bidang perlindungan tanaman dan peraturan yang ada untuk meminimalkan atau menghindari risiko tersebut. Setelah membaca bab ini diharapkan mahasiswa dapat 1) memahami risiko dan bahaya organisme transgenik; 2) memahami peraturan tentang penggunaan tanaman transgenik. Kelompok pertama adalah yang menolak produk transgenik. Kelompok kedua adalah yang menerima produk transgenik tanpa pertimbangan apapun. Kelompok ketiga adalah yang menerima produk transgenik setelah ditelaah dan dianalisis potensi manfaatnya dan potensi risiko serta bahayanya. Kemungkinan berdampak pada keanekaragaman hayati Kemungkinan timbulnya biotipe serangga atau ras patogen baru Kemungkinan berdampak pada hewan atau organisme bukan sasaran Kemungkinan berdampak pada manusia Ada kekhawatiran bahwa tanaman transgenik akan berubah menjadi gulma ataupun kemungkinan gen baru dipindahkan pada gulma dan menjadikannya gulma super. Setidaknya ada sebelas karakter yang dapat digunakan untuk menilai apakah suatu tanaman berpotensi menjadi gulma. Semakin banyak karakter gulma yang dimiliki oleh suatu tanaman, semakin berpotensi tanaman tersebut menjadi gulma yang sulit dikendalikan. Tanaman yang berpotensi menjadi gulma antara lain harus mempunyai sifat mampu bertahan hidup tanpa bantuan manusia; mempunyai sifat dormansi yang panjang, bila kondisi tidak menguntungkan, tetapi bila kondisi memungkinkan dormansi akan hilang dan tanaman segera tumbuh secara cepat; bersifat mudah menyebar; dan pesaing yang hebat. Karakter tanaman budidaya sangat berbeda dengan gulma. Penambahan satu atau dua gen misal ketahanan terhadap serangga dan/atau herbisida tidak akan mengembalikan semua karakter gulma pada tanaman budidaya. Jadi peluang tanaman budidaya menjadi gulma super sangat kecil. Keberhasil perpindahan gen dari satu tanaman ke tanaman lain dipengaruhi banyak faktor. Berapakah peluang tranfer gen dari tanaman budidaya ke gulma sehingga menjadikan suatu gulma menjadi gulma super? Peluang terjadinya transfer gen sangat besar pada tanaman yang menyebuk silang. Sebaliknya, peluang terjadinya transfer gen sangat kecil pada tanaman yang menyerbuk sendiri. Untuk itu dianjurkan tidak menanam tanaman transgenik pada pusat asalnya. Kegagalan persilangan antara dua tanaman untuk menghasilkan keturunan dapat dikarenakan adanya kendala sebelum pembuahan dan sesudah pembuahan. Kendala sebelum pembuahan meliputi kegagalan serbuk sari berkecambah dan lambatnya pertumbuhan tabung serbuk sari. Sementara itu, kendala setelah pembuahan meliputi ketidakcocokan kromosom, aborsi embrio, kematian hibrida, dan kesterilan hibrida. Pemikiran tersebut didasari oleh tekanan searah yang terus menerus dari tanaman transgenik terhadap serangga hama atau patogen akan menyebabkan jumlah serangga atau patogen yang tahan terhadap tanaman transgenik meningkat. Kasus patahnya resistensi telah terjadi pada tanaman hasil pemuliaan secara konvensional. Perlu dilakukan beberapa strategi untuk mengurangi atau memperlambat terjadinya hal tersebut. Strategi tersebut, antara lain: (a) menjaga populasi hama dan patogen tetap rentan dengan melakukan penanaman refugia (tanaman nontransgenik) 20-50 persen dari total area, atau mencampur benih transgenik dan nontransgenik, atau melakukan pergiliran tanaman dengan tanaman nontransgenik; (b) (b) diversifikasi sumber gen ketahanan yaitu dengan dua gen yang berbeda; dan (c) (c) melakukan pemantauan yang intensif untuk mengetahui secara dini timbulnya populasi biotipe atau strain baru. Kekhawatiran ini didasari oleh sifat racun dari gen Bt terhadap serangga, sehingga serangga berguna yang turut memakan tanaman transgenik tersebut mati akibat racun gen Bt. Sampai saat ini telah diisolasi gen Bt yang dimasukkan ke dalam delapan kelas atau kelompok cry (crystal), berdasarkan kevirulenan terhadap kelompok serangga sasaran. Sebagai contoh, cry I, IX dan X mematikan serangga golongan Lepidoptera, cry V dapat mematikan golongan Lepidoptera dan Coleoptera. Kristal protein tersebut hanya akan bekerja apabila bertemu sinyal penerima di dalam usus serangga dari golongan yang sesuai dengan kelas kevirulenan. Misal, cry I hanya aktif dan beracun pada serangga Lepidoptera. Oleh karena itu, secara teori tanaman transgenik yang mengandung gen cry I tidak akan beracun terhadap serangga berguna, hewan lain, atau manusia, kecuali terhadap serangga Lepidoptera. Walaupun demikian, untuk memastikan kebenaran teori tersebut diperlukan percobaan meliputi studi protein Bt terhadap hewan dan serangga berguna (lebah madu dan predator). Keamanan pangan merupakan salah satu kondisi yang penting dan dibutuhkan oleh manusia. Ada kekhawatiran terganggu kesehatan, apabila manusia mengonsumsi produk rekayasa genetika baik secara mentah maupun setelah dimasak. Kemungkinan menimbulkan keracunan, terutama untuk tanaman/makanan yang mengandung Bt-endotoksin. Peluang keracunan akibat memakan tanaman yang mengandung Bt-endotoksin sangat kecil, karena manusia tidak mempunyai reseptor Bt, sehingga Bt endotoksin tidak akan bekerja aktif dan bersifat racun terhadap manusia. Di samping itu, usus manusia bersifat asam, sedangkan Bt akan aktif/beracun pada pH > 5. Kemungkinan menimbulkan alergi. Peluang manusia alergi setelah memakan tanaman transgenik sangat tergantung pada gen yang disisipkan. ◦ Penggunaan gen yang berasal dari komoditas sumber alergen seperti telur, ikan, makanan laut, kacang tanah, tree nut, dan gandum harus dihindari. ◦ Studi kasus pada perakitan kedelai transgenik yang mendapatkan gen metionin Brasil nut memperlihatkan bahwa perakitan berhasil, dan diperoleh kedelai dengan kandungan metionin yang tinggi. ◦ Akan tetapi, setelah dilakukan pengujian sifat alergi terhadap manusia, ternyata orang yang alergi terhadap brasil nut, menjadi alergi terhadap kedelai yang mengandung gen brasil nut. Akibatnya, kedelai tersebut tidak diperbolehkan untuk dikembangkan dan dilepas. ◦ Jadi, peluang manusia alergi akibat memakan tanaman transgenik sangat kecil, karena tanaman transgenik yang dilepas dan dijual telah lolos uji klinis. Kemungkinan menyebabkan bakteri dalam tubuh manusia tahan antibiotik, akibat penggunaan marka tahan antibiotik seperti kanamycin resisten (Kan-R) pada pembuatan tanaman transgenik. ◦ Kemungkinan ini sangat kecil karena gen Kan-R terintegrasi dalam kromosom tanaman dan tanaman tidak mempunyai mekanisme transfer gen. ◦ Selain itu gen berada pada komando promotor tanaman dan tidak akan bekerja pada bakteri. ◦ Cara yang lebih cepat untuk menjadikan bakteri dalam tubuh menjadi tahan adalah mengkonsumsi antibiotik secara tidak benar pada waktu sakit. Kemungkinan adanya perbedaan susunan dan nutrisi. ◦ Tanaman transgenik harus memenuhi persyaratan kesepadanan subtansi dengan tanaman nontransgenik. ◦ Kesepadanan tersebut meliputi karakter fenotipe yang berupa morfologi, pertumbuhan, hasil, warna, aroma, rasa, dan tekstur; serta perbandingan sunan dan nilai gizi, yang meliputi kandungan abu, karbohidrat, lemak, serat, protein, asam amino,asam lemak, antigizi, bahan beracun dan allergen. a). Organisme yang dimodifikasi. b). Gen dan urutan gen yang dimasukkan. c). Organisme hasil modifikasi terkait secara keseluruhan. d). Permintaan ijin (untuk penelitian atau untuk dipasarkan). e). Lingkungan tempat organisme hasil modifikasi dilepas atau digunakan. f). Situasi dewasa ini (termasuk penggunaan organisme yang tidak dimodifikasi). a). Identifikasi potensi bahaya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. b). Perkiraan besarnya kemungkinan bahaya tersebut dapat terjadi. Hal ini didasarkan pada karakteristik gen yang dimasukkan, karakteristik organisme yang dimodifikasi, dan karakteristik ruang lingkup permintaan (untuk riset atau komersial). c). Evaluasi risiko berdasarkan bahaya potensial dan kemungkinan bahaya tersebut dapat terjadi. Evaluasi ini harus dilaksanakan secara detail untuk tiap komponen yaitu setiap gen, urutan gen, organisme yang bersangkutan serta organisme hasil modifikasi. Evaluasi dilaksanakan secara ilmiah berdasarkan kenyataan dan rujukan yang sahih. Pengkajian risiko meliputi langkah sebagai berikut:
d). Kajian mengenai risiko yang mungkin
terjadi tersebut apakah dapat diterima, dihindarkan atau dikelola, termasuk strategi pengelolaan tersebut. e). Kajian terhadap dampak lingkungan secara menyeluruh berdasarkan a) sampai d), sehingga dapat dibuat usulan/rekomendasi terhadap yang berwenang memberikan ijin, yang berisi tiga kemungkinan yaitu ditolak karena risikonya terlalu besar, diterima ataupun diterima dengan syarat. Berkembangnya bioteknologi di beberapa negara, menyebabkan terjadinya peningkatan introduksi organisme transgenik dan produk ikutannya. Apabila penelitian, pengembangan, pelepasan, peredaran, dan pemanfaatan produk rekayasa genetik tidak diatur dengan baik dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak yang merugikan kesehatan, lingkungan hidup maupun kepentingan nasional. Ada beberapa dasar hukum yang mengatur penelitian, pengembangan, peredaran, dan pemanfaatan produk rekayasa genetik, baik di tingkat internasional maupun nasional. 1. Dasar Hukum Internasional Di tingkat internasional terdapat beberapa perjanjian yang berkaitan dengan produk hasil rekayasa genetika, yaitu: a). Konvensi keanekaragaman hayati Konvensi ini ditandatangani pada tahun 1994. Pasal 19 konvensi ini menyatakan bahwa negara penandatangan diharapkan mempertimbangkan pengaturan tentang pemindahan, penanganan dan pemanfaatan produk hasil rekayasa genetika yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Negara peserta dimohon untuk menyusun protokol keamanan hayati. Indonesia sudah meratifikasi konvensi ini melalui Undang- undang No. 5 tahun 1994. b). Protokol Cartagena tentang keamanan hayati (Januari 2000) Protokol ini mengatur tentang pengendalian yang memadai dalam hal transfer, penanganan dan penggunaan yang mungkin berpengaruh merugikan terhadap kelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati, dengan juga mempertimbangkan risiko terhadap kesehatan manusia, dan khususnya berfokus pada pergerakan lintas batas. Protokol Catagena merupakan pedoman dalam mengendalikan pelepasan organisme hasil modifikasi ke lingkungan dengan memperhatikan risikonya terhadap manusia. Protokol memuat beberapa pasal sebagai aplikasi dari ‘Precautionary Principle’ (prinsip kehati-hatian) antara lain tentang perlunya ‘Risk Assessment’, ‘Risk Management’, dan ‘Advance Procedure Agreement’. 2. Dasar Hukum Nasional Di tingkat nasional terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan yang berkaitan dengan produk hasil rekayasa genetika antara lain: a). UU No. 12 tahun 1996 tentang Sistem Budidaya Tanaman, khususnya pasal 12 dan 13. b). UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. c). UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan. Pasal 13 undang-undang ini berisikan kewajiban memeriksakan keamanan pangan bagi kesehatan manusia, serta pemerintah menerapkan persyaratan dan prinsip penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan metode rekayasa genetika dalam kegiatan produksi pangan serta persyaratan pengujian pangan dari proses rekayasa genetika. d). UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. e). UU No. 29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. f). PP No. 44 tahun 1995 tentang Pembenihan Tanaman. g). PP No. 89 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Pasal 35 peraturan pemerintah ini berisikan kewajiban mencantumkan label pangan rekayasa genetika pada produk atau pangan hasil rekayasa genetika. h). SK Mentan No. 856/Kpts/Hk.330/9/1997 tentang ketentuan Keamanan Hayati Produk Bioteknologi Pertanian Hasil Rekayasa Genetika (PBPHRG). SK Mentan ini belum mencakup aspek keamanan pangan, oleh karena itu, SK tersebut diperbaiki dengan SKB 4 Menteri. i). SKB 4 Menteri (Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura) tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik, ditandatangani pada tanggal 29 September 1999. SK bersama ini dimaksudkan untuk mengatur dan mengawasi keamanan hayati dan pangan pemanfaatan PBPHRG agar tidak mengganggu, merugikan dan membahayakan manusia, keanekaragaman hayati dan lingkungan. Untuk melaksanakan SKB tersebut dibentuk Komisi Komisi Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan yang dalam tugasnya dibantu Tim Teknis Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan. Bioteknologi secara teknis telah membantu tercapainya beberapa tujuan pertanian berkelanjutan. Namun diperlukan kehati-hatian dalam penelitian, pengembangan, pelepasan, peredaran, dan pemanfaatan produk rekayasa genetik, karena adanya potensi menimbulkan dampak yang merugikan kesehatan dan lingkungan. Pengkajian mengenai potensi risiko dan bahaya perlu dilakukan sebelum memanfaatkan produk rekayasa genetika. Demikian juga dasar hukum yang mengatur penelitian sampai pemanfaatannya. Adiwilaga, K. 2000. Isu Keamanan Pangan dan Lingkungan Tanaman Hasil Rekayasa Genetika. Bahan Diskusi Peringatan Hari Hak-hak Konsumen Sedunia. Prakoso, B., A. Suyanto dan E. Mugiastuti. 2008. Bahan Ajar Bioteknologi untuk Fakultas Pertanian Unsoed. Herman, M. 1999. Tanaman Hasil Rekayasa Genetik dan Pengaturan Keamanannya di Indonesia. Bulletin AgroBio. 3(1): 8-26. Indonesian Center for Enviromental Law. Analisis Yuridis Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Mengenai Keamanan Pangan dan Keamanan Hayati Produk Bioteknologi Hasil Rekayasa Genetika. Suwanto, A. 2000. Tanaman Transgenik: Bagaimana Kita Menyikapinya? Hayati. 7: 26-30. Somowiarjo, S. 2000. Menyikapi Produk Bioteknologi, Khususnya di Bidang Fitopatologi. Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta.