah), pencuria oleh
karyawan, barang dagangan rusak karena busuk atau karena botol pecah.
Risiko smacam itu lebih mudah dikenal, dan perusahaan bisa memasukkannya
ke dalam komponen harga. Kebanyakan perusahaan memasukkan biaya
seperti itu ke dalam struktur harga mereka. Perusahaan bisa memonitor risko-
risiko tersebut untuk memastikan bahwa risiko tersebut masih berada pada
wilayah ‘normal’. Jika risiko tersebut bergrak melebihi batas tertentu, maka
perusahaan perlu melakukan tindakan untuk menangani risiko tersebut.
Sebagai contoh, jika frekuensi pencurian oleh nasabah supermarket
menunjukkan kecenderungan meningkat,maka manajer perlu melakukan
perbaikan. Perbaikan-perbaikan tersebut pada intinya memperbaiki prosedur
dan proses bisnis. Sebagai contoh, dalam kasus pencurian di atas, manajer
supermarket bisa meminta nasabah untuk meninggalkan tas, memasang
kamera di supermarketnyaa, memasang barcode pada setiap produk yang
dipajang (sehingga jika dilepas dan melewati tiang scanner akan berbunyi).
4. Signifikansi (severity) tinggi dan likelihood (frekuensi) tinggi: prevet at
source
Tipe risiko ini praktis tidak relevan lagi dibicarakan, karena jika situasi
semacam ini terjadi, berarti perusahaan tidak lagi bisa mengendalikan risiko,
dan bisa berakibat pada kebangkrutan. Sebagai contoh, jika suatu perusahaan
tidak bisa mengendalikan risiko penggelapan uang dalam jumlah besar oleh
karyawanya (tiper risiko ini berada dalam kuadran frekuensi
rendah/sigifikansi tinggi), maka ada kemungkinan risiko ini berubah
menujukuadran frekuensi tinggi/signifikansi tinggi. Jika hal tersebut terjadi,
maka perusahaan praktis akan bangkrut dalam waktu sinkat. Dengan
perspektif semacam itu, maka tugas manajemen risiko adalah mencegah
migrasinya risiko-risikoo yang ada dalam kuadran frekuensi
tinggi/signifikansi tinggi.

Alterntif lain dapat menggunakan penggolongan semacam ini


Strategi untuk menghadapi risiko untuk wilayah-wilayah tersebut adalah seperti berikut
ini

Wilayah 1. Severity tinggi dan frekuensi tinggi : immediate action

Untuk wilayah ini, perusahaan harus melakukan penanganan yang agresif


dan segera (immediate action)

Wilayah 2. Severity tinggi dan frekuensi agak tinggi : immediate attention

Untuk wilayah ini, perusahaan harus segera mengawasi risiko ini


(immediate attention)

Wilayah 3. Severity agak tinggi frekuensi agak tinggi : periodic attention

Untuk wilayah ini, perusahaan bisa melakukan pengawasan secara


berkalaa (periodic attention)

Wilayah 4 severity rendah dan frekuensi rendah : annual evaluation

Untuk wilayah ini, perusahan bisa lebih longgar, yaitu melakukan


pengawasan dengan jangka waktu panjang, missal tahunan.

Aspek dinamika risiko juga perlu diperhatika. Risiko bisa berubah dari wilayah 4 ke
wilayah lainnya, missal ke wilayah 2. Sebagai contoh, risiko tuntutan hukm barangkali
tidak begitu kelihatan di masa lalu. Tetapi dengan semakin sadarnya masyarakat akan hak
dan kewajibannya, risiko terebut bisa berubah menjadi semakin penting

2. Menghitung kerugian yang diharapkan


a. Perhitungan langsung
Misalkan kita ingin menghitung kerugian yang diharapkan jika risiko tertentu
muncul. Dengan menggunakan kerangka probabilitas (frekuensi) dan severity
kerugian yang diharapkan adalah:

Kerugian yang diharapka = Frekuensi (probabilitas) × severity (besranya kerugian)


Misalkan kita mengumpulkan data historis untuk melihat kecelakaan kerja. Berikut
ini data bulanan selama 12 bulan

Data tersebut menunjukkan rata-rata kecelakaan setiap bulannya adalah 5,25 kali
dengan rata-rata nilai kerugian sekitaf Rp 12,6 juta perbulannya atau Rp 2.412.698
(152.000.000/63). Berapa kerugian yang diharapka dari kecelakaan kerja bulan
mendatang? Jika kita menggunakan nilai rata-rata untuk frekuensi dan nilai kerugian,
maka niali kerugian yang diharapkan untuk bulan mendatang adalah:

Nilai kerugian yang diharapkan = (frekuensi) × (severity)


= 5,25 × Rp 2,4 juta = Rp 12,6 juta

Frekuensi yang diperkirakan menggunakan nilai rata-rata dari frekuensi kecelakaan


setiap bulannya yaitu 5,25 kali. Severity per kejadian menggunakan nilai kerugian
per peristiwa yaitu sekitar Rp 2,4 juta.
b. Pendekatan Analisis Untuk Menghitung Kerugian yang Diharapkan
Alternatif lain untuk menghitung tingkat kerugian yang diperkirakan adalah dengan
menggunakan model analitis. Sebagai contoh, kita bisa mengasumsikan distribusi
tertentu (biasanya normal) dari kerugian yang akan terjadi. Keuntungan dari distribusi
normal adalah kita bisa melakukan berbagai hal hanya dengan mengetahui nilai yang
diharapkan dan standar deviasinya.

Misalkan kita mengetahui tingkat keuntungan yang diharapkan (rata-rata)


adalah Rp 10 juta dengan standar deviasi adalah Rp 15 juta. Berapa kerugian pada
internal 95%?

Nilai kerugian pada batas 5% bisa dihitung sebagau berikut

Nilai kerugian = 10 juta - 1,65 (10 juta) = - Rp 6,5 juta.

1,65 adalah nilai z yang berkaitan dengan wilayah probabilitas sebesar 5%.
Nilai kerugian yang diharapkan dengan demikian adalah 6,5 juta rupiah. Kelemahan
dari metode tersebut adalah asumsi disyribusi normal sesuai dengan kenyataan.
Dalam kenyataannya distribusi kerugian tidak selalu normal. Biasanya kerugian
mempunyai disytibusi lognormla yaitu disyribusi di mana lognatiral dari variabel
random berbentuk normal, seperti berikut ini

Z ={log(X) -μ} / σ

Diatribusi tersebut mempunyai kecondongan positif ( positive skewness).


Bagian berikut ini menjelaskan simulai, yang biaa lebih sesuai dengan data riil.

c. Pendeketan Simulasi
Kerugian yang diharapkan adalah hasil perkalian antara probabilitas (frekuensi)
dengan severitu. Kita bisa melakukan simulasi dengan menggunakan kerangka
tersebut. Misalkan setelah kuta mengevaluasi frekuensi munculnya kejadian yang
merugikan, kita menyimpulkan bahwa distribusi Poisson bisa menjelaskan frekuensi
munculnya kejadian yang merugikan, dengan nilai yang diharapkan adalah 5 kali
terjadinya peristiwa tersebut setiap bulannya. Periode yang kita evaluasi adalah
bulanan ( denhan demikian rata-rata ada 5 kali kerugian setiap bulannya). Kita juga
melakukan evaluasi untuk severitu kerugian, dan menyimpulkan bahwa distribusi
nirmal biaa menjelaskan severitu adalah Rp 15 juta dengan standar deviasi Rp 2 juta.

Tabel berikut ini ( kolom (2) menggambarkan distribusi probabilitas Poisson dengan
nilai yang diharapkan adalah lima. Kolom (3) menyajikan probabilitas kumulatif
(sebagai contoh, untuk baris 1, nilai adalah 0,040 = 0,0067+0,0337). Kolom (4)
menyajikan angka 0-99 untuk mewakili angka yang akan disimulasikan.

Berikut ini contoh distribusi normal kumulatif untuk satu sisi, dimulai dari 0,500
sampai dengan 0,9990. Untuk sisi lainnya, kita bisa memulai dari 0,000 sampai
dengan 0,4999. Total urutan angka akan nampak sebagai 0,0000 sampai dengan
0,9990
Berdasarkan data di atas kita akan melakukan simulasi. Adapun langkah-langkahnya
adalah sebagai berikut:
1. Menghasilkan angka random untuk frekuensi munculnya kerugian dengan
menggunakan distribusi Poisson dengan nilai yang diharapkan adalah 5
2. Menghasilkan angka random untuk severity kerugian dengan menggunakam
distribusi normal
3. Mengalihkan frekuensi dengan severity untuk menghasilkan total kerugian yang
diharapkan pada periode tertentu
4. Mengulangi langkav 1 sampai dengan 3 beberapa kali (misal 100 kali, atau 1,000
kali).

Misalkan kita menghasilkan 10 angka random untuk langkah 1 dan 2 (simulasi


dengan 10 run). Untuk langkah 1, sepuluh angka random tersebut bisa dilihat pada
kolom (1) tabel berikut ini.
Kolom (2) menyajikan frekuensi yang berkaitan dengann angka tersebut sebagai
contoh, angka 24 ada di antara 13-27. I terval 13-27 berkaitan dengan frekuensi 3.
Kolom (3) menyajikan angka random dari 0 sampai dengan 9999. Kolom (4)
menyajika nilai z yang berkaitan. Sebagai contoh, angka radom pada baris pertama
adalah 8693. Jika kita melihat tabel kumulatif probabilitas normal angka tersebut
mendekati nilai probabilitas 0,8686, yang merupakan nilaj untuk z sebesar 1,12.
Kolom (5) menyajikan nilai kerugian (severity) yang dihitung sebagi berikut ini.

Z= ( X- μ) / σ

X = (1,12) × (2 juta)+15 juta = 17,24 juta. Dengan demikian severity untuk baris
tersebut adalah rugi sebesar Rp 17 24 juta. Jika angka kolom (3) di bawah 5000,
maka nilai z dihitung sebagai 0,9990- ( angka random/10.000)). Sebagai comtoh
pada angka sebesar 305, maka nilai z adalah (0,9990-(305/10.000)) = -1,86

Kolom (6) menyajikan kerugian yang diharapkan, yang merupakan perkalian antara
kolom (2) dengan kolom (5). Rata-rata total kerugian yang diharapkan adalah Rp
65,18 juta, dengan rata-rata frekuensi sebesar 5 kali kecelakaan kerja, dan rata-rata
kerugian per-kecelakaan adalah Rp 15 juta. Tabel berikut ini menyajikan distribusi
frekuensi kerugian dengan menggunakan interval kerugian setiap 10 juta.
Sekilas nampak bahwa diatribusi di atas menunjukkan kecondongan positif (positive
skewness). Kita bisa melakukan simulasi sampai 500 run sehingga hasil simulasi
menjadi lebih halus. Bagan berikut ini menunjukkan hasil yang tipikal ( mungkin
akan diperoleh) jika melakukan simulasi sebanyak 1.000 run

Salah satu keuntungan dari simulasi semacam itu adalah kita bisa memasukkan
skenario -skenario yang kita inginkan. Sebagai contoh, jika kita membeli asuransi
untuk meng-cover sebagain risiko, maka skenario tersebut bisa dimasukkan ke dalam
analisis simulai. Sebagai contoh, jika kita membeli asuransi dengan nilai tanggungan
tertentu. Jika kita mengalami kerugian, maka nilai tanggungan akan dikurangkan dari
kerugiam tersebut, sehingga severitu kerugian akan berkurang. Kemudiam kita bisa
membandingkan distribusi kerugian tanpa asuransi dengan asuransi.

2.3. Perubahan Karakteristik Resiko Operasional


Risiko operasional dan risiko lainnya bisa berubah karakteristiknya dari waktu ke waktu.
Sebagai contoh, di zaman dulu, pencatatan transaksi dilakukan secara manual (misal
karyawan menuliskan harga dan jumlah unit yang diperdagangkan di kertas). Cara
semacam itu memunculkan risiko kesalahan pencatatan melalui karyawan yang
kecapaian, sehingga mencatat angka yang salah. Frekuensi kesalahan tersebut cukup
sering, karena karyawan sering lelah (misal pada wkati sore hari). Tetapi keslaahn
tersebut biasanya mengakibatkan kerugian yang relatif kecil (misal, seharusnya mencatat
Rp 11.000, tetapi dicatat Rp 10.000, sehingga ada selisih sebesar Rp 1.000).

Cara manual semacam itu sekarang sudah banyak diganti dengan pencatatan
terkomputerisasi. Pencatatan semacam itu akan menghilangkan kesalahan pencatatan
karena kecapaian, karena sistem komputer tidak akan mengalami kelelahan. Frekuensi
keslaahn dengan demikian bisa diturunkan. Tetapi muncul jenis risiko yang baru. Jika
terjadi kegagalan atau kelemahan pada sistem komputer tersebut, maka kerugian yang
muncil akan sangat besar. Sebagai contoh, serangan virus terhadap sistem komputer, atau
pembobolan terhadap sistem komputer perusahaan mempunyai frekuensi yang relatif
rendah. Tetapi jika hal tersebut terjadi, kerugian yang timbul akam cukup besar. Ilustrasi
tersebut menunjukkan bahwa karakteristik risiko operasional berubah dari frekuensi
tinggi/signifikamsi rendah menajdi frekuensi rendah/signifikansi tinggi seperti terlihat
pada bagan berikut ini
Beberapa faktor yang bisa menyebabkan perubahan karakteristik semacam itu adalah
globalisasi, otomatisasi, terlalu mengandalkan teknologi, yang akan dibicarakan berikut
ini
a) Globalisasi
Globalisasi keuangan di dunia di dorong oleh liberalisasi ekonomi dunia.
Leberalisasi berarti penghilangan pembatasan-pembatasan aliran modal. Sebagai
comtoh, Indonesia melakukan liberalisasi di pasar modal sejak tahun 1989, ketika
investor asing bisa membeli saham di pasar modal sampai maksimal 49% dari
jumlah saham yang beredar. Pada tahun 1997, liberalisasi tersebut dilanjutkan
lebih jauh dengan membolehkan investor asing membeli saham di Bursa Efek
Jakarta sampai dengan 100%. Efek liberalisasi seperti itu mendorong globalisasi
ekonomi dan keuangan dunua. Kejadian penting di suatu negara akan dengan
cepat mempengaruhi negara lainnya. Dunia menjadi terasa semakin kecil. Istilah
dunia sebagai desa kecil (small village) muncul untuk menggambarkan kondisi
semacam itu.
Kondisi semacam itu cendeeung meningkatkan risiko, seperti terlihat pada
semakin meningkatnya volatilitas pergerakan harga atau nilai-nilai instrumen
keuangan/komoditas. Globalisasi juga semakin meningkatkan frekuensi dan
severitu (signifikansi) dari suatu risiko, karena kejadian di suatu negara akan
cepat merembet ke negara lain karena pembatasan-pembatasan sudah jauh
berkurang. Modal bisa berfutar lebih cepat. Kecepatan aliran modal seperti itu
juga membuat perusahaan mempunyai waktu yang lebih sedikit untuk
menyelesaikan masalag yang muncul. Terlambat mengantisipasi risiko tersebut
akan berakibat serius bagi perusahaan.
b) Otomatisasi
Dengan semakin berkembangnya teknologi komputer, perusahaan semakin lama
semakin mengandalkan teknologi komputer untuk melakukan banyak hal,
termasuk mengotomatisasi transaksi. Sebagai contoh, perusahaan menggunakam
komputer untuk mencatat transaksi (tidak banyak menggunakan tenaga manusia
untuk mencatat transaksi) bank menggunakan ATM sehingga nasabah bank bisa
bertransaksi praktis 24 jam satu hari.
Otomatisasi semacam itu menurunkan risiko yang berkaitan dengan manusia
(misal kesalahan pencatatan karena kelelahan). Tetapi otomatisasi semacam itu
memunculkan risiko baru yaitu risiko kegagalan sistem dan semacamnya. Risiko
baru semacam itu cenderung lebih sulit dideteksi dan jika terjafi, kerugian yang
dialami oleh perusahaan cukup signifikan. Risiko akan cenderunh terakumulasi
dan baru terdeteksi jika jumlah kerugian mencapai angka yang besar.
c) Terlalu Mengandalkan Teknologi
Kemajuan teknologi memungkinkan organisasi melakukan banyak hal,
sepertimembantu membuatbasis data, membantu perhitungan harga instrumen
keuangan (bahkan instrumen keuangan yang sangat kompleks). Di satu sisi,
teknologi semacam itu bisa membantu proses bisnis menjadi lebih cepat, lebih
andal. Tetapi di lain pihak, situasi tersebut memuculkan risiko baru. Sebagai
contoh, modal perhitungan melalui komputer tidak selamanya tepat. Jika terjadi
kesalaham perhitungan semacam itu, kerugian yang timbul bisa sangat besar.
Contohnya lain, jika perusahaan menggunakam komputer untuk memelihara
basis datanya, kemudian terjadi serangan virus atau serangan bom yang
menghancurkam komputer mereka, maka keugian yang bisa timbul akan cuku
signifikan.
d) Outsourcing
Outsourcing merupakan tren bisnis akhir-akhir inu. Outsource berarti
menggunakan jasa pihak luar untuk mengerjakan sebagaian dari pekerjaan
perusahaan. Sebagai contoh, perusahaan menggunakan program komputer yang
dibuat oleh perusahaan lain. Outsourcing dilakukan dengan pertimbangan
efisiensi (bisa menurunkan biaya). Jika melakukan pekerjaan sendiei, karena
sesuatu hal (misal keahlian yang tidak ada atau skala ekonomi yang kurang), bagi
perusahaan, akan lebih menguntungkan jika menggunkan jasa dari pihak luar
untk pekerjaan tertentu
Tetapi outsoucing memunculkan risiko baru. Perusahaan menyerahkan kendali
atas pekerjaannya kepada pihak luar. Jika pekerjaan tersebut merupakan hal yang
penting, dan pihak luar tersebut tidak memberikan produk atau pelayanan yang
sesuai dengan spesifikasi perusahaan, maka perusahaan menghadapi risiko bahwa
pelayanan atau produk yang diberikan akan berada di bawah standar yang
ditentukan
e) Perubahan budaya masyarakat

Masyarakat semakin lama semakin pandai, semakin sadar akan hak dan
kewajibannya. Kesadaram semacam iti cenderung meningkatkan risiko litigasi, di
mana masyarakat akan berusaha menuntut perusahaan jika dia merasa dirugikan,
jika perusahaan tidak berhati-hati, perusahaan bisa kena gugatan semacam itu, dan
jika kalah, kerugian yang dialami perusahaan baik cukup signifikan. Perubahan
budaya masyarakat tersebut bisa meningkatkan risiko gugatan hukum.
f) Evaluasi diri untuk mengukur risiko operasional
Evaluasi diri (self-assesment) bisa dilakukan oleh anggota organisasi untuk
melihat seberapa besar risiko operasional yang dihadapi oleh organisasi. Chase
Manhattan, mengukur besarnya risiko operasiomal, dengan menggunakan
kerangka kuesioner dari COSO (setelah dimodifikasi)

2.4 Manajemen Risiko Operasional


A. Pengendalian kualitas sebagai strategi menghadapi risiko operasional
Manajemen risiko pada dasarnya sudah dilakukan perusahaan, meskipun
dengan nama yang berbeda. Jika perusahaan berusaha memperbaiki
operasionalnya,maka perusahaan sudah melakukan manajemen risiko operasional.
Sistem operasional yang efektif bisa mengendalikan risiko operasional. Manajemen
kualitas pada dasarnya ingin memperbaiki kualitas output melalui pengendalian
operasional. Konsep tersebut pertama kali populer untuk proses produksi. Tetapi pada
perkembangan selanjutnya, konsep manajemen kualitas juga diterapkan untuk
lainnya, seperti sektor pelayanan (jasa). Karena itu bagian berikut ini membicarakan
manajemen kualitas sebagai salah satu teknik untuk mengelola risiko operasional.
B. Definisi Kualitas
Apa yang dimaksud dengan kualitas? Kualitas bisa didefinisikan sebagai 'Fitur
dan karakteristik produk atau pelayanan secara keseluruhan yang bisa memuaskan
kebutuhan tertentu. Dengan kata lain, kualitas mengukur seberapa baik produk atau
pelayanan bisa memenuhi kebutuhan konsumen. Kualitas akan menentukan daya
saing organisasi, karena itu organisasi perlu menjaga dan memonitor kualitas.

Jaminan mutu adalah sistem menyeluruh dari kebijakan prosedur, pedoman, yang
ditetapkan oleh organisasi untuk menjaga dan mencapai kualitas. Jaminan kualutas
terdiri dari dua fungsi pokok:
1. Rekayasa kualitas: membuat proses dan desain produk yang berkualutas
2. Pengendalian kuitas: inspeksi untuk melihat apakah standar kualitas sudah
terpenuhi

Bagian berikut inu menjelaskan six-sigma dan diteruskan dengan statistik sebagai alat
pengendalian kualitas.
C. Six-sigma
 Cakupan Six Sigma
Six-sigma dapat didefinisikan sebagai metodologi untuk mengelola
variasi dalam suatu proses yang menyebabkan produk rusak, yaitu produk
yang mempunyai penyimpanham yang lebih besar dari standar penyimpangan
tertentu, dan secara sistematis bekerja untuk mengelola variasi tersebut, untuk
menghilangkan produk rusak tersebut.
Six-sigma dipelopori oleh Bill Smith dari Motorola pada tahun 1986.
Pada awalnya, six-sigma didefinisikan sebagai indikator (metric) untuk
mengukur produk rusak dan memperbaiki kualitas; metodologi untuk
mengurangi tingkat produk rusak sampai di bawah 3,4 produk rusak per 1 juta
output. Six-sigma merupakan merek yang dipegang patenya oleh Motorola.
Motorola dilaporka memperoleh penghematan sebesar $17 miliar sampai
sekarang dengan menggunakan teknin six-sigma tersebut.
Tujuan dari Six-sigma adalah untuk mengurangi variasi output dari
suatu proses tertentu, sehingga dalam jangka panjang bisa menghadilkan
produk rusak kurang dari 3,4 produk rusak per 1 juta output. Secara spesifik
tersebut menghasilkan enam standar deviasi antara rata-rata proses dan batas
spesifik konsumen (karena itu 6 sigma adalah simbol untuk standar deviasi).
GE (General Electric) merupakan penganut six-sigma yang pertama
dan melaporkan penghematan $300 juta pada tahun pertama penggunaan
teknik tersebut. Beberapa organisasi yang dilaporkan memperoleh manfaat
dari six-sigma antara lain Ford, Caterpillar, Microsoft, Reytheon,Quest
Diagnotics, Seagate Technology, Siemens, Merrill Lynch, Lear, 3 M. Pada
mulanya six-sigma digunakan untuk produksi. Sekaranv six-sigma
diaplikasikan untuk sektor non-produksi seperyi perbankan, telekomunikasi,
asuransi, kontruksu, kesehatan, dan perangkat lunak. Berikut ini beberapa
contoh perusahaan yangs sukses menerapkan Six-sigma
o North Carolina Baptist Hotel menegaskan tim sux-sigma untuk
memperbaiki proses perawatan pasien serangan jantung dari
departemen dafurat ke laboratorium cardiac catheterization. Setelah
penerapan six-sigma, waktu tenggang tersebut bisa dipotong 41 menit
dari waktu sebelumnya
o Bank of America menerapkan six-sigma untuk proses assesment
risiko, pencegahan kejahatan, dan perbaikan kepuasan konsumen.
Program tersebut menghasilkan manfaat sebesar $2 milliar, dan
meningkatakan kepuasa konsumen denhan 25%.

 Metodologi
Six signa mempunyai dua metodologi kunci yaity DMAIC dan DMADV
 DMAIC ( define, measure, anlyze, improve, control) digunakan untuk
memperbaiki proses bisnis saat ini yang berada di bawah standar, dan
digunakan untuk mencari perbaikan secara gradual.
 DMADV (define, measure, anlyze, design, verify) digunakan untuk
menciptakan proses atau output yang baru yang mempunyau kualitas
denvan standar six sigma. DMADV juga digunakan jika proses saat ini
membutuhkan lebih dari perbaikan gradual.

DMAIC terdiri dari lima tahap berikut ini


a. Mendefinisikan secara formal tujuan dari perbaikan proses yang
konsisten dengan permintaan konsunen dan strategi organisasi
b. Melakukan pengukuran awal untuk perbandingan di masa mendatang.
Melakukan penataan dan oengukurab proses yang sedang diperbaiki,
dan mengumpulkan data proses yang diperlukan.
c. Melakukan analisis untuk memverifikasi kaitan dan hubungan sebab
akibat.
d. Memperbaiki dan mengoptimalkan proses berdasarkan analisis dengan
menggunakan teknik sepeeti desain eksperimen.
e. Menyiapkan dan mengendalikan percontohan untuk menetapkan
kemampuan proses, transisi ke produksi, dan secara terus menerus
mengukur proses dan menetapkan mekanisme pengendalian, untuk
memastikan bahwa vafiase diperbaiki sebelum memunculkan produk
rusak

DMADV terdiri dari lima tahap:


a. Mendefinisikan secara formal tujuan dari aktivitas desain yang
konsisten dengan permintaan konsumen dan strategi perusahaan.
b. Mengukur, mengidentifikasi kualitas perusahaan, kemampuan produk,
kemampuan proses produksi, assesment risiko, dan sebagainha.
c. Analisis, mengembangkan alternatif desain, menciptakan desain
dengan tingkat yang tinggu, dan mengevakuasi kemampuan desain,
supaya bisa dipilih desain yang terbaik.
d. Desain dan mengembangkan desain yang detail, mengoptimalkan
desain, dan merencanakan veritifikasi desain. Tahap ini baranvkali
memerlukan simulasi.
e. Verifikasi desain, menyiapkan percontohan,menjalankan proses
produksi, dan menyerahkan proses tersebut ke pemilik proses. Tahap
ini baranbkali juga memerlukan simulasi.

Six sigma mengidentifikasi lima peranan kunci untuk menjamin kesuksesannya


Kelima kunci terssbut adalah :

1. Pemimpi puncak ( direktur atau CEO) organisasi dan anggota manajemen


puncak lainnya. Mereka bertanggung jawab untuk menetapkan bisi untuk
pelaksanaan six sigma. Dukungan mereka juga diperlukan agar pelaku six
sigma lainnta bisa memperoleh kebebasan untuk mengelola ide dan bisa
memperloleh akses pada sumber daya yang diperlukan.
2. Champions bertanggung jawab terhadap pelaksanaan six-sigma di organisasi
dengan cara yang terintegrasi. Champion juga bertindak sebagaivguru untuk
pemegang sabuk hitam six sigma.
3. Master Black Belts ( Guru pemegang sabuk hitam), ditunjuk oleh champions,
bertindak sebagai pakar dalam organisasi (in-house) dalam hal six sigma.
Mereka menghabiskan waktunya 100% untuk six sigma. Mereka membantu
pemegang sabuk hitam dan hijau. Mereka menggunakan tek ik statistik, dan
memastiman bahwa pelaksanaan six sigma terintegrasu untuk fungsi dan
departemen yang berbeda-beda.
4. Pemegang sabuk hitam bekerja di bawah guru sabuk hitam untuk
melaksanakan metodologi six sigma untuk proyeks spesifim. Fokus mereka
adalah pelaksanaan proyek, sedangkan fokus champions dan guru pemegang
sabuk hitam adalah identifimasi proyek/fungsj untuk six sigma
5. Pemegang sabuk hinau adalah karyawan yang melaksanakan six sigma
berbarengan dengan pekerjaannya. Mereka bekerja di bawab pengarahan
pemegang sabjm hitam.
D. Perbaikan Proses Bisnis
Proses bisnis merupakan kumpulan dari aktivitas struktural yang berkaitan
yang menciptakan sesuatu yang bernilai bagi organisasi, stekholder-nya, atau
konsumennya. Pada intinya, proses bisnis mencangkup adanya input, metode, dan
output. Contoh bisnis proses yang sederhana adalah (misal), jika ada order masuk,
order tersebut kemudian diberikan ke bagian penjualan, bagian penjualan
meneruskan ke bagian gudang dan bagian penagihan, dan seterusnga. Proses bisnis
yabg kecil bisa jadi merupakan bagian dari proses bisnis yang lebih besar. Proses
bisnis biasanya merupakan hasil dari desain proses bisnis atau aktivutas rekayasa
proses.
Perbaikan proses bisnis berkaitan erat dengan six sigmabisa jadi melakukan
perbaikan proses bisnis. Perbaikan proses bisnis adalah pendekatan yang sistematis
untuk membantu organisasi melakukan perubahan signifikan terhadao cara organisasi
menjalankan bisnisnya. Organisasi tersebut bisa berupa organisasi untuk keuntungan
(perusahaan), non-profit, le.baga pemerintah, dan lainnya. Tujuan dari perbaikan
proses bisnis lebih pada perubahan radikan, bukannya perubahan secata gradual.
Michael Hammer and James Champny ( Reengineering the Corporation: A
Manisfesto for Business Revolution (1993)) mengatakan bahwa perbaikan proses
bisnis tidak ditunjukan untuk perbaikan 10% atau 20% penurunan biaya, tetapi
perubahan yang revolusioner.

Cara kerja perbaikan proses bisnis adalag sebagai berikut ini:


1. Menfinisikan tujuan strategis organisasi, misi dan maksud keberadaan organisasi.
2. Menentukan konsumen, stakeholders organisasi.
3. Menentukan struktur dan proses yang ada saat ini. Menyatukan proses bisnis
agar bisa menuhi persyaratan yang diminga oleh konsumen
4. Menentukan output apa dari proses tersebut yang akan menghasilkan nilai
tambah bagi organisasi. Pemilik proses yang bertanggung jawab menentukan
output tersebut.
5. Setelag output terssbut ditentukan, organisasi perlu memfokuskan pada
pencapaian output tersebut, perlu melakukan perubahan agar bisa memenuhi misi
dan visinya, menggunakan serangkaian benchmark dan indikator pencapaian
target lainnya.
Berikut ini prinsip-prinsip yang diperlukan untuk memperbaiki prises bisnis (PPB):
 PPB difokuskan pada hasil, bukam aktivitas rutin, bukan pada tugas khusus
untuk mencapai hasil tersebut.
 PPB mempunyai fokus pada konsumen. Kebutuhan konsumen bisa saja berubah
sehingga pelayanan yang diberikan suatu organisasi tidak lagi tepat untuk
kebutuhan baru tersebut. PBB memfokuskan pada proses pertama kali. Otomatis
dilakukan selanjutnya jika diperlukan.
 PPB perlu melakukan benchmark secara reguler, menetapkan standar dan
membandingkan hasil yang diperoleh dengan standar terswbut. Benchmark
tersebut sedapat mungkin bisa diukur, bisa dicapai, dan realistis
 Menetapkan siapa yang memiliki proses bisnis. Orang tersebut harus
bertanggung jawab terhadap kinerja (sukse/gagal) dan perubahan pada proses
tersebut.
 Mengembangkan titik pengendalian dalam suatu proses. Jika dalam titik tertentu,
hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan standar, maka proses harus dihentikan
untuk mengevalyasi penyebabnya dan memperbaiki proses tersebut.
 Standarisasi proses yang sama. Banyak organisasi yang melakukan pendekatan
yang sementara ( berubaj-ubah) tanpa melakukan perencanaan yang matang.
Standarisasi tersebut bisa menghemat waktu, biaya, dan sumber daya lainnya
 Melakukan perubahan sekarang. Perubahan harus dilakukan dengan cepat dan
berkali kali.
 Menggunakan ukuran yang benar.

Pada saat pelaksanaan PBB, sangay mungkin terjadi penolakan dari beberapa
pihak. Karyawan menolak karena khawatir status quo-nya akan terganggu. Tetapi
organisasi yang melakukan PPB secara reguler diharapkan akan mempunyai sumber
daya manusia yang bisa memenuhi tantangan bisnis yang ada.
E. Bagan Pengendakian ( Control Charts)
Bagan pengendalian ingin menunjukkan variasi dari output disebabkan
karena proses yang masih terkendali (in control) atau proses yang sudah tidak
terkenadali ( out of control). Jika situasi menjadi tidak terkendali, maka perbaikan
harus dilakukan agar proses kembali lagi ke situasi normal. Bagan x~ digunakan jika
kualitas suatu output diukur dengan variabel seperti panjang, berat, temperatur, dan
sebagainya. Jika suatu output mempunyai ukuran ulang, sebelum dilanjutkan lagi
Bagan berikut ini menyajikan bagan x ( x chart)

Garis vertikal menyajikan skala pengukuran variabel yang diamati. Garis


tengah menyajikan rata-rata dari proses masih terkendali. Dua batas yaitu batas atas
dan batas bawah. Jika suatu sampel yang diamati berada antara kedua batas tersebut,
maka dikatakan bahwa ada probabilitas yang tinggi bahwa proses masih terkendali.
Jika sampel mempunyai variabel di atas batas atas atau di bawah batas bawah, maka
ada idikasi proses tersebut di luar kendali, sehingga tindakan perbaikan seharusnya
dilakukan. Dari waktu ke waktu sampel akan duambil untuk diami. Garis ke kanan
adalah garis waktu.

 Bagan x jika standar deviasi dan rata-rata diketahui

Jika standar deviasi dan rata-rata proses diketahui, kita bisa menyusun bagan x
sebagai berikut. Misalkan perusahaan menjual beras dalam karung. Jika proses
berjalan sebagaimana mestisnya,berat karung tersebut adalag 5 kilogram, standar
deviasinya adalah 0,5 kilogram. Diasumsikan juga bahwa berat pengisian beras
tersebut berdistribusi normal. Karena kita akan mengamati sampel, maka kita akan
menggunakan rata-rata sampel dan standar deviasi sampel ( standar error of the
mean). Distribusi sampel dari rata-rata (x~) bisa digunakan untuk menentukan batas
atas dan bawah, dan dengan demikian indikator batas atas dan batas bawah. Standar
deviasi dari rata-rata sampel tersebut bisa dihitung sebagai berikut:
σx~ = σ / √ n

Dalam contoh di atas, misalkan kita melakukan inspeksi 10 kali


( setelahvproses pengisian karung pertama selesai, kita ambil misal lima karung,
kemudian kita rata-rata beratnya, proses diulangi sampai sepuluh kali pengisian
karung), nilai rata-rata sampel yang diharapkan adalah 5 kilogram ( sama dengan nilai
yang diharapkan untuk populasi), sedangkan standar error-nya adalah

σx~ = 0,5/ √ 10 = 0,5/3,16 = 0,158

Batas atas dan batas bawah biasanya ditentukan dengan tigas standar deviasi
dari rata-raya ( mencangkup sekitar 99,7%) dari total wilayah. Dengan demikian
batas atas dan batas bawah untuk contoh pengisian beras tersebut adalah:

Batas atas (UCL=upper control limit) = 5 + 3 (0,158) = 5,47

Batas bawah (LCL= lower control limit) = 5-3 (0,158) = 4,52

distribusi pengisian karungg beras

Distribusi Sampel x~
Bagan x~ Hipotesis

Bagan di atas menampilkan contoh hipotesis dafi bagan x~. Perhatikan bahwa
pada pengisian keempat, ada pengisian yang menghasilkan rata-rata berat di bawah
batas bawah. Pada saat itu proses seharusnya dihentikan dan kemudian diperiksa
penyebab penyimpangan tersebut, barangkali ada mesin yang tidak pas sehingga
menyebabkan munculnya penyimpangan tersebut. Misalkan perusahaan kemudian
melakukan perbaikan. Setelah perbaikan dilakukan, proses diteruskan. Dari bagan
tersebut terlihat bahwa setelah perbaikan, proses pengisisan beras tersebut kembali ke
proses yang normal seperti terlihat dari output (karunv beras) yang selalu berada
diantara batas atas dan bawah

 Bagana x~ jika standar deviasi dan rata-rata tidak diketahui

Jika rata-rata populasi dan standar deviasi tidak diketahui, kita bisa menggunakan
rata-rata dan standar deviasi sampel sebagai proksi ( indikator) rata-rata dan standar
deviasi populasi. Misalkan suatu perusahaan memproduksi barang dengan diameter
3,5 inchin ( misal floppy-disk). Kemudian penyelia produksi mengambil sampel
sebanyak lima disket untuk setiap inspeksi. Misalkan dia melakukan 20 inspeksi dan
mencatat hasil inspeksi tersebut seperti berikut ini

Rata rata secara keseluruhan adalah 3,5124 { (3,5391+.......+


3,5041)/100}. Dalam praktik, biasanya range yang dihitung sebagai proksi
variabilitas sampel (bukannya standar deviasi), karena range lebih mudah
dihitung. Tabel di atas menghitung range sampel, yang dihitung dengan nilai
maksimal dikurangi nilai minimim. Sebagai contoh, pada hari pertama (inspeksi
1) range adalah 0,0492 (3,5391-3,4899). Rata-rata range bisa dihitung sebagai
berikut ini

Rata-rata range= ( 0,0492+......+0,0664)/20=0,0577

Standar deviasi bisa dihitung (diaproksimasi) dengan formula sebagai berikut:


σ = R~/d2

Dimana R~ adalag rata-rata range, d2 adalag konstanta yang nilainya tergantung


dari ukuran sampel. Untuk sampel 5, d2=2,326. Standar deviasi dengan demikian
adalah:
σ = R~/d2 = 0,0577/2,326 = 0,02481

Standar error dari rata-rata bisa dihitung sebagai berikut

Dengan demikian batas atas dan bawah bisa dihitung ssbagai berikut:

UCL = batas atas = 3,5124+3(0,007845)=3,5360


LCL = batas bawah =3,5124-3(0,007845)=3,4889
Bagan berikut ini menyajikan x~ chart untuk data tersebut

Karena semua sampel inspeksi berada di antara batas atas dengan batas bawah, maka
proses produksi tersebut masih terkontrol.

 Bagan R ( R-chart)
Dalam beberaoa situasi, kita ingin membentuk bagan R (R-chart), yaitu bagan yang
memperlihatkan variabilitas suatu proses. Untuk membuat R-chart, kita bisa
mengasumsikan range sebagai variabel random dengan nilai rata-raya dan standar
deviasinya. Rata-raya range memberikan estimasi rata-rata variabel random terzsbut.
Standar deviasi dari range bisa dihitung sebagai berikut:
σR = d3 (R~d2)
Dimana d3 dan d2 adalah konstanta yang nilainya tergantung dari ukurab sampel. Batas
atas dan bawah untuk range tersebut bisa dihitung sebagai berikut:
UCLR = R~ + 3 (σR )
LCLR = R~ - 3 (σR )

Dalam contoh di atas, standar deviasi untuk range dihitung sebagai berikut :
σR = d3 (R~/d2) = 0,864 ( 3 x 0,0214) = 0,0214
Karena Batas atas mempunyai nilai negatif, kita menggunakan nilai 0 untuk batas
bawahnya.

UCLR = R~ + 3 (σR ) = 0,0577 + ( 3 x 0,0214) = 0,1219


LCLR = R~ - 3 (σR ) = 0,0577 - ( 3 x 0,0214) = -0,0065
Dari bagan tersebut terlihat ada satu pengamatan yang mempunyai variabilitas di atas,
yaitu inspeksi ke 16. Jika hal semacam itu terjadi, maka kita tidak bisa
menginterpretasikan x~ chart. Dalam hal ini kita harus mengevaluasi proses produksi
tersebut lebih dahulu.

Alteenatif lain dari R-chart adalah bagan pengawasan standar deviasi (s~chart). Jika
sampel kurang dari 10,maka R-chart dan s-chart akan memberikan hasil yang sama. Jika
ukuran sampel lebih dari 10, maka s-chart biasnaya lebih dipilih. Dalam contoh di atas,
karena sampel yang digunakan adalah 5, maka R-chart dan s-chart memberikan hasil
yang tidak banyak berbeda.
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Risiko operasional merupakan risiko yang paling tua, tetapu pemahaman terhadap
karakteristik risiko operasional belum semaju risiko lainnha. Pengukuran risiko operasional bisa
dilakukan dengan menggunakan mayriks frekuensi/severity. Setelah risiko bisa dipetakan dengan
menggunakan matriks tersebut, alternatif strategi untuk mengelola risiko tersebut bisa
dirumuskan. Alternatif pengukuran yang lain adalah dengan menghitung kerugian yang
diharapkan yang merupakan perkalian antara frekuensi dengan severity. Karekteristik risiko
operasional bisa berubah tergantung berapa hal, seperti penggunaan teknologi yang lebih intensif
menggantikan tenaga manual. Evaluasi diri ( self assesment) bisa dilakukan untuk mengevaluasi
risiko operasional yang dihadapi perusahaan. Sedangkan manajemen risiko operasional
dilakukan melalui perbaikan operasional perusahaan. Karena itu manajemen kualitas menjadi
relevan dengan manajemen risiko operasional. Perbaikan proses bisnis juga merupakan teknik
yang bermanfaat untuk mengelola risiko operasional. Disamping aspek rekayasa kualitas, aspek
pengendalian dan pengawasan kualitas juga penting diperhatikan. Teknik statistik bisa digunakan
untuk mengendalikan atau mengawasi proses manajemen kualitas. Teknik statistik x~ chart, R
chart yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Mamduh M. Hanafi, M.B.A edisi ke 3 september 2016 penerbit UPP STIM YKPN judul
Manajemen risiko

Anda mungkin juga menyukai