Bioteknologi
Pertanian
HPT
Oleh:
Fitri Widiantini, SP., MBtS., PhD.
Dr. Noor Istifadah, Ir., MCP.
Dr. Sri Hartati, SP., MSi.
Yusup Hidayat, SP., M.Phil., PhD.
Praktikum 1........................................................................................................................1
Peningkatan Kinerja Agens Biokontrol (Antagonis patogen)...............................................1
1.1 Pendahuluan......................................................................................................1
1.2 Tujuan.................................................................................................................3
1.3 Bahan dan Metode.............................................................................................3
1.3.1 Persiapan agens biokontrol dan jamur patogen.........................................3
1.3.2 Seleksi mutan.............................................................................................4
1.4 Pengamatan........................................................................................................5
Praktikum 2........................................................................................................................8
Peningkatan Kinerja Agens Biokontrol (Uji Hayati: entomopatogen)..................................8
2.1 Pendahuluan......................................................................................................8
2.2 Tujuan.................................................................................................................9
2.3 Bahan dan Metode.............................................................................................9
2.4 Pengamatan …………………………………………………………………………………………………… 10
Praktikum 1
1.1 Pendahuluan
1
Dengan metode dual culture dapat diketahui mekanisme antagonisme
yang mungkin terlibat dalam penghambatan patogen. Mekanisme antagonsime
yang mungkin terjadi disajikan pada Tabel 1.
Mekanisme Definisi
antagonisme
- Antibiosis Penghambatan patogen karena antagonis menghasilkan
metabolit sekunder yang bersifat toksik terhadap
patogen. Mekanisme antagonisme ini dapat dikenali
karena terdapat zone penghambatan atau zone bening
di sekitar koloni patogen yang tumbuh kearah antagois
- Kompetisi Kompetisi ruang dan nutrisi dapat dikenali dari
pertumbuhan koloni antagonis yang mendominasi
bahkan seringkali menumpuk/overgrown di atas koloni
pathogen
- Hiperparasitisme Pada dual culture biasanya terjadi apabila koloni
antagonis kontak atau menumpuk pada koloni patogen.
Untuk meyakinkan terjadinya hiperparaisitisme, maka
harus diamati adanya hifa antagonis yang melilit pada
hifa patogen, dan adanya penetrasi hifa antagonis
kedalam hifa patogen.
2
Guna meningkatkan keefektifan mikroba antagonis, maka dapat dilakukan
berbagai upaya diantaranya adalah dengan mutasi. Mutasi dapat terjadi secara
alami maupun buatan, yaitu melalui perlakuan secara kimiawi ataupun secara
fisik. Mutasi secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa
mutagenic Etil Metan Sulfonat (EMS), Dietil Sulfat (DES), Nitroso Metil Uretan
(NMU), atau pestisida. Perlakuan secara fisik yang dapat memicu terjadinya
mutasi antara lain sinar UV, sinar X , gamma (γ) , partikel beta atau sinar neutron.
1.2 Tujuan
3
juga ditumbuhkan pada media PDA sampai umur 5 hari, selanjutnya
jamur dan khamir tersebut diberi perlakuan dengan penyinaran UV
selama 15, 30, dan 60 menit dengan jarak penyinaran 5, 10, dan 15 cm
dari sumber UV, kontrol dibuat tanpa perlakuan penyinaran. Jamur yang
telah diberi perlakuan UV kemudian dipotong dengan menggunakan cork
borer berdiameter 6 mm. Sedangkan khamir diambil dengan
menggunakan jarum ose.
Jamur patogen yang akan digunakan pada percobaan ini adalah jamur
tular udara penyebab antraknosa pada tanaman cabai C. acutatum dan
jamur tular tanah penyebab rebah kecambah pada tanaman kedelai S.
rolfsii. Masing-masing jamur patogen ditumbuhkan pada media PDA
hingga diperoleh pertumbuhan yang maksimal (5-7 hari). Jamur kemudian
dipotong dengan menggunakan cork borer berdiameter 6 mm.
4
3 cm. Khamir ditumbuhkan dengan cara digores secara tegak lurus
(Gambar 2).
Patogen
A B
5
Gambar 1. Ilustrasi uji antagonisme T. harzianum secara dual culture
A. perlakuan, B. kontrol
3 cm
Patogen
ABK Patogen
A B
6
Gambar 2. Ilustrasi uji antagonisme C. tropicalis secara dual culture
A. perlakuan, B. kontrol
1.4 Pengamatan
R2
R1
Penghamba tan ( ) = 1 −( )x 100
R2
Keterangan:
7
R2 = panjang jari-jari jamur patogen tanpa perlakuan (kontrol)
Tabel Pengamatan 1
Perlakuan Panjang jari-jari C. acutatum Panjang jari-jari S. rolfsii (mm) pada
(mm) pada ulangan ke- ulangan ke-
1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7
Kontrol
5 cm, 15 menit
5 cm, 30 menit
5 cm, 60 menit
10 cm, 15 menit
10cm, 30 menit
10 cm, 60 menit
15 cm, 15 menit
15 cm, 30 menit
15 cm, 60 menit
Tabel Pengamatan 2
Perlakuan Efek Penghambatan (%) Efek penghambatan (%) S. rolfsii pada
C. acutatum pada ulangan ke- ulangan ke-
1 2 3 4 5 6 7 X 1 2 3 4 5 6 7 X
Kontrol
5 cm, 15 menit
5 cm, 30 menit
5 cm, 60 menit
10 cm, 15 menit
10cm, 30 menit
10 cm, 60 menit
15 cm, 15 menit
15 cm, 30 menit
15 cm, 60 menit
8
Analisa mekanisme antagonisme yang mungkin terlibat berdasarkan
karakteristik dari koloni patogen pada dual culture
DAFTAR PUSTAKA
Knudsen I.M.B., Hockenhull J., Jensen D.F., Gerhardson B., Hokeberg M.,
Tahvonen R., Teperi E., Sundheim L., Henriksen B. (1997) Selection of
biological control agents for controlling soil and seed-borne diseases in the
field. European Journal of Plant Pathology 103 : 775-784.
9
Praktikum 2
Peningkatan Kinerja Agens Biokontrol
(Uji Hayati: entomopatogen)
2.1 Pendahuluan
10
dengan struktur khusus (infection peg) yang berfungsi untuk secara mekanis
menembus kutikula serangga. Selain mengandalkan tekanan mekanis seperti di
atas, jamur entomopathogen juga umumnya memproduksi enzim pendegradasi
kutikula serangga seperti enzim lipase, protease, chitinase, dan lipoxygenases.
Dengan adanya aktivitas enzim-enzim ini, selain akan terdegradasinya lapisan
kutikula, hasil degradasinya akan juga menjadi sumber nutrisi bagi jamurnya.
Selain menghasilkan sejumlah enzim, jamur entomopathogen juga
diketahui dapat menghasilkan metabolit sekunder yang bersifat toksik terhadap
serangga sasaran. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa virulensi dari
suatu jamur entomopathogen sangat dipengaruhi oleh kemampuanya dalam
menghasilkan enzim dan juga toxin.
2.2 Tujuan
11
2.3.3. Uji hayati jamur entomopatogen
1. Spora jamur B. bassiana dipanen dari biakan murni (yang telah diberi
perlakuan sinar UV) dengan cara menuangkan air steril (mengandung 0,05
% Tween 80) ke atas biakan murni tersebut.
2. Miselium dan spora dipisahkan dari media PDA dengan menggunakan
jarum ose.
3. Air steril yang telah mengandung spora jamur B. bassiana dituangkan ke
dalam baker glass. Setelah itu, dihitung jumlah sporanya per mL.
Kerapatan spora yang akan diuji adalah 1 x 106 spora/mL air steril.
4. Masing-masing larutan spora B. bassiana selanjutnya disemprotkan ke 10
ekor ulat hongkong (ditempatkan pada petridish dan dialasi dengan kertas
tissue secukupnya). Untuk Kontrol, ulat hongkong disemprot dengan air
steril mengandung tween 0,05%.
5. Ulat Hongkong yang telah diberi perlakuan selanjutnya dipindahkan ke
petridish atau gelas plastik dan diberi makan jagung pecah secukupnya.
2.4 Pengamatan
Tabel pengamatan 1
12
Mortalitas ulang hongkong (%)
Perlakuan pada ulangan ke-
1 2 3 4 5 6 7
Kontrol
30 cm, 15 menit
30 cm, 30 menit
30 cm, 60 menit
40 cm, 15 menit
40cm, 30 menit
40 cm, 60 menit
50 cm, 15 menit
50 cm, 30 menit
50 cm, 60 menit
DAFTAR PUSTAKA
Gul, H.T., Saeed, S. and Khan, F.Z.A., 2014. Entomopathogenic fungi as effective
insect pest management tactic: a review. Appl. Sci. Bus. Econ, 1(1), 10-18.
13