Bahtera Kemanusiaan Nusantara Di Lautan Arsitektur PDF
Bahtera Kemanusiaan Nusantara Di Lautan Arsitektur PDF
Seminar Nasional
Ke-BHINEKAAN BENTUK ARSITEKTUR
N U S A N T A R A
Bhineka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa. Berlainan (namun) tunggal-menyatu, tak
ada darma (perbuatan) yang mendua. Demikianlah secara lengkap, kalimat bijak yang amat
populer "Bhineka Tunggal Ika". Panitya Pengarah Seminar Nasional Jelajah Nusantara ITS
2008 mengungkap kandungan isyaratnya: "perbedaan sebagai sebuah kekayaan yang
terangkum dalam sebuah kesatuan". Yang dimaksud dengan kesatuan yang semestinya
dirangkum itu, sudah barang tentu kesatuan pandangan, sikap dan langkah perbuatan
nyata.
Seyogyanya, pandangan, sikap dan langkah itu memang tak hanya berhenti pada bahasan
tentang tatanan (order) dan gubahan (composition). Keterkaitan satu bentukan wujud
Arsitektur Nusantara dengan yang lain secara sistemik, masih sangat jarang diperhatikan.
Jika berbicara tentang suatu kasus secara mikroskopis, seolah tak lagi perlu lagi meluaskan
teropong telaahan secara teleskopis. Dan sebaliknya, mengkaji tentang suatu kasus secara
teleskopis, seolah tak lagi perlu lagi memfokuskan cernaan secara mikroskopis. Padahal
hanya dengan dua cara telaahan-terpadu yang berkesapasangan dan komplementer itu,
akan diperoleh pemahaman yang meluas-mendalam atau mendalam-meluas, baik pada
ranah filosofis, paradigmatis, teoritis maupun metodologis dalam berbagai aspek kajian
penyanding-bandingan, dinamika teknonika, pemalihan ornamentasi dan lain-lain. Dan
hanya dengan melihat keterangkaian Arsitektur Nusantara dalam kebhinekaan yang
terpadu itu, akan tampak keunikan setiap lokalitas. Bahkan sesungguhnya, indahnya hanya
dapat dirasakan pada keragamannya. Keunikan setiap lokalitas itu bagai jamrut katulistiwa:
indah sekaligus kuat-kokoh terjalin dalam keragaman. Di negeri bahari tempat teruntai ratna
mutu manikam keanekaan lokalitas ini, Arsitektur Nusantara sudah semestinya menjadi
tuan rumah di negeri sendiri. Dengan sendirinya ia menjadi "the other” bagi arsitektur
manca (dalam hal ini terutama Barat, meskipun esensinya, juga Dongson, Cina, India,
Arab). Dan sudah semestinya pula ia tepat-sesuai dengan sifat-keadaan masyarakat alam
dan manusianya, dibandingkan dengan arsitektur manca (yang belum diluruhkan).
Pada Diskusi "Implementasi Kearifan Lokal Menuju Arsitektur Berkelanjutan", di UNS, 12
Agustus 2008 yang lalu, disinggung bagaimana "meluruhkan" muatan arsitektur manca
dan/atau sekaligus mengkontekstualkan lokalitas masa lalu Nusantara. Pada kesempatan
itu, Dr. Yuswadi Saliya, menegaskan perlunya kepastian dalam memilah dan memilih,
perlunya mengambil keputusan. Dengan kata lain, kita perlu politik atau strategi
kebudayaan yang tepat. Bangsa ini dituntut untuk terus-menerus mengidentifikasi dirinya
secara dinamik. Hal itu adalah hal yang wajar belaka ―bukan hanya karena sekarang, di
hadapan globalisme, sangat terasakan beratnya mempertahankan kesatuan bangsa di
wilayah Indonesia yang sangat luas multikultural dan multihistoris ini. Identifikasi diri itu
wajar dan tak ada bedanya dengan kehidupan manusia: sampai akhir hayatnya, manusia
mesti mengenali dirinya. Pada hembusan nafasnya yang terkahir, seyogyanya ia menyadari
siapa dirinya dan siapa pencipta dirinya.
BANGSA TUMPENG
Mulai tahun 1940-an, telah disadari banyak ilmuwan sosial bahwa tak mudah membuat
pengelompokan kultural di Asia ―makin rinci data sejarah, makin rumit pula menentukan
"area kultural" di Nusantara.ii "Ruang budaya-peradaban arsitektur" Nusantara pun dapat
dipahami dari berbagai sudut pandang: geografis, etnologis, historio-antropologis, dan geo-
politiko-kultural. Tentu saja, sudut pandang itu masih serba terbuka untuk diperkaya,
misalnya dengan pandangan geo-kosmologis. Namun demikian, sejak Abad XV, sebagian
besar wilayah "Archipelago" Indonesia secara konvensional dikenal sebagai Nusantara.iii
Ciri utama geografi etno-arsitektural di wilayah budaya Nusantara tak ada salahnya kita
amati kembali:
• Sajian keramah-tamahan
Dengan alam yang (tadinya) sangat ramah, sangat mudah memahami, mengapa
penduduk wilayah Nusantara (dahulu) pun dikenal sangat saling akrab dan sangat
ramah. Substrat mentalitas itu masih tampak di kampung-kampung kota kecil dan di
desa-desa, duapuluh atau bahkan sepuluh tahun yang lalu. Buktinya, perilaku egoistik
berlalu-lintas di jalan raya, seketika berubah menjadi perilaku yang jauh lebih
mempedulikan kepentingan orang lain, ketika masuk ke dalam kampung atau desa.
Mengapa kenyataan demikian tak dapat dijadikan timbaan keilmuan? Keakraban
antarwarga kampung mencegah pejalan atau pengendara motor pemakai gang
sebagai public sphere, untuk berbuat tanpa menghargai hak sesama. Gang, lorong
kampung dan desa menjadi ruang semi-publik atau sekedar perluasan dari banyak
ruang privat.
Bisa jadi, yang paling dekat untuk menggambarkan keaneka-ragaman perwujudan ideal ciri
etno-geografi arsitektural di atas adalah kampung dan desa. Kehidupan kampung dan desa
laksana tumpeng: di bahagian bawah, beragam jenis aneka lauk-pauk yang tersaji. Itulah
sajian bhineka tunggal ika, tan hana dharma mangruwa. Berlainan (namun) tunggal-
menyatu, tak ada darma (perbuatan) yang mendua; yang ada hanyalah upaya bersama
untuk membangun kehidupan majemuk serba tenteram nan damai. Bila cukup dalam
menyelami dunia esensi, perbedaan-perbedaan keyakinan tak akan diperuncing. Marilah
kita menyinambung-lanjutkan kebhinekaan budaya Nusantara, persis seperti adi-cara
rakyat perkampungan atau perdesaan menyantap tumpeng. Puncak tumpeng mesti
dipotong. Puncak tumpeng sudah bertamsil cabai merah-terbelah: membuat perut siapa
yang menyantapnya menjadi gerah. Puncak itu ialah nilai-nilai universalitas atau
kesemestaan yang pasti berbeda-beda menurut keyakinan tiap lokalitas-daerah-suku-ras-
golongan-kaum-kelompok-komunitas-insan-individu warga-bangsa Nusantara nan
berbhineka ini. Perbedaan keyakinan mustahil dipaksakan untuk sama. Pada tumpeng
budaya Nusantara, tak ada tempat untuk yang lapar dengan menu "merasa-akui dirinya
paling benar" (claim of truth). Tak ada tempat pula yang lapar dengan prestasi dan prestise
agar diakui dirinya paling agung. Dalam perbedaan-perbedaan latar belakang multi-budaya,
yang perlu dimanfaatkan bersama dengan sikap saling memberi berasas belas kasih, ialah
bagian bawah tumpeng yang penuh lauk-pauk itu. Itulah jatah rakyat, jatah kita. Rakyat
bangsa tumpeng yang suka damai saling harga-menghargai, saling selamat-
menyelamatkan, saling hidup-menghidupi. Sikap itulah yang menghiasi Nusantara
katulistiwa ini dengan untaian jamrut nan indah bernilai tinggi.
KARAWITAN DETIL
Sikap suka damai saling harga-menghargai itulah yang sebenarnya mesti muncul-mewujud
dan terjaga-pelihara pada Arsitektur Nusantara. Damai terhadap alam, damai terhadap
manusia. Arsitektur Nusantara bukanlah tentang bangunan rumah saja. Dalam keseluruhan
wilayah budaya Arsitektur Nusantara, simpul-simpul rajutan detil arsitektural akan muncul
dimana saja, mulai dari lantai sampai ujung atap. Hampir semua karya Arsitektur Nusantara
adalah rajutan detailing yang sangat beraneka-ragam, berkemajemukan tinggi, dan
berbhineka sangat kaya. Arsitektur Nusantara bahkan bagai bahtera yang melayari lautan
detil. Seperti pada tinjauan ruang-bunyi, elemen-elemen visual yang menjadi kajian
konvensional ―kolom, dinding, langit-langit, atau atap berikut segala karakter arsitektural
yang secara konvensional dikenal sebagai bentukan-geometris― akan lenyap, karena ikut
mewujud sebagai detil.
Detil dari kolom kayu polos tanpa ornamen kekriyaan sekali pun misalnya, sebetulnya
adalah himpunan detil dari serat-mata-kayu yang sangat rumit, yang baru tampak pada
jarak-pandang yang cukup dekat. Detil semacam itu bisa muncul dimana saja: di kasau,
meja, atau di anak tangga. Bahkan tiap lembar daun dari tanaman sebetulnya mempunyai
detil pula ―yang masing-masing punya "hak untuk ditampilkan" sebagai objek-selektif
visual dan menjadi fokus. Ada keindahan tersendiri yang mencuat-muncul dari laut ini. Detil-
detil, hampir seperti kata sebagian pengamat seni rupa, adalah memang “arsitektur“
tersendiri. Tetapi menurut saya, lebih tepat ditamsilkan sebagai karawitan yang menjadi
satu dalam pertunjukan wayang. Suara-bunyi musik karawitan hanya berfungsi mengiringi
pertunjukan di layar utama saja. Seorang pembangun arsitektur pada tradisi Nusantara
persis seperti dalang wayang kulit Jawa: berbagai alat musik ―dari yang paling kecil-halus
seperti suling dan rebab sampai yang paling besar seerti gong― ada di bawah komando
sang dalang. Namun demikian, arena pertunjukan utamanya adalah pada layar visual.
Rawit, adalah bahasa Jawa Kuno, artinya harum-indah. Perluasan maknanya, rawit
menunjuk pada pekerjaan yang sangat rinci. Ngrawit, ialah membuat detil-detil. Karawitan
adalah jalinan keharum-indahan kerja njelimet-tekun-seksama. Arsitektur Nusantara adalah
karawitan detil. Mengapa detil kekarya-tanganan arsitektural menjadi sangat penting?
Fitrah manusia memerlukan detil. Detil didapat dari suatu fokus-visual, dan itu adalah hasil
dari sequential movements through space. Jadi, ada sebuah “lorong-visual“ yang bergerak-
meruang, sekaligus “lorong untuk melihat detil“, sebuah “zoomspace“. Zoomspace
terbentuk ketika manusia mengamati suatu objek visual, termasuk arsitektur. Konsep
zoomspace itu, hampir sama dengan konsep alur-jelajah visual (visual scanpaths).
Pengalaman visual dalam arsitektur dipengaruhi oleh beraneka-rupa karakteristik
geometrik-formal seperti ukuran, kontras, arah, sumbu-simetri, ketertutupan, dan lain-lain.
Semuanya dapat mengubah alur-jelajah visual dan menyebabkan kesadaran dan apresiasi
desain arsitektural tertentu.vii Temuan sebuah penelitian menunjukkan bahwa mata
manusia tidak melacak bentuk-bentuk dasar secara lengkap, namun terfokus pada pusat
tata-susunan keseluruhannya; terfokus pada masa yang terbesar, atau pada objek dengan
beda jarak formal yang cukup besar dari keseluruhan bentuk. Penelitian lain dari aspek
neuro-kognitif tentang pengamatan manusia terhadap objek visual dalam suatu ruang,
menegaskan pula bahwa ternyata mekanisme syaraf untuk memperhatikan objek-(visual)-
terpilih (object-selective attention) identik dan terjadi bersamaan dengan mekanisme untuk
memperhatikan ruang (spatial attention). Ada proses sensor yang sama terhadap objek,
yaitu menetapkan batas-batas spasio-visual pembentuk objek.viii Tampaknya, sebatas
pengetahuan manusia, pemfokusan pandangan manusia terhadap objek visual yang
meruang sejalan dengan yang terjadi pada fenomena fisika. Selalu ada “inti dari sesuatu“.
Kita mau tak mau mesti mengembalikan kepedulian arsitektur pada detil. Ini akan
menempatkan arsitektur sebagai salah satu saluran fitrah atau sifat alami manusia. Dalam
aporisme YB Mangunwijaya almarhum, itu adalah bagian dari upaya "memanusiakan
manusia". Fitrah manusia berkecenderungan mencari fokus atau titik pusat dari setiap
sesuatu yang terpandang olehnya, sebagaimana dibuktikan oleh penelitian optometri dan
neuro-kognitif di atas. Tak banyak arsitek yang tersentuh fenomena di balik yang empirik
ini. Adi Purnomo adalah di antara mereka yang cukup dalam mengamatinya. Ia menulis
dalam bukunya: “Bukankah Dia datang dengan segala wujud... kicau burung, embun
mentari pagi, bau tanah basah, semilir angin...“.ix Tidak dapat dipungkiri perasaan manusia,
bahwa di balik segala sesuatu yang jasadiyah, yang ada hanyalah ke-Maha-Besar-an
Tuhan, Allah Yang Maha Pencipta. Itulah titik pusat yang dicari fitrah manusia. Itu pula yang
sebenarnya membuat manusia senantiasa terdorong beradab-santun terhadap ciptaan-
Nya. Hanya yang mencapai sikap demikian itulah yang siap untuk hidup damai-rukun
dengan siapa pun. Bila tidak, pastikanlah bahwa manusia sedang terjebak pada formalitas
simbol-simbol kasat-mata belaka.
Secara fitrah manusia memerlukan detil. Sayangnya, pengajaran arsitektur kini makin
mengandalkan picture. Padahal kenyataan arsitektur yang sesungguhnya adalah
kenyataan spasio-visual. Bahkan sebuah entitas energi-waktu-ruang. Di seluruh dunia,
arsitektur masih sering ditelaah sebagai single building. Itu pun hanya bangunan "penting"
atau karya para "starchitects”, yaitu para arsitek-bintang-kondang yang menjadi bagian dari
tontonan panggung selebritas. Buktinya, “fotografi-cantik“ arsitektur kebanyakan hanya
menyajikan bangunan individual, tanpa latar belakang lingkungan alam dan manusia. Detil-
detil kekarya-tanganan terlupakan. Jika ada, maka penggantinya adalah detil-detil masinal-
industrialistik. Lewat gambar fotogenik semacam itulah kini arsitektur dipahami dunia
pendidikan. Akibatnya fatal: sifat pengetahuan arsitektur yang berkembang menjadi sangat
individual, bahkan menanggalkan karakter lokal ―karena lokalitas itu tak pernah dihadirkan
pada konteks-visual bangunan yang tergambar-sajikan. Laut karawitan detil Nusantara tak
lagi dilayari ―apalagi dengan ketekunan merajut pulau-pulau kekayaan peradabannya
yang berbhineka, menjadi satu kesatuan untaian jamrut keluhuran budi pekerti. Padahal,
lokalitas yang jamak-majemuk dalam lingkungan masyarakat manusia dan alam, adalah
perwujudan peri berkehidupan bersama. Jadinya, bentang-kota, cityscape kita sama seperti
kota lain di seluruh dunia: tertindih idividualisme pengetahuan arsitektur, arsitek dan
karyanya. Dan rusak berat. Kota sekedar menjadi himpunan kehidupan individu bangunan;
tak ada kehidupan bersama yang terpelihara; tak terpikirkan kesinambungan dan
keberlanjutannya; tak ada kepedulian terhadap ekologinya. Ibarat pakaian, arsitektur bukan
lagi proses dan perwujudan olah-rasa dan olah-pikir untuk berkehidupan bersama, tetapi
berkembang menjadi dagangan komodikatif yang mesti trendy dan mengagungkan haute
couture. Tentu, ia menjadi lebih peduli terhadap “siapa perancangnya“, bukan “apa yang
dirancang“ si perancang. Mahasiswanya pun sudah puas dengan belajar "ar-click-tektur"
teknologi digital.
Akhirnya, saya mengharapkan agar semua yang terlibat dalam Seminar Nasional Jelajah
Nusantara ini dikaruniai Allah tambahan kecerdikan untuk menumbuh-kembangkan
pengetahuan dan ilmu arsitektur yang adil, memihak fitrah manusia dan alam Nusantara,
untuk berkehidupan bersama dengan tentram-damai dalam keluhuran budi. Dan agar
Sebagai penutup, marilah kita melihat sekilas sebuah peristiwa arsitektural yang mungkin
masih belum banyak dikomunikasikan di kalangan arsitek. Yang pasti, kita akan melihat
“apa yang dirancang“ bukan "siapa yang merancang". Peristiwa itu ialah bangkitnya sebuah
komunitas dusun di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, dari bencana gempa dahsyat pada
Bulan Mei 2006 yang lalu.
i
Sebagian substansi dari makalah ini berasal dari tulisan-tulisan saya, terutama (a) "Towards a Nusantara
City", Seminar Internasional Knowledge City (2007), USU Press, Medan; (b) Arsitektur untuk
Kemanusiaan. Teropong Visual Culture atas Karya-karya Eko Prawoto, Lanas Wastu Grafika, Surabaya
(2008, in press), (c) Merah-Putih Arsitektur Nusantara (2006), Penerbit Andi, Yogyakarta. Tak dapat
dihindarkan, beberapa bagian merupakan ulangan dari naskah-naskah di atas.
ii
Lihat misalnya tulisan peneliti dari Berkeley, Kroeber, A. L., "Culture Groupings in Asia", Southwestern
Journal of Anthropology, Vol. 3/4 (Winter, 1947), pp. 322‐330. Periode ini juga menghasilkan rincian
etnografis, misalnya tentang rumah panjang: Loeb, Edwin M. & Jan O. M. Broek, 197. "Social Organization
and the Long House in Southeast Asia", American Anthropologist, New Series, Vol. 49/3. (Jul‐Sept 1947),
pp. 414‐425.
iii
Dari kata Kawi "nuswa" atau "nusya" yang berarti pulau, dan "antara": menunjuk area berpulau-pulau
mulai Semenanjung Malaka di Barat, Papua di Timur, Pulau Formosa di Utara pada batas garis lintang
23½º LU, dan Pulau Rote yang terletak di batas paling Selatan Indonesia. Itu sering dilihat sebagai wilayah
dimana bahasa dan tradisi Malayo-Melanesia-Polynesian cukup dominan.
iv
Tentu saja ada perkecualian‐perkecualian, dan bahwa gua dipakai dalam fungsi yang beraneka ragam:
pemujaan, makam dan hunian (sementara?). Lihat temuan Latinis, D. Kyle & Ken Stark, 2005. "Cave Use
Variability in Central Maluku, Eastern Indonesia", Asian Perspectives, Vol. 44/1. Lihat pula temuan‐temuan
arkeologi baru (1994) di Kalimantan Timur, di hulu Sungai Bangalon, dimana ada sekitar 100 gua yang
diduga, dipergunakan komunitas berburu dan beternak prasejarah, seperti yang dilaporkan Chazine, Jean‐
Michel, 2005, "Rock Art, Burials, and Habitations: Caves in East Kalimantan", Asian Perspectives, Vol. 44/1,
pp 219‐230
v
"Arsitektur Nusantara Bahari" saya imbaukan (lewat http//:www.arsitek-nusa.brawijaya.ac.id, 2005) untuk
menempatkannya sebagai agenda kajian keilmuan bagi mereka yang terpanggil sekedar andil
menyelamatkan kehidupan fitrah negeri ini. Selain menunjukkan ciri arsitektur wilayah budaya berpulau-
pulau, bahari atau "laut", adalah tamsil yang saya pakai untuk metoda pengkajian arsitektur Nusantra yang
meluas ekuivokalitas epistemologisnya, sekaligus mendalam univokalitas ontologisnya. Arsitektur
Nusantara Bahari adalah agenda riset bersama.
vi
Tagliacozzo, E., 2007. "An Urban Ocean: Notes on the Historical Evolution of Coastal Cities in Greater
Southeast Asia", Journal of Urban History, 2007; Vol 33/6; pp. 911‐932; lihat pula Miksic, John N., 2000.
"Heterogenetic cities in premodern Southeast Asia", World Archaeology Vol. 32/1 pp: 106–120
vii
Penelitian cukup mendalam tentang gerak visual salah satunya dilakukan oleh Prof. Ralf Weber, yang
memimpin tim di Department of Architecture and the Telerobotics and Neurology Unit of the School of
Optometry, University of California di Berkeley. Lihat Weber, Ralf, Yun Choi & Lawrence Stark, 2002.
The impact of Formal Properties on Eye Movement During the Perception of Architecture, Journal of
Architectural and Planning Research, No 19, Spring 2002, pp 57-69.
viii
Martinez, A., et al, 2006. "Objects are Highlighted by Spatial Attention", Journal of Cognitive
Neuroscience, Vol 18 No 2, 2006, MIT, pp 298-310
ix
Purnomo, Adi, 2005, Relativitas: Adi Purnomo, Arsitek di Ruang Angan dan Kenyataan, Borneo Publ.,
Jakarta