OLEH :
FIRA MAWARDANI
17025010036
FAKULTAS PERTANIAN
2019
I. PENDAHULUAN
Sejauh ini upaya pengendalian jamur patogen telah banyak dilakukan, baik melalui teknik
budidaya, mekanis, maupun kimiawi. Pengendalian secara kimiawi pada umumnya masih
mengandalkan penggunaan fungisida sintetik, namun penggunaan secara berkepanjangan
dapat berdampak negatif bagi ekosistem (Mahartha dkk., 2013).
Salah satu alternatif untuk mengantisipasi dampak tersebut adalah melalui pengendalian
biologi dengan memanfaatkan Agen Pengendali Hayati (APH). APH dapat dimanfaatkan
karena mampu membatasi pertumbuhan patogen untuk waktu yang lebih lama,
tidak meninggalkan residu dan menjaga keseimbangan ekosistem (Purnomo, 2010).
Pengendalian hayati menggunakan agen antagonis dengan satu kali pemakaian
dapat menekan pertumbuhan dan perkembangan patogen untuk jangka waktu yang relatif
panjang tanpa menimbulkan pencemaran lingkungan (Achmad dkk., 2009)
Introduksi antagonis untuk pengendalian hayati, suatu patogen tanaman dari daerah atau
negara lain harus dipastikan bahwa antagonis yang diintroduksi mempunyai kemampuan
beradaptasi dan berkembang dengan baik. Sebagai langkah awal, maka dilakukan dalam
skala laboratorium dengan uji in vitro. Hal ini bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan
antagonis dalam ruang lingkup yang lebih sempit serta keadaan lingkungan yang terkendali
(Afrizal dkk., 2013)
Trichoderma sp. adalah jamur saprofit tanah yang secara alami dapat dimanfaatkan
sebagai agens hayati, karena memiliki sifat antagonisme terhadap patogen berupa kompetisi
ruang dan nutrisi, mikoparasit dan antibiosis. Selain itu jamur Trichoderma sp. juga memiliki
beberapa kelebihan seperti mudah diisolasi, daya adaptasi luas, mudah ditemukan pada areal
pertanaman, dapat tumbuh dengan cepat pada berbagai substrat, memiliki kisaran
mikroparasitisme yang luas dan tidak bersifat patogen pada tanaman. Beberapa hasil
penelitian melaporkan bahwa Trichoderma sp. dapat mengendalikan patogen pada berbagai
komoditas tanaman, diantaranya Phytophthora infestans penyebab penyakit busuk daun dan
umbi kentang (Purwantisari dkk., 2009).
Trichoderma sp. efektif dalam pengendalian jamur penyakit yang berasal dari tanah / biji
pada beberapa tanaman panen. Mekanisme utama yang terlibat dalam aktivitas biokontrol di
Trichoderma sp. dilaporkan sebagai kompetisi untuk ruang dan nutrisi, produksi difusif dan
atau volatil dan tidak mudah menguap antibiotik dan enzim hidrolitik yang sebagian
menurunkan dinding sel patogen dan menyebabkan parasitisasi (Rajeswari dan Kannabiran,
2011).
Uji in vitro diawali dengan persiapan biakan murni jamur dengan cara menginokulasi
biakan jamur patogen dan antagonis pada medium PDA dan diinkubasi pada suhu 250-270C
selama 7x24 jam. Pengujian daya antagonisme secara in vitro dilakukan dengan metode
biakan ganda (dual culture) dengan cara memotong biakan murni jamur yang telah
dipersiapkan dengan bor gabus steril dan diletakkan pada permukaan medium PDA secara
berpasangan antara jamur patogen dan jamur antagonis (Ningsih dkk., 2016).
III. METODOLOGI PRAKTIKUM
4.2 Pembahasan
Uji antagonis adalah suatu cara untuk mengukur kemampuan bakteri atau jamur
antagonis terhadap pathogen pada skala in vitro (skala laboratorium). Tujuanya untuk
mengetahui kemampuan jamur tersebut dalam menekan petumbuhan dan perkembngan
pathogen. Praktikum uji antagonisme ini menggunakan jamur Tricoderma sp., Fusarium sp.,
dan Colletotrichum sp. Jamur Tricoderma sp. sebagai antagonis sedangkan jamur Fusarium
sp. dan Colletotrichum sp. sebagai jamur pathogen. Praktikum ini dilakukan dengan
membiakan kedua jamur yang berlawanan dalam satu wadah cawan petri yang diberi jarak
penanaman dari pinggir bibir cawan petri sekitar 1 cm. Terdapat lima perlakuan yang
dilakukan pada praktikum ini. Perlakuan pertama dilakukan terhadap dua jamur yaitu
Trichoderma sp. dengan Fusarium sp. yang diletakkan pada satu cawan petri yang dibagi
dua. Perlakuan kedua juga sama dengan perlakuan yang pertama tetapi berbeda jamur yang
digunakan yaitu Trichoderma sp. dan Colletotrichum sp. Perlakuan ketiga, keempat dan
kelima diletakkan satu jamur pada setiap cawan petri dengan menggunakan masing-masing
jamur sebagai perlakuan kontrol. Persentase antagonis dihitung mulai hari ketiga setelah
inokulasi karena biasanya pada hari pertama dan kedua pertumbuhan jamur masih belum
stabil, ada yang tumbuh kecil dan ada yang tiba-tiba besar sehingga kurang valid untuk
dijadikan sebagai data.
Uji antagonisme jamur Trichoderma sp. terhadap Fusarium sp. didapatkan hasil
persentase daya penghambatan yang diukur mulai dari 3 HSI sampai 7 HSI yaitu pada 3 HSI
diperoleh persentase sebesar 10,63%, pada 4 HSI diperoleh 19,35%, pada 5 HSI diperoleh
35,44%, pada 6 HSI diperoleh 28,39%, dan pada 7 HSI diperoleh hasil 34,44%. Hasil
tersebut menunjukkan tingkat daya penghambatan yang semakin meningkat dari hari ke hari.
Berdasarkan tabel pengamatan diameter jamur Fusarium sp. juga menunjukkan bahwa
Trichoderma sp. mampu menghambat pertumbuhan Fusarium sp. Aktifitas antagonis yang
dilakukan jamur Trichoderma sp. untuk menghambat pertumbuhan jamur patogen Fusarium
sp. antara lain dikaitkan dengan kemampuannya menghasilkan enzim kitinase. Enzim kitinase
yang diproduksi oleh genus Trichoderma sp. lebih efektif dari pada enzim kitinase yang
dihasilkan organisme lain, untuk menghambat berbagai jamur patogen tanaman. Tetapi pada
pengamatan ini hanya terjadi sedikit peningkatan pertumbuhan pada jamur Fusarium sp.
kontrol yang berpengaruh juga terhadap hasil perhitungan persentase penghambatannya. Hal
ini diduga karena terdapat kontaminan berupa bakteri dan jamur lain yang juga tumbuh pada
media Fusarium sp. sehingga pertumbuhannya terganggu dan tidak maksimal.
Uji antagonisme jamur Trichoderma sp. terhadap Colletotrichum sp. didapatkan hasil
persentase daya penghambatan yang diukur mulai dari 3 HSI sampai 7 HSI yaitu pada 3 HSI
diperoleh persentase sebesar 48,43%, pada 4 HSI diperoleh 57,64%, pada 5 HSI diperoleh
61,85%, pada 6 HSI diperoleh 65,17%, dan pada 7 HSI diperoleh hasil 66,94%. Hasil
tersebut juga menunjukkan bahwa jamur Trichoderma sp. mampu menghambat jamur
Colletotrichum sp., hal itu karena hasil persentase daya hambatnya yang semakin meningkat.
Hasil pengamatan menunjukan bahwa pertumbuhan koloni jamur Trichoderma sp. lebih
cepat bila dibandingkan dengan jamur Colletotrichum sp. Proses penghambatan dalam media
PDA tersebut kemungkinan karena tiga cara, yakni sebagai hiper-parasitisme, mengeluarkan
senyawa antibiotik dan unggul dalam kompetisi ruang. Trichoderma sp. memiliki
kemampuan dalam mengeluarkan senyawa antibiotik yang berfungsi sebagai antifungal
dalam menghambat pertumbuhan dan bahkan menjadi mikroparasit jamur patogen
Colletotrichum sp. sehingga dalam pengamatan hari keenam jamur Trichoderma sp. telah
dapat menutupi semua permukaan media. Penghambatan Trichoderma sp. terhadap
Colletotrichum sp. diduga karena komposisi dinding luar hifa Colletotrichum sp. yang
menyebabkan patogen ini mudah di degradasi oleh enzim kitinase (Afrizal dkk, 2013). Enzim
kitinase yang dihasilkan oleh Trichoderma sp. ini menyebabkan dinding hifa patogen
Colletotrichum sp. terlarut sehingga menyebabkan pertumbuhan patogen menjadi terhambat
lalu kemudian mati.
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Uji antagonisme jamur Trichoderma sp. terhadap jamur Fusarium sp. menunjukkan
bahwa Trichoderma sp. mampu menghambat pertumbuhan Fusarium sp. Aktifitas antagonis
Trichoderma sp. dikaitkan dengan kemampuannya menghasilkan enzim kitinase. Tetapi
peningkatan pertumbuhan pada jamur Fusarium sp. cukup sedikit karena terdapat
kontaminan yang mengganggu pertumbuhan Fusarium sp. menjadi tidak maksimal.
Uji antagonisme jamur Trichoderma sp. terhadap Colletotrichum sp. menunjukkan
bahwa jamur Trichoderma sp. mampu menghambat jamur Colletotrichum sp., hal itu karena
hasil persentase daya hambatnya yang semakin meningkat. Hal ini karena Trichoderma sp.
memiliki kemampuan mengeluarkan senyawa antibiotik yang berfungsi dalam menghambat
pertumbuhan dan bahkan menjadi mikroparasit jamur patogen.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, E.N. Herliyana, O.A.F. Yurti dan A.P. Hidayat. 2009. Karkteristik Fisiologi Isolat
Pleurotus spp. Jurnal Litri 15 : 46-51.
Afrizal, Marlina, dan F. Susanti. 2013. Kemampuan Antagonis Trichodema sp. Terhadap
Beberapa Jamur Patogen In Vitro. J. Floratek 8 (1): 45-51.
Mahartha, K.A., Khalimi, K. dan Wirya, G.N.A.S. 2013. Uji Efektivitas Rhizobakteri Sebagai
Agen Antagonis terhadap Fusarium oxysporum f. sp. capsisi Penyebab
Penyakit Layu Fusarium Pada Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens
L.) E-jurnal Agroekoteknologi Tropika 2 (3) : 145-154.
Ningsih, H., Hastuti, U.S. dan Listyorini, D. 2016. Kajian Antagonis Trichoderma Spp.
terhadap Fusarium Solani Penyebab Penyakit Layu pada Daun Cabai Rawit
(Capsicum frutescens) Secara in Vitro. Proceeding Biology Education
Conference. Vol 13 (1) : 814-817.
Purnomo, H. 2010. Pengantar Pengendalian Hayati. Yogyakarta : Penerbit Andi.
Purwantisari, S. dan Hastuti, R. B. 2009. Uji Antagonisme Jamur Patogen Phytophthora
infestans Penyebab Penyakit Busuk Daun dan Umbi Tanaman Kentang
Dengan Menggunakan Trichoderma spp. Isolat Lokal. BIOMA 11 (1) : 24-32.
Rajeswari, P. dan Kannabiran, B. 2011. In Vitro Effects of Antagonistic Microorganisms on
Fusarium oxysporum [Schlecht. Emend. Synd & Hans] Infecting Arachis
hypogaea L. J. Phytol. 3(3) : 83-85.