Anda di halaman 1dari 54

TEKNIK JALAN RAYA 1

Oleh
SURYANEGARA DWIPA RS

JURUSAN TEKNIK SIPIL


POLITEKNIK NEGERI BALI
2015
DAFTAR ISI

1. Pendahuluan ………………………………………………………………………… 1
1.1 Pengertian Jalan Raya............................................................................................ 1
1.2 Syarat-syarat Suatu Ruas Jalan ……………………………………………….... 1
1.3 Elmen Perencanaan Geometrik jalan………………………………………….... 1
1.4 Pengelompokan Jalan …………………………………………………………… 2
2. Penampang Melintang ………………………………………………………………. 7
2.1 Jalur Lalu lintas dan Lajur Lalu Lintas …………………………………………. 7
2.2 Kemiringan Melintang .......................................................................................... 8
2.3 Bahu Jalan ............................................................................................................ 8
2.4 Trotoar .................................................................................................................. 8
2.5 Median .................................................................................................................. 8
3. Parameter Perencanaan ............................................................................................... 10
3.1 Kendaraan Rencana ...............................................................................................10
3.2 Kecepatan Rencana ............................................................................................... 11
3.3 Volume Lalu lintas ................................................................................................ 12
3.4 Tingkat Pelayanan .................................................................................................14
3.5 Jarak Pandangan ....................................................................................................14
4. Alinemen Horisontal ....................................................................................................22
4.1 Pengertian Alinemen Horisontal ........................................................................... 22
4.2 Mentrase Jalan .......................................................................................................23
4.3 Kemiringan Melintang Pada Tikungan ................................................................. 24
4.4 Bentuk-bentuk Lengkung Horisontal (Tikungan) .................................................28
4.4.1 Tikungan Full Circle (FC) ............................................................................29
4.4.2 Tikungan Spiral – Circle – Spiral (S-C-S) ................................................... 31
4.4.3 Tikungan Spiral – Spiral ………………………………………………….. 38
5. Diagram Superelevasi …………………………………………………………….. 39
6. Alinemen Vertikal ………………………………………………………………… 42
6.1 Persamaan Lengkung Vertikal ………………………………………………….. 42
6.2 Menentukan Panjang Lengkung Vertikal ………………………………………..45
PENDAHULUAN

Obyektif :
Setelah menyelesaikan materi ini mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan jalan raya
2. Menyebutkan syarat-syarat dari suatu ruas jalan
3. Menjelaskan elemen perencanaan geometrik jalan raya

1.1. Pengertian Jalan Raya

Yang dimaksud dengan jalan raya adalah jalur diatas permukaan bumi yang sengaja
dibuat oleh manusia dengan bentuk, ukuran dan konstruksinya sedemikian rupa
sehingga dapat dipergunakan untuk menyalurkan lalu lintas orang dan kendaraan
dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya dengan mudah dan cepat.

1.2. Syarat-syarat Suatu Ruas Jalan

Untuk dapat menjalankan fungsinya, suatu ruas jalan harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
1. Kuat, jalan harus mampu memikul beban kendaraan yang lewat diatasnya
2. Awet, kekuatan jalan harus tahan lama
3. Aman, jalan harus direncanakan dengan bentuk yang dapat meminimalkan
kecelakaan
4. Nyaman, jalan harus dapat melayani lalu lintas dengan kecepatan sesuai dengan
kecepatan rencana.
5. Biaya Operasi Kendaraan ( BOK ) rendah

Agar jalan kuat dan awet, maka jalan harus dibuat dengan material yang bagus serta
proses pembuatan yang memenuhi syarat. Untuk memenuhi persyaratan aman dan
nyaman, maka bentuk fisik jalan harus dirancang sesuai dengan kecepatan yang
direncanakan dan agar BOK rendah, maka lapis permukaan jalan harus dibuat
fleksibel ( lentur ) dan rata.

1.3. Elemen Perencanaan Geometrik Jalan

Elemen dari perencanaan geometrik jalan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu alinemen
horisontal, alinemen vertikal dan penampang melintang. Alinemen horisontal ( trase

Teknik Jalan Raya I Halaman : 1


jalan ) merupakan bentuk fisik jalan bila dilihat dari atas. Pada gambar akan terlihat
apakah jalan tersebut berbelok atau lurus. Alinemen vertikal ( penampang
memanjang ) merupakan bentuk fisik jalan bila dilihat dari potongan memanjangnya.
Dalam gambar akan terlihat apakah jalan itu datar, menanjak atau menurun.
Penampang melintang jalan merupakan bentuk fisik jalan bila dilihat potongan
melintang jalan. Pada gambar akan terlihat lebar jalan, lebar bahu, jumlah lajur, ada
tidaknya median, dan batas daerah milik jalan ( Damija ).

1.4. Pengelompokan Jalan

Menurut sistemnya, sesuai dengan Undang Undang tentang jalan No. 13 tahun
1980 dan Peraturan Pemerintah N0. 26 tahun 1985, sistem jaringan jalan di
Indonesia dibedakan atas Sistem Jaringan Jalan Primer dan Sistem Jaringan Jalan
Sekunder.

Sistem Jaringan Primer adalah sistem jaringan jalan dengan peranan sebagai
pelayanan jasa distribusi untuk pengembangan wilayah di tingkat nasional yang
menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang kemudian berkembang menjadi
kota. Berdasarkan uraian diatas, sistem jaringan jalan primer mempunyai peranan
untuk menghubungkan simpul-simpul jasa distribusi sebagai berikut :
1. Dalam satu Satuan Wilayah Pengembangan, menghubungkan secara menerus
kota jenjang kesatu ( ibu kota propinsi ), kota jenjang kedua ( ibu kota
kabupaten ), kota jenjang ketiga ( kecamatan ) dan kota jenjang dibawahnya
sampai ke persil.
2. Menghubungkan ibu kota propinsi dengan ibu kota propinsi antar Satuan Wilayah
Pengembangan.

Sistem jaringan jalan sekunder adalah sistem jaringan jalan dengan peranan sebagai
pelayanan jasa distribusi untuk masyarakat dalam kota. Ini berarti bahwa sistem
jaringan jalan sekunder dirancang mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang kota
yang menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi
sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan seterusnya
sampai perumahan.

Menurut fungsinya jalan dikelompokkan atas :


1. Jalan lokal, yaitu suatu jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri :
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak
dibatasi.
2. Jalan kolektor, yaitu suatu jalan yang melayani angkutan pengumpulan /
pembagian dengan ciri-ciri : perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang
dan jumlah jalan masuk dibatasi
3. Jalan arteri, yaitu suatu jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri :
perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi
secara efisien.

Dari penjelasan diatas, maka sistem jaringan jalan primer terdiri dari :
1. Jalan arteri primer, yaitu jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan
kota jenjang kesatu terdekat, atau mengubungkan kota jemjang kesatu dengan
kota jenjang kedua.

Teknik Jalan Raya I Halaman : 2


Syarat yang harus dipenuhi oleh jalan arteri primer :
- V rencana > 60 km/jam
- Lebar badan jalan > 8 meter
- Kapasitas jalan lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata
- Jalan masuk dibatasi secara efisien, sehingga kecepatan rencana dan
kapasitas jalan tidak terganggu
- Tidak boleh terganggu oleh kegiatan lokal, lalu lintas lokal
- Tidak terputus walaupun memasuki kota
- Indek Permukaan yang mencerminkan tingkat kenyamanan dan keamanan,
tidak boleh kurang dari 2.

2. Jalan kolektor primer, adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua
dengan kota jenjang kedua atau kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga

Syarat yang harus dipenuhi oleh jalan kolektor primer :


- V rencana > 40 km/jam
- Lebar badan jalan > 7 meter
- Kapasitas jalan lebih besar atau sama dengan volume lalu lintas rata-rata
- Jalan masuk dibatasi
- Tidak terputus walaupun memasuki kota
- Indek Permukaan tidak boleh kurang dari 2

3. Jalan lokal primer, yaitu jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan
persil atau menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga, kota
jenjang ketiga dengan kota jenjang dibawahnya, kota jenjang ketiga dengan persil
atau kota dibawah jenjang ketiga sampai persil.

Syarat yang harus dipenuhi oleh jalan lokal primer :


- V rencana > 20 km/jam
- Lebar badan jalan > 6 meter
- Tidak terputus walaupun memasuki desa
- Indek Permukaan tidak kurang dari 1,5

Pada sistem jaringan jalan sekunder, terdapat :

1. Jalan arteri sekunder, yaitu jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan
kawasan sekunder kesatu atau kawasan sekunder kesatu dengan kawasan
sekunder kesatu, atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan
kawasan sekunder kedua.

Syarat yang harus dipenuhi oleh jalan arteri sekunder :


- V rencana > 30 km/jam
- Lebar badan jalan > 8 meter
- Kapasitas jalan lebih besar atau sama dengan volume lalu lintas rata-rata
- Tidak boleh diganggu oleh lalu lintas lambat
- Indek Permukaan tidak boleh kurang dari 2

2. Jalan kolektor sekunder, adalah jalan yang menghubungkan kawasan


sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua, kawasan sekunder kedua
dengan kawasan sekunder ketiga.
Teknik Jalan Raya I Halaman : 3
Syarat yang harus dipenuhi oleh jalan kolektor sekunder :
- V rencana > 20 km/jam
- Lebar badan jalan > 7 meter
- Indek Permukaan tidak boleh kurang dari 1,5

3. Jalan lokal sekunder, adalah jalan yang menghubungkan kawasan sekunder


kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan,
kawasan sekunder ketiga sampai perumahan.

Syarat yang harus dipenuhi oleh jalan lokal sekunder :


- V rencana > 10 km/jam
- Lebar badan jalan > 5 meter
- Indek Permukaan tidak boleh kurang dari 1,0

Menurut volume lalu lintas yang dilayani, jalan dikelompokkan menjadi Jalan
Kelas I ( jalan raya utama ), Jalan Kelas II ( IIA, IIB, IIC ) dan Jalan Kelas III.
- Jalan kelas I melayani lalu lintas dengan volume lebih dari 20.000 SMP
- Jalan kelas IIA melayani lalu lintas dengan volume antara 8000 – 20.000 SMP
- Jalan kelas IIB melayani lalu lintas dengan volume antara 2000 – 8000 SMP
- Jalan kelas IIC melayani lalu lintas dengan volume kurang dari 2000 SMP.

Menurut pengelolanya, jalan dikelompokkan menjadi :


- Jalan Kabupaten
- Jalan Propinsi
- Jalan Negara

Teknik Jalan Raya I Halaman : 4


Kota Jalan Arteri Kota
Jenjang I Primer Jenjang I

Jalan Arteri Primer Jalan Arteri


Primer

Kota Jalan Kolektor Kota


Jenjang II Primer Jenjang II

Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor


Primer

Kota Kota
Jenjang Jenjang
Jalan Lokal
III III
Primer
Jalan Lokal Primer

Kota dibawah
Jenjang III

Jalan Lokal Primer

Persil

Gambar 1.1. Sistem Jaringan Jalan Primer

Teknik Jalan Raya I Halaman : 5


Kawasan
Primer

Jalan Arteri
Jalan Arteri Sekunder Sekunder

Kawasa Jalan Arteri Kawasan


Sekunder I Sekunder Sekunder I

Jalan Arteri Sekunder Jalan Arteri


Sekunder

Kawasan Jalan Kolektor Kawasan


Sekunder II Sekunder
Sekunder II

Jalan Kolektor Sekunder

Kawasan
Sekunder III

Jalan Lokal Sekunder

Perumahan

Gambar 1.2. Sistem Jaringan Jalan Sekunder

Teknik Jalan Raya I Halaman : 6


PENAMPANG MELINTANG

Obyektif :
Setelah menyelesaikan materi ini mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan penampang melintang jalan
2. Menyebutkan bagian-bagian dari suatu jalan
3. Menjelaskan fungsi dari bagian-bagian suatu jalan

Penampang melintang jalan merupakan potongan melintang jalan atau potongan


tegak lurus sumbu jalan. Bagian-bagian jalan yang dapat dilihat pada penampang
melintang jalan adalah :

1. Bagian yang langsung berguna untuk lalu lintas


- Jalur lalu lintas
- Lajur lalu lintas
- Bahu jalan
- Trotoar
- Median
2. Bagian yang berguna untuk drainase jalan
- Saluran samping
- Kemiringan melintang jalur lalu lintas
- Kemiringan melintang bahu
- Kemiringan lereng
3. Bagian pelengkap jalan
- Kereb
- Pengaman tepi ( guard rail )
4. Bagian konstruksi jalan
- Lapis perkerasan jalan
- Lapis pondasi atas
- Lapis pondasi bawah
- lapis tanah dasar
5. Daerah Manfaat Jalan ( Damaja )
6. Daerah Milik Jalan ( Damija )
7. Daerah Pengawasan Jalan ( Dawasja )

2.1. Jalur Lalu Lintas dan Lajur Lalu Lintas

Teknik Jalan Raya I Halaman : 7


Jalur lalu lintas ( travelled way ) adalah semua lebar jalan yang digunakan
untuk lalu lintas kendaraan. Lajur lalu lintas merupakan bagian dari jalur lalu lintas
yang digunakan untuk satu rangkaian kendaraan beroda empat atau lebih dalam
satu arah. Jalur lalu lintas dapat terdiri dari beberapa lajur kendaraan. Untuk jalan
dua arah, maka jumlah lajur minimal adalah dua, sedangkan untuk jalan satu arah,
minimal terdiri dari satu lajur lalu lintas. Lebar satu lajur adalah sama dengan lebar
kendaraan ditambah ruang bebas antar kendaraan, yang besarnya tergantung
dari tingkat keamanan dan kenyamanan yang diinginkan. Jalan untuk lalu lintas
kecepatan tinggi membutuhkan ruang bebas yang lebih besar dibandingkan
dengan jalan untuk kecepatan rendah. Biasanya lebar satu lajur berkisar antara
2,75 meter sampai dengan 3,50 meter.

2.2. Kemiringan Melintang

Permukaan jalan harus dimiringkan kearah melintang jalan agar air bisa
mengalir ke saluran samping. Untuk jalan beraspal, kemiringan melintang pada
jalan lurus bervariasi antara 2 % - 4 %. Semakin kedap air lapisan permukaan
maka semakin kecil kemiringan melintang yang dapat digunakan. Pada tikungan,
selain untuk drainase kemiringan melintang diperlukan untuk mengimbangi gaya
sentrifugal bersama-sama dengan gesekan permukaan lapis perkerasan. Pada
bahu jalan, kemiringan melintang bisa mencapai 6% tergantung dari apakah bahu
jalan tersebut diperkeras atau tidak.

2.3. Bahu Jalan

Bahu jalan adalah jalur yang terletak antara jalur lalu lintas dengan saluran
samping yang berfungsi untuk :
1. Tempat berhenti sementara
2. Tempat untuk menghindar saat terjadi keadaan darurat.
3. Memberikan kelegaan pada pengemudi
4. Memberikan sokongan pada perkerasan
5. Ruang tempat peralatan pada saat ada perbaikan jalan
6. Ruang untuk lintasan kendaraan patroli ( untuk jalan tol atau jalan dengan
kecepatan tinggi )

Jenis bahu :
1. Bahu yang diperkeras
2. Bahu yang tidak diperkeras

Lebar bahu jalan bervariasi antara 0,50 meter sampai dengan 2,50 meter
tergantung dari fungsi jalan, volume lalu lintas, kegiatan di sekitar jalan, ada
tidaknya trotoar, biaya yang tersedia untuk pembebasan tanah dan biaya untuk
konstruksi.

2.4. Trotoar
Trotoar adalah jalan untuk pejalan kaki ( pedestrian ) dengan lebar antara
1,5 meter sampai dengan 3,0 meter. Untuk keamanan para pejalan kaki, maka
Teknik Jalan Raya I Halaman : 8
trotoar secara fisik harus dipisahkan dengan jalur lalu lintas dengan memakai
kereb. Perlu tidaknya trotoar tergantung dari volume pejalan kaki dan volume lalu
lintas.
2.5. Median

Median merupakan konstruksi pemisah lalu lintas yang berlawanan arah.


Fungsi median secara garis besar adalah :
1. Menyediakan daerah netral bagi pengemudi pada saat-saat darurat.
2. Mengurangi kesilauan pada malam hari
3. Menambah rasa kelegaan, kenyamanan dan keindahan
4. Mengamankan kebebasan samping

Untuk memenuhi fungsi diatas, maka median beserta batas-batasnya harus jelas
terlihat oleh pengemudi baik pada waktu siang mapun pada malam hari.

Teknik Jalan Raya I Halaman : 9


Gambar 2.1. Penampang Melintang Jalan
( Sumber : Silvia Sukirman, Dasar-dasar Perencanaan Geometrik Jalan )

Teknik Jalan Raya I Halaman : 10


PARAMETER PERENCANAAN

Obyektif :
Setelah menyelesaikan materi ini mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan parameter perencanaan
2. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan kendaraan rencana
3. Menjelaskan pengaruh kendaraan rencana terhadap perencanaan geometrik
4. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan jarak pandangan

Yang dimaksud dengan parameter perencanaan geometrik jalan adalah hal-hal


yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan pada saat melakukan
perencanaan geometrik jalan. Parameter-parameter tersebut adalah :
kendaraan rencana, kecepatan rencana, volume dan kapasitas jalan dan
tingkat pelayanan yang diberikan oleh jalan.

3.1. Kendaraan Rencana.


Dilihat dari bentuk, ukuran dan daya ( tenaga ), kendaraan-kendaraan yang
mempergunakan jalan secara umum dapat dikelompokkan menjadi kelompok
mobil penumpang, bus/truk, semi trailer dan trailer. Untuk keperluan perencanaan,
setiap kelompok kendaraan diwakili oleh satu ukuran standar, yang disebut
dengan kendaraan rencana. Ukuran kendaraan rencana untuk masing-masing
kelompok adalah ukuran kendaraan terbesar di kelompoknya. Kendaraan rencana
ini dipakai sebagai dasar untuk merencanakan bagian-bagian dari jalan. Ukuran
lebar dari kendaraan akan mempengaruhi lebar lajur yang dibutuhkan, sifat
membelok kendaraan akan mempengaruhi perencanaan tikungan dan lebar
median dimana mobil diijinkan untuk memutar arah ( U Turn ). Daya ( tenaga )
kendaraan akan mempengaruhi tingkat kelandaian yang dipilih, dan tinggi tempat
duduk pengemudi akan mempengaruhi jarak pandangan mengemudi.

Tabel 3.1. Ukuran Kendaraan Rencana


Jenis Kendaraan Panjang Lebar Tinggi Depan Jarak Belakang Radius
Total Total Tergantung Gandar Tergantung Putar
Minimum
(m) (m) (m) (m) (m) (m) (m)

Kend. Penumpang 4,7 1,7 2,0 0,8 2,7 1,2 6,0


Truk / Bus 12,0 2,5 4,5 1,5 6,5 4,0 12,0
Tanpa gandengan
Kombinasi 16,6 2,5 4,0 1,3 4,0 2,2 12,0
(depan)
9,0
( blk )
Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga, Standar Perencanaan Geometrik untuk Jalan Perkotaan,
Januari 1988.
Teknik Jalan Raya I Halaman : 11
Gambar 3.1. Kendaraan Rencana
Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga, Standar Perencanaan Geometrik untuk Jalan Perkotaan,
Januari 1988.

3.2. Kecepatan Rencana

Kecepatan adalah suatu besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh


kendaraan dibagi waktu tempuh, dinyatakan dalam km/jam. Kecepatan rencana
adalah kecepatan yang dipilih untuk perencanaan setiap bagian jalan raya, baik
secara langsung seperti tikungan, kemiringan jalan dan jarak pandang, maupun
secara tidak langsung seperti lebar lajur, lebar bahu dan kebebasan melintang.
Oleh karena itu pemilihan kecepatan rencana sangat mempengaruhi keadaan
seluruh bagian-bagian jalan dan biaya untuk pelaksanaan jalan tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kecepatan rencana :


1. Keadaan medan ( datar, bukit, gunung )
Untuk menghemat biaya, perencanaan geometrik jalan sebaiknya disesuaikan
dengan keadaan medan. Akan tetapi fungsi jalan seringkali menuntut suatu
perencanaan geometrik jalan yang tidak sesuai dengan kondisi medan
sekitarnya. Medan dikatakan datar jika kecepatan kendaraan truk sama atau
mendekati kecepatan mobil penumpang. Medan dikatakan daerah perbukitan
jika kecepatan kendaraan truk berkurang sampai dibawah kecepatan mobil
penumpang, tetapi belum merangkak. Medan dikatakan pegunungan jika
kecepatan kendaraan truk berkurang banyak sehingga truk tersebut
merangkak melewati jalan tersebut dengan frekuensi yang sering.

Klasifikasi medan dapat ditentukan dari besarnya kemiringan melintang dari


potongan melintang tegak lurus sumbu jalan.

Teknik Jalan Raya I Halaman : 12


Kemiringan Melintang

CL

Gambar 3.2. Kemiringan melintang untuk menentukan kondisi medan

Tabel 3.2. Klasifikasi Medan

Jenis Medan Kemiringan melintang rata-rata


(%)
Datar 0 – 9,9
Perbukitan 10,0 – 24,9
Pegunungan >= 25,0

2. Sifat dan Tingkat Penggunaan Daerah


Kecepatan rencana yang diambil akan lebih besar untuk jalan luar kota
daripada jalan dalam kota. Mengapa ?

Jalan raya dengan volume lalu lintas tinggi dapat direncanakan dengan
kecepatan rencana yang tinggi karena biaya konstruksi dan biaya pembebasan
tanah dapat diimbangi oleh penghematan biaya operasi kendaraan dan biaya
operasi lainnya. Sebaliknya, jalan raya dengan volume lalu lintas yang rendah
tidak dapat direncanakan dengan kecepatan rencana rendah karena
pengemudi memilih kecepatan bukan berdasarkan volume lalu lintas saja,
tetapi juga berdasarkan batasan fisik.

Kecepatan rencana sebesar 80 km/jam merupakan kecepatan rencana tertinggi


untuk jalan tanpa pengawasan jalan masuk. Untuk jalan TOL yaitu jalan dengan
pengawasan penuh, kecepatan rencana dapat dipilih antara 80 km/jam sampai
dengan 100 km/jam. Kecepatan terendah yang masih mungkin untuk
dipergunakan adalah sebesar 20 km/jam. Dalam pemilihan kecepatan rencana ini
juga harus diperhatikan kelas jalan, dimana untuk jalan arteri kecepatan rencana
yang dipilih tentu saja harus lebih tinggi dari pada jalan kolektor.

3.3. Volume Lalu Lintas

Volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melintasi suatu titik pengamatan
dalam satu satuan waktu. Volume lalu lintas yang tinggi membutuhkan lebar
Teknik Jalan Raya I Halaman : 13
perkerasan jalan yang lebih lebar, untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi
pemakai jalan. Tetapi jalan yang terlalu lebar untuk volume lalu lintas yang rendah
cenderung membahayakan, karena pengemudi cenderung mengemudikan
kendaraannya dengan kecepatan yang lebih tinggi yang belum tentu
dimungkinkan oleh kondisi jalan yang ada. Disamping itu akan meningkatkan
biaya pembuatan jalan.

Lalu Lintas Harian Rata-rata


Lalu Lintas Harian rata-Rata adalah volume lalu lintas rata-rata dalam satu hari.
Dari cara memperoleh datanya, lalu lintas harian rata-rata dibedakan atas lalu
Lintas Harian rata-rata Tahunan (LHRT) dan Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR).
LHRT adalah volume lalu lintas rata-rata yang melewati satu jalur jalan selama 24
jam dan diperoleh dari data selama satu tahun penuh.

LHRT = Jumlah lalu lintas dalam 1 tahun / 365

LHRT dinyatakan dalam SMP/hari/2 arah untuk jalan 2 jalur 2 arah atau
SMP/hari/1 arah untuk jalan berlajur banyak dengan median. Untuk dapat
menghitung LHRT, harus tersedia data volume kendaraan yang terus menerus
selama 1 tahun penuh. Mengingat akan biaya yang diperlukan, dan
membandingkan dengan ketelitian yang dicapai serta tidak semua tempat di
Indonesia mempunyai data lalu lintas selama 1 tahun, maka dapat dipakai Lalu
Lintas Harian rata-rata ( LHR ). LHR adalah hasil bagi jumlah kendaraan yang
diperoleh selama pengamatan dengan lamanya pengamatan.

LHR = Jumlah lalu lintas selama pengamatan / Lamanya pengamatan

Data LHR ini cukup teliti jika :


- Pengamatan dilakukan pada interval-interval waktu yang cukup
menggambarkan fluktuasi arus lalu lintas selama 1 tahun
- Hasil LHR yang dipergunakan adalah harga rata-rata dari beberapa
perhitungan LHR.

Volume Jam Perencanaan ( VJP )


LHR dan LHRT adalah volume lalu lintas dalam satu hari, sehingga nilai LHR dan
LHRT tidak dapat menggambarkan fluktuasi arus lalu lintas yang lebih pendek dari
24 jam. LHR dan LHRT tidak dapat memberikan gambaran perubahan-perubahan
dari arus lalu lintas pada berbagai jam dalam satu hari, yang nilainya dapat
bervariasi antara 0 – 100 % LHR, sehingga LHR dan LHRT tidak dapat langsung
dipakai dalam perencanaan geometrik. Karena arus lalu lintas bervariasi dari jam
ke jam berikutnya, maka untuk perencanaan dipakai volume lalu lintas dalam 1
jam, yang disebut dengan Volume Jam Perencanaan (VJP). VJP ini dapat
memberikan gambaran fluktuasi arus lalu lintas dari jam ke jam berikutnya.

Volume lalu lintas selama 1 jam yang dapat dipakai sebagai VJP haruslah
sedemikian rupa sehingga :
1. Volume tersebut tidak boleh terlalu sering terdapat pada distribusi arus lalu
lintas setiap jam untuk periode 1 tahun.

Teknik Jalan Raya I Halaman : 14


2. Apabila terdapat volume lalu lintas per jam yang melebihi volume jam
perencanaan, maka kelebihan tersebut tidak boleh mempunyai nilai yang
terlalu besar.
3. Volume tersebut tidak boleh mempunyai nilai yang sangat besar, sehingga
tidak mengakibatkan jalan menjadi lenggang dan membutuhkan biaya
konstruksi yang besar.

Mengenai VJP akan dibahas secara lebih mendetail pada Mata Kuliah Teknik Lalu
Lintas.

Kapasitas
Kapasitas adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat melewati suatu
penampang jalan pada jalur jalan selama 1 jam dengan kondisi arus lalu lintas
tertentu. Perbedaan antara VJP dengan Kapasitas adalah, VJP menunjukkan
volume lalu lintas yang direncanakan akan melintasi suatu penampang jalan
selama 1 jam, sedangkan kapasitas menunjukkan volume lalu lintas yang
maksimum yang dapat melintasi penampang jalan tersebut dalam 1 jam.

3.4. Tingkat Pelayanan


Lebar dan jumlah lajur yang dibutuhkan tidak dapat direncanakan dengan baik
walaupun VJP/LHR telah ditentukan. Hal ini disebabkan oleh karena tingkat
keamanan dan kenyamanan yang akan diberikan oleh jalan rencana, belum
ditentukan. Lebar lajur yang dibutuhkan akan lebih lebar jika tingkat pelayanan
dari jalan diharapkan lebih tinggi. Disamping itu, kebebasan bergerak yang
dirasakan oleh pengemudi akan lebih baik pada jalan-jalan dengan kebebasan
samping yang memadai. Artinya, untuk mendapatkan tingkat pelayanan yang lebih
tinggi, akan dibutuhkan daerah manfaat jalan yang lebih lebar pula.
Pengemudi akan merasa lebih nyaman mengendarai kendaraan pada
suatu keadaan jalan dengan volume lalu lintas yang rendah, dibandingkan jika
berada pada kondisi dimana volume lalu lintasnya besar. Kenyamanan akan
berkurang sebanding dengan bertambahnya volume lalu lintas. Dengan kata lain,
rasa nyaman dan volume lalu lintas berbanding terbalik. Tingkat Pelayanan adalah
gambaran tingkat keamanan dan kenyamanan yang dapat diberikan oleh jalan
kepada pemakai jalan, yang dinyatakan dengan perbandingan antara volume lalu
lintas yang melewati suatu penampang jalan dengan kapasitas jalan tersebut.
Sebagai contoh, suatu jalan dengan kapasitas 2000 kend/jam dilewati kendaraan
dengan volume 1000 kend/jam, dibandingkan dengan jalan lain dengan volume
lalu lintas yang sama tetapi mempunyai kapasitas 1500 kend/jam. Pengemudi
akan merasa lebih nyaman mengendarai kendaraannya pada jalan pertama
dibandingkan dengan jalan kedua.
Tingkat Pelayanan dari suatu ruas jalan akan lebih mudah dipahami
dengan menunjukkan nilai perbandingan antara Volume dengan Kapasitasnya
( V/C ). Semakin tinggi nilai V/C nya, maka dapat dikatakan suatu ruas jalan akan
semakin tidak nyaman. Pada contoh diatas, jalan pertama mempunyai nilai V/C =
0,5 sedangkan jalan kedua mempunyai nilai V/C = 0,67. ( Silahkan simpulkan
sendiri arti dari angka-angka ini ).

3.5. Jarak Pandangan


Jarak pandangan adalah panjang jalan di depan kendaraan yang masih
dapat dilihat dengan jelas oleh pengemudi.
Teknik Jalan Raya I Halaman : 15
Jarak pandangan berguna untuk :
1. Menghindarkan terjadinya tabrakan yang dapat membahayakan kendaraan
dan manusia akibat adanya benda berukuran besar, kendaraan yang sedang
berhenti, pejalan kaki atau hewan pada lajur jalannya.
2. Memberi kemungkinan untuk mendahului kendaraan lain yang bergerak
dengan kecepatan yang lebih rendah dengan mempergunakan lajur di
sebelahnya.
3. Menambah efisiensi jalan tersebut, sehingga volume pelayanan dapat dicapai
semaksiml mungkin.
4. Sebagai pedoman bagi pengatur lalu lintas untuk menempatkan rambu-rambu
lalu lintas yang diperlukan pada setiap segmen jalan.

Dilihat dari kegunaannya, jarak pandangan dibedakan atas :


1. Jarak Pandangan Henti, yaitu jarak yang dibutuhkan oleh pengemudi untuk
menghentikan kendaraannya setelah melihat adanya rintangan pada lajur
jalannya.
2. Jarak Pandangan Menyiap, yaitu jarak yang diperlukan untuk dapat menyiap
kendaraan lain yang berada pada lajur jalannya dengan menggunakan lajur
untuk arah yang berlawanan.

Jarak Pandangan Henti


Untuk memberikan keamanan pada pengemudi kendaraan, maka pada
setiap panjang jalan haruslah dipenuhi paling sedikit jarak pandangan pengemudi,
minimal sepanjang jarak pandangan henti. Jarak pandangan henti minimum ini,
merupakan jarak yang ditempuh pengemudi selama menyadari adanya rintangan
sampai menginjak rem, ditambah jarak untuk mengerem.
Waktu yang dibutuhkan pengemudi dari saat dia menyadari adanya
rintangan sampai dia mengambil keputusan untuk mengerem, disebut waktu PIEV.
Jadi waktu PIEV adalah waktu yang dibutuhkan untuk proses deteksi, pengenalan
dan pengambilan keputusan. Besarnya waktu ini dipengaruhi oleh kondisi jalan,
mental pengemudi, kebiasaan, keadaan cuaca, penerangan dan kondisi fisik
pengemudi. Untuk perencanaan, AASHTO ’90 mengambil waktu PIEV sebesar 1,5
detik.
Setelah pengemudi mengambil keputusan untuk menginjak rem, maka
pengemudi membutuhkan waktu sampai dia menginjak pedal rem. Rata-rata
pengemudi membutuhkan waktu sebesar 0,5 detik. Untuk perencanaan diambil
sebesar 1 detik. Sehingga total waktu yang dibutuhkan oleh pengemudi dari saat
dia melihat rintangan sampai menginjak pedal rem ( waktu reaksi ) adalah 2,5
detik. Jarak yang ditempuh selama waktu tersebut adalah d 1 meter, atau
dinyatakan dalam bentuk persamaan :

d1 = V . t meter
= 0,278 V.t ; dimana V dalam km/jam dan t dalam detik

Jarak mengerem ( d2 ) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan, dari saat
menginjak pedal rem sampai kendaraan itu berhenti. Dengan memperhitungkan
gesekan antara ban dengan muka jalan, maka :

Teknik Jalan Raya I Halaman : 16


d2 = V2 / ( 2g. fm ) dimana : V dalam km/jam
g = 9,81 m/dtk2
fm = koef. Gesekan
( Tahanan pengereman )
sehingga :
d2 = V2 / ( 254 fm ) meter

Total Jarak Pandangan Henti minimum ( d ) = d1 + d2


= 0,278 V.t + V2 / ( 254 fm ) meter

Berdasarkan berbagai nilai kecepatan dan koefisien gesekan memanjang, didapat


berbagai jarak pandangan henti minimum, seperti pada tabel dibawah ini.

Tabel 3.3 Jarak Pandangan Henti Minimum


Kecepatan Kecepatan fm d perhitungan d perhitungan d desain
Rencana Vr Jalan Vj untuk nilai Vr untuk nilai Vj
(Km/jam) (km/jam) (meter) (meter) (meter)
30 27 0,400 29,71 25,94 25 – 30
40 36 0,375 44,60 38,63 40 – 45
50 45 0,350 62,87 54,05 55 – 65
60 54 0,330 84,65 72,32 75 – 85
70 63 0,313 110,28 93,71 95 – 110
80 72 0,300 139,59 118,07 120 – 140
100 90 0,285 207,64 174,44 175 – 210
120 108 0,280 285,87 239,06 240 – 285
Sumber : Silvia Sukirman, Dasar-dasar Perencanaan Geometrik Jalan, November 1999.

Tabel 3.4. Tinggi Rintangan dan Mata Pengemudi untuk Perhitungan


Jarak Pandangan Henti Minimum
Standar Tinggi Rintangan ( h1 ) Tinggi Mata ( h2 )
( cm ) (cm )
AASHTO ‘90 15 106
BINA MARGA ( LUAR KOTA ) 10 120
BINA MARGA ( KOTA ) 10 100
Sumber : Silvia Sukirman, dasar-dasar Perencanaan Geometrik jalan, November 1999

Pengaruh landai jalan terhadap jarak pandangan henti minimum.

Pada jalan berlandai, komponen berat kendaraan yang sejajar dengan permukaan
jalan berpengaruh terhadap jarak pengereman. Pada jalan yang menurun, jarak
pengereman akan semakin panjang sedangkan pada jalan yang mendaki, jarak
pengereman semakin pendek.

Untuk menentukan besarnya d2, berlaku persamaan :


G.fm.d2 +/- G.L.d2 = 0,5 G/g.V2
Teknik Jalan Raya I Halaman : 17
Sehingga rumus jarak pandangan henti minimum ( d ) menjadi :
d = 0,278 V.t + V2 / {254 ( fm +/- L )}

dimana L adalah landai jalan (%)

Ada beberapa pertimbangan yang dipakai sebagai dasar untuk menentukan jarak
pandangan henti. Untuk jalan 2 arah tak terpisah, untuk landai menurun, jarak
mengerem = jarak mengerem untuk jalan datar. Untuk jalan 1 arah, jarak
mengerem harus dipertimbangkan terhadap landai yang ada.

Rumus-rumus diatas ditentukan berdasarkan kendaraan penumpang. Kendaraan


truk mempunyai kemampuan mengerem yang berbeda dengan kendaraan
penumpang karena dimensi dan beratnya berbeda. Tetapi secara umum, jarak
pandangan henti minimum untuk truk dapat diambil sama dengan kendaraan
penumpang karena :
1. Tinggi mata pengemudi truk ( 180 cm ) lebih tinggi dari pada tinggi mata
pengemudi kendaraan penumpang.
2. Kecepatan truk lebih lambat dari pada mobil penumpang.

Untuk kondisi jalan menurun yang panjang, jarak pandangan henti minimum
sebaiknya diambil lebih panjang dari pada keadaan normal karena tinggi mata
pengemudi truk yang lebih tinggi menjadi tidak berarti lagi dan kecepatan truk
hampir sama dengan kecepatan mobil penumpang.

Jarak Pandangan Menyiap ( untuk jalan 2 lajur 2 arah )

Pada jalan 2 lajur 2 arah, kendaraan dengan kecepatan tinggi sering mendahului
( menyiap ) kendaraan dengan kecepatan yang lebih rendah sehingga pengemudi
tetap dapat mempertahankan kecepatannya sesuai dengan keinginannya.
Gerakan menyiap dilakukan dengan mengambil lajur jalan untuk kendaraan yang
berlawanan arah. Jarak yang dibutuhkan pengemudi untuk dapat melihat
kendaraan dari arah depan dengan bebas sehingga dpat melakukan gerakan
menyiap dengan aman disebut dengan jarak pandangan menyiap.

Jarak pandangan menyiap standar dihitung berdasarkan panjang jalan yang


dibutuhkan untuk dapat melakukan gerakan menyiap dengan sempurna dan
aman, berdasarkan asumsi yang diambil.

Asumsi-asumsi tersebut adalah :


1. Kendaraan yang akan disiap, bergerak dengan kecepatan yang tetap.
2. Sebelum melakukan gerakan menyiap, kendaraan harus mengurangi
kecepatannya dan mengikuti kendaraan yang akan disiap dengan kecepatan
yang sama.
3. Apabila kendaraan sudah berada pada lajur untuk menyiap, maka pengemudi
harus mempunyai waktu untuk menentukan apakah gerakan menyiap dapat
diteruskan atau tidak.

Teknik Jalan Raya I Halaman : 18


4. Kendaraan yang akan menyiap mempunyai perbedaan kecepatan sekitar 15
km/jam dengan kendaraan yang akan disiap, pada waktu melakukan gerakan
menyiap.
5. Pada saat kendaraan yang menyiap telah berada kembali pada lajur jalannya,
maka harus tersedia cukup jarak dengan kendaraan yang bergerak dari arah
yang berlawanan.
6. Tinggi mata pengemudi diukur dari permukaan jalan menurut AASHTO ’90 =
106 cm dan tinggi obyek ( kendaraan yang akan disiap ) = 125 cm.
Sedangkan Bina Marga ( Urban ) mengambil tinggi mata pengemudi sama
dengan tinggi obyek yaitu 100 cm.
7. Kendaraan yang bergerak dari arah yang berlawanan mempunyai kecepatan
yang sama dengan kendaraan yang menyiap.

Proses gerakan menyiap, dapat dikelompokkan menjadi dua tahap seperti gambar
dibawah ini (Silvia Sukirman, 1992).

Dimana :
d1 = Jarak yang ditempuh selama waktu reaksi oleh kendaraan yang akan
menyiap dan membawa kendaraannya yang hendak membelok ke lajur
kanan.
d2 = Jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang menyiap selama berada di
lajur kanan.
d3 = Jarak bebas yang harus ada antara kendaraan yang menyiap dengan
kendaraan yang berlawanan arah setelah gerakan menyiap selesai
dilakukan.
d4 = jatak yang ditempuh oleh kendaraan yang berlawanan arah selama 2/3
dari waktu yang diperlukan oleh kendaraan yang menyiap berada pada
lajur sebelah kanan atau sama dengan 2/3 d2.

Teknik Jalan Raya I Halaman : 19


Jarak pandangan menyiap standar adalah :

d = d1 + d2 + d3 + d4

dimana :

d1 = 0,278 t1 ( V – m + at1/2 )
dengan : t1 = waktu reaksi yang tergantung kecepatan
= 2,12 + 0,026 V
m = perbedaan kecepatan antara kend yang disiap dengan
yang menyiap ( 15 km/jam )
V = kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap, dapat
dianggap sama dengan kecepatan rencana
a = percepatan rata-rata yang besarnya tergantung dari
kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap.
= 2,052 + 0,0036 V
d2 = 0,278 V t2
dimana : t2 = waktu dimana kendaraan yang menyiap berada pada lajur
kanan
= 6,56 + 0,048 V
d3 = diambil antara 30 – 100 meter
d4 = 2/3 d2

Untuk mengurangi biaya, jarak pandangan menyiap dapat mempergunakan jarak


pandangan minimum ( d min ).

d min = 2/3 d2 + d3 + d4

Untuk berbagai kecepatan rencana, jarak pandangan menyiap dapat dilihat pada
tabel dibawah ini.

Tabel 3.5 Jarak Pandangan Menyiap


Kec. Jarak Jarak Jarak Jarak
Rencana Pandangan Pandangan Pandangan Pandangan
(km/jam) Menyiap Menyiap Menyiap Menyiap
Standar Standar Minimum Minimum
Hasil Desain Hasil Desain
Perhitungan (m) Perhitungan (m)
(m) (m)
30 146 150 109 100
40 207 200 151 150
50 274 275 196 200
60 353 350 250 250
70 437 450 307 300
80 527 550 368 400
100 720 750 496 500
120 937 950 638 650
Sumber : Silvia Sukirman, dasar-dasar Perencanaan Geometrik Jalan, November 1999

Teknik Jalan Raya I Halaman : 20


Frekuensi Pengadaan jarak Pandangan Menyiap.

Frekuensi pengadaan jarak pandangan menyiap pada seluruh panjang jalan akan
sangat mempengaruhi volume pelayanan dari jalan tersebut. Keadaan topografi
dan kecepatan rencana mempengaruhi pengadaan jarak pandangan menyiap.
Seorang perencana akhirnya haruslah membandingkan efisiensi dari pemenuhan
jarak pandangan menyiap dengan biaya pembangunan jalan yang disesuaikan
dengan fungsi jalan. Bina Marga ( luar kota ) menyarankan sekurang-kurangnya
10 % dari panjang seluruh jalan harus mempunyai jarak pandang menyiap.

Teknik Jalan Raya I Halaman : 21


Tabel 3.6. Standar Perencanaan Geometrik Jalan Raya

KLASIFIKASI JALAN JALAN RAYA JALAN RAYA SEKUNDER JALAN


UTAMA PENGHUBUNG
I II A II B II C III
KLASIFIKASI MEDAN D B G D B G D B G D B G D B G
Lalu lintas Harian Rata- smp > 20.000 6.000–20.000 2000-8.000 < 2.000 -
rata ( LHR )
Kecepatan Rencana km/j 120 100 80 100 80 60 80 60 40 60 40 30 60 40 30
Lebar daerah m 60 60 60 40 40 40 30 30 30 30 30 30 20 20 20
penguasaan minimum
Lebar perkerasan m Min 2 ( 2x 3,75 ) 2 x 3,50 atau 2 x 3,50 2 x 3,0 3,50 – 6,0
2 x ( 2 x 3,50 )
Lebar median minimum m 10 1,5 **
Lebar bahu m 3,5 3,0 3,0 3,0 2,5 2,5 3,0 2,5 2,5 2,5 1,5 1,0 1,5 – 2,5 *
Lereng melintang % 2% 2% 2% 3% 4%
perkerasan
Lereng melintang bahu % 4% 4% 6% 6% 6%
Jenis Lapis Permukaan Aspal beton Aspal beton Penetrasi berganda paling tinggi paling tinggi
Jalan atau setara penetrasi tunggal pelaburan dengan
aspal
Miring tikungan % 10 % 10 % 10 % 10 % 10 %
maksimum
Jari-jari lengkung m 560 350 210 350 210 115 210 115 50 115 50 30 115 50 30
minimum
Landai maksimum % 3 5 6 4 6 7 5 7 8 6 8 10 6 8 12
Keterangan : * Menurut keadaan setempat
** Untuk 4 lajur
Sumber : Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya No. 13 / 1970

Teknik Jalan Raya I Halaman : 22


Tabel 3.7. Standar Perencanaan Alinemen

Kecepatan Jarak Pandangan Jarak Pandangan Jari-jari lengkung Batas jari-jari Landai relatip
Rencana Henti Menyiap minimum dimana tikungan dimana maksimum antara
miring tikungan harus tepi perkerasan
tidak diperlukan menggunakan
( meter ) ( meter ) ( meter ) busur peralihan
( Km / jam ) ( meter )
120 225 790 3000 2000 1 / 280
100 165 670 2300 1500 1 / 240
80 115 520 1600 1100 1 / 200
60 75 380 1000 700 1 / 160
50 55 220 660 440 1 / 140
40 40 140 420 300 1 / 120
30 30 80 240 180 1 / 100
Sumber : Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya No. 13 / 1970

Teknik Jalan Raya I Halaman : 23


ALINEMEN
HORISONTAL
Obyektif :
Setelah menyelesaikan materi ini mahasiswa dapat :
4. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan alinemen horisontal
5. Menjelaskan jenis-jenis tikungan yang ada
6.
7. Merencanakan tikungan jalan raya, dan memilih jenis tikungan yang sesuai

4.1. Pengertian
Yang dimaksud dengan alinemen horisontal atau trase jalan adalah garis
proyeksi sumbu jalan tegak lurus bidang gambar. Gambar trase jalan ini biasa
disebut dengan gambar situasi jalan, yang secara umum menunjukkan arah dari
jalan yang bersangkutan.
Trase jalan terdiri dari bagian yang lurus ( tangen ), yang satu dengan yang
lainnya dihubungkan oleh lengkungan yang biasa disebut dengan tikungan.
Tikungan ini dapat berupa busur lingkaran ditambah dengan lengkung peralihan
atau terdiri dari lengkung peralihan saja.

PI  B
D

Gambar 4.1. Tikungan

Gambar diatas memperlihatkan bahwa dari titik A ke B, terjadi perubahan arah


melalui tikungan CD. Pada saat suatu kendaraan dengan kecepatan tertentu
bergerak sepanjang tikungan CD, kendaraan mengalami gaya sentrifugal yang
mengakibatkan kendaraan akan terdorong secara radial keluar dari lajur jalannya.

Teknik Jalan Raya I Halaman : 24


Tugas seorang perencana adalah bagaimana mengupayakan agar kendaraan
dapat melewati tikungan dengan aman dan nyaman.

Teknik Jalan Raya I Halaman : 25


4.2. Mentrase Jalan
Kondisi topografi suatu wilayah, selalu akan kita dapatkan bahwa suatu
wilayah akan terdiri dari daerah datar, bukit dan pegunungan serta sungai atau
jurang. Keadaan ini tidak memungkinkan kita untuk membuat trase jalan yang
terdiri dari garis lurus saja atau yang melalui daerah yang datar saja. Sehingga
dalam suatu ruas jalan selalu akan kita jumpai adanya tikungan dan jalan
menanjak atau menurun.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan alinemen horisontal :
1. Alinemen jalan sedapat mungkin dibuat lurus, mengikuti keadaan topografi. Hal
ini akan memberikan keindahan bentuk, komposisi yang baik antara jalan dan
alam dan juga biaya pembangunan yang lebih murah.
2. Sedapat mungkin hindarkan pemakaian jari-jari yang minimum, sehingga jalan
tersebut lebih mudah disesuaikan dengan perkembangan lingkungan dan
fungsi jalan.
3. Pada bagian yang lurus dan panjang, jangan secara tiba-tiba terdapat tikungan
yang tajam yang akan mengejutkan pengemudi. Jika terpaksa harus dilakukan,
sebaiknya didahului oleh lengkung yang lebih tumpul, sehingga pengemudi
mempunyai kesempatan untuk menyesuaikan kecepatannya.
4. Sedapat mungkin menghindari tikungan berbentuk S. Pada keadaan ini
pengemudi kendaraan sangat sukar untuk mempertahankan diri agar tetap
berada pada lajur jalannya dan juga kesukaran pada saat membuat kemiringan
melintang. Jika terpaksa harus membuat tikungan S, maka dipilih tikungan
dengan lengkung peralihan atau diantara kedua lengkung terdapat bagian
lurus ( tangen ) yang pendek. Bagian tangen hendaknya cukup panjang,
minimal 2 kali lebar jalan.

Gambar 4.2 Tikungan S

5. Hindarkan tikungan punggung patah ( Broken back ), yaitu dua tikungan


berurutan yang searah dengan jari-jari tikungan berbeda, Jika terpaksa harus
diadakan, sebaiknya masing-masing tikungan terdiri dari tikungan dengan
lengkung peralihan. Tikungan ganda umumnya terpaksa dibuat untuk

Teknik Jalan Raya I Halaman : 26


menyesuaikan dengan keadaan medan disekelilingnya, sehingga pekerjaan
tanah dapat seefisien mungkin.

Gambar 4.3. Tikungan Punggung Patah

4.3. Kemiringan Melintang Pada Tikungan


Suatu kendaraan yang berjalan pada tikungan akan mengalami gaya
sentrifugal. Gaya sentrifugal ini akan berpengaruh terhadap bentuk lintasan
kendaraan yang bersangkutan dan kenyamanan penumpang.
Untuk mengimbangi gaya sentrifugal ini, diperlukan suatu gaya
penyeimbang yang besarnya sama dengan gaya sentrifugal yang terjadi, yang
terdiri dari :
1. Komponen berat kendaraan yang sejajar dengan kemiringan melintang jalan
2. Gaya gesekan kesamping antara ban dengan permukaan jalan.
Hubungan antara kecepatan ( V ) dengan jari-jari tikungan ( R ) untuk
berbagai kondisi kesetimbangan dapat ditentukan sebagai berikut :
1. Stadium pertama.
Pada stadium ini, gaya sentrifugal yang terjadi masih seimbang dengan gaya
gesekan antara ban dengan permukaan perkerasan, sehingga perkerasan
jalan tidak perlu dimiringkan.

F=GV2/gR

Fs1 Fs2

N1 N2

Gambar 4.4. Kondisi Keseimbangan

Teknik Jalan Raya I Halaman : 27


Dari gambar diperoleh hubungan-hubungan sebagai berikut :

GV2/gR = Fs1 + Fs2


= fm N1 + fm N2
= fm ( N1 + N2 )
= fm G
atau
fm = V2/gR
= V2/127R

atau dengan kata lain :

R = V2 / 127 fm ( meter ) ( 4.1 )

dimana V dalam Km/jam.


g = 9,81 m/dtk2
fm = koef. gesekan

2. Stadium Kedua

Gambar 4.5. Gaya-gaya yang bekerja pada Lengkung Horisontal

Pada stadium ini perkerasan jalan diberi kemiringan ( super elevasi ) sebesar em
sedemikian sehingga gaya sentrifugal yang timbul dapat diimbangi sepenuhnya
oleh kemiringan jalan ini, tanpa gaya gesekan antara ban dengan permukaan
perkerasan. Keadaan ini adalah keadaan yang paling ideal dari suatu tikungan,
dalam hal mana akan berlaku hubungan-hubungan sebagai berikut :

G Sin  = GV2/gR Cos 


Sin   V2/gR Cos Karena  kecil maka Sin Tg dan Cos 

Tg   V2/gR dan jika Tg  em


maka :
em = V2/gR
atau

Teknik Jalan Raya I Halaman : 28


R = V2/(g em)
= V2/(127 em) ( meter ) ( 4.2 )

dimana V dalam km/jam dan g = 9,81 m/dt2

Jika nilai dari em maksimum, maka persamaan diatas menunjukkan besar jari-
jari tikungan minimum ( R min ) untuk suatu kecepatan tertentu.

3. Stadium ketiga

Pada stadium ini kemiringan sebesar em pada tikungan tidak cukup


mengimbangi gaya sentrifugal yang terjadi, sehingga diperlukan gaya gesekan Fs
antara ban dengan permukaan perkerasan, yang besarnya adalah hasil perkalian
antara koefisien gesekan fm dengan gaya normal yang timbul pada ban
kendaraan. Berdasarkan gambar 4.5. diatas maka berlaku hubungan-hubungan
sebagai berikut :

G Sin ( Fs1 + Fs2 ) = GV2/gR Cos 


G Sin ( N1 + N2 ) fm = GV2/gR Cos 
G Sin  G Cos  fm = GV2/gR Cos 
G ( Sin Cos  fm ) = GV2/gR Cos 
Sin Cos  fm = V2/gR Cos 

Karena sudut kemiringan em sangat kecil maka Sin  Tg dan Cos ,
sehingga

Tg  fm = V2/gR dan bila Tg = em , maka


em  fm = V2/gR
= V2/127R
Atau
R = V2/[127 ( em + fm )] meter ( 4.3 )

dimana V dalam km/jam

Dari persamaan 4.3 diatas terlihat bahwa jari-jari lengkung dipengaruhi oleh nilai
em, fm dan kecepatan rencana. Jika nilai em dan fm maksimum, maka akan
terdapat jari-jari tikungan minimum ( R min ) atau derajat lengkung ( D )
maksimum untuk suatu kecepatan tertentu. Lengkung tersebut merupakan
lengkungan tertajam yang dapat direncanakan. pada suatu nilai superelevasi
maksimum. Berdasarkan persamaan 4.3 dapat dibuat tabel nilai R min untuk em,
fm dan V tertentu. ( Tabel 4.1 )

Ketajaman lengkung horisontal dinyatakan dengan besarnya jari-jari dari lengkung


tersebut atau dari besarnya derajat lengkung ( D ). Derajat lengkung adalah
besarnya sudut lengkung yang menghasilkan panjang busur sebesar 25 meter.

Teknik Jalan Raya I Halaman : 29


Semakin besar R maka semakin kecil D dan semakin tumpul tikungan yang
direncanakan. Sebaliknya, semakin kecil R maka derajat lengkung akan semakin
besar, atau dikatakan tikungan semakin tajam.

Dari definisi diatas didapat hubungan antara R dengan D sebagi berikut :


D = ( 25/2R ) 360o
= 1432,9/R ( 4.4 )

Besarnya koefisien gesekan melintang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti


jenis dan kondisi ban, tekanan ban, kekasaran permukaan perkerasan, kecepatan
kendaraan dan keadaan cuaca. Semakin tinggi kecepatan suatu kendaraan maka
akan didapat koefisien gesekan melintang yang semakin kecil. Nilai koefisien
gesekan yang diambil untuk perencanaan haruslah nilai yang sudah
memperhitungkan faktor keamanan untuk pengemudi, sehingga tidak boleh
merupakan nilai yang maksimum.

Gambar 4.6 memperlihatkan hubungan antara Kecepatan dengan koefisien


gesekan melintang maksimum yang dapat dipakai sebagai dasar perencanaan.

Untuk kecepatan rencana kurang dari 80 km/jam berlaku hubungan :


fm = - 0,00065V + 0,192

Untuk kecepatan rencana kurang dari antara 80 – 112 km/jam berlaku hubungan :
fm = - 0,00125V + 0,24

Gambar 4.6. Koefisien Gesekan Melintang Maksimum untuk Desain

Teknik Jalan Raya I Halaman : 30


Kemiringan melintang permukaan jalan ( super elevasi ) maksimum yang dapat
dipergunakan pada suatu jalan raya harus dipertimbangkan terhadap hal-hal
sebagai berikut :
1. Keadaan cuaca, seperti seringnya turun hujan, kabut atau salju.
Jalan yang berada di daerah yang sering turun hujan, berkabut atau sering
turun salju, superelevasi maksimumnya diambil lebih rendah dari pada di
daerah yang selalu bercuaca baik.
2. Keadaan medan, seperti daerah datar, bukit atau pegunungan.
Pada daerah bukit atau pegunungan, superelevasi maksimum diambil lebih
rendah dari pada di daerah datar. Superelevasi maksimum yang terlalu tinggi
menyebabkan rasa tidak nyaman bagi pengemudi yang mengendarai
kendaraannya dengan kecepatan rendah.
3. Keadaan lingkungan, yaitu daerah perkotaan atau luar kota.
Didalam kota kendaraan bergerak lebih lambat, karena terdapat banyak
persimpangan, arus lalu lintas lebih padat sehingga superelevasi diambil lebih
kecil.
4. Komposisi jenis kendaraan dari arus lalu lintas
banyaknya kendaraan berat atau kendaraan tak bermesin menyebabkan
arus lalu lintas menjadi tidak menentu, sehingga sebaiknya dipilih superelevasi
maksimum yang lebih rendah.

Tabel 4.1. Nilai R Minimum dan D Maksimum dengan memakai persamaan 4.3.

Kecepatan e maks f maks R min R min D maks


Rencana perhitungan desain desain
( km/jam ) ( m/m ) (m) (m) ( derajat )
40 0,10 0,166 47,363 47 30,48
0,08 51,213 51 28,09
50 0,10 0,160 75,858 76 18,85
0,08 82,192 82 17,47
60 0,10 0,153 112,041 112 12,79
0,08 121,659 122 11,74
70 0,10 0,147 156,522 157 9,12
0,08 170,343 170 8,43
80 0,10 0,140 209,974 210 6,82
0,08 229,062 229 6,25
90 0,10 0,128 280,350 280 5,12
0,08 307,371 307 4,67
100 0,10 0,115 366,233 366 3,91
0,08 403,796 404 3,55
110 0,10 0,103 470,497 470 3,05
0,08 522,058 522 2,74
120 0,10 0,090 596,768 597 2,40
0,08 666,975 667 2,15
Sumber : Silvia Sukirman, Dasar-dasar Perencanaan Geometrik Jalan, 1999

Teknik Jalan Raya I Halaman : 31


4.4. Bentuk-bentuk Lengkung Horisontal ( Tikungan )

Ada tiga bentuk tikungan yang ada yaitu :


1. Tikungan jenis busur lingkaran sederhana ( Full Circle )
2. Tikungan jenis busur lingkaran dengan lengkung peralihan ( Spiral-Circle-Spiral
)
3. Tikungan jenis lengkung peralihan saja ( Spiral-Spiral )

4.4.1. Tikungan Full Circle ( FC )


Tidak semua tikungan dapat dibuat berbentuk busur lingkaran sederhana.
Hanya lengkung dengan jari-jari besar yang diperbolehkan. Pada tikungan yang
tajam, dimana jari-jari tikungan kecil dan kemiringan melintang jalan (super
elevasi) besar, maka lengkung berbentuk busur lingkaran sederhana akan
menyebabkan perubahan kemiringan melintang jalan yang besar yang
menyebabkan timbulnya kesan patah pada tepi perkerasan luar. Lengkung busur
lingkaran sederhana hanya dapat dipilih untuk jari-jari tikungan yang besar,
dimana superelevasi yang diperlukan tidak lebih besar dari 3 %. Jari-jari
tikungan yang memenuhi persyaratan tersebut adalah jari-jari yang terletak diatas
garis tebal pada tabel 4.2. Menurut Standar Perencanaan Geometrik Jalan Raya
No. 13 tahun 1970, diberikan batasan nilai jari-jari minimum untuk tikungan jenis
busur lingkaran sederhana seperti pada tabel 4.2.

Gambar 4.7. Lengkung Busur Lingkaran Sederhana ( Full Circle )

Teknik Jalan Raya I Halaman : 32


Notasi :
 = sudut defleksi diantara tangen-tangen ( derajat )
c = sudut pusat lingkaran
A ( TC ) = titik permulaan dari busur lingkaran ( Tangen to Curve )
B ( CT ) = titik akhir busur lingkaran ( Curve to Tangen )
V ( PI ) = titik perpotongan tangen-tangen ( Point of Intersection )
Tc = jarak tangen ( meter )
E = jarak luar ( meter )
Lc = panjang lengkungan / panjang busur lingkaran ( meter )
Rc = jari-jari tikungan ( meter )

Rumus-rumus umum :

Tc = Rc tg ½ 
E = Tc tg ¼ 
= Rc tg ½  tg ¼ 
= [ Rc ( 1 – cos ½  ) ] / cos ½ 
Lc = (  /180 )  Rc ( meter ) ;  dalam derajat
=  Rc ;  dalam radial

Tabel 4.2 Nilai R untuk Tikungan Full Circle


No Kecepatan Rencana R minimum
( km/jam ) ( meter )
1 120 2000
2 100 1500
3 80 1100
4 60 700
5 50 440
6 40 300
7 30 180
Sumber : Peraturan Perencanaan Geometrik jalan Raya No. 13/1970

Contoh :

1. Sebuah tikungan dengan jenis lengkungan sederhana ( circle ) direncanakan


dengan jari-jari sebesar 716 meter, dan kecepatan rencana 60 km/jam. Jika
sudut defleksi diantara tangen-tangen (  ) = 20o, hitunglah besaran-besaran
penting pada tikungan tersebut.
2. Bandingkan hasilnya jika jari-jari tikungan diubah menjadi 819 meter!

Teknik Jalan Raya I Halaman : 33


4.4.2. Tikungan Spiral – Circle – Spiral ( S – C – S ).

4.4.2.1. Lengkung ( Kurva ) Peralihan

Untuk tikungan yang terdiri dari busur lingkaran saja, maka akan terjadi perubahan
kemiringan melintang jalan yang mendadak dari keadaan lurus (kemiringan
melintang jalan normal) menuju busur lingkaran dengan kemiringan melintang
jalan maksimum. Jelas tidak mungkin untuk melakukan perubahan ini secara
mendadak. Diperlukan perubahan ( transisi ) yang bertahap dari kondisi-kondisi
gerakan kendaraan pada jalan lurus menuju kondisi gerakan kendaraan pada
tikungan.

Untuk mengakomodasikan gerakan peralihan ini, diperlukan lengkung peralihan


sebelum memasuki “tikungan yang sebenarnya”. Dengan adanya lengkung
peralihan ini, gaya sentrifugal akan bertambah secara berangsur-angsur dari
sebesar nol pada saat memasuki tikungan sampai mencapai maksimum pada
pertengahan tikungan dan berangsur-angsur menjadi nol kembali setelah
kendaraan keluar dari tikungan.

Kondisi ini didapat dengan cara menambah kemiringan melintang jalan pada
lengkung transisi ini secara bertahap, dari sebesar kemiringan melintang normal
pada awal tikungan sampai mencapai kemiringan melintang maksimum ( e m )
pada pertengahan tikungan dan mengurangi secara bertahap pula sampai
mencapai kemiringan melintang normal pada akhir tikungan.

Keuntungan lengkung peralihan :


1. Kendaraan mudah mengikuti lajur yang disediakan tanpa melintasi lajur lain
disebelahnya.
2. Mempertinggi keamanan dan kenyamanan karena kecil sejkali
kemungkinannya pengemudi keluar lajur.
3. Perubahan lereng melintang jalan dapat dilakukan secara bertahap sesuai
dengan gaya sentrifugal yang timbul.
4. Pelebaran pada tikungan ( jika diperlukan ) dapat dilakukan secara teratur.
5. Menambah keindahan bentuk dari jalan dengan menghindari kesan patahnya
jalan pada batas bagian lurus dengan bagian busur lingkaran.

4.4.2.2. Menentukan Panjang Lengkung Peralihan ( Ls )


Untuk menentukan panjang lengkung peralihan ( Ls ) ada beberapa cara,
yaitu :
1. Rumus Modifikasi Shortt, yaitu berdasarkan perubahan gaya sentrifugal dan
pengaruh kemiringan.

Ls = 0,022 V3/RC – 2,727 Vem/C

dimana :
V = Kecepatan Rencana ( km/jam )
R = jari-jari tikungan ( meter )
e = superelevasi maksimum ( antara 8% - 10% )
C = perubahan kecepatan ( m/dt3 ), yang bernilai antara 1 - 3
Teknik Jalan Raya I Halaman : 34
2. Berdasarkan Kelandaian Relatif Maksimum ( m )

m = h/Ls
= ( em + en ) b / Ls ;

sehingga :

Ls = ( em + en ) b/m

dimana :
em = Superelevasi maksimum
en = kemiringan melintang normal
b = lebar lajur
m = landai relatip

3. Berdasarkan Pencapaian Kemiringan / jarak tempuh selama 3 detik

Ls = 0,555 V

Untuk berbagai kecepatan rencana, dapat dibuatkan tabel panjang Ls,


berdasarkan nilai terbesar dari ketiga rumus diatas, seperti pada tabel 4.4.

4.4.2.3. Bentuk Geometrik Lengkung Peralihan


Bentuk lengkung peralihan yang terbaik adalah kurva Clothoid atau spiral.
Untuk menyisipkan spiral ini pada busur lingkaran dilakukan dengan cara
menggeser busur lingkaran kedalam ke posisi KEK’.

Gambar 4.8. Busur Lingkaran Sederhana dengan Lengkung Peralihan


Teknik Jalan Raya I Halaman : 35
Lengkung Peralihan AC menyinggung di titik A (TS), yang mempunyai radius tak
hingga (garis lurus dapat dianggap sebagai kurva dengan radius tak hingga).
Pada titik-titik berurutan sepanjang AC, jari-jari kelengkungan bertambah kecil
sampai menjadi sebesar R di titik C (SC), dimana Lengkung Peralihan AC dan
busur lingkaran CC’ mempunyai pusat bersama di O. Dengan adanya lengkung
peralihan, maka tidak akan terjadi perubahan mendadak menuju A’ dan B’ pada
busur lingkaran asli, karena sekarang ada gerakan transisi diantara garis lurus
(tangen) dan busur lingkaran. melalui lengkung peralihan AC dan C’B.

Tabel 4.3. Kelandaian Relatif Maksimum ( m )

Kecepatan Rencana Kelandaian Relatif Maksimum


( km/jam ) (m)
120 1/280
100 1/240
80 1/200
60 1/160
50 1/140
40 1/120
30 1/100
Sumber : Peraturan Perencanaan Geometrik jalan Raya No. 13/1970

Tabel 4.4. Panjang Lengkung Peralihan Minimum dan superelevasi yang


dibutuhkan ( em maksimum = 10% )
D R Kecepatan ( km/jam )
(o) (m) 50 60 70 80 90
em Ls em Ls em Ls em Ls em Ls
0.250 5730 LN 0 LN 0 LN 0 LN 0 LN 0
0,500 2865 LN 0 LN 0 LP 60 LP 70 LP 75
0,750 1910 LN 0 LP 50 LP 60 0,020 70 0,025 75
1,000 1432 LP 45 LP 50 0,021 60 0,027 70 0,033 75
1,250 1146 LP 45 LP 50 0,025 60 0,033 70 0,040 75
1,500 955 LP 45 0,023 50 0,030 60 0,038 70 0,047 75
1,750 819 LP 45 0,026 50 0,035 60 0,044 70 0,054 75
2,000 716 LP 45 0,029 50 0,039 60 0,049 70 0,060 75
2,500 573 0,026 45 0,036 50 0,047 60 0,059 70 0,072 75
3,000 477 0,030 45 0,042 50 0,055 60 0,068 70 0,081 75
3,500 409 0,035 45 0,048 50 0,062 60 0,076 70 0,089 75
4,000 358 0,039 45 0,054 50 0,068 60 0,082 70 0,095 75
4,600 318 0,043 45 0,059 50 0,074 60 0,088 70 0,099 75
5,000 286 0,048 45 0,064 50 0,079 60 0,093 70 1,000 75
6,000 239 0,055 45 0,073 50 0,088 60 0,098 70 Dmaks = 5,12
7,000 205 0,062 45 0,080 50 0,094 60 Dmaks = 6,82
8,000 179 0,068 45 0,086 50 0,098 60
9,000 159 0,074 45 0,091 50 0,099 60
10,000 143 0,079 45 0,095 60 Dmaks = 9,12
11,000 130 0,083 45 0,098 60
12,000 119 0,087 45 0,100 60
13,000 110 0,091 50 Dmaks = 12,79
14,000 102 0,093 50
15,000 95 0,096 50
16,000 90 0,097 50
17,000 84 0,099 60
18,000 80 0,099 60
19,000 75 Dmaks = 18,85
Sumber : Silvia Sukirman, dasar-dasar Perencanaan Geometrik Jalan, 1999

Teknik Jalan Raya I Halaman : 36


Keterangan :
LN = kemiringan melintang normal = 2%
LP = lereng luar diputar sehingga perkerasan mendapat superelevasi sebesar
kemiringan melintang normal = 2%
Ls = diperhitungkan dengan mempertimbangkan rumus modifikasi Shortt,
landai relatif maksimum, jarak tempuh 2 detik dan lebar lajur = 3,75 meter.

4.4.2.4. Menentukan persamaan garis dari lengkung peralihan :

Dalam spiral, radius ( jari-jari ) berubah secara linier sepanjang spiral tersebut.
d = dl/R, sehingga dl = R d

dari teorema bahwa radius spiral berubah secara linier sepanjang spiral tersebut
maka berlaku :
R/Rc = Ls/l atau D/Dc = l/Ls

R = Ls. Rc/l

sehingga d = dl/R
= l.dl/( Ls. Rc )

integral dari persamaan diatas terhadap l, menghasilkan :


 = l2/( 2Ls.Rc )

Gambar 4.9. Lengkung Peralihan

Teknik Jalan Raya I Halaman : 37


Tinjau sudut  yang dibatasi oleh dl, dx dan dy

dx = dl Cos 
dy = dl Sin 
atau :

dx = dl ( 1 - 2/2! + 4/4! - . . . )
dy = dl ( - 3/3! + 5/5! - . . . )

substitusikan  = l2/( 2Ls.Rc ), maka :

dx = dl ( 1 – l4/( 8 Ls2. Rc2 ) + . . . )


dy = dl (l2/( 2 Ls. Rc ) – l6/( 48 Ls3. Rc3 ) + . . . )

dengan mengintegrasi ruas kiri dan kanan dari persamaan diatas, didapat :

x = l – l5/( 40 Ls2. Rc2 ) + 


y = l3/( 6 Ls. Rc ) – l7/( 336 Ls3. Rc3 ) + 

yang dapat disederhanakan menjadi :

x = l – l5/( 40 Ls2. Rc2 )


y = l3/( 6 Ls. Rc )

Persamaan ini merupakan rumus umum untuk menentukan posisi titik-titik


sepanjang spiral dari tangen di TS.

Untuk l = Ls, maka :

Xs = Ls ( 1 – Ls2/(40 Rc2 ))
Ys = Ls2/6Rc
s = Ls/2Rc rad

4.4.2.5. Menentukan koordinat pergeseran titik TC ( nilai k dan p )

Pada Gambar 4.10, bila garis tegak lurus CD ditarik dari C ke OK, maka koordinat
titik K ( pergeseran titik TC ) adalah :

k (Xo) = AD – CF
= Xs – Rc sin s
= Ls ( 1 – Ls2/(40 Rc2 )) - Rc sin s
P (o) = CD – FK
= CD – ( OK – OF )
= CD – ( Rc – Rc cos s )
= Ys – Rc ( 1 - cos s )
= Ls2/6Rc - R ( 1 - cos s )

Teknik Jalan Raya I Halaman : 38


Gambar 4.10. Menentukan posisi O dan Xo ( p dan k )

4.4.2.6. Besaran-besaran penting tikungan S – C - S

Gambar 4.11. Tikungan Spiral – Circle - Spiral


Notasi :
Teknik Jalan Raya I Halaman : 39
 = sudut defleksi diantara tangen-tangen ( derajat )
c = sudut pusat lingkaran
s = sudut spiral
TS = titik permulaan dari spiral ( Tangen to Spiral )
SC = titik awal busur lingkaran ( Spiral to Circle )
CS = titik akhir busur lingkaran ( Circle to Spiral )
ST = titik akhir dari spiral ( Spiral to Tangen )
V ( PI ) = titik perpotongan tangen-tangen ( Point of Intersection )
Ts = jarak tangen ( meter )
Ec = jarak luar ( meter )
Lc = panjang lengkungan / panjang busur lingkaran ( meter )
Ls = panjang spiral ( meter )
Rc = jari-jari tikungan ( meter )

Rumus-rumus umum :
Xs = Ls ( 1 – Ls2/(40 Rc2 ))
Ys = Ls2/6Rc
p = Ls2/6Rc – Rc ( 1 – Cos s )
k = Ls – Ls3/40Rc2 – Rc Sin s
s = Ls/2Rc rad
= 90Ls/Rc derajat
c = 2 s
Ts = ( Rc + p ) tg ½  + k
Es = ( Rc + p ) sec ½  - Rc
= [ ( Rc + p ) – Rc cos ½  cos ½ 
Lc = ( c /360 ) 2  Rc
  ( c /180 )  Rc
Lt = Lc + 2 Ls < 2 Ts

Jika Ls = 1 maka p = p* dan k = k*


untuk Ls = Ls, maka p = p* Ls dan k = k* Ls

(Telah disediakan tabel nilai p* dan k* untuk berbagai nilai s, dimana tabel ini
dibuat berdasarkan rumus untuk mencari nilai p dan k).

Contoh :

1. Sebuah tikungan dengan jenis S-C-S direncanakan dengan jari-jari sebesar


318 meter, dan kecepatan rencana 60 km/jam. Jika sudut defleksi diantara
tangen-tengen (  ) = 20o, hitunglah besaran-besaran penting pada tikungan
tersebut.
2. Sebuah tikungan dengan jenis S-C-S direncanakan dengan jari-jari sebesar
286 meter, dan kecepatan rencana 80 km/jam. Jika sudut defleksi diantara
tangen-tengen (  ) = 12o, hitunglah besaran-besaran penting pada tikungan
tersebut. ( Kunci : coba dengan R = 358 m )

Teknik Jalan Raya I Halaman : 40


4.4.3. Tikungan Spiral – Spiral ( S – S ).

Tikungan Spiral- spiral adalah tikungan S – C – S yang tanpa busur lingkaran,


sehingga titik SC berhimpit dengan titik CS. Panjang busur lingkaran Lc = 0 dan s
= 

Panjang lengkung peralihan Ls yang dipergunakan haruslah memenuhi


persamaan s = 90 Ls/ Rc, sehingga bentuk lengkung peralihannya adalah
lengkung spiral dengan sudut s = 

Rc yang dipilih harus sedemikian rupa sehingga Ls yang dibutuhkan lebih besar
dari Ls yang menghasilkan landai relatif maksimum yang disyaratkan.

Rumus untuk tikungan S – C – S dapat dipergunakan untuk menghitung tikungan


jenis S – S asalkan ketentuan-ketentuan diatas dipenuhi.

Gambar 4.12. Tikungan Spiral – Circle - Spiral

Contoh soal :

1. Sebuah tikungan dengan jenis S-S direncanakan dengan jari-jari sebesar 318
meter, dan kecepatan rencana 60 km/jam. Jika sudut defleksi diantara tangen-
tengen (  ) = 20o, hitunglah besaran-besaran penting pada tikungan tersebut.

Teknik Jalan Raya I Halaman : 41


DIAGRAM
SUPER ELEVASI
Obyektif :
Setelah menyelesaikan materi ini mahasiswa dapat :
1 Menjelaskan apa yang dimaksud dengan diagram superelevasi
2. Menggambar diagram super elevcasi

Diagram superelevasi adalah diagram yang menggambarkan pencapaian


superelevasi lereng normal ke superelevasi penuh pada tikungan, sehingga
dengan mempergunakan diagram superelevasi dapat diketahui besarnya
kemiringan melintang di setiap titik pada tikungan.

Diagram superelevasi digambar dengan menganggap sumbu jalan sebagai garis


dengan kemiringan nol persen. Kemiringan lereng perkerasan diberi tanda positip
atau negatip ditinjau dari elevasi sumbu jalan. Jika elevasi tepi perkerasan terletak
lebih tinggi dari sumbu jalan maka kemiringan lerengnya bertanda positip dan jika
elevasi tepi perkerasan terletak lebih rendah dari sumbu jalan maka kemiringan
lerengnya bertanda negatip.

Untuk jalan tanpa median, ada beberapa metode untuk menggambar diagram
superelevasi yaitu :
1. Dengan menggunakan sumbu jalan sebagai sumbu putar. Dengan memakai
metode ini, elevasi sumbu jalan tidak mengalami perubahan. Metode ini
merupakan metode yang paling umum dipergunakan.
2. Dengan menggunakan tepi dalam perkerasan sebagai sumbu putar. Dengan
memakai metode ini akan memberikan keuntungan dipandang dari sudut
keperluan drainase jalan dan penampakan tikungan, hanya saja elevasi sumbu
jalan berubah.
3. Dengan memakai tepi luar perkerasan sebagai sumbu putar. Metode ini jarang
digunakan karena umumnya tidak memberikan keuntungan-keuntungan
seperti metode yang lain, kecuali untuk penyesuaian dengan kondisi medan.

Untuk jalan raya dengan median, cara pencapaian superelevasi tersebut


tergantung dari lebar serta bentuk penampang melintang median yang
bersangkutan dan dapat dilakukan dengan salah satu dari cara berikut :
1. Masing-masing perkerasan diputar sendiri-sendiri dengan sumbu masing-
masing jalur jalan sebagai sumbu putar.
2. Kedua perkerasan diputar sendiri-sendiri dengan sisi-sisi median sebagai
sumbu putar, sehingga median tetap dalam keadaan datar.
3. Seluruh jalan termasuk median diputar dengan sumbu median sebagai sumbu
putar.

Teknik Jalan Raya I Halaman : 42


Gambar 5.1. Perubahan kemiringan melintang
(Silvia Sukirma, 1992)

Pada tikungan F-C, karena lengkung hanya berbentuk busur lingkaran saja, maka
pencapaian superelevasi dilakukan sepanjang lengkung perlalihan fiktif ( Ls’ ),
dimana ¾ bagian dari Ls’ ditempatkan pada bagian lurus dan ¼ bagian dari Ls’
ditempatkan pada busur lingkaran.

TS SC

Tepi Luar
+ em
Sumbu
- em Jalan
Tepi Dalam

I I II I
I I V
Bagian Lengkung Busur Lingkaran
lurus Peralihan

0 en en em
en

POT. POT. II- POT. III- POT. IV-


I-I II III IV

Gambar 5.2. Diagram Superelevasi dengan sumbu jalan sebagai sumbu putar
untuk tikungan S-C-S

Teknik Jalan Raya I Halaman : 43


TC

¾ Ls’ ¼ Ls’
Tepi Luar
+ em
Sumbu
- em Jalan
Tepi Dalam

II
I

Bagian Lengkung Peralihan Fiktif Busur Lingkaran


lurus

Gambar 5.3. Diagram Superelevasi dengan sumbu jalan sebagai sumbu putar
untuk tikungan F - C

Pada tikungan S-S, diagram superelevasinya mirip dengan diagram superelevasi


untuk lengkung S-C-S, hanya menghilangkan bagian circle-nya saja. Artinya, pada
diagram superelevasi untuk lengkung S-S. titik SC berhimpit dengan CS, karena
Lc = 0.

Gambar 5.4. Diagram Superelevasi dengan sumbu jalan sebagai sumbu putar
untuk tikungan S – S (Silvia Sukirman, 1992)

Teknik Jalan Raya I Halaman : 44


ALINEMEN
VERTIKAL
Obyektif :
Setelah menyelesaikan materi ini mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan alinemen vertikal
2. Merencanakan alinemen vertikal jalan raya

Yang dimaksud dengan alinemen / lengkung vertikal adalah lengkungan yang


dipakai untuk menghubungkan satu kelandaian dengan kelandaian yang lain.

Jenis lengkung vertikal ada dua, yaitu :


1. Lengkung vertikal cembung, apabila titik perpotongan tangen terletak diatas
permukaan jalan.
2. Lengkung vertikal cekung, apabila titik perpotongan tangen terletak dibawah
permukaan jalan.

6.1. Persamaan lengkung vertikal

Bentuk lengkung vertikal yang umum digunakan adalah lengkung parabola,


dengan persamaan : y = ax2 + bx + c
Besar a menentukan ketajaman parabola dan tanda a menentukan bentuk
lengkung vertikalnya. Jika a positip berarti lengkung vertikal cekung, bila negatip
cembung.

Awal lengkung vertikal adalah titik A ( PLV = Permulaan Lengkung Vertikal ) dan
akhir dari lengkung vertikal adalah titik B ( PTV = Peralihan Tangen Vertikal ). Titik
perpotongan tangennya adalah titik PPV ( Pusat Perpotongan Vertikal ).

Untuk memudahkan penurunan rumusnya, maka lengkung vertikal dianggap


berada pada suatu sistem koordinat kartesius dengan sumbu Y melalui titik awal
lengkung vertikal, sehingga dengan demikian suku c dari persamaan : y = ax 2 + bx
+ c adalah merupakan elevasi dari titik PLV diukur dari suatu datum yang dipilih.

Turunan pertama dari persamaan y = ax 2 + bx + c adalah 2 ax + b, yang


menyatakan gradien dari garis singgung / tangen pada parabola. Di titik PLV
gradien dari tangen = g1, dan nilai x = 0, sehingga suku b pada persamaan umum
parabola = g1.
Turunan kedua dari persamaan y = ax 2 + bx + c adalah sama dengan 2a
yang berarti bahwa parabola mempunyai tingkat perubahan kelandaian ( r ) yang
konstan disepanjang parabola tersebut. Atau dengan kata lain, tangen pada
parabola berubah dengan kemiringan yang tetap untuk setiap penambahan jarak.

Teknik Jalan Raya I Halaman : 45


Sesuai dengan Gambar 6.1 kelandaian berubah dari g1 menjadi g2 sepanjang L,
sehingga tingkat perubahan kelandaiannya ( r ) = g2 – g1 / L. Sehingga dengan
demikian terdapat hubungan :

2a = g2 – g1 / L
dan a = g2 – g1 / 2L

Sehingga persamaan umum lengkung vertikal menjadi :

y = [( g2 – g1 ) / 2L ] x2 + g1 x + el. PLV

Gambar 6.1. Lengkung Vertikal Cekung


(Irvine, 1982)

Gambar 6.2. Lengkung Vertikal Cembung


(Irvine, 1982)

Teknik Jalan Raya I Halaman : 46


Contoh soal :
1. Untuk perencanaan lengkung vertikal, dari lapangan didapat data sebagai
berikut :
g1 = +1%, g2 = +4%
elevasi titik PPV = 261,30 meter
Panjang lengkung = 100 meter.

2. Direncanakan suatu lengkung vertikal dengan panjang 100 meter dengan g1 =


2%, g2 = -1% dan elevasi titik A = 63,96 meter.

Penyelesaian
1. a = ( 4 – 1 ) / 200 . 100 = 1,5 . 10-4
b = 0,01
c = 261,30 - 1% x 50
= 260,80 meter

1. Jarak Elevasi pada Koreksi Kemiringan Elevasi Kurva


(m) tangen muka (m)
(m) ax2 (m)
c + bx ax2 + bx + c
0 260,80 0 260,800
25 261,05 0,094 261,144
50 261,30 0,375 261,675
75 261,55 0,844 262,394
100 261,80 1,500 263,300

Kontrol :
elevasi B = elevasi PPV + g2 x L/2
= 261,30 + 4% x 50
= 263,300 meter ( OK )

2. a = ( -1 – 2 ) / 200 . 100 = -1,5 . 10-4


b = 0,02
c = 63,960 meter

2. Jarak Elevasi pada Koreksi Kemiringan Elevasi Kurva


(m) tangen muka (m)
(m) ax2 (m)
c + bx ax2 + bx + c
0 63,960 0 63,960
25 64,460 - 0,094 64,366
50 64,960 - 0,375 64,585
75 65,460 - 0844 64,616
100 65,960 - 1,500 64,460

Kontrol :
elevasi B = elevasi PPV + g2 x L/2
= 63,96 + 2% x 50 - 1% x 50
= 64,460 meter ( OK )

Teknik Jalan Raya I Halaman : 47


6.2. Menetukan Panjang Lengkung Vertikal

Rumus umum parabola y = ax 2 + bx + c untuk menentukan bentuk lengkung


vertikal, berlaku baik untuk lengkung vertikal cembung maupun lengkung vertikal
cekung. Untuk menentukan panjang lengkung ( L ), maka masing-masing
lengkung mempunyai batasan-batasan yang berhubungan dengan jarak
pandangan ( S ). Perlu diperhatikan bahwa nilai A untuk menghitung panjang
lengkung vertikal ini adalah g1 – g2 bukan g2 – g1 seperti menghitung bentuk
geometrik dari lengkung vertikal.

6.2.1. Lengkung Vertikal Cembung

6.2.1.1. Berdasarkan Jarak Pandangan


Pada lengkung vertikal cembung, pembatasan berdasarkan jarak pandangan
dapat dibedakan atas 2 keadaan :
a. Jarak pandangan ( S ) berada seluruhnya dalam daerah lengkung, S < L
b. Jarak pandangan berada didalam dan diluar daerah lengkung, S > L

a. S < L

berlaku rumus : L = AS2/C, dimana nilai C seperti tabel dibawah

JPH JPM
Tinggi mata sopir ( h1 ) 1,20 m 1,20 m
Tinggi obyek ( h2 ) 0,10 m 1,20 m
Konstanta C 399 960

b. S > L

Teknik Jalan Raya I Halaman : 48


berlaku rumus : L = 2S – C1/A, dimana nilai C1 seperti tabel dibawah dan nilai
A = g1 – g2 ( tanpa tanda % )

JPH JPM
Tinggi mata sopir ( h1 ) 1,20 m 1,20 m
Tinggi obyek ( h2 ) 0,10 m 1,20 m
Konstanta C1 399 960

6.2.1.2. Berdasarkan kebutuhan drainase


Lengkung vertikal cembung yang panjang dan relatip datar dapat menimbulkan
kesulitan terhadap drainase terutama jika disepanjang jalan tersebut terdapat
kerb, karena air disamping jalan tidak dapat mengalir dengan lancar.
Untuk menghindari hal tersebut maka panjang lengkung disyaratkan sepanjang : L
<= 50 A

6.2.1.3. Berdasarkan kenyamanan perjalanan


Panjang lengkung sama dengan jarak yang ditempuh selama 3 detik perjalanan.

6.2.2. Lengkung vertikal cekung


Panjang lengkung ditentukan dengan memperhatikan :
- Jarak penyinaran lampu depan
- Jarak pandangan bebas dibawah bangunan
- Kenyamanan mengemudi
- Keluwesan bentuk

6.2.2.1. Berdasarkan jarak penyinaran lampu depan ( S )


Jarak penyinaran lampu depan dimalam hari merupakan batas jarak pandangan
pengemudi, dimana ketinggian lampu depan kendaraan diambil sebesar 60 cm
dengan sudut penyebaran sebesar 10.

a. Untuk S < L, maka L = AS2 / ( 120 + 3,50 S )


b. Untuk S > L, maka L = 2S – [ ( 120 + 3,5 S ) / A ]

6.2.2.2. Berdasarkan jarak pandangan bebas dibawah bangunan


Jarak pandangan pengemudi yang melintas dibawah bangunan yang melintang
diatas jalur yang dilaluinya, baik itu berupa jalan, talang air, jembatan kereta api,
sering terhalang oleh bagian bawah bangunan tersebut. Panjang lengkung
minimum diperhitungkan berdasarkan jarak pandangan henti minimum dengan
mengambil h1 = 1,80 meter ( tinggi mata pengemudi truk dan h2 ( tinggi obyek )
= 0,50 meter. Untuk perencanaan disarankan untuk mengambil ruang bebas
vertikal ( C ) sebesar 5,5 meter.

a. Untuk S < L, maka L = AS2 / 3480


b. Untuk S > L, maka L = 2S – 3480 / A
Teknik Jalan Raya I Halaman : 49
6.2.2.3. Berdasarkan kenyamanan mengemudi
Gaya sentrifugal dan gravitasi pada lengkung vertikal cekung menimbulkan rasa
tidak nyaman pada pengemudi. Panjang lengkung minimum yang dapat
memenuhi syarat kenyamanan adalah : L = AV2 / 380

6.2.2.4. Berdasarkan keluwesan bentuk


Jika perbedaan kelandaiannya kecil, maka persamaan umum parabola akan
memberikan panjang lengkung yang pendek sehingga alinemen vertikal
kelihatannya melengkung. Untuk mengatasi masalah ini maka panjang lengkung
vertikal cekung diambil sebesar : L >= 3 detik perjalanan.

Contoh perhitungan

Rencanakanlah suatu lengkung vertikal dengan tangen muka sebesar + 3,67%


dan tangen belakang sebesar – 1%. Elevasi PPV = 84,0 meter dan kecepatan
rencana = 60 km/jam.

Penyelesaian
Dari data diatas berdasarkan kecepatan rencana sebesar 60 km / jam maka dari
Standar Perencanaan Geometrik Jalan Raya didapat :
JPH = 75 meter dan JPM = 380 meter. Karena nilai a negatip, maka lengkung
vertikal yang direncanakan adalah lengkung vertikal cembung.

1. Mencari Panjang lengkung vertikal ( L )


a. Berdasarkan jarak pandangan henti ( JPH = 75 meter )
untuk S < L, maka L = AS2 / 399
= 4,67 . 752 / 399
= 65,84 meter ( tidak memenuhi karena S > L )

untuk S > L, maka L = 2S - 399 / A


= 2 . 75 – 399 / 4,67
= 64,56 meter (memenuhi karena S > L )
b. Berdasarkan jarak pandangan menyiap ( JPM = 380 meter )
untuk S < L, maka L = AS2 / 960
= 4,67 . 3802 / 960
= 702,45 meter (memenuhi karena S < L )
untuk S > L, maka L = 2S - 960 / A
= 2 . 380 – 960 / 4,67
= 554,43 meter (tidak memenuhi karena S < L )

c. Berdasarkan kebutuhan drainase


L = 50 A
= 50 . 4,67
= 233, 5 meter

Teknik Jalan Raya I Halaman : 50


d. Berdasarkan jarak tempuh selama 3 detik
L =V.t
= 60 . 1000/3600 . 3
= 50,0 meter

Dari perhitungan diatas didapat nilai-nilai L sebagai berikut :


 Berdasarkan JPH = 64,56 meter
 Berdasarkan JPM = 702,45 meter
 Berdasarkan kebutuhan drainase = 233,5 meter
 Berdasarkan syarat kenyamanan = 50,0 meter

Karena kondisi topografi tidak memungkinkan untuk membuat lengkung vertikal


dengan panjang lebih dari 100 meter, maka untuk perencanaan diambil panjang
lengkung L = 75 meter

2. Menentukan bentuk geometrik lengkungan (menggambar lengkung


vertikal)

a = ( -1 – 3,67 ) / 200 . 75 = -3,1 . 10-4


b = 0,0367
c = 84,0 - 3,67% x 37,5
= 82,624 meter

Jarak Elevasi pada Koreksi Elevasi Kurva


(m) tangen muka Kemiringan
(m) (m) (m)
c + bx ax2 ax2 + bx + c
0 82,624 0 82,624
12,5 83,083 -0,048 83,034
25,0 83,542 -0,195 83,347
37,5 84,000 -0,438 83,562
50,0 84,459 -0,778 83,681
62,5 84,918 -1,216 83,702
75,0 85,376 -1,751 83,625

Kontrol :
elevasi B = elevasi PPV + g2 x L/2
= 84,0 - 1% x 37,50
= 83,625 meter ( OK )

Teknik Jalan Raya I Halaman : 51

Anda mungkin juga menyukai