Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Cincau

Cincau (Hanzi: 仙草, pinyin: xiancao) adalah gel serupa agar-agar yang diperoleh dari
perendaman daun (atau organ lain) tumbuhan tertentu dalam air. Gel terbentuk karena daun tumbuhan
tersebut mengandung karbohidrat yang mampu mengikat molekul-molekul air. Kata "cincau" sendiri
berasal dari dialek Hokkian sienchau (Hanzi: 仙草, pinyin: xiancao) yang lazim dilafalkan di
kalangan Tionghoa di Asia Tenggara. Cincau sendiri di bahasa asalnya sebenarnya adalah nama
tumbuhan (Mesona spp.) yang menjadi bahan pembuatan gel ini.
Menurut Pitojo dan Zumiati (2005), cincau bermanfaat sebagai bahan pangan terutama sebagai
bahan baku minuman yang telah dikenal sejak lama. Selain itu, cincau juga berkhasiat sebagai obat
karena mengandung serat alami yang mudah dicerna oleh tubuh manusia. Serat alami berperan dalam
proses percernaan makanan dan mencegah timbulnya penyakit kanker usus. Gelatin cincau diakui
bermanfaat untuk mengobati panas dalam dan sakit perut (abdomen discomfort).
Tanaman cincau secara teknis bermanfaat untuk menunjang konservasi lahan karena tanaman
ini mampu bertahan hidup pada kondisi lingkungan kering yang relatif kurang menguntungkan. Saat
ini, tanaman cincau hitam dan cincau perdu telah dimanfaatkan sebagai komoditas agroindustri dan
agrobisnis yang dapat memberikan keuntungan bagi petani yang membudidayakannya. Tanaman
cincau perdu telah dimanfaatkan sebagai bahan dagangan walaupun sifatnya sangat terbatas dan
musiman. Sedangkan, tanaman cincau hitam telah lama menjadi bahan dagangan lokal dan sebagai
komoditas ekspor penghasil devisa negara.
Menurut Pitojo dan Zumiati (2005), tanaman cincau terdiri dari empat jenis yaitu cincau hijau
(Cyclea barbata), cincau perdu (Mesona palustris), cincau minyak (Stephania hermandifolia), dan
cincau hitam (Premna serratifolia). Perbedaan beberapa jenis cincau dapat dilihat pada Tabel 1.

Cincau Hijau (Cyclea barbata) Cincau Perdu (Premna oblongifolia)

Cincau Minyak (Stephania hermandifolia) Cincau Hitam (Mesona palustris)

Gambar 1. Empat jenis tanaman cincau


17
Tabel 1. Perbedaan beberapa jenis cincau

Perbedaan Cincau
No. Komponen
Hijau Minyak Perdu Hitam
Daun Brangkas (batang
1 Bahan Baku Daun Segar Daun segar
dilayukan daun) kering
Daun asli
Daun asli kaku Daun asli kaku Daun asli lemas
lemas
Bentuk dan
Bentuk dan Bentuk dan Bentuk dan
ukuran telah
ukuran asli ukuran asli ukuran asli
berubah dan susut
Warna cokelat
Warna hijau Warna hijau Warna hijau
karena ikatan
klorofil klorofil klorofil
klorofil rusak
Banyak kotoran,
Relatif bersih Relatif bersih Relatif bersih campuran benda
dari kotoran dari kotoran dari kotoran lain ketika proses
pengeringan
Aroma
Aroma spesifik, Aroma langu, Aroma spesifik,
spesifik,
lemah kuat lemah
lemah
Pelayuan
Perebusan dua
Tanpa Tanpa alami dan
2 Proses kali, ditambahkan
pemanasan pemanasan dengan air
dye dan disaring
hangat
Diremas
dengan air
Diremas Diremas dengan matang dingin Direbus dan
dengan air air matang atau hangat, ditambahkan
matang dingin dingin lalu ditambah tepung
bahan
pengental
Disaring, Disaring, Disaring,
dicetak dicetak dicetak
Dicetak dan
dibiarkan dibiarkan dibiarkan
dibiarkan dingin
dingin, dan dingin, dan dingin, dan
mengental mengental mengental
Sedikit-
3 Hasil Produk Sedikit Sedikit Sangat banyak
Banyak
Kebutuhan Kebutuhan
Kebutuhan Kebutuhan
keluarga dan keluarga dan
keluarga keluarga
komersial komersial
Tanaman
Tanaman Tanaman Tanaman sisipan
4 Skala usaha sisipan atau
sisipan sisipan atau khusus
khusus
Daun tidak Daun tidak
Daun dijual Brangkas dijual
dijual dijual
Sumber : Pitojo dan Zumiati (2005)

B. Cincau Hitam

Tanaman cincau hitam merupakan tanaman perdu dengan ketinggian 30-60 cm dan tumbuh
pada ketinggian 150-1800 m diatas permukaan laut (Heyne (1987) dalam Rahmawansyah (2006)).
Batangnya beruas, berbulu halus dengan bentuk menyerupai segiempat, kebanyakan cabang pada
bagian dasarnya, dan berwarna agak kemerahan. Daun tanaman cincau hitam berwarna hijau, lonjong,

18
tipis lemas, ujungnya runcing, pangkal tepi daun bergerigi, dan memiliki bulu halus. Panjang daun
sekitar 10 cm dan bertangkai sekitar 2 cm. Letak daun saling berhadapan dan berselang-seling dengan
daun berikutnya (Pitojo dan Zumiati, 2005).
Tanaman cincau hitam dapat dibudidayakan dengan cara generatif maupun vegetatif. Cara
generatifnya adalah dengan menggunakan biji sedangkan vegetatifnya menggunakan stek batang,
tunas akar, dan cara merunduk (Sunanto (1995) dalam Rahmawansyah (1995)). Proses pembibitan
secara generatif tingkat keberhasilan kecambahnya hanya 1-2% saja dengan waktu 12 bulan. Hal ini
menyebabkan pembibitan cara ini jarang dilakukan (Sunanto (1995) dalam Rahmawansyah (1995)).
Pembudidayaan yang sering dilakukan adalah dengan cara stek batang, tunas akar, dan merunduk.
Pembudidayaan dengan cara vegetatif ini tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama dan tingkat
keberhasilan juga tinggi. Selain itu, tanaman yang dihasilkan memiliki sifat yang sama dengan
induknya. Tanaman cincau hitam mudah dibudidayakan, terutama di daerah dataran menengah hingga
tinggi. Tanaman tersebut umumnya cocok ditanam di tegalan, pekarangan, dan ladang secara
monokultur atau tumpang sari dengan tanaman lain. Dalam rangka konservasi lahan, tanaman tersebut
dapat ditanam di galengan teras atau ditempat yang berlereng. Hal ini didukung oleh sifat perakaran
yang lebat dan kuat mengikat tanah (Pitojo dan Zumiati, 2005).
Proses pemeliharaan tanaman cincau hitam dilakukan dengan melakukan penyiraman pada
waktu pagi dan sore hari agar diperoleh kondisi tanah yang tetap lembab dan tidak kekeringan. Pupuk
yang digunakan untuk tanaman ini pupuk yang mengandung zat N (nitrogen) seperti pupuk urea. Hal
ini bertujuan agar dapat merangsang pertumbuhan daun yang lebih banyak (Sunanto (1995) dalam
Rahmawansyah (1995)). Hama yang mungkin tumbuh selama penanaman cincau ini adalah jenis
Maenas maculifascia yang akan merusak daun cincau. Untuk mengatasinya dilakukan penyemprotan
insektisida. Penyemprotan dilakukan apabila diketahui gejala penyebarannya yaitu dengan banyaknya
daun cincau yang berlubang. Insektisida yang digunakan adalah insektisida jenis Azordin 15 WSC
atau Dursban 20 EC dengan dosis ringan 1,5 ml per liter air.
Setelah berumur 3-4 bulan setelah tanam, dilakukan pemanenan pertama dengan cara
memotong sebagian tanaman menggunakan sabit sehingga bagian yang tertinggal dapat tumbuh
kembali. Pada pemanenan yang kedua dilakukan pada bulan ke 7-8, semua tanaman dicabut sampai ke
akar-akarnya (Anonim, 2002). Pohon janggelan yang telah di panen selanjutnya dikeringkan dengan
cara menghamparkannya di atas permukaan tanah, hingga warnanya berubah dari hijau menjadi
cokelat tua. Tanaman cincau yang telah kering inilah yang merupakan bahan baku utama pembuatan
cincau hitam. Tanaman cincau yang telah kering tahan untuk disimpan hingga satu tahun, akan tetapi
selama penyimpanan harus dilakukan proses pengeringan sebab jika kondisinya lembab maka akan
tumbuh jamur pada tanaman kering tersebut. Bagian tanaman yang memiliki komponen polisakarida
yang paling banyak ada pada bagian batang dan daunnya, sehingga dalam proses pengolahannya
digunakan bagian daun dan batang tanaman cincau hitam (Pitojo dan Zumiati, 2006).
Tanaman cincau ini merupakan tanaman yang memiliki komponen pembentuk gel, sehingga
dapat tergolong ke dalam tanaman penghasil hidrokoloid. Untuk memperoleh komponen pembentuk
gel dari tanaman cincau dilakukan melalui ekstraksi dalam waktu tertentu. Ekstraksi dilakukan
menggunakan bahan baku tanaman cincau hitam yang telah dikeringkan. Komponen pembentuk gel
dari tanaman cincau hitam ini jika berdiri sendiri tidak mampu menghasilkan gel yang kokoh. Akan
tetapi apabila komponen pembentuk gel cincau dicampurkan dengan pati dan abu qi maka akan
dihasilkan gel yang kokoh. Perbandingan antara komponen pembentuk gel, pati, dan abu qi
menentukan kekokohan dari gel cincau hitam.

19
Tabel 2. Komposisi kimiawi daun cincau hitam

Komponen Jumlah per 100 gram


Kalori 122.0 kal
Protein 6.0 gram
Lemak 1.0 gram
Karbohidrat 26.0 gram
Kalsium 100.0 mg
Fosfor 100.0 mg
Besi 3.3 mg
Vitamin A 10,750 SI
Vitamin B1 80.0 mg
Vitamin C 17.0 mg
Air 66.0 gram
Bahan yang dapat dicerna (b.d.d) (%) 40
Sumber: Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI, 1992 dalam Widyaningsih (2007)

C. Gel Cincau Hitam

Gel merupakan suatu fenomena yang menunjukkan sifat kekerasan dan kadang-kadang pada
konsentrasi zat terlarut sangat rendah, tidak menunjukkan perubahan fungsional dari zat pelarutnya
(Meyer, 1973).
Gel mempunyai derajat kekompakan (rigiditas), elastisitas, dan kerapuhan yang tergantung
pada jenis dan konsentrasi komponen pembentuk gel, kandungan garam, pH fase cairan, dan suhu.
Komponen pembentuk gel pada tingkat 10% atau kurang dapat berupa polisakarida, protein atau
partikel kompleks koloidal seperti misel-misel kaseinat (Powrie dan Tung, 1976).
Cincau hitam merupakan masa gel yang berwarna hitam kecoklatan yang diperoleh dari
pengolahan panas dari tiga komponen berupa tanaman janggelan (cincau hitam), pati, dan abu qi.
Masa ini mempunyai konsistensi yang mirip dengan masa gel yang diperoleh dari agar-agar (Balai
Penelitian Kimia (1975) dalam Supriharsono (1991)). Gel cincau hitam termasuk jenis gel
termoreversibel (Fardiaz dan Wahab (1985) dalam Nuraini (1994)) dimana gel dapat mencair dan
dibentuk kembali dengan penambahan dan pengurangan energi panas.
Tekstur gel yang baik mempunyai kekuatan pecah berkisar antara 9 sampai 25 gr/cm 2. Gel
dengan kekuatan pecah kurang dari 9 gr/cm2 menghasilkan tekstur yang terlalu lunak, sedangkan gel
dengan kekuatan pecah lebih besar dari 25 gr/cm2 menghasilkan tekstur yang terlalu keras.
Sineresis menunjukkan kemampuan gel dalam menahan air selama penyimpanan. Sineresis gel
cincau hitam cenderung menurun dengan meningkatnya konsentrasi dan perbandingan komponen
pembentuk cincau-pati. Tekstur gel yang baik mempunyai nilai sineresis kurang dari 60% setelah
penyimpanan selama tiga minggu (Hasbullah dan Fardiaz, 1998).
Berdasarkan Rahmawansah (2006), yang telah melakukan observasi ke pedagang cincau hitam
di daerah bogor, pada proses ekstraksi penggunaan bobot tanaman cincau sebanyak 6%. Proses
perebusan dilakukan selama 2 jam atau lebih. Hal ini seperti yang dikatakan Asyhar (1988) yaitu
waktu yang diperlukan untuk mengekstrak tanaman cincau adalah 2-3 jam. Dalam pembentukan gel
cincau hitam perlu diperhatikan perbandingan ekstrak cincau hitam (komponen pembentuk gel)
dengan pati (tepung tapioka). Tepung tapioka mengandung 17% amilosa dan 83% amilopektin.
Penggunaan tepung jenis ini disukai oleh pengolah makanan karena tidak mudah
menggumpal, memiliki daya perekat yang tinggi sehingga pemakaianya dapat dihemat, tidak
mudah pecah atau rusak, dan suhu gelatinisasinya rendah (Zuhri, 2010). Menurut Supriharsono

20
(1991), kekuatan gel tertinggi diperoleh dari hasil ekstraksi komponen pembentuk gel menggunakan
abu qi pada konsentrasi 0.3%.

D. Proses Pengalengan

Pengalengan merupakan cara pengawetan bahan pangan dalam wadah yang tertutup rapat
(hermetis) dan disterilisasi dengan panas (Desrosier, 1978). Setelah proses sterilisasi harus segera
dilakukan proses pendinginan untuk mencegah terjadinya over cooking pada makanan dan tumbuhnya
kembali bakteri termofilik (Winarno dan Fardiaz, 1980).
Pada umumnya proses pengalengan bahan pangan terdiri atas beberapa tahap, diantaranya
persiapan bahan, pengisian bahan ke dalam kaleng, pengisian medium, exhausting, sterilisasi,
pendinginan, dan penyimpanan (Desrosier, 1978).
Persiapan bahan dilakukan dengan pemilihan bahan-bahan yang akan dikalengkan, pencucian,
pemotongan menjadi bagian-bagian tertentu, dan persiapan bahan untuk pengolahan selanjutnya (Luh
dan Woodroof (1975) dalam Sylviana (2005)). Pencucian bertujuan untuk memisahkan bahan dari
material asing yang tidak diinginkan, seperti kotoran, minyak, tanah, dan sebagainya serta diharapkan
dapat mengurangi jumlah mikroba awal yang sangat berguna dalam efektivitas proses sterilisasi
(Lopez, 1981).
Pengisian bahan pangan ke dalam wadah harus memperhatikan ruangan pada bagian dalam
atas kaleng (head space). Head space adalah ruang kosong antara permukaan produk dengan tutup
yang berfungsi sebagai ruang cadangan untuk pengembangan produk selama disterilisasi, agar tidak
menekan wadah karena akan menyebabkan kaleng menjadi menggelembung. Besarnya head space
bervariasi tergantung jenis produk dan jenis wadah. Umumnya untuk produk cair dalam kaleng,
tingginya head space adalah sekitar 0.25 inci, sedangkan bila wadah yang digunakan adalah gelas jar,
direkomendasikan head space yang lebih besar. Bila dalam pengalengan tersebut ditambahkan
medium pengalengan, tinggi head space tidak boleh kurang dari 0.25 inci, tetapi bila produk
dikalengkan tanpa penambahan medium, diperkenankan produk diisikan sampai hampir penuh dengan
meninggalkan sedikit ruang head space (Muchtadi, 1994).
Pengisian bahan ke dalam harus seragam dengan tujuan untuk mempertahankan keseragaman
rongga udara (head space), memperoleh produk yang konsisten, dan menjaga berat bahan secara tetap.
Menurut Muchtadi (1994), penghampaan udara (exhausting) adalah proses pengeluaran
sebagian besar oksigen dan gas-gas lain dari dalam wadah agar tidak bereaksi dengan produk sehingga
dapat mempengaruhi mutu, nilai gizi, dan umur simpan produk kalengan. Exhausting juga dilakukan
untuk memberikan ruang bagi pengembangan produk selama proses sterilisasi sehingga kerusakan
wadah akibat tekanan dapat dihindari dan untuk meningkatkan suhu produk di dalam wadah sampai
mencapai suhu awal (initial temperature).
Penutupan wadah dilakukan setelah proses penghampaan udara (exhausting) yang bertujuan
untuk mencegah terjadinya pembusukan.

E. Proses Termal
Proses termal merupakan suatu ilmu yang berkembang sejak termokopel digunakan untuk
mengukur suhu. Secara industri, teknik pengemasan untuk mengawetkan makanan sudah sangat
berkembang, sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk pangan hingga waktu beberapa
bulan hingga beberapa tahun. Menurut Hariyadi (2000), ada beberapa keuntungan dari proses termal.
Keuntungan dari proses pemanasan atau pemasakan ini adalah :
a. terbentuknya tekstur dan cita rasa yang khas dan disukai,
21
b. rusak atau hilangnya beberapa komponen anti gizi,
c. peningkatan ketersediaan beberapa zat gizi, misalnya peningkatan daya cerna protein dan
karbohidrat,
d. terbunuhnya mikroorganisme sehingga meningkatkan keamanan dan keawetan pangan, dan
e. menyebabkan inaktifnya enzim-enzim perusak, sehingga mutu produk lebih stabil selama
penyimpanan.
Namun, ada pula kerugian yang diakibatkan oleh proses pemanasan, antara lain adanya
kemungkinan rusaknya beberapa zat gizi dan mutu (umumnya yang berkaitan dengan mutu
organoleptik, seperti tekstur, warna, dan lain-lain), terutama jika proses pemanasan tidak terkontrol
dengan baik. Oleh karena itu, proses pengolahan dengan suhu tinggi perlu dikendalikan dengan baik.
Kontrol terpenting dalam pemanasan adalah kontrol suhu dan waktu.
Selama pemanasan terdapat dua hal penting yang terjadi, yaitu destruksi atau reduksi mikroba
dan inaktivasi enzim yang tidak dikehendaki. Proses pemanasan untuk meningkatkan daya simpan,
dilakukan dengan cara blansir, pasteurisasi, dan sterilisisasi.

F. Sterilisasi

Menurut Muchtadi (1994), sterilisasi adalah operasi yang paling penting dalam pengalengan
makanan. Sterilisasi tidak hanya bertujuan untuk menghancurkan mikroba pembusuk dan patogen,
tetapi juga berguna untuk membuat produk menjadi cukup masak, yaitu dilihat dari penampilannya,
teksturnya, dan citarasa sesuai yang diinginkan. Oleh karena itu, proses pemanasan ini harus
dilakukan pada suhu yang cukup tinggi untuk menghancurkan mikroba, tetapi tidak boleh terlalu
tinggi sehingga membuat produk menjadi terlalu masak.
Sterilisasi pada sebagian besar makanan kaleng biasanya dilakukan secara komersial.
Sterilisasi komersial adalah sterilisasi yang biasanya dilakukan terhadap sebagian besar makanan di
dalam kaleng, plastik, atau botol. Bahan pangan yang disterilkan secara komersial berarti semua
mikroba penyebab penyakit dan pembentuk racun (toksin) dalam makanan tersebut telah dimatikan,
demikian juga mikroba pembusuk. Spora bakteri non-patogen yang tahan panas mungkin saja masih
ada di dalam makanan setelah proses pemanasan, tetapi bersifat dorman (tidak dalam kondisi aktif
berproduksi), sehingga keberadaannya tidak membahayakan jika produk tersebut disimpan dalam
kondisi normal (Hariyadi, 2000). Makanan yang telah dilakukan sterilisasi komersial memiliki daya
simpan yang tinggi.
Menurut Muchtadi (1994), sterilisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: (1) jenis
mikroba yang dihancurkan, (2) kecepatan perambatan panas ke dalam titik dingin, (3) suhu awal
bahan pangan di dalam wadah, (4) ukuran dan jenis wadah yang digunakan, (5) suhu dan tekanan
yang digunakan untuk proses sterilisasi, dan (6) keasaman atau pH produk yang dikalengkan.
Produk pangan yang mengalami sterilisasi dan dikombinasikan dengan kemasan yang kedap
udara dapat mencegah terjadinya rekontaminasi. Kondisi pengemasan yang kedap udara ini dapat
menyebabkan terbatasnya jumlah udara yang ada, sehingga bakteri yang bersifat aerob tidak akan
mampu tumbuh pada produk pangan tersebut. Umumnya, proses pengemasan bagi bahan pangan yang
disterilisasi dikombinasikan dengan teknik pengemasan yang akan menyebabkan kondisi anaerobik.
Kondisi ini akan memberikan beberapa keuntungan, antara lain mikroba tidak tahan panas sehingga
lebih mudah dimusnahkan pada proses pemanasan dan kondisi anaerobik ini dapat mengurangi reaksi
oksidasi yang mungkin terjadi selama proses pemanasan maupun selama proses penyimpanan setelah
proses. Untuk mempertahankan kondisi anaerobik ini, bahan pangan perlu dikemas dalam kemasan
kedap udara.
22
Operasi sterilisasi dapat dilakukan dengan menggunakan panas yang dapat berasal dari air
panas (mendidih) atau dengan menggunakan uap air panas bertekanan selama waktu yang ditentukan.
Produk dalam kemasan disterilisasi dengan menggunakan ketel uap (retort). Retort yang disebut juga
autoclave atau sterilizer, berbentuk bejana tertutup dan tekanan tinggi yang ditimbulkan oleh uap yang
berasal dari sumber di luar retort. Sumber uap panas tersebut dapat berbentuk boiler atau steam
generator.
Menurut Muchtadi (1994), berdasarkan derajat keasaman atau pH produk pangan, operasi
sterilisasi dapat digolongkan menjadi dua kelas, yaitu produk yang disterilisasi pada suhu 212˚F
(100˚C) yang merupakan suhu air mendidih pada tekanan atmosfer dan produk yang harus disterilisasi
pada suhu lebih tinggi dari 212˚F(100˚C). Bahan pangan yang asam (pH ˂ 4.5) seperti sari buah,
buah-buahan, beberapa macam sayuran, umumnya disterilisasi dengan cara memanaskan wadah
dalam waktu yang cukup agar suhu pada titik dingin mencapai 200˚F atau lebih. Dengan cara ini,
mikroba yang dapat membusukkan bahan pangan asam telah dapat hancur. Golongan bahan pangan
lainnya yang memiliki pH ˃ 4.5 seperti sayuran yang tidak asam, sup, daging, dan hasil olahannya,
ikan, dan unggas, dilakukan sterilisasi pada suhu tinggi dibawah tekanan, agar diperoleh tingkat
sterilitas yang memadai. Ketahanan panas bakteri yang penting dalam sterilisasi komersial disebutkan
pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Ketahanan panas bakteri yang penting pada proses sterilisasi komersial

Golongan Bakteri Ketahanan Panas


D Z
Bahan Pangan Berasam Rendah (pH diatas 4,5)
Termofilik (spora)
 Golongan Flat-Sour (B. stearothermophilus) 4,0-5,0 14-22
 Golongan Pembusuk/Produksi Gas (C. thermosaccharolyticuum) 3,0-4,0 16-22
 Golongan Pembentuk Bau Sulfida (C. nigrificans) 2,0-3,0 16-22
Mesofilik (Spora)
 PA(Putrefactive Anaerob)
C. botulinum (tipe A dan B) 0,1- 0,20 14-18
C. sporogenes (termasuk PA.367a) 0,1- 0,15 14-18
Bahan Pangan Asam (pH 4,0 – 4,5)
Temofilik (spora)
C. coagulans 0,01-0,07 14-18
Mesofilik
B. polymiyxa dan B. macerans 0,01-0,05 12-16
Anaeron butirat (C. Pasterianum) 0,01-0,05 12-16
Bahan Pangan Berasam Tinggi (pH ˂ 4,0)
Lactobacillus sp, Leuconostoc sp, dan Kapang serta Khamir 0,50-1,00 8-10
Sumber : Muhtadi, Tien R. (2008)

Untuk bahan pangan yang tergolong tidak asam dapat ditambahkan larutan garam atau larutan
gula yang diasamkan sebagai mediumnya, sehingga sterilisasi dapat dilakukan pada suhu yang lebih
rendah (misalnya hanya pada suhu 100˚C, tekanan atmosfer) sehingga mutu produk dapat lebih
dipertahankan.

23
Menurut Reuter (1993), kerusakan mutu pangan selama proses sterilisasi adalah rendah ketika
bahan pangan tersebut diberi perlakuan suhu yang tinggi dalam waktu yang singkat. Penentuan waktu
dan suhu sterilisasi dipengaruhi oleh kecepatan perambatan panas, keadaan awal produk (pH, dimensi
produk, dan jumlah mikroba awal), wadah yang digunakan, dan ketahanan panas mikroba atau
sporanya. Setiap partikel makanan harus menerima panas dalam jumlah yang sama. Kombinasi waktu
dan suhu yang diberikan pada produk yang disterilisasi harus cukup untuk mematikan mikroba
patogen dan mikroba pembusuk. Untuk itu, guna memastikan tidak aktifnya enzim yang terdapat pada
bahan pangan dan tercapainya waktu sterilisasi yang singkat, proses pre-sterilisasi dapat dilakukan
dengan proses blansir.
Proses sterilisasi komersial dengan menggunakan panas di desain untuk melindungi kesehatan
konsumen dan untuk melindungi produk dari mikroba pembusuk yang dapat menyebabkan kerugian
secara ekonomis (Scmitdt, 1957).

G. Perhitungan Proses Termal


Perancangan proses termal bertujuan untuk menghasilkan produk yang steril secara komersial,
dengan pemanasan yang cukup, sehingga dapat mempertahankan mutu produk dan meminimalisasi
biaya. Perhitungan proses termal dapat diklasifikasikan menjadi dua metode, yaitu metode umum
(general method) dan metode formula (formula methods).

1. Metode Umum

Metode umum merupakan metode yang paling teliti dalam menghitung proses sterilisasi yang
dikembangkan oleh Bigelow (1920) yang kemudian dilanjutkan oleh Ball dan kawan-kawan.
Ketelitiannya yang tinggi disebabkan oleh suhu bahan pangan yang diukur dalam suatu percobaan,
secara langsung digunakan dalam perhitungan tanpa mengasumsikan hubungan antara waktu dengan
suhu dari makanan tersebut.
Menurut Kusnandar, et al. (2006), metode umum (trapezoidal) menganggap nilai letalitas yang
diukur antara titik satu dengan titik yang lainnya membentuk suatu garis lurus, sehingga nilai letalitas
proses setiap selang waktu adalah luas trapesium dengan tinggi ( t n  t n1 ), panjang sisi atas dan
bawah masing-masing L n dan Ln 1 . Perhitungan metode umum (trapezoidal) dapat dilakukan dengan
bantuan Microsoft Excel Spreadsheet. Dengan nilai F0 merupakan hasil penjumlahan parsial atau
luasan di bawah kurva trapesium seperti rumus di bawah ini. Gambar 2 menunjukkan gambar kurva
lethal rate penetrasi panas.
n
t n  t n 1
F0  
i 1
2
( Lo  2 L1  2 L2  2 L3  ............. 2Ln 1  2 Ln ) (II.1)

24
Gambar 2. Kurva lethal rate penetrasi panas

2. Metode Formula

Metode formula diawali dengan memplotkan waktu dengan suhu produk pada kertas semilog,
dimana waktu sebagai absis dan suhu sebagai ordinat logaritmik. Kemudian dari grafik tersebut dapat
keterlambatan sebelum diperoleh nilai karakteristik penetrasi panas dalam pangan yang diproses
( f h , f c , j h , j c ). Parameter respon suhu f h dan f c menggambarkan laju penetrasi panas ke dalam
produk atau wadah, f h merupakan waktu yang dibutuhkan kurva penetrasi panas untuk melalui 1
siklus log pada fase pemanasan, sedangkan f c pada fase pendinginan. Sedangkan j h dan
j c menggambarkan waktu keterlambatan sebelum laju penetrasi mencapai f h dan f c .
Hubungan suhu produk dengan waktu pemanasan mengikuti persamaan berikut :
(Tr  T )  (Tr  Ti )10 (t / f h ) (II.2)
atau

logTr  T   logTr  Ti  
t
(II.3)
fh
dimana:
t = waktu proses (menit)
T = suhu produk (pada titik terdingin) (˚F)
Tr = suhu retort saat proses (˚F)
Ti = suhu awal produk (˚F)
fh = waktu yang diperlukan kurva penetrasi panas melewati satu siklus log (menit)

25
Ball menggunakan fakta bahwa nilai sterilitas porsi pemanasan dari suatu proses termal
merupakan fungsi dari kemiringan kurva pemanasan ( f h ) dan perbedaan suhu medium pemanas
dengan suhu produk pada akhir pemanasan ( Tr  T ) = g . Berdasarkan persamaan suhu produk
dengan waktu pemanasan, maka diperoleh persamaan berikut:
j I
t B  ( f h ) log h h  (II.4)
 g
Tr  T pih 
log j h  log , I h  Tr  Ti (II.5)
Tr  Ti 
Dari tabel hubungan f h dan waktu pemanasan pada suhu retort untuk mencapai sterilitas yang
diinginkan ( U  F0  Lr ) deng an nilai g , dapat ditentukan nilai g , sehingga nilai t B dapat
dihitung. Jika nilai t B sudah diketahui, nilai sterilitas proses (F0) dapat dihitung dengan :
 f h  Lr 
F0  (II.6)
 fh 
 U
 
Tr  250
Lr  10 z (II.7)
Dimana:
Lr = letalitas
tB = waktu proses (menit)
F0 = nilai sterilitas proses (menit)
Broken heating curves adalah kurva pemanasan pada produk yang pada periode pertama
pemanasan mengalami kenaikan suhu yang cepat dan pada periode berikutnya mengalami kenaikan
suhu yang lambat.

H. Parameter Kecukupan Proses Termal

Dalam suatu perancangan proses termal, karakteristik ketahanan panas mikroba dan profil
pindah panas dari medium pemanas ke dalam bahan pada titik terdinginnya merupakan hal penting
yang harus diketahui. Karakteristik ketahanan panas dinyatakan dengan nilai D dan nilai z. Nilai D
adalah waktu pemanasan pada suhu tertentu untuk mereduksi mikroorganisme sebanyak 90% atau
menjadi 1/10. Sedangkan nilai z adalah derajat kenaikan atau penurunan suhu untuk menurunkan atau
menaikkan nilai D menjadi 10 kali dari nilai awalnya. Nilai D dan nilai z suatu mikroorganisme dapat
dilihat pada Tabel 3 yang menggambarkan ketahanan panas bakteri yang penting pada proses
sterilisasi komersial.
Untuk mencapai level pengurangan jumlah mikroba yang diinginkan dalam suatu perancangan
proses termal, maka ditentukan siklus logaritma pengurangan mikroba. Secara matematis penentuan
siklus logaritma penurunan mikroba (S) dinyatakan dengan persamaan 1 berikut:
No
S  log (II.8)
Nt
Dimana: Nt = jumlah populasi mikroba setelah proses termal „t‟ menit
No = jumlah populasi mikroba sebelum proses termal

Setelah siklus logaritma penurunan mikroba ditentukan, kemudian dihitung nilai sterilitasnya
pada suhu tertentu (F0). F0 disebut sebagai nilai sterilisasi jika proses yang berlangsung adalah

26
sterilisasi, namun jika proses yang berlangsung adalah pasteurisasi, maka F0 adalah nilai pasteurisasi.
F0 adalah ekuivalen letalitas proses termal dengan waktu pemanasan pada suhu 250˚F. Nilai F0 ini
ditentukan sebelum proses termal berlangsung. Nilai F0 dapat dihitung pada suhu standar atau pada
suhu tertentu, dimana untuk menghitungnya perlu diketahui nilai D dan nilai z. Secara umum, nilai F0
menggambarkan waktu (menit) yang dibutuhkan untuk membunuh mikroba target hingga mencapai
level tertentu pada suhu tertentu.
F0  S  Do (II.9)

Proses pengujian keamanan makanan kaleng yang berasam rendah, maka kriteria sterilitas yang
digunakan berdasarkan spora bakteri yang lebih tahan panas daripada spora Clostridium botulinum,
yaitu spora Bacillus stearothermophilus atau FS (flat sour) 1518. Disebut sebagai FS 1518 karena
pertumbuhan bakteri ini akan mengakibatkan kebusukan akibat diproduksinya asam tetapi tanpa gas
sehingga bentuk tutup kaleng tetap normal (flat). Untuk makanan kaleng yang asam, proses sterilisasi
dengan menggunakan panas ini biasanya didesain berdasarkan pada ketahanan panas bakteri
fakultatif anaerob, seperti Bacillus coagulan (B. thermoacidurans), B. mascerans, dan B. polymyxa.

I. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Proses Termal

Menurut Kusnandar, et al. (2006), faktor-faktor kritis yang mempengaruhi proses termal dan
sterilisasi yang perlu diidentifikasi pengaruhnya adalah : (a) karakteristik produk yang dikalengkan,
yang terdiri dari pH keseimbangan, metode pengasaman, konsistensi/viskositas dari bahan,
bentuk/ukuran bahan, aktivitas air, persen padatan, rasio padatan/cairan, perubahan formula, ukuran
partikel, syrup strength, jenis pengental, jenis pengawet yang ditambahkan, dan sebagainya, (b)
kemasan, yang terdiri dari jenis dan dimensi, metode pengisian bahan ke dalam kemasan, (c) proses
dalam retort, yang terdiri dari jenis retort, jenis media pemanas, posisi wadah dalam retort, tumpukan
wadah, pengaturan kaleng, kemungkinan terjadinya nesting, dan sebagainya. Beberapa faktor kritis
tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a) Keasaman (Nilai pH)
Tingkat keasaman (nilai pH) merupakan salah satu karakteristik produk pangan yang menentukan
apakah suatu produk harus dilakukan sterilisasi atau pasteurisasi. Pada produk pangan yang
diasamkan, maka prosedur pengasaman menjadi sangat penting, yang harus menjamin pH
keseimbangan dari bahan harus berada di bawah pH < 4.5. Untuk itu, perlu diketahui metode
pengasaman yang digunakan dan jenis acidifying agent yang digunakan (misalnya asam sitrat,
asam asetat, asam malat, saus tomat, asam tartarat, dan sebagainya). Bila pengasaman dilakukan
secara benar, maka proses termal dapat menerapkan pasteurisasi.
b) Viskositas
Viskositas suatu produk berhubungan dengan cepat atau lambatnya laju pindah panas pada bahan
yang dipanaskan yang mempengaruhi efektifitas proses panas. Pada produk yang memiliki
viskositas rendah (cair) pindah panas berlangsung secara konveksi yaitu merupakan sirkulasi dari
molekul-molekul panas sehingga hasil transfer panas menjadi lebih efektif. Sedangkan pada
produk yang memiliki viskositas tinggi (padat), transfer panas berlangsung secara konduksi, yang
mengakibatkan terjadinya tumbukan antara yang panas dan yang dingin sehingga efektifitas
pindah panas menjadi berkurang. Koefisien pindah panas secara konveksi dinyatakan dengan „h‟,
sedangkan koefisien pindah panas secara konduksi dinyatakan dengan „k‟. Koefisien pindah
panas tersebut menunjukkan mudah atau tidaknya pindah panas yang terjadi pada suatu produk.

27
c) Jenis medium pemanas
Jenis medium pemanas pada umumnya menggunakan uap (steam) dengan teknik pemanasan
secara langsung (direct heating). Teknik pemanasan dengan menggunakan uap (steam) secara
langsung ini terdiri dari dua macam, yaitu : (i) steam injection, yang dilakukan dengan
menyuntikkan uap secara langsung ke dalam ruangan (chamber) yang berisi bahan pangan, dan
(ii) steam infusion, adalah teknik pemanasan dimana bahan pangan disemprotkan kedalam
ruangan yang berisi uap panas.
d) Jenis dan ukuran kaleng
Jenis kemasan yang digunakan berpengaruh pada kecepatan perambatan panas ke dalam bahan.
Sementara ukuran kaleng yang berdiameter lebih besar, efektifitas transfer panas lebih rendah
dibandingkan kaleng dengan ukuran diameter yang lebih kecil, karena penetrasi panas lebih
cepat.

28

Anda mungkin juga menyukai