Oleh
SURYANEGARA DWIPA RS
1. Pendahuluan ………………………………………………………………………… 1
1.1 Pengertian Jalan Raya............................................................................................ 1
1.2 Syarat-syarat Suatu Ruas Jalan ……………………………………………….... 1
1.3 Elmen Perencanaan Geometrik jalan………………………………………….... 1
1.4 Pengelompokan Jalan …………………………………………………………… 2
2. Penampang Melintang ………………………………………………………………. 7
2.1 Jalur Lalu lintas dan Lajur Lalu Lintas …………………………………………. 7
2.2 Kemiringan Melintang .......................................................................................... 8
2.3 Bahu Jalan ............................................................................................................ 8
2.4 Trotoar .................................................................................................................. 8
2.5 Median .................................................................................................................. 8
3. Parameter Perencanaan ............................................................................................... 10
3.1 Kendaraan Rencana ...............................................................................................10
3.2 Kecepatan Rencana ............................................................................................... 11
3.3 Volume Lalu lintas ................................................................................................ 12
3.4 Tingkat Pelayanan .................................................................................................14
3.5 Jarak Pandangan ....................................................................................................14
4. Alinemen Horisontal ....................................................................................................22
4.1 Pengertian Alinemen Horisontal ........................................................................... 22
4.2 Mentrase Jalan .......................................................................................................23
4.3 Kemiringan Melintang Pada Tikungan ................................................................. 24
4.4 Bentuk-bentuk Lengkung Horisontal (Tikungan) .................................................28
4.4.1 Tikungan Full Circle (FC) ............................................................................29
4.4.2 Tikungan Spiral – Circle – Spiral (S-C-S) ................................................... 31
4.4.3 Tikungan Spiral – Spiral ………………………………………………….. 38
5. Diagram Superelevasi …………………………………………………………….. 39
6. Alinemen Vertikal ………………………………………………………………… 42
6.1 Persamaan Lengkung Vertikal ………………………………………………….. 42
6.2 Menentukan Panjang Lengkung Vertikal ………………………………………..45
PENDAHULUAN
Obyektif :
Setelah menyelesaikan materi ini mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan jalan raya
2. Menyebutkan syarat-syarat dari suatu ruas jalan
3. Menjelaskan elemen perencanaan geometrik jalan raya
Yang dimaksud dengan jalan raya adalah jalur diatas permukaan bumi yang sengaja
dibuat oleh manusia dengan bentuk, ukuran dan konstruksinya sedemikian rupa
sehingga dapat dipergunakan untuk menyalurkan lalu lintas orang dan kendaraan
dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya dengan mudah dan cepat.
Untuk dapat menjalankan fungsinya, suatu ruas jalan harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
1. Kuat, jalan harus mampu memikul beban kendaraan yang lewat diatasnya
2. Awet, kekuatan jalan harus tahan lama
3. Aman, jalan harus direncanakan dengan bentuk yang dapat meminimalkan
kecelakaan
4. Nyaman, jalan harus dapat melayani lalu lintas dengan kecepatan sesuai dengan
kecepatan rencana.
5. Biaya Operasi Kendaraan ( BOK ) rendah
Agar jalan kuat dan awet, maka jalan harus dibuat dengan material yang bagus serta
proses pembuatan yang memenuhi syarat. Untuk memenuhi persyaratan aman dan
nyaman, maka bentuk fisik jalan harus dirancang sesuai dengan kecepatan yang
direncanakan dan agar BOK rendah, maka lapis permukaan jalan harus dibuat
fleksibel ( lentur ) dan rata.
Elemen dari perencanaan geometrik jalan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu alinemen
horisontal, alinemen vertikal dan penampang melintang. Alinemen horisontal ( trase
Menurut sistemnya, sesuai dengan Undang Undang tentang jalan No. 13 tahun
1980 dan Peraturan Pemerintah N0. 26 tahun 1985, sistem jaringan jalan di
Indonesia dibedakan atas Sistem Jaringan Jalan Primer dan Sistem Jaringan Jalan
Sekunder.
Sistem Jaringan Primer adalah sistem jaringan jalan dengan peranan sebagai
pelayanan jasa distribusi untuk pengembangan wilayah di tingkat nasional yang
menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang kemudian berkembang menjadi
kota. Berdasarkan uraian diatas, sistem jaringan jalan primer mempunyai peranan
untuk menghubungkan simpul-simpul jasa distribusi sebagai berikut :
1. Dalam satu Satuan Wilayah Pengembangan, menghubungkan secara menerus
kota jenjang kesatu ( ibu kota propinsi ), kota jenjang kedua ( ibu kota
kabupaten ), kota jenjang ketiga ( kecamatan ) dan kota jenjang dibawahnya
sampai ke persil.
2. Menghubungkan ibu kota propinsi dengan ibu kota propinsi antar Satuan Wilayah
Pengembangan.
Sistem jaringan jalan sekunder adalah sistem jaringan jalan dengan peranan sebagai
pelayanan jasa distribusi untuk masyarakat dalam kota. Ini berarti bahwa sistem
jaringan jalan sekunder dirancang mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang kota
yang menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi
sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan seterusnya
sampai perumahan.
Dari penjelasan diatas, maka sistem jaringan jalan primer terdiri dari :
1. Jalan arteri primer, yaitu jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan
kota jenjang kesatu terdekat, atau mengubungkan kota jemjang kesatu dengan
kota jenjang kedua.
2. Jalan kolektor primer, adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua
dengan kota jenjang kedua atau kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga
3. Jalan lokal primer, yaitu jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan
persil atau menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga, kota
jenjang ketiga dengan kota jenjang dibawahnya, kota jenjang ketiga dengan persil
atau kota dibawah jenjang ketiga sampai persil.
1. Jalan arteri sekunder, yaitu jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan
kawasan sekunder kesatu atau kawasan sekunder kesatu dengan kawasan
sekunder kesatu, atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan
kawasan sekunder kedua.
Menurut volume lalu lintas yang dilayani, jalan dikelompokkan menjadi Jalan
Kelas I ( jalan raya utama ), Jalan Kelas II ( IIA, IIB, IIC ) dan Jalan Kelas III.
- Jalan kelas I melayani lalu lintas dengan volume lebih dari 20.000 SMP
- Jalan kelas IIA melayani lalu lintas dengan volume antara 8000 – 20.000 SMP
- Jalan kelas IIB melayani lalu lintas dengan volume antara 2000 – 8000 SMP
- Jalan kelas IIC melayani lalu lintas dengan volume kurang dari 2000 SMP.
Kota Kota
Jenjang Jenjang
Jalan Lokal
III III
Primer
Jalan Lokal Primer
Kota dibawah
Jenjang III
Persil
Jalan Arteri
Jalan Arteri Sekunder Sekunder
Kawasan
Sekunder III
Perumahan
Obyektif :
Setelah menyelesaikan materi ini mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan penampang melintang jalan
2. Menyebutkan bagian-bagian dari suatu jalan
3. Menjelaskan fungsi dari bagian-bagian suatu jalan
Permukaan jalan harus dimiringkan kearah melintang jalan agar air bisa
mengalir ke saluran samping. Untuk jalan beraspal, kemiringan melintang pada
jalan lurus bervariasi antara 2 % - 4 %. Semakin kedap air lapisan permukaan
maka semakin kecil kemiringan melintang yang dapat digunakan. Pada tikungan,
selain untuk drainase kemiringan melintang diperlukan untuk mengimbangi gaya
sentrifugal bersama-sama dengan gesekan permukaan lapis perkerasan. Pada
bahu jalan, kemiringan melintang bisa mencapai 6% tergantung dari apakah bahu
jalan tersebut diperkeras atau tidak.
Bahu jalan adalah jalur yang terletak antara jalur lalu lintas dengan saluran
samping yang berfungsi untuk :
1. Tempat berhenti sementara
2. Tempat untuk menghindar saat terjadi keadaan darurat.
3. Memberikan kelegaan pada pengemudi
4. Memberikan sokongan pada perkerasan
5. Ruang tempat peralatan pada saat ada perbaikan jalan
6. Ruang untuk lintasan kendaraan patroli ( untuk jalan tol atau jalan dengan
kecepatan tinggi )
Jenis bahu :
1. Bahu yang diperkeras
2. Bahu yang tidak diperkeras
Lebar bahu jalan bervariasi antara 0,50 meter sampai dengan 2,50 meter
tergantung dari fungsi jalan, volume lalu lintas, kegiatan di sekitar jalan, ada
tidaknya trotoar, biaya yang tersedia untuk pembebasan tanah dan biaya untuk
konstruksi.
2.4. Trotoar
Trotoar adalah jalan untuk pejalan kaki ( pedestrian ) dengan lebar antara
1,5 meter sampai dengan 3,0 meter. Untuk keamanan para pejalan kaki, maka
Teknik Jalan Raya I Halaman : 8
trotoar secara fisik harus dipisahkan dengan jalur lalu lintas dengan memakai
kereb. Perlu tidaknya trotoar tergantung dari volume pejalan kaki dan volume lalu
lintas.
2.5. Median
Untuk memenuhi fungsi diatas, maka median beserta batas-batasnya harus jelas
terlihat oleh pengemudi baik pada waktu siang mapun pada malam hari.
Obyektif :
Setelah menyelesaikan materi ini mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan parameter perencanaan
2. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan kendaraan rencana
3. Menjelaskan pengaruh kendaraan rencana terhadap perencanaan geometrik
4. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan jarak pandangan
CL
Jalan raya dengan volume lalu lintas tinggi dapat direncanakan dengan
kecepatan rencana yang tinggi karena biaya konstruksi dan biaya pembebasan
tanah dapat diimbangi oleh penghematan biaya operasi kendaraan dan biaya
operasi lainnya. Sebaliknya, jalan raya dengan volume lalu lintas yang rendah
tidak dapat direncanakan dengan kecepatan rencana rendah karena
pengemudi memilih kecepatan bukan berdasarkan volume lalu lintas saja,
tetapi juga berdasarkan batasan fisik.
Volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melintasi suatu titik pengamatan
dalam satu satuan waktu. Volume lalu lintas yang tinggi membutuhkan lebar
Teknik Jalan Raya I Halaman : 13
perkerasan jalan yang lebih lebar, untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi
pemakai jalan. Tetapi jalan yang terlalu lebar untuk volume lalu lintas yang rendah
cenderung membahayakan, karena pengemudi cenderung mengemudikan
kendaraannya dengan kecepatan yang lebih tinggi yang belum tentu
dimungkinkan oleh kondisi jalan yang ada. Disamping itu akan meningkatkan
biaya pembuatan jalan.
LHRT dinyatakan dalam SMP/hari/2 arah untuk jalan 2 jalur 2 arah atau
SMP/hari/1 arah untuk jalan berlajur banyak dengan median. Untuk dapat
menghitung LHRT, harus tersedia data volume kendaraan yang terus menerus
selama 1 tahun penuh. Mengingat akan biaya yang diperlukan, dan
membandingkan dengan ketelitian yang dicapai serta tidak semua tempat di
Indonesia mempunyai data lalu lintas selama 1 tahun, maka dapat dipakai Lalu
Lintas Harian rata-rata ( LHR ). LHR adalah hasil bagi jumlah kendaraan yang
diperoleh selama pengamatan dengan lamanya pengamatan.
Volume lalu lintas selama 1 jam yang dapat dipakai sebagai VJP haruslah
sedemikian rupa sehingga :
1. Volume tersebut tidak boleh terlalu sering terdapat pada distribusi arus lalu
lintas setiap jam untuk periode 1 tahun.
Mengenai VJP akan dibahas secara lebih mendetail pada Mata Kuliah Teknik Lalu
Lintas.
Kapasitas
Kapasitas adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat melewati suatu
penampang jalan pada jalur jalan selama 1 jam dengan kondisi arus lalu lintas
tertentu. Perbedaan antara VJP dengan Kapasitas adalah, VJP menunjukkan
volume lalu lintas yang direncanakan akan melintasi suatu penampang jalan
selama 1 jam, sedangkan kapasitas menunjukkan volume lalu lintas yang
maksimum yang dapat melintasi penampang jalan tersebut dalam 1 jam.
d1 = V . t meter
= 0,278 V.t ; dimana V dalam km/jam dan t dalam detik
Jarak mengerem ( d2 ) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan, dari saat
menginjak pedal rem sampai kendaraan itu berhenti. Dengan memperhitungkan
gesekan antara ban dengan muka jalan, maka :
Pada jalan berlandai, komponen berat kendaraan yang sejajar dengan permukaan
jalan berpengaruh terhadap jarak pengereman. Pada jalan yang menurun, jarak
pengereman akan semakin panjang sedangkan pada jalan yang mendaki, jarak
pengereman semakin pendek.
Ada beberapa pertimbangan yang dipakai sebagai dasar untuk menentukan jarak
pandangan henti. Untuk jalan 2 arah tak terpisah, untuk landai menurun, jarak
mengerem = jarak mengerem untuk jalan datar. Untuk jalan 1 arah, jarak
mengerem harus dipertimbangkan terhadap landai yang ada.
Untuk kondisi jalan menurun yang panjang, jarak pandangan henti minimum
sebaiknya diambil lebih panjang dari pada keadaan normal karena tinggi mata
pengemudi truk yang lebih tinggi menjadi tidak berarti lagi dan kecepatan truk
hampir sama dengan kecepatan mobil penumpang.
Pada jalan 2 lajur 2 arah, kendaraan dengan kecepatan tinggi sering mendahului
( menyiap ) kendaraan dengan kecepatan yang lebih rendah sehingga pengemudi
tetap dapat mempertahankan kecepatannya sesuai dengan keinginannya.
Gerakan menyiap dilakukan dengan mengambil lajur jalan untuk kendaraan yang
berlawanan arah. Jarak yang dibutuhkan pengemudi untuk dapat melihat
kendaraan dari arah depan dengan bebas sehingga dpat melakukan gerakan
menyiap dengan aman disebut dengan jarak pandangan menyiap.
Proses gerakan menyiap, dapat dikelompokkan menjadi dua tahap seperti gambar
dibawah ini (Silvia Sukirman, 1992).
Dimana :
d1 = Jarak yang ditempuh selama waktu reaksi oleh kendaraan yang akan
menyiap dan membawa kendaraannya yang hendak membelok ke lajur
kanan.
d2 = Jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang menyiap selama berada di
lajur kanan.
d3 = Jarak bebas yang harus ada antara kendaraan yang menyiap dengan
kendaraan yang berlawanan arah setelah gerakan menyiap selesai
dilakukan.
d4 = jatak yang ditempuh oleh kendaraan yang berlawanan arah selama 2/3
dari waktu yang diperlukan oleh kendaraan yang menyiap berada pada
lajur sebelah kanan atau sama dengan 2/3 d2.
d = d1 + d2 + d3 + d4
dimana :
d1 = 0,278 t1 ( V – m + at1/2 )
dengan : t1 = waktu reaksi yang tergantung kecepatan
= 2,12 + 0,026 V
m = perbedaan kecepatan antara kend yang disiap dengan
yang menyiap ( 15 km/jam )
V = kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap, dapat
dianggap sama dengan kecepatan rencana
a = percepatan rata-rata yang besarnya tergantung dari
kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap.
= 2,052 + 0,0036 V
d2 = 0,278 V t2
dimana : t2 = waktu dimana kendaraan yang menyiap berada pada lajur
kanan
= 6,56 + 0,048 V
d3 = diambil antara 30 – 100 meter
d4 = 2/3 d2
d min = 2/3 d2 + d3 + d4
Untuk berbagai kecepatan rencana, jarak pandangan menyiap dapat dilihat pada
tabel dibawah ini.
Frekuensi pengadaan jarak pandangan menyiap pada seluruh panjang jalan akan
sangat mempengaruhi volume pelayanan dari jalan tersebut. Keadaan topografi
dan kecepatan rencana mempengaruhi pengadaan jarak pandangan menyiap.
Seorang perencana akhirnya haruslah membandingkan efisiensi dari pemenuhan
jarak pandangan menyiap dengan biaya pembangunan jalan yang disesuaikan
dengan fungsi jalan. Bina Marga ( luar kota ) menyarankan sekurang-kurangnya
10 % dari panjang seluruh jalan harus mempunyai jarak pandang menyiap.
Kecepatan Jarak Pandangan Jarak Pandangan Jari-jari lengkung Batas jari-jari Landai relatip
Rencana Henti Menyiap minimum dimana tikungan dimana maksimum antara
miring tikungan harus tepi perkerasan
tidak diperlukan menggunakan
( meter ) ( meter ) ( meter ) busur peralihan
( Km / jam ) ( meter )
120 225 790 3000 2000 1 / 280
100 165 670 2300 1500 1 / 240
80 115 520 1600 1100 1 / 200
60 75 380 1000 700 1 / 160
50 55 220 660 440 1 / 140
40 40 140 420 300 1 / 120
30 30 80 240 180 1 / 100
Sumber : Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya No. 13 / 1970
4.1. Pengertian
Yang dimaksud dengan alinemen horisontal atau trase jalan adalah garis
proyeksi sumbu jalan tegak lurus bidang gambar. Gambar trase jalan ini biasa
disebut dengan gambar situasi jalan, yang secara umum menunjukkan arah dari
jalan yang bersangkutan.
Trase jalan terdiri dari bagian yang lurus ( tangen ), yang satu dengan yang
lainnya dihubungkan oleh lengkungan yang biasa disebut dengan tikungan.
Tikungan ini dapat berupa busur lingkaran ditambah dengan lengkung peralihan
atau terdiri dari lengkung peralihan saja.
PI B
D
F=GV2/gR
Fs1 Fs2
N1 N2
2. Stadium Kedua
Pada stadium ini perkerasan jalan diberi kemiringan ( super elevasi ) sebesar em
sedemikian sehingga gaya sentrifugal yang timbul dapat diimbangi sepenuhnya
oleh kemiringan jalan ini, tanpa gaya gesekan antara ban dengan permukaan
perkerasan. Keadaan ini adalah keadaan yang paling ideal dari suatu tikungan,
dalam hal mana akan berlaku hubungan-hubungan sebagai berikut :
Jika nilai dari em maksimum, maka persamaan diatas menunjukkan besar jari-
jari tikungan minimum ( R min ) untuk suatu kecepatan tertentu.
3. Stadium ketiga
Karena sudut kemiringan em sangat kecil maka Sin Tg dan Cos ,
sehingga
Dari persamaan 4.3 diatas terlihat bahwa jari-jari lengkung dipengaruhi oleh nilai
em, fm dan kecepatan rencana. Jika nilai em dan fm maksimum, maka akan
terdapat jari-jari tikungan minimum ( R min ) atau derajat lengkung ( D )
maksimum untuk suatu kecepatan tertentu. Lengkung tersebut merupakan
lengkungan tertajam yang dapat direncanakan. pada suatu nilai superelevasi
maksimum. Berdasarkan persamaan 4.3 dapat dibuat tabel nilai R min untuk em,
fm dan V tertentu. ( Tabel 4.1 )
Untuk kecepatan rencana kurang dari antara 80 – 112 km/jam berlaku hubungan :
fm = - 0,00125V + 0,24
Tabel 4.1. Nilai R Minimum dan D Maksimum dengan memakai persamaan 4.3.
Rumus-rumus umum :
Tc = Rc tg ½
E = Tc tg ¼
= Rc tg ½ tg ¼
= [ Rc ( 1 – cos ½ ) ] / cos ½
Lc = ( /180 ) Rc ( meter ) ; dalam derajat
= Rc ; dalam radial
Contoh :
Untuk tikungan yang terdiri dari busur lingkaran saja, maka akan terjadi perubahan
kemiringan melintang jalan yang mendadak dari keadaan lurus (kemiringan
melintang jalan normal) menuju busur lingkaran dengan kemiringan melintang
jalan maksimum. Jelas tidak mungkin untuk melakukan perubahan ini secara
mendadak. Diperlukan perubahan ( transisi ) yang bertahap dari kondisi-kondisi
gerakan kendaraan pada jalan lurus menuju kondisi gerakan kendaraan pada
tikungan.
Kondisi ini didapat dengan cara menambah kemiringan melintang jalan pada
lengkung transisi ini secara bertahap, dari sebesar kemiringan melintang normal
pada awal tikungan sampai mencapai kemiringan melintang maksimum ( e m )
pada pertengahan tikungan dan mengurangi secara bertahap pula sampai
mencapai kemiringan melintang normal pada akhir tikungan.
dimana :
V = Kecepatan Rencana ( km/jam )
R = jari-jari tikungan ( meter )
e = superelevasi maksimum ( antara 8% - 10% )
C = perubahan kecepatan ( m/dt3 ), yang bernilai antara 1 - 3
Teknik Jalan Raya I Halaman : 34
2. Berdasarkan Kelandaian Relatif Maksimum ( m )
m = h/Ls
= ( em + en ) b / Ls ;
sehingga :
Ls = ( em + en ) b/m
dimana :
em = Superelevasi maksimum
en = kemiringan melintang normal
b = lebar lajur
m = landai relatip
Ls = 0,555 V
Dalam spiral, radius ( jari-jari ) berubah secara linier sepanjang spiral tersebut.
d = dl/R, sehingga dl = R d
dari teorema bahwa radius spiral berubah secara linier sepanjang spiral tersebut
maka berlaku :
R/Rc = Ls/l atau D/Dc = l/Ls
R = Ls. Rc/l
sehingga d = dl/R
= l.dl/( Ls. Rc )
dx = dl Cos
dy = dl Sin
atau :
dx = dl ( 1 - 2/2! + 4/4! - . . . )
dy = dl ( - 3/3! + 5/5! - . . . )
dengan mengintegrasi ruas kiri dan kanan dari persamaan diatas, didapat :
Xs = Ls ( 1 – Ls2/(40 Rc2 ))
Ys = Ls2/6Rc
s = Ls/2Rc rad
Pada Gambar 4.10, bila garis tegak lurus CD ditarik dari C ke OK, maka koordinat
titik K ( pergeseran titik TC ) adalah :
k (Xo) = AD – CF
= Xs – Rc sin s
= Ls ( 1 – Ls2/(40 Rc2 )) - Rc sin s
P (o) = CD – FK
= CD – ( OK – OF )
= CD – ( Rc – Rc cos s )
= Ys – Rc ( 1 - cos s )
= Ls2/6Rc - R ( 1 - cos s )
Rumus-rumus umum :
Xs = Ls ( 1 – Ls2/(40 Rc2 ))
Ys = Ls2/6Rc
p = Ls2/6Rc – Rc ( 1 – Cos s )
k = Ls – Ls3/40Rc2 – Rc Sin s
s = Ls/2Rc rad
= 90Ls/Rc derajat
c = 2 s
Ts = ( Rc + p ) tg ½ + k
Es = ( Rc + p ) sec ½ - Rc
= [ ( Rc + p ) – Rc cos ½ cos ½
Lc = ( c /360 ) 2 Rc
( c /180 ) Rc
Lt = Lc + 2 Ls < 2 Ts
(Telah disediakan tabel nilai p* dan k* untuk berbagai nilai s, dimana tabel ini
dibuat berdasarkan rumus untuk mencari nilai p dan k).
Contoh :
Rc yang dipilih harus sedemikian rupa sehingga Ls yang dibutuhkan lebih besar
dari Ls yang menghasilkan landai relatif maksimum yang disyaratkan.
Contoh soal :
1. Sebuah tikungan dengan jenis S-S direncanakan dengan jari-jari sebesar 318
meter, dan kecepatan rencana 60 km/jam. Jika sudut defleksi diantara tangen-
tengen ( ) = 20o, hitunglah besaran-besaran penting pada tikungan tersebut.
Untuk jalan tanpa median, ada beberapa metode untuk menggambar diagram
superelevasi yaitu :
1. Dengan menggunakan sumbu jalan sebagai sumbu putar. Dengan memakai
metode ini, elevasi sumbu jalan tidak mengalami perubahan. Metode ini
merupakan metode yang paling umum dipergunakan.
2. Dengan menggunakan tepi dalam perkerasan sebagai sumbu putar. Dengan
memakai metode ini akan memberikan keuntungan dipandang dari sudut
keperluan drainase jalan dan penampakan tikungan, hanya saja elevasi sumbu
jalan berubah.
3. Dengan memakai tepi luar perkerasan sebagai sumbu putar. Metode ini jarang
digunakan karena umumnya tidak memberikan keuntungan-keuntungan
seperti metode yang lain, kecuali untuk penyesuaian dengan kondisi medan.
Pada tikungan F-C, karena lengkung hanya berbentuk busur lingkaran saja, maka
pencapaian superelevasi dilakukan sepanjang lengkung perlalihan fiktif ( Ls’ ),
dimana ¾ bagian dari Ls’ ditempatkan pada bagian lurus dan ¼ bagian dari Ls’
ditempatkan pada busur lingkaran.
TS SC
Tepi Luar
+ em
Sumbu
- em Jalan
Tepi Dalam
I I II I
I I V
Bagian Lengkung Busur Lingkaran
lurus Peralihan
0 en en em
en
Gambar 5.2. Diagram Superelevasi dengan sumbu jalan sebagai sumbu putar
untuk tikungan S-C-S
¾ Ls’ ¼ Ls’
Tepi Luar
+ em
Sumbu
- em Jalan
Tepi Dalam
II
I
Gambar 5.3. Diagram Superelevasi dengan sumbu jalan sebagai sumbu putar
untuk tikungan F - C
Gambar 5.4. Diagram Superelevasi dengan sumbu jalan sebagai sumbu putar
untuk tikungan S – S (Silvia Sukirman, 1992)
Awal lengkung vertikal adalah titik A ( PLV = Permulaan Lengkung Vertikal ) dan
akhir dari lengkung vertikal adalah titik B ( PTV = Peralihan Tangen Vertikal ). Titik
perpotongan tangennya adalah titik PPV ( Pusat Perpotongan Vertikal ).
2a = g2 – g1 / L
dan a = g2 – g1 / 2L
y = [( g2 – g1 ) / 2L ] x2 + g1 x + el. PLV
Penyelesaian
1. a = ( 4 – 1 ) / 200 . 100 = 1,5 . 10-4
b = 0,01
c = 261,30 - 1% x 50
= 260,80 meter
Kontrol :
elevasi B = elevasi PPV + g2 x L/2
= 261,30 + 4% x 50
= 263,300 meter ( OK )
Kontrol :
elevasi B = elevasi PPV + g2 x L/2
= 63,96 + 2% x 50 - 1% x 50
= 64,460 meter ( OK )
a. S < L
JPH JPM
Tinggi mata sopir ( h1 ) 1,20 m 1,20 m
Tinggi obyek ( h2 ) 0,10 m 1,20 m
Konstanta C 399 960
b. S > L
JPH JPM
Tinggi mata sopir ( h1 ) 1,20 m 1,20 m
Tinggi obyek ( h2 ) 0,10 m 1,20 m
Konstanta C1 399 960
Contoh perhitungan
Penyelesaian
Dari data diatas berdasarkan kecepatan rencana sebesar 60 km / jam maka dari
Standar Perencanaan Geometrik Jalan Raya didapat :
JPH = 75 meter dan JPM = 380 meter. Karena nilai a negatip, maka lengkung
vertikal yang direncanakan adalah lengkung vertikal cembung.
Kontrol :
elevasi B = elevasi PPV + g2 x L/2
= 84,0 - 1% x 37,50
= 83,625 meter ( OK )