Anda di halaman 1dari 15

Praktikum

Bioteknologi
Pertanian
HPT

Oleh:
Fitri Widiantini, SP., MBtS., PhD.
Dr. Noor Istifadah, Ir., MCP.
Dr. Sri Hartati, SP., MSi.
Yusup Hidayat, SP., M.Phil., PhD.

Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan


Fakultas Pertanian
Universitas Padjadajaran
2018
DAFTAR ISI

Praktikum 1........................................................................................................................1
Peningkatan Kinerja Agens Biokontrol (Antagonis patogen)...............................................1
1.1 Pendahuluan......................................................................................................1
1.2 Tujuan.................................................................................................................3
1.3 Bahan dan Metode.............................................................................................3
1.3.1 Persiapan agens biokontrol dan jamur patogen.........................................3
1.3.2 Seleksi mutan.............................................................................................4
1.4 Pengamatan........................................................................................................5
Praktikum 2........................................................................................................................8
Peningkatan Kinerja Agens Biokontrol (Uji Hayati: entomopatogen)..................................8
2.1 Pendahuluan......................................................................................................8
2.2 Tujuan.................................................................................................................9
2.3 Bahan dan Metode.............................................................................................9
2.4 Pengamatan …………………………………………………………………………………………………… 10
Praktikum 1

Peningkatan Kinerja Agens Biokontrol (Antagonis Patogen)

1.1 Pendahuluan

Pengendalian biologi penyakit tumbuhan merupakan cara untuk menekan


populasi dan menghambat perkembangan atau aktivitas patogen oleh organisme
yang merupakan musuh alami atau bersifat antagonistik terhadap patogen
tersebut. Pengendalian biologi dapat terjadi secara alami maupun dengan
penambahan agens pengendali biologi yang seringkali disebut agens antagonis.

Agens antagonis dapat diperoleh dari lingkungan dimana patogen


tersebut menginfeksi. Misalnya untuk mengendalikan penyakit pada akar, maka
agens antagonis dapat diisolasi dari daerah di sekitar perakaran (rhizosfer) atau
rhizoplan (daerah permukaan akar), sedangkan apabila penyakitnya terjadi pada
daun, maka agens antagonis dapat diisolasi dari daerah phyloplan (pemukaan
daun).

Untuk menyeleksi isolat mikroorganisme yang bersifat antagonistik atau


dapat menghambat patogen, maka dilakukan pengujian secara in vitro (di luar
jaringan tanaman maupun in vivo (pada jaringan tanaman). Pengujian secara in
vitro dapat dilakukan dengan menggunakan metode dual culture. Pada metode
ini, mikroorganisme yang diuji ditumbuhkan pada medium berdampingan dalam
satu tempat dengan patogen sasaran. Pertumbuhan patogen yang kearah
mikroorganisme uji, diamati dan dibandingkan dengan pertumbuhan patogen
tanpa adanya mikroorganisme antagonis.

1
Dengan metode dual culture dapat diketahui mekanisme antagonisme
yang mungkin terlibat dalam penghambatan patogen. Mekanisme antagonsime
yang mungkin terjadi disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Mekanisme antagonisme yang dapat terlibat dalam penghambatan


patogen

Mekanisme Definisi
antagonisme
- Antibiosis Penghambatan patogen karena antagonis menghasilkan
metabolit sekunder yang bersifat toksik terhadap
patogen. Mekanisme antagonisme ini dapat dikenali
karena terdapat zone penghambatan atau zone bening
di sekitar koloni patogen yang tumbuh kearah antagois
- Kompetisi Kompetisi ruang dan nutrisi dapat dikenali dari
pertumbuhan koloni antagonis yang mendominasi
bahkan seringkali menumpuk/overgrown di atas koloni
pathogen
- Hiperparasitisme Pada dual culture biasanya terjadi apabila koloni
antagonis kontak atau menumpuk pada koloni patogen.
Untuk meyakinkan terjadinya hiperparaisitisme, maka
harus diamati adanya hifa antagonis yang melilit pada
hifa patogen, dan adanya penetrasi hifa antagonis
kedalam hifa patogen.

2
Guna meningkatkan keefektifan mikroba antagonis, maka dapat dilakukan
berbagai upaya diantaranya adalah dengan mutasi. Mutasi dapat terjadi secara
alami maupun buatan, yaitu melalui perlakuan secara kimiawi ataupun secara
fisik. Mutasi secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa
mutagenic Etil Metan Sulfonat (EMS), Dietil Sulfat (DES), Nitroso Metil Uretan
(NMU), atau pestisida. Perlakuan secara fisik yang dapat memicu terjadinya
mutasi antara lain sinar UV, sinar X , gamma (γ) , partikel beta atau sinar neutron.

1.2 Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah:

1. Membuat dan menguji mutan jamur agens biokontrol Trichoderma harzianum


dan khamir Candida tropicalis, dengan menggunakan sinar UV dengan tujuan
untuk meningkatkan kinerja aktivitas antagonistiknya terhadap Colletotrichum
acutatum dan Sclerotium rolfsii

2. Menganalisa mekanisme antagonisme dari agens antagonis yang diuji

1.3 Bahan dan Metode

1.3.1 Persiapan agens biokontrol dan jamur patogen

 T. harzianum, C. tropicalis, C. acutatum dan S. rolfsii yang akan digunakan


pada percobaan ini berasal dari koleksi lab. Bioteknologi Proteksi
Tanaman dan Fitopatologi Departemen HPT Fakultas Pertanian Unpad.

 Jamur T. Harzianum ditumbuhkan pada media PDA (Potato Dextrose Agar)


sampai diperoleh pertumbuhan maksimum (5-7 hari), khamir C. tropicalis

3
juga ditumbuhkan pada media PDA sampai umur 5 hari, selanjutnya
jamur dan khamir tersebut diberi perlakuan dengan penyinaran UV
selama 15, 30, dan 60 menit dengan jarak penyinaran 5, 10, dan 15 cm
dari sumber UV, kontrol dibuat tanpa perlakuan penyinaran. Jamur yang
telah diberi perlakuan UV kemudian dipotong dengan menggunakan cork
borer berdiameter 6 mm. Sedangkan khamir diambil dengan
menggunakan jarum ose.

 Jamur patogen yang akan digunakan pada percobaan ini adalah jamur
tular udara penyebab antraknosa pada tanaman cabai C. acutatum dan
jamur tular tanah penyebab rebah kecambah pada tanaman kedelai S.
rolfsii. Masing-masing jamur patogen ditumbuhkan pada media PDA
hingga diperoleh pertumbuhan yang maksimal (5-7 hari). Jamur kemudian
dipotong dengan menggunakan cork borer berdiameter 6 mm.

1.3.2 Seleksi mutan

 Seleksi mutan T. harzianum dan C. tropicalis dilakukan dengan uji


antagonisme secara dual culture.

 Satu potong (plug) dari T. harzianum yang telah diberi perlakuan


penyinaran UV seperti disebutkan di atas dan jamur patogen S. rolfsii
ditumbuhkan pada petridish yang berisi media PDA secara berdampingan
dengan jarak 3 cm (Gambar 1).

 Satu ose khamir C. tropicalis yang telah diberi perlakuan penyinaran UV


seperti disebutkan di atas dan jamur patogen C. acutatum ditumbuhkan
pada petridish yang berisi media PDA secara berdampingan dengan jarak

4
3 cm. Khamir ditumbuhkan dengan cara digores secara tegak lurus
(Gambar 2).

 Plug masing-masing jamur diletakkan pada permukaan dengan bantuan


scalpel, dengan posisi agar pada jamur bertemu dengan permukaan
media agar pada petridish.

Patogen

A B

5
Gambar 1. Ilustrasi uji antagonisme T. harzianum secara dual culture

A. perlakuan, B. kontrol

3 cm

Patogen
ABK Patogen

A B

6
Gambar 2. Ilustrasi uji antagonisme C. tropicalis secara dual culture

A. perlakuan, B. kontrol

1.4 Pengamatan

 Pengamatan dilakukan seminggu setelah inokulasi dengan mengukur


panjang jari-jari jamur patogen yang berhadapan langsung dengan
jamurT. harzianum dan khamir C. tropicalis.

R2

 Efek penghambatan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai


berikut:

R1
Penghamba tan ( ) = 1 −( )x 100
R2

Keterangan:

R1 = panjang jari-jari jamur patogen pada perlakuan

7
R2 = panjang jari-jari jamur patogen tanpa perlakuan (kontrol)

Tabel Pengamatan 1
Perlakuan Panjang jari-jari C. acutatum Panjang jari-jari S. rolfsii (mm) pada
(mm) pada ulangan ke- ulangan ke-

1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7
Kontrol
5 cm, 15 menit
5 cm, 30 menit
5 cm, 60 menit
10 cm, 15 menit
10cm, 30 menit
10 cm, 60 menit
15 cm, 15 menit
15 cm, 30 menit
15 cm, 60 menit

Tabel Pengamatan 2
Perlakuan Efek Penghambatan (%) Efek penghambatan (%) S. rolfsii pada
C. acutatum pada ulangan ke- ulangan ke-

1 2 3 4 5 6 7 X 1 2 3 4 5 6 7 X
Kontrol
5 cm, 15 menit
5 cm, 30 menit
5 cm, 60 menit
10 cm, 15 menit
10cm, 30 menit
10 cm, 60 menit
15 cm, 15 menit
15 cm, 30 menit
15 cm, 60 menit

8
 Analisa mekanisme antagonisme yang mungkin terlibat berdasarkan
karakteristik dari koloni patogen pada dual culture

DAFTAR PUSTAKA

Knudsen I.M.B., Hockenhull J., Jensen D.F., Gerhardson B., Hokeberg M.,
Tahvonen R., Teperi E., Sundheim L., Henriksen B. (1997) Selection of
biological control agents for controlling soil and seed-borne diseases in the
field. European Journal of Plant Pathology 103 : 775-784.

Monte E. (2001) Understanding Trichoderma: between biotechnology and


microbial ecology. International Microbiology 4 : 1-4.

9
Praktikum 2
Peningkatan Kinerja Agens Biokontrol
(Uji Hayati: entomopatogen)
2.1 Pendahuluan

Salah satu alternatif pestisida sintetik untuk mengendalikan serangga


hama yaitu jamur entomopathogen. Jamur yang berperan sebagai patogen
terhadap serangga dan berpotensi sebagai agen pengendali hayati telah diketahui
sekitar 100 genera yang mempunyai lebih dari 750 species. Jamur
entomopathogen (entomopathogenic Fungi) adalah jamur yang dapat hidup dan
berkembang pada tubuh serangga sehingga serangga tersebut terganggu
pertumbuhan dan perkembangannya bahkan umumnya berakibat kematian.
Kelompok jamur ini dapat secara alami menginfeksi serangga hama terutama
pada saat kondisi lingkungan, terutama kelembaban, mendukung
perkembangannya. Dengan demikian, jamur entomopathogen dapat berperan
sebagai agen pengendali alami populasi serangga hama.
Saat ini, terdapat beberapa spesies jamur entomopathogen yang
dilaporkan sangat berpotensi mengendalikan serangga hama yang ada di lahan
pertanian, diantaranya adalah jamur Beauveria bassiana, Metharizium
anisopliae, Verticillium lecanii, Isaria fumosorosea (sebelumnya dikenal dengan
Paecilomyces fumosoroseus) dan Cordyceps spp. Jamur entomopathogen dapat
masuk ke dalam tubuh serangga umumnya melalui kulit. Walaupun demikian,
tidak menutup kemungkinan juga bahwa jamur ini masuk secara oral melalui
makanan/daun yang dikonsumsi serangga, luka atau trachea (saluran
pernapasan).
Proses infeksi jamur entomopathogen diawali dengan adanya kontak
antara spora dengan kutikula serangga. Seringkali dalam peroses
perkecambahannya, spora menghasilkan zat yang dapat membantunya untuk
menempel secara kuat pada kutikula serangga. Setelah berkecambah, spora
jamur akan membentuk apresoria (appresorium) yang darinya keluar hypa

10
dengan struktur khusus (infection peg) yang berfungsi untuk secara mekanis
menembus kutikula serangga. Selain mengandalkan tekanan mekanis seperti di
atas, jamur entomopathogen juga umumnya memproduksi enzim pendegradasi
kutikula serangga seperti enzim lipase, protease, chitinase, dan lipoxygenases.
Dengan adanya aktivitas enzim-enzim ini, selain akan terdegradasinya lapisan
kutikula, hasil degradasinya akan juga menjadi sumber nutrisi bagi jamurnya.
Selain menghasilkan sejumlah enzim, jamur entomopathogen juga
diketahui dapat menghasilkan metabolit sekunder yang bersifat toksik terhadap
serangga sasaran. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa virulensi dari
suatu jamur entomopathogen sangat dipengaruhi oleh kemampuanya dalam
menghasilkan enzim dan juga toxin.
2.2 Tujuan

Praktikum ini bertujuan:

Membuat dan menguji mutan jamur entomopatogen Beauveria bassiana,


dengan menggunakan sinar UV dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja
aktivitas biologinya terhadap ulat hongkong Tenebrio molitor
2.3 Bahan dan Metode

2.3.1. Penyiapan biakan murni jamur entomopatogen


Isolat jamur B. bassiana yang akan digunakan merupakan koleksi
Departemen Hama dan penyakit Tumbuhan, Faperta Unpad. Biakan murni
dibuat pada media PDA .

2.3.2. Pembuatan mutan jamur entomopatogen

Biakan murni jamur entomopatogen B. bassiana (5-7 hari) diberi


penyinaran UV selama 15, 30, dan 60 menit dengan jarak penyinaran 30 cm, 40
cm, dan 50 cm dari sumber UV. Kontrol dibuat tanpa perlakuan penyinaran.

11
2.3.3. Uji hayati jamur entomopatogen

1. Spora jamur B. bassiana dipanen dari biakan murni (yang telah diberi
perlakuan sinar UV) dengan cara menuangkan air steril (mengandung 0,05
% Tween 80) ke atas biakan murni tersebut.
2. Miselium dan spora dipisahkan dari media PDA dengan menggunakan
jarum ose.
3. Air steril yang telah mengandung spora jamur B. bassiana dituangkan ke
dalam baker glass. Setelah itu, dihitung jumlah sporanya per mL.
Kerapatan spora yang akan diuji adalah 1 x 106 spora/mL air steril.
4. Masing-masing larutan spora B. bassiana selanjutnya disemprotkan ke 10
ekor ulat hongkong (ditempatkan pada petridish dan dialasi dengan kertas
tissue secukupnya). Untuk Kontrol, ulat hongkong disemprot dengan air
steril mengandung tween 0,05%.
5. Ulat Hongkong yang telah diberi perlakuan selanjutnya dipindahkan ke
petridish atau gelas plastik dan diberi makan jagung pecah secukupnya.
2.4 Pengamatan

Pengamatan dilakukan terhadap mortalitas larva ulat hongkong.


Pengamatan dilakukan setiap hari mulai 1 hari setelah perlakuan sampai 7 hari
setelah perlakuan (Kumulatif). Ulat hongkong dianggap mati kalau tidak bergerak
setelah disentuh. Mortalitas serangga uji (%) dihitung dengan rumus (A/B)*100.
Huruf A adalah jumlah searangga yang mati dan B adalah total serangga yang
diuji untuk setiap perlakuan.

Tabel pengamatan 1

12
Mortalitas ulang hongkong (%)
Perlakuan pada ulangan ke-
1 2 3 4 5 6 7
Kontrol
30 cm, 15 menit
30 cm, 30 menit
30 cm, 60 menit
40 cm, 15 menit
40cm, 30 menit
40 cm, 60 menit
50 cm, 15 menit
50 cm, 30 menit
50 cm, 60 menit

DAFTAR PUSTAKA

de Carolina Sánchez-Pérez, L., Barranco-Florido, J.E., Rodríguez-Navarro, S. and


Cervantes-Mayagoitia, J.F., 2014. Enzymes of entomopathogenic fungi,
advances and insights. Advances in Enzyme Research, 2014.
http://dx.doi.org/10.4236/aer.2014.22007.

Gul, H.T., Saeed, S. and Khan, F.Z.A., 2014. Entomopathogenic fungi as effective
insect pest management tactic: a review. Appl. Sci. Bus. Econ, 1(1), 10-18.

13

Anda mungkin juga menyukai